Anda di halaman 1dari 13

Nama : Diana Hoerunnisa

NIM : 206100004
Kelas : Manajemen 7A
Matkul : Seminar MSDM

1. Work Life Balance


A. Pengertian Work Life Balance

Menurut Ula, Susilawati, & Widyasari, (2019). Work Life Balance adalah sejauh

mana keterlibatan dan kepuasan individu dalam peran mereka diantara kehidupan

pribadi dan kehidupan pekerjaan serta tidak menimbulkan konflik diantara keduanya.

Menurut Bataineh (2019), menyatakan bahwa work life balanced

menunjukkan hasil signifikan positif dan signifikan memengaruhi kinerja karyawan.

Lukmiatiet al., (2020) Work life balance ialah keadaan atau kemampuan

individu dalam menyeimbangkan antara pekerjaan serta kehidupan pribadi mereka

diluar pekerjaan.

Menurut Larasati et al. (2019), work life balance adalah salah satu faktor

yang mempengaruhi employee engagement pada karyawan generasi Y.

B. Dimensi Work Life Balance

Fisher, Bulger, dan Smith dalam (Wicaksana et al. 2020:138) mengatakan

bahwa terdapat empat dimensi pembentuk work-life balance, yaitu :

1. Work Interference With Personal Life Mengacu pada sejauh mana pekerjaan dapat

mengganggu kehidupan pribadi individu. Misalnya, bekerja dapat membuat

seseorang sulit mengatur waktu untuk kehidupan pribadinya.

2. Personal Life Interference With Work Mengacu pada sejauh mana kehidupan

pribadi individu mengganggu kehidupan pekerjaannya. Misalnya, apabila individu


memiliki masalah di dalam kehidupan pribadinya, hal ini dapat mengganggu

kinerja individu pada saat bekerja.

3. Personal Life Enhancement Of Work Mengacu pada sejauh mana kehidupan

pribadi seseorang dapat meningkatkan performa individu dalam dunia

kerjaMisalnya, apabila individu merasa senang dikarenakan kehidupan pribadinya

menyenangkan maka hal ini dapat membuat suasana hati individu pada saat bekerja

menjadi menyenangkan.

4. Work Enhancement Of Personal Life Mengacu pada sejauh mana pekerjaan dapat

meningkatkan kualitas kehidupan pribadi individu. Misalnya keterampilan yang

diperoleh individu pada saat bekerja, memungkinkan individu untuk

memanfaatkan keterampilan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

C. Manfaat Work Life Balance

Menurut Lazar et al dalam penelitian Ntri Oktaviani (2020:7) terdapat manfaat

yang akan dihasilkan perusahaan diantaranya sebagai berikut:

1. Mengurangi tingkat ketidakhadiran dan keterlambatan

2. Meningkatkan produktivitas

3. Adanya komitmen dan loyalitas karyawan

4. Meningkatnya retensi pelanggan

5. Berkurangnya turn-over karyawan

Sedangkan bagi individu atau karyawan manfaat yang didapatkan dengan adanya

penerapan work-life balanceini adalah sebagai berikut :

1. Meningkatnya kepuasan kerja

2. Semakin tingginya keamanan kerja (job security)

3. Meningkatkan kontrol terhadap work-life environment

4. Berkurangnya tingkat stres kerja


5. Semakin meningkatnya kesehatan fisik dan mental

D. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Worl Life Balance

Faktor yang mempengaruhi work-life balance, menurut Pouluse dan Sudarsan

dalam Ntri Oktaviani (2020:9) yaitu:

a. Faktor Individual

a) Kepribadian: conscientiousness, opennes to experience, agreeableness,

neuroticism, extraversion.

b) Kesejahteraan: dipengaruhi dua komponen yaitu cognitive component (life

satisfaction) dan affective component (emotional well being)

c) Emotional Intelligence (EI)

b. Faktor Organisasional

a) Pengaturan Kerja: Mudahnya menyesuaikan pengaturan kerja dapat membantu

pegawai untuk mencapai tingkat pencampuran yang lebih baik antara aktivitas

didalam pekerjaan maupun diluar pekerjaan dan membantu organisasi

merekrutmempertahankan dan memotivasi pegawai.

