Anda di halaman 1dari 226

Tak Ada Jalan Kembali

Oleh

Muhammed Irwiyana

HP: 0813 1058 2110

Email: bayubiru10@gmail.com

Blog: www.readingbiograph.com

Twitter: @bayulogii

1
Hidup yang tak pernah dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan.

-Sutan Sjahrir-

Hidup itu bukan memetik nomor satu, hidup itu menanam. Hidup itu bukan sukses nomor
satu, hidup itu berjuang. Jadi temukanlah kegembiraan dalam berjuang melebihi
kegembiraan dari keberhasilan dari perjuangan itu.

–Emha Ainun Najib-

2
Untuk Febrian, seorang rekan, sahabat, yang begitu tulus mengorbankan segala apa yang ia
miliki dalam keadaan sulit maupun senang kepada orang-orang di sekitarnya. Selamat
menempuh hidup baru. Terima kasih untuk segalanya selama ini.

Juga untuk teman-teman Pinisi dan Prasasti…

3
Sinopsis

Cerita ini mengisahkan tentang sekelompok anak muda yang bermimpi memiliki sebuah
bisnis bersama. Setelah mencoba berbagai macam pekerjaan, mereka memutuskan tak mau
lagi melamar seperti anak-anak muda lainnya, tidak mau jadi PNS, menolak keinginan gaji
bulanan yang besar, kemudian terkungkung dalam rutinitas yang membosankan.

Tempat yang mereka pilih bukanlah gedung-gedung bertingkat dengan pendingin udara,
gedung-gedung yang orangnya berseragam, diatur segala gerak-geriknya, dan menampilkan
sedikit sekali ekspresi. Mereka lebih suka menyewa sebuah rumah kecil dengan dua kamar
dan ruang tamu yang langsung terhubung dengan ruang tengah, sering penuh telur rayap di
lantainya, namun memiliki arti yang sangat penting bagi jiwa muda mereka; kebebasan.

Tanpa disadari, tidak hanya masa depan yang mereka pertaruhkan, tapi juga persahabatan
yang awalnya tak tergoyahkan oleh apa pun, kecuali uang.

4
Prolog

Farhan Jagratara adalah anak muda yang selalu terobsesi bisnis. Perawakannya besar dan
penuh gerak-gerik ingin tahu. Dunia bisnis yang keras membuatnya menganut prinsip bumi
hangus.

Mati, atau jadi pencuri, demikian Farhan Jagratara berprinsip.

Dia sedang memimpin sebuah majalah dan begitu marah mendapati kenyataan yang ada di
depan matanya.

“Brengsek semuanya!” ia berteriak seraya membanting majalah berjudul Light ke meja.

Seorang wartawannya, Fandi Muhammad, berdiri cemas. “Sori,” katanya. “Irwan yang
memintaku untuk…”

“Aku tahu!” dengan cepat Farhan Jagratara memotong. “Orang-orang ini cuma berani
bermimpi tapi tak mau bekerja keras!”

Farhan Jagratara kemudian terdiam menatap layar komputernya. Sebuah website


menampilkan slideshow acara-acara festival, konser, dan seminar dengan foto-foto yang
menarik. Semuanya bercerita tentang anak muda dan inspirasi.

Tanpa bersuara sedikit pun, Fandi Muhammad menghampiri meja Farhan Jagratara.
Wartawan itu bertubuh ceking, sampai-sampai orang akan mengira bahwa dia lebih kurus
dengan tulang pipinya yang menonjol, kumis yang memanjang melebihi sudut bibirnya, dan
kenyataan bahwa ia sering merokok. Orang-orang sering menganggap Fandi Muhammad
sedang menjalani gaya hidup seorang hippie, dimana ia berkesan seperti sedang
menyembunyikan kulit putihnya yang mulus dengan kebiasaan mengenakan jins belel, juga
sweater hijau yang pudar.

Sambil berdiri agak membungkuk, Fandi Muhammad berkata, “Ehm, Farhan,” ia memanggil
dengan ragu. “Sebaiknya kita menghubungi Irwan saja ya? Kita ajak dia—”

Farhan Jagratara langsung menoleh dan menatapnya dengan tajam. Dadanya bergerak naik
turun seolah mengguncangkan badannya yang gempal. Untung saja pipinya yang membulat
tak sampai menampakkan rahangnya yang sedang menegang.

5
Dia marah sekali… Fandi Muhammad menahan nafas, menyelipkan rambutnya yang panjang
bergelombang hingga menutupi daun telinga. Ia berusaha menghindari tatapan Farhan
Jagratara yang begitu menindas. Ketika membakar rokoknya yang bergetar, wartawan itu
berharap Farhan Jagratara tidak meledak dan membuat semua orang di sekitarnya—seperti
yang belakangan sering ia rasakan—menjadi putus asa. Jangan sampai dia meledak lagi,
pikir Fandi Muhammad. Dan aku bertaruh semuanya akan lenyap.

“Tidak perlu,” Farhan Jagratara berdiri. “Aku sudah memutuskan—”

Sejenak kemudian Farhan berhenti. Ia berpikir apakah semua ini benar-benar harus
dilakukan? Apakah keputusannya akan tepat? Bagaimana kalau suatu hari nanti dia bakal
menyesal? Ia mendongak, menatap langit-langit untuk kesekian kalinya, menerawang ke
sudut-sudut redup ruangan.

Inilah pertaruhan… akhirnya ia berkata dalam hati.

Ia menoleh kepada Fandi Muhammad kembali. Sepintas lalu ia memejamkan matanya—


menarik nafas, berjalan secepat mungkin menuju sofa merah bermotif kembang-kembang di
ruang tamu, kemudian menjatuhkan tubuhnya dengan keras.

“Aku akan menutup majalah ini,” ujarnya kemudian.

Fandi Muhammad lupa menghembuskan asap rokoknya. Benar, kan …

6
Bab 1

Waktu orang tuanya ingin memilihkan sekolah, Irwan Triawan bersikap keras kepala. Dia
menolak mentah-mentah saran orang tuanya dan pergi sendirian untuk mendaftarkan diri.

“Kau harus banyak bertanya,” kata Dadang Suryana, ayahnya, waktu Irwan berangkat
membawa berkas-berkas pendaftaran SMA. Di atas kedua mata orang tua itu terdapat lipatan
kulit yang berlebihan. “Ini menyangkut masa depanmu.”

Irwan menyisir rambut lurusnya yang lemas hingga ke belakang. “Tenang saja, Ayah,”
jawabnya kemudian. “Semuanya pasti beres.”

Irwan sangat yakin nasibnya bukan berada di tangan orang tuanya. Dia merasa lebih tahu apa
yang harus dia lakukan dalam hidupnya, meskipun akibat sikapnya yang demikian, ia
terpaksa berdebat keras dengan orang tuanya. Prinsip hidup Irwan berbunyi demikian:

Kegagalan dan semacamnya itu cuma mimpi saja—oleh karena itu dia selalu yakin dengan
keputusannya sendiri, dan merasa pasti berhasil.

Pada saat pengumuman kelulusan SMP, Irwan sudah yakin berapa nilai ujian akhir yang akan
ia peroleh. Hampir semuanya kelipatan tujuh dari total nilai tiga pelajaran; Matematika,
Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Ia memperoleh nilai 22,80. Wali kelasnya mengatakan
bahwa Irwan akan diterima di SMA paling unggul di Jakarta Selatan, SMA Berdikari, dan
Irwan merasa girang bukan main. Semua teman-temannya bermimpi melanjutkan sekolah di
sana.

Pagi itu, dengan sangat meyakinkan Irwan pun pergi ke SMA Berdikari dan menghampiri
loket pendaftaran sekolah itu.

“Aku mau mendaftar,” katanya kepada seorang pria di sana.

Pria itu bangkit dari duduknya dengan malas, membawa tubuhnya yang gemuk seraya
berjalan terhuyung menghampiri Irwan.

“Ke mana orang tuamu?”

“Mereka sibuk.”

7
Sepasang mata pria itu sayu, menatap heran kepada Irwan, kemudian mencari-cari sesuatu di
mejanya.

“Isi dengan teliti,” pria itu menyodorkan kertas bertuliskan daftar biodata kepada Irwan.
“Sudah hampir seribu anak yang—“ namun Irwan keburu merebut kertas itu. Si pria penjaga
loket menjulurkan kepalanya, melihat Irwan berlari di sepanjang koridor sekolah. Mulutnya
sudah membuka untuk meneriakkan sesuatu, tapi kemudian ia hanya mendengus pelan sambil
geleng-geleng kepala.

Irwan sudah duduk di pojok taman sekolah. Sekolah yang mengagumkan, ia berdecak kagum.
Sambil menyapu pandang ke sekeliling gedungnya yang besar, Irwan teringat kabar dari
seluruh temannya bahwa SMA Berdikari selalu menyelenggarakan pensi yang terkenal setiap
tahunnya. Irwan semakin yakin bahwa dia tak punya pilihan lain. Dia harus diterima di SMA
Berdikari.

Ia tersenyum-senyum sendiri melihat puluhan anak perempuan berpenampilan menarik.


Kebanyakan mereka memiliki lekuk tubuh remaja yang membuat dada Irwan berdegup
kencang. Spontan saja ia memperhatikan dirinya sendiri dari sebuah pantulan pintu berkaca
beberapa meter di seberang.

Dia menganggap dirinya cukup tampan, memiliki dagu terbelah, dan sebentar lagi beberapa
janggut halus akan menghiasinya. Alisnya tebal, dan Irwan selalu bangga jika ia
memicingkan mata. Seolah dirinya menjadi laki-laki paling cool, semacam Rangga di film
Ada Apa Dengan Cinta. Saat di SMA nanti Irwan berencana memanjangkan rambutnya
sedikit lagi. Seperti The Beatles, ia pernah membayangkan ketika melihat koleksi kaset
ibunya. Segitu kan tidak mungkin dirazia guru …

Sambil terus memperhatikan pintu berkaca dan sangat percaya diri dengan tinggi badannya
yang sudah mencapai 180 sentimeter, Irwan bertanya-tanya dalam hati, Kalau aku gagal
diterima di sekolah ini…—ia berpikir selintas, namun buru-buru menggeleng, Kegagalan itu
cuma mimpi saja.

Ia pun mengisi formulir itu dan menyerahkan sejumlah berkas ke loket pendaftaran.

Setelah mendaftar, butuh waktu tiga hari bagi semua anak untuk menunggu pengumuman
resmi tentang siapa saja nama-nama yang akhirnya akan diterima. Selama itu orang-orang

8
akan hilir-mudik mendaftarkan diri atau menarik berkasnya. SMA Berdikari hanya
menyediakan 225 bangku. Semacam klasemen di sepak bola, mereka saling bersaing untuk
nilai ujian akhir tertinggi. Jika seseorang keluar dari batas 225 bangku, dia harus hengkang,
menarik berkasnya, mendaftar ke sekolah lain yang mungkin cukup bagi nilainya itu.

Hari pertama posisi Irwan masih aman, begitu pula memasuki hari ke-2. Namun, di hari ke-3
ia seakan berhadapan dengan mimpi buruk. Namanya sudah hilang dari daftar penerimaan.

“Tidak masalah,” Irwan berkata kembali kepada ayahnya. Ibunya masih tak banyak
berbicara. “Aku masih punya pilihan lain.”

Irwan kemudian memilih SMA Proklamasi yang juga terkenal unggul. Dia mengambil
berkasnya dan bersiap-siap melamar ke sana. Namun, seorang wanita yang bangga dengan
kejeliannya telah melihat Irwan di depan loket SMA Berdikari.

“Cabut berkas ya, Dik?” tanya wanita itu.

Irwan tak begitu mendengarkan. Dia sibuk merapihkan berkas yang ternyata sudah tak
berurutan seperti awalnya dia bawa dari rumah tadi. Ia hanya menoleh sebentar.

“Iya, Bu.”

Si wanita itu memperhatikan Irwan. “Mau ke mana lagi?”

“Ke SMA Proklamasi.”

“Nilai adik berapa?”

“22,80.” Irwan sebenarnya ingin berkata, Berisik!

“Waaah!” Wajah wanita itu langsung terkejut. Bulu matanya yang panjang bergerak-gerak
ketika ia berkedip. “Sudah tidak bisa, Dik!”

Irwan tetap sibuk memilah-milah berkasnya, membuat urutan. Ketika mulai menyadari apa
yang baru saja dikatakan wanita di depannya itu, dia jadi tergoda untuk bertanya,
“Memangnya kenapa, Bu?”

Wanita itu langsung berlagak seperti orang penting, menampakkan raut wajah cemas yang
Irwan tahu itu cuma caranya berpura-pura.

Dasar ibu-ibu! Irwan menggerutu dalam hati.

9
“Dengar nih!” kata wanita itu dengan gaya yang congkak. Dari jarak dua langkah saja Irwan
bisa menghirup semerbak parfumnya. “Suamiku barusan telepon. Dia lagi di sana.”

“Terus?” tanya Irwan tak sabar.

“Kata dia—kata dia di SMA Proklamasi nilai terakhirnya sudah 23.”

“HAH?” Kini giliran Irwan yang terkejut. Kalau tidak di SMA Proklamasi, ke mana lagi dia
bisa diterima di SMA unggulan?

“Ibu yakin?”

Wanita itu mendengarkan pertanyaan Irwan sambil celingak-celinguk melihat ke dalam loket.
Pada saat dia menoleh kepada Irwan, wajahnya tampak seolah jijik. “Ih, tidak percaya coba
saja.”

Irwan diam, berpikir apakah harus mempercayai ucapan wanita itu atau tetap nekat ke SMA
Proklamasi. Perjalanan ke SMA Proklamasi jelas memakan waktu yang banyak, dan jika di
sana memang seperti yang dikatakan wanita itu … waktu akan semakin sore … pendaftaran
SMA akan segera ditutup … apa tindakan yang harus ia lakukan? Irwan terjepit dua pilihan
yang sulit.

“Lebih baik kamu ke sekolah lain saja, Dik,” wanita itu berkata lagi. “Itu saranku.”

Bukan urusanmu! Irwan pura-pura mengangguk. “Aku pergi,” katanya seraya bergegas tanpa
bisa menyembunyikan perasaan cemasnya.

“Selamat jalan.” Wanita itu kemudian tersenyum sambil bergumam, Kena dia.

Entah bagaimana caranya Irwan mempercayai saran dari wanita di SMA Berdikari tadi. Dia
harus segera memutuskan, dengan segala kepasrahan, memilih sekolah yang awalnya tak
pernah ia bayangkan sebelumnya, yaitu SMA Jayakarta. Dia yakin bahwa namanya bakal
langsung menyodok ke urutan teratas begitu mendaftar di sekolah itu.

Ketika tiba di SMA Jayakarta saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul tiga lewat. Terlalu
sore untuk mendaftar, tapi masih bisa. Kedatangan Irwan segera menjadi mimpi buruk bagi
beberapa orang tua yang anaknya tengah berada di posisi buncit daftar penerimaan siswa.

10
Mereka akan tereleminasi dan harus mencari sekolah lain. Melihat kenyataan itu Irwan hanya
sedikit bangga. Apa gunanya diterima di sekolah macam ini?

“Kenapa tidak ke SMA Proklamasi saja, Nak?” kini seorang wanita lebih tua menghampiri
Irwan. Wanita itu menggandeng anak perempuannya, dan Irwan menatap wajahnya yang
berpeluh.

“Nilaiku tidak sampai, Bu.”

“Memangnya berapa?”

“22,80”

“Ah!” Wanita itu lebih mendekat kepada Irwan. “Kamu salah, dapat informasi dari mana?
Aku ini baru saja dari sana. Nilai terakhir 22,16.”

Irwan langsung tertarik, namun tiba-tiba jadi merasa agak bodoh. “Benarkah ibu baru saja
dari sana?”

“Iya, sungguh,” wajah wanita itu semakin memprihatinkan.

Ya ampun! Tiba-tiba Irwan merasa semakin pusing. Inikah yang selalu dikhawatirkan oleh
Ayahnya, dia harus banyak bertanya?

“Sudah terlalu sore, Bu,” Irwan menghela nafas. “Aku tidak sempat lagi kalau mau cabut
berkas dari sini. Aku permisi dulu ya.”

Dua hari berselang, Irwan mendapatkan kabar bahwa teman SMP-nya yang bernama Asta
diterima di SMA Proklamasi. Padahal nilai ujian akhir Asta berjumlah 22,44, sedikit di
bawah nilai ujian yang diperoleh Irwan.

Dengan marah Irwan menulis di buku hariannya:

Aku dijerumuskan oleh wanita brengsek itu, dan kini dia membuatku membenci SMA
Jayakarta. Tapi tak apa-apa, karena aku jadi tahu bahwa semua ini bukan berarti kegagalan.
Aku tak akan pernah mengalami kegagalan, sampai kapan pun.

Dari sekolah itulah awal mulanya dia akan mengetahui segalanya.

11
Bab 2

Farhan Jargatara tumbuh di luar Selatan Jakarta, di sebuah perumahan berbukit yang
berbatasan langsung dengan kota Depok. Ia menyukai cuaca yang sejuk dan beberapa
penduduknya yang masih melakukan milir, kegiatan berjualan sayur dan buah-buahan ke
pasar-pasar di Jakarta dengan sepeda di malam hari.

Jika bermotor, dalam waktu kurang dari sepuluh menit, Farhan dapat menjumpai kota
tetangga Tangerang Selatan, dengan kecamatan Pamulang yang memiliki sejumlah danau
yang tak terurus. Irwan tinggal di sana, dan keduanya kemudian bersekolah di tempat yang
sama di SMA Jayakarta, Kebayoran Lama, yang dapat ditempuh dengan perjalanan kereta
melalui stasiun Sudimara di Jombang.

Keduanya sama-sama membenci SMA Jayakarta, dan karena Farhan lebih tua satu tahun
daripada Irwan, ia membenci SMA Jayakarta lebih dulu. Kebencian Farhan terhadap SMA
Jayakarta dilampiaskan melalui sebuah imajinasi yang tak pernah disangka orang-orang.

Farhan merencanakan pentas seni (pensi) yang sebenarnya tak pernah ada dalam sejarah
SMA tersebut. Padahal, tak ada yang mengenal SMA Jayakarta selain pamornya yang kurang
bergengsi. Kalau anak-anak SMA dan SMP lain sibuk berlomba-lomba membuat pensi,
murid-murid di sana hanyalah salah satu pembeli tiket yang paling setia. Artis-artis, band
ternama, dance, fashion, maupun produk remaja telah masuk ke sekolah-sekolah di Jakarta,
namun kemeriahan itu hanya tampak sedikit sekali di sekolah yang satu ini.

Murid-murid di sana mencibir sekolah mereka sendiri. Gedungnya yang berbentuk huruf “S”
itu terlalu kecil. Tidak mungkin membuat panggung meriah yang tinggi seperti di SMA-SMA
lain. Mereka mengharapkan bersekolah di SMA-SMA unggulan Jakarta dengan gedung yang
besar, anak-anak yang gaul—berotak—berprestasi dari tahun ke tahun, dan ketenaran nama
pensinya.

Namun demikian, pada saat Irwan baru saja duduk di kelas satu, ia menyadari sesuatu yang
baru sedang terjadi. Suatu hari anak kelas dua yang memperkenalkan dirinya dengan nama
Echa dan Yuni sedang mengambil kesempatan sebelum jam pelajaran kelasnya dimulai.

“Kita tunggu sepuluh menit ya, diisi secepatnya,” kata salah satu dari mereka.

12
Karena kekurangan ruang kelas, anak-anak kelas satu bersekolah pada siang hari di SMA
Jayakarta. Sebuah kebiasaan yang sangat aneh, menurut para siswa di sana. Mereka kesal
begitu menyadari diri mereka jadi susah bangun pagi. Lagipula kedatangan anak kelas satu
pada siang hari sering dimanfaatkan oleh anak kelas dua dan tiga untuk berbagai macam hal.
Mereka sering melakukan “kolekan”, meminta uang secara paksa dengan dalih sumbangan,
seperti misalnya untuk menjenguk seorang teman yang sakit.

Anak kelas satu jadi sasaran empuk. Selain karena masih junior, anak kelas satu juga
dianggap masih punya banyak uang jajan. Sedangkan anak kelas dua dan tiga beralasan kuat
bahwa uang jajan mereka habis setelah bersekolah dari pagi. Atau, anak kelas satu dipaksa
untuk percaya bahwa mereka, kelas dua dan tiga, sudah “kolekan” pada pagi harinya.

Namun, kehadiran Echa dan Yuni pada siang itu justru membuat semua anak menjadi
bersemangat.

“Sudah, sudah, dikumpul—bawa ke depan,” Echa melambai-lambaikan tangannya dari depan


ruang kelas. Anak-anak kelas satu berturut-turut menyerahkan kepadanya selembar kertas.
“Sudah ya, semuanya? Ada lagi?”

“Sudah Kaaak!”

“Oke, terima kasih,” Echa mengeluarkan sebuah kain seukuran telapak tangan untuk
menyapu keringat di wajahnya. Udara siang saat itu membuat beberapa jerawatnya
berdenyut-denyut. “Sebelum saya undur diri, ada pemberitahuan buat adik-adik kelas satu.”

Ia mendeham.

“Angket ini, pastinya adik-adik sudah mulai paham ya, tentang artis-artis yang menurut
kalian bakal seru untuk diundang ke acara pensi SMA kita. Kalian sudah dengar sebelumnya
kita mau ada pensi, kan?”

Ada beberapa yang menggeleng. Tapi sebagian besar hampir melompat dari kursinya,
bersemangat.

“Kapan Kak?”

“Yaaah … kira-kira lima bulan lagi. Sekarang panitia lagi siapkan semua yang perlu.”

13
Yuni yang sejak tadi cuma duduk di kursi guru, maju beberapa langkah. Sambil sepintas
mengerling kepada Echa, ia berkata, “Untuk adik-adik kelas satu, siapa yang mau ikut jadi
panitia, nanti saat istirahat ke ruang OSIS ya.”

Semuanya mengangguk.

“Kita open recruitment buat panitia. Kalau ada adik-adik yang mau, silahkan datang, kami
tunggu. Ada pertanyaan?” tanya Yuni seraya berusaha terlihat antusias dengan senyum dan
alisnya yang terangkat.

“Ya, ada,” kata salah satu suara.“Kapan giliran saya menggunakan kelas ini, Kakak?”

Echa maupun Yuni menoleh kompak. Guru fisika Ahmad Rafik sudah berdiri di depan pintu
kelas.

“Oh, eh … mau—Bapak mau mengajar ya, Pak?” tanya Echa salah tingkah.

Guru itu berjalan ke mejanya tepat di samping Yuni, menaruh buku-bukunya, kemudian
duduk. Murid perempuan mengenal Ahmad Rafik sebagai guru yang lumayan tampan.
Usianya menjelang tiga puluh, memiliki rahang kuat dengan tatapan yang selalu bersahabat.
Dia muda dan terlalu baik untuk mengajarkan fisika yang sebenarnya membutuhkan sedikit
bentakan agar siswa mau menghafalkan rumus-rumus.

“Silahkan, teruskan saja dulu. Saya tidak apa-apa, kok,” katanya mengembangkan senyum.
“Cuma lain kali jangan sungkan bilang ke saya kalau mau ambil jam pelajaran ya.”

Echa dan Yuni tersipu-sipu.

“Baik Pak, cukup kok kita. Terima kasih, Pak,” keduanya sedikit membungkuk, selintas
menoleh kepada seluruh kelas. “Jangan lupa ya adik-adik, sampai nanti.

Keduanya berpaling kembali. “Mari, Pak Rafik.”

Echa dan Yuni pun pergi. Ahmad Rafik memulai pelajaran dengan sedikit basa-basi. Dia
menanyakan apakah ada siswa yang mau bertanya tentang materi pelajaran sebelumnya.
Seperti biasa, para siswa menjawab tidak ada. Para siswa tahu, jika Ahmad Rafik lebih cepat
memulai penjelasan baru, dia akan terus berbicara tanpa memerhatikan apakah pelajarannya
sedang diperhatikan atau tidak. Di situlah kesempatan semua anak untuk berbicara sembunyi-
sembunyi antar teman sebangku.

14
Mereka menggunakan berbagai teknik, dari mulai mengatur volume suara agar tak sampai
terdengar ke depan kelas, atau berbicara sambil terus menatap ke depan kelas seolah tengah
memerhatikan pelajaran dengan serius. Ada juga yang mengatur ritme, lima menit bicara, tiga
menit memerhatikan. Khusus siang itu semuanya hampir tak bisa menahan diri. Suara-suara
kecil di dalam kelas berebutan jadi satu, terdengar bagai pasar, dan Ahmad Rafik tak terlalu
mempedulikan itu.

Doni yang duduk di samping Irwan berkata, “Keren ya …,” Dia mengangguk-angguk.
“Jayakarta memang sudah seharusnya bikin pensi!”

Irwan hanya menoleh sebentar kepadanya, anak berjidat lebar dengan kaca mata setebal
pantat mangkuk. Doni terkesan tua dibandingkan anak seumurannya. Seragamnya yang ketat
tak berhasil menyembunyikan tubuhnya yang agak berlipat, meskipun dengan cara itu
dadanya semakin terlihat tegap.

“Yah, mungkin begitu,” Irwan membalas sekenanya.

“Jelas! Ini benar-benar—wah …,” kata Doni seraya menggunakan handuknya seperti tukang
becak untuk menyembunyikan wajahnya dari penglihatan Ahmad Rafik. Kedua tangan anak
itu berpose seperti orang yang sedang menulis, dengan tangan kanan memegang pulpen—
tidak ada pelajaran yang ia tulis, melainkan bentuk graffiti namanya sendiri.

“Oke,” Irwan menanggapi pelan.

Doni mengangguk-angguk kembali. Ia sedang berpikir sambil terus-terusan menambah


ukiran di sisi graffiti-nya. Waktu Irwan memperhatikan kembali ke arah Ahmad Rafik, Doni
sudah menoleh kepadanya.

“Kita nanti datang—istirahat nanti kita ke ruang OSIS.”

Irwan hanya menggerakan bola matanya. Beberapa saat kemudian ia berpaling, kembali
memperhatikan Ahmad Rafik yang sedang menuliskan rumus di atas gambar katrol di papan
tulis.

“Duluan saja, aku makan dulu. Baru jam sembilan tadi aku—“

“Tidak sempat!” Doni menyela dan lupa menahan suaranya.

15
Spidol Ahmad Rafik bisa melayang, pikir Irwan. Dua hari yang lalu, gara-gara keasyikan
mengobrol dengan Doni, kepala mereka ditimpa kamus Bahasa Inggris oleh Bu Ati. Irwan
merasa Doni jenis teman sebangku yang gemar menyeret temannya kepada masalah.

“Itu masih lima bulan, santai saja. Aku bisa daftar jadi panitia di tengah-tengah, lihat dulu apa
benar-benar serius atau tidak. Siapa tahu itu cuma ‘anget-anget tahi ayam’,” Irwan mencoba
berdalih.

Mendengar itu Doni tampak sengit.

“Maunya waktu enak ya? Kalau capeknya ogah? Huh!” desisnya.

Irwan menolehnya dengan geram, “Masa bodoh!”

Irwan yakin pensi SMA Jayakarta tidak terlalu penting baginya, dan itu bukan berarti juga dia
lebih mementingkan pelajaran. Menurutnya tak ada yang penting dari SMA Jayakarta. Irwan
tak pernah hadir di Masa Orientasi Sekolah (MOS). Dia tak butuh mengenal siapa pun karena
hanya terjerumus masuk ke SMA Jayakarta. Sekolah ini kampungan, masa bodoh semuanya,
dia pernah berkata.

Irwan menyadari bahwa dirinya kesulitan menyesuaikan diri, namun itu merupakan
tujuannya agar SMA Jayarkata menjadi asing sejadi-jadinya. Sepi. Seperti suasana kelas
Ahmad Rafik siang itu, dia baru sadar kalau ternyata jadi mendadak terlalu sepi.

Irwan menyapu pandang ke seluruh kelas. Tidak ada yang bicara lagi. Semuanya diam, atau
lebih tepatnya mematung. Tiba-tiba jantungnya berdegup kencang, ternyata seisi kelas sedang
menatapnya!

“Mau bicara di depan?” kata Ahmad Rafik dengan nada sedikit mengancam, namun tetap
tenang.

Irwan melihat guru itu menjadi sedikit tegang, menekan gigi gerahamnya hingga darah
mengalir naik ke wajahnya yang langsat. Irwan menelan ludah. Kurang ajar Doni, ia
memaki.

“Irwan Triawan.” Ahmad Rafik berkata lagi sambil tersenyum sinis.

Dia tak mungkin tahu namaku.

16
Tak hanya guru, sesama anak kelas satu pun banyak yang tak mengenal Irwan. Hari pertama
masuk ke kelas dia dibilang murid pindahan karena tidak pernah muncul satu hari pun saat
MOS.

“Kau punya suara lumayan besar, betul juga Bu Ati,” Ahmad Rafik berkata lagi. “Kau cocok
sekali-sekali mencoba di sini.”

Ahmad Rafik menunjuk ke sebuah posisi tempat dia berdiri di depan kelas.

Irwan menjadi tegang. Ia merasa muak melihat Doni. Anak-anak yang lain menunduk,
terlihat menyembunyikan tawa.

“Sudahlah!” Ahmad Rafik hampir berteriak. “Sebenarnya aku tak peduli siswa
mendengarkanku atau tidak. Mereka bebas untuk itu. Mereka bebas berpura-pura
mendengarkan penjelasanku. Tapi, aku tidak bisa terima di kelas ini ada suara yang
mengalahkan suaraku, bahkan mengalahkan suara hampir semua isi kelas.”

Dia menuju kursinya, mengetuk spidol satu kali ke meja. “Itu pengkhianatan terang-
terangan,” katanya kemudian.

Irwan semakin gusar. Dia ingin buru-buru meminta maaf, tapi lidahnya beku. Nafasnya
kadang berhenti kadang tidak. Sejurus kemudian, Ahmad Rafik tak seperti bertanya dengan
kata-katanya.

“Kau tahu ganjarannya buat pengkhianat, eh?” Dia terus menatap Irwan. “Ini semacam
pelanggaran adat … adat di kelompok ini—kelas ini.”

Tatapannya semakin lama dan tajam.

“Keluar!” ia berteriak.

Irwan benar-benar kaget. Darahnya mengalir ke mana-mana, mendobrak-dobrak kepala.


Malu. Ia merasa telah ditikam. Beruntung jika ditikam benda tajam yang hanya melukai kulit
dan daging. Doni menikamnya di hati.

Pada saat beranjak keluar kelas, Irwan melirik Doni dengan penuh dendam.

17
Sepuluh menit kemudian Irwan memilih Masjid sebagai tempat pembuangannya dari kelas
Ahmad Rafik. Tempat itu adalah lokasi persembunyian terbaik yang berhasil ia temukan. Dia
ingin ke kantin, tapi guru-guru nanti akan bertanya-tanya kepadanya. Itu jelas akan
membuatnya tambah susah. Perpustakaan juga tak mungkin, apalagi koperasi yang
berdampingan langsung dengan ruang guru. Irwan kembali mengutuk gedung SMA Jayakarta
yang terlalu kecil sehingga tak mungkin menyediakan tempat persembunyian bagi manusia
terbuang seperti dirinya saat itu.

Di Masjid waktu itu hanya ada beberapa anak Kerohanian Islam (ROHIS) yang Shalat Sunnat
atau membaca Al Qur’an. Beberapa dari mereka kadang lama sekali dalam berdo’a. Irwan
melihatnya, dan menjadi tak yakin apakah mereka benar-benar khusyuk atau sedang
melarikan diri dari kelas yang tidak mereka senangi. Tapi, begitu di antara mereka
menanyakan mengapa Irwan tak masuk kelas, Irwan jadi tahu bahwa mereka sedang
memanfaatkan waktu luang karena gurunya tidak hadir di kelas.

Ada juga yang datang ke Masjid karena sudah selesai mengerjakan tugas yang diperintahkan
gurunya, kemudian minta izin ke sana. Mereka benar-benar anak yang baik, pikir Irwan.
Setidaknya mereka tahu mengapa mereka berada di sekolah ini.

“Antum kalau tertarik datang saja ke diskusi mingguan,” ajak salah seorang anak ROHIS itu
kepada Irwan.

“Diskusi?”

“Iya, kita berbagi ilmu tentang Islam,” jawabnya tenang.

Irwan mengangguk-angguk, berusaha terlihat sedang menimbang-nimbang. Untuk pensi saja


aku tidak tertarik.

“Insya Allah deh. Aku sebenarnya sudah punya kegiatan lain,” Irwan berbohong.

“Oh ya?” anak ROHIS itu mengerutkan kening. “Antum ikut ekskul apa?”

Irwan sedikit panik. Bukan karena harus berbohong lagi kepada anak-anak ROHIS itu, tapi ia
tak tahu sama sekali kegiatan ekskul apa saja yang ada di SMA Jayakarta. Irwan takut kalau
salah menyebut, bisa-bisa ia kena malu lagi.

Irwan tak mungkin menyebutkan sepak bola seperti ekskul yang ia ikuti pada waktu SMP
dulu. Waktu itu Madrasah Tsanawiyah-nya punya lapangan rumput besar di depan sekolah.

18
Di SMA Jayakarta para siswa tak bisa berharap menendang bola. Semua orang tahu berapa
banyak kaca yang bakal pecah kalau hal itu sampai dilakukan. Lorong di lantai satu SMA
Jayakarta yang berdekatan dengan lapangan basket telah dilindungi oleh terali besi seperti
pintu penjara.

“Tae Kwon Do,” akhirnya Irwan menjawab. Dia ingat Doni pernah menyebut dirinya
mendaftarkan diri di kegiatan ekskul itu. Kenapa harus Doni?

“Wah, luar biasa! Antum punya fisik yang kuat!” anak ROHIS itu tersenyum memamerkan
gigi.

Melihat kenyataan bahwa dirinya berhasil membohongi anak-anak ROHIS itu, Irwan
menghela nafas lega.

Tiga puluh menit kemudian Irwan sudah kembali ke kelas. Saat itu teman-temannya sudah
ribut lagi tentang pensi. Mereka saling berdebat mengenai band terbaik yang nanti akan
diundang untuk pensi SMA Jayakarta, dan tak ada seorang pun anak yang menyadari dirinya
telah kembali ke kelas. Seketika itu Irwan kembali menyadari bahwa dirinya hanyalah satu
titik sangat kecil di hamparan wadah putih. Kalau ada tak terlihat, tidak ada apalagi. Tak
masalah.

Dia duduk di kursinya di samping Doni yang sedang berbincang seru bersama Reza dan
Nanu. Mereka membuat daftar band-band yang sekarang sedang hits di media.

Terdengar suara Reza. “Sebenarnya aku berpikir ini pertaruhan yang berbahaya.”

“Maksudmu?” Doni bertanya.

“Begini,” Reza melanjutkan, ia batuk beberapa kali. “SMA Jayakarta ini dalam pergaulan di
level SMA Jakarta Selatan tidak ada apa-apanya.”

Doni seperti terperanjat mendengar yang dikatakan oleh Reza. “Ah, kau pesimis kayak
seseorang!”

Maksudnya sepertiku, Irwan terpikir melanjutkan.

“Bukan, Don,” Reza tetap tenang. “Coba dengar dulu. Kau bisa bayangkan SMA-SMA yang
biasa mengadakan pensi? Coba lihat SMA Berdikari, misalnya. Mereka punya gedung yang

19
bagus, lapangan luas untuk panggung, karena itu mereka favorit. Anak-anak pintar masuk ke
sana. Nah, maksudku, kau tahu tidak,” Reza mencondongkan badannya. “Selain pintar-pintar,
biasanya mereka adalah anak-anak orang kaya.”

Reza berhenti.

“Terus, apa hubungannya semua itu?” tanya Doni.

“Jelas,” sambung Reza lagi. “Temanku anak kelas tiga di sana bilang, pensi mereka banyak
dapat dukungan dana dari wali-wali murid. Mereka disediakan mobil untuk bekerja. Orang
tua mereka juga membantu untuk mendapatkan sponsor dari perusahaan. Lengkap sudah,
setiap tahun mereka mengadakan pensi.”

Irwan tertarik oleh pendapat Reza. Menurutnya Reza jelas sangat berbeda dengan Doni yang
hanya bisa mendukung pensi SMA Jayakarta dengan membabi buta.

Beberapa saat kemudian tak ada yang menimpali perkataan Reza, baik dari Doni maupun
Nanu. Mereka semua diam, dan mulai menyadari Irwan sudah sejak tadi duduk di dekat
mereka.

“Ke mana saja tadi, Wan? Hahaha … lain kali hati-hatilah!” kata Nanu yang ternyata
membuat Irwan sedikit lega.

Irwan menoleh, “Di mesjid, Nu. Tobat.”

Nanu tertawa.

Doni melihat mereka berdua dan berkata, “Bukan salahku, Wan. Kau sendiri yang lepas
kendali tadi.”

“Oke,” Irwan semakin merasa tenang. “Tak masalah.” Tadi aku dendam.

Mereka diam tak berbicara kembali. Guru Geografi mereka yang bernama Yuanita Sukma
belum juga datang untuk pelajaran selanjutnya. Sebagian isi kelas telah kosong. Banyak
siswa pergi ke koperasi pada saat pergantian pelajaran. Mereka membeli bakwan, martabak,
combro, atau pisang cokelat. Sekolah siang membuat mereka cepat lapar. Ketika kantin
menjadi tempat terlarang selama belum masuk waktu istirahat, koperasi adalah satu-satunya
alternatif pertolongan pertama pada perut keroncongan.

20
“Oh, tadi kudengar Reza menjelaskan sesuatu yang menarik tentang pensi di SMA
Berdikari,” ujar Irwan memulai pembicaraan.

Doni melihatnya dengan sangsi. “Kau tidak tertarik.”

“Sekarang tertarik.”

“Bisa begitu?”

“Bisa.”

Suasana diam kembali. Reza mau berbicara, namun Nanu lebih dulu mengambil giliran.

“Aku juga setuju sama Reza. Perbandingan SMA Jayakarta dengan SMA-SMA lain yang
sudah berpengalaman dan didukung banyak pihak itu sangat penting. Bukan pesimis, sih … “
ia melirik Doni. “Ini semacam waspada supaya jangan gagal nantinya.”

“Kalau tidak mau gagal, ya kita dukung dong!” sambar Doni bagai menyalak.

Irwan melihat Doni dengan menarik nafas. “Siapa sih ketua pensi ini?”

“Kau belum tahu?” Doni mengangkat alisnya. “Dia itu anak kelas dua, si Farhan.”

Nanu mengangguk-angguk. “Berani dia …”

Semuanya memandang Nanu. Anak itu memijat-mijat keningnya. Ia kemudian


menyandarkan dirinya ke kursi yang berhimpit langsung dengan dinding. Nanu dan Reza
duduk di baris meja paling belakang.

“Dia coba membuat sesuatu yang belum pernah dilakukan sekolah ini. Salah-salah dia tidak
berhasil, akhirnya celaka juga. Dia tidak punya guru-guru yang mendukungnya, tidak punya
lapangan yang luas, mana pula dananya.”

Mereka merenungi setiap perkataan Nanu.

“Farhan Sang Pemula,” Reza memberi julukan. “Dia sungguh-sungguh bertaruh, kan?”

Irwan memandang sekilas ketiga temannya itu. Aku tak akan pernah berani seperti anak itu,
ia berpikir. Tapi aku juga tak mau gagal.

21
Beberapa minggu kemudian, Irwan tak pernah memutuskan untuk menjadi panitia pensi
SMA Jayakarta. Dia hanya beberapa kali membantu dan tak menyadari dirinya mulai
mengenal teman-teman di SMA Jayakarta yang kemudian membuat dirinya betah.

Hidup yang tak pernah dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan…

Lima bulan berlalu setelahnya, pensi SMA Jayakarta gagal dilaksanakan.

22
Bab 3

Sejak ingin membuat pensi di SMA Jayakarta, Farhan sudah tahu kalau sebagian guru tak
mempercayainya. Anak-anak kelas tiga juga sangat sedikit menyatakan dukungannya. Dia
bertambah yakin semuanya telah berkomplot menghancurkan dirinya ketika Kepala Sekolah,
Abdul Jailani, menolak sumbangan dana dari wali murid dengan alasan, “Sebentar lagi ujian,
para siswa harus fokus belajar.”

Abdul Jailani bertubuh besar, berkulit legam seperti nelayan, dan memiliki dada yang
membusung tegap. Dia selalu bersikap dingin kepada para siswa, kecuali siswa perempuan
yang jelas-jelas tak pernah tertarik padanya.

“Saya telah terikat kontrak dengan beberapa artis, Pak,” kata Farhan di kantor Kepala
Sekolah. Beberapa guru dari Bidang Kesiswaan dan wali kelasnya juga hadir. “Mereka punya
bodyguard, orang-orang Ambon yang kekar.”

Abdul Jailani menatapnya datar sambil tersenyum tipis. “Maaf, tapi sekolah ini punya
peraturan,” katanya.

“Kau beritahu saja mereka baik-baik,” tambah guru Bidang Kesiswaan, Marta Mulyadi, di
sampingnya. “Kami sangat mengkhawatirkan prestasi sekolah.”

Guru itu berperut buncit, pendek, berhidung bengkok mirip paruh kakaktua, dan jika
disandingkan dengan gigi-gigi depannya yang besar, semua murid membencinya seperti
tikus. Dialah tikus yang setia mendukung kekuasaan Abdul Jailani. Kalau Abdul Jailani ingin
merencanakan sesuatu—tanpa harus mengorbankan karismanya di hadapan orang-orang—dia
membutuhkan sosok Marta Mulyadi.

Marta Mulyadi-lah yang mengatur para pedagang di kantin SMA Jayakarta atas usul Abdul
Jailani. Dia meniadakan penjual soto ayam dan nasi lengko yang digemari hampir semua
murid. Sebagai gantinya, Marta Mulyadi memanggil adik perempuan dan keponakan Abdul
Jailani untuk berdagang cemilan anak SD—yang menurut setiap anak tidak berguna—di
sana.

23
Selain itu, keduanya juga menjadi pemasok utama buku-buku sekolah dan Lembar Kerja
Siswa (LKS) ke koperasi SMA Jayakarta. Para murid diwajibkan membeli semua itu. Ketika
mendengar rencana pensi yang akan dibuat oleh Farhan, keduanya segera bersiaga.

Ketika itu Abdul Jailani menemui Marta Mulyadi, “Awasi anak itu,” katanya. “Pengaruhi
murid-murid kelas tiga dan sebanyak mungkin orang supaya tidak mendukungnya.”

Tanpa membutuhkan banyak waktu untuk memahami perintah Abdul Jailani, Marta Mulyadi
mengangguk, “Baik, Pak.”

Dan mulai saat itu Marta Mulyadi menampilkan sosok seorang guru bidang kesiswaan yang
sesungguhnya. Dia mendatangi kantin, koperasi, duduk-duduk di bangku tepi lapangan
basket, sampai mesjid, untuk menemui dan berbincang dengan para siswa. Marta Mulyadi
bertanya, mendengarkan cerita para murid dengan penuh perhatian.

Guru itu menyapa anak-anak ROHIS yang sedang duduk melingkar di mesjid.

“Assalamu’alaikum,” Marta Mulyadi memberi salam.

“Wa’alaikum salam, Pak. Silahkan bergabung,” ajak salah satu murid yang mengenakan peci
hitam.

“Sibuk apa nih kalian?”

Enam anak ROHIS tersebut saling tersenyum satu sama lain.

“Biasa, Pak,” jawab satu anak yang berjanggut. “Mau ada mabit sabtu ini di sekolah.”

“Wah, bagus,” Marta Mulyadi mengangguk-angguk seraya menepuk-nepuk pundak anak itu.

Ketika semuanya terdiam beberapa saat, Marta Mulyadi memulai kembali, “Sayang sekali,
coba setiap anak di sini seperti kalian.”

Anak-anak ROHIS itu langsung keheranan dan saling memandang.

“Maksud Bapak?”

Marta Mulyadi menghela nafas, menekan-nekan tumitnya. Dia duduk bersila.

“Kalian tahu mau ada pentas seni di sekolah ini?”

Anak-anak itu mengangguk tanpa suara.

24
“Kalian tahu tidak, itu acara khas anak remaja Amerika. Masa sekolah kita mau mengundang
band-band yang nanti pada berjingkrakkan? Ini kan institusi pendidikan, seharusnya kita
bikin acara yang akademis seperti kalian,” Marta Mulyadi menunduk sambil geleng-geleng
kepala. “Belum lagi kalau nanti ada yang tak menutup aurat.”

Dan sebentar saja anak-anak ROHIS itu terpancing perkataan Marta Mulyadi.

“Betul juga ya,” ujar salah seorang anak yang berambut belah tengah.

Marta Mulyadi merasa dia harus secepatnya menyulut api. “Inilah kesempatan kalian untuk
mencegah kemungkaran. Mulailah dari sekolah ini. Mari, bantu Bapak menghentikan pentas
seni itu.”

Salah satu anak yang berpenampilan khas kutu buku, menatapnya penuh sangsi. “Tapi kita
sebaiknya cukup memberi saran saja kepada mereka, Pak, supaya dibatasi. Asalkan acara itu
menonjolkan sisi kreatif, tidak terlalu bersifat hura-hura belaka, kita bisa terima. Tidak etis
juga kalau kita buru-buru menolak ide seseorang.”

Anak sok! Marta Mulyadi menahan nafas. Tapi tiba-tiba ia merasa tak perlu mendebat lebih
panjang lagi. Setidaknya aku sudah menebar benih, pikir Marta Mulyadi.

“Baiklah, kalau begitu,” ia bangkit. “Bapak permisi dulu ya, Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikum salam.”

Keyakinan Marta Mulyadi benar. Perkataannya kepada para murid terlanjur membuat
dampak sesuai yang ia harapkan. Para siswa terbelah, antara mendukung pentas seni SMA
Jayakarta dengan tidak mendukungnya sama sekali. Anak kelas tiga mengecam anak kelas
satu supaya jangan ikut-ikutan mendukung pensi, apalagi menjadi panitia.

Anak paling populer dari kelas tiga adalah Ricky Pratama, yang selalu menjadi pemain inti di
tim basket putera. Gayanya yang flamboyan dengan tubuh atletis adalah dambaan anak-anak
perempuan.

“Sudah cukup esktrakulikuler di sini ya, tak usah segala pensi dibuat-buat,” ujar Ricky
Pratama kepada sebanyak mungkin anak kelas satu di tangga menuju lantai dua.
“Kebanyakan kegiatan nanti bisa menurunkan prestasi belajar kalian.”

Doni ada di sana. Dia berbisik kepada Nanu, “Rupanya si tampan ini iri.”

25
“Apa katamu jidat lebar?” Ricky Pratama melongok dari kerumunan anak-anak. Dia
menghampiri Doni. “Jangan bicara bisik-bisik seperti bencong!”

Kini keduanya berhadap-hadapan.

“Aku bilang kau iri dengan pensi, jelas?”

Ricky Pratama menoleh ke belakang, memandangi komplotannya sesama anak basket, anak-
anak kelas tiga. “Anak kelas satu tolol.” Mereka langsung tertawa.

Nanu menarik lengan Doni, tapi buru-buru ia menampiknya.

“Lebih tolol lagi laki-laki yang dikelilingi cheerleaders!”

Ricky Pratama murka, mencengkeram leher Doni. Dengan cepat Doni menggunakan tangan
kirinya, dan sebuah kepalan tinju pun mendarat di wajah Ricky Pratama sampai anak itu
terjerembab. Kerumunan segera menghambur dari dua sisi berlawanan. Bentrok. Ketika
seorang guru berlari menghampiri, setiap anak menyelamatkan diri.

Beberapa hari kemudian, kekacauan yang sebenarnya lebih dirasakan oleh Abdul Jailani.

“Kau bodoh!” dia membentak Marta Mulyadi.

“Saya… kenapa, Pak?”

Abdul Jailani duduk di kursinya, meletakkan kedua sikunya di atas meja kayu berlapis kaca.

“Aku minta supaya pentas seni itu gagal, supaya lebih banyak siswa yang tidak
mendukungnya—”

“Dan memang seperti itu, kan? Banyak siswa yang tidak mendukungnya, karena aku…”

Abdul Jailani bangkit. “Jangan memotongku, goblok! Kau pikir dirimu siapa, hah?”

Marta Mulyadi langsung terkesiap. Dia sadar, kalau tak ada Abdul Jailani, selama ini dia
hanyalah guru olah raga dengan gaji bulanan yang pas-pasan. Abdul Jailani memberinya
kesempatan untuk menggunakan kekuasaan dengan cara yang tak pernah ia bayangkan
sebelumnya. Mereka bisa mengambil semua kendali, mengizinkan apa yang harus dan apa
yang tidak harus terjadi di SMA Jayakarta. Seperti pentas seni yang sedang direncanakan

26
oleh Farhan saat itu. Kalau tidak ada rupiah yang mengalir ke kantong mereka, lebih baik
jangan pernah bermimpi kegiatan itu akan terlaksana. Karena itu keduanya berusaha keras
menghalang-halangi Farhan, juga seluruh panitia pensi.

Abdul Jailani berkata tanpa memandang Marta Mulyadi. “Aku dapat kabar, ada seorang wali
murid bersedia menanggung semua biaya pentas seni itu, jadi sponsor tunggal. Dia mau sok-
sokan jadi pahlawan!”

Marta Mulyadi mengamati sosok tegap Abdul Jailani yang sedang memasukkan kedua
tangannya ke saku celana. Lantas kenapa aku yang salah, king kong? Dia menggeram dalam
hati. “Lalu, apa rencana Bapak selanjutnya?”

Abdul Jailani menoleh. “Batalkan. Masa ujian sudah dekat, kita tak bisa mengizinkan ada
acara apa pun.”

Marta Mulyadi duduk dengan gusar. Keringatnya mengalir dari kening, menyusuri hidungnya
yang bengkok. “Oh, begitu…”

“Tenang saja, Marta,” Abdul Jailani tersenyum sinis dan serasa membodohi lawan bicaranya.
“Itu cuma dalih supaya mereka memberikan hak kita. Mereka harus berikan sekian persen,
barulah kita izinkan.”

“Oh—… ya, ya, benar juga,” Marta Mulyadi mengangguk bersemangat. Tiba-tiba ia berubah
kebingungan. “Bagaimana kalau mereka keras kepala? Kita tetap membatalkan saja? Itu
artinya kita tak dapat apa-apa …”

Abdul Jailani mengibaskan tangannya, mengeluarkan bunyi “ck” dari mulutnya. “Sudah,
jangan pikirkan keuntungan terus. Yang penting kita main aman.”

Dan mereka memang mendapati Farhan yang keras kepala.

Rupanya Farhan bisa membaca geliat Abdul Jailani dan Marta Mulyadi sejauh yang ia
simpulkan selama merencanakan pensi. Di kantor kepala sekolah yang berpendingin udara
saat itu, jiwanya seolah-olah terbakar.

“Kau juga, persiapkan dirimu menghadapi ujian sekolah,” Marta Mulyadi melanjutkan
bicara.

27
Omong kosong… Farhan tertunduk lesu sambil menghela nafas. Semua sudah kupertaruhkan.

Salah satu tangan anak itu telah membentuk kepalan tinju. Di depan kantor Kepala Sekolah,
Farhan melepaskan tinju itu ke bahu Abdul Jailani. Mendarat keras, berbunyi “krak!”
sepintas. Mungkin saja bahu Kepala Sekolah itu retak. Guru-guru langsung melerai,
melindungi Abdul Jailani agar tak terjatuh ke lantai.

Dua hari kemudian, pihak sekolah menyatakan Farhan dikeluarkan dari SMA Jayakarta.

“Anak saya pasti sedang bingung,” ibu Farhan berkata ketika menemui Abdul Jailani. Wanita
itu telah melewati usia setengah abad, mengenakan jilbab, dan mengalami sakit pinggang
yang sudah menahun. “Dia bekerja keras untuk kegiatan sekolahnya. Maafkanlah dia, Pak.”

Abdul Jailani tengah berpikir sambil menatap wanita itu. Mereka keluarga miskin.

