Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Work Life Balance

1. Pengertian Work Life Balance

Work life balance (Keseimbangan kehidupan kerja) memiliki konten yang

baik dalam pekerjaan dan juga di luar pekerjaan dengan minimalnya konflik

(Clark dalam Fapohunda, 2014), work life balance ini, tentang bagaimana

seseorang mencari keseimbangan juga kenyamanan dalam pekerjaan dan di luar

pekerjaannya. Parkes and Langford (2008) mendefinisikan work life balance

sebagai individu yang mampu berkomitmen dalam pekerjaan dan keluarga, serta

bertanggung jawab baik dalam kegiatan non-pekerjaan. Dalam menyelaraskan

kedua hal tersebut dibutuhkan adanya keseimbangan, banyak karyawan yang

kesulitan dalam mengatur baik dalam bekerja maupun dalam kesehatannya sendiri.

Hal ini penting kaitannya dalam area sumber daya manusia di mana

keseimbangan ini berperan penting dalam kelancaran dan keberhasilan karyawan

(Saleem & Abbasi, 2015).

Schermerhorn (2005), menggungkapkan keseimbangan kehidupan kerja

adalah kemampuan seseorang untuk menyeimbangkan antara tuntutan pekerjaan

dengan kebutuhan pribadi dan keluarganya. Individu yang dapat

menyeimbangkan perannya dengan baik, meskipun individu tersebut mempunyai

tuntutan tugas dan tanggung jawab dalam dua peran untuk baik dalam organisasi

maupun di luar organisasi. Dalam menunjang kebutuhan karyawan, baik

12
dalam organisasi maupun dalam kebutuhan psikologis, karyawan tersebut harus

memiliki kemampuan untuk mengatur waktu yang dibutuhkan dalam kedua peran

yang berbeda tersebut, jika kebutuhan dan tuntutan dari seorang karyawan

tersebut sudah terpenuhi, dapat dikatakan bahwa karyawan tersebut memiliki

keseimbangan kehidupan kerja (work-life balance).

Menurut Greenhaus, dkk (2002), keseimbangan (balance) dipandang tidak

adanya konflik. Sangatlah penting dalam sebuah organisasi maupun dalam

kehidupan pribadi seorang karyawan jika kedua peran dalam organisasi maupun

di luar organisasi saling mendukung di mana tidak adanya konflik yang terjadi

dalam kehidupan kerja maupun dalam peran karyawan tersebut. Karena adanya

keseimbangan antara keterlibatan peran yang terjadi dalam kehidupan karyawan

itu sendiri di mana karyawan dapat menikmati dalam kehidupan di lingkungan

kerja maupun di luar pekerjaan seperti, dapat rekreasi, berkumpul bersama teman

maupun dengan keluarga. Hal tersebut akan berdampak baik bagi karyawan di

mana dalam keseimbangan tersebut akan mempengaruhi kehidupan dari karyawan

dalam suatu orangisasi maupun perannya di luar organisasi.

Work life balance melibatkan kemampuan seseorang dalam mengatur

banyaknya tuntuntan dalam hidup secara bersamaan, di mana seseorang dalam

tingkat keterlibatannya sesuai dengan peran ganda yang dimiliki seorang

karyawan (Hudson, 2005). Adanya keselarasan dalam menjalankan tuntutan

dalam kehidupannya, karyawan harus mampu mengatur antara banyaknya peran

sehingga dalam kehidupan karyawan terjadi keharmonian atau minimnya konflik

yang terjadi, misalnya seorang karyawan yang setiap harinya bekerja dan pada

13
ahkir pekan kayawan dapat menyediakan waktunya untuk kepentingan keluarga

dan secara bersamaan terdapat kepentingan umum/ dengan lingkungan

masyarakat, dengan demikian seorang karyawan dapat mengatur waktunya agar

keterlibatan antara perannya berjalan dengan baik.

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa keseimbangan

(balance) antara peran dalam kerja dan di luar kerja di mana minimnya konflik

yang terjadi antara peran di dalam organisasi dengan peran dalam kehidupan

karyawan. Keseimbangan juga dikaitkan dengan karyawan yang mampu

mempertahankan dan merasakan keharmonisan dalam kehidupan di lingkungan

kerja maupun peran di lingkungan tempat tinggal. Seorang karyawan juga akan

mencapai keberhasilan dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan kerja

yang memuaskan apabila keterlibatan antara waktu dan perannya berjalan dengan

baik.

