BAB 2
KONDISI EKOSISTIM
DANAU MANINJAU
Danau Maninjau Terletak di Kabupaten Agam yang merupakan salah satu kabupaten di
Propinsi Sumatera Barat dengan ibukota kabupaten Lubuk Basung. Secara Astronomis
Kabupaten Agam terletak Antara 00o01'34'' - 00o28'43'' Lintang Selatan dan 99o46'39'' -
100o32'50'' Bujur Timur
Kondisi geografis Kabupaten Agam terbentang mulai dari ketinggian 0 hingga lebih dari
1000 meter di atas permukaan laut.
Danau Maninjau seluruhnya berada pada wilayah Kecamatan Tanjung Raya yang
beribukota di Nagari Maninjau dimana jarak tempuh ke ibukota kabupaten Agam yaitu
Lubuk Basung sejauh 29 km sedangkan jarak tempuh ke Ibukota Provinsi Sumatera
Barat yaitu Padang sejauh 143 km. Letak Geografis Kecamatan Tanjung Raya nya
sendiri adalah 100o05 – 10016 BT dan 0⁰12 – 0⁰25 LS
Danau maninjau merupakan danau tipe vulkano tektonik, yang diduga masih terdapat
aktivitas vulkanik di daerah tersebut dengan ditandai munculnya belerang pada saat
tertentu. Bentuk kaldera yang memanjang menunjukkan masa erupsi yang lama pada
waktu terjadi pergeseran lateral kanan pada jalur patahan utama Sumatera. Gunung
Maninjau tidak memperlihatkan sebuah gunung api sempurna, hanya berbentuk
Berdasarkan data yang ada saat ini Danau Maninjau yang berada dalam wilayah
Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam Sumatera Barat mempunyai luas
permukaan A = 97,63 km2 dengan luas daerah tangkapan air mencapai 13.2600 ha
dan kedalaman maksimum danau mencapai ± 178 m. Secara garis besar dapat
digabarkan sebagai berikut
Dari data debit yang ada diketahui kondisi muka airnya dan dapat dilihat pada gambar
di bawah ini :
Dari grafik diatas diperoleh elevasi muka air terendah selama periode 6 tahun terakhir
berada pada elevasi 462.28 mdpl dan elevasi muka air terendah berada pda posisi
464.10 mdpl
danau Maninjau sebesar 4 meter. Perubahan ini karena adanya endapan sediment
akibat erosi karena terbukanya lahan-lahan di sekitar danau Maninjau
Sumber : Hasil studi PSL Unand 1984 dan LPPM Bung Hatta 2005
Dari hasil penelitian Yang Diselenggarakan Oleh Limnologi LIPI seperti disajikan pada
Tabel diatas, ternyata jenis ikan lokal yang terdapat di Danau Maninjau sudah
berkurang dari 14 spesies menjadi 7 spesies. Penyebab berkurangnya ikan lokal
antara lain oleh penangkapan yang tidak terkendali, perubahan kualitas air, adanya
ikan pemakan telur dan terputusnya ruayanya ikan antara sungai dengan danau yang
disebabkan oleh weir PLTA. Jenis ikan yang terputus tersebut antara lain ikan eel/sidat
(ikan panjang), dan ikan garing. Ikan sidat dan ikan garing memiliki nilai ekonomis.
Tingkah laku ikan panjang (sidat) tergolong unik, pada stadia juvenil sampai dewasa,
ikan ini hidup di air tawar seperti pernah ditemukan di danau Maninjau. Proses
pematangan gonad dimulai di danau dan selama perjalanan di sungai menuju laut
dalam. Kemudian ikan ini akan memijah di laut dalam, setelah memijah induk ikan
panjang akan mati, sedangkan larva dananakannya akan kembali ke Danau Maninjau
melalui batang Antokan, akibat dari adanya weir ikan panjang tidak dapat
melaksanakan siklus hidupnya karena ruayanya terputus
Kelimpahan Fitoplankton
banyak terdapat budidaya ikan dengan keramba jarring apung, limbah pellet yang tidak
termakan oleh ikan hasil eksresi dapat meningkatkan kandungan hara berupat Nitrat
dan Fospat. Hasil dekomposisi selalu mengandung nutrient (N dan P) yang dapat
memacu pertumbuhan fitoplankton yang ada, dan jika suplai nutrient terjadi secara
continue bias terjadi blooming yang pada gilirannya akan merugikan kehidupan semua
organisme yang ada dalam badan air tersebut termasuk ikan yang dibudidayakan.
