Anda di halaman 1dari 18

DAMPAK PENGEKSPLOITASIAN DAN KERUSAKAN

HUTAN MANGROVE DI BELAWAN SUMATERA


UTARA WILAYAH PESISIR TIMUR
OLEH :

Kelompok 5
IZZAWATI HUMAIRO 8126 162 010
JUNIAR 8126 162 011
KHALISH KHAIRINA 8126 162 012
RINY VIRI INSY SINAGA 8126 162 019

PPs ILMU EKONOMI


(B)

PROGRAM PASCASARJANA ILMU EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN


2013

0
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH


Pantai Timur Sumatera Utara memiliki garis pantai sepanjang 545 km yang
mampu menghasilkan beberapa jenis ikan. Wilayah pesisir timur Sumatera Utara
terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu: Kabupaten Langkat, Kota Medan, Kota
Tanjung Balai, Kabupaten Asahan, Kabupaten Labuhan Batu, Kabupaten Deli
Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai. Luas wilayah kecamatan pesisir
dibagian timur Sumatera Utara adalah 43.133,44 km² yang terdiri dari 35
kecamatan pesisir dengan jumlah desa sebanyak 436 desa. Di Pantai Timur
Sumatera Utara hanya terdapat 6 (enam) pulau-pulau kecil.
Kawasan Pantai Timur Sumatera Utara merupakan wilayah pesisir yang
mempunyai hamparan mangrove yang sangat luas yang membujur dari daerah
pantai utara Kabupaten Langkat ke daerah pantai selatan Kabupaten Labuhan
Batu dengan ketebalan yang bervariasi antara 50-150 meter
Kota Medan sebagai ibukota provinsi Sumatera Utara mempunyai beberapa
kecamatan. Salah satunya adalah kecamatan Medan Belawan yang terdapat garis
pantai di dalamnya. Kecamatan Medan Belawan adalah salah satu dari 21
kecamatan di kota Medan, Sumatera Utara, Indonesia. Kecamatan Medan
Belawan berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang di sebelah barat, Kabupaten
Deli Serdang di timur, Medan Marelan dan Medan Labuhan di selatan, dan Selat
Malaka di utara. Pada tahun 2001, kecamatan ini mempunyai penduduk sebesar
91.881 jiwa. Luasnya adalah 26,25 km² dan kepadatan penduduknya adalah
3.500,23 jiwa/km². Sebagian besar penduduk di kecamantan ini didiami oleh Suku
Melayu Deli 80%, selebihnya dalah suku lainnya.
Di kecamatan Medan Belawan terdapat pelabuhan Belawan dan tentunya
mempunyai hamparan manggrove di pantainya. Namun, terdapat beberapa
masalah yang dihadapi oleh kecamatan Belawan ini antara lain :
1. Kerusakan Mangrove yang Cukup Parah
2. Alih Fungsi Hutan Mangrove menjadi Kawasan Industri dan Pemukiman

1
3. Masuknya air Laut ke Daerah Pemukiman Penduduk
4. Pencemaran Wilayah Pesisir dan Laut oleh Limbah Industri dan Rumah
Tangga
5. Konflik Antara Nelayan Tradisional dengan Nelayan Trawl
6. Keamanan yang Cukup Rawan bagi Kapal-kapal Penangkap Ikan dan
Usaha Pertambakan
7. Rendahnya Kualitas Sumberdaya Manusia
8. Kurangya Fungsi Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
dan Laut
9. Penurunan Produktivitas Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya
Sebagian besar masyarakat desa pesisir menggantungkan hidupnya secara
langsung di wilayah pesisir. Secara umum dapat dilihat bahwa taraf hidup mereka
(khususnya nelayan) masih banyak yang hidup pra sejahtera (miskin). Eksploitasi
secara besar-besaran terhadap sumberdaya pesisir dan laut dalam rangka
pembangunan ekonomi menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan yang
cukup parah. Dampak negatif dari eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan
dan tidak terarah telah dapat dirasakan langsung oleh masyarakat desa pesisir.
Proses tergerusnya garis pantai (erosi/abrasi) dan bertambah dangkalnya
perairan pantai (sedimentasi/pengendapan) pada dasarnya merupakan proses yang
terjadi secara alami, tetapi kejadian tersebut diperparah dengan ulah manusia yang
telah membabat tanaman pelindung pantai (mangrove), baik untuk tujuan
pemanfaatan nilai ekonomis kayu bakau maupun untuk konversi lahan menjadi
tambak atau lokasi bangunan liar.
Kerusakan mangrove di pesisir timur mempunyai dampak negatif lebih jauh
yang dirasakan langsung oleh masyarakat pesisir sendiri antara lain:
a. Berkurangnya hasil tangkapan ikan dan udang
b. Semakin sulitnya mendapatkan kepiting bakau (scylla serrata) baik
ukuran konsumsi maupun ukuran untuk benih
c. Terjadi masuknya air laut ke daerah pemukiman penduduk dan areal
pertanian

