Anda di halaman 1dari 6

Refleksi Paradigma PMII dan Arah Kaderisasi

Selama ini, gerakan mahasiswa selalu dicitrakan atau mencitrakan diri sebagai agen
perubahan dan kontrol sosial. Mahasiswa adalah generasi muda yang diharapkan mampu
menjawab tantangan zaman. Karena itu, mahasiswa dituntut untuk berfikir kritis, bertindak
secara realistis sesuai zamannya dan bergerak dengan keberpihakannya pada kaum lemah dan
keadilan demi terwujudnya cita-cita bangsa. Dalam kaitan itulah, bagi organisasi pergerakan
seperti PMII, sangat penting adanya cara pandang yang kritis dan realistik atas kenyataan
yang dihadapinya. Cara pandang PMII dalam bersikap atas kenyataan itu disebut paradigma.
Istilah paradigma berasal dari bahasa Inggris Paradigm, yang lebih dekat dimaknai cara
pandang menyikapi suatu masalah. Istilah ini dikenalkan Thomas Kuhn dalam penelitiannya
di sebuah komunitas tradisional di Afrika. Ketika ia mengalami kebuntuhan cara pandang
kemudian mencetuskan istilah “revolusi paradigm”, yaitu suatu proses percepatan peralihan
cara pandang ketika mengalami kebuntuan perspektif dalam mengkaji kenyataan sosial yang
sedang ditelitinya.

Dalam sejarah tradisi gerakan PMII, istilah paradigma ramai dibicarakan di era Sahabat
Muhaimin Iskandar (periode 1994-1997). Waktu itu, gerakan mahasiswa yang sudah
dikekang oleh pemerintah orde baru melalui kebijakan NKK/BKK dihadapkan pada
kenyataan otoritarianis Soeharto. Banyak terjadi pelanggaran HAM, penindasan,
penggusuran, pemilu yang tidak demokratis dan merajalelanya KKN, telah membuka mata
mahasiswa untuk bergerak melakukan perlawanan demi perubahan. Sosok KH. Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) yang waktu itu menjabat Ketua Umum PBNU dan tokoh Forum Demokrasi
(Fordem) yang berseberangan dengan Soeharto menjadi lokomotif gerakan demokratisasi dan
civil society. Gus Dur pula yang menjalin aliansi dengan kalangan budayawan, kaum kiri,
kalangan katolik dan kaum minoritas korban orde baru lainnya yang menginspirasi anak
muda PMII untuk bergaul dengan kalangan luas dengan prinsip free market of ideas (pasar
bebas ide) di wilayah pengetahuan dan melawan penguasa dalam konteks gerakannya.
Gerakan PMII tidak bisa lepas dari Gus Dur dan NU waktu itu yang dipinggirkan orde baru.
Maka adanya paradigm yang bisa memandu sahabat-sahabat pergerakan menjadi penting
guna menegaskan sikap PMII atas kenyataan yang sedang dihadapinya.

Dalam menghadapi semua kenyataan waktu itu, PMII yang sudah berkenalan dengan
kalangan Katolik dan Sosialis-Demokratik (Sosdem, yang sejak tahun 1996 sudah dianut para
aktivis PRD) mempunyai perspektif yang relative beda dengan masa sebelumnya. Guna
membela kaum tertindas dan melawan negara yang otoriter serta kaum kapitalis yang
menindas, PMII menemukan landasan teoritik dan ideologisnya dari pengetahuan Marxis,
Kiri Islam, dan Teologi Pembebasan. Sikap melawan Negara ini kemudian dikenal dengan
sebutan Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran. Paradigma ini menemukan
momentumnya ketika krisis moneter 1997 dan gerakan massa rakyat tahun 1998 yang
berhasil menumbangkan Soeharto. Setelah Soeharto jatuh dan digantikan Habibie, kemudian
digelar Pemilu tahun 1999 yang paling demokratis setelah pemilu 1955. Dalam Sidang
Umum MPR Oktober 1999, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih sebagai Presiden.
Fakta ini di kemudian hari sangat merubah alur gerak PMII khususnya dalam menata pola
hubungannya dengan Negara. Ketika di zaman orde baru, jelas, PMII bisa vis a vis Negara,
tetapi di era Gus Dur agak gamang (Gus Dur tidak lagi di jalanan, dicari-cari aparat, atau
berkantor di PBNU, tetapi sudah di istana, dikelilingi para menteri, bisa memerintah
Panglima TNI dan setiap ucapan dan tindakannya bisa mempengaruhi keadaan). Mulailah
terjadi pergulatan yang dahsyat di internal kader PMII yang saat itu dipimpin Sahabat Saiful
Bahri Ansori (Ketua Umum PB PMII periode 1997-2000).

Baru tiga bulan memerintah, Gus Dur sudah menghadapi gerakan pelengseran dari musuh-
musuhnya (para anasir orde baru yang terancam dipenjara oleh Gus Dur dan pihak asing yang
kepentingannya terhalangi), membuat nahdliyin serentak bergerak menyelamatkannya. PB
PMII kemudian merumuskan Paradigma Kritis Transformatif (PKT) yang disahkan dalam
Kongres ke-13 di Medan tahun 2000 yang memilih Sahabat Nusron Wahid sebagai Ketua
Umum. Paradigma ini oleh banyak pihak dipandang sebagai bentuk pembenahan relasi PMII
dengan realitas yang dihadapinya termasuk Negara. Paradigma ini sangat lekat nuansa
akademis dan rasional dalam memahami keadaan, sehingga membuat kader PMII terlihat
sangat intelek. Paradigma Kritis Transformatif (PKT) mampu membuat kader PMII percaya
diri dalam bergaul, terutama dengan kalangan luar, minimal sebagai alat bunyi-bunyian.
Kader PMII bisa cerita berbagai perspektif pengetahuan kritis. Situasi di lapangan,
munculnya gerakan pelengseran Gus Dur yang dilakukan oleh lawan-lawannya membuat
sebagian besar warga NU dan kader PMII ikut bergerak membela Gus Dur. Banyak sekali
kader PMII, baik secara perseorangan maupun melalui berbagai front, bergerak demi Gus
Dur, turun di jalanan, bahkan di depan istana. Namun institusi PMII di era Sahabat Nusron
Wahid ini tidak punya sikap yang tegas. Gus Dur pun kecewa dengan ketidakjelasan sikap
PMII tersebut.

Seiring perjalanan waktu, paradigma ini mendapat gugatan, dirasa kurang mampu menjadi
pandaun gerak kader dalam menggauli medan kehidupan yang kompleks. Paradigma ini
dinilai seringkali patah ketika berhadapan dengan realitas keindonesiaan (paradigma ini
memang lebih bersifat epistemologis berbasis filsafat dan sosiologi Barat, terutama aliran
post modernis dan post strukturalis, yang dinilai kurang sesuai dengan kenyataan riil yang
dihadapi masyarakat Indonesia yang sebenarnya). Refleksi ini sempat muncul dalam Kongres
PMII ke-14 di Kutai Kartanegara tahun 2003 yang memilih Sahabat A. Malik Haramain
sebagai Ketua Umum (periode 2003-2005). Berbagai tawaran paradigma pun bermunculan,
seperti Paradigma Relasional (ada yang menyebut Paradigma Berbasis Realitas atau
Paradigma Menggiring Arus) yang ditawarkan oleh Sahabat Hery Haryanto Azumi yang pada
Kongres PMII ke-15 di Bogor tahun 2005 terpilih sebagai Ketua Umum. Paradigma
Relasional ini ingin lebih realistis dalam memandang kenyataan dan menggaulinya secara
strategis, tidak asal menjebakkan diri dalam oposisi binner. Paradigma terakhir ini oleh pihak
yang kurang bersepakat dinilai pragmatis atau realistis.

