ABSTRACT
Keeping a balanced life is not an easy thing to do, especially for working mom. The Working mom act multiple roles in their
lives, as a worker, wife and mother as well. Empirical study was found that the imbalanced of work-life have negative impact on
the performance of work. Using depth-in interviews with 10 working mom, this study focus to explore about their condition,
meaning and strategies of work-life balance. This study categorized into four in term of the meaning of work-life balance of
working mom; ability to set their priority; ability to managing time; achieving satisfaction, expectations and desires; ability to
achieve happiness. This study categorized the strategies to keep work-life balance into six ways; manage time wisely, knowing
self limits, choose a trusted childcare, consdier for household assistant, shorten the distance between the house and workplace,
consider the importance of spiritual activities.
Keywords: worklife balance, working mom’s life, working mom, multiple roles,work-family balance
ABSTRAK
Menjaga kehidupan agar tetap seimbang adalah hal yang tidak mudah untuk dilakukan, terutama bagi ibu pekerja. Ibu pekerja
menjalankan peran ganda dalam kehidupan mereka, sebagai pekerja, istri dan juga sebagai ibu. Studi empiris menemukan bahwa
ketida;[]\kseimbangan dalam kehidupan kerja dan pribadi memiliki dampak negatif pada kinerja di tempat kerja. Dengan
melakukan wawancara mendalam kepada 10 orang ibu pekerja, penelitian ini fokus mengeksplorasi tentang kondisi, makna dan
strategi keseimbangan kehidupan kerja dan pribadi mereka. Penelitian ini mengkategorikan empat makna tentang keseimbangan
kehidupan kerja ibu yang bekerja; kemampuan untuk menetapkan prioritas mereka; mengatur waktu; mencapai kepuasan,
harapan, dan keinginan; kemampuan untuk mencapai kebahagiaan. Studi ini mengkategorikan strategi untuk menjaga
keseimbangan kerja dan hidup menjadi enam cara; mengatur waktu dengan bijak, mengetahui batasan diri, memilih pengasuhan
anak yang tepercaya, menggunakan jasa asisten rumah tangga, memperpendek jarak antara rumah dan tempat kerja, dan tidak
melupakan pentingnya kegiatan spiritual.
Kata Kunci: keseimbangan hidup-kerja, kehidupan ibu pekerja, ibu pekerja, peran ganda, keseimbangan kerja-keluarga
1. PENDAHULUAN
Tanpa keseimbangan manusia tidak akan mampu berdiri dengan tegak dan kokoh. Ketidakseimbangan akan membuat
manusia goyah dan sulit bergerak. Manusia adalah makhluk yang perlu mempertahankan keseimbangannya dalam hal
apapun agar dapat terus bergerak ataupun melangkah ke arah tujuan yang diinginkan. Begitu juga dalam hal bekerja.
Bekerja memiliki rangkaian kegiatan dan tuntutan yang terkadang membuat manusia menjadi tidak seperti manusia.
60% orang dewasa yang bekerja akan lebih sulit mencapai keseimbangan, terutama pasangan suami istri yang keduanya
bekerja dengan memiliki anak di bawah 18 tahun [1]. General Social Survey (GSS) tahun 1996 dan National Study of the
changing workforce (NSCW) tahun 1992 menunjukkan bahwa semakin besar tuntutan pekerjaan seseorang maka
keseimbangan semakin sulit tercapai. Begitupula orang-orang yang bekerja dalam waktu yang panjang, akan mengganggu
kehidupan pribadi atau keluarga mereka sehingga keseimbangan menjadi sulit tercapai [2].
Kajian empiris menemukan perempuan cenderung mengalami stress yang lebih besar dibandingkan laki-laki [3]. Dan
perempuan bekerja yang memiliki anak secara signifikan dan positif yang lebih besar terhadap stress kerja [3]. Stress kerja
Seminar Nasional Ekonomi dan Bisnis (SNEB) 2019 STIE Pembangunan Tanjungpinang
bagi perempuan disebabkan berbagai beban kerja di kantor dan tugas-tugas domestik di rumahnya. Kemudian, perempuan
yang menikah dan memiliki anak akan menjalani berbagai peran, seperti menjadi pekerja, istri, ibu, anak dalam satu garis
waktu. Dengan adanya peran ganda tersebut maka konflik cenderung akan rentan terjadi. Padahal kebahagiaan pekerja itu
sangat penting agar tujuan organisasi tercapai. Karena pekerja yang bahagia adalah pekerja yang produktif, pekerja yang
bahagia adalah pekerja yang berkomitmen kepada organisasi [4]. Kebahagiaan pada ibu pekerja bisa diperoleh dengan cara
menjaga keseimbangannya, karena keseimbangan pada ibu pekerja dapat membantu mereka menjaga “kesehatan mental”
dan membuat diri mereka menjadi lebih baik [5]. Oleh sebab itu, menjaga keseimbangan antara hidup dan bekerja menjadi
tantangan tersendiri bagi pekerja perempuan yang menikah dan memiliki anak.