2. Aspek-aspek Work life balance

Menurut Hudson (2005), work life balance meliputi beberapa aspek,

yaitu:

a. Time balance (Keseimbangan waktu), Menyangkut jumlah waktu yang

diberikan untuk bekerja dan peran di luar pekerjaan. Waktu yang dibutuhkan

dalam melaksanakan tugas dalam organisasi dan perannya dalam kehidupan

individu tersebut, misalnya seorang karyawan di samping bekerja juga

membutuhkan waktu untuk rekreasi, berkumpul bersama teman juga

menyediakan waktu untuk keluarga.

14
b. Involvement balance (Keseimbangan keterlibatan), Menyangkut keterlibatan

tingkat psikologis atau komitmen untuk bekerja dan di luar pekerjaan.

Keseimbangan yang melibatkan individu dalam diri individu seperti tingkat

stres dan keterlibatan individu dalam berkerja dan dalam kehidupan

pribadinya.

c. Statisfaction balance (Keseimbangan kepuasan), Tingkat kepuasan dalam

pekerjaan maupun di luar pekerjaan. Kepuasan yang dirasakan, individu

memiliki kenyamanan dalam keterlibatan di dalam pekerjaannya maupun

dalam kehidupan diri individu tersebut.

Sedangkan menurut Fisher dkk (2009), mengatakan jika work-life

balance memiliki 4 dimensi pembentuk, yaitu:

a. WIPL (Work Interference With Personal Life). Dimensi ini mengacu pada

sejauh mana pekerjaan dapat menganggu kehidupan pribadi individu.

Misalnya bekerja dapat membuat seseorang sulit mengatur waktu untuk

kehidupan pribadinya.

b. PLIW (Personal Life Interference With Work). Dimensi ini mengacu pada

sejauh mana kehidupan pribadi individu menganggu kehidupan

pekerjaannya. Misalnya, apabila individu memiliki masalah didalam

kehidupan pribadinya, hal ini dapat menganggu kinerja individu pada saat

bekerja.

c. PLEW (Personal Life Enchancement Of Work). Dimensi ini mengacu sejauh

mana kehidupan pribadi seseorang dapat meningkatkan performa

individu dalam dunia kerja. misalnya, apabila individu merasa senang

15
dikarenakan kehidupan pribadinya menyenangkan maka hal ini dapat

membuat suasana hati individu pada saat bekerja menjadi menyenangkan.

d. WEPL (Work Enchancement Of Personal Life). Dimensi ini mengacu pada

sejauh mana pekerjaan dapat meningkatkan kualitas kehidupan pribadi

individu. Misalnya, ketrampilan yang diperoleh individu pada saat bekerja,

memungkinkan individu untuk memanfaatkan ketrampilan tersebut dalam

kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan pendapat yang dikemukankan oleh beberapa ahli tersebut,

dapat disimpulkan bahwa keseimbangan kehidupan kerja di dalamnya terdapat

aspek, seperti aspek time balance, involvement balance, statisfaction balance dan

Work Interference With Personal Life, Personal Life Interference With Work,

Personal Life Enchancement Of Work, Work Enchancement Of Personal Life.

Dalam penelitian ini, aspek yang akan digunakan adalah aspek yang dikemukakan

oleh (Hudson, 2005) yaitu time balance, involvement balance, statisfaction

balance. Penggunaan aspek yang diuraikan oleh Hudson (2005) ini dirasa paling

mewakili untuk penelitian ini.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi work life balance

Menurut Schabracq, dkk., (2003) ada beberapa faktor yang mungkin saja

mempengaruhi keseimbangan kehidupan kerja (work-life balance) seseorang,

yaitu:

1. Karakteristik Kepribadian, berpengaruh terhadap kehidupan kerja dan di luar

kerja. Menurut Summer & Knight (dalam Novelia, 2013) terdapat hubungan

16
antara tipe attachment yang didapatkan individu ketika masih kecil dengan

work-life balance. Summer & Knight menyatakan bahwa individu yang

memiliki secure attachment cenderung mengalami positive spillover

dibandingkan individu yang memiliki insecure attachment.

