Anda di halaman 1dari 21

TUGAS MANAJEMEN STRES

Disusun Oleh :
Rinrin Rina Estiana 198020002
Almira Putri Miladiani 198020014
Dhita Adriany Widjaja 198020036
Paramita Darsaniya 198020043

MANAJEMEN ADMINISTRASI RUMAH SAKIT


UNIVERSITAS PASUNDAN
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat dan
anugerah yang telah diberikan kepada penyusun, sehingga makalah Tugas Manajemen Stres
ini dapat selesai disusun.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen
pengajar di Universitas Pasundan. Tidak lupa penyusun menyampaikan terima kasih yang
sedalam-dalamnya atas bantuan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami
sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah
selanjutnya yang lebih baik lagi.

Bandung, Oktober 2019

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................................... i

Daftar Isi ............................................................................................................................. ii

BAB I. Pendahuluan .......................................................................................................... 1

BAB II. Tinjauan Pustaka ................................................................................................... 3

2.1 Definisi Stres ....................................................................................................... 3

2.2 Model Stres ......................................................................................................... 4

2.3 Work Stressor ...................................................................................................... 9

2.4 Stres Outcome ..................................................................................................... 10

2.5 Moderator Stres ................................................................................................... 10

BAB III. Contoh Kasus ...................................................................................................... 13

BAB IV. Kesimpulan ......................................................................................................... 16

Daftar Pustaka ..................................................................................................................... 17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Sehat menurut World Health Organization (WHO) adalah suatu keadaan yang
sempurna baik secara fisik, mental dan sosial serta tidak hanya bebas dari penyakit atau
kelemahan.1 Kesehatan mental memainkan peran yang penting, bahkan kondisi mental yang
tidak sehat akibat stress adalah salah satu contohnya. Stres merupakan satu istilah yang sering
diucapkan orang ketika mengalami suatu tekanan atau masalah. Sering kita jumpai didalam
kehidupan sehari-hari beberapa orang yang mengalami stres, baik dalam kehidupan sosial
maupun dilingkungan kerja. Pekerjaan yang terlalu sulit serta keadaan sekitar yang monoton
juga akan dapat menyebabkan stres dalam bekerja di beberapa Perusahaan.
Masalah stres kerja di dalam kehidupan organisasi perusahaan menjadi gejala yang
penting diamati sejak mulai timbulnya tuntutan untuk efisien di dalam pekerjaan. Akibat
adanya stres kerja tersebut yaitu orang menjadi nervous, merasakan kecemasan yang kronis,
peningkatan ketegangan pada emosi, proses berpikir dan kondisi fisik individu. Selain itu,
sebagai hasil dari adanya stres kerja karyawan mengalami beberapa gejala stres yang dapat
mengancam dan mengganggu pelaksanaan kerja mereka, contohnya mudah marah dan agresi,
tidak dapat rileks, emosi yang tidak stabil, sikap tidak mau bekerja sama, perasaan tidak
mampu terlibat, dan masalah tidur.2
Banyak juga orang yang kurang menyadari gejala timbulnya stres tersebut dalam
kehidupannya padahal apabila kita mengetahui lebih dini mengenai gejala stres tersebut kita
dapat mencegahnya. Upaya pencegahan ini dapat dilakukan dengan maksud agar terjaminnya
keamanan dan kenyamanaan dalam bekerja. Apabila seseorang sedang yang mengalami stres
dan melakukan pekerjaan itu, maka akan mengganggu keamanan dan kenyamanaan dalam
bekerja.
Untuk menjaga keamanan dan kenyamanaan kerja tersebut psikologi seseorang juga
harus stabil agar terjadi hubungan yang harmonis antara faktor kejiwaan serta kondisi yang
terjadi. Jadi kita harus memperhatikan secara lebih baik lingkungan yang dapat
mempengaruhi psikologi seseorang sehingga stres dapat diminimalisir. Namun tidak dapat
disangkal bahwa stres dalam bekerja pasti akan terjadi pada setiap individu karyawan.
Mereka mengalami stres karena dipengaruhi dari pekerjaan itu sendiri maupun lingkungan
tempat dimana karyawan tersebut bekerja. Seseorang yang mengalami stres dalam bekerja
tidak akan mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Peran perusahaan disini muncul

1
untuk memperhatikan setiap kondisi stres yang dialami oleh karyawannya. Dalam hal ini
perusahaan harus menanganinya dengan baik bagi karyawan tersebut serta tidak mengurangi
kinerja karyawannya.
Masalah stres sering terjadi dan penting untuk mengetahui bagaimana penanganannya
yang baik. Karena itu, kami akan membahasnya dalam makalah ini agar kita bisa mengetahui
apa itu stres manajemen stres itu sendiri terutama dalam lingkungan kerja.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stres
Stres berasal dari istilah latin yaitu “stringere” yang mempunyai arti ketegangan
dan tekanan. Stres merupakan reaksi yang tidak diharapkan muncul sebagai akibat
tingginya tuntutan lingkungan kepada seseorang.3 Literatur lain menyatakan “stres
adalah satu abstraksi. Orang tidak dapat melihat pembangkit stres (stressor). Yang dapat
dilihat ialah akibat dari pembangkit stres”.4 Sumber lain juga menyatakan stres
disimpulkan dari gejala- gejala dan tanda-tanda faal, perilaku, psikologikal dan somatik
adalah hasil dari tidak atau kurang adanya kecocokan antara orang (dalam arti
kepribadiannya, bakatnya, dan kecakapannya) dan lingkungannya, yang mengakibatkan
ketidakmampuannya untuk menghadapi berbagai tuntutan terhadap dirinya secara
efektif.4
Stres merupakan suatu respon adaptif terhadap suatu situasi yang dirasakan
menantang atau mengancam kesehatan seseorang. Sedangkan distress adalah derajat
penyimpangan fisik, psikis dan perilaku dari fungsi yang sehat. Eustress adalah
pengalaman stres yang tidak berlebihan, cukup untuk menggerakkan dan memotivasi
orang agar dapat mencapai tujuan, mengubah lingkungan mereka dan berhasil dalam
menghadapi tantangan hidup. Jadi stres tersebut ada dua macam yaitu distress (stres yang
merugikan) dan eustress (stres yang menguntungkan).5
Pada hakekatnya stres memiliki berbagai variasi karakteristik atau batasan-
batasan tertentu tergantung dari sudut pandang seseorang. Berikut ini merupakan definisi
stres dari beberapa ahli :
1. Kendall dan Hammen mengemukakan stres terjadi pada individu ketika terdapat
ketidakseimbangan antara situasi yang menuntut dengan perasaan individu atas
kemampuannya untuk bertemu dengan tuntutan-tuntutan tersebut. Situasi yang
menuntut tersebut dipandang sebagai beban atau melebihi kemampuan individu
untuk untuk mengatasinya.6
2. Maramis menyatakan stres adalah segala masalah atau tuntutan penyesuaian diri
yang dapat mengganggu keseimbangan seseorang. Dari pernyataan ini faktor penting
yang ditekankan adalah adaptasi agar keseimbangan selalu terjaga di dalam kita.7

3
3. Kartono dan Gulo mengemukakan empat definisi stres sebagai berikut :
a. Sebagai suatu stimulus yang menegangkan daya psikologis dan
fisiologis organisme;
b. sejenis frustasi dengan aktivitas terarah pada pencapaian tujuan telah
terganggu, tapi tidak terhalangi, yang disertai perasaan khawatir
dalam pencapaian tujuan tersebut;
c. Kekuatan yang diterapkan pada suatu sistem berupa tekanan fisik
dan psikologis yang dikenakan pada diri dan pribadi;
d. Suatu kondisi ketegangan fisik atau psikologis yang disebabkan oleh
adanya persepsi ketakutan dan kecemasan.8
Dari berbagai definisi diatas dapat dinyatakan bahwa stres itu adalah ketegangan,
setiap ketegangan yang dirasakan oleh seseorang akan mengganggu dan dapat
menimbulkan reaksi fisiologis,emosi,kognitif maupun perilaku.

2.2 Model Stres


1. Stres Model Stimulus
Stres model stimulus merupakan model stres yang menjelaskan bahwa stres itu
adalah varibel bebas (independent) atau penyebab manusia mengalami stres.9 Atau
dengan kata lain, stres adalah situasi lingkungan yang seseorang rasakan begitu
menekan dan individu tersebut hanya menerima secara langsung rangsangan stres
tanpa ada proses penilaian.10,11 Penyebab-penyebab stres tersebut berperan dalam
menentukan seberapa banyak stres yang akan mungkin diterima. Oleh karena itu,
tekanan yang berasal dari situasi-situasi lingkungan bisa bertindak sebagai penyebab
dan penentu pada gangguan-ganguan kesehatan apabila terjadi dalam kurun waktu
yang sering dan dengan jumlah yang berbahaya10 Adapun situasi-situasi yang
memungkinkan menjadi pemicu terjadinya stres adalah beban kerja, kepanasan,
kedinginan, suara keributan, ruangan yang berbau menyengat, cahaya yang terlalu
terang, lingkungan yang kotor, ventilasi yang tidak memadai, dan lain sebagainya. 11
Bartlett menegaskan bahwa stres stimulus lebih memfokuskan pada sumber- sumber
stres dari pada aspek-aspek lainnya. Sumber stres tersebut dikenal dengan istilah
“stressor”.10 Sebenarnya, stressor hanya memberikan rangsangan dan mendorong
sehingga terjadi stres pada seseorang. Stressor berperan sebagai pemicu stres pada
individu. Menurut Thoits, sumber stres (stressor) dapat dikategorikan menjadi tiga

4
jenis, yaitu (1) life events (peristiwa- peristiwa kehidupan), (2) chronic strain
(ketegangan kronis), dan (3) daily hassles (permasalahan-permasalahan sehari-hari).12
Life events (peristiwa-peristiwa kehidupan) berfokus pada peranan perubahan-
perubahan kehidupan yang begitu banyak terjadi dalam waktu yang singkat sehingga
meningkatkan kerentanan pada penyakit.9 Suatu peristiwa kehidupan bisa menjadi
sumber stres terhadap seseorang apabila kejadian tersebut membutuhkan penyesuaian
perilaku dalam waktu yang sangat singkat.12 Ketika seseorang gagal menyesuaikan
dengan situasi atau perubahan-perubahan yang secara ekstrem tesebut, maka timbulah
dampak buruk, misalnya perasaan cemas.
Daily hassles (permasalah sehari-hari) adalah peristiwa-peristiwa kecil yang
terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang memerlukan tindakan penyesuaian dalam
sehari saja.12 Misalnya, seseorang mengalami kesulitan-kesulitan, dan kesulitan
tersebut tidak berlanjut secara terus-menerus. Kesulitan yang dihadapi itupun bisa
terselesaikan dalam kurun waktu yang singkat. Ada beberapa contoh dari perma-
salah sehari-hari, misalnya pendatang yang tidak diharapkan, kemacetan berlalu
lintas, berkomunikasi dengan orang lain, tugas-tugas keseharian yang penting, tenggat
waktu yang tiba-tiba dan berargumentasi kepada orang lain. 12 Permasalahan-
permasalahan tersebut hanya menimbulkan stres sesaat dan tidak mengakibatkan
terjadinya gangguan-gangguan fisik maupun mental yang parah.

2. Stres Model Respons


Stres model respons dikembangkan oleh Hans Selye. Selye adalah ahli yang
dikenal luas karena penelitian dan teorinya tentang stres yang berkaitan dengan aspek
fisik dan kesehatan.9 Merujuk pada Bartlett, pada tahun 1946, Selye menulis sebuah
karya ilmiah yang berjudul “The General Adaptation Syndrome and Diseases of
Adaptation” dan menggunakan istilah stres untuk mengacu secara khusus pada
tekanan yang berasal dari luar individu. Namun, empat tahun kemudian, yaitu di
tahun 1950, Selye mengganti definisi stres tersebut menjadi respons seseorang
terhadap stimulus yang diberikan. Selye menekankan bahwa stres merupakan reaksi
atau tanggapan tubuh yang secara spesifik terhadap penyebab stres yang
mempengaruhi kepada seseorang.9
Lyon mengistilahkan reaksi tubuh terhadap sumber stres sebagai variable
terikat atau hasil.9 Hasil stres itu bersumber dari dalam diri individu. Hasil stres itupun

5
meliputi perubahan kondisi psikis, emosional, dan psikologis.13 Misalnya, ketika
seseorang mengalami situasi yang mengkhawatirkan, tubuh secara spontan bereaksi
terhadap ancaman tersebut. Ancaman tersebut termasuk sumber stres, dan respons
tubuh terhadap ancaman itu merupakan stres respons.14 Dengan demikian, perpaduan
antara sumber stres dan hasil stres mengarahkan pada pengertian bahwa stres tidak
bisa dipisahkan dari reaksi tubuh terhadap sumber-sumber stres yang ada. Atau
dengan kata lain, tubuh tidak akan memberikan respon apapun kalau tidak ada
rangsangan. Oleh karena itu, stres respons dapat disimpulkan sebagai reaksi tubuh
secara jasmaniah terhadap sumber-sumber stres yang ada atau rangsangan yang
menyerang tubuh. Untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana tubuh memberikan
respons terhadap sumber stress, Selye pun memperkenalkan sebuah model stress.
Adapun model stress yang diperkenalkan Selye adalah General Adaptation Syndrome
atau disingkat dengan istilah GAS.15
Ada tiga tahapan stres respons, yaitu (1) alarm (tanda bahaya), (2) resistance
(perlawanan), dan (3) exhaustion (kelelahan). Tahapan pertama stres respons dalam
General Adaptation Syndrome adalah alarm. Alarm merupakan suatu kondisi yang
tidak diinginkan dan terjadi ketika ada perbedaan antara kenyataan yang sedang
terjadi dan situasi yang diharapkan. Sebagai akibatnya, tubuh menerima rangsangan
dan secara alami mengaktifkan reaksi flight-or-fight karena adanya kondisi yang
berpotensi mengancam kestabilan kondisi tubuh.9 Pada tahap pertama ini akan timbul
seperti sakit di dada, jantung berdebar-debar, sakit kepala, disfagia (kesulitan
menelan), kram, dan lain sebagainya.15
Tahapan kedua dari General Adaptation Syndrome adalah resistance
(perlawanan). Perlawanan terjadi saat alarm tidak berakhir atau terus menerus
berlangsung. Dampaknya, kekuatan fisik pun dikerahkan untuk melanjutkan
kerusakan-kerusakan karena rangsangan-rangsangan yang membahayakan sedang
menyerang.9 Peristiwa ini terjadi karena pada tahap kedua terjadi konflik dengan
tahap pertama. Oleh karena itu, selama proses perlawanan di tahap resistance ada
kemungkinan akan timbulnya penyakit, seperti radang sendi, kanker dan hipertensi.9
Ketika stres masih berlangsung terus-menerus, maka selanjutnya stres berada
pada pada tahap terakhir. Berdasarkan General Adaptation Syndrome, di tahap ketiga
ini tubuh sudah merasakan exhaustion (kelelahan).9 Kondisi ini dikarenakan tubuh
benar-benar tidak sanggup lagi mengadakan perlawanan terhadap sumber stres. Atau
dengan kata lain, tubuh sudah menyerah karena kehabisan kemampuan untuk

6
menghadapi serangan yang mengancam. Oleh karena itu, pada tahap ketiga ini,
menurut Lyon dan Rice organ-organ tubuh bisa berhenti berfungsi atau bisa
mengakibatkan kematian pada seseorang.9,15

3. Stres Model Transaksional


Stres model transaksional berfokus pada respon emosi dan proses kognitif
yang didasarkan pada interaksi manusia dengan lingkungan. Stres model ini
menekankan pada peranan penilaian individu terhadap penyebab stres yang akan
menentukan respon individu tersebut.11
Richard Lazarus dan Susan Folkman adalah tokoh yang terkenal dalam
mengembangkan teori stres model transaksional. Lazarus dan Folkman menyatakan
bahwa stres adalah hubungan antara individu dengan lingkungannya yang dievaluasi
oleh seseorang sebagai tuntutan atau ketidakmampuan dalam mengahadapi situasi
yang membahayakan atau mengancam kesehatan. Lebih lanjut, Lazarus dan Folkman
menegaskan bahwa appraisal adalah faktor utama dalam menentukan seberapa
banyak jumlah stres yang dialami oleh seseorang saat berhadapan dengan situasi
berbahaya (mengancam).16 Dengan kata lain, stres adalah hasil dari terjadinya
transaksi antara individu dengan penyebab stres yang melibatkan proses
pengevaluasian Selain itu, sumber stres merupakan kejadian atau situasi yang
melebihi kemampuan pikiran atau tubuh saat berhadapan dengan sumber stres
tersebut. Ketika situasi tersebut memberikan rangsangan, maka individu akan
melakukan appraisal (penilaian) dan coping (penanggulangan). Oleh karena itu, stres
bisa berlanjut ke tahap yang lebih parah atau sedikit demi sedikit semakin berkurang.
Hal tersebut ditentukan bagaimana usaha seseorang berurusan dengan sumber stres.16
Appraisal atau proses penilaian adalah suatu tindakan pengevaluasian,
penafsiran, dan tanggapan tentang peristiwa-persitiwa yang ada. Merujuk pada
Lazarus dan Folkman, ada dua tahap penilaian yang dilakukan oleh manusia ketika
sedang mengalami stres yaitu: (1) primary appraisal dan (2) secondary appraisal.
Penilaian tahap awal (primary appraisal) dilakukan oleh individu pada saat mulai
mengalami sesuatu peristiwa. Secara khusus, individu mengevaluasi pengaruh yang
memung- kinkan timbul dari adanya tuntutan-tun- tutan terhadap sumber daya yang
ada pada kondisi kesehatan.9,16 Lazarus dan Folkman membagi proses primary
appraisal ini dalam tiga tahap, yaitu (1) irrelevant, (3) benign-positive, dan (3)
stressful.16

7
Irrelevant (tidak berkaitan) terjadi ketika seseorang berhadapan dengan situasi
yang tidak memberikan dampak apapun terhadap kesejahteraan (kesehatan)
seseorang. Dengan kata lain, seseorang tidak membutuhkan usaha apapun ketika
menghadapi sebuah permasalahan atau kejadian karena tidak ada yang dihilangkan
dan diterima dalam proses transaksi ini. Benign-positive (berdampak baik) terjadi
ketika hasil dari pertempuran berdampak positif pada peningkatan kesejahteraan
individu. Sebagai hasilnya, akan timbul luapan perasaan emosi seperti bahagia, kasih,
senang, dan sebagainya. Stressful terjadi ketika individu tidak lagi memiliki
kemampuan secara personal untuk menghadapi penyebab-penyebab stres. Sebagai
akibatnya individu akan mengalami (1) harmful, (2) threatening dan (3) challenging.
Harm/loss adalah tanda bahwa sesuatu yang membahayakan sedang terjadi pada.
Threat adalah tanda bahwa adanya kemungkinan-kemungkinan yang membahayakan
itu akan berlanjut dikemudian hari. Challenge merupakan keterlibatan individu
dengan tuntutan yang ada. Tantangan-tantangan tesebut menimbulkan emosi seperti
pengharapan, keinginan dan keyakinan.16 Secondary appraisal atau penilaian tahap
kedua adalah proses penentuan jenis coping yang bisa dilakukan dalam mengahadapi
situasi-situasi yang mengancam.9 Coping tergantung pada penilaian terhadap hal apa
yang bisa dilakukan untuk mengubah situasi.17 Lazarus dan Folkman membagi dua
metode coping (penanggulangan) yang dilakukan ketika menghadapi stres yaitu (1)
problem- focused coping (penanggulangan berfokus pada masalah) dan (2) emotion-
focused coping (penanggulangan berfokus pada emosi).16 Problem-focused coping
adalah cara menanggulangi stres dengan berfokus pada permasalahan yang dihadapi.
Coping yang berfokus pada masalah ini bisa dilakukan apabila masih ada
memungkinkan melakukan sesuatu hal untuk menanggulangi stres. Atau dengan kata
lain, problem-focused coping dilakukan untuk menghidari atau mengurangi stres
dengan cara langsung menghadapi sumber stres atau masalah yang terjadi. Emotion-
focused coping adalah cara penanggulangan stres dengan melibatkan emosi. Atau
dengan kata lain, seseorang yang mengalami stres akan melibatkan emosinya dan
menggunakan peniliannya terhadap sumber-sumber stres yang ada. Coping yang
berfokus pada emosi dilakukan karena tidak ada lagi yang bisa dilakukan terhadap
sumber stres.17 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penanggulangan stress
yang berfokus pada masalah adalah berurusan dengan situasi secara langsung.
Sedangkan penanggulangan stres yang berfokus pada emosi berususan dengan diri
sendiri.

