PENDAHULUAN
LAPORAN KASUS
IDENTITAS
Nama : An. S
Usia : 4 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
No. CM : 27-64-99
Alamat : Semarang
ANAMNESIS
Hari/tanggal : Rabu, 11 Desember 2019 (alloanamnesis) di
poliklinik mata RS William Booth Semarang
Keluhan Utama : Mata Kiri Merah
Riwayat Penyakit Sekarang :
±4 hari yang lalu, keluarga pasien mengeluh mata kanan dan mata kiri pasien
merah. Keluarga pasien juga mengeluhkan kedua mata gatal dan nrocos. Keluarga
pasien juga mengeluhkan keluar kotoran mata berwarna jernih terutama muncul saat
pasien bangun tidur, kotoran tidak terlalu banyak dan tidak sampai membuat kelopak
mata pasien saling menempel. Riwayat demam, batuk pilek dan nyeri telan disangkal.
Pasien kemudian diberikan obat tetes mata yang dibeli di warung namun keluhan tidak
membaik sehingga pasien datang berobat ke poliklinik mata RS William Booth
Semarang.
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Fisik ( 11 Desember 2019)
Status Praesens
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 15
Tanda Vital : RR: 28x/menit
Injeksi Injeksi
konjungtiva konjungtiva
Edema (-), Spasme (-) PALPEBRA SUPERIOR Edema (-), Spasme (-)
Edema (+), bekas luka (-) PALPEBRA INFERIOR Edema (+), bekas luka (-)
Van Herick grade 3, Tyndall CAMERA OCULI Van Herick grade 3, Tyndall
efek (-) ANTERIOR efek (-)
Pemeriksaan Fisik :
Status presens dalam batas normal, pembesaran kelenjar preaurikuler (-)
Status Opthamologi
KONJUNGTIVA
Sekret (+) serous Sekret (+) serous
FORNIKS
Diagnosis banding
Diagnosis kerja
Edukasi
Usul
TINJAUAN PUSTAKA
Sakit tenggorokan
Sewaktu-
dan demam yang Jarang - -
menyertai waktu
Injeksi Ringan-
Mencolok Sedang Ringan-sedang
konjungtiva Sedang
Hemoragi + + - -
+/-
Pseudomembran (Streptococcus, +/- - -
C.diphtheriae)
Papil +/- - + -
Folikel - + - + (medikasi)
Nodus
+ ++ - -
Preaurikular
Tanda Bakterial Viral Alergik Toksik
- (kecuali
Panus - - -
vernal)
Patofisiologi
Konjungtiva selalu berhubungan dengan dunia luar. Kemungkinan
konjungtiva terinfeksi dengan mikroorganisme sangat besar. Pertahanan
Konjungtiva terutama oleh karena adanya tear film atau lapisan air mata pada
konjungtiva yang berfungsi untuk melarutkan kotoran-kotoran dan bahan-bahan
yang toksik kemudian mengalirkan melalui saluran lakrimalis ke meatus nasi
inferior.Lapisan air mata mengandung beta lisin, lisosim, IgA, dan IgG yang
berfungsi untuk menghambat pertumbuhan kuman.9
Epitelium yang melapisi konjungtiva dan sklera bagian luar terpapar
dengan dunia luar. Hal ini merupakan kesempatan bagus bagi virus untuk
menginvasi. Tiap beberapa detik palpebra menutup memberi perlindungan bagi
sklera dan konjungtiva berupa sekret dan pembersihan dari benda asing. Namun
tetap saja ada kesempatan kecil virus dapat masuk ke dalam sel. Apalagi ketika
terjadi jejas misalnya abrasi inokulasi langsung mungkin dapat terjadi saat
pemeriksaan oftalmologi atau dari kontaminasi lingkungan. Pada sebagian besar
kasus, replikasi biasanya terlokalisasi dan menyebabkan inflamasi misalnya
konjungtivitis.9
Virus memiliki genom asam nukleat single atau double stranded yang
dilingkupi kapsid dengan atau tanpa amplop diluarnya. Asam nukleat dapat berupa
RNA atau DNA yang dibutuhkan untuk melakukan transkripsi menghasilkan
enzim atau protein yang dibutuhkan unuk bereplikasi. Pada permukaan kapsid
terdapat ligan yang berfungsi untuk menempel pada sel host sehingga menjadi
jalan masuk virus ke dalam sel. Pada virus yang memiliki amplop yang melingkupi