2
Banjir rob atau gelombang pasang air laut yang seharusnya datang enam bulan
sekali, kini datang dua bahkan sebulan sekali. Banjir rob terparah menggenangi
kawasan pemukiman penduduk di Pajak Baru Kelurahan Belawan Bahagia,
Kelurahan Sicanang, Kelurahan Bagan Deli dan Kampung Kurnia Kelurahan
Belawan Bahari. Kondisi air laut yang mencapai 50 centimeter tentu
mengakibatkan aktivitas warga yang bermukim dipesisir utara kota Medan.
Melubernya air laut ke pemukiman warga itu dipicu oleh banyaknya terjadi
penimbunan-penimbunan lahan kosong disekitar pinggiran pantai, seperti
pembangunan gudang, depo dikawasan Kampung Salam, Belawan.
Kerusakan lingkungan di kawasan pesisir pantai akibat dari maraknya
penimbunan anak sungai dan banyaknya hutan mangrove yang ditebang untuk
pembangunan depo maupun pergudangan milik pengusaha dinilai menjadi
penyebab kian tinggi dan meluasnya gelombang pasang air laut yang terjadi di
Belawan. (Sumut Pos, 2013).
Seperti yang kita ketahui ekosistem mangrove merupakan habitat bagi
beragam jenis ikan, kepiting, udang, kerang, reptil dan mamalia. Mangrove
merupakan dasar pembentukan rantai makanan bagi banyak organisme pesisir dan
laut. Penurunan luas hutan mangrove dari tahun ke tahun dan dampaknya sudah
mulai dirasakan.
Penyebab utama hilangnya mangrove adalah:
a. Konversi lahan mangrove untuk tambak udang
b. Pengelolaan pertambakan tidak berwawasan lingkungan
c. Tidak ada kebijakan yang jelas mengenai penguasaan dan pemanfaatan
lahan pesisir di desa
d. Kurangnya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pelestarian
mangrove dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat di sekitar hutan
mangrove masih rendah
Akibat yang ditimbulkan:
a. Penurunan luas vegetasi mangrove
b. Penurunan kualitas air
c. Penurunan hasil tangkapan, terutama kepiting, kerang dan udang

3
d. Masyarakat dengan gampang mengkonversi mangrove untuk kepentingan
lain/pibadi
e. Kurangnya kepedulian masyarakat untuk melestarikan mangrove
Disebabkan banyaknya kerugian yang ditimbulkan oleh menurunnya luas
hutan bakau yang diakibatkan oleh aktivitas pembangunan ekonomi. Maka, kami
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Dampak Pengeksploitasian
Dan Kerusakan Hutan Mangrove di Belawan Sumatera Utara Wilayah Pesisir
Timur”

1.2. Rumusan Masalah


Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat masalah kerusakan
lingkungan yang terjadi akibat pambangunan ekonomi antara lain sebagai berikut:
a. Masuknya air laut ke pemukiman warga akibat banyak alih fungsi hutan
mangrove yang berada di Belawan
b. Penurunan luas vegetasi mangrove akibat pembangunan ekonomi

1.3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis aktivitas pembangunan ekonomi yang mengakibatkan eksploitasi
dan kerusakan hutan mangrove di Belawan.

1.4. Manfaat Penelitian


Adapun manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran
kepada mahasiswa bagaimana kerusakan-kerusakan lahan yang terjadi di daerah
pesisir serta menambah wawasan mahasiswa agar mahasiswa mampu mengambil
langkah-langkah untuk mengkonservasi lahan tersebut.