8
2.3 Work Stressor
Work stressor dapat dibagi menjadi dua penyebab, yaitu karena faktor internal
dan eksternal. Work stressor karena faktor internal disebabkan oleh individu itu sendiri,
seperti pola pikir (mindset) dan persepsi. Bahkan jika tidak ada stresor dari luar
(eksternal), bisa saja seseorang merasa stres di tempat kerja akibat pemikirannya sendiri.
Sedangkan work stressor karena faktor eksternal disebabkan oleh:
1. Job insecurity, ketika seseorang bekerja dalam sebuah organisasi, rasa takut akan
kehilangan pekerjaannya dapat menyebabkan menurunnya kualitas seseorang dalam
bekerja.
2. Working hours, jam kerja yang berlebihan dapat memicu masalah fisiologis, yang
dapat menimbulkan perasaan stres ketika bekerja.
3. Control of work, hal ini mengacu pada tingkat kontrol seseorang terhadap
pekerjaannya, jika seseorang tidak memiliki atau hanya memiliki sedikit kendali
terhadap pekerjaannya, ia akan kehilangan minat dalam pekerjaannya, sehingga ia
akan merasa terbebani untuk memenuhi harapan atasannya.
4. Managerial style, gaya manajer dalam mengatur organisasi dapat mempengaruhi
tingkat stres pegawainya. Manajer yang memberi sedikit kebebasan kepada
pegawainya (misal dalam menyuarakan pendapat pegawainya, melibatkan
pegawainya dalam mengambil keputusan (in decision and making planning)) akan
menyebabkan pegawai merasa bekerja dibawah tekanan, karena kurangnya kontrol
mereka atas pekerjaan mereka sendiri dan juga pembatasan yang tinggi (yang
diberikan manajer) akan pekerjaan mereka sendiri.
5. Overload work, ketika seorang pegawai melakukan sejumlah pekerjaan yang besar
dalam waktu yang singkat dapat menimbulkan stres. Sehingga pegawai tersebut
biasanya mempertanyakan kemampuannya saat bekerja sehingga menimbulkan rasa
stres saat bekerja.18
Beberapa contoh penyebab stres yang berkaitan dengan pekerjaan bagi pegawai
adalah seperti berikut:
a) Adanya konflik karena ekspektasi pekerjaan yang bertentangan
b) Inadequate staffing, beban kerja yang tidak dibagi rata dalam pekerjaan kelompok
c) Kurangnya keseimbangan antara kerja dan kehidupan sehari-hari (beban kerja
berlebihan atau jam kerja yang panjang)
d) Budaya organisasi
e) Gaji yang rendah atau kenaikan gaji yang rendah

9
f) Kurangnya dukungan dan timbal balik dari atasan, atau atasan tidak memberikan
contoh sesuai dengan kata-katanya
g) Kurangnya tools dalam melakukan pekerjaan seperti teknologi dan alat-alat
h) Kekhawatiran akan kehilangan pekerjaan
i) Ketakutan akan berkurangnya tunjangan

2.4 Stress Outcome


1. Physiological problems
Stres yang terjadi terus menerus dapat menyebabkan perubahan psikologi
individu, diantaranya adalah menurunnya tingkat kepercayaan diri sehingga timbul rasa
gugup, kecemasan berlebihan sehingga selalu khawatir akan hal-hal kecil, merasa
tertekan, selalu menunjukkan rasa bersalah akibat merasa tidak kompeten dalam
pekerjaannya, insomnia, mimpi buruk, pelupa, ketakutan dan cemas. Stres
berkepanjangan dapat menyebabkan depresi serta rentan terhadap demensia dan
Alzheimer.18
2. Behavioural problems
Stres juga dapat menyebabkan perubahan perilaku diantaranya adalah
tempramental, mudah frustasi, sulit mempelajari hal-hal baru, terganggunya
konsentrasi, sukar untuk mengorganisasikan pikiran secara logis, mudah terganggu,
terhambatnya kemampuan untuk mengambil keputusan, performa terhadap tugas
kompleks kurang memuaskan bahkan buruk, sering merasa sepi, sering merasa
bingung, dan menunjukkan kemungkinan tingkah laku obsesif / kompulsif.18

2.5 Moderator Stres


Suatu moderator adalah suatu kondisi, perilaku, atau karakteristik yang
mempengaruhi hubungan antara kedua variabel. Dampaknya dapat memperlemah atau
memperkuat hubungan antar kedua variabel. Variabel-variabel tersebut berupa usia,
jenis kelamin, dan tingkat ketabahan. Tiga tipe moderator adalah: 19
A. Kepribadian
Istilah kepribadian merujuk pada serangkaian karakteristik, tempramen, dan
kecenderungan yang relatif tabil yang membentuk kemiripan dan perbedaan dalam
perilaku orang. Jumlah aspek kepribadian yang dapat berperan sebagai moderator
stress cukup besar. Model kepribadian dibuat dari lima dimensi yaitu : 19