b) Dukungan OrganisasiDukungan formal bisa berupa tersedianya work- family

policie/benefits dan pengaturan jadwal kerja yang fleksibilitas. Sedangkan untuk

dukungan informal bisa berupa support dari atasandukungan terhadap karir

karyawan, serta otonomi kerja.

c. Faktor Lingkungan

a) Pengaturan perawatan anak jumlah anak dan tanggung jawab terhadap perawatan

anak

b) Dukungan keluarga orang tuakeluarga, dan pasangan

c) Faktor lingkungan sosial lainnya seperti lingkungan rumah, interaksi dengan

tetangga dan teman sebaya


d. Faktor Lainnya

Umur, tipe keluarga, status orang tua, tipe pekerjaanpenghasilan, tingkat

pegawaijenis kelaminDalam penelitian inifaktor yang digunakan yaitu Faktor

Organisasional yang terdiri dari Pengaturan KerjaDukungan OrganisasiStres

KerjaPeran dan Teknologi

E. Indikator Work Life Balance

Menurut Rondonuwu et al (2018:32) dalam penelitian Ntri Oktaviani (2020:8)

Indikator-indikator work-life balance adalah sebagai berikut:

1. Time balance merujuk pada jumlah waktu yang individu baik misalnya seperti

diberikan oleh bagi pekerjaannya maupun hal-hal diluar pekerjaan waktu bagi

keluarganyaKeseimbangan waktu yang dimiliki oleh karyawan menentukan

jumlah waktu dialokasikan oleh yang karyawan pada pekerjaan maupun

kehidupan pribadi mereka dengan keluarga, beragam aktivitas kantorkeluarga

atau tempat bersosialisasi lainnya hanya dapat dimiliki karyawan. Keseimbangan

waktu yang dicapai karyawan menunjukan bahwa tuntutan dari keluarga terhadap

karyawan tidak mengurangi waktu professional dalam menyelesaikan pekerjaan,

begitupun sebaliknya

2. Involvement balance merujuk pada jumlah atau tingkat keterlibatan secara

psikologis dan komitmen suatu individu dalam pekerjaannya maupun hal-hal

diluar pekerjaannyaWaktu yang dialokasikan dengan baik belum tentu cukup

sebagai dasar pengukuran tingkat work-life balancekaryawanmelainkan kapasitas

keterlibatan yang harus berkualitas didukung dengan jumlah atau disetiap

kegiatan yang karyawan tersebut jalaniSehingga karyawan harus terlibat secara

fisik dan emosional baik dalam kegiatan pekerjaankeluarga maupun kegiatan

sosial lainnya, barulah keseimbangan keterlibatan tercapaiakan


3. Satisfaction balance merujuk pada jumlah tingkat kepuasan suatu individu

terhadap kegiatan pekerjaannya maupun pekerjaannyaKepuasan akan hal-hal di

luar timbul dengan sendirinya apabila karyawan menganggap apa yang

dilakukannya selama ini cukup baik dalam mengakomodasi kebutuhan pekerjaan

maupun keluarga. Hal ini dilihat dari kondisi yang ada pada keluargahubungan

dengan teman-teman maupun rekan kerja, pekerjaan yang diselesaikan.

