Anda di halaman 1dari 41

BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA LAPORAN KASUS,REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JANUARI 2018


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

LAPORAN KASUS : SKIZOFRENIA PARANOID (F20.0)


REFERAT : WORK LIFE BALANCE

OLEH :
Ulul Azmi Rumalutur
111 2016 2040

PEMBIMBING RESIDEN :
dr. Yuliana

SUPERVISOR PEMBIMBING :
dr. Erlyn Limoa, ph.D, Sp.KJ

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

Nama : Ulul Azmi Rumalutur


NIM : 111 2016 2040
Judul Referat : Work Life Balance
Judul Laporan Kasus : Skizofrenia Paranoid (F20.0)

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Psikiatri
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Makassar, …. Januari 2018

Mengetahui,
Supervisor Pembimbing Pembimbing Residen

dr. Erlyn Limoa, ph.D, Sp.KJ dr. Yuliana


LEMBAR PERSETUJUAN

Telah didiskusikan dan disetujui untuk dipresentasikan Refarat dengan judul “WORK
LIFE BALANCE” dan Laporan Kasus dengan judul “SKIZOFRENIA
PARANOID ” pada:

Hari :
Tanggal :
Jam :
Tempat : RSKD Provinsi Sulawesi Selatan

Makassar, ….Januari 2018

Mengetahui,

Supervisor Residen Pembimbing

dr. Erlyn Limoa,Ph.D, Sp.KJ dr. Yuliana


DAFTAR ISI

REFERAT WORK-LIFE BALANCE


BAB I PENDAHULUAN
I Latar Belakang 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi 3
2.2 Pentingnya Work life Balance 4
2.3 Pengukuran Work life Balance 6
2.4 Aspek-Aspek Work life Balance 7
2.5 Faktor-faktor yang mempengaru WLB 8
2.6 Strategi untuk menciptakan WLB 10
2.7 Work life Balance dan hasil kerja 11
BAB III KESIMPULAN
Kesimpulan 15

1
BAB I
PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG

Istilah "WORK-LIFE BALANCE (WLB)" diciptakan pada tahun 1986,


meskipun penggunaannya dalam bahasa sehari-hari telah dibuat selama beberapa
tahun. Menariknya, program kerja / kehidupan ada pada awal tahun 1930an.
Kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh sebuah organisasi dengan tujuan
untuk memungkinkan karyawan melakukan pekerjaan mereka secara efisien dan
pada saat yang sama memberikan keleluasaan untuk menangani masalah pribadi
atau masalah dengan keluarganya; Keluarga dengan upah rata-rata pada umumnya
bekerja lebih lama. Keseimbangan kerja dan kehidupan seharusnya ada bila ada
fungsi yang tepat di tempat kerja dan di rumah dengan konflik yang minimal.
Oleh karena itu, ketidakcocokan antara tuntutan dari ranah kerja dan non-kerja
menimbulkan konflik dan akibatnya orang mengalami kekurangan WLB.
Ada konfirmasi fakta bahwa orang-orang yang memasuki dunia kerja saat
ini menekankan pentingnya WLB lebih dari pendahulunya. Terlepas dari ini,
sejauh mana keseimbangan ini dicapai jauh lebih kecil daripada yang diinginkan.
Kenyataannya, penelitian mengatakan bahwa lulusan ditarik ke dalam situasi di
mana mereka harus bekerja lebih lama dan dengan demikian mengalami
keseimbangan yang semakin tidak memuaskan antara kehidupan rumah dan
kehidupan kerja
Pada era globalisasi ini pekerjaan merupakan tujuan utama seseorang
dalam meraih aktualisasi diri terhadap potensi yang dimiliki. Perjalanan dalam
kerja, sebagaian besar orang mulai merasakan ada hal lain yang harus mereka
perhatikan selain bekerja. Hal yang dimaksud adalah kesehatan mental seorang
pekerja. Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan
diri sendiri, dengan orang lain, dan dengan masyarakat. Peran kesehatan mental
karyawan di tempat kerja telah menerima perhatian meningkat dalam tahun
terakhir dalam literatur organisasi. Seseorang yang memiliki kesehatan mental

2
yang rendah akan mengganggu dalam pekerjaan dan kehidupannya. Tuntutan
seseorang akan adanya tugas-tugas pekerjaan yang membuat para pekerja
kelelahan dan tidak bisa menyelesaikan tugasnya akan berdampak pada kesehatan
mentalnya.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI WORK LIFE BALANCE


Para ahli mengatakan tidak ada definisi tunggal, tapi umumnya
mereka setuju work life balance diartikan sebagai kepuasan terhadap
seluruh hidup seseorang -profesional dan pribadi- dan itu bisa dicapai
bahkan saat bekerja berjam-jam.1
Work life balance tidak berarti keseimbangan yang seimbang.
mencoba menjadwalkan jumlah jam yang sama untuk setiap aktivitas
dan aktivitas pribadi biasanya tidak menguntungkan dan tidak realistis.
Work life balance terbaik individu akan bervariasi dari waktu ke
waktu, dan hampir setiap hari. Keseimbangan yang tepat
hari ini mungkin akan berbeda dengan besok, keseimbangan yang tepat
saat lajang akan berbeda saat setelah menikah, atau jika memiliki anak;
ketika memulai karir baru berbeda saat mendekati masa pensiun.
Tidak ada yang sempurna, satu ukuran cocok untuk semua,
keseimbangan yang harus diupayakan. Keseimbangan kehidupan kerja
terbaik berbeda untuk masing-masing individu karena semua memiliki
prioritas dan kehidupan yang berbeda.1
Namun, WLB didefinisikan sebagai “Jumlah waktu yang
dihabiskan untuk melakukan pekerjaan dibandingkan dengan jumlah
waktu yang dihabiskan bersama keluarga dan melakukan hal-hal yang
disukai” Ini sulit untuk mendapatkan keseimbangan kehidupan kerja
yang baik.1
Para ahli mengatakan bahwa kesuksesan tidak hanya terletak pada
penentuan bagaimana individu ingin menghabiskan waktunya dengan
baik, namun dengan memastikan dapat menyesuaikan hidup dan
pekerjaan seiring kebutuhan yang berubah. Terkadang bahkan
perubahan kecil pun bisa membuat perbedaan. Jadwal yang tidak
terkendali dan kehidupan rumah yang tidak terkendali dapat

4
menyebabkan depresi, kinerja buruk di tempat kerja, dan konflik
dengan keluarga dan perasaan kelelahan.1
WLB adalah keadaan keseimbangan yang nyaman yang dicapai
antara prioritas utama pekerja mengenai posisi pekerjaan dan
kehidupan pribadi mereka. Tuntutan karir seorang pekerja seharusnya
tidak membatasi kemampuan individu untuk menikmati kehidupan
pribadi yang memuaskan di luar lingkungan kerjanya.1

2.2 PENTINGNYA WORK LIFE BALANCE


Teknologi telah memperbaiki kehidupan masyarakat dengan
berbagai cara. Orang bisa hidup lebih lama, hidup lebih sehat karena
kemajuan teknologi. Seorang siswa dapat mengakses sumber informasi
yang luas untuk menyelesaikan tugas dan seorang ibu dapat melihat
dan berbicara dengan anak perempuan yang berjarak ribuan mil
jauhnya. Kemajuan dalam cara orang mengakses informasi,
berkomunikasi satu sama lain, dan menyelesaikan tugas
memungkinkan fleksibilitas di tempat kerja. Ini juga menciptakan
kekurangan perbedaan antara waktu kerja dan keluarga. Penting untuk
menarik perbedaan antara pekerjaan dan kehidupan. Orang yang selalu
terikat dengan pekerjaan mereka menghadapi gejala stres dan
kelelahan. Jika seseorang tidak memiliki waktu untuk bersantai dan
mengisi ulang, kemampuan mereka untuk melakukan pekerjaan
mereka menurun dan tingkat kinerjanya turut menderita. Jadi, dari
sudut pandang manajemen, penting untuk mendorong seseorang agar
mengambil cuti dari pekerjaan daripada menghabiskan waktu berjam-
jam. Membuat jadwal yang memungkinkan seseorang melakukan
aktivitas yang mereka sukai akan membantu mereka menjadi
karyawan, teman, dan anggota keluarga yang lebih baik. Sekali waktu
untuk bekerja adalah selama orang tersebut perlu belajar berjalan
menjauh dari laptop dan tidak menjawab panggilan telepon seluler
untuk bekerja. Jenis keseimbangan ini tidak mudah dicapai karena

