Anda di halaman 1dari 31

0

PROPOSAL

PENGARUH WORK FAMILY CONFLICT TERHADAP STRES KERJA


DAN KINERJA KARYAWAN PADA TENAGA KESEHATAN RUMAH
SAKIT UMUM DAERAH Dr. HARJONO DI PONOROGO

OLEH :
PREMI WAHYU WIDYANINGRUM XXXXX

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2018

0
1

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Work family conflict ( WFC) dapat didefinisikan sebagai bentuk konflik
peran dimana tuntutan peran dari pekerjaan dan keluarga secara mutual tidak
dapat disejajarkan dalam beberapa hal (Frone, et al., 2002; Triaryati, 2003;
Namasivayam dan Zhao, 2006) . Hal ini biasanya terjadi pada saat seseorang
berusaha memenuhi tuntutan peran dalam pekerjaan dan usaha tersebut
dipengaruhi oleh kemampuan orang yang bersangkutan untuk memenuhi
tuntutan keluarganya, atau sebaliknya, dimana pemenuhan tuntutan peran
dalam keluarga dipengaruhi oleh kemampuan orang tersebut dalam memenuhi
tuntutan pekerjaannya (Frone, 2000). Terjadinya perubahan demografi tenaga
kerja seperti peningkatan jumlah wanita bekerja dan pasangan yang keduanya
bekerja telah mendorong terjadinya konflik antara pekerjaan dan kehidupan
keluarga, hal ini membuat banyak peneliti yang tertarik untuk meneliti sebab
pengaruh dari konflik pekerjaan-keluarga (work-family conflict) tersebut
Judge et al, (1994). Greenhaus dan Beutell (1985) mendefinisikan konflik
pekerjaan keluarga sebagai bentuk konflik peran dimana tuntutan peran
pekerjaan dan keluarga secara mutual tidak dapat disejajarkan dalam beberapa
hal. Tuntutan pekerjaan berhubungan dengan tekanan yang berasal dari beban
kerja yang berlebihan dan waktu, seperti; pekerjaan yang harus diselesaikan
terburu-buru dan deadline. Sedangkan tuntutan keluarga berhubungan dengan
waktu yang dibutuhkan untuk menangani tugas-tugas rumah tangga dan
menjaga anak. Tuntutan keluarga ini ditentukan oleh besarnya keluarga,
komposisi keluarga dan jumlah anggota keluarga yang memiliki
ketergantungan terhadap anggota yang lain (Yang, et al, 2000).

Berdasarkan hasil penelitiannya Runte and Mills (2006) dan Riley


(2006) menyimpulkan bahwa WFC telah dibahas secara luas dalam literatur
manajemen dan telah mendominasi wacana publik tentang hubungan kerja-
keluarga dalam empat dekade terakhir. Minat yang kuat dalam hal ini mungkin

1
2

berhubungan dengan fakta bahwa WFC negatif mempengaruhi keluarga,


pekerja, dan pengusaha/organisasi (Grover dan Crooker, 1995; Konrad dan
Mangel, 2000). Menurut Runte (2009), konflik muncul sebagai hasil dari
persaingan untuk sumber daya terbatas dari waktu dan komitmen karyawan.
Untuk Voydanoff (2004), bagaimanapun, WFC muncul ketika ada tekanan dan
tanggung jawab yang bertentangan dari kedua pekerjaan dan domain keluarga,
yang akhirnya mengarah pada ketidakcocokan dari dua domain. Ini sangat
kontras dengan teori human capital bahwa pekerja memiliki jumlah energi dan
waktu yang terbatas. Oleh karena itu, ketika mereka terlibat dalam berbagai
peran, tuntutan peran ini (berdasarkan asumsi kelangkaan sumber daya
mereka) akan mengurangi sumber daya yang tersedia (Becker, 1985; Runte,
2009). Biasanya, WFC telah dianggap sangat bermasalah bagi perempuan
(Lundberg, Mardberg dan Frankenhaeuseret, 1994; Williams dan Alliger,
1994). Penelitian lainnya (Adisa et al, 2016) telah mengadopsi sikap netral
gender untuk menemukan apakah pekerja laki-laki juga mengalami WFC.
Adisa et al (2016) telah menguji perbedaan gender dalam pengalaman WFC
konteks Nigeria. Temuan Penelitian Koyuncu et al (2012) mengindikasikan
tingkat WFC yang relatif rendah. Tingkat kerja yang mengganggu keluarga
dan keluarga yang mengganggu pekerjaan secara signifikan dan berkorelasi
positif. Koyuncu et al (2012) menyatakan lebih dalam lagi mengenai
karakteristik personal demografi dan karakteristik situasi kerja, menunjukkan
bahwa WFC umumnya memprediksi hasil kerja dan kesejahteraan psikologis,
pekerjaan yang mengganggu keluarga menjadi prediktor yang secara konsisten
lebih kuat daripada yang mengganggu keluarga dengan pekerjaan.
Salah satu pekerjaan yang mempunyai stres tinggi adalah memberikan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat dengan jam operasional 24 jam
(Kyriacou, 2001; Iqbal , 2016; Swanson and Power, 1999). Hasil studi
Swanson and Power (1999) menunjukkan bahwa stres pada tenaga kesehatan
dikarenakan oleh beban kerja yang berlebihan, waktu istirahat yang kurang dan
waktu bersama keluarga sangat sedikit. Tenaga kesehatan wanita yang
mengalami stres tinggi karena beberapa tersebut mempunyai hasil kerja dan

2
3

kesehatan mental yang buruk, yaitu mengalami burnout, sering absen dan
meninggalkan pekerjaannya (Kyriacou, 2001; Iqbal , 2016; Swanson and
Power, 1999).
Stress kerja merupakan keadaan yang wajar karena terbentuk pada diri
manusia sebagai respon dan merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari dari
diri manusia terlebih menghadapi jaman kemajuan segala bidang yang
dihadapi dengan kegiatan dan kesibukan yang harus dilakukan, disalah satu
pihak beban kerja disatuan unit organisasi semakin bertambah. Biasanya para
ibu yang mengalami masalah demikian, cenderung merasa lelah (terutama
secara psikis), karena seharian memaksakan diri untuk bertahan ditempat kerja
(Elloy & Smith , 2003).
Stres kerja dapat terjadi didalam diri karyawan, hal itu dikarenakan
tekanan yang terus menerus dari atasan dan intimidasi rekan sekerja. Pekerjaan
yang banyak tidak jarang akan menimbulkan stres kerja, pekerjaan tidak akan
selesai tepat waktu. Menurut Elloy (2003) beberapa hal diatas pemicu stressor
pada karyawan. Stres kerja yang terus menerus akan menurunkan gairah kerja
karyawan. Sehingga produktifitas dan kinerjanya menurun. Konflik yang
terjadi dalam lingkungan pekerjaan merupakan pemicu sumber stres,
karyawan yang saling marah satu sama lain dan saling diam akan membuat
keadaan lingkungan menjadi tidak nyaman.
Pekerjaan yang seharusnya dapat dikerjakan secara tim dan bersama
sama menjadi terbengkalai karena masing masing karyawan hanya fokus
berkontribusi sesuai pekerjaan yang harus dia kerjakan tanpa memperdulikan
pekerjaan karyawan lain. Jika antar karyawan tidak saling mendukung dalam
pekerjaan maka perusahaan tidak akan mencapai visi misi dan targetnya. Stres
kerja yang disertai dengan konflik kerja menciptakan suasana yang tidak
kondusif dan kinerja menjadi tidak optimal. Stres kerja dan konflik
mempunyai hubungan yang negatif dan signifikan terhadap kinerja karyawan
(Hon dan Chan, 2013).
Maka aspek-aspek ini merupakan hal yang harus diperhatikan oleh
instansi khususnya di lingkungan Pelayanan Kesehatan karena pekerjaan ini