Selama menjadi kepala sekolah, Abdul Jailani sering menangani kasus permohonan orang
tua, dan seperti biasanya dia akan menuai uang tebusan yang cukup besar. Sekali lagi Abdul
Jailani bangga dengan kekuasaannya yang dapat menentukan nasib banyak orang. Semua
orang akan melakukan apa saja untuk tetap bisa melanjutkan sekolah, termasuk menyerahkan
dirinya kepada Abdul Jailani. Ia menoleh kepada Marta Mulyadi di sampingnya, seolah
mengatakan, Apa kubilang, ia tersenyum tipis. Yang penting kita tetap berkuasa.

“Baiklah,” Abdul Jailani akhirnya berkata. “Aku akan membiarkan dia tetap tinggal di kelas
dua—kalau dia mau.” Paling tidak dia tahu apa akibatnya jika melawanku.

Ibunya tak bisa melakukan apa-apa selain menerima keputusan tersebut.

“Terima kasih, Pak.”

Sejak itu Farhan memilih tetap bersekolah di SMA Jayakarta, dan berusaha menghindari
segala urusan yang dapat mempertemukannya dengan Abdul Jailani. Dia menghabiskan
kehidupan remajanya dengan angkatan baru yang ternyata lebih menyenangkan dibandingkan
dengan teman-teman sebelumnya yang pada saat itu sudah berada satu tingkat di atasnya.

28
Farhan mengenal seorang anak bernama Agil Sahrendra yang satu kelas dengannya. Begitu
mengetahui Agil adalah sosok yang jenaka dan sederhana, segera saja mereka menjadi teman
sebangku. Mereka kini bersekolah pagi.

Pada saat pergantian pelajaran, Agil berkata, “Kau pulang bareng kami saja, naik kereta.”

“Kereta?” Farhan bertanya.

“Ya, lumayan bisa irit ongkos,” Agil tersenyum sambil menarik-narik ujung rambutnya yang
keriting bergumpal. Anak itu tampak sangat berlawanan dengan Farhan yang besar dan padat.
Agil bertubuh kurus, dengan tinggi tak mencapai 160 sentimeter, namun terkenal kuat
sebagai pecandu kopi dan gelandang di tim sepak bola SMP-nya.

“Naik kereta itu kita tidak perlu beli tiket,” Agil berkata lagi. “Lagipula ada kedai kopi yang
enak di stasiun—selain copet tentunya.”

Farhan tertawa dan merasa tertarik. “Oke, tapi hari ini aku masih bawa sepeda motor.
Mungkin mulai besok…”

“Kapan pun kau mau,” Agil menepuk pundaknya.

Keesokan siangnya Farhan menepati janjinya. Ia menuju stasiun Kebayoran Lama bersama
Agil dan mendapati beberapa anak sudah berkumpul di sebuah pos ronda di seberang stasiun.
Mereka adalah Irwan, Boy, Sukma, Fandi, dan Linda, lima anak yang belum pernah ia kenal
sebelumnya. Kelimanya segera menoleh begitu menyadari Agil datang bersama Farhan.

“Pasukan baru,” Agil tersenyum dengan nada bercanda. “Pasti kalian semua tahu dia, kan?”

Farhan mengernyitkan dahi. Menurutnya, Agil terlalu berlebihan dalam memperkenalkan


dirinya. Mereka pernah terlihat di panitia pensi, Farhan memandangi satu per satu. Dia
memperhatikan Sukma yang hampir setinggi Irwan, Linda yang tampak menghindari setiap
bocoran cahaya matahari—dia khawatir kalau kulitnya jadi semakin gelap, dan berkali-kali
menuduh kegemarannya bermain bola basket menjadi penyebabnya—dari asbes di atap pos
ronda, dan Boy yang sedang berdiri seperti terpojok, membungkuk, di balik tubuh ceking
Fandi yang waktu itu sudah mengenakan kaca mata dengan frame tebal berwarna hitam.

29
“Halo,” Farhan menyodorkan tangannya kepada Linda. Gadis itu agak terperanjat, tetap
membungkam sebagian wajahnya dengan handuk kecil, dan beberapa saat kemudian
menyibakkan rambut hitamnya yang terurai hampir sepinggang.

“Ada apa sih kau menutupi wajah saja?” tanya Agil usil.

Linda hanya mendelik rusuh. “Sudah, jangan mulai deh!”

“Padahal kalau dibuka bisa menakut-nakuti copet,” Agil terkekeh menyebalkan. Anak-anak
yang lain mendukungnya dengan tertawa keras.

“Biasa, Gil, baru pakai sunblock,” Boy menepuk pundak Agil dari belakang. “Rumit sekali
hidupnya ya.”

Meskipun memiliki tubuh dengan tinggi ideal seperti anak-anak perempuan lainnya, juga
rambut panjang yang halus, Linda sangatlah tomboy. Dia adalah pencetak three point paling
handal di tim basket puteri SMA Jayakarta, meski sekolah itu tak pernah berprestasi
mengagumkan di berbagai kejuaraan SMA. Setiap kali tim basket puteri SMA Jayakarta
bertanding, orang-orang akan mengelu-elukan nama Linda. Larinya lebih kuat dan cepat
dibandingkan anak laki-laki pada umumnya, atau minimal menandingi. Linda memiliki mata
yang besar, senyuman lebar, dan banyak anak laki-laki mengakuinya diam-diam—hampir tak
pernah ada yang berani terang-terangan—bahwa dia hitam manis. Bersama Agil dan yang
lain, Linda adalah satu-satunya anak perempuan di kelompok mereka, pasukan kereta alias
pasker.

“Jam berapa kereta datang?” Farhan mencoba terlibat dalam pembicaraan.

“Sebentar lagi, seharusnya,” Sukma yang paling mengetahui tabiat kereta memberitahu.
“Tapi kita tahu sendiri kereta Indonesia…”

Sukma menyodorkan tangannya. Kurus. “Sukma.”

“Farhan.”

Beberapa saat kemudian Farhan telah berkenalan dengan semuanya.

Perhatikan jalur satu kereta tujuan Serpong …

30
Sebuah pengumuman terdengar dari stasiun, diiringi suara sinyal yang bertalu-talu. Kereta
akan datang. Agil beranjak, semuanya kemudian berjalan cepat ke arah stasiun, melewati
celah sisa-sisa pagar yang penyok.

“Sori, tolong dorong,” Farhan kesulitan melewati celah pagar tersebut. Boy mendorong
badannya, dan anak itu berhasil menarik paksa dirinya sambil meringis.

Si ular besi tiba, berjalan langsam memenuhi area panjang stasiun. Tidak semua penumpang
turun melalui peron, melainkan melompat langsung dari sisi pintu kereta yang menghadap ke
rel.

Kebiasaan Agil dan yang lainnya juga sama. Meski kereta berada di jalur satu, mereka tetap
menaikinya dari arah jalur dua. Awalnya mereka sendiri agak kesulitan begitu harus naik
kereta tanpa melalui peron. Kau harus memanjat ke pintu gerbong yang jaraknya melebihi
kepala.

“Ini untuk menghindari pemeriksaan tiket,” Agil memberitahu Farhan. Seharusnya setiap
penumpang membeli tiket dulu dan menunggu di peron sampai kereta tiba.

“Ah, sebenarnya aku mau langganan tiket pelajar saja,” Irwan berkata. “Aku sudah bosan
dimarahi Mama.”

Fandi Muhammad terkekeh di sampingnya. “Masa iya naik rongsokan begini kita harus
bayar? Huh, tak sudi aku.”

Mereka pun berjalan cepat melewati sebuah peron, rel di jalur dua, dan begitu tiba di sisi
kereta, meraih pegangan pintu untuk memanjat ke pintu gerbong. Boy sekali lagi membantu
Farhan, mendorong pantat anak itu sampai dirinya berhasil berdiri di mulut pintu. Linda
membuktikan bahwa rok seragam SMA-nya sama sekali tak menyulitkan dia untuk
memanjat. Dengan lincah sambil dibantu Agil yang meraih tangannya, ia berhasil naik ke ke
gerbong kereta.

Sepuluh menit kemudian, kereta meluncur perlahan.

“Gawat!” tiba-tiba Sukma menjerit tertahan.

Anak-anak yang lain mengawasi, memandanginya keheranan.

“Apa sih?” Linda langsung panik.

31
“Kenapa?” Agil ikut bertanya. “Kondekturnya kenalan ayahmu?”

Sukma tampak tidak suka begitu menatap Agil. Ayahnya memang seorang pegawai PT KAI.
Rumah mereka tepat di sebelah stasiun Pondok Ranji, dan semua anggota pasker berkali-kali
telah menghabiskan waktu pulang sekolah mereka di rumah Sukma. Sebagai pasker yang
sehari-harinya bersekolah menumpang kereta, mereka sangat bergantung pada pengetahuan
Sukma mengenai tabiat kereta, dari mulai jadwal, prediksi kedatangan kereta jika sudah
terlambat, sampai cara mengelak dari kondektur kereta jika mereka sedang ditagih tiket.

Sukma pernah mengajarkan, cara pertama, berdirilah menggelantung di pintu kereta. Pastikan
kedua tanganmu tak bisa berpindah dari memegang penyangga pintu. Kondektur biasanya
mencolek, bahkan mencubiti, tapi katakanlah, “Langganan, Pak.” Dan mereka akan
melewatimu. Itu jika penumpang kereta sedang padat bukan main. Kalau ternyata kereta
sedang sepi penumpang, Sukma memberikan tips terakhir, “Kabur!”

Mereka sering bermain kucing-kucingan dengan kondektur. Kalau penumpang sepi, mereka
mengawasi kedatangan kondektur, kemudian berpindah-pindah gerbong, sebisa mungkin tak
bertemu muka dengan sang kondektur sampai kereta tiba di stasiun selanjutnya. Seringkali
mereka pura-pura turun di salah satu stasiun, kemudian naik kembali ketika kereta mulai
sedikit bergerak di gerbong yang telah dilewati oleh si kondektur.

Tapi, ketika menjerit tertahan saat itu Sukma bukan mengkhawatirkan si kondektur pemburu
tiket.

“Si topi biru!” ia berkata seraya melangkah mundur.

“Siapa?” Agil buru-buru menengok ke kanan-kiri mengamati seisi gerbong. Meski tak
sepadat biasanya, penumpang kereta pada saat itu tak bisa dikatakan sepi. Ada beberapa
orang yang berdiri saling berhimpitan satu sama lain. “Ah, kau tidak salah lihat, kan?”

“Serius, aku lihat dia berdiri di salah satu pintu gerbong—“ Sukma langsung tercekat dan
pucat. “Dia sama teman-temannya …eh, melihat kita.”

Semuanya saling memandang kecuali Farhan yang justru kebingungan.

“Sebenarnya ada apa?” Farhan bertanya.

Fandi menatap Farhan. “Dia anak STM dari Tanah Abang sana…,” katanya. “Ehm, beberapa
hari yang lalu mereka melewati kita di gerbong kereta—mengambil topiku…”

32
“Oh.”

Agil menambahkan, “Kami punya kenalan seorang pedagang asongan. Kami minta tolong ke
pedagang itu mengambilkan topi Fandi,” Agil berhenti. “Usaha itu berhasil, anak-anak STM
itu tak berani macam-macam. Malah, Bang Agus—si pedagang asongan teman kita itu—
memperingati mereka supaya jangan suka macam-macam sesama anak sekolah.”

“Tapi mereka masih mencari-cari kami,” Fandi berkata sambil gemetaran. “Kudengar di
dalam tas anak STM sering ada parang …”

“Aku juga pernah bilang ke Linda. Jangan sampai kau kelihatan oleh mereka, kan?” Boy ikut
bicara. “Ke mana sih Bang Agus?”

Sejurus kemudian, Irwan berbisik kepada semuanya. “Ayo kita kabur.”

Mereka berjalan menuju gerbong sebelah dan tak bisa menyembunyikan rasa cemas. Seolah-
olah, seseorang akan menyergap mereka dari belakang, dengan parang yang berkarat.

“Sekolah mereka tak banyak murid perempuan sih, makanya selalu mikir berkelahi terus,”
keluh Agil seraya berjalan terengah-engah.

“Heh!” Linda mendorongnya dan anak itu langsung kehilangan keseimbangan di tengah
kereta yang sedang berjalan, bergoyang-goyang. “Kau pikir perempuan bahan hiburan ya?”

Agil garuk-garuk kepala, kembali menarik-narik ujung rambutnya. “Hehe,” ia tersenyum


kecut.

“Di gerbong itu penumpangnya lebih padat,” Irwan menunjuk. “Kita bersembunyi di sana.”

Dan mereka setengah berlari, berebutan untuk lebih dulu menuju gerbong yang sudah penuh
dengan penumpang tersebut.

Para penumpang saat itu terdiri dari berbagai macam orang. Ada pria-pria rapi dengan setelan
kemeja, wanita-wanita karir dengan penampilan yang mencolok, pedagang buah, dan para ibu
bersama anak-anaknya. Tiga orang pengamen sedang berjuang mengalahkan suara kereta
berjalan.

SAMPAI STASIUN KERETA! PUKUL SETENGAH DUA… Mereka menyanyikan sebuah


lagu dari Iwan Fals, dengan sebuah gitar, biola, dan drum kecil.

33
“Kita di belakang mereka saja,” Agil mengusulkan. Mereka segera berdiri di belakang para
pengamen tersebut.

“Si topi biru sedang kemari,” Sukma berbisik kepada teman-temannya. Karena tubuhnya
yang cukup jangkung seperti Irwan, dia bisa memandang sampai jauh ke gerbong sebelah.

Semuanya menahan nafas. Berwajah tegang. Linda hampir-hampir merasa dirinya menciut
perlahan-lahan. Agil menarik-narik ujung rambutnya lagi.

Seorang pria muda bangkit seraya berkata kepada Linda, “Silahkan duduk.”

Linda tampak canggung, memaksa tersenyum. “Ah, terima kasih.”

Pria itu tersenyum hangat, kemudian berdiri tepat di hadapannya, seperti sedang
melindunginya. Agil dan yang lainnya memandangi heran pria itu.

“Sudah dekat?” Fandi bertanya kepada Sukma.

Sukma menggeleng. “Aku terhalang.”

Ketika Sukma berusaha berjinjit, menjulur-julurkan kepalanya, si topi biru dan teman-
temannya sudah berada di gerbong yang sama. Ia menelan ludah, berpaling kepada Fandi.

“Yah, mereka di sini.”

“Yang benar?”

Sukma mengangguk.

Semuanya saling merapat. Farhan masih kebingungan, entah dia harus bagaimana dan
berbuat apa. Sebetulnya dia tak pernah tahu seberapa bahayanya si topi biru itu. Lagipula hari
itu adalah pengalaman pertamanya pulang sekolah naik kereta. Masa sih aku harus melompat
keluar? Dia bergumam dalam hati.

Si topi biru bersama teman-temannya berjalan semakin dekat. Ternyata benar, wajahnya
angker, sangat jauh dari kesan anak sekolah. Dia terlihat berjerawat di balik topi birunya, dan
bibirnya hitam pekat. Farhan dan yang lainnya hanya menatap kaku ketika anting si topi biru
berkilauan dari kejauhan, memantulkan cahaya matahari yang menyengat siang itu. Cuaca
yang pas untuk menghajar seseorang!

34
“Bersikap biasa saja,” Agil memberi aba-aba. Tapi ia sendiri menyadari dirinya sendiri tak
bisa menyembunyikan kegusaran. Kereta terus berjalan, mengguncang-guncangkan tubuh
mereka, kanan-kiri, naik-turun, dan mereka berdiri terhuyung-huyung.

“Oh,” si topi biru melihat mereka, langsung memberi isyarat kepada teman-temannya yang
berperawakan setali tiga uang. Kurus, terkesan tua, dan lusuh.

“AAAAAAAHHHHHHHH!!!!!” suara menjerit terdengar.

Semua orang menoleh ke sumber suara. Linda sedang menutupi wajah dengan kedua
tangannya.

“Berhenti kau, brengsek!” si topi biru melesat, melewati Agil dan yang lain, menabrak drum
kecil milik pengamen tadi.

“Mau ke mana kau, haha!” Ia menangkap kerah pria yang memberikan tempat duduk kepada
Linda tadi. Si topi biru memberikannya tiga kali bogem mentah. Pria itu terjerembab tak
berdaya.

“Awas kau!” si topi biru menunjuk pria itu. “Cuh!” ia meludah.

Para penumpang bengong. Musik pengamen berhenti. Irwan memandangi Agil, semuanya
saling berpandang-pandangan tak mengerti. Tiba-tiba Linda menghambur ke tengah-tengah
mereka sambil menangis, tersedu-sedu.

“Ada apa sih?” Farhan bertanya. “Kau kenapa, Linda?”

Fandi menatap seraya bertanya kepada Agil. Agil mengoper pandangan kepada Sukma, dan
anak itu hanya menggeleng.

“Dia orang gila,” si topi biru berkata kepada mereka. Semuanya menoleh dengan kaget. “Tapi
sudah kupukul, biar tahu rasa.”

Apa lagi ini? Agil bertanya dalam hati.

Farhan memberanikan diri untuk meladeni si topi biru. Dia bertanya, “Siapa pria itu?”

Si topi biru malah menatapnya heran. “Kalian tidak tahu? Pria itu?”

Semuanya menggeleng cepat. Para penumpang yang lain sedang heboh dan berbisik-bisik.
Pria yang baru saja mendapatkan bogem mentah dari si topi biru itu sedang diejek-ejek oleh

35
seorang bapak tua. “Kelakuan busuk! Biadab!” teriak bapak tua itu ke wajah si pria.
“Mampus saja sekalian!” seorang anak muda menendangnya tepat di perut. Pria itu langsung
mengerang keras. Seorang kondektur kemudian buru-buru menghampiri, melerai mereka, dan
membawa serta pria itu ke gerbong masinis.

Setelah menyaksikan pria itu dibopong paksa oleh si kondektur, si topi biru menoleh kepada
Farhan dan yang lainnya. Linda masih menangis dan tak mau bicara.

“Si brengsek itu mengeluarkan kelaminnya,” kata si topi biru. “Makanya teman kalian ini jadi
histeris.”

Mereka menoleh kepada Linda yang masih terisak. Sama sekali tak mampu berkata apa-apa.
“Oh,” begitulah Agil cuma bisa berkata.

Kereta pun tiba di stasiun Pondok Ranji.

36
Bab 4

Tidak hanya Sukma yang turun di stasiun Pondok Ranji, tapi juga si topi biru dan kawan-
kawannya. Agil menyadari bahwa dirinya telah salah menilai, dan harus secepatnya
memberitahu. Ketika anak-anak STM itu melangkah keluar pintu, Agil memanggilnya.

“Hei, terima kasih ya,” ia menghampiri sisi pintu. “Kita belum berkenalan.”

“Arman,” si topi biru menyodorkan tangannya. “Ini Deni, Baron, Roni, dan Rizki.”

“Hai, aku Agil,” ia menyalami satu per satu. “Itu teman-temanku, Farhan, Irwan, Fandi, dan
Boy—yang perempuan tadi—Linda.”

Arman mengangguk, tersenyum. “Oke,” katanya. Ia mengajak teman-temannya untuk


berpaling.

“Kalian kenapa mencari-cari kami?” Agil memberanikan diri bertanya.

Arman, si topi biru itu, kembali menoleh. Dia tampak berpikir seraya menatap Agil.
“Pedagang asongan itu yang bilang, anak sekolah seperti kita jangan saling bermusuhan,” dia
tersenyum datar. “Nanti kita bertemu lagi, jaga diri kalian baik-baik.”

“Oh,” Agil terkesiap. “Terima kasih sekali lagi ya!”

Kereta pun kembali bergerak. Perlahan-lahan meninggalkan stasiun.

Agil berbalik menemui kawan-kawannya. Dia melihat Linda sekilas, kemudian menghela
nafas lega. Gadis itu sudah duduk dengan tenang, namun kelihatan masih tak percaya pada
apa yang baru saja menimpa dirinya.

“Nah,” Agil berkata. “Ternyata kita terlalu khawatir.”

Fandi menyandarkan dirinya ke pinggir pintu gerbong. “Yah,” ia mengucap lirih. “Untung
saja, kupikir kita harus melompat atau entah apa. Ternyata mereka anak-anak STM yang
baik.”

Irwan menambahkan, “Untunglah.”

37
Mereka hanya terdiam ketika kereta terus berjalan menuju pemberhentian selanjutnya, stasiun
Sudimara. Farhan tersenyum memandang keluar pintu kereta. Seru juga, ia berkata dalam
hati. Mereka anak-anak yang asyik. Baru saja ia menganggap peristiwa tadi adalah
petualangan yang sangat berkesan selama masa SMA-nya.

***

Kereta tiba di stasiun Sudimara yang siang itu tampak sepi. Hanya tampak beberapa orang di
peron stasiun, selain para pedagang rokok, kopi, dan koran. Agil mengajak semuanya ke
sebuah kedai kopi bernama Dapoer Potjie.

“Di sinilah kita biasa menghabiskan hari,” lagi-lagi Agil memberitahu Farhan.

Dapoer Potjie hanyalah kedai kopi kecil dengan dinding dan lantai kayu berwarna cokelat.
Pemiliknya biasa disapa Bang Jul, seorang pelukis amatir yang memiliki selera bagus. Dia
melukis Bung Karno, Albert Einsten, dan kawasan Harmoni zaman Batavia yang digantung
di sekeliling dinding Dapoer Potjie. Bang Jul selalu menyambut Agil dan yang lainnya
dengan riang, seperti ketika siang itu dia melihat mereka datang dari peron stasiun.

“Halo, silahkan, silahkan … santai saja!”

Begitu melihat Bang Jul, Farhan langsung mengingat sosoknya yang sering tersenyum dan
berwajah sangat mirip dengan penggebuk drum Nirvana, Dave Grohl, dengan rambut panjang
hampir sebahu.

“Hari ini kita punya kawan baru, Bang Jul,” Agil berkata tak kalah riang. “Ini dia, Farhan.”

“Wah, selamat datang,” Bang Jul menjabat tangannya kencang sekali.

“Bang Jul, aku mau es teh lemon,” Linda berbicara pelan dan langsung duduk.

“Oke!”

Di Dapoer Potjie tersedia berbagai macam minuman, dari mulai mocca, kopi Lampung,
aneka jus, teh, dan soda susu. Sajian kopi mocca biasanya ditambahkan serbuk cokelat serta
kayu manis sebagai pengaduknya. Bang Jul kemudian memberikan mereka beberapa biskuit
selai. “Ini bonus,” ia selalu berkata.

Irwan duduk di samping Fandi. Hanya ada tiga meja kayu bercat mengkilat, warna cokelat
tua. Agil memesan minuman favoritnya, kopi hitam, kemudian duduk bersama Farhan di

38
dekat Linda. Sedangkan Boy terbiasa memilih meja yang sedikit menjorok keluar dari
Dapoer Potjie, sesuai dengan dirinya yang sering menyendiri.

“Wuih!” Agil berkata begitu mereguk kopinya. “Hari ini luar biasa ya…”

Fandi menghirup pelan-pelan es jeruk, kemudian mengecap lidahnya. “Kupikir tadi itu kita
sudah—“ ia melirik Linda.

“Jangan bicara itu dulu, aku shock,” Linda memohon seraya menggeleng.

Agil berpaling melihat Bang Jul yang sedang sibuk mengatur beberapa peralatan di dapurnya,
sebuah meja mini bersiku yang menyerupai huruf “L.” Seolah-olah meja itu adalah sebuah
meja bar di film-film koboy Amerika. Di pojok kanan atas menggantung sebuah televisi dan
VCD player. Agil meraih beberapa CD, memilih dan memutarnya, berharap bisa
menenangkan suasana. Terdengar lagu dari Jose Mari Chan, Beautiful Girl.

Farhan langsung tergelak. “Wah, ini lagu ayahku.”

Agil menoleh kepadanya. “Benar?”

“Ya.” Sejenak kemudian anak itu menghanyutkan dirinya, tersenyum, mengangguk-angguk


antusias. “Asyik juga di sini.”

“Tentu,” Agil kembali duduk di hadapannya. “Ceritakan dirimu dong, Farhan.”

Farhan menatap Agil. “Cerita apanya ya? Aku bingung…”

“Tentang pensi saja, kenapa sih bisa gagal?” Fandi giliran bertanya.

“Ooh…,” Farhan menoleh kepada Fandi. Seperti kutu buku yang hobi bermusik, ia
berpendapat. “Bagaimana ya memulainya… pokoknya, semua digagalkan begitu saja.”

“Digagalkan?” Irwan buru-buru bertanya. “Kok bisa?”

“Pihak sekolah ingin begitu,” jawab Farhan kemudian. “Katanya jadwal ujian sudah dekat,
tak boleh ada acara apapun.”

“Ah, omong kosong itu!” Agil menyahut dengan marah.

Fandi terus menatap Farhan. “Padahal kita sudah senang, lho. Baru kali ini SMA Jayakarta
mau mengadakan pensi, kan?”

39
“Ya,” kata Farhan. “Begitulah.”

Semuanya lalu terdiam, sama-sama berpikir bagaimana mungkin pihak sekolah membatalkan
pensi SMA Jayakarta ketika acara itu sudah di depan mata? Banyak versi cerita yang pernah
mereka dengar, salah satunya tentang guru-guru yang kecewa karena Farhan jadi jarang hadir
ke sekolah akibat sibuk mengurusi pensi. Pensi dijadikan kambing hitam, perusak konsentrasi
siswa, dan Farhan pun tidak naik kelas. Namun, mereka juga tak bisa menutup mata
mengenai kenekatan Farhan ketika memukul Abdul Jailani. Waktu itu berita tersiar cepat,
seisi sekolah gempar bukan main. Apa yang mereka harapkan adalah versi dari Farhan
langsung. Nah, anak itu sekarang sudah di depan mata mereka.

“Sedang cerita apa?” Bang Jul memecahkan keheningan. Pria itu menguncir rambutnya,
kemudian mengambil kursi plastik dan duduk di antara mereka. “Boleh ikutan ya.”

Farhan tersenyum. “Silahkan, Bang.”

“Oh,” Agil cepat-cepat menyelesaikan tegukan kopinya. “Bang Jul ini sudah pernah dengar
tentangmu, Farhan. Karena kami sering bercerita pensi, dan kau ketuanya.”

“Wah, aku jadi tersanjung.”

Bang Jul menatap anak itu. Lumayan percaya diri, pikir Bang Jul.

“Sepertinya…,” Farhan melanjutkan. Wajahnya yang bulat tampak ragu-ragu. “Sepertinya


Abdul Jailani berharap aku menyogoknya.”

Hampir semuanya terperanjat.

“Dia…apa?” Linda langsung tertarik. Dia segera melupakan shock akibat kejadian di kereta
tadi.

“Hanya kepada kalian aku bercerita ini,” Farhan menggeser kursinya semakin dekat ke meja.
“Ada wali murid berani menalangi seluruh biaya pensi kita, tapi Abdul Jailani menghalang-
halangi dengan alasan jadwal ujian itu. Dia pikir aku harus memberikannya beberapa persen
dari uang wali murid itu.”

“Kau yakin?” Fandi mencondongkan tubuhnya.

“Habis apalagi alasannya?”

40
Semuanya saling berpandangan. “Kurang ajar kepsek itu!” hampir-hampir Agil memukul
meja.

“Aku…,” Farhan berkata. “Terus terang aku sudah mempertaruhkan segalanya. Teken
kontrak bersama artis, menghubungi berbagai perusahaan, ke sebanyak mungkin wali murid.
Tapi… begitu si Abdul Jailani, juga si Marta tikus itu… aku jadi tidak sabar dan kesal
sekali.”

“Aku percaya, itu tindakan yang masuk akal,” Agil menyahut. Irwan mengangguk-angguk
dan tampak geram bukan main.

“Kalian kalah?” Bang Jul bertanya pelan. Ia melihat anak-anak yang berusia hampir setengah
lebih muda dari usianya itu menatapnya.

Agil berkata, “Kami bukan kalah, Bang Jul. Tapi kami—”

“Tidak ada lagi ‘tapi,’” Bang Jul memotong. Dia bangkit dan berjalan menuju dapurnya.
“Hasilnya sudah jelas, kalian kalah—gagal. Kan, tidak buruk mengakui kekalahan?”

Sejenak kemudian semuanya berwajah masam, menahan gejolak, dorongan untuk berontak.

“Yah,” Bang Jul menghela nafas. “Tapi memang tidak mudah mengakui kegagalan.”

Pada kata-kata tidak mudah mengakui kegagalan, dahi Irwan mengernyit. Tidak ada yang
namanya kegagalan, ia berkeras dalam hati.

Sejenak kemudian Farhan menghela nafas dan mendongak. “Benar kata Bang Jul. Kalau aku,
terus terang aku merasa kalah.”

“Bagus!” Bang Jul memandangi yang lain, menanti jawaban lagi.

“Yah, apa boleh buat,” Boy yang sejak tadi hanya mendengarkan, menimpali dari mejanya.
“Lagipula semua bisa diambil pelajarannya, kok.”

Semuanya menatap Boy dan seolah mengiyakan.

“Kalian semua masih sangat muda,” ujar Bang Jul kemudian. “Waktu dulu aku sering
berpikir, lebih baik memulai dan gagal semasa muda daripada ketika tua nanti.”

41
Ia menatap seraya menambahkan, “Dan apabila kalian menemui orang tua macam kepala
sekolah itu lagi, memang sudah seharusnya anak muda seperti kalian menggantikan barang
rongsokan seperti dia.”

Anak-anak itu kemudian merasakan getaran-getaran halus yang naik ke dada mereka.
Perkataan Bang Jul seolah merambat ke seisi ruangan, melintasi tiap guratan di dinding kayu
berplitur, berkedip mengelilingi lampion jingga yang menggantung di atap. Cuma dari kedai
kopi kecil di pinggir stasiun, sebuah cita-cita ditanamkan kembali. Dengan cepat, sederhana.
Mengapa justru sekolah yang membuang mereka?

“Ayo, bertaruh lagi, Farhan,” Bang Jul melanjutkan. “Kau punya kesempatan bersama teman-
temanmu yang baru. Aku yakin kau akan melakukannya kembali.”

“Terima kasih, Bang Jul.”

Semuanya kemudian merenung, menikmati minuman masing-masing. Ketika matahari sudah


terlelap di ufuk Barat, mereka saling berjabat. Mereka pulang.

Malam itu, dalam perjalanan pulang dari Dapoer Potjie, Irwan dan Farhan berada di angkutan
umum yang sama.

Farhan bertanya, “Rumahmu di mana … eh, siapa … oh, iya, Irwan?”

“Pamulang,” jawab Irwan singkat.

“Oh,” Farhan mengangguk-angguk. “Dekat denganku. Aku di Reni Jaya.”

Keduanya lalu saling menilai. Farhan melihat Irwan. Tenang, pendiam, dia calon anak
cemerlang yang berprestasi di sekolah. Sedangkan Irwan mengamati Farhan. Dia telah
membuat gempar satu sekolah, pergaulan yang luas, uang bukan masalah buat keluarganya.

Kedua-duanya keliru.

Ketika sampai di rumahnya masing-masing, Farhan memikirkan kegagalan pensi yang


membuat dirinya sempat frustasi. Suatu hari nanti aku akan berhasil, ucapnya dalam hati.
Dia tak menginginkan sosok penindas seperti Abdul Jailani ada dalam dirinya. Ia ingin

42
seperti ayahnya yang telah meninggal. Perlahan-lahan Farhan mulai membayangkan sosok
ayahnya yang begitu dicintainya.

Suatu hari ayahnya suka berkata, “Ayo, kita jalan-jalan.”

Kata-kata itu diucapkan hampir setiap Sabtu sore untuk mengajak Farhan dan ketiga
kakaknya pergi dengan mengendarai mobil. Ayahnya seorang pengusaha sukses. Dia telah
memberikan Farhan dan ketiga kakak laki-laki dan satu adik perempuannya kehidupan yang
tak pernah dibayangkan oleh anak-anak yang lain. Jika sudah mengendarai mobil, ayahnya
bisa membawa mereka semua keluar kota menyusuri Pulau Jawa hanya untuk mencari
makanan lezat. Namun, ayahnya meninggal secara misterius ketika Farhan belum sempat
mengetahui bisnis apa yang telah membuatnya menjadi kaya raya.

“Ada orang yang tak menyukai kesuksesan bisnisnya,” jelas ibunya suatu hari.

Farhan tak pernah tahu siapa orang yang tak menyukai ayahnya itu. Keluarganya telah jatuh
miskin. Ia bertekad meneruskan jejak ayahnya dan membahagiakan ibunya suatu hari nanti.

Irwan mengingat masa ketika pertama kali masuk SMA Jayakarta. Dia tertawa sendirian,
menganggap dirinya bodoh pada saat itu. Padahal di sini banyak sekali hal menarik, ia
menyimpulkan.

Orang tua Irwan tak kenal lelah memperjuangkan pendidikannya. Ibunya berhutang ke sana
kemari, karena pekerjaan ayahnya sebagai desainer bangunan yang hanya mengandalkan
proyek-proyek musiman tak selalu mencukupi untuk membiayai kebutuhan sehari-hari.
Ayahnya memperoleh pekerjaan dari seorang temannya yang bergelar insinyur dari Institut
Teknologi Bandung (ITB).

Ayahnya sering menceritakan kepadanya, “Mereka orang-orang yang cemerlang.


Mendapatkan pekerjaan, menghasilkan uang yang banyak.”

Ayahnya sendiri hanya lulusan Sekolah Teknik Menengah (STM). Dengan pendidikan seperti
itu, dia seringkali tak berhasil terlibat dalam proyek-proyek besar. Orang-orang hanya banyak
menerima sarjana dari perguruan tinggi terkenal. Dan begitu reformasi 1998 menyebabkan
krisis moneter yang parah, ayahnya mendadak kehilangan pekerjaannya.

43
Waktu itu Irwan tak mengerti, mengapa keluarganya jadi tak memiliki cukup uang untuk
hidup sehari-hari. Ibunya yang menjadi aktivis di organisasi perempuan sebagai Bendahara
meminjam uang tanpa sepengetahuan organisasi untuk sekolah Irwan dan adik
perempuannya, Naila. Ibunya juga menghubungi adik-adiknya, teman, dan saudara-saudara
yang lain. Hutangnya luar biasa membengkak. Beberapa kali sertifikat rumahnya keluar-
masuk bank untuk dijadikan jaminan peminjaman uang kontan. Keadaan itu tak kunjung
berubah sampai Irwan masuk SMA. Malahan bertambah jadi jauh lebih buruk.

Kelak aku akan menjadi orang sukses, membahagiakan kedua orang tuaku, Irwan berjanji
dalam hati. Jangan sampai aku gagal.

44
Bab 5

Jakarta, empat tahun kemudian.

Kim Eun Jung mendengar pintu kantornya diketuk. Perhatiannya sejenak diradang rasa cemas
seperti hari-hari sebelumnya. Setelah dua tahun melupakan negara asalnya di Korea Selatan,
ia selalu berurusan dengan bagian imigrasi Indonesia. “Sistem yang rumit!” keluh Kim Eun
Jung suatu hari. Namun, pagi itu ia sedikit lega begitu mendengar suara orang dari balik pintu
kantornya yang diketuk.

“Morning, Mr. Kim.”

Ia menatap ke arah pintu. “Ya.”

Seorang wanita melongok perlahan. Dia mengenakan kaca mata dengan frame hitam yang
tebal, tersenyum menunduk ketika melangkah masuk.

“Apa kabar, Riska?” tanya Kim Eun Jung dengan logat Bahasa Indonesia yang aneh.

Wanita itu adalah Riska Ningsih, seorang manajer yang telah bekerja selama lima tahun di
One Heart Vision, organisasi nirlaba milik Korea Selatan yang membantu pendidikan dan
kesehatan anak-anak. Riska merupakan salah satu dari lima pegawai pertama ketika yayasan
tersebut mulai bekerja di Indonesia pada saat bencana tsunami di Aceh pada tahun 2004.
Dengan cepat ia segera jatuh cinta pada pekerjaannya. Dia menyukai kegiatan menolong
orang, apalagi anak-anak yang hidup di tengah lumpur kemiskinan.

“I’ve told to him, Mr.Kim,” kata Riska tersenyum.

“Really?”

Riska mengangguk. “Ya.”

Setelah lima tahun mengabdi, Riska dan beberapa pegawai lainnya tahu betul ketika Kim Eun
Jung mengucapkan, “Apa kabar”, maka yang dimaksud adalah bukan menanyakan kabar
seseorang, melainkan mengenai perkembangan terkini dari pekerjaan hari itu. Kim Eun Jung
tak begitu baik dalam berbahasa Inggris, juga Bahasa Indonesia. Oleh karena itu, dia

45
membuat banyak orang kebingungan dengan mencampur antara bahasa Inggris, Indonesia,
bahkan Korea, ketika berbicara dengan orang-orang di sekitarnya.

“Apa” adalah salah satu Bahasa Indonesia yang paling banyak ia kuasai. Selain “apa kabar”,
Riska dan pegawai lain juga akrab dengan perkataan “apa kerja” dari Kim Eun Jung.

Kim Eun Jung melepaskan kaca matanya, “Mau, dia?”

Di usianya yang telah mencapai lima puluh tahun, Kim Eun Jung memiliki tatapan yang
berkesan ramah. Penampilannya sederhana seperti sifat seorang ayah yang hangat. Pipinya
membulat menekan matanya yang sipit.

“He need more time, Mr,” Riska melihat kepada Kim Eun Jung. “Maybe tomorrow. What do
you think?” tanyanya sejurus kemudian.

Kim Eun Jung terlihat sedang mempertimbangkan. Ia mau bertanya, tapi kemudian lebih
memilih melupakannya. Pikirannya sedang tak mampu untuk merangkai sebuah kalimat
dalam bahasa Inggris maupun Indonesia. Dia tak mau memakai bahasa Korea karena akan
percuma di hadapan Riska.

“Oke,” akhirnya Kim berkata. “Nanti bicara lagi—”

“Tomorrow,” Riska cepat-cepat membetulkan.

“Yes, yes … I mean tomorrow.”

“Oke.”

Riska beranjak dan berjalan keluar.

Malam harinya di kampus Universitas Pendidikan Jakarta, dua orang mahasiswa sosiologi
tahun ketiga asyik berbincang di taman Fakultas Ilmu Sosial. Mereka terlihat menikmati
setiap tegukan kopi, juga berbatang-batang rokok yang menjadi teman setia.

“Menurutku itu kesempatan yang bagus,” kata salah seorang dari mereka yang berbadan
besar, memiliki otot berlekuk-lekuk seperti binaragawan.

Teman bicaranya diam dan berpikir, mengetuk-ngetuk meja kayu dengan telunjuknya.

46
“Irwan, dengarkan aku,” mahasiswa berbadan tegap itu melanjutkan. “Dari semua anak
magang, hanya kau yang akhirnya ditawarkan untuk bekerja penuh di One Heart Vision.
Semua anak magang mati-matian mendapatkan peluang itu. Malah, beberapa pegawai yang
sudah bekerja di sana selalu ketakutan posisinya akan diserobot orang lain.”

Irwan mendengarkan dengan sungguh-sungguh perkataan Wira, salah satu temannya yang
juga magang di One Heart Vision selama satu tahun terakhir. Ini peluangku, Irwan
mempertimbangkan. Namun, ada satu hal yang ia rasakan jauh lebih mengagumkan daripada
bekerja di One Heart Vision.

“Kalau aku jadi kau, tawaran itu pasti kuterima,” imbuh Wira seolah menjadi yang paling
berhasrat untuk mendapatkan kesempatan itu. “Kau beruntung punya kemampuan.”

Kita di sini akan memilihmu. Kau orang yang tepat untuk melakukan ini, kau punya
kemampuan. Sebuah pikiran terngiang di kepala Irwan. Kalimat yang membuat dirinya
menjadi begitu percaya diri. Ia mendengar perkataan itu tepat dua hari sebelum Riska
memberitahunya bahwa One Heart Vision membutuhkan dirinya sebagai seorang perencana
media. Begitu Riska memberikan kabar penawaran kerja itu, Irwan menjadi gamang untuk
memutuskan. Mana yang harus dia pilih?

Ini mimpi kita. Kau yang akan memimpinnya.

Irwan meneguk dua kali kopi dari gelas plastik. Ia melihat Wira yang sedang memandang ke
ujung jalan gelap menuju gerbang kampus.

“Aku tidak bisa.”

Wira menoleh kepadanya. “Kau… apa?”

Irwan menarik nafas dalam-dalam. Ia bersandar ke sebuah tiang kayu berwarna hitam.
Beberapa bagian tiang itu terlihat terlalu rapuh dibandingkan usia sebenarnya. Sejak 1960-an,
Universitas ini telah menjadi saksi sejarah dari berbagai pusat kekuasaan di Jakarta. Di
kalangan mahasiswa di sana ada pepatah yang berbunyi demikian; kalau ingin
menumbangkan kekuasaan, mulailah dari Rawamangun.

Rawamangun sendiri adalah kawasan sebelah timur Jakarta yang tak cukup memberikan
keleluasaan mahasiswanya untuk duduk tenang mendiskusikan pelajaran, namun sangat
berguna untuk memanaskan otak dan melancarkan protes.

47
“Aku tidak bisa menerima tawaran itu—tawaran bekerja di One Heart Vision,” akhirnya
Irwan mengatakan.

Sekilas lalu Wira memandang keheranan kepada Irwan. Ia tak menyangka kesempatan sebaik
itu disia-siakan begitu saja. Atau, Wira sedang berpikir seandainya dia ada di posisi Irwan.
Orang ini gila, demikian Wira menarik kesimpulan. Tapi Wira tahu setiap orang punya
pilihannya sendiri-sendiri.

“Terserah kau,” katanya seraya melemparkan rokok ke seberang jalan.

One Heart Vision berada di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Kantornya menempati
sebuah gedung berlantai tiga dan berjejer sepanjang blok-blok Jalan Boulevard. Awalnya
organisasi ini tak memiliki niat membuka kantor di Indonesia. Namun, dampak gempa bumi
dan tsunami di Aceh pada tahun 2004 ternyata jauh di luar perkiraan siapa pun. One Heart
Vision harus membangun banyak sekolah yang ambruk diguncang gempa atau dihantam
tsunami, membantu anak-anak yang hidup sebatang kara dikerubungi masa depan yang
suram. Akhirnya, pihak pusat di Seoul, Korea Selatan, mengajukan izin kepada pemerintah
Indonesia untuk membuat kantor permanen di Jakarta.

Dalam beberapa tahun, proyek One Heart Vision telah mencapai berbagai wilayah di
Indonesia. Mereka membantu penyediaan alat-alat sekolah, memperbaiki gedung-gedungnya
yang rusak, menyediakan infrastruktur kesehatan lingkungan, dan mendistribusikan makanan
maupun minuman bergizi. Pegawai-pegawai mereka dikirimkan setiap ada bencana dan
permintaan bantuan mendadak. Mereka pergi ke Aceh, Medan, Bogor, Sukabumi, Jakarta,
dan sedang berpikir untuk menjangkau wilayah Indonesia Timur. Seluruh pendanaan
organisasi bersumber dari Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan-perusahaan
terbaik Korea yang dikumpulkan melalui Korean International Company Association
(Koica).

Pukul delapan pagi Irwan sudah sampai di kantor One Heart Vision. Ia melangkah masuk dan
langsung menuju lantai tiga tempat di mana ia biasa bekerja. Meski jadwal masuk kantor
adalah jam delapan, para pegawai di One Heart Vision tak memiliki kebiasaan langsung
bekerja.

48
Para pegawai akan berkumpul selama satu jam di ruang rapat utama lantai dua untuk
membedah sebuah buku atau berbagai kasus terbaru seputar masalah pendidikan dan
kesehatan anak-anak. Irwan tak mengikuti kegiatan itu karena dia hanyalah mahasiswa
magang. Oleh karena itu, ia selalu membawa koran ke meja kerjanya sambil menunggu para
pegawai selesai melakukan rapat pagi.

“Hai, sudah sampai ternyata,” dari arah pintu masuk Riska muncul menyapa Irwan.

“Iya, Mbak,” jawab Irwan dengan sedikit tersenyum. Ia kembali memerhatikan berita utama
harian Kompas.

Riska Ningsih adalah penggemar berat kopi. Ia selalu terlihat menyeduh tiga sampai empat
cangkir kopi setiap hari. Salah satu yang tak pernah ia lupakan adalah kopi yang mengawali
setiap pekerjaannya di pagi hari. Sambil mengaduk-aduk pelan kopinya, ia menghampiri
meja Irwan.

“Apa kau sudah tahu jawabannya?” Riska bertanya dengan pandangan menyelidik.

Sejenak Irwan diam, kemudian melipat harian Kompas.

“Ya, Mbak. Saya berterima kasih sekali, tawaran itu sungguh peluang yang baik bagi saya,”
Irwan menjawab. “Tapi …”

“Tapi?”

Irwan mengangkat pandangannya, menatap Riska yang sedang berdiri memegang cangkir
kopi di hadapannya.

“Tapi aku sudah menerima pekerjaan lain. Aku tidak bisa … “

Raut wajah Riska berubah menjadi lesu. Dia telah mempersiapkan diri dengan segala
jawaban yang ada, namun tentu saja semua tak berjalan sesuai dugaannya. Ia merasa bosan
ketika tugas mencari seorang perencana media itu tak kunjung selesai. Mulai besok aku harus
membuat poster atau apalah … dan ia mendapatkan ide lain.

“Sudah kau pertimbangkan baik-baik?” tanya Riska sambil berjalan ke mejanya.

“Ya, Mbak.”

Riska duduk, menghela nafas.

49
“Kau tahu ini adalah penawaran dari Mr.Kim langsung? Aku sebenarnya menyesal.”

Ia menatap Irwan yang sedikit keheranan.

“Mbak Riska bisa mencari orang lain. Menurutku lebih baik kalau aku tidak …”

Keras kepala, Riska sedikit menggeleng.

“Boleh aku tahu pekerjaan apa itu—yang menurutmu …“

“Majalah, Mbak,” jawab Irwan cepat.

“Kau jadi wartawan?”

“Aku yang memimpinnya. Aku pemimpin redaksi.”

Kenalkan ini yang bakal jadi Pemred kita, dia sangat hebat. Sebuah percakapan pada
pertemuan awal di warung mie Aceh melintas di kepala Irwan. Waktu itu ia diperkenalkan
kepada semua yang hadir dan merasa begitu tersanjung. Farhan benar, bisik Irwan dalam
hati. Mimpi kita lebih menyenangkan.

“Kau … wah, hebat sekali,” Riska mengangguk-angguk. “Pantas saja kau lebih memilihnya.”

“Begitulah.”

“Mungkin kau bersedia menggajiku jika suatu hari aku bosan di sini, bagaimana?” Riska
bertanya.

Irwan merasa dia salah mendengar, tapi kemudian buru-buru meyakinkan dirinya.

“Aku tidak tahu,” ia menyandarkan diri ke kursi. “Majalah ini baru mulai, dan kami tak
punya cukup uang untuk memberikan gaji.”

“Apa?”

Irwan sudah menduga Riska bakal terkejut. “Ya, kami belum memberikan gaji.”

“Tak seorang pun?”

“Tak seorang pun.”

Riska menggeleng, menggigit bibirnya yang tampak berwarna muram.

50
“Kupikir itu… eh, yah, kalian bertaruh dan itu sangat berbahaya sekali,” Riska berhenti
sejenak dan menarik nafas. “Aku akan menyebut empat juta rupiah. Jumlah yang sangat
lumayan untuk mahasiswa, bukan? Itu akan menjadi milikmu setiap bulan jika bekerja di sini.
Karena itu aku berpikir … ”

“Mbak Riska tidak perlu memikirkan apa-apa lagi,” jawab Irwan dengan suara sedikit
meninggi.

“Kau benar-benar tak mau melihat kesempatan ini lagi?”

“Tidak.”

Keduanya terdiam beberapa saat. Reza Akbar dan Yun Shin Young, dua pegawai One Heart
Vision yang lainnya masuk menghampiri meja kerja mereka.

Tanpa melihat Riska, Irwan berkata, “Lebih baik memilih mimpi daripada kesempatan.”

51
Bab 6

Perbincangan itu terjadi pada Senin siang. Farhan menelepon Irwan yang sedang berada di
kampusnya. Dengan bertanya-tanya pada dirinya sendiri, Irwan mengangkat telepon itu.

“Hei, aku sudah lihat blog-mu,” Farhan berkata dari seberang.

“Ya,” Irwan menjawab keheranan. “Oh, ya. Terima kasih, Farhan.”

“Menurutku, tulisanmu keren. Apakah kau belajar sesuatu di kampus atau tempat lain?”

“Tidak juga. Cuma hobi saja.”

Irwan berpikir sejenak, kemudian memulai perbincangan lagi, “Ehm, sebenarnya ada apa?
Tumben kau telepon.”

“Memang,” jawab Farhan, ia berdiri dari posisi duduknya. “Begini … kami mau merekrut,
mudah-mudahan kau tidak punya kesibukan lain.”

“Merekrut?”

“Ya.”

Sambil memastikan ponselnya terus menempel di telinga, Irwan berjalan mencari tempat
yang lumayan sepi.

“Apa maksudmu merekrut?” ia bertanya kemudian.

“Kami akan membuat majalah.”

“Kami siapa?”

“Teman-teman Jayakarta. Aku perlu mengingatkan, kami sudah bikin usaha sendiri—festival
musik dan buku tahunan sekolah, semacam creative media seperti itulah. Nah, sekarang kami
berencana membuat usaha yang berkelanjutan, majalah, kau Pemimpin Redaksinya. Kita di
sini akan memilihmu. Kau orang yang tepat untuk melakukan ini, kau punya kemampuan.”

Farhan terus berbicara panjang lebar sementara Irwan mendengarkannya dari seberang
dengan setengah percaya. Sesekali Irwan bertanya, meyakinkan Farhan benarkah ia tak salah

52
memilih dirinya sebagai Pemimpin Redaksi. Irwan tak punya pengalaman sedikit pun tentang
mengelola sebuah majalah, namun setiap perkataan Farhan membuatnya merasa tertantang.

“Ini mimpi kita. Kau yang akan memimpinnya,” kata Farhan.

“Wah, kedengarannya menyenangkan sekali, terima kasih,” kata Irwan menanggapi dengan
dada yang membusung.

Dalam perbincangan itu Irwan menyadari dia masih punya kesibukan lain di One Heart
Vision. Dia masih terikat kontrak sampai enam bulan ke depan, juga aktivitas kuliah yang
masih beberapa semester lagi. Dia memikirkan rute Pamulang-Rawamangun-Kelapa Gading
yang hampir setiap hari ia lalui. Ditambah majalah ini, apakah waktuku bakal cukup? Ia
menimbang-nimbang.

“Tidak masalah. Kita bisa bertemu setiap akhir pekan dan membicarakan setiap kemajuan
melalui internet,” jelas Farhan lagi.

Tampaknya tak ada yang perlu diragukan. Farhan menyebutkan semuanya akan terjadi
melalui proses belajar bersama. Tidak perlu mereka semua berpengalaman atau apa, tapi
dengan memulainya, semuanya akan menjadi berpengalaman.

Ketika Farhan menanyakan sekali lagi apakah Irwan mempunyai kesibukan lain, ia
menjawab, “Tidak. Aku sedang tidak punya kesibukan lain.”

Dadu telah dilempar, pertaruhan akan dimulai.

Meski telah bertemu di warung mie Aceh pada malam berikutnya untuk perkenalan dengan
beberapa anggota tim, pertemuan ulang dilaksanakan kembali di rumah Linda, yang
meminjamkan ruang tamu cukup besar untuk menampung puluhan orang. Linda tak hanya
menyediakan tempat, tapi juga makanan selama rapat berlangsung meskipun dia tak terlibat
dalam bisnis majalah yang akan segera dimulai tersebut. Saat itulah dimulai rapat yang
sebenarnya.

“Terima kasih buat Linda yang sudah menyediakan tempat dan makanan yang enak,” ucap
Farhan membuka rapat. Dia meminta setiap orang memperkenalkan diri, sekedar nama
panggilan dan minat untuk mengisi peran tertentu di dalam majalah nanti.

53
Irwan mengetahui hampir semua yang hadir, karena mereka bersekolah di SMA Jayakarta. Di
antaranya Irwan mengenal Bomo yang selalu satu kelas dengannya dari kelas satu sampai
lulus. Juga ada Lutfi yang bersamanya di kelas tiga, ditambah Fahmi yang pernah beberapa
kali bertemu dengannya di SMA Jayakarta. Di sana hadir delapan orang dan Irwan tak
mengenal tiga orang lainnya. Dua orang laki-laki dan satu perempuan yang ternyata bernama
Adi, Ale, dan Ita, teman satu kampus Farhan di Universitas Islam Pembangunan.

