Anda di halaman 1dari 3

Ujian Tengah Semester Pengantar Ilmu Psikologi

Nama : Khalil Ahmad


NIM : D0222063
Prodi : Ilmu Komunikasi
Kelas : B

Quiet Quitting dan Hubungannya Terhadap Aktualisasi diri Maslow


Pendahuluan
Selama pandemi Covid-19, para pekerja dituntut untuk terus tetap produktif bekerja
selama di rumah yang pada akhirnya cenderung diadopsinya budaya gila kerja (hustle
culture). Budaya gila kerja mencerminkan seseorang perlu bekerja lebih keras serta
maksimal dalam setiap kegiatannya sehingga mengabaikan kapasitas diri maupun kesehatan,
yang dapat berdampak pada peningkatan risiko gangguan kesehatan mental. Semakin
kerasnya dunia pekerjaan membuat mayoritas orang sangat bekerja keras untuk mencapai
karir setinggi-tingginya. Namun, di sisi lain ada juga orang yang memilih untuk kerja
seperlunya saja, tidak mengejar naik jabatan dan berekspektasi sewajarnya. Yang sekarang
mereka sebut dengan quiet quitting.

Asal Muasal Tren Quiet Quitting


Istilah "quiet quitting" telah muncul untuk mendeskripsikan seseorang yang menolak
pandangan bahwa pekerjaan harus menjadi fokus utama dan melakukan pekerjaan mereka
hanya sesuai job desk-nya saja. Mereka menolak untuk memberikan jam kerja ekstra dan
mengatakan “tidak” terhadap permintaan untuk melampaui apa yang mereka pikir seharusnya
dikerjakan dari seseorang dalam posisi mereka. Sebenarnya fenomena ini sudah lama terjadi
sebelum istilah itu muncul, namun karena belakangan ini menjadi tren di kalangan pekerja
Amerika Serikat, tentunya efek dari sosial media, istilah itupun menjadi viral.
Tren ini berangkat dari situasi pandemi COVID-19, di mana sistem work from home
menyebabkan terjadinya bias antara kegiatan keseharian di rumah dengan kegiatan pekerjaan,
banyak dari mereka yang mendapatkan pekerjaan tambahan sehingga mereka menjadi
kesulitan untuk mengatur waktu, hal ini tentu akan berdampak buruk karena mereka akan
sulit membatasi antara waktu kerja dan waktu pribadi, sehingga menurut psikolog Lee
Chambers, quiet quitting merupakan mekanisme koping yang dilakukan mereka untuk
mengatasi kelelahan.

Korelasi dengan Aktualisasi diri Maslow


Maslow (1994) menyatakan bahwa tingkatan terakhir dari kebutuhan dasar adalah
aktualisasi diri, yaitu kebutuhan untuk membuktikan dan menunjukan dirinya kepada orang
lain. Pada tahap ini, seseorang mengembangkan semaksimal mungkin segala potensi yang
dimilikinya. Kebutuhan aktualisasi diri adalah kebutuhan yang tidak melibatkan
keseimbangan, tetapi melibatkan keinginan yang terus menerus untuk memenuhi potensi.
Maslow melukiskan kebutuhan ini sebagai hasrat untuk semakin menjadi diri sepenuh
kemampuannya sendiri, menjadi apa saja menurut kemampuannya. Terpenuhinya kebutuhan-
kebutuhan sebelumnya seperti kebutuhan fisiologis, rasa aman, kasih sayang, dan harga diri
telah mengantarkan akan terpenuhinya kebutuhan akan aktualisasi diri.
Jika didasarkan pada teori Maslow, maka fenomena quiet quitting merupakan akibat
dari tidak terpenuhinya kebutuhan kasih sayang atau sosial yang diterima seseorang di
lingkungan pekerjaannya. Salah satu contohnya adalah kurangnya apresiasi dari atasan
setelah melakukan banyak pekerjaan, dan tuntutan lainnya. Faktor lain fenomena ini
berkembang adalah karena generasi milenial saat ini sangat menyadari akan kesehatan
mental. Mereka merasa keseimbangan dalam mengelola waktu antara bekerja dan kehidupan
pribadi menjadi sangat penting, dan itu kita kenal sebagai work life balance.
Pekerjaan juga merupakan bagian dari aktualisasi diri seseorang untuk mencapai
potensinya, apabila pola pikir dari pekerja yang terkena quiet quitting adalah “do your job,
take your pay, and go home.” Maka dorongan akan aktualisasi diri ini tidak akan tercapai.
Karena mereka memilih pasif dalam mencari kenyamanan, kesenangan, dan keamanan ketika
kebutuhan dasar tersebut telah terpenuhi. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Maslow,
Ia percaya bahwa, karena kesulitan memenuhi empat kebutuhan yang lebih rendah, sangat
sedikit orang yang berhasil mengaktualisasikan diri, atau hanya akan melakukannya dalam
kapasitas yang terbatas.