3
4

menyangkut dengan pelayanan masyarakat sehingga kinerja karyawan


menjadi hal yang penting. Karena pada dasarnya setiap perusahaan
menginginkan kinerja karyawan yang baik atau tinggi untuk memperoleh
keuntungan, artinya bahwa dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi perusahaan diharapkan mampu menciptakan sumber daya manusia
yang berkualitas sehingga dengan kualitas individu yang baik diharapkan
mampu menunjukkan kinerja yang baik pula
Penelitian ini merupakan pengembangan dari berbagai penelitian
sebelumnya (Elloy & Smith, 2004; Namasivayam & Zhao, 2006; Passewark &
Viator, 2006, Adisa et al, 2016; Iqbal, 2016). Penelitian Elloy dan Smith (2004)
yang mencoba menggali keterkaitan antara work overload, role conflict, dan
role ambiguity dengan konflik kerja-keluarga dan hasilnya menunjukkan
ketiga variabel tersebut memiliki hubungan signifikan dengan konflik kerja-
keluarga. Penelitian Adisa et al (2016) berusaha memahami Work Family
Conflict dengan konteks negara afrika memalui pendekatan yang berbeda yaitu
dengan eksploratif dan melakukan wawancara pada respondennya,
dimaksudkan untuk mendapati data yang lebih mendalam

Peneliti tertarik untuk melakukan pengembangan dari sejumlah


penelitian sebelumnya (Elloy & Smith, 2004; Namasivayam & Zhao, 2006;
Passewark & Viator, 2006, Adisa et al, 2016; Iqbal, 2016) seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya. Peneliti ingin mendapatkan jawaban secara empiris
mengenai bagaimana pengaruh Work Family Conflict terhadap Stress kerja
dan Kinerja karyawan khususnya pada Tenaga Kesehatan wanita. Selain itu,
subjek yang berprofesi perawat, dokter, bidan dan apoteker merupakan tenaga
profesional yang keberadaannya rentan terhadap Work Family Conflict.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka peneliti mengambil judul Pengaruh
Work Family Conflict Terhadap Stres Kerja Dan Kinerja Karyawan
Pada Tenaga Kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Harjono Di
Ponorogo.

B. Rumusan Masalah

4
5

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dan untuk memperjelas


pokok pembahasan pada penelitian ini, maka masalah dalam penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah Work Family Conflict (WFC) berpengaruh terhadap Stress
Kerja?
2. Apakah Work Family Conflict (WFC) berpengaruh terhadap Kinerja
Karyawan?
3. Apakah Stress Kerja berpengaruh terhadap Kinerja Karyawan?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok masalah yang dirumuskan di atas maka yang
menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk menjelaskan pengaruh Work Family Conflict (WFC) terhadap
Stress Kerja.
2. Untuk menjelaskan pengaruh Work Family Conflict (WFC) terhadap
Kinerja Karyawan.

3. Untuk menjelaskan pengaruh Stress Kerja terhadap Kinerja Karyawan.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang akan dilakukan terbagi atas dua, yaitu:
1. Manfaat teoritis
Manfaat teoritis dalam penelitian ini yakni sebagai sumbangan untuk
perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam kajian studi Ilmu
Organisasi, Manajemen Sumber Daya Manusia dan Psikologi Industri.
2. Manfaat praktis
Memberikan masukan bagi Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Harjono
Ponorogo yang berupa informasi-informasi tentang upaya yang tepat
dalam mengurangi tingkat konflik Work Family Conflict Tenaga
Kesehatan wanita dan stres kerja dan upaya peningkatan kinerja
karyawan.

5
6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Work Family Conflict


Ketidakseimbangan antara pekerjaan dan keluarga disebut sebagai
work-family conflict, yaitu konflik yang mengacu pada sejauh mana hubungan
antara pekerjaan dan keluarga saling terganggu (Greenhaus & Beutell, 1985;
Jimenez, et al, 2008; Mustafa et al , 2012; Triaryati, 2003). Konflik ini terjadi
karena tuntutan peran yang berasal dari satu domain (pekerjaan atau keluarga)
tidak sesuai dengan tuntutan peran yang berasal dari domain yang lain
(keluarga atau pekerjaan). Hal ini biasanya terjadi pada saat seseorang
berusaha memenuhi tuntutan peran dalam pekerjaan dan usaha tersebut
dipengaruhi oleh kemampuan orang yang bersangkutan untuk memenuhi
tuntutan keluarganya atau sebaliknya, dimana pemenuhan tuntutan peran
dalam keluarga dipengaruhi oleh kemampuan orang tersebut dalam memenuhi
tuntutan dengan tekanan yang berasal dari beban kerja yang berlebihan dan
waktu seperti pekerjaan yang harus diselesaikan terburu-buru dan deadline
sedangkan tuntutan keluarga berhubungan dengan waktu yang dibutuhkan
untuk menangani tugas-tugas rumah tangga, yang dirasa pekerjaan rumah juga
dianggap tidak mudah untuk dijalani jika keduanya dijaankan dalam waktu
yang sama.
Menurut Robbin (2011) dalam konflik adalah suatu proses dimana
terjadi pertentangan dari suatu pemikiran yang dirasa akan membawa suatu
pengaruh yang negatif. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa konflik
secara umum adalah bertemunya dua kepentingan yang berbeda dalam waktu
yang bersamaan dan dapat menimbulkan efek yang negatif. Wanita bekerja
memiliki orientasi yang beragam mulai dari kebutuhan ekonomi sampai
kebutuhan akan aktualisasi diri, sebagai konsistensi akan menjalankan apa
yang di kenal dengan peran ganda.
Work family conflict dapat didefinisikan sebagai suatu konflik dimana
terjadi ketidak seimbangan antara pekerjaan dan keluarga. Sedangkan individu

6
7

itu sendiri harus memenuhi tuntutan salah satu peran yang nantinya akan
menekan peran yang lain sehingga akan menyebabkan individu sulit membagi
waktu dan sulit melaksanakan suatu peran karena ada tuntutan peran lainnya
(Greenhaus & Beutell, 1985; Razak, et al 2010; Mustafa, 2012). Work family
conflict muncul apabila wanita merasakan ketegangan antara peran pekerjaan
dengan peran keluarga, Greenhaus dan Beutell (1985) dalam Triaryati (2003)
ada tiga macam Work family conflict, yaitu sebagai berikut :
1.Time-based conflict. Waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan salah
satu tuntutan (keluarga atau pekerjaan) dapat mengurangi waktu untuk
menjalankan tuntutan yang lainnya (pekerjaan atau keluarga).
2. Strain-based conflict. Terjadi tekanan dari salah satu peran
mempengaruhi kinerja peran lainnya.
3. Behavior-based conflict. Berhubungan dengan ketidaksesuaian antara
pola perilaku dengan yang diinginkan oleh kedua bagian (pekerjaan
atau keluarga).
Wanita bekerja menghadapi situasi rumit yang menempatkan posisi
mereka di antara kepentingan keluarga dan kebutuhan untuk bekerja. Dalam
perjuangan menuju keseimbangan kerja dan keluarga inilah maka
bermunculan berbagai konflik dan masalah yang harus dihadapi dan dicari
jalan keluarnya jika ingin tetap menjalani kedua peran tersebut. Penelitian
terdahulu dengan topik Work family conflict (Namasivayam & Zhao, 2006;
Koyuncu et al, 2012; Passewark & Viator, 2006; Riley, 2006) membagi konflik
kerja-keluarga menjadi 2 (dua) dimensi yaitu:

a. Work Interfering With The Family (WIF)


b. Family Interfering With The Work (FIW)
A.1. Work Interfering With The Family (WIF)
Menurut Kossek dan Ozeki dalam Namasivayam dan Zhao (2006), WIF
merupakan konflik yang muncul ketika peran pekerjaaan mengganggu peran
seseorang dalam keluarga. Sebagai contoh WIF adalah ketika seorang
perempuan karir yang juga seorang ibu, merasa pekerjaannya sebagai perawat

