Anda di halaman 1dari 18

PEROLEHAN DAN PELEPASAN ASET TETAP

MUHAMMAD SETIAWAN CATUR SYAH PUTRA AS


A031181358
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN
ASET TETAP
Aset tetap didefinisikan sebagai aset berwujud yang dimiliki untuk digunakan
dalam kegiatan produksi atau penyediaan barang dan jasa, untuk disewakan
kepada orang lain, atau untuk tujuan administratif; aset-aset tersebut
diharapkan dapat digunakan selama lebih dari satu periode. [l] Aset tetap
termasuk tanah, struktur bangunan (kantor, pabrik, gudang), dan peralatan
(mesin, furnitur, dan alat). Karakteristik utama dari aset tetap adalah sebagai
berikut.

1. Aset-aset tersebut diperoleh untuk digunakan dalam operasi dan tidak


untuk dijual kembali. Hanya aset yang digunakan dalam operasi bisnis
normal yang diklasifikasikan sebagai aset tetap. Misalnya, sebuah bangunan
yang menganggur lebih tepat diklasifikasikan secara terpisah sebagai
investasi. Aset tetap yang dimiliki untuk kemungkinan apresiasi harga
diklasifikasikan sebagai investasi. Selain itu, aset tetap yang dimiliki untuk
dijual atau pelepasan secara terpisah diklasifikasikan dan dilaporkan pada
laporan posisi keuangan. Pengembang tanah atau pengelola
mengklasifikasikan tanah sebagai persediaan.
2. Aset-aset tersebut bersifat jangka panjang dan biasanya disusutkan. Aset
tetap memberikan manfaat selama beberapa tahun. Perusahaan
mengalokasikan biaya investasi dalam aset ini untuk beberapa periode
mendatang melalui biaya penyusutan periodik. Pengecualian dari kaidah ini
adalah tanah, yang disusutkan hanya jika penurunan nilai yang material
terjadi, seperti kerugian pada kesuburan lahan pertanian karena rotasi
tanaman yang tidak baik, kekeringan, atau erosi tanah.
3. Aset-aset tersebut memiliki substansi fisik. Aset tetap adalah aset berwujud
yang ditandai dengan keberadaan fisik atau substansi. Hal ini membedakan
aset tetap dari aset takberwujud, seperti paten atau goodwill. Namun, tidak
seperti bahan baku, aset tetap tidak secara fisik menjadi bagian dari produk
yang dimiliki untuk dijual kembali.
PEROLEHAN ASET TETAP

Sebagian besar perusahaan menggunakan biaya historis sebagai dasar


untuk menilai aset tetap. Biaya historis (historical cost) mengukur harga kas
atau setara kas yang dikeluarkan untuk memperoleh aset dan membawanya
ke lokasi dan mempersiapkan kondisi yang diperlukan untuk digunakan.

Perusahaan mengakui aset tetap ketika biaya perolehan aset dapat diukur
secara andal dan besar kemungkinan bahwa perusahaan akan mendapatkan
manfaat ekonomik masa depan.[2]

Perusahaan menilai aset tetap pada periode berikutnya dengan


menggunakan metode biaya atau metode nilai wajar (revaluasi). Perusahaan
dapat menerapkan metode biaya atau nilai wajar untuk semua item aset tetap
atau untuk satu kelas aset tetap. Misalnya, perusahaan dapat menilai tanah
(satu kelas aset) setelah perolehan dengan menggunakan metode nilai wajar,
dan secara bersamaan juga menilai bangunan dan peralatan (kelas aset
lainnya) dengan metode biaya.

