OLEH :
Ulul Azmi Rumalutur
111 2016 2040
PEMBIMBING RESIDEN :
dr. Yuliana
SUPERVISOR PEMBIMBING :
dr. Erlyn Limoa, ph.D, Sp.KJ
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Psikiatri
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia
Mengetahui,
Supervisor Pembimbing Pembimbing Residen
Telah didiskusikan dan disetujui untuk dipresentasikan Refarat dengan judul “WORK
LIFE BALANCE” dan Laporan Kasus dengan judul “SKIZOFRENIA
PARANOID ” pada:
Hari :
Tanggal :
Jam :
Tempat : RSKD Provinsi Sulawesi Selatan
Mengetahui,
1
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
2
yang rendah akan mengganggu dalam pekerjaan dan kehidupannya. Tuntutan
seseorang akan adanya tugas-tugas pekerjaan yang membuat para pekerja
kelelahan dan tidak bisa menyelesaikan tugasnya akan berdampak pada kesehatan
mentalnya.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
menyebabkan depresi, kinerja buruk di tempat kerja, dan konflik
dengan keluarga dan perasaan kelelahan.1
WLB adalah keadaan keseimbangan yang nyaman yang dicapai
antara prioritas utama pekerja mengenai posisi pekerjaan dan
kehidupan pribadi mereka. Tuntutan karir seorang pekerja seharusnya
tidak membatasi kemampuan individu untuk menikmati kehidupan
pribadi yang memuaskan di luar lingkungan kerjanya.1
5
akan selalu ada orang yang ingin membuat tuntutan pada waktu
seseorang. Orang perlu belajar bahwa tidak apa-apa untuk mengatakan
tidak dan hanya setuju untuk melakukan tugas tambahan jika itu
penting. Tanpa menciptakan keseimbangan kehidupan kerja seseorang
tidak dapat meluangkan waktu untuk menikmati hidup yang telah
mereka kerjakan dengan sangat susah untuk diciptakan. Mereka tidak
tersedia untuk teman dan anggota keluarga, dan seringkali
menghilangkan stres pada orang yang mereka cintai. Mereka juga bisa
menderita penyakit dan gangguan fisik yang berasal dari stres
berkepanjangan seperti penyakit jantung, alkoholisme, dan bahkan
diabetes
6
cenderung menjadi yang paling ketat bagi karyawan yang terpapar
terutama tuntutan kerja fisik, emosional, atau mental yang luas.
Konflik berbasis perilaku terjadi ketika perilaku spesifik yang efektif
dalam satu peran tidak sesuai dengan harapan perilaku dalam peran
lain.2
Marshall dan Barnett mengusulkan sebuah skala yang terdiri dari
empat dimensi untuk mengukur keuntungan dan ketegangan work-
family di antara pasangan produktif, yang mencakup ukuran
ketegangan dan keuntungan work-family seiring dengan ketegangan
dan keuntungan dari pekerjaan. Sementara, keuntungan work-family
merupakan keuntungan positif dari peran kerja dan keluarga,
ketegangan work-family berkaitan dengan sejauh mana individu
mengalami pengaruh buruk atau melampaui batas stres antara peran
yang berbeda. Ketegangan dan keuntungan work-parenting
menggambarkan keuntungan dan ketegangan menggabungkan peran
kerja dan peran orang tua secara individu.2
Konstruksi keseimbangan kehidupan kerja telah diukur dengan
berbagai cara. Konsep keseimbangan kehidupan kerja mungkin agak
menyesatkan, Hubungan sinergis antara pekerjaan dan rumah yang
seimbang jarang terjadi. Penelitian ini menggunakan lima skala yang
berbeda untuk mewakili keseimbangan kehidupan kerja yaitu konflik
peran, kepuasan kerja, kepuasan keluarga, fungsi keluarga dan
kewarganegaraan.2
Menurut Fisher Work life balance terdiri dari empat bagian yaitu:
waktu, yaitu perbandingan antara jumlah waktu yang
dihabiskan di tempat kerja dan waktu untuk terlibat dalam
kegiatan lain,
Perilaku individu di tempat kerja dan dalam kehidupan
pribadi,
Ketegangan menjadi seorang sumber konflik antar peran
dan
7
Energi menjadi sumber daya yang terbatas dan relevan bagi
karyawan untuk mencapai tujuan kerja dan / atau pekerjaan
yang tidak terkait.2
Selain itu, skala untuk mengukur tiga dimensi keseimbangan
kehidupan kerja yaitu, Work interference with personal life (WIPL),
Personal Life Interferensi With Work (PLIW) dan Work / Personal
Life Enhancement (WPLE) juga disertakan.2
8
2.5 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI WORK-LIFE
BALANCE
9
yang terkait dengan pikiran yang dilakukan dengan semangat dan dedikasi
yang tinggi. Jawaharrani & Susi (2010) dalam penelitiannya menyatakan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara job engagement dan work-life
