PENDAHULUAN
Pada tahun 2003 di lokasi Rawa Muning telah terjadi penyusutan jumlah
transmigran, jumlah KK untuk UPT Muning I 68 KK dan Muning II 43 KK
sedangkan pada Muning III tidak ada penghuninya. Kondisi alam yang mengganggu
kelangsungan kehidupan transmigran adalah genangan banjir pada areal usaha tani
pada saat musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Hal ini disebabkan oleh
adanya limpasan air banjir dari daerah hulu yang mempunyai kondisi topografi yang
tinggi, fasilitas bangunan tata air yang ada kurang berfungsi maksimal seperti pintu
tersier yang rusak yang mengakibatkan terganggunya tata air makro, dan belum
adanya sistem tata air mikro (Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, 2003). Lahan
pertanian Rawa Muning pada dasarnya berpotensi untuk menambah stok pangan,
khususnya beras, hal ini dibuktikan dengan pernah terjadinya panen raya di Rawa
Muning tahun 90-an, yaitu di awal-awal pengembangan lahan pertanian rawa. Namun
setelah itu hasil pertanian dari lahan ini semakin menurun, disebabkan berbagai faktor
seperti kerusakan lahan, dan berkurangnya transmigran, padahal dilain pihak upaya
perluasan lahan untuk pertanian ini semakin bertambah.
Lahan pertanian rawa dalam sebuah sistem merupakan sebuah objek yang
bekerja untuk tujuan penambahan produksi pertanian. Sistem adalah keseluruhan
interaksi antar unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja
mencapai tujuan. Pengertian dari keseluruhan adalah lebih dari sekedar penjumlahan
atau susunan (aggregate), yaitu terletak pada kekuatan (power) yang dihasilkan oleh
keseluruhan, itu jauh lebih besar dari suatu penjumlahan atau susunan (Muhammadi,
Aminullah, E., Soesilo, B., 2001). Syarat awal berpikir sistemik adalah adanya
kesadaran untuk mengapresiasi dan memikirkan kejadian sebagai sebuah sistem
(systemic approach). Kejadian apapun baik fisik maupuan non fisik, dipikirkan
sebagai unjuk kerja atau dapat berkaitan dengan unjuk kerja dari keseluruhan interaksi
antar unsur sistem dalam batas lingkungan tertentu. Dalam sistem pemanfaatan Rawa
Muning untuk pertanian, bekerja faktor-faktor yang saling mempengaruhi dan saling
terkait sehingga tujuan yang diinginkan tercapai. Adanya penurunan jumlah petani
transmigrasi dan rusaknya tata air menunjukan terganggunya kerja pada sistem, untuk
itu perlu dibuat suatu model sistem dinamik untuk mengetahui pemanfaatan rawa ini
menjadi lahan pertanian apakah dapat terus dilakukan. Walaupun yang diambil Rawa
Muning Kabupaten Tapin, namun model ini pada dasarnya dapat dimanfaatkan untuk
melihat pemanfaatan lahan rawa pada umumnya.
Sistem tata air yang berada di lokasi Rawa Muning termasuk dalam tipe D
sesuai klasifikasi Sistem Tata Air P2DR maupun DPUP Kalimantan Selatan, yaitu
kombinasi antara saluran dan pintu, diharapkan dengan sarana pintu pengendalian
saluran pembuang lebih efektif dan pintu ditempatkan pada sungai dan saluran utama.
Sistem tata air terbagi menjadi dua yaitu:
Sistem sungai yang berpengaruh langsung terhadap daerah Rawa Muning adalah
Sungai Tatakan, Sungai Nupadang, Sungai Bujur (Kumpai), Sungai Tambarangan,
Sungai Batu dan Sungai Bahalang.
Daerah hilir (lowland) berfungsi sebagai pembuang utama adalah Sungai Muning
dan Sungai Negara melalui Antasan Puting.
Terdiri dari Saluran Primer Muning, Saluran Primer Jepang, Saluran Primer
Pandahan, Saluran Primer Adhi Karya, Kolektor Antasan Kalangan, Kolektor
Panaga.
Kondisi sebagian anak-anak sungai yang ada telah terpotong alurnya sehingga
muara anak-anak sungai tersebut menyebar di areal pengembangan Rawa Muning.
Sistem tata saluran yang ada tidak dikondisikan untuk mengatasi debit banjir yang
datang dari luar lokasi (upland). Sumbangan debit dari daerah atas mengakibatkan
salah satu penyebab banjir di lahan rawa.