7
8

menghalanginya untuk dapat menghabiskan waktu dengan anak-anaknya


seperti membantu membimbing anaknya saat mengerjakan pekerjaan rumah.
Frone, Rusell & Cooper (1992) mendefinisikan konflik pekerjaan
keluarga sebagai konflik peran yang terjadi pada karyawan, dimana di satu sisi
ia harus melakukan pekerjaan di kantor dan di sisi lain harus memperhatikan
keluarga secara utuh, sehingga sulit membedakan antara pekerjaan menunggu
keluarga dan keluarga mengganggu pekerjaan. Pekerjaan mengganggu
keluarga, artinya sebagian besar waktu dan perhatian dicurahkan untuk
melakukan pekerjaan sehingga kurang mempunyai waktu untuk keluarga.
Sebaliknya keluarga mengganggu pekerjaan berarti sebagian besar waktu dan
perhatiannya digunakan untuk menyelesaikan urusan keluarga sehingga
menunggu pekerjaan.
Work Interfering with The Family (WIF) ini terjadi ketika kehidupan
rumah seseorang berbenturan dengan tanggung jawabnya ditempat kerja,
seperti masuk kerja tepat waktu, menyelesaikan tugas harian, atau kerja
lembur. Demikian juga tuntutan kehidupan rumah yang menghalangi
seseorang untuk meluangkan waktu untuk pekerjaannya atau kegiatan yang
berkenaan dengan kariernya. Frone, Greenhaus dan Parasuraman (1992)
mengemukaan bahwa konflik pekerjaan-keluarga terjadi karena karyawan
berusaha untuk menyeimbangkan antara permintaan dan tekanan yang timbul,
baik dari keluarga maupun yang berasal dari pekerjaannya.
Beberapa peneliti (Frone et al, 1992; Swanson& Power, 1999; Iqbal,
2006; Koyuncu et al, 2012) menemukan bahwa wanita cenderung
menghabiskan lebih banyak waktu dalam hal urusan keluarga sehingga wanita
dilaporkan lebih banyak mengalami konflik pekerjaan-keluarga, sebaliknya
pria cenderung untuk menghabiskan lebih banyak waktu untuk menangani
urusan pekerjaan daripada wanita sehingga wanita dilaporkan lebih banyak
mengalami konflik pekerjaan-keluarga dari pada pria.
Gutek, et al (1991) menyebutkan bahwa konflik pekerjaan keluarga
(work family conflict) mempunyai dua komponen, yaitu urusan keluarga
mencampuri pekerjaan (family interference with work) dan urusan pekerjaan

8
9

mencampuri keluarga (work interference with family). Konflik pekerjaan


keluarga dapat timbul dikarenakan urusan pekerjaan mencampuri urusan
keluarga seperti banyaknya waktu yang dicurahkan untuk menjalankan
pekerjaan menghalangi seseorang untuk menjalankan kewajibannya di rumah,
atau urusan keluarga mencampuri urusan pekerjaan, seperti merawat anak
yang sakit dapat menghalangi seseorang untuk datang ke kantor.
Menurut Triaryati (2003), tuntutan pekerjaan berhubungan dengan
tekanan yang berasal dari beban kerja yang berlebihan dan waktu, seperti
pekerjaan yang harus diselesaikan terburu-buru dan deadline. Menurut Boles
et al (2001) Indikator-indikator konflik pekerjaan-keluarga adalah:
a. Tekanan kerja.
b. Banyaknya tuntutan tugas
c. Kurangnya kebersamaan keluarga
d. Sibuk dengan pekerjaan
e. Konflik komitmen dan tanggung jawab terhadap keluarga
A.2. Family Interfering With The Work (FIW)
Menurut Kossek dan Ozeki dalam Namasivayam dan Zhao (2006), FIW
merupakan konflik yang muncul ketika peran seseorang dalam keluarga
mengganggu peran pekerjaan. Sebagai Contoh FIW adalah ketika seorang
perempuan karir yang merasa pekerjaannya terganggu karena harus mengantar
anaknya pergi sekolah. Hal ini tentu menganggu dan menimbulkan konflik
khususnya bagi perempuan antara membagi peran sebagai wanita karier pada
pekerjaannya dengan kewajibannya bagi keluarganya.
Keluarga dapat dilihat dalam arti kata sempit, sebagai keluarga inti yang
merupakan kelompok sosial terkecil dari masyarakat yang terbentuk
berdasarkan pernikahan dan terdiri dari seorang suami (Ayah), istri (Ibu) dan
anak-anak mereka (Munandar, 1985). Keluarga adalah kesatuan dari sejumlah
orang yang saling berinteraksi dan berkomunikasi dalam rangka menjalankan
peranan sosial mereka sebagai suami, istri, dan anak-anak, saudara laki-laki
dan saudara perempuan. Peran ini ditentukan oleh masyarakat, tetapi peranan
dalam tiap keluarga diperkuat oleh perasaanperasaan. Perasaan-perasaan

9
10

tersebut sebagai berkembangnya berdasarkan tradisi dan sebagian berdasarkan


pengalaman dari masing-masing anggota keluarga.
Menurut Frone, Russell dan Cooper (1992) indikator-indikator Family
Interfering With The Work (FIW) adalah:
a. Tekanan sebagai orang tua: Tekanan sebagai orang tua
merupakan beban kerja sebagai orang tua didalam keluarga.
Beban yang ditanggung bisa berupa beban pekerjaan rumah
tangga karena anak tidak dapat membantu dan kenakalan anak.
b. Tekanan perkawinan: Tekanan perkawinan merupakan beban
sebagai istri didalam keluarga. Beban yang ditanggung bisa
berupa pekerjaan rumah tangga karena suami tidak dapat atau
tidak bisa membantu, tidak adanya dukungan suami dan sikap
suami yang mengambil keputusan tidak secara bersama sama.
c. Kurangnya keterlibatan sebagai istri: Kurangnya keterlibatan
sebagai istri mengukur tingkat seseorang dalam memihak secara
psikologis pada perannya sebagai pasangan (istri). Keterlibatan
sebagai istri bisa berupa kesediaan sebagai istri untuk menemani
suami dan sewaktu dibutuhkan suami.
d. Kurangnya keterlibatan sebagai orang tua: Kurangnya
keterlibatan sebagai orang tua mengukur tingkat seseorang
dalam memihak perannya sebagai orang tua. Keterlibatan
sebagai orang tua untuk menemani anak dan sewaktu
dibutuhkan anak.
e. Campur tangan pekerjaan: Campur tangan pekerjaan menilai
derajat dimana pekerjaan seseorang mencampuri kehidupan
keluarganya. Campur tangan pekerjaan bisa berupa persoalan-
persoalan pekerjaan yang mengganggu hubungan di dalam
keluarga yang tersita.

B. Stress Kerja
Stress kerja adalah suatu respon adaptif, dihubungkan oleh karakteristik
dan atau proses psikologi individu yang merupakan suatu konsekuensi dari

10
11

setiap tindakan eksternal, situasi atau peristiwa yang menempatkan tuntutan


psikologis dan atau fisik khusus pada seseorang (Ivancevich dan Matteson,
1980, Swanson And Power. 1999). Stress biasanya dianggap sebagai istilah
negatif, stress dianggap terjadi karena disebabakan oleh suatu yang buruk
namun tidak selalu berarti demikian karena stress yang dimaksud adalah stress
kerja yang artinya suatu bentuk interaksi individu terhadap lingkungannya.
Stress mempunyai dampak positif atau negatif. Dampak positif stress pada
tingkat rendah sampai pada tingkat moderat bersifat fungsional dalam arti
berperan sebagai pendorong peningkatan kinerja pegawai sedangkan pada
dampak negatif stress pada tingkat yang tinggi adalah penurunan pada kinerja
karyawan yang drastic (Gitosudarmo dan Suditta, 1997). Karyawan yang
mempunyai tingkat stress kerja yang tinggi cenderung mempunyai ciri kearah
gejala fisiologis sedangkan perawat/karyawan dengan tingkat stress kerja yang
sedang tidak memiliki gejala fisiologis.
Stress yang dirasakan menggambarkan persepsi keseluruhan seseorang
individu mengenai bagaimana berbagai stressor mempengaruhi kehidupannya.
Persepsi terhadap stressor ini merupakan suatu komponen yang penting
didalam proses stres karena orang menginterpretasikan stressor yang sama
secara berlebihan. Para ahli menyatakan bahwa stress memiliki konsekuensi
atau hasil psikologis yang berkaitan dengan sikap, keperilakuan, kognitif dan
kesehatan fisik.
Konsekuensi stress yang muncul lewat berbagai stressor dapat dibagi
menjadi 3 kategori umum yaitu: (Robbins & Judge, 2012)
a. Gejala Fisiologis: Sebagian besar perhatian dini atas stress dirasakan
ada gejala fisiologis. Hasil riset yang dilakukan memandu pada
kesimpulan bahwa stress dapat menciptakan perubahan metabolisme,
meningkatkan laju detak jantung
b. Gejala Psikologis: Stress dapa tmenyebabkan ketidakpuasan. Stress
yang berakibat dengan pekerjaan dapat menimbulkan ketidakpuasan
yang berkaitan dengan pekerjaan, dimana dampak ketidakpuasan
memiliki dampak psikologis yang paling sederhana dan paling jelas dari

11
12

stress. Menurut penelitian membuktikan bahwa orang ditempatkan


dalam pekerjaan yang mempunyai tuntutan ganda, konflik ditempat
kerja, tidak adanya kejelasan dalam pekerjaan, wewenang, tanggung
jawab, dan beban kerja sehingga Stress dan ketidakpuasan akan
mengikat (Cooper dan Marshall 1976).
c. Gejala Perilaku: Gejala stress yang terkait dengan perilaku mencakup
perubahan produktivitas, absensi, dan tingkat keluar masuknya
karyawan, perubahan kebiasaan makan, meningkatnya merokok dan
konsumsi alkohol, bicara cepat, gelisah, dan gangguan tidur.
Swanson & Power (1999) mengkategorikan gejala stress kedalam
beberapa aspek: (1) beban kerja yang tinggi, (2) tingkat absensi, (3) terlambat
masuk kerja,(4) tuntutan/tekanan dari atasan (5) prestasi dan penurunan
produktivitas,(6) ketegangan dan kesalahan, (7) menurunnya kualitas
hubunganinterpesonal. Luthan (2006) menjelaskan bahwa stress tidak secara
otomatis buruk bagi karyawan perseorangan atau kinerja organisasi mereka.
Dalam kenyataannya, secara umum diketahui bahwa tingkat stress yang rendah
dapat meningkatkan kinerja dan peningkatan aktivitas, perubahan dan kinerja
yang baik.
Antesenden stress sering disebut juga dengan stress yang
mempengaruhi karyawan penyebabnya berasal dari luar dan dalam organisasi,
dari kelompok yang dipengaruhi karyawan dan dari karyawan itu sendiri.
terdapat 4 jenis stressor yang mempengaruhi stress kerja yaitu:
a. Stresors Di luar Organisasi: Stresors yang berasal dari variable
organisasi mencakup: perubahan sosial/individu, globalisasi,
keluarga, relokasi, kondisi ekonomi, dan keuangan, ras, dan kelas,
serta kondisi tempat tinggal/masyarakat
b. Stresors Organisasi: Selain stresors potensial yang terjadi diluar
organisasi, terjadi juga stresors yang berhubungan dengan
organisasi itu sendiri. Meskipun organisasi terbentuk dari
kelompok dan individu, terdapat dimensi yang lebih makro. level,
khususnya pada organisasi yang terdapat stresors di dalamnya,

12
13

stresors makro level dapat dibedakan menjadi: 1. Kebijakan dan


strategi administrative 2. Struktur dan desain organisasi 3. Proses
organisasi 4. Kondisi kerja.
c. Stresor Tingkat Individu: Individual stresor adalah stresor yang
berkaitan secara langsung dengan tugas-tugas kerja seseorang.
Meliputi: tuntutan pekerjaan, beban kerja, konflik peran,
ambigunitas peran, kerepotan sehari-hari, pengendalian yang di
rasakan atas peristiwa yang muncul dalam lingkungan kerja dan
karakteristik pekerjaan.
d. Stresor Tingkat Kelompok: Setiap organisasi dipengaruhi oleh
sifat hubungan diantara kelompok-kelompok. Karakteristik
kelompok dapat menjadi stresor yang kuat bagi beberapa individu.
Hubungan yang jelek termasuk kepercayaan yang rendah,
dukungan rendah, minat yang rendah dalam menanggapi dan
mencoba untuk menghadapi masalah yang dihadapi kepada
pekerja.
Beberapa contoh stresors organisasi mencakup tanggung jawab tanpa
otoritas, ketidakmampuan menyuarakan keluhan, penghargaan yang tidak
memadai dan kurangnya deskripsi kerja yang jelas atau menurunya hubungan
antara karyawan. Hasil penelitian dari Ganster & Schoubroeck (1991)
mengindikasikan bahwa tuntutan pekerjaan yang kronis dapat menyebabkan
stress.
Berdasarkan penjelasan para ahli dapat disimpulkan bahwa pendidikan
kewirausahaan merupakan upaya yang sistematis dalam rencana membantu
memberi pengetahuan berkaitan dengan peluang bisnis yang masih terbuka
lebar dan semakin berkembang untuk saat ini.

C. Kinerja Karyawan (Perfomance)


Menurut Robbins & Judge (2012) Kinerja (Perfomance) adalah catatan
mengenai akibat-akibat yang dihasilkan pada sebuah fungsi kerja atau kegiatan
tertentu dalam suatu jangka waktu tetentu. Kinerja seorang individu
merupakan gabungan dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat

13
14

diukur dari akibat yang di hasilkan, oleh karena itu Kinerja bukan menyangkut
karakteristik pribadi yang ditujukan oleh seseorang melainkan hasil kerja yang
telah dan akan dilakukan oleh seseorang. Ukuran kesuksesan yang dicapai oleh
karyawan tidak bisa di generalisasikan dengan karyawan yang lain karena
harus disesuaikan dengan ukuran yang berlaku dan jenis pekerjaan yang
dilakukannya (Steel Johnson, et al. 2000).
Menurut As’ad (1997) “Kinerja adalah hasil yang dicapai seseorang
menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan”.
Kesempatan dalam menghasilkan kinerja karyawan adalah fungsi interaksi
dari ability (kemampuan), motivation (motivasi), opportunity (kesempatan).
Menurut Robbins & Judge (2012), kinerja kerja menunjukkan pencapaian
target kerja yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan waktu. Pencapaian
kinerja kerja tersebut dipergunakan oleh kecakapan dan motivasi. Kinerja yang
optimum akan tercapai jika organisasi dapat memilih karyawan yang
memungkinkan mereka agar dapat bekerja secara maksimal.
Dalam melihat kinerja seorang karyawan perlu terlebih dahulu
ditetapkan standar kinerja atau indikator kinerja yang akan digunakan sebagai
parameter untuk menilai kinerja. Menurut Drucker dalam Robbins & Judge
(2012) kinerja karyawan dapat dinilai dari dua sudut pandang, yaitu efisien dan
efektivitas kerja. Sudut efisiensi kerja mengacu kepada penyelesaian pekerjaan
dengan benar dalam waktu yang relatif singkat, sehingga tenaga dan biaya
yang dikeluarkan seminim mungkin, sedangkan efektivitas kerja mengacu
kepada penyelesaian pekerjaan secara benar, walaupun dengan tenaga dan
biaya tinggi.
Lebih lanjut Drucker dalam Stoner dan Freeman mengungkapkan
bahwa dalam mengendalikan kinerja pegawai, perlu ditinjau dari lima dimensi.
Pertama, dimensi fisiologi. Manusia akan bekerja dengan baik apabila bekerja
dalam berbagai konfigurasi operasional, yakni bekerja dengan berbagai tugas-
tugas dan ritme kecepatan yang sesuai dengan fisiknya. Kedua, dimensi
psikologis. Dalam hubungan ini, bekerja merupakan ungkapan kepribadian.
Seseorang memperoleh kepuasan dari perkerjaannya akan menampilkan

14
15

kinerja (performance) yang lebih baik dari pada mereka yang tidak
menyenangi pekerjaannya. Ketiga, dimensi sosial. Bekerja dapat dipandang
sebagai suatu ungkapan hubungan sosial di antara sesama pagawai. Situasi
yang menyebabkan perpecahan antar pegawai dapat menurunkan kinerja
pegawai, baik secara individu maupun secara kelompok. Keempat, dimensi
ekonomi. Bekerja adalah kehidupan bagi pegawai, imbalan jasa yang tidak
sepadan dapat menghambat atau memacu pegawai untuk berprestasi. Kelima,
dimensi keseimbangan. Dalam hubungan ini keseimbangan antara apa yang
diperoleh dari pekerjaan dengan kebutuhan hidup akam memacu seseorang
untuk berusaha lebih giat guna mencapai keseimbangan atau sebaliknya.
Dimensi ini juga disebut sebagai dimensi kekuasaan pekerjaan karena
ketidakseimbangan dapat menimbulkan konflik yang dapat menurunkan
kinerja.
Dalam rangka untuk mengetahui sejauh mana pencapaian kinerja dalam
suatu organisasi biasanya dilakukan kegiatan penilaian kinerja. Penilaian
kinerja, menurut Dessler (2009), adalah “evaluating an employee’s current
and/or past performance relative to his or here performance standards.
Batasan ini menjelaskan bahwa penilaian kinerja adalah evaluasi kinerja relatif
karyawan saat ini dan atau yang telah berlalu terhadap standar kerjanya.
Pengertian lain dikemukakan Hammer dalam Schermerhorn, Hunt dan Osborn
(2005) bahwa penilaian kinerja adalah ”a process of systematically evaluating
performance and providing feedback on which performance adjustments can
be made. Definisi ini menunjukkan bahwa penilaian kinerja adalah suatu
proses menilai kinerja secara sistematis dan memberikan umpan balik atas
penilaian kinerja yang telah dibuat. Pengukuran kinerja juga dapat dilakukan
melalui beberapa penilaian (Flippo, 1986), antara lain:
1. Kualitas kerja, merupakan tingkat dimana hasil akhir yang
dicapai mendekati sempurna dalam arti memenuhi tujuan yang
diharapkan oleh perusahaan/organisasi.

15
16

2. Kuantitas kerja, merupakan jumlah yang dihasilkan yang


dinyatakan dalam istilah sejumlah unit kerja ataupun merupakan
jumlah siklus aktivitas yang dihasilkan
3. Ketepatan waktu, merupakan tingkat aktivitas di selesaikannya
pekerjaan tersebut pada waktu awal yang di inginkan.
4. Sikap, merupakan hal-hal yang berkaitan dengan sikap yang
menunjukkan seberapa jauh tanggung jawab terhadap
pelaksanaan pekerjaan, serta tingkat kemampuan seseorang
untuk bekerja sama dengan orang lain dalam menyelesaikan
tugas-tugasnya.
5. Efektifitas, tingkat pengetahuan sumber daya organisasi dimana
dengan maksud menaikkan keuangan
E. Hubungan Work Family Conflict terhadap Stress Kerja dan Kinerja
Work Family Conflict terhadap Stress Kerja Berdasarkan teori yang
relevan mendukung beberapa prediksi yang menyatakan bahwa konflik peran
ganda mengarah pada stress kerja. Konflik pekerjaan-keluarga cenderung
mengarah pada stress kerja karena ketika urusan pekerjaan mencampuri
kehidupan keluarga, tekanan sering kali terjadi pada individu untuk
mengurangi waktu yang dihabiskan dalam pekerjaan dan menyediakan lebih
banyak waktu untuk keluarga. Menurut Judge et al (1994) konflik keluarga-
pekerjaan dapat mengarah pada stress kerja dikarenakan banyaknya waktu
yang dibutuhkan dalam menangani urusan pekerjaan dan ini merupakan
sumber potensial terjadinya stress kerja.
Temuan empiris Thomas & Ganster (1995) yang menjelaskan bahwa
tekanan antara Work Family Conflict dapat mengarah pada penurunan fisik dan
psikologis perawat wanita/karyawan. Tekanan untuk mengembangkan dua
peran tersebut dapat menyebabkan timbulnya stress. Konflik pekerjaan-
keluarga merupakan salah satu bentuk konflik antar peran dimana tekanan dari
pekerjaan mengganggu pelaksanaan peran keluarga. Thomas & Ganster (1995)
menyatakan bahwa 38% pria dan 43% wanita yang sudah menikah dan
memiliki pekerjaan serta anak dilaporkan mengalami Work Interfering With

16
17

The Family (WIF) dan Family Interfering With The Work (FIW) terhadap
stress kerja dan hasil yang diperoleh mengindikasikan bahwa tekanan untuk
menyeimbangkan stress kerja tetapi juga ketidakpuasan kerja, depressi,
kemangkiran dan penyakit jantung.
Robbins & Judge (2012) menyatakan tingkat stress yang mampu
dikendalikan mampu membuat karyawan melakukan pekerjaanya dengan
lebih baik, karena membuat mereka mampu meningkatkan intensitas kerja,
kewaspadaan, dan kemampuan berkreasi, tetapi tingkat stress yang berlebihan
membuat kinerja mereka akan mengalami penurunan. Williams et al (2006)
berpendapat bahwa stress yang tinggi baik fisik maupun perilaku adalah hasil
jangka pendek dari job stress yang dapat berpengaruh pada kinerja karyawan
yang rendah. Stress pada karyawan bukanlah suatu hal yang selalu berakibat
buruk pada kinerja karyawan, melainkan stress juga dapat memberikan
motivasi bagi karyawan untuk memupuk rasa semangat dalam menjalankan
setiap pekerjaannya untuk mencapai suatu prestasi kerja yang baik buat karier
karyawan dan untuk kemajuan dan keberhasilan perusahaan.
Price (2003) mengatakan bahwa stress ditempat kerja juga berhubungan
positif dengan kinerja karyawan. Stress dapat menciptakan keunggulan
kompetitif bagi perusahaan dengan manajemen yang baik. Stress juga
memberikan dampak positif yang lain seperti dengan adanya batasan waktu
perusahaan dapat menjadi lebih efisien dan efektif. Stress mempunyai dampak
positif atau negatif. Dampak positif stress pada tingkat rendah sampai pada
tingkat moderat bersifat fungsional dalam arti berperan sebagai pendorong
peningkatan kinerja pegawai sedangkan pada dampak negatif stress pada
tingkat yang tinggi adalah penurunan pada kinerja karyawan yang drastis
(Gitosudarmo dan Suditta, 1997).
E. Penelitian Terdahulu
Adisa et al (2006) menyoroti penyebab utama dan konsekuensi dari
WFC di antara para pekerja Nigeria sebagaimana yang dirasakan oleh para
responden. Konsisten dengan penelitian sebelumnya tentang WFC (Jager,
2002; Stier, Lewin-Epstein dan Braun, 2012; Voydanoff, 2004), penelitian ini

17
18

menemukan bahwa WFC sering disebabkan oleh tanggung jawab yang tidak
kompatibel baik dalam domain kerja maupun keluarga. Chelariu and Stump
(2011) FWC tidak menunjukkan hubungan dengan stres kerja atau keinginan
berpindah. Ini menunjukkan kebutuhan akan spesifikasi yang lebih luas dari
model-model tersebut, termasuk keluarga yang setara dengan variabel terkait
pekerjaan seperti stres kerja dan keinginan berpindah. Sementara variabel
seperti stres keluarga, ketidakpuasan perkawinan, dan mungkin niat perceraian
tidak secara langsung terkait dengan pengaturan kerja, dan tugas lain dan
faktor eksternal, seperti tingkat pengangguran negara atau wilayah,
ketersediaan peluang karir lain dalam perusahaan saat ini atau pekerjaan secara
keseluruhan mobilitas dan kemampuan untuk mengubah profesi dapat
memengaruhi kemampuan individu untuk menemukan pekerjaan baru, dan
akibatnya, keinginan berpindah
Karatepe (2013) berusaha untuk mengusulkan dan menguji model
penelitian yang menyelidiki kelelahan emosional sebagai mediator dari efek
kerja yang berlebihan, konflik keluarga-kerja, dan konflik keluarga-pekerjaan
pada pekerjaan yang melekat dan kinerja pekerjaan. Karatepe (2013)
mendapatkan temuan bahwa kelelahan emosional berfungsi sebagai mediator
penuh dari efek kerja yang berlebihan, konflik keluarga-kerja, dan konflik
keluarga-pekerjaan pada pekerjaan yang melekat dan kinerja pekerjaan.
Khususnya, karyawan yang memiliki beban kerja berat dan tidak dapat
menetapkan keseimbangan antara pekerjaan (keluarga) dan peran keluarga
(kerja) secara emosional kelelahan. Pegawai seperti itu pada gilirannya kurang
melekat pada pekerjaan mereka dan menunjukkan kinerja yang buruk dalam
proses pemberian layanan.
Berbeda dengan temuan Elloy and Smith (2003) yang lebih berfokus
pada pola dari dari stress kerja dilatar belakangi Work Family Conflict dan
konflik peran pada pasangan di australia yang menyatakan bahwa praktik
ketenagakerjaan sebagian besar dibangun di sekitar yang kurang heterogen
profil tenaga kerja, pengusaha sekarang harus menghadapi dan merevisi
asumsi dan stereotip tenaga kerja mereka jika mereka ingin mencapai

18
19

produktivitas sumber daya manusia mereka yang lebih tinggi. Sementara


beberapa organisasi Australia serius menangani masalah pekerjaan dan
keluarga, inisiatif sumber daya manusia biasanya meremehkan dampak dari
fenomena karir ganda, terutama pada relokasi geografis. Kebijakan organisasi
yang responsif terhadap karir dan manajemen keluarga masih cenderung
bersifat embrio. Berbeda dengan penelitian Saranani (2015) yang dilakukan di
Sulawesi tenggara bahwa Konflik Peran dan tidak berpengaruh positif
signifikan terhadap kinerja karyawan. Temuan Saranani (2015) berarti
mengindikasikan bahwa peran konflik tidak mampu mempengaruhi
peningkatan kinerja karyawan di Dinas Pekerjaan Umum Sulawesi Tenggara.
Sedangkan hasil peneltian Saranani lainnya menyatakan Stres Kerja
berpengaruh negatif signifikan terhadap kinerja karyawan, berarti semakin
tinggi tingkat Stres Kerja maka akan menurunkan kinerja karyawan.
Koyuncu et al (2012) menyoroti pentingnya menguji menguji korelasi
dan konsekuensi dari WFC di antara sampel penelitian wanita yang bekerja
pada posisi manajerial dan profesional di Istanbul, Turki. Hasil temuan dari
Koyuncu et al ( 2012) sangat relevan bagi penelitian ini yaitu Responden
mengindikasikan tingkat WFC yang relatif rendah, ini mengindikasikan
tingkat kerja yang mengganggu keluarga dan keluarga yang mengganggu
pekerjaan secara signifikan dan berkorelasi positif. Triaryati (2003) menyoroti
bahwa masalah Perubahan demografis pada angkatan kerja di Amerika dan
beberapa negara di Asia antara lain berupa bertambahnya kaum ibu yang
bekerja, hal ini juga memicu meningkatknya masalah keluarga – pekerjaan di
dalam lingkungan kerja.

19
20

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian eksplanatoris (explanatory research)
dengan pendekatan kuantitatif, yaitu penelitian yang berupaya menjelaskan
hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesis
(Singarimbun dan Effendi, 1995). Pendekatan kuantitatif dilandasi pada suatu
asumsi bahwa suatu gejala itu dapat diklasifikasikan, dan hubungan gejala
bersifat kausal (sebab akibat) antara variabel atau konstruk melalui pengujian
hipotesis (Sugiyono, 2010).
Metode penelitian yang digunakan penelitian menggunakan metode
survei, yaitu metode yang digunakan untuk memperoleh informasi melalui
permintaan keterangan-keterangan kepada responden dengan menggunakan
kuesioner sebagai alat pengumpul data utama (primer). Pada umumnya yang
merupakan unit analisis dalam penelitian survei adalah individu (Singarimbun
dan Effendi, 1995). Pada penelitian juga selain menggunakan data primer juga
menggunakan data sekunder. Unit analisis dalam penelitian ini adalah Tenaga
Kesehatan Wanita pada Rumah Sakit Dr.Harjono Ponorogo.

B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini menganalisis data primer dan data sekunder yang
dikumpulkan dari Tenaga Kesehatan Wanita pada Rumah Sakit Dr. Harjono
Ponorogo. Penelitian ini bertempat di Rumah Sakit Dr.Harjono Ponorogo,
tepatnya di Jl. Raya Ponorogo - Pacitan, Pakunden, Kec. Ponorogo, Kabupaten
Ponorogo, Kode Pos 63419 Jawa Timur.

C. Populasi dan Sampel


Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2010).
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Tenaga Kesehatan Wanita pada
Rumah Sakit Dr. Harjono Ponorogo.

20
21

Pada penelitian sampel merupakan sebagian dari populasi yang


memiliki karakteristik relatif sama dan dianggap bisa mewakili populasi.
Dalam penentuan sampel yang dibutuhkan menggunakan rumus yang telah
dikembangkan oleh Hair et.al (2010). Teknik pengambilan sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah secara sensus yaitu menjadikan seluruh
populasi menjadi responden dalam penelitian, yang menjadi responden.
Setelah sampel diambil secara sensus terdapat 180 tenaga kesehatan wanita
yang berprofesi sebagai dokter, perawat, apoteker dan bidan yang sudah
berkeluarga dan mempunyai anak. Pengambilan sampel dilakukan dengan
sensus pada semua anggota populasi yang memenuhi kriteria. Dalam
penelitian ini kriteria sampel adalah :

1) Sampel merupakan Tenaga Kesehatan Wanita (dokter, perawat, apoteker


dan bidan) pada Rumah Sakit Dr. Harjono Ponorogo.

2) Sampel telah berstatus karyawan tetap pada Rumah Sakit Dr. Harjono
Ponorogo.

Hal ini menunjukkan bahwa responden yang digunakan dalam


penelitian ini memenuhi syarat minimal pengambilan sampel sesuai untuk
GSCA adalah minimal 30 sampel. Penggunaan sampel tersebut diharapkan
hasil analisis data memberikan gambaran lebih valid tentang keadaan
responden. Alasan digunakannya tenaga kesehatan sebagai sampel karena
yang mencakup Dokter, Perawat, Apoteker dan Bidan memiliki karakteristik
yang unik dengan profesi yang didalamnya banyak memicu stress, di
antaranya: banyak tekanan maupun tuntutan dari atasan untuk selalu melayani
pasien dengan ramah dalam situasi apapun, tenaga kesehatan memiliki tingkat
stress kerja yang tinggi karena pemberlakuan shifting pada jam kerja, disisi
lain harus bisa menghadapi komplain dari keluarga pasien. Jika terjadi apa-apa
terhadap pasien, tenaga kesehatan juga harus melaksanakan tugas yang banyak
mengandung resiko dan memberikan pelayanan kesehatan optimal 24 jam
seperti mengdianosis pasien, membantu kelahiran, menyuntik, memasang

21
22

kateter, menjahit luka, dan merawat pasien dengan penyakit menular atau
berbahaya, mengoperasi,.

D. Model Hipotesis
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif, dengan berdasar teori.
Terdapat satu konstruk yang mempengaruhi Kinerja karyawan dan Stress kerja
yaitu Work Interfering With The Family (WIF) dan Family Interfering With
The Work (FIW).

Sumber: penulis (2018)


Gambar 4.1 Model Hipotesis
Gambar diatas menunjukkan model hipotesis dari penelitian ini.
Sedangkan rumusan hipotesisnya adalah sebagai berikut:
H1: Work Interfering with The Family (WIF) berpengaruh signifikan positif
terhadap terjadinya Stress Kerja.
H2: Family Interfering with The Work (FIW) berpengaruh sigifikan positif
terhadap terjadinya Stress Kerja.

H3: Stress Kerja berpengaruh signifikan positif terhadap Kinerja.

22
23

H4: Work Interfering with The Family (WIF) berpegaruh negatif terhadap
Kinerja

H5: Family Interfering with The Work (FIW) berpengaruh negatif terhadap
Kinerja.

E. Definisi Operasional Variabel


E.1. Variabel Work Family Conflict
Untuk variabel Work Family Conflict merupakan kejadian simultan dari dua
atau lebih pemberian peran, yang mana pemenuhan peran yang satu akan
menimbulkan kesulitan pada pemenuhan peran yang lain. Variabel Work Family
Conflict terdiri dari:
a. Work Interfering with The Family (WIF) /Konflik Pekerjaan-Keluarga: adalah
permasalahan pekerjaan yang mengganggu keluarga. Indikator dari variabel ini
adalah Boles, et al (2001):
X1 = Tekanan kerja
X2 = Banyaknya tuntutan tugas
X3 = Kurangnya kebersamaan keluarga
X4 = Sibuk dengan pekerjaan
X5 = Konflik komitmen dan tanggung jawab terhadap keluarga
b. Konflik Keluarga-Pekerjaan: yaitu permasalahan keluarga yang mengganggu
pekerjaan. Indikator dari variabel ini adalah Frone, et al (1992); Boles, et al (2001):
X6 = Tekanan sebagai orang tua
X7 = Tekanan perkawinan
X8 = Kurangnya keterlibatan sebagai istri
X9 = Kurangnya keterlibatan sebagai orang tua
X10 = Campur tangan pekerjaan
E.2. Variabel Stress Kerja
Untuk mengukur variabel stress kerja dikembangkan oleh peneliti
berdasarkan penelitian Saranani (2015); Iqbal (2016); Ivancevich dan Matteson
(1982); Chelariu & Stump (2011) melalui indikator-indikator dari stres kerja
sebagai berikut:

23
24

X11 = Beban kerja


X12 = tuntutan/ tekanan dari atasan
X13 = ketegangan dan kesalahan
X14 = Menurunya tingkat hubungan interpesonal
E.2. Variabel Kinerja Karyawan
Untuk mengukur variabel kinerja karyawan dikembangkan oleh peneliti
berdasarkan penelitian Saranani (2015); Iqbal (2016); Prawirosentono (1999)
melalui indikator-indikator dari kinerja karyawan sebagai berikut:
X15 = Tingkat absensi
X16 = Terlambat masuk kerja
X17 = Prestasi dan produktivitas menurun
X18 = Kualitas kerja
X19 = Kuantitas kerja
X20 = Ketepatan waktu
X21 = Sikap
X22 = Efektifitas
X23 = Komitmen
Tabel 3.1 menyajikan Variabel, Definisi dan Item yang akan digunakan di
dalam penelitian ini.

Tabel 3.1 Variabel, Definis dan Indikator


Variabel Definisi Indikator

• Tekanan kerja
Work Interfering with The • Banyaknya tuntutan
Family (WIF) Konflik pekerjaan-keluarga tugas
dapat timbul dikarenakan • Kurangnya kebersamaan
Frone, et al (1992); Boles
urusan pekerjaan keluarga
et al (2001); Chelariu &
mencampuri urusan • Sibuk dengan pekerjaan
Stump (2011); Saranani
keluarga. • Konflik komitmen dan
(2015); Iqbal (2015) tanggung jawab terhadap
keluarga
Konflik timbul sebagai akibat • Tekanan sebagai orang
Family Interfering with The pekerjaan rumah tangga tua
Work (FIW) beserta seluruh • Tekanan perkawinan
konsekuensinya mengganggu • Kurangnya keterlibatan

24
25

Frone, et al (1992); Boles kinerja fungsi pekerjaan ibu sebagai istri


et al (2001); Chelariu & di tempat kerja • Kurangnya keterlibatan
Stump (20119; Saranani sebagai orang tua
(2015); Iqbal (2015) • Campur tangan pekerjaan

suatu respon adaptif,


dihubungkan oleh
karakteristik dan atau proses
• Beban kerja
psikologi individu yang
Stress Kerja • Tuntutan/tekanan dari
merupakan suatu atasan
Ivancevich dan Matteson konsekuaensi dari setiap • Ketegangan dan
(1982) tindakan eksternal, situasi kesalahan
atau peristiwa yang • Menurunnya tingkat
menempatkan tuntutan hubungan interpersonal
psikologis dan atau fisik
khusus pada seseorang

hasil kerja yang dapat dicapai


oleh seseorang atau
sekelompok orang dalam • Tingkat absensi
• Terlambat masuk kerja
suatu organisasi sesuai
• Prestasi dan produktivitas
dengan wewenang dan
Kinerja karyawan menurun
tanggung jawab masing- • Kualitas
Prawirosentono (1999) masing dalam rangka upaya • Kuantitas
mencapai tujuan organisasi • Ketepatan waktu
yang bersangkutan secara • Sikap
legal, tidak melanggar hukum • Efektivitas
dan sesuai dengan moral • komitmen
atau etika.

Sumber: data diolah peneliti (2018)

F. Metode Analisa Data


Metode analisis data yang digunakan untuk membuktikan hipotesis
yang diajukan dalam penelitian ini menggunakan Generalized Structured
Component Analysis (GSCA). GSCA dikembangkan oleh Heungsun Hwang,
Hec Montreal, dan Yhoshio Takene pada 2004. Tujuannya adalah
menggantikan faktor dalam kombinasi linier dari indikator (variabel manifes)
di dalam analisis SEM (Solimun, 2012).Tenehaus (2008) dalam Solimun
(2012) mengatakan bahwa GSCA adalah metode baru SEM berbasis
komponen, sangat penting dan dapat digunakan untuk perhitungan skor (bukan

25
26

skala) dan juga dapat diterapkan pada sampel yang sangat kecil. Di samping
itu, GSCA dapat digunakan pada model struktural yang melibatkan variabel
dengan indikator refleksif dan atau formatif.