2. KAJIAN PUSTAKA
Work-life balance
Kalliath dan Brough (2008) mengemukakan ada enam sudut pandang tentang definisi work-life balance (WLB) yang telah
dirangkum dari berbagai studi literatur. Pertama, WLB didefinisikan sebagai keseimbangan peran ganda. Hal ini dapat
dilihat dari bagaimana individu menjalankan kehidupan berkeluarga atau tuntutan pribadi berdampak terhadap kinerjanya
di tempat kerja. Kedua, WLB didefinisikan sebagai penyetaraan peran ganda. Hal ini dilihat dari bagaimana individu
mampu menyetarakan waktu dan kepuasan dalam kehidupan kerja dan berbagai peran kehidupan pribadi. Ketiga, WLB
didefinisikan sebagai kepuasan dalam berbagai peran. Hal ini dapat dilihat dari kepuasan di berbagai domain kehidupan,
yang dapat dicapai dengan cara mengelola sumber daya pribadi seperti kesehatan, waktu, dan komitmen dengan baik
sehingga konflik peran minim terjadi. Keempat, WLB didefinisikan sebagai pemenuhan prioritas dari berbagai peran. Hal
ini dapat dilihat sejauh mana efektivitas dan kepuasan individu dalam pekerjaan dan kehidupan pribadi sesuai dengan
prioritas. Prioritas dalam sudut pandang ini, bukanlah hal yang statis tapi dapat berubah seiring waktu misalnya promosi
pekerjaan, memiliki anak, pasangan sakit / orang tua, dan lain-lain. Kelima, WLB didefinisikan sebagai hubungan antar
konflik dan fasilitasi. Hal ini dapat dilihat bagaimana kehidupan pekerjaan memudahkan kehidupan pribadi, sebaliknya
kehidupan pribadi juga memudahkan kehidupan pekerjaan sehingga konflik antar pekerjaan dan kehidupan menjadi minim.
Keenam, WLB didefinisikan sebagai perceived control dalam berbagai peran ganda. Perceived control dimaksud adalah
persepsi individu mengenai mudah atau tidaknya individu untuk melakukan perilaku dan diasumsikan merupakan refleksi
dari pengalaman yang telah terjadi sebelumnya juga hambatan-hambatan yang diantisipasi. Maka dari sudut pandang ini
keseimbangan adalah tentang orang yang memiliki kendali atas kapan, di mana, dan bagaimana mereka bekerja, serta tidak
menuntut porsi yang sama antara kehidupan dan pekerjaan, tetapi bagaimana seseorang mampu mengendalikan hak-hak
individu atas peran yang paling penting bagi individu tersebut. Jadi, misalnya ketika seseorang dapat mengurangi jam
kerjanya untuk menghabiskan waktu dengan anak mereka, ini dapat dianggap sebagai WLB yang efektif. Secara konklusif
maka WLB dapat didefinisikan sebagai persepsi individu tentang aktivitas pekerjaan dan bukan pekerjaan adalah
kompatibel dan dijalankan sesuai dengan skala prioritas kehidupan individu saat ini sehingga ini sehinggi individu
memperoleh kepuasan dalam berbagai domain kehidupan.
WLB juga dapat didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk memenuhi komitmen pekerjaan serta tanggung jawab
dan aktivitas non-kerja lainnya (keluarga, kesehatan, kehidupan sosial, waktu luang, hobi, kegiatan spiritual). WLB
fenomena subjektif yang berubah dari individu ke individu lainnya. Dalam hal ini, WLB dianggap sebagai kemampuan
untuk mengalokasikan sumber daya yang tersedia seperti waktu, pikiran dan tenaga dengan bijak [7]
Ketidakseimbangan kehidupan kerja juga dapat memengaruhi keseluruhan kehidupan individu yang menyebabkan masalah
seperti stress, ketidakpuasan, kesedihan yang berkepanjangan, bahkan menggunakan narkoba atau alkohol. Sehingga
konflik akan rentan terjadi dan akan memengaruhi kehidupan di tempat kerja atau di luar kehidupan kerja [7].