Farhan mulai berbicara. “Sekali lagi, aku mau katakan alasan memilih Irwan.” Dia mengitari
pandangan, kemudian melanjutkan, “Dia penulis yang hebat. Aku sudah lihat blog-nya,
benar-benar luar biasa.”

Mendengar perkataan Farhan itu Irwan tak tahu harus bersikap bagaimana. Apakah dia
senang? Bisa jadi. Tapi dia juga menganggap itu sanjungan yang berlebihan. Selama ini dia
hanya menulis untuk kesenangan pribadi, bukan orang lain, apalagi untuk pembaca majalah.
Lalu, bagaimana dia harus memimpin sebuah majalah?

“Ya, kita di sini semua sama saja,” Farhan kembali menjelaskan. “Kita belum mengetahui
cara membuat majalah. Tapi kita bisa mempelajarinya, aku yakin.”

“Pengalaman akan menjadi guru kita,” Fahmi menambahkan. Wajahnya tirus, lonjong. Ia
mengenakan jins—entah karena tubuhnya yang pipih atau bukan—tapi celana itu terlalu
kedodoran menurut Irwan. Mungkin celana seperti itu sedang tren, Irwan segera
menyimpulkan. Dia tak terbiasa mengikuti perkembangan fashion. Segala yang ia kenakan
selama ini hanya terkesan wajar, seperti umumnya seorang terpelajar. Kaus berkerah menjadi
favorit Irwan. Dan ia menyukai jins yang lurus, tidak mengerucut sampai membentuk lekuk
paha dan betis seperti yang dipakai hampir semua teman-temannya saat itu.

Lutfi yang menurutnya sangat proporsional. Dia berotot namun tak besar-besar seperti
binaragawan. Kulitnya seperti diatur alam sedemikian rupa, terpanggang matahari tropis
sehingga begitu kering dan cokelat—sedikit lebih pudar dibandingkan Bomo. Lagipula Lutfi
tanpa jerawat seperti Fahmi. Dan dia tampaknya tidak terlalu suka berbicara ketika rapat.

Lima belas menit berlalu, mereka pun bersepakat untuk mulai membahas konsep majalah
yang diinginkan.

54
“Kita akan buat informasi tentang suburban, pinggiran Jakarta—dalam versi anak muda.
Isinya menyangkut gaya hidup. Kita akan meliput konser, festival, kuliner, dan budayanya,”
jelas Farhan lagi.

Selanjutnya Irwan bertanya-tanya tentang konsep majalah yang akan mengangkat sisi
kehidupan pinggiran Jakarta itu. Dia mendapatkan jawaban bahwa majalah tersebut nantinya
akan berkutat di seputar Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, kota-kota penyangga Jakarta
yang menurut Farhan telah berkembang sangat pesat.

Semua anak bersepakat menjadikan majalah mereka sebagai satu-satunya referensi bagi
masyarakat untuk memahami kawasan penyangga Jakarta secara lebih baik, pusat-pusat
hiburan, bisnis, dan juga komunitas anak mudanya.

Mereka terus berbicara sampai menetapkan tema setiap bulan untuk jangka waktu satu tahun.
Tak ada panduan, melainkan hanya setumpuk majalah serupa yang dikumpulkan oleh mereka
dengan berbagai judul dan segmen informasi. Mereka menggunakannya sebagai referensi.

Pada saat pembahasan nama, Light Magazine dijelaskan oleh Fahmi sebagai cahaya yang
akan menerangi masyarakat dengan informasi-informasi segar, terutama karena kawasan
penyangga Jakarta sering dipandang sebelah mata selama ini.

“Kenapa harus Jakarta terus?” ujar Fahmi bersemangat. “This is suburban Jakarta!”

Ucapan Fahmi itu kemudian resmi menjadi tagline majalah. Light Magazine—This is
Suburban Jakarta!

55
Bab 7

Sesuai dugaan Irwan, membuat majalah tak pernah semudah apa yang ia bayangkan. Teman-
temannya saling bertukar informasi mengenai berbagai macam hal di rangkaian pesan grup
Facebook. Mereka memberikan berbagai hal menarik untuk diliput, dan Irwan harus
memantau setiap saat, kemudian membuat keputusan secepat mungkin.

Sebentar saja Irwan mengetahui bahwa dirinya telah terpecut untuk memiliki wawasan yang
luas. Dia tak hanya harus mengetahui hal-hal yang selama ini disukainya saja, tapi juga apa
yang sebenarnya dia benci.

“Astaga …, ” kata Irwan terperangah mengamati sebuah pesan di grup facebook. “Merk
sepatu, musik terbaru, kuliner … yang benar saja!”—dia menyadari waktunya tak cukup
untuk mengurus pekerjaan di One Heart Vision.

Selain hanya berbekal contoh dari kebiasaan-kebiasaan majalah lain, atau memperkirakan
dengan imajinasi ala kadarnya, Irwan dan teman-temannya juga tak didukung oleh fasilitas
yang memadai. Mereka masih menggunakan motor dan membeli bensin untuk liputan dari
kocek pribadi.

Selain itu, hanya ada satu kamera DSLR sehingga apabila ada jadwal liputan yang
bersamaan, Irwan terpaksa mencari akal. Dia akan melihat liputan yang lebih penting dan
membatalkan yang lain, atau terpaksa mengambil foto dari internet—sesuatu yang disepakati
oleh semuanya sebagai hal yang paling memalukan.

“Cuma ada ular di hutan,” ujar Irwan kepada Fahmi yang bertugas sebagai desain grafis
merangkap fotografer di Light Magazine. “Kita mati kelaparan atau memakannya, tidak ada
jalan lain.”

Semua pekerjaan seketika berlangsung seperti siksaan tiada henti. Seolah tak pernah ada
waktu luang, setiap orang menjalaninya dengan naluri masing-masing.

Irwan melahap berbagai artikel yang biasa dibuat oleh berbagai majalah. Dia membacai
website dan koran, dan berusaha memperhatikan siaran radio maupun televisi. Ia mempelajari
bagaimana seharusnya isi dari setiap lembar Light Magazine. Dalam dua minggu pertama,

56
Irwan membimbing setiap liputan dengan sabar. Dia mendapati tulisan yang kacau bukan
main.

“Lutfi, tulisanmu ini… menurutku tak ada hal baru yang bisa menarik minat pembaca.”

“Oh, begitu ya,” jawab Lutfi.

“Ya.”

“Lalu harusnya bagaimana?”

“Begini. Kupikir kita harus belajar mengenai sudut pandang dan berkreasi terhadapnya… “

Irwan pun menjelaskan apa yang ia pahami tentang membuat tulisan dengan sudut pandang
menarik. Semua temannya mendengarkan.

“Kita harus lihat hubungan-hubungan yang tak disadari orang lain. Karena itu wawasan yang
luas, banyak membaca, sangat penting,” jelas Irwan. “Kecuali jika informasimu mengenai
artis atau tokoh besar, atau hari kiamat. Artikel seperti itu sudah tentu menarik bagi
pembaca.”

Irwan memperhatikan setiap judul artikel yang ia terima. Nalurinya semakin menginginkan
kualitas berita yang tinggi. Dengan demikian, mereka mulai dihadapi oleh tenggat waktu
yang ketat.

Setiap kali menerima artikel liputan, Irwan merasakan sakit kepala.

“Tidak karuan!” ia menyandarkan dirinya ke kursi, lalu memanggil Bomo.

“Tulisan ini cuma catatan wawancara?” tanya Irwan.

Bomo mengangguk. “Ya, begitulah.”

“Begitulah bagaimana?” Irwan jadi tak sabar. “Kau kan tahu, ini band yang cukup besar.
Buatlah jadi artikel mendalam!”

Walaupun tema majalah sudah ditentukan dalam rapat redaksi, Irwan sering mendapatkan
pertanyaan dari teman-temannya, khususnya mengenai segala hal mengenai liputan.

“Wan, aku belum dapat kepastian dari narasumber. Bagaimana?” Fahmi bertanya.

57
Irwan berpikir sejenak sambil menyudahi kegiatannya memeriksa artikel lain.

“Menurutmu, siapa orang yang pantas untuk menggantikan dia?”

“Aku tidak tahu.”

Lalu aku harus tahu? Irwan menarik nafas dalam-dalam.

Ia pun mencari narasumber lain, mempelajari latar belakangnya, dan meminta Fahmi
menghubunginya. Begitu seterusnya sampai semua informasi telah didapat, telah sesuai
dengan rencana pada rapat redaksi sebelumnya.

Konsep Light adalah free magazine, sebuah majalah yang disebarkan ke berbagai tempat
keramaian, seperti café, fitness center, base camp komunitas, atau restoran. Majalah itu bisa
dimiliki orang-orang secara gratis.

Semua awak Light Magazine berharap banyak pemasang iklan menghampiri mereka. Hanya
dengan jalan itulah majalah bisa terus terbit dan membayar kerja keras para pekerjanya. Iklan
menjadi salah satu hal yang paling diributkan ketika tenggat waktu penerbitan telah di ujung
tanduk. Bomo dan Farhan bertanggung jawab dalam urusan penawaran iklan tersebut.

Pada Sabtu sore Bomo bertanya kepada Irwan. “Semua artikel sudah kau terima?”

“Belum. Ada beberapa artikel yang…”

“Kapan siap?”

Ini bagian yang paling kubenci, batin Irwan. Dia tak pernah bisa menyelesaikan pemeriksaan
seluruh artikel sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Waktunya habis menempuh
perjalanan pulang balik Pamulang-Rawamangun-Kelapa Gading. Lagipula setiap orang
terlalu lama dalam menulis berita untuk segera diberikan padanya.

“Dua hari lagi.”

Bomo menggaruk-garuk kepalanya, mencari-cari sesuatu. “Duh! Ada yang lihat kalender?”

“Itu …,” Fahmi menunjukkan. “Tertimpa buku tahunan.”

58
Setelah mengamati kalender dengan telunjuknya, Bomo menoleh dan berkata kembali kepada
Irwan. “Artikel selesai besok, oke?”

Irwan mengangguk. “Oke!” Dalam hati sebenarnya ia berkata, Mati aku!

Pada saat mengejar tenggat waktu penerbitan, semua tim akan berkumpul di kantor dengan
tugasnya masing-masing. Ruangan kantor Light hanya sebuah kamar tak lebih dari 36 meter
persegi. Sebenarnya kamar itu milik seorang teman Bomo dan Fahmi yang disewakan kepada
mereka.

Dalam ruangan yang sempit itu, delapan orang berkumpul di tengah berbagai barang. Hanya
ada dua komputer dan satu laptop untuk bekerja, selebihnya adalah kardus-kardus, tumpukan
DVD berisi data, folder-folder surat, sebuah kipas angin, mesin fax, dan dispenser mini.

“Lain kali harus lebih cepat dong!” Fahmi berseru kepada Irwan.

“Oke, maaf.”

“Pemimpin Redaksi harus lebih galak,” Farhan menambahkan.

Sementara itu Bomo sibuk dengan telepon dan mesin fax. Dia menarik selembar kertas,
kemudian tiba-tiba berdiri di tengah-tengah ruangan.

“Lihat!” katanya seraya melambai-lambaikan kertas tersebut. “Alhamdulillah, sudah ada


yang beriklan nih!”

Semuanya berebut menarik kertas dari tangan Bomo. Farhan yang lebih dulu meraihnya,
bersorak, menjitak kepala Lutfi, dan mereka tertawa lepas. Sepuluh menit kemudian
terdengar suara ketikan yang begitu cepat dan kasar dari setiap komputer. Semuanya terbakar
semangat empat-lima.

Urusan tata letak menjadi tugas utama Fahmi. Dia mengedit semalaman suntuk sambil
ditemani Irwan di sampingnya.

“Rasanya aku mau muntah,” ujar Fahmi.

59
Sebagai penata letak, dia harus mengetahui semua artikel dan foto yang ada. Dia harus
menentukan bagian mana dari artikel yang harus diperbesar menjadi kutipan. Dia juga
meneliti apakah terdapat kesalahan penulisan, kekurangan huruf, dan caption foto.

“Bagian ini jadi kutipan saja,” kata Irwan di sampingnya. “Judul pakai font tebal.”

Fahmi hanya mengangguk. “Artikel yang lain mana? Aku belum terima semua.”

Aku sudah bilang, “Besok kuminta.”

Dua hari kemudian seluruh artikel telah diterima oleh Irwan. Dia masih mendapati
kekurangan yang bermacam-macam. Semua artikel ditulis dengan terburu-buru, dan menurut
Irwan tak akan menarik bagi pembaca. Merasa waktunya tak cukup, Irwan berusaha keras
mengubah artikel-artikel tersebut. Setelah selesai ia menyerahkannya kepada Fahmi untuk
dimasukkan ke dalam tata letak majalah.

Mereka menunggu satu minggu. Ketika edisi pertama Light selesai dicetak, Fahmi berkata,
“Masing-masing bawa Light, perlihatkan ke semua orang.”

Edisi pertama Light menerapkan desain yang penuh warna dan atribut. “Majalah anak muda
memang harus begini, berwarna, jangan terkesan serius,” jelas Fahmi mengenai
kreativitasnya dalam mendesain Light tersebut.

Lutfi bertanggungjawab untuk urusan sirkulasi. Dia menentukan titik-titik distribusi majalah
di sekitar kawasan Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang.

“Kita pakai jasa pengantar barang saja,” Lutfi mengusulkan.

“Begini…,” Adi menoleh pacarnya yang berjilbab, Ita.

Gadis itu langsung mengetahui maksudnya dan berkata kepada Lutfi, “Uang kita tidak cukup.
Tak ada alokasi untuk itu.”

Adi dan Ita bertugas membukukan keuangan Light Magazine. Perangai keduanya cukup kaku
sehingga Irwan beranggapan mereka tipe anak yang text book, tidak terbiasa menghadapi
situasi lapangan yang tak pasti. Biasanya mereka mengambil keputusan melalui teori-teori
dari kelas manajemennya. Mendengar penjelasan dari keduanya, Lutfi jadi kebingungan.

60
“Lalu, bagaimana aku harus…”

“Kita kirim saja pakai sepeda motor,” dengan cepat Farhan mengusulkan. “Kita bagi-bagi
tugas.”

Semuanya saling berpandangan.

“Baiklah, mau bagaimana lagi,” kata Lutfi kemudian.

Lutfi pun membawa sepeda motornya untuk berkeliling mengirimkan majalah. Dia bersama
Ale, anak magang yang Irwan menyadari memiliki tubuh lebih jangkung dan kurus
daripadanya. Irwan sering melihat Ale begitu cemas kalau menghadapi sesuatu, seperti ketika
menentukan titik-titik distribusi Light Magazine bersama Lutfi.

“Eh, benarkah kita mau sebarkan ke semua tempat ini?” dia pernah bertanya. “Yakin tidak?
Kalau nanti majalahnya tidak dilihat orang bagaimana? Takutnya malah dianggap, maaf,
sampah.”

Di waktu lain Farhan membisiki Irwan. “Aku jenuh menghadapinya,” ia berkata. “Lama-lama
kesannya dia mengatur kita, padahal cuma magang di sini.”

Irwan bingung. Antara belum cukup mengenal Ale dan bagaimana seharusnya mengambil
keputusan terbaik terkait distribusi majalah. Dia kan teman kampusnya, Irwan berpikir.
Bilang saja sendiri …

Tegas tak pernah menjadi sifat Irwan.

***

Ketika Irwan membawa Light edisi pertama ke kampusnya, dia merasa bangga. Dia
membayangkan teman-temannya akan melihat namanya tercantum sebagai Pemimpin
Redaksi. Mereka pasti tercengang, pikir Irwan.

Tapi itu pikirannya.

Salah satu teman Irwan yang menerima edisi pertama Light berkata seraya mengerutkan
kening, “Ini majalah apa kitab suci?”

Light edisi pertama menggunakan kertas setebal karton. Oleh karena itu, mereka
membicarakan jenis kertas dan desain yang lebih pantas pada rapat selanjutnya.

61
Bab 8

Setelah edisi pertama Light Magazine berhasil diterbitkan, Farhan mengusulkan website agar
Light mampu bersaing di tengah tren media digital.

“Kita fokus saja dulu di versi cetak,” Fahmi menyarankan.

“Jangan. Tanpa website, kita tak akan menang.”

Irwan mengamati keduanya. Sebenarnya dia lebih sepakat dengan Fahmi, namun dengan
tololnya malah bertanya, “Bagaimana nanti mengisi website itu?”

“Kita tulis berita-berita singkat yang ringan. Kita buat jadwal mingguan untuk
memperbaruinya. Tidak masalah, kan?”

Mereka berdiskusi panjang, dan pada akhirnya keinginan Farhan tak bisa ditolak. Dalam dua
minggu Light telah memiliki website di samping majalah versi cetak. Kesibukan mereka pun
segera bertambah. Selain harus meliput berita di majalah versi cetak, mereka juga bersepakat
membagi jadwal liputan tambahan untuk website.

Irwan menjelaskan bagaimana sifat informasi yang akan diterbitkan di website Light.

“Setiap informasi yang sifatnya segera, tak tahan lama, harus terbit di website. Mungkin
seperti peristiwa, jadwal event, dan semacamnya.”

Farhan berkata menambahkan, “Benar. Konferensi pers sering berlangsung. Kita harus lebih
banyak menghadirinya. Di sana kita bisa memperbanyak kenalan sesama rekan wartawan.”

Semuanya menyetujui.

Suatu hari Irwan menghadiri konferensi pers sebuah kegiatan konser. Dia berjalan memasuki
sebuah lobi hotel bintang lima, kemudian gugup begitu menyadari dirinya berada di tengah-
tengah lusinan wartawan professional dari berbagai media besar. Wartawan-wartawan
tersebut sangat percaya diri. Ketika konferensi pers memasuki sesi tanya-jawab, suara-suara
mereka mulai terdengar saling tumpang tindih.

“Saya dari harian Kompas … “

62
“Saya Rolling Stone … “

“Saya dari detik.com, apa pesan yang …”

Begitu seterusnya.

Para wartawan itu mengetik dengan cepat. Mereka menggunakan smartphone. Sesekali
beberapa fotografer maju, berjalan ke sana kemari, memotret dengan kamera yang membuat
Irwan semakin ciut.

“Oke, pikiran ini terlalu menggangu,” Irwan menasehati dirinya sendiri.

Selesai konferensi pers, ia bergegas menuju sepeda motornya, kemudian meluncur secepat
kilat.

Nilai berita konser itu cukup besar. Irwan ingin website Light menerbitkannya secepat
mungkin. Karena pagi itu Irwan ada jadwal kuliah, ia mencari warung internet di kampusnya
untuk mengetik. Dengan melihat-lihat kembali selembar kertas yang telah ia coret-coret pada
saat konferensi pers tadi, jari-jari Irwan bergerak lincah menekan keyboard komputer.

Dua puluh menit kemudian Irwan selesai dan menelpon kantor Light. Dia mendengar
seseorang mengangkatnya.

“Halo, redaksi Light Magazine. Ada yang bisa—”

“Halo … oh, Farhan ya,” Irwan memotong. “Aku kirim berita. Segera terbitkan di website
ya.”

“Oh, oke.”

Telepon ditutup.

Irwan pun berjalan ke ruang kelasnya. Namun, sebuah pesan masuk ke ponselnya dan dia
melihat nama pengirimnya, Farhan. Pesan itu berbunyi:

Laporanmu luar biasa. Maafkan aku, gajimu seharusnya lebih dari 10 juta rupiah.

Irwan menggeleng dan tersenyum. Dia semakin mengenal Farhan.

***

63
Jalan-jalan adalah ambisi Farhan. Dia terkenal suka melakukan berbagai perjalanan nekat di
kalangan teman-temannya.

“Suatu hari nanti aku mau keliling dunia,” dia pernah berkata.

Berhubung Light masih majalah baru, Farhan membuktikan kenekatannya untuk menjadikan
majalah tersebut langsung berlari secepat mungkin.

Peristiwa itu terjadi ketika seorang teman memberitahunya tentang sebuah ekspedisi ke
Taman Nasional Taka Bonerate di Sulawesi Selatan.

“Aku ikut!” ia bersorak di telepon kepada temannya itu.

“Bisa saja. Tapi para wartawan yang ikut ke sana sudah dipilih dan dapat undangan resmi.
Aku bisa jamin kau bisa ikut, tapi kau bayar sendiri. Kau mau jika menggunakan biaya
sendiri?”

“Baik. Tidak apa-apa. Yang penting aku bisa ikut.”

“Oke, kalau begitu.”

Ekspedisi berlangsung selama satu minggu. Farhan berdebar-debar menyaksikan keindahan


alam di sana. Hamparan laut, gugusan pulau-pulau gosong karang, kolam-kolam kecil yang
dalam dan dikelilingi oleh terumbu karang. Farhan berdecak kagum.

“Anda peserta dari mana?” seorang pria jangkung bertanya kepada Farhan. Dia membawa
kamera dengan logo TV Bahari.

“Saya wartawan Light Magazine,” jawab Farhan bangga.

“Maaf?” pria itu mengernyitkan dahinya.

“Light Magazine,” Farhan meninggikan suaranya. Deburan ombak membuatnya tuli, dia
menyimpulkan.

“Oh ya, tentu saja,” pria itu mengangguk-angguk. “Zaman sekarang banyak media karbitan.
Kau tahu, maaf, maksudku mereka tak menyajikan informasi yang mencerahkan.”

Farhan merasa tersinggung. “Aku tidak…”

“Selamat menikmati perjalanan.”

64
Pria itu berpaling dan pergi meninggalkannya.

Di kamar hotel khusus pers, sebagian besar orang berkumpul dalam kelompok-kelompok
kecil. Mereka sibuk berdiskusi dan membuat catatan. Beberapa orang memperlihatkan foto-
foto lautan yang baru saja dipotretnya. Farhan masuk dan menaruh barang-barangnya di
sebuah tempat tidur.

Seorang wanita berpakaian hitam berkata padanya, “Maaf, tempat tidur ini sudah terpakai.”

Farhan menatap wanita itu. “Di mana yang masih kosong?”

“Mana kutahu. Setiap wartawan sudah ditentukan kamar dan tempat tidurnya. Barangkali
milikmu di kamar lain.”

Farhan mengambil barangnya. Ketika malam tiba, dia datang kembali ke kamar hotel khusus
pers itu dengan membawa karpet tipis yang dipinjamnya dari seorang petugas hotel. Dia
menggelar karpet itu di lantai, menggunakannya sebagai alas tidur. Para wartawan di
sekelilingnya berbisik-bisik, menggeleng-geleng, menyangka Farhan orang gila.

Tak ada seorang pun yang menawarinya ke tempat tidur, tak ada seorang pun.

Besok paginya adalah waktu bagi para rombongan ekspedisi untuk menikmati keindahan
dalam laut Taka Bonerate. Mereka bersama-sama melakukan diving. Para wartawan telah
hadir di tepi pantai, menanyai secara serempak salah satu peserta yang ternyata adalah Puteri
Indonesia. Farhan mengejar kesempatan itu.

“Maaf, Mas. Sebentar lagi TV kami harus mengadakan wawancara khusus,” kata seorang
pria di sana.

Farhan menatap pria itu. “Aku cuma sebentar.”

“Tidak bisa.”

Kurang ajar! Apakah di sini tak ada wartawan yang punya hati? Farhan berpaling sambil
bersungut kesal. Dia memerhatikan Puteri Indonesia itu diwawancarai, menghadap kamera,
dan diajarkan cara berkata-kata oleh seorang pemandu.

65
“Anda Puteri Indonesia yang terkenal menyukai diving,” salah satu pertanyaan terdengar.
“Bisakah Anda jelaskan mengapa memilih hobi tersebut?”

Puteri Indonesia itu tersenyum. Ia menampilkan aura kepandaian seorang wanita dewasa dan
kecantikan yang memesona. Kakinya terlihat jenjang. “Saya menganggap ini adalah hobi
yang bisa membantu saya memahami lebih baik keindahan alam Indonesia. Saya juga jadi
menyadari betapa besar ciptaan Tuhan di dalam kegelapan laut. Saya senang bersama ikan-
ikan dan terumbu karang. Kalau bisa, saya ingin bernafas dengan insang.”

Wartawan yang menanyakan itu tampak mengangguk-angguk dan tergelak. “Adakah


persiapan khusus dalam melakukan diving?”

“Tidak juga, sama seperti persiapan umumnya dalam melakukan diving. Saya memilih
peralatan dari…”

“Pesona Bahari,” sebuah suara memotong. Seketika orang-orang menoleh ke arah sumber
suara tersebut. Ternyata Farhan.

Puteri Indonesia itu tersenyum dan berdiri. “Benar sekali,” ia tampak terkejut. “Anda tahu
dari mana?”

“Saya banyak meneliti Anda,” Farhan tersenyum.

“Oh, data yang lengkap!” Puteri Indonesia itu bersorak riang.

Aku bukan wartawan karbitan.

Pada saat Puteri Indonesia itu melakukan diving, ia mengajak Farhan turut meliput
bersamanya. Farhan mendapatkan kesempatan waktu wawancara lebih banyak daripada
wartawan-wartawan lain. Sepintas saja dia telah membuat seluruh wartawan yang lain gigit
jari.

Kalian lihat kemampuanku, ujar Farhan dalam hati.

Ketika pulang ke Jakarta, Farhan berhasil mengikat kontrak pemasangan iklan dengan
promotor kegiatan untuk ekspedisi selanjutnya.

***

66
Pada suatu hari Farhan terkulai lemas di tempat tidurnya. Seharian itu otaknya terkuras untuk
berpikir, sedang badannya terus dituntut untuk bergerak gesit. Tapi keadaan di Light lebih ia
sukai daripada ketika bekerja sebagai kasir di sebuah restoran satu tahun sebelumnya.

Bosnya waktu itu adalah seorang pria Amerika yang baik hati. Dia menyukai kinerja Farhan,
dan selalu terang-terangan memujinya. Namun bagi orang-orang di sekitarnya, Farhan
membuat mereka muak.

“Mahasiswa kampungan,” kata salah satu kasir yang lain, seorang anak muda berbadan
krempeng dengan wajah pucat. “Aku ingin dia merasakan sedikit pelajaran.”

Pemuda krempeng itu mencuri beberapa uang logam setiap hari di kasir. Dia melakukannya
ketika telah datang giliran Farhan menggantikannya untuk menjaga kasir. Akibatnya sang bos
memperingati Farhan, meminta mengecek ulang. Farhan menuruti perintah itu. Namun,
karena jumlah uang yang dihitungnya memang kurang, terpaksa ia menggantinya dengan
uangnya sendiri.

Ketika ia memeriksa ulang jumlah uang hingga larut malam, dia melihat makanan yang sudah
disentuh sedikit oleh pelanggan. Makanan sisa… Farhan tak tahu kenapa makanan tersebut
tak segera dibuang. Ia menatapnya ragu-ragu, kemudian dengan dorongan alamiah
memakannya sambil menangis.

Pada saat keluar dari pekerjaannya itu, dia menemui Irwan pada malam harinya. “Aku tak
mau lagi,” ujar Farhan. “Di sana banyak orang gila.”

67
Bab 9

Modal utama untuk mencetak majalah Light berasal dari keberhasilan Farhan, Fahmi, Bomo,
dan Lutfi yang sebelumnya menjalankan bisnis event organizer dan pembuatan buku tahunan
sekolah di bawah bendera CV Prasasti Indomedia. Perusahaan itu juga yang kemudian
menaungi Light Magazine.

“Mau dengar pengakuan tidak?” tanya Farhan kepada Irwan pada suatu hari. “Aku datang ke
sekolah-sekolah membawa beberapa buku tahunan. Kuperlihatkan pada guru-gurunya,
kemudian mereka bertanya, ‘Ini bikinan Mas Farhan?’ kujawab, ‘Ya.’ Padahal bukan, tapi
mereka percaya dan mengumpulkan sekian ratus juta rupiah untuk menggunakan jasa kita.”

Awalnya bisnis buku tahunan lumayan menguntungkan. Tapi Farhan dan yang lainnya
menyadari bahwa mereka tak bisa bergantung pada proyek-proyek musiman. Mereka harus
menciptakan sumber baru yang bisa memberikan keberlanjutan pendapatan mereka sepanjang
tahun. Pada saat itulah tercetus rencana Light Magazine.

“Menurutku kita yakin saja dengan apa yang kita lakukan,” Farhan berkata lagi di sebuah
obrolan bersama tim Light Magazine. “Di tengah proses nanti pasti ada jalan, entah apa itu
bentuknya.”

Seperti halnya edisi pertama, edisi Light berikutnya selalu menuai perasaan campur aduk bagi
mereka. Satu sisi mereka bangga melihat bagaimana kerja keras mereka dalam meliput,
mendesain, mencari sumber iklan, sampai rapat yang susul menyusul tak kenal waktu, dapat
tercetak beratus-ratus eksemplar. Namun mereka juga selalu kecewa terhadap kecacatan yang
ada. Setiap edisi tak pernah lepas dari hal itu.

Fahmi pernah tak menyadari bahwa desainnya telah memotong sebuah artikel penting.

“Yah …,” ujarnya lesu. “Aku sama sekali tak lihat!”

Mereka juga tak selalu bisa berpikir kreatif dalam menulis informasi. Setiap orang terbelah
dalam berbagai fokus. Farhan dan Bomo sering membutuhkan waktu yang sangat lama untuk
menyelesaikan tulisannya. Sebaliknya, Fahmi dapat menyelesaikan dengan cepat, namun
Irwan seringkali tidak puas dengan apa yang dia tulis. Sisa personil yang lain, Lutfi, Adi, dan

68
Ale, setali tiga uang. Tak ada orang yang akan tertarik membaca hasil laporan mereka. Ita
sendiri tak pernah mau ikut menulis jauh sebelum edisi pertama Light benar-benar terbit.

Di antara mereka pun mulai memikirkan keputusan sendiri-sendiri.

Adi, Ale, dan Ita mengundurkan diri dari Light tepat setelah edisi kedua baru saja terbit.
Mereka berencana menghabiskan waktu untuk menyelesaikan kuliahnya. Pembukuan
keuangan yang selama ini dikerjakan oleh Adi dan Ita menjadi tugas tambahan Farhan.

“Terima kasih buat kesempatannya,” kata Adi tersenyum. Sebelumnya dia tak pernah
memberitahu bahwa kekasihnya, Ita, juga akan mengundurkan diri. Sedangkan Ale yang
menjadi mahasiswa magang di Light, tak berniat meneruskan lebih lama lagi. Untuk sebuah
keterlibatan yang panjang, dia merasa Light bukan bakatnya.

Kini Light hanya menyisakan lima orang yang semakin tersiksa dikerubuti tugas dari hari ke
hari.

69
Bab 10

Irwan sedang membuat artikel utama tentang kemeriahan tahun baru di suburban Jakarta
ketika seseorang datang ke rumahnya. Ia berjalan menghampiri pintu.

“Oh,” katanya menyadari siapa yang datang. “Ternyata kau, mari masuk.”

Dia adalah Boy. Sudah berapa lama mereka tak bertemu? Irwan mencoba mengingat-ingat.
Keduanya berjabat tangan.

Irwan menyadari Boy tak banyak berubah. Potongan rambutnya sama saja seperti waktu
SMA dulu. Kesan Irwan mengenai Boy adalah wajahnya yang melekuk ke dalam, mungkin
akibat dahinya yang jenong. Ditambah perutnya yang juga menekuk di bawah bahunya yang
membungkuk, Boy selalu tampak menyusut.

“Aku kaget kau datang ke sini,” Irwan mengantarkan sebotol air dingin kepada Boy. “Sudah
lama aku tak melihatmu.”

Boy tersenyum. “Ya. Banyak yang ajaib di dunia kampus, aku lumayan betah.”

Boy kemudian bercerita bahwa dia sudah lulus. Dia menempuh jenjang diploma bidang
periklanan. Aku sudah tahu, Irwan menanggapi dalam hati. Dan kini Boy berencana
meneruskan ke strata satu sambil mencari pekerjaan.

“Kudengar kau sedang kerja di majalah ya?” Boy bertanya.

“Ya,” jawab Irwan. “Aku, Farhan, Fahmi, Lutfi, dan Bomo. Kami membuat majalah
bersama.”

“Hebat sekali.”

Kata-kata “hebat sekali” yang pada awalnya sering diharapkan oleh anak-anak Light, kini
terdengar seperti ironis. Mereka tentu saja sangat kelelahan, dan semakin tak percaya dengan
segala pujian.

“Biasa saja,” jawab Irwan pelan. “Oh, sebentar … akan kuperlihatkan padamu. Kau mau
melihatnya, bukan?”

“Dengan senang hati.”

70
Irwan mengambil beberapa edisi dari sebuah pojok lemari di bagian atas. Setiap kali terbit
edisi terbaru Light, ia menyimpan sepuluh eksemplar. Lima untuk dirinya, lima lagi untuk
setiap narasumber yang telah ia wawancarai.

“Ini dia,” kata Irwan menyodorkan. “Aku ingin dengar pendapatmu.”

Boy membuka-buka halaman Light. Majalah itu berukuran sedikit lebih besar dari buku saku,
sebanyak 61 lembar isinya mencantumkan hal-hal yang diminati anak muda.

“Keren!” ujar Boy sambil terus menatap halaman per halaman Light. Ia diam sebentar,
melihat Irwan. “Bolehkah aku membantu kalian?”

Pertanyaan yang tak disangka-sangka Irwan. Ada yang menawarkan diri untuk bergabung.
Wow, sehebat itukah majalah kami?

“Aku menghargai itu,” jawab Irwan. “Aku bisa menyetujuinya sekarang juga, tapi … “

Boy menunggu Irwan melanjutkan perkataannya.

“Tapi bagaimana aku tahu bahwa kau bisa membantu kami?”

Boy berpikir sejenak, dia tahu maksud pertanyaan Irwan. “Tentu saja,” katanya. “Aku akan
berikan beberapa tulisan, maukah kau memeriksanya?”

“Baik.” Dalam hati Irwan bertanya, sejak kapan aku bisa menilai tulisan orang?

Bukan hanya Irwan, tapi semua personil Light yang lain, termasuk Farhan, menyambut Boy
dengan senang hati. Dengan meniru-niru majalah lain, Irwan dan Farhan menentukan Boy
sebagai Research and Development, R&D, di Light Magazine. Tugas utamanya adalah
melakukan pendalaman materi untuk setiap tema yang akan diangkat oleh Light. Sebenarnya
Irwan dan Farhan sendiri tak begitu tahu pasti apa maksud dari posisi tersebut.

“Hahaha, seperti majalah yang kantornya di gedung bertingkat saja,” kata Farhan ketika
menyadari Light Magazine telah memiliki seorang R&D. “Jangan-jangan nanti kita butuh
mesin cetak.”

Irwan tertawa menatapnya. “Kita berdo’a saja.”

Dua minggu berikutnya Farhan sedang berbincang dengan Fahmi di kantor Light.

71
“Kita belum juga dapatkan iklan yang lumayan,” kata Farhan.

Fahmi menatapnya. “Kau mulai cemas?”

“Lihat ini,” Farhan menyodorkan selembar kertas.

Fahmi memperhatikan kertas tersebut. “Ini jumlah uang kita, kenapa?”

“Jumlah itu hanya akan cukup untuk satu edisi lagi. Malah, bulan depan kita harus
mengurangi jumlah eksemplar majalah,” Farhan berhenti. “Aku khawatir kita perlu
menggantinya dengan kertas koran.”

Sejenak mereka diam. Fahmi terus mengamati kertas di tangannya sambil sesekali
mengernyitkan dahi. Ia lalu menghela nafas. Dia tahu inilah saatnya menenangkan keadaan.

“Ayo kita berusaha lebih keras lagi,” ia berkata kemudian. Kertas itu dikembalikan kepada
Farhan.

“Tapi, bukan cuma itu masalahnya.”

“Apa lagi?”

Farhan membetulkan posisi duduknya.

“Ini semua uang hasil kerja kerasmu, Fahmi. Kau, Bomo, dan Lutfi, yang banting tulang
membuat setiap pesanan buku tahunan … eh, aku cuma sedikit membantu mencari beberapa
klien.”

“Kau sangat membantu.”

“Ya. Tapi sekarang kita kehilangan banyak uang. Light belum mengembalikannya.”

Fahmi memperhatikan Farhan.

“Lalu apa? Kau mau menutupnya?” Ia bertanya seraya mencondongkan tubuhnya. “Sadarlah
Farhan, ini baru lima bulan.”

Farhan menggeleng-geleng. “Tidak, tidak. Tentu saja aku tidak berpikir ke sana. Hanya saja
… kupikir … keadaan jadi tak mengenakkan bagimu. Uang itu seharusnya kau nikmati.”

Dia kebanyakan pikiran, Fahmi menyimpulkan. Ia berdiri mengambil laptopnya. “Ayo, kita
kerja lagi.”

72
Ketika mengamati Fahmi yang berjalan menghampiri tumpukan CD, Farhan masih diselimuti
oleh berbagai pikiran di kepalanya. Dia ingin berkata lebih jujur, kalau bisa. Dia ingin
mengatakan, suatu hari dirinya akan merebut impian, atau malah jatuh jadi gelandangan?

***

Setiap malam Irwan tak henti-hentinya membacai edisi Light yang terbaru. Dia mengamati
tata letak, foto-foto hasil jepretan Fahmi dan Lutfi, sampai tanda baca di setiap artikel. Dia
merasa bersalah setiap kali menyadari ada sebuah kata yang terketik keliru. Coba kalau aku
lebih teliti, ia selalu berpikir. Tapi kenyataannya ia tak selalu bisa memikirkan ketepatan
artikel di dalam setiap edisi Light.

Farhan pernah dihubungi oleh seorang pemilik restoran.

“Tolong cabut artikel Anda,” kata suara dari telepon kepadanya.

Awalnya ia menanggapi biasa saja, tapi ketika suara tersebut mulai bernada mengancam,
Farhan mulai kelagapan.

“Maaf, Mbak. Artikel itu sudah naik cetak.”

Ia menceritakan segala alasan bahwa dia menulis dengan apa adanya. Sang pemilik restoran
itu adalah wanita cantik berjilbab, yang menurut Farhan sangat ramah dan pintar. Farhan tak
menyangka wanita itu bisa marah besar. Tapi Farhan sudah tahu bagaimana ia harus membela
diri.

“Saya tak bisa melakukan apa-apa. Waktu saya menanyakan berapa harga franchise Anda,
Anda hanya menyodorkan brosur-brosur itu. Nah, saya menyalinnya.”

Tak disangka si pemilik restoran itu justru melunak. Dia malah bercerita panjang lebar
tentang merk dagang yang pernah ia buat, namun kemudian hak patennya diserobot orang.

Wanita itu tak ingin masalah itu terjadi lagi. Dia membangun bisnisnya dengan keras. Dia
merasa khilaf membuat brosur-brosur yang isinya tak akurat tersebut. Dua hari kemudian,
Farhan menulis kembali dengan kisah yang sebenarnya di website Light Magazine.

Wanita pemilik restoran itu menghubunginya kembali. “Halo?”

73
“Mas Farhan?”

“Ya. Apa kabar, Mbak?”

“Baik sekali,” jawab wanita itu. Ia berpikir sejenak. “Aku ingin berterima kasih untuk artikel
di website Mas Farhan. Itu membuat semuanya jadi lebih baik. Terima kasih.”

Farhan merasa bangga dan senang. “Sama-sama.”

“Baiklah, aku tak ingin mengganggu waktu Mas Farhan lebih lama lagi.”

“Apa Anda berminat memasang iklan?”

“Akan kupikirkan.”

Wanita itu tak pernah menghubunginya lagi. Mungkin belum waktunya, Farhan selalu
berpikir. Dia tahu bahwa Light belum bisa berbicara banyak. Seandainya Light memang
hebat, Farhan yakin mereka semua tidak perlu susah-susah mencari pengiklan. Para
pengiklan akan dengan sendirinya mendatangi mereka, seandainya saja, Farhan merenungi.

Seandainya saja dia bisa memberikan Light lebih banyak modal.

74
Bab 11

Enam bulan berikutnya Light tak mampu juga menarik minat pengiklan. Oleh karena itu,
majalah tersebut berhenti terbit. Semua tim bersepakat untuk mencurahkan perhatian ke
website lightmagazine.com.

Mereka mulai berpikir zaman sudah berubah sedemikian rupa. Orang-orang sudah enggan
memiliki media cetak. Mereka lebih menginginkan media yang gratis dan mudah dibaca di
mana saja. Irwan dan yang lainnya mempelajari tren yang terjadi itu, kemudian
menyimpulkan, “Media cetak sudah gulung tikar.”

Ketika Light berhenti terbit, Randy, kawan Bomo dan Fahmi yang menyewakan kamarnya
semakin memperlihatkan tingkah laku yang aneh. Awalnya dia jarang menengok ke kantor
Light yang hanya bersebelahan dengan kamarnya itu, namun kemudian mendadak jadi sering
berada di sana, bahkan hampir setiap sore. Kadang dia meminta agar semuanya segera
mengosongkan kantor sejak pukul enam sore.

“Maaf, ibuku sedang tidak enak badan,” ia berkata. Dalam hati ia mengucapkan, Orang-
orang sinting ini harus segera angkat kaki!

Pada saat bisnis CV Prasasti Indomedia kelihatan menjanjikan, sebenarnya Randy ingin
menjadi bagian dari usaha tersebut. Ia menyewakan kamarnya di lantai dua agar lebih mudah
memperhatikan setiap perkembangan CV Prasasti Indomedia. Namun, ketika Light sudah
berhenti terbit dan Randy mengetahui bahwa hampir semua keuntungan buku tahunan
dipakai untuk membiayai Light, ia tak lagi percaya. Dia merasa CV Prasasti Indomedia akan
tersungkur, bangkrut, dan dengan begitu kamarnya harus dikembalikan.

Pada siang hari yang sibuk di kantor Light—kamarnya—ia berkata, “Hai, teman-teman, apa
kabar?” Ia masuk beberapa langkah. “Wah, sibuk sekali kelihatannya.”

Fahmi mendongak melihatnya. “Hai, Ran. Biasa saja kok.”

“Hai, Bom,” Randy melihat Bomo.

“Hai.”

75
Tanpa menyadari sebelumnya, ia duduk di sebuah kardus berisi tumpukan buku tahunan.
“Oh, maaf,” katanya buru-buru berdiri. “Kukira … “

“Tidak apa-apa,” kata Fahmi. “Buku itu tebal sekali kok.”

Randy mengangguk-angguk. “Wah, hebat juga,” katanya sambil menepuk-nepuk tumpukan


buku tersebut.

“Hari ini tidak ada kuliah?” tanya Bomo.

“Ehm… dosennya ke luar kota.”

“Oh, begitu.” Bomo menatap Randy sejenak, kemudian kembali memperhatikan layar
komputer di hadapannya. “Maaf kami selalu merepotkan. Kalau saja …”

“Tidak apa-apa,” Randy berkata. “Kalian benar-benar luar biasa. Anak muda hebat.”

Fahmi dan Bomo tertawa. Mereka menggeleng-gelengkan kepala. Sesaat kemudian mereka
melihat raut wajah Randy mendadak ragu-ragu, dia berubah menjadi sedih.

“Ehm… mumpung cuma ada kalian berdua,” katanya seraya duduk bersila. “Ada yang mau
kubicarakan.”

Fahmi menatapnya. “Oh, silahkan. Apa yang mau kau bicarakan?”

Randy masih tampak ragu-ragu. Ia berusaha seolah memperlihatkan wajah yang prihatin.
Sesaat kemudian ia menarik nafas.

“Begini …,“ katanya. “Kalian telah menyewa kamarku ini sebagai kantor, hm … mungkin
sudah hampir satu tahun.”

Dia memperhatikan Fahmi dan Bomo.

“Aku ingin bilang … ehm, sebenarnya … sebenarnya, maaf sebelumnya, tapi orang tuaku
sering tidak merasa cukup tenang belakangan ini. Mereka sering butuh istirahat, tapi
kelihatannya tak mudah, mereka bilang—” Randy menarik nafas. “ … Mereka bilang
kegiatan kalian agak sering mengganggu.”

Fahmi dan Bomo termangu-mangu. Terdengar suara kipas angin menengok perlahan dari kiri
ke kanan. Randy menunduk, namun segera mengangkat kepalanya menatap Fahmi dan Bomo
dengan wajah yang cemas.

76
“Maaf, dengan berat hati, mereka ingin kalian pindah dari sini,” katanya kemudian.

Kata-kata itu membuat keduanya terpaku sejenak. Fahmi dan Bomo merasa tak tahu harus
berkata apa. Kondisi keuangan mereka baru saja habis setelah enam kali menerbitkan Light.
Mereka sedang tak punya pendapatan. Proyek buku tahunan belum lagi dimulai. Anak-anak
sekolah masih beberapa bulan lagi akan mengadakan kelulusan.

Fahmi menarik nafas, dengan cemas ia menoleh kepada Randy. “Kami paham, Randy.” Ia
berpikir sejenak. Mungkin dia bersedia mengundurnya beberapa bulan?

Ketika Randy sudah bersiap-siap ingin berkata lagi, Fahmi mendahuluinya.

“Randy, mungkin tidak kalau kami pindah, hm, …. “ ia melihat Bomo di sampingnya.
“Sekarang bulan apa?”

“Maret,” jawab Bomo pelan.

“Nah,” Fahmi menggaruk-garuk kepalanya. “Buku tahunan akan ada lagi sekitar bulan Mei.”

“Untuk saat ini, terus terang kami tak tahu harus membayar tunggakan uang sewa dengan
apa. Kami tak punya uang. Tapi kalau bulan Mei nanti … “

“Yang penting kalian pindah dulu,” Randy memotong.

Fahmi dan Bomo langsung terkejut. Dia mengusir kita, Bomo menyimpulkan. Beberapa saat
kemudian Bomo memandang Randy. Kami memang anak muda miskin, tapi lihat saja …

“Iya. Kami akan pindah dari sini kalau begitu,” kata Bomo. “Bulan Mei nanti uang sewanya
kita lunasi.”

Bomo diam kembali.

“Besok kita akan berkemas.”

Malamnya mereka semua berkumpul di warung kopi dekat rumah Fahmi. Tak ada banyak
pembicaraan. Mereka semua sibuk memikirkan ke mana harus memindahkan kantor Light.
Ketika Farhan, Irwan, Bomo, Lutfi, dan Fahmi belum juga mendapatkan ide, Boy teringat
sesuatu. Di dekat rumahnya ada sebuah rumah yang dikontrakan dan biayanya cukup murah.

77
“Aku kenal pemiliknya, Uncle Frank,” kata Boy.

Teman-temannya menatap heran. “Uncle Frank?” Lutfi bertanya.

“Hehe… namanya Frankie. Aku sudah lama mengenalnya. Orangnya lumayan baik.”

“Seperti apa kontrakannya?” tanya Farhan.

“Hm, dua lantai—tapi lantai di atas cuma untuk jemur pakaian,” kata Boy tertawa. “Tapi ada
dua kamar untuk ruang kerja, dapur, juga ruang tamu dan ruang tengah. Harga sewanya
empat juta rupiah per tahun.”

Farhan berpikir, menatap ke langit-langit warung kopi, “Aku punya dua juta …”

“Itu cukup buat uang muka,” kata Boy.

Mereka saling berpandangan.

Bomo menatap Boy, Irwan, Fahmi, Lutfi, dan Farhan secara bergantian. “Jadi … “

Malam itu juga mereka menemui Paman Frankie yang perawakannya mirip kapal tempur.
Dia berbadan besar, gendut, berkumis lebat, dan agak botak. Namun seperti yang dikatakan
Boy, Paman Frankie sangat baik hati. Mereka menganggap lucu kumis Paman Frankie yang
nyaris mirip sikat sepatu.

“Ayolah, ayolah, silahkan anak muda bikin usaha,” kata Paman Frankie ramah. “Tapi jangan
bawa perempuan ya… apalagi obat-obatan ...,” ia menyeringai.

Farhan membisiki Boy, “Uncle Frank itu lucu juga … “

Boy mengangguk pelan. Beberapa saat kemudian semuanya bersepakat untuk mulai
menempati rumah itu keesokan siangnya.

Rumah yang disewakan Paman Frankie memang tak begitu besar, tapi lebih baik daripada
kamar milik Randy. Rumah itu persis seperti kata Boy, berlantai dua dan agak lega untuk
sebuah kantor berisi enam orang. Malam itu mereka melihat-lihat ke kamar, dapur, lantai dua,
dan membayangkan bagaimana menyulap setiap bagiannya agar lebih menyenangkan untuk
mengerjakan Light.

78
“Kau tidak apa-apa, masalahnya biaya sewa ini dari uangmu, kan?” tanya Fahmi kepada
Farhan.

“Santai saja. Kau kan sendiri bilang, ‘ayo kita bekerja keras,”’ jawab Farhan. “Di sini kita
saling membantu.”

Fahmi mengangguk-angguk. Sepertinya dia terharu menyadari teman-temannya begitu


banyak mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, sampai uang untuk bisnis bersama tersebut.
Apa mungkin ia bisa memberikan lebih banyak keuntungan buku tahunan untuk membiayai
Light suatu hari nanti?

Dia akan mengetahui jawabannya segera.

Pada saat pertengahan Mei, buku tahunan anak sekolah sudah banyak berdatangan. Fahmi
sampai kewalahan mana yang ia harus pilih—semua nilai kontrak yang ditawarkan
kepadanya sangat besar, dan pada akhirnya dia memilih semuanya.

Saat itu pula Fahmi menyadari bahwa jarak kantor Light dari rumahnya tak lagi sedekat dulu.
Dia di Ciledug dan kantor Light di Pamulang. “Aku butuh fokus di buku tahunan bersama
Bomo dan Lutfi,” ia berkata kepada Farhan. “Mudah-mudahan bisa lebih menambah modal
Light.”

Ketiganya mulai jarang memperlihatkan batang hidungnya lagi.

79
Bab 12

Farhan menyadari setiap perubahan yang terus terjadi di dalam Light. Awalnya ia
memaklumi kesibukan Fahmi, Bomo, dan Lutfi yang mengakibatkan mereka jadi jarang hadir
di kantor Light. Dia berusaha terus mengandalkan Irwan dan Boy. Tapi, menurut
pengamatannya, semuanya menjadi percuma. Apa yang bisa dilakukan tiga orang untuk
sebuah majalah?

Kecemasan Farhan juga diakibatkan oleh fokus Irwan yang masih terganggu dengan kegiatan
di One Heart Vision. Dia memperkirakan bahwa Irwan tak mampu diberikan lebih banyak
tugas untuk membuat Light semakin berlari.

“Kalau terlalu gemuk, perusahaan sulit berlari. Kalau terlalu ceking juga tak akan kuat
berlari. Nah, kita terlalu ceking untuk personil dan modal,” ucap Farhan suatu hari.

Habis mau bagaimana lagi … Irwan menatapnya dengan serius.

Sedangkan Farhan sendiri mengakui dirinya tak bisa berkomunikasi dengan Boy secara baik.
Keduanya cenderung menutup diri. Boy merasa dirinya diajak mengurus Light oleh Irwan.
Oleh karena itu, segala ide yang ia pikirkan lebih leluasa jika disampaikan kepada Irwan.

Sejak Light menempati kantor baru, Boy datang ke sana hampir setiap hari. Dia begitu rajin
membersihkan kantor. Seluruh peraturan rumah tangga adalah buatan Boy. Dia
memperingatkan dengan tulisan yang cukup besar, tertempel di dapur, ruang kantor, dan
beberapa meja.

Awalnya inisiatif Boy membuat Farhan senang. Namun dengan cepat ia berubah pandangan.

Ketika sedang makan malam di warung nasi padang, Farhan bertanya kepada Irwan. “Apa
yang dia kerjakan?”

Irwan menghentikan makannya. “Maksudmu Boy?”

Farhan mengangguk.