5
akan selalu ada orang yang ingin membuat tuntutan pada waktu
seseorang. Orang perlu belajar bahwa tidak apa-apa untuk mengatakan
tidak dan hanya setuju untuk melakukan tugas tambahan jika itu
penting. Tanpa menciptakan keseimbangan kehidupan kerja seseorang
tidak dapat meluangkan waktu untuk menikmati hidup yang telah
mereka kerjakan dengan sangat susah untuk diciptakan. Mereka tidak
tersedia untuk teman dan anggota keluarga, dan seringkali
menghilangkan stres pada orang yang mereka cintai. Mereka juga bisa
menderita penyakit dan gangguan fisik yang berasal dari stres
berkepanjangan seperti penyakit jantung, alkoholisme, dan bahkan
diabetes

2.3 PENGUKURAN WORK LIFE BALANCE


Mengembangkan dan memvalidasi ukuran keseimbangan
kehidupan kerja merupakan elemen penting untuk pemetaan
lingkungan kerja yang berlaku di organisasi mana pun telah diakui
sebagai alat penting bagi periset, praktisi manajemen untuk
memfasilitasi penelitian lanjutan di bidang ini.
Awalnya, keseimbangan kehidupan kerja diperkirakan dalam hal
konflik keluarga kerja, sejalan dengan model yang diajukan oleh
Greenhaus dan Beutell yang mencakup berbagai jenis konflik seperti
konflik berbasis waktu, konflik berbasis jenis dan konflik berbasis
perilaku. Model tersebut menghipotesiskan bahwa setiap atribut peran
yang mempengaruhi keterlibatan, ketegangan, atau perilaku seseorang
dalam suatu peran, dapat menimbulkan konflik antara peran itu dan
peran lain yang dimainkan oleh individu. Konflik berbasis waktu
terjadi ketika waktu yang dikhususkan untuk satu peran membuat sulit
untuk memenuhi tuntutan dalam peran lain. Konflik berbasis strain ada
ketika ketegangan psikologis yang dihasilkan dalam satu peran
berpengaruh pada fungsi peran individu lainnya. Model ini juga
menunjukkan bahwa konflik kerja berdasarkan jenis pekerjaan

6
cenderung menjadi yang paling ketat bagi karyawan yang terpapar
terutama tuntutan kerja fisik, emosional, atau mental yang luas.
Konflik berbasis perilaku terjadi ketika perilaku spesifik yang efektif
dalam satu peran tidak sesuai dengan harapan perilaku dalam peran
lain.2
Marshall dan Barnett mengusulkan sebuah skala yang terdiri dari
empat dimensi untuk mengukur keuntungan dan ketegangan work-
family di antara pasangan produktif, yang mencakup ukuran
ketegangan dan keuntungan work-family seiring dengan ketegangan
dan keuntungan dari pekerjaan. Sementara, keuntungan work-family
merupakan keuntungan positif dari peran kerja dan keluarga,
ketegangan work-family berkaitan dengan sejauh mana individu
mengalami pengaruh buruk atau melampaui batas stres antara peran
yang berbeda. Ketegangan dan keuntungan work-parenting
menggambarkan keuntungan dan ketegangan menggabungkan peran
kerja dan peran orang tua secara individu.2
Konstruksi keseimbangan kehidupan kerja telah diukur dengan
berbagai cara. Konsep keseimbangan kehidupan kerja mungkin agak
menyesatkan, Hubungan sinergis antara pekerjaan dan rumah yang
seimbang jarang terjadi. Penelitian ini menggunakan lima skala yang
berbeda untuk mewakili keseimbangan kehidupan kerja yaitu konflik
peran, kepuasan kerja, kepuasan keluarga, fungsi keluarga dan
kewarganegaraan.2
Menurut Fisher Work life balance terdiri dari empat bagian yaitu:
 waktu, yaitu perbandingan antara jumlah waktu yang
dihabiskan di tempat kerja dan waktu untuk terlibat dalam
kegiatan lain,
 Perilaku individu di tempat kerja dan dalam kehidupan
pribadi,
 Ketegangan menjadi seorang sumber konflik antar peran
dan

7
 Energi menjadi sumber daya yang terbatas dan relevan bagi
karyawan untuk mencapai tujuan kerja dan / atau pekerjaan
yang tidak terkait.2
Selain itu, skala untuk mengukur tiga dimensi keseimbangan
kehidupan kerja yaitu, Work interference with personal life (WIPL),
Personal Life Interferensi With Work (PLIW) dan Work / Personal
Life Enhancement (WPLE) juga disertakan.2

2.4 ASPEK-ASPEK WORK-LIFE BALANCE


Greenhaus, Collins dan Shaw (2003) mengidentifikasikan tiga
aspek work-life balance, yaitu:
a.Time Balance : Keseimbangan jumlah waktu yang dihabiskan
individu untuk memenuhi tuntutan peran dalam pekerjaan dan
keluarga.Dalam hal ini, keseimbangan waktu yang dimiliki oleh
karyawan menentukan jumlah waktu yang dialokasikan oleh karyawan
pada pekerjaan maupun kehidupan pribadi mereka dengan keluarga.
Dengan demikian, karyawan tidak merasa terbebani oleh pekerjaan
yang dapat mengurangi waktu mereka berkumpul bersama keluarga.
Selain itu, karyawan juga tetap dapat menyelesaikan pekerjaannya
secara profesional tanpa adanya tuntutan keluarga yang terlalu menyita
waktu mereka.3
b. Involvement Balance: Keseimbangan keterlibatan psikologis
individu dalam memenuhi tuntutan peran dalam pekerjaan dan
keluarga. Dalam hal ini, ketika karyawan dapat terlibat secara fisik dan
emosional dalam pekerjaan dan keluarganya, maka involvement
balance akan tercapai.3
c. Satisfaction Balance: Keseimbangan kepuasan individu terhadap
tuntutan peran dalam pekerjaan dan keluarga. Dalam hal ini, kepuasan
karyawan akan muncul apabila karyawan menganggap bahwa apa
yang telah dilakukannya selama ini cukup baik dan dapat
mengakomodasi kebutuhan pekerjaan maupun keluarga.3