4
BAB II
KAJIAN TEORI

2.1. Wilayah Pesisir Pantai


Wilayah Pesisir Timur Sumatera Utara yang memiliki panjang pantai 545
km berhadapan langsung dengan Selat Malaka. Wilayah Pantai Timur Sumatera
Utara dapat dikelompokkan menjadi 2 wilayah yaitu:
1. Wilayah up-land adalah: kawasan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) yang
merupakan daerah belakang yang berpengaruh terhadap ekosistem kawasan
dibawahnya (kawasan pantai pesisir hingga laut). Yang termasuk wilayah upland:
daerah atas adalah Kota Medan, Kota Tanjung Balai, Kab. Langkat, Kab. Labuhan
Batu, Kab. Deli Serdang, dan Kab. Serdang Bedagai
2. Wilayah low-land adalah: Daerah Aliran Sungai (DAS) yang masih
dipengaruhi oleh pasang surut pada ke-enam Kabupaten/Kota tersebut sampai 4
mil ke arah laut.
Kawasan Pantai Timur Sumatera Utara merupakan wilayah pesisir yang
mempunyai hamparan mangrove yang sangat luas yang membujur dari daerah
pantai utara Kabupaten Langkat ke daerah pantai selatan Kabupaten Labuhan
Batu dengan ketebalan yang bervariasi antara 50-150 meter.

2.2. Mangrove
Hutan bakau atau disebut juga hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh
di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi
oleh pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana
terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang
terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air
melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.
Hutan mangrove yang luas awalnya mencapai 35 ribu hektar kini tersisa
sekitar 10 ribu hektar. Praktek konversi ini berlangsung hampir di seluruh
kecamatan pesisir Langkat. Di antaranya, Secanggang, Tanjung Pura, Gebang,

5
Babalan, Sei Lepan, Brandan Barat, Pangkalan Susu, Besitang dan Pematang
Jaya. Alih fungsi hutan mangrove juga terjadi di Percut Sei Tuan. Di mana lebih
dari 500 hektar hutan mangrove di pesisir Pantai Labu dan Percut Sei Tuan
beralih fungsi menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Padahal sebagian besar
status lahan yang beralih fungsi itu sebelumnya ditetapkan sebagai jalur hijau dan
hutan mangrove.
Konversi mangrove menimbulkan masalah baru bagi nelayan dan
masyarakat pesisir Sumut, antara lain: (1) abrasi pantai akibat konversi ekosistem
mangrove di kecamatan-kecamatan sepanjang pesisir pantai, (2) hilangnya
sebagian tempat mencari nafkah masyarakat pesisir, (3) tingginya biaya melaut
yang mesti ditanggung nelayan tradisional karena wilayah tangkapan ikan kian
jauh, (4) semakin besar potensi konflik horizontal antar nelayan, (5) hilangnya
kesempatan memanfaatkan lahan darat untuk pertanian dan (6) membesarnya
potensi rob akibat hilangnya ekosistem mangrove.
Alih fungsi lahan pertanian yang tidak terkontrol tidak saja berdampak
buruk bagi ekologi dalam bentuk menurunnya kualitas lingkungan hidup. Tetapi
juga berimplikasi kerawanan pangan. Dampak kehilangan lahan pertanian
produktif adalah kehilangan hasil pertanian secara permanen. Apabila kondisi ini
tidak terkendali maka tingkat produksi akan terus berkurang dan lebih buruk lagi
kelangsungan produksi akan terancam. Itu berarti ancaman bagi ketahanan pangan
di Indonesia umumnya, dan Sumut khususnya
Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang
mengakibatkan kurangnya aerasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta
mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis
tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini
kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan
evolusi.
Salah satu fungsi utama hutan bakau atau mangrove adalah untuk
melindungi garis pantai dari abrasi atau pengikisan, serta meredam gelombang
besar termasuk tsunami. Di Jepang, salah satu upaya mengurangi dampak

