Anda di halaman 1dari 5

[KILLING BY ERVING’S GOFFMAN THEORY]

KTH x JASMINE || Theme : Madness || Genre : Episteme Fiction|| PG : All Age || Book to reference :
Modern sociology theory by; John Ritzer & Douglass || Song to Hear : Elegi by; Figura Renata || Author :
Fivtind [on wp @ototperut27] ||

#17ktheventbirthday

#Generasihaluberkreasi

__

Jasmine di sini. Ya, maksudku, hai, aku Jasmine. Jangan tanya apa yang sedang aku lakukan;
hidupku terlalu datar untuk aku paparkan barang sekedar sebrangi aksara begini. Aku bahkan tidak pakai
bedak hari ini. Astaga, tadi Kim Taehyung bilang jerawatku kelihatan tersempil di epidermis bagian
pipi—aku bilang padanya wajar perempuan punya jerawat, dan dia menertawakanku dengan resonansi
cekakan girang dan cengir di akhir yang lebarnya bikin siapapun mau mengekalkan figur itu dalam
ingatan tiap malam. Kenapa orang sebrengsek Kim Taehyung punya fisik yang kadang bangsatnya
menandingi Sinichi Kudo? Ya ampun Kudo-ku; matilah kau kukomparasikan dengan si Kim Taehyung itu.
Ampuni kuturunan Clark ini.

Aku tadi sudah menjelaskan kalau hidupku datar, kan? Oke, sekarang aksara akan kubuat penuh
ingar bingar dengan membahas Kim Taehyung. Ayo, sebaiknya kita bicarakan tentang pria aneh itu.
Paling tidak, tulisanku berhiaskan relief yang bagus ketika menyangkut pria setampan Kim Taehyung;
oke, atau tidak. Terserah.

“Itu salahmu,” aku berseru tenang pada Kim Taehyung, kesekian kupergoki pria itu tengah
malam mondar-mandir di area kampus. Gerbang tinggi di depan sudah tutup; kukira aku terjebak di sini
sendiri, tapi kalau menyoal malam, Taehyung kadang jadi orang pertama yang singgah dan semayami
kepalaku. Dan benar saja, aku tandangi ia di sebuah auditorium gelap; sedang membolak-balikan buku
dengan flash ponselnya yang merelap, bersinar terang. Benar-benar kurang kerjaan. Kalau aku orang
waras, aku sudah laporkan pria itu pada tata usaha; ah, sayang sekali kadang aku ketularan sintingnya.

“Tidak, aku tidak pernah bersalah. Minoritas tidak pernah bersalah.” Taehyung berhenti
mondar-mandir, bukunya ditutup, dan flashnya mengaras padaku; sialan, silau. “Singkirkan cahaya itu
dariku, Jelek!” Aku berteriak lumayan kencang—mencipta gema di ruang kotak cukup besar ini; seolah
amnesia kalau ini sudah malam—dan telapak tanganku lindungi lubang hitam di semenjana netra.
Barusan aku panggil Taehyung jelek, ya? Mohon maaf, itu dusta.

Taehyung matikan flash, tungkainya membuat suara langkah; aku bisa tebak di tengah gelap ini,
pria itu sedang cari saklar. Oke, terang sekarang membuatku ingin memaki-maki—Jasmine, ayolah,
kenapa kau sangat anarkis, benda itu hanya sebuah lampu.

“Bagaimana bisa kau rangkap semua peran, Kim? Kau menjadi mayoritas dalam satu waktu, dan
garap juga minoritas di waktu lainnya. Dasar tamak. “ Aku memancingnya bersua lebih, bahkan
sepanjang yang aku inginkan darinya. Hal-hal tak penting, atau tetek-bengek yang tak perlu juga tidak
apa-apa. Aku begitu ingin mendengar pengakuannya sekali lagi. Aksaraku butuh dirusuhi oleh cacatan
tentangnya, jadi dia harus banyak bicara agar ini menjadi menarik.