8
2.5 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI WORK-LIFE
BALANCE

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi work-life balance, yaitu:


a. Emotional Intelligence
Mayer dan Salovey (1997) menyatakan bahwa emotional
intelligence adalah kemampuan untuk memahami, mengakses dan
menghasilkan emosi untuk membantu pikiran, pengetahuan emosional dan
pertumbuhan intelektual. Dalam hal ini dijelaskan bahwa emotional
intelligence berperan penting dalam meningkatkan work-life balance
seseorang. Menurut Gardner & Goleman (1998), karyawan yang
menggunakan emotional intelligence akan mampu bekerja dalam tim,
mengurangi stres, merasa termotivasi dalam bekerja, mengembangkan
empati, memiliki komunikasi yang baik dengan rekan kerja serta dapat
mengatur waktu, memenuhi kebutuhan dan membangun hubungan yang
baik dengan anggota keluarga.4
b. Spiritual Intelligence
Spiritual intelligence memiliki banyak efek pada kehidupan
individu, terutama di tempat kerja dan di keluarga (Sum, 2005). Menurut
Emmons (2000), individu yang memiliki spiritual intelligence mampu
memanfaatkan sumber daya spiritual untuk memecahkan masalah.
Spiritual intelligence berperan sebagai motivasi untuk menyeimbangkan
peran di tempat kerja dan di keluarga sehingga individu dapat
meningkatkan work-life balance (Tekkeveettil, 2005). 5
c. Job Engagement
Job engagement adalah keadaan dimana individu secara emosional
dan intelektual berkomitmen untuk organisasi yang tampak melalui
produktivitas dan loyalitas terhadap organisasi (Jawaharrani & Susi,
2010). Schaufeli, Salanova, Gonzalez-Roma dan Bakker (2002) secara
khusus mendefinisikan job engagement sebagai pemenuhan pekerjaan

9
yang terkait dengan pikiran yang dilakukan dengan semangat dan dedikasi
yang tinggi. Jawaharrani & Susi (2010) dalam penelitiannya menyatakan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara job engagement dan work-life
balance Pada karyawan. Dalam hal ini, karyawan yang terikat dengan
pekerjaannya cenderung memiliki komitmen dan dedikasi yang tinggi
dalam pekerjaan sehingga mereka akan mampu mengelola work-life
balance yang baik (Jawaharrani & Susi, 2010).5
d. Organizational Support
Work-life balance tidak hanya menjadi tanggung jawab karyawan,
tetapi juga organisasi. Dalam hal ini, organisasi berperan untuk membantu
karyawan dalam menyeimbangkan peran di tempat kerja dan keluarga
dengan cara memberikan dukungan yang diperlukan karyawan untuk
mempertahankan work-life balance mereka (Eisenberger, Huntington,
Hutchison & Sowa, 1986). 6
Organisasi yang memberikan dukungan berarti menghargai
kontribusi karyawan dan peduli terhadap kesejahteraan mereka
(Eisenberger, dkk, 1986). Di sisi lain, organisasi yang peduli terhadap
work-life balance karyawan akan menunjukkan dukungan melalui
program dan kebijakan yang menekankan pada work-life balance
karyawan (McCarthy, Cleveland, Hunter, Darcy, & Grady,2013). Dalam
penelitian ini dijelaskan bahwa upaya tersebut memiliki dampak positif
terhadap work-life balance karyawan (McCarthy, dkk, 2013).6
e. Work Overload
Work-overload merupakan salah satu faktor utama yang
mempengaruhi work-life balance. Leiter & Schaufeli (1996) menyatakan
bahwa karyawan yang mengalami work-overload cenderung merasa
kelelahan sehingga mempengaruhi motivasi karyawan dalam menanggapi
tuntutan peran yang lain, seperti keluarga. Menurut Aryee, Srinivas & Tan
(2005), ketika karyawan bekerja terlalu keras, mereka cenderung tidak
memberikan hasil yang baik. Vogel (2012) dalam penelitiannya
menambahkan bahwa karyawan yang kelebihan beban pekerjaan sering

10
merasa frustrasi dan merasa bahwa mereka tidak mampu menyeimbangkan
peran di tempat kerja dan keluarga dengan baik. 6
f. Technology Advancement
Menurut Lester (1999), Technology advancement baik untuk
membantu menyelesaikan pekerjaan secara fleksibel karena dapat diakses
dengan mudah dan cepat. Namun dalam penelitiannya juga dijelaskan
bahwa teknologi dapat menghambat work-life balance seseorang karena
waktu dan peran di keluarga menjadi berkurang (Lester, 1999). Stephens,
McGowan, Stoner, dan Robin (2007) menyatakan bahwa teknologi
membuat beberapa kehidupan kurang fleksibel dan mengakibatkan
kesulitan dalam menjaga work-life balance seseorang. Hal ini didukung
oleh Waller dan Ragsdell (2012) yang menemukan bahwa teknologi
memiliki dampak negatif pada karyawan di luar jam kerjanya.
Berdasarkan uraian di atas, maka faktor-faktor yang mempengaruhi work-
life balance adalah emotional intelligence, spiritual intelligence, job
engagement, organizational support, work overload dan technology
advancement.6

2.6 STRATEGI UNTUK MENCIPTAKAN WORK-LIFE BALANCE

Menurut Preeti Singh dan Parul Khanna (2011) telah merumuskan


10 strategi untuk menumbuhkan “ Work Life Balance “ yaitu :
1. Jam kerja yang fleksibel , menyediakan penyusunan waktu yang
fleksibel dan dapat dikonsultasikan untuk seluruh karyawan.
2. Kerja paruh waktu, menyediakan lebih banyak kerja paruh waktu
dengan jam atau shift yang lebih sedikit atau penyusunan pembagian
kerja untuk seluruh karyawan.
3. Jam kerja yang masuk akal, mengurangi lama waktu kerja yang
berlebihan.

11
4. Akses untuk penanganan anak, meningkatkan akses untuk penanganan
anak dengan fasilitas penanganan anak di kantor bagi yang
membutuhkan fasilitas tersebut.
5. Penyusunan pekerjaan yang fleksibel, menyediakan fleksibilitas yang
lebih baik dalam penyusunan pekerjaan untuk menyesuaikan kondisi
personal karyawan, termasuk menyediakan waktu penuh untuk
anggota keluarga.
6. Cuti harian, mengizinkan karyawan untuk meminta dan mengambil
cuti dalam waktu harian.
7. Mobilitas pekerjaan, menyediakan mobilitas yang lebih baik untuk
karyawan dapat berpindah dari rumah sakit, tempat kerja dan layanan
kesehatan untuk menemukan penyusunan pekerjaan yang lebih sesuai.
8. Keamanan dan kesejahteraan, meningkatkan keamanan, kesejahteraan
dan rasa hormat untuk seluruh karyawan di tempat kerja.
9. Akses telepon, memastikan seluruh karyawan dapat menerima telepon
atau pesan mendesak dari keluarga mereka di tempat kerja, dan
mendapat akses telepon untuk tetap dapat menghubungi keluarga
mereka selama jam kerja.1

2.7 WORK LIFE BALANCE DAN HASIL KERJA

Ketidakmampuan karyawan untuk menyeimbangkan tanggung jawab kerja


dan kehidupan dapat berkontribusi terhadap kinerja organisasi dalam hal
peningkatan absensi & omset, berkurangnya produktivitas dan penurunan
kepuasan kerja. Keseimbangan kehidupan kerja secara signifikan terkait dengan
kepuasan kerja. Banyak peneliti telah menetapkan bahwa praktik manajemen
kesejahteraan terhadap karyawan membantu mencapai tingkat kepuasan kerja
yang lebih tinggi dan komitmen yang lebih kuat terhadap organisasinya.
Keeton dkk mengeksplorasi faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan
karir, keseimbangan kehidupan kerja, dan kelelahan di kalangan dokter. Mereka
mengamati bahwa baik wanita maupun pria sangat puas dengan karir mereka
sementara hanya cukup puas dengan keseimbangan kehidupan kerja dan