kapsid, sejenis glikoprotein terekspresikan di permukaan yang berfungsi
melindungi virus dari antibodi. Namun virus yang memiliki amplop lebih rentan
terhadap pajanan dunia luar seperti sinar UV. Sebaliknya pada virus yang hanya
memiliki kapsid seperti adenovirus dapat bertahan lebih lama di luar tubuh.9
Gejala dan Tanda Klinis
Konjungtivitis folikuler virus akut dapat muncul sebagai gejala yang ringan dan
sembuh sendiri hingga gejala berat yang menimbulkan kecacatan.7
a. Demam faringokonjungtival
Tipe ini biasanya disebabkan oleh adenovirus tipe 3 dan kadang-kadang tipe
4 dan 7. Demam faringokonjungtival ditandai oleh demam 38,3 - 400C, sakit
tenggorokan, dan konjungtivitis pada satu atau dua mata. Folikel sering
mencolok pada kedua konjungtiva, dan pada mukosa faring. Penyakit ini
dapat terjadi bilateral atau unilateral. Mata merah dan berair mata sering
terjadi, dapat disertai keratitis superficial sementara ataupun sedikit
kekeruhan di daerah subepitel. Limfadenopati preaurikuler yang muncul tidak
disertai nyeri tekan. Sindrom yang ditemukan pada pasien mungkin tidak
lengkap, hanya terdiri atas satu atau dua gejala utama (demam, faringitis, dan
konjungtivitis).7
b. Keratokonjungtivitis epidemika
Keratokonjungtivitis epidemika disebabkan oleh adenovirus subgroup D tipe
8, 19, 29, dan 37. Konjungtivitis yang timbul umumnya bilateral. Awitan
sering pada satu mata kemudian menyebar ke mata yang lain. Mata pertama
biasanya lebih parah. Gejala awal berupa nyeri sedang dan berair mata, diikuti
dalam 5-14 hari kemudian dengan fotofobia, keratitis epitel, dan kekeruhan
subepitel bulat. Fase akut ditandai dengan edema palpebra, kemosis, dan
hiperemia konjungtiva. Dalam 24 jam sering muncul folikel dan perdarahan
konjungtiva. Kadang-kadang dapat terbentuk pseudomembran ataupun
membran sejati yang dapat meninggalkan parut datar ataupun symblepharon.
Konjungtivitis berlangsung selama 3-4 minggu. Kekeruhan epitel terjadi di
pusat kornea, menetap berbulan-bulan namun menyembuh tanpa disertai
parut.7
Gambar 3. Folikel dan perdarahan konjungtiva7
Gambar 6. Folikel10
b. Blefarokonjungtivitis varicella-zoster
Blefarokonjungtivitis varicella-zoster ditandai dengan hiperemia dan
konjungtivitis infiltratif yang disertai erupsi vesikuler sepanjang penyebaran
dermatom nervus trigeminus cabang oftalmika. Konjungtivitis yang terjadi
umumnya bersifat papiler, namun dapat pula membentuk folikel,
pseudomembran, dan vesikel temporer yang kemudian berulserasi. Pada awal
perjalanan penyakit dapat ditemukan pembesaran kelenjar preaurikula yang
nyeri tekan. Selanjutnya dapat terbentuk parut palpebra, entropion, dan bulu
mata salah arah. Lesi palpebra dari varicella dapat terbentuk di bagian tepi
ataupun di dalam palpebra sendiri dan seringkali meninggalkan parut. Sering
timbul konjungtivitis eksudatif ringan, tetapi lesi konjungtiva yang jelas
(kecuali pada limbus) sangat jarang terjadi. Lesi di limbus menyerupai
phlyctenula dan dapat melalui tahap-tahap vesikel, papula, dan ulkus. Kornea
di dekatnya mengalami infiltrasi dan bertambah pembuluh darahnya.10
c. Keratokonjungtivitis morbili.
Enantema khas morbili seringkali mandahului erupsi kulit. Pada tahap awal
konjungtiva nampak seperti kaca yang aneh, yang dalam beberapa hari diikuti
pembengkakan lipatan semilunar (tanda Meyer). Beberapa hari sebelum
erupsi kulit timbul konjungtivitis eksudatif dengan sekret mukopurulen.