“Dia … dia kan R&D kita. Dia membantuku mencari sumber-sumber informasi dalam setiap
tema yang kita angkat. Seharusnya lebih dari itu, dia bisa melakukan angket pembaca,
melihat peluang kita di pasaran, atau semacam itulah …” Irwan berhenti. “Tapi kita tak

80
punya uang untuk mendukungnya. Sebagai gantinya dia kuminta untuk menulis ulasan-ulasan
musik, komunitas, berita-berita luar negeri, fashion … “

“’Seharusnya.’ Itu dia kata kuncinya,” ujar Farhan. “Kalau dia tahu Light tidak banyak
modal, seharusnya dia lebih kreatif mencari kegiatan lain dibandingkan datang ke kantor
setiap hari untuk bersih-bersih. Jangan salah sangka, Wan. Awalnya aku menyukai itu, tapi
lama-lama jadi terkesan konyol.”

Mendadak Irwan kehilangan nafsu makannya. Ia mengambil gelas berisi air di depannya,
kemudian meneguk beberapa kali.

“Aku tahu. Tapi dia sering memberikan ide menarik. Lagi-lagi karena kita … “

“Sudah, sudah!” Farhan mengangkat tangannya, menghalangi wajah Irwan. “Sampai kapan
kita mau bicara kekurangan modal? Menurutku Boy itu cuma omong besar. Dia membangga-
banggakan teman-temannya yang dari periklanan itu. Kau pikir seperti apa teman-temannya
itu?”

Irwan menggeleng.

“Aku sudah bertemu dengan salah satunya,” kata Farhan lagi. “Teman si Boy itu.”

“Oh, ya? Apa yang kalian bicarakan?”

“Banyak sekali. Dan menurutku mereka si mulut besar yang cuma bisa berwacana, padahal
belum pernah membuat satu karya pun.”

Seperti Irwan maupun yang lainnya, Boy memang suka membawa setiap edisi Light kepada
beberapa orang yang dikenalnya. Dia membawa Light untuk diperlihatkan kepada orang-
orang periklanan yang banyak memahami tentang majalah. Setelah itu Boy sering bercerita
tentang teman-temannya yang memberikan nasehat, “Kata temanku, seharusnya halaman
terdepan adalah artikel yang menarik. Kisah hidup public figure, misalnya … “

Untuk urusan pengiklan, Boy pernah mengusulkan, “Bagaimana kalau kita cari ‘ikan tuna’,
sebelum menangkap ‘paus’ …”

“Artikel-artikel Light terlalu panjang. Menurutku pembaca lebih ingin bacaan yang ringkas
…”

81
Semua pendapat Boy telah didengarkan oleh Irwan hampir setiap hari. Dan Irwan pun
menyadari bahwa Farhan mendengarkan setiap perbincangan itu, tentang Light, tentang
teman-teman Boy.

“Sekali lagi, Wan, kau harus tegas,” Farhan berkata seperti menuding.

Dada Irwan kembali berdesir. Belakangan ia mulai sumpek dengan semuanya, sudah bosan
bimbang. Kenapa sih, dia tak berani kata-katanya sampai keluar. Kenapa aku harus ada di
posisi ini?

“Aku diminta mengurus sebuah pameran komputer. Dua hari lagi aku harus ke Bandung,”
tiba-tiba Farhan berkata.

Irwan memperhatikan seolah bingung sedang ke mana arah pembicaraan mereka.

“Sejujurnya,” kata Farhan lagi. “Aku tak bermaksud egois. Kau tahu sendiri kan, aku nanti
menyerahkan sebagian besar uang hasil pekerjaan ini untuk biaya Light.”

Irwan diam, tak mengiyakan maupun menolak pernyataan Farhan tersebut. Dia begitu
percaya kepada Farhan, namun kali ini rasanya ingin sekali memprotes. Irwan merasa hanya
dirinya yang dituntut untuk menjaga Light. Seolah Light adalah anaknya sendiri. Lumayan,
kata-kata Farhan terdengar berdenging di telinga Irwan. Aku dibayar tujuh juta rupiah, cuma
kerja satu bulan. Lalu, sementara itu, Irwan tak boleh ke mana-mana. Dia harus menjaga
kantor setiap hari, tanpa ada uang di tangan.

Besok dia akan memasak indomie lagi, kemudian dicampurnya itu dengan nasi untuk bekal
selama bekerja di kantor redaksi. Oh, iya, biasanya ditambahkan juga sedikit bawang goreng.

Tapi sejak awal Irwan sudah tahu bahwa dirinya tak berani mengutarakan ketidaksetujuannya
kepada Farhan. Mereka yang mencari modal untuk kantor ini, pikir Irwan. Mereka sudah
terlalu banyak berkorban.

Irwan merasa dirinya belum seperti teman-temannya. Dia menganggap dirinya sudah
keterlaluan dengan membiarkan Light tak juga berhasil mendapatkan pengiklan. Dia merasa
bersalah. Dia merasa kurang bekerja keras.

“Aku akan mengurus Light selama kau pergi. Tenang saja,” akhirnya Irwan mengatakan.

Farhan tersenyum getir. “Aku percaya.”

82
Keadaan itu tak seperti yang diduga Irwan. Begitu Fahan pergi ke Bandung, suasana Light
mendadak sunyi senyap. Irwan kebingungan mengerjakan segala hal. Tagihan internet, listrik,
sewa rumah, datang hampir bertubi-tubi.

Dia terpaksa mengesampingkan tuntutan untuk meliput berita. Website Light berkali-kali
hanya menerbitkan berita-berita luar negeri yang ditulis ulang oleh Boy.

“Tolong, Boy, satu hari tiga artikel,” pinta Irwan. “Musik, film, gadget, atau apa saja … “

Boy memandanginya dengan heran. “Baiklah, kalau saja aku bisa…”

“Kau pasti bisa. Kau harus yakin dengan kemampuanmu. Aku mengandalkanmu.”

“Tapi…”

“Boy…,” Irwan menghela nafas. “Fahmi, Bomo, Lutfi, sibuk dengan buku tahunan anak
sekolah. Farhan tak akan kembali dalam satu bulan. Sekarang cuma ada aku dan kau.
Kerjakan saja.”

Aku harus tegas …

Boy mengangguk dan segera berjalan keluar dari kantor Light.

“Kau mau ke mana?” gelagapan Irwan mengejarnya ke depan pintu. Gawat! Jangan sampai
dia marah!

“Ke rumah,” kata Boy seraya membalik ke arah Irwan. “Di sini internetnya mati.”

Satu hal yang membuat Irwan senang adalah sosok Boy yang tak pernah banyak bicara,
namun ia merasakan bahwa anak itu sangat peduli terhadap Light. Boy memang tak memiliki
keterampilan menulis yang hebat, tapi dia lumayan bersemangat untuk terus mengembangkan
diri. Sayang sekali. Sayang sekali kalau Farhan sampai tak menyukainya.

Sementara menanti setiap artikel yang akan dikirimkan oleh Boy, Irwan menghubungi
Farhan.

“Internet mati,” sejenak Irwan ragu-ragu.

83
Sebelum ia melanjutkan bicara, Farhan sudah memberitahunya. “Sudah kubayarkan tadi,
sekalian listrik. Ada lagi?”

Paling lambat tanggal 20 ya…, Irwan teringat pesan Paman Frankie tentang biaya sewa
kantor.

“Tidak ada lagi.”

Satu minggu kemudian Irwan menyadari hal lain. Pekerjaannya kian menumpuk dan tak jelas
arah. Website Light tak lagi menampung informasi-informasi mengenai kawasan penyangga
Jakarta, melainkan terus mencomot berita-berita sekaligus foto pendukung dari website luar
negeri. Light malah menjadi semacam portal berita pada umumnya, “Atau mungkin tak ada
nilainya?” Irwan bertanya-tanya sendiri.

Namun Irwan juga harus tahu diri, bagaimana mungkin bisa meliput berita ke lapangan
langsung, jika tak ada orang lain di kantor yang membantunya? Tidak ada kamera, tidak ada
uang untuk membeli bensin dan makan? Tiba-tiba mimpi yang selama ini ia bayangkan
mendadak jadi gelap gulita.

Setiap hari Selasa, Kamis, dan Jum’at, Irwan pergi ke One Heart Vision. Dengan meminta
ongkos dari orang tuanya, ya, tentu saja. Tapi orang-orang di sana semakin merasa segan
kepadanya. Hati kecil Irwan justru menolak hal itu. Seandainya mereka tahu, Irwan berkata.

“Apa kabar Pemred kita nih!” sapa Usman, salah satu pegawai One Heart Vision. “Makin
sukses saja kelihatannya … “

Irwan hanya bisa tersenyum kecut. Dia sering berpikir apa jadinya kalau waktu itu dia
menerima tawaran bekerja di One Heart Vision. Pasti dia bisa punya uang, minimal untuk
dirinya sendiri.

Bayangan Irwan kemudian sampai pada skripsi yang akan segera dihadapinya. Seharusnya
dia sedang menabung uang untuk mempersiapkan biaya penelitiannya menyelesaikan skripsi.
Mengingat hal itu Irwan menjadi semakin tertekan. Dia takut suatu hari orang tuanya bakal
menuntut untuk segera meninggalkan Light.

84
Setelah beberapa bulan bergabung untuk mengurus Light, sebenarnya Irwan sudah
memberitahu ibunya bahwa majalah tersebut tidak akan memberinya gaji.

“Aku pemiliknya,” ia berkata kepada ibunya.

Ibunya menanggapi datar. “Oh ya.”

Prahesti Aulia adalah seorang wanita dengan masa lalu yang tak bahagia. Anak pertama,
memiliki tujuh adik, sejak SD sudah ditinggalkan Bapaknya. Nenek Irwan mencari-cari
ibunya yang waktu itu masih remaja, seusia Irwan kira-kira. Kalau ketahuan tidak langsung
pulang ke rumah sehabis sekolah, nenek Irwan marah sekali, mengambil rotan dan
menggebuk ibunya. Setelah itu ibunya akan menyikat kamar mandi, menimba air di sumur
halaman belakang untuk memandikan adik-adiknya, kemudian menyetrika, dan sebanyak
mungkin menyelesaikan pekerjaan rumah tangga sambil berderai air mata. Masa remajanya
bagaikan di penjara.

Wajah Prahesti cukup manis, sawo matang, rambut terurai sebahu, namun orang-orang akan
mendapati beberapa tahap kehidupan memilukan di dalam dirinya, yang membuatnya
memiliki kemurungan mendadak. Tulang pipinya tak sekedar menonjol, tapi juga kuat.
Setelah lulus SMA Prahesti ingin bercita-cita bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata kalau
bisa. Tapi nenek Irwan bertanya pedas, “Kau mau jadi perek?”

Dan sejak pernikahannya dengan Dadang Suryana, pria pendiam dari kampung Majalengka,
Prahesti membalas dendam kepada anak-anaknya, Irwan dan Naila. Keduanya diberikan
kebebasan memilih cita-cita, jalan hidupnya. Tapi masa lalu mempermainkan Prahesti untuk
selalu cemas. Dia menjadi amat melindungi. Bagaimana kalau anaknya tidak berhasil
menjadi apa yang mereka harapkan? Apakah kegagalannya sewaktu muda dulu akan
terulang? Tidak! Kata Prahesti. Tidak akan kubiarkan anak-anakku kalah melawan dunia!

Dan begitu melihat Irwan selalu pulang larut malam untuk mengurus Light, Prahesti mulai
mewanti-wanti. Ia berkata kepada Irwan, “Light boleh saja, tapi ingat kuliahmu.”

Itu lagi … keluh Irwan. Jauh di dalam hatinya ia ingin membuktikan, suatu hari nanti Light
akan berhasil.

85
Namun perasaan Irwan selalu berubah-ubah dari hari ke hari. Diam-diam ia juga terus
mencemaskan kuliahnya yang semakin terbengkalai. Awalnya dia merasa tenang menyadari
bahwa dirinya tinggal menyusun skripsi saja.

Suatu hari Irwan menemui dosen pembimbingnya, Ari Sujana, untuk membicarakan
skripsinya.

“Oke, penelitianmu menarik. Aku akan berikan kerangka sampai bab tiga.”

Irwan merasa senang. Dia di atas angin, karena mengetahui bahwa teman-temannya yang lain
masih mencari-cari tema skripsi, tapi dia sudah diberikan peluang untuk terus mengerjakan
sampai bab tiga. Aku akan mendahului semuanya, kata Irwan.

Enam bulan berikutnya Irwan tak pernah kembali menemui dosen pembimbingnya.

“Terus terang aku cemas melihatmu tak ada kerjaan seperti ini,” ujar ibunya suatu hari.
“Kalau kau tidak mau mengerjakan skripsi, cobalah cari pekerjaan yang menghasilkan uang.
Tidakkah kau mau membiayai dirimu sendiri?”

Irwan tersinggung. Mencari pekerjaan? Batinnya bertanya. Huh, aku ini pemilik majalah!

Namun agar ibunya merasa lega, Irwan berpendapat bahwa dia harus mengerjakan
skripsinya. Dia tak mau melakukan pekerjaan di tempat lain kecuali Light. Baginya skripsi
adalah tameng utama agar ibunya tak melulu menyalahkan Light dan dirinya. Dengan
demikian, dia mendatangi Ari Sujana kembali.

Ketika itu Ari Sujana menyambutnya dengan sinis. “Kau ke mana saja? Aku malas
membimbingmu lagi.”

Irwan gelagapan.

“Maaf, Pak, saya…” katanya menelan ludah. “Saya sedang mengurus majalah.”

Ari Sujana memicingkan mata. Dia menghela nafas. “Nanti saja majalah. Sekarang kau
kerjakan ini dulu, mengerti?”

Kau tidak bisa mengatur mimpiku, ujar Irwan.

“Apa?”

“Oh, eh … tidak apa-apa,” ujar Irwan salah tingkah. “Ya, Pak. Terima kasih.”

86
Ari Sujana memandangnya heran. “Kembalilah minggu depan.”

“Minggu depan? Tapi saya tidak…”

Sambil mencondongkan badannya, Ari Sujana menatap tajam. “Kau tidak apa?”

“Saya tidak menyangka bisa seberuntung ini.”

Bimbingan dari Ari Sujana ternyata berlangsung keras dan sangat membosankan. Ketika
Irwan menemuinya satu minggu berikutnya, dosen itu memberikan tugas-tugas di luar yang
seharusnya dia kerjakan. Ari Sujana tidak meminta Irwan untuk menyelesaikan penelitiannya,
akan tetapi malah mengajarkan pelajaran lain yang berkali-kali membuat Irwan keheranan.

“Kau perhatikan ini,” ujar Ari Sujana bangga. “Bagaimana caranya agar kau menulis dengan
bahasa konstruk—bahasa yang akan membiarkan pembacamu sendiri mengambil
kesimpulan.”

Irwan termangu-mangu. Perintah dari Ari Sujana terus berdatangan kepadanya.

“Baca buku ini. Pelajari caranya membuat tabel…”

“Kau tahu, tata letak seperti ini bisa kita mainkan. Begini caranya… “

“Aku mau kau gunakan cara mengutip model ini…”

Dan begitu seterusnya sampai Irwan merasa dirinya akan membuat sebuah pedoman skripsi,
bukan malah menyelesaikan skripsinya sendiri.

Setiap kali Irwan memperlihatkan laporan terbarunya, Ari Sujana semakin membuatnya
merasa mundur. Tulisannya yang sudah terketik rapi habis dengan coret-coretan koreksi. Ari
Sujana menganut prinsip perfeksionis yang tinggi. Dia terkenal oleh kalangan mahasiswa
sebagai dosen “pemerhati tanda.”

“Bimbingan sama dia bakal terasa berabad-abad,” ujar salah satu teman Irwan.

Tidak ada yang luput dari pemeriksaan Ari Sujana. Dia akan menemukan kekurangan tanda
titik, koma, huruf besar/kecil, dan sebagainya.

87
Dosen itu juga sangat mengingat setiap judul buku. Irwan pernah salah menuliskan judul
buku, dan Ari Sujana memperingatinya dengan keras, “Judul buku ini salah!”

Irwan bertanya-tanya sambil mengguman, Jangan-jangan semua buku dimakannya dengan


nasi!

Dua bulan berikutnya, Irwan datang dengan skripsi yang telah lengkap. Ari Sujana
memintanya untuk datang langsung ke rumah. “Aku sedang tidak ada jadwal di kampus. Kau
ke rumahku saja.” Dan Irwan langsung meluncur ke rumah dosen itu di kawasan Bekasi.

Rumah dosen itu berada di salah satu hunian penduduk yang asri. Beberapa di antaranya
memiliki perkarangan dengan pohon mangga. Rumah Ari Sujana adalah bangunan bergaya
minimalis dengan cat merah-hitam. Irwan melihat Ari Sujana sedang membaca buku di
perkarangannya. Dia mengucapkan salam, dan Ari Sujana mempersilahkannya masuk.

“Kau mau minum apa? Maaf, aku sedang tidak banyak sesuatu untuk disajikan.”

“Tidak apa-apa, Pak. Terima kasih.”

Irwan menyapu pandang ke hamparan perkarangan Ari Sujana yang hanya ditumbuhi rumput.
Rumahnya agak tak terurus. Beberapa sudut garasi di samping rumahnya terlihat menghitam.

“Maaf, berantakan. Beginilah nasib jadi bujangan,” Ari Sujana datang dengan sebuah botol
besar berisi minuman dingin dan satu kotak kue kering.

“Anda tidak menikah?”

Ari Sujana menarik kursi. “Haha… tentu saja aku menikah,” ia menuangkan air ke gelas dan
menyodorkannya kepada Irwan.

“Terima kasih.”

Irwan meminumnya beberapa teguk.

“Istriku sedang menempuh S 3 di Perancis. Dia di sana bersama anakku,” Ari Sujana berkata
lagi.

Irwan tampak kagum. “Wah, hebat!”

“Memang,” dosen itu tersenyum bangga. Dia masih pertengahan 40. “Kau juga bisa kalau
berusaha. Bagaimana rencanamu ke depan? Kau sudah memikirkan sesuatu?”

88
“Oh,” Irwan tampak canggung. “Saya tidak … eh, ya, mungkin nanti saya mau ambil S 2,
Pak.”

Kalau Light sudah berhasil…

Beberapa saat kemudian Irwan buru-buru mengeluarkan skripsinya dari tas. “Ini sudah
seluruh bab, Pak.”

Ari Sujana mengambil skripsi tersebut. Ia meletakkannya ke atas meja, kemudian tersenyum
menatap Irwan. Sebenarnya dosen itu cukup ramah. Tapi suasana akademik selalu
membuatnya tampak marah.

“Nanti aku tanda tangan,” kata Ari Sujana.

Irwan merasa salah dengar. “Benarkah?”

Ari Sujana mengangguk sambil tersenyum. “Aku tahu kemampuanmu. Skripsi itu pasti sudah
bagus.”

Semudah ini? “Terima kasih! Terima kasih sekali, Pak!”

“Ya.”

Sejenak kemudian Ari Sujana menghela nafas, menyandarkan dirinya ke kursi. Tak ada yang
memulai bicara. Irwan sendiri berusaha memikirkan bahan pembicaraan lain. Ia merasa aneh
saat itu. Ari Sujana tak terlihat seperti biasanya. Dia sangat berbeda dengan ketika di kampus.
Begitu bertemu di rumah, dosen itu menjadi sangat ramah.

“Mudah-mudahan aku memberimu sedikit ilmu yang bermanfaat,” dosen itu mulai berbicara
lagi. “Kau perlu tahu, aku selalu kecewa dengan mahasiswa yang kubimbing. Sebagian
mereka jarang menganggap bahwa menulis tugas akhir adalah keterampilan yang jika diasah
dengan serius bisa mahal harganya nanti.”

Irwan menatap Ari Sujana yang menoleh kepadanya.

“Kau beruntung sudah melakukan yang seharusnya,” kata Ari Sujana. “Punya majalah, ya, itu
baik sekali. Kau punya kesempatan jadi berarti di dunia ini jika menulis.”

“Jadi semua yang Anda ajarkan itu… “

89
“Benar. Aku merasa kau akan membutuhkannya dalam mengurus majalah. Walaupun aku
tidak tahu pasti. Aku hanya …”

“Anda sangat membantu, Pak. Saya tidak tahu harus berkata apa. Terima kasih.”

Ari Sujana menolehnya, tersenyum lagi, kemudian mengangguk. Dia mengambil pulpen dari
sakunya dan menandatangani skripsi Irwan.

Dua minggu kemudian Irwan mendaftarkan diri untuk seminar skripsinya. Tahap itu ia lalui
dengan mudah. Kini ia tinggal menanti jadwal sidang skripsi yang akan buka pendaftaran
satu bulan lagi. Selama menunggu jadwal tersebut, ia mencurahkan diri untuk kembali
mengurus Light.

90
Bab 13

Selain diminta untuk menjadi tim penyelenggaraan pameran komputer, Farhan juga berniat
ingin melepaskan diri sejenak dari Light. Itulah kesempatannya setelah lama tidak jalan-jalan.
Menurutnya, ide atau inspirasi akan menghampiri seseorang dalam sebuah perjalanan.

Namun keinginan untuk sebentar melupakan Light tak berjalan mulus. Irwan telah
memberitahunya bahwa sambungan internet di kantor Light terputus. Setelah telepon itu,
Farhan berkali-kali cemas memikirkan Light selama di Bandung. Dia tak bisa apa-apa,
bahkan untuk membuka website Light sedetik pun. Tugas-tugas di sana begitu banyak.

Farhan menjadi field officer peluncuran notebook jenis terbaru, sebuah laptop tipis yang
menjanjikan performa kuat dan tercepat untuk melakukan sejumlah pekerjaan kantoran. Saat
itu atasannya yang bertindak sebagai project manager adalah Ridwan Hafiedz, seorang teman
yang sudah lama dikenal Farhan selama dirinya berkecimpung di proyek-proyek event
organizer.

Ketika Ridwan Hafiedz mengadakan rapat bersama timnya, gel yang mengkilat-kilat telah
teroles di rambutnya yang menjadi tegak. Itu adalah ritual wajib kalau dia membutuhkan
kepercayaan diri.

Entah sudah berapa kali Ridwan Hafiedz mengemban tugas sebagai project manager, dia tak
bisa mengingatnya. Baginya lebih penting mengingat sepak terjang setiap orang yang pernah
bekerja dengannya. Kalau kau ingin mengendalikan seseorang, peganglah rahasia
terdalamnya, demikian Ridwan Hafiedz mempercayai.

Di sebuah ruangan yang terdapat meja bundar dan whiteboard, Ridwan Hafiedz duduk seraya
mengangguk-angguk, melihat puluhan orang yang menjadi tim utamanya. Dia melihat tiga
orang yang paling istimewa.

Erika Siahaan, si gadis pintar yang tak pernah ragu dengan kata-katanya. Pandangan Ridwan
Hafiedz berserobok dengan mata gadis itu. Kecantikan adalah segalanya di dunia ini, pikir
Ridwan Hafiedz. Apalagi kalau kau mau jadi kaya raya. Gadis itu bertugas sebagai show
director, karena Ridwan mengetahui imajinasinya yang sederhana untuk mengembangkan
kualitas artistik sebuah pameran.

91
Pandangannya kemudian beralih kepada Dedek Purnomo, pria gendut yang selalu berbicara
dengan selaan “uhuk!” Perawakannya nyaris seperti brontosaurus. Besar, tapi bodoh. Dia
pasti mengidap batuk yang aneh, kata Ridwan Hafiedz. Karena dia sanggup melahap
temannya demi uang. Ketika itu Dedek Purnomo mengejan seolah tersengat listrik, dan suara
batuknya yang berkali-kali itu terdengar seperti accu yang soak. Ridwan Hafiedz selalu
mempercayai pria itu sebagai tangan kanannya, sebagai orang yang bertugas untuk
berhubungan dengan klien utama terkait pembiayaan pameran.

Orang ketiga yang dipandangi oleh Ridwan Hafiedz adalah seorang field officer, salah satu
orang terpenting di pameran ini, Farhan Jagratara. Di dalam benaknya langsung terlintas:
Perlu kumanfaatkan dia…

Ridwan Hafiedz menarik nafas, merasa puas. Beberapa orang lainnya tak perlu diperhatikan
lebih khusus. Kalau Erika, Dedek, dan Farhan sudah dipegangnya, yang lain bakal rela
melompat ke dalam api.

“Baik, kita mulai saja,” Ridwan Hafiedz memecah keheningan. “Kalian tadi sudah saling
berkenalan. Sekarang aku langsung saja membahas pekerjaan kita.”

Dia menghela nafas satu kali.

“Kali ini kita akan menyelenggarakan pameran di sepanjang jalur utama pintu masuk mall
ini. Aku ingin begitu orang-orang masuk, mereka disuguhkan visualisasi paling menarik yang
belum pernah mereka temui. Kalian tahu apa yang harus kalian lakukan?” jelas Ridwan
Hafiedz. “Aku tidak mau kuis, itu kuno.”

Dedek Purnomo nyengir dan mencondongkan tubuhnya. “Kita taruh saja beberapa
perempuan setengah telanjang…”

“Maaf—” Erika Siahaan buru-buru bersuara. “—Kita sedang memikirkan cara lain …”

Dedek Purnomo menatap nakal kepada gadis itu. Erika Siahaan menggeleng, meliriknya
dengan jijik, kemudian memalingkan wajah kepada Ridwan Hafiedz. “Akustik band saja kita
taruh di sana. Cara terbaik dalam memikat adalah yang paling sederhana. Lagipula laptop
terbaru itu mengusung nuansa kesederhanaan. Tipis, mudah dibawa ke mana-mana, tapi
berkualitas.”

92
Mana ada cara sederhana untuk memboyongmu ke tempat tidur, sayang, Dedek Purnomo
langsung berfantasi. Dia membayangkan tatapannya bisa menembus meja, menikmati betis
Erika yang jenjang. Tak lama kemudian ia merasakan alat vitalnya menegang.

“Farhan?” Ridwan Hafiedz menoleh. “Bagaimana menurutmu?”

“Aku menambahkan ide Erika saja,” kata Farhan. “Mungkin nanti pengunjung kita sediakan
satu laptop sebagai buku tamu. Mereka harus merasakan kesan pertama menggunakan laptop
itu, kupikir …”

Ridwan Hafiedz mengangguk-angguk. “Klise juga ya …,” Ia berkata. “Tapi aku ikut kalian
saja.”

“Tidak ada atraksi yang memukau,” Dedek Purnomo berseloroh.

“Karena produknya memang begitu,” Erika Siahaan menekankan. “Ridwan, semua orang
perkantoran tahu apa gunanya laptop, kan? Kita tak perlu bertele-tele—“ ia melirik Dedek
Purnomo tanpa menggerakkan wajah. “—apalagi menawarkan sesuatu yang mesum.”

Mesum…, Imajinasi Dedek Purnomo semakin meningkat. Acak. Kau harus coba dulu,
manisku.

“Oke, nanti kalian bisa kembangkan lagi di lapangan,” Ridwan Hafiedz menyandarkan diri ke
kursi. “Sekarang kalian bisa bertemu tim. Nanti malam kirimkan aku rencana budget-nya ya.”

Pameran itu memang hanya menampilkan kesan yang sederhana seperti yang diinginkan
Erika. Di sepanjang jalur masuk pintu mall yang berkelok-kelok, para pengunjung langsung
memandangi pameran yang menjejerkan sejumlah laptop itu. Nyanyian merdu dari
seperangkat alat musik akustik mengisi suasana. Semua hal sudah sesuai rencana, kecuali
pengunjung yang ternyata membludak luar biasa.

Mereka berjejalan ke setiap sudut pameran, bahkan meluber ke luar mall. Farhan sempat
kebingungan.

“Acaranya sudah mulai belum?” Salah seorang pengunjung bertanya kepada Farhan.

“Acaranya?” dia balik bertanya. “Acaranya ya pameran ini, Pak, sudah mulai, kok.”

93
“Lho, katanya akan ada promosi setengah harga di pameran ini buat laptop baru itu? Saya
mau beli,” kata pengunjung itu lagi.

Promosi? Farhan bertanya-tanya kebingungan.

Ketika itu Erika menarik lengan kemejanya, “Lihat ini,” katanya kepada Farhan. Ia
menyodorkan smartphone-nya yang telah membuka halaman Twitter. Di akun @pameranID
telah mengumumkan informasi: Laptop terbaru, tipis, dan berkualitas, dapat Anda beli
hanya dengan setengah harga. Kunjungilah pameran kami!

Pengumuman itu banyak mendapatkan respon.

“Pantas …,” Farhan menggaruk-garuk kepalanya. Dia menoleh kepada Erika. “Siapa yang
bikin ini? Aku sama sekali tidak tahu.”

Erika hanya mengangkat bahu. “Kau tahu si gendut mesum itu, kan?”

“Jangan panggil aku begitu, brengsek!” Dedek Purnomo muncul dengan bersimbah peluh.
Wajahnya berkedut-kedut. “Aku mengikuti keinginan klien!”

Farhan langsung berkomentar, “Kau tidak memberitahuku, aku ‘kan—“

“Kalau klien yang minta mau bagaimana lagi?” Dedek Purnomo memotong. “Lagipula
Ridwan menyetujui. Tidak sempat memberitahu kalian, mungkin …”

Tidak sempat atau memang tidak mau, keparat? Farhan menarik nafas.

Seketika itu seorang gadis berjilbab, mungil, berlari terengah-engah menerobos kerumunan
pengunjung. Dia menghampiri Farhan dan yang lainnya.

“Anu, eh, Farhan …,” dia berkata sambil kesulitan menarik nafas. “Pengunjungnya padat
sekali, mereka berdesak-desakan minta promosi pembelian laptop segera dibuka.”

Farhan menoleh kepada Dedek Purnomo. Pria itu dengan entengnya berkata, “Oke, kita mulai
saja sekarang.”

Erika dan Farhan saling berpandangan, menggelengkan kepala.

Di panggung berkarpet biru tempat band akustik bernyanyi, Dedek Purnomo mengambil alih.
Dia berdeham seraya memegang mic.

94
“Para pengunjung sekalian, promosi pembelian laptop terbaru akan kami mulai. Cuma
setengah harga, dan cuma di pameran ini Anda bisa miliki. Laptop tipis, canggih, dan sangat
berkualitas! Segera kunjungi stand pembelian di sebelah sana!”

Para pengunjung itu segera menerobos, berlarian, tak beraturan. Kegaduhan mereka diselingi
teriakan dan saling mendorong. Petugas keamanan pameran yang berseragam serba hitam
berusaha menertibkan, namun ratusan manusia itu malah semakin buas. Mereka begitu heroik
bagai prajurit yang maju ke medan perang, demi mendapatkan barang impian, sebuah laptop
yang dijual setengah harga.

“Astaga!” Farhan menjerit. Ia diam mematung, membayangkan betapa ngerinya manusia-


manusia yang begitu beringas mengejar promosi tersebut.

“Toloooong…toloooooong!” tiba-tiba sebuah teriakan terdengar dari kerumunan.


“Tolooooong! Adik saya terjatuh, mohon permisi sebentar!”

Namun percuma. Tubuh adik perempuannya itu tergilas ratusan pasang kaki. Semuanya
terjadi tanpa ampun.

“Ayo, kita kembali ke ruang rapat,” Erika mengajak Farhan.

“Tapi …,” Farhan kebingungan. “Tapi bagaimana dengan ini?”

“Ini bukan kesalahan kita! Si gendut mesum itu sendiri yang—“

Tangan Erika telah ditarik oleh seseorang. Dia melihatnya, gadis mungil berjilbab tadi. Gadis
itu juga menarik lengan Farhan menjauh dari kerumunan yang tampaknya telah menelan
korban. Demi barang diskon, manusia rela berkoban.

Ketiganya pun sampai di ruang rapat lantai dua, dekat toilet mall. Mereka terdiam, duduk,
dan sibuk dengan pikirannya masing-masing

“Aku Annisa,” kata si gadis berjilbab memperkenalkan diri. Dari seragam yang dikenakan,
Farhan segera mengetahui bahwa gadis itu adalah salah satu anggota di dalam tim
pamerannya.

Ridwan Hafiedz muncul.

“Kenapa ini?” dia langsung bertanya.

95
Farhan langsung berdiri, mendorong dada pria itu sampai tubuhnya mentok ke dinding. “Kau
yang kenapa, goblok!”

Ridwan Hafiedz mengerang tertahan. “Farhan, lepaskan! Kau sadar sedang berbuat apa—”

Annisa, gadis mungil berjilbab itu mencoba melerai, menarik lengan Farhan yang sudah
menegang. “Farhan, sudah!” ia menjerit.

Farhan langsung melepas cengkeramannya kepada leher Ridwan Hafiedz. Dia berbalik dan
duduk di samping Erika.

“Urus sendiri promosi tololmu itu!” Farhan berkata.

Ridwan Hafiedz mengelus-elus lehernya. “Kalau kau tidak mau terlibat, aku tidak mau bayar
honormu nanti.”

Geraham Farhan langsung menggeretak. Annisa menatapnya cemas, sementara Erika tampak
berpikir keras.

Miskin dan butuh modal, Ridwan Hafiedz berpikir. Aku telah menggenggammu, Farhan.

Tak ada jalan lain, Farhan, Erika, Annisa, termasuk Ridwan Hafiedz berjalan keluar dari
ruangan rapat, menuju lokasi pameran yang sudah tidak karuan. Petugas-petugas mall segera
dikerahkan, mengungsikan sebanyak mungkin pengunjung yang jadi korban, entah mati atau
pingsan. Berjam-jam kemudian mereka baru berhasil mengosongkan area pameran.

Usai mengikuti rapat yang membahas hancurnya pameran mereka gara-gara promosi laptop
setengah harga, Farhan langsung menuju kamar hotelnya. Di sana ia terkulai lemas. Ketika
melihat ponselnya, sebuah pesan baru saja masuk.

Jangan lupa shalat, Farhan.

Dari Annisa, Farhan tak menyangka ketika menatap layar ponselnya saat itu. Ini dia …
sebuah perasaan hangat mulai berdesir-desir di dalam hatinya. Dari mana gadis itu dapat
nomor ponselnya tidak jadi persoalan penting.

96
Dua minggu sehabis pelaksanaan pameran, sebuah air terjun di pedalaman Bandung Barat
menarik setiap orang dengan gemericik air dan pemandangannya yang indah. Di sanalah
Farhan dan Annisa bertemu kembali, menempuh perjalanan menembus hutan, jalan bebatuan,
demi mencari kelestarian alam yang masih tak banyak dikenal oleh para penduduk
Parahyangan. Tak terasa mereka pun saling menemukan perasaan yang kuat di dalam dirinya
masing-masing.

Cinta datang begitu cepat.

“Aku punya ide,” ujar Farhan sambil menikmati pemandangan air terjun di sana. “Aku
sedang mengurus majalah di Jakarta. Aku suka menulis artikel tentang jalan-jalan.”

Ia menyapu pandang, kemudian menoleh kepada Annisa.

“Tempat ini cukup menarik. Kau mau menuliskannya buatku?”

“Aku menulis?”

Farhan mengangguk. “Ya. Tentu saja.”

Sepintas lalu Annisa agak ragu-ragu. Dia belum tahu bagaimana caranya menulis sebuah
artikel jalan-jalan untuk majalah. Namun perasaan cinta yang sedang tumbuh di dalam
dirinya mendorong sebuah keputusan yang lain.

“Baiklah.”

Beberapa saat kemudian mereka pun menikmati perjalanan ke desa-desa sekitar, melepaskan
kepenatan. Sebuah surau menjadi tempat peristirahatan mereka. Mereka disajikan teh hangat
dan pisang goreng oleh seorang nenek setempat. Semuanya serba indah dan hangat, sampai
tibalah waktunya Farhan harus kembali ke Jakarta, kembali pada rutinitas mengurus majalah.

“Nanti aku akan sering main ke Bandung,” ucap Farhan saat hendak pulang.

“Janji ya,” Annisa menatapnya penuh harap. “Naik apa kamu ke Jakarta?”

“Bus.”

Annisa meraih tangan Farhan. “Suruh supirnya berhati-hati.”

“Tentu,” Farhan tersenyum. “Sampai jumpa.”

97
Ketika Annisa memperhatikan Farhan yang berjalan semakin jauh, ia berkata dalam hati,
dialah pria pilihanku …

98
Bab 14

Farhan dan Irwan kembali bertemu dengan perasaan lega di dada masing-masing. Jika Farhan
telah menemukan cinta yang tak disangka-sangkanya, Irwan baru saja menuliskan di buku
hariannya dalam lembaran yang masih kosong:

Skripsiku sudah disetujui. Hari ini kembali mengejar mimpi!

Keduanya lalu mengobrol di kantor Light. Farhan menceritakan suasana di Bandung,


pameran komputer yang gila dan pertemuannya dengan Annisa. Dia kelihatan lebih
bersemangat dari biasanya. Sebaliknya Irwan meyakinkan Farhan bahwa kini dia akan
semakin fokus mengurus Light.

“Satu bulan lagi aku akan berhenti dari One Heart Vision. Skripsiku sudah tinggal menunggu
sidangnya,” ia tersenyum puas.

Farhan menatapnya. “Bagus sekali.”

Tiba-tiba mereka seperti baru saja menempati kantor Light. Farhan langsung menghampiri
kamar favoritnya yang telah disulap menjadi ruang kantor berisi sebuah meja kayu,
komputer, dan rak-rak buku.

Mereka baru ingat kalau kontrakan Paman Frankie yang mereka tempati itu sebenarnya sulit
ditemui beberapa tamu, kecuali tamu khusus yang kedatangannya hari itu mengganggu
pekerjaan mereka.

Tamu itu adalah dua orang pemuda yang berpakaian biasa. Penampilan mereka seperti
umumnya petugas lapangan yang menawarkan berbagai produk ke rumah-rumah atau tempat
umum. Akan tetapi, saat itu mereka mendatangi kantor Light dengan maksud lain.

Salah satu dari mereka masuk dan bertanya. “Permisi, benar ini kantor Tangerang Tribune?”

Irwan menatapnya dengan heran. Orang gila dari mana ini?

“Bukan,” jawabnya ketus. “Anda dari mana?”

99
Keduanya tetap tenang, menyapu pandang ke seisi ruang tamu kantor Light yang langsung
terhubung dengan ruang tengah. “Oh …” katanya lagi. “Kami pikir di sini kantor Tangerang
Tribune. Kami disuruh memasang iklan, tapi atasan kami menyuruh kami ke koran harian.”

Irwan semakin bertanya-tanya. Ia menoleh kepada Farhan yang sedang berada di kamar di
dekatnya. Mereka saling bertanya dengan pandangan mata.

“Kalau begitu Anda salah. Di sini kantor majalah,” Irwan menjawab dengan marah.

“Oooh …,” mulut pemuda itu membulat. “Majalah ya … majalah apa ya, Mas?”

“Light.”

“Maaf, boleh tahu majalahnya seperti apa? Barangkali atasan saya … “

“Sayang sekali sudah habis,” Irwan melipat tangannya. Mana mungkin kubilang kita tak
pernah mencetaknya lagi, pikir Irwan. “Kami membagikan setiap eksemplar kepada para
penggemar.”

“Oooh … boleh kami—”

“Sebenarnya Anda siapa? Masuk tidak permisi!” Irwan menarik nafas. “Cepat keluar sebelum
saya usir!”

Kedua pemuda itu undur diri sambil gelagapan.

“Kurang ajar!” bentak Irwan merebahkan dirinya ke sofa. “Ingin memasang iklan, hah?
Penampilannya saja butut begitu.”

Farhan berjalan keluar dari kamar, menarik sebuah kursi dan duduk di hadapan Irwan.

“Siapa mereka?”

Irwan menggeleng. “Kelihatannya pesaing.”

Beberapa saat kemudian Farhan menghela nafas, membakar rokok dan menghisapnya dengan
pelan. Dia menatap Irwan, wajahnya berubah menjadi serius.

“Wan,” katanya. “Kau sadar artinya, berarti kita sudah diperhitungkan oleh beberapa pesaing.
Usaha kita tidak sia-sia.”

100
Irwan menatap Farhan sambil mengernyitkan dahi. Dia baru sadar kalau Farhan bisa berpikir
sejauh itu.

“Aku minta kau lebih serius,” Farhan mengatakan. “Kau terlalu lembek. Cobalah lebih fokus
dan disiplin lebih keras lagi. Semua ini tergantung padamu. Aku khawatir jangan sampai kau
justru melemahkan semangat anak-anak yang lain.”

Irwan menjadi gugup. Dia berpikir baru saja mereka berdua bercerita tentang hal-hal yang
menyenangkan. Kini Farhan seperti menekannya kembali untuk bekerja lebih keras, seolah
tak ada waktu untuk bersantai sebentar saja.

Kalau Farhan sudah serius seperti itu, Irwan bisa tiba-tiba menjadi panik. Ketidakpuasan
Farhan terhadap segala sesuatu di Light menjadi satu hal yang sering ia perhatikan. Kalau ada
apa-apa, dirinya sebagai Pemimpin Redaksi pasti jadi sasaran.

“Aku sadar,” Farhan menatap Irwan. “Aku tak pernah memberimu gaji atau apa pun itu. Tapi
kita sudah sepakat, kan? Tak akan ada yang dapat uang sampai Light sendiri mampu
menghasilkan. Semuanya sudah berjalan, kita sudah di tengah, tanggung kalau kita malah
kehilangan semangat saat ini.”

Farhan berhenti bicara. Matanya hanya berkali-kali menatap kolong meja.

“Sekarang kita cuma bertiga dengan Boy,” kata Farhan lagi. “Waktu kau telepon aku di
Bandung, aku mulai berpikir… aku mulai berpikir sudah waktunya kita tak lagi
mengandalkan Fahmi, Bomo, dan Lutfi yang semakin sibuk.”

Irwan tampak serius mendengarkan, menebak-nebak arah pembicaraan Farhan.

“Kita akan merekrut orang baru. Kita harus bertaruh. Jadi akan ada orang-orang baru yang
masuk ke sini, kemudian iklan-iklan juga masuk. Hanya dengan itu semuanya bisa berhasil.
Bagaimana?” tanya Farhan.

Beberapa saat kemudian Irwan tak bisa menjawab. Perasaan ragu mulai memenuhi dirinya.
Tapi dia tahu bahwa nantinya bukan cuma dirinya saja yang bertanggungjawab, Farhan juga.
Jangan cuma dia yang nekat terus-terusan, Irwan berpikir.

“Aku setuju,” jawab Irwan. “Kita cari orang baru untuk membantu Light.”

101
“Bukan sekedar membantu, Wan. Mereka akan mendapatkan gaji karena kita pun akan
berusaha keras mencari iklan.”

“Ehm, ya, maksudku seperti itu.”

Farhan mematikan rokoknya ke asbak. “Baiklah, ayo kita mulai sekarang juga.”

Usaha mencari orang-orang baru itu dilakukan melalui internet, juga informasi dari mulut ke
mulut. Farhan mengamati seorang fotografer yang gemar mengirimkan foto konser sebuah
band ke wall facebook Light.

“Akan kuhubungi dia.”

Fotografer itu adalah Herdian Fuazi, mahasiswa kurus, gondrong, yang begitu terobsesi
dengan pagelaran konser. Ketika Farhan mengajaknya untuk ke kantor Light, anak itu terlihat
lugu. Baik Farhan maupun Irwan tak henti-hentinya menertawakan kepolosan anak itu.

Farhan sedang bertanya kepada Herdian. “Bagaimana kau dapat semua foto ini?”

Foto yang berhasil dipotret Herdian sebenarnya biasa saja, tapi juga tak bisa dikatakan jelek.
Bagi Farhan sendiri, anak itu punya peluang bagus jika bergabung di Light. Herdian bisa
mencurahkan segenap semangatnya untuk membangun Light.

“Oh iya, Bang,” Herdian berkata. “Aku lagi nonton konser, kemudian melihat ada fotografer
di dekat sana. Aku berkenalan dan bertanya kepadanya, ‘Bagaimana sih cara mendapatkan
itu?’—aku menunjuk kartu yang menggantung di dadanya, dan sama sekali belum tahu kalau
di sana tertulis ‘pers.’”

Herdian melanjutkan, “Nah, fotografer itu kemudian menjawab kepadaku, ‘Coba saja kau
melamar ke majalah.’ Aku tidak yakin jika melamar, jadi kukirimkan beberapa fotoku ke
berbagai facebook milik majalah yang ada.”

Irwan terkesan mendengar cerita Herdian. Farhan tampak senang.

“Kau mau bergabung dengan Light?” tanya Farhan.

“Tentu saja!”

102
Setelah fotografer, Farhan dan Irwan kemudian memikirkan siapa wartawan yang akan
mengisi tempat di Light. Mereka sadar bahwa memilih orang untuk bekerja sama adalah tidak
mudah. Pertama, pekerjaan membuat majalah menuntut tenggat waktu yang ketat. Kedua,
mereka tidak memiliki keberanian untuk merekrut orang-orang yang benar-benar professional
di bidangnya. Mereka harus memikirkan bahwa Light masih sebuah majalah yang berkantor
di rumah kontrakan, dan gaji semua pegawai hanya sebatas hitung-hitungan di atas kertas..

Untuk memecahkan masalah itu, Farhan dan Irwan bersepakat agar mencari mahasiswa yang
kebetulan ingin mencurahkan hobi kreatifnya seperti Herdian. Pada saat itu Boy juga
membantu mencari beberapa temannya di dunia periklanan. Namun, semuanya tak banyak
digubris Farhan. Hubungan keduanya semakin dingin dan membingungkan posisi Irwan.

“Kita butuh Account Executive. Semalam aku berbicara panjang lebar dengan Linda. Dia
merasa bosan di kantornya, dan tertarik bergabung di sini,” ujar Farhan kepada Irwan.

“Linda ya…” Irwan mengelus-elus dagunya. “Menurutmu dia bisa diandalkan?”

“Itulah tugas kita. Dia masih terbiasa dengan pekerjaan robot—sudah disediakan segalanya
apa yang mau dilakukan. Di sini dia akan kita paksa berpikir keras, karena di sini belum ada
aturan untuk menjalankan pemasaran, kan?”

“Betul juga.”

Linda dipanggil dan menyatakan setuju untuk bergabung.

Satu lagi teman yang diinginkan oleh Farhan dan Irwan, yaitu Fandi Muhammad.

“Kita kenal dia sudah lama, jadi lumayan menghemat waktu,” Irwan berkata kepada Farhan.

Fandi sudah beberapa kali berkunjung ke kantor Light karena rumahnya berdekatan, meski
tak sedekat seperti rumah Boy. Ketika Irwan bercerita bahwa Light sedang mencari beberapa
wartawan, dia tertarik.

Dia langsung diujicoba dan Irwan merasakan bakat di dalam tulisannya. Fandi sangat
menyukai dunia film. Oleh karena itu, Irwan memintanya menulis sebuah ulasan film terbaru.
Ketika tulisan itu diterbitkan di website Light dan menghasilkan sampai 6000 kunjungan
pembaca, Farhan maupun Irwan memuji-muji Fandi.

103
“Kelihatannya kau bakal membawa keberuntungan buat kita,” ujar Farhan, dan Fandi segera
bergabung.

Sementara Farhan membimbing Linda tentang masalah pemasaran Light dengan sangat keras.
Gadis itu pun mulai kebingungan. Sampai-sampai waktu satu hari penuh tak pernah cukup
baginya untuk memahami bagaimana memikat klien dalam bisnis media.

Sebelumnya Linda bekerja di sebuah perusahaan asuransi terkemuka. Dia merasa tertantang
membangun Light setelah Farhan menjelaskan berbagai visinya.

“Sejujurnya, untuk bicara dengan orang macam apa pun aku pasti bisa,” ujar Linda. “Tapi di
sini aku membangun segalanya dari nol.”

Linda mempelajari keterkaitan antara setiap artikel Light dengan kepentingan pasar. Dia
menghubungi selusin nomor telepon dan email untuk menawarkan iklan. Tentu saja semua
usahanya itu gagal. Tak ada satu pun klien yang tertarik memasang iklan di Light Magazine.

Di antaranya ada yang terang-terangan mengatakan, “Maaf Mbak, bisnis kami sudah untung
banyak tanpa harus beriklan.”

Dari kegagalan itu Linda menyadari bahwa Light harus memperbanyak pergaulan, selain
memperbanyak penerbitan artikel.

“Seharusnya aku dibiayai untuk pergi ke berbagai acara,” Linda mengusulkan kepada Farhan.

Farhan terbengong-bengong mendengarnya. “Untuk sementara waktu lewat telepon dan


email dulu.”

“Ada cara yang lebih hemat,” Irwan menambahkan. “Kita bisa bekerja sama dengan berbagai
kegiatan anak muda. Itu bisa sekalian promosi dan…”

“Smart. Itu dia!” sorak Farhan.

Linda pun mencari sebanyak mungkin kegiatan anak muda. Ia menawarkan kerja sama saling
menguntungkan dengan sejumlah pihak penyelenggara.

“Kami menawarkan pemasangan homepage banner di website Light. Kegiatan Anda juga
akan kami ulas setiap minggu agar mudah diketahui oleh orang-orang,” Linda menarik kabel
teleponnya. “Oh iya, pada saat pelaksanaannya kami juga akan mengirimkan wartawan untuk

104
meliput kegiatan Anda. Untuk itu, Anda bisa memasang logo kami di setiap media promosi
kegiatan Anda dan meminta MC untuk menyebutkan bahwa kami adalah media partner.”

Dalam waktu dua bulan dia berhasil membuat kerja sama dengan berbagai pihak
penyelenggara acara. Dari mulai komunitas anak muda biasa sampai promotor yang sering
mengundang musisi-musisi internasional ke Indonesia.

Kantor Light semakin sibuk dengan suara-suara telepon, bunyi ketikan komputer, tumpukan
kontrak kerja sama, dan coret-coretan hasil rapat. Bahkan, Linda tak lagi berusaha mencari
pihak penyelenggara acara. Redaksi Light mulai kebanjiran email ajakan kerja sama dari
banyak kegiatan anak muda.

Dua wartawan baru datang pada kemudian hari. Irwan dan Farhan diberitahu oleh seorang
teman, ada dua mahasiswa dari Jakarta College of Communication yang ingin bekerja paruh
waktu di sebuah majalah.

Farhan menyambut informasi itu, kedua mahasiswa yang ternyata semuanya perempuan itu
segera dipanggil. Namanya adalah Anneke dan Dwi. Seperti biasa, Irwan memintanya untuk
membuat sebuah tulisan.

Anneke tertarik mengenai kuliner dan komunitas. Sedangkan Dwi meyakinkan Irwan bahwa
dia berkali-kali ingin mencoba dirinya untuk meliput sebuah konser.

Kini Light telah berisi orang-orang baru. Hanya Farhan dan Irwan yang termasuk sebagai
pendiri pertama.

“Aku pernah baca sejarah harian Kompas,” kata Irwan kepada Farhan. “Kau tahu, dua
pendirinya adalah Jakob Oetama dan P.K. Ojong. P.K. Ojong adalah tipe orang keras yang
nekat, sering tak kenal kompromi. Jakob Oetama lebih santun dan lentur. Dua-duanya cocok
dan berhasil membangun sebuah perusahaan media terbesar di Indonesia.”

Irwan berkata dalam hati, Mudah-mudahan seperti kita.

Pada sebuah malam keduanya asyik berbincang di ruang tamu kantor Light.

“Sudah tanggung ya,” kata Farhan. “Ayo kita rekrut lebih banyak orang lagi.”

“Kau merasa belum cukup?”

105
Farhan menggeleng. “Belum. Tentu saja belum.” Ia berpikir sejenak, kemudian kembali
berkata, “Bayangkan, ada Fandi, Boy, Dwi, Anneke, dan Herdian saja belum cukup. Memang
kita sekarang belum pernah cetak lagi. Tapi, menurutku kita tak bisa terus-terusan
mengandalkan website. Kita harus punya banyak jenis media, cetak harus kita teruskan.
Kalau perlu nanti kita ada radio dan TV, siapa tahu, kan?”

Farhan melipat tangannya ke dada. “Nah, coba kau pikir. Apakah wartawan dan fotografer
yang sekarang sudah mencukupi untuk merangkum berbagai informasi di suburban Jakarta?
Menurutku belum.”

“Jadi, bagaimana rencanamu? Terus terang kita tidak tahu kalau nantinya akan menunggak
gaji. Aku khawatir …”

Farhan mencondongkan badannya. “Wan,” katanya. “Kita yakin saja dalam melangkah.
Jangan pernah ragu-ragu. Bertaruh lagi, atau tidak jadi apa-apa.”

Irwan diam menatap Farhan.