Dalam bahasa gerakan, memang dikenal istilah idealis dan pragmatis. Dua istilah ini lahir
dalam perang konsepsi pemikiran Barat, khususnya sosiologi; antara aliran sosiologi Marxis
yang mempunyai gagasan masyarakat sosialis (komunis) yang terpengaruhi oleh idealisme
Jerman seperti Hegel, diversuskan dengan pemikiran sosiologi pragmatisme John Dewe dari
AS yang berlatar belakang kapitalisme dan demokrasi liberal. Paradigma Relasional melihat
perdebatan dua aliran besar di Barat tersebut secara obyektif. Maka paradigma ini ingin
menegaskan bahwa demi mencapai cita-cita PMII dan kejayaan nusantara, kita harus
membangun gerakan berbasis keindonesiaan (karena di situlah medan pertaruhan PMII yang
sesungguhnya). Karena Indonesia adalah bagian dari habitus global, maka PMII harus siap
bergaul dengan berbagai pihak dalam konstalasi global, khususnya pasca perang dingin
tahun 1991 yaitu ketika Uni Sovyet (Blok Fakta Warsawa) yang merupakan kumpulan
Negara-negara Komunis mengalami keruntuhan di satu sisi, dan kemenangan AS dan Eropa
Barat (Blok Sekutu atau NATO) yang kapitalis di sisi lain. Perubahan geo politik dunia pasca
perang dingin yang begitu cepat hendaknya dilihat sebagai kenyataan dan tantangan hari ini
yang jauh lebih berat ketimbang era sebelumnya. Medan pertempuran geo politik dunia yang
multi polar menuntut kita untuk tidak mudah terjebak dalam nalar binner, hitam-putih, benar-
salah, atau vis a vis. Maka tema perdebatan bukan lagi semata-mata idealisme versus
pragmatisme yang lebih bersifat nilai sebagaimana perdebatan filsafat, melainkan –dalam
bahasa geo strategi- sudah membahas soal strategi pertaruhan survival bangsa kita di era
globalisasi. Karena itu, hendaknya penataan pola relasi PMII dengan Negara, modal maupun
pengetahuan sudah mulai ditata lebih jelas.

Kurikulum kaderisasi, mulai Mapaba, PKD hingga PKL sudah diarahkan ke sana (lihat buku
Miltilevel Strategi; PB PMII tahun 2006) walau masih membutuhkan pembenahan di
beberapa bidang. Kesepahaman tentang paradigma ini masih perlu ditingkatkan. Harapannya,
dalam Kongres PMII ke-17 yang diadakan di Banjarbaru 2011 kemarin bisa menjawab
berbagai persoalan tersebut namun ternyata masih mengulang kejadian Kongres PMII ke-16
di Batam tahun 2008 dimana perdebatan paradigma tidak ada titik temu.

Dari uraian tersebut, paradigma PMII telah mengalami pergumulan yang intens dan
berkesinambungan guna memperjelas jati diri PMII. Paradigma Arus Balik Masyarakat
Pinggiran menemukan momentum orde baru dengan menempatkan PMII versus Negara dan
Kapitalis. Situasi waktu itu telah terjadi perubahan tatanan geopolitik dunia pasca perang
dingin tahun 1991 dimana AS dan sekutunya dengan kapitalisme dan demokrasi liberalnya
memenangkan kompetisi dengan Uni Sovyet yang komunis. Sedangkan Paradigma Kritis
Transformatif (PKT) dengan meminjam berbagai kerangka filsafat kritis (Emmanuel Kant,
Hegel, Karl Marx, Habermas, Foucault, Altusser, dll) banyak membantu PMII untuk
menguliti lebih jauh berbagai kenyataan kehidupan sosial modern khususnya dalam
membangun relasinya dengan negara, modal dan pengetahuan, namun masih sering terjebak
dalam nalar binner sehingga relasi permainan riil di alam global ini belum dipahami sebagai
kenyataan yang mesti digauli, maka Paradigma Relasional bermaksud menegaskan kenyataan
yang dihadapi dan bagaimana PMII bergaul dan membangun relasinya dengan berbagai
kenyataan tersebut dan mampu memposisikan kader PMII sebagai pihak yang siap untuk
mengambil kepemimpinan peradaban global. Jadi sifatnya lebih membaur dan memaknainya
sebagai strategi, bukan semata-mata nilai yang lazim diterapkan dalam mainstream
Paradigma Kritis Transformatif.