Sebuah kajian empiris yang dilakukan di Indonesia menyatakan sebaliknya bahwa orang yang berstatus menikah lebih
memiliki kualitas WLB dibandingkan seseorang yang berstatus lajang [4]. Alasannya, pada tahap awal karier seseorang
sering bersedia mengorbankan kehidupan pribadi demi kepentingan perkembangan karier mereka. Namun, seiring
bertambahnya usia seseorang ke tahap kematangan karier, mereka mampu memprioritaskan antara keseimbangan pekerjaan
dan kehidupan keluarga. Menikah secara tidak langsung mengarahkan seseorang untuk memberikan prioritas kehidupan
pribadi mereka daripada kehidupan kerja mereka, terutama bagi seseorang yang sudah menikah dan memiliki anak.
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang diperoleh dari observasi langsung dan wawancara mendalam
terhadap 10 orang yang tinggal di provinsi Kepulauan Riau (Kepri), Indonesia. Proses perolehan data dilakukan selama 2
bulan. Informan dipilih secara purposive, yaitu ibu bekerja, suami juga bekerja, tinggal serumah dengan suami, mempunyai
anak bawah lima tahun (balita) dan berpendidikan minimal S1. Teknik analisis data berupa 1) mengolah dan
mempersiapkan data untuk dianalisis, 2) membaca keseluruhan data, 3) menganalisis lebih detail dengan meng-coding
data, 4) menerapkan proses coding. 5) menunjukkan kembali bagaimana deskripsi dan tema-tema ini akan disajikan
kembali dalam laporan kualitatif [11].
dikatakan ketika seorang ibu pekerja mampu mengalokasikan sumber daya yang mereka miliki seperti waktu, tenaga dan
pikiran dengan bijaksana untuk kehidupan pekerjaan dan keluarga maka keseimbangan itu sangat mungkin tercapai.
Kemampuan menentukan skala prioritas. Menurut informan keseimbangan akan dapat dicapai ketika mereka mampu
mendahulukan mana yang paling penting pada saat-saat tertentu. Mereka tidak dapat membagi waktu dalam porsi yang
sama pada setiap masing-masing domain kehidupan. Disaat bekerja apabila ada pekerjaan yang harus diselesaikan mereka
harus mampu menyelesaikan pekerjaan mereka terlebih dahulu. Di saat anak, suami atau orang tua sedang sakit mereka
lebih memilih sedikit mengabaikan pekerjaan mereka sementara waktu.
Kemampuan membagi waktu. Menurut informan keseimbangan akan dapat dicapai ketika mereka mampu membagi atau
memberikan porsi waktu mereka sesuai kadarnya antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Ketika waktu jam kerja habis
maka mereka segera pulang ke rumah untuk bertemu dengan keluarga. Ketika berada di rumah maka waktu mereka adalah
untuk keluarga dan tidak lagi memikirkan pekerjaan di kantor. Begitu juga pembagian waktu untuk melakukan ibadah,
menjalin hubungan sosial, dan melakukan hal yang disukai. Sebagian informan menentukan waktu mereka untuk berlibur
ke tempat jauh setahun sekali, ada yang menetapkan waktu jalan-jalan bersama keluarga setiap di akhir minggu, ada yang
menetapkan waktu untuk datang ke kajian agama seminggu sekali, dan ada yang menetapkan untuk berolah raga minimal
seminggu sekali.
Kepuasan atas harapan dan keinginan. Menurut informan, keseimbangan akan dapat dicapai ketika pekerjaan mampu
memenuhi keinginan-keinginan sesuai dengan harapan mereka. Meskipun terdapat kesulitan dalam membagi waktu antara
pekerjaan dan keluarga, bagi mereka itu adalah sebuah pengorbanan dalam upaya mewujudkan harapan dan keinginan.
Misalnya, mereka bekerja dengan harapan mereka bisa hidup lebih sejahtera dan mampu berlibur ke tempat impian mereka,
mampu membahagiakan keluarga, mampu membiayai sekolah anak di tempat yang berkualitas, dapat membeli rumah
impian, dan lain-lain. Apabila harapan dan keinginan mereka terpenuhi maka mereka akan mendapat kepuasan atas apa
yang mereka lakukan di tempat kerja. Prinsip ini sama dengan istilah bekerja untuk hidup bukan hidup untuk bekerja.
