Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

PENGANTAR ILMU HUKUM

MENGENAI;
PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA TENTANG
“KORUPSI”

Disusun Oleh ;

Shafa Adhania (3017210274)

Daya Nur Pratama (3018210297)

Ahmad Alfazri I (3018210093)

Gesha Alhafizh Saamii (3018210381)

Ridwan Alfiansyah (3016210225)

Page 1
KATA PENGANTAR
Pertama-tama Kami mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga tugas Pengantar Ilmu Hukum ini dapat
Kami selesaikan

dengan baik.

Kami sangat menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak

kekurangan, baik materi maupun penyajian serta penulisan yang tidak sesuai. Untuk

itu Kami memohon maaf yang sebesar-besarnya,

Terima kasih.

14 Desember 2019

Penyusun

Page 2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................1

KATA PENGANTAR.......................................................................................2

DAFTAR ISI...................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................4

A. Latar Belakang ............................................................................4

B. Rumusan Masalah.......................................................................10

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 10

BAB III PENUTUP......................................................................................... 24

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 26

Page 3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bentuk kejahatan yang saat ini marak diperbincangkan adalah Tindak


Pidana Korupsi. Kata “korupsi” ini sudah tidak asing lagi di telinga
masyarakat Indonesia. Walaupun sebagian besar masyarakat hanya
paham dengan arti kata korupsi meski hanya secara umum sebagai
tindakan pejabat negara yang mengambil uang rakyat.

Kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, tiap hari telah mengisi tayangan
yang ada di televisi maupun media massa lainnya, dan bahkan di media
cetak pun juga tidak sedikit yang memakai cover bagian depan dengan
menggunakan wajah para pejabat yang melakukan korupsi dengan judul
yang menarik. Masyarakat seperti benci melihat para pejabat negara kita
sendiri maka munculah ketidakpercayaan dan ketidakpatuhannya
masyarakat terhadap hukum karena ulah para pejabat yang juga tidak
memberi contoh pada masyarakat.

Tindak Pidana Korupsi dapat disebut dengan kejahatan kerah putih


(white collar crime) atau kejahatan berdasi. Para pelaku dari perbuatan
white collar crime tersebut biasanya terdiri dari orang-orang terhormat,

Page 4
terpandang, berpendidikan tinggi atau orang-orang yang mempunyai
kekuasaan atau uang, yang biasanya menampakkan dirinya sebagai
orang baik-baik, bahkan di antara mereka yang dikenal sebagai
dermawan, yang terdiri dari politikus, birokrat pemerintah, penegak
hukum, serta masih banyak lagi. Tindak Pidana Korupsi selalu
mendapatkan perhatian serius dibandingkan dengan Tindak Pidana lain
karena termasuk merugikan keuangan Negara.

Menurut Munir Fuady suatu white collar crime dapat juga terjadi di
sektor publik, yakni yang melibatkan pihak-pihak pemegang kekuasaan
publik atau pejabat pemerintah, sehingga sering disebut juga dengan
kejahatan jabatan (occupational crime).

White collar crime ini seperti banyak terjadi dalam bentuk korupsi dan
penyuapan, sehingga terjadi penyalahgunaan kewenangan publik.
Korupsi dan suap-menyuap yang terjadi di kalangan penegak hukum,
seperti polisi, jaksa, dan hakim adalah hal yang sangat gencar
dibicarakan di mana-mana, di samping korupsi di kalangan anggota
legislatif dan eksekutif.1

Berbeda dengan kejahatan konvensional yang melibatkan para pelaku


kejahatan jalanan (street crime, blue collar crime, blue jeans crime),
perbuatan white collar crime ini jelas merupakan kejahatan kelas tinggi
karena sama saja menjarah dana negara yang nilainya sangat besar.
White collar crime ini sangat sulit untuk di ungkap sehingga perlu
penanganan yang ekstra, khusus dan serius untuk ditangani.

Masalah korupsi bukan lagi masalah baru dalam persoalan hukum dan
ekonomi bagi suatu negara karena masalah korupsi telah ada sejak
ribuan tahun yang lalu, baik di negara maju maupun di negara
berkembang.