Menurut Michael (1984) nitrat dan fospat merupakan dua unsure hara yang dibutuhkan
oleh fitoplankton dan merupakan factor pembatas untuk pertumbuhan plankton.
Jumlah keramba jaring apung (KJA) di perairan Danau Maninjau pada tahun 1997
adalah 2.854 petak, dan pada tahun 2001 meningkat menjadi 3.500 petak. Akan tetapi
pada tahun 2002 menyusut menjadi 2550 petak, dan tinggal 2.200 petak pada tahun
2004. Penurunan jumlah KJA ini disebabkan bencana kematian ikan, yang disebabkan
proses alami dari belerang yang ada pada lapisan bawah danau serta proses
pencemaran sisa pakan ikan serta penyakit virus ikan .
Namun demikian, sejak tahun 2005 sampai sekarang terjadi lagi peningkatan jumlah
KJA, yaitu sebagai berikut:
a) Jumlah KJA pada tahun 2005 telah meningkat menjadi 4.920 petak
b) Jumlah KJA pada tahun 2006 meningkat pesat menjadi 8.955 petak
c) Jumlah KJA pada tahun 2009 meningkat lagi menjadi 9.830 petak, yang
dikelola oleh 1330 pembudidaya.
d) Jumlah KJA pada tahun 2012 meningkat lagi menjadi 13.627 petak
e) Jumlah KJA pada tahun 2013 meningkat lagi menjadi 16.000 petak
f) Jumlah KJA pada tahun 2012 meningkat lagi menjadi 20.129 petak
Peningkatan KJA di danau Maninjau ini akan lebih jelas dengan melihat grafik di bawah
ini :
Keadaan tutupan lahan di kawasan Danau Maninjau sangat beragam, hal ini terjadi
sebagai akibat proses geologi dan geomorfologi yang terjadi dan interaksi manusia
dengan lingkungannya. Tutupan lahan dibagian lereng kaldera Danau Maninjau yang
curam didominasi oleh tanaman keras tahunan. Sedangkan pada bagian lereng yang
lebih landai dijumpai tanaman tahunan alami dan tanaman kebun yang dibudidayakan
oleh masyarakat seperti cengkeh, lada, jeruk, pisang dan kayu manis. Pada kawasan
yang datar di bagian utara, tutupan lahan didominasi oleh padi sawah dan diselingi
oleh palawija seperti cabe.
a. Permukiman
Penggunaan lahan permukiman di Danau Maninjau adalah seluas 159 Ha atau 1 %
dari luas lahan kawasan danau. Perkembangan permukiman menyebar di pusat
kota Maninjau bagian Timur dan Utara danau. Pemanfaatan lahan untuk
perumahan penduduk relatif kecil apabila dibandingkan dengan luas kawasan
danau. Penyebarannya mengikuti jaringan jalan yang mengelilingi daerah danau,
akan tetapi pembangunan perumahan tersebut tumbuh pada daerah sempadan
dan bantaran pantai danau secara tidak terkendali karena banyak yang menyalahi
ketentuan peraturan pemerintah tentang sempadan danau. Beberapa perumahan
dan hotel bahkan membangun serambi atau dermaga diatas perairan danau.