2. Karakteristik Keluarga, Menjadi salah satu aspek penting yang dapat

menentukan ada tidaknya konflik antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.

Misalnya konflik peran dan ambigiunitas peran dalam keluarga dapat

mempengaruhi work-life balance.

3. Karakteristik Pekerjaan, meliputi pola kerja, beban kerja dan jumlah waktu

yang digunakan untuk bekerja dapat memicu adanya konflik baik konflik

dalam pekerjaaan maupun konflik dalam kehidupan pribadi.

4. Sikap. Merupakan evalusi terhadap berbagai aspek dalam dunia sosial.

Dimana dalam dalam sikap terdapat komponen seperti pengetahuan,

perasaan-perasaan dan kecenderungan untuk bertindak (Baron & Bryne,

2005). Sikap dari masing-masing individu merupakan salah satu faktor

yang mempengaruhi work-life balance.

Sedangkan menurut Ahmad (1996), mengatakan bahwa faktor yang

mempengaruhi work life balance, yaitu:

1. Waktu. Cakupan banyaknya waktu yang di habiskan di tempat kerja atau

lama waktu berada ditempat kerja.

2. Jadwal atau serangkaian rencana kegiatan yang dimiliki karyawan di luar

maupun di dalam lingkup pekerjaan, untuk diselesaikan.

17
3. Kelelahan, Kondisi yang mana berkurangnya kapasitas yang dimiliki

seseorang untuk bekerja dan mengurangi efesiensi prestasi kerja dengan

disertai perasaan letih.

Berdasarkan pendapat yang dikemukankan oleh beberapa ahli tersebut,

dapat disimpulkan bahwa terdapat faktor yang mempengaruhi work life balance,

dari faktor di atas peneliti memilih faktor-faktor yang mempengaruhi

keseimbangan kehidupan kerja (work-life balance) dari Schabracq dkk, (2003)

yaitu, Karakteristik Kepribadian, Karakteristik Keluarga, Karakteristik Pekerjaan

dan Sikap. Di mana faktor karaktristik pekerjaan terdapat jumlah jam kerja yang

mempengaruhi kepuasan seseorang akan keseimbangan dalam keseimbangan

pekerjaan dan kehidupan pribadi (Valcour, dalam Novelia, 2013).

B. Persepsi Beban kerja

1. Pengertian Persepsi Beban Kerja

Persepsi merupakan suatu proses di mana individu mengorganisasikan dan

menafsirkan kesan indera agar memberi makna/ arti kepada lingkungan individu

tersebut (Robbins, 2003). Persepsi pada hakikatnya adalah proses kognitif yang

dialami setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya lewat

penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman (Thoha, 2010).

Robbins (2003) menyatakan bahwa positif negatifnya beban kerja merupakan

persepsi dari individu sendiri. Persepsi terhadap beban kerja berkaitan dengan

faktor atribut peran dan pekerjaan, di mana individu akan memberikan kesan atau

penilaian baik positif maupun negatif berkaitan dengan tuntutan dalam pekerjaan.

18
Menurut Dhania (2010), beban kerja adalah sejumlah kegiatan yang

membutuhkan keahlian dan harus dikerjakan dalam jangka waktu tertentu dalam

bentuk fisik maupun psikis. Dalam suatu organisasi terdapat beberapa bagian

produksi, masing-masing bagian tersebut setiap karyawan memiliki tugas yang

sudah ditentukan. Pada setiap tugas yang sudah dibebankan sesuai dengan

keahlian para karyawan, karyawan harus mengerjakan dengan mengikuti standar

yang sudah ditetapkan dengan jangka waktu yang diberikan. Beban kerja

merupakan suatu rangkaian kegiatan yang harus diselesaikan oleh suatu unit

organisasi atau pemengang jabatan dalam suatu jangka waktu tertentu, (Julia,

dkk., 2013).

Menurut Permendagri No.12/2008 (Julia, dkk., 2008) beban kerja adalah

besaran pekerjaan yang harus dipikul oleh satu jabatan/ unit organisasi dan

merupakan hasil kali antara volume kerja dan norma waktu. Kumpulan kegiatan

yang harus diselesaikan oleh suatu jabatan/ masing-masing karyawan. Dhania

(2010) menyimpulkan bahwa beban kerja adalah sejumlah kegiatan yang

membutuhkan proses mental atau kemampuan yang harus diselesaikan dalam

jangka waktu tertentu, baik dalam bentuk fisik maupun psikis. Beban kerja yang

diterima oleh karyawan harus sesuai dengan kemampuan fisik maupun psikologis

karyawan yang beban kerja tersebut.