“Jadi,” Farhan menghela nafas. “Kita akan rekrut beberapa kontributor dari tiga wilayah,
Bekasi, Bogor, Depok. Urusan Tangerang kita serahkan pada wartawan tetap di sini, karena
jaraknya dekat dengan rumah mereka. Rencanaku, jika wartawan menerima gaji setiap bulan,
kontributor akan kita bayar per artikel.”

“Kalau bicara kontributor, mereka berarti termasuk fotografer, bukan penulis saja,” Irwan
menambahkan.

“Benar sekali.”

Keduanya kembali diam dan sama-sama berpikir.

Farhan kembali berkata, “Cari saja dua orang kontributor untuk setiap kota. Satu fotografer,
satu penulis. Kita akan punya enam orang kontributor.”

“Aku takut kita tak bisa membayarnya.”

Farhan kembali menghela nafas. “Jangan khawatir. Sekarang aku menjalankan bisnis
sampingan, kecil-kecilan, tapi cukup untuk membayar internet, listrik, telepon, sewa rumah,
juga kontributor. Di sini aku minta kau berjanji, kau yang bertanggungjawab menggaji
wartawan tetap, kau harus menekan segala potensi yang ada, buatlah Light segera

106
menghasilkan pendapatan. Jangan ragu kalau kau mau menginstruksikan anak buahmu.
Bersikap keras sekali-sekali kepada mereka juga tak mengapa.”

Irwan mencerna setiap perkataan Farhan. Dia tak menyadari bahwa dirinya sedikit bergidik.
Di hadapannya seperti ada sebuah tantangan yang selama ini tak pernah sekalipun ia
bayangkan. Mentalnya merasa tak siap untuk menyesuaikan diri dengan semangat Farhan
yang ingin terus berpacu. Dia tahu bahwa dia harus maju terus. Tidak ada jalan mundur
dalam pilihan hidupnya saat itu. Mudah-mudahan One Heart Vision dan skripsi segera
berakhir, Irwan berdoa dalam hati. Light adalah tumpuan hidupku, jangan sampai usaha ini
gagal.

Ketika Farhan mengumumkan lowongan kontributor di internet, Light mendapatkan empat


wajah baru. Dua orang di antaranya adalah Tyo dan Agi. Jika Tyo berminat menjadi penulis
informasi-informasi dari Bekasi, Agi menjadi fotografernya.

Di luar rencana, dari Depok Farhan mendapati Rina dan Niken, dua perempuan yang baru
saja memiliki suami, untuk sama-sama menulis di website Light Magazine. Baik Farhan
maupun Irwan tak berhasil menemukan seorang fotografer untuk menjadi kontributor di
Depok. Merasa tak cukup waktu, mereka meminta Herdian menangani tugas tambahan
sebagai kontributor di Depok.

Setelah perekrutan selesai, Farhan dan Irwan berbincang kembali di sebuah rumah makan
pecel lele di kawasan Pamulang. Mereka terus melakukan pertemuan-pertemuan berdua saja
setiap malam sehabis dari kantor Light.

“Inilah saatnya bekerja,” Farhan berkata kepada Irwan dengan pelan. “Selamat datang di
dunia yang baru.”

“Yes!” Irwan menanggapi senang. “Sejujurnya, aku belum pernah merasa bersemangat seperti
sekarang ini. Ternyata semuanya bisa terjadi, aku baru sadar.”

“Itulah hebatnya bisnis, apa yang kita inginkan, kalau dengan usaha pasti bisa!” Farhan
mencoba berfilosofi. “Tapi semuanya baru awal. Jangan cepat puas, itu saranku.”

“Siap.”

“Mari kita pesan sesuatu.”

107
Pembicaraan mereka malam itu tak sedikit pun menyiratkan peristiwa dramatis yang akan
terjadi selanjutnya.

108
Bab 15

Bisnis sampingan Farhan adalah berjualan alat-alat kosmetik, botol krim pembersih wajah
yang biasa digemari perempuan. Hal itu bermula ketika dia diminta untuk membeli alat-alat
kosmetik ke Pasar Pramuka di Rawamangun oleh temannya yang memiliki toko kosmetik di
kawasan Ciledug.

Waktu itu Farhan membeli lusinan botol krim. Dia mengangkut dua kardus besar seorang
diri, kemudian bermotor dari Rawamangun sampai Ciledug. Sesampainya di sana, dia kaget
begitu hanya diberikan upah sejumlah 50 ribu rupiah. Seketika itu juga naluri bisnisnya
bermain. Kalau aku bisa menjualnya sendiri … pikirnya. Dan dia benar-benar memulai
kegiatan berdagangnya itu dari internet.

Setiap kali diminta untuk belanja ke Pasar Pramuka, Farhan memotret botol-botol krim itu
dengan kamera ponselnya. Selanjutnya dia akan memajang gambar-gambar krim itu di
sebuah blog bikinannya.

Sejak itu Farhan semakin tergila-gila dengan blog. Meski berbulan-bulan dia tak
mendapatkan penjualan, namun perhatiannya kepada blog juga berdampak pada kemajuan
website Light. Farhan menyadari bahwa internet dapat membuat seseorang menjadi kaya
raya.

Kemauan Farhan dalam mempelajari website dan blog begitu kuat. Berbulan-bulan lamanya
dia mengurung diri di kantor Light. Makan, tidur, dan mandi di sana. Irwan pernah mendapati
Farhan di kantor Light dalam keadaan yang amat kusut. Dia belum mandi berhari-hari, dan
hanya memakai kolor.

Ketika sedang rajin mempelajari website, Boy juga sering menemani Farhan. Mereka berdua
kemudian menjadi saling cukup berbicara, tetapi tetap memberikan jarak tertentu yang
sepertinya sulit untuk dihilangkan.

Namun demikian, keduanya pernah mengalami kejadian yang cukup mengharukan, dimana
ketika Farhan tidak punya uang sama sekali, dan merasa sangat lapar.

Di kantor Light, Farhan bertanya kepada Boy, “Sudah makan, Boy?”

“Belum. Kau juga?”


109
Farhan mengangguk.

“Sayang di rumahku juga tidak ada makanan. Lauk pauk sedang kosong,” jelas Boy sedikit
memelas.

“Tidak apa-apa,” Farhan lalu mencari-cari sesuatu. “Monitor komputer itu kelihatannya
sudah lama tidak digunakan ya…”

Boy menoleh ke arah sebuah monitor komputer di belakang dirinya. “Itu rusak. Tak bisa
digunakan.”

Farhan diam sejenak. Dia meraba monitor itu seolah benda tersebut adalah barang antik
seharga milyaran rupiah.

“Ayo kita jual buat beli makanan.”

Keduanya lalu berkeliling ke perumahan sekitar, mencari seseorang yang mungkin berminat
untuk membeli monitor rusak tersebut. Sebuah rental komputer akhirnya menjadi pilihan
mereka.

“Bang, mau jual monitor nih,” ujar Farhan.

“Ah, barang kuno begitu,” si pemilik rental berkata sangsi. “Tidak berguna.”

“Sudah deh. Coba dilihat dulu.”

Dengan enggan si pemilik rental menghampiri monitor itu. Dia mengamati sejenak, dan
merasa bukan monitor itu sebenarnya yang harus diperhatikan, tapi dua anak muda dengan
wajah muram di hadapannya yang lebih tampak seperti gembel.

“Aku bayar ini 50,” kata si pemilik rental akhirnya.

Farhan mengernyitkan dahinya. “50 ribu?”

“Menurutmu berapa?”

“Ah, harganya pasti lebih dari itu,” Farhan menawar.

Si pemilik rental itu berpaling. “Bukan aku yang butuh uang.”

Farhan dan Boy pun saling berpandangan.

110
“Baiklah, sini 50 ribu.”

Setelah keduanya membeli makanan dengan uang itu, sedikit perbincangan menghangatkan
kebekuan mereka. Namun, keduanya tetap menahan diri dan tak pernah berusaha mengubah
itu lagi.

***

Setiap hari Farhan berusaha mengembangkan bisnis sampingannya, selain memantau


perkembangan Light. Usahanya mulai berhasil dengan keuntungan 50 sampai 100 ribu rupiah
setiap minggu.

Ia terus memperbaiki blog tempatnya berjualan. Dalam dunia website, orang-orang biasa
mengenal Search Engine Optimization (SEO), sebuah cara agar blog yang dimiliki seseorang
dapat mencapai dan bertahan di halaman pertama mesin pencari internet, seperti Google,
Yahoo, dan lainnya. Farhan menyadari di sanalah kekuatan bisnisnya akan berperang.

Dalam beberapa bulan selanjutnya Farhan berhasil menguasai teknik-teknik SEO. Dia
memperbincangkan setiap pengetahuan barunya itu kepada Irwan. Dia menginginkan website
Light menerapkan SEO yang dapat mempercepat popularitas namanya.

“Perhatikan kata kunci setiap artikel, Wan. Terbitkan di setiap jam di mana orang-orang
sedang ramai menggunakan jejaring sosial. Gunakan perbincangan di sosial media untuk
menarik pengunjung. Selipkan kode-kode iklan Google Adsense di artikel, halaman, dan
beberapa tampilan website Light. Siapa tahu ada yang meng-klik iklan itu, Google akan
membayar kita,” jelas Farhan panjang lebar. “Ini beberapa cara untuk menembak
momentum.”

Baik Irwan dan Farhan, keduanya sama-sama semakin tertarik dunia website dan blog.
Mereka berdiskusi sepanjang hari. Mereka memikirkan bagaimana caranya agar setiap artikel
di website Light tak mampu disaingi oleh media lain.

Irwan menekan setiap wartawan dengan jadwal yang ketat. Dia sendiri ikut terjun meliput
berita jika tak ada lagi yang sempat meliputnya. Antara Farhan dan Irwan bersepakat bahwa
Farhan sudah tak memiliki tanggungjawab dalam menulis artikel di website Light lagi. Dia
harus mencurahkan perhatiannya ke bisnis botol krim agar bisa membiayai Light.

111
“Aku kenalkan pacarku, namanya Annisa,” kata Farhan. “Dia kuminta menulis artikel waktu
kita jalan-jalan melihat air terjun. Coba kau periksa.”

“Oke,” Irwan menjawab pelan.

Setelah hari-harinya dipenuhi dengan memeriksa dan memperbaiki empat sampai lima artikel
setiap hari, Irwan merasa kepalanya ingin pecah. Linda juga tak henti-hentinya bertanya
segala macam hal.

Setiap detik bagi Irwan bagaikan neraka. Wartawan akan mengirimkan artikel-artikel setiap
malam, bahkan menjelang dini hari, untuk diterbitkan besok paginya.

Untuk pagi harinya Irwan akan menerima laporan dari Linda tentang kegiatan-kegiatan
terbaru yang harus diliput oleh Light. Di sela-sela waktu yang sibuk itu, Irwan juga harus
mengubah beberapa format skripsinya jika ingin mengikuti sidang.

Irwan berusaha untuk tak mengeluh. Menurutnya, Farhan pun telah banting tulang dengan
segala macam cara memikirkan Light. Keduanya sama-sama sibuk luar biasa.

Jika Farhan menutupi kebutuhan hariannya dengan berjualan botol krim, Irwan menerima
pesanan video pernikahan. Dia biasa menyuting video pernikahan itu dan mengeditnya.
Upahnya setiap kali pesanan sebesar 500 ribu rupiah, bahkan seringkali di bawah itu.

Namun bisnis botol krim Farhan lebih dahulu menjanjikan daripada Light sekali pun. Inilah
keberhasilannya pertama kali dalam membangun sebuah bisnis melalui sistem online.

Dengan keuntungan dari bisnisnya itu, Farhan membayar segala tunggakan Light. Dari mulai
membayar listrik sampai jasa kontributor Light. Ketika sudah banyak menguasai teknik SEO
itu pula Farhan mulai memikirkan perubahan yang perlu dilakukan oleh Light.

“Menurutku suburban Jakarta ini sudah terlalu basi,” kata Farhan.

Irwan menoleh kepadanya. “Kau pikir begitu?”

“Ya.”

Dia berpikir cukup lama, kemudian berkata. “Sebaiknya kita mengganti tagline, atau rubah
nama saja sekalian. Light ini sudah terlampau jauh berubah. Lihat saja, Linda bekerja sama
dengan kegiatan yang semuanya diselenggarakan di Jakarta. Bagaimana mungkin kita tetap
mempertahankan suburban Jakarta?”

112
Irwan diam memperhatikan. Dia mengamati website Light yang memang semakin banyak
menginformasikan hal-hal di luar suburban Jakarta. Tapi, Irwan mengakui hal itu justru
semakin membuat Light menjadi berwarna, kaya informasi, dan lebih mudah menarik minat
orang-orang dengan informasi yang tak terbatas lagi.

“Bagaimana, menurutmu?” tanya Farhan lagi.

“Hm… boleh juga sih. Tapi kita lebih baik rubah tagline saja.”

“Kalau begitu mari kita pikirkan sekarang juga.”

Mereka berpikir sepanjang malam. Bergelas-gelas kopi menemani dan berbagai perbincangan
dengan segala pertimbangan. Mereka mendiskusikan setiap artikel, memilih artikel-artikel
dengan jumlah pengunjung terbanyak, dan ternyata orang-orang lebih berminat pada
informasi kisah hidup seseorang atau komunitas, berita-berita konser, musik, dan semacam
itu.

“Kalau kubacai berulang kali,” kata Irwan. “Tulisan di dalam Light ini lebih mendekati emosi
kita.”

“Maksudmu?” Farhan bertanya.

“Maksudku, coba lihat cerita mengenai pengusaha cupcake yang pernah kau tulis ini,” Irwan
meng-klik halaman mengenai berita tersebut. “Lihat. Kau menuliskan bahwa untuk maju,
anak muda tak butuh banyak modal, tapi kemauan yang kuat dan keras dapat mewujudkan
apa pun yang mereka inginkan.”

Farhan mengangguk-angguk sambil mengernyitkan dahi.

“Jadi, ini tentang dirimu, diriku, diri kita semua,” jelas Irwan lagi. “Kita adalah anak muda
yang bermimpi tapi tak punya modal.”

“Berarti ini semacam inspirasi ya …” Farhan bersandar ke kursi.

Adzan Shubuh berkumandang dari luar, memecah diskusi kedua anak muda tersebut.
Sebentar saja malam akan menemui pagi, gelap menjadi terang, dan suara-suara kehidupan
menjadi semakin ramai. Seketika itu sebuah ide melintas di kepala Irwan dan Farhan.

Irwan menoleh kepadanya. “Bagaimana kalau tagline kita adalah ‘Inspirasi Anak Muda.’

113
“Inspiring Young People,” Farhan menyahut. “Itu kata kunci yang bagus!”

Keduanya lalu saling bersepakat.

114
Bab 16

Irwan dibangunkan suara ponselnya yang berdering-dering. Tanpa membuka mata, ia meraih
ponselnya itu dan menempelkan ke telinga.

“H’lo?”

“Irwan, ini Linda. Kau bisa ke kantor sekarang? Kumohon!”

Irwan langsung duduk, jantungnya berdebar-debar.

“Hei, ada apa? Kenapa terburu-buru begitu? Aku baru saja pulang dan…”

“Pokoknya cepat kemari! Farhan sedang antar botol krim. Aku tidak tahu harus berbuat apa
lagi, cepat ya!”

Telepon ditutup.

Tiga puluh menit kemudian Irwan sudah sampai di kantor Light. Dia menemui Linda yang
sedang terpaku menatap layar komputernya.

“Ada apa?”

Linda berdiri sambil menyodorkan selembar kertas kepadanya. “Lihat.”

Begitu Irwan membacanya, Linda sudah mulai berbicara lagi. “Aku lupa sama sekali,”
katanya terengah-engah. “Kita terikat kontrak dengan Java Rockinland. Di situ tertulis bahwa
kita akan mencetak iklan mereka di dalam majalah, kemudian mendistribusikannya ke lokasi
acara.”

Linda duduk dan mengatur nafas. Ia mulai berkeringat.

“Baru saja pihak sana mengirimkan materi iklannya. Bagaimana ini…???” tanyanya
merengek. “Waktu pelaksanaan acara mereka tinggal tiga minggu lagi. Apa yang harus kita
lakukan?”

Jangan kelihatan panik sebagai pemimpin, Irwan teringat pesan seorang kakak kelasnya
waktu di organisasi kampus. Berkatalah semuanya akan baik-baik saja.

115
Irwan memegangi kertas bertuliskan kontrak dari promotor PT. Java Festival Production
tersebut. Dengan tenang ia berkata, “Yasudah. Kita akan mencetaknya.”

Linda melongo, tak percaya mendengar apa yang baru saja dikatakan Irwan.

“Mencetaknya bagaimana? Memang uangnya ada? Memang waktunya cukup?”

“Kalau aku bilang cetak, ya, cetak,” Irwan berkata meyakinkan. “Lihat saja.”

Sambil berpaling menuju meja kerjanya, Irwan berkata dalam hati, Ya Tuhan! Apa yang
harus kami lakukan?

Ia duduk di kursinya, menyalakan komputer dengan kepala yang terus mencari-cari akal. Biar
Farhan dengar ini dulu, Irwan menyimpulkan. Tapi apa gunanya kalau aku ada di sini?

Irwan pun berusaha memikirkan sendiri bagaimana harus mempersiapkan Light edisi cetak
hanya dalam waktu tiga minggu. Dari mana ia bisa dapat uang? Farhan tak mungkin punya
uang sebanyak itu. Lagipula Irwan tak menginginkan jika Farhan semakin dibebani.
Cukuplah dia membayar segala macam tetek bengek yang sebenarnya sudah merepotkan itu.

Irwan membayangkan bagaimana Farhan bekerja keras keliling Jakarta, Bekasi, Depok,
Tangerang, mengantarkan botol-botol krim. Awalnya dia bisa menggunakan jasa antar
barang, tapi lama kelamaan pelanggannya tidak mau menggunakan itu. Mereka lebih memilih
diantarkan langsung oleh Farhan atau tidak membelinya sama sekali.

Begitu komputernya telah menampilkan logo Windows, Irwan tak mengerti harus mulai
mengerjakan apa. Dia mengamati kembali kontrak dari Linda tadi.

“Linda,” Irwan memanggil.

Dari ruang sebelah Linda berjalan dan menghampirinya. “Apa?”

“Kenapa kau buat penawaran untuk mencetak iklan di majalah? Kau kan tahu kalau Light
sekarang hanya menjalani website?”

“Farhan yang menyuruhku,” jawab Linda agak emosi. “Dia bilang, aku harus mencantumkan
butir penawaran itu. Katanya kita tak akan bisa apa-apa kalau tak punya cetak, klien tak mau
percaya dengan media yang hanya punya website. Dan ternyata itu benar. Aku mendapat
banyak sambutan baik jika menyebutkan bahwa kita punya versi cetak selain website.”

116
Irwan mendengarkannya sambil menahan nafas. Beberapa saat kemudian Linda tampak
gelisah lagi. “Eh… Wan, sebenarnya bukan itu saja.”

Irwan menatapnya heran. “Apa lagi?”

“Ini ada lagi kontrak yang lain, Indonesian Youth Conference. Waktu pelaksanaan
kegiatannya hampir bersamaan dengan Java Rockinland,” Linda menyodorkan selembar
kertas lagi dengan ragu-ragu. “Kita harus mencetak iklan mereka juga.”

“Astaga!” Irwan menghela nafas sambil garuk-garuk kepala. “Dua-duanya tiga minggu lagi!”

Irwan terpaku menatap butir-butir perjanjian yang tertulis di kertas tersebut. “Oke,” katanya.
“Rasanya aku mau sendiri dulu.”

Linda pun pergi ke ruang kerjanya. Sementara Irwan masih geleng-geleng kepala menatap
setiap kontrak kerja sama di tangannya tersebut. Ia masih mencari akal. Menghitung-hitung
biaya cetak yang menurutnya tak mungkin tercapai dalam waktu tiga minggu. Lagipula,
Irwan berpikir. Apa yang harus dicetak? Buku harianku?

Dengan gelisah Irwan membuka halaman website dua kegiatan itu, Java Rockinland dan
Indonesian Youth Conference. Ia sudah tahu banyak tentang Java Rockinland yang setiap
tahunnya disebut sebagai “naik hajinya” para pecinta rock di Indonesia. Untuk Indonesian
Yout Conference, Irwan baru mendengarnya.

Dia membuka halaman website Indonesian Youth Conference dan membaca tentang kegiatan
tersebut, juga profil penyelenggaranya. Beberapa saat kemudian Irwan mengeluh dalam hati,
Anak-anak muda yang beruntung. Ia meng-klik salah satu profil panitia penyelenggaranya,
Mereka bisa bermimpi dan meraih segalanya dengan mudah. Uang bukan masalah mereka.

Irwan pun mulai menyadari bahwa dua kegiatan tersebut sangat terkenal di mata orang-orang.
Kebanggaannya terhadap pencapaian Light tumbuh kembali. Tiba-tiba sebuah ide terlintas,
Kenapa Light hanya bekerja sama dengan mereka? Dan dengan logika sederhana
selanjutnya, ia menyimpulkan: kerja sama dengan dua kegiatan besar ini bisa menarik minat
para pengiklan.

“Ini dia!” Irwan berteriak.

Lagi-lagi Linda menghampirinya, setengah berlari. “Kenapa? Kenapa?”

117
“Aku tahu bagaimana caranya,” Irwan tersenyum bangga. “Tenang saja. Kita akan segera
cetak.”

Wajah Linda menjadi senang. Ia bersorak, “Horeee!! Benarkah? Bagaimana caranya?”

Irwan menarik kursinya, “Cepat bawa kursimu kemari.”

Begitu Linda sudah duduk di hadapannya, Irwan menjelaskan, “Aku akan membuat sebuah
poster bahwa kita akan mendistribusikan Light di kedua kegiatan ini,” Irwan menarik nafas.
“Kemudian kau kirimkan poster itu ke semua email pengiklan, kalau perlu telepon mereka
dan beritahu langsung. Cukup sederhana, bukan?”

Linda mengangguk-angguk. “Sukar dipercaya!” katanya seraya menjentikkan jari. “Bisa-


bisanya kau dapat ide secepat itu. Menurutku ini benar-benar hebat!”

“Kau sih bikin repot saja,” Irwan menarik badannya dan bersandar. “Sudah sana kerjakan.
Tiga minggu, bukan, dua minggu lagi seharusnya kita sudah berhasil mendapatkan pengiklan.
Satu minggu sisanya kita gunakan untuk mencetak. Aku akan pikirkan sebuah tema dan
meminta para wartawan untuk mengumpulkan materi secepatnya,” Irwan berpikir lagi. “Oh
iya, mungkin aku harus menghubungi Fahmi untuk membantu urusan tata letak.
Menghubungi percetakan, menanyakan harga, wah, banyak sekali, ayo, cepat kita lakukan!”

“Siap!” Linda berlari ke ruang kerjanya.

Sepuluh menit kemudian Linda sudah sibuk menghubungi banyak orang.

Farhan baru sampai ke kantor Light menjelang magrib. Irwan melihatnya buru-buru
merebahkan diri ke sofa, dia terlihat begitu kelelahan. Sambil menghela nafas, Irwan
menghampiri Farhan dan duduk di hadapannya.

“Hai,” Farhan melihat Irwan dan langsung duduk. “Bagaimana kabar Light?”

“Lumayan.”

Farhan berdiri, menuju dispenser. Dia menyeduh segelas kopi dan kembali duduk di sofa.

“Tiga minggu lagi kita akan cetak,” ujar Irwan.

Farhan memicingkan mata, menatapnya tak percaya. “Cetak apa maksudmu? Light?

118
Irwan mengangguk.

“Oh,” Farhan menghela nafas sambil bersandar ke sofa. “Apa baru saja ada iklan 1 milyar?”

“Tidak.”

Wajah Farhan semakin tampak keheranan. Dia merasa amat lelah setelah berkeliling
mengantar berkardus-kardus botol krim sampai ke Jakarta Utara.

“Tolong jelaskan, aku sama sekali tak mengerti,” katanya kemudian.

Irwan meletakkan kontrak kerja Indonesian Youth Conference dan Java Rockinland di meja.
Dia meminum beberapa teguk kopi dari gelas Farhan. Setelah meyakinkan dirinya, Irwan
mulai berbicara.

“Tadi pagi Linda memberitahuku,” jelas Irwan. “Ada dua kontrak yang harus kita penuhi,
waktunya jatuh tiga minggu dari sekarang. Ehm… Linda bilang, kau menyuruhnya
menawarkan pemasangan iklan di majalah versi cetak kepada dua kegiatan itu. Kita juga akan
membagi-bagikan majalah pada saat acara mereka berlangsung.”

Farhan menutup wajah dengan tangannya. Ia mengusap-usap cepat, seolah menuntut


kelelahannya segera hilang.

“Aku benar-benar lupa,” Farhan berkata. “Ya, benar, aku yang menyuruhnya. Mana Linda?”

Linda keluar dari ruang kerjanya, bergabung bersama Irwan dan Farhan. Beberapa saat
kemudian Fandi dan Boy juga baru saja sampai di kantor Light. Keduanya langsung
diberitahu tentang kontrak kerja bersama Indonesian Youth Conference dan Java Rockinland.
Irwan menjelaskan rencananya untuk bisa mempersiapkan Light versi cetak dalam waktu tiga
minggu.

“Wah, kelihatannya gawat juga, tapi seru,” Fandi berkomentar. Di sampingnya Boy sedang
membolak-balik kontrak kerja Indonesian Youth Conference dan Java Rockinland.

“Tapi idemu cerdas, kok,” Farhan menambahkan. “Dua event ini memang sangat menjual di
mata pengiklan.”

“Benar, kan?” Irwan menunjuk kepada Linda.

119
“Tapi benar-benar yakin ya?” Boy ikut bicara. “Bukan masalah uang sih. Kalau hal itu aku
juga yakin, dengan menjual dua event ini, kita bisa dapat banyak pengiklan. Masalahnya
berapa yang akan kita cetak. Di kontrak ini tertulis 500 eksemplar di setiap event. Mau tidak
mau jumlah pengiklan harus kita targetkan, minimal agar cukup untuk membiayai ongkos
cetak.”

“Itu benar,” Fandi menyahut.

“Coba kuhitung kasar dulu,” ujar Farhan.

Ia mengambil secarik kertas bekas. Semuanya menunggu ketika Farhan mencoret-coret kertas
tersebut sambil terlihat komat-kamit, menghitung-hitung dengan jarinya.

“Mungkin sejumlah ini,” ia mengangkat kertas tersebut.

Semuanya mengamati hitung-hitungan Farhan. Dia menghitung berdasarkan harga cetak


Light edisi terdahulu.

Farhan menghitung jumlah halaman Light, dia mengurangi dari biasanya. Memperkirakan
jumlah artikel dan halaman iklan yang cukup memadai untuk memenuhi tenggat tiga minggu.
Dia juga memperkirakan harga iklan inner page, full page, insidecover, backcover,
advertorial, dan segalanya begitu terperinci dalam coretan. Dalam catatannya semua menjadi
sempurna, batas waktu tiga minggu bukan lagi khayalan belaka.

“Kita tak usah menawarkan iklan setengah halaman,” jelasnya kemudian. “Jika setiap jenis
iklan di sini bisa kita dapatkan, harga cetak sudah bisa ditalangi.”

Semuanya mengangguk-angguk.

“Baiklah,” kata Irwan. “Sekarang tinggal memikirkan isi yang akan dicetak. Kita tidak
mungkin mencetak berita-berita yang sudah pernah terbit di website, kan?”

“Nah, itu bagianmu,” ujar Farhan.

Irwan menjelaskan ide mengenai isi Light versi cetak saat itu dengan memperkenalkan
tagline yang kebetulan sekali baru dia pikirkan bersama Farhan malam sebelumnya. Dia
begitu bersemangat.

“Kita tidak main di suburban lagi. Kita adalah Inspiring Young People,” Irwan menerangkan.
“Kalian tahu, baru semalam ide ini aku pikirkan bersama Farhan. Kita akan lebih fokus pada

120
kisah hidup anak muda. Kita ceritakan semangat mereka, kreativitas mereka, dalam bentuk
konser, festival, seminar, bisnis, pendidikan, atau berbagai komunitas.”

Irwan menatap teman-temannya satu per satu.

“Nah, untuk mengejar batas waktu tiga minggu ini, kita akan memperkuat identitas baru. Aku
mau di dalamnya kita menampilkan beberapa sosok anak muda dan komunitas. Nanti kita
pasang juga beberapa foto konser dari Herdian. Bagaimana?”

Semuanya kembali mengangguk-angguk.

“Kita mulai saja besok. Nanti waktunya tak cukup. Isinya cukup begitu saja,” Farhan
menimpali. “Yang penting kita dapat pengiklan untuk membiayai cetak.”

Besoknya mereka mulai bekerja. Farhan sengaja menunda semua pesanan botol krim pada
hari itu.

Irwan meminta Anneke menghadiri konferensi pers Indonesian Youth Conference. Foto-foto
Herdian dikumpulkan dan dipilih. Dwi sendiri menawarkan kepada Irwan untuk meliput
komunitas skateboard. Irwan langsung menyetujuinya. Fandi dan Boy tetap menulis artikel
untuk website Light setiap hari.

Sementara Farhan sibuk bersama Linda menghubungi puluhan nomor telepon dan email. Di
luar dugaan, mereka dengan cepat mendapatkan sambutan meriah. Pemilik distro berebut
ingin memasang iklan begitu mengetahui harga yang ditawarkan sangatlah murah, cuma
sebesar 350 ribu untuk setiap iklan satu halaman penuh. Mereka sadar bahwa produk mereka
akan berkeliaran di Indonesian Youth Conference dan Java Rockinland bersama edisi cetak
Light.

“Kecil-kecil tapi banyak,” Farhan tertawa puas. Setiap berhasil menjalin kontrak dengan
pengiklan, dia berjingkrak, lari ke sana kemari.

Linda pun berjuang keras. Dia memberitahu lewat mulut ke mulut, dan berhasil mendapatkan
satu “iklan premium” di halaman depan, di balik cover majalah, harganya mencapai 2 juta
rupiah.

Biaya cetak 1000 eksemplar majalah adalah sekitar 6 juta rupiah, dan mereka semakin
mendekati angka tersebut dalam dua hari berikutnya. Mereka mulai membayangkan
keuntungan lebih.

121
Satu-satunya masalah bagi Irwan adalah kualitas liputan Anneke dan Dwi.

“Kelihatannya mereka belum siap menulis artikel yang mendalam,” katanya sambil
memperlihatkan beberapa lembar copy hasil tulisan dua wartawan tersebut kepada Farhan.
“Ini lebih cocok jadi berita website.”

Farhan menatap Irwan. “Yah, bagaimana keputusannya, kau yang tentukan. Kita kan sudah
sepakat bagi-bagi urusan.”

Irwan mengangguk, mengernyitkan dahinya, kemudian berbalik. “Oke, oke.”

Irwan berpikir apakah dia harus memberi kesempatan kepada Tyo dari Bekasi, atau Rina dan
Niken di Depok. Waktunya tak cukup, ia mewanti dirinya sendiri. Dengan demikian, Irwan
memanggil Dwi dan Anneke, meminta keduanya agar memperbaiki tulisan mereka, dan
langsung di bawah bimbingan Irwan.

“Coba ingat-ingat lagi, apa yang paling menarik di dalam informasi itu?” tanya Irwan.

Anneke bengong sedangkan Dwi menatap langit-langit. Keduanya hampir berbarengan


mengucapkan, “Apa ya …”

“Oh, Indonesian Youth Conference itu anak-anak muda yang mau optimis, Kak. Mereka mau
merubah negeri ini lewat suara dari wakil anak muda di Indonesia,” Anneke menyahut.
Beberapa kali bibirnya seperti tersangkut kawat giginya. Anneke dan Dwi sama-sama
memiliki paras cantik yang identik, tinggi yang serasi, berambut hitam panjang, dan bersifat
mirip laki-laki. Irwan menyukai keriangan mereka. Namun, dia justru jadi serba salah untuk
mengerasi keduanya, apalagi harus membentak. Keduanya cukup manis dan penurut.

Irwan menoleh kepada Anneke. “Itu sudah kau tuliskan,” katanya menghela nafas. “Coba kau
tambahkan beberapa latar belakang pencetusnya. Motivasi orang-orang itu ketika membuat
Indonesian Youth Conference, bagaimana perjuangan mereka.”

Irwan segera menoleh kepada Dwi yang sedang memperhatikannya. “Kau cari hubungan
antara semangat komunitas skateboard itu dengan kemandirian anak muda.”

Keduanya diam dan berpikir. Mereka masih meraba-raba perintah Irwan yang tak sepenuhnya
jelas. Sekali lagi Irwan menarik nafas dan bergumam dalam hati, Kenapa jadi begini…

“Sekarang ya,” akhirnya Irwan berkata.

122
Keduanya langsung beranjak. “Iya, Kak.”

Sebelumnya Irwan ingin memberikan kesempatan kepada Fandi untuk sekali-sekali meliput
berita dari lapangan. Dia ingin anak itu menghadiri konser di sebuah mall di BSD. Musisi
yang tampil adalah The Brandals. Namun, karena merasa bahwa Fandi belum cukup siap dan
sering sibuk kuliah, Irwan pergi seorang diri dengan kameranya.

Irwan pergi meliput The Brandals dengan berpegang pada artikel-artikel tentang musisi yang
biasanya dibuat oleh Bomo. Ia membaca lagi wawancara The Banery, Gugun Blues Shelter,
Endah&Resha, White Shoes and The Couples Company, Efek Rumah Kaca, sampai The
Trees and The Wild. Semuanya ditulis oleh Bomo. Dalam hati Irwan memujinya, Seandainya
aku bisa meminta bantuannya …

Dari semua penulis yang pernah ada di Light, prestasi Bomo adalah yang paling
mengagumkan. Dia lebih cepat berkembang, banyak dipuji orang, dan akhirnya berhasil
meraih juara ketiga dalam kontes menulis yang diselenggarakan oleh media terkenal. Waktu
itu tulisannya mengenai perjalanan karir salah satu band rock legendaris yang namanya telah
surut di Indonesia, The Flowers.

Namun, kenyataannya, Fahmi, Bomo, maupun Lutfi, semakin sibuk saja. Jadilah kini Light
telah diisi orang-orang baru yang jumlahnya cukup banyak, namun meragukan dari segi
kualitas. Irwan cepat-cepat memaksa dirinya agar tak mengeluhkan keadaan. Kenyataan yang
sebenarnya sudah di hadapannya.

Suatu hari mereka akan datang lagi, Irwan meyakinkan dirinya.

***

Irwan sedang bersama Farhan di sebuah toko percetakan di kawasan Senen. Saat itu mereka
sedang duduk sambil menikmati kopi.

Farhan merasa puas dan tak menyangka bahwa Light akan berhasil naik cetak lagi setelah
berhenti terbit beberapa bulan yang lalu. Dia memuji Irwan, menganggap wajah-wajah baru
di Light akan berkembang lebih lagi.

“Meski masih belajar terbata-bata, mereka semangat sekali. Aku suka,” katanya.

123
Irwan tersenyum saja mendengarnya. Dua minggu yang lalu ia merasakan benar-benar seperti
dikejar oleh tuntutan yang tiada henti, urusan yang tak habis-habisnya.

Dia melakukan itu semua dengan uang yang kosong sama sekali di kantong. Ibunya berkali-
kali memperingati Irwan dengan keras, namun Irwan terus mengelak dengan segala cara,
membela mati-matian untuk datang ke Light. Mungkin saja, Irwan pernah berkata. Mungkin
saja waktunya tinggal sedikit lagi, sampai aku akan dilarang untuk pergi ke kantor Light
lagi.

Farhan menangkap kecemasan kawannya itu. Dia bertanya dengan penuh empati, “Kau baik-
baik saja?”

Irwan menoleh. “Ya. Aku baik-baik saja. Hanya…”

“Hanya?”

Irwan menarik nafas. “Hanya saja aku berpikir, belakangan ini segalanya serba berubah
dengan cepat. Orang-orang baru di Light. Jadwal sidangku yang segera terlupakan oleh
deadline di Light, dan bagaimana aku minta izin berkali-kali kepada One Heart Vision.”

Farhan mengangguk. Beberapa saat kemudian Irwan mengatupkan bibirnya.

Irwan berkata, “Aku bingung. Rasanya aku membutuhkan Fahmi, Bomo, dan Lutfi untuk
bersama kita lagi mengurus majalah ini.”

Ia diam sejenak.

“Mungkin aku berlebihan. Tapi, kalau mereka ada, setidaknya kau dan aku tak jadi sesibuk
ini. Mereka paham konsep dari awal, bisa menjelaskannya kepada orang-orang baru, kan? Itu
pasti sangat membantu.”

Keduanya pun sama-sama berpikir. Mengingat masa-masa pertama kali membangun Light.
Waktu berlangsung begitu cepat. Mereka mengingat rapat di rumah Linda. Saat itu Linda
belum bergabung, tapi kini sudah.

Farhan mengingat Annisa dan tiba-tiba saja begitu merindukannya. Dia ingin bertemu dengan
gadis itu setiap hari. Dia ingin mencurahkan segala penat kepada gadis yang ia sayangi itu.
Dia baru sadar bahwa selama ini hanya Irwan yang sering menjadi teman curahan keluh

124
kesahnya. Kenapa dia tidak cari pacar ya? Farhan bertanya-tanya memandangi Irwan. Dia
menghela nafas.

“Kita lupakan Fahmi, Bomo, dan Lutfi,” ujar Farhan kemudian.

Irwan menoleh kepadanya. “Kau serius?”

“Kalau mereka peduli, mereka pasti sudah ada di kantor jauh-jauh hari,” kata Farhan lagi
dengan marah.

“Mereka sibuk…”

“Memangnya aku tidak? Kau tidak?”

Keduanya saling memandang.

“Mungkin karena kantor sekarang agak jauh dari rumah mereka,” Irwan berkata.

Farhan tergelak. “Aku dulu juga begitu, waktu kita masih di kamar Randy, di Ciledug sana.”

“Sekarang kita harus maju. Hadapi kenyataan yang ada, Wan. Mari kita tutup buku tentang
Fahmi, Bomo, Lutfi, juga suburban Jakarta. Bimbinglah Fandi, Boy, Linda, dan semuanya,”
Farhan berhenti. “Aku juga akan mengajak Annisa ke Jakarta. Dia akan mengurus keuangan
bisnis botol krimku, dan kelihatannya dia bisa menulis tentang kesehatan di Light.”

Tanpa banyak berpikir, Irwan menjawab. “Aku terserah keinginanmu saja.”

“Sadarlah, Wan,” Farhan menatapnya. “Kita tidak pernah ingin main-main dengan Light.
Kita tak bisa mencampuradukan teman dengan pekerjaan. Selamanya kita tetap Jakob
Oetama dan P.K Ojong—kau pernah cerita itu. Kita akan berjuang bersama-sama. Doakan
botol krimku semakin berkembang. Dengan begitu Light bisa terus berjalan.”

Farhan berhenti bicara dalam waktu yang cukup lama. Suasana mendadak hening kembali.
Tak lama kemudian Farhan berkata, “Tentu saja aku mengharapkan Light tak membutuhkan
bantuan botol krim lagi.”

Malam semakin larut. Seorang pegawai di toko percetakan akhirnya mengatakan kepada
Farhan dan Irwan bahwa mereka sanggup mencetak Light dalam lima hari. Ketika dalam
perjalanan bermotor, sebuah pikiran melintas di kepala Irwan.

Mungkinkah aku juga mencari pekerjaan sampingan?

125
Bab 17

Sambil menunggu Light selesai dicetak, Irwan bersiap-siap untuk hari yang paling ia tunggu-
tunggu. Dia akan menghadapi sidang skripsi. Sebelumnya dia beberapa kali bolak-balik ke
kampusnya di Rawamangun untuk memperbaiki format skripsi yang benar dan meminta
sejumlah dosen untuk menandatanganinya.

Irwan memberitahu Farhan keesokan harinya sehabis dari tempat percetakan. Dia tak bisa
datang ke kantor Light untuk sementara waktu.

“Sebisa mungkin, sempat-sempatkan kemari,” ucap Farhan. “Aku juga tak bisa terus-terusan
stand by, botol krim harus diurus juga.”

“Pasti kuusahakan.”

Beberapa hari kemudian Irwan memang menyempatkan dirinya ke kantor Light pada malam
hari. Saat itu dia hanya sering bertemu dengan Farhan, Boy, dan Fandi. Untuk berjaga-jaga
agar Light tetap berjalan dengan baik, Irwan meminta agar Fandi menggunakan Twitter dan
berbincang dengan orang-orang.

Pihak Javarockinland kebetulan memberikan enam tiket gratis termasuk kartu pers kepada
Light. Enam tiket itu dijadikan hadiah untuk kuis di Twitter. Sebentar saja pengikut Light di
media sosial itu bertambah dua kali lipat. Orang-orang begitu antusias menjawab kuis yang
dilontarkan oleh Fandi.

“Mulai besok Annisa akan menulis artikel kesehatan. Kau tidak keberatan, kan?” tanya
Farhan kepada Irwan.

“Tentu saja tidak,” Irwan menjawab. “Perempuan cukup ahli dalam hal itu.”

Meski sudah mengurangi kesibukan sehari-harinya di Light, ternyata waktu berjalan begitu
cepat bagi Irwan. Dia sama sekali tak percaya bahwa jadwal sidang skripsi sudah tinggal
keesokan harinya.

Sidang itu dilaksanakan di sebuah ruangan bermeja melingkar dan sebuah papan tulis yang
berguna untuk memantulkan gambar dari proyektor digital. Irwan bergabung dengan ketiga

126
mahasiswa lain dari jurusan sosiologi. Mereka sama-sama tegang dan banyak berbicara
macam-macam. Sejak pagi-pagi sekali beberapa dosen telah memasuki ruang sidang.

“Coba kau dengar penjelasanku ini, benar tidak? Begini…,” kata salah satu mahasiswa
perempuan di samping Irwan. Perempuan kemudian mencoba menjelaskan sebuah teori dari
Jurgen Habermas.

Irwan menjawabnya dengan datar. “Kelihatannya menarik.”

Dalam suasana yang dipenuhi gelisah itu, Irwan malah serius menatap ke layar ponselnya.
Dia sedang membuka website Light, membacai setiap artikel terbaru dari Boy yang tadi pagi
baru saja ia terbitkan. Dia tak sadar begitu gilirannya memasuki ruang sidang telah tiba.

Sidang ini cuma sebentar saja, Irwan berusaha menenangkan hati. Aku sudah biasa
menghadapi yang lebih tegang.

Irwan masuk sambil memberi salam. Para dosen duduk berjejer menyambutnya dengan
tersenyum. Sepintas lalu Irwan mulai berdebar-debar, tapi ia cepat-cepat menguasai diri. Dia
mengingat Light dan tak henti-hentinya berdoa agar semua cepat berlalu. Apa yang
diingatnya adalah satu: siang itu Light akan selesai dicetak!

Seorang dosen perempuan yang bertindak sebagai ketua sidang mempersilakan Irwan
membaca doa setelah dia memeriksa kelengkapan persyaratan sidang.

“Kamu sudah siap?”

“Ya, Bu,” Irwan menjawab tenang.

“Keraskan suaramu. Silahkan mulai.”

Dan penjelasan keluar dari mulut Irwan seperti halnya dia menjelaskan Light, membimbing
para wartawan, atau membuat Linda mengerti tentang sebuah ide. Semuanya berjalan mulus.

Jika memperhatikan suasana yang tampak, Irwan lebih banyak bertahan secara emosional
dari seluruh pertanyaan dosen penguji. Tak boleh seorang pun merintangiku, ia berkata lirih
pada dirinya sendiri. Sidang ini cuma main-main saja.

Lebih dari satu jam, tak terasa para dosen penguji itu telah terpuaskan—atau mungkin
bosan—dengan seluruh jawaban dari Irwan. Beberapa menit kemudian Irwan dinyatakan
lulus. Perasaannya lega.

127
Semua mahasiswa biasanya akan berkumpul seusai sidang. Mereka membeli minuman,
merokok tanpa putus, untuk melepaskan ketegangan. Mereka berbincang dan tertawa keras-
keras. Seluruh keringat hampir membanjiri seragam peserta sidang yang mereka kenakan.

Pada saat para mahasiswa sosiologi berkumpul di sebuah pohon rindang, Irwan menghela
nafasnya. Dia berharap dirinya sedang berada di sana, berbincang, menertawakan ketegangan
selepas sidang tadi. Namun, siang itu juga Farhan sudah menunggunya di tempat percetakan
di kawasan Senen. 1000 eksemplar Light sudah menanti. Tak mungkin Farhan membawanya
seorang diri dengan sepeda motor.

Irwan hanya melintas sebentar di antara para mahasiswa yang sedang berkumpul. Dia segera
minta diri untuk segera pergi tanpa mengganti seragam sidangnya yang sudah bersimbah
peluh.

Salah satu temannya bertanya, “Mau ke mana sih? Duduk-duduk dulu. Hidupmu tak santai
sekali.”

Begitu pergi mengambil sepeda motornya di tempat parkir, Irwan memikirkan kata-kata dari
temannya barusan. Ia menarik nafas sedemikian dalam. Gejolak aneh sedang mengaliri
dadanya, Irwan tiba-tiba bergidik. Memang tidak santai, kata Irwan dalam hati. Karena kami
sedang berjudi.

Ia pergi memacu sepada motornya.

Satu jam kemudian Irwan sudah sampai di kawasan Senen. Suasana siang di sana begitu
hiruk pikuk, penuh kendaraan, pejalan kaki, dan pedagang yang berjejalan. Irwan
mengendarai motornya sambil terseok-seok. Ia menembus belantara orang di jalan setapak
sempit di tengah terik matahari. Ketika ia sampai di toko percetakaan tempat Light dicetak,
Farhan sudah berada di sana.

“Sudah jadi?” tanya Irwan. Ia membuka jaketnya dan sangat merasa kepanasan.

Farhan menoleh. “Sudah, lihat ini.”

Sejenak saja Irwan mengamati beberapa eksemplar majalah Light yang sudah tercetak. Ia
meraih salah satunya. Ia merasakan hangat ketika tangannya menyentuh majalah itu. Ketika
membuka lembar demi lembar, Irwan berdebar-debar.

128
Ia masih tak percaya akhirnya Light bisa dicetak kembali, dalam tenggat waktu yang
sebenarnya tak masuk akal, dengan biaya seluruhnya dari pengiklan. Seketika itu juga setiap
lembar Light jadi menakjuban bagi dirinya. Irwan tak peduli bagaimana majalah itu masih
kalah saing dengan majalah-majalah lain. Di dalam perhatian dan hatinya hanya ada Light.

“Bagaimana?” Farhan menghampirinya. “Lumayan kalau menurutku.”

“Ya,” jawab Irwan mengangguk.

Farhan menunduk, mengamati sampul majalah dari dekat sekali.

“Warna ini sedikit memudar,” katanya.

Irwan memperhatikan apa yang sedang diperiksa oleh Farhan. “Oh ya?”

“Ya. Warna aslinya tidak begini,” Farhan lalu berdiri menghampiri seorang petugas
percetakan. “Perbaiki warna ini dulu ya.”

Petugas itu menatap heran. Dia mengamati bagian warna majalah yang ditunjuk Farhan.
Sambil mengangguk-angguk, petugas itu berkata, “Boleh. Tapi butuh waktu satu jam.”

Farhan menoleh kepada Irwan. “Baiklah,” katanya kemudian. “Kami tunggu.”

Selama menunggu hasil cetak, Farhan berkali-kali mengangkat ponselnya. Ia berbincang-


bincang tentang botol krim dengan para pelanggannya. Begitu menutup sambungan telepon,
ia menoleh kepada Irwan sambil berkata, “Aku ke Pasar Pramuka dulu ya. Ambil botol
krim.”

Irwan mengamati wajah Farhan yang berkeringat, matanya memancarkan kelelahan.

“Aku ikut,” kata Irwan kemudian.

Hari itu adalah pertama kalinya Irwan mengikuti Farhan dalam berjualan botol krim. Mereka
berdua menempuh perjalanan bermotor melalui kawasan Salemba, menuju arah Pasar
Pramuka. Mereka memasuki tempat parkir Pasar Pramuka yang begitu padat. Orang-orang
sibuk mengangkat barangnya dalam kardus-kardus bersar.

“Yuk, masuk,” ajak Farhan.

129
Keduanya lalu menaiki tangga dan berjalan melalui ratusan toko di dalam pasar itu. Suara-
suara pedagang bersambutan menawarkan barang, berbicara cepat dengan calon pembeli, dan
sebentar saja Irwan merasa di dalam pusaran udara yang panas luar biasa. Ia berkeringat,
matanya sedikit berkunang-kunang.

Farhan berbalik menoleh. “Langgananku di lantai dua.”

Irwan hanya mengangguk. Dia terus membuntuti Farhan, sambil menatap pundak temannya
itu dari jarak lumayan dekat. Betapa berat dia memikul beban, ucap Irwan. Aku beruntung
bisa berteman dengannya, banyak yang bisa kupelajari.

Lantai dua Pasar Pramuka tak ubahnya seperti suasana kapal perang. Berbagai barang
tertumpuk di sana-sini dan setiap orang begitu sibuknya, berjalan melintas ke sana kemari.
Tak lama kemudian Farhan berhenti di sebuah toko yang dijaga oleh seorang wanita paruh
baya berjilbab. Lusinan botol kosmetik tertumpuk di etalase dan rak-raknya.

Melihat Farhan, wanita penjaga toko itu tersenyum riang. “Berapa Farhan?”

“Biasa…,” jawab Farhan sambil melihat ponselnya. “Hm…semi acrylic 8 gram, terus … “ ia
berhenti. “Nah, lumayan—pot impor 10 gram!”

Farhan menoleh kepada wanita penjaga toko itu. “Ada kan?”

“Adaaa… tenang sajaaa,” si wanita penjaga toko itu lantas menyuruh seseorang untuk
mengambil sesuatu dari rak. “Acrylic 8 sama pot impor 10 buat Farhan ya.”

Wanita itu kembali menghampiri Farhan. “Pesan lagi dong, sedikit amat!”

Farhan tergelak. “Yaaah… pesanan adanya segitu, mau bagaimana lagi…”

Tapi kemudian ponsel Farhan berbunyi kembali. Dia mengangkatnya dan berbicara dengan
suara keras untuk mengalahkan kebisingan pasar.

“Oke,” Farhan mengambil pulpen, kemudian menoleh kepada Irwan sambil berbisik, “Minta
kertas dong.”

Irwan menyerahkan secarik kertas kusut dan Farhan langsung menulis sambil mengapit
ponsel dengan bahunya. “Ya, oke, Mbak. Oke… 10 gram…500 botol…oh, oke,” dia
berhenti. “Kalau tidak ada botol… oh, begitu… oke, oke…yasudah, hari ini ya. Siap, Mbak.”

130
Farhan langsung menghampiri wanita penjaga toko tadi. “Pesanan baru nih!” katanya
tertawa.

Seluruh pesanan botol krim yang diminta Farhan dibungkus dalam kardus-kardus berukuran
kecil dan besar. Irwan mendekati setiap kardus, melongo begitu membaca tulisan spidol di
kardus tersebut.

“Banjarmasin… Kupang… Lampung…, “ Irwan menelan ludah. “Pelangganmu dari macam-


macam daerah?”

Farhan tersenyum menampakkan gigi. “Itulah gunanya internet.”

Namun, Irwan lebih tercengang lagi begitu menyadari kardus-kardus berisi botol krim yang
dipesan Farhan dari toko itu. Semuanya berjumlah tujuh kardus besar dan dua yang lainnya
berukuran sedang. Bagaimana membawa semua ini dengan motor? Irwan bertanya-tanya.

“Sebagian tinggal diserahkan ke jasa pengantar barang,” jelas Farhan. “Di sebelah pasar ini
kok tempatnya.”

“Kardus sisanya?”

“Nah, sisanya, kebetulan pelangganku yang di Lampung maunya dikirim lewat kapal laut.
Kita nanti serahkan ke jasa pengantar yang lain. Kita akan jalan sedikit jauh ke Tanjung
Priok,” jelas Farhan lagi.

Irwan hanya bisa mendengarkan dengan terheran-heran. Jadi setiap hari dia melakukan ini?
Ke pasar, mengangkut, mengirim barang? Dan, semua itu dia lakukan hanya seorang diri …
Ya Tuhan! Anak muda macam apa kawanku ini!