Fungsi saluran pada Rawa Muning saat ini sebagai drainase, terutama pada
saat musim hujan untuk menanggulangi beban akibat limpahan air hujan yang
berlebihan, selain itu sebagai proses pencucian lahan dari keasaman tanah. Penurunan
fungsi saluran antara lain disebabkan oleh:
1) Pendangkalan akibat tumbuh rumput purun tikus dan purun walut, hambatan ini
berkisar dari 20-40% dari luasan saluran
2) Kedalaman dasar saluran yang tidak sesuai dengan perencanaan, akibat kurang
pengawasan dalam pelaksanaan di lapangan
3) Hampir semua sistem bangunan tersier tidak dilengkapi dengan pintu pengontrol
4) Belum adanya bangunan pengendali pintu di hulu untuk pengendalian banjir akibat
debit upland.
Perhitungan debit pada saluran Rawa Muning didasarkan pada rumus Manning,
dengan kondisi n= 0,08 (saluran yang digali, tidak terawat dengan banyak tanaman
pengganggu setinggi air ( Chow, 1992 hal. 101)) . Besarnya debit total di saluran
Rawa Muning adalah 65,9893 m3/det.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, 2003 debit up land
dan debit di saluran pada lahan Rawa Muning adalah sebagai berikut:
Luas Debit
Sungai Catchment 2Th 5Th 10Th
( Km2 ) (m3/det) (m3/det) (m3/det)
Sei Tatakan 63,75 58,12 79,05 92,86
Sei
Nupadang 17,73 23,25 31,62 37,15
Sei Kumpai 4,03 6,84 9,31 10,93
Sei
Tambarangan 8,19 13,58 18,47 21,69
Sungai Batu 12,48 24,07 32,74 38,46
Sungai
Bahalang 5,68 14,88 20,24 23,78
Jumlah 111,86 140,74 191,43 224,87
Hasil identifikasi terhadap tata air pertanian Rawa Muning, ditemukan kondisi
sebagai berikut :
1.Lahan pertanian Rawa Muning dipengaruhi oleh dua musim, yaitu musim hujan dari
bulan Desember sampai bulan April yang merupakan musim tanam, dan musim
kemarau dari bulan Juni sampai bulan Desember adalah musim tunggu dan panen.
2. Pada bulan basah (Nopember sampai April) mempunyai curah hujan bulanan lebih
dari 100 mm ( kebutuhan air musim kemarau 160 mm) dan bulan kering (Mei
sampai Oktober) mempunyai curah hujan kurang dari 100 mm (kebutuhan air
musim hujan 110 mm)
3.Areal persawahan Rawa Muning merupakan areal persawahan tadah hujan, dan
dapat dikategorikan lebak
5.Kondisi kualitas air pada lahan Rawa Muning, pada saluran hilir pH 6,0. saluran
tengah pH 3,0. pH air genangan di UPT I : 3 - 4.
6.Oksidasi pirit dapat terjadi secara alami pada musim kemarau atau akibat
pengelolaan tanah terlalu dalam atau timbunan tanah hasil galian menyebabkan pirit
teroksidasi menjadi asam sulfat (H2SO4).
10. Sistem tata air Rawa Muning termasuk dalam tipe D yang terbagi atas 2 bagian
yaitu sistem tata air upland dan sistem tata air internal.
11. Kondisi tata air tidak dikondisikan untuk mengatasi debit upland
14. Transmigran menggunakan sistem pertanian tadah hujan dengan pola tanam 1 kali
setahun
1.Penyusunan sistem tata air pertanian ini tidak memperhitungkan kondisi bibit,
pemupukan, hama dan hal-hal lain yang menyangkut tata tanam.
2.Pirit akan terjadi dari ke dalaman gali – 0,50 meter
3.Luas lahan 6239 ha merupakan lahan pertanian tadah hujan
4.Jumlah transmigran pada tahun 1994 adalah 950 kk ,2003 adalah 111 kk dan 2007
sebanyak 79 kk
5.Koefisien n yang digunakan merupakan koefisien yang didasarkan kondisi lapangan
yaitu Koefisien Manning untuk n1= 0,08 dan n2 = 0,11 dengan ketentuan n1 adalah
kekasaran saluran yang digali tidak terawat dan banyak tumbuh tanaman
pengganggu sedangkan n2 adalah faktor pertumbuhan gulma.
6.Model menggambarkan pola atau perilaku selama 15 tahun periode sedangkan sub
model dengan periode 25 tahun disesuaikan dengan data yang ada dengan prediksi
akhir di tahun 2018
7.Model disusun khusus untuk mengetahui kondisi genangan dan prediksi hasil
pertanian.
Analisis Deskriftif
Debit upland yang sangat besar memberikan pengaruh genangan pada lahan,
Dimensi saluran yang tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang akibat adanya
pendangkalan dan dipenuhi dengan tumbuhan pengganggu,
Kondisi kualitas air yang tidak sesuai untuk tanaman padi mengakibatkan banyak
tumbuh tanaman pengganggu,
Akibatnya kemampuan saluran semakin menurun dengan tidak adanya usaha
pemeliharaan.