Proses pemantapan paradigma PMII akan terus dilakukan guna memperkokoh posisi PMII
dalam kehidupan global. Tujuannya agar PMII tetap survive bersama cita-citanya untuk
membawa bangsa Indonesia dalam keadilan dan kemakmuran. Untuk itu, diskusi dan
pendalaman materi paradigma PMII memang sangat perlu diperbanyak di berbagai forum
kaderisasi agar setiap kader PMII paham dengan kenyataan yang sedang dihadapinya. Tetapi
satu hal yang mesti digarisbawahi, apapun judul paradigma yang dipakai PMII, hakikatnya
tidak akan mengubah garis cita-cita, nilai-nilai dan ideologi gerakan PMII yang sudah sangat
jelas: memperjuangkan keadilan, membela hak-hak kaum lemah, menciptakan perdamaian,
memperkokoh rasa cinta kasih terhadap sesama umat manusia tanpa terjebak baju etnis,
agama, ras maupun jenis kelamin. Sikap PMII juga sudah sangat jelas akan senantiasa
memihak kebenaran, menguatkan orang-orang yang dilemahkan seperti dalam kasus Prita.
Cita-cita dan ruh gerakan PMII juga tegas akan terus dinyalakan dalam situasi walau
menghadapi medan kompetisi yang keras sekalipun. Kaderisasi PMII akan selalu dilakukan
demi terwujudnya tujuan PMII sebagaimana dalam AD bab 4 pasal 4.
Di situlah, tema kaderisasi menemukan titik pijaknya. Kaderisasi memang penting bagi PMII
karena hanya dengan itulah organisasi PMII menemukan titik signifikansinya sepanjang masa.
Kunci kaderisasi adalah rekrutmen, pembinaan dan perawatan anggota. Ketika sekarang ini
PMII menghadapi globalisasi dan dunia menjadi medan pertarungan sumberdaya, maka PMII
harus mampu menyiapkan kader-kadernya untuk siap bersaing secara terbuka dalam
kompetisi global. Bagi PMII, tema kaderisasi senantiasa menjadi bahan kajian aktual dan
akan selalu dilakukan tak ada habis-habisnya. Setiap tahun PMII senantiasa memproduksi
kader dalam skala massif di semua cabang.

Secara umum yang berlaku di banyak daerah, bulan Juni-Juli adalah masa penerimaan
mahasiswa baru di dalam kampus. Bulan Agustus-September adalah masa pengenalan
(taaruf) PMII kepada mahasiswa baru. Dan bulan Oktober – Nopember adalah Masa
Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) PMII. Dalam kaitan ini, ada kebiasaan yang sering
dilakukan oleh kader PMII, yaitu ikut terlibat secara aktif dalam semua proses tersebut. Yang
paling elementer adalah rekrutmen anggota baru PMII. Terdapat banyak argumentasi terkait
hal ini; baik argumentasi nilai, strategis, pragmatis, dan lain-lain. MAPABA adalah pintu
awal masuknya seorang mahasiswa menjadi anggota PMII. Sebagai proses awal kaderisasi
PMII, MAPABA menjadi sangat penting untuk dilaksanakan. Tidak hanya sekadar kegiatan
formalitas, tetapi menjadi sesuatu yang sangat sakral karena di situ ada pembaiatan atau janji
setia sebagai warga pergerakan. Setelah dibaiat dalam forum MAPABA, pada dirinya
melekat hak dan kewajiban sebagai anggota PMII.