6
ancaman tsunami adalah dengan memasang Green Belt atau sabuk hijau hutan
mangrove atau hutan bakau.
Hutan-hutan bakau menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia,
terutama di sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di subtropika.
Luas hutan bakau Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan
mangrove yang terluas di dunia. Melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta
ha) dan Australia (0,97 ha). Luas bakau di Indonesia mencapai 25 persen dari total
luas mangrove dunia. Namun sebagian kondisinya kritis.
Tumbuh dan berkembangnya suatu hutan dikenal dengan istilah suksesi
hutan (forest succession atau sere). Hutan bakau merupakan suatu contoh suksesi
hutan di lahan basah (disebut hydrosere). Suksesi dimulai dengan terbentuknya
suatu paparan lumpur (mudflat) yang dapat berfungsi sebagai substrat hutan
bakau. Hingga pada suatu saat substrat baru ini diinvasi oleh propagul-propagul
vegetasi mangrove, dan mulailah terbentuk vegetasi pionir hutan bakau.
Tumbuhnya hutan bakau di suatu tempat bersifat menangkap lumpur. Tanah halus
yang dihanyutkan aliran sungai, pasir yang terbawa arus laut, segala macam
sampah dan hancuran vegetasi, akan diendapkan di antara perakaran vegetasi
mangrove. Dengan demikian lumpur lambat laun akan terakumulasi semakin
banyak dan semakin cepat. Hutan bakau pun semakin meluas.
Pada saatnya bagian dalam hutan bakau akan mulai mengering dan
menjadi tidak cocok lagi bagi pertumbuhan jenis-jenis pionir seperti Avicennia
alba dan Rhizophora mucronata. Ke bagian ini masuk jenis-jenis baru seperti
Bruguiera spp. Maka terbentuklah zona yang baru di bagian belakang.
Demikian perubahan terus terjadi, yang memakan waktu berpuluh hingga
beratus tahun. Sementara zona pionir terus maju dan meluaskan hutan bakau,
zona-zona berikutnya pun bermunculan di bagian pedalaman yang mengering.
Uraian di atas adalah penyederhanaan, dari keadaan alam yang
sesungguhnya jauh lebih rumit. Karena tidak selalu hutan bakau terus bertambah
luas, bahkan mungkin dapat habis karena faktor-faktor alam seperti abrasi.
Demikian pula munculnya zona-zona tak selalu dapat diperkirakan.

7
Di wilayah-wilayah yang sesuai, hutan mangrove ini dapat tumbuh meluas
mencapai ketebalan 4 km atau lebih. Beraneka jenis tumbuhan dijumpai di hutan
bakau. Akan tetapi hanya sekitar 54 spesies dari 20 genera, anggota dari sekitar 16
suku, yang dianggap sebagai jenis-jenis mangrove sejati. Yakni jenis-jenis yang
ditemukan hidup terbatas di lingkungan hutan mangrove dan jarang tumbuh di
luarnya.
Dari jenis-jenis itu, sekitar 39 jenisnya ditemukan tumbuh di Indonesia;
menjadikan hutan bakau Indonesia sebagai yang paling kaya jenis di lingkungan
Samudera Hindia dan Pasifik. Total jenis keseluruhan yang telah diketahui adalah
202 spesies (Wikipedia).

2.3. Manfaat Hutan Mangrove Bagi Kehidupan Manusia


Manfaat dan Fungsi Hutan Mangrove dari berbagai sudut pandang baik itu
manfaat ekologi, manfaat ekonomi, manfaat fisik, manfaat biologi dan manfaat
kimia maupun manfaat sosial sangat dirasakan dalam kehidupan masyarakat
pesisir. Penelitian-penelitian telah banyak dilakukan dan membuktikan bahwa
hutan mangrove memegang peranan penting bagi kehidupan di pesisir. Adapun
manfaat dan fungsi tersebut dapat dirangkum sebagai berikut :
1. Habitat satwa langka
Hutan mangrove sering menjadi habitat jenis-jenis satwa. Lebih
dari 100 jenis burung hidup disini, dan daratan lumpur yang luas
berbatasan dengan hutan mangrove merupakan tempat mendaratnya ribuan
burung pantai ringan migran, termasuk jenis burung langka Blekok Asia
(Limnodrumus semipalmatus)
2. Pelindung terhadap bencana alam
Vegetasi hutan mangrove dapat melindungi bangunan, tanaman
pertanian atau vegetasi alami dari kerusakan akibat badai atau angin yang
bermuatan garam melalui proses filtrasi.
3. Pengendapan lumpur
Sifat fisik tanaman pada hutan mangrove membantu proses
pengendapan lumpur. Pengendapan lumpur berhubungan erat dengan

