Anda di halaman 1dari 30

PSIKOLOGI KESEHATAN

“STRES DAN PERILAKU PEMECAHAN MASALAH YANG TERKAIT DENGAN


KESEHATAN”

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 6
FATHINA ZHAFIRA 12060123472
HASIAN NAULI TIOMSI PANGGABEAN 12060123782

KELAS : GABUNGAN C

DOSEN PENGAMPU : Rahmatul Aufa, M.Psi.

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU


2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan
sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas mata kuliah Psikologi Kesehatan di program
studi Psikologi ke jenjang S1 dengan judul “Stres dan Perilaku Pemecahan Masalah yang
terkait dengan Kesehatan” Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, apabila terdapat banyak
kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen
Psikologi Kesehatan yaitu ibuk Rahmatul Aufa, M. Psi yang telah membimbing kami dalam
menulis makalah ini.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Pekanbaru, 20 September 2022

Kelompok 6
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada umumnya, setiap orang pernah mengalami perasaan tertekan atau mengalami
ketegangan yang dalam bahasa populernya dikenal dengan istilah stress. Sebab stres
merupakan bagian dari kehidupan manusia, artinya bahwa manusia tidak akan pernah
luput dari pengalaman merasakan ketegangan dalam hidupnya. Cara individu dalam
menyikapi kondisi stres pun berbeda-beda antara individu yang satu dan individu yang
lainnya. Hal itu tergantung dari pengalaman yang dimiliki oleh setiap individu,
kepribadiannya, dan kondisi lingkungan hidupnya.
Banyaknya permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari membuat seseorang
atau keluarga menjadi kebingungan dan stres. Sumber stres pada umumnya meliputi
peristiwa yang sangat menekan secara terus-menerus, masalah-masalah hubungan jangka
panjang, kesepian, dan kekhawatiran akan finansial karena kepala rumah tangga sebagai
pencari nafkah menjadi korban bencana (Maryam, 2017). Untuk mengatasi stres yang
dialami, dituntut untuk lebih konsentrasi dalam menyelesaikan berbagai masalah
Lazarus dan Folkman (1984) mengatakan bahwa keadaan stres yang dialami seseorang
akan menimbulkan efek yang kurang menguntungkan baik secara fisiologis maupun
psikologis. Individu tidak akan membiarkan efek negatif ini terus terjadi, ia akan melakukan
suatu tindakan untuk mengatasinya. Tindakan yang diambil individu dinamakan perilaku
pemecahan masalah. Perilaku pemecahan masalah sering dipengaruhi oleh latar belakang
budaya, pengalaman dalam menghadapi masalah, faktor lingkungan, kepribadian, konsep
diri, faktor sosial dan lain-lain sangat berpengaruh pada kemampuan individu dalam
menyelesaikan masalahnya
Stres muncul sejalan dengan peristiwa dan perjalanan kehidupan yang dilalui oleh
individu dan terjadinya tidak dapat dihindari sepenuhnya. Pada umumnya, individu yang
mengalami stres akan terganggu siklus kehidupannya dan merasakan ketidaknyamanan.
Bahkan, stres yang berkelanjutan dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain
sehingga masyarakat perlu memahami pengertian stres, macam-macam stres, indikasi
gejala stress, pengukuran stres, dan perilaku pemecahan masalah terkait kesehatan.
Tulisan berikut ini akan mencoba untuk menguraikan masalah stres dan cara
menuranginya, agar para pembaca dapat mengenali dan mengatasinya sehingga dapat
menjalani kehidupan dengan rasa nyaman dan bahagia
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan stres?
2. Apa macam-macam stres?
3. Bagaimana gejala-gejala stres?
4. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi stres?
5. Bagaimana pengukuran stres?
6. Apa yang dimaksud dengan perilaku pemecahan masalah?
7. Bagaimana bentuk dan fungsi perilaku pemecahan masalah?
8. Bagaimana pengukuran perilaku pemecahan masalah?
9. Bagaimana dinamika psikologis stres, perilaku pemecahan masalah dan perilaku
kesehatan?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian stres.
2. Untuk mengetahui macam-macam stres.
3. Untuk mengetahui gejala-gejala stres.
4. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi stres.
5. Untuk mengetahui pengukuran stres.
6. Untuk mengetahui pengertian perilaku pemecahan masalah.
7. Untuk mengetahui bentuk dan fungsi perilaku pemecahan masalah.
8. Untuk mengetahui pengukuran perilaku pemecahan masalah.
9. Untuk mengetahui dinamika psikologis stres, perilaku pemecahan masalah dan perilaku
kesehatan.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Stres


Stres merupakan kondisi emosi negatif berupa ketegangan yang mempengaruhi
munculnya reaksi fisiologis, psikologis dan perilaku (stress reduction) yang dilakukan
manusia untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang dapat berupa peristiwa kejadian
yang menekan, mengancam, dan membahayakan (stresor) (Taylor, 1995).
Vincent Cornelli merumuskan konsep stres sebagai gangguan pada tubuh dan
pikiran yang disebabkan oleh perubahan dan tuntutan kehidupan. Stres dipengaruhi baik
oleh lingkungan maupun penampilan individu di dalam lingkungan tersebut. (Grant
Brecht, 2000: 8).
Redaksi yang hampir sama juga dikemukakan oleh Hans Selye, dalam Iskandar
Junaidi (2006: 109), yang mendefinisikan stres sebagai “respon tidak spesifik tubuh
atau segala macam perintah dari tubuh”. Lebih lanjut dijelaskan bahwa stres adalah suatu
perasaan ragu terhadap kemampuan diri untuk dapat mengatasi sesuatu dalam kehidupan;
suatu anggapan bahwa persediaan yang ada tidak dapat memenuhi permintaan yang
muncul
Dari terminologi di atas dapat dipahami bahwa stres adalah respon organisme
untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan yang berlangsung. Tuntutan tersebut
dapat berupa hal-hal yang faktual terjadi, atau hal-hal baru yang mungkin akan
terjadi, tetapi dipersepsi secara aktual. Jika ia tidak sanggup mengatasinya maka terjadilah
gangguan pada satu atau lebih organ tubuh yang mengakibatkan yang bersangkutan tidak
dapat menjalankan fungsi pekerjaannya dengan baik. Dengan ungkapan lain stres
merupakan suatu keadaan tidak mengenakan atau tidak nyaman yang dialami oleh
individu dan keadaan tersebut menganggu pikiran, emosional, tindakan atau perilaku
dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi tersebut bersifat individual dan subjektif. Artinya
kondisi stres yang dialami oleh setiap orang tidak sama dan cara penanggulangannya pun
tidak sama karena sifatnya subyektif dan pribadi.