“Apa kau tidak dengar, Jazz? Mr. Gidds sudah jelaskan pada kita kemarin. Harusnya kau pasang
telinga—”

“Apa? Tentang Erving Goffman? Kim, aku bukan mau dengar itu,” kupotong kalimatnya—dalam hati aku
kesal, kerap kali ia panggil aku Jazz; katanya Jazz adalah aliran musik kesukaannya, dan aku adalah
kesukaannya—lalu aku sangkal ranah bahasannya. Kendati jujur saja, sebenarnya aku tahu kalau teori
seorang tokoh modern, atau klasik itu, nampak koheren dengan apa yang mau Taehyung jelaskan
padaku. Tapi, hey, main-main dulu sebentar dengan pria tampan tidak apa-apa, kan? Paling tidak, aku
punya beberapa menit untuk kubuang-buang dengan dengarkan semua ocehannya, dan indra
penglihatanku bisa pandangi wajahnya yang punya rahang bagus, kulit mulus, dan semua fitur romannya
yang bikin mampus. Aku tidak main-main ketika bilang Taehyung tampan; kau tidak akan temukan
spesies ini di sekolahmu. Taehyung satu-satunya yang punya hidung bangir, berhiaskan tahi lalat di
pucuknya. Bibirnya sama tebal atas dan bawah; akan merah padam pada malam hari, seperti sekarang.
Dan matanya yang dinaungi alis tajam itu, bisa nampak adikara untuk pasang ekspresi polos. Yang
seperti itu hanya satu, bagusnya begitu.

Taehyung duduk di sebuah meja yang di sampingnya ada bangku terbalik, kakinya yang jenjang
berbalut jins rombeng, nampak indah menggantung sepuluh centi dari lantai putih berdebu. Kaus putih
polosnya dimasukkan ke dalam celana, rambutnya yang cokelat terang, dibakar lampu, dan ada warna
merah yang samar di pucuk-pucuknya; sial, dia nyaris buatku mau menciumi wajahnya yang
menyebalkan itu. “Jazz, masalahnya ini berhubungan. Kau mencibir aku garap semua peran. Tolong
dengar dulu, ini soal teori tokoh klasik itu. Ini soal Erving Goffman dan dramaturgi. Aku…,”

Taehyung menggantung kalimatnya setelah ia berseru menggebu, nada-nada sebal yang


semangat; tapi setelah kata ‘aku’, ada ragu yang menyendatnya melanjutkan kata. Tatapannya seperti
sedang memaksa diri; seolah terjadi peperangan di dalam hatinya—ini aku hanya spekulasi saja, tenang,
aku bukan indigo yang bisa baca pikiran orang lain, terlebih itu Kim Taehyung yang isi kepalanya
miring—dan pria itu sedang yakini diri bahwa pilihan terbaik untuk bocorkan kebodohannya padaku;
meski sisi lain dirinya mungkin menghadang itu. Aku suka melihatnya berpikir.

“Kim, Erving Goffman sudah mati sejak 1982 di philadelpia. Dia menjadi tokoh sosiologi
kesukaanku, karena kupikir, agaknya dia pahami diriku kendati jasadnya mungkin sudah jadi abu.
Teorinya relevan, dan semua orang bisa rasakan itu. Termasuk dirimu. Hanya saja, kupikir, kau
keterlaluan. Mr. Gidds tidak bersalah atas ini.” Aku menyambungi kalimatnya yang terdestruksi, intonasi
tenang seperti biasa. Kepalaku memikirkan kehebatan teori Erving Goffman soal dramaturgi, menerka-
nerka hebatnya orang itu yang bisa memikirkan hal sebegini signifkannya dari dalam diri seseorang.

“Kau bodoh, Jazz. Erving Goffman tidak membantu siapapun. Dia tidak pahami siapapun. Dia
hanya membongkar hal-hal yang tidak perlu dibongkar.” Dia sewot, melompat turun dari meja, dan
berdiri di depanku dengan roman kesal. Aku tertawa kecil, Kim Taehyung memang miring.