Sebagian besar perusahaan menggunakan metode biaya karena metode


tersebut lebih murah karena tidak memerlukan biaya penilaian (appraisal).
Selain itu, metode nilai wajar umumnya menghasilkan nilai aset yang lebih
tinggi, yang membuat perusahaan harus melaporkan beban penyusutan yang
lebih tinggi dan laba neto yang lebih rendah.
Biaya Perolehan Tanah

Semua pengeluaran yang dilakukan untuk memperoleh tanah dan


mempersiapkannya untuk penggunaan dianggap sebagai bagian dari biaya
perolehan tanah. Biaya perolehan tanah biasanya mencakup ( 1) harga
pembelian; (2) biaya legal, seperti hak atas tanah, biaya pengacara, dan biaya
pencatatan; (3) biaya yang dikeluarkan dalam mengolah tanah sehingga
kondisinya siap untuk digunakan, seperti perataan (grading), pengisian (filling),
pembuangan (draining), dan pembersihan (clearing); (4) hak gadai, hipotek,
atau kasus sitaan atas properti; dan (5) peningkatan lahan (land
improvements) tambahan yang memiliki umur manfaat tak terbatas.

Umumnya, tanah merupakan bagian dari aset tetap. Namun, jika tujuan
utama dari memperoleh dan memiliki tanah adalah spekulatif, maka
perusahaan lebih tepat mengklasiflkasikan tanah tersebut sebagai investasi.
Jika perusahaan properti memiliki tanah untuk dijual kembali, maka
perusahaan harus mengklasiflkasikan tanah sebagai persediaan.

Dalam kasus di mana tanah dimiliki sebagal investasi, bagaimana perlakuan


akuntansi yang harus diberikan atas pajak, asuransi, dan biaya langsung
lainnya yang dikenakan saat kepemilikan tanah? Banyak yang berpendapat
bahwa biaya ini harus dikapitalisasi. Alasannya: Tanah tersebut tidak
menghasilkan pendapatan dari investasi pada saat ini. Perusahaan umumnya
menggunakan pendekatan ini, kecuali ketika aset tersebut sedang
menghasilkan pendapatan pada periode ini (misalnya properti sewa).
Biaya Perolehan Bangunan

Biaya perolehan bangunan harus mencakup semua pengeluaran yang


terkait langsung dengan perolehan atau konstruksi bangunan tersebut. Biaya
perolehan ini meliputi (1) bahan baku, tenaga kerja, dan biaya overhead yang
muncul selama konstruksi, dan (2) biaya jasa profesional dan izin bangunan.
Umumnya, perusahaan menyewa perusahaan lain untuk membangun
bangunan mereka. Perusahaan memasukkan semua biaya perolehan yang
dikeluarkan, mulai dari penggalian sampai penyelesaian, sebagai bagian dari
biaya perolehan bangunan. Akan tetapi, bagaimana perusahaan harus
mencatat sebuah bangunan tua Yang ada di lokasi bangunan baru yang akan
digarap? Apakah biaya pembongkaran bangunan tua tersebut termasuk biaya
perolehan tanah atau biaya perolehan gedung baru? Ingat bahwa jika
perusahaan membeli tanah yang terdapat bangunan tua di atasnya, maka
biaya pembongkaran dikurangi nilai residu adalah biaya untuk mempersiapkan
tanah untuk digunakan, dan biaya ini lebih berhubungan dengan tanah
daripada dengan gedung baru. Dengan kata lain, semua biaya untuk
menjadikan aset siap untuk digunakan perusahaan adalah termasuk biaya
perolehan aset tersebut.

Oleh karena itu, biaya yang tidak langsung terkait dengan proses
menjadikan bangunan siap untuk digunakan tidak boleh dikapitalisasi.
Misalnya, biaya start-up seperti biaya promosi yang berkaitan dengan
pembukaan bangunan atau kerugian operasi yang timbul akibat penjualan
yang rendah pada awal operasi, tidak boleh dikapitalisasi. Biaya administrasi
umum (seperti biaya departemen keuangan) juga tidak boleh dialokasikan ke
biaya perolehan bangunan.
ASET DIBANGUN SENDIRI

Kadang kala perusahaan membangun asetnya sendiri. Penentuan biaya


mesin tersebut dan aset tetap lainnya dapat menjadi masalah. Tanpa adanya
harga pembelian atau harga kontrak, perusahaan harus mengalokasikan biaya
dan beban untuk menghitung biaya perolehan aset yang dibangun sendiri (self
constructed asset). Bahan baku dan tenaga kerja langsung yang digunakan
dalam konstruksi tidak menimbulkan masalah. Perusahaan dapat dengan
mudah melacak biaya ini langsung ke pesanan pekerjaan dan bahan baku yang
terkait dengan aset tetap yang dibangun.