Iskandar & Gredi (2012) menyatakan bahwa beban kerja itu sendiri

meliputi beban kerja fisik dan psikis, Sedangkan beban kerja menurut Meshkati

(dalam Anggit, 2014), merupakan suatu perbedaan antara kapasitas atau

kemampuan karyawan dengan tuntutan pekerjaan yang harus dihadapi. Beban

19
kerja yang dirasa oleh karyawan dapat menjadi faktor penekan yang menghasilkan

kondisi-kondisi tertentu, sehingga menuntut individu memberikan energi atau

perhatian (konsentrasi) yang lebih harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu

(Nurmianto, 2003). Beban kerja adalah sejumlah kegiatan yang harus diselesaikan

oleh suatu unit organisasi atau pemengang jabatan secara sistematis dengan

menggunakan teknik analisi jabatan, teknik beban kerja, atau teknik manajemen

lainnya dalam jangka waktu tertentu untuk mendapatkan informasi tentang

efesiensi dan efektivitas kerja suatu unit organisasi, Suwanto, 2003 (dalam julia

dkk., 2013).

Berdasarkan dari teori di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi terhadap

beban kerja adalah bagaimana individu memahami, mengorganisasikan dan

memaknai semua informasi dari lingkungan yang berkaitan dengan sejumlah

rangkaian tuntutan pekerjaan, di mana karyawan dapat memberikan penilaian

terhadap sejumlah tuntutan pekerjaan tersebut yang membutuhkan kemampuan,

dalam bentuk fisik maupun psikis yang harus di selesaikan dalam waktu tertentu,

apabila individu memiliki persepsi yang positif maka akan menganggap beban

kerja sebagai tantangan yang harus di capai sehingga mendapatkan output yang

memuaskan bagi perusahaan maupun diri individu tersebut. Sebaliknya apabila

individu mempersepsikan beban kerja negatif maka individu akan meganggap

beban kerja tersebut sebagai tekanan, yang dapat memiliki dampak negatif bagi

dirinya maupun bagi perusahaan.

20
1. Aspek-Aspek Persepsi Beban Kerja

Menurut Kurniawan, dkk., (2016) menyatakan bahwa terdapat indikator

beban kerja, yaitu:

a. Waktu Kerja. Waktu yang digunakan untuk menyelesaikan tugas. Waktu

kerja normal tidak lebih 7 jam per hari untuk 6 hari kerja reguler per minggu

atau tidak lebih dari 8 jam per hari untuk 5 hari kerja reguler per minggu.

b. Jumlah Pekerjaan. Jumlah kegiatan yang harus diselesaikan oleh

karyawan. Jumlah/ banyaknya kegiatan yang harus dikerjakan oleh

karyawan dalam satuan waktu. Misalnya karyawan bagian produksi dalam

setiap jamnya ditarget menghasilkan 100 potong kain.

c. Faktor Internal Tubuh. Faktor yang berasal dari dalam diri individu sebagai

akibat adanya reaksi dari beban kerja. faktor internal meliputi faktor somatis

misalnya jenis kelamin, umur, ukuran tubuh, kondisi kesehatan, status gizi.

Sedangkan faktor lainnya, faktor psikis meliputi motivasi, persepsi,

kepercayaan, keinginan dan kepuasan.

d. Faktor Eksternal Tubuh. Faktor yang berasal dari luar diri individu, tugas,

organisasi (waktu kerja, waktu istirahat, shif) dan lingkungan kerja misalnya

lingkungan yang kurang menyenangkan dapat membuat individu tersebut

mengalami kejenuhan.