2. Psycological Empowerment
A. Pengertian Psycological Empowerment
a) Menurut Sthira Sista dan Utama (2019) Psychological empowerment adalah
keyakinan akan kemampuan individu untuk melakukan aktivitas kerja sesuai
dengan kemampuan dan kemampuannya.
b) Amor et al., (2020). Psychological empowerment adalah bentuk yang
menggambarkan 10 pengalaman pribadi dari proses motivasi dan bagaimana
meningkatkan perbaikan diri mereka di tempat kerja.
c) Menurut Kosar (2017) dalam jurnal Dhera Alfiana (2020:842) psychological
empowerment merupakan salah satu set kognisi motivasi yang dibentuk dari
lingkungan kerja sehingga akan mencerminkan orientasi individu yang aktif
terhadap peran pekerjaannya.
d) Spreitzer (1995) dalam jurnal Yustita Damayanti (2021:909) mendefinisikan
psychological empowerment sebagai keadaan psikologis yang diwujudkan dalam
empat kognisi: meaning, competence, self-determination dan impact.
e) Psychological empowerment adalah proses peningkatan pemahaman self-efficacy
karyawan melalui identifikasi kondisi yang terjadi selama bekerja dalam organisasi
(Zhang & Bartol, 2010) dalam jurnal Yustita Damayanti (2021:909).
f) Psychological empowerment berkaitan dengan kesejahteraan karyawan, dimana
karyawan merasa diberdayakan dan tidak merasa tertekan dengan tuntutan
pekerjaan sehingga dapat berinovasi dan meningkatkan kemampuan (Wardani &
Amaliah, 2020) dalam jurnal Yustita Damayanti (2021:909).
g) Menurut Sukmayanti & Sintaasih (2018) dalam jurnal Dhera Alfiana (2020:840)
Faktor lain yang mendorong kinerja karyawan adalah psychological empowerment.
h) Menurut Dzia & Uddin (2016) dalam jurnal Dhera Alfiana (2020:840)
mengungkapkan banyak perusahaan menggunakan psychological empowerment
yang bertujuan untuk menambah motivasi dalam diri karyawan itu sendiri, sehingga
dapat mencapai tujuan dari individu maupun organisasi.
B. Dimensi Psycological Empowerment
Menurut Spreitzer dalam jurnal Arivatu Ni’mati Rahmatika, Baitul Ainun
Makin (2022:19) ada empat dimensi penting dalam psychological empowerment yaitu:
1. Meaning
Meaning dijelaskan sebagai nilai dari tujuan pekerjaan yang dilakukan dan
nilai tersebut dinilai dari sudut pandang individu itu sendiri yang berhubungan
dengan misi atau harapan dirinya. Dimensi ini melibatkan keselarasanantara
tujuan kerja dengan keyakinan, nilai-nilai, dan perilaku individu tersebut.
2. Competence
Competence merupakan kemampuan yang dimiliki setiap individu untuk
melakukan pekerjaan mereka dengan keterampilan dan pengetahuan yang
dibutuhkan. Maka pada dimensi ini seorang individu memiliki keyakinan
pada kemampuannya dalam pekerjaannya dan bisa menghasilkan nilai yang
diperlukan.
3. Self-determination
Self determination merupakan akal dari individu untuk memiliki pilihan
dalam memulai dan mengatur tindakan. Jadi individu tersebut memiliki
suatu pandangan dalam tindakannya.
4. Impact
Impact merupakan sejauh mana seseorang dapat memberikan pengaruh
dalam hal strategi, administrasi, atau pengoperasian hasil kerja di tempat kerja
(Napitupulu,2017) dalam jurnal Arivatu Ni’mati Rahmatika, Baitul Ainun Makin
(2022:19) . Thomas dan Velthouse menambahkan bahwa impact adalah
tingkatan dimana sampai sejauh mana ia dapat mempengaruhi pekerjaannya
(Oktaviani and Dahesihsari 2018) dalam jurnal Arivatu Ni’mati Rahmatika, Baitul
Ainun Makin (2022:19).