12
ketahanan emosional. Temuan penelitian ini mengungkapkan bahwa
keseimbangan kehidupan kerja dikaitkan secara signifikan dengan kepuasan karir
dan hubungan tersebut dimediasi oleh faktor kunci, yaitu kontrol atas jadwal,
jumlah jam kerja, status perkawinan, dan memiliki tanggungan anak di rumah
tangga. Selain itu, pergeseran generasi dan gender juga memberi kontribusi yang
kuat dan signifikan terhadap kepuasan karir, keseimbangan kehidupan kerja, dan
kelelahan, sementara usia yang lebih tua dikaitkan secara konsisten dengan
keseimbangan kehidupan kerja dan kurang kelelahan.
Ilies, Wilson, & Wagner meneliti peran integrasi keluarga kerja dalam
meningkatkan kepuasan kerja sehari-hari pada kepuasan perkawinan dan keadaan
emosional harian yang dialami oleh karyawan di rumah. Sampel yang dipilih dari
karyawan universitas termasuk profesional administrasi, supervisor, dan pegawai
teknik teknis, mengindikasikan bahwa karyawan dengan kepuasan kerja yang
lebih tinggi setiap hari mengalami penurunan efek negatif di rumah. Smith K. T
dalam studinya tentang perspektif keseimbangan kehidupan kerja Millennial
(mereka yang lahir antara tahun 1980 dan 1995) bahwa keseimbangan kehidupan
kerja memiliki prioritas lebih tinggi untuk pekerja generasi sekarang
dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
para incumben menganggap keseimbangan kerja kerja yang sehat sebagai sumber
vital bagi kualitas kerja, kinerja, pengambilan keputusan etis, dan kepuasan kerja
jangka panjang dan umumnya menolak pembayaran ekstra sebagai pengganti
liburan dan waktu luang. Saif, Malik & Awan meneliti hubungan antara kepuasan
kerja karyawan dan prevalensi praktik kerja keseimbangan (WLB) di antara
korban PHK di dua organisasi besar yang beroperasi di Pakistan. Hasil analisis
regresi menunjukkan hubungan positif antar variabel tanpa adanya perbedaan
yang signifikan antara manajemen tingkat atas, menengah dan bawah. Noor
mengidentifikasi hubungan antara keseimbangan kerja-kerja yang dirasakan dan
niat untuk meninggalkan kalangan akademisi di institusi pendidikan tinggi
Malaysia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepuasan yang dirasakan dengan
keseimbangan hidup kerja berkorelasi negatif dengan niat untuk meninggalkan
organisasi yang sebagian dimediasi oleh kepuasan kerja dan komitmen

13
organisasional. Maeran, Pitarelli & Cangiano melakukan studi eksplorasi untuk
menganalisis hubungan antara keseimbangan kehidupan kerja dan kepuasan kerja
antar guru di Italia. Studi tersebut menyelidiki peran konflik keluarga kerja dan
pengayaan keluarga kerja dan sebaliknya terhadap pekerjaan tersebut. Penulis
melaporkan korelasi negatif antara konflik kerja-keluarga dan konflik keluarga
terhadap kepuasan kerja, serupa dengan penelitian sebelumnya di bidang ini.
Shankar & Bhatnagar meneliti literatur di bidang Work-Life Balance dan
mengusulkan sebuah model konseptual. Model ini berfokus pada korelasi
konstruksi Work-Life Balance dengan variabel lain yaitu keterlibatan karyawan,
konsonan emosional / disonansi dan niat berpindah. Studi ini menunjukkan bahwa
keseimbangan kerja yang lebih tinggi menyebabkan keterlibatan karyawan yang
tinggi, dan niat rendah untuk berhenti. Rani, Kamalanabhan & Selvarani
menunjukkan hubungan antara kepuasan kerja dan keseimbangan kerja di antara
karyawan yang bekerja di organisasi TI di chennai, India. Penelitian ini
mengungkapkan adanya korelasi yang tinggi antara tugas kerja dan kepuasan
kerja dengan WLB sebagai variabel mediator. Hasil penelitian menunjukkan
hubungan positif antara kepuasan dan variabel kepuasan karyawan seperti peluang
karir, pengakuan, tugas kerja, tunjangan, kerja / keseimbangan hidup dan atasan
bawahan.

14
BAB III
KESIMPULAN
Konsep keseimbangan kehidupan kerja telah menarik perhatian tidak
hanya organisasi yang berbeda tetapi juga peneliti dan praktisi SDM. Hal ini
terutama dapat dikaitkan dengan tuntutan kerja yang terus meningkat seiring
dengan meningkatnya tuntutan keluarga karena perlunya pasangan bekerja dan
mencari pencapaian pribadi dalam kehidupan pribadi.

keluarga dan pekerjaan dikatakan sebagai landasan untuk menjadi manusia


dan keduanya sangat penting untuk kebahagiaan. Namun, memenuhi tuntutan
masing-masing cukup sulit. Dengan berpikir berbeda, kita mungkin bisa
menemukan cara untuk memiliki keseimbangan yang lebih baik antara pekerjaan
dan rumah. Bukti menunjukkan bahwa perbaikan dalam praktik pengelolaan
orang, terutama waktu kerja dan fleksibilitas lokasi kerja, dan pengembangan
manajer yang mendukung, berkontribusi terhadap peningkatan keseimbangan
kehidupan kerja. Program keseimbangan kehidupan kerja telah terbukti
berdampak pada karyawan dalam hal perekrutan, retensi / turnover, komitmen dan
kepuasan, ketidakhadiran, produktivitas dan tingkat kecelakaan. Perusahaan yang
telah menerapkan program keseimbangan kehidupan kerja menyadari bahwa
kesejahteraan karyawan mempengaruhi jalur utama bisnis. Parameter diperlukan
untuk memastikan bahwa program memiliki efek yang diinginkan pada karyawan
dan perusahaan. Enam parameter yang dapat digunakan untuk mengevaluasi
program keseimbangan kehidupan kerja adalah: tingkat pembelian dan pelatihan
manajemen, bagaimana program dikomunikasikan kepada karyawan, budaya
perusahaan, pengendalian manajemen, kebijakan sumber daya manusia dan
pengendalian karyawan. Akhirnya, pengelolaan diri itu penting; Orang perlu
mengendalikan perilaku dan harapan mereka sendiri mengenai keseimbangan
kehidupan kerja.

15
DAFTAR PUSTAKA
1. Meenakshi. S. Pattu, dkk. “The Importance of Work-Life-Balance” in
IOSR Journal of Business and Management (IOSR-JBM) e-ISSN: 2278-
487X, p-ISSN: 2319-7668. Volume 14, Issue 3 (Nov. - Dec. 2013), PP 31-
35 www.iosrjournals.org
2. Shobitha Poulose & Sudarsan N. Work Life Balance: A Conceptual
Review in International Journal of Advances in Management and
Economics , March-April 2014, Vol.3 Available online at
www.managementjournal.info
3. Jeffrey H. Greenhaus, Karen M. Collins, and Jason D. Shaw. The relation
between work–family balance and quality of life Journal of Vocational
Behavior 63 (2003) 510–531. Available online at
www.elsevier.com/locate/jvb
4. Jhon D Mayer & Peter Salovey. Emotional Development and Emotional
Intelegence. 1997. A division of Harper Collins Publisher. New York.
5. Susi.S & Jawaharrani.K. Work-Life Balance: The key driver of employee
engagement. Asian journal of management research. 2010. Online open
access publishing platform for management research
6. Ioan lazăr professor ph.d, dkk. The Role of Work-Life Balance Practices
in Order to Improve Organizational Performance. European Research
Studies,Volume XIII, Issue (1), 2010
7. Remus Ilies, dkkk. The Spillover of Daily Job Satisfaction on to
Employees’ Family Lives: The Facilitating Role of Work-Family
Integration. Singapore Management University. 2009

16
LAPORAN KASUS
SKIZOFRENIA PARANOID (F20.0)

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. R
No. RM :
Umur : 27 tahun
Alamat : Toppara, kel. Batu Bolong, Sinjai Borong
Agama : Islam
Suku : Bugis
Status Perkawinan : Belum Menikah
Pendidikan : tidak tamat SD
Pekerjaan :-
Pasien masuk ke UGD Jiwa RSKD pada tanggal 21 desember 2017 untuk
kedua kalinya diantar oleh ibu kandung pasien. Dan dirawat di perawatan
Sawit.
II. RIWAYAT PSIKIATRI
Diperoleh dari catatan medis, autoanamnesis, dan alloanamnesis dari :
Nama : Ny. K
Umur : 40 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat :Toppara, kel. Batu Bolong, Sinjai Borong
Hubungan dengan pasien : Ibu kandung pasien
A. Keluhan Utama:
Mengamuk