balance Pada karyawan. Dalam hal ini, karyawan yang terikat dengan
pekerjaannya cenderung memiliki komitmen dan dedikasi yang tinggi
dalam pekerjaan sehingga mereka akan mampu mengelola work-life
balance yang baik (Jawaharrani & Susi, 2010).5
d. Organizational Support
Work-life balance tidak hanya menjadi tanggung jawab karyawan,
tetapi juga organisasi. Dalam hal ini, organisasi berperan untuk membantu
karyawan dalam menyeimbangkan peran di tempat kerja dan keluarga
dengan cara memberikan dukungan yang diperlukan karyawan untuk
mempertahankan work-life balance mereka (Eisenberger, Huntington,
Hutchison & Sowa, 1986). 6
Organisasi yang memberikan dukungan berarti menghargai
kontribusi karyawan dan peduli terhadap kesejahteraan mereka
(Eisenberger, dkk, 1986). Di sisi lain, organisasi yang peduli terhadap
work-life balance karyawan akan menunjukkan dukungan melalui
program dan kebijakan yang menekankan pada work-life balance
karyawan (McCarthy, Cleveland, Hunter, Darcy, & Grady,2013). Dalam
penelitian ini dijelaskan bahwa upaya tersebut memiliki dampak positif
terhadap work-life balance karyawan (McCarthy, dkk, 2013).6
e. Work Overload
Work-overload merupakan salah satu faktor utama yang
mempengaruhi work-life balance. Leiter & Schaufeli (1996) menyatakan
bahwa karyawan yang mengalami work-overload cenderung merasa
kelelahan sehingga mempengaruhi motivasi karyawan dalam menanggapi
tuntutan peran yang lain, seperti keluarga. Menurut Aryee, Srinivas & Tan
(2005), ketika karyawan bekerja terlalu keras, mereka cenderung tidak
memberikan hasil yang baik. Vogel (2012) dalam penelitiannya
menambahkan bahwa karyawan yang kelebihan beban pekerjaan sering
10
merasa frustrasi dan merasa bahwa mereka tidak mampu menyeimbangkan
peran di tempat kerja dan keluarga dengan baik. 6
f. Technology Advancement
Menurut Lester (1999), Technology advancement baik untuk
membantu menyelesaikan pekerjaan secara fleksibel karena dapat diakses
dengan mudah dan cepat. Namun dalam penelitiannya juga dijelaskan
bahwa teknologi dapat menghambat work-life balance seseorang karena
waktu dan peran di keluarga menjadi berkurang (Lester, 1999). Stephens,
McGowan, Stoner, dan Robin (2007) menyatakan bahwa teknologi
membuat beberapa kehidupan kurang fleksibel dan mengakibatkan
kesulitan dalam menjaga work-life balance seseorang. Hal ini didukung
oleh Waller dan Ragsdell (2012) yang menemukan bahwa teknologi
memiliki dampak negatif pada karyawan di luar jam kerjanya.
Berdasarkan uraian di atas, maka faktor-faktor yang mempengaruhi work-
life balance adalah emotional intelligence, spiritual intelligence, job
engagement, organizational support, work overload dan technology
advancement.6
11
4. Akses untuk penanganan anak, meningkatkan akses untuk penanganan
anak dengan fasilitas penanganan anak di kantor bagi yang
membutuhkan fasilitas tersebut.
5. Penyusunan pekerjaan yang fleksibel, menyediakan fleksibilitas yang
lebih baik dalam penyusunan pekerjaan untuk menyesuaikan kondisi
personal karyawan, termasuk menyediakan waktu penuh untuk
anggota keluarga.
6. Cuti harian, mengizinkan karyawan untuk meminta dan mengambil
cuti dalam waktu harian.
7. Mobilitas pekerjaan, menyediakan mobilitas yang lebih baik untuk
karyawan dapat berpindah dari rumah sakit, tempat kerja dan layanan
kesehatan untuk menemukan penyusunan pekerjaan yang lebih sesuai.
8. Keamanan dan kesejahteraan, meningkatkan keamanan, kesejahteraan
dan rasa hormat untuk seluruh karyawan di tempat kerja.
9. Akses telepon, memastikan seluruh karyawan dapat menerima telepon
atau pesan mendesak dari keluarga mereka di tempat kerja, dan
mendapat akses telepon untuk tetap dapat menghubungi keluarga
mereka selama jam kerja.1
12
ketahanan emosional. Temuan penelitian ini mengungkapkan bahwa
keseimbangan kehidupan kerja dikaitkan secara signifikan dengan kepuasan karir
dan hubungan tersebut dimediasi oleh faktor kunci, yaitu kontrol atas jadwal,
jumlah jam kerja, status perkawinan, dan memiliki tanggungan anak di rumah
tangga. Selain itu, pergeseran generasi dan gender juga memberi kontribusi yang
kuat dan signifikan terhadap kepuasan karir, keseimbangan kehidupan kerja, dan
kelelahan, sementara usia yang lebih tua dikaitkan secara konsisten dengan
keseimbangan kehidupan kerja dan kurang kelelahan.
Ilies, Wilson, & Wagner meneliti peran integrasi keluarga kerja dalam
meningkatkan kepuasan kerja sehari-hari pada kepuasan perkawinan dan keadaan
emosional harian yang dialami oleh karyawan di rumah. Sampel yang dipilih dari
karyawan universitas termasuk profesional administrasi, supervisor, dan pegawai
teknik teknis, mengindikasikan bahwa karyawan dengan kepuasan kerja yang
lebih tinggi setiap hari mengalami penurunan efek negatif di rumah. Smith K. T
dalam studinya tentang perspektif keseimbangan kehidupan kerja Millennial
(mereka yang lahir antara tahun 1980 dan 1995) bahwa keseimbangan kehidupan
kerja memiliki prioritas lebih tinggi untuk pekerja generasi sekarang
dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
para incumben menganggap keseimbangan kerja kerja yang sehat sebagai sumber
vital bagi kualitas kerja, kinerja, pengambilan keputusan etis, dan kepuasan kerja
jangka panjang dan umumnya menolak pembayaran ekstra sebagai pengganti
liburan dan waktu luang. Saif, Malik & Awan meneliti hubungan antara kepuasan
kerja karyawan dan prevalensi praktik kerja keseimbangan (WLB) di antara
korban PHK di dua organisasi besar yang beroperasi di Pakistan. Hasil analisis
regresi menunjukkan hubungan positif antar variabel tanpa adanya perbedaan
yang signifikan antara manajemen tingkat atas, menengah dan bawah. Noor
mengidentifikasi hubungan antara keseimbangan kerja-kerja yang dirasakan dan
niat untuk meninggalkan kalangan akademisi di institusi pendidikan tinggi
Malaysia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepuasan yang dirasakan dengan
keseimbangan hidup kerja berkorelasi negatif dengan niat untuk meninggalkan
organisasi yang sebagian dimediasi oleh kepuasan kerja dan komitmen
13
organisasional. Maeran, Pitarelli & Cangiano melakukan studi eksplorasi untuk
menganalisis hubungan antara keseimbangan kehidupan kerja dan kepuasan kerja
antar guru di Italia. Studi tersebut menyelidiki peran konflik keluarga kerja dan
pengayaan keluarga kerja dan sebaliknya terhadap pekerjaan tersebut. Penulis
melaporkan korelasi negatif antara konflik kerja-keluarga dan konflik keluarga
terhadap kepuasan kerja, serupa dengan penelitian sebelumnya di bidang ini.
Shankar & Bhatnagar meneliti literatur di bidang Work-Life Balance dan
mengusulkan sebuah model konseptual. Model ini berfokus pada korelasi
konstruksi Work-Life Balance dengan variabel lain yaitu keterlibatan karyawan,
konsonan emosional / disonansi dan niat berpindah. Studi ini menunjukkan bahwa
keseimbangan kerja yang lebih tinggi menyebabkan keterlibatan karyawan yang
tinggi, dan niat rendah untuk berhenti. Rani, Kamalanabhan & Selvarani
menunjukkan hubungan antara kepuasan kerja dan keseimbangan kerja di antara
karyawan yang bekerja di organisasi TI di chennai, India. Penelitian ini
mengungkapkan adanya korelasi yang tinggi antara tugas kerja dan kepuasan
kerja dengan WLB sebagai variabel mediator. Hasil penelitian menunjukkan
hubungan positif antara kepuasan dan variabel kepuasan karyawan seperti peluang
karir, pengakuan, tugas kerja, tunjangan, kerja / keseimbangan hidup dan atasan
bawahan.
14
BAB III
KESIMPULAN
Konsep keseimbangan kehidupan kerja telah menarik perhatian tidak
hanya organisasi yang berbeda tetapi juga peneliti dan praktisi SDM. Hal ini
terutama dapat dikaitkan dengan tuntutan kerja yang terus meningkat seiring
dengan meningkatnya tuntutan keluarga karena perlunya pasangan bekerja dan
mencari pencapaian pribadi dalam kehidupan pribadi.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Meenakshi. S. Pattu, dkk. “The Importance of Work-Life-Balance” in
IOSR Journal of Business and Management (IOSR-JBM) e-ISSN: 2278-
487X, p-ISSN: 2319-7668. Volume 14, Issue 3 (Nov. - Dec. 2013), PP 31-
35 www.iosrjournals.org
2. Shobitha Poulose & Sudarsan N. Work Life Balance: A Conceptual
Review in International Journal of Advances in Management and
Economics , March-April 2014, Vol.3 Available online at
www.managementjournal.info
3. Jeffrey H. Greenhaus, Karen M. Collins, and Jason D. Shaw. The relation
between work–family balance and quality of life Journal of Vocational
Behavior 63 (2003) 510–531. Available online at
www.elsevier.com/locate/jvb
4. Jhon D Mayer & Peter Salovey. Emotional Development and Emotional
Intelegence. 1997. A division of Harper Collins Publisher. New York.
5. Susi.S & Jawaharrani.K. Work-Life Balance: The key driver of employee
engagement. Asian journal of management research. 2010. Online open
access publishing platform for management research
6. Ioan lazăr professor ph.d, dkk. The Role of Work-Life Balance Practices
in Order to Improve Organizational Performance. European Research
Studies,Volume XIII, Issue (1), 2010
7. Remus Ilies, dkkk. The Spillover of Daily Job Satisfaction on to
Employees’ Family Lives: The Facilitating Role of Work-Family
Integration. Singapore Management University. 2009
16
LAPORAN KASUS
SKIZOFRENIA PARANOID (F20.0)
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. R
No. RM :
Umur : 27 tahun
Alamat : Toppara, kel. Batu Bolong, Sinjai Borong
Agama : Islam
Suku : Bugis
Status Perkawinan : Belum Menikah
Pendidikan : tidak tamat SD
Pekerjaan :-
Pasien masuk ke UGD Jiwa RSKD pada tanggal 21 desember 2017 untuk
kedua kalinya diantar oleh ibu kandung pasien. Dan dirawat di perawatan
Sawit.
II. RIWAYAT PSIKIATRI
Diperoleh dari catatan medis, autoanamnesis, dan alloanamnesis dari :
Nama : Ny. K
Umur : 40 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat :Toppara, kel. Batu Bolong, Sinjai Borong
Hubungan dengan pasien : Ibu kandung pasien
A. Keluhan Utama:
Mengamuk
17
mengamuksejak 1 minggu dan memberat sejak 2 hari yang lalu. Pasien
berteriak setelah diejek dengan sebutan orang gila oleh penjaga
warung saat membeli rokok. Pasien tidak tidur satu hari, makan dan
minum tidak teratur, perawatan diri kurang.
Awal perubahan perilaku kurang lebih 2 tahun yang lalu, pada
tahun 2015. Pada waktu itu pasienmengamuk, merusak barang, marah-
marah, mondar-mandir di dalam rumah, dan tidak tidur selama 2 hari.
Sebelum mengamuk pasien mengalami gelisah selama 3 bulan yang
menurut keluarganya pasien mengalami masalah yang tidak diketahui
oleh keluarga. Pasien kemudian dirawat selama 1 bulan. Setelah
keluar dari RSKD pasien tidak pernah kontrol dan putus obat. Selama
keluar dari RSKD pasien mulai membaik tetapi hanya bertahan 1 bulan
kemudian gelisah muncul tidak sampai mengganggu orang lain
sehingga keluarga membiarkan saja hingga bulan desember 2017
pasien mengamuk sehingga keluarga membawanya lagi ke RSKD
untuk kedua kalinya.
1. Hendaya Fungsi
Hendaya dalam bidang sosial : ada
Hendaya dalam aspek pekerjaan : ada
Hendaya dalam penggunaan waktu senggang: ada
2. Faktor stressor psikososial :tidak diketahui
3. Hubungan gangguan sekarang dengan gangguan riwayat penyakit
fisik dan psikis sebelumnya
Riwayat infeksi : tidak ada
Riwayat trauma : tidak ada
Riwayat kejang : tidak ada
Riwayat NAPZA : ada. merokok + (1/2 bungkus per hari)
C. Riwayat Gangguan Psikiatri Sebelumnya
Riwayat penyakit yang sama sebelumnya ada. Keluhan dan gejala
pertama kalinya dirasakan sejak tahun 2015. Pada saat itu pasien
mengamuk dan dirawat selama 1 bulan. Setelah keluar dari RSKD
18
pasien tidak pernah kontrol kembali dan pengobatan terputus.Setelah
keluar dari RSKD pasien tidak pernah kontrol dan putus obat. Selama
keluar dari RSKD pasien mulai membaik tetapi hanya bertahan 1 bulan
kemudian gelisah muncul tidak sampai mengganggu orang lain
sehingga keluarga membiarkan saja hingga bulan desember 2017
pasien mengamuk sehingga keluarga membawanya lagi ke RSKD
untuk kedua kalinya.
19
6. Riwayat Masa Dewasa
a. Riwayat Pendidikan
Pasien besekolah sampai kelas 4 SD
b. Riwayat Pekerjaan
Pasien membantu orang tua dalam pekerjaan rumah sebelum
sakit 2 tahun yang lalu.
c. Riwayat Pernikahan
Keterangan:
: Laki-laki
: Perempuan
: Pasien
: Meninggal
20
: Menikah
b. Status Neurologi
Gejala rangsang selaput otak : kaku kuduk (-), kernig’s sign (-)/(-),
pupil bulat dan isokor 2,5 mm/2,5 mm, reflex cahaya (+)/(+). Fungsi
motorik dan sensorik keempat ekstremitas dalam batas normal, dan
tidak ditemukan reflex patologis.
21
b. Keadaan afektif
1. Mood : eutimia
2. Afek : inappropriate
3. Empati : tidak dapat dirabarasakan
4. Keserasian : tidak serasi
c. Fungsi Intelektual (Kognitif)
1. Taraf pendidikan
Pengetahuan umum dan kecerdasan pasien sesuai dengan tingkat
pendidikannya yakni sampai kelas 4 SD.
2. Orientasi
a. Waktu : baik
b. Tempat : baik
c. Orang : baik
3. Daya ingat
a. Jangka panjang : baik
b. Jangka pendek : baik
c. Jangka segera : baik
4. Konsentrasi dan Perhatian : cukup
5. Pikiran abstrak : cukup
6. Bakat Kreatif : tidak ada
7. Kemampuan menolong diri sendiri : kurang
22
e. Proses Berfikir
1. Produktivitas : cukup
2. Kontuinitas : cukup relevan
3. Hendaya berbahasa : tidak ada
4. Isi pikiran
Preokupasi : tidak ada
23
Awal perubahan perilaku kurang lebih 2 tahun yang lalu, pada tahun
2015. Pada waktu itu pasienmengamuk, merusak barang, marah-marah,
mondar-mandir di dalam rumah, dan tidak tidur selama 2 hari. Sebelum
mengamuk pasien mengalami gelisah selama 3 bulan yang menurut
keluarganya pasien mengalami masalah yang tidak diketahui oleh
keluarga. Pasien kemudian dirawat selama 1 bulan. Setelah keluar dari
RSKD pasien tidak pernah kontrol.Setelah keluar dari RSKD pasien tidak
pernah kontrol dan putus obat. Selama keluar dari RSKD pasien mulai
membaik tetapi hanya bertahan 1 bulan kemudian gelisah muncul tidak
sampai mengganggu orang lain sehingga keluarga membiarkan saja hingga
bulan desember 2017 pasien mengamuk sehingga keluarga membawanya
lagi ke RSKD untuk kedua kalinya.
Pada pemeriksaan status mental didapatkan kesadaran pasien
berubah, Mood eutimik, afek inapropriate, empati tidak dapat diraba
rasakan.Fungsi kognitif, taraf pendidikan, pengetahuan umum dan
kecerdasan sesuai dengan taraf pendidikan. Terdapat halusinasi auditorik
mendengar suara yang menyuruhnya membuat jimat penangkal
bahaya.Gangguan isi pikir berupa idea of refenrence, waham kebesaran.
Pasien merasa dirinya bisa membuat jimat penangkal bahaya dan pasien
merasa orang iri terhadap dirinya karena memiliki gangguan jiwa.
VI. EVALUASI MULTIAKSIAL
Aksis I:
24
berupa halusinasi auditorik, ideas of reference, waham kebesaran,serta
hendaya berat dalam fungsi sosial berupa ketidakmampuan membina relasi
dengan keluarga dan orang lain sehingga didiagnosis Gangguan Jiwa
Psikotik.
Pada pemeriksaan status internus dan neurologis tidak ditemukan
adanya kelainan yang mengindikasikan gangguan medis umum yang dapat
menimbulkan gangguan otak, sehingga penyebab organik dapat
disingkirkan dan pasien dapat didiagnosis berdasarkan PPDGJ-III sebagai
Gangguan Jiwa Psikotik Non Organik.
Aksis II
Aksis III
Tidak ditemukan
Aksis IV
Aksis V
25
Tidak ditemukan kelainan fisik bermakna, namun karena terdapat
ketidakseimbangan neurotransmitter maka memerlukan
farmakoterapi.
- Psikologik
Ditemukan adanya hendaya berat dalam menilai realita berupa adanya
halusinasi auditorik, ides of reference dan waham kebesaran, yang
menimbulkan gejala psikis sehingga pasien memerlukan psikoterapi.
- Sosiologi
Didapatkan adanya hendaya dalam bidang sosial, pekerjaan dan
penggunaan waktu senggang, sehingga memerlukan sosioterapi.
VIII. PROGNOSIS :
Dari hasil alloanamnesis, didapatkan keadaan-keadaan berikut ini
Prognosis : Dubia adbonam
a. Faktor yang mendukung kearah prognosis baik:
– Gejala positif yang menonjol
– Tidak ada kelainan organik
– Riwayat yang sama dalam keluarga tidak ada
b. Faktor yang mendukung kearah prognosis buruk
- Pasien tergolong usia muda
- Onset kronik dan sering kambuh
- Ketidakpatuhan pasien meminum obat
- Pasien merasa dirinya tidak sakit
26
b. Psikoterapi
- Suportif
Memberikan dukungan kepada pasien untuk dapat membantu
pasien dalam memahami dan menghadapi penyakitnya. Memberi
penjelasan dan pengertian mengenai penyakitnya, manfaat
pengobatan, cara pengobatan, efek samping yang mungkin timbul
selama pengobatan, serta memotivasi pasien supaya mau minum
obat secara teratur.
- Sosioterapi
Memberikan penjelasan kepada orang-orang terdekat pasien
sehingga bisa menerima keadaan pasien dan memberikan
dukungan moral serta menciptakan lingkungan yang kondusif
untuk membantu proses penyembuhan dan keteraturan pengobatan.
X. FOLLOW UP
Memantau keadaan umum pasien serta perkembangan penyakitnya,
selain itu menilai efektifitas terapi dan kemungkinan efek sampingnya.
XI. DISKUSI
Skizofrenia adalah gangguan psikotik dan paling sering ditemukan.
Hampir 1% penduduk didunia menderita skizofrenia selama hidup mereka.
Gejala skizofrenia biasanya muncul pada usia remaja akhir atau dewasa
muda. Gejala skizofrenia yang paling menonjol adalah waham dan
halusinasi. Skizofrenia terbagi menjadi beberapa subtipe berdasarkan
variabel kliniknya yaitu skizofrenia paranoid, skizofrenia disorganisasi,
skizofrenia katatonik, skizofrenia tak terinci, skizofrenia residual,
skizofrenia simpleks, depresi pasca skizofrenia, skizofrenia yang tak
tergolongkan.1,2
Berdasarkan DSM V, kriteria diagnosis skizofrenia:
27
a. Didapatkan dua gejala atau lebih di bawah ini, setiap gejala spesifik
dialami selama kurang lebih 1 bulan. Di antaranya:
- Waham
- Halusinasi
- Inkohorensia
- Tingkah laku katatonik
- Gejala-gejala negatif seperti emosi, dan lain-lain.
b. Untuk hasil yang lebih signifikan onset masalah tersebut, akan
mengganggu fungsi level satu atau dua lebih area seperti pekerjaan,
hubungan dengan relasi atau diri sendiri.
c. Tanda yang berulang selama kira-kira 6 bulan
d. Gangguan skizoaktif dan depresi atau gangguan bipolar, tetapi tidak
sering.
e. Masalah yang menyangkut penggunaan zat ataupun obat-obatan.3
a. Thought echo: isi pikiran diri sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun
isinya sama, namun kualitasnya berbeda;
28
Thought insertion or withdrawal: isi pikiran yang asing dari luar
masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil
keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal)
Thought broadcasting: isi pikirannya tersiar keluar sehingga
orang lain atau umum mengetahuinya.
b. Waham dikendalikan (delusion of control). waham dipengaruhi
(delusion of influence), atau "passivity", yang jelas merujuk pada
pergerakan tubuh atau pergerakan anggota gerak, atau pikiran,
perbuatan atau perasaan (sensations) khusus; persepsi delusional;
c. Halusinasi suara (audiotorik) yang berkomentar secara terus-
menerus terhadap perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal
pasien di antara mereka sendiri. atau jenis suara halusinasi lain yang
berasal dari salah satu bagian tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budayanya
dianggap tidak wajar serta sama sekali mustahil, seperti misalnya
mengenai identitas keagamaan atau pulitik, atau kekuatan dan
kemampuan "manusia super" (misalnya mampu mengendalikan
cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain).
Atau paling sedikit gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara
jelas dalam kurun waktu satu bulan atau lebih;
29
c. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement),
sikap tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas serea,
negativisme, mutisme dan stupor;
d. Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat masa bodo (apatis),
pembicaraan yang terhenti, dan respons emosional yang menumpul
atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari
pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas
bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau
medikasi neuroleptika;
e. Suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan dari beberapa aspek perilaku perorangan,
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, tak bertujuan, sikap malas,
sikap berdiam diri (self-absorbed attitude) dan penarikan diri
secara sosial.
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung
selama kurun waktu satu bulan atau lebih. Kondisi-kondisi yang
memenuhi persyaratan gejala tersebut tetapi yang lamanya kurang dari
satu bulan (baik diobati atau tidak) harus didiagnosis pertama kali
sebagai gangguan psikosis fungsional.
Diagnosis pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksan status mental. Dari anamnesis ditemukan gejala-gejala
yang mengarah dengan diagnosis Skizofrenia Paranoid. Skizofrenia
paranoid adalah tipe paling stabil dan paling sering. Berdasarkan
PPDGJ III, kriteria diagnosis skizofrenia paranoid:
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia dan sebagai tambahan:
1. Halusinasi yang harus menonjol yaitu suara-suara halusinasi yang
mengancam pasien atau memberi perintah, atau halusinasi
auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi peluit, mendengung,
atau bunyi tawa.
30
2. Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual
atau lain-lain perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin ada tetapi
jarang menonjol.
3. Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham
dikendalikan atau “passivity” dan keyakinan dikejar-kejar yang
beraneka ragam, adalah yang paling khas.
Gejala terlihat sangat konsisten, sering paranoid, pasien dapat atau
tidak bertindak sesuai dengan wahamnya.3
Psikoterapi bermanfaat untuk mengurangi atau menghilangkan
keluhan-keluhan dan mencegah kambuhnya pola perilaku maladaptif atau
gangguan psikologik. Psikoterapi dapat diberikan secara individual,
kelompok, atau pasangan sesuai dengan gangguan psikologis yang
dialaminya. Efek obat anti-psikosis secara relatif berlangsung lama,
sampai beberapa hari setelah dosis terakhir masih mempunyai efek klinis.
sehingga tidak langsung menimbulkan kekambuhan setelah obat
dihentikan, biasanya 1 bulan kemudian baru gejala sindrom psikosis
kambuh kembali.4
Obat anti-psikosis yang digunakan dalam mengatasi sindrom psikosis
anti-psikosis tipikal dan atipikal. tipikal mencakup golongan
phenothiazine, butyrophenon, diphenyl butyl piperidine dan atipikal
mencakup golongan benzamide, dibenzodiazepine, benzisoxazole.
Mekanisme kerja obat anti-psikosis tipikal adalah memblokade dopamine
pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak, khususnya di system limbik
dan system ekstrapiramidal (dopamine D2 receptor antagonist) sehingga
efektif untuk gejala positif sedangkan anti-psikosi atipikal untuk gejala
positif dan negatif.4
Pada pasien ini gejala positif lebih menonjol sehingga digunakan obat
anti-psikosis tipikal yaitu Haloperidol merupakan obat golongan
butyrophenon yang menurunkan ambang rangsang konvulsi,
memperlambat dan menghambat jumlah gelombang teta dan sama-sama
memiliki efek sedatif.Haloperidol selain menghambat efek dopamine juga
31
bisa meningkatkan turn over ratenya, efek sampingnya dapat
menimbulkan reaksi ekstrapiramidal syndrome yang insidensnya cukup
tinggi. Clozapine yang merupakan antipsikotik atipikal golongan
benzodiazepine memiliki efek samping sedatif yang tinggi sehingga
digunakan untuk menenangkan pasien.5
Pasien ini masuk dengan keluhan mengamuk yang tidak diketahui
penyebabnya, pasien sering mendengar suara-suara yang mengganggunya
sehingga pemberian obat ini dapat menenangkan pasien agar suara-suara
yang di dengar berkurang atau hilang dan pasien dapat tenang beristirahat.
4,5
Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam, dinilai dari faktor
pendukung ke prognosis buruk yaitu onset kronik dan sering kambuh,
pasien usia muda, pasien yang merasa bahwa dirinya tidak sakit dan tidak
membutuhkan pengobatan sehingga pasien putus obat.Faktor pendukung
ke prognosis baik yaitu tidak ada kelainan organik dan riwayat yang sama
dalam keluarga tidak ada.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan & Sadock. (2010). Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran ECG.
2. Elvira S, Hadisukanto G. (2010). Buku Ajar Psikiatri. Jakarta : Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Maslim, R. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa : Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika
Atmajaya.
4. Maslim, R. (2014). Panduan praktis penggunaan klinis obat psikotropik. edisi
3.Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
5. Gunawan SG, Nafrialdi RS, Elysabeth. (2011). Farmakologi dan terapi. Edisi
5. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
33
LAMPIRAN
WAWANCARA
DM : permisi Pak Rusdi.. saya ulul dokter muda, boleh saya minta
waktunya sebentar? boleh saya tanya-tanya pak?
P : iya..
DM : bapak namanya siapa?
P : Rusdi
DM : bagaimana kabarta hari ini ?
P : bagusji
DM : kenapa ki dibawa ke sini?
P : karena suka ka marah-marah
DM : marah-marah bagaimana?
P : saya mau pukul orang
DM : kenapaki mau pukul orang?
P : tidak baikki penglihatan ku sama orang, semua orang tidak baik kuliat
DM : kalo orang disini tidak baik juga kita liat?
P : takutka sama orang disini. Di kampungku ji semua orang tidak baik
kuliat.
DM : Dimana kampung ta kah?
P : Di Sinjai Bolong
DM : itu saja marah-marah? Tidak ada kita dengar bisikan-bisikan?
P : kalau bisikan banyak sekali ku dengar
DM : itu bisikan selalu kita dengar?
P : kadang dengar kadang tidak
DM : suaranya siapa kita dengar? Perempuan atau laki-laki?
P : semua ada, ada perempuan ada laki-laki
DM : apa na bilang itu suara?
P : selalu na sebut namaku bilang Rusdi, Udi, atau Muhammad. Karena
saya berhenti sekolah jadi hilang Muhammadnya.
DM : apa hubungannya berhenti sekolah dengan hilang namata?
P : (senyum-senyum)
34
DM : Kita lihat itu orangnya yang punya suara ?
P : tidak ku lihat. Na perintahkanka bikin jimat-jimat untuk melindungi
diri.
DM : oh bisaki bikin jimat-jimat?
P : iya bisa. Mauki lihat jimatnya?
DM : oh ada kah kita bawa? Lihatka bede
P : (mengambil jimat berupa kalung yang di pakai dileher)
DM : apa itu?
P : ini jimat penangkal parakang
DM : apa isinya itu?
P : tidak sembarang ini. Ini isinya ayat suci Al-Qur’an
DM : jadi kita bikin ini? Berdasarkan suara-suara yang suruhki?
P : iya saya bikin ini. Saya tidak pernah judi. Saya tidak memerintah
setan, bukan setan ini. Saya yang ku percaya itu malaikat bukan setan.