Sedangkan Handoko (2001) mengemukakan elemen-elemen yang ada

dalam beban pekerjaan, yaitu:

a. Elemen organisasional. Komponen yang terdapat dalam organisasi

meliputi partisipan, tujuan dan teknologi, hal ini penting diperhatikan dalam

21
pembentukan atau merancang pekerjaan agar efesien mendorong karyawan

untuk mencapai keluaran yang maksimal.

b. Elemen lingkungan. Meliputi kemampuan dan ketersediaan karyawan serta

berbagai pengharapan. Pertimbangan efesien harus diselaraskan dengan

kemampuan dan tersediannya karyawan yang akan melaksanakan pekerjaan.

c. Elemen keperilakuan. Merupakan tanggung jawab atas apa yang

dilakukan karyawan atas pekerjaannya, meliputi otonomi dalam

melaksanakan tugas dan tanggung jawab atas pekerjaan, variasi

pekerjaan yang dibutuhkan pegawai dalam melaksasnakan tugasnya,

indentitas tugas mulai dari ciri-ciri sampai klasifikasi pekerjaan dan umpan

balik tentang seberapa baik pelaksanaan pekerjaan para karyawan.

Berdasarkan kedua aspek di atas dapat disimpulkan bahwa dalam beban

kerja terdapat aspek waktu kerja, jumlah pekerjaan, faktor internal tubuh dan

faktor eksternal tubuh, elemen organisasional, elemen lingkungan dan elemen

keperilakuan. Dalam penelitian ini, aspek yang akan digunakan adalah aspek yang

dikemukakan oleh Kurniawan, dkk (2016) diantaranya aspek waktu kerja, jumlah

kerja, faktor internal tubuh dan faktor eksternal tubuh di mana aspek tersebut

dapat dijadikan sebagai alat ukur karena dirasa paling mewakili untuk penelitian

ini.

22
C. Hubungan antara persepsi beban kerja dengan work life balance pada

karyawan

Perusahaan merupakan salah satu bentuk organisasi yang terdapat banyak

kegiatan di dalamnya. Sebagai seorang karyawan tentu saja bukan hanya

melakukan kegiatan di dalam suatu organisasi saja, namun seorang karyawan

juga mempunyai kebutuhan lain untuk kepentingan pribadinya. Individu

mengalami lebih banyak konflik antara pekerjaan dan kehidupan pribadi karena

terus mengejar kualitas hidup yang individu butuhkan (Casper, dkk., dalam Kim

2014). Dalam hal ini, menyeimbangkan antara pekerjaan dan peran keluarga

adalah salah satu tantangan utama yang dihadapi pekerja individu saat ini

(Halpern dalam Kim 2014). Dengan banyaknya kegiatan dalam hidup individu

sebagai karyawan, maka perlu adanya keseimbangan antara kehidupan dan kerja

(WLB), di mana keseimbangan tersebut cukup menentukan kesuksesan bagi para

karyawan. Clark (2000) berpandangan bahwa WLB merupakan sebuah kepuasan

aktivitas yang baik, di rumah dan di tempat kerja, dengan tingkat konflik rendah.

Seorang karyawan yang mampu menyelaraskan dalam bentuk keterlibatan

waktunya mulai di tempat kerja sampai di luar pekerjaan dapat dikatakan

memiliki keseimbangan dalam kehidupannya (Schermerhorn dalam Ramadhani,

2013). Seorang karyawan dituntut dalam organisasinya untuk mencapai tujuan

bersama, oleh karena itu karyawan harus mampu untuk mengatur waktunya bagi

setiap kegiatan yang dibebankan pada setiap karyawan. Tuntutan organisasi pun

tidak lepas dari hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang mana harus dicapai

oleh karyawan.

23
Beban kerja sebagai sejumlah kegiatan yang diberikan sebagai tuntuntan

bagi setiap karyawan, dengan membutuhkan keahlian dan kemampuan untuk

dikerjakan dalam jangka waktu yang sudah ditetapkan oleh organisasi (Dhania,

2010). Kurniawan, dkk., (2016) mengatakan terdapat aspek beban kerja yang

dapat mempengaruhi keseimbangan kehidupan kerja karyawan di antaranya

terdapat waktu, jumlah pekerjaan, faktor internal dan faktor eksternal tubuh.

Seseorang melakukan kegiatannya sebagai karyawan dalam sebuah organisasi

akan membutuhkan waktu lebih banyak dalam menyelesaikan tugasnya sebagai

seorang karyawan dari pada kepentingan keluarga maupun kepentingan di luar

organisasi. Waktu yang dimiliki oleh karyawan akan mempengaruhi

keseimbangan kehidupan individu (Valcour dalam novelia, 2012). Keseimbangan

waktu adalah cara yang dapat dilakukan untuk menyeimbangkan waktu dalam

kegiatan belajar, atau bekerja, bersenang-senang atau bersantai, dan beristirahat

secara efektif. Jika dapat menyeimbangkan waktu, maka diharapkan dapat

meningkatkan konsentrasi, organisasi waktu lebih baik, produktifitas akan

meningkat dan terpenting tingkat stres akan berkurang (Made, 2016).