B. Riwayat Perjalanan Penyakit Sekarang


Seorang pasien laki-laki berusia 27 tahun masuk UGD RSKD
untuk kedua kalinya dibawa oleh kakaknya dengan keluhan

17
mengamuksejak 1 minggu dan memberat sejak 2 hari yang lalu. Pasien
berteriak setelah diejek dengan sebutan orang gila oleh penjaga
warung saat membeli rokok. Pasien tidak tidur satu hari, makan dan
minum tidak teratur, perawatan diri kurang.
Awal perubahan perilaku kurang lebih 2 tahun yang lalu, pada
tahun 2015. Pada waktu itu pasienmengamuk, merusak barang, marah-
marah, mondar-mandir di dalam rumah, dan tidak tidur selama 2 hari.
Sebelum mengamuk pasien mengalami gelisah selama 3 bulan yang
menurut keluarganya pasien mengalami masalah yang tidak diketahui
oleh keluarga. Pasien kemudian dirawat selama 1 bulan. Setelah
keluar dari RSKD pasien tidak pernah kontrol dan putus obat. Selama
keluar dari RSKD pasien mulai membaik tetapi hanya bertahan 1 bulan
kemudian gelisah muncul tidak sampai mengganggu orang lain
sehingga keluarga membiarkan saja hingga bulan desember 2017
pasien mengamuk sehingga keluarga membawanya lagi ke RSKD
untuk kedua kalinya.
1. Hendaya Fungsi
Hendaya dalam bidang sosial : ada
Hendaya dalam aspek pekerjaan : ada
Hendaya dalam penggunaan waktu senggang: ada
2. Faktor stressor psikososial :tidak diketahui
3. Hubungan gangguan sekarang dengan gangguan riwayat penyakit
fisik dan psikis sebelumnya
Riwayat infeksi : tidak ada
Riwayat trauma : tidak ada
Riwayat kejang : tidak ada
Riwayat NAPZA : ada. merokok + (1/2 bungkus per hari)
C. Riwayat Gangguan Psikiatri Sebelumnya
Riwayat penyakit yang sama sebelumnya ada. Keluhan dan gejala
pertama kalinya dirasakan sejak tahun 2015. Pada saat itu pasien
mengamuk dan dirawat selama 1 bulan. Setelah keluar dari RSKD

18
pasien tidak pernah kontrol kembali dan pengobatan terputus.Setelah
keluar dari RSKD pasien tidak pernah kontrol dan putus obat. Selama
keluar dari RSKD pasien mulai membaik tetapi hanya bertahan 1 bulan
kemudian gelisah muncul tidak sampai mengganggu orang lain
sehingga keluarga membiarkan saja hingga bulan desember 2017
pasien mengamuk sehingga keluarga membawanya lagi ke RSKD
untuk kedua kalinya.

D. Riwayat Kehidupan Pribadi


1. Riwayat Prenatal dan Perinatal
Pasien lahir normal, cukup bulan. di bantu oleh bidan. Waktu
kecil pasien mendapatkan ASI eksklusif selama 2 bulan. Berat
badan lahir normal, riwayat kejang dan infeksi pada saat bayi tidak
ada.
2. Riwayat Masa Kanak Awal (1 – 3 tahun)
Tumbuh kembang pasien normal seperti anak lain seusianya.
Pasien tidak mengalami keterlambatan dalam perkembangan.
3. Riwayat Masa Kanak Pertengahan ( 4 – 11 tahun )
Pasien bersekolah di Sekolah Dasar sampai kelas 4 SD. Pasien
tidak melanjutkan karena orang tua pasien memiliki keterbatasan
ekonomi dan pasien juga mengatakan ada yang mengganggu
pikirannya yaitu karena pasien memiliki cinta monyet dengan
teman sekolahnya sehingga pasien tidak bisa berkonsentrasi pada
pelajaran.
4. Riwayat Masa Kanak Akhir (usia 12 – 14 tahun)
Pertumbuhan dan perkembangan pasien baik, serta banyak
bergaul dengan teman-teman sebayanya.
5. Riwayat Masa Remaja (Usia 15-18 tahun)
Pasien sering berkumpul dengan sepupu dan teman di desa
tetangga.

19
6. Riwayat Masa Dewasa

a. Riwayat Pendidikan
Pasien besekolah sampai kelas 4 SD
b. Riwayat Pekerjaan
Pasien membantu orang tua dalam pekerjaan rumah sebelum
sakit 2 tahun yang lalu.
c. Riwayat Pernikahan

Pasien belum menikah

d. Riwayat Kehidupan Pribadi


Pasien merupakan pribadi yang pendiam tetapi tetap
bergaul dengan teman di desanya maupun di desa sebelah.
Pasien membantu pekerjaan di rumah seperti membersihkan
rumah.

e. Riwayat Kehidupan Keluarga


Anak ke 3 dari 3 bersaudara. (♂,♂,♂). Hubungan dengan
keluarga baik, pasien tinggal bersama ibunya, ayah pasien
sudah meninggal saat pasien berumur 20 tahun karena sakit.
Genogram

Keterangan:
: Laki-laki
: Perempuan
: Pasien
: Meninggal

20
: Menikah

f. Situasi Kehidupan Sekarang


Pasien tinggal bersama ibunya. Pasien membantu dalam hal
pekerjaan rumah. Pasien sering berkunjung ke rumah sepupunya di
desa tetangga dan bergaul dengan pemuda lainnya.

III. PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOGI


a. Status Internus
Keadaaan umum pasien tampak baik, gizi cukup, kesadaran
composmentis, tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 84 kali/menit,
frekuensi pernapasan 22 kali/menit, suhu tubuh 36,5oC, konjungtiva
tidak anemis, sklera tidak ikterus. Pemeriksaan fisis jantung, paru-paru,
abdomen kesan dalam batas normal, ekstremitas atas dan bawah tidak
ada kelainan.

b. Status Neurologi
Gejala rangsang selaput otak : kaku kuduk (-), kernig’s sign (-)/(-),
pupil bulat dan isokor 2,5 mm/2,5 mm, reflex cahaya (+)/(+). Fungsi
motorik dan sensorik keempat ekstremitas dalam batas normal, dan
tidak ditemukan reflex patologis.

IV. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL (22 Desember 2017)


a. Deskripsi umum
1. Penampilan : seorang laki-laki, wajah sesuai umur, perawakan tubuh
kurus, kulit coklat, kalung terbuat dari kain, memakai baju kaos
warna hitam dan celana pendek warna hitam.
2. Kesadaran : berubah
3. Perilaku dan aktifitas psikomotor : tenang
4. Pembicaraan : spontan, lancar dan intonasi biasa
5. Sikap terhadap pemeriksa : kooperatif

21
b. Keadaan afektif
1. Mood : eutimia
2. Afek : inappropriate
3. Empati : tidak dapat dirabarasakan
4. Keserasian : tidak serasi
c. Fungsi Intelektual (Kognitif)
1. Taraf pendidikan
Pengetahuan umum dan kecerdasan pasien sesuai dengan tingkat
pendidikannya yakni sampai kelas 4 SD.
2. Orientasi
a. Waktu : baik
b. Tempat : baik
c. Orang : baik
3. Daya ingat
a. Jangka panjang : baik
b. Jangka pendek : baik
c. Jangka segera : baik
4. Konsentrasi dan Perhatian : cukup
5. Pikiran abstrak : cukup
6. Bakat Kreatif : tidak ada
7. Kemampuan menolong diri sendiri : kurang

d. Gangguan Persepsi dan Pengalaman Diri


1. Halusinasi :
- auditorik : ada, pasien mendengar suara yang menyuruhnya
membuat jimat penangkal bahaya
2. Ilusi : tidak ada
3. Depersonalisasi : tidak ada
4. Derealisasi : tidak ada