Rasa heran dan terkejut Irwan segera berganti kepada perasaan takjub tak terkira. Dia sama
sekali tak menyangka pekerjaan Farhan begitu melelahkan dan butuh kesabaran yang luar
biasa. Apa yang ada di dalam benaknya saat itu adalah: Sehabis banting tulang mencari uang,
ia memberikan sebagian besar uangnya untuk membiayai kantor Light …

Irwan tak bisa membayangkan pengorbanan semacam itu. Ia terus berdecak kagum dan tiba-
tiba malu terhadap dirinya sendiri.

131
Farhan menatap Irwan dan seolah tahu apa yang sedang dipikirkannya. Ia berdiri mendekati
Irwan, “Kalau tidak begini, bagaimana lagi kita bisa menjalankan Light? Mudah-mudahan
semuanya lancar. Habis ini aku traktir kau soto padang yang enak.”

Irwan tersenyum. Di hadapannya Farhan menjadi begitu besar. Kawannya itu telah berkorban
mati-matian mempertahankan Light, kenapa dirinya malah memikirkan mencari pekerjaan
sampingan? Diam-diam Irwan memarahi dirinya sendiri.

“Perih juga ya, kelihatannya… “ kata-kata Irwan meluncur begitu saja. “Eh, maksudku… aku
melihatmu mengangkat-angkat barang kosmetik. Jujur saja, begitu tadi kita sampai ke toko
ini, aku malu.”

Farhan tersenyum datar. “Kau kira aku tidak? Ayo, kita ke tempat soto padang. Aku sudah
kelaparan.”

Ketika Farhan menjinjing kantong plastik hitam yang besarnya bisa menutupi lebar
badannya, Irwan termenung. Dari belakang dia memperhatikan Farhan menoleh ke sana-
kemari. Wajahnya berkeringat di tengah pasar yang padat. Sesekali Farhan harus menunduk,
agar keringat di dahinya dapat diseka.

“Mantap ya,” ia menoleh kepada Irwan seraya tersenyum. “Ini baru namanya laki-laki.”

Gelap malam sudah menggelayut di langit Pamulang ketika Farhan dan Irwan sampai di
kantor Light. Keduanya sangat lelah, namun tetap bersemangat menyusun majalah menjadi
paket sepuluh eksemplar. Irwan lupa bahwa dia baru saja lulus ujian sidang. Keduanya hanya
sibuk mencatat ke mana saja tujuan majalah hasil kerja keras mereka itu akan disebarkan.

Farhan menyandarkan dirinya ke kursi. “Oh ya, selamat sudah lulus sidang.”

Keduanya lalu saling berjabat tangan.

132
Bab 18

Hari demi hari telah berlalu sejak Light kembali dicetak dan disebarkan ke Java Rockinland.
Pada saat itu, Light gagal menepati kontrak dengan Indonesian Youth Conference. Irwan
menyadari bahwa waktunya terlalu sempit, antara proses mencetak Light dengan dimulainya
kegiatan Indonesian Youth Conference. Oleh karena itu, dengan gusar dia meminta Linda
mencari alasan paling masuk akal kepada pihak penyelenggara Indonesian Youth
Conference.

“Kami tak sempat mengirim majalah,” begitu saja alasan yang dikatakan oleh Linda ketika
menghubungi salah seorang panitia Indonesian Youth Conference. “Sebagai gantinya kita
tidak hanya ingin meliput kegiatan kalian, tapi juga sosok di balik Indonesia Youth
Conference.”

Masalah pun dapat diatasi. Panitia Indonesian Youth Conference tak terlalu ambil pusing.
Mereka sebenarnya hanya menginginkan majalah Light sebagai souvenir peserta.

“Menarik sekali, tapi kami sangat menyesal tidak bisa memenuhi,” ujar Linda lagi.

Sementara Java Rockinland menjadi hari yang paling membahagiakan semua orang-orang di
Light. Dwi, Fandi, dan Herdian begitu senang menjalani tugasnya meliput konser besar
tersebut. “Kesempatan yang tidak bisa dilewatkan!” waktu itu Dwi bersorak. Sebuah tiket
untuk menghadiri konser selama tiga hari telah di tangannya. Farhan benar, jika saja Light tak
memiliki versi cetak, orang-orang akan menganggapnya sebagai media murahan.

Hampir segalanya berjalan dengan mulus. Light semakin banyak dikenal orang, dan tentunya
semakin percaya diri. Kini giliran mereka mempersiapkan edisi selanjutnya.

Persiapan edisi kedua semenjak Light cetak kembali bersamaan dengan datangnya bulan
puasa. Inilah masa dimana Farhan menyadari dirinya amat kelelahan. Sehabis sahur dia sudah
bermotor puluhan kilometer dari rumahnya di Reni Jaya ke Pasar Pramuka. Setiap hari
Farhan baru kembali ke kantor Light pada malam hari. Bisnisnya semakin berkembang,
waktunya untuk memperhatikan Light semakin berkurang.

133
Farhan mengetahui bahwa kekasihnya, Annisa, punya kelebihan yang tak dimiliki oleh Light
saat itu. Menurutnya Annisa memiliki disiplin dan ketekunan yang luar biasa.

“Lagipula dia sangat bisa dipercaya,” ujar Farhan.

Jauh sebelum Light memasuki persiapan edisi selanjutnya, Annisa datang ke Jakarta dan
bertemu Irwan. Seperti yang dikatakan Farhan, Annisa akan mengasuh rubrik kesehatan di
website dan edisi cetak Light selanjutnya.

“Informasi kesehatan itu banyak yang mencari,” kata Farhan. “Buktinya bisnis kosmetikku
bisa laku keras. Ini kan berhubungan sama perawatan kulit.”

Langsung saja Irwan menyetujui segala usul Farhan. Dia menjelaskan kepada Annisa profil
singkat Light, timing penerbitan artikel di website, dan hal mendasar mengenai gaya
penulisan berita yang digunakan. Annisa kemudian menyewa kos yang jaraknya hanya
beberapa blok dari kantor Light.

Irwan setuju Annisa bergabung bersama Light tanpa pernah terbesit di benaknya, kalau hal itu
adalah ego dari Farhan semata. Tanpa disadari, Irwan mulai sepenuhnya mempercayai segala
sesuatu tentang Light kepada Farhan. Sejak menemani berjualan botol krim itu, Irwan
semakin kuat menganggap Farhan sebagai sahabat terbaiknya. Irwan menganggap Farhan
orang yang rela mengorbankan dirinya demi orang lain, teman-temannya di Light,
kekasihnya, dan keluarganya.

Irwan merasa dirinya tak salah membanggakan Farhan ketika keduanya diundang oleh
sebuah seminar bertema “Menuju Era Digital Marketing.” Seminar itu diadakan di aula
gedung perhimpunan para pebisnis muda yang cemerlang. Farhan mendapatkan undangan
dari seorang kenalannya, dan ia mengajak Irwan untuk ikut.

Ketika mengajak Irwan, Farhan berkata, “Nanti kita cari narasumber untuk membahas bisnis
online. Bulan ini kita bahas tentang bisnis online saja. Bagaimana menurutmu?”

Irwan langsung tertarik. “Wah, menarik! Boleh juga!”

“Selanjutnya kita harus siapkan tema majalah untuk satu tahun.”

Mereka pun berangkat ke kawasan Kalibata, ke tempat diselenggarakannya seminar tersebut.

134
Begitu sampai di lokasi, Irwan terperangah melihat aula besar penuh orang-orang dengan
setelan jas. Seluruh hidangan makanan dan minuman tertata rapi dan menggugah selera.
Ruangan dipenuhi kursi yang berjejer melingkari sebuah meja. Orang-orang asyik bersantap
dan berbicara ketika Irwan masuk mendahului Farhan.

“Bos, silahkan cari kursi kosong,” kata salah seorang kepada Farhan. Mereka bersalaman,
dan Irwan menyadari bahwa orang itu adalah teman Farhan yang mengajaknya ke seminar
tersebut.

Seminar itu dimulai dengan seorang pria yang berbicara dengan penuh kata-kata keajaiban. Ia
seolah menyangka era internet baru saja datang, kemudian meninggalkan Indonesia
sedemikian rupa jauh di belakang.

“Pasar Indonesia masih sangat berpotensi,” kata pria itu. “Di sinilah kita akan bertukar
pikiran, pengalaman … kebetulan telah hadir orang-orang terpenting dari kalangan
pengusaha.”

Suasana menjadi meriah. Setiap narasumber begitu lihai berbicara dan pandai menyelipkan
humor.

“Siapa hari ini yang tidak punya Facebook?” tanya seorang pembicara sambil menoleh ke
kanan-kiri. “Twitter?”

Tidak ada peserta seminar yang menjawab.

“Begitulah hadirin sekalian. Betapa internet lewat media sosial menjadi keseharian
masyarakat. Ini sebuah tanda kalau internet dapat memberikan keuntungan bagi bisnis kita.”

Setiap orang terlihat mengangguk-angguk memperhatikan. Sampai kemudian seorang pria


yang lebih muda mengambil giliran untuk berbicara. Dia seorang pengamat media sosial.

“Adakah di sini yang mengetahui SEO?” pria itu bertanya.

Semua orang terdiam dan saling memandang penuh tanya. Farhan melihat Irwan, keduanya
saling menggeleng dan tersenyum.

“Saya!” tiba-tiba Farhan berdiri sambil mengangkat tangannya.

Si pembicara cukup terkejut. “Oke, Mas. Siapa namanya?”

135
“Farhan. Saya wartawan dari Light Magazine.”

“Oke, tolong Anda jelaskan tentang SEO,” si pembicara itu mendekati.

“Ya. SEO itu search engine optimization. Terkenal sebagai teknik untuk mengupayakan agar
website kita terindeks secara baik di mesin pencari internet. SEO dapat membuat website kita
berada di halaman pertama, teratas… katakanlah, Google.”

Ternyata sebagian besar peserta seminar saat itu mengangguk-angguk penuh antusias. Farhan
menyapu pandang kepada mereka. Ia berkata, “Saya berhasil menjalankan jenis bisnis online
dengan SEO itu, dan sekarang bisa membiayai sebuah majalah.”

Si pembicara terkejut, begitu juga para peserta yang banyak terdiri dari manajer atau
pimpinan perusahaan. Sekejap saja Farhan telah menarik perhatian mereka.

“Anak muda luar biasa!” sebut si pembicara kemudian.

Ia pun kembali melanjutkan penjelasan mengenai dunia pemasaran internet yang segera
membuat Irwan dan Farhan bosan. Mereka sudah mengetahui semua yang dibicarakan, malah
keduanya menganggap bahwa seminar itu hanya terkesan inovatif pada judulnya saja.

Dalam perjalanan pulang, Farhan berkata kepada Irwan, “Seminarnya tidak cukup menarik.”

Dia semakin hebat saja, Irwan berkata dalam hati. “Tapi paling tidak kita sudah dapat
wawancara untuk jadi isu utama di edisi selanjutnya.”

Dua minggu setelah seminar tersebut, Anneke mengundang Irwan dan Farhan untuk menjadi
pembicara di kampusnya. Di Jakarta College of Communication itu keduanya menjelaskan
tentang media cetak untuk sebuah program TV kampus.

“Kita memang anak muda miskin yang beruntung!” kata Farhan pada saat itu.

Keduanya erat dalam cita-cita, seolah tak terpisahkan untuk membuat mimpi mereka benar-
benar menjadi kenyataan.

***

136
Berkat kerja keras mengembangkan bisnis botol krim melalui internet, Farhan mulai membeli
beberapa barang untuk melengkapi fasilitas di kantor Light. Ia membeli laptop dan beberapa
meja kerja baru.

“Supaya makin terlihat seperti kantor,” katanya tersenyum.

Seisi Light pun semakin menggairahkan semua orang. Kini suasana sunyi senyap yang biasa
menjadi penampakan kantor Light sehari-hari berubah total.

Fandi semakin menikmati perannya sebagai penulis di website Light. Ia berkenalan dengan
Annisa. Anneke dan Dwi juga semakin meluangkan waktunya di sela-sela jadwal kuliah.
Herdian datang sekali-sekali, dan dia berkali-kali dijadikan bahan lelucon oleh Anneke
maupun Dwi.

“Dengar, aku baru tahu ada orang bawa kamera di tengah konser dan dia memakai batik!”
ujar Dwi menyindir Fandi. Semua orang tertawa.

Fandi membalas datar, “Aku kan cinta Indonesia.”

“Betul!” Anneke menyahut. “Dia benar-benar orang Indonesia tulen, Kak. Kalau datang ke
lokasi telat melulu!”

Anneke berkali-kali harus gigit jari gara-gara kebiasaan Herdian yang sering terlambat. Dia
pernah menunggu Herdian sampai dua jam. “Ponselnya mati, dasar!” keluh Anneke waktu
itu.

Waktu itu mereka sudah dijadwalkan akan meliput sebuah konferensi pers. Ketika Anneke
akhirnya memutuskan pergi seorang diri, Herdian baru muncul di akhir acara tanpa perasaan
bersalah sedikit pun. Dia cuma tertawa-tawa menanggapi Anneke yang kadung kesal.

“Setiap kali liputan sama Herdian, kita pasti ketimpa sial,” Anneke berkata. “Waktu di
stasiun kereta Gondangdia, aku mencari pedagang sandal karena punyaku putus. Tahu-tahu
sekumpulan pria memaksaku untuk ikut mereka, menarik-narik, tapi aku berhasil kabur.”

Semua orang menyimak serius. Herdian justru tersenyum malu-malu.

“Tahu tidak,” Anneke mendelik ke Herdian. “Apa yang dikatakan orang ini saat aku
menemuinya sambil terengah-engah. Katanya, ‘makanya lain kali hati-hati, Ke.’ Dia
kelihatan santai-santai saja sambil makan siang, enggak puasa!”

137
Orang-orang menggelengkan kepala mendengar cerita Anneke.

“Dasar Herdian,” Irwan menghela nafas. “Untung saja fotomu bagus-bagus.”

Herdian hanya terkekeh. Farhan tak bisa menahan tertawanya membayangkan tampang
konyol Herdian.

“Oh, ada lagi Kak!” Anneke buru-buru menyahut. “Waktu kita naik sepeda motor berdua,
aku sudah tunjuki jalan yang sebenarnya.”

Anneke menuding Herdian dengan tatapannya. “Tapi lagi-lagi anak ini sok tahu. Dia bilang
mau potong jalan, eh, akhirnya kita masuk tol!”

Anneke terus bercerita keadaannya bersama Herdian saat bermotor dan memasuki tol. “Sudah
hujan lebat, masuk tol pula!” Anneke menggeleng-geleng dan menepuk dahinya. “Aku
kapok!”

Ketika semua orang terpingkal-pingkal, Farhan tersenyum penuh makna menatap suasana itu.
Annisa menoleh kepadanya, dan mereka pun saling melampar senyum.

Seketika itu pula Irwan menyadari ada seseorang yang sudah jarang ia lihat lagi selama
berminggu-minggu. Ke mana Boy?

***

Irwan tak ingat kapan terakhir kalinya ia melihat Boy datang ke kantor Light. Selama ini dia
hanya menerima setiap artikel dari Boy melalui email untuk diterbitkan setiap hari di website
Light.

Irwan selalu sibuk memperhatikan segala informasi terbaru untuk segera diteruskan kepada
wartawan-wartawan yang lain. Irwan lebih banyak berbicara dengan Farhan, Annisa, Anneke,
Dwi, Herdian, Linda, dan Fandi. Beberapa kali dia juga mengontak kontributor. Dia lupa
kalau Boy tak pernah lagi datang ke kantor Light. Sudah lama sekali.

“Aku juga tidak pernah lihat dia ke sini lagi. Kupikir dia pernah bilang sesuatu padamu,”
jawab Linda ketika Irwan bertanya kepadanya.

138
Farhan pun sama tak tahunya, begitu juga teman-teman yang lain. Mereka hanya sesekali
melihat Boy datang melihat-lihat kantor Light pada siang hari, kemudian pergi lagi. Untuk
menjawab segala penasarannya, Irwan pun memutuskan untuk mengunjungi rumah Boy.

Ketika itu kebetulan Boy sedang berada di rumah dan ia menyambut Irwan dengan senang.
Untuk beberapa saat, keduanya berbincang sekedarnya, dan Irwan mulai menanyakan
keadaan yang sebenarnya terkait Boy.

“Hei, ada kesibukan apa?” tanya Irwan. “Kau sudah jarang main ke kantor.”

Selintas Boy tampak ragu-ragu untuk menjawab. Ia berpikir sejenak, kemudian menatap
Irwan. “Aku sudah mulai kuliah lagi untuk jenjang strata satu.”

Irwan senang mendengarnya. “Wah, hebat dong!”

“Ya.”

Irwan menanyakan di mana Boy melanjutkan kuliahnya. Boy ternyata memilih jurusan
komunikasi di Universitas Al Azhar Indonesia.

“Lalu, kuliahmu masih padat ya?” tanya Irwan lagi. “Baiklah, kalau sempat, datanglah ke
kantor. Lihat-lihat perkembangan.”

“Aku? Eh, ya, sebenarnya tidak juga …” jawab Boy. Mendadak ia berhenti.

Irwan memandanginya heran. “Ya?”

Boy merenung sejenak, kemudian melanjutkan, “Aku harus bekerja,” katanya. “Aku tidak
bisa bayar kuliah kalau tidak begitu. Sekarang kebetulan aku sudah jadi pengelola website di
kampusku sana.”

Ia menatap Irwan dengan gelisah. “Maafkan aku.”

“Ehm, yah,“ Irwan menyandarkan dirinya ke kursi. “Kau tahu kau tak perlu minta maaf.
Sudah sewajarnya kau mencari uang untuk biaya kuliah, kan?”

Keduanya terdiam. Suasana mendadak canggung dan saling menahan diri untuk bicara.

“Aku permisi dulu ya,” Irwan berdiri. “Salam buat keluarga.”

“Ya, Wan. Salam juga untuk teman-teman yang lain.”

139
“Akan kusampaikan.”

Irwan pun pergi.

Ketika sedang berjalan kaki menuju kantor Light, Irwan kembali memikirkan Fahmi, Bomo,
dan Lutfi. Apa yang sedang mereka lakukan? Irwan bertanya-tanya. Sejenak ia merasakan
banyak sekali yang terjadi setelah keputusannya bergabung dengan Light.

Orang-orang lama menghilang tak datang tanpa kabar, orang-orang baru yang riang dan
bersemangat segera menggantikan mereka. Irwan merasa kesal. Lantas, ia segera berpikir,
Kalau aku begini kesalnya, bagaimana dengan Farhan yang sudah mengorbankan
segalanya?

Perkataan Farhan waktu itu melintas di benaknya.

Mari kita tutup buku tentang Fahmi, Bomo, Lutfi, juga suburban Jakarta.

140
Bab 19

Suara ponsel sudah berdering pada pagi hari ketika Farhan masih tertidur. Baru saja ia
terlelap selama tiga jam. Ia begitu kelelahan sehabis mengantarkan puluhan paket botol krim
dan menghabiskan malamnya untuk memantau setiap perkembangan website Light.

“Halo?”

“Mas Farhan. Saya pesan botol krim yang 10 gram …”—dan suara dari seberang itu
langsung membuat Farhan terduduk. Ia segera mencatat, mendengarkan dengan seksama
setiap perkataan dari calon pembelinya. Begitu pembicaraan di telepon selesai, ia
memaksakan dirinya berdiri. Waktunya berdagang! Ia menyemangati dirinya sendiri.

Farhan berpapasan dengan ibunya ketika sedang menuju kamar mandi.

“Sudah mau pergi, Han?”

Ia mengambil handuk. “Iya, Ma.”

Ibunya melihat dengan tatapan heran. Pemandangan yang biasa terjadi dalam beberapa pagi
sebelumnya. Sejak disibukkan dengan bisnis botol krim, Farhan sering terbangun oleh dering
ponselnya, berbicara panjang, kemudian segera mandi dan pergi.

Ketika selesai mandi dan berpakaian, ibunya bertanya, “Kuliahmu bagaimana?”

Farhan menghela nafas.

“Belakangan ini kelihatannya kamu tak pernah ke kampus lagi ya?” tanya ibunya lagi pelan.
“Kenapa?”

Farhan memasukkan beberapa barang ke dalam tasnya. “Farhan sibuk, Ma. Dagang sama
kerja di majalah. Nanti kuliah pasti diurus deh, tapi belum tahu kapan.”

Ibunya menatap bingung. “Belum tahu?”

Farhan berpaling, mencari-cari sesuatu di mejanya.

“Sayang, Han,” ibunya berkata. “Mau jadi apa saja, kalau belum sarjana ya susah. Kalau
sudah sarjana kan tenang.”

141
“Iya, iya. Farhan tahu.”

Setelah merasa semuanya sudah siap, Farhan segera bergegas menuruni tangga. Hari itu
pesanan sudah banyak menunggu. Ketika ia sampai di mulut pintu rumahnya, ia berpapasan
dengan kakaknya.

Di keluarganya Farhan adalah anak keempat dari lima bersaudara. Ketiga kakak laki-lakinya
telah menikah, dan Farhan tinggal bersama ibunya, neneknya, dan satu adik perempuan yang
kini baru saja masuk kuliah di kampus yang sama dengannya, Universitas Islam
Pembangunan.

Keuangan keluarganya begitu sulit. Berkali-kali Farhan terancam tak bisa membayar
kuliahnya, dan ia tak pernah mengerti mengapa dirinya tak juga bisa mengandalkan ketiga
kakaknya yang sebenarnya sudah bekerja dan menikah. Sementara neneknya terserang stroke
yang semakin parah. Di dalam rumahnya, Farhan selalu mendengar erangan neneknya yang
memilukan.

Farhan harus mengemban tanggungjawab itu seorang diri. Ibunya sering meminta biaya
untuk membawa neneknya ke dokter. Seringkali adik perempuannya menangis, merengek
kepadanya, dan berteriak, “Farhaaaan!! Mana ongkos kuliahku?”

Dulu Farhan pernah mencari uang jajan dengan mengerjakan tugas-tugas kuliah para
mahasiswa malas yang kaya di kampusnya. Dia pernah mencoba menjadi kasir di sebuah
restoran cepat saji, mencicipi Event Organizer, dan akhirnya ia bosan untuk terus-terusan
bergantung pada orang lain. Kalau aku bergantung terus, kapan bisa menyamai mereka?
pikirnya ketika itu.

Pagi itu, kakaknya ada di rumah bersama istrinya untuk menengok keadaan neneknya. Dia
melihat Farhan membawa beberapa contoh botol krim.

“Dagang lagi? Kuliah sana!” katanya dengan ketus.

Farhan tersinggung dan sangat marah. Wajahnya seketika menegang. “Lihat rekening bank-
mu coba, kita bandingkan!” ia menantang.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Farhan memperlihatkan rekeningnya. Di sana jelas tertulis
saldo hampir 100 juta rupiah, termasuk uang pesanan botol krim dan miliknya sendiri.

Kakaknya tak bisa berkata apa-apa lagi.

142
Perkataan kakaknya telah membawa dampak yang kurang mengenakkan bagi Farhan pagi itu.
Ia pergi secepatnya ke Pasar Pramuka dan menyerahkan semua paket botol krim ke jasa
pengantar barang. Setelahnya, ia bergegas memacu motornya ke kantor Light. Dia mau
mencurahkan tenaganya sampai habis di sana. Lagipula, di kantor Light ada Annisa yang
sudah menunggunya.

Farhan sampai menjelang sore di kantor Light. Ia melihat Annisa dan bertanya, “Irwan
mana?”

“Tadi katanya ke Kelapa Gading. Dia bilang, ‘hari ini terakhir ke sana’, begitu.”

Kontraknya di sana sudah habis, Farhan berdecak dalam hati, tersenyum. Bagus.

Di One Heart Vision, Irwan menghabiskan waktu terakhirnya dengan menyelenggarakan


Hari Anak Nasional. Dia bekerja keras dengan berada di Light pada pagi sampai siang hari,
kemudian segera menghadiri rapat-rapat dan pekerjaan One Heart Vision di Kelapa Gading.

Irwan berusaha mengumpulkan uang sebanyak mungkin untuk biaya pemberkasan skripsi
dan wisudanya. Ia mengeluh, kesal begitu menyadari biaya yang dibutuhkannya ternyata
cukup besar. Oleh karena itu, ketika menyewa sebuah gedung untuk pelaksanaan Hari Anak
Nasional, Irwan diam-diam menggunakan sisa uang One Heart Vision untuk menanggulangi
biaya pemberkasan skripsinya.

“Nanti kuganti,” kata Irwan kepada dirinya sendiri.

Sebenarnya Irwan ingin meminjam uang kepada Farhan. Namun, baru saja dua bulan yang
lalu ia meminjam satu juta rupiah untuk iuran sekolah adiknya. Waktu itu Irwan
menyerahkan uang tersebut kepada adiknya dengan berkata, “Ini tabunganku. Tenang saja.”
Hal yang tak pernah disangka Irwan adalah tanggapan Farhan ketika ia mengatakan belum
bisa mengembalikan uangnya.

“Ah kau gila,” kata Farhan waktu itu. “Masih diingat saja. Lupakan uang itu, ayo kita cari
yang lebih banyak lagi.”

Irwan merasa beruntung karena ia meminjam uang dari Farhan. Tapi, perasaannya mulai
cemas seandainya dia tak bisa mengembalikan uang milik One Heart Vision. Walaupun,
dengan logika yang sederhana, Irwan tak pernah akan diketahui kalau memakai uang itu.

143
Gedung teater yang ia sewa untuk penyelenggaraan Hari Anak Nasional One Heart Vision di
kawasan Cempaka Putih itu harganya murah. Irwan bisa menawar karena ia punya kenalan di
sana. Ia hanya butuh membayar setengah harga dan kenalannya itu bersedia membuat tanda
terima pembayaran sesuai yang diinginkan Irwan.

Mungkinkah aku sedang korupsi? Irwan bertanya cemas pada dirinya. Ia memilih untuk
mengakuinya.

Pada sebuah rapat ia mengatakan bahwa dirinya telah menggunakan uang sisa sewa gedung
tanpa mengembalikannya terlebih dahulu.

“Kalau aku ada uang nanti, pasti akan kukembalikan. Aku butuh sekali uang itu sekarang
untuk biaya wisuda,” kata Irwan.

“Majalahmu tak memberikan uang?” tanya salah satu pegawai di rapat itu.

Irwan menoleh kepada Riska. Majalah ini baru mulai, dan kami tak punya cukup uang untuk
memberikan gaji.

“Belum. Kami masih terus berusaha mengembangkan,” kata Irwan kemudian. Dalam hati ia
berkata, Semoga mereka merelakan uangnya. Apa salahnya membantu salah satu mahasiswa
magangnya, kan?

Dan salah satu suara di rapat itu mengatakan, “Kami tunggu uang itu.”

Sambil terus memikirkan Light, wisuda, dan kesibukan terakhir di One Heart Vision, Irwan
menerima kesempatan untuk mensyuting video pernikahan. Inilah salah satu andalanku, ia
berkata dalam hati. Irwan tahu dia harus melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tak banyak
menyita waktu untuk terus fokus mengurus Light.

Selain video pernikahan, dia juga menerima pekerjaan sebagai petugas survey ke pengguna
motor Jepang. Seluruh pekerjaan itu selesai dalam tiga minggu. Uang hasil keringatnya
segera tandas begitu diberikan kepada ibunya dan juga uang jajan adiknya. Hutangnya
kepada One Heart Vision belum terbayar sepeser pun.

144
Irwan akhirnya mencoba menjadi tenaga pengajar di sebuah lembaga bimbingan belajar.
Namun, baru saja melalui rangkaian tes mengajar di sana, ia sudah tahu bahwa dirinya tak
akan pernah bisa mengajar. Orang-orang di sana tak begitu menyukainya.

“Suara Anda terlalu kecil,” kata salah seorang penguji praktik mengajar di sana.

Besoknya Irwan mengencangkan suaranya. Salah satu pengujinya yang lain berkata,
“Tulisanmu di papan tulis tak terbaca.”

“Tempo mengajarmu terlalu cepat … “

“Pakailah spidol dengan warna berbeda-beda. Kalau perlu buatkan siswa…”

“Tatap mata orang-orang di kelas. Dengan begitu kau akan…”

Minggu ketiga Irwan dipanggil menghadap. Ia berbicara dengan ketua lembaga tersebut,
seorang pria dengan penampilan akademisi yang kaku. Ia berbicara dengan nada dan
perkataan yang berkesan formal.

Pria itu bertanya, “Anda berniat diuji mengajar lagi?”

Dan Irwan tak pernah kembali.

Hari demi hari dilalui Irwan dengan keresahan: dari mana dia harus dapat uang. Dia berusaha
meyakinkan dirinya untuk tetap fokus mengurus Light. Tapi kenyataannya Light tak kunjung
memberi sesuatu sesuai harapannya. Suatu pagi catatan harian Irwan berbunyi demikian:

Aku merasa telah melakukan apa pun semampu dan sekeras-kerasnya, dengan modal yang
kembang-kempis, juga mengiba-iba dalam doa di beberapa malam. Setiap kali selesai
berdoa di tengah malam, aku merenung. Aku berusaha mencari-cari alasan baru untuk tetap
bersemangat. Aku mencari kekuatan sekecil apa pun yang dapat membuatku bertahan agar
tak segera mengambil langkah tegas, meninggalkan majalah ini. Setiap malam aku tertidur
dengan pikiran yang penuh tanda tanya, terbangun, bekerja, do’a kembali, merenung lagi,
tapi keesokan harinya belum juga ada sedikit pun yang berubah. Aku gelisah ketika
menyadari bahwa semua mimpiku di Light menjadi semakin hampa dan hambar saja.
Apakah Tuhan belum mendengar doaku?

145
Seperti biasa, kalau sudah begini, rasa keraguan, penyesalan, bahkan pembangkangan mulai
tiba. Sifat burukku yang kemudian muncul adalah; meninggalkan waktu untuk menghadap-
Nya, atau paling tidak, tetap menyelesaikan ibadah dengan merasa tak perlu lagi berdo’a
panjang lebar. Nasehat yang masuk dari orang-orang, “Mungkin belum waktunya, mungkin
kurang usaha, dan bla, bla,” terasa bisu. Aku malah berpikir, siapa yang tahu sejauh mana
aku telah berusaha selain diri ini dan Tuhan? Oleh karena itu, apa pun nasehat yang datang,
rasanya tidak ada artinya sama sekali. Meskipun dengan bersikap seperti itu aku merasa jadi
semakin ringkih. Pada dasarnya hatiku terus berusaha mendapatkan petunjuk dari-Nya, apa
pun itu.

Terbesit solusi yang selalu menggoda dari dulu: melamar pekerjaan untuk dapat gaji,
meninggalkan Light seperti Fahmi, Bomo, Lutfi, dan juga Boy. Sepertinya itu lebih
menyenangkan. Seperti minum obat sakit kepala sehingga tidur menjadi pulas. Tapi ketika
aku bergegas mencari lowongan, di sana hanya terdapat dua kata; menarik dan
menyebalkan. Menarik karena apa yang dibutuhkan dari lowongan itu sesuai dengan
kapasitas dan keinginanku. Menjadi menyebalkan karena dengan bekerja penuh waktu
seperti itu, berarti tak ada lagi yang akan mengurus Light. Farhan yang menjadi satu-
satunya orang yang paling kuharapkan untuk sesering mungkin bersamaku mengurus Light,
kini sibuk mengurus botol krimnya. Kalau dia tak melakukan itu, Light sudah gulung tikar
sejak lama. Semuanya jadi serba salah, dan aku memilih untuk keras kepala, menganggap
solusi mencari pekerjaan lain yang bisa meninggalkan Light itu tak masuk akal.

Suatu hari aku duduk kembali di ruang redaksi, melakukan beberapa hal kecil yang
sekiranya tak memberatkan. Saking bosan dan keringnya harapan, aku cuma melakukannya
beberapa menit saja, selebihnya membaca-baca blog orang tentang berbagai hal. Pulang ke
rumah, himbauan orang tua juga itu-itu lagi. “Ayo dong cari kerja!”Berdenging sering
sekali seperti suara rekaman rusak. Tapi, kesal mendengar itu sudah tak wajar. Memang
orang tuaku sudah semakin uzur, sementara masalah ekonomi terus membelit.

***

Jum’at pagi, ketika angin kencang membawa mendung dan rintik hujan, aku sedang malas
beranjak ke kantor Light. Aku memilih untuk mengantarkan sahabat ibuku ke yayasannya di
Ciputat. “Sebentar saja,” katanya. Ia memintaku menunggu sementara dia sibuk mengurus
beberapa pekerjaannya di sana.

146
Yayasan itu tak ubahnya sekolah asrama untuk anak-anak yatim, dan di gedungnya yang
berwarna kelabu banyak ditumbuhi berbagai macam pohon cemara. Sebuah mesjid berada
di tengahnya, dua lantai. Sepanjang menunggu aku memerhatikan pohon cemara yang
bergoyang-goyang diterpa angin. Udara semakin dingin dan suasana yayasan masih sepi
pagi itu. Aku duduk melorot di kursi, membiarkan leher tersangga dan wajah menghadap ke
langit-langit. Memejamkan mata.

Tak berapa lama kemudian sahabat ibuku itu keluar dan mengajakku untuk pulang. Aku
menghampiri sepeda motorku dan menyalakannya, kemudian berputar dan menunggu
sahabat ibuku itu naik. Tapi, bukannya naik ke motor, dia malah asyik berbincang dengan
seorang satpam di sana, memerhatikan masjid yang kira-kira berjarak sepuluh meter dari
kami. “Lihat, lihat!” katanya menoleh kepadaku. “Kau mau lihat orang jalannya mundur
tidak?” Aku melihat ke arah masjid yang terhalang beberapa pohon cemara. Seorang kakek
memakai baju koko merah, peci hitam, kurus keriput, menopang dirinya sambil berpegangan
pada tongkat. Dia melangkahkan kaki kanannya ke depan, kemudian tiba-tiba mundur cepat
dengan berjinjit, menggunakan tumit belakangnya.

Kakek itu kini berusaha menaiki tangga. Kami bertanya-tanya bagaimana dia akan bisa
melakukan itu. Akhirnya, dengan tangan kanan memegang tongkatnya dan tangan kiri
berpegangan pada penyangga di sisi tangga, ia melompat. Begitu seterusnya yang ia lakukan
untuk setiap menaiki anak tangga. Sejenak aku terhipnotis, mematung, berusaha menelan
ludah, tapi tenggorokan terasa kering sama sekali.

Dalam perjalanan pulang, sahabat ibuku bercerita kalau kakek itu terkena stroke sehingga
tak bisa berjalan maju. Dia harus mundur dengan cepat menggunakan tumitnya.

Di balik helm, aku membisiki diri sendiri, “Kasihan kakek itu harus berjalan mundur …” dan
sesaat kemudian suara hatiku yang lain bilang, “Tolol! Siapa bilang dia berjalan mundur?
Jalannya memang mundur, tapi niatnya untuk ke mesjid tetep maju, kan?”

Beberapa detik kemudian, bisikan terakhir mengatakan, “Lalu, apakah kau pantas memilih
mundur?”

147
Pada hari terakhir pelaksanaan Hari Anak Nasional, kemungkinan Irwan untuk bekerja penuh
di One Heart Vision sebenarnya masih terbuka. Namun, ia memutuskan untuk mengucapkan
salam perpisahan kepada One Heart Vision.

“Aku ingin di majalah,” kata Irwan.

Dia sama sekali tak tahu kalau itu sebuah keputusan yang terburu-buru.

148
Bab 20

Begitu diberitahu oleh Irwan, Farhan tak merasa begitu kehilangan Boy.

“Sudahlah. Biarkan dia punya pilihan.”

Farhan menatap Irwan. “Aku tak pernah memaksa, begitu juga dengan kau, Wan. Kalau kau
mau meninggalkan Light, apa hakku untuk menahanmu? Aku tak pernah menggajimu.”

Dalam hati Irwan terkejut mendengar perkataan Farhan. Tapi ia berusaha tetap tenang.

Farhan berkata kembali, “Tapi aku masih yakin Light ini adalah lahanmu. Karena itu aku
bilang berkali-kali padamu, berusahalah lebih keras.”

Irwan pun berusaha fokus kepada Light versi cetak edisi selanjutnya.

Persiapan edisi kedua untuk tagline Inspiring Young People sebenarnya jauh dari
memuaskan. Linda tak lagi mendapatkan kegiatan-kegiatan hebat.

“Mungkin karena bulan puasa, event jadi sepi,” ujar Linda beralasan.

Hanya ada satu kegiatan menarik, yaitu Ramadhan Jazz Festival dan Jakarta Fashion Week
yang menampilkan rancangan desain pakaian-pakaian muslim oleh Hijabers Community.
Dua kegiatan tersebut sama sekali tak diminati pengiklan. Namun demikian, Farhan
bersikeras tetap mencetak Light lagi. Dengan merogoh koceknya sendiri, Light edisi kedua
dicetak sebanyak 50 eksemplar saja.

“Kita sebarkan ke narasumber saja,” Farhan berkata lemah di percetakkan.

Waktu itu satu minggu lagi bulan puasa akan usai. Orang-orang sudah mulai semarak
menyambut lebaran. Irwan cemas, dia masih terlilit hutang dan tak sepeser pun memiliki
uang.

“Edisi berikutnya jangan begini lagi!” Farhan berkata kepada Irwan dengan marah. “Aku
capek cari uangnya!”

Itulah pertama kalinya Irwan menghadapi kemarahan Farhan secara langsung.

149
Hari lebaran jatuh di hari yang berbeda. Begitulah keputusan sidang isbat yang disiarkan
Departemen Agama ke seluruh Indonesia. Irwan lebih dulu merayakan dan menginap di
rumah neneknya di Bintaro setelah Light edisi kedua selesai dicetak. Dia ingin sekali
bersantai menikmati hari raya.

Namun ponsel Irwan berbunyi. Dia membukanya, Farhan mengirimkan pesan bertubi-tubi.

Emang penulis di website kita cuma Annisa saja ya?

Kalau begini terus bagaimana mau maju?

Aku bukan merasa apa-apa sama uang cetak, Wan. Masalahnya, kalau sampai suatu

hari bisnis botol krim jatuh dan majalah ini belum maju, kita semua jadi gembel! Kau

mengerti tidak?

Aku sudah bilang, aku tak pernah memaksa siapapun mau urus majalah ini atau tidak.

Kalau cuma setengah-setengah lebih baik aku cari orang lain saja. Terserah kau mau

jadi PNS atau apa.

Irwan membaca pesan itu dengan perasaan yang campur aduk. Antara sakit hati, marah, juga
menyesal. Sampai-sampai dadanya naik turun menahan emosi. Rasanya ia ingin berteriak dan
mengucapkan kata-kata makian dengan keras.

Irwan merasa tak dihargai. Dia mengakui kegagalan Light memang menjadi tanggung
jawabnya sebagai pemimpin, tapi dia merasa sudah berusaha dengan segala yang ia bisa.

Bayangkan aku tak tidur, lupa makan, jalan tak punya bensin, setiap hasil syuting dan edit
video pernikahan yang bayarannya kecil, kugunakan semuanya untuk ongkos liputan dan
makan sehari-hari. Semua orang cari sampingan sedangkan aku diminta terus menerus
datang ke kantor.

Irwan geram bukan main. Dia mengingat sering kali menahan lapar ketika bekerja di kantor
Light. Dia terbiasa tak makan dari pagi sampai malam, atau cuma membeli makanan murah
sambil terus-terusan dipenuhi deadline, keluhan wartawan, tulisan tak karuan, skripsi, ibunya,
dan tetek bengek lainnya.

150
Di akhir semua itu tak ada uang. Hal yang ada adalah kenyataan bahwa dirinya semakin
kurus saja. Irwan hanya bisa gigit jari melihat orang-orang berasyik masyuk dengan gaji plus
tunjangan mereka di hari raya sedangkan dirinya merasakan lemah yang bertambah-tambah.
Kepalanya sakit.

Apakah marahnya itu pantas dialamatkan kepadaku? pikir Irwan.

Tapi tiba-tiba akal sehat menguasainya. Irwan berpikir mungkin inilah saatnya tantangan buat
semua orang yang memperjuangkan mimpinya. Dia meyakinkan diri sedang latihan mental.
Kedengarannya memang pahit, tapi kritik saat lebaran dari Farhan itu ia terima perlahan-
lahan.

Sambil terpejam menahan segala gejolak di dalam dirinya, Irwan membalas singkat,

Maaf, Han. Semua memang salahku yang kurang bekerja keras. Edisi selanjutnya akan

lebih baik.

Seketika itu juga Irwan menghabiskan sisa hari lebaran untuk memikirkan Light edisi terbaru.

Ide yang terlintas di dalam benak Irwan adalah sebuah tema berjudul: Creative Writing.

“Yap, ini akan jadi tema yang menarik!”

Irwan segera mengumpulkan nama-nama narasumber yang akan diliput. Dia memilih penulis
novel, blogger, dan musisi penulis lirik. Kuminta Bomo saja yang mewawancarai penulis
lirik, pikir Irwan.

Dua hari setelah lebaran, Irwan muncul dengan pesan sesungguhnya di grup Facebook.

Dear teman-teman,

Maaf menggangu liburan kalian. Aku mau memberitahu tema Light edisi berikutnya. Kita
akan menggarap tema Creative Writing. Aku akan memberitahu siapa narasumbernya pada
saat rapat minggu depan. Sekali lagi maaf, aku harus memangkas liburan kita menjadi lebih
pendek.

Terima kasih.

151
Irwan tahu, teman-temannya jarang berhasil jika menghubungi narasumber. Seringkali Irwan
merasa pendekatan yang mereka lakukan kurang memikat. Irwan sering memperingati
mereka untuk lebih mengembangkan wawasan sehingga calon narasumber tak memiliki
alasan untuk menolak permohonan wawancara para wartawan Light.

Khusus edisi kali ini, Irwan menghubungi seluruh narasumber yang diinginkan. Dia
mengirimkan email dan menelpon. Dengan cepat seluruh narasumber tersebut menyetujui
permohonan wawancaranya.

Tinggal menghubungi Bomo, Irwan berkata dalam hati.

Ia menghubungi Bomo.

“Halo?”

“Hai, Bomo. Aku tahu sekarang masih liburan lebaran. Tapi satu minggu lagi aku minta kau
mewawancarai Cholil Mahmud dari Efek Rumah Kaca. Dia penulis lirik yang hebat, aku mau
memintamu untuk membuka semua rahasia kehebatannya itu. Tema kita edisi berikutnya
adalah Creative Writing.”

Bomo tak langsung menjawab. Dia agak terkejut dengan penjelasan Irwan yang tanpa basa-
basi itu.

“Halo, Bomo. Kau dengarkan aku?”

“Ya. Oh, ya, aku menyimak. Tentu saja aku bisa…dulu kan aku pernah mewawancarai Efek
Rumah Kaca.”

“Kalau begitu minggu depan…”

“Boleh saja.”

“Oke, Bomo. Terima kasih.”

Irwan menutup telepon.

Akan kubuktikan, pikir Irwan.

152
Satu minggu setelah lebaran, semua orang sudah berkumpul di ruang tamu kantor Light.
Irwan terus berbicara dengan serius, datar, dan tanpa lelucon seperti biasanya.

“Kalian mengerti?” tanya Irwan setelah penjelasan yang panjang.

“Ya.”

“Aku sudah menyepakati tanggal-tanggal wawancara dengan para narasumber. Kalian cukup
mempersiapkan informasi latar belakang. Ingat, jangan pernah mengajukan pertanyaan bodoh
karena mereka orang-orang yang sangat ahli di bidangnya. Kita juga tak mau
mempermalukan diri di mata pembaca, bukan?”

“Ya.”

“Ya, Kak.”

Selesai rapat, di luar kantor Light, Fandi berkata kepada Herdian, “Dia kelihatan agak aneh.”

Herdian menoleh kepadanya. “Siapa?”

“Irwan. Hari ini dia cuma kelihatan ramah waktu ucapan minal aidin wal faidzin.
Selebihnya…”

Herdian mengangkat bahunya. “Mungkin sedang banyak pikiran.”

Keduanya lalu saling berpandangan.

Edisi Creative Writing menjadi karya paling mengesankan sepanjang edisi cetak Light
Magazine. Edisi tersebut mendapatkan sambutan hangat dan banyak dipesan secara khusus
oleh orang-orang.

“Kita bayarkan ongkos kirimnya. Berikan segalanya cuma-cuma,” ujar Farhan. “Kita
perbesar pembaca Light. Mereka akan senang mendapatkan majalah gratis tanpa harus
membayar ongkos kirim.”

Dia lalu menoleh kepada Irwan dan berkata sedatar mungkin, “Dari semua edisi Light yang
pernah cetak, khusus edisi kali ini nilainya tujuh. Paling bermutu.”

Irwan hanya tersenyum.

153
Tak berapa lama kemudian Farhan membeli sejumlah barang lagi. Kali ini dia membeli TV
LED 70 inch, menaikkan kapasitas langganan internet, dan memasang TV Kabel agar
mempermudah mencari inspirasi melalui tayangan luar negeri. Farhan juga memasang
pendingin udara sehingga kantor Light semakin nyaman untuk bekerja. Dia membeli printer
besar yang canggih.

“Botol krimku sangat bagus akhir-akhir ini,” Farhan bercerita.

“Aku senang mendengarnya,” jawab Irwan pelan.

Farhan kemudian menarik nafas. “Kau jangan merasa terlupakan, Wan. Masalah uang, kalau
ada sisa pasti akan kusisihkan untukmu. Tapi kita harus mendahulukan fasilitas penunjang
dulu.”

“Oke. Aku tak masalah, kok. Asalkan gaji wartawan dan kontributor tidak terlambat.”

“Tenang saja.”

Dua minggu kemudian adalah hari wisuda Irwan. Setelah perjuangan tanpa henti
menyelesaikan skripsinya, ia baru merasakan suasana hati yang luar biasa begitu hari wisuda
berlangsung.

“Selamat pemuda sarjana!” Farhan mengucapkan lewat pesan ke ponselnya.

Ayah dan ibu Irwan begitu terharu dan kagum. Akhirnya mereka merasakan bagaimana
memiliki anak yang sarjana. Kekhawatiran yang menghantui mereka bahwa anaknya tak akan
berhasil mencapai sarjana karena masalah dana sudah berakhir. Kini mereka menyaksikan
anaknya mengenakan toga.

Wisuda berlangsung kidhmat dan penuh haru. Semua orang bersalaman dan mengingat masa
lalu. Mereka membayangkan masa depan, tertawa lega dan penuh kemenangan. Dalam
keramaian itu Irwan berdiri dengan tatapan kosong.

Buku harian Irwan pada hari itu berbunyi:

Kini aku sudah sarjana. Ayah dan ibuku akan semakin mendorongku untuk bekerja di tempat
lain yang lebih menghasilkan uang.

154
Bab 21

Begitu menyadari dirinya telah jadi sarjana, Irwan berbincang di kantor Light bersama Fandi.

“Selamat kawan!” Fandi tersenyum lebar menjabat tangan Irwan.

“Terima kasih.”

Fandi membuatkan kopi. Hari sudah menjelang sore, menampilkan langit jingga yang
memesona. Suara-suara anak kecil yang berlarian terdengar sampai ke kantor Light. Ketika
duduk dan meneguk kopinya, Fandi mengamati Irwan.

“Sebagai sarjana, kau beruntung sudah jadi Pemimpin Redaksi,” kata Fandi. “Sedikit
pengembangan lagi, semuanya akan tambah hebat.”

Irwan diam menatapnya. Dia meletakkan edisi Creative Writing di atas meja.

“Ya, kita semua berharap begitu,” Irwan menanggapi pelan.

Fandi melihat Irwan seketika berwajah murung. Ruang tengah Light sedikit gelap ketika sore
hari, dan banyak nyamuk. Oleh karena itu, Fandi menyalakan lampu dan terheran-heran
melihat Irwan yang begitu lesu di hadapannya.

“Hei, ada apa?” tanya Fandi. “Wajahmu tidak enak begitu.”

Irwan mengusap dagunya, termenung. Dengan tatapan kosong menghadap sofa, ia berkata,
“Aku juga tak tahu. Apakah sebenarnya harus cerita padamu atau tidak… ini masalah yang
sensitif sebenarnya.”

Fandi terdiam mendengarkan. Ia menyandarkan diri ke sofa.

“Tebakanku, kau terbebani dengan gelarmu itu ya?”

Irwan menatap Fandi. Ia menghela nafas, “Ya, benar.”

“Kau mau cari pekerjaan lain?”

“Itu dia masalahnya,” jawab Irwan.

155
Fandi mengangguk-angguk. “Ya, betul juga. Sudah seharusnya kau memikirkan tempat lain
yang memberikan gaji lebih besar…”

“Yang memberikan gaji, sebenarnya,” sela Irwan. “Aku membutuhkan siapa pun untuk
menggajiku sekarang ini.”

Fandi tampak terkejut. “Jadi, di sini kau tak menerima sepeser pun?”

Irwan menggeleng.

“Astaga!”

“Sudahlah,” Irwan menyandarkan diri. “Kau tahu semuanya sudah masuk dalam kesepakatan
kami. Aku dan Farhan berjanji bahwa tak seorang pun akan menerima uang sampai Light
sendiri yang memberikannya.”

Fandi mencondongkan tubuhnya. “Kusarankan kau cari pekerjaan sampingan, Wan. Kau
tidak bisa—“

“Lalu siapa yang akan mengurus semua ini? Kau mau mengorbankan kuliahmu. Tidak,
Fandi. Kau lihat betapa setiap hari kita tak punya waktu untuk ke kamar kecil sekalipun.
Majalah ini harus diurus secara penuh, bukan setengah-setengah.”

Irwan melanjutkan, “Tinggal aku satu-satunya. Farhan sendiri sudah sibuk mengurus botol
krimnya.”

Dia terengah-engah. Kok aku jadi emosi?

Fandi mendengarkan dengan serius. Dahinya mengernyit. “Betul juga…”

Keduanya lalu terdiam. Sayup-sayup terdengar alunan pujian dari menara mesjid. Magrib
sebentar lagi. Suasana kantor Light masih berantakan dengan tumpukan hasil cetakan edisi
Creative Writing di mana-mana. TV LED 70 inch diam mematung, seolah memantulkan
suasana yang amat berbeda antara Light masa-masa pertama dulu dengan sekarang.

“Pakai saja gajiku. Kita bagi setengah-setengah,” ujar Fandi tiba-tiba. “Aku kan tak bisa
membantu penuh di sini, aku masih ada banyak kuliah. Karena itu, Wan, aku tidak enak dan
uang ini seharusnya…”

156
Irwan menggeleng sambil mengibaskan tangannya. “Sudahlah. Ini masalahku, jangan lagi
kau pikirkan.”

“Tapi bagaimana kau…”

“Aku punya tabungan dari hasil video pernikahan,” jawab Irwan berbohong. “Lebih baik kau
berjanji, berikanlah kualitas yang terbaik untuk Light.”

Sambil berpaling menuju meja kerjanya, Irwan berkata dalam hati, Aku tak boleh kelihatan
lemah. Aku seharusnya menjaga semangat yang lain.

Irwan diam menatap layar komputeranya. Dia merasa harus mengerjakan sesuatu agar Light
dapat memperoleh uang secepat mungkin. Dia benar-benar kelaparan. Sebentar lagi orang
tuanya akan bertanya-tanya, apakah Irwan sudah melamar pekerjaan di tempat lain? Apakah
dia sudah menghubungi teman-teman orang tuanya untuk minta lowongan? Atau, apa saja
kemungkinan terburuk melintas di kepala Irwan.

Sejenak kemudian Irwan merasa tangannya tak bisa bergerak untuk melakukan apa pun. Dia
merasa pening dan ingin sekali muntah. Cepat-cepat ia rapihkan segala barang yang
berantakan di meja kerjanya. Dia ingin pulang.

“Tolong nanti kunci kantor, aku pulang duluan,” Irwan berkata lemah kepada Fandi.

“Kau kelihatan pucat. Kau tidak apa-apa?”

“Tidak tahu,” kata Irwan. “Makanya aku ingin cepat pulang. Tolong ya, Fan, nanti…”

“Oke, oke, tenang saja. Serahkan padaku.”