10
1. Extroversion adalah mereka lebih cenderung ramah, mudah bergaul, dan
memiliki jaringan pertemanan yang lebih luas sehingga lebih cenderung
untuk mengalami keadaan emosional yang positif dan lebih banyak
dukungan pada saat mereka merasa tertekan.19
2. Emotional stability adalah mereka yang lebih mungkin untuk mengalami
mood positif dan merasa diri dan pekerjaan mereka baik-baik saja. Mereka
cenderung tidak kewalahan oleh stres dan lebih cepat pulih dari stres.19
3. Agreeableness adalah mereka yang cenderung bersifat antagonis, tidak
simpatik, dan bahkan kasar terhadap orang lain. Sulit percaya kepada orang
lain, meningkatkan kemungkinan akan menemukan orang lain sebagai
sumber stres dan oranglain akan mengganggap interaksi dengan anda
sebagai hal penuh tekanan, maka tercipta sebuah lingkungan hubungan
interpersonal yang penuh dengan situasi menekan.19
4. Consientiousness adalah kepribadian yang cenderung mengarah pada
kinerja dan keberhasilan seseorang. Semakin tinggi mereka memiliki nilai
conscientiousness maka mereka tidak mengalami stres dalam pekerjaan.
Dan sebaliknya, mereka yang memiliki nilai rendah dalam
conscientiousness akan menerima sedikit penghargaan atau bahkan kurang
berhasil dalam karir karena buruknya kinerja yang dimiliki.19
5. Openess to experience adalah mereka yang memiliki nilai tinggi dalam
keterbukaan terhadap penalaman karena mereka lebih siap untuk
memandang perubahan sebagai suatu tantangan dan bukan ancaman.19

B. Perilaku tipe A dan B


Meyer Friedman dan Ray Rosenman adalah dua ahli kardiologi dan peneliti
yang menemukan pola perilaku tipe A dan B. Seseorang dengan pola perilaku Tipe
A menunjukkan karakteristik sebagai berikut: 19
 Secara kronik berusaha untuk menyelesaikan sebanyak mungkin hal dalam
periode waktu yang sangat singkat.
 Agresif, ambisius, kompetitif, dan penuh energi.
 Berbicara dengan meledak-ledak, mendorong orang lain untuk menyelesaikan
apa yang mereka katakana.
 Tidak sabar, tidak suka menunggu, dan menganggap menunggu sebagai

11
membuang waktu yang berharga.
 Sibuk dengan tengat waktu dan berorientasi pada pekerjaan.
 Selalu berjuang dengan orang, hal, dan peristiwa.
Sebaliknya, seseorang yang menunjukkan pola perilaku Tipe B bebas dari
karakteristik pola perilaku Tipe A dan pada umumnya tidak merasakan konflik
yang menekan dengan waktu maupun orang. Orang Tipe B mungkin memiliki
dorongan yang kuat, ingin mencapai berbagai hal, dan bekerja keras, tapi dia
memiliki gaya penuh percaya diri yang memungkinkan dia untuk bekerja dengan
kecepatan yang tetap dan tidak bertanding melawan waktu. 19
C. Dukungan sosial
Hubungan sosial yang dimiliki individu dengan orang lain baik secara
kualitas maupun kuantitas memiliki dampak penting yang potensial. Dukungan
sosial didefinisikan rasa nyaman, bantuan atau informasi yang diterima seseorang
melalui kontak formal dan informal dengan individu atau kelompok, serta
berbentuk dukungan emosi (mengekspresikan kekhawatiran, meningkatkan harga
diri, mengindikasikan kepercayaan dan mendengarkan); dukungan penilaian
(menyediakan umpan balik dan afirmasi); dan dukungan informasi (memberikan
saran, memberikan nasehat dan pengarahan). 19