2.2 Macam-macam Stres


Kondisi stres dapat terjadi dimana-mana. Henry Parker (2007) merinci kondisi stres
berdasar tempatnya sebagai berikut:
1. Stres ditempat kerja
Stres di tempat kerja dikategorikan menjadi dua penyebab.
a. Penyebab umum stres ditempat kerja
Lebih disebabkan problem organisasi
1) Insufficient back-up
2) Terlalu lama jam kerja (long or unsociable hours)
3) Tidak mempunyai kedudukan, rendah upah/gaji dan tidak ada promosi ke depan
yang baik (poor status, pay and promotion prospects)
4) Kebiasaan yang tidak perlu dan prosedural (unnecessary rituals and procedures)
5) Tidak memenuhi kebutuhan dan tidak nyaman (uncertainty and insecurity)
b. Penyebab Khusus Stres di tempat kerja
1) Tidak jelas pekerjaan yang akan dilakukan (unclear role specifications)
2) Terjadi konflik peran/pekerjaan (role conflict)
3) Tidak realistik dan terlalu tinggi harapannya/perfecsionis. (unrealistically high self-
expectations (perfectionism)
4) Tidak mampu mempengaruhi pembuat kebijakan/tidak mempunyai kekuatan &
kekuasaan (inability to influence decision making (powerlessness)
5) Sering berselisih dan merasa superior (frequent clashes with superiors)
6) Terisolasi (tersisih) dari dukungan kolega (isolation from colleagues' support)
7) Monoton (lack of variety)
8) Miskin komunikasi (poor communication)
9) Kepemimpinan yang lemah (inadequate leadership)
10) Konflik dengan kolega (conflicts with colleagues)
11) Tidak mampu menyelesaikan pekerjaan (inability to finish a job)
12) Fighting unnecessary battles
2. Stres dirumah
Terdapat beberapa penyebab stres di rumah:
a. Stres disebabkan pasangan
b. Stres disebabkan masalah anak
c. Stres disebabkan pengurusan rumah tangga
d. Stres karena tekanan lingkungan di sekitar rumah
3. Psikososial
Secara global, Dadang Hawari (2007) menjelaskan jenis stresor psikososial dalam bentuk
sebagai berikut :
a. Perkawinan
Berbagai permasalahan perkawinan merupakan sumber stres yang dialami seseorang.
Misalnya : pertengkaran, perpisahan (separation), perceraian (divorce), kematian salah
satu pasangan, ketidaksetiaan dan lain sebagainya. Strestor perkawinan ini dapat
menyebabkan seseorang jatuh sakit.
b. Problem Orangtua
Permasalahan yang dihadapi orang tua, misalnya : tidak punya anak, kebanyakan
anak, kenakalan anak, anak sakit dan hubungan yang tidak baik antara mertua, ipar,
besan dan sebagainya. Permasalahan tersebut diatas bila tidak dapat diatasi oleh
yang bersangkutan dapat menyebabkan sumber stres yang pada gilirannya seseorang
dapat jatuh sakit.
c. Hubungan Interpersonal (antar pribadi)
Gangguan ini dapat berupa hubungan dengan kawan dekat yang mengalami konflik
atau konflik dengan kekasih, konflik dengan rekan sekerja, konflik antara atasan dan
bawahan dan lain sebagainya. Konflik antar pribadi ini dapat merupakan sumber stres
bagi seseorang yang bila tidak dapat diperbaiki (silaturrahmi) pada gilirannya yang
bersangkutan dapat jatuh sakit.
d. Pekerjaan Masalah
Pekerjaan dapat merupakan sumber stres pada diri seseorang yang bila tidak dapat
diatasi yang bersangkutan dapat jatuh sakit. Misalnya kehilangan pekerjaan (PHK),
pensiun (post power syndrome), pekerjaan terlalu banyak, pekerjaan tidak cocok,
mutasi jabatan dan lain sebagainya.
e. Lingkungan hidup
Faktor lingkungan hidup tidak hanya dilihat dari lingkungan itu bebas polusi, sampah
dan lain sejenisnya tetapi terutama kondisi lingkungan sosial di mana seseorang itu
hidup. Beberapa contoh masalah lingkungan hidup yang dapat menjadi stresor pada
diri seseorang antara lain masalah perumahan, pindah tempat tinggal, hidup dalam
lingkungan yang rawan (kriminalitas) dan lain sebagainya. Rasa tidak aman dan tidak
terlindung membuat jiwa seseorang tercekam sehingga mengganggu ketenangan dan
ketentraman hidup yang lama kelamaan daya tahan seseorang menurun sehingga
jatuh sakit.
f. Keuangan
Masalah keuangan (kondisi sosial-ekonomi) yang tidak sehat, misalnya pendapatan
jauh lebih rendah dari pengeluaran, terlibat hutang, kebangkrutan usaha, soal warisan
dan lain sebagainya. Kesemuanya itu dapat menjadi sumber stres pada diri seseorang
yang apabila tidak dapat ditanggulangi yang bersangkutan akan jatuh sakit.
g. Hukum
Keterlibatan seseorang dalam masalah hukum dapat merupakan sumber stres pula,
misalnya tuntutan hukum, pengadilan, penjara dan lain sebagainya. Stres di bidang
hukum ini dapat menyebabkan seseorang jatuh sakit.
h. Perkembangan
Masalah perkembangan baik fisik maupum mental seseorang, misalnya masa remaja,
masa dewasa, menopause, usia lanjut dan lain sebagainya. Kondisi setiap perubahan
fase-fase perkembangan tersebut di atas tidak tidak selamanya dapat dilampaui
dengan baik, ada sementara orang yang tidak mampu sehingga jatuh sakit karenanya.
i. Penyakit fisik atau cidera
Sumber stres yang dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan seseorang antara lain
adalah penyakit (terutama penyakit yang kronis), jantung, kanker, kecelakaan, operasi,
aborsi dan lain sebagainya.
j. Faktor Keluarga
Faktor stres yang dialami oleh anak dan remaja yang disebabkan karena kondisi
keluarga yang tidak baik (yaitu sikap orangtua), misalnya:
1) Hubungan kedua orang tua yang dingin atau penuh dengan ketegangan dan acuh
tak acuh.
2) Kedua orang tua jarang di rumah dan tidak ada waktu untuk bersama dengan anak-
anak.
3) Komunikasi antara orangtua dan anak yang tidak baik.
4) Kedua orangtua berpisah atau bercerai.
5) Salah satu orangtua menderita gangguan jiwa/kepribadian.