Namun, penetapan biaya tidak langsung dari manufaktur menciptakan


masalah khusus. Biaya tidak langsung ini, yang disebut overhead, termasuk
listrik, pemanas, pencahayaan, asuransi, pajak properti pada bangunan pabrik
dan peralatan, tenaga kerja pengawasan pabrik, penyusutan aset tetap, dan
perlengkapan.

Perusahaan dapat menangani overhead dengan salah satu dari dua cara:

1. Tidak boleh menetapkan overhead tetap ke biaya perolehan aset yang


dibangun. Argumen utama atas perlakuan ini adalah bahwa biaya
overhead umumnya bersifat tetap jumlahnya; biaya tersebut tidak
meningkat sebagai akibat dari pembangunan pabrik atau peralatan.
Pendekatan ini mengasumsikan bahwa perusahaan akan memiliki biaya
yang sama, terlepas dari apakah perusahaan membangun asset atau
tidak. Oleh karena itu, pembebanan sebagian biaya overhead pada
peralatan biasanya akan mengurangi beban kini dan akibatnya akan
melebihkan laba periode berjalan. Namun demikian, perusahaan akan
menetapkan biaya overhead variabel pada biaya perolehan aset yang
dibangun, mengingat biaya tersebut meningkat akibat dari konstruksi
yang dilakukan.

2. Menetapkan seluruh dari overhead ke proses konstruksi. Pendekatan


ini, yang disebut juga pendekatan biaya penuh, dianggap tepat jika
seseorang berpendapat bahwa biaya yang terkait dengan semua produk
dan aset yang dibuat atau dibangun. Dalam pendekatan ini, perusahaan
menetapkan seluruh dari overhead pada proses konstruksi,
sebagaimana yang dilakukan perusahaan untuk produksi normal.
Pendukung pendekatan ini mengatakan bahwa jika perusahaan tidak
mengalokasikan biaya overhead, maka biaya awal aset akan terlalu
rendah, yang menyebabkan alokasi masa depan menjadi tidak akurat.

Perusahaan harus mengalokasikan porsi prorata pada overhead tetap ke


aset untuk menentukan biaya perolehannya. Perusahaan menggunakan
perlakuan ini secara lebih luas karena banyak yang percaya bahwa pendekatan
ini menghasilkan pengaitan yang lebih baik antara biaya dengan pendapatan.
Jumlah abnormal dari bahan baku, tenaga kerja, atau sumber daya lainnya
yang terbuang tidak boleh dltambahkan ke biaya perolehan aset.[4]

Jika overhead yang dialokasikan menghasilkan pencatatan biaya konstruksi


yang lebih besar dari biaya yang umumnya dikenakan oleh produsen
independen, maka perusahaan harus mencatat kelebihan biaya overhead
tersebut sebagai kerugian pada periode berjalan, dan bukan
mengapitalisasinya. Hal ini untuk menghindari kapitalisasi aset yang melebihi
nilai wajarnya. Dalam kondisi apa pun, perusahaan tidak boleh mencatat "laba
atas konstruksi dibangun sendiri".

BIAYA BUNGA SELAMA KONSTRUKSI

Akuntansi yang tepat atas biaya bunga telah lama menjadi kontroversi.
Terdapat tiga pendekatan yang telah diusulkan untuk mencatat bunga yang
dikenakan dalam pembiayaan pembangunan aset tetap:

1. Tidak mengapitalisasi biaya bunga selama konstruksi. Dalam pendekatan


ini, bunga dianggap sebagai biaya pembiayaan dan bukan biaya
konstruksi. Beberapa pihak berpendapat bahwa jika perusahaan
menggunakan pembiayaan ekuitas dan bukan utang, maka perusahaan
tidak akan dikenakan biaya ini. Argumen utama atas pendekatan ini
adalah bahwa penggunaan uang tunai, apa pun sumbernya. memiliki
biaya bunga implisit terkait, yang tidak boleh diabaikan.