12
BAB III

CONTOH KASUS

3.1 Contoh Kasus 1


Karyawati sebuah bank ditemukan tewas di saluran air Thamrin City, Jalan
Boulevard, Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat, kemarin. Meritha Vridawati,
26, terjun bebas dari lantai 10 Apartemen Thamrin City. Perempuan asal Sleman,
Yogyakarta ini diduga nekat mengakhiri hidup lantaran stres dengan pekerjaannya.
“Hasil pengecekan di duga bunuh diri,” kata Ka subbag Humas Polres Jakarta Pusat
Kompol Suyatno kemarin. Sebelum ditemukan tewas, korban sempat berpamitan
kepada suaminya untuk membeli bubur sekitar pukul 05.00 WIB dan tak kembali
hingga pukul 07.00 WIB. Si suami kemudian melapor ke polisi.20
Selang beberapa waktu, dua petugas keamanan Cahyono dan M Ali
menemukan Meritha yang mengenakan celana panjang hitam dan kaos tewas dalam
posisi telungkup di antara tumpukan sampah di selokan Thamrin City. “Suaminya
kemudian mengecek dan melihat istrinya tak bernyawa,” ujar Suyatno. Polisi
mengevakuasi jasad Meritha ke RSCM, Jakarta Pusat untuk diautopsi. Hasil
pemeriksaan sementara, korban tewas karena luka benturan yang cukup keras. Sang
suami sama sekali tidak menemukan kejanggalan dalam perilaku istrinya sebelum
berangkat ke kantor. Namun, menurut Suyatno, Meritha sempat mengeluhkan soal
pekerjaannya pada sang suami.20
Psikolog klinis dan forensik Kassandra Putranto menyebutkan, lebih dari
800.000 orang di dunia per tahun meninggal akibat bunuh diri. Bunuh diri berada di
peringkat kedua penyebab kematian seseorang pada usia 15-19 tahun. Penyebabnya
dipicu kondisi mental psikologis yang mengalami gangguan mood jenis depresi.
Penelitian terkini menyebutkan depresi disebabkan berbagai faktor yang memengaruhi
kondisi neuropsikologis (otak dan perilaku). “Faktor-faktor ini adalah bawaan dan
lingkungan, pola asuh, tekanan, neurotransmitter jenis adrenalin, dopamine, serotonin,
dan rendahnya kadar zinc dalam darah,” ujar dia. Orang yang terdeteksi ke arah
perilaku bunuh diri satu di antaranya adrenalin rendah. Kondisi demikian terlihat dari
kehilangan motivasi untuk bergerak, menolak bangun pagi, beraktivitas, dan bergaul,
bahkan tidak memiliki nafsu makan.20
Konsep ini diakui sebagai konsep tidak berharga atau tidak bahagia. Dengan
dopamine rendah, seseorang kehilangan perasaan senang dan bahagia, nilai-nilai yang

13
menyenangkan dalam hidupnya nyaris tak ditemukan. “Jika ini berlarut-larut, akan
menampilkan sikap menutup diri, menolak makan, menolak keluar rumah dan
beraktivitas, menolak bertemu orang lain yang semakin membuat persepsi diri menjadi
tidak berharga dan tidak bernilai, merasa hidup sia-sia,” ungkapnya. Karena itu,
keluarga menjadi benteng pertama untuk mengidentifikasi munculnya niat bunuh diri.
“Jangan biarkan mereka sendiri dan semakin tenggelam dalam kesedihannya. Orang
yang sedang berpikir bunuh diri harus diajak konsultasi dengan ahli yang kompeten
demi mengatasi depresinya,” kata Kassandra.20

3.2 Contoh Kasus 2


Stres akibat pekerjaan bukan hanya dialami oleh pekerja di Indonesia. Di
Jepang bahkan ada survei yang menyatakan bahwa satu dari pekerja di sana sangat
stres bekerja sampai ingin membunuh atasannya.21
Survei tersebut diinisiasi oleh perusahaan agregator berita di Jepang, Shirabee,
yang mengumpulkan jawaban dari 1.006 pria dan wanita berusia 20 sampai 69 tahun.
Metodenya cukup sederhana, mereka hanya ditanya satu pertanyaan penting:
pernahkah terpikir untuk membunuh atasan Anda? Sebanyak 27 persen peserta survei
menjawab 'ya' yang berarti satu dari empat pekerja di Jepang mau membunuh
atasannya dengan alasan beban pekerjaan.21
Kultur bekerja di Negara Matahari Terbit memang sudah lama dikenal sebagai
salah satu yang paling melelahkan di dunia. Yang membuat lelah bukan soal jumlah
tugas yang harus dikerjakan, melainkan tuntutan kesempurnaan hasil pekerjaan yang
wajib dilakukan.21
Dikutip dari Japan Today pada Minggu (24/6), survei tersebut juga
menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja di Jepang sungkan untuk tak masuk kerja,
bahkan jika sedang sakit. Mereka juga enggan meninggalkan meja kerjanya terlalu
lama meski sedang jam makan siang. Fenomena "kerja keras bagai kuda" di Jepang
terlihat ketika bencana alam gempa bumi melanda Osaka pada awal pekan ini.21
Saat itu gempa membuat layanan perjalanan darat, air dan udara tak beroperasi
dalam waktu cukup lama. Akibatnya banyak pekerja yang pusing tujuh keliling
mencari alasan terlambat sampai tak bisa datang ke tempat kerjanya.21
Berdasarkan kasus-kasus diatas para pekerja mengalami dampak psikologis
yang cukup membahayakan karena sampai melakukan bunuh diri dan ingin
membunuh atasannya hanya karena stres dengan pekerjaannya. Stres yang dialami

14
oleh pekerja sesuai dengan pengertian menurut Widyastuti yang menyatakan bahwa
stres kerja merupakan ketegangan yang dengan mudah muncul akibat kejenuhan yang
timbul dari beban kerja yang berlebihan.22
Pada contoh kasus 2, tuntutan kesempurnaan hasil pekerjaan yang wajib
dilakukan, sebagian besar pekerja di Jepang sungkan untuk tak masuk kerja, bahkan
jika sedang sakit serta enggan meninggalkan meja kerjanya terlalu lama meski sedang
jam makan siang membuat pekerja Jepang memaksa dirinya sendiri untuk bekerja di
luar batas normal. Hal tersebut menunjukkan beban kerja yang sangat berat sehingga
menimbulkan dampak psikologis dan kesehatan pada pekerja dan pada akhirnya stres
bertambah berat.
Sebaiknya pekerja dapat memanajemen stres dengan melakukan istirahat yang
cukup, liburan untuk refreshing, dan tidak memaksakan diri.

15
BAB IV

KESIMPULAN

Stres merupakan reaksi yang tidak diharapkan muncul sebagai akibat tingginya
tuntutan lingkungan kepada seseorang. Stres dapat disebabkan oleh rasa takut akan
kehilangan pekerjaannya, jam kerja yang berlebihan, tingkat kontrol seseorang terhadap
pekerjaannya, gaya manajer dalam mengatur organisasi, melakukan sejumlah pekerjaan yang
besar dalam waktu yang singkat.
Masalah stres ini sering terjadi dan dapat mengenai siapa saja. Manajemen stres
diperlukan sehingga kita dapat mengatasi masalah yang ada dan dapat bekerja dengan baik.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Hardjodisastro, D. 2006. Menuju Seni Ilmu Kedokteran Bagaimana Dokter Berpikir,


Bekerja dan Menampilkan Diri. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
2. Rizkiyani, Dwi, Saragih, Susanti. 2012. Stress Kerja Dan Motivasi Kerja Pada Petugas
Lembaga Permasyarakatan. Jurnal Manajemen Vol 12 No. 1. Bandung.
3. Wirawan. 2012. Menghadapi Stres dan Depresi. Jakarta: Platinum
4. Munandar, Ashar Sunyoto. 2008. Cetakan Ke 1 Psikologi Industri Dan Organisasi.
Universitas Indonesia, Jakarta.
5. Sopiah, Perilaku Organisasional. Jakarta: C.V. Andi Offset, 2008.
6. Kendall, C. P., Hammen, C. 1998. Abnormal Psychology. Understanding Human
Problems (2nd ed.). New York: Houghton Mufflin Company.
7. Willy F.Maramis, Albert A.Maramis. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2. Surabaya:
Airlangga University Press, 2009
8. Kartono, K & Gulo, D. 2000. Kamus Psikologi. Bandung: Pionir Jaya.
9. Lyon BL. 2012. Stress, coping, and health. In Rice, H. V. (Eds.) Handbook of stress,
coping and health: Implications for nursing research, theory, and practice (pp.3-23).
USA: Sage Publication, Inc.
10. Bartlett, D. 1998. Stress: Perspectives and processes. Philadelphia, USA: Open
University Press.
11. Staal, M. A. 2004. Stress, cognition, and human performance: A literature review and
conceptual framework. Nasa technical memorandum, 212824, 9. http://
humanfactors.arc.nasa.gov/web/library/ publications/publications.php
12. Thoits, P. A. 1994. Stress, coping, and social support processes: where are we? What
next? Journal of Health And Social Behavior, 35, 53-79. http://www.jstor.
org/stable/2626957.
13. Carr, D., & Umberson, D. 2013. The social psychology of stress, health, and coping. In
DeLameter, J. & Ward, A. (Eds.). Handbook of Social Psychology (pp. 465-487).
Netherlands: Springer.
14. Schneiderman N, Ironson G, Siegel SD 2004. Stress and health: Psycho- logical,
behavioral, and biological determinants. Annual review of clinical psychology, 1, 607-
628. doi: 10.1146/ annurev.clinpsy.1.102803.144141
15. Rice, V. H. (Ed.). 2011. Theories of stress and its relationship to health. In Rice, H. V.
(Eds.), Handbook of stress, coping, and health: Implications for nursing research,
theory, and practice. USA: Sage Publication, Inc.
16. Lazarus, R. S., & Folkman, S. 1984. Stress, appraisal, and coping. New York, USA:
Springer Publishing Company.
17. Lazarus, R. S. 1993. From psychological stress to the emotions: A history of changing
outlooks. Annual review of psychology, 44.
18. Panigrahi, Ashok. 2016. Managing Stress at Workplace. Shirpur.
19. Ivancevich, John M, Konopaske Robert & Matteson, Michael T. 2007,

17
Perilaku Dan Manajemen Organisasi (Alih Bahasa Gina Gania), Edisi Tujuh.
Jakarta: Erlangga
20. Yusuf Y. (2018, 9 Januari). Diduga Stres Kerja, Karyawati Bank Bunuh Diri.
Dikutip 19 Oktober 2019 dari koran-sindo.com:
http://koran-sindo.com/page/news/2018-01-09/0/11/Diduga_Stres_Kerja_Kar
yawati_Bank_Bunuh_Diri
21. ARD. (2018, 24 Juni). Satu dari Empat Pekerja di Jepang Ingin Membunuh
Atasannya. Dikutip 19 Oktober 2019 dari CNN INDONESIA:
https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180624101234-277-308541/
satu-dari-empat-pekerja-di-jepang-ingin-membunuh-atasannya
22. Widyastuti, Palupi. (2007). Manajemen Stress Dengan Beban Kerja.Jakarta :EGC

18

Anda mungkin juga menyukai