Page 5
Korupsi telah menyelinap masuk dari berbagai penjuru dunia
sehingga menggerogoti keuangan negara, perekonomian negara dan
merugikan kepentingan masyarakat. Korupsi mempengaruhi seluruh
masyarakat dan ekonomi, yang menjadikan kerjasama internasional
untuk mencegah dan mengendalikannya sangat penting.

Oleh karenanya, diperlukan untuk mencegah dan memberantas korupsi


dengan suatu pendekatan secara efektif. Pendekatan dimaksud salah
satunya adalah keberadaan bantuan teknis yang dapat memainkan
peranan penting dalam meningkatkan kemampuan Negara, termasuk
dengan memperkuat kapasitas dan dengan peningkatan kemampuan
lembaga untuk mencegah dan memberantas korupsi secara efektif.

Hal yang sangat sulit untuk dipecahkan di berbagai Negara di


Dunia termasuk juga di Indonesia adalah kejahatan korupsi. Korupsi di
Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus
meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan
jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak
pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang
memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak
pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja
terhadap 4 kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada
kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya.

Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan


pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hakhak ekonomi masyarakat,
dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat
digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) melainkan telah
menjadi suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang
penanganannya harus benar-benar didahulukan dari kejahatan
biasa.

Page 6
Begitupun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat
dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Hasil
survei Transparansi Internasional Indonesia (TII)
menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara paling korup nomor 6
(enam) dari 133 negara. Di kawasan Asia, Bangladesh dan Myanmar
lebih korup dibandingkan Indonesia. Nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK),
ternyata Indonesia lebih rendah dari pada negara papua nugini, vietnam,
philipina, Malaysia dan Singapura. Sementara itu pada tingkat dunia,
negara-negara yang ber-IPK lebih buruk dari Indonesia merupakan
negara yang sedang mengalami konflik.2

Korupsi yang semakin meluas membuat para petinggi Negara yang


tidak pernah diduga-duga pun melakukan kejahatan ini. Satu-satu nya
kepercayaan terhadap Lembaga Negara ter-Tinggi di Indonesia juga
sudah ter-doktrin untuk melakukan kejahatan ini.

Para pejabat negara seperti berlomba-lomba mendapatkan kekayaan


secara instan untuk di simpan di masa tua nanti. Negara ini seperti sudah
di butakan oleh kekuasaan, jabatan dan uang. Sebagian besar oknum-
oknum penegak hukum di Indonesia termasuk dalam instansi
pemerintahan seperti sekarang ini sepertinya tidak ada yang tidak
melakukan kejahatan korupsi.

Berbagai usaha telah dilakukan untuk memberantas korupsi namun


belum memberikan hasil yang memuaskan. Korupsi merupakan kasus
yang sangat sulit di selesaikan oleh pemerintah, maka dari itu kasus ini
menjadi pekerjaan rumah untuk pemerintah agar segera dapat
terselesaikan.

Upaya pemberantasan korupsi telah direalisasikan dalam kerangka


yuridis dengan keluarnya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menggantikan
UndangUndang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.

Page 7
Alasan pergantian Undang-Undang Korupsi dari Undang-Undang No. 3
Tahun 1971 menjadi Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat dilihat dalam diktum
Undang-Undang N0. 31 Tahun 1999 sebagai berikut:

o Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
kebutuhan dalam masyarakat, karena itu perlu diganti dengan Undang -
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga
diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak
pidana korupsi.

o Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi juga telah diubah dengan Undang-Undang
Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
UndangUndang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.


Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dicantumkan dan ditetapkan mengenai pelaku, bentuk
dan jenis tindak pidana korupsi. Potential offenders tersebut antara lain
advokat, polisi, jaksa, hakim, direksi Badan Usaha Milik Negara/BUMS,
penyelenggara negara termasuk anggota legislatif dan instansi
pemerintah dan anggota masyarakat biasa.3

Page 8
Penafsiran mengenai rumusan pegawai negeri dan orang-orang yang
menerima bantuan dari negara sebagaimana dirumuskan kembali
menjadi pegawai negeri atau penyelenggara negara atau orang lain,
berdasarkan ketentuan yang lama diperjelas oleh Putusan Mahkamah
Agung RI Nomor 652 K/KR/1980 yang menyatakan pegawai
negeri menurut pengertian hukum administrasi negara dan orang-orang,
badan yang menerima bantuan dari negara, di mana pengertian
semacam ini tidak diterima secara penuh mengingat tindak pidana
korupsi adalah delik formil baik merugikan keuangan negara atau
keuangan masyarakat.4
1

1
Jawade Hafidz Arsyad, 2013, Korupsi Dalam Perspektif HAN
Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 2
2
Evi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi,
Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 2.
3
Mia Amiati Iskandar. 2013. Perluasan Penyertaan Dalam Tindak Pidana Korupsi Menurut
UNCATOC 2000 dan UNCAC 2003
Jakarta: REFERENSI (GP Press Group). Hal. 319.
4
Ibid. Hal. 320.

Page 9
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan korupsi?
2. Apa sajakah Bentuk, jenis, ciri-ciri, sebab-sebab, serta langkah-langkah
pemberantasan korupsi
3. Bagaimana fenomena korupsi di Indonesia ?
4. Upaya apa yang dapat ditempuh dalam pemberantasan korupsi ?

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Korupsi berasal dari bahasa latin corruption yaitu dari kata kerja corrumpere
yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok.
Secara harfiah, korupsi diartikan sebagai perilaku pejabat publik, baik
politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak
legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya,
dengan menyalahgunakan publik yang dipercayakan kepada mereka.
5
Mengenai pengertian korupsi terdapat dalam Undang - Undang Tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 1 angka 1;

“ Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam


Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang -Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi .5

6
Menurut Prof. Subekti pengertian korupsi adalah suatu tindakan perdana
yang memperkaya diri yang secara langsung merugikan negara atau
perekonomian negara. Secara otomatis seseorang yang melakukan korupsi

Page 10
merugikan banyak masyarakat luas, tanpa memikirkan dampak dari hal
negative nya.

Menurut Peter Eigen, President Transparency International (TI), selama enam


tahun terakhir tidak ada perbaikan terhadap Indeks Persepsi Korupsi (IPK)
Indonesia (Media Indonesia, tanggal 11 Maret 2003, hal 12). Padahal
sebenarnya ada harapan perbaikan karena adanya perubahan pemerintah
sejak masa reformasi.6

2. Bentuk, jenis, ciri-ciri, sebab-sebab, serta langkah-langkah


pemberantasan korupsi

 Bentuk dan jenis korupsi

Mochtar Lubis membedakan korupsi dalam tiga jenis yaitu sebagai berikut :

a) Penyuapan, apabila seorang pengusaha menawarkan uang atau jasa


lainkepada seseorang atau aparat negara untuk suatu jasa bagi pemberi
uang
b) Pemerasan, apabila orang yang memegang kekuasaan
menuntutmembayar uang atau jasa lain sebagai ganti atas imbal balik
fasilitasyang diberikan
c) Pencurian, apabila orang yang berkuasa menyalahgunakan
kekuasaandan mencuri harta rakyat, langsung atau tidak langsung.
Adapun Syed Hussein Alatas menyebutkan tiga tipe fenomenadalam
korupsi yaitu penyuapan, pemerasan dan nepotisme.

 Ciri-ciri Korupsi
Menurut Syed Hussein Alatas, ciri-ciri korupsi adalah sebagai berikut;
a) Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang
b) Korupsi pada umumnya melibatkan keserba rahasiaan
c) Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik
d) Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha
menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik pembenaran
hukum.

Page 11
e) Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan
keputusan-keputusan yang tegas dan mereka yang mampu untuk
memengaruhi keputusan-keputusan itu.
f) Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan
publik atau masyarakat umum.
g) Setiap bentuk korupsi adalah suatu penghianatan kepercayaan.

 Sebab – sebab korupsi

Sebab-sebab KorupsiMenurut Syed Hussein Alatas antara lain :

a) Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku antikorupsi


b) Kemiskinan
c) Kurangnya pendidikan
d) Tiadanya tindak hukum yang tegas
e) Struktur pemerintah
f) Perubahan radikal
g) Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika
h) Keadaan masyarakat

 Langkah pemberantasan korupsi

Upaya yang dapat dilakukan dengan langkah-langkah :


a. Pemberlakuan berbagai UU yang mempersempit peluang korupsi
b. Pembentukan berbagai lembaga yang diperlukan untuk mencegah
korupsi
c. Pelaksanaan sistem rekruitmen aparat secara adil dan terbuka
d. Peningkatan kualitas kerja berbagai lembaga independen
masyarakat untuk memantau kinerja para penyelenggara negara
e. Pemberian gaji dan kesejahteraan pegawai yang memadai.