2. Memasukkan dalam konstruksi dengan semua biaya atas dana yang


digunakan, baik dapat diidentifikasi maupun tidak diidentifikasi. Metode
ini menyatakan bahwa biaya konstruksi harus mencakup biaya
pembiayaan, baik secara tunai, utang, maupun ekuitas. Pendukung
pendekatan ini mengatakan bahwa semua biaya yang diperlukan untuk
menjadikan aset siap untuk digunakan, termasuk bunga,
merupakanbagian dari biaya perolehan aset. Bunga yang aktual maupun
yang diperhitungkan merupakan biaya, sebagaimana halnya tenaga
kerja dan bahan baku. Kritik utama dari pendekatan ini adalah bahwa
biaya modal ekuitas yang diperhitungkan cenderung subjektif dan
berada di luar kerangka sistem biaya historis.

3. Kapitalisasi hanya biaya bunga yang terjadi selama konstruksi.


Pendekatan ini memiliki logika yang senada dengan pendekatan kedua--
bahwa bunga termasuk biaya tenaga kerja dan bahan baku. Akan tetapi,
pendekatan ini mengapitalisasi hanya biaya bunga yang timbul dari
pembiayaan utang (Artinya, pendekatan ini tidak mencoba untuk
menentukan biaya pembiayaan ekuitas). Dalam pendekatan ini,
perusahaan yang menggunakan pembiayaan utang akan memiliki aset
dengan biaya yang lebih tinggi dibanding perusahaan yang
menggunakan pembiayaan ekuitas. Beberapa pihak menganggap
pendekatan ini tidak memuaskan, karena mereka berpendapat bahwa
biaya perolehan aset seharusnya tetap sama apakah dibiayai dengan
uang tunai, utang, maupun ekuitas.
IFRS mensyaratkan pendekatan ketiga-mengapitalisasi bunga aktual
(dengan modifikasi). Metode ini mengikuti konsep bahwa biaya historis dari
perolehan aset mencakup semua biaya (termasuk bunga) yang terjadi
untuk mempersiapkan aset ke kondisi dan lokasi yang diperlukan untuk
digunakan. Dasar pemikiran untuk pendekatan ini adalah bahwa aset
tersebut tidak menghasilkan pendapatan selama konstruksi. Oleh karena
itu, perusahaan harus menunda (mengapitalisasi) biaya bunga. Setelah
pembangunan selesai, aset tersebut siap untuk digunakan dan perusahaan
dapat memperoleh pendapatan. Pada titik ini, perusahaan harus
melaporkan bunga sebagai beban dan mengaitkannya dengan pendapatan.
Perusahaan harus membebankan semua biaya bunga yang terjadi dalam
pembelian aset yang siap untuk digunakan. [5]

Untuk menerapkan pendekatan umum ini, perusahaan mempertimbangkan


tiga hal berikut.

1. Aset kualifikasian.
2. Periode kapitalisasi
3. Jumlah yang dikapitalisasi.

Aset Kualifikasian
Agar memenuhi syarat kapitalisasi bunga, aset harus membutuhkan waktu
yang cukup lama untuk menjadikan aset tersebut siap untuk digunakan
atau dijual. Perusahaan mengapitalisasi biaya bunga dimulai dengan
pengeluaran pertama yang terkait dengan aset. Kapitalisasi terus berlanjut
sampai perusahaan secara substansial selesai mempersiapkan aset untuk
digunakan. Aset yang memenuhi syarat untuk kapitalisasi biaya bunga
mencakup aset dalam pembangunan untuk digunakan sendiri oleh
perusahaan (termasuk bangunan, pabrik, dan mesin besar) dan aset yang
dimaksudkan untuk dijual atau disewakan, yang dibangun atau diproduksi
sebagai proyek diskrit
Contoh aset yang tidak memenuhi syarat untuk kapitalisasi bunga di
antaranya (1) aset yang sedang digunakan atau siap untuk digunakan, dan
(2) aset yang tidak digunakan perusahaan dalam aktivitas produktif dan
yang tidak menjalani aktivitas untuk menjadikan aset siap untuk digunakan.
Contoh jenis kedua ini termasuk tanah yang masih belum dikembangkan
dan aset yang tidak digunakan karena usang, kelebihan kapasitas, atau
perlu perbaikan.