Hutan lahan kering adalah daerah semak yang merupakan penggunaan lahan
terluas di danau Maninjau yakni 5.939 ha atau 42 % dari luas lahan kawasan
danau. Daerah tersebut berada di bagian Timur dan Utara Danau Maninjau.
c. Hutan alam
Hutan alam berada di bagian timur danau dengan luas 3.917 Ha atau 28 % dari
luas lahan kawasan daratan danau.
d. Sawah
Pertanian sawah merupakan salah satu sumber mata pencaharian penting bagi
masyarakat sekeliling Danau Maninjau karena memiliki potensi tanah yang baik
untuk budidaya pertanian. Penggunaan lahan sawah memiliki luas 2.431 Ha atau
17 % dari luas lahan kawasan danau. Selain itu lahan pertanian di musim hujan
kadang-kadang dimanfaatkan sebagai kolam ikan. Pada umumnya pengairan
pertanian yang ada adalah tadah hujan dan beberapa lokasi tertentu terdapat
irigasi setengah teknis. Kondisi penggunaan lahan pada kelerangan curam adalah
tanaman keras yang bersifat konservasi lahan.
e. Tegalan
Penggunaan lahan tegalan berada di sektiar bagian timur Danau Maninjau. Tegalan
biasanya dimanfaatkan juga untuk pertanian ladang atau palawija yang sifatnya
tidak banyak membutuhkan air seperti pertanian sawah. Luas lahan tegalan
sebesar 1685 Ha atau 12 % dari luas lahan kawasan danau.
Pembuatan zonasi ruang merupakan proses yang penting dalam perencanaan tata
ruang. Tahap ini merupakan proses pembagian batas pada suatu ruang berdasarkan
kenampakan geografis dan aktivitas sosial ekonomi penduduk. Adapun fungsi utama
dari zonasi ruang ini adalah sebagai instrumen pengendalian pembangunan, pedoman
penyusunan rencana operasional, pelengkap rencana rinci tata ruang, menjadi salah
satu dasar dalam pengendalian pemanfaatan ruang, dan sebagai panduan teknis
pengembangan/ pemanfaatan lahan. Data pengukuran topografi dan bathymetri pada
zonasi ruang ini digunakan sebagai gambaran wilayah yang akan dizonasi yang
diperkuat dengan validasi data. Berdasarkan hasil checklist lapangan dan analisis
kondisi lapangan dengan mempertimbangkan berbagai aspek dalam penentuan zonasi
ruang, maka dihasilkan Peta Pola Ruang di Kawasan Danau Maninjau.
Terdapat beberapa hal yang membuat potensi Danau Maninjau sangat besar,
diantaranya adalah fenomena geografis yang tidak terlepas dari perubahan
penggunaan lahan dan juga karena pariwisata yang ada di daerah tersebut.
Terdapatnya beberapa lokasi potensi pariwisata yang bisa dikembangkan, maka
kawasan ini sangat membutuhkan perencanaan tata ruang untuk mengatur tata letak
penggunaan lahan yang ada agar tidak mengganggu kelangsungan penduduk yang
tinggal di sekitarnya. Namun, sebelum dibuat perencanaan tata ruang, harus terlebih
dahulu dibuat zonasi ruang.
Pemanfaatan sumber daya air Danau Maninjau hingga saat ini terutama adalah untuk
pembangkit listrik tenaga air (PLTA Maninjau) dengan kapasitas terpasang sebesar 66
MW. Selain sebagai penunjang utama sektor pariwisata di Kabupaten Agam, Danau
Maninjau juga dimanfaatkan oleh penduduk setempat sebagai lahan mata
pencaharian, berupa berupa kegiatan perikanan Kolam Jaring Apung (KJA) dan Kolam
Air Deras (KAD). Transek skematik kawah Maninjau, menunjukkan pola utama
penggunaan lahan di sekitar Danau Maninjau yang didominasi oleh hutan lindung dan
perkebunan.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan
Pemerintah Finlandia pada tahun 1992 - 1994 terhadap 19 buah danau alamiah di
Indonesia diperoleh hasil bahwa pada beberapa danau sudah mengalami masalah
antara lain terjadi sedimentasi, (berkurangnya kedalaman), berkurangnya volume,
berkurangnya luas, terjadinya pencemaran organik, berkurangnya populasi ikan
bahkan beberapa jenis ikan endemik hampir hilang
Data yang diperoleh dari laporan konservasi Danau Maninjau tahun 2013 untuk
pemanfaatan danau adalah sebagai berikut :
adalah tadah hujan dan beberapa lokasi tertentu terdapat irigasi setengah teknis.