Kemampuan mencapai kebahagiaan. Bagi informan, keseimbangan tidak hanya sebatas skala prioritas dan pembagian
waktu tapi mereka juga mampu mendapatkan kebahagiaan dari kehidupan pekerjaan dan kehidupan pribadi. Dalam makna
ini, kebahagiaan tidak hanya untuk diri sendiri tapi juga untuk keluarga. Ketika mereka bekerja, suami memberikan restu
dan bangga atas apa yang dilakukan istrinya, anak-anak juga bahagia karena tercapai keinginan-keinginannya. Mereka juga
berteman bukan hanya sekedar untuk memenuhi tuntutan kehidupan sosial tapi karena mereka mendapatkan kesenangan
melakukan itu. Ibu yang bahagia akan membawa kebahagiaan juga pada keluarga. Maka bagi ibu pekerja, kemampuan
mengelola kebahagiaan adalah penting untuk mereka mencapai keseimbangan dalam bekerja dan kehidupan pribadi.
Kedua, tahu batasan diri. Artinya tidak memaksakan kemampuan lebih dari porsinya. Ketika lelah maka beristirahatlah,
ketika pikiran sedang rumit maka cobalah untuk menenangkan pikiran terlebih dahulu, jadi lakukanlah pekerjaan dan
kehidupan pribadi sesuai skala prioritas dan kemampuan diri. Sehingga ibu pekerja mampu menempatkan tenaga, waktu
dan pikiran sesuai dengan porsinya.
Seminar Nasional Ekonomi dan Bisnis (SNEB) 2019 STIE Pembangunan Tanjungpinang
Ketiga, menitipkan anak kepada pihak terpercaya. Ibu pekerja tentu tidak mungkin membawa anak ke tempat kerja
sehingga mereka harus menitipkannya kepada pihak lain. Ibu pekerja harus mampu menentukan pihak yang mereka
percaya untuk menjaga anak mereka sehingga tidak adanya kekhawatiran dan dapat bekerja dengan fokus. Para informan
memilih menjaga anak mereka kepada daycare yang berkualitas (n=1), baby sitter yang terpercaya (n=3), tempat penitipan
anak yang berada di lingkungan tempat tinggal mereka (n=1), dan keluarga atau nenek dari anak mereka (n=5).
Keempat, menggunakan jasa asisten rumah tangga (ART). Tidak semua informan memiliki ART untuk membantu mereka
menyelesaikan pekerjaan rumah karena mereka memilih untuk mengerjakan sendiri tugas-tugas rumah. Sebagian informan
yang memiliki ART untuk membantu mereka menyelesaikan tugas-tugas rumah (n=4) menyatakan bahwa “memiliki ART
sangat membantu mereka menjaga keseimbangan dikarenakan ketika pulang kerja mereka bisa fokus menghabiskan waktu
bersama keluarga tanpa memikirkan rumah yang berantakan, pakaian yang belum disetrika, cucian yang menumpuk dan
lain-lain”.
Kelima, memperpendek jarak rumah dan tempat kerja. Keunggulan tinggal di daerah kepulauan adalah diuntungkan dengan
kondisi geografisnya. Tinggal di Kepri tidak seperti tinggal di Pulau Jawa yang rutinitasnya lebih padat. Jarak tempuh rata-
rata hanya 15-30 menit ke tempat kerja bahkan ada informan yang hanya menempuh 5 menit dari rumah ke tempat
kerjanya. Sehingga mayoritas ibu pekerja di Kepri tidak perlu berangkat kerja sebelum matahari terbit seperti yang biasa
dilakukan di Jakarta. Sebagian informan ada yang dengan sengaja memilih tempat tinggal yang berjarak dekat dengan
tempat kerjanya (n=2) dan ada pula yang memilih tempat kerja yang dekat dengan rumahnya (n=2). Jarak tempuh yang
dekat antara rumah dan tempat kerja akan menimbulkan efisiensi waktu dan biaya. Informan yang memiliki jarak rumah
dan tempat kerja lebih dekat biasanya akan memanfaatkan waktu istirahat mereka untuk pulang ke rumah untuk makan
siang, istirahat atau bermain bersama anaknya.
Keenam, tidak melupakan kegiatan spritual/keagamaan. Kegiatan spritual yang dilakukan seperti melakukan sholat,
mengaji dan mendengarkan ceramah, dan menghadiri pengajian bagi yang beragama islam. Mendekatkan diri kepada sang
pencipta adalah suatu kewajiban yang tidak boleh dilupakan. Hal ini sama pentingnya dengan prioritas mereka ke keluarga.