Bersamaaan dengan munculnya erupsi kulit akan timbul bercak-bercak koplik
pada konjungtiva dan kadang-kadang pada carunculus. Keratitis epithelial
dapat terjadi pada anak-anak dan orang tua.10
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang perlu dilakukan berupa pemeriksaan dasar mata untuk
membuat diagnosis dan mengevaluasi pasien dengan mata merah. Pemeriksaan
dasar mata tersebut meliputi7:
a. Penilaian tajam penglihatan bertujuan untuk menilai tajam penglihatan
masih normal atau mengalami penurunan akibat permasalahan pada mata.
Penilaian tajam penglihatan menggunakan kartu Snellen, dan bahkan jari,
gerakan tangan, dan senter (penlight) bila diperlukan.7
b. Penilaian penyebab mata merah, menggunakan bantuan loupe dan senter.
Pemeriksaan dimulai dari inspeksi dan palpasi kulit regio periorbita,
kemudian bagian kelopak mata dan konjungtiva tarsal. Dari pemeriksaan
tersebut, dapat dideteksi keberadaan proptosis, malfungsi kelopak mata,
atau suatu keterbatasan gerakan bola mata. Setelah menilai keadaan pada
regio tersebut, pemeriksaan beralih ke konjungtiva bulbi untuk mulai
membedakan injeksi konjungtiva dan injeksi silier. Pada mata merah tanpa
visus menurun umumnya ditemukan injeksi konjungtiva dan/ atau
perdarahan subkonjungtiva, serta gambaran khas konjungtivitis
berdasarkan etiologinya. Bila mata merah dan visus menurun selalu disertai
dengan injeksi episklera dan injeksi konjungtiva.7
c. Penilaian karakteristik air mata, karakteristik air mata yang perlu diketahui
adalah bentuk dan sifat sekresi, serta membaginya menjadi kategori sesuai
jumlahnya (banyak atau sedikit), dan karakter (purulen, mukopurulen, atau
mukous).7
d. Penilaian kornea, bertujuan untuk menilai kejernihan dan regularitas
permukaan kornea. Bila didapatkan kekeruhan pada kornea, perlu
ditentukan jenis kekeruhan pada kornea pasien. Pemeriksaan menggunakan
bantuan senter atau tes plasido. Pemeriksaan lanjutan dapat menggunakan
tes fluorescein sebagai pemeriksaan keutuhan epitel kornea dengan metode
pewarnaan.7
e. Penilaian kedalaman bilik mata depan, menilai bilik mata depan termasuk
dalam kategori dangkal atau dalam. Selain itu, pemeriksaan ini bertujuan
mendeteksi keberadaan lapisan darah atau pus di bilik mata depan.
f. Penilaian pupil, bertujuan menilai besar pupil, adanya mid-dilatasi, miosis,
dan refleks pupil langsung dan tidak langsung.7
g. Penilaian tekanan intraokular, bertujuan menentukan tekanan dalam bola
mata dalam kategori normal, tinggi, atau rendah dengan menggunakan
tonometer Schiotz. Sebagai deteksi awal tekanan okular, bila tidak tersedia
tonometer Schiotz, dapat menggunakan metode palpasi bola mata.