Periode Kapitalisasi
Periode kapitalisasi ( capitalization period) adalah periode waktu di mana
perusahaan harus mengapitalisasi bunga. Periode ini dimulai dengan
adanya tiga kondisi:
1. Pengeluaran untuk aset yang telah mulai dilakukan.
2. Aktivitas yang diperlukan untuk menjadikan aset siap untuk
digunakan atau dijual sedang berlangsung.
3. Biaya bunga yang sedang dikenakan. Kapitalisasi bunga terus
berlangsung selama ketiga kondisi tersebut terjadi. Periode
kapitalisasi berakhir ketika aset tersebut secara substansial telah
selesai dan Siap untuk digunakan.

Jumlah yang Dikapitalisasi


Jumlah bunga untuk dikapitalisasi adalah jumlah terbatas yang terendah
dari biaya bunga yang terjadi selama periode atau bunga yang dapat
dihindari. Bunga yang dapat dihindari (avoidable interest) adalah jumlah
biaya bunga selama periode yang secara teoretis dapat dihindari oleh
perusahaan jika perusahaan tidak membuat pengeluaran untuk aset
tersebut. Jika biaya bunga aktual untuk periode ini adalah $90.000 dan
bunga yang dapat dihindari adalah $80.000, maka perusahaan
mengapitalisasi hanya $80000. Sebaliknya, jika biaya bunga aktual adalah
$80.000 dan bunga yang dapat dihindari adalah $90.000, perusahaan tetap
mengapitalisasi hanya sebesar $80000. Dalam setiap situasi apa pun, biaya
bunga tidak boleh mencakup biaya modal yang dibebani untuk ekuitas.

Masalah Khusus Terkait Kapitalisasi Bunga

Ada dua masalah yang berkaitan dengan kapitalisasi bunga yang


membutuhkan perhatian khusus:

1. Pengeluaran untuk tanah.


2. Pendapatan bunga.

Pengeluaran untuk Tanah


Ketika perusahaan membeli tanah dengan tujuan ingin
mengembangkannya untuk penggunaan tertentu biaya bunga yang terkait
dengan pengeluaran tersebut harus memenuhi syarat untuk kapitalisasi
bunga. Jika perusahaan membeli tanah sebagai lokasi untuk bangunan
(seperti lokasi pabrik), maka biaya bunga yang dikapitalisasi selama periode
konstruksi merupakan bagian dari biaya perolehan pabrik, bukan biaya
perolehan tanah. Sebaliknya, Jika perusahaan mengembangkan lahan untuk
penjualan petak lahan, maka perusahaan memasukkan semua biaya bunga
yang dikapitalisasi sebagai bagian dari biaya perolehan tanah. Namun,
perusahaan tidak boleh mengapitalisasi biaya bunga yang terkait dengan
pembelian tanah yang dimiliki untuk tujuan spekulasi karena aset tersebut
sudah siap untuk digunakan sebagaimana dimaksudkan.

Pendapatan Bunga.
Perusahaan sering meminjam uang untuk membiayai pembangunan aset.
Perusahaan menginvestasikan kelebihan dana yang dipinjam dalam efek
berbunga untuk sementara sampai perusahaan memerlukan dana tersebut
untuk membayar keperluan konstruksi. Selama tahap awal pembangunan,
pendapatan bunga yang diperoleh mungkin bisa melebihi biaya bunga atas
dana yang dipinjam. Haruskah perusahaan menyaling hapus (offset)
pendapatan bunga dengan biaya bunga ketika menentukan jumlah bunga
yang dikapitalisasi sebagai bagian dari biaya pembangunan aset? IFRS
mengharuskan pendapatan bunga yang diperoleh dari pinjaman tertentu
harus menyaling hapus biaya bunga yang dikapitalisasi. Alasannya adalah
bahwa pendapatan bunga yang diperoleh dari pinjaman tertentu secara
langsung berkaitan dengan biaya bunga atas pinjaman itu.