DM : kapan kita bikin ini?
P : saya bikin ini di dalam. Saya robek buku doanya ini temanku bawa
orang Pangkep.
P : bukan cuma ini kekuatanku. Jadi kalau kita ambil ini jimat tidak apa-
apa.
DM : kapan kita baca ini?
P : saya tidak baca, saya pake saja di leher.
DM : bisa kita baca ini?
P : saya tidak tahu mengaji
DM : jadi kita gunakan untuk apa ini?
P : saya biasa gantung di leher atau diikat di pinggang supaya jadi
penangkal parakang
DM : pernah ki didatangi parakang?
P : tidak pernah
DM : kenapa pade takutki sama parakang?
P : saya dengar cerita orang dulu, ada parakang bermata besar. Ada orang
juga yang naparakangi orang lain.
35
DM : jadi takutki parakang kalo ada ini jimat ?
P : iya takut parakang
DM : jadi kalau saya ambil ini jimat takutki?
P : tidak. Saya berserah diri saja sama Tuhan yang Maha Esa
DM : kita merasa ada orang yang iri sama kita atau benci sama kita?
P : iya ada
DM : siapa itu kira-kira? Kita tahu orangnya?
P : tidak tahu saya tidak bisa tentukan. Saya tidak mau sebut nama.
DM : kira-kira dia iri kenapa?
P : karena saya sinting. Jadi dia hina ka. Dia bilang saya orang gila
padahal perasaan saya tidak gila.
DM : lalu kenapaki dibawa kesini?
P : saya selalu menyendiri, keluarga saya tidak tahu, saya tidak cocok
bercerita kepada sesama laki-laki. Saya pusing kalau sama laki-laki.
DM : jadi temanta kebanyakan perempuan?
P : tidak juga. Laki-laki sama perempuan sama saja.
DM : apa kegiatanta kalau dirumah?
P : saya tidak bekerja tetapi saya bisa mengerjakan pekerjaan perempuan
yaitu membersihkan dan membereskan rumah.
DM : pernah ki bekerja?
P : saya pemalas, saya tidak pernah bertani atau bekerja di kebun.
DM : siapa saja temanta? Yang biasa kita temani kumpul-kumpul? Kita kan
masih muda mungkin sukaki nongkrong.
P : sepupu saya yang tinggal di desa sebelah tetapi masih satu kecamatan.
Saya bosan dengan teman di desa saya. Saya pusing. Saya suka teman
baru.
DM : jadi kita suka tinggal disini karena banyak orang baru kita kenal?
P : iya, saya senang disini
DM : apa biasa kita bikin kalau kumpul-kumpul sama temanta? Minum-
minum kah atau merokok kah?
36
P : saya tidak pernah minum-minum, kalau melihat pernah tapi saya tidak
mau coba. Kalo merokok, saya merokok.
DM : berapa bungkus 1 hari kita hisap rokok?
P : 2 batang per hari, 1 batang siang hari 1 batang lagi lalu saya tidur.
DM : pernah ki konsumsi obat-obatan yang bisa bikin kuat kerja atau pas ki
kumpul-kumpul ada temanta tawariki bisa bikin enak perasaan?
P : tidak, saya tidak pernah minum obat-obat larangan.
DM : oh jadi tidak pernah ji minum obat-obat
P : iya tidak pernah. Bukan orang sadar itu yang pakai jimat-jimat, orang
sinting ji itu yang pakai begituan.
DM : kita yang punya ini tadi jimat-jimat, kita yang bikin jadi kita merasa
bagaimana?
P : nanti ada orang mau potong leherku, jadi kalau na lihat itu jimat
takutki sama saya.
DM : kita merasa ada orang yang tidak suka sama kita atau ada mau
celakakan ki?
P : biasa saya melihat tikus sama ular. Bukan ular sembarangan, kalau
saya marah, tikus sama ular itu langsung lenyap.
DM : dimana kita lihat itu?
P : di situ di kamar mandi
DM : kita sekolah sampai kelas 4 SD, kenapa kita tidak lanjut sekolah?
P : karena terganggu pikiranku
DM : apa yang mengganggu pikiranta?
P : saya dulu punya cinta monyet sama teman saya, saya tidak bisa
berkonsentrasi jika ujian. Itu sangat mengganggu pikiran saya, jadi saya
tinggal kelas.
DM : kenapaki tidak lanjut sekolahta? Tidak dipanggilki lagi masuk
sekolah?
P : saya dipanggil tapi tidak mauma.
DM : pak rusdi saya mau tanyaki kira-kira sepeda sama motor apanya
sama?
37
P : kalau sepeda bahan bakarnya bukan bensin, kalau motor bahan
bakarnya bensin.
DM : kalau misalnya dapatki dompet ditengah jalan ada isinya uang
100.000 kita apakan itu dompet?
P : yaa dikembalikan ke pemiliknya, uangnya saya belikan rokok.
DM : bagaimana hubunganta dengan keluargata?
P : baikji. Semua saudara-saudaraku sayang sama saya.
38