Kondisi penggunaan lahan pada kelerangan curam adalah tanaman keras yang
bersifat konservasi lahan.
2.2.3 Perikanan
Penduduk mengembangkan perikanan kolam di lahan sekeliling danau dan keramba
jaring apung di badan air danau. Lahan pemukiman sekeliling danau banyak dihuni
petani ikan yang membangun KJA sejauh ±100 m kearah perairan danau. Kegiatan
perikanan danau begitu dominan sehingga keramba jaring apung (KJA) banyak
terlihat dari sisi bantaran danau. Pemanfaatan keramba (KJA pada tepi perairan danau
umumnya berdampingan dengan permukiman masyarakat pembudi daya yang
berada di bantaran danau tersebut, namun banyak juga yang berdada di daerah wisata
danau.
PLTA Maninjau dibangun pada tahun 1983 berlokasi pada Desa Lubuk Sao dekat
Sungai Batang Antokan yang merupakan keluaran air danau. Produksi listrik PLTA
Maninjau adalah 205 GW, dari hasil pembendungan danau dengan menaikkan tinggi
muka airnya dari ketinggian 462 meter dari permukaan air laut (ketinggian dasar
S.Antokan) menjadi 464 m. Aliran air keluar danau ini digunakan untuk pembangkit
tenaga listrik melalui bangunan pengambilan air PLTA, dengan debit rata-rata pada
tahun 1983 – 2001 sebesar 13,39 m3/detik. Debit PLTA hampir sama dengan debit
rata-rata Sungai Antokan sebelum dibangun PLTA (1930-1974) yaitu 13,37 m3/dt.
2.2.5 Pariwisata
Danau Maninjau merupakan salah satu kekayaan alam Sumatera Barat yang menjadi
tujuan wisata, termasuk dari luar provinsi. Pemandangan pada danau ini sangat indah,
yang dapat dinikmati hampir pada semua lokasi. Kota Maninjau sebagai ibu kota
kecamatan merupakan pusat wisata yang memiliki akses prasarana transportasi
dengan semua lokasi objek wisata dan pedesaan. Pada kota ini berkembang sarana
hotel dan berbagai kegiatan penunjang transportasi dan wisata. Disamping itu adat
istiadat masyarakat sekitar danau tersebut masih kental dengan unsur budaya yang
berlaku, ini dapat dilihat dari tatacara hidup yang masih berlaku.
Daya tarik Danau Maninjau adalah sebagai berikut (Gambar 2.21):
a. Wisata Panorama Alam. Pegunungan yang indah terlihat dari danau tersebut,
pemandangan dari dataran yang lebih tinggi kearah danau, dan perjalanan sekitar
danau dengan melihat panorama alam.
b. Wisata Air. Bisa dilakukan pada danau tersebut adalah menikmati perairan danau
dengan memanfaatkan perahu yang disewakan oleh masyarakat setempat pada
lokasi-lokasi tertentu. Dengan wisata air tersebut dapat melihat aktifitas nelayan
dan keramba jaring terapung yang menjadi daya tarik tersendiri
Selain itu penginapan sebagai sarana wisata tersedia dengan berbagai jenis,
diantaranya ada hotel-hotel berbintang satu, penginapan kelas melati, ataupun home
stay atau rumah yang disewakan oleh penduduk setempat. Umumnya hotel tersebut
terletak pada bantaran danau, sehingga wisatawan dapat menikmati keindahan alam
dari hotel tersebut namun tidak memenuhi persyaratan sempadan danau.
Lokasi pariwisata umum yang ada di Danau Maninjau antara lain adalah Muko-muko
dekat dari lokasi PLTA. Lokasi tersebut sangat ideal karena berada di pinggir danau
dan dapat dirasakan oleh masyarakat umum.