Kalau mau tahu, Dramaturgi hasil pikir Erving Goffman adalah soal interaksionisme simbolik;
yang dengan itu, kupikir tendensinya lebih pada psikologis. Erving bilang, manusia punya dua diri dalam
dirinya—kita sebut itu Self. Self yang dua itu adalah; Self yang manusiawi, dan Self yang terkontaminasi
sosialisasi. Jadi ada Self yang asli, dan Self yang terbentuk karena dipaksa masyarakat. Kenapa dia
menamakan ini Dramaturgi? Mr. Gidds tidak menjelaskan kenapa, tapi aku bisa menebak, karena
manusia penuh drama. Erving Goffman bilang, manusia punya dua panggung pertunjukan dalam dirinya.
Satu; panggung depan (front stage). Dan dua; panggung belakang (back stage). Panggung depan adalah
dimana kepribadian seseorang dibentuk sesuai dengan apa yang masyarakat mau, sedangkan panggung
belakang adalah diri sebenarnya yang mungkin selalu ingin manusia sembunyikan dari khalayak. Dan
Taehyung bisa jadi contoh yang bagus untuk teori ini; atau aku juga.

“Kau hanya ketakutan, Kim. Dan tentu berlebihan.” Aku tandas perkataannya yang sewot itu.
Alisnya menukik tajam, kendati aku tahu ada ketakutan yang merawak rambang di bulu-bulu matanya;
memohon agar aku tidak meneruskan pembicaraan ini.

“Kau menjadi mayoritas saat orang-orang meninggikanmu, Kim. Kau jadi mahasiswa terbaik di
fakultas kita. Kau tandangi dosen-dosen dan menjadi budak mereka, sebab kau tahu, masa depanmu
akan dua kali lipat lebih cerah saat kau mendapat jaringan. Kau bahkan mengikuti banyak ekskul dan
punya ribuan teman tanpa lelah menghafal nama mereka dan menyapa satu-satu kalau bertemu. Kau
sesempurna itu Kim Taehyung.” Aku memaparkan fakta tentangnya, dan bisa kulihat alisnya melayu,
sedang jakunnya naik turun menggemaskan.
Jadi, sebenarnya Taehyung adalah pemilik panggung depan terbaik sepanjang masa. Dia
melakukan semua hal itu, karena begitu banyak konstruk sosial yang ditelannya mentah-mentah. Dia
paham bahwa menjadi dekat dengan dosen, tandanya ia punya peluang bagus untuk sukses—paling
tidak punya jabatan sebagai asisten dosen, dan di CV, itu bisa ditulis dengan konkret. Taehyung juga
tahu pasti, bahwa menjadi ramah adalah tanda-tanda kau ungguli hierarki teratas kesukaan penghuni
kampus. Orang-orang begitu mencintainya yang sempurna; alih-alih aku hanya bisa terkikik karena tahu
panggung belakang yang ia miliki.

“Jazz, kau akan diinjak-injak kalau tidak mengikuti apa maunya orang sekitar. Oh astaga, kau
sudah diinjak-injak. Berhentilah masam dan mulai pasang cengir manis di bibir. Orang-orang akan
mencintaimu. Kau harus, paling tidak, berlatih menjadi seorang penjilat. Mereka suka pada penjilat.”
Taehyung angkat telunjuk dan mulai menceramahiku, meski aku tahu getar tangannya menandakan
ketakutan; dia mungkin tak yakin dengan kalimatnya sendiri.

Erving Goffman dalam teorinya mengatakan, bahwa manusia menutupi beberapa bagian diri
mereka untuk menyesuaikan masyarakat. Di panggung depan, manusia hanya akan mempertontonkan
hal baik saja, sedang setting diri terjalin di belakang panggung. Jadi manusia akan bertingkah sesuai apa
yang sekitarnya inginkan, menyembunyikan apa yang sekiranya orang lain tak sukai. Ini mirip dengan
teori Horton Cooley, aku rasa; tapi jelas ini lebih dalam lagi. Dan Taehyung, aku tahu bahwa ia bukan
siapa-siapa andai ia menunjukan bahwa ibunya di rumah sana gemar memanjakan penis-penis ereksi
dari banyak lelaki. Dan pribadinya yang sinis, dan penuh kesarkasan; seolah dengan itulah ia berinteraksi
dengan ibunya.