22
e. Proses Berfikir
1. Produktivitas : cukup
2. Kontuinitas : cukup relevan
3. Hendaya berbahasa : tidak ada
4. Isi pikiran
Preokupasi : tidak ada

Gangguan isi pikir :


- Idea ofreference (pasien merasa orang-orang iri kepadanya
karena dia mempunyai gangguan jiwa).
- Waham kebesaran (pasien mengatakan dia dapat membuat jimat
penangkal bahaya)
f. Pengendalian Impuls
Pengendalian Impuls : baik

g. Daya Nilai dan Tilikan


1. Norma Sosial : terganggu
2. Uji Daya Nilai : terganggu
3. Penilaian Realitas : terganggu
4. Tilikan : pasien merasa tidak sakit (tilikan 1)

h. Taraf Dapat Dipercaya


Taraf dapat dipercaya : dapat dipercaya

V. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA

Seorang pasien laki-laki berusia 27 tahun masuk UGD RSKD untuk


kedua kalinya dibawa oleh kakaknya dengan keluhan mengamuk sejak 1
minggu dan memberat sejak 2 hari yang lalu. Pasien berteriak setelah
diejek dengan sebutan orang gila oleh penjaga warung saat membeli
rokok. Pasien tidak tidur satu hari, makan dan minum tidak teratur,
perawatan diri kurang.

23
Awal perubahan perilaku kurang lebih 2 tahun yang lalu, pada tahun
2015. Pada waktu itu pasienmengamuk, merusak barang, marah-marah,
mondar-mandir di dalam rumah, dan tidak tidur selama 2 hari. Sebelum
mengamuk pasien mengalami gelisah selama 3 bulan yang menurut
keluarganya pasien mengalami masalah yang tidak diketahui oleh
keluarga. Pasien kemudian dirawat selama 1 bulan. Setelah keluar dari
RSKD pasien tidak pernah kontrol.Setelah keluar dari RSKD pasien tidak
pernah kontrol dan putus obat. Selama keluar dari RSKD pasien mulai
membaik tetapi hanya bertahan 1 bulan kemudian gelisah muncul tidak
sampai mengganggu orang lain sehingga keluarga membiarkan saja hingga
bulan desember 2017 pasien mengamuk sehingga keluarga membawanya
lagi ke RSKD untuk kedua kalinya.
Pada pemeriksaan status mental didapatkan kesadaran pasien
berubah, Mood eutimik, afek inapropriate, empati tidak dapat diraba
rasakan.Fungsi kognitif, taraf pendidikan, pengetahuan umum dan
kecerdasan sesuai dengan taraf pendidikan. Terdapat halusinasi auditorik
mendengar suara yang menyuruhnya membuat jimat penangkal
bahaya.Gangguan isi pikir berupa idea of refenrence, waham kebesaran.
Pasien merasa dirinya bisa membuat jimat penangkal bahaya dan pasien
merasa orang iri terhadap dirinya karena memiliki gangguan jiwa.
VI. EVALUASI MULTIAKSIAL
Aksis I:

Dari autoanamnesis dan alloanamnesis ditermukan adanya gejala


klinis bermakna yaitu pasien mengamuk, merusak barang, tidak bisa tidur,
makan dan minum tidak teratur.Keadaan ini menimbulkan penderitaan
(distress) pada dirinya dan keluarga serta terdapat hendaya (dissability)
pada fungsi psikososial, pekerjaan dan penggunaan waktu senggang
sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien menderita Gangguan jiwa.
Pada pemeriksaan status mental ditemukan hendaya berat dalam
menilai realita dimana pasien bersikap tidak mengakui keadaannya yang
sakit dan membutuhkan pertolongan, hendaya berat dalam fungsi mental

24
berupa halusinasi auditorik, ideas of reference, waham kebesaran,serta
hendaya berat dalam fungsi sosial berupa ketidakmampuan membina relasi
dengan keluarga dan orang lain sehingga didiagnosis Gangguan Jiwa
Psikotik.
Pada pemeriksaan status internus dan neurologis tidak ditemukan
adanya kelainan yang mengindikasikan gangguan medis umum yang dapat
menimbulkan gangguan otak, sehingga penyebab organik dapat
disingkirkan dan pasien dapat didiagnosis berdasarkan PPDGJ-III sebagai
Gangguan Jiwa Psikotik Non Organik.

Pada pemeriksaan status mental ditemukan adanya beberapa gejala


yaitu halusinasi auditorik dan waham kebesaran dengan perlangsungan
lebih dari 1 bulan dan memberat sejak 2 hari lalu sehingga berdasarkan
PPDGJ III pasien didiagnosis sebagai gangguan skizofrenia.Pada pasien
ini gejala halusinasi dan waham lebih menonjol sehingga berdasarkan
pedoman penggolongan diagnosis gangguan jiwa (PPDGJ III) diagnosis
diarahkan pada gangguan skizofrenia paranoid (F20.0).

Aksis II

Ciri kepribadian tidak khas

Aksis III

Tidak ditemukan

Aksis IV

Stressor psikososial : tidak diketahui

Aksis V

GAF Scale saat ini :50-41 (gejala berat, disabilitas berat)

VII. DAFTAR MASALAH


- Organobiologik

25
Tidak ditemukan kelainan fisik bermakna, namun karena terdapat
ketidakseimbangan neurotransmitter maka memerlukan
farmakoterapi.
- Psikologik
Ditemukan adanya hendaya berat dalam menilai realita berupa adanya
halusinasi auditorik, ides of reference dan waham kebesaran, yang
menimbulkan gejala psikis sehingga pasien memerlukan psikoterapi.
- Sosiologi
Didapatkan adanya hendaya dalam bidang sosial, pekerjaan dan
penggunaan waktu senggang, sehingga memerlukan sosioterapi.

VIII. PROGNOSIS :
Dari hasil alloanamnesis, didapatkan keadaan-keadaan berikut ini
Prognosis : Dubia adbonam
a. Faktor yang mendukung kearah prognosis baik:
– Gejala positif yang menonjol
– Tidak ada kelainan organik
– Riwayat yang sama dalam keluarga tidak ada
b. Faktor yang mendukung kearah prognosis buruk
- Pasien tergolong usia muda
- Onset kronik dan sering kambuh
- Ketidakpatuhan pasien meminum obat
- Pasien merasa dirinya tidak sakit

IX. RENCANA TERAPI


a. Psikofarmakoterapi
Haloperidol 5 mg 3x1
Clozapine 25mg 0-0-1

26
b. Psikoterapi
- Suportif
Memberikan dukungan kepada pasien untuk dapat membantu
pasien dalam memahami dan menghadapi penyakitnya. Memberi
penjelasan dan pengertian mengenai penyakitnya, manfaat
pengobatan, cara pengobatan, efek samping yang mungkin timbul
selama pengobatan, serta memotivasi pasien supaya mau minum
obat secara teratur.
- Sosioterapi
Memberikan penjelasan kepada orang-orang terdekat pasien
sehingga bisa menerima keadaan pasien dan memberikan
dukungan moral serta menciptakan lingkungan yang kondusif
untuk membantu proses penyembuhan dan keteraturan pengobatan.

X. FOLLOW UP
Memantau keadaan umum pasien serta perkembangan penyakitnya,
selain itu menilai efektifitas terapi dan kemungkinan efek sampingnya.