Meskipun lebih sederhana, hasil pemeriksaan metode palpasi sangat
subjektif (tergantung pengalaman dan intepretasi pemeriksa) dan data yang
didapatkan bersifat kualitatif.7
Komplikasi
Konjungtivitis virus bisa berkembang menjadi kronis, seperti
blefarokonjungtivitis. Komplikasi lainnya bisa berupa timbulnya pseudomembran,
dan timbul parut linear halus atau parut datar, dan keterlibatan kornea serta timbul
vesikel pada kulit.7
Tatalaksana
Konjungtivitis viral biasanya bersifat suportif dan merupakan terapi
simptomatis. Umumnya mata bisa dibuat lebih nyaman dengan pemberian cairan
pelembab. Kompres dingin pada mata 3 – 4 x / hari juga dikatakan dapat membantu
kesembuhan pasien. Penggunaan kortikosteroid untuk penatalaksanaan
konjungtivitis viral harus dihindari karena dapat memperburuk infeksi.7
Penatalaksanaan berdasarkan klasifikasi dan gejala dari konjungtivitis virus
dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Konjungtivitis viral akut
a. Demam faringokonjungtiva
Pengobatan untuk demam faringokonjungtiva hanya bersifat suportif
karena dapat sembuh sendiri diberi kompres, astrigen, lubrikasi,
sedangkan pada kasus yang berat dapat diberikan antibiotik dengan
steroid lokal. Pengobatan biasanya simptomatis dan pemberian
antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder.7
b. Keratokonjungtivitis epidemika
Hingga saat ini belum ada terapi spesifik, namun kompres dingin akan
mengurangi beberapa gejala. Selama konjungtivitis akut, penggunaan
kortikosteroid dapat memperpanjang keterlibatan kornea lebih lanjut
sehingga harus dihindari. Anti bakteri harus diberikan jika terjadi
superinfeksi bakteri.7
c. Konjungtivitis herpetik
Untuk konjungtivitis herpes simpleks yang terjadi pada anak di atas satu
tahun atau pada orang dewasa yang umumnya sembuh sendiri dan
mungkin tidak perlu terapi. Namun, antivirus topikal atau sistemik harus
doberikan untuk mencegah terkena kornea. Jika terjadi ulkus kornea,
harus dilakukan debridement kornea dengan mengusap ulkus
menggunakan kain steril dengan hati-hati, oenetesan obat anti virus, dan
penutupan mata selama 24 jam. Antivirus topikal sendiri harus diberikan
7-10 hari. Penggunaan kortikosteroid dikontraindikasikan karena bisa
memperburuk infeksi herpes simpleks dan mengubah penyakit dari
suatu proses singkat yang sembuh sendiri menjadi infeksi berat yang
berkepanjangan. Pada konjungtivitis varicella zooster pengobatan dapat
dilakukan dengan pemberian kompres dingin. Pada saat acyclovir 400
mg/hari selama 5 hari merupakan pengobatan umum. Walaupun diduga
steroid dapat mengurangi penyulit akan tetapi dapat mengakibatkan
penyebaran sistemik. Pada 2 minggu pertama dapat diberikan analgetik
untuk menghilangkan rasa sakit. Pada kelainan peermukaan dapat
diberikan salep terasilin. Steroid tetes deksametason 0,1% diberikan bila
terdapat episkleritis, skleritis dan iritis.7
d. Konjungtivitis new castle
Pengobatan yang khas hingga saat ini tidak ada dan dapat diberikan
antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder disertai obat-obat
simtomatik.7
e. Konjungtivitis hemorhagik epidemik akut
Penyakit ini dapat sembuh sendiri sehingga pengobatan hanya
simtomatik. Pengobatan antibiotika spekturm luas, sulfacetamide dapat
digunkan untuk mencegah infeksi sekunder. Penyembuhan dapat terjadi
dalam 5-7 hari.7
2. Konjungtivitis viral kronik
a. Konjungtivitis Molluscum Contagiosum
Eksisi, insisi sederhana pada nodul yang memungkinkan darah tepi yang
memasukinya atau krioterapi akan menyembuhkan konjungtivitis. Pada
kondisi ini eksisi nodul juga menyembuhkan konjungtivitisnya.10
3. Blefarokonjungtivitis varicella zoster
Pada kondisi ini diberikan acyclovir oral dosis tinggi (800mg/oral 5x
selama 10 hari)10
4. Keratokonjungtivitis morbili
Tidak ada terapi yang spesifik, hanya tindakan penunjang saja yang
dilakukan, kecuali ada infeksi sekunder.10
Pasien merupakan seorang anak usia 4 tahun. Kurang lebih 4 hari yang lalu
keluarga pasien mengeluh kedua mata pasien merah. Keluarga pasien juga
mengeluhkan mata nrocos, gatal. Pada anamnesis didapatkan mata kanan dan kiri
pasien mengeluarkan sekret jernih dengan jumlah yang tidak begitu banyak.
Pasien ini didiagnosa sebagai mata kanan dan mata kiri konjungtivitis et
causa suspek virus dengan dasar pemikiran sebagai berikut:
Anamnesis:
Penderita mengeluh mata kanan dan mata kiri hiperemis sejak ± 4 hari
yang lalu
Gatal
Lakrimasi
Sekret serous
Pada pemeriksaan fisik, suhu normal, pembesaran kelenjar preaurikuler (-)
Pemeriksaan Oftalmologis: