Inflasi merupakan suatu keadaan ekonomi dimana harga-harga barang secara umum menjadi naik
secara terus menerus selama kurun waktu tertentu. Kenaikan harga barang digolongkan secara umum
karena sebagian besar harga barang terlebih komoditi utama mengalami kenaikan harga namun masih
ada sebagian kecil yang tidak mengalami kenaikan harga atau malah mengalami turun harga.
Selain itu inflasi juga memiliki ciri kenaikan harga yang terus menerus. Apabila kenaikan harga hanya
terjadi pada waktu-waktu tertentu seperti lebaran, natal, tahun baru, ataupun menjelang pemilu tidak bisa
dikategorikan sebagai inflasi. Kenaikan harga barang atau inflasi bisa disebabkan oleh beberapa faktor.
Berikut ini adalah beberapa faktor penyebab terjadinya inflasi. (Baca juga: Pengertian Inflasi Menurut
Para Ahli)
Secara umum inflasi ini sering terjadi pada perekonomian negara yang memiliki pertumbuhan pesat.
Kesempatan kerja yang tinggi di negara tersebut menyebabkan tingkat pendapatan masyarakat yang
tinggi. Hal ini pengeluaran yang melebihi kemampuan produksi suatu jasa atau barang. Kemampuan
daya beli msyarakat yang berlebih ini kemudian menyebabkan inflasi.
Di Indonesia, inflasi penarikan permintaan bisa terjadi karena permintaan terhadap barang atau jasa yang
reltif tinggi dibanding dengan ketersediaannya. Dalam pengertian ekonomi makro inflasi jenis ini
digambarkan sebagai aggregate demand yang lebih besar atau melebihi kapasitas perekonomian. (Baca
juga: Manfaat Ekonomi Mikro)
Jumlah uang yang beredar di masyarakat bisa bertambah apabila suatu negara menggunakan sistem
anggaran defisit. Sehingga untuk menutup kekurangan anggaran tersebut, negara mencetak uang baru
yang menyebabkan harga naik. (Baca juga: Fungsi Asli Uang)
Turunnya nilai tukar mata uang dalam negeri dengan mata uang asing atau depresiasi. Kenaikan nilai
tukar mata uang juga menyebabkan bahan baku atau barang dari luar negeri menjadi semakin mahal.
Inflasi di luar negeri khususnya negara partner dagang menyebabkan barang dan produk dari luar negeri
juga semakin mahal.
Ketidakseimbangan antara jumlah tenaga kerja dan permintaan barang produksi membuat pemerintah
akan menaikkan harga produksi. Salah satu cara menikkan harga produksi adalah dengan menaikkan
upah atau gaji karyawan serta merekrut karyawan baru dengan tawaran gaji atau upah yang lebih tinggi.
Kebijakan yang seperti ini menyebabkan biaya produksi meningkat, sehingga harga barang produksi juga
menjadi naik.
Inflasi yang disebabkan oleh kenaikan biaya produksi biasanya terjadi di negara dengan pertumbuhan
ekonomi yang sedang berkembang atau tumbuh pesat namun dengan angka pengangguran yang cukup
rendah. Di negara yang seperti ini, supply tenaga kerja terbatas namun permintaan akan suatu barang
produksi tinggi.
Selain itu inflasi karena guncangan penawaran juga dapat terjadi karena faktor lain seperti bencana alam
dan lain sebagainya. Namun juga bisa terjadi karena pemerintah menaikkan harga suatu barang tertentu.
Penyebab terjadinya inflasi dibagi menjadi banyak faktor dan beberapa diantaranya juga terjadi di
Indonesia. Secara umum, inflasi merupakan kejadian atau gejala ekonomi yang tidak bisa dihilangkan
secara tuntas. Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah biasanya hanya pada sebatas mengendalikan
atau mengurangi inflasi. (Baca juga: Peran Pemerintah sebagai Pelaku Ekonomi)
Kenaikan harga barang impor akan membawa pengaruh terhadap harga barang dalam
negeri, terlebih lagi apabila barang impor tersebut digunakan sebagai faktor produksi
(bahan mentah) untuk memproduksi barang dalam negeri.
Apabila jumlah uang yang beredar banyak, maka nilai uang akan turun, yang pada
akhirnya akan menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa.
5. Kekacauan Politik dan Ekonomi
Hal ini pernah terjadi di Indoneia, yaitu pada tahun 1998. Akibat kekacauan politik dan
ekonomi tahun 1998 tersebut, angka inflasi di Indonesia mencapai 70%. Lalu,
berapakah angka ideal inflasi?? Menurut Boediono (2008) angka inflasi ideal berkisar
antara 3 – 4%. klik
Penyebab-Penyebab Inflasi
Inflasi bisa terjadi karena adanya berbagai faktor penyebab, yang meliputi:
a. Kelebihan Permintaan
Inflasi terjadi jika ada kelebihan permintaan yang tidak bisa dipenuhi oleh produsen,
yang disebut dengan istilah demand pull inflation (lihat lagi di macam-macam inflasi
berdasarkan penyebab).
Inflasi terjadi jika biaya produksi meningkat, yang selanjutnya berakibat pada naiknya
harga jual barang-barang dan jasa.
Inflasi terjadi jika pemerintah mencetak uang baru untuk menutupi anggaran negara
yang defisit.
Pencetakan uang baru bisa menyebabkan jumlah uang yang beredar lebih banyak dan
tidak seimbang dengan jumlah barang dan jasa sehingga harga-harga akan naik
(inflasi).
Misalnya, jika produksi sepatu bisa dipercepat dari satu bulan menjadi hanya satu
pekan, maka produksi padi tidak bisa dipercepat dari empat bulan menjadi satu bulan.
Akibatnya, permintaan akan meningkat tajam dan tidak seimbang dengan jumlah
barang yang tersedia sehingga pasti terjadi inflasi.
Ketika harga betul-betul naik tetap saja ada sebagian dari produsen yang tidak menjual
barangnya, karena masih menunggu kenaikan harga yang lebih tinggi lagi.
Perilaku produsen seperti ini menyebabkan penawaran jauh lebih kecil dibanding
permintaan, padahal dalam keadaan seperti ini para konsumen berlomba-lomba
membeli barang, akibatnya pasti terjadi inflasi.
Kebijakan pemerintah yang kurang tepat bisa memicu timbulnya inflasi. Misalnya, jika
pemerintah menetapkan aturan (syarat) pemberian kredit yang terlalu longgar maka
bisa dipastikan akan lebih banyak pengusaha yang mendapat kredit (pinjaman uang).
Akibatnya, jumlah uang yang beredar terlalu banyak sehingga memicu timbulnya
inflasi. inflasi
• Politik diskoto (Politik uang ketat): bank menaikkan suku bunga sehingga jumlah uang
yang beredar dapat dikurangi.Kebijakan diskonto dilakukan dengan menaikkan tingkat
bunga sehingga mengurangi keinginan badan-badan pemberi kredit untuk
mengeluarkan pinjaman guna memenuhi permintaan pinjaman dari masyarakat.
Akibatnya, jumlah kredit yang dikeluarkan oleh badan-badan kredit akan berkurang,
yang pada akhirnya mengurangi tekanan inflasi.
• Politik pasar terbuka: bank sentral menjual obligasi atau surat berharga ke pasar
modal untuk menyerap uang dari masyarakat dan dengan menjual surat berharga bank
sentral dapat menekan perkembangan jumlah uang beredar sehingga jumlah uang
beredar dapat dikurangi dan laju inflasi dapat lebih rendah.Operasi pasar terbuka (open
market operation), biasa disebut dengan kebijakan uang ketat (tight money policy),
dilakukan dengan menjual surat-surat berharga, seperti obligasi negara, kepada
masyarakat dan bank-bank. Akibatnya, jumlah uang beredar di masyarakat dan
pemberian kredit oleh badan-badan kredit (bank) berkurang, yang pada akhirnya dapat
mengurangi tekanan inflasi.
2. Kebijakan Fiskal
Kebijakan nom moneter adalah kebijakan yang tidak berhubungan dengan finansial
pemerintah maupun jumla uang yang beredar, cara ini merupakan langkah alternatif
untuk mengatasi inflasi. Kebijakan non moneter dapat dilakukan melalui instrument
berikut:
• Penanggulangan inflasi yang sangat parah (hyper inflation) ditempuh dengan cara
melakukan sneering (pemotongan nilai mata uang).Sanering berasal dari bahasa
Belanda yang berarti penyehatan, pembersihan, reorganisasi. Kebijakan sanering
antara lain:
• Kebijakan yang berkaitan dengan output. Kenaikan output dapat memperkecil laju
inflasi. Kenaikan jumlah output ini dapat dicapai misalnya dengan kebijakan penurunan
bea masuk sehingga impor barang cenderung meningkat. Bertambahnya jumlah barang
di dalam negeri cenderung menurunkan harga.
• Kebijakan penentuan harga dan indexing. Ini dilakukan dengan penentuan ceiling
price.
• Devaluasi adalah penurunan nilai mata uang dalam negeri terhadap mata uang luar
negeri. Jika hal tersebut terjadi biasanya pemerintah melakukan intervensi agar nilai
mata uang dalam negeri tetap stabil. Istilah devaluasi lebih sering dikaitkan dengan
menurunnya nilai uang satu negara terhadap nilai mata uang asing. Devaluasi juga
merujuk kepada kebijakan pemerintah menurunkan nilai mata uang sendiri terhadap
mata uang asing. klikdisini
1. Sudan Selatan
Sudan Selatan tercatat mencetak angka inflasi hingga 122,90 persen tahun 2017.
Sebelumnya inflasi negara Afrika ini sempat tembus hingga 800 persen. Hiperinflasi
yang terjadi di Sudan Selatan memicu krisis ekonomi.
Padahal, negara ini punya penghasilan yang menjanjikan dari hasil jual minyak. Dikutip
dari African Union, sekitar 99,8 persen pendapatan negara diperoleh dari ekspor minyak.
Sejak dilanda konflik tahun 2013, ekonomi di negara ini jadi gak stabil. Hingga akhirnya
krisis ekonomi pun timbul di negara yang merdeka tahun 2011. Biaya hidup di sana
menjadi mahal. Bahkan, harga bahan bakar juga ikutan mahal.
2. Sudan
Isolasi terhadap Korea Utara menyebabkan negara ini mengalami krisis ekonomi. Data
yang diperoleh tradingeconomics menyebut inflasi di negara ini mencapai 55 persen Juli
lalu.
Malahan nih, pada 2011, Korea Utara pernah mengalami kekurangan pangan. Sekitar 6
juta orang dilaporkan menderita kelaparan.
Situasi ini makin diperparah karena uji coba senjata nuklir terbaru. Tentu aja apa yang
dilakukan Korea Utara mendapat respons negatif dari dunia internasional. Bahkan, Cina
sebagai mitra dagang Korea Utara paling besar memberi tekanan pada negara ini.
Jokowi sadar akan pentingnya untuk menerapkan langkah reformasi yang tidak populer segera
setelah menjadi Presiden Indonesia (yang ke-tujuh). Soalnya, semakin lama penundaannya,
semakin rendah kemungkinannya akan terpilih kembali dalam pemilihan berikutnya (karena
membutuhkan waktu untuk pulih dari langkah-langkah reformasi). Pada November 2014, hampir
satu bulan setelah menjabat, Jokowi memotong subsidi BBM sebesar 31 persen untuk premium
dan 36 persen untuk solar. Namun keputusan ini hanya mengakibatkan protes yang sedikit saja.
Kenapa? Karena waktu Jokowi memotong subsidi BBM harga minyak mentah global sangat
rendah. Bahkan begitu rendah sehingga harga premium dan solar bersubsidi turun (!) setelah
pemotongan subsidi BBM. Jatuhnya yang dramatis harga minyak mentah global yang dimulai
pada bulan Agustus 2014 dalam kombinasinya dengan harga BBM bersubsidi yang tidak
berubah sesuai dengan harga pasar mengakibatkan sebuah situasi paradoksal yaitu: pembeli
BBM bersubsidi mensubsidi pemerintah karena harga BBM bersubsidi telah menjadi lebih mahal
daripada harga pasar.
Namun meskipun harga minyak global rendah, keputusan untuk memotong subsidi BBM pada
akhir 2014 mendorong laju inflasi bulanan Indonesia menjadi 1,50 persen dan 2,46 persen pada
bulan November dan Desember 2014, masing-masing. Tingkat inflasi bulanan yang sangat tinggi
ini bisa saja mendorong sebagian penduduk yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan jatuh di
bawah garisnya itu. Oleh karena itu, diperlukan program bantuan sosial pemerintah yang tepat
sasaran untuk mencegah peningkatan kemiskinan.
Namun, dalam kenyataannya pemerintah telah menahan diri dari merevisi harga BBM bersubsidi
sejak April 2016 meskipun harga minyak mengalami rebound (sejak awal 2016) dan yang
sekarang menyebabkan tekanan baru pada neraca anggaran pemerintah. Motif di balik ini adalah
politik. Karena pemilihan lokal diselenggarakan pada tahun 2018, diikuti oleh pemilihan
legislatif dan pemilihan presiden pada tahun 2019, pemerintah pada saat ini tidak tertarik untuk
menerapkan keputusan yang tidak populer (misalnya menaikan harga BBM bersubsidi) karena
itu dapat membahayakan kemenangan di pemilu untuk partai-partai dan wajah-wajah yang
berkuasa sekarang. Bahkan, pemerintah Indonesia telah mengkonfirmasi bahwa harga BBM
bersubsidi dan harga listrik bersubsidi tidak akan dinaikkan hingga akhir tahun 2019, yang
menyiratkan bahwa pemerintah perlu menambah lebih banyak dana untuk anggaran subsidi
energi pada tahun 2018 dan 2019.
Sebelum Jokowi melakukan reformasi harga energi bersubsidi, beberapa lembaga internasional
seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia terus mengkritik kebijakan subsidi
energi pemerintah Indonesia karena menyediakan bahan bakar dan listrik yang murah kepada
penduduknya mempunyai beberapa konsekuensi negatif:
• Subsidi energi menyebabkan kelemahan finansial, terutama setelah Indonesia berubah menjadi
importir minyak mulai pada tahun 2000an. Sebenarnya, kebijakan ini tidak mungkin dilanjutkan
terus karena pada suatu saat di masa depan cadangan minyak akan habis maka pemerintah perlu
menaikkan harga-harga bersubsidi ini. Dengan menunggu lebih lama, dampak negatifnya bisa
menjadi lebih parah.
• Mendanai subsidi energi membatasi belanja pemerintah di sektor yang lebih produktif seperti
infrastruktur dan pembangunan sosial (pada kenyataannya BBM murah mendukung penjualan
mobil nasional dan dengan infrastruktur yang sebagian besar tidak memadai itu mengakibatkan
kemacetan lalu lintas yang semakin berat di kota-kota besar di Indonesia).
• Subsidi energi mendistorsi ekonomi nasional karena membuat-buat harga-harga rendah (secara
"artifisial"). Karena harga sebagian besar produk dan layanan dipengaruhi biaya BBM, ini
menyiratkan bahwa sebagian besar harga barang dan layanan di Indonesia lebih rendah daripada
seharusnya. Meskipun ini ada keuntungan jangka pendek (dalam hal daya saing dan dalam hal
pemberantasan kemiskinan), ini adalah bom waktu yang akan meledak di depan.
• Kebijakan itu salah sasaran karena terutama kelas menengah (dan elit) yang diuntungkan
dengan harga BBM bersubsidi yang murah, bukan segmen masyarakat Indonesia yang lebih
miskin (yang sebenarnya sasarannya).
Masyarakat Indonesia menjadi kecanduan pada subsidi energi Pemerintah, terutama BBM yang
murah. Ini berarti bahwa usaha-usaha untuk mengatur kembali subsidi energi mengimplikasikan
risiko-risiko politik untuk elit yang berkuasa karena kegelisahan politik (demonstrasi) muncul
yang disebabkan oleh (ancaman dari) tekanan inflasi yang meningkat.
Salah satu karakteristik Indonesia adalah sejumlah besar penduduknya termasuk dalam
kelompok yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan, yang berarti bahwa shock inflasi yang
relatif kecil bisa mendorong mereka ke bawah garis kemiskinan itu. Selain itu, rencana kabinet
untuk memangkas subsidi energi memungkinkan ruang untuk kritik dari musuh-musuh politik
karena mereka dapat menggunakan keinginan masyarakat untuk memiliki akses ke BBM murah
untuk kepentingan politik mereka. Di Indonesia banyak orang tergolong "pemilih ayunan"
karena banyak yang tidak berafiliasi dengan partai politik tertentu, sehingga pemilih cenderung
cepat mengalihkan dukungan ke partai politik lain.
Bagaimana subsidi energi ditangani di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)?
Pelajaran pertama yang bisa kita petik dari reformasi subsidi energi di era SBY yaitu bahwa
keputusan yang (ter)lambat oleh pihak berwenang dapat menyebabkan inflasi yang tinggi,
sementara di era ini ada juga contoh menarik tentang bagaimana harga BBM bersubsidi jadi
dipolitisasi.
Pada akhir tahun 2005, setelah berjabat sekitar satu tahun, pemerintahan SBY memutuskan untuk
memangkas subsidi BBM lewat peningkatan harga BBM subsidi lebih dari dua kali lipat.
Keputusan ini dilakukan karena harga minyak internasional meningkat pesat di antara tahun
2002 dan 2006. Namun, karena perselisihan signifikan antara harga pasar (yang sebenarnya) dan
harga BBM bersubsidi di Indonesia, langkah ini segera menyebabkan inflasi menyentuh dua
digit - antara 14 dan 19 persen (tahun ke tahun) - hingga Oktober 2006. Sementara itu, inflasi inti
- yang mengecualikan barang-barang yang rentan terhadap volatilitas harga sementara yaitu
harga makanan dan harga yang ditetapkan pemerintah (administered prices) - juga volatile
karena efek putaran kedua penyesuaian harga energi yang masuk ke ekonomi yang lebih luas
(melalui meningkatnya biaya transportasi). Maka respon yang lambat oleh pihak berwenang
untuk menaikkan harga BBM bersubsidi dapat menyebabkan inflasi yang jauh lebih tinggi dari
yang seharusnya dan bisa mendorong banyak orang ke dalam kemiskinan penuh (jika tidak
disertai dengan program bantuan sosial pemerintah).
Karena harga minyak internasional terus naik - menyentuh rekor tertinggi pada Juni 2008 - dan
oleh karena itu pemerintahan SBY membutuhkan dana besar untuk menjaga harga BBM
bersubsidi pada tingkat yang sebenarnya setengah dari harga pasar, pemotongan subsidi BBM
diperlukan lagi. Masalah lain yang timbul yaitu BBM murah telah membantu meningkatkan
penjualan mobil ke rekor tertinggi dan karena itu permintaan BBM subsidi terus meningkat.
Keputusan SBY untuk menaikkan harga BBM bersubsidi pada tahun 2008 disambut dengan
demonstrasi-demonstrasi. Namun, pada 2009, ketika harga minyak internasional menurun selama
krisis keuangan global, SBY memangkas harga bahan bakar bersubsidi lagi. Namun, satu tahun
kemudian (pada 2009), SBY mengubah arah saat harga minyak internasional turun drastis
selama krisis keuangan global. SBY memutuskan untuk memangkas harga BBM bersubsidi di
Indonesia, sebuah tindakan yang disukai rakyat. Selain karena harga minyak internasional yang
turun secara signifikan, diasumsikan bahwa SBY juga senang menurunkan harga BBM
bersubsidi menjelang pemilihan 2009 karena pasti akan meningkatkan kemungkinan untuk
terpilih kembali sebagai kepala negara.
Waktu harga minyak internasional melonjak kembali antara tahun 2009 dan 2012 (karena
munculnya kekhawatiran besar terhadap ekspor Iran) dan mengakibatkan membengkaknya
defisit anggaran, pemerintahan SBY (sekarang dalam masa jabatan yang kedua) hendak
menaikkan harga BBM bersubsidi lagi. Namun, beberapa partai politik yang terkemuka
menentang rencana tersebut. Kendala utama adalah Golkar, partai politik terbesar kedua di
Indonesia waktu itu dan bagian dari koalisi yang berkuasa di pemerintahan SBY. Awalnya
Golkar mendukung kenaikan harga BBM bersubsidi, namun tiba-tiba berubah pikiran dan
menolak kenaikan tersebut setelah melihat banyak demonstrasi di jalan-jalan di Indonesia.
Perubahan pikiran dari Golkar itu hanya berdasarkan pada perolehan dukungan rakyat jangka
pendek, sementara mengabaikan efek jangka positif panjang. Oleh karena itu, rencana
menaikkan harga BBM ditunda.
Tetapi ketika defisit anggaran pemerintah hampir melampaui batas maksimum 3 persen dari
PDB di tengah tingginya harga minyak dunia dan subsidi BBM pemerintah pada tahun 2013,
pemerintahan SBY kembali memutuskan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Pada Juni
2013, harga premium naik 44 persen menjadi Rp 6.500 per liter, sedangkan solar naik 22 persen
menjadi Rp 5.500 per liter. Langkah ini memicu protes rakyat dan juga diterapkan pada waktu
yang salah sekitar satu tahun sebelum pemilihan legislatif (dalam pemilu legislatif 2014
dukungan rakyat kepada partai SBY jatuh drastis tetapi harus diinformasikan bahwa penurunan
ini juga merupakan hasil dari beberapa skandal korupsi besar yang muncul di partai PD serta
faktanya bahwa SBY sendiri tidak bisa berpartisipasi dalam pemilu presiden 2014 karena masa
jabatan presiden dibatasi hanya dua periode).
Dibutuhkan seorang presiden yang berpikiran reformasi untuk melakukan itu. Setelah Joko
Widodo memenangkan pemilihan presiden 2014 dan diresmikan sebagai presiden ketujuh
Indonesia pada Oktober 2014, salah satu langkah pertama yang ia lakukan yaitu menaikkan
harga BBM bersubsidi. Efek samping negatifnya adalah laju inflasi negara, yang baru saja mulai
pulih menuju target Bank Indonesia sebesar 4,5 persen (setelah kenaikan harga BBM bersubsidi
pada 2013), tidak punya waktu untuk pulih lebih lanjut, dan malah berakselerasi lagi menjadi 8,4
persen (y/y) pada akhir 2014. Ini sebuah keputusan yang susah tetapi diperlukan untuk
pertumbuhan ekonomi struktural jangka panjang.
Pada awal tahun 2015, Presiden Jokowi sangat beruntung karena harga minyak global telah turun
drastis sejak pertengahan 2014 di tengah permintaan global yang lemah, sementara pasokan
minyak kuat karena angka produksi minyak yang tinggi di negara-negara OPEC serta revolusi
gas shale AS. Oleh karena itu, Jokowi memutuskan untuk menerapkan kebijakan yang berani.
Dia menghapus sebagian besar subsidi premium sementara menetapkan subsidi sebesar Rp 1.000
per liter untuk solar. Juga diterapkan kebijakan baru terkait harga BBM bersubsidi yaitu
pemerintah akan menentukan harga premium dan solar setiap kuartal dan harga-harga ini akan
berfluktuasi sejalan dengan harga minyak internasional. Namun, karena minyak bumi global
pulih secara hati-hati pada paruh pertama tahun 2015, inflasi Indonesia tetap tinggi pada
pertengahan 2015 dan baru mulai mereda pada akhir 2015.
Januari 0.62%
Februari 0.17%
Maret 0.20%
April 0.10%
Mei 0.21%
Juni 0.59%
Juli 0.28%
Augustus -0.05%
September -0.18%
Oktober 0.28%
November
Desember
Total
M/M Growth M/M Growth M/M Growth M/M Growth M/M Growth
Bulan
2013 2014 2015 2016 2017
Inflasi
8.4 3.4 3.0 3.6
(% perubahan tahunan)
BI Median Target¹
4.5 4.0 4.0 4.0 3.5
(% perubahan tahunan)
Inflasi
9.8 4.8 5.1 5.4 4.3 8.4
(% perubahan tahunan)
BI Median Target¹
5.0 4.5 5.0 5.0 4.5 4.5
(% perubahan tahunan)
¹ disajikan di tabel di atas adalah median dari target inflasi tahunan Bank Indonesia (BI). BI selalu menggunakan margin ±1 persen, maka median 4.0 persen adalah range 3.0 - 5.0 persen
Sumber: Bank Indonesia
Karakteristik tingkat inflasi yang kurang stabil di Indonesia menyebabkan deviasi yang lebih
besar dari proyeksi inflasi tahunan oleh Bank Indonesia (dibanding deviasi antara realisasi inflasi
dan target bank sentral di negara lain). Akibat dari ketidakjelasan inflasi semacam ini adalah
terciptanya biaya-biaya ekonomi, seperti biaya peminjaman yang lebih tinggi di negara ini
(domestik dan internasional) dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Saat
rekam jejak yang baik mengenai mencapai target inflasi tahunan terbentuk, kredibilitas kebijakan
moneter yang lebih besar akan mengikutinya. Namun, karena inflasi yang tidak stabil terutama
disebabkan oleh penyesuaian harga BBM bersubsidi, kami memprediksi akan terjadi lebih
sedikit deviasi antara target awal Bank Indonesia dan realisasi inflasi pada tahun 2018 dan 2019
(apalagi pemerintah telah mengkonfirmasi bahwa harga BBM dan listrik bersubsidi tidak akan
direvisi sampai dengan akhir tahun 2019).
Kurangnya kuantitas dan kualitas infrastruktur di Indonesia juga mengakibatkan biaya-biaya
ekonomi yang tinggi. Hal ini menghambat konektivitas di negara kepulauan ini dan karenanya
meningkatkan biaya transportasi untuk jasa dan produk (sehingga membuat biaya logistik tinggi
dan membuat iklim investasi negara ini menjadi kurang menarik). Gangguan distribusi karena
isu-isu yang berkaitan dengan infrastruktur sering dilaporkan dan membuat Pemerintah
menyadari pentingnya berinvestasi untuk infrastruktur negara ini.
Harga-harga bahan pangan sangat tidak stabil di Indonesia (rentan terhadap kondisi cuaca) dan
kemudian meletakkan beban yang besar kepada rumah tangga-rumah tangga yang berada di
bawah atau sedikit di atas garis kemiskinan. Rumah tangga-rumah tangga ini menghabiskan
lebih dari setengah dari pendapatan yang bisa dibelanjakan mereka untuk makanan,
terutama beras. Oleh karena itu, harga-harga makanan yang lebih tinggi menyebabkan inflasi
keranjang kemiskinan yang serius yang mungkin meningkatkan persentase penduduk miskin.
Panen-panen yang gagal dikombinasikan dengan reaksi lambat dari Pemerintah untuk
menggantikan produk-priduk makanan lokal dengan impor adalah penyebab tekanan inflasi.
Pendidikan, rekreasi,
4.44 3.97 2.73 3.33
dan olahraga
Transportasi, komunikasi,
12.40 -1.52 -0.72 4.23
dan jasa keuangan
Bila tidak memperhitungkan penyesuaian harga yang ditetapkan pemerintah, ada dua puncak
inflasi tahunan yang biasanya terjadi di Indonesia. Periode Desember-Januari selalu menjadi
waktu kenaikan harga-harga karena perayaan-perayaan Natal dan Tahun Baru. Selain itu, banjir
yang sering terjadi di bulan Januari (karena puncak musim hujan) menyebabkan gangguan jalur-
jalur distribusi di beberapa daerah dan kota, dan karenanya menyebabkan biaya logistik yang
lebih tinggi.
Puncak inflasi kedua terjadi di periode Juli-Agustus. Tekanan-tekanan inflasi di kedua bulan ini
terjadi sebagai dampak dari masa liburan, bulan suci puasa umat Muslim (Ramadan), perayaan
Idul Fitri dan awal tahun ajaran baru. Penting untuk dicatat bahwa periode Ramadan dan Idul
Fitri terus bergerak karena tahun kalender Islam 10 hingga 11 hari lebih pendek dari tahun
Masehi (matahari). Maka dalam lima tahun ke depan periode Ramadan-Idul Futri ini akan geser
ke Mei dan April. Selama puncak inflasi yang kedua ini, peningkatan signifikan terdeteksi dalam
pengeluaran untuk barang makanan dan barang konsumen lainnya (seperti pakaian, tas dan
sepatu), diikuti dengan tindakan para retailer yang menaikkan harga.
Dengan pertumbuhan PDB tahunan naik rata-rata 5 persen (y/y) selama 15 tahun, perekonomian
Indonesia berekspansi dengan cepat, dengan karakteristik naiknya permintaan domestik yang
kuat (konsumsi domestik berkontribusi untuk sekitar 56 persen dari total pertumbuhan ekonomi
negara ini), pertumbuhan kredit sektor swasta yang subur, dan peningkatan akses bisnis untuk
kredit.
Terlebih lagi, gaji sektor publik telah meningkat karena reformasi administratif dan pertumbuhan
gaji sektor swasta telah berakselerasi (upah minimum regional Indonesia dinaikkan secara
signifikan pada tahun 2012-2014). Karena pertumbuhan ekonomi yang subur ini membawa
tekanan-tekanan inflasi, kebijakan-kebijakan moneter baru-baru ini (sejak 2013) bertujuan untuk
mengamankan stabilitas keuangan negara ini, tertutama setelah inflasi naik akibat reformasi
harga BBM bersubsidi pada periode 2013-2015, sementara akhir dari program quantitative
easing Federal Reserve (dan ancaman kenaikan suku bunga AS) menyebabkan capital
outflows besar-besaran dari negara-negara berkembang (maka menyebabkan pelemahan tajam
mata uang negara-negara berkembang), termasuk Indonesia. Apalagi kekhawatiran muncul
terkait defisit transaksi berjalan.
Sikap kebijakan moneter Bank Indonesia yang lebih ketat (tercermin dari naiknya suku bunga
acuan) pada periode 2013-2014 dilaksanakan dengan mengorbankan laju pertumbuhan ekonomi
yang lebih tinggi bagi Indonesia (di tengah biaya kredit yang lebih tinggi, pertumbuhan kredit
turun secara signifikan maka pertumbuhan aktivitas ekonomi menurun). Tetapi layak dipuji
bahwa stabilitas keuangan lebih diprioritaskan daripada pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi
(namun yang tidak berkelanjutan).
Bank Indonesia (BI) memiliki tujuan utama memastikan kestabilan rupiah. BI menggunakan
instrumen-instrumen dalam cakupan luas untuk mengurangi tekanan-tekanan inflasi di negara
ini. Kebijakan suku bunga bank disesuaikan ketika target inflasi tidak tercapai. Antara Februari
2012 sampai Juni 2013, suku bunga acuan negara ini (BI rate) telah ditetapkan pada level
terendah dalam sejarah pada 5,75 persen. Setelah periode ini, tekanan-tekanan inflasi meningkat
karena reformasi harga bahan bakar bersubsidi dan ketidakjelasan global mengenai kebijakan
moneter AS. Capital outflows yang mengikutinya mengakibatkan pelemahan nilai tukar rupiah
secara tajam. Oleh karena itu, mulai dari pertengahan 2013, Bank Indonesia menyesuaikan BI
rate-nya dengan menaikkannya secara bertahap namun agresif dari 5,75 persen menjadi 7,75
persen. Tindakan ini juga membawa kepada penurunan pertumbuhan kredit di Indonesia.
Tindakan lain untuk memperketat kebijakan moneter adalah menaikkan persyaratan simpanan
baik untuk deposito mata uang lokal maupun mata yang asing di bank-bank Indonesia. Terakhir,
BI mengurangi permintaan para investor asing untuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan
memperpanjang periode persyaratan kepemilikan SBI dari satu menjadi enam bulan,
memperpanjang waktu jatuh tempo dari SBI yang diterbitkan menjadi 9 bulan dan dengan
memperkenalkan deposito-deposito dalam konteks tidak dapat diperdagangkan dengan waktu
jatuh tempo lebih panjang (yang hanya tersedia untuk bank-bank). Tindakan-tindakan ini
bertujuan untuk memitigasi aliran ‘uang panas’ ke dalam Indonesia.
Mulai dari tahun 2015, waktu kinerja rupiah menjadi stabil, inflasi rendah dan defisit neraca
berjalan di bawah kendali, Bank Indonesia dapat melonggarkan kebijakan moneternya dan
memulai proses pelonggaran moneter yang agak agresif, tercermin dari suku bunga acuan yang
lebih rendah (lihat tabel di bawah). Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan dengan
drastis dari 7,75 persen pada awal tahun 2016 menjadi 4,25 persen pada September 2017 (ini
juga termasuk perubahan dari BI rate manjadi BI 7-day Reverse Repo Rate sebagai alat
benchmark bank sentral).
Namun, meskipun suku bunga lebih rendah, masih tetap ada kekhawatiran tentang lemahnya laju
pertumbuhan kredit dan konsumsi rumah tangga di Indonesia.
Inflasi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan
terus-menerus (continue) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai
faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang
memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya ketidaklancaran
distribusi barang.[1] Dengan kata lain, inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata
uang secara kontinu. Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat
harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukan inflasi. Inflasi adalah
indikator untuk melihat tingkat perubahan, dan dianggap terjadi jika proses kenaikan harga
berlangsung secara terus-menerus dan saling pengaruh-memengaruhi. Istilah inflasi juga digunakan
untuk mengartikan peningkatan persediaan uangyang kadangkala dilihat sebagai penyebab
meningkatnya harga. Ada banyak cara untuk mengukur tingkat inflasi, dua yang paling sering
digunakan adalah CPI dan GDP Deflator.
Inflasi dapat digolongkan menjadi empat golongan, yaitu inflasi ringan, sedang, berat, dan
hiperinflasi. Inflasi ringan terjadi apabila kenaikan harga berada di bawah angka 10% setahun; inflasi
sedang antara 10%—30% setahun; berat antara 30%—100% setahun; dan hiperinflasi atau inflasi
tak terkendali terjadi apabila kenaikan harga berada di atas 100% setahun.
Daftar isi
1Penyebab
2Penggolongan
3Mengukur inflasi
4Dampak
5Peran bank sentral
6Lihat pula
7Pranala luar
8Referensi
9Bacaan lebih lanjut
Indeks harga konsumen (IHK) atau consumer price index (CPI), adalah indeks yang mengukur
harga rata-rata dari barang tertentu yang dibeli oleh konsumen.
Indeks biaya hidup atau cost-of-living index (COLI).
Indeks harga produsen adalah indeks yang mengukur harga rata-rata dari barang-barang yang
dibutuhkan produsen untuk melakukan proses produksi. IHP sering digunakan untuk
meramalkan tingkat IHK pada masa depan karena perubahan harga bahan baku meningkatkan
biaya produksi, yang kemudian akan meningkatkan harga barang-barang konsumsi.
Indeks harga komoditas adalah indeks yang mengukur harga dari komoditas-komoditas tertentu.
Indeks harga barang-barang modal
Deflator PDB menunjukkan besarnya perubahan harga dari semua barang baru, barang
produksi lokal, barang jadi, dan jasa.
Inflasi memiliki dampak positif dan dampak negatif tergantung parah atau tidaknya inflasi. Apabila
inflasi itu ringan, justru mempunyai pengaruh yang positif dalam arti dapat mendorong
perekonomian lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan nasional dan membuat orang bergairah
untuk bekerja, menabung dan mengadakan investasi. Sebaliknya, dalam masa inflasi yang parah,
yaitu pada saat terjadi inflasi tak terkendali (hiperinflasi), keadaan perekonomian menjadi kacau dan
perekonomian dirasakan lesu. Orang menjadi tidak bersemangat kerja, menabung, atau
mengadakan investasi dan produksi karena harga meningkat dengan cepat. Para penerima
pendapatan tetap seperti pegawai negeri atau karyawan swasta serta kaum buruh juga akan
kewalahan menanggung dan mengimbangi harga sehingga hidup mereka menjadi semakin merosot
dan terpuruk dari waktu ke waktu.
Bagi masyarakat yang memiliki pendapatan tetap, inflasi sangat merugikan. Kita ambil contoh
seorang pensiunan pegawai negeri tahun 1990. Pada tahun 1990, uangpensiunnya cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, namun pada tahun 2003 -atau tiga belas tahun kemudian, daya beli
uangnya mungkin hanya tinggal setengah. Artinya, uang pensiunnya tidak lagi cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebaliknya, orang yang mengandalkan pendapatan berdasarkan
keuntungan, seperti misalnya pengusaha, tidak dirugikan dengan adanya inflasi. Begitu juga halnya
dengan pegawaiyang bekerja di perusahaan dengan gaji mengikuti tingkat inflasi.
Inflasi juga menyebabkan orang enggan untuk menabung karena nilai mata uang semakin menurun.
Memang, tabungan menghasilkan bunga, namun jika tingkat inflasi di atas bunga, nilai uang tetap
saja menurun. Bila orang enggan menabung, dunia usaha dan investasi akan sulit berkembang.
Karena, untuk berkembang dunia usaha membutuhkan dana dari bankyang diperoleh dari
tabungan masyarakat.
Bagi orang yang meminjam uang dari bank (debitur), inflasi menguntungkan, karena pada saat
pembayaran utang kepada kreditur, nilai uang lebih rendah dibandingkan pada saat meminjam.
Sebaliknya, kreditur atau pihak yang meminjamkan uangakan mengalami kerugian karena nilai uang
pengembalian lebih rendah jika dibandingkan pada saat peminjaman.
Bagi produsen, inflasi dapat menguntungkan bila pendapatan yang diperoleh lebih tinggi daripada
kenaikan biaya produksi. Bila hal ini terjadi, produsen akan menyebabkan naiknya biaya produksi
hingga pada akhirnya merugikan produsen, maka produsen enggan untuk meneruskan produksinya.
Produsen bisa menghentikan produksinya untuk sementara waktu. Bahkan, bila tidak sanggup
mengikuti laju inflasi, usaha produsen tersebut mungkin akan bangkrut (biasanya terjadi pada
pengusaha kecil).
Secara umum, inflasi dapat mengakibatkan berkurangnya investasi di suatu negara, mendorong
kenaikan suku bunga, mendorong penanaman modal yang bersifat spekulatif, kegagalan
pelaksanaan pembangunan, ketidakstabilan ekonomi, defisit neraca pembayaran, dan merosotnya
tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.
1. Operasi Pasar Terbuka atau open market operation. Bank sentral membeli dan menjual
obligasi negara dengan cara bank sentral mengisntruksikan para pialang obligasi untuk
membeli dari publik di pasar obligasi nasional. Uang yang dibayarkan bank sentral untuk
obligasi tersebut meningkatkan jumlah uang beredar di suatu negara. Untuk mengurangi
jumlah uang beredar, pemerintah melakukan hal yang sebaliknya.
2. Syarat Cadangan Kas Minimum atau reserve requirements. Bank sentral dapat
meningkatkan atau mengurangi syarat cadangan kas minimum yang harus dimiliki oleh
bank umum di negaranya. Kenaikan syarat cadangan kas minimum berarti bahwa bank-
bank harus memegang lebih banyak cadangan sehingga mengurangi pinjaman dari setiap
unit yang disimpan, akibatnya hal tersebut meningkatkan rasio cadangan menurunkan
penggandaan uang, dan menurunkan jumlah uang yang beredar. Sebaliknya penurunan
syarat cadangan minimum menurunkan rasio cadangan, meningkatkan penggandaan uang,
dan meningkatkan jumlah uang yang beredar.
3. Tingkat diskonto atau disount rate. Bank sentral melalui regulasinya dapat menaikkan atau
menurunkan tingkat bunga pinjaman untuk bank-bank umum di bawahnya. Bank umum
meminjam dari bank sentral jika memiliki sedikit cadangan untuk memenuhi persyaratan
cadangan, ketika bank sentral memberikan pinjaman kepada bank umum tersebut, sistem
perbankan memiliki lebih banyak cadangandibandingkan dengan yang seharusnya
sehingga cadangan tambahan ini memungkinkan sistem perbankan menciptakan lebih
banyak uang. Semakin tinggi tingkat diskonto yang ditetapkan bank sentral terhadap bank
umum, maka semakin enggan bank meminjam cadangan dari bank sentral. Oleh karena itu,
kenaikan tingkat diskonto mengurangi cadangan dalam sistem perbankan yang kemudian
mengurangi jumlah uang beredar.
asashgasfhdv