Cara yang kedua yang ditempuh untuk menindak lanjuti korupsi


adalah :
a. Pemberian hukum secara sosial dalam bentuk isolasi kepada
para koruptor

Page 12
b. Penindakan secara tegas dan konsisten terhadap setiap aparat
hukum yang bersikap tidak tegas dan meloloskan koruptor dari
jerat hukum

Penindakan secara tegas tanpa diskriminasi sesuai dengan peraturan

c. Penindakan secara tegas tanpa diskriminasi sesuai dengan


peraturan perundang undangan yang berlaku terhadap para
pelaku korupsi
d. Memberikan tekanan langsung kepada pemerintah dan
lembagalembaga penegak hukum untuk segera memproses
secara hukum para pelaku korupsi.
Salah satu langkah nyata dalam upaya pemberantasan korupsi
secara represif adalah dengan ditetapkannya UU No. 46 Tahun 2003
tentang Pengendalian Tindak Pidana Korupsi. Hakim dalam pengadilan
tindak Pidana Korupsi terdiri dari hakim ad hoc yang persyaratan dan
pemilihan serta pengangkatannya berbeda dengan hakim pada
umumnya. Keberadaan hakim ad hoc diperlukan karena keahliannya
sejalan dengan kompleksitas perkara tindak pidana korupsi, baik yang
menyangkut modus operandi, pembuktian, maupun luasnya cakupan
tindak pidana korupsi yang antara lain di bidang keuangan dan
perbankan, perpajakan, pasar modal , pengadaan barang dan jasa
pemerintah.
7
Korupsi saat ini sudah menyebar ke kalangan legislative dan partai politik.
Elite politik belum mempunyai kemauan yang serius untuk memberantas
korupsi. Seiring berakhirnya dominasi kekuasaan ke legislative dan maraknya
pertumbuhan partai politik, korupsi yang dulu didominasi birokrasi
pemerintahan sekarang menyebar ke kalangan legislative dan partai politik.

Berbagai kalangan pesimistis pemerintah akan mampu menyelesaikan


permasalahan korupsi.

Dalam negara dengan tingkat korupsi besar, pemerintahannya sudah tidak


memiliki kredibilitas karena pemerintah sudah menjadi bagian korupsi dan
tidak bisa diharapkan menjadi pemecah masalah (problem solver).

Page 13
Pihak swasta sering terjebak di dalam persoalan ini. Sector swasta sebenarnya
adalah korban dari jebakan korupsi tersebut. Akan tetapi, disisi lain, dengan
alasan kondisi korupsi yang membudaya, pihak swasta menjadi 2terlibat dalam
korupsi. Korupsi itu sangat memprihatinkan kalangan wirausaha. Kepercayaan
public akan hilang dan berisiko terhadap reputasi dan bisnis

Korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini sudah dalam posisi yang sangat
parah dan begitu mengakar dalam setiap sendi kehidupan. Perkembangan
praktek korupsi dari tahun ke tahun semakin meningkat, baik dari kuantitas
atau jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas yang semakin
sistematis, canggih serta lingkupnya sudah meluas dalam seluruh aspek
masyarakat.

Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa


bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga
pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya.

Maraknya kasus tindak pidana korupsi di Indonesia, tidak lagi mengenal batas-
batas siapa, mengapa, dan bagaimana. Tidak hanya pemangku jabatan dan
kepentingan saja yang melakukan tindak pidana korupsi, baik di sektor publik
maupun privat, tetapi tindak pidana korupsi sudah menjadi suatu fenomena.

Penyelenggaraan negara yang bersih menjadi penting dan sangat diperlukan


untuk menghindari praktek-praktek korupsi yang tidak saja melibatkan pejabat
bersangkutan, tetapi juga oleh keluarga dan kroninya, yang apabila dibiarkan,
maka rakyat Indonesia akan berada dalam posisi yang sangat dirugikan.