Solusi bersama antara bos dan pegawai


Salah satu sikap kerja yang memberikan kontribusi terbaik untuk peningkatan kinerja
pegawai adalah keterikatan pegawai. Keterikatan merupakan ekspresi yang dikehendaki
seseorang berkaitan dengan perilaku tugasnya, yang menghubungkan pekerjaannya dengan
eksistensi personal (fisik, kognitif, dan emosional) dan peran diri secara utuh. Dimensi
fisik, kognitif, dan emosional merupakan energi yang mampu mendorong seseorang
untuk bekerja secara optimal, sedangkan peran diri tergambar melalui kondisi psikologis.
Dimensi fisik, kognitif, dan emosional diungkapkan melalui ekspresi diri menunjukan
identitas, pemikiran, dan perasaan sesungguhnya dalam meningkatkan kinerja (Sarikit, 2017)
Berdasarkan definisi di atas dapat kita simpulkan bahwa fenomena quiet quitting juga
terjadi karena adanya demotivasi karyawan untuk terus berkembang di suatu perusahaan.
Bagi perusahaan ini sungguh merugikan karena akan dapat berdampak kepada produktivitas
dari para pekerja. Kunci untuk mengatasi fenomena ini adalah komunikasi. Komunikasi
dalam perusahaan merupakan penentu keberhasilan dalam pencapaian tujuan, dengan
komunikasi akan terjadi hubungan timbal balik dari tiap-tiap orang dalam perusahaan baik
berupa perintah, saran, pendapat maupun kritik (Endang, 2010). Contohnya para HR dan
pekerja saling bekerja sama supaya dapat menciptakan situasi yang saling menguntungkan.
Yaitu dengan cara menerapkan budaya kerja yang fleksibel dan apresiatif. Sehingga pekerja
pun merasa dimanusiakan dan mampu mengaktualisasi dirinya di perusahaan tempat mereka
bekerja.
Fenomena quiet quitting ibarat pisau bermata dua, dampak positifnya adalah
kesadaran akan kesehatan mental meningkat, dimana selain bekerja ada aktivitas yang lebih
esensial seperti berolahraga, melakukan hobi, serta menghabiskan waktu bersama keluarga,
maka menerapkan batasan diri dalam bekerja akan membantu mengurangi efek cemas dan
depresi. Namun, dalam jangka panjang, apabila ini dilakukan secara berlebihan, maka quiet
quitting dapat berdampak negatif, yakni seseorang akan terkena dampak psikologis, yaitu
tidak adanya dorongan akan aktualisasi diri, kepuasan diri serta kondisi emosional. Quiet
quitting merupakan tanda dari sebuah gejala yang besar. Tanda jika pekerja mengalami
penurunan motivasi dan keterlibatan mereka dalam perusahaan. Apresiasi dan memahami
prioritas pekerja menjadi sangat penting untuk mengatasi fenomena tersebut.

Referensi
1. Zenger, J. and Folkman, A. (2022) “Quiet quitting is about bad bosses not bad
employees”. Harvard Business Review. Diakses 1 Oktober
https://hbr.org/2022/08/quiet-quitting-is-about-bad-bosses-not-bad-employees
2. Dhermawan, A. A. N. B., Sudibya, I. G. A., & Utama, I. W. M. (2012). Pengaruh
motivasi, lingkungan kerja, kompetensi, dan kompensasi terhadap kepuasan kerja dan
kinerja pegawai di lingkungan kantor Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali. Jurnal
Manajemen, Strategi Bisnis, dan Kewirausahaan, 6(2), 173-184.
3. Sarikit, M. (2017). Pengaruh work life balance dan keterikatan pegawai terhadap
kinerja pegawai fakultas ilmu sosial dan ilmu politik Universitas Indonesia. Jurnal
Manajemen Pendidikan, 8(1), 82-91.
4. Fitriani, E., Puspitasari, Y., & Anhar, V. Y. (2021). FAKTOR YANG
BERHUBUNGAN DENGAN HUSTLE CULTURE PADA MAHASISWA DI
MASA PANDEMI COVID-19. In Prosiding Forum Ilmiah Tahunan (FIT) IAKMI.
5. Poniasih, N. L. G., & Dewi, A. S. K. (2015). Pengaruh Motivasi Kerja, Komunikasi
Dan Stres Kerja Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan. E-Jurnal Manajemen, 4(6).
6. LPM Idea. (2021). “Abraham Maslow dan Proses Aktualisasi Diri.” Diakses 1
Oktober 2022. https://www.ideapers.com/2021/09/abraham-maslow-dan-proses-
aktualisasi-diri.html
7. Anggisari, I., & SAP, F. P. Aktualisasi Diri Ditinjau dari Kuatnya Stimulan pada
Penyandang Disabalitas Dewasa.

Anda mungkin juga menyukai