Irwan pun menyalakan sepeda motornya dan pulang.

Irwan langsung merobohkan dirinya ke kasur begitu sampai di rumah. Kepalanya berdenyut-
denyut. Ia seperti ditekan oleh benda padat yang keras. Malam itu tidurnya sangat buruk.
Berkali-kali Irwan terbangun karena tak tahan sakitnya.

Setelah melihat di wajahnya muncul bercak seperti jerawat, Irwan berkata kepada ibunya,
“Mungkin aku kena cacar, Ma.”

157
“Apa?” Ibunya melihat wajah Irwan lebih dekat. “Sudah, jangan tebak-tebak. Segera ke
dokter.”

Dokter mengatakan Irwan terjangkit herpes. Dia hanya berbaring di kasurnya selama lebih
dari dua minggu. Teman-temannya dari Light menjenguk.

Setelah merasa sehat kembali, Irwan kembali ke kantor. Ia pergi secara diam-diam karena
ibunya sering mengawasi setelah ia jatuh sakit. Menurut Irwan, ibunya pasti berpikir bahwa
Irwan jatuh sakit karena mengurus Light tanpa makan dan istirahat yang cukup.

Kalau saja ada uang, Irwan berpikir. Mungkin aku butuh liburan.

Tak berapa lama kemudian, Agil muncul di kantor Light. Sudah lama Irwan dan Farhan tak
bertemu dengannya sejak lulus dari SMA Jayakarta. Dia menanyakan perkembangan Light
dan mendengar penjelasan sekedarnya dari Farhan ataupun Irwan.

“Aku tahu, kalian butuh refreshing,” kata Agil riang. “Mari kita lupakan sejenak rutinitas.
Kita asah pisau kita supaya lebih tajam. Kita mendaki gunung.”

Farhan dan Irwan saling berpandangan. Mereka berdua belum pernah sekalipun melakukan
pendakian gunung.

“Terima kasih, Gil,” kata Irwan ragu. “Tapi rasanya aku tak kuat untuk hal seperti itu.
Mungkin Farhan…”

“Apalagi aku!” tukas Farhan.

Agil menggeleng-geleng. “Tak perlu kuat atau bagaimana. Ini semacam wisata saja, tidak
berat. Kebetulan tiga minggu lagi ada pendakian persahabatan, kalau kalian berminat.”

“Bomo dan Lutfi sudah setuju ikut,” Agil menambahkan.

Irwan dan Farhan menatap Agil.

“Naik gunung apa sih?” tanya Farhan.

Agil bersandar dan menjawab, “Semeru.”

158
Bab 22

Irwan masih belum tertarik menanggapi ajakan Agil untuk mendaki gunung Semeru. Di
benaknya, entah gunung seperti apa Semeru itu, dia tak begitu mempedulikan. Dan kenyataan
bahwa dirinya tak memegang uang sepeser pun semakin menguburkan keinginan Irwan untuk
ikut serta.

Sebaliknya Farhan mendadak jadi begitu bersemangat. Meski belum pernah mendaki gunung
juga, Farhan terdorong oleh hobi jalan-jalan yang selama ini ia cintai. Dengan terburu-buru
dia mengumpulkan dan menyelesaikan pembukuan keuangan botol krim dengan Annisa.

“Kalau bisa hari ini sudah selesai, Sayang,” kata Farhan. “Atur juga untuk pengeluaran biaya
operasional wartawan. Saat aku di Semeru nanti, semua wartawan langsung berhubungan
sama kamu saja masalah keuangan.”

Annisa mengangguk dengan penuh perhatian. “Oke, sayang.”

Dalam beberapa hari saja Farhan sudah membeli peralatan mendaki. “Aku beli sampai
menghabiskan dua juta rupiah!” katanya kepada Irwan sambil tersenyum puas.

“Wah, luar biasa ya,” Irwan sampai geleng-geleng kepala. Coba kalau aku juga…

Farhan melihat Irwan. “Kau juga ikut kan? Ini perjalanan bakal seru lho, kapan lagi.”

“Uangku lagi kosong, kawan,” Irwan berkata ragu-ragu.

“Tapi sebenarnya kau mau ikut?” tanya Farhan lagi.

“Mau saja sih, tapi aku…”

“Yasudah, cepat bilang ke Agil.”

Malamnya Irwan menghubungi Agil.

“Aku ikut, tapi sebenarnya tak ada uang, Gil.”

“Oh, begitu,” Agil berpikir sejenak. “Tapi yang penting kau sudah pasti ikut ya? Aku
daftarkan namamu ke panitia. Soal uangnya bisa ditunggu sampai hari keberangkatan kok.”

“Begitu?”

159
“Ya.”

“Kalau begitu aku ikut. Pasti!”

Irwan segera menghubungi teman-temannya untuk meminjam peralatan mendaki. Tanpa


disadari ia membuka perbincangan yang panjang dengan Fahmi, Lutfi, dan Bomo setelah
sekian lama. Mereka bertemu di sebuah warung kopi dekat rumah Fahmi ketika Irwan ingin
mengambil jaket yang dipinjamnya. Mereka sama-sama canggung, terutama ketika
pembicaraan beralih seputar Light.

“Yah, pokoknya keadaannya seperti itu,” jelas Irwan. “Masih kesulitan mencari pengiklan.”

Keempatnya diam menatap cangkir kopi.

“Kami minta maaf, Wan,” Lutfi mulai bicara. “Setelah sibuk buku tahunan, sebenarnya kami
ingin datang ke kantor. Tapi kelihatannya di sana sudah banyak orang-orang baru, pekerjaan
baru, kami jadi merasa tidak enak.”

Irwan mendengarkan saja sambil mengangguk-angguk.

“Jadi sampai sekarang kau belum menerima gaji?” Bomo bertanya.

“Belum.”

Fahmi, Bomo, dan Lutfi saling berpandangan.

“Maaf, Wan. Aku, atau Fahmi pun sebenarnya sama saja. Kami terbentur kebutuhan sehari-
hari orang-orang di rumah,” Bomo berhenti sejenak. “Kau tahu, sejak kakakku diberhentikan
dari kantornya, aku harus mencari uang. Aku tak bisa…”

“Yah… semuanya sama saja. Kita semua seperti itu,” Fahmi menyahut. “Farhan pun
beruntung bisa punya bisnis botol krim. Tapi sebenarnya dia mengurangi perhatian ke Light
juga kan?”

Irwan menoleh kepada Fahmi. “Makanya, kalau aku juga mengambil pekerjaan sampingan,
kalian tahu, Light akan bubar dari dulu.”

Bomo mengangguk. “Tapi aku yakin sekali, kau akan jadi orang besar. Semuanya sudah ada
padamu, Wan.”

Dia sedang basa-basi, Irwan menyimpulkan. “Terima kasih, Bom.”

160
“Ayo kita bersenang-senang di Semeru,” Bomo mengatakan.

Hanya Fahmi yang tak menyatakan ikut ke Semeru. Alasannya, dia baru saja melakukan
jalan-jalan bersama pacarnya satu minggu yang lalu ke Pulau Bali.

Dalam persiapan mendaki Semeru, Irwan sudah mendapatkan perlengkapan yang diperlukan.
Masalah yang meresahkannya kini tinggal satu; uang. Dari mana dia harus dapat uang?
Logikanya menyimpulkan bahwa dia tak akan bisa mengandalkan Light untuk dapat
memberikan uang dalam jangka waktu keberangkatan yang tinggal satu minggu itu.

Sebuah telepon Agil menghentikan Irwan dari mengecek sebuah artikel untuk website Light.

“Hei, Wan. Aku punya kabar gembira untukmu,” Agil berhenti sejenak. “Kau hanya perlu
pikirkan biaya selama di Semeru saja. Uang pendaftaran sudah dikumpulkan dari patungan
teman-teman yang lain.”

“Siapa?” Irwan bertanya penuh keheranan.

“Sudah, siapapun yang membayarimu tak mau disebut namanya.”

“Oh, tapi, Gil—terima kasih, terima kasih sekali!”

“Oke, nanti kita bicara lagi ya. Aku ada kerjaan.”

“Baik.”

Irwan semakin berdebar-debar. Dia memacu sepeda motornya ke rumah dengan pikiran
tentang ke mana dia harus cari uang yang akan ia gunakan selama mendaki Semeru nanti.
Irwan sampai di rumah dengan perut yang sangat kelaparan. Ia menyendok nasi dengan
cepat.

Ibunya bertanya, “Kamu tidak makan dari siang ya?”

Pertanyaan itu lagi, jawab Irwan dalam hati. Dan Irwan selalu berbohong dengan menjawab,
“Makan kok, Ma.”

Ibunya bertanya lagi, “Makan apa?”

“Nasi Padang.”

161
Ibunya hanya menghela nafas.

“Minggu depan ada Pilkada Tangerang Selatan,” kata ibunya lagi. “Kamu ibu daftarkan jadi
panitia.”

“Aku?”

“Ya.”

Irwan berhenti makan dan meneguk segelas air. “Ma, Irwan kan sudah cerita, minggu depan
mau ke Semeru…”

“Memang berangkat hari apa? Lagipula memang kamu punya uang?” ibunya meragukan.

“Punya,” Irwan menarik nafas. “Dari Light.”

“Dari Light?” Ibunya tampak terkejut. Ia mengamati Irwan dengan penuh pandangan
menyelidik. “Berapa?”

Irwan menjawab singkat. “500 ribu.”

“Masa cuma segitu… berangkat hari apa kalian?” tanya ibunya lagi dengan sangsi.

“Hari Minggu.”

“Oh, kalau begitu tak masalah. Pilkada itu hari Sabtu. Kamu ikut saja, lumayan ada
honornya.”

Irwan langsung antusias. “Ada honornya?”

Ibunya mengangguk.

“Kalau begitu aku mau.”

Pemilihan Kepala Daerah di kota Tangerang Selatan berlangsung penuh keajaiban. Ada
empat calon yang saling memperebutkan kursi gubernur dan wakil gubernur. Setiap
penduduk laki-laki berkumpul di pojok-pojok warung, pos ronda, dan tempat-tempat ibadah
untuk beradu pendapat tentang calon yang akan mereka pilih.

162
“Jangan tertipu penampilan berjilbab, mereka sebenarnya mau membuat kota ini jadi kerajaan
Banten,” kata salah seorang pria berkumis di sebuah warung indomie.

“Aku sudah berkali-kali bilang padamu kan, To? Pasti mereka menyuap orang-orang…”
sahut yang lainnya.

Satu pria lagi tampak tua dengan rambut beruban yang lebat. Dia berdiri sambil melipat
tangannya, mengangguk-angguk penuh antusias.

Sementara itu, panitia mempersiapkan segala kebutuhan pelaksanaan Pilkada dengan


serangkaian rapat. Irwan melakukan pertemuan pertama kali pada malam hari. Dia segera
bergabung dengan selusin panitia yang ternyata banyak diisi oleh pensiunan pegawai negeri.
Ketuanya adalah Joko Winarno, yang selalu tampil necis dengan wangi-wangian yang aneh.
Dia sering membicarakan dirinya sendiri di hadapan peserta rapat, dan begitu bangga.

Irwan tak ambil pusing. Dia ingin Pilkada cepat selesai dan mengambil honornya.

“Mas kelihatannya sibuk ya? Saya baru lihat,” Joko Winarno bertanya kepada Irwan.

Irwan menjawab sekenanya. “Tidak juga kok, Pak.”

“Waktu saya muda seperti Mas, saya gemar bekerja. Saya kan mahasiswa di Surabaya sana.
Wah, namanya tempat apa pun di sana, saya pasti tahu,” terang Joko Winarno.

Langsung saja Irwan mendengarkan cerita-cerita membosankan tentang masa lalu Joko
Winarno. Irwan tak bisa mengelak. Selagi Joko Winarno bicara tak jelas arah, dia benar-
benar mengarahkan pikirannya pada hal-hal lain. Dia memikirkan Light, Semeru, dan teman-
temannya.

Sebuah pesan masuk ke ponsel Irwan. Farhan pengirimnya.

Wan, lagi di mana? Bisa ke kantor lagi? Ada yang penting harus kubicarakan.

Irwan mengernyitkan dahinya ketika membaca pesan itu. Dia melihat jam di layar ponselnya.
Pukul 19.37. Mungkin satu jam lagi rapat ini selesai, pikir Irwan. Dia pun membalas pesan
Farhan.

Oke, tapi aku jadi panitia Pilkada. Sekarang lagi rapat, satu jam lagi selesai,

bagaimana?

163
Farhan segera membalas.

Baik. Kutunggu.

Perkiraan Irwan ternyata salah besar. Rapat itu terlalu memakan waktu karena tingkah orang-
orang pensiunan pegawai negeri yang kelihatan buruk sekali dalam mendiskusikan masalah.
Mereka bicara bertele-tele, lebih sering bersenda gurau, dan hal itu membuat Irwan
mendengus diam-diam sepanjang waktu.

Brengsek! Kalau saja aku tak ingat tentang honor…,dan Irwan pun begitu menyesali dirinya
yang tak berdaya.

Satu jam, dua jam, tiga jam lebih telah berlalu namun rapat hanya berputar di masalah-
masalah yang sama. Irwan mulai putus asa. Sarannya sebagai anak muda tak pernah
didengarkan dengan baik. Akhirnya, ia memutuskan tak pergi ke kantor Light untuk menemui
Farhan.

Lima menit kemudian, setelah mengirimkan pesan pembatalan janji kepada Farhan, ponsel
Irwan kembali menerima pesan. Isinya dari Tyo, kontributor dari Bekasi.

Malam, Wan. Bolehkah aku minta honor liputanku sekarang. Lagi butuh sekali.

Irwan menghela nafas. Dia mengetik kembali pesan kepada Farhan. Sebelum pesannya
selesai, sebuah pesan telah sampai kembali di ponselnya.

Wan, aku tadi dihubungi panitia Blues Night. Siapa hari ini yang berangkat meliput?

Pesan itu dari Linda. Irwan mengernyitkan dahi, mengingat-ingat siapakah wartawan yang ia
kirim untuk meliput konser blues itu. Ingatannya segera menemukan nama Tyo. Berarti Tyo
sedang butuh uang untuk ongkos liputan, Irwan menyimpulkan. Ia pun menyelesaikan
menulis pesan ke Farhan untuk meminta uang.

Farhan, apa kau sekarang ada 200 ribu? Tyo minta dikirimi malam ini. Dia sedang tak

punya ongkos liputan.

Irwan menunggu, dan tiga menit kemudian pesan balasan Farhan sudah sampai lagi.

Ada sih, tapi buat apa kuberikan? Kau saja tidak mau datang ke sini.

164
Dada Irwan langsung berdegup kencang. Pesan balasan Farhan membuatnya menggeretakkan
gigi. Dia pikir aku yang perlu uangnya, hah? Pikir Irwan marah.

Sementara Irwan memendam dadanya yang serasa ingin meledak, Tyo terus memburunya
dengan pertanyaan apakah uangnya sudah dikirim. Di waktu hampir bersamaan, Linda terus
menagih nama wartawan yang akan dikirim untuk meliput konser blues tadi.

Pesan dari Linda, Wan, cepat konfirmasi siapa wartawan yang meliput. Aku sudah

ditanyai panitia.

Pesan dari Tyo, Kalau honorku memang tidak bisa diturunkan sekarang, aku pinjam

uang saja.

Irwan jadi tak sabar. Dia menganggap Farhan sudah bersikap kelewatan. Perlahan-lahan rasa
muak menyelimuti dirinya. Dia membalas pesan Tyo dan Linda dengan emosi.

Tidak usah ada liputan di Blues Night.

Baik Linda maupun Tyo kebingungan. Mereka mengirimkan pertanyaan yang serupa.
Namun, Irwan sudah kadung kesal untuk membalas, apalagi untuk membahasnya.

Persetan dengan Light! Irwan mengumpat dalam hati.

Malam itu, dan dua malam selanjutnya Irwan tak pernah bertemu lagi dengan Farhan.

165
Bab 23

Pendakian itu dimulai pada musim hujan. Ketika Irwan ingin berangkat, Joko Winarno
sedang berbincang dengan ibunya. Katanya, “Wah, ke gunung Semeru?” dia menggeleng-
geleng. “Aku tidak percaya kalau melihat fisikmu, semoga selamat.”

Ucapannya sangat merendahkan, tapi Irwan buru-buru mengakui bahwa Joko Winarno telah
berkata dengan terus terang. Bukan cuma dia, tapi ibunya pun ragu, dan dengan kekhawatiran
yang berlebihan, akhirnya mengizinkan Irwan untuk pergi.

“Jangan lupa bawa cokelat,” kata Joko Winarno lagi.

Dua hari sebelumnya, Irwan diberitahu oleh Agil untuk bertemu di Stasiun Senen. Oleh
karena itu, dia langsung bergegas menuju ke sana dengan menggunakan bus. Selama di
dalam bus, beberapa kali Irwan mengingat Light. Satu minggu dia akan meninggalkan
majalah itu. Di gunung nanti, dia tak akan mendapatkan sinyal untuk ponsel, dan itu artinya
dia akan melupakan Light sama sekali.

Sebelum hari keberangkatan, Irwan berbicara kepada Fandi selagi Farhan tak ada di kantor
Light.

“Kau akan mengurus beberapa hal selama aku pergi,” Irwan memberitahu.

Fandi tampak kebingungan. Dia menggigiti ujung kukunya. “Aku tak percaya diri, jujur
saja.”

“Tolong, Fan. Pikiranku sudah jenuh sekali. Aku butuh liburan sekali-sekali.”

Setelah berkali-kali meyakinkan dan menjelaskan apa yang harus dikerjakan, Irwan
mempercayakan Fandi sepenuhnya untuk mengurus Light.

“Aku pikir sebaiknya Farhan mengetahui ini dan…”

Irwan menyela. “Nanti kuberitahu.”

Padahal Irwan tak pernah berbicara lagi dengan Farhan. Banyak pikiran aneh yang
menyelimutinya sehingga memutuskan pendakian ke Semeru akan membantunya
menemukan jawaban, apapun itu.

166
Irwan dan Farhan baru bertemu lagi pada saat hari keberangkatan ke Semeru. Mereka
bertemu di tengah-tengah puluhan peserta pendakian persahabatan yang berkumpul di stasiun
Senen. Ketika bertemu, keduanya menjadi canggung.

Farhan memakai kaca mata hitam. Melihat Irwan meletakkan carrier di dekatnya, dia
bertanya, “Sudah lengkap?”

Irwan menatapnya sebentar, memaksakan tersenyum. “Lengkap.”

“Ada 74 peserta,” Agil memberitahu.

Dalam hati Irwan berterima kasih kepada Agil yang sudah begitu memperhatikan segala
persiapan dirinya dalam kegiatan pendakian ini. Agil begitu sering menghubungi Irwan,
bertanya macam-macam, seperti, “Peralatan sudah lengkap? Sudah izin ayah ibumu?” dan
seterusnya hingga Irwan tahu bahwa Agil lumayan berpengalaman dalam mengikuti
pendakian gunung di antara mereka semua waktu itu. Paling tidak, dia sudah mencicipi Gede-
Pangrango, Papandayan, Rinjani, dan setiap tahun tampaknya punya rencana untuk mencoba
gunung-gunung baru.

Irwan kemudian ingat bahwa perangai Agil sejak SMA sangat mendukung hobinya itu. Dia
punya rasa kesetiakawanan yang besar dibandingkan dengan teman-teman Irwan yang lain.
Irwan merasa Agil lebih mencemaskan kesiapan teman-temannya dibandingkan dirinya
sendiri waktu itu.

Aku tidak tahu-menahu apa itu gunung dan bagaimana cara mendakinya—dalam artian luas,
Irwan berpikir. Semoga perjalanan ini akan baik-baik saja.

Selain Farhan, Agil, Lutfi, dan Bomo, Sukma juga ikut dalam perjalanan. Irwan mendengar
dari Agil bahwa Sukma dan Lutfi yang berbelanja kebutuhan makanan dan minuman mereka
untuk pendakian tersebut.

“Kereta baru datang jam dua. Kita makan siang dulu saja,” Sukma memberitahu.

“Boleh. Kita makan nasi padang di sana saja,” ajak Agil.

Mereka pun menghampiri warung nasi padang di stasiun Senen. Mereka tampak riang,
bersenda gurau satu sama lain, menjadi pasker lagi seperti waktu SMA dulu, waktu Irwan
dan Farhan pertama kali bertemu.

167
Pada saat mereka baru saja menyelesaikan makan siang, kereta yang seharusnya tiba pukul
dua ternyata datang lebih cepat.

“Beginilah kereta Indonesia,” kata Sukma.

Mereka pun terburu-buru bersama peserta lain berlari menuju peron stasiun, meraih pegangan
pintu, menaiki kereta.

Beberapa menit kemudian, kereta ekonomi MATARMAJA pun meluncur tenang, membawa
mereka semua ke kota Malang.

Kereta MATARMAJA tak ubahnya seperti besi tua yang berjalan terseok-seok. Kereta itu tak
hanya berjalan lambat, tapi juga begitu tak nyaman dengan dua bangku yang saling
berhadapan, mempertemukan lutut-lutut mereka selama perjalanan. Tak ada larangan
merokok, dan pedagang hilir-mudik dari waktu ke waktu. Mereka berjualan makanan,
minuman, rokok, sampai batik.

Irwan duduk berhadapan dengan Bomo yang sedang asyik berbincang dengan seorang pria
bertubuh atletis di sampingnya.

“Halo, saya Yudi,” pria itu mengenalkan diri. “Saya mengantarkan teman saya, Pak Narko
yang di sana itu.”

“Oh, sudah sering naik gunung ya, Mas?” Bomo bertanya.

“Lumayan,” pria itu membetulkan topinya. “Ke Semeru sudah tiga kali, sekarang yang
keempat.”

Bomo terlihat kagum. “Wah, hebat juga!”

Pria bernama Yudi itu memiliki wajah yang sangat mirip dengan Piyu gitaris band Padi. Dia
berasal dari Bekasi, dan begitu bersemangat ketika menceritakan pengalaman sebelumnya
nya mendaki Semeru.

Irwan mencuri dengar perbincangan mereka ketika pria itu berkata kepada Bomo, “Kalau
naik Semeru, yang penting di sininya.”

168
Pria itu menunjuk ke dadanya. Bomo tampak tak mengerti.

“Maksudnya, puncak semudah apapun tak akan bisa kita capai kalau hati kita sumpek terus.”

Seketika Irwan merasa dirinya tersindir. Dia melirik Farhan yang ternyata sedang tertidur.
Tak terasa hari sudah malam. Sambil melihat keluar jendela, Irwan mengamati pemandangan
yang sudah gelap gulita, lampu kota berkelap-kelip di sana. Entah sudah sampai di mana dia,
Irwan tak pernah memikirkan itu.

Apapun yang akan terjadi, Irwan berkata dalam hati. Aku seharusnya lebih berusaha.

Ketika tertidur, Irwan bermimpi tentang Light.

Suasana membosankan di kereta MATARMAJA terus berlangsung sampai semua orang


merasa terbiasa. Mereka tertidur, kemudian bangun, mengobrol, kemudian tertidur lagi.
Begitu seterusnya sampai keesokan paginya Irwan dan yang lainnya tiba di stasiun Kota Baru
Malang.

“Aku pergi cari toilet dulu,” kata Agil.

Beberapa peserta yang lain mengikutinya.

Setelah selesai menunggu beberapa orang yang menunaikan hajatnya di toilet stasiun,
mencari penambal perut lapar, rombongan pendaki pun menyewa angkutan biru untuk
bergegas ke Tumpang, sebuah kecamatan dengan penduduk sekitar 70.000 jiwa yang begitu
asri dan bersih. Mereka beristirahat di sebuah rumah warga yang sekaligus memiliki mobil
jip. Dengan mobil jip itulah mereka akan diantarkan ke pos pertama pendakian Semeru,
Ranupane.

Tak jauh dari tempat beristirahat di Tumpang, mobil jip membawa mereka terlebih dahulu ke
klinik untuk pemeriksaan kesehatan. Tekanan darah, tinggi, dan berat badan mereka
diperiksa, lalu dicatat.

“Suhu dingin bisa membuat dirimu hypothermia,” terang salah seorang peserta.

169
Temannya yang lain mengangguk-angguk. “Kau tahu, aku pernah bersama seorang pendaki
yang tiba-tiba mengeluarkan darah…”

Ketika menunggu giliran pemeriksaan kesehatan, Agil justru bersikeras mencari sarung untuk
menunaikan shalat.

“Sial, tak ada di sini yang bawa sarung?” dia bertanya kepada teman-temannya.

“Tentu saja ada,” Lutfi menjawab. “Tapi susah mengeluarkannya dari carrier, kau pinjam
saja celana panjang seperti yang lain.”

Agil menoleh ke para peserta lain yang saling bergantian memakai celana panjang untuk
beribadah di mushalla klinik.

“Hm…,” katanya. “Aku punya ide.”

Agil berwudhu, dan tanpa rasa bersalah menggunakan sarung mukena, pakaian ibadah
wanita, untuk melaksanakan ibadah. Semua orang terbahak-bahak melihat tingkahnya itu.

Seorang peserta memotret dengan ponselnya. “Ini Islam aliran mana??? Hahahaha!”

Lima menit kemudian, semua orang yang ingin shalat mengikutinya sebagai makmum,
dengan sarung mukena juga.

“Walah…,” kata para perawat di sana sambil garuk-garuk kepala.

Tak lama kemudian, mobil jip segera membawa mereka dari klinik, menuju jalan beraspal
yang terus-menerus menanjak. Para peserta benar-benar menikmati pemandangan yang
menakjubkan. Rumah-rumah penduduk—beberapa suku Tengger—bertumbuhan pohon apel
di halamannya.

Ada lembah hijau yang berkilauan begitu memantulkan cahaya matahari. Mereka terombang-
ambing di mobil jip, bersorak-sorak norak. Beberapa kali mereka berhenti untuk berfoto,
mengamati monyet liar, dan menarik nafas dalam-dalam, terpesona oleh pemandangan yang
luar biasa indah.

Begitu rumah penduduk mulai terlihat jarang, mereka tiba di Ranu Pane. Di sana cuma ada
pondok peristirahatan pendaki, pos penyewaan porter, sebuah mushalla, dan dua penjual

170
makanan. Mereka menikmati bermangkuk-mangkuk bakso di sana, juga sayur lodeh yang
hangat.

Hari itu mereka akan bermalam di Ranupane.

Malam harinya Irwan dan yang lain tidur saling berhimpitan dalam sebuah kamar sempit
berlapis kayu di pondok pendaki.

“Kau tidak bawa matras?” Agil bertanya dengan kesal. “Kan sudah kuperingatkan berkali-
kali, bagaimana sih kau ini!”

“Maaf, aku tidak sempat,” jawab Irwan.

Agil menghela nafas sambil geleng-geleng kepala. “Yasudah. Malam ini kau bisa tidur di atas
matras yang lain, kebetulan kita saling berhimpitan. Nanti di pos lain kau pakai sajadah saja.”

“Kelihatannya dingin sekali ya?” tanya Irwan polos.

“Kan sudah sering kuceritakan,” Agil membetulkan letak matrasnya. “Ayo kita tidur.”

Keesokannya, pagi-pagi sekali mereka semua sudah terbangun dan berkumpul. Mereka
berdoa dan memulai perjalanan dengan penuh semangat. Tapi, awal mula pendakian itu
ternyata lebih berat daripada apa yang pernah dibayangkan oleh Irwan dan Farhan.

“Lututku sakit,” Farhan mengerang. Dia berjalan paling belakang dari semua rombongan.

“Sabar, nanti juga terbiasa,” Agil menenangkannya.

Di depannya Irwan berjalan terhuyung-huyung. Berkali-kali Farhan melihatnya berhenti,


kemudian berjalan kembali dengan berat.

“Sepertinya aku tak akan tahan,” Irwan terengah-engah. Wajahnya mulai dibanjiri keringat.

“Baru awal, nanti tubuhmu akan terbiasa,” Agil kembali menenangkan.

171
Sukma berjalan paling depan, disusul Bomo dan Lutfi membuntuti di belakangnya. Setiap
kali melihat Sukma, Irwan seperti tak percaya anak itu masih terlihat segar sekalipun sudah
jalan berkilo-kilo meter jauhnya. Di antara mereka terdapat semak belukar, jalan setapak
yang naik-turun.

Agil berkata, “Itu dia pos pertama.”

Farhan dan Irwan yang berada di belakangnya berusaha mendongak. Pos itu bertengger di
puncak bukit. Untuk mencapainya, mereka harus melalui tanjakan berliku terlebih dahulu.
Irwan memaksakan langkahnya, dan Farhan sibuk mengatur nafasnya.

Ketika sampai di pos pertama, mereka bertemu dengan Joni Mularwan, ketua panitia
pendakian persahabatan tersebut. Dia adalah sosok pria pertengahan 30 dengan tubuh besar
dan janggut yang menyambung ke kumisnya. Joni Mularwan memiliki rambut gondrong
yang bergelombang, terurai, dan selalu tampak ramah. Para pendaki berpendapat sama, Joni
Mularwan adalah salah satu alasan mengapa pendakian saat itu bisa ramai diikuti banyak
peserta.

“Kalau Bang Jon yang bikin acara, aku percaya. Pasti seru!” ujar Yudi kepada Irwan dan
Bomo selagi di kereta.

Ketika pengumuman pendakian persahabatan ke Semeru keluar, Yudi serta merta memasang
poster pengumuman itu di rumahnya di Bekasi, yang juga sekaligus toko alat-alat olah raga
outdoor.

“Langsung aku tempel di paling atas,” ujar Yudi lagi bersemangat.

Irwan dan Bomo sebenarnya sudah bertemu dengan Joni Mularwan pada malam di Ranu
Pane. Waktu itu mereka sedang berbincang tentang acara pendakian persahabatan tersebut.

“Aku mengadakan acara seperti ini untuk bersenang-senang,” kata Joni Mularwan, suaranya
kedengaran keras. “Orang banyak berpikir mendaki gunung itu kegiatan yang berat, padahal
tidak. Naik gunung itu berwisata, menikmati alam, membuka pandangan.”

Irwan sendiri tak pernah melihat Joni Mularwan tanpa tersenyum kepada para peserta dan
teman-teman panitia lainnya. Selain itu, Joni Mularwan terbiasa memberikan semangat.

“Sini, istirahat dulu, buru-buru mau ke mana,” Joni Mularwan mengajak Irwan dan yang
lainnya. “Tak akan lari gunung dikejar.”

172
Dia tertawa.

Agil terus membimbing Irwan dan Farhan berjalan hingga mereka sampai di pos kedua. Di
sana mereka beristirahat kembali, dan berpapasan dengan Joni Mularwan.

“Ini permen,” Joni Mularwan menawarkan. “Biar lupa lelahnya.”

Menjelang sampai di Ranukumbolo, sebuah pemandangan indah membuat semuanya takjub.


Lutfi sampai bergetar mengagumi danau berkabut yang dikelilingi bukit itu. Warna airnya
biru pekat, berpantulan dengan kabut yang berwarna perak. Sepertinya, danau itu menyimpan
misteri keindahan alam yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Perbukitan dengan
rumput-rumput yang keemasan menjaganya di sekeliling.

“Bang Jon seharusnya di belakang kita, bukan?” Sukma bertanya tiba-tiba. Dia kebingungan
begitu melihat Joni Mularwan sudah mendirikan tenda di tepi danau. “Kok bisa?”

“Wah, benar juga,” Agil mengernyitkan dahi.

Semuanya sama-sama memicingkan mata memandang kejauhan tepi danau.

“Dia pasti lewat jalur penduduk setempat. Kau tahu, tanah menanjak 90 derajat yang kita
lihat setelah pos kedua itu,” Lutfi menebak.

Sukma mengangguk-angguk. “Hebat juga.”

Ranukumbolo terletak di ketinggian 2400 mdpl (meter di atas permukaan laut). Malam itu
setiap peserta mendirikan tenda. Rombongan Irwan memilih sebuah tempat yang paling
berdekatan dengan bukit. Mereka mendirikan tenda doom yang mampu menampung empat
orang dengan dua bilik kamar. Agil juga mendirikan tenda biasa untuk diisi dua orang di
dalamnya.

“Oke,” Agil selesai mendirikan tendanya. “Aku sama Bomo di tenda kecil.”

“Sepertinya aku sama Lutfi saja. Badannya kecil,” Sukma menyahut.

173
Irwan diam saja tak berpendapat. Berarti aku satu kamar dengan Farhan … Dia terheran-
heran mengapa seperti terjadi kebetulan seperti itu. Namun, karena merasa tak enak jika
berdebat masalah tidur di tenda, Irwan menerima saja. Lupakan saja kejadian kemarin, Irwan
menasehati dirinya sendiri.

Sukma memasak indomie, beberapa sosis, dan potongan ayam kemasan untuk makan malam
mereka. Dia membakar parafin dan segera saja api menyala-nyala menjilat panci. Pada saat
keheningan malam yang hanya diterangi lampu redup itu, Agil memberitahu Irwan agar
menambah jas hujan selain sajadah untuk alas tidur.

Di kamar bersama Farhan, Irwan bergidik.

“Kau kedinginan?” Farhan bertanya. Tenda telah digelapkan.

“Lumayan.”

Beberapa saat kemudian Farhan membuka tasnya dan mengambil sebuah jas hujan miliknya.

“Lebih baik kau tambah dengan ini,” Farhan menyarankan.

Irwan mengambil jas hujan itu. “Terima kasih.”

Irwan tak bisa tertidur pulas meski badannya sudah lelah. Ia merasa pegal-pegal bukan main
setelah perjalanan dari Ranupane. Sesekali dia kedinginan menyadari rumput basah di tanah
Ranu Kumbolo yang ternyata menembus bawah tenda, jas hujan, dan sajadah yang ia
gunakan sebagai alas tidur. Suhunya membekukan sekali.

Keesokan paginya, mereka berjalan kembali ke Kali Mati. Mereka bertenda di sana pada sore
hari menjelang magrib. Ketika semua orang berkumpul di bawah pohon sambil menikmati
kopi, Yudi sedang bercerita.

“Memang agak susah kalau kita bermalam di sini,” ia memulai. Tak jauh dari pohon tempat
mereka berkumpul ada sebuah batu nisan.

“Waktu itu aku bermalamnya di Arcopodo. Lebih dekat ke puncak.”

174
Permasalahannya, panitia memperkirakan bahwa tanah di Arcopodo terlalu sempit. Mereka
berpendapat lebih aman bermalam di Kali Mati, dengan asumsi mengambil air bersama-
sama, satu rombongan, karena banyak kabar tentang pendaki yang tersesat. Banyak yang tak
bisa kembali ke tenda akibat jalan mencari air di Kali Mati tak semudah jalur pendakian yang
memiliki banyak petunjuk berupa potongan police line yang terikat di beberapa ranting
pohon. Lagipula sumber air di Kali Mati itu bukan hanya milik manusia, tapi juga hewan liar
di sekitar hutan. Cukup berbahaya.

“Waktu aku bawa rombongan, pernah juga menginap di Kali Mati,” Yudi melanjutkan.
“Malamnya satu anak terbangun sambil mengigau. Kuminta dia baca doa, sampai akhirnya
dia tenang.”

Dia diam sebentar, kemudian menyesap kopinya. “Tak lama dia terbangun lagi, merintih,
‘bang … bang … dingin bang,’ begitu. Ternyata kakinya sudah mulai mati rasa. Aku bakar
parafin, kuletakkan kakinya di atas api itu, sampai kakinya terasa.”

Orang-orang serius mendengarkan dan menatap wajah Yudi yang hampir tertutup topi.
Kisahnya kemudian berlanjut. “Nah, saat itu juga, kudengar dari luar tenda,” Yudi berhenti
mendadak. “Ada suara yang lama-lama kencang… ramai sekali. Kudengar terus, dan ternyata
…. ternyata itu suara derap kaki kuda!”

Orang-orang mendelik memperhatikan Yudi.

Irwan segera menoleh. Tak jauh di hadapannya waktu itu, terbentang savana, sebuah padang
rumput luas yang menganga. Menjelang magrib, langit di Kali Mati sudah menjadi kebiruan
gelap. Angin meluncur dari Arcopodo yang tepat berada di belakangnya. Irwan benar-benar
mulai kedinginan.

Padang rumput … Irwan membayangkan. Pada rumput itu yang dimaksud Yudi … Derap
kaki gerombolan kuda!

Irwan meneguk kopi terakhirnya, lalu berpaling ke tenda dengan bergidik ngeri.

175
Bab 24

Membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memecahkan banyak pertanyaan dan kabar


burung. Permasalahan ini hampir selalu menyebabkan apa yang disebut mitos, mengesankan
bahwa Mahameru, puncak gunung Semeru, banyak diselimuti oleh kabut misteri. Termasuk
bagaimana para pendaki masih menyebutnya Arcopodo, dua arca kembar, meskipun sudah
bertahun-tahun lamanya tak pernah ditemukan keberadaan benda itu di sana.

Pos Arcopodo terletak di titik 2.903 mdpl, menghadap ke Kali Mati, di antara luasnya yang
tak lebih dari 20 meter persegi itu terdapat batu nisan, dan sulur tumbuhan merambat liar di
sisinya. Pos yang dulunya dijadikan tempat untuk meletakkan prasasti tokoh pergerakan
mahasiswa, Soe Hok Gie dan Idhan Lubis, itu, terus-menerus membuat banyak orang
penasaran, atau bahkan curiga, benarkah di sana ada arca kembar?

Keterangan awal berasal dari mendiang Norman Edwin dan Herman O. Lantang dari Mapala
Universitas Indonesia pada tahun 1984. Dua tahun kemudian, ketika Norman mengunjungi
kembali dua arca itu, dia menulis di majalah Swara Alam,

Arca ini sulit dikenali karena kepala dan separuh badannya hilang.

Namun, semenjak itu tak pernah ada orang yang tahu di mana letak kedua arca tersebut.
Herman O Lantang yang berusaha melihat kembali pada pendakian tahun 1999, gagal karena
tergelincir ke dalam jurang pasir yang dalam dan sulit disebrangi. Dia memutuskan tidak
mengunjungi arca itu lagi.

Ketika hendak mendaki Semeru, Irwan mendengar kabar dari harian Kompas, tim ekspedisi
mereka berhasil menemukan dua arca kembar di lereng Gunung Semeru, setelah melewati
dua lembah tempat jalan lahar, di punggungan bukit dan rerimbunan cemara, dengan
kepalanya yang hilang, seperti habis dipenggal.

Laporan ekspedisi itu berbunyi demikian:

Dua arca itu rupanya tetap di tempatnya sejak dulu. Namun, Pos Arcopodo yang populer
dilalui pendaki ke puncak Semeru yang rupanya dipindahkan.

Pun demikian, informasi tetap menggantung. Mengapa pos itu harus dipindahkan?

176
Di antaranyalah terdapat rahasia para dewa.

***

Perasaan ragu masih menyelimuti Irwan. Apakah dirinya benar-benar mampu mencapai
puncak Semeru. Sesekali Irwan menyesal. Dia berpikir seharusnya dia kini tengah sibuk
mengurus Light, daripada berlelah-lelah menanjak gunung yang banyak dikenal orang
sebagai atap pulau Jawa itu.

Tapi Irwan sudah melangkah dan tak bisa pulang lagi, betapapun dirinya mulai merasakan
takut yang luar biasa menghadapi pendakian puncak pada dini hari nanti.

Irwan dan yang lainnya sedang meringkuk di tenda doom ketika seorang wanita tomboy
menghampiri mereka. Dia adalah Erin, satu-satunya panitia perempuan yang telah mengenal
gunung lebih dari apa pun. Di balik tubuh kurusnya yang legam, Mbak Erin—begitu peserta
biasa memanggil—tak ubahnya seperti penasehat spiritual Irwan dan yang lainnya selama
pendakian.

Erin terlihat menikmati kopi yang disajikan oleh Sukma. Dia mengajak berbincang, dan tak
henti-hentinya menghisap rokok.

“Teman,” katanya. “Jangan takut fisik kalian kenapa-kenapa.”

Sukma menawari Erin sebuah kursi lipat untuk duduk. Sementara parafin terus menyulut api,
memanaskan seluruh permukaan panci.

“Aku pernah mengantarkan pendaki sebelumnya, laki-laki, badannya sehat-sehat, bagus


semua,” Erin bercerita lagi seraya menghembuskan asap rokok. “Baru di jalur pasir dia
langsung ambruk, ditarik langsung sama suamiku ke bawah.”

Dia diam sejenak, dan tak ada dari Sukma, Irwan, Bomo, Lutfi, dan Farhan yang ingin
memulai berbicara. Agil sibuk mengaduk-aduk kopi berikutnya.

“Naik Semeru itu yang penting di sininya,” Erin menunjuk dadanya, seperti yang pernah juga
diberitahukan Yudi sebelumnya.

Erin kemudian bercerita bahwa pergelangan kakinya pernah patah sampai hampir berputar ke
belakang. Waktu mendengar ceritanya, Sukma tampak merasakan ngilu yang sangat. Apalagi,

177
menurutnya, sejak itu Erin merasa tak mungkin untuk terus naik gunung, berjalan-jalan berat
dan jauh. Tapi kemudian yang dikatakan Erin sambil mengangkat bahunya adalah:

“Sekarang aku sampai Kali Mati, kan?”

Kali mati menjelang tengah malam.

Setiap orang ingin sekali tidur, dan memang sudah seharusnya, tapi hal itu semakin jauh dari
harapan. Tahu-tahu mereka semua diradang rasa cemas yang tidak biasa. Menantikan waktu
menuju puncak Semeru.

Sukma menyalakan parafin, kemudian memasak indomie. Karena tindakannya itu, teman-
temannya di dalam tenda langsung beranjak dari posisi tidur, ikut menantikan masakan
matang.

“Kalian tidak tidur?” tanya Agil dari tenda sebelah.

Sukma mengaduk-aduk panci berisi indomie, kemudian menjawab, “Lapar Gil, makan dulu.”

Tak lama setelah makan bersama dalam satu piring secara bergantian, mereka pun
menggelapkan tenda kembali.

Kali ini harus bisa tidur, kata Irwan dalam hati. Di sampingnya Farhan sudah diam, menutup
seluruh badannya kecuali wajah. Sepuluh menit kemudian, Irwan mengambil ponselnya dan
mengetik dengan cepat. Aku cemas … cemas … dan menggigil.

Tulisan itu terus berlangsung sampai kira-kira dua puluh menit setelahnya Irwan mulai
mengantuk. Ponsel itu ia simpan di dalam plastik, memastikannya aman, kemudian berharap
untuk terlelap.

Entah untuk beberapa saat setelahnya, seseorang menghampiri tenda.

“Mas, Mas, summit tidak?”

Suara itu diam kembali, ketika beberapa orang di dalam tenda setengah sadar dari tidur,
kemudian berkata lagi,

“Summit Mas, semua sudah berkumpul—“

178
“Oh iya!” jawab suara yang lain, ternyata Sukma. “Iya, iya, Mas!”

Dengan terburu-buru dia menyalakan lampu, membangunkan sebanyak mungkin orang di


tenda, terutama Lutfi yang tidur di sebelahnya.

“Summit Lut,” ia membangunkan. “Wan, Han … Gil, Bom…” dan suara-suara berdeham
parau mulai terdengar.

“Yuk, summit yuk,” suara Lutfi.

Sukma menambahkan, “Ayo, pada siap-siap.”

Tak sampai 15 menit mereka sudah berada di luar tenda. Irwan mengenakan dua lapis baju,
jaket, kupluk, sarung tangan, dan senter. Dia juga memakai kaus kaki sebanyak dua lapis. Dia
merinding. Antara ketakutan dan kedinginan.

Sukma merelakan dirinya membawakan logistik tim mereka. Irwan dalam hati salut
kepadanya, bagaimana dia bisa mengemban tugas itu ketika setiap orang hanya membawa
logistiknya sendiri-sendiri. Setiap orang hanya membawa apa yang melekat di badan mereka,
termasuk air minum. Sedangkan Sukma membawa semua kebutuhan tim, seperti nata de
coco, roti, cokelat, dan obat-obatan.

Perjalanan summit dimulai pada jam 00.00. Para pendaki diperkirakan akan tiba di puncak
Semeru sekitar pukul 05.00.

Ketika semua orang melingkar dengan hanya cahaya senter yang berkelap-kelip, seorang pria
mengomandoi doa dengan awalan, “Di langit yang berbintang ini, mari kita berdoa agar
selamat … “—dan Irwan mengetahui dirinya tak bisa menelan ludah.

Suasana begitu gelap, di antaranya lampu-lampu senter tampak bergetar.

“Jangan dipaksakan, perhatikan teman-temannya, terutama diri sendiri. Kalau tidak kuat,
panitia pasti ada di belakang,” kata si pemimpin doa tadi. Dia berbicara singkat sedikit lagi,
kemudian melepas semua orang untuk mulai berjalan.

Sukma memastikan dirinya tak pernah jauh-jauh dari teman-temannya. Dia sering menoleh
ke belakang. Irwan tepat membuntuti Agil, Bomo, dan Lutfi. Di belakang Irwan, Farhan
semakin tertinggal. Setiap kali memasuki hutan yang gelap dan menanjak, para pendaki mulai
terpecah tanpa perintah.

179
“Duluan, duluan,” seorang pendaki berkata.

Para pendaki ada yang memilih duduk sejenak, atau bersandar pada pohon sambil mengatur
nafas, meneguk air. Nafas mereka terengah-engah, saling terdengar satu sama lain. Jalanan
mulai banyak dihalangi tidak hanya akar-akar besar, tapi juga batu dan kerikil.

Sementara Irwan terus berjalan dengan telinga yang semakin sakit. Angin besar yang
menerpa membuatnya berdengung-dengung. Setiap kali dia berusaha menarik sebanyak
mungkin udara, hasilnya hampir nihil. Oksigen menipis, cuma angin yang masuk, dan itu tak
bisa mengisi paru-paru.

Perjalanan mereka semakin sulit ketika mencapai Arcopodo. Mereka harus menaiki tanah
bertangga-tangga, melangkah besar, dan salah-salah bisa terjerumus jurang. Irwan merasakan
mentalnya mulai berantakan, terlebih begitu senter yang ia pegang menangkap sebuah benda
di sepanjang jalan yang mengingatkannya pada kematian. Irwan melihat batu nisan.

Setiap kata-kata di benda itu kedengaran seperti syair, yang kurang lebih berbunyi:

Selamat jalan … yang damai bersama angin …

Irwan dan Bomo berusaha membacanya di bawah lampu senter yang redup, hingga mulai
berkesan seperti peringatan;

Hati-hati, kawan … aku sudah tahu—aku sudah tahu apa yang akan terjadi, ternyata

Menggantung.

Saat itu sebagian besar pendaki mengamati batu-batu nisan itu dan merasakan jenis
kehidupan yang aneh. Semua orang termenung lama, dan saat itulah dimana keyakinan
berganti menjadi pasrah. Tak mau tahu seberapa hebatnya mereka selama ini.

Di hutan ini kita hanya sebuah titik yang mudah hilang, mudah tersesat—terbang jauh
dibawa angin sekali pun, apalagi hanya untuk sekedar mati…

Hanya itu yang perlu dipikirkan oleh Irwan.

180
Para pendaki berhenti sejenak di Arcopodo. Mereka melepas lelah, kemudian meneruskan
perjalanan lagi.

Ketika jalan sudah mulai bebatuan, ada sebuah tali terulur. Tali itu melambai-lambai dari
balik dinding batu. Setiap orang terheran-heran, namun tetap meraihnya untuk berjalan.
Mereka belum sadar kalau sedang berada di tepi jurang.

Jurang itu seperti membatasi antara kawasan vegetasi dengan jalur pasir yang menjulang
sampai ujungnya tak terlihat. Begitu menjejakkan kakinya di atas pasir, sebuah pemandangan
mengejutkan Irwan.

Puluhan pendaki duduk menghadapnya, saling berhimpitan, menunduk. Rupanya mereka tiba
lebih dulu dan sedang menunggu pendaki-pendaki di belakang. Salah seorng pendaki
kemudian memberi aba-aba untuk berdiri dan mulai berjalan.

Jurang-jurang yang gelap dan menganga berada di sisi mereka. Irwan menoleh kepadanya,
dan berkesan ada panggilan. Suaranya seperti orang meminta tolong, tolong … tolooong …

“Mas, jalan terus, jangan tidur!”

Irwan terkesiap. Rupanya dia telah ketiduran di sandaran batu selama beberapa menit.

“Jangan tidur, bahaya. Ayo, pelan-pelan,” ajak suara yang membangunkannya barusan,
kemudian dia berjalan kembali.

Angin bertambah kencang. Jalur pasir itu benar-benar membuat Irwan pasrah. Dia sudah tak
bisa lagi memikirkan Farhan yang tadi di belakangnya namun sudah tak terlihat lagi. Bomo,
Lutfi, Sukma, dan Agil sudah jauh di depan. Dadanya kini semakin sesak dan ingin sekali
rasanya dia melepaskan jaket supaya lebih ringan. Tapi dia berpikir tentunya hal itu tak
mungkin.

Tiga langkah menanjak, Irwan selalu terperosot kembali, mungkin lebih dari lima langkah.
Ini benar-benar berat, Irwan berkata dalam hati. Dia membalik dan menoleh, begitu curam
dan gelap. Lampu-lampu perkotaan berkedip-kedip dari jauh. Ya ampun! Ini sudah tinggi
sekali! Irwan langsung menguasai tubuhnya yang mulai oleng.

Sementara Irwan terus berjalan, tepatnya merangkak, pasir-pasir memenuhi sepatu,


menggesek-gesek telapaknya. Tidak … aku tak kuat lagi … dia pun menepi, duduk
meringkuk di balik batu.

181
Irwan meminum beberapa teguk air dari botol yang dibawanya. Begitu memerhatikan isi
botolnya itu, perasaan putus asa menyelimutinya.

“Air terakhir…” dia berkata, dan meletakkan botol air minum itu di atas batu.

Waktu itu wajah ibunya mulai muncul. Apa yang terjadi setelahnya adalah ibunya
mengatakan sesuatu yang kedengarannya sangat nyata:

Sedang apa kamu malam-malam di situ!?? Bukannya tidur!

Dan Irwan yakin waktu itu ia sedang diperlihatkan tentang segala kesombongan dirinya
selama ini. Mereka muncul seperti siaran radio rusak, berganti-ganti, dan begitu Irwan
membuka masker yang menutupi hampir setengah wajahnya, tarikan nafas menyeramkan
terdengar.

Kemungkinan besar aku akan mati … pikir Irwan saat itu. Dan sebisa mungkin ia pasrah
ketika mendengar ucapan:

Ini cuma gunung tak bergerak. Apa yang mau kau lakukan untuk melawan-Ku?

Tuhan menantang, dan Irwan mulai menangis.

Ampun … ia menutupi wajahnya sambil terisak-isak.

“Ambil talinya!” sebuah suara mengagetkan Irwan.

Beberapa menit kemudian Irwan menyaksikan seorang pendaki naik dari jurang yang gelap
dengan menarik tali itu. Beberapa orang menariknya, dan dia menangis.

“Terima kasih Bang, terima kasih, huhuhu …” teriaknya sesengukan. Dia mencium tangan
orang yang membantunya naik sambil tak mampu berdiri.

“Gawat sekali, dia salah ambil jalan ke jalur lahar. Lain kali hati-hati!” seorang pendaki yang
menolongnya memperingati.

Jantung Irwan berdegup kencang sekali mendengarnya, mengalirkan darah baru yang hangat.
Aku harus jalan lagi!

182
Tepat ketika matahari terbit, Mahameru berdiri kokoh di hadapan Irwan.

“Puncak, puncak!” Sukma berteriak. “Ayo, Wan, sedikit lagi!”

“Iya!”

Irwan merasakan lututnya sudah lemas, gemetaran, tapi langit Mahameru yang biru dengan
siluet indah terus berpendar menakjubkan, seperti bekerja sama mendorongnya untuk terus
melangkah. Bomo dan Lutfi menunggunya beberapa meter di depan bersama Sukma. Agil tak
terlihat, mungkin sudah sampai, karena Irwan mendengar teriakan yang berseru-seru dari
puncak yang sebentar lagi ia hampiri itu. Farhan … entah di mana Farhan.

Irwan kembali berjalan dengan susah payah.

Satu langkah lagi … tidak, dua langkah … empat … sepuluh deh! Dia menyemangati dirinya.