Variabel yang menunjukkan besarnya perubahan kondisi tata air dan merusak
sistem pertanian adalah:
Genangan rutin setiap tahun dari tahun 2003 sampai dengan 2018 sebesar ±0,5
meter yang terjadi pada setiap musim tanam
Penurunan fungsi saluran dari tahun 2003 sampai dengan 2018 adalah 2,53%
Penurunan pada jumlah lahan tergarap dari tahun 1994 sampai dengan 2018 sebesar
99,54%
Penurunan produksi dari tahun 1994 sampai 2018 sebesar 85,46%
Kondisi sistem tata air yang tidak mendukung produksi pertanian ini
merupakan faktor utama yang menyebabkan transmigran tidak bisa meneruskan
usahanya di Rawa Muning. Genangan rutin yang terjadi akibat musim hujan
menjadikan lahan tidak bisa diusahakan secara maksimal. Bila genangan dikaitkan
dengan tofografi lahan maka hanya sebagian lahan saja yang dapat diusahakan.
Kondisi tofografi lahan Rawa Muning dapat di lihat pada tabel di bawah ini.
Luas
Elevasi Lahan
ha %
Rata-rata genangan yang terjadi berkisar dari 0,50 – 0,56 meter dengan acuan
ketinggian dari elevasi +0,00 maka lahan yang tidak terendam pada saat musim tanam
hanya sekitar 3615 ha.
Pada saat musim tanam (Desember – Pebruari) bibit tidak boleh ditanam pada
lahan yang mempunyai ketinggian air lebih dari tinggi bibit ( bibit biasanya memiliki
tinggi rata-rata 20-30 cm). Berarti hanya pada lahan yang mempunyai ketinggian air
yang cukup untuk tanam saja dapat diusahakan. Akibatnya transmigran yang berada
pada elevasi terendam tidak dapat bertanam karena adanya genangan. Saat ini semua
pintu air yang berada pada saluran dalam kondisi tidak berfungsi (rusak) jadi tidak
bisa mengatur tinggi air yang cukup di lahan.
Kondisi ini diperparah bila kualitas air dan tanah di lahan tidak memenuhi
syarat untuk penanaman padi (masam). Berarti harus ada usaha perbaikan dengan
pemupukan, sedangkan daya beli petani sangat rendah karena selama ini produksi
pertanian hanya menghasilkan padi kurang dari 50% per ha –nya (produksi ideal padi
lokal 3 ton/ha, yang terjadi 0,7 ton/ha). Akibatnya kemampuan petani dalam
menggarap lahan sangat terbatas, sehingga banyak transmigran meninggalkan lokasi.
KESIMPULAN
Kesimpulan
Debit upland yang sangat besar memberikan pengaruh genangan pada lahan,
Dimensi saluran yang tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang akibat adanya
pendangkalan dan dipenuhi dengan tumbuhan pengganggu,
Kondisi kualitas air yang tidak sesuai untuk tanaman padi mengakibatkan
banyak tumbuh tanaman pengganggu,
Akibatnya kemampuan saluran semakin menurun dengan tidak adanya usaha
pemeliharaan.
2.Hasil simulasi model sistem dinamis tata air pertanian Rawa Muning menunjukkan
terjadi genangan setiap tahun pada lahan pertanian 0,50 – 0,56 meter yang
mengakibatkan terganggunya produksi. Penurunan fungsi saluran dari tahun 2003
sampai dengan 2018 adalah 2,53%
Penurunan pada jumlah lahan tergarap dari tahun 1994 sampai dengan 2018 sebesar
99,54% akibatnya produksi juga mengalami penurunan dari tahun 1994 sampai
2018 sebesar 85,46%
3.Mengacu dari hasil simulasi model dinamis dengan Powersim tergambar bahwa
kondisi tata air sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan pertanian di lahan Rawa
Muning.
Bila sistem tata air ini tidak diperbaiki maka semakin banyak lahan
bero/terlantar yang mengakibatkan hilangnya matapencaharian transmigran dan
akhirnya hal ini menjadikan alasan yang kuat untuk meninggalkan lahan. Sisi
negatifnya akan semakin banyak pengangguran yang terjadi di Kabupaten Rantau
dan akhirnya memperburuk perekonomian daerah.
Saran
1. Dalam membangun sistem dinamis kelengkapan data sangat perlu dilakukan agar
simulasi yang dihasilkan sesuai dengan logika dan kecendrungan yang terjadi di
lapangan.
2. Diperlukan studi khusus untuk memperbaiki kondisi Rawa Muning dari berbagai
faktor agar dapat dimanfaatkan lagi semaksimal mungkin, dengan
memperhitungkan harapan transmigran terhadap kondisi Rawa Muning.
LAMPIRAN