6) Orangtua dalam mendidik anak kurang sabar, pemarah, keras dan otoriter dan lain
sebagainya.
k. Lain-lain.
Stresor kehidupan lainnya juga dapat menimbulkan gangguan kejiwaan (stres pasca
trauma) adalah antara lain bencana alam, huru hara, peperangan, kebakaran,
perkosaan, kehamilan di luar nikah, aborsi dan lain sebagainya. (Dadang Hawari,
2007: 31-35)
2.3 Gejala-gejala Stres
Stres memiliki dua gejala yaitu:
1. Gejala Fisik
Gejala stres secara fisik dapat berupa jantung berdebar, nafas cepat dan
memburu/terengah-engah, mulut kering, lutut gemetar, suara menjadi serak, perut
melilit, nyeri kepala seperti diikat, berkeringat banyak, tangan lembab, letih yang tak
beralasan, merasa gerah, panas, otot tegang.
2. Gejala Psikis
Keadaan stres dapat membuat orang-orang yang mengalaminya merasakan gejala-
gejala psiko neurosa (neurotik), seperti cemas, resah, gelisah, sedih, depresi, curiga,
takut, bingung, salah paham, agresi, labil, jengkel, marah, lekas panik, cermat secara
berlebihan.(Iskandar Junaidi, 2006: 113-114)
Dilihat dari gejala-gejala stres, Dadang Hawari mengemukakan pendapat Robert J. Van
Amberg, seorang psikiater yang membagi tahapan stres dalam enam tingkatan. Dengan
latar belakang seorang dokter ahli jiwa, maka terlihat gejala-gejala yang ada lebih banyak
dilihat dari perspektif medis/fisik. Keenam tingkatan tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Stres tingkat I
Tahapan stres ini merupakan tingkat stres yang paling ringan yang ditandai dengan
perasan-perasaan sebagai berikut:
a. Semangat besar
b. Penglihatan tajam tidak sebagaimana biasanya
c. Energi dan gugup secara berlebihan, kemampuan menyelesaikan yang lebih dari
biasanya. Tahapan ini biasanya menyenangkan dan orang kemudian menjadi
bersemangat dengan tanpa disadari bahwa sebenarnya cadangan energinya sudah
menipis.
2. Stres tingkat II
Tahapan kedua ini dampak stres yang menyenangkan mulai hilang dan timbul
keluhan-keluhan karena cadangan energi tidak lagi cukup sepanjang hari. Keluhan-
keluhan yang sering dirasakan antara lain:
a. Merasa letih disaat bangun pagi
b. Merasa lelah sesudah makan
c. Merasa lelah menjelang sore
d. Terkadang gangguan dalam sistem percernaan (gangguan usus, perut kembung).
Kadang-kadang disertai jantung yang berdebar-debar
e. Perasaan tegang pada otot-otot punggung dan tengkuk (belakang leher)
f. Perasaan tidak bisa santai
3. Stres tingkat III
Pada tahap tiga, keluhan semakin tampak dengan gejala-gejala sebagai berikut:
a. Gangguan usus semakin terasa (sakit perut, mules, sering ingin ke belakang)
b. Otot-otot terasa tegang
c. Perasaan tegang yang semakin meningkat
d. Gangguan tidur (sukar tidur, suka terbangun malam dan sukar tidur kembali, atau
bangun terlalu pagi)
e. Badan terasa oyong, rasa-rasa mau pingsan (tidak sampai jatuh pingsan)
Tahapan ini harus segera berkonsultasi pada dokter, kecuali kalau beban stres atau
tuntutan-tuntutan dikurangi, dan tubuh mendapat kesempatan untuk beristirahat atau
relaksasi, guna memulihkan suplay energy
4. Stres tingkat IV
Gejala dalam tahap keempat semakin lebih berat, dengan gejala-gejala sebagai berikut:
a. Untuk bisa bertahan sepanjang hari terasa sangat sulit
b. Kegiatan-kegiatan yang semula menyenangkan kini terasa sulit
c. Kehilangan kemampuan untuk menanggapi situasi, pergaulan sosial, dan kegiatan-
kegiatan rutin lainnya terasa berat
d. Tidur semakin sukar, mimpi-mimpi menegangkan dan seringkali terbangun dini hari
e. Perasaan negatif
f. Kemampuan berkonsentrasi menurun tajam
g. Perasaan takut yang tidak dapat dijelaskan, tidak mengerti mengapa.
5. Stres tingkat V
Tahapan ini merupakan keadaan yang lebih mendalam dari tahapan 4 di atas, yaitu:
a. Keletihan yang mendalam (physical and psychological exhaustion)
b. Untuk pekerjaan-pekerjaan yang sederhana saja terasa kurang mampu
c. Gangguan sistem pencernaan (sakit maag dan usus) lebih sering, sukar buang air
besar atau sebaliknya feses encer dan sering ke belakang
d. Perasaan takut yang semakin menjadi, mirip panik.
6. Stres tingkat VI
Tahapan ini merupakan tahapan puncak yang merupakan keadaan gawat darurat.
Tidak jarang penderita dalam tahapan ini di bawa ke ICCU. Gejala-gejala pada tahapan
ini cukup mengerikan:
a. Debaran jantung terasa amat keras, hal ini disebabkan karena zat adrenalin yang
dikeluarkan karena stres tersebut cukup tinggi dalam peredaran darah
b. Nafas sesak, megap-megap
c. Badan gemetar, tubuh dingin, keringat bercucuran
d. Tenaga untuk hal-hal yang ringan sekalipun tidak kuasa lagi. Pingsan atau collaps.
Bilamana diperhatikan, maka dalam tahapan stres di atas, menunjukkan manifestasi di
bidang fisik dan psikis. Di bidang fisik berupa kelelahan, sedangkan di bidang psikis
berupa kecemasan dan depresi. Hal ini dikarenakan penyediaan energi fisik maupun
mental yang mengalami defisit terus-menerus. Sering buang air kecil dan sukar tidur
merupakan pertanda dari depresi.
Stres berdampak terhadap keadaan jasmani dan kejiwaan seseorang:
1. Reaksi yang bersifat jasmani dapat berupa:Jantung berdebar-debar, otot tegang, sakit
kepala, sakit perut/diare, lelah, gangguan makan, eksim.
2. Reaksi yang bersifat kejiwaan dapat berupa: Sukar konsentrasi, sukar tidur, cenderung
menyalahkan orang lain, cemas, menarik diri, menyerang, mudah tersinggung.
3. Pada tahap yang berat stres dapat menimbulkan: Penyakit fisik (misal tekanan darah
tinggi, asma berat, serangan jantung dan sebagainya).