XI. DISKUSI
Skizofrenia adalah gangguan psikotik dan paling sering ditemukan.
Hampir 1% penduduk didunia menderita skizofrenia selama hidup mereka.
Gejala skizofrenia biasanya muncul pada usia remaja akhir atau dewasa
muda. Gejala skizofrenia yang paling menonjol adalah waham dan
halusinasi. Skizofrenia terbagi menjadi beberapa subtipe berdasarkan
variabel kliniknya yaitu skizofrenia paranoid, skizofrenia disorganisasi,
skizofrenia katatonik, skizofrenia tak terinci, skizofrenia residual,
skizofrenia simpleks, depresi pasca skizofrenia, skizofrenia yang tak
tergolongkan.1,2
Berdasarkan DSM V, kriteria diagnosis skizofrenia:

27
a. Didapatkan dua gejala atau lebih di bawah ini, setiap gejala spesifik
dialami selama kurang lebih 1 bulan. Di antaranya:
- Waham
- Halusinasi
- Inkohorensia
- Tingkah laku katatonik
- Gejala-gejala negatif seperti emosi, dan lain-lain.
b. Untuk hasil yang lebih signifikan onset masalah tersebut, akan
mengganggu fungsi level satu atau dua lebih area seperti pekerjaan,
hubungan dengan relasi atau diri sendiri.
c. Tanda yang berulang selama kira-kira 6 bulan
d. Gangguan skizoaktif dan depresi atau gangguan bipolar, tetapi tidak
sering.
e. Masalah yang menyangkut penggunaan zat ataupun obat-obatan.3

Skizofrenia ditandai adanya distorsi pikiran dan persepsi yang


mendasar dan khas, dan adanya afek yang tidak wajar atau tumpul.
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi
ketiga (PPDGJ III) membagi simptom skizofrenia dalam kelompok-
kelompok penting, dan yang sering terdapat secara bersama-sama untuk
diagnosis. Cara diagnosis pasien skizofrenia menurut PPGDJ III antara
lain;3

Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan
biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau
kurang jelas):3

a. Thought echo: isi pikiran diri sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun
isinya sama, namun kualitasnya berbeda;

28
Thought insertion or withdrawal: isi pikiran yang asing dari luar
masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil
keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal)
Thought broadcasting: isi pikirannya tersiar keluar sehingga
orang lain atau umum mengetahuinya.
b. Waham dikendalikan (delusion of control). waham dipengaruhi
(delusion of influence), atau "passivity", yang jelas merujuk pada
pergerakan tubuh atau pergerakan anggota gerak, atau pikiran,
perbuatan atau perasaan (sensations) khusus; persepsi delusional;
c. Halusinasi suara (audiotorik) yang berkomentar secara terus-
menerus terhadap perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal
pasien di antara mereka sendiri. atau jenis suara halusinasi lain yang
berasal dari salah satu bagian tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budayanya
dianggap tidak wajar serta sama sekali mustahil, seperti misalnya
mengenai identitas keagamaan atau pulitik, atau kekuatan dan
kemampuan "manusia super" (misalnya mampu mengendalikan
cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain).

 Atau paling sedikit gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara
jelas dalam kurun waktu satu bulan atau lebih;

a. Halusinasi yang menetap dalam setiap modalitas. apabila disertai


baik oleh waham yang mengambang/melayang maupun yang
setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun
oleh ide-ide berlebihan (over valued ideas) yang menetap, atau
apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan terus-menerus;
b. Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan
(interpolasi) yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang
tidakrelevan, atau neologisme;

29
c. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement),
sikap tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas serea,
negativisme, mutisme dan stupor;
d. Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat masa bodo (apatis),
pembicaraan yang terhenti, dan respons emosional yang menumpul
atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari
pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas
bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau
medikasi neuroleptika;
e. Suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan dari beberapa aspek perilaku perorangan,
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, tak bertujuan, sikap malas,
sikap berdiam diri (self-absorbed attitude) dan penarikan diri
secara sosial.
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung
selama kurun waktu satu bulan atau lebih. Kondisi-kondisi yang
memenuhi persyaratan gejala tersebut tetapi yang lamanya kurang dari
satu bulan (baik diobati atau tidak) harus didiagnosis pertama kali
sebagai gangguan psikosis fungsional.
Diagnosis pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksan status mental. Dari anamnesis ditemukan gejala-gejala
yang mengarah dengan diagnosis Skizofrenia Paranoid. Skizofrenia
paranoid adalah tipe paling stabil dan paling sering. Berdasarkan
PPDGJ III, kriteria diagnosis skizofrenia paranoid:
 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia dan sebagai tambahan:
1. Halusinasi yang harus menonjol yaitu suara-suara halusinasi yang
mengancam pasien atau memberi perintah, atau halusinasi
auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi peluit, mendengung,
atau bunyi tawa.

30
2. Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual
atau lain-lain perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin ada tetapi
jarang menonjol.
3. Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham
dikendalikan atau “passivity” dan keyakinan dikejar-kejar yang
beraneka ragam, adalah yang paling khas.
Gejala terlihat sangat konsisten, sering paranoid, pasien dapat atau
tidak bertindak sesuai dengan wahamnya.3
Psikoterapi bermanfaat untuk mengurangi atau menghilangkan
keluhan-keluhan dan mencegah kambuhnya pola perilaku maladaptif atau
gangguan psikologik. Psikoterapi dapat diberikan secara individual,
kelompok, atau pasangan sesuai dengan gangguan psikologis yang
dialaminya. Efek obat anti-psikosis secara relatif berlangsung lama,
sampai beberapa hari setelah dosis terakhir masih mempunyai efek klinis.
sehingga tidak langsung menimbulkan kekambuhan setelah obat
dihentikan, biasanya 1 bulan kemudian baru gejala sindrom psikosis
kambuh kembali.4
Obat anti-psikosis yang digunakan dalam mengatasi sindrom psikosis
anti-psikosis tipikal dan atipikal. tipikal mencakup golongan
phenothiazine, butyrophenon, diphenyl butyl piperidine dan atipikal
mencakup golongan benzamide, dibenzodiazepine, benzisoxazole.
Mekanisme kerja obat anti-psikosis tipikal adalah memblokade dopamine
pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak, khususnya di system limbik
dan system ekstrapiramidal (dopamine D2 receptor antagonist) sehingga
efektif untuk gejala positif sedangkan anti-psikosi atipikal untuk gejala
positif dan negatif.4
Pada pasien ini gejala positif lebih menonjol sehingga digunakan obat
anti-psikosis tipikal yaitu Haloperidol merupakan obat golongan
butyrophenon yang menurunkan ambang rangsang konvulsi,
memperlambat dan menghambat jumlah gelombang teta dan sama-sama
memiliki efek sedatif.Haloperidol selain menghambat efek dopamine juga

31
bisa meningkatkan turn over ratenya, efek sampingnya dapat
menimbulkan reaksi ekstrapiramidal syndrome yang insidensnya cukup
tinggi. Clozapine yang merupakan antipsikotik atipikal golongan
benzodiazepine memiliki efek samping sedatif yang tinggi sehingga
digunakan untuk menenangkan pasien.5
Pasien ini masuk dengan keluhan mengamuk yang tidak diketahui
penyebabnya, pasien sering mendengar suara-suara yang mengganggunya
sehingga pemberian obat ini dapat menenangkan pasien agar suara-suara
yang di dengar berkurang atau hilang dan pasien dapat tenang beristirahat.
4,5

Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam, dinilai dari faktor
pendukung ke prognosis buruk yaitu onset kronik dan sering kambuh,
pasien usia muda, pasien yang merasa bahwa dirinya tidak sakit dan tidak
membutuhkan pengobatan sehingga pasien putus obat.Faktor pendukung
ke prognosis baik yaitu tidak ada kelainan organik dan riwayat yang sama
dalam keluarga tidak ada.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan & Sadock. (2010). Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran ECG.
2. Elvira S, Hadisukanto G. (2010). Buku Ajar Psikiatri. Jakarta : Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Maslim, R. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa : Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika
Atmajaya.
4. Maslim, R. (2014). Panduan praktis penggunaan klinis obat psikotropik. edisi
3.Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
5. Gunawan SG, Nafrialdi RS, Elysabeth. (2011). Farmakologi dan terapi. Edisi
5. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

33
LAMPIRAN
WAWANCARA
DM : permisi Pak Rusdi.. saya ulul dokter muda, boleh saya minta
waktunya sebentar? boleh saya tanya-tanya pak?
P : iya..
DM : bapak namanya siapa?
P : Rusdi
DM : bagaimana kabarta hari ini ?
P : bagusji
DM : kenapa ki dibawa ke sini?
P : karena suka ka marah-marah
DM : marah-marah bagaimana?
P : saya mau pukul orang
DM : kenapaki mau pukul orang?
P : tidak baikki penglihatan ku sama orang, semua orang tidak baik kuliat
DM : kalo orang disini tidak baik juga kita liat?
P : takutka sama orang disini. Di kampungku ji semua orang tidak baik
kuliat.
DM : Dimana kampung ta kah?
P : Di Sinjai Bolong
DM : itu saja marah-marah? Tidak ada kita dengar bisikan-bisikan?
P : kalau bisikan banyak sekali ku dengar
DM : itu bisikan selalu kita dengar?
P : kadang dengar kadang tidak
DM : suaranya siapa kita dengar? Perempuan atau laki-laki?
P : semua ada, ada perempuan ada laki-laki
DM : apa na bilang itu suara?
P : selalu na sebut namaku bilang Rusdi, Udi, atau Muhammad. Karena
saya berhenti sekolah jadi hilang Muhammadnya.
DM : apa hubungannya berhenti sekolah dengan hilang namata?
P : (senyum-senyum)

34
DM : Kita lihat itu orangnya yang punya suara ?
P : tidak ku lihat. Na perintahkanka bikin jimat-jimat untuk melindungi
diri.
DM : oh bisaki bikin jimat-jimat?
P : iya bisa. Mauki lihat jimatnya?
DM : oh ada kah kita bawa? Lihatka bede
P : (mengambil jimat berupa kalung yang di pakai dileher)
DM : apa itu?
P : ini jimat penangkal parakang
DM : apa isinya itu?
P : tidak sembarang ini. Ini isinya ayat suci Al-Qur’an
DM : jadi kita bikin ini? Berdasarkan suara-suara yang suruhki?
P : iya saya bikin ini. Saya tidak pernah judi. Saya tidak memerintah
setan, bukan setan ini. Saya yang ku percaya itu malaikat bukan setan.
DM : kapan kita bikin ini?
P : saya bikin ini di dalam. Saya robek buku doanya ini temanku bawa
orang Pangkep.
P : bukan cuma ini kekuatanku. Jadi kalau kita ambil ini jimat tidak apa-
apa.
DM : kapan kita baca ini?
P : saya tidak baca, saya pake saja di leher.
DM : bisa kita baca ini?
P : saya tidak tahu mengaji
DM : jadi kita gunakan untuk apa ini?
P : saya biasa gantung di leher atau diikat di pinggang supaya jadi
penangkal parakang
DM : pernah ki didatangi parakang?
P : tidak pernah
DM : kenapa pade takutki sama parakang?
P : saya dengar cerita orang dulu, ada parakang bermata besar. Ada orang
juga yang naparakangi orang lain.

35
DM : jadi takutki parakang kalo ada ini jimat ?
P : iya takut parakang
DM : jadi kalau saya ambil ini jimat takutki?
P : tidak. Saya berserah diri saja sama Tuhan yang Maha Esa
DM : kita merasa ada orang yang iri sama kita atau benci sama kita?
P : iya ada
DM : siapa itu kira-kira? Kita tahu orangnya?
P : tidak tahu saya tidak bisa tentukan. Saya tidak mau sebut nama.
DM : kira-kira dia iri kenapa?
P : karena saya sinting. Jadi dia hina ka. Dia bilang saya orang gila
padahal perasaan saya tidak gila.
DM : lalu kenapaki dibawa kesini?
P : saya selalu menyendiri, keluarga saya tidak tahu, saya tidak cocok
bercerita kepada sesama laki-laki. Saya pusing kalau sama laki-laki.
DM : jadi temanta kebanyakan perempuan?
P : tidak juga. Laki-laki sama perempuan sama saja.
DM : apa kegiatanta kalau dirumah?
P : saya tidak bekerja tetapi saya bisa mengerjakan pekerjaan perempuan
yaitu membersihkan dan membereskan rumah.
DM : pernah ki bekerja?
P : saya pemalas, saya tidak pernah bertani atau bekerja di kebun.
DM : siapa saja temanta? Yang biasa kita temani kumpul-kumpul? Kita kan
masih muda mungkin sukaki nongkrong.
P : sepupu saya yang tinggal di desa sebelah tetapi masih satu kecamatan.
Saya bosan dengan teman di desa saya. Saya pusing. Saya suka teman
baru.
DM : jadi kita suka tinggal disini karena banyak orang baru kita kenal?
P : iya, saya senang disini
DM : apa biasa kita bikin kalau kumpul-kumpul sama temanta? Minum-
minum kah atau merokok kah?

36
P : saya tidak pernah minum-minum, kalau melihat pernah tapi saya tidak
mau coba. Kalo merokok, saya merokok.
DM : berapa bungkus 1 hari kita hisap rokok?
P : 2 batang per hari, 1 batang siang hari 1 batang lagi lalu saya tidur.
DM : pernah ki konsumsi obat-obatan yang bisa bikin kuat kerja atau pas ki
kumpul-kumpul ada temanta tawariki bisa bikin enak perasaan?
P : tidak, saya tidak pernah minum obat-obat larangan.
DM : oh jadi tidak pernah ji minum obat-obat
P : iya tidak pernah. Bukan orang sadar itu yang pakai jimat-jimat, orang
sinting ji itu yang pakai begituan.
DM : kita yang punya ini tadi jimat-jimat, kita yang bikin jadi kita merasa
bagaimana?
P : nanti ada orang mau potong leherku, jadi kalau na lihat itu jimat
takutki sama saya.
DM : kita merasa ada orang yang tidak suka sama kita atau ada mau
celakakan ki?
P : biasa saya melihat tikus sama ular. Bukan ular sembarangan, kalau
saya marah, tikus sama ular itu langsung lenyap.
DM : dimana kita lihat itu?
P : di situ di kamar mandi
DM : kita sekolah sampai kelas 4 SD, kenapa kita tidak lanjut sekolah?
P : karena terganggu pikiranku
DM : apa yang mengganggu pikiranta?
P : saya dulu punya cinta monyet sama teman saya, saya tidak bisa
berkonsentrasi jika ujian. Itu sangat mengganggu pikiran saya, jadi saya
tinggal kelas.
DM : kenapaki tidak lanjut sekolahta? Tidak dipanggilki lagi masuk
sekolah?
P : saya dipanggil tapi tidak mauma.
DM : pak rusdi saya mau tanyaki kira-kira sepeda sama motor apanya
sama?

37
P : kalau sepeda bahan bakarnya bukan bensin, kalau motor bahan
bakarnya bensin.
DM : kalau misalnya dapatki dompet ditengah jalan ada isinya uang
100.000 kita apakan itu dompet?
P : yaa dikembalikan ke pemiliknya, uangnya saya belikan rokok.
DM : bagaimana hubunganta dengan keluargata?
P : baikji. Semua saudara-saudaraku sayang sama saya.

38

Anda mungkin juga menyukai