8
penghilangan racun dan unsur hara air, karena bahan-bahan tersebut
seringkali terikat pada partikel lumpur. Dengan hutan mangrove, kualitas
air laut terjaga dari endapan lumpur erosi.
4. Penambah unsur hara
Sifat fisik hutan mangrove cenderung memperlambat aliran air dan
terjadi pengendapan. Seiring dengan proses pengendapan ini terjadi unsur
hara yang berasal dari berbagai sumber, termasuk pencucian dari areal
pertanian.
5. Penambat racun
Banyak racun yang memasuki ekosistem perairan dalam keadaan
terikat pada permukaan lumpur atau terdapat di antara kisi-kisi molekul
partikel tanah air. Beberapa spesies tertentu dalam hutan mangrove bahkan
membantu proses penambatan racun secara aktif
6. Sumber alam dalam kawasan (In-Situ) dan luar Kawasan (Ex-Situ)
Hasil alam in-situ mencakup semua fauna dan hasil pertambangan
atau mineral yang dapat dimanfaatkan secara langsung di dalam kawasan.
Sedangkan sumber alam ex-situ meliputi produk-produk alamiah di hutan
mangrove dan terangkut/berpindah ke tempat lain yang kemudian
digunakan oleh masyarakat di daerah tersebut, menjadi sumber makanan
bagi organisme lain atau menyediakan fungsi lain seperti menambah luas
pantai karena pemindahan pasir dan lumpur.
7. Transportasi
Pada beberapa hutan mangrove, transportasi melalui air merupakan
cara yang paling efisien dan paling sesuai dengan lingkungan.
8. Sumber plasma nutfah
Plasma nutfah dari kehidupan liar sangat besar manfaatnya baik
bagi perbaikan jenis-jenis satwa komersial maupun untukmemelihara
populasi kehidupan liar itu sendiri.
9. Rekreasi dan pariwisata
Hutan bakau memiliki nilai estetika, baik dari faktor alamnya
maupun dari kehidupan yang ada di dalamnya. Hutan mangrove yang telah

9
dikembangkan menjadi obyek wisata alam antara lain di Sinjai (Sulawesi
Selatan), Muara Angke (DKI), Suwung, Denpasar (Bali), Blanakan dan
Cikeong (Jawa Barat), dan Cilacap (Jawa Tengah). Hutan mangrove
memberikan obyek wisata yang berbeda dengan obyek wisata alam
lainnya. Karakteristik hutannya yang berada di peralihan antara darat dan
laut memiliki keunikan dalam beberapa hal. Para wisatawan juga
memperoleh pelajaran tentang lingkungan langsung dari alam. Pantai
Padang, Sumatera Barat yang memiliki areal mangrove seluas 43,80 ha
dalam kawasan hutan, memiliki peluang untuk dijadikan areal wisata
mangrove.
Kegiatan wisata ini di samping memberikan pendapatan langsung
bagi pengelola melalui penjualan tiket masuk dan parkir, juga mampu
menumbuhkan perekonomian masyarakat di sekitarnya dengan
menyediakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, seperti membuka
warung makan, menyewakan perahu, dan menjadi pemandu wisata.
10. Sarana pendidikan dan penelitian
Hutan mangrove dimanfaatkan dalam upaya pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi membutuhkan laboratorium lapang yang baik
untuk kegiatan penelitian dan pendidikan.
11. Memelihara proses-proses dan sistem alami
Hutan mangrove sangat tinggi peranannya dalam mendukung
berlangsungnya proses-proses ekologi, geomorfologi, atau geologi di
dalamnya.
12. Penyerapan karbon
Proses fotosentesis mengubah karbon anorganik (C02) menjadi
karbon organik dalam bentuk bahan vegetasi. Pada sebagian besar
ekosistem, bahan ini membusuk dan melepaskan karbon kembali ke
atmosfer sebagai (C02). Akan tetapi hutan bakau justru mengandung
sejumlah besar bahan organik yang tidak membusuk. Karena itu, hutan
mangrove lebih berfungsi sebagai penyerap karbon dibandingkan dengan
sumber karbon.