2.2.6 Transportasi
Danau Maninjau dikelilingi jalan sepanjang garis pantainya, yang menghubungkan
desa-desa disepanjang keliling danau. Jalan penghubung kota Maninjau dengan Lubuk
Basung sebagai ibu kota Kabupaten Agam keluar dari lingkungan danau melalui
Desa Mukomuko dipantai barat danau. Sedangkan jalan menuju Kota Bukitinggi dari
Maninjau yang terletak pada pantai timur berbelok-belok yang dikenal dengan kelokan
44.
2.3 KARAKTERISTIK DANAU
2.3.1 Morfometri dan Barimetri Danau
Tata letak kawasan ini di dalam wilayah fisiografi pegunungan Bukit Barisan dan
karakteristik morfologi hasil erupsi Gunung Api purba mewujudkan morfologi strato
dengan bentang alam sekitar Danau Maninjau yang meliputi perairan danau, pantai
sekeliling danau, satuan dataran di beberapa bagian, tebing kaldera seputar danau
dan region tangkapan air bagi sistem sungai kecil yang mengalir ke dalam perairan
danau.
Di bawah 800 m dpl yang masih tersisa dari hutan asli adalah spesies lapisan atas
seperti jenis-jenis Burseraceae (Canarium, Santiria, Dacryodes), Fagaceae
(Lithocarpus, Quercus), beberapa sisa Dipterocarpaceae (Shorea sumatrana, S.
sororia, Hopea mengarawan, Parashorea lucida), dan sejenis Mimosaceae khas
(Acrocarpus fraxinifolius). Vegetasi lapisan bawah terdiri dari Meliaceae (Aglaia
Sifat masyarakat Minang adalah matrilinial, dengan satuan sosial keluarga luas. Tanah
dan pohon dimiliki secara bersama oleh suku, kerabat seketurunan yang masih
memiliki pertalian darah. Biasanya, tanah sawah dibagi di antara anak perempuan
yang sudah kawin, tetapi untuk tanah parak pembagian dapat hanya menyangkut
pohon atau hasilnya saja tergantung pada beberapa faktor seperti sifat pohon, pola
produksi, orang yang menanam, dan lain-lain. Pemeliharaan kebun bukan penguasaan
atas tanah atau hasil pepohonan dikerjakan oleh seseorang yang mempunyai hak
menanam pohon baru atau tanaman semusim dan memanen hasilnya untuk dirinya
sendiri (untuk pepohonan terutama kopi, kulit manis atau kayu). Tetapi hasil
pepohonan lain (buah-buahan dari pohon berusia panjang dan pala) dibagi di antara
anggota suku. Pengambilan keputusan mengenai penjualan atau penggadaian
sebidang tanah atau pohon harus dibuat bersama. Sistem kepemilikan tanah ini
merupakan pengaman dari pemecahan dan fragmentasi lahan produktif secara
berlebihan serta penumpukan pemilikan tanah oleh orang-orang kaya saja. Hal ini juga
mengurangi kemungkinan perubahan mendadak sistem pertanian, karena tanah tidak
dapat dijual atau diubah peruntukkannya dan pohon tidak dapat ditebang atas dasar
keputusan perorangan (Ok Kung Pak, 1982).
Saat ini, kepedulian terhadap ekosistem perairan Danau Maninjau semakin kurang
diperhatikan oleh hampir seluruh pengguna ekosistem perairan danau tersebut.