Beribadah membuat mereka memiliki hidup yang lebih bermakna. Beribadah akan meningkatkan spritualitas sehingga
membuat mereka mampu mengelola pikiran dan perasaan dengan baik. Dengan meningkatkan spiritualitas mereka juga
mampu menemukan esensi dan makna hidup dan bekerja pada tingkat yang lebih tinggi [12].
5. SIMPULAN
Penelitian ini menjelaskan bagaimana kondisi ibu pekerja, bagaimana mereka memaknai arti WLB, dan bagaimana strategi
yang digunakan untuk menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Hasil dari penelitian ini juga dapat
dijadikan referensi para ibu pekerja dalam mengelola kehidupan bekerja dan kehidupan pribadi. Hasil penelitian juga dapat
dijadikan referensi bagi praktisi SDM. Dengan mengetahui bagaimana kondisi dan makna WLB bagi ibu pekerja
diharapakan organisasi melalui praktisi SDM mampu merancang program dan kebijakan yang mampu meningkatkan WLB
pada ibu pekerja. Karena pencapaian keseimbangan pada ibu bekerja juga dapat memberikan kontribusi positif bagi
organisasi.
Penelitian ini hanya melihat WLB fokus pada kondisi, makna dan strategi pada ibu pekerja, namun tidak mengeksplor
lebih jauh tentang konflik yang terjadi antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Maka selain mengeksplor lebih dalam
tentang konflik dalam menyeimbangkan kehidupan pribadi dan bekerja pada ibu bekerja, penelitian yang akan datang juga
diharapkan mengkaji pada subjek yang berbeda pula seperti pada ayah pekerja, atau pada individu yang belum menikah.
REFERENSI
[1] A. Handayani, T. Afiati, and M. . Adiyanti, “Studi Eksplorasi Makna Keseimbangan Kerja Keluarga pada Ibu Bekerja,”
Semin. Psikol. Dan Kemanus., no. 2003, pp. 978–979, 2015.
[2] J. R. Keene and J. Quadagno, “Predictors of Perceived Work-Family Balance: Gender Difference or Gender
Similarity?,” Sociol. Perspect., vol. 47, no. 1, pp. 1–23, 2004.
[3] U. Lundberg and M. Frankenhaeuser, “Stress and workload of men and women in high-ranking positions.,” J. Occup.
Health Psychol., vol. 4, no. 2, pp. 142–151, 1999.
[4] A. Zulkarnain, “Quality of Work Life in Indonesian Public Service Organizations : The Role of Career Development
and Personal Factors,” Int. J. Appl. Psychol., vol. 3, no. 3, pp. 38–44, 2013.
Seminar Nasional Ekonomi dan Bisnis (SNEB) 2019 STIE Pembangunan Tanjungpinang
[5] E. J. Grant-Vallone and E. A. Ensher, “Opting in between: Strategies used by professional women with children to
balance work and family,” J. Career Dev., vol. 38, no. 4, pp. 331–348, Aug. 2011.
[6] T. Kalliath and P. Brough, “Work-life balance: A review of the meaning of the balance construct,” Journal of
Management and Organization, vol. 14, no. 3. Cambridge University Press, pp. 323–327, 02-Jul-2008.
[7] P. Delecta, “Theories of Work Life Balance –a Conceptual Review,” Int. J. Curr. Res., vol. 3, no. 4, pp. 186–189,
2011.
[8] S. Manfredi and M. Holliday, “Work-Life Balance: An audit of staff experience at Oxford Brookes University,” Great
Britain, 2004.
[9] L. Duxbury and C. Higgins, “Work-life balance in Australia in the new millennium: Rhetoric versus reality,” 2008.
[10] E. Galinsky, J. T. Bond, and D. E. Friedman, “The role of employers in addressing the needs of employed parents,” J.
Soc. Issues, vol. 52, no. 3, pp. 111–136, 1996.
[11] W. Creswell, J., “Research design Pendekatan kualitatif, Kuantitatif dan Mixed,” 2012.
[12] S. E. Sullivan and L. Mainiero, “Using the Kaleidoscope Career Model to Understand the Changing Patterns of
Women’s Careers: Designing HRD Programs That Attract and Retain Women,” vol. 10, no. 1, pp. 32–49, 2008.
Mirza Ayunda Pratiwi, memperoleh gelar S.E dari Universitas Padjadjaran, Bandung tahun 2012. Kemudian tahun 2017
memperoleh M.Sc dari Universiti Teknologi Malaysia, Saat ini sebagai Staf Pengajar program studi Manajemen di Sekolah
Tinggi Ekonomi (STIE) Pembangunan, Tanjungpinang.