10
13. Memelihara iklim mikro
Evapotranspirasi hutan mangrove mampu menjaga kelembaban
dan curah hujan kawasan tersebut, sehingga keseimbangan iklim mikro
terjaga.
14. Mencegah berkembangnya tanah sulfat masam
Keberadaan hutan mangrove dapat mencegah teroksidasinya
lapisan pirit dan menghalangi berkembangnya kondisi alam.

2.4. Alih fungsi lahan


Dulunya, Belawan Sicanang merupakan wilayah paling asri di Kecamatan
Belawan. Itu setidaknya ditandai dengan hamparan hutan mangrove seluas 600
hektar. Namun, warga me-rusaknya dengan mengubah hutan mangrove tadi
menjadi per-mukiman dan tambak.
Puncak pembabatan hutan terjadi pada tahun 1980-an. Kala itu, warga tak
menyadari bahwa membabat hutan mangrove sama dengan mengundang bahaya.
Mereka hanya berpikir pembabatan mangrove bisa meningkatkan kesejahteraan
lantaran hasil tambak meningkat.
Akibatnya, saat air laut pasang, air sungai pun pasang sehingga kerap kali
meluap dan merendam rumah-rumah warga. Itu luapan air laut tak terkendali lagi
karena tak ada lagi penyerap alami hutan mangrove. Sebelum tahun 1980-an, rob
datang lima tahun sekali, sekarang hampir sebulan sekali rob merendam kelurahan
yang dihuni 14,696 jiwa ini. Sekali terendam bisa sampai delapan jam.
Seiring lesunya hasil usaha tambak dan meningkatnya rob, warga kembali
meyakini, membabat mangrove hanya mengundang bencana. Tahun 2007,
Yayasan Gajah Sumatera (Yagasu) bersama aktivis lingkungan Dadang Muhajirin
mengimbau warga agar kembali menghutankan sekeliling permukiman dengan
bibit mangrove. Mereka meyakinkan warga bahwa hutan mangrove dapat
membentengi permukiman dari terjangan air laut

11
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Medan tepatnya di Kecamatan Medan
Belawan dan dilaksanakan pada bulan September 2013.

3.2. Populasi dan Sampel


Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Kelurahan di Belawan yaitu
kelurahan Bagan Deli, Belawan I, Belawan II, Belawan Bahari, Belawan Bahagia,
dan Belawan Sicanang. Sampel dalam penelitian ini adalah kelurahan Belawan
Sicanang.

3.3. Cara Mengumpulkan Data


Dalam mengumpulkan data cara yang digunakan adalah cara observasi atau
pengamatan langsung dan menggunakan metode random sampling yaitu
menentukan lokasi sampling berdasarkan pada tingkat kerusakan.

3.4. Analisis Data


Analisis kerusakan menggunakan metode penilaian teristis (survey lapangan).

12
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam analisis data pada bab ini akan diuraikan pokok bahasan bagaimana
keadaan hutan mangrove yang ada di Kelurahan Sicanang dan dampak kerusakan
hutan mangrove terhadap sosial ekonomi masyarakat nelayan tradisional.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan kondisi hutan mangrove di
Kelurahan Sicanang mengalami kerusakan yang sangat parah, dengan upaya
pemerintah setempat dalam melaksanakan pemeliharaan hutan mangrove dengan
sistem tebang pilih.
Suhu di sekitar Pelabuhan Belawan, Medan, Sumatera Utara, pada musim
kemarau saat tengah hari bisa mencapai 38 derajat celsius. Salah satu penyebab
adalah minimnya pohon di pesisir pantai.
Akan tetapi karena kurangnya kesadaran masyarakat bahwa pentingya hutan
mangrove dalam ekosistem menyebabkan program yang dilaksanakan pemerintah
tidak berjalan dengan lancar. Luas hutan mangrove yang ada di Kelurahan
Sicanang pada tahun 2010 adalah 234 Ha.
Kecamatan Medan Belawan adalah salah satu dari kecamatan dikota Medan,
Sumatera Utara. Kecamatan Medan Belawan berbatasan dengan Kabupaten Deli
Serdang disebelah barat, Kabupaten Deli Serdang di Timur, Kecamatan Medan
Belawan dengan kepemilikan hutan mangrove sekitar 600 hektare. Dan di
Sicanang terdapat Dengan kata lain, hutan mangrove di Belawan Sicanang
terhampar sekitar 39% dari total luas kelurahan Belawan Sicanang yaitu seluas
234 Ha.
Melalui pengamatan langsung yang kami laksanakan, dapat dilihat bahwa -
Kondisi hutan mangrove (bakau) di sekitar perairan Belawan kian kritis bahkan
jumlah tanaman tersebut kian menipis, karena ulah manusia yang kurang
memahami pentingnya hutan mangrove untuk kelangsungan hidup biota laut.
Dulu ketika warga kawasan Belawan hendak mencari kesejukan, mereka pergi
ke Kelurahan Belawan Sicanang, Kecamatan Medan Belawan, Kota Medan.