C. Organization Citizenship Behavior


1) Mahardika & Wibawa, (2019) menyatakan bahwa OCB merupakan suatu
perilaku positif individu sebagai anggota organisasi dalam bentuk kesediaan
secara
2) Aisyah, (2020) Organizational Citizenship Behavior merupakan sikap dalam
pekerjaan melenihi kadar pekerjaan utama seorang karyawan.
3) Nahrisah & Imelda, (2019) memberikan pengertian organizational citizenship
behavior sebagai bentuk perilaku yang merupakan pilihan dan inisiatif
individual untuk meningkatkan efisiensi kinerja organisasi dengan membantu
tujuan produktifitas karyawan.
D. Dimensi Organization Citizenship Behavior

Podsakoffet, al (2000), ada tujuh dimensi Organizational Citizenship Behavior (OCB)


yakni:

1. Sportmanship Adalah kehendak atau keinginan untuk bertoleransi kepada


ketidaknyamanan yang timbul menetukan kerja tanpa komplain
2. Civic Virtue Adalah komitmen karyawan kepada perusahaan dengan menyeluruh
seperti menghadiri rapat, memberikan pendapat, atua ikut ber-partisipasi aktif
dalam aktivitas perusahaan
3. Helping Behavior Adalah tingkah laku sukarela karyawan untuk menolong teman
kerja atau mencegah adanya permasalahan berhubungan dengan pe-kerjaan
4. perusahaan dari suatu ancaman dari luar dan mendorong dan juga membela tujuan
organisasi.
5. Organizational Compliance Adalah tingkah laku seseorang yang mematuhi segala
peraturan, prosedur dan regulasi organisasi walaupun tidak ada pihak yang
menjadi pengawas
6. Individual Initiative Adalah bentuk dukungan dari dalam diri seseorang untuk
menjalankan tugas secara lebih baik ataupun melampaui standar yang sudah
ditetapkan.
7. Self Development Adalah tingkah laku individu secara sukarela untuk
meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan sendiri seperti
mengikuti kursus, pelatihan, seminar atau mengikuti perkembangan terbaru dari
bidang yang dikuasai.
8. Milf Organizational Citizenship Behavior (OCB) McClelland (Hardaningtyas
(2005:14) Organizational Citizenship Behavior (OCB) adalah tingkah laku
organisasi lain mempunyai tiga motif yakni:
1) Motif Berprestasi Motif yang mendukung orang untuk menggambarkan suatu
standart istimewa (excellence), mencari prestasi dari tugas, kesempatan atau
kompetisi. Tingkah laku seperti menolong orang lain, membicarakan
perubahan bisa mempengaruhi orang lain, berupaya untuk tidak mengeluh
dan ikut serta dalam rapat unit dan hal-hal yang membentuk OCB benar-benar
di anggap sebagai kunci kesuksesan
2) Motif Afiliasi Motif ini mendukung orang untuk mewujudkan, memelihara
dan memperbaiki hubungan dengan orang lain. Afiliasi adalah tingkah laku
ekstra-role yang melibatkan OCB dan tingkah laku prososial untuk
membentuk dan memelihara hubungan dengan orang lain atau organisasi.
Masyarakat yang orientasinya pada afiliasi menggambarkan OCB karena
mereka menempatkan nilai orang lain dan hubungan kerja sama.
3) Motif Kekuasaan Motif ini mendukung orang untuk mencari status dan situasi
yang mana mereka bisa mengontrol pekerjaan atau perilaku orang lain.
Individu yang orientasinya pada kekuasaan menganggap OCB adalah alat
yang memperoleh kekuasaan dan status dengan figur otoritas dalam
organisasi. Individu yang orientasinya pada kekuasan mengkalkulasi
kesempatan tingkah laku, selanjutnya berjuang untuk organisasi selama
organisasi tersebut membantu mereka meraih agenda pribadi mereka.
E. MANFAAT ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR (OCB) OCB
OCB dapat menjadi aspek penting dari perilaku karyawan yang memberikan kontribusi
untuk efektivitas organisasi secara keseluruhan. Berdasarkan hasil penelitian-penelitian
mengenai OCB terhadap kinerja organisasi, ada beberapa manfaat OCB dalam
meningkatkan keefektifan organisasi (Podsakoff, dkk, dalam Sufya, 2015).
1) OCB meningkatkan produktivitas rekan kerja
a) Karyawan yang menolong rekan kerja lain akan mempercepat penyelesaian
tugas rekan kerjanya, dan pada gilirannya meningkatkan produktivitas rekan