Sumber: Solimun (2012)


Gambar 4.2 Langkah-langkah Analisis GSCA

26
27

Daftar Pustaka

Agustina, L. (2008). Pengaruh work-family conflict terhadap job satisfaction dan


turnover intention pada profesi akuntan publik: Studi empiris pada
kantor akuntan publik di DKI Jakarta dan Bandung. Jurnal Ilmiah
Akuntansi, 7 (2), 100-116.
Allen, N.J. & Meyer, J.P. (1990). The measurement and antecedents of affective,
continuance and normative to the organization. Journal of Occupational
Psychology, 63, 1-18.
As’ad, Moh., 1997, Seri Ilmu Sumber Daya Manusia -Pikologi Industri, Yogyakarta:
Liberty.
Atkinson, J.M.1991. Mengatasi Stres di Tempat Kerja. Alih Bahasa: Budi Susetyo.
Jakarta: Bumi Putra Aksara.
Balmforth, K. & Gardner, D. (2006). Conflict and facilitation between work and
family: Realizing the outcomes for organizations. New Zealand Journal
of Psychology, 35 (2), 69-76
Bernardin, John, 1993, Human Resource Management: An Expperimental
Approach, New York: Prentice-Hall
Boles James S., W.G Howard and Heather H.W. Donofrio, (2001). “An Investigation
Into The Inter-Relationships Of Work-Family Conflict, Family-Work
Conflict And Work Satisfaction”. Journal of Managerial Issues Vol. 13,
No. 3. pp. 376-390.
Burke, R.J., 1988, “Some Antecedents and Consequences of Work-family Conflict”,
Journal of Social Behavior and Personality, 3, 287-302.
Dessler, Gary. 2009. Fundamental of Human Resources Management: content,
cometencies and applications. New Jersey: Pearson Education,Inc.
Elloy, D. F. & Smith, C. (2004). Antesedents of work-family conflict among dual-
career couples: An Australian study. Cross Cultural Management, 11 (4),
17-27.
Elloy, D. F. & Smith, C. (2004). Antesedents of work-family conflict among dual-
career couples: An Australian study. Cross Cultural Management, 11 (4),
17-27.
Flippo, B, Edwin, 1995, Manajemen Personalia, (Terjemahan : Moh, Mas’ud) Edisi
6, Jakarta: Erlangga.
Frone, M. R., Russell, M., & Cooper, M. L. (1992). Antecedents and outcomes of
work-family conflict: Testing a model of the work-family interface.
Journal of Applied Psychology, 77(1), 65-78. DOI:
http://dx.doi.org/10.1037/0021-9010.77.1.65

27
28

Frone, M.R., J.K. Yardley, and K.S. Markel, 1997b, “Developing and Testing an
Integrative Model of the Work-family Interface”, Journal of Vocational
Behavior, 50, 145-67.
Frone, M.R., M. Russell, and G.M. Barnes, 1996, “Work-family Conflict, Gender,
and Health-related Outcomes: A Study of Employed Parents in Two
Community Samples”, Journal of Occupational Health Psychology, 1, 57-
69.
Frone, M.R., M. Russell, and M.L. Cooper, 1992a, “Antecedents and Outcomes of
Work-family Conflict: Testing a Model of the Work-family Interface”,
Journal of Applied Psychology, 77, 65-78.
Frone, M.R., M. Russell, and M.L. Cooper, 1992b, “Prevalence of Work-family
Conflict: Are Work and Family Boundaries Asymmetrically Permeable?”,
Journal of Organizational Behavior, 13, 723-9.
Frone, M.R., M.R. Russell, and M.L. Cooper, 1997a, “Job Stressors, Job
Involvement, and Employee Health: A Test of Identity Theory”, Journal
of Occupational and Organizational Psychology, 68, 1-11.
Gary Howard, W., Heather Howard Donofrio, and James S. Boles. "Inter-domain
work-family, family-work conflict and police work satisfaction." Policing:
An International Journal of Police Strategies & Management 27, no. 3
(2004): 380-395.
Ghozali, Imam, 2002, Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS.
Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Gitosudarmo, Indriyo dan Sudita, I Nyoman. 1997, Perilaku Keorganisasian,
Yogyakarta : BPFE.
Greenhaus JH, Parasuraman SJ, Wormley WM. (1990). Effects of race on
organizational experiences, job performance evaluations, and career
outcomes. Academy of Man agement Journal, Vol. 33, Pp. 64–86.
Greenhaus, J.H., & Beutell, N.J. (1985). Sources of conflict between work and
family roles. Academy of Management Review, Vol. 10, Pp 76-88.
Greenhaus, J.H., S. Parasuraman, and K.M. Collins, 2001, “Career Involvement and
Family Involvement as Moderators of Relationships between Work-
family Conflict and Withdrawal from a Profession”, Journal of
Occupational Health Psychology, 6, 91-100.
Hair, J.F. Jr. , W.C. Black & B.J. Babin. 2010. Multivariate Data Analysis, (7thEdition).
Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.
Hendrix, W.H., Spencer,B.A., & Gibson, G.S., (1994). Organizational and
extraorganizational factors affecting stress, employee well-being, and
absenteeism for males and females. Journal of Bussines and Psychology,
9 (2), 103-128

28
29

Ivancevich, John M. and Michael T. Matteson. (1982). “Occupational Stress,


Satisfaction, Physical Well Being, And Coping: A Study Of Homemakers
“.Psychological report, Vol.50, Pp: 995-1005.
Judge TA, Boudreau JW, Bretz RD, Jr. (1994). Job and life attitudes of male
executives. Journal of Applied Psychology, Vol.79, pp. 767–782.
Namasivayam, K., & Zhao, X.(2006). An investigation of the moderating effects of
organizational commitment on the relationship between work-family
conflict and job satisfaction among hospitality employees in India.
Tourism Management, doi:10.1016.
Netemeyer, R.G., J.S. Boles, and R. McMurrian, 1996, “Development and
Validation of Work-family Conflicts and Work-family Conflict Scales”,
Journal of Applied Psychology, 81, 400-410.
Parasuraman S, Purohit YS, Godshalk VM, Beutell NJ. (1996).Work and family
variables, entrepreneurial career success, and psychological well-being.
Journal of Vocational Behavior, 48, 275–300.
Parasuraman S, Simmers C. (2001). Type of employment, work-family conflict and
well being: A comparative study. Journal of Organizational Behavior, 22,
551–568.
Riley, D. (2006). Turnover intention: The mediation effects of job satisfaction,
affective commitment, and continuance commitment. Unpublished
doctoral dissertation, University of Waikato.
Robbins,Stephen P. and Timothy A. Judge. (2012). Organizational Behavior.
Edition 15. Pearson Education.
Saranani, Fajar. (2015). Role conflict and stress effect on the performance of
employees working in public works department. The International
Journal Of Engineering And Science (IJES). Vol. 4(6), Pp.01-10.
Schermerhorn Jr, John R., J.G. Hunt and R.N. Osborn, (2003). Organizational
Behavior, Ninth Edition. Wiley: USA.
Sekaran, U. (2000). Research methods for business: A skill-building approach. 3rd
edition, NY: John Wiley & Sons, Inc.
Tatik Suryani; Harry Widyantoro. 2001. Analisis Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Tingkat Stress Kerja Pada Tenaga Edukatif Tetap
Perguruan Tinggi Swasta di Surabaya. Jurnal Manajemen Sumber Daya
Manusia, h:1-12.
Triaryati, Nyoman., (2003),Pengaruh Adaptasi Kebijakan Mengenai Work Faily
Issue Terhadap Absen Dan Turnover, Jurnal Manajemen &
Kewirausahaan, Vol. 5(1), Pp: 85 – 96.
Triharyati, N. Pengaruh Adaptasi Kebijakan Mengenai Work Family Issue Terhadap
Absen Dan Turnover. Jurnal Manajemen & Kewirausahaan Vol. 5, No. 1,
Maret 2003: 85 – 96. http://puslit.petra.ac.id/journals/management/

29
30

Williams, A., R.L. Franche, S. Ibrahim, C.A. Mustard, and F.R. Layton, (2006),
“Examining the Relationship between Work-family Spillover and Sleep
Quality”, Journal of Occupational Health Psychology, 11(1), 27-37.
Williams, K.H., and C.T. Warrens, (2003), “Work on Family Conflict among the
Female Managers in Organization”, Journal of Gender Studies, 9(1), 36-
47.
Yang, N., Chen, C.C., & Zou, Y., 2000. Source of work-family conflict: A sino-U.S.
comparison of the effect of work and family demands. Academy of
Management Journal, Vol.43 No.1, hal. 113-123.

30

Anda mungkin juga menyukai