Observasi
Persyaratan kapitalisasi bunga masih diperdebatkan. Dari sudut pandang
konseptual, banyak yang berpendapat bahwa perusahaan tidak harus
mengapitalisasi biaya bunga, atau mengapitalisasi seluruh biaya bunga, baik
aktual atau diperhitungkan untuk alasan yang disebutkan sebelumnya.

PENILAIAN ASET TETAP

Seperti aset lainnya, perusahaan harus mencatat aset tetap sebesar nilai
wajar yang diserahkan atau sebesar nilai wajar aset yang diterima, mana
yang lebih jelas. Namun demikian, proses perolehan aset kadang dapat
mengaburkan nilai wajar. Misalnya, jika perusahaan membeli tanah dan
bangunan bersama-sama pada harga tunggal, bagaimana cara menentukan
nilai terpisah untuk tanah dan bangunan tersebut? Bagian ini akan
mempelajari masalah akuntansi jenis ini sebagai berikut.
Diskon Tunai
Ketika perusahaan membeli aset tetap kemudian dikenakan diskon tunai
atas pembayaran lebih awal, bagaimana perusahaan harus melaporkan
diskon ini? Jika mengambil diskon ini, perusahaan harus mencatat diskon
sebagai pengurangan harga pembelian aset. Akan tetapi. haruskah
perusahaan mengurangi biaya perolehan aset bahkan jika perusahaan
akhirnya tidak mengambil diskon?
Ada dua sudut pandang yang bisa digunakan atas pertanyaan im. Salah satu
pendekatan menganggap diskon. baik diambil atau tidak, sebagai
pengurangan biaya perolehan aset. Argumen untuk pendekatan ini adalah
bahwa biaya riil dari aset adalah harga kas atau setara kas dan aset. Selain
itu beberapa pihak berpendapat bahwa termin diskon tunai sangat
menarik, sehingga kegagalan memanfaatkan diskon tersebut
mengindikasikan adanya kesalahan atau inefisiensi manajemen.

Sehubungan dengan pendekatan kedua, para pendukungnya berpendapat


bahwa kegagalan untuk mengambil diskon tidak harus selalu dianggap
sebagai kerugian. Termin yang ada mungkin tidak menguntungkan, atau
mungkin tidak bijaksana bagi perusahaan untuk mengambil diskon
tersebut. Saat ini, perusahaan-perusahaan di dunia menggunakan kedua
metode tersebut, meskipun sebagian besar lebih memilih metode yang
pertama.

Kontrak Pembayaran Tangguhan


Perusahaan sering membeli aset tetap dengan kontrak kredit jangka
panjang dengan menggunakan wesel, hipotek, obligasi, atau kewajiban
peralatan. Untuk mencerminkan biaya perolehan dengan tepat,
perusahaan mencatat aset yang dibeli dengan kontrak kredit jangka
panjang pada nilai sekarang dari kompensasi yang dipertukarkan antara
kedua belah pihak pada tanggal transaksi.
Bila tidak ada suku bunga yang dinyatakan, atau jika suku bunga tidak
masuk akal, perusahaan memperhitungkan suku bunga yang sesuai.
Tujuannya adalah untuk mendekati suku bunga mana yang pembeli dan
penjual dapat bernegosiasi secara wajar(arm's length) dalam transaksi
pinjaman yang serupa. Dalam memperhitungkan suku bunga, perusahaan
mempertimbangkan faktor-faktor seperti peringkat kredit peminjam,
jumlah dan tanggal jatuh tempo wesel, dan tingkat suku bunga yang
berlaku. Perusahaan menggunakan harga pertukaran kas dari aset yang
diperoleh (jika dapat ditentukan) sebagai dasar untuk mencatat aset dan
mengukur elemen bunga.

Pembelian Lumsum
Masalah khusus dalam penilaian aset tetap muncul ketika perusahaan
membeli sekelompok aset pada satu harga lumsum (lump-sum price).
Ketika situasi umum ini terjadi, perusahaan mengalokasikan total biaya
antara berbagai aset atas dasar nilai wajar relatif. Asumsinya adalah bahwa
biaya akan bervariasi sesuai dengan proporsi nilai wajarnya Prinsip ini
adalah prinsip yang sama yang diberlakukan perusahaan untuk
mengalokasikan biaya lumsum antara barang-barang persediaan yang
berbeda. Untuk menentukan nilai wajar, perusahaan harus menggunakan
teknik penilaian yang sesuai dengan situasi. Dalam beberapa kasus, teknik
penilaian tunggal akan menjadi lebih sesuai. Dalam kasus lain, perusahaan
mungkin harus menggunakan beberapa pendekatan penilaian.

