Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya burnout adalah rendahnya work
engagement (Hussein, 2018). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ramadhani
(2022) terhadap 101 guru honorer yang bekerja di wilayah 3T (terdepan, terluar,
tertinggal) menunjukkan bahwa work engagement berkorelasi secara negatif dengan
burnout. Hal ini berarti semakin tinggi work engagement, maka akan semakin rendah
burnout pada guru honorer 3T, begitupun sebaliknya semakin rendah work engagement
maka semakin tinggi burnoutnya.
Menurut Schaufeli dan Bekker (dalam Retraningrum, 2019) burnout dipicu oleh
tuntutan pekerjaan (job demand) yang berlebihan dan job resources yang kurang
sehingga berdampak pada menurunnya kinerja, sering sakit atau tidak hadir, dan
komitmen kerja yang rendah. Apabila tidak diatasi, maka hasil akhirnya ialah individu
tidak lagi memiliki keterikatan dengan pekerjaannya saat ini.
Guru berbeda dengan profesi lain, seorang guru wajib memberikan pelayanan
pendidikan yang baik kepada murid-muridnya. Menurut Hakanen dkk (2006)
menyebutkan bahwa jika profesi guru lebih menunjukkan tingkat burnout yang lebih
tinggi dibandingkan dengan profesi lainnya. Menurut Mc-Lean (dalam Retranigrum,
2019) guru muda cenderung merasa stress pada awal karir mereka dihadapkan pada
tuntunan pekerjaan yang tinggi dan harus dapat menyesuaikan diri dengan tempat kerja
baru, sedangkan guru yang lebih senior mengalami kelelahan atau lebih terikat
dengan pekerjaannya karena telah beradaptasi dengan lingkungan kerjanya. Hal ini juga
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Meilina, Yenni, dan Hamdani (2022)
bahwasanya burnout lebih sering terjadi pada guru yang berusia muda dan guru yang
belum menikah
Work engagement adalah suatu kondisi dimana individu merasa positif dan puas
terkait pekerjaannya saat ini yang ditandai dengan perilaku semangat, berdedikasi, dan
merasa memiliki keterlibatan penuh. Work engagement memiliki 3 dimensi yaitu
absorption, vigor, dan dedication. Absorption yaitu kondisi dimana individu merasa
memiliki keterlibatan dengan pekerjaanya sehingga dirinya mampu berkonsentrasi
penuh dan bahagia hingga waktu terasa berlalu begitu cepat ketika bekerja. Vigor adalah
pemikiran individu untuk melakukan yang terbaik demi pekerjaannya, bekerja dengan
tekun walaupun terdapat rintangan, serta memiliki resiliensi dan daya juang yang tinggi.
Dedication adalah kondisi dimana individu menganggap pekerjaannya penting untuk
dirinya (Schaufeli dkk, 2002).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Yuyun Nurani Harun (2021) dengan subjek
karyawan kantor pos (persero) Makassar menunjukkan hasil tidak adanya hubungan
yang signifikan antara work engagement dengan burnout. Namun, diketahui dari
mayoritas karyawan di perusahaan berjenis kelamin laki-laki dan berdasarkan hasil
wawancara diketahui jika para karyawan merasa memiliki tanggung jawab besar
sebagai kepala keluarga sehingga walaupun mereka mengalami burnout mereka tetap
bertanggung jawab dengan tugasnya.
Apriningrum, R. E., & Utami, L. H. (2021). The Role of Spiritual well-being and Self-
efficacy on Kindergarten Teachers Burnout/Peran Spiritual well-being dan Self-
efficacy terhadap Burnout pada Guru TK. Psikoislamika: Jurnal Psikologi Dan
Psikologi Islam, 18(1), 218-227.
Hakanen, J. J., Bakker, A. B., & Schaufeli, W. B. (2006). Burnout and work
engagement among teachers. Journal of school psychology, 43(6), 495-513.
Maslach, C., & Leiter, M. P. (2017). Understanding burnout: New models. The
handbook of stress and health: A guide to research and practice, 36-56.
Meilina, S., Yenni, M., & Hamdani, H. (2022). Faktor yang Berhubungan dengan
Kejenuhan Kerja (Burnout) pada Guru Honorer Sekolah Dasar Negeri di
Kecamatan Muara Sabak Timur Tahun 2022. Jurnal Kesmas Jambi, 6(2), 1-6.
Schaufeli, W. B., Salanova, M., González-Romá, V., & Bakker, A. B. (2002). The
measurement of engagement and burnout: A two sample confirmatory factor
analytic approach. Journal of Happiness studies, 3, 71-92.