Dalam beberapa peran individu tersebut (untuk keluarga, pribadi dan

berkumpul dengan keluarga) berarti ketika karyawan memiliki atau mampu

mengunakan waktu yang ada dalam kesehariannya maka karyawan ini akan

memiliki keseimbangan antara banyaknya kegiatan yang dilakukan oleh karyawan

tersebut. Namun ketika karyawan tidak mampu mengatur waktu dalam semua

kegiatan termasuk di luar pekerjaan perilaku yang ditampilkan oleh karyawan

akan tidak efektif dalam bekerja sehingga akan mempengaruhi kehidupan

24
pribadinya pula, hal ini bila karyawan mempersepsikan pekerjaan sebagai beban

kerja secara negatif maka karyawan akan mengalami ketengangan di dalam

pekerjaannya (Michael dalam Iskandar, 2012). Menurut Robbins (2003) Positif

negatifnya beban kerja merupakan masalah persepsi, hal ini berkaitan bagaimana

individu memberi arti/ makna kepada lingkungan individu tersebut.

Menurut Darsono (2011) dalam keseimbangan kehidupan kerja pada aspek

waktu termasuk bagaimana individu mengatur waktu. Setiap individu memiliki

waktu yang sama yakni 24 jam setiap harinya, keseimbangan akan kehidupan

tergantung bagaimana individu tersebut dalam mempersepsikannya. Greenhaus,

dkk (2002), menyatakan bahwa bagi individu yang menginvestasikan banyak

waktu dalam pekerjaan maupun peran dalam keluarga, akan mengalami kualitas

hidup di mana ada keterlibatan dan kepuasan bagi individu tersebut.

Karyawan akan dapat memiliki keseimbangan kehidupannya jika karyawan

mampu dalam menyusun, dan merencanakan waktu yang dimiliki untuk setiap

perannya. Apabila waktu kerja karyawan dipersepsikan positif, maka karyawan

dapat menyusun dan merencanakan waktunya agar bekerja lebih efektif dan

efesien dengan segala prioritas, sehingga perilaku yang ditunjukkan oleh

karyawan tersebut dalam bekerja lebih bersemangat, tepat waktu, dan bersungguh

sungguh dengan tidak meninggalkan pekerjaan pada saat jam kerja. Saat

mengerjakan kegiatan karyawan, melihat tuntutan pekerjaan sebagai tantangan

sehingga juga akan berpengaruh pada kepuasan kehidupan pribadinya, karyawan

yang dapat menyelesaikan tugas di perusahaan dengan baik sehingga berdampak

baik pula dalam kehidupan pribadinya, lain halnya apabila karyawan

25
mempersepsikan beban kerja negatif maka karyawan akan cenderung bosan atau

pun dari pekerjaan yang melibatkan fisik dan mental tersebut membuat kelelahan,

reaksi emosional, sakit kepala hingga mudah marah. Apabila hal itu terjadi pada

karyawan maka akan dapat membawa kondisi yang tidak baik pula dalam

kehidupan pribadi karyawan misalnya, karyawan merasa kelelahan setelah bekerja,

dan karyawan tidak dapat menikmati waktu untuk berkumpul bersama keluarga

maupun untuk diri karyawan sendiri.

Selanjutnya pada aspek jumlah kerja, dapat dilihat banyak sedikitnya

kegiatan yang harus diselesaikan dalam satuan waktu (Kurniawan, dkk., 2016),

hal ini dapat mempengaruhi diri individu, apabila karyawan mempersepsikan

jumlah pekerjaan yang ditangguhkan banyak atau melebihi kemampuannya,

karyawan tersebut dapat mengalami kelelahan fisik dan juga dapat berdampak

pada kehidupan pribadinya, karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya karyawan