Prinsip- prinsip ekologis bahwa perairan danau memiliki carrying capacity (daya
dukung) dan daya asimilasi terhadap limbah yang terbatas tidak dipahami oleh
sebagian besar masyarakat pengguna danau. Seperti contoh pemanfaatan danau
untuk kegiatan budidaya perikanan dengan teknik KJA selalu mengalami peningkatan
setiap tahunnya. Sampai akhir tahun 2006, terdapat 8.955 unit KJA yang beroperasi di
perairan Danau Maninjau. Jumlah ini sudah sangat melebihi daya dukung perairan
danau untuk kegiatan KJA (Syandri, 2006). Bahkan pada tahun 2008 yang lalu jumlah
karamba sudah sangat melebihi kapasitas yaitu ± 15.000 unit KJA. Hal ini akan
memberikan tekanan terhadap perairan danau semakin meningkat berupa booming
fitoplankton.
b. Pencemaran Air Oleh Limbah Pertanian Pencemaran air dari limbah pertanian
ini berupa fosfor (P) dari tanah pertanian. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan, tingkat pencemaran air oleh limbah pertanian di Danau Maninjau ini
sebesar 5,08 ton per tahunnya, dengan asumsi 0,9 kg/ha/tahun ; menurut
Moran et al, 1985.
c. Orientasi komersil masyarakat lokal di kawasan danau terhadap pertanian
mengakibatkan monokultur yang tidak ramah lingkungan.
d. Tingginya konsentrasi pospat pada air danau akibat limbah domestik. Limbah
pospat (P) dari deterjen yang masuk ke danau berjumlah 9,02 ton setiap
tahunnya. Masyarakat sekitar danau masih belum memiliki septic tank.
Diperkirakan 25 % (506.592 ton/th) sampah masuk ke perairan danau. Beban
pencemaran berupa fosfor (dari pemakaian pupuk dan pestisida pertanian)
sebesar 5.087,60 kg/th.
3. Pencemaran Perairan
a. Pencemaran Air dan eutrofikasi.
b. Sedimentasi.
c. Konflik pemanfaatan air.
d. Menurunnya populasi ikan endemik (Ikan Rinuak).
e. Keramba Jaring Apung.
Limbah dari KJA (Kolam Jaring Apung) merupakan pencemar air tertinggi terhadap
sumberdaya air Danau Maninjau ini. Berdasarkan hasil penelitian (tabel di atas)
tergambar bahwa total limbah yang masuk ke dalam air danau dari sisa kegiatan
perikanan ini mencapai 393,22 ton/tahunnya. Indikasi ini menunjukan bahwa tingkat
pencemaran air Danau Maninjau ini sudah memerlukan suatu penanganan dan
pengelolaan yang lebih baik. Apabila dibiarkan terus berlanjut maka akan sangat
mempengaruhi kualitas kawasan danau ini secara keseluruhan. Dari segi kualitas
airnya, telah terjadi peningkatan unsur pencemar Danau Maninjau yakni oleh Nitrogen
(N) dan Fosfat (P) yang muncul seiring dengan meningkatnya jumlah Kolam Jaring
Apung (KJA). Hal ini mempengaruhi peningkatan ketebalan sedimen dengan sebaran
yang makin meluas. Dilihat dari sisi elevasi air permukaannya, tidak terjadi perubahan
yang signifikan, dimana elevasi air permukaan danau ini rata-rata 463 m dpl.
Budidaya perairan danau dengan teknik karamba/floating net di danau yang tidak
teratur mengakibatkan pencemaran sampah dan meningkatnya proses penyuburan
Menurunnya debit air danau mengancam suplai air untuk pembangkit listrik tenaga air
(PLTA), persawahan masyarakat dan PDAM setempat.
4. Resiko Bencana
Kematian Ikan (overturn) dalam dua tahun terakhir, Danau Maninjau telah mengalami
beberapa kali peristiwa bencana kematian ikan secara masal yang menimbulkan
kerugian yang cukup besar. Dalam perkembangannya berbagai aktivitas di Danau
Maninjau ini menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air danau, terutama akibat
aktivitas budidaya perikanan dengan menggunakan keramba jaring apung (KJA).
Area yang mempunyai aktifitas KJA perlu dicermati kondisi kualitas perairannya,
karena tekanan terhadap kualitas perairan akan semakin meningkat dengan
bertambahnya aktifitas KJA. Tingginya beban pencemar di Danau Maninjau akibat
tekanan KJA, telah berakibat pada terjadinya kematian ikan massal di Danau
Maninjau.