13
Jaraknya hanya sekitar 2 kilometer dari pintu masuk Pelabuhan Perikanan
Samudra Belawan.
Kelurahan seluas lebih kurang 1.510 hektar ini dikelilingi Sungai Pantai
Belawan, Sungai Polu Halia, Sungai Belawan, dan anak Sungai Pantai Belawan.
Sungai dan anak sungai tersebut bermuara ke Selat Malaka yang berjarak sekitar 1
kilometer dari permukiman warga Belawan Sicanang.
Hamparan sawah menghijau dan hutan mangrove di atas lahan seluas 600
hektar di sekeliling desa mampu menghalau udara panas. Suhu pada siang hari
saat itu mencapai 25 derajat celsius. Berbagai tanaman produktif, seperti mangga,
jambu biji, pisang, dan manggis, mudah ditemukan di kawasan ini.
Namun, lambat laun kondisi berubah, terutama sejak 1980-an. Peningkatan
jumlah warga yang tinggal di Belawan Sicanang mengakibatkan alih fungsi lahan
dari persawahan menjadi permukiman. Luas hutan mangrove pun terus tergerus
seiring meluasnya usaha tambak udang, ikan, dan kepiting milik warga.
Warga sekitar merasakan betapa perubahan itu membawa banyak kerugian
bagi warga. Udara menjadi panas dan air sungai keruh. Tanah warga pun tergerus
air laut saat pasang. Gejala yang paling nyata, tergerusnya fondasi rumah warga di
Lingkungan 19 dan Lingkungan 5 Kelurahan Belawan Sicanang. Ini juga tampak
dari bentuk fisik anak Sungai Pantai Belawan.
Sekitar 30 tahun lalu, lebar sungai hanya sekitar 15 meter dengan kedalaman
air mencapai 5 meter. Kini, lebar sungai mencapai tiga kali lipatnya dengan
kedalaman hanya 3 meter.
Bahkan keberadaan mangrove dikawasan pesisir Utara kota Medan ini kini
telah beralih fungsi dijadikan pergudangan dan terminal penumpukan peti kemas.
Kerusakan hutan mangrove di sekitar perairan Belawan tidak hanya terjadi
karena beralih fungsinya lahan mangrove menjadi lahan pertambakan dan
pergudangan. Selain itu, kerusakan hutan bakau disekitar itu juga dikarenakan
sebahagian warga melakukan penebangan untuk dijadikan kayu bakar atau bahan
bangunan.
Kerusakan bakau jelas berimbas terhadap mata pencaharian masyarakat
sekitar yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan. Kepiting dan ikan sangat