Ada hamparan datar … penuh bebatuan …

Irwan langsung berhadapan dengan matahari yang seolah mengucapkan,

SELAMAT DATANG DI MAHAMERU

Agil berlari menghampirinya, memeluknya, mengguncangkan tubuhnya. “Hebat kau, Wan!”


dan suara-suara pendaki yang bersorak, memuja Tuhan, segera berkumandang di mana-mana.

***

Agil sedang berkata, “Saat orang-orang tidur, kita sedang sibuk menggapai tujuan kita,”
ketika mereka baru saja turun dari Mahameru.

Waktu itu mereka sedang duduk-duduk di jalur pendakian puncak yang berpasir dan terjal,
memandangi gunung Bromo di antara kabut pagi. Irwan tak bisa membayangkan, bagaimana
mungkin kita sedang berada di atas kabut?

Kabut yang bergumpal berjalan beriringan mengelilingi gunung Bromo. Dari belakang,
matahari menghangatkan punggung mereka, dan tak ada satu pun orang yang tak menikmati
suasana itu.

“Mana Farhan?” tanya Sukma

183
Agil menoleh. “Panitia memberitahuku. Dia kembali. Dia tak sampai ke puncak.”

184
Bab 25

Sejak tiba di Ranupane, Farhan pernah gelisah begitu ponselnya tak bisa menerima sinyal.

“Aduh,” katanya. “Aku lupa sekali, padahal ada aplikasi untuk mendapatkan pantulan dari
satelit!”

Semuanya hanya memandang heran saat itu. Hanya Irwan yang menyadari betapa kesulitan
tak menerima sinyal itu begitu berarti bagi Farhan. Bisnis botol krimnya tak bisa berjalan
sama sekali.

Malam hari ketika tiba di Tumpang kembali, semua pendaki sedang asyik berbincang
pengalamannya masing-masing sambil menikmati makan malam. Panitia juga memberikan
sertifikat kepada mereka. Suasana begitu akrab dan penuh canda.

“Besok aku pulang duluan,” Farhan berkata kepada Agil. “Aku sudah pesan tiket pesawat
dari internet.”

“Wah, buru-buru sekali ya. Kau tak mau jalan-jalan dulu mengelilingi kota Malang?” Agil
bertanya.

Farhan menghela nafas. “Maaf, ada yang gawat dengan bisnisku. Aku harus secepatnya
kembali ke Jakarta.” Sekilas dia melirik Irwan.

Besok paginya, Farhan berpisah dan pergi ke bandara Abdul Rachman Shaleh.

Ketika Farhan sudah pulang, Irwan dan yang lainnya berkeliling ke kota Malang. Mereka
memuji-muji kota yang bersih dan teratur itu. Mereka menyantap rawon di depan alun-alun
kota, membeli banyak buah apel, dan berjalan-jalan mengelilingi Pasar Minggu Pagi Tugu
Kota Malang.

Ketika itu Irwan mendapatkan telepon di ponselnya. Dia melihat siapa yang menghubungi,
ternyata Tyo.

“Halo?”

“Ya, ada apa Tyo?”

185
Tyo diam sejenak. “Ehm, maaf, kau masih di Malang ya? Aku cuma sebentar ingin telepon,
kok. Aku ingin meminta honorku, kalau bisa secepatnya karena untuk biaya berobat.”

Irwan berjalan menghindari kerumunan teman-temannya. “Ya, Tyo. Maaf, tapi Farhan
sedang tak bersamaku. Dia pulang duluan ke Jakarta naik pesawat pagi ini. Bisakah kalau
besok saja kita bicarakan…”

“Besok?” Tyo menyela, kemudian berpikir sejenak. “Oke, besok kuharap kau mengabariku
ya.”

“Baik.”

Ketika telepon ditutup, Irwan memerhatikan layar ponselnya sambil menghela nafas.
Kelihatannya bakal gawat, pikirnya kemudian.

Mau tak mau Irwan mengirimkan pesan kepada Farhan bahwa Tyo meminta honor
secepatnya. Namun, sesuai dugaan Irwan, tak ada balasan dari Farhan bahkan sampai dia
kembali ke Jakarta.

Setibanya di Jakarta, Irwan kembali kebingungan. Tyo terus berusaha meyakinkannya bahwa
dirinya sedang butuh sekali.

“Tolonglah. Keadaan sedang mendesak sekali, masa kau tega…” kata Tyo begitu
menghubungi Irwan kembali.

Irwan memejamkan mata. “Ya, aku sudah berusaha Tyo. Aku tak bisa apa-apa juga, uangku
sudah habis dan…”

“Berikan nomor telepon Farhan,” Tyo terdengar kesal. “Biar aku yang memintanya sendiri!”

“Oh, ya—oke…” Irwan jadi gelagapan. “Ini dia…”

Dua menit kemudian Farhan mengangkat telepon dari Tyo.

“Halo?”

“Ya. Siapa ini?”

186
“Aku Tyo, salah satu kontributor Light Magazine dari Bekasi.”

“Oh,” Farhan memindahkan ponselnya ke telinga kanan. “Ada apa?”

“Aku mau minta hakku. Kau sama sekali tak berhak menunda honorku. Jadi, aku minta
sekarang juga!” Tyo terdengar marah.

Orang ini gila! Farhan menyimpulkan. “Hei, siapa yang tak mau membayarmu? Aku paling
tahu selama ini aku selalu tepat membayar semua wartawan! Jaga sikapmu!”

“Aku tak mau berdebat. Aku cuma mau honorku ada hari ini juga!”

Kemarahan Farhan naik ke ubun-ubun. Kurang ajar! Ia menahan diri.

“Oke, tunggu saja, akan kukirimkan sekarang juga.”

“Terima kasih.”

Telepon ditutup.

Di kantor Light, Irwan sedang bersama-sama wartawan untuk membahas tema Light
berikutnya. Saat itu Farhan tiba dengan wajah yang muram. Dia masuk tanpa memberi salam
sedikit pun dan terus membisu.

“Sini semuanya! Kumpul!” tiba-tiba dia membentak.

Semua orang berkumpul dan panik. Irwan berdebar-debar.

“Aku peringatkan, mulai sekarang tak akan ada lagi basa-basi. Kalau kerjaan buruk, cepat-
cepat kalian keluar dari sini!”

Irwan mengalihkan pandangannya ke TV LED 70 inch. Omongannya sudah tak jelas, Irwan
berkata dalam hati.

“Ingat, kalian boleh bangga bisa mencapai puncak gunung. Itu gampang! Puncak gunung itu
jalurnya sudah ada, tinggal kita ikuti saja. Tapi di dunia bisnis tak ada petunjuk, kita harus
cari jalan sendiri. Kalau kalian masih yakin dengan majalah ini, berbuatlah sesuatu, carilah
iklan sebanyak-banyaknya,” kata Farhan meledak-ledak.

187
Irwan langsung tahu bahwa Farhan sedang menyindirnya. Tapi dia memilih diam,
mendengarkan luapan amarahnya malam itu. Atau, sebenarnya dia sedang menyembunyikan
ketakutan yang lain?

“Brengsek!” Farhan membentak lagi. “Hari ini aku sudah emosi karena klien besarku pergi
gara-gara aku tak bisa melayani pesanannya selama di Semeru. Tambah lagi si Tyo itu
berkata yang bukan-bukan.”

Farhan menarik nafas, tampak mencoba menenangkan dirinya.

“Bulan berikutnya aku tak tahu lagi harus membayar semua tagihan dengan apa.”

Irwan meliriknya sebentar. Annisa menunduk di samping Farhan. Fandi menyandarkan diri.
Anneke dan Dwi baru saja pulang. Malam itu akan menandakan beberapa keputusan
selanjutnya.

188
Bab 26

Perjalanan Semeru memberikan Irwan sedikit petunjuk. Dia mulai menganggap bahwa
Farhan dan dirinya tak lagi satu visi seperti dulu. Mereka terbelah dengan alasan yang Irwan
sendiri pun tak tahu apa itu. Perasaan Irwan terhadap Light semakin tak menentu.

Perasaan itu semakin menjadi-jadi ketika Irwan mendapati bahwa Linda baru saja tiba di
kantor Light pada sore hari. Irwan kesal bukan main melihat tingkahnya itu.

“Wan, aku perlu bicara,” kata Linda begitu sampai di kantor Light.

Mereka kemudian menngunjungi warung mie ayam di seberang kantor Light.

“Wan,” kata Linda ragu-ragu. “Kau tahu kenapa aku datang ke kantor sore hari seperti ini?”

Irwan menjawab singkat. “Tidak.”

Linda menarik nafas, menyibakkan rambutnya.

“Sebenarnya…,” Linda berkata. “Sebenarnya aku baru saja tes di perusahaan lain. Aku salah
satu yang lolos untuk mengikuti tes itu.”

Meski terkejut, Irwan tetap menyembunyikannya. Dia bertanya tenang, “Perusahaan apa?”

“Asuransi lagi. Bayangkan, mereka menawariku gaji yang lumayan besar.”

Irwan mengangguk-angguk. Dia menghela nafas.

Linda melanjutkan, “Kelihatannya, aku hanya bisa dua minggu lagi di Light.”

“Begitu ya…,” Irwan berkata lemah.

“Terpaksa, Wan. Aku tidak tahan melihat ibuku terus-terusan merongrong. Kau tahu sendiri,
aku hidup cuma berdua dia, dan sekarang cuma aku yang bekerja mencari uang. Selama di
Light aku hanya bisa mengisi ulang tabung gas. Aku…”

Linda mendadak tak bisa melanjutkan kata-katanya. Irwan sendiri prihatin mendengarkan
ceritanya. Ditambah lagi, Irwan semakin tak tahu bagaimana nasib Light sepeninggalan
Linda. Dialah satu-satunya orang yang bertugas di bagian pemasaran. Kalau Linda tidak ada,
sama saja semuanya tumpul tak bernyawa.

189
“Baiklah,” akhirnya Irwan berkata. “Ayo kita kembali ke kantor.”

Malam harinya Linda menjelaskan pengunduran dirinya di depan Farhan dan Annisa. Dua-
duanya langsung tampak lesu.

“Oke, kalau begitu,” kata Farhan. “Aku ucapkan terima kasih buat selama ini. Mudah-
mudahan pekerjaan selanjutnya di sana akan lebih baik.”

Irwan duduk di sofa saat itu. Dia termenung-menung. Setelah Linda selesai bicara, tak ada
lagi yang mau berkata-kata. Semuanya hanya diam dengan pikiran masing-masing.

Aku tak bisa membiarkan ini berakhir, Irwan berjanji dalam hati.

190
Bab 27

Pada suatu siang, Irwan mengadakan janji pertemuan dengan Fandi di luar kantor Light.
Mereka bertemu di kedai kopi yang hanya beberapa blok dari rumah Fandi.

“Fan, kau sudah mengerti kan, urusan sehari-hari di kantor Light?” tanya Irwan.

“Ya, tapi…”

“Baik, kau sudah mengerti,” Irwan buru-buru memotong. “Dengar. Aku tak akan
membiarkan Light lebih menderita lagi dari ini. Kau tahu, Linda sudah pergi.”

Fandi memperhatikan, tak bisa menebak maksud perkataan Irwan.

“Maksudku begini, Fan,” Irwan mencondongkan badannya. “Aku sedang melamar pekerjaan
lain. Sebenarnya pekerjaan itu proyek penelitian yang tak akan banyak menyita waktu. Tapi
untuk awal-awal, aku harus mengikuti banyak rapat di sana.”

“Lalu?”

Irwan bersandar. “Lalu, aku butuh sekali kau menangani urusan di Light sehari-hari. Aku
yang memikirkan tema, kau yang mengatur wartawan. Kau yang berusaha mencari klien. Kau
akan terlibat lebih banyak di dalam Light, seperti waktu kau kupercayakan begitu perjalanan
ke Semeru.”

Fandi menatap Irwan dengan serius.

“Kau yakin? Masalahnya aku…”

“Masalahnya kau masih baru, Fan. Percayalah, nanti kau akan terbiasa.”

Mereka saling berpandangan.

“Aku tidak bilang akan selamanya meninggalkan Light. Kuusahakan sesering mungkin
datang ke kantor,” Irwan berkata lagi.

Fandi mengangguk-angguk. Dia berpikir, agak ragu-ragu menerima tawaran Irwan.


Bagaimanapun juga, dirinya belum terlalu lama berada di kantor Light. Bagaimana mungkin
dia harus menangani tanggungjawab Irwan?

191
“Tolong sekali, Fan,” Irwan memohon. “Kalau sudah ada pendapatan, aku bisa lebih tenang
mengurus majalah ini lagi.”

Fandi mengangguk-angguk lagi. Dia menatap Irwan kemudian berkata, “Baiklah.”

“Sip!” Irwan tersenyum. “Terima kasih, Fan.”

Semuanya akan baik-baik saja, Irwan berkata dalam hati.

Irwan tak sekedar mengumbar janji. Sebelum dirinya benar-benar sibuk melakukan pekerjaan
lain, Irwan sudah berpikir keras mengenai program untuk Light. Dia berpikir saat itu ada
baiknya Light memiliki program untuk memperkuat websitenya. Menurut Irwan, dia tak ingin
lagi membebani uang Farhan untuk membuat majalah versi cetak. Lagipula sikap Farhan
belakangan telah membuatnya sedikit malas.

Ketika itu Irwan menemukan ide yang ia namakan dengan Music Review Contest. Irwan
langsung meminta semua orang berkumpul. Pengumuman meeting itu disampaikan dengan
sedikit ancaman, tindakan yang sebetulnya menggambarkan kekhawatiran dirinya sendiri
terhadap keadaan Light yang semakin menjenuhkan. Namun, ancaman itu terbukti manjur.
Semua temannya segera berkumpul.

Irwan sedang memimpin rapat untuk memperkenalkan Music Review Contest.

“Oke, kita mulai ya,” katanya sambil mengeluarkan beberapa lembar kertas. Dia meminjam
laptop milik Annisa, kemudian menghubungkannya ke layar LED 70 inch. Sejenak ia melirik
ke arah Farhan yang sedang sibuk mengetik di depan tumpukan kertas pembelian botol krim.

Dia tak menghiraukan kami, pikir Irwan. Bisnisnya pasti sedang bagus pagi ini.

“Kau tidak ikutan, Farhan?” Irwan bertanya dengan hati-hati.

Farhan menoleh agak kaget.

“Ya. Oh, ya,” katanya. “Lanjut saja. Maaf, aku dengar dari sini saja.”

Irwan menghela nafas sejenak, kemudian berkata, “Baiklah. Kalau ada saran, bilang saja ya.”

“Pasti.”

192
Irwan membuka rapat. Dia mulai menjelaskan Music Review Contest.

“Kita akan memperbanyak follower di Twitter. Program ini aku rasa cukup menantang” —
Irwan melirik ke Farhan—“mudah-mudahan bisa menghasilkan uang.”

Irwan mendapatkan ide ketika sedang memperhatikan sejumlah email yang masuk ke redaksi
Light. Dia agak terkejut begitu mengetahui ada sejumlah band baru yang menawarkan diri
untuk diulas oleh Light. Mereka mengirimkan sejarah dan profil band, juga materi rekaman
sebagai sampel.

Sebenarnya Fandi sudah beberapa kali memberitahu mengenai email-email itu. Namun saat
itu rupanya Irwan belum menganggap bahwa itu bisa menjadi peluang yang baik bagi
kemajuan Light. Setelah ia memikirkannya lagi, Irwan segera mengetahui bagaimana
memanfaatkan email-email dari band tersebut. Dia membayangkan Light akan mengulas
secara khusus band-band itu, dengan cara menyebarkan sampel lagu mereka kepada orang-
orang.

“Pendapat orang-orang yang mendengarkan sampel itu akan kita jadikan laporan di dalam
Light, dan kita akan menyarankan kepada band-band itu bagaimana seharusnya mereka
membuat musiknya. Dengan begitu kita membantu memasarkan, mengevaluasi karyanya, dan
menambah keterlibatan orang sebanyak mungkin di dalam Light,” terang Irwan panjang
lebar.

Anneke, Annisa, Dwi, Herdian, dan Fandi yang mendengarkannya terlihat mengangguk
hampir bersamaan.

“Apakah kita akan memilih semua email band yang masuk itu?” tanya Anneke.

“Semuanya. Tak peduli mereka aliran apa, kita harus membantunya menciptakan karya
terbaik,” Irwan menjawab mantap.

“Bagaimana memilih orang-orang yang akan mendengarkan dan mengulas band-band itu?”
giliran Dwi bertanya.

“Kita akan mencarinya, dari teman-teman atau keluarga. Kita akan mencari akal untuk terjun
langsung ke komunitas aliran musik tertentu sesuai aliran musik band-band tersebut.”

“Aku belum tahu kalau lagu-lagu pop-melayu ada komunitasnya …” Fandi berkomentar
seraya melipat tangan.

193
“Kalau begitu mereka pengecualian. Pop-melayu paling banyak didengarkan orang-orang
sekarang, kita bisa memilih siapa saja yang harus mendengarkan musik mereka secara acak.”
Irwan diam sejenak. “Mungkin, ABG-ABG labil di sekolah-sekolah.”

“Agak mengerikan, kelihatannya …” Herdian tergelak.

“Tidak juga,” Fandi mencondongkan tubuhnya. “ABG sangat militan di Twitter—maksudku


norak. Pasti mereka jadi booster untuk kita. Mereka tidak butuh apa-apa selain eksis,
termasuk bagaimana mereka akan melihat pendapatnya sendiri bisa masuk media.”

Rapat semakin seru, diselingi canda yang membuat semuanya terbahak-bahak dan kegelian.
Fandi menanyakan tentang hadiah kontes. Menurut Irwan, kontes itu akan dibiayai
sepenuhnya oleh band yang bersedia mengikuti program Music Review Contest.

Irwan menyebutkan secara terang-terangan bahwa untuk tujuan awal Music Review Contest
tak akan menjadi tambang emas bagi Light, tapi berguna untuk meningkatkan popularitas ke
komunitas-komunitas yang selama ini tak memiliki ruang ekspresi di media-media besar.
Irwan memberikan istilah pada komunitas-komunitas itu sebagai, “Teman-teman satu ide.
Kita sedang bermimpi tapi tak punya banyak modal.”

Ketika rapat berakhir, Farhan masih lebih banyak diam, hanya beberapa kali terlihat
memperhatikan.

“Kita akan memulainya besok,” kata Irwan saat berpamitan kepada Farhan.

“Sip!”

Dalam perjalanan pulang dengan sepeda motornya Irwan termenung-menung. Pikirannya


dipenuhi dengan segala macam hal yang dibahas pada saat rapat tadi. Inilah ide yang paling
cemerlang, ia berpikir. Farhan tak perlu mengeluarkan uang, kita bisa dapat banyak
keuntungan.

Irwan mendapatkan pekerjaan sebagai asisten peneliti di sebuah proyek bernama Master Plan
Museum Bahari. Proyek itu adalah hasil kerja sama antara Dinas Pariwisata DKI Jakarta
dengan sebuah konsultan arsitektur yang merekrut Irwan. Dia dijanjikan gaji bulanan dan
hanya masuk setiap hari Kamis untuk mengikuti rapat. Sudah tiga kali Irwan berkunjung ke
kantor itu untuk mengikuti rapat.

194
Selebihnya Irwan diminta mewawancarai penduduk di sekitar Museum Bahari. Irwan
menampung aspirasi mengenai penentuan nasib permukiman mereka. Pihak Dinas Pariwisata
DKI Jakarta menginginkan kawasan itu menjadi indah kembali seperti zaman Batavia dulu.
Oleh karena itu, permukiman semrawut tersebut harus dibenahi.

Irwan membayangkan gaji bulanan sambil terus dapat mengurus Light.

Ketika baru saja sampai di rumah usai rapat di kantor Light saat itu, Irwan mendapati sebuah
pesan di ponselnya. Besok siang dia harus berkunjung ke Museum Bahari untuk melakukan
wawancara.

“Aduh!” katanya menghela nafas. “Padahal besok Music Review Contest baru mau bergerak.”

Irwan tahu ia mudah berdalih. Proyek Museum Bahari hanya sementara dan setelah
mendapatkan uang ia akan kembali pada Light.

“Satu hari ditunda tak akan apa-apa,” katanya.

Keesokan paginya Irwan menulis pesan di grup Facebook. Ia menerangkan ada urusan yang
tak bisa ditunda, namun tak menyebutkan secara terperinci tentang urusan apa yang ia
maksud.

Besok pasti aku datang, tulisnya di akhir pesan.

Belum sepuluh menit pesan tersebut ia kirimkan, Dwi dan Anneke membalas. Besok mereka
ada kuliah.

Alternatif jadwal segera diusulkan, namun seperti biasa kini giliran yang lain tak bisa karena
kesibukan tertentu. Inilah masalah yang akrab dihadapi oleh Irwan. Dengan sedikit keluh
kesah, akhirnya jadwal pelaksanaan Music Review Contest mundur sampai minggu
selanjutnya. Beginilah kalau tak punya modal, keluh Irwan.

Irwan segera bermotor membelah Jakarta menuju Museum Bahari di dekat Kota Tua yang
penuh bangunan-bangunan warisan VOC. Museum Bahari sendiri merupakan bangunan yang
dulunya digunakan sebagai gudang penyimpanan rempah-rempah milik pemerintahan
kolonial. Bangunan tersebut masih berdiri kokoh, membuat setiap arsitek, arkeolog, dan
museolog yang hadir bersama-sama Irwan saat itu begitu terpesona. Museum Bahari kini

195
terperangkap oleh Pasar Ikan dan Kampung Luar Batang yang banyak dihuni buruh bongkar
muat barang di pelabuhan. Bahkan mereka menggunakan Menara Syahbandar, mercusuar
warisan VOC yang berada di dekat Museum Bahari, sebagai tempat tinggal.

“Mas Irwan tolong temui pihak pengelola museum ya. Tanyakan beberapa hal ini,” Burhan
Alamsyah, seorang museolog yang memiliki kumis gatot kaca, menyodorkan secarik kertas
kepada Irwan.

“Baik, Pak.”

Irwan pun bergegas menemui pihak pengelola museum di kantornya yang bersebelahan
dengan Menara Syahbandar. Ia menanyakan dengan penuh rasa ingin tahu.

Pengalaman di Light sungguh berguna, gumamnya.

Irwan menyadari ilmu jurnalistik yang ia pelajari secara otodidak selama di Light membuat
dirinya menjadi mudah untuk menggali informasi. Berkali-kali dia menjadikan pengalaman
bersama para narasumber itu untuk dijadikan pedoman jurnalistik di Light Magazine. Tiba-
tiba Irwan mengenangnya seperti sebuah hal yang baru saja terjadi kemarin sore.

Hari itu Irwan menyelesaikan pekerjaannya sampai malam hari. Dia langsung menuliskan
laporan hasil wawancara tadi lengkap dengan data-data pengunjung museum, struktur
organisasi, program satu tahun museum, dan jumlah penduduk sekitar.

Tak sampai satu jam Irwan mengirimkan laporannya, sebuah pesan singkat dari Burhan
Alamsyah di ponselnya memberitahu bahwa honor pertamanya telah dikirim malam itu juga.
Irwan berjingkrak gembira dan hampir terjatuh dari kasurnya.

“Wah, kenapa secepat ini?” ia kebingungan, tapi tetap tertawa.

Balasan pesan yang ia terima ketika menanyakan mengapa dirinya sudah mendapatkan honor
padahal baru tiga kali mengikuti rapat adalah:

Pekerjaan ini tergantung output based, Mas Irwan. Honor dibayar sesuai dengan

selesainya salah satu tahap pekerjaan.

Irwan ingin bersorak. “Betapa beruntungnya! Horeee!”

196
Kini ia tidur menghadapkan wajahnya ke langit-langit. Bayangannya untuk terus mengurus
Light Magazine kian membuatnya tak sabar. Ia bisa tenang mengurus majalah itu sambil terus
menghasilkan uang dari pekerjaan lain.

Ia berbisik kepada dirinya sendiri, Aku akan berusaha keras membangun Light,
bagaimanapun caranya.

Ketika itu di ponselnya kembali menyala cahaya merah berkelap-kelip. Sebuah pesan baru di
grup Facebook. Irwan membukanya, dan ternyata yang menulis pesan itu Farhan. Di
dalamnya tertulis Light Magazine telah bangkrut.

197
Bab 28

Pesan dari Farhan itu berbunyi demikian:

Dear teman-teman,

Sebelumnya mohon maaf karena harus mengumumkan pengumuman penting ini melalui
Facebook. Tapi berhubung kalian susah dikumpulkan, terpaksa diumumkan di sini.

Oke, pertama, aku berterima kasih sebanyak-banyaknya kepada kalian yang selama ini
sudah banyak membantu Light. Kalian adalah manusia-manusia berbakat yang punya
potensi besar. Dan semoga bisa terus berkembang lagi…

Yang kedua adalah mengenai perusahaan kecil ini. Seperti yang kalian tahu, aku
menjalankan usaha kecil-kecilan untuk membiayainya. Setiap bulan nyatanya Light
Magazine tak juga menghasilkan iklan. Kalaupun ada iklan, itu hanya gratis alias hasil kerja
sama, jadi tetap saja perusahaan tidak dapat uang.

Dari basa-basi di atas kalian pasti tahu ke mana arahnya pengumuman ini. Ya, Light
Magazine pailit alias bangkrut. Satu bulan lagi (akhir tahun) terakhir kita bisa kerja bareng.
Urusan MoU dengan para partner harus tetep kita penuhi dulu. Setelah itu, tak ada lagi
Light Magazine.

Menyangkut soal gaji, aku menunggu kalian di kantor untuk hitung-hitungan.

Big thanks

Irwan membaca berulang-ulang setiap baris pesan tersebut. Tak ada lagi Light Magazine??

Oh tidak! Irwan terpaku.

Ia terduduk dan tetap tak bisa mempercayai pesan yang baru saja dibacanya. Pailit?
Bangkrut? Irwan merasa yakin pikirannya pasti sedang kacau.

198
Senyumnya kini sirna sama sekali. Irwan merasakan seketika dunia berputar. Baru saja ia
telah sampai di titik selatan, kini justru harus dipaksa kembali ke utara. Ia membaca lagi
setiap baris email dari Farhan, perlahan-lahan, dan ia kecewa.

Kenapa harus secepat ini? Aku … Dia tak mampu melanjutkan lagi.

Farhan telah membuat keputusan tanpa pernah mengatakan apa pun sebelumnya. Sekali lagi
Irwan menatap ke layar ponselnya, tatapannya kosong, ia tak bernafas beberapa detik.
Seketika itu sebuah kekuatan besar menamparnya untuk segera sadar. Light telah bangkrut,
dan dia telah gagal untuk kesekian kalinya.

Ponselnya berbunyi, Fandi memanggil. Dengan ragu-ragu Irwan menjawabnya.

“Ya…” ia berkata lemah.

“Wan, kau sudah baca pesan Farhan di Facebook?”

“Ya.”

Fandi terdengar menarik nafas. “Aku… aku menyesal sekali.”

Sejenak keduanya berhenti bicara. Di dalam benak Irwan hanya ada berbagai hal yang
berkelebat aneh.

“Farhan tak memberitahumu sebelumnya?” Fandi bertanya kembali.

“Tidak.”

“Oh, sayang sekali. Dia cerita sedikit kepadaku beberapa hari yang lalu. Dia sangat…”

“Benarkah? Dia bicara apa?” buru-buru Irwan memotong.

“Oh ya, ya, tentu. Dia bicara tentang perjalanan Semeru. Dia sangat kecewa karena kau tak
sedikit pun membicarakan Light selama di sana. Menurutnya…”

Ya Tuhan! Irwan memejamkan mata. Dia membayangkan bagaimana semuanya terjadi tanpa
pernah ia sadari sebelumnya. Irwan menyesal, dan mencoba mulai memikirkan jika Light bisa
dipertahankan sebentar lagi, setelah Music Review Contest dilaksanakan.

“Halo? Wan, kau masih di sana?”

“Eh, ya… aku dengar kok.”

199
Fandi terdengar ragu-ragu untuk bicara lagi. “Hm… menurutku—ini cuma usul saja—
menurutku, kau harus segera menemui atau menghubungi Farhan. Meskipun, meskipun Light
tak bisa dipertahankan lagi, tidak seharusnya kalian jadi, yah, memutuskan pertemanan.”

Irwan hanya terdiam. Pertemanan…ia berkata dalam hati. Dia tak pernah memberitahuku
sebelumnya, kenapa aku harus peduli dengan pertemanan?

“Wan?”

“Ya.”

“Apa rencanamu? Kalau kau mau aku memberitahu Farhan bahwa kau mau bertemu, aku
bisa…”

“Ya,” Irwan menjawab. “Beritahu dia bahwa kau tak pernah menghubungiku.”

Telepon ditutup. Fandi terbengong-bengong. Dalam hatinya dia berkata, Ada apa dengan
orang-orang ini?

Bomo menghubungi Irwan keesokan harinya.

“Siang ini semua akan berkumpul di kantor Light. Kau bisa hadir?”

Tanpa basa-basi Irwan menjawab, “Maaf, Bom, aku ada kerjaan.”

“Oh, begitu. Baiklah, nanti kusampaikan pada yang lain.”

“Ya, terima kasih.”

Berhari-hari kemudian Irwan benar-benar tak pernah kembali lagi ke kantor Light. Ketika
Farhan mengirimkan pesan di grup Facebook tentang kerja sama dengan para klien yang
harus dipenuhi menjelang Light ditutup, Irwan hanya membacanya tanpa melakukan apa-apa.

Farhan juga memberitahu semua barang di kantor Light akan dipindahkan ke rumahnya.
Sewa kantor tidak kulanjutkan, Farhan menulis pesan.

Namun, Irwan justru menyibukkan dirinya bekerja di tempat lain. Dia mencurahkan segala
kemampuannya untuk melupakan Light.

200
Dalam hatinya Irwan terus berkata, Aku tak akan pernah gagal.

Satu-satunya pesan Irwan kepada Farhan setelah Light dinyatakan bangkrut adalah:

Bolehkah aku meminta Light? Aku akan mengurusnya bersama Herdian atau yang lain

Farhan membaca pesan itu dengan geram. “Tiba-tiba muncul untuk meminta semuanya?
Bagus sekali.” Ia pun membalas pesan Irwan tersebut.

Boleh, tapi tidak gratis. Kubanderol harga 35 juta rupiah kalau kau mau.

Irwan pun tak pernah menghubungi Farhan lagi. Keduanya berpisah dan tak pernah
mengetahui kabar masing-masing.

***

Fandi dan Herdian sedang meliput sebuah konser di kawasan Tennis Indoor Senayan. Mereka
tak bisa bergairah, karena tahu liputan itu adalah tugas menjelang hari-hari terakhir di Light.
Sesuai arahan Farhan, mereka harus memenuhi kontrak dengan para mitra kerja, salah
satunya pihak penyelenggara acara-acara konser dan yang lainnya.

Alih-alih meliput konser, mereka hanya duduk menggelosor di lantai ber-cone block sambil
memandangi panggung yang megah. Kegaduhan konser adalah kesepian mereka.

“Sayang sekali ya,” Herdian berkata dengan tatapan tak lepas dari panggung. “Menurutmu,
apa Farhan sudah bulat dengan keputusannya?”

“Kupikir sudah,” Fandi menanggapi sambil membakar rokoknya.

Herdian menoleh kepadanya, lalu berpaling. “Tahu kan, Fan, setahun belakangan ini aku
masih mahasiswa yang tak tahu apa-apa tentang memotret,” ia menunduk sambil
menggeleng. “Tapi Light membuatku bisa mendatangi konser-konser hebat. Mendapatkan
foto-foto bagus, musisi luar negeri sekalipun.”

Fandi terdiam. Wajahnya semakin tertutup rambutnya.

201
“Antara Farhan dan Irwan ada salah komunikasi,” Fandi berkata kemudian. “Itulah yang
akhirnya membuat semuanya jadi begini.”

Herdian tampak heran. Ia mau bertanya mengenai salah komunikasi seperti apa yang telah
terjadi antara Irwan dan Farhan. Selama ini, karena dia jarang datang ke kantor Light, ia
hanya tahu bahwa Farhan dan Irwan merupakan dua anak muda yang paling kompak yang
pernah ia lihat. Lama ia berpikir, kemudian memutuskan untuk tidak mempertanyakannya
lagi. Herdian mengangkat kamera DSLR-nya mendekat ke wajahnya, mengintip dari view
finder, memperhatikan komposisi gambar panggung konser, kemudian, klik! Ia pun memotret
sebuah gambar, sebuah foto terakhir yang ia hasilkan untuk Light.

“Apa rencanamu ke depan, Fan?” tanya Herdian.

Fandi menoleh dan menatapnya beberapa saat. Dia menggeleng, menghembuskan asap
rokoknya ke mana-mana.

“Menikmati konser ini, kalau bisa,” akhirnya ia berkata.

Beberapa saat kemudian, keduanya terus duduk dan terdiam sambil mendengarkan melodi
blues yang keras dan menyayat dari kejauhan.

202
Bab 29

Ketika Light telah bangkrut, Irwan tak langsung memberitahu ibunya. Dia lebih memilih
untuk memikirkan bagaimana caranya menyelamatkan ibunya yang semakin tertekan karena
hutang yang semakin bertumpuk. Irwan semakin menyemangati dirinya agar mendapatkan
sebanyak mungkin uang. Ayahnya masih kesulitan mendapatkan proyek. Oleh karena itu,
setiap kali mendapatkan uang, Irwan selalu teringat akan hutang ibunya. Hutang yang
digunakan oleh keluarga mereka untuk menyambung hidup. Hutang yang membuat Irwan
mampu menyelesaikan kuliahnya hingga meraih gelar sarjana.

Beberapa saat setelah menerima honor pertamanya dari proyek Museum Bahari, Irwan
menghubungi ibunya.

“Ma, aku sudah transfer setengah gajiku bulan ini.”

Ibunya terdengar senang dan terharu dari seberang. “Alhamdulillah… terima kasih. Kau
sedang di mana sekarang?”

“Masih di perjalanan, Ma,” jawab Irwan. “Oh ya, aku ditawari proyek di tempat lain. Aku
akan bekerja di kawasan Cengkareng dalam beberapa bulan ke depan.”

“Oh, benarkah? Pekerjaan apa?”

“Konsultan Sumber Daya Manusia, semacam itu. Aku akan menjadi asisten peneliti lagi.”

“Bagus sekali. Mama senang mendengarnya.”

“Ya,” Irwan menarik nafas. “Kalau begitu aku tutup dulu, nanti kita bicara lagi. Doakan aku
terus ya, Ma.”

“Pasti, anakku. Aku selalu mendoakan anak-anakku,” Ibunya terdiam sejenak. “Tapi
bagaimana dengan Light? Majalah itu kan seharusnya—“

“Sampai nanti, Ma,” Irwan berkata dengan terburu-buru.

“Oh—ya, ya…,” Ibunya sedikit terkejut. “Hati-hati.”

Irwan menutup telepon. Ia segera bergegas ke kawasan Cengkareng.

203
Botol krim segera menjadi obsesi Farhan. Dia mulai merombak blog tempatnya berjualan
dengan berbagai kebijakan yang sebelumnya tak pernah diterapkan oleh Light Magazine
sekalipun. Dalam bisnis di internet, Farhan menemukan cara yang cukup ampuh untuk
menarik minat pengunjung secara luas. Idenya itu ia bicarakan kepada Annisa.

“Sayang, aku ingin kau menulis artikel untuk diterbitkan setiap hari di blog botol krim ini,”
Farhan menunjukkan kepada Annisa, sebuah blog berwarna biru, menampilkan puluhan
daftar botol krim beserta harganya dan aplikasi live chat di sisi kanannya. Dia juga
mencantumkan nomor telepon dan alamat pemesanan.

“Artikel seperti apa?” Annisa bertanya.

“Begini…,” Farhan menatapnya. “Kau kan sudah pernah beberapa kali menulis artikel
kesehatan di Light. Nah, cara kerjanya hampir sama. Di sini kau juga menulis artikel-artikel
kesehatan, tapi secara khusus untuk kulit. Artikel-artikelmu itu yang akan menarik
pengunjung ke blog ini. Kita akan menembak dua burung dengan satu peluru.”

Wajah Annisa tampak bingung. “Maksudnya, sayang? Menembak…”

“Kamu tahu kan…,” Farhan melanjutkan. “Orang akan senang mendapatkan informasi
sekaligus solusi dalam waktu yang bersamaan. Artikelmu akan mengatakan berbagai macam
hal tentang kulit. Nah, di dalam blog ini pula mereka akan ditawarkan solusinya. Mereka
ditawarkan untuk membeli botol krim ini.”

Annisa mengangguk-angguk. “Oh, begitu…” dia mengamati blog yang kembali diutak-utik
oleh Farhan.

“Tapi, kenapa orang-orang harus beli botol krim ini begitu mengetahui informasi tentang
penyakit kulit? Bukankah mereka sebaiknya membeli obat?” tanya Annisa.

Farhan tersenyum mendengarnya. “Pertanyaan bagus, sayang. Kamu memang gadis paling
pintar yang pernah kukenal.”

Ia kemudian meraih tasnya, membukanya, dan mengeluarkan sebuah krim berwarna jingga
dalam bungkus plastik. Farhan juga mengeluarkan beberapa botol kecil berisi cairan.

204
“Karena aku akan mulai menjual krimnya juga, bukan botolnya saja. Ditambah lagi ini,”
Farhan mengangkat beberapa botol kecil berisi cairan tadi. “Ini serum vitamin C untuk
kesehatan kulit juga.”

Annisa semakin mengerti. Ia tersenyum cerah dan wajahnya yang putih susu mulai berubah
menampakkan kesan merah karena bersemangat.

“Aku ingin sehari terbit tiga artikel,” kata Farhan lagi. “Kamu akan kuajarkan mencari
informasi-informasi yang sedang tren di internet. Kamu juga harus punya satu portal luar
negeri yang paling kamu sukai dalam mengulas kesehatan. Sudah ada?”

“Sudah,” jawab Annisa mantap. “Aku suka Time India. Ulasannya bagus-bagus.”

“Oke. Kalau begitu mulai besok kita akan melakukannya bersama.”

Annisa mengangguk setuju. Farhan berpaling kembali menatap layar komputernya. Dalam
hati Farhan berkata, Besok semua barang seharusnya sudah dipindahkan.

“Sayang,” Annisa memanggil pelan.

“Ya?”

Annisa menunduk. Ketika mengangkat wajahnya, ia berkata,”Apakah kita tidak mengajak


Irwan turut serta? Aku kurang percaya diri dengan tulisanku.”

Farhan menatap Annisa cukup lama. Dia menghela nafas dan bersandar ke kursinya.

“Kamu tahu, belakangan ini banyak kejadiannya yang serba tak mengenakkan antara aku dan
dia…” Farhan menatap kosong ke langit-langit.

“Setelah semuanya berlalu,” kata Farhan. “Kupikir kami harus saling melupakan, entah
sebagai teman ataupun rekan.”

Annisa menatapnya dengan prihatin. “Sayang sekali…,” katanya. “Padahal persahabatan


kalian sudah cukup lama. Aku saja terkadang cemburu, bagaimana kamu lebih memikirkan
Irwan daripada aku.”

Farhan tergelak. “Benar?”

Annisa mengangguk.

205
“Percayalah, sayang, tak ada seorang pun yang menginginkan semua ini terjadi, tak ada
seorang pun yang menyangka bakal seperti ini,” Farhan menoleh kepada Annisa.

“Tapi inilah kenyataannya,” ia melanjutkan. “Semuanya telah berakhir. Aku sudah


memutuskan.”

Annisa menggigit bibirnya. “Apakah suatu hari nanti kemitraan kalian akan terjadi lagi?”

Farhan mengangkat bahu sambil menggeleng. “Mana kutahu,” katanya. “Tapi sejujurnya…”

“Sejujurnya?” Annisa memicingkan mata.

“Yah, sejujurnya… aku masih percaya dia. Dialah salah satu sahabat terbaikku.”

Suasana hening, keduanya diam. Rumah paman Frankie saat itu cukup gelap meski hari
masih siang. Farhan berusaha menampik segala macam peristiwa yang telah terjadi begitu
cepat. Dia mengingat Boy yang mengusulkan untuk menyewa rumah tersebut sebagai kantor
Light. Dia mengingat Fahmi, Bomo, dan Lutfi. Ketika di dalam benaknya melintas nama
Irwan, Farhan mulai berjuang menahan air matanya. Aku sudah membuatnya susah, Farhan
berpikir. Semoga ibunya memaafkanku …

“Kau baik-baik saja, sayang?” Annisa meletakkan tangannya ke pundak Farhan.

Farhan memejamkan mata, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Dia tak mampu
berbicara lagi.

Annisa menghela nafas. “Sahabat yang saling mencintai,” Annisa berkata. “Sahabat yang
saling mencintai adalah mereka yang tak pernah bertemu, tapi saling mendoakan satu sama
lain.”

Sejenak Annisa berhenti. Dengan lembut ia meraih tangan Farhan. “Kalian akan bersama
lagi, cepat atau lambat. Karena sejarah yang kalian usahakan sudah terbentang begitu jauh…”

Ketika Farhan menoleh kepadanya, Annisa melanjutkan, “Kita bisa melupakan seseorang,
tapi kita tak bisa melupakan sejarah, kan?”

206
Bab 30

Jakarta, dua bulan kemudian.

Irwan menghadapi suasana kerja yang lebih padat selepas Light bangkrut. Perusahaan
konsultan SDM tempatnya bekerja tak memberikan kesempatan istirahat yang cukup. Posisi
Irwan juga cukup rawan. Satu hari saja dia tak masuk kerja, dipastikan posisinya sudah
lenyap digantikan orang lain.

Pemilik perusahaan itu adalah pasangan suami isteri Tarigan bernama Ramadin dan Sahara.
Keduanya pasangan yang ajaib di mata Irwan. Ramadin Tarigan adalah sosok lembut yang
penuh humor. Menurut Irwan, dia merupakan tipe suami setia ketika harus menghadapi
istrinya yang selalu tampak panik.

Ramadin Tarigan lulus dari fakultas teknik ITB, namun berhenti dari pekerjaannya untuk
membantu istrinya yang mendirikan perusahaan konsultasi psikologi bernama PT Sahara
Indonesia.

Sahara Tarigan menempuh jenjang doktoral di Columbia University, Amerika Serikat, dan
sangat berbakat menjadi trainer SDM di berbagai perusahaan besar. Kini, dengan bendera PT
Sahara Indonesia, Sahara Tarigan mulai menjajaki proyek-proyek di lingkungan
Kementerian. Di bawah kendali wanita itu, tak boleh ada kesalahan sedikit pun dalam
pekerjaan. Satu bulan bekerja di rumah keluarga Tarigan yang disulap menjadi kantor, Irwan
melihat puluhan pegawai datang silih berganti. Biasanya, mereka hanya mampu bertahan
selama kurang lebih satu minggu. Karena jika Sahara Tarigan sudah naik pitam, orang-orang
di sekitarnya bisa langsung putus asa.

“Keparat! Setan! Sarjana tolol semuanya!” Sahara Tarigan selalu berteriak.

Jika sudah demikian, Sahara Tarigan akan melirik Irwan. “Maaf ya, Dik, aku jadi marah-
marah. Kamu tahu sendiri kan pekerjaan kita bagaimana, kalau kita kerjakan asal-asalan,
bisa-bisa seterusnya kita tak bisa dipercaya lagi oleh klien.”

Irwan tersenyum kecut. “Ya, Bu.”

“Klien kita itu semuanya instansi pemerintah lho, Dik, kamu tahu kan? Bisa kacau kalau kita
main-main. Klien kita itu orang-orang paling berkuasa di negara ini.”
207
Irwan hanya mengangguk dan melanjutkan pekerjaannya. Apa gunanya takut dengan
pejabat-pejabat itu? Dalam hati dia bertanya.

Sahara Tarigan berjalan menghampiri rak berisi folder-folder hasil penelitian dan modul
pelatihan SDM. Dia mencari sesuatu dengan terburu-buru.

“Aduh, setan! Ditaruh di mana sih!” Ia menarik beberapa folder besar dengan kasar.

Irwan menarik nafas dalam-dalam. “Ibu cari apa?”

“Modul ‘Strategi Memenangkan Account’, Dik. Si Rina yang terakhir pakai modul itu,”
Sahara Tarigan menjawab. “Brengsek dia! Bukannya dikembalikan ke tempat semula lagi.”

Mulutnya tak pernah sekolah, Irwan berpikir. “Dua hari yang lalu Ibu meletakkannya di sana,
rak perpustakaan.”

“Masa?” Sahara Tarigan bergegas ke perpustakaannya.

Rumah keluarga Tarigan memiliki tiga bagian utama. Garasi dan ruang tengah keluarga
adalah kantor, dengan beberapa meja dan komputer. Hanya ruang makan yang tak diisi
dengan peralatan kantor. Kamar anak satu-satunya yang sedang studi di ITB juga digunakan
sebagai ruang kerja. Mereka memiliki satu orang pembantu rumah tangga bernama Nurlaela,
yang harus memandikan anjing Doberman hitam sebesar kambing dewasa di halaman depan
rumahnya setiap hari. Setiap kali ada tamu yang baru masuk melalui pagar, anjing itu
menggonggong dengan keras, dan bau amis segera menyeruak ke hidung setiap yang
melewatinya.

“Bang, Bang!” Sahara Tarigan memanggil suaminya. “Sini tolong sebentar.”

Ramadin Tarigan datang dengan terseok-seok dan bungkuk. Wajahnya yang persegi kelihatan
lebih tua dengan beberapa helai uban di rambutnya.

“Apa, Dik?” Ramadin bertanya.

“Cepat bawa tangga ke sini! Bantu aku kenapa sih! Dari pagi kerjanya baca koran saja!”
teriak Sahara.

Setiap kali menghadapi istrinya yang meledak-ledak, Ramadin Tarigan tetap bergaya santai
seolah tak sedang terjadi apa-apa. Dalam beberapa kesempatan makan siang, dia pernah

208
berkata kepada Irwan, “Sahara itu serba bisa. Tapi kekurangannya selalu panik, dan dia tak
pernah bisa mengontrol mulutnya jika sudah begitu.”

Seorang pegawai pernah berkata kepada Irwan, “Aku bingung. Semua perintah datang
bertubi-tubi, ‘Ambil itu! Mana hasil yang tadi? Coba bantu aku sebentar kemari!’ akhirnya
tidak ada yang beres. Dia marah dan aku muak.”

Pegawai itu tak pernah kembali lagi setelah dua hari bekerja.

Namun demikian, Irwan tahu cara yang paling tepat agar Sahara Tarigan tak bisa
memarahinya. Ketika Sahara Tarigan terkagum-kagum karena semua perintahnya kepada
Irwan mampu dilaksanakan dengan sangat memuaskan, Irwan memutuskan untuk bekerja
paruh waktu tanpa pernah mau menjadi pegawai tetap di PT Sahara Indonesia.

Pada suatu hari Sahara Tarigan mendatangi Irwan yang sedang bekerja di mejanya.

“Kamu sedang apa, Dik?” Sahara Tarigan bertanya.

Irwan menoleh. “Menulis bahan presentasi besok buat ke klien, Bu.”

“Ooooh…,” Sahara mengangguk. “Bisa tidak, Dik, kamu bantu aku dulu sebentar saja.”

Mana mungkin kutolak, kan? Irwan berkata dalam hati. “Apa itu, Bu?”

“Kamu lihat video wawancara ini, Dik. Kamu tuliskan inti dari percakapannya. Bisa?”

“Bisa.”

Sahara Tarigan menatap jam tangannya. “Boleh kuminta dua jam lagi?”

“Baik, Bu.”

Sahara Tarigan tersenyum senang. “Luar biasa. Aku tunggu ya.”

Setelah satu jam Irwan sudah menemui Sahara Tarigan lagi. Sambil terkagum-kagum, wanita
itu membolak-balik laporan Irwan tentang wawancara assessment di sebuah Kementerian.

“Hebat sekali, Dik! Perfect!”

Irwan mengangguk pelan. “Terima kasih, Bu.”

209
Ketika Irwan baru saja berpaling, Sahara berkata kembali, “Lebih baik kamu jadi pegawai
tetap di sini, Dik.”

Irwan menoleh, “Akan kupikirkan, Bu.”

“Masalahnya,” Sahara Tarigan berdiri. “Aku suka orang yang bisa paham dengan cepat apa
yang kuperintahkan tanpa banyak bertanya lagi. Kamu bisa itu, Dik. Pegawai lain terlalu
lambat.”

Irwan diam memperhatikan.

“Nanti aku sediakan gaji bulanan dan insentif, bagaimana, Dik?”

Dalam benak Irwan melintas perbincangan dengan Riska di One Hear Vision dulu. Aku akan
menyebutkan empat juta rupiah… Itu akan menjadi milikmu setiap bulan jika bekerja di
sini…

Irwan menatap Sahara Tarigan, sosok wanita tegap yang wajahnya selalu memerah karena
amarah. Kaus putih polos yang dikenakannya tak mampu menyembunyikan lipatan lemak
tubuhnya. Dia hanya sopan di depan orang yang tidak setia kepadanya, Irwan berucap dalam
hati. Aku bisa menolongnya, tapi tak bisa setia kepadanya.

“Aku masih ada kontrak di majalah, Bu. Untuk sementara waktu, kupikir freelance saja di
sini.”

Sahara Tarigan tampak lesu. “Kalau kontrak sudah habis, pertimbangkan ya.”

“Ya,” Irwan mengangguk. “Dan sekarang aku permisi dulu.”

210
Bab 31

Pada sebuah pagi, Irwan sedang duduk di samping Sahara Tarigan. Wanita itu tak
menginginkan Irwan beranjak dari sisinya. Irwan patuh dan terus berharap dalam hati dia bisa
memenuhi harapan wanita itu. Demi mencicil hutang-hutang Mama, Irwan berkata dalam
hati.

Ketika Sahara Tarigan mengeluarkan semua berkas dan keperluannya, dia mengetik dengan
kecepatan penuh.

“Tolong lihat Dik, kamu bacakan.”

Irwan mencari-cari berkas dari setumpuk surat perusahaan, kontrak kerja, profil pegawai, dan
laporan keuangan tahunan maupun pajak. Pagi itu mereka berada di salah satu instansi
pemerintah di kawasan Halim Perdanakusuma, Jakarta, untuk mengikuti tender sebuah
proyek.

“Aduh, apa ya password-nya, lupa aku,” kata Sahara Tarigan.

Irwan memberitahu dengan ragu-ragu. “Management Consulting?”

“Oh iya!”

Irwan diam di samping Sahara Tarigan. Padahal semalam dia memberitahuku, katanya dalam
hati.

Aneh bukan buatan, menurut Irwan, begitu Sahara Tarigan memberikan nama pengguna dan
kata sandi untuk mengakses informasi-informasi tender di instansi pemerintah kepadanya. Di
sana ada berbagai macam informasi proyek dengan biaya berbilang ratusan hingga milyaran
rupiah. Irwan mengamati keseluruhan proyek itu. Banyak yang jangka waktu kerjanya tak
lebih dari satu tahun. Hampir semuanya bilangan bulan.

Waktu itu Irwan berpikir, Enak juga mendapatkan proyek seperti ini. Irwan melihat beberapa
kontrak kerja. Ada yang bernilai sampai 1 milyar rupiah dengan jangka waktu kerja hanya
tiga bulan!

Setelah menuliskan kata sandi yang disebutkan Irwan, Sahara Tarigan mengucap lega,
“Aah… untung ada kamu Dik!”

211
Irwan mengangguk saja seperti biasanya.

Tugas Sahara Tarigan selanjutnya adalah mengunggah segala keperluan yang disyaratkan
untuk memenangi tender. Irwan membantunya memasukkan seluruh informasi PT Sahara
Indonesia dengan teliti. Berulang kali Sahara Tarigan kebingungan, membuat Irwan
menggeram dalam hati. Sebenarnya pekerjaan ini tak lebih dari tugas anak sekolah yang
ingin mendaftarkan diri, Irwan berkata dalam hati.

“Aku baru pertama kali nih, Dik, mengerjakan e procurement ini,” Sahara Tarigan berkata.

Irwan menatapnya. “Memang sebelumnya siapa, Bu?”

“Pak Haryono.”

“Oh begitu.”

“Iya, karena itu aku