Menurut Nyoman Serikat Putra Jaya, menyebutkan bahwa tindak pidana


korupsi tidak hanya dilakukan oleh penyelenggara negara, antar penyelenggara
negara, melainkan juga penyelenggara negara dengan pihak lain seperti
keluarga, kroni dan para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta membahayakan eksistensi
negara.7

5
UU KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI & UU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing. Hal. 3
6
BUKU HADI SETIA TUNGGAL, SH., Hal. iii

Page 14
 Fenomena Korupsi di Indonesia
Fenomena umum yang biasanya terjadi di negara berkembang
contohnya Indonesia ialah :

a) Proses modernisasi belum ditunjang oleh kemampuan sumber


daya manusia pada lembaga-lembaga politik yang ada.
b) Institusi-institusi politik yang ada masih lemah disebabkan oleh
mudahnya “ok-num” lembaga tersebut dipengaruhi oleh kekuatan
bisnis/ekonomi, sosial, keaga-maan, kedaerahan, kesukuan, dan
profesi serta kekuatan asing lainnya.
c) Selalu muncul kelompok sosial baru yang ingin berpolitik, namun
sebenarnya banyak di antara mereka yang tidak mampu.
d) Mereka hanya ingin memuaskan ambisi dan kepentingan
pribadinya dengan dalih “kepentingan rakyat”.

Sebagai akibatnya, terjadilah runtutan peristiwa sebagai berikut :

a. Partai politik sering inkonsisten, artinya pendirian dan


ideologinya sering berubah - ubah sesuai dengan
kepentingan politik saat itu.
b. Muncul pemimpin yang mengedepankan kepentingan
pribadi daripada kepenting-an umum.
c. Sebagai oknum pemimpin politik, partisipan dan
kelompoknya berlombalomba mencari keuntungan
materil dengan mengabaikan kebutuhan rakyat.
d. Terjadi erosi loyalitas kepada negara karena menonjolkan
pemupukan harta dan kekuasaan. Dimulailah pola tingkah
para koruptor
e. Sumber kekuasaan dan ekonomi mulai terkonsentrasi
pada beberapa kelompok kecil yang mengusainya saja.
Derita dan kemiskinan tetap ada pada kelompok
masyarakat besar (rakyat).
f. Lembaga-lembaga politik digunakan sebagai dwi aliansi,
yaitu sebagai sektor di bidang politik dan ekonomi-bisnis.

Page 15
g. Kesempatan korupsi lebih meningkat seiring dengan
semakin meningkatnya jabatan dan hirarki politik
kekuasaan.
 Upaya Pemberantasan Korupsi
 Upaya Pencegahan (Preventif)
a. Menanamkan semangat nasional yang positif dengan
mengutamakan pengabdian pada bangsa dan negara melalui
pendidikan formal, informal dan agama.
b. Melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip
keterampilan teknis.
c. Para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana dan
memiliki tanggung jawab yang tinggi.
d. Para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan
ada jaminan masa tua.
e. Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja
yang tinggi.
f. Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki
tanggung jawab etis tinggi dan dibarengi sistem kontrol yang
efisien.
g. Melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat yang
mencolok.
h. Berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi organisasi
pemerintahan melalui penyederhanaan jumlah departemen
beserta jawatan di bawahnya.

 Upaya Penindakan (Kuratif)


Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti
melanggar dengan dibe-rikan peringatan, dilakukan pemecatan tidak
terhormat dan dihukum pidana. Beberapa contoh penindakan yang
dilakukan oleh KPK :

a) Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2


Merk Ple Rostov Rusia milik Pemda NAD (2004).

Page 16
b) Menahan Konsul Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia, EM.
Ia diduga melekukan pungutan liar dalam pengurusan
dokumen keimigrasian.
c) Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan Busway
pada Pemda DKI Jakarta
d) Dugaan penyalahgunaan jabatan dalam pembelian tanah
yang merugikan keuang-an negara Rp 10 milyar lebih
(2004).
e) Dugaan korupsi pada penyalahgunaan fasilitas
preshipment dan placement deposito dari BI kepada PT
Texmaco Group melalui BNI(2004).
f) Kasus korupsi dan penyuapan anggota KPU kepada tim
audit BPK(2005).
g) Kasus penyuapan panitera Pengadilan Tinggi Jakarta
(2005).
h) Kasus penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara
Probosutedjo.
i) Menetapkan seorang bupati di Kalimantan Timur sebagai
tersangka dalam kasus korupsi Bandara Loa Kolu yang
diperkirakan merugikan negara sebesar Rp 15,9 miliar
j) Kasus korupsi di KBRI Malaysia

 Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa

a. Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan


kontrol sosial terkait dengan kepentingan publik.
b. Tidak bersikap apatis (bersikap masa bodoh) dan acuh tak acuh.
c. Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari
pemerintahan desa hingga ke tingkat pusat/nasional.
d. Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang
penyelenggaraan pemerintahan negara dan aspek-aspek
hukumnya.
e. Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan
berperan aktif dalam setiap pengambilan keputusan untuk
kepentingan masyarakat luas

Page 17
8
Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan yang bukan saja dapat
merugikan keuangan negara akan tetapi juga dapat menimbulkan
kerugiankerugian pada perekonomian rakyat.

Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa, tindak pidana korupsi merupakan


perbuatan yang sangat tercela, terkutuk dan sangat dibenci oleh sebagian
besar masyarakat; tidak hanya oleh masyarakat dan bangsa Indonesia tetapi
juga oleh masyarakat bangsa-bangsa di dunia.8

9
Perkembangan korupsi di Indonesia masih tergolong tinggi, sedangkan
pemberantasannya masih sangat lamban. Romli Atmasasmita menyatakan
bahwa korupsi di Indonesia sudah merupakan virus flu yang menyebar ke
seluruh tubuh pemerintahan sejak tahun 1960-an langkah-langkah
pemberantasannya pun masih tersendat-sendat sampai sekarang.

Selanjutnya, dikatakan bahwa korupsi berkaitan pula dengan kekuasaan karena


dengan kekuasaan itu penguasa dapat menyalahgunakan kekuasaannya untuk
kepentingan pribadi, keluarga dan kroninya.9

10
Oleh karena itu, tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai
kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa
(extraordinary crime) 3. Hal ini dikarenakan, metode konvensional yang selama
ini yang digunakan, terbukti tidak bisa menyelesaikan persoalan korupsi yang
ada di masyarakat. Dengan demikian, dalam penanganannya pun juga harus
menggunakan cara-cara luar biasa (extra-ordinary).

Sementara itu, penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia masih


dihadapkan pada beberapa kondisi, yakni masih lemahnya upaya penegakkan
hukum tindak pidana korupsi, kualitas SDM aparat penegak hukum yang masih
rendah, lemahnya koordinasi penegakkan hukum tindak pidana korupsi, serta

7
Nyoman Serikat Putra Jaya. 2005. Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia.
Semarang: Badan Penerbit Undip. Hal. 2
8
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung: Alumni. Hal.
133
9
Romli Atmasasmita. 2004. Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan Aspek Internasional.
Bandung: Mandar Maju. Hal. 1

Page 18
masih sering terjadinya tindak pidana korupsi dalam penanganan kasus
korupsi.

Pada era reformasi sekarang ini, terwujudnya good governance antara lain
harus didukung dengan penegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi.
Hal ini selaras dengan tujuan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor
28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Selanjutnya, beberapa peraturan perundang-undangan dibentuk dalam upaya


memberantas korupsi tersebut, yaitu: Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang Undang Nomor 46 Tahun
2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa, karena dapat
merusak sendi-sendi kehidupan bernegara. Namun demikian, pada
kenyataannya, penjatuhan hukuman kepada pelakunya sangat ringan
dibanding dengan ancaman pidananya, sehingga menimbulkan anggapan
bahwa meningkatnya kejahatan dikarenakan para Hakim memberikan
hukuman ringan atas pelaku koruptor.

Oleh karena itu, sebaiknya tindakan yang diambil pengadilan merupakan


“ultimum remedium” terhadap pelanggar/pelaku kejahatan khususnya korupsi.

Hal ini sebagaimana diketahui dari beberapa hasil putusan perkara tindak
pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Tipikor Semarang sebagai berikut:

1. Putusan Nomor: 48/Pid.Sus/2012/PN.Tipikor.Smg

a) Menyatakan terdakwa BASUKI ABDULLAH tidak terbukti secara sah dan


meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana
disebutkan dalam dakwaan primer.
b) Membebaskan Terdakwa BASUKI ABDULLAH dari dakwaan primer
tersebut.