Aku tertawa setelah detik berhenti menggemakan tik dan tok di sebuah jam yang menyangkut di
dinding auditorium ini. Atau aku hanya memang berlebihan mencari degup jantung Taehyung yang
kuyakini sedang mendobrak-dobrak dadanya. Pria itu baru saja menjadi manusia paling dicintai di
kampus ini, dan tidak seorang pun tahu kalau ada yang salah dengan semua itu.

“Cukup, Kim. Aku bukan mau bahas soal konstruk sosial. Diriku lebih tahu bagaimana mesti
bertingkah. Aku hanya mau bilang, bahwa aku menyalahkanmu.” Aku masih tenang, sedangkan
Taehyung napasnya tidak lagi seteratur tadi. Terembus berantakan, wajahnya memerah, dan aku bisa
mendengarnya telan ludah susah payah. Aku melangkah padanya, dan aku gamit tangannya yang
terserang tremor dadakan itu.

“Aku tidak salah, Jazz.” Taehyung sekonyong-konyong memelukku, ia letakan wajahnya di


bahuku; dan leherku tahu persis napasnya yang mondar-mandir pendek, terasa lembut dan menusuk di
detik-detik yang tak bisa kuejawantahkan dengan kata. Aku suka Taehyung bahkan sampai deru
napasnya yang bau manusia pengecut begini.
“Jangan bodoh, Kim. Kau memutus rem mobil Mr. Gidds.” Aku mengelus punggungnya, dan bisa
kurasakan tangannya makin erat merengkuhku. Manusia ini bodohnya makin sialan; dikira aku bisa
napas kalau dia memelukku sekencang ini? “Tidak, aku hanya bercanda soal itu.” Dan jawaban sinting itu
membuatku balas memeluknya erat. Kim Taehyung memang gila.

“Kau harus lihat berita.” Aku membaui wangi tubuhnya yang halus; terasa seperti keringat
kering dan campuran minyak wangi pria, beberapa tercium seperti rempah-rempah asli, memabukkan
sekali. Taehyung menggeleng di bahuku; “Itu bukan salahku, demi Tuhan aku hanya bercanda.”
Lirihannya terasa padat oleh ketakutan, alih-alih aku sama sekali tidak dengar nada-nada menyesal.

Kim Taehyung, tulisanku jadi lebih menyenangkan saat kau basahi bahuku begini. Ya ampun, aku
bahkan paham bahwa kau menganggap Mr. Gidds membocorkan konsep Dramaturgi Erving Goffman,
untuk menerkammu di panggung belakang. Yang membaca tulisan ini, aku harap kalian bisa menerka;
Taehyung ini gila. Dia sama sekali tidak waras. Tapi dia terlalu hebat untuk sembunyikan dirinya yang asli
dengan panggung depannya yang cantik. Dan soal Mr. Gidds, mohon maaf, mahasiswamu yang satu ini
memang sialan. Kau harus mati dengan alasan sesinting ini. Taehyung sebenarnya tidak mau
membunuhmu; ia hanya kepalang takut orang-orang tahu tentang dirinya yang asli. Dan dia
menyalahkanmu yang sudah mengajarkan teori Dramaturgi di kelas teori sosiologi modern kemarin.

Jadi, Jasmine masih di sini. Ya, ini aku. Aku perlu tenangkan Taehyung dengan beberapa ciuman
panas; jangan cemburu, bibirnya sangat dingin, dan rasanya asin karena ia terus menangis. Benar-benar
payah. Catatan ini akan aku cetak dan kukubur di belakang kampus. Esok lusa, atau tahun-tahun setelah
aku mati, aku ingin orang-orang paling tidak tahu, kalau Mr. Gidds menemui kematiannya karena
kesintingan Taehyung. Beberapa yang lain akan aku jelaskan nanti; karena hey, kalau mau tahu, Mr.
Gidds bukan yang pertama. Aku mungkin selanjutnya kalau pria itu tidak begitu menyukai bibirku.

__

Anda mungkin juga menyukai