14
bergantung pada hutan bakau. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh warga
sekitar yang berprofesi sebagai nelayan. Akibat minimnya hasil tangkapan
mereka, banyak diantara para nelayan yang sudah beralih pekerjaan menjadi anak
buah kapal (ABK) atau memilih menjadi penarik ojek dan becak dayung karena
pendapatan dari laut tidak bisa memenuhi kebutuhan.
Akibat tidak adanya tindakan tegas Dinas Kehutanan sampai sekarang.
Diperkirakan hutan mangrove di sekitar perairan Belawan tinggal 30-50% dari
jumlah sebelumnya. Sebab, sebagian hutan mangrove sudah dialihfungsikan
sebagai lahan tambak dan lahan sawit. Ironisnya, mangrove yang masih berusia 5-
7 bulan juga ditebang. (Seperti yang disampaikan warga sekitar).
Hal ini yang menyebabkan Empat dari enam kelurahan di Kecamatan Medan
Belawan, nyaris tenggelam akibat rob atau banjir air laut pada bulan April dan
Mei yang lalu. Ketinggian air laut yang pasang merendam permukiman penduduk
ini mencapai 1 meter lebih. Air laut yang masuk hingga ke dalam rumah-rumah
warga mengakibatkan rusaknya barang-barang elektronik dan perabotan rumah
tangga tentunya. Bahkan air laut yang asin itu juga membuat dinding-dinding
rumah warga rusak.

15
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

1. KESIMPULAN
Kelurahan Sicanang yang merupakan salah satu kelurahan di Belawan
mempunyai hutan bakau yang luas yaitu seluas 234 Ha merupakan 39% dari
jumlah hutan bakau di Belawan. Namun, pada masa sekarang banyak terjadi
eksploitasi hutan bakau akibat pembangunan ekonomi ataupun kepentingan
pribadi.
Dari pengamatan langsung yang telah dilaksanakan peneliti, dapat dilihat
bahwa hutan bakau beralih fungsi menjadi tambak dan bahkan gudang untuk peti
kemas. Selain itu, hutan bakau juga semakin menurun habitatnya karena
dimanfaatkan warga untuk kayu bakar. Kayu yang ditebang merupakan kayu
bakau yang berusia muda yaitu 5 – 7 tahun. Hal ini semakin memperparah
keadaan hutan bakau yang ada di Kecamatan Belawan ini.
Hal ini lah yang membuat lingkungan pun rusak, sehingga banjir rob yang
seharusnya datang beberapa bulan sekali, sekarang hampir dua kali dalam
sebulan.
2. SARAN
Berdasarkan uraian di atas maka hal yang dapat disarankan adalah:
a. Terkait kondisi ini sudah seharusnya Pemko Medan memberi perhatian
lebih serius terhadap warga Belawan yang selalu dilanda rob dengan cara
melarang supaya daerah-daerah serapan air tidak ditimbun lagi. Terlebih
hutan mangrove sudah punah di Belawan akibat berubah fungsi menjadi
tempat usaha.
b. Setiap warga sekitar yang tinggal di sekitar hutan bakau untuk tidak
menebangi bakau secara sembarangan apalagi untuk bakau yang masih
berusia sangat muda.
c. Untuk masyarakat secara luas, maka sebaiknya membantu dan ikut
menjaga kelestarian lingkungan hutan bakau.

16
DAFTAR PUSTAKA

DNA Berita Digital. April 2012. Belawan Nyaris Tenggelam Diduga Akibat
Hutan Bakau Dirubah Fungsi. http://www.dnaberita.com/berita-88224-
belawan-nyaris-tenggelam-diduga-akibat-hutan-bakau-dirubah-fungsi.html
Harian Waspada. 2012. Hutan Mangrove di Belawan Tak Jelas.
http://id.wikipedia.org/wiki/Wilayah_pesisir
http://www.bisnis.com/hutan-bakau-10000-pohon-ditanam-sumut-di-pantai-
belawan
http://www.dnaberita.com/berita-31035-alih-fungsi-hutan-mangrove-di-belawan-
penyalahgunaan-asset-negara.html
http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/6800/Tanamlah-Mangrove-Rob-Pun-
Terbendung/
Menteri PU. 2012. Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Belawan Ular
Padang. Kementerian PU: Jakarta
Nia Sari, Zulvita Herti. 2011. Studi Tentang Kerusakan Hutan Mangrove Di Desa
Lubuk Kertang Kecamatan Brandan Barat Kabupaten Langkat. UNIMED :
Jakarta
Nurdin, Rizal. 2004. Renstra Pesisir Sumatera Utara. Provinsi Sumut : Medan
Sutarko. 2012. Dadang Muhajirin Menjaga Mangrove.
http://sutarko.blogspot.com/2012/01/dadang-muhajirin-menjaga-mangrove-
di.html

17

Anda mungkin juga menyukai