Penerbitan Saham
Ketika perusahaan membeli properti dengan menerbitkan efek, seperti
saham biasa, nilai pari atau nilai dinyatakan dari saham tersebut kurang
tepat untuk mengukur biaya perolehan properti. Jika perdagangan saham
adalah pasar aktif, maka harga pasar saham yang diterbitkan adalah
indikasi wajar dari biaya perolehan properti yang dibeli. Saham adalah
ukuran yang baik dari harga setara kas saat ini.
Jika perusahaan tidak dapat menentukan nilai wajar dari saham biasa yang
dipertukarkan (berdasarkan harga pasar), maka perusahaan dapat
memperkirakan nilai wajar dari properti. Perusahaan kemudian
menggunakan nilai properti sebagai dasar untuk pencatatan aset dan
penerbitan saham biasa.
Pertukaran Aset Nonmoneter
Akuntansi yang tepat untuk pertukaran aset nonmoneter, seperti aset
tetap, masih kontroversial. Beberapa pihak berpendapat bahwa
perusahaan harus mencatat pertukaran jenis ini berdasarkan nilai wajar
dari aset yang diserahkan atau nilai wajar aset yang diterima, dengan
mengakui keuntungan atau kerugian. Pihak lainnya berpendapat bahwa
perusahaan harus mencatat pertukaran berdasarkan jumlah tercatat (nilai
buku) dari aset yang diserahkan, tanpa mengakui adanya keuntungan atau
kerugian. Pihak yang lainnya mendukung pendekatan yang mengakui
kerugian dalam semua kasus, tetapi menangguhkan keuntungan dalam
situasi khusus.
Biasanya, perusahaan mencatat pertukaran aset nonmoneter (non-
monetary assets) atas dasar nilai wajar aset yang diserahkan atau nilai
wajar aset yang diterima, mana yang lebih jelas. [6] Dengan demikian,
perusahaan harus mengakui dengan segera semua keuntungan atau
kerugian atas pertukaran tersebut. Alasan untuk pengakuan dengan segera
adalah bahwa sebagian besar transaksi memiliki substansi komersial,
sehingga keuntungan dan kerugian harus diakui.

Hibah Pemerintah
Banyak perusahaan menerima hibah pemerintah. Hibah pemerintah
(goverment grants) merupakan bantuan yang diterima dari pemerintah
dalam bentuk pengalihan sumber daya kepada perusahaan dengan imbal
hasil kepatuhan terhadap syarat tertentu di masa lalu atau masa depan
yang berkaitan dengan aktivitas operasi perusahaan.
Dengan kata lain, hibah pemerintah sering kali berupa beberapa jenis aset
(seperti kas, efek, aset tetap, atau penggunaan fasilitas) yang disediakan
sebagai subsidi untuk perusahaan. Hibah pemerintah juga terjadi ketika
utang perusahaan diampuni atau pinjaman diberikan kepada perusahaan
pada suku bunga di bawah suku bunga pasar. Masalah-masalah akuntansi
utama yang berkaitan dengan hibah pemerintah adalah dalam menentukan
metode akuntansi yang tepat untuk pengalihan seperti ini pada pembukuan
perusahaan dan bagaimana pengalihan tersebut harus disajikan dalam
laporan keuangan.