sulit membagi waktu untuk kehidupan pribadinya. Menurut Aryee, Srinivas & tan

(2005), ketika karyawan bekerja terlalu keras, karyawan akan cenderung tidak

memberikan hasil yang baik. Sedikitnya pekerjaan bagi karyawan juga dapat

mempengaruhi kondisi individu tertentu, misalnya karyawan mudah bosan karena

sedikit pekerjaan yang diberikan karyawan merasa tidak ada tantangan dalam

bekerja. Namun apabila karyawan dapat mempersepsikan jumlah kerja yang

diberikan perusahaan positif maka karyawan akan merasa mampu mengerjakan

tugas pekerjaan tersebut tepat waktu, karyawan juga merasa tidak keberatan akan

jumlah yang diberikan, karyawan akan menghargai waktu untuk mengerjakan

pekerjaan dengan semangat Hal tersebut dapat mempengaruhi keseimbangan

26
waktu karyawan. Karyawan dapat menikmati waktu dan terlibat secara fisik dan

emosi baik dalam kegiatan di perusahaan maupun sosialnya. Contohnya karyawan

menghabiskan waktu selama ± 8 jam untuk menyelesaikan kegiatannya di

perusahaan dan terseisa 5 jam untuk keluarga, apabila selama 5 jam tersebut

karyawan dapat menikmati waktu dan terlibat secara fisik maupun emosi, maka

keseimbangan keterlibatan akan tercapai (Ramadhani dalam Made, 2016).

Kemudian aspek internal maupun eksternal juga dapat mempengaruhi

keterlibatan seseorang dalam pekerjaan maupun dalam kehidupan sosial. Menurut

Kurniawan, dkk., (2016) aspek internal meliputi faktor somatis misalnya jenis

kelamin, umur, gizi, kondisi kesehatan dari individu sedangkan faktor psikis

meliputi motivasi, persepsi, kepuasan, keinginan dan kepercayaan yang berasal

dari individu. Menurut Swiff (dalam Nurendra & Saraswati, 2014) keseimbangan

keidupan kerja merupakan suatu masalah yang penting untuk diperhatikan bagi

seluruh karyawan dan organisasi, karena menghadapi dua atau lebih tuntutan yang

bersaing untuk dipenuhi karyawan akan merasa sangatlah melelahkan selain dapat

menimbulkan stres, keadaan tersebut dapat membuat produktivitas karyawan

menurun. Saat karyawan merasa lingkungan kerja atau interaksi dengan sesama

karyawan berjalan baik, karyawan akan mengerjakan pekerjaan dengan baik

sehingga target perusahaan tercapai, karyawan juga akan merasa senang akan

hubungan sesama rekan kerja yang terjalin baik, hal ini dapat membuat karyawan

lebih semangat dan lebih betah berada di perusahaan.

Dalam menyeimbangkan kehidupannya seseorang karyawan yang

terampil/ memiliki kondisi fisik yang sehat dalam mengerjakan pekerjaannya akan

27
lebih cekatan dibandingkan dengan karyawan lain, maka pekerjaannya akan lebih

cepat selesai sehingga karyawan ini dapat pulang tepat waktu untuk berkumpul

bersama keluarga atau teman, Wexley & Yul (dalam Iskandar dkk., 2012)

kepuasan kerja adalah perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Karyawan yang

mampu menyeimbangkan tuntutannya dalam berbagai peran yang berbeda akan

merasa cukup waktu untuk mengelola banyaknya tuntutan sekalipun. Saat

karyawan memiliki persepsi negatif di lingkungan kerja maupun di tempat tinggal,

hal itu dapat mempengaruhi kehidupan karyawan seperti, malas pergi bekerja,

dalam menyelesaikan pekerjaan diperusahaan tidak sungguh-sungguh sehingga

hasilnya tidak memuaskan. Hal tersebut akan mempengaruhi keseimbangan

kepuasan psikologis dan komitmen karyawan. Keseimbangan kepuasan dari diri

sendiri yang timbul apabila karyawan menggangap apa yang dilakukan selama ini

cukup baik dan dapat mengakomodasi kebutuhan pekerjaan maupun keluarga. Hal

ini dilihat dari kondisi yang ada pada keluarga, hubungan dengan teman maupun

rekan kerja serta kualitas dan kuantatitas pekerjaan yang diselesaikan (Ramadhani

dalam Made, 2016).