Page 19
c) Menyatakan terdakwa BASUKI ABDULLAH terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Korupsi secara bersama-
sama sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 Undang-
Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang RI Nomor 20
Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHP dalam dakwaan subsidair.
d) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana
penjara selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan.
e) Menghukum pula terdakwa untuk membayar denda sebesar Rp
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), dengan perintah apabila terdakwa
tidak membayar denda tersebut, maka akan diganti dengan pidana
kurungan selama 3 (tiga) bulan.

2. Putusan Nomor: 01/PID.SUS/2012/PN.Tipikor.Smg

a) Menyatakan Terdakwa WINARYANI binti SUMEDI, tidak terbukti secara


sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana
yang didakwakan dalam dakwaan Alternatif Pertama Primair
b) Membebaskan terdakwa WINARYANI binti SUMEDI oleh karena itu dari
dakwaan Alternatif Pertama Primair tersebut.

c) Menyatakan terdakwa WINARYANI binti SUMEDI tersebut telah terbukti


secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak pidana kejahatan
“Korupsi secara berlanjut” sebagaimana dimaksud dalam dakwaan
Alternatif Pertama Subsidiair.
d) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa WINARYANI binti SUMEDI,oleh
karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan
dan pidana denda sebesar Rp 50.000.000 (Lima puluh juta rupiah),
dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar, maka
diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.
e) Menjatuhkan pidana tambahan kepada terdakwa tersebut di atas,
dengan pidana pembayaran uang pengganti kerugian negara sebesar Rp
198.426.750,- (Seratus sembilan puluh delapan juta, empat ratus dua

Page 20
puluh enam ribu, tujuh ratus lima puluh rupiah) dengan ketentuan jika
dalam waktu 1 (satu) bulan sejak putusan ini berkekuatan hukum tetap
tidak dibayar, harta terdakwa dapat disita jaksa dan dilelang untuk
menutup pidana pembayaran uang pengganti diatas dan jika terdakwa
tidak cukup hartanya untuk membayar uang pengganti kerugian, maka
di pidana dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan.

3. Putusan Nomor: 25/PID/SUS/2012/PN.Tipikor.Smg

a) Menyatakan bahwa Terdakwa MUHAMMAD WAHYU WIBOWO tersebut


terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan “tindak pidana
Korupsi secara bersama-sama” sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 jo.
Undang-Undang RI Nomor : 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang RI Nomor : 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam Dakwaan
subsidair.
b) Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa MUHAMMAD
WAHYU WIBOWO dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan
Menjatuhkan pidana denda sebesar Rp.100.000.000,-.(seratus juta
rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak dibayar diganti dengan
pidana kurungan selama 6 (enam) bulan.

Berdasarkan contoh kasus tindak pidana korupsi di atas, maka dapatdiketahui


bahwa hakim dalam memutuskan seorang terdakwa tindak pidana korupsi
bersalah selalu dengan menerapkan Pasal 3 yang merupakan pasal subsider
sebagaimana dalam surat dakwaan dan bukan dakwaan primer.

Selanjutnya, dalam penjatuhan pidana pun juga terdapat perbedaan yang


mencolok dalam hal lamanya seorang terdakwa dipidana penjara dengan pasal
yang sama, yaitu Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-
Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang RI
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Page 21
Selain itu, dalam praktek juga masih terdapat hal-hal yang terabaikan, karena
pada pertimbangan putusan Hakim yang tidak secara jelas dan tegas
membedakan nilai nominal kerugian negara yang hilang akibat perbuatan
terpidana. Maksudnya adalah bahwa Hakim belum melakukan pembedaan
atas pengertian definisi mengenai unsur memperkaya dan/atau
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi atas setiap
kasus pidana korupsi yang diputuskannya, sehingga mengakibatkan
penjatuhan hukuman menjadi tidak proporsional.

Di samping itu, Hakim dalam putusannya juga tidak mempertimbangkan


keberadaan antara tindak pidana korupsi yang telah merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara dengan tindak pidana korupsi yang akan
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Perbedaan sedemikian seharusnya dikemukakan oleh Hakim dalam


putusannya, sehingga terlihat jelas klasifikasi antara suatu tindak pidana
korupsi yang telah merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
(kerugian negara secara nyata telah terjadi atau keuangan negara sudah
berkurang), dengan tindak pidana korupsi yang akan merugikan negara
(kerugian negara belum terjadi atau keuangan negara masih tetap seperti
sedia kala, tidak berkurang).