Pendekatan Akuntansi
Ketika perusahaan memperoleh aset seperti aset tetap melalui hibah
pemerintah, konsep biaya perolehan yang ketat menyatakan bahwa aset
harus dinilai nol. Namun, pengalihan dari prinsip biaya perolehan tampak
dibenarkan karena satu-satunya biaya yang telah dikeluarkan (biaya hukum
dan pengeluaran lainnya yang relatif kecil) bukan merupakan dasar yang
wajar untuk mencatat aset yang diperoleh. Jika perusahaan tidak mencatat
apa pun, maka artinya perusahaan mengabaikan realitas ekonomi dari
kenaikan kekayaan dan aset. Oleh karena itu, sebagian besar perusahaan
menggunakan nilai wajar aset untuk menentukan nilai bukunya.
Kemudian, bagaimana perlakuan akuntansi yang tepat untuk kredit yang
terkait dengan hibah pemerintah ketika nilai wajar aset digunakan? Ada
dua pendekatan yang disarankan: pendekatan modal (ekuitas) dan
pendekatan pendapatan. Pendukung pendekatan ekuitas berpendapat
bahwa kredit harus dicatat langsung pada ekuitas karena sering kali tidak
ada pembayaran berupa kas dari hibah yang diharapkan. Selain itu, hibah
juga merupakan insentif dari pemerintah, yang mana hal tersebut tidak
didapatkan sebagai bagian dari operasi normal perusahaan dan tidak boleh
menyaling hapus beban operasi pada laporan laba rugi.

Pendukung pendekatan pendapatan tidak setuju dengan hal tersebut.


Mereka percaya bahwa kredit harus dilaporkan sebagai pendapatan dalam
laporan laba rugi. Hibah pemerintah tidak boleh dicatat langsung pada
ekuitas karena pemerintah bukan pemegang saham. Selain itu, sebagian
besar hibah pemerintah memiliki syarat yang melekat pada ketentuan yang
kemungkinan akan memengaruhi beban di masa mendatang. Oleh karena
itu, hibah harus dilaporkan sebagai pendapatan hibah ( atau pendapatan
hibah tangguhan) dan dikaitkan dengan beban yang akan terjadi di masa
depan sebagai hasil dari hibah.

Pendekatan Pendapatan
IFRS mensyaratkan pendekatan pendapatan dan menunjukkan bahwa
aturan umum adalah bahwa hibah harus diakui dalam pendapatan secara
sistematis yang mengaitkan pendapatan dengan biaya yang dimaksudkan
untuk dikompensasi oleh hibah tersebut. [7] Hal ini dipenuhi dengan satu
dari dua cara untuk aset seperti aset tetap:
1. Mencatat hibah sebagai pendapatan hibah tangguhan, yang diakui
sebagai pendapatan secara sistematis selama umur manfaat aset,
atau
2. Mengurangi hibah dari jumlah tercatat aset yang diterima dari hibah,
yang dalam hal ini hibah diakui dalam pendapatan sebagai pengurang
beban penyusutan.

BIAYA SETELAH PEROLEHAN

Setelah memasang aset tetap dan mempersiapkannya untuk


digunakan, berbagai biaya tambahan akan timbul yang berkisar dari
perbaikan biasa sampai penambahan yang signifikan. Masalah utama dalam
topik ini adalah mengalokasikan biaya tersebut ke periode waktu yang
tepat.

Dalam menentukan bagaimana biaya harus dialokasikan setelah


perolehan, perusahaan mengikuti kriteria yang sama yang digunakan untuk
menentukan biaya awal aset tetap. Artinya, perusahaan mengakui biaya
setelah perolehan sebagai aset bila biaya tersebut dapat diukur secara
andal dan besar kemungkinan bahwa perusahaan akan mendapatkan
manfaat ekonomik di masa depan. Bukti dari manfaat ekonomik masa
depan mencakup peningkatan (1) umur manfaat, (2) kuantitas produk yang
dihasilkan, dan (3) kualitas produk yang dihasilkan.

Umumnya, perusahaan akan dikenakan empat jenis pengeluaran


utama relatif terhadap aset yang ada.

JENIS PENGELUARAN UTAMA

 PENAMBAHAN. Peningkatan atau perpanjangan aset yang ada.


 PERBAIKAN DAN PENGGANTIAN. Pergantian aset yang
diperbaiki dengan yang sudah ada.
 PENGATURAN ULANG DAN REORGANISASI. Pergerakan aset
dari satu lokasi ke lokasi lain. PERBAIKAN ULANG. Pengeluaran
untuk mempertahankan aset dalam kondisi yang layak untuk
operasi.

Anda mungkin juga menyukai