tersebut.
b) Seiring dengan berjalannya waktu, perilaku membantu yang ditunjukkan
karyawan akan membantu menyebarkan best practice ke seluruh unit kerja atau
kelompok.
2) OCB meningkatkan produktivitas manajer
a) Karyawan yang menampilkan perilaku civic virtue akan membantu manajer
mendapatkan saran dan atau umpan balik yang berharga dari karyawan tersebut,
untuk meningkatkan efektivitas unit kerja.
b) Karyawan yang sopan, yang menghindari terjadinya konflik dengan rekan kerja,
akan menolong manajer terhindar dari krisis manajemen.
3) OCB menghemat sumber daya yang dimiliki manajemen dan organisasi secara
keseluruhan
a) Jika karyawan atau pegawai saling menolong dalam menyelesaikan masalah
dalam suatu pekerjaan sehingga tidak perlu melibatkan manajer,
konsekuensinya manajer dapat memanfaatkan waktunya untuk melakukan
tugas lain yang lebih strategis dan menentukan kemajuan organisasi atau
institusi, seperti membuat perencanaan.
b) Karyawan atau pegawai yang menampilkan conscientiousness yang tinggi
hanya membutuhkan pengawasan minimal dari manajer sehingga manajer dapat
mewakilkan tanggung jawab yang lebih besar kepada mereka, ini berarti lebih
banyak waktu yang diperoleh manajer untuk melakukan tugas yang lebih
penting.
c) Karyawan atau pegawai lama yang membantu karyawan baru dalam pelatihan
dan melakukan orientasi kerja akan membantu organisasi mengurangi biaya
untuk keperluan tersebut.
d) Karyawan atau pegawai yang menampilkan perilaku sportsmanship akan sangat
menolong manajer sehingga tidak harus menghabiskan waktu terlalu banyak
untuk berurusan dengan keluhan-keluhan kecil karyawan.
4) OCB membantu menghemat energi sumber daya yang langka untuk memelihara
fungsi kelompok
a) Keuntungan dari perilaku menolong adalah meningkatkan semangat, moril
(morale), dan kerekatan (cohesiveness) kelompok, sehingga anggota kelompok
(atau manajer) tidak perlu menghabiskan energi dan waktu untuk pemeliharaan
fungsi kelompok.
b) Karyawan yang menampilkan perilaku courtesy terhadap rekan kerja akan
mengurangi konflik dalam kelompok, sehingga waktu yang dihabiskan untuk
menyelesaikan konflik manajemen berkurang
5) OCB dapat menjadi sarana efektif untuk mengkoordinasi kegiatankegiatan
kelompok kerja
a) Menampilkan perilaku civic virtue (seperti menghadiri dan berpartisipasi aktif
dalam pertemuan di unit kerjanya) akan membantu koordinasi diantara anggota
kelompok, yang akhirnya secara potensial meningkatkan efektivitas dan
efisiensi kelompok.
b) Menampilkan perilaku courtesy (misalnya saling memberi informasi tentang
pekerjaan dengan anggota dari tim lain) akan menghindari munculnya masalah
yang membutuhkan waktu dan tenaga untuk diselesaikan.
6) OCB meningkatkan kemampuan organisasi untuk menarik dan mempertahankan
karyawan terbaik
a) Perilaku menolong dapat meningkatkan moril dan kerekatan serta perasaan
saling memiliki diantara anggota kelompok, sehingga akan meningkatkan
kinerja organisasi dan membantu organisasi menarik dan mempertahankan
karyawan yang baik.
b) Memberi contoh pada karyawan lain dengan menampilkan perilaku
sportsmanship (misalnya tidak mengeluh karena permasalahan-permasalahan
kecil) akan menumbuhkan loyalitas dan komitmen pada organisasi.
7) OCB meningkatkan stabilitas kinerja organisasi
a) Membantu tugas karyawan yang tidak hadir di tempat kerja atau yang
mempunyai beban kerja berat akan meningkatkan stabilitas (dengan cara
mengurangi variabilitas) dari kinerja unit kerja.
b) Karyawan yang conscientious cenderung mempertahankan tingkat kinerja yang
tinggi secara konsisten, sehingga mengurangi variabilitas pada kinerja unit
kerja.
8) OCB meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi dengan perubahan
lingkungan
a) Karyawan atau pegawai yang mempunyai hubungan yang dekat dengan pasar
dengan sukarela memberi informasi tentang perubahan yang terjadi di