2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stres


Faktor-faktor yang mempengaruhi stres erat kaitannya dengan penafsiran individu
terhadap berat dan ringannya stres (Prokop, 1991). Faktor yang mempengaruhi stres
antara lain:
1. Faktor dari dalam diri individu
a. Perilaku individu untuk memprediksi stresor sehingga mempengaruhi lamanya
keberlangsungan mengatasi stressor, dan tingkat toleransi frustasi yang dialami. Hal
ini mengiringi kemunculan potensi dan aktualisasi diri individu pada kekurangefektifan
manajemen stress yang dilakukannya (Prokop, 1991). Manajemen stres menurut
beberapa penelitian (Davidson, Neale dan Kring, 2006) berhubungan dengan teknik
pengurangan ketegangan, restrukturisasi kognitif, pelatihan keterampilan berperilaku,
dan perubahan lingkungan
b. Sumber daya pribadi berupa optimalisasi potensi kecerdasan intelektual, artifisial,
emosional, religiusitas, adversity yang mempengaruhi efikasi diri atau keyakinan
kemampuan seseorang untuk mengendalikan situasi yang menekan dan
keputusasaan serta karakter pribadi yang tahan banting (Prokop, 1991).
c. Kerentanan kesakitan fisik dan psikologis yang mengakibatkan perubahan
psikofisiologis yang terjadi akibat penyakit atau gangguan kesehatan yang dialami
karena faktor utama masalah fisik ataupun dan psikologis (Prokop, 1991). Sistem
kekebalan tubuh yang melemah dapat menyebabkan kerentanan seseorang terhadap
penyakit dan stress (Nevid, Rathus, & Greene, 2003). Stres terkait penyakit menurut
Corwin (1996) disebabkan bagian tubuh yang terkena pajanan stresor baik fisik
maupun psikologis sehingga terjadi perubahan system atau organ yang
termanifestasi berupa peningkatan denyut jantung dan kecepatan pernafasan,
berkeringat, pembesaran pupil dan peningkatan kewaspadaan pada jenis stres akut.
Stress kronik ditandai dengan kebingungan, distress, tidak dapat tidur, kesulitan
menghadapi kebutuhan stresor yang tinggi dan dapat mempengaruhi hubungan klien
dengan pasien atau keluarga. Beberapa penyakit terkait dengan stres adalah
penyakit jantung coroner (berdebar-debar, dan denyut jantung ireguler, angina
pectoris, infark miokardus), gangguan vascular perifer atau sentral (hipertensi,
stroke), gangguan pernafasan (asma, hiperventilasi), gangguan saluran cerna
(anoreksia, konstipasi atau diare, tukak, usus meradang), gangguan susunan syaraf
(sulit tidur, rasa lelah, cemas, depresi), gangguan musculoskeletal (nyeri kepala, nyeri
punggung, penurunan pertumbuhan), gangguan kulit (psoriasis, jerawat), gangguan
sistem imun (infeksi berulang, penyakit autoimun, kanker), dan gangguan reproduksi
(amenore, impotensi, dan sterilitas).
d. Tipe kepribadian individu. Individu dengan kepribadian model A (berbeda dengan tipe
B) seringkali mudah merasa stres yang berhubungan dengan cara pemecahan
masalah dan respon fisiknya saat individu mengatasi konflik psikologis dan fisiologis
yang menimbulkan gejala somatik dan atau disertai gejala psikologis.
2. Faktor dari luar individu
a. Peristiwa kehidupan
Peristiwa kehidupan yang menekan berupa stres mikro yaitu kejadian menekan yang
dialami individu schari-hari sehingga menvebabkan frustrasi, sakit hati, atau tertekan
(Lazarus & Folkman, 1984). Peristiwa kehidupan ini dapat disebabkan oleh:
1. Perubahan Lingkungan Alam yang bersifat alamiah seperti banjir, bencana alam,
gempa bumi, tanah longsor, dan tsunami.
2. Perubahan Lingkungan Sosial akibat perubahan perilaku artifisial manusia yang
menyalahi aturan normalitas seperti kerusuhan, perampokan, dan kemalasan.
Veid, Rathus, & greene (2003) mengemukakan bahwa perubahan kehidupan ini
seperti pernikahan, kelahiran dan kematian juga menuntut individu mampu
menyesuaikan diri dengan peristiwa tersebut.
3. Lingkungan Fisik berupa kebisingan, ketinggian temperature, kelembaban udara,
dan penerangan di ruang kerja dapat menyebabkan stres (Smet, 1994).
b. Dukungan sosial. Dukungan sosial yang berhubungal dengan kesehatan
diungkapkan Sherbourne dan Stewart melalui penelitian The Rand and Medical
Outcomes Study (McDowell & Newell, 1996) sebagai dukungan yang berasal dari
kemampuan mengembangkan dan memelihara jalinan hubungan sosial dalam bentuk
keberadaan dan emosi. Dukungan sosial berhubungan dengan kejadian nyata untuk
membantu pemecahan masalah seseorang yang berhubungan dengan stres dan
penyakit meskipun tidak terdapat hubungan langsung antara mekanisme stres dan
penyakit melalui dukungan tersebut.
c. Hubungan sosial. Proses hubungan sosial yang mempengaruhi kesehatan dibagi
dalam dua kelompok yaitu:
1) Proses yang melibatkan perubahan sumber emosional, informasional, atau
instrumental dalam merespon persepsi bantuan yang diberikan oleh orang lain.
Dukungan sosial berhubungan dengan penyakit, kejadian kehidupan, transisi
pengembangan, dan adiksi. Dukungan sosial digunakan untuk sumber sosial yang
dipersepsikan dan diterima individu oleh kelompok nonprofesional dalam
hubungan menolong dalam bentuk dukungan formal dan informal.
2) Proses yang berfokus pada bertambahnya manfaat bagi individu dari satu atau
lebih kelompok sosial yang berbeda. Manfaat diperoleh dari hubungan antar
individu yaitu konsep diri, perasaan harga diri dan kontrol pribadi serta konformitas
pada norma perilaku yang memiliki implikasi untuk kesehatan individu. Orang lain
dapat mempengaruhi kognisi, emosi, dan perilaku serta respon biologis untuk
tujuan keuntungan bagi kesehatan dan kesejahteraan melalui interaksi yang tidak
diterangkan secara eksplisit untuk tukar menukar bantuan atau dukungan (Cohen,
Underwood, & Gottlieb, 2000).
d. Keluarga. Keberadaan keluarga sebagai dukungan yang bersifat nyata dan suportif.
Kerjasama positif dalam keluarga membuat individu yang sedang mengalami stres
mampu menemukan pemecahan masalah yang lebih tepat dan menilai dirinya secara
positif sehingga keluarga menjadi penguatan individu untuk melakukan interaksi
sosial positif dalam mengatasi stresnya. Smet (1994) mengemukakan interaksi
diantara anggota keluarga berupa perselisihan, perasaan saling tak acuh dan
perbedaan tujuan menjadi pemicu kemunculan stres diantara anggotanya.
e. Pekerjaan. Pekerjaan akan mempengaruhi terjadinya stres secara spesifik yaitu stres
kerja. Menurut Heilriegel dan Slocum (dalam Wijono, 2010), stres kerja ini
dipengaruhi oleh konflik, ketidakpastian, dan tekanan dari tugas serta hubungan
dengan pihak manajemen sebagai umpan balik karyawan terhadap keinginan
organisasi kerjanya secara fisiologis dan psikologis yang dapat berupa eustress
berupa stres positif yang muncul akibat peningkatan motivasi kerja dan distres
sebagai stres negatif yang muncul akibat hancurnya produktivitas kerja karyawan.
Sementara itu Smet (1994) mengemukakan kurangnya pengakuan terhadap
kemajuan kinerja dan proses promosi dapat menyebabkan stres kerja.
f. Budaya. Budaya mempengaruhi bentuk dan respon stres dan distres yang dialami
individu. Individu dengan budaya yang berbeda dapat merespon stres dengan cara
yang berbeda meskipun stresor yang dialami sama (Helman, 2001).