Putusan pengadilan pada umumnya masih jauh di bawah batas maksimum dari
pidana yang ditetapkan dalam undang-undang. Hakim dalam menjatuhkan
putusan pemidanaan terkait kasus korupsi menerapkan pidana yang cukup
jauh di bawah ketentuan maksimum pemidanaan dalam Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Page 22
Lebih jauh lagi, pengadilan dalam menjatuhkan putusan pemberian sanksi
pidana kepada para koruptor, ternyata memberikan hukuman yang berbeda-
beda antara pelaku yang satu dengan pelaku yang lain. Dengan kata lain,
terjadi suatu disparitas pemidanaan, yaitu penerapan pidana yang tidak sama
terhadap tindak pidana yang sama.10

10
Sigid Suseno dan Nella Sumika Putri. 2013. Hukum Pidana Indonesia: Perkembangan dan
Pembaharuan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal. 88

Page 23
BAB III

PENUTUP

 KESIMPULAN
Dari teori yang telah kami sajikan, dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut :
a. Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang
negara atau perusahaaan) dan sebagainya untuk
keuntungan pribadi atau orang lain serta selalu
mengandung unsur “penyelewengan” atau dishonest
(ketidakjujuran).
b. Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde Lama sekitar
tahun 1960-an bahkan sangat mungkin pada tahun-tahun
sebelumnya. Korupsi di Indonesia semakin banyak sejak
akhir 1997 saat negara mengalami krisis politik, sosial, dan
kepercayaan yang pada akhirnya menjadi krisis
multidimensi.
c. Rakyat kecil umumnya bersikap apatis & acuh tak acuh.
Kelompok mahasiswa sering menanggapi permasalahan
korupsi dengan emosi & demonstrasi.
d. Fenomena umum yang biasanya terjadi di Indonesia ialah
selalu muncul kelompok sosial baru yang ingin berpolitik,
namun sebenarnya banyak di antara mereka yang tidak
mampu. Mereka hanya ingin memuaskan ambisi dan
kepentingan pri-badinya dengan dalih “kepentingan
rakyat”.
e. Peran serta pemerintah dalam pemberantasan korupsi
ditunjukkan dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
dan aparat hukum lain. KPK yang ditetapkan melalui
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi,
menanggulangi dan memberantas korupsi.
f. Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam
memberantas tindak korupsi di Indonesia, antara lain
:upaya pencegahan (preventif), upaya penindakan (kuratif),

Page 24
upaya edukasi masyarakat/mahasiswa dan upaya edukasi
LSM.

 SARAN

a) Perlu dikaji lebih dalam lagi tentang teori upaya pemberantasan korupsi
di Indonesia agar mendapat informasi yang lebih akurat.
b) Diharapkan para pembaca setelah membaca makalah ini mampu
mengaplikasi-kannya di dalam kehidupan sehari-hari.

Page 25
DAFTAR PUSAKA

Jawade Hafidz Arsyad, 2013, Korupsi Dalam Perspektif HAN Jakarta: Sinar
Grafika. Hal. 2

Evi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 2.

Mia Amiati Iskandar. 2013. Perluasan Penyertaan Dalam Tindak Pidana Korupsi
Menurut UNCATOC 2000 dan UNCAC 200 Jakarta: REFERENSI (GP Press Group).
Hal. 319.

Ibid. Hal. 320.

UU KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI & UU TINDAK PIDANA


PENCUCIAN UANG Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing. Hal. 3

BUKU HADI SETIA TUNGGAL, SH., Hal. Iii

Nyoman Serikat Putra Jaya. 2005. Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
di Indonesia. Semarang: Badan Penerbit Undip. Hal. 2

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung:
Alumni. Hal.133

Romli Atmasasmita. 2004. Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan Aspek
Internasional. Bandung: Mandar Maju. Hal. 1

Sigid Suseno dan Nella Sumika Putri. 2013. Hukum Pidana Indonesia:
Perkembangan dan Pembaharuan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal. 88

Page 26

Anda mungkin juga menyukai