Robbins (2003) menyatakan bahwa tekanan beban kerja dapat menjadi

positif, dengan hal ini mengarah kepada terpuaskannya keseimbangan kehidupan

kerja (work-life balance) pada karyawan. Apabila setiap karyawan

mempersepsikan beban kerja positif, karyawan akan merasa seimbang antara

tuntutan pekerjaan maupun dalam kehidupan pribadi karyawan tersebut.

Karyawan yang mempersepsikan positif beban kerja tersebut akan memahami

beban kerja sebagai tantangan bukan sebagai tekanan, yang akan membuat diri

28
karyawan tersebut terdorong untuk mencapai tugas dengan kinerja yang baik,

apabila seorang karyawan dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik, tepat

dengan waktu yang sudah ditentukan perusahaan, maka karyawan akan merasa

puas mempunyai komitmen pada perusahaan. Luthans (2006), menyatakan bahwa

komitmen organisasi sebagai keinginan kuat sebagai anggota organisasi tertentu,

keinginan untuk berusaha keras sesuai dengan keinginan orgnaisasi dan

kenyakinan dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi, atau dengan kata lain

komitmen organisasi dan proses berkelanjutan di mana anggota organisasi

mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan dan

kemajuan organisasi tersebut. Harapan tersebut akan sulit tercapai apabila

karyawan memiliki persepsi tehadap beban kerja yang negatif. Keseimbangan

kehidupan di tempat kerja telah menjadi isu yang lebih penting karena cenderung

untuk menunjukkan hasil positif seperti turnover yang rendah, keterlibatan kerja,

perilaku warga organisasi, peran karyawan, meningkatkan produktivitas

perusahaan, kepuasan kerja, dan komitmen organisasi (Wang & Walumbwa

dalam Kim 2014).

Selain itu aspek eksternal yang berasal dari luar diri individu tugas

organisasi(waktu kerja, waktu istirahat, shif) dan lingkungan kerja individu

(Kurniawan, 2016). Saat karyawan merasa /mempersepsikan secara negatif pada

lingkungan kerja ataupun tugas yang diberikan perusahaan, individu akan merasa

tidak mampu menyelesaikan tugas tepat waktu, produktivitas karyawanpun juga

menurun. Tetapi apabila karyawan mempersepsikan lingkungan kerjanya dan

lingkungan di mana karyawan tinggal dengan baik maka karyawan akan

29
merasakan keharmonian atau keseimbangan akan kehidupannya, karyawan akan

bersemangat dalam hal pekerjaaan maupun dalam lingkup pribadi, namun jika

dalam lingkungan kerja karyawan atau tempat tinggal karyawan, tidak nyaman

misalnya hubungan antar karyawan yang kurang baik akan mengurang

keseimbangan akan kehidupannya di mana karyawan tidak akan efesien dalam

melaksanakan pekerjaanya.

Menurut Delecta (2011) work-life balance adalah kemampuan individu

untuk memenuhi pekerjaan dan komitmen berkeluarga, serta tanggung jawab pada

non-pekerjaan lainnya. Dampak pada keterlibatannya dalam lingkungan kerja

maupun lingkungan non-kerja dengan keterkaitan tersebut antara aspek dalam dan

luar tubuh akan berpengaruh pada keseimbangan kehidupan individu seperti pada

penelitian Made (2016), bahwa faktor-faktor keseimbangan keterlibatan

sepenuhnya dipengaruhi oleh faktor individu dari masing-masing karyawan. Hal

tersebut merupakan bukti bahwa persepsi beban kerja mempengaruhi

keseimbangan kehidupan kerja karyawan, karena aspek beban kerja seperti waktu

kerja, jumlah pekerjaan dan faktor internal/ eksternal dalam tubuh mempengaruhi

keseimbangan kehidupan kerja seseorang dalam mengambil perannya,

keseimbangan akan kehidupan setiap individu tergantung bagaimana cara individu

tersebut mempersepsikannya, jika karyawan memiliki persepsi yang baik, maka

karyawan tersebut memliki keseimbangan atas kehidupannya.

30
D. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang positif antara

persepsi beban kerja dengan work life balance pada karyawan. Semakin beban

kerja dipersepsikan positif, maka semakin tinggi work life balance karyawan,

demikian pula sebaliknya semakin beban kerja dipersepsikan negatif maka

semakin rendah work life balance karyawan.

31

Anda mungkin juga menyukai