lingkungan dan memberi saran tentang bagaimana merespon perubahan
tersebut, sehingga organisasi atau institusi dapat beradaptasi dengan cepat.
b) Karyawan atau pegawai yang secara aktif hadir dan berpartisipasi pada
pertemuan-pertemuan di organisasi akan membantu menyebarkan informasi
yang penting dan harus diketahui oleh organisasi.
c) Karyawan atau pegawai yang menampilkan perilaku conscientiousness
(misalnya kesediaan untuk memikul tanggung jawab baru dan mempelajari
keahlian baru) akan meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi
dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya.
F. MOTIF ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR
Menurut McClelland (Hardaningtyas, 2005:14), Organizational Citizenship Behavior
seperti perilaku organisasi lain memiliki tiga motif, yaitu:
1) Motif Berprestasi Motif ini mendorong orang untuk menunjukkan suatu standart
istimewa (excellence), mencari prestasi dari tugas, kesempatan atau kompetisi.
Perilaku seperti menolong orang lain, membicarakan perubahan dapat
mempengaruhi orang lain, berusaha untuk tidak mengeluh dan berpartisipasi dalam
rapat unit dan hal-hal kecil yang membentuk OCB benar-benar dianggap sebagai
kunci untuk kesuksesan.
2) Motif Afiliasi Motif ini mendorong orang untuk mewujudkan, memelihara dan
memperbaiki hubungan dengan orang lain. Afiliasi merupakan perilaku extra-role
yang melibatkan OCB dan perilaku prososial untuk membentuk dan memelihara
hubungan dengan orang lain atau organisasi. Masyarakat yang berorientasi pada
afiliasi menunjukkan OCB karena mereka menempatkan nilai orang lain dan
hubungan kerja sama.
3) Motif Kekuasaan Motif ini mendorong orang untuk mencari status dan situasi
dimana mereka dapat mengontrol pekerjaan atau tindakan orang lain. Individu yang
berorientasi pada kekuasaan menganggap OCB merupakan alat yang mendapatkan
kekuasaan dan status dengan figur otoritas dalam organisasi. Individu yang
berorientasi pada kekuasaan mengkalkulasi kesempatan perilaku mereka, kemudian
berjuang untuk organisasi selama organisasi tersebut membantu mereka mencapai
agenda pribadi mereka.
G. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERBANGUNYA ORGANIZATIONAL
CITIZENSHIP BEHAVIOR (OCB)
Terdapat sejumlah faktor yang diduga dapat mempengaruhi implementasi
organizational citizenship behavior (OCB), diantaranya:
1) Supervisi Sebagai salah satu fungsi manajemen secara umum yang dimaksud
dengan supervisi adalah melakukan pengamatan secara langsung dan berkala oleh
atasan terhadap pekerjaan yang dilaksanakan oleh bawahan untuk kemudian apabila
ditemukan masalah segera diberikan bantuan untuk mengatasinya. Supervisi dapat
diartikan sebagai kegiatan mengamati, mengawasi, atau membimbing dan
menstimulasi kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh orang lain dengan maksud
untuk mengadakan perbaikan.
2) Komitmen tugas. Komitmen tugas merupakan istilah lain dari komitmen
organisasional, juga merupakan dimensi perilaku yang dapat digunakan untuk
menilai kecenderungan pegawai. Komitmen tugas adalah suatu keadaan seorang
karyawan yang memihak organisasi tertentu, serta tujuan-tujuan dan keinginannya
untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi.
3) Kepuasan Kerja Kebutuhan manusia yang paling utama dalam melaksanakan
pekerjaan adalah kepuasan kerja. Kepuasan kerja merupakan salah satu faktor yang
harus diperhatikan dalam meningkatkan OCB pegawai. Pegawai yang merasa
terpuaskan dengan pekerjaannya cenderung lebih bersemangat dalam bekerja,
sedangkan bagi pegawai yang kurang terpuaskan dengan pekerjaannya semangat
kerjanya cenderung menurun tanpa merasakan kepuasan kerja pegawai kurang
memberikan sumbangan yang optimal bagi pencapaian tujuan organisasi. Kepuasan
kerja yang tinggi tidak dapat dicapai dengan sendirinya, tetapi perlu diupayakan
dengan memberikan perhatian terhadap aspek-aspek yang dapat mempengaruhi
kepuasan kerja pegawai
DAFTAR PUSTAKA

Ranti Lukmiati , Acep Samsudin , Dicky Jhoansyah (2020). Pengaruh Work Life Balance
Terhadap Kinerja Karyawan Pada Karyawan Staff Produksi Pt. Muara Tunggal Cibadak
- Sukabumi Jurnal Ekobis Dewantara Vol. 3 No. 3 September 2020. Diakses pada 17
Oktober 2023 melalui
http://jurnalfe.ustjogja.ac.id/index.php/ekobis/article/view/1688

Ni Wayan Sri Pradnyani, Agoes Ganesha Rahyuda. Peran Stres Kerja Dalam Memediasi
Pengaruh Work-Life Balancedan Kompetensi Terhadap Kinerja Pegawai. Jurnal Ilmu
Manajemen Volume 10 Nomor 3Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Negeri Surabaya. Diakses pada 17 Oktober 2023 melalui
https://journal.unesa.ac.id/index.php/jim/article/view/16993/8320

Petrus Wijayanto, Lieli Suharti, Robby Chaniago. Pengaruh Work Life Balance Terhadap
Employee Engagement Dan Dampaknya Terhadap Turn-Over Intentions Dengan Job
Characteristics Sebagai Pemoderasi. Jurnal Ekonomi Pendidikan dan Kewirausahaan
Vol. 10 No. 1 Hal 83-98. Diakses pada 17 Oktober 2023 melalui
https://journal.unesa.ac.id/index.php/jepk/article/view/16975/8088

Tekni Megaster, Fida Arumingtyas, Amelia Trisavinaningdiah. Pengaruh Work Life Balance
Dan Burnout Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan Cv Nusantara Lestari. Comparative:
Ekonomi Dan Bisnis,Vol.3(No.1),2021. Diakses pada 17 Oktober 2023 melalui
https://jurnal.umt.ac.id/index.php/jceb/article/view/4663/2661

Suciariani, Mutiara Sibarani Panggabean (2022). Pengaruh Workplace Spirituality Terhadap


Employee Creativity Di Mediasi Intrinsic Motivation Dan
Psychologicalempowermentpada Industri Asuransi Di Masa Pandemic Covid 19. Jurnal
Ilmiah Manajemen Bisnis Dan Inovasi Universitas Sam Ratulangi (Jmbi Unsrat).
Diakses pada 17 Oktober 2023 melalui
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/jmbi/article/view/45339/41836

Dwi Suryani, Elva (2021). Pengaruh Self Efficacy, Komitmen Organisasi dan Budaya
Organisasi terhadap Organizational Citizenship Behavior pada BMT IKPM Gontor.
Skripsi (S1) thesis, Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Diakses pada 17 Oktober
2023 melalui
http://eprints.umpo.ac.id/7243/

Anda mungkin juga menyukai