Secara umum proses kaderisasi PMII Jawa Tengah sekarang terlihat semakin
membanggakan jika diukur dari ritme kaderisasi formal, walau di sana-sini terlihat masih
butuh penataan. Tetapi hal itu memang tidak hanya PMII yang mengalaminya karena hampir
semua lembaga kemahasiswaan atau secara umum masyarakat Indonesia memang sedang
labil dalam menghadapi perubahan hidup yang semakin cepat ini. Justru di situlah letak
strategisnya PMII untuk ikut andil bagian bagi perbaikan situasi yang dialami masyarakat
saat ini. Dari hasil evaluasi atas kaderisasi yang PMII jalani selama ini sudah ditempuh,
menunjukkan, ada beberapa hal yang perlu ditingkatkan, yaitu: Bagaimana cara merekrut
para calon anggota agar bersedia bergabung dengan PMII? Kalau sudah bergabung,
bagaimana cara merawatnya agar kerasan di PMII? Lalu, kalau sudah aktif di PMII,
bagaimana cara mengembangkan kemampuannya agar berdaya guna untuk kepentingan PMII
secara kolektif? Kemudian bagaimana menciptakan ruang-ruang distribusi kader agar kader
tidak menumpuk di satu bidang saja? Terkait para pengurus, juga dituntut mengembangkan
dirinya; bagaimana pengembangan teknik dan keterampilan menjadi seorang pendamping
atau fasilitator kaderisasi PMII? Bagaimana cara menguasai materi kurikulum kaderisasi
PMII? Dan lain seterusnya.

Terkait hal itu, perlu ada strategi yang bersifat umum dan khusus. Umum dalam arti bisa
menjadi pijakan semua kader PMII di kampus manapun. Khusus dalam arti menyesuaikan
situasi lokal dengan memperhatikan antropologi kampus dan lokalitas daerah tersebut berada
sehingga menjadi pertimbangan penting bagi kita dalam merekrut anggota maupun dalam
melaksanakan proses kaderisasi. Setelah berhasil direkrut, tentu kader butuh didampingi,
dirawat, dibina, diarahkan atau dididik agar mengerti manfaatnya ikut PMII. Proses ini
dinamakan kaderisasi. Bagaimana perawatan atau pendampingan kader itu terjadi? Proses
kaderisasi PMII yang berjalan sudah lumayan baik, setidaknya dari segi rutinnya diadakan
pelatihan kaderisasi formal, yang mana hal ini meniscayakan adanya pengetahuan dan
ketrampilan yang perlu ditingkatkan, khususnya terkait proses rekrutmen dan merawat kader.
Keduanya menjadi titik penentu bagi kelancaran proses kaderisasi yang sedang kita jalani.
Proses rekrutmen ini perlu dibahas dan dilatih serius karena ia menjadi ujung tombak awal
kali seseorang bisa masuk ke dalam PMII. Rekrutmen ini, tidak semata-mata agar PMII bisa
memperoleh anggota sebanyak-banyaknya dari sisi kuantitas, tetapi juga memperhatikan
aspek kualitasnya. Di sini dibutuhkan adanya kejelian dari kita semua untuk bisa
mempetakan basis potensi yang dimiliki para anggota. Di beberapa rayon atau komisariat,
proses rekrutmen ini sudah dimulai sejak pelaksanaan bimbingan tes, dilanjutkan ta’aruf dan
mapaba. Tetapi ada pula yang menggunakan pola sel dimana menemukan calon anggota dari
menemui satu per satu secara sembunyi, ini misalnya terjadi di kampus yang birokrasinya
tidak berhubungan baik dengan kita. Dan masih banyak pola lain yang bisa dipakai untuk
merekrut anggota. Bagi kampus agama baik negeri maupun swasta khususnya yang dimiliki
NU atau berkultur Nahdliyyin (ASWAJA), sangat mudah merekrut banyak anggota karena
mendapat dukungan dari birokrasi kampus dan yayasan, sedangkan kader kita juga banyak
yang menguasai lembaga intra kampus sehingga memungkinkan proses rekrutmen anggota
berjalan dengan sukses dan tidak mengalami kendala yang berarti untuk mendapatkan
anggota yang banyak.