2.5 Pengukuran Stres


Pengukuran stres telah banyak dilakukan para ahli dari berbagai sudut pandang sesuai
faktor situasional dan kontekstual individu yang mengalaminya yaitu:
1. Holmes dan Rahe mengukur stres berdasarkan kemampuan individu melakukan
penyesuaian sosial dalam skala Social Read Justment Rating yang berisi aitem efek dan
pemicu stres berdasarkan beberapa peristiwa yang terjadi pada diri individu dalam kurun
waktu tertentu sehingga menghasilkan nilai Unit Perubahan Kehidupan (Life Change
Unit) (Davidson, Neale, & Kring, 2006).
2. Stone dan Neale mengukur stres berdasarkan pengalaman harian individu (Asessment
of Daily Experience) yang memungkinkan adanya pencatatan dan pemberian nilai pada
pengalaman sehari-hari dan berhubungan dengan kesehatan (Davidson, Neale, & Kring,
2006).
Pengukuran stres ini memungkinkan adanya pengalaman harian individu yang
berhubungan dengan penyakit yang dialami sebagaimana telah diteliti oleh
Kusumadewi, & Retnowati (2010) pada penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 yang
menemukan bahwa permasalahan yang dialami penderita penyakit kronis tersebut akan
mengharuskan penyesuaian diri terhadap pola hidupnya sehingga menimbulkan stresor
harian yang tinggi berpengaruh pada kualitas hidup penderitanya melalui regulasi diri
yang terkontrol dan penurunan stresor harian dapat diturunkan melalui regulasi diri yang
terkontrol pada kualitas hidup diabeti (Individu dengan Diabetes Mellitus)
Pengukuran stres yang berbeda dilakukan Wahyuni pada tahun 2011 pada tugas
akhir akademis mengenai stres orangtua sebagai caregiver anak dengan autisme
dilakukan berdasarkan tiga gejala stres yang dimodifikasi dari gejala yang dikemukakan
oleh Davidson, Neale dan Kring (2003) yaitu gejala biologis (indikatornya adalah
aktivitas otak tidak seimbang, faktor genetik, gangguan pencernaan, mudah lelah dan
mudah letih, kegelisahan perasaan), kedua adalah gejala psikologis (indikator yang
digunakan adalah emosi tidak stabil, dan mudah marah, pasrah, kecemasan akan masa
depan, dan mudah takut serta khawatir), dan ketiga adalah gejala kognitif perilaku
(indikatornya adalah ketidakmampuan mengatasi persoalan, pemikiran jengkel terhadap
orang lain, kurangnya kreativitas dan inovasi, dan ketidakberdayaan).

2.7 Pengertian Perilaku Pemecahan Masalah


Menurut Lazarus & Folkman pada tahun 1984 (dalam Raudatussalamah & Fitri, 2012)
perilaku pemecahan masalah merupakan strategi menghadapi masalah (coping strategy)
yaitu usaha individu untuk menerima, mentoleransi menghindari atau meminimalisir stresor
dengan melibatkan pemikiran dan perilaku untuk mengatur tuntutan dari dalam maupun
dari luar yang dinilai diluar batas kemampuan individu tersebut sehingga membantu
individu untuk menyesuaikan dengan situasi yang menekan. Sarafino (2002), coping
adalah usaha untuk menetralisasi atau mengurangi stres yang terjadi. Sedangkan dalam
pandangan Haber dan Runyon (1984), coping adalah semua bentuk perilaku dan pikiran
(negatif atau positif) yang dapat mengurangi kondisi yang membebani individu agar tidak
menimbulkan stres (dalam Maryam, 2017).
Jadi berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku
pemecahan masalah merupakan suatu usaha atau upaya individu untuk mengurangi,
menghindari, dan menanggulangi situasi serta kondisi yang membebani atau menekan
dengan melakukan perubahan pikiran atau perilaku individu sehingga tidak menimbulkan
stres.
Lazarus & Folkman pada tahun 1984 mengemukakan perilaku pemecahan masalah
dapat dibedakan dalam tiga hal (dalam Raudatussalamah & Fitri, 2012), yaitu sebagai
berikut:
 Strategi menghadapi masalah (coping strategies) merupakan aktivitas individu berupa
aspek pemikiran dan perilaku dalam menghadapi kejadian yang menekan.
 Sifat atau gaya strategi menghadapi masalah (coping trait) merupakan sifat khas yang
tampak menetap tergambar dalam perilaku individu yang bersifat konsisten, reflektif atau
otomatis dalam merespon kejadian yang menekan dialaminya.
 Sumber daya strategi menghadapi masalah (coping resources) merupakan faktor yang
mempengaruhi efektivitas keberhasilan pilihan strategi pengatasan masalah yang
digunakan individu.

2.8 Bentuk dan Fungsi Perilaku Pemecahan Masalah


Model penelitian pada umumnya menggunakan perbedaan cara mengatasi masalah
yang dilakukan individu dalam menghadapi berbagai situasi (trait model). Perilaku
pemecahan masalah menurut beberapa ahli (dalam Raudatussalamah & Fitri, 2012) antara
lain:
1) Berdasarkan bentuk dan fungsinya menurut Lazarus dan Folkman (1984, dalam Smet,
1994) dapat dibedakan menjadi:
a. Perilaku pemecahan masalah pada masalah (problem focused coping) sebagai
upaya untuk mengurangi stresor yang muncul saat individu akan mengatasi stres
dengan mempelajari cara keterampilan baru sehingga individu memiliki keyakinan
dapat mengubah situasi. Hal ini terarah pada masalah individu dengan mempelajari
cara-cara keterampilan yang baru.
b. Perilaku pemecahan masalah yang berfokus pada emosi (emotion focused coping)
berupa pengaturan respon emosional saat seseorang diharuskan mengubah kondisi
yang menyebabkan ia harus menghadapi stres. Individu akan berusaha mengurangi
atau menghilangkan hal yang tidak menyenangkan secara kognitif dan mengakui
emosi yang terjadi jika dihadapkan pada kegagalan pengatasan masalah. Bentuk ini
terarah pada bagaimana individu meniadakan fakta-fakta yang tidak menyenangkan
melalui strategi kognitif.
2) Berdasarkan perspektif waktu terhadap keberadaan stres dan kepastian subjektif
peristiwa yang menyertai menurut Schwarzer & Knoll (2006) membedakan pengatasan
masalah berdasarkan perspektif:
a. Reaktif, sebagai usaha individu untuk berdamai dengan kemunculan atau pengatasan
stres untuk hal yang membahayakan atau kehilangan. Contohnya perceraian,
kehilangan pekerjaan, buruknya hasil wawancara, kecelakaan dan kritikan dari teman
atau orangtua.
b. Antisipatori, berhubungan dengan usaha individu berdamai pada hal-hal untuk
menghindari penundaan pada kejadian yang belum berlangsung. Misalnya konfirmasi
jadwal pertemuan dengan dokter, wawancara kerja, pertemuan orangtua murid, ujian,
promosi, pension dan hubungan kerja.
c. Preventif, pencegahan sebagai usaha untuk mempersiapkan ketidakpastian peristiwa
pada jangka waktu panjang. Tujuannya adalah untuk membangun sumber
pertahanan untuk mengurangi ketegangan yang akan muncul di masa yang akan
datang. Contoh pada kasus prevensi kehilangan pekerjaan, kekerasan, kriminalitas,
kesakitan, kecacatan fisik, bencana dan kemiskinan.
d. Proaktif, merupakan prototype dari positive coping sebagai refleksi usaha individu
untuk mengembangkan sumber yang memfasilitasi promosi meraih tujuan yang
menantang dan pertumbuhan personal. Individu akan memiliki visi, memandang
risiko, kebutuhan, dan kesempatan di waktu yang akan datang namun tidak
menganggapnya sebagai ancaman dan hambatan atau kehilangan. Hal ini dilakukan
individu dengan melibatkan kemampuan manajemen risikonya.

2.9 Pengukuran Perilaku Pemecahan Masalah


Penelitian perilaku pemecahan masalah individu tidak dapat dilepaskan dari spesifikasi
masalah yang dihadapi dan aktivitas yang dilakukan oleh individu tersebut. Pengukuran
perilaku pemecahan masalah yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti (dalam
Raudatussalamah & Fitri, 2012) antara lain:
a) Emotion Focused Coping
Pengatasan masalah berfokus pada emosi ini dikembangkan oleh Stanton (dalam
Snyder & Lopez, 2007) yang mengemukakan pengatasan masalah berfokus emosi
bermanfaat dan tidak sebagai bentuk maladaptif dalam pengatasan masalah. Jurnal
penelitian dari Stanton mengungkapkan pendekatan pengatasan masalah berfokus
emosi pada proses emosi yang terdiri dari aitem: saya menyadari ketepatan dan
kepentingan perasaan saya, saya membutuhkan waktu untuk menimbang apa yang
sedang saya rasakan, saya menggali perasaan saya dengan memahaminya, dan saya
mengakui emosi saya. Sedangkan ekspresi emosi pada pengatasan masalah terdiri dari
aitem: saya merasakan kebebasan menyatakan emosi, saya membutuhkan waktu untuk
menyatakan emosi, saya mengijinkan diri saya untuk menyatakan emosi, dan saya
membiarkan perasaan saya keluar apa adanya.
b) Penggunaan Proactive Coping Inventory
Pengatasan masalah proaktif ini dikembangkan oleh Greenglass (dalam Schwarzer &
Knoll, 2006) yang terdiri dari 14 aitem dengan 3 aitem unfavorable yaitu: saya
membiarkan segala sesuatu bekerja dengan sendirinya, kegagalan yang sering dialami
membuat saya tidak memiliki harapan yang tinggi, dan saya biasanya menilai diri sendiri
tidak dalam situasi yang tepat atau menang saat menghapi masalah. Sebelas aitem
favorabel lainnya antara lain: saya orang yang siap sedia, saya mencari hal lain yang
lebih menantang setelah mencapai suatu tujuan, saya menyukai tantangan, saya
mencoba meraih mimpi yang telah saya visualisasikan, saya biasanya sukses meraih
apa yang saya inginkan, saya mencoba merinci hal yang diperlukan untuk kesuksesan,
saya mencoba mencari cara bekerja agar rintangan tidak menghalangi, saya
membayangkan memperoleh pekerjaan yang saya lamar, saya merubah rintangan
menjadi pengalaman positif, saya yakin mampu melakukan sesuatu meskipun orang lain
mengingkari hal tersebut, dan saat saya berinisiatif menyelesaikan masalah yang
dialami.
c) Pengukuran pengatasan masalah menurut Lazarus dan Folkman (1984) berhubungan
dengan usaha agresif individu untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan,
tingkat kemarahan yang cukup tinggi, dan mengambil resiko; usaha individu pada
pencarian dukungan dari orang lain berupa nasihat, informasi, dan bantuan; usaha
individu dalam bentuk perencanaan pemecahan masalah melalui analisa situasi untuk
memperoleh solusi berupa tindakan penyelesaian masalah langsung. Pemecahan
masalah yang dilakukan individu dapat berorientasi pada pemecahan masalah yang
berfokus pada masalah (usaha individu mengurangi atau menghilangkan stres yang
dirasa dengan cara menghadapi masalah) ataupun berfokus pada emosi (usaha yang
dilakukan individu untuk mengurangi atau menghilangkan stres yang dirasa dengan
mengarahkan menghadapi tekanan emosi daripada masalah.

2.9 Dinamika Psikologis Stres, Perilaku Pemecahan Masalah, dan Perilaku Kesehatan
Dalam Raudatussalamah & Fitri (2012), menyatakan bahwa individu dapat mengalami
stres karena berbagai hal yang dipersepsikan sebagai masalah seperti saat individu
menganggap memiliki masalah berhubungan dengan kesehatan karena penyakit yang
dideritanya, baik penyakit fisik seperti Asma, TBC, HIV AIDS, Jantung Koroner, Hipertensi,
dan lain-lain serta penyakit psikologis berupa gangguan kecemasan, somatoform dan
disosiatif, psikofisiologis, terkait makan, mood, skizofrenia, NAPZA, kepribadian, dan
seksual. Stres juga dapat diakibatkan pada masalah pekerjaan dan pengalaman sehari-
hari. Stres kronik ditandai dengan kebingungan, distres, tidak dapat tidur, kesulitan
menghadapi kebutuhan stresor yang tinggi dan dapat mempengaruhi hubungan klien
dengan pasien atau keluarga. Beberapa penyakit terkait dengan stres adalah penyakit
jantung coroner, hipertensi, stroke, asma, gangguan saluran cerna (anoreksia, konstipasi
atau diare, tukak, usus meradang), gangguan susunan syaraf (sulit tidur, rasa lelah, cemas,
depresi), gangguan musculoskeletal (nyeri kepala, nyeri punggung, penurunan
pertumbuhan), gangguan kulit (psoriasis, jerawat), gangguan sistem imun (infeksi berulang,
penyakit autoimun, kanker), dan gangguan reproduksi (amenore, impotensi, dan sterilitas).
Penilaian yang dilakukan individu tersebut muncul akibat adanya perubahan pada diri
atau lingkungannya berupa penilaian primer. Individu merasakan dan mempertimbangkan
kesakitan atau kondisi kesehatan yang dirasakan sehingga muncul penilaian positif dan
menimbulkan kepuasan diri atau penilaian negatif yang berakibat pada munculnya stresor
sehingga muncul keadaan yang tidak menyenangkan yang ingin dikurangi atau
dihilangkannya. Penilaian primer (primary appraisal) dilakukan individu terhadap objek
pencetus kecemasannya menurut Planalp (1991) merupakan penilaian sederhana tanpa
diikuti kesadaran atau kontrol yang terjadi secara cepat dan otomatis. Hal ini akan diikuti
dengan munculnya penilaian sekunder atau secondary appraisal berupa penilaian yang
dilakukan berdasarkan proses yang kompleks, lambat, dan diikuti oleh kesadaran. Ini akan
membantu memutuskan baik tidaknya tindakan yang diambil dan keobjektifan yang
terbentuk akan menghasilkan manifestasi emosi yang baik. Berdasarkan teori penilaian
primer dan sekunder tersebut, maka akan muncul stres jika indiidu tidak memiliki kepastian
tentang kemampuan dirinya untuk mengatasi masalah sehingga memunculkan perilaku
pemecahan masalahnya.
Individu yang telah melakukan penilaian primer maupun sekunder secara umum dapat
memunculkan dua pola dasar perilaku pemecahan masalah yaitu menghadapi masalah
(fight) dengan berjuang mencari informasi dan menjalani sejumlah proses beruntun bagi
pengobatan penyakit dan pencapaian kualitas kesehatan yang lebih baik, namun tidak
menutup kemungkinan individu akan melakukan penghindaran atau lari (flight) sebagai
bentuk pemecahan masalahnya dengan cara menghilangkan sumber penyebab penurunan
kesehatannya melalui usaha menghilangkan dan menghentikan sumber stres secara
pribadi agar dapat menghadapi situasinya seperti menganggap penyakit yang ada
disandangnya sebagai sesuatu yang tiada dan berperilaku tidak patuh pada pengobatan.
Sebuah penelitian mengenai individu yang mengalami SCI (Spinal Cord Injury) atau
cedera tulang belakang. Para penyintas SCI menghadapi stresor dengan berbagai macam
perilaku pemecahan masalah seperti penerimaan melalui reevaluasi nilai kehidupannya,
dan tidak banyak tergantung pada orang lain, penerimaan disabilitas, aktif merubah nilai
kehidupan dan pantang menyerah sehingga muncul kemandirian dengan lebih memilih
bersikap pasif terhadap stresor dan hubungan dengan orang lain dengan sikap menerima
dengan ikhlas dan tawakal. Melalui dukungan sosial yang diperolehnya dapat lebih
mengurangi akibat negatif dari perubahan kondisi kesehatan akibat cedera tulang
belakangnya dan akan meningkatkan kualitas hidupnya. Dukungan sosial yang diperoleh
berupa keberadaan orang lain mampu mengurangi keterbatasan gerak individu yang telah
menyandang disabilitas pada dua anggota gerak bagian bawah atau keempat anggota
geraknya. Keadaan tersebut mendukung pendapat Taylor (1995) yaitu keberadaan orang
lain mampu mengurangi keterbatasan individu dan tekanan psikologis akibat sakit.
Dukungan sosial yang diperoleh mampu mengurangi stres fisik dan psikologis dan
memberikan kepuasan hidup akibat cedera tulang belakang yang dialami sehingga mampu
meningkatkan kualitas pemecahan masalah sehari-hari maupun yang terkait dengan
kesehatannya (Raudatussalamah & Fitri, 2012).
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Stres merupakan kondisi emosi negatif berupa ketegangan yang mempengaruhi
munculnya reaksi fisiologis, psikologis dan perilaku (stress reduction) yang dilakukan
manusia untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang dapat berupa peristiwa kejadian
yang menekan, mengancam, dan membahayakan (stresor) (Taylor, 1995). Menurut
Lazarus & Folkman pada tahun 1984 (dalam Raudatussalamah & Fitri, 2012) perilaku
pemecahan masalah merupakan strategi menghadapi masalah (coping strategy) yaitu
usaha individu untuk menerima, mentoleransi menghindari atau meminimalisir stresor
dengan melibatkan pemikiran dan perilaku untuk mengatur tuntutan dari dalam maupun
dari luar yang dinilai diluar batas kemampuan individu tersebut sehingga membantu
individu untuk menyesuaikan dengan situasi yang menekan.
Individu merasakan dan mempertimbangkan kesakitan atau kondisi kesehatan yang
dirasakan sehingga muncul penilaian positif dan menimbulkan kepuasan diri atau penilaian
negatif yang berakibat pada munculnya stresor sehingga muncul keadaan yang tidak
menyenangkan yang ingin dikurangi atau dihilangkannya. Terdapat dua pola dasar perilaku
pemecahan masalah yaitu menghadapi masalah (fight) dengan berjuang mencari informasi
dan menjalani sejumlah proses beruntun bagi pengobatan penyakit dan pencapaian
kualitas kesehatan yang lebih baik, namun tidak menutup kemungkinan individu akan
melakukan penghindaran atau lari (flight) sebagai bentuk pemecahan masalahnya dengan
cara menghilangkan sumber penyebab penurunan kesehatannya melalui usaha
menghilangkan dan menghentikan sumber stres secara pribadi agar dapat menghadapi
situasinya seperti menganggap penyakit yang ada disandangnya sebagai sesuatu yang
tiada dan berperilaku tidak patuh pada pengobatan. Taylor (1995) yaitu keberadaan orang
lain mampu mengurangi keterbatasan individu dan tekanan psikologis akibat sakit(dalam
Raudatussalamah & Fitri, 2012).
Individu merasakan dan mempertimbangkan kesakitan atau kondisi kesehatan yang
dirasakan sehingga muncul penilaian positif dan menimbulkan kepuasan diri atau penilaian
negatif yang berakibat pada munculnya stresor sehingga muncul keadaan yang tidak
menyenangkan yang ingin dikurangi atau dihilangkannya (dalam Raudatussalamah & Fitri,
2012).
3.2 Saran
Penulis tentunya menyadari jika dalam penyusunan makalah di atas masih banyak ada
kesalahan atau kekeliruan serta jauh dari kata sempurna. Maka dari itu, kritik dan saran
mendukung kami terima dari pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Hidayati, S., & Kusumaningtyas, D. (2022). Mekanisme Koping Pada Ibu Menyusui Yang
Mengalami Covid-19 di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Journal of Bionursing, 4(1), 55-62.
Maryam, S. (2017). Strategi coping: Teori dan sumberdayanya. Jurnal konseling andi matappa,
1(2), 101-107.
Raudatussalamah & Fitri, A. R. (2012). Psikologi Kesehatan. Pekanbaru: Al-Mujtahadah Press.
Muslim, M. (2015). Manajemen stres upaya mengubah kecemasan menjadi sukses. Journal
Esensi, 18(2).
LAMPIRAN

Judul Stres dan Perilaku Pasien DM dalam


Mengontrol Kadar Gula Darah
Nama Jurnal Jurnal Florence
Volume & Halaman Vol. VI
Tahun 2013
Penulis Ririn Nariati
Reviewer Fathina Zhafira (12060123472)
Tanggal 20 September 2022
Latar Belakang Menurut Fisher dkk (1982) diabetes dan stres
merupakan dua hal yang saling
mempengaruhi baik secara langsung maupun
tidak langsung. Kontrol yang kurang pada
glukosa darah akan menimbulkan perasaan
stres dan begitu pula sebaliknya. Hal senada
juga diungkapkan oleh Surwit (2002) dan
Discovery Health (2007) bahwa stres telah
lama menjadi salah satu faktor yang muncul
pada penderita diabetes. Menurutnya, stres
sangat berpengaruh terhadap penyakit
diabetes karena hal itu akan berpengaruh
terhadap pengendalian dan tingkat kadar
glukosa darah. Bila seseorang menghadapi
situasi yang menimbulkan stres maka respon
stres dapat berupa peningkatan hormon
adrenalin yang akhirnya dapat mengubah
cadangan glikogen dalam hati menjadi
glukosa. Kadar glukosa darah yang tinggi
secara terus menerus dapat menyebabkan
komplikasi diabetes.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasi stress dan perilaku pasien
DM dalam mengontrol gula darah di wilayah
Puskesmas Ponorogo Utara
Subjek Penelitian Seluruh pasien DM di wilayah Puskesmas
Ponorogo Utara
Metode Penelitian Pendekatan cross sectional, yaitu mengkaji
hubungan antara variabel yang menekankan
pada waktu pengukuran atau observasi serta
variabel independen dan dependen hanya
satu kali pada satu saat
Hasil Penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku
pasien DM dalam mengontrol gula darah tidak
hanya dipengaruhi oleh tingkat stress tetapi
ada banyak faktor lain yang berkontribusi
diantaranya adalah self - efficacy. Self efficacy
berkaitan dengan keyakinan seseorang bahwa
ia dapat menggunakan kontrrol pribadi pada
motivasi, perilaku dan lingkungan sosialnya
(Bart Smet, 1994). Berdasarkan teori tersebut
self efficasy akan mempengaruhi sistem
fisiologis yang memperantarai hasil
kesehatan, mempengaruhi kualitas dan
pengambilan keputusan yang berkaitan
dengan kesehatan dan perilaku ketaatan
rekomendasi medis. Menurut Bandura dalam
Bart Smet (1994) self efficasy dapat
mempengaruhi setiap tingkat dari perubahan
pribadi, baik saat individu terebut
mempertimbangkan perubahan kebiasaan
yang berkaitan dengan kesehatan, seberapa
berat usaha yang dipilih, seberapa banyak
perubahan, dan seberapa baik perubahan
yang akan dipelihara. Selain itu self efficacy
akan meningkatkan kekebalan terhadap
stress, depresi dan mengaktifkan
perubahanperubahan biokemis yang dapat
mempengaruhi berbagai macam aspek dari
fungsi kekebalan (immune fuction). Faktor lain
yang mempengaruhi perilaku pasien DM
dalam mengontrol gula darah adalah
dukungan sosial. Dukungan sosial sangat erat
kaitannya dengan perilaku kesehatan, dalam
hal ini adalah dukungan keluarga. Menurut
Friedman dukungan sosial keluarga adalah
proses yang terjadi sepanjang masa
kehidupan, sifat dan jenis dukungan social
berbeda - beda dalam berbagai tahap siklus
kehidupan.
Kesimpulan Penelitian Stress pada pasien DM sebagian besar
normal yaitu 22 responden (56%), Perilaku
pasien DM dalam mengontrol gula darah
sebagian besar positif yaitu 21 responden
(54%) dan tidak ada hubungan antara stress
dengan perilaku pasien DM dalam mengontrol
gula darah yang dibuktikan dengan uji chi
square dimana diperoleh X2 hitung 2,57 dan
X2 tabel 5,99 sehingga X2 hitung lebih kecil
dari X2 tabel.
Kelebihan Penelitian Berdasarkan ide dan gagasannya penulis
menggunakan dasar teori yang beragam dan
relevan sesuai dengan permasalahan yang
diteliti dalam penelitian ini. Selain itu penulis
menggunakan sumber-sumber dan literatur
yang banyak, tersusun secara sistematis, dan
bahasa yang digunakan mudah dipahami.
Kekurangan Penelitian 1. Bagi puskesmas agar tetap memberikan
informasi kepada pasien DM terkait
penyakit dan penatalaksanaannya serta
membentuk perkumpulan pasien DM di
wilayah kerjanya sehingga melalui
perkumpulan tadi diharapkan dapat
menjadi wadah bagi pasien DM untuk
saling berbagi antara sesama pasien dalam
segala hal.
2. Optimalisasi peran serta keluarga dalam
memberikan dukungan sosial kepada
pasien DM sehingga dapat berkontribusi
terhadap perilaku pasien DM dalam
mengontrol kadar gula darah
Referensi / Daftar Pustaka Nasriati, R. (2013). Stress dan Perilaku Pasien
DM dalam Mengontrol Kadar Gula
Darah. Jurnal Florence Vol. VI No. 2 Juli
2013, 6(2).
Judul Mekanisme Koping pada Ibu Menyusui yang
Mengalami Covid-19 di RSUP DR. Kariadi
Semarang
Nama Jurnal Journal of Bionursing
Volume & Halaman Vol. 4 & Hal. 55-62
Tahun 2022
Penulis Sri Hidayati & Daniati Kusumaningtyas
Reviewer Hasian Nauli Tiomsi Panggabean
(12060123782)
Tanggal 20 September 2022
Latar Belakang COVID-19 adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh virus Severe Acute
Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-
CoV2). Pada situasi pandemi ini virus COVID-
19, semua orang berpotensi untuk terkena
virus COVID-19, tidak terkecuali ibu hamil
sehingga membutuhkan penanganan /
perlakuan khusus baik kepada ibu maupun
bayinya. Hal itu dapat menyebabkan
kecemasan pada ibu yang menyusui
terkonfirmasi COVID-19. Sebagai cara untuk
menghadapi kecemasan pada saat menyusui
dengan terkonfirmasi COVID-19, dilakukanlah
strategi coping.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
mekanisme coping ibu menyusui terkonfirmasi
positif Covid-19 di RSUP Dr. Kariadi
Semarang.
Subjek Penelitian 6 ibu menyusui yang mengalami positif
COVID-19 di Rumah Sakit Umum Pusat
Dokter Kariadi Semarang.
Metode Penelitian Pendekatan kualitatif yaitu fenomenologi,
karena penelitian ini ingin mendapatkan data
dengan cara memahami pengalaman hidup
manusia sebagai individu yang mengalami
keadaan yang sebenarnya.
Hasil Penelitian Ibu menyusui dengan covid-19 merespon
secara emosional terhadap efek penyakit
tersebut. Ibu menyusui melakukan mekanisme
koping terhadap penyakit yang dideritanya
melalui sumber koping baik internal maupun
eksternal, keyakinan agama, keyakinan untuk
sembuh, dan motivasi untuk sembuh dari
covid-19. Bentuk dukungan yang ibu dapatkan
adalah dukungan internal dari orang-orang
yang tinggal di sekitarnya seperti suami dan
dukungan eksternal. Ibu menyusui melakukan
strategi koping yang bersifat adaptif atau
maladaptif.
Kesimpulan Penelitian Disarankan untuk mengoptimalkan dukungan
dari orang-orang yang tinggal di sekitar klien
seperti suami untuk mencegah respon
emosional yang negatif dan strategi koping
yang maladaptif.
Kelebihan Penelitian Setiap kata demi kata yang tertuang dalam
jurnal ini mudah dipahami karena penulisan
yang ditulis oleh peneliti sangat rapi dan jelas.
Kekurangan Penelitian Dari peneliti dimana seharusnya mengadakan
FGD akan tetapi tidak bisa karena mereka
harus isolasi mandiri.
Referensi / Daftar Pustaka Hidayati, S., & Kusumaningtyas, D. (2022).
Mekanisme Koping Pada Ibu Menyusui Yang
Mengalami Covid-19 di RSUP Dr. Kariadi
Semarang. Journal of Bionursing, 4(1), 55-62.

Anda mungkin juga menyukai