Buku Multilevel Strategi (PB PMII; 2006) secara umum sudah menawarkan sistem dan
kurikulum yang diharapkan bisa diterima oleh semua kader PMII, tidak terjebak oleh
dikotomi kampus umum dan kampus agama, kampus negeri atau swasta, kampus di Jawa
atau luar Jawa. Memang ada perbedaan tapi tidak untuk dibeda-bedakan. Kalau soal strategi
pengembangan PMII setiap kampus/daerah mempunyai kearifan lokal karena masing-masing
kampus perlu pola dan pendekatan yang khas. Khususnya di daerah yang usia PMII-nya
belum genap 10 tahun masih butuh pengawalan dan pengembangan khusus dan intens.
Demikian halnya pengembangan PMII di kampus Muhammadiyah, Akpol, Akademi
Kebidanan, Kedokteran, Akper, Politeknik, dll. Walau semua itu juga sangat terkait dan
dipengaruhi oleh system dan birokrasi kampus. Sebetulnya PMII sangat mungkin bisa masuk
ke kampus-kampus khusus tersebut tinggal bagaimana kemasannya, baik system, pola
pendekatan dan kurikulum yang digunakan lebih sesuai dengan kebutuhan mereka atau tidak
terlalu jelimet bagi mereka. Supaya design kaderisasi bisa berjalan dengan baik, maka
niscaya ada tata kelola organisasi yang baik pula. Di sinilah pentingnya dibangun sistem dan
kultur kerja organisasi dan perangkat kaderisasi yang baik guna mendukung terciptanya
proses kaderisasi yang berkualitas.

Untuk kaderisasi di kampus umum (yang non-agama) atau kampus yang tidak dimiliki NU
baik negeri maupun swasta memang membutuhkan perhatian khusus dimana PMII terasa
mengalami kesulitan untuk mendapatkan anggota dalam jumlah besar. Walau mahasiswa di
kampus tersebut kalau ditelisik sebetulnya banyak pula yang berkultur nahdliyyin tetapi tidak
mudah untuk mengajak mereka bergabung dengan PMII. Banyak faktor yang menjadi
penyebab kenapa mereka tidak mudah bergabung dengan PMII. Bisa dari faktor birokrasi
kampus, birokrasi lembaga mahasiswa, atau kemasan kita yang kurang menarik buat mereka
sehingga mereka kurang tertarik untuk bergabung dengan kita. Walau ada pula
perkembangan yang cukup menggemberikan dimana kampus bukan milik NU tetapi PMII
bisa lumayan mayoritas bahkan mampu menguasai lembaga intra kampus. Tetapi secara
umum kita masih butuh kerja keras untuk bisa membumikan PMII di kampus-kampus umum
tersebut.

Di sinilah pentingnya kita harus mampu membuka kabut misteri yang selama ini menyelimuti
kita kenapa susah menguasai kampus umum. Berbagai pembacaan yang kritis dan obyektif
harus dilakukan untuk menguarai akar masalah kenapa PMII begitu susah berkembang di
kampus umum. Apa ada yang salah dari pola pendekatan, system pengkaderan, sikap, cara
berpakaian, tutur kata, kadar perhatian, toleransi, empati maupun solidaritas kader PMII yang
masih lemah terhadap sesama mahasiswa, birokrasi kampus, atau semangat dalam
membangun PMII yang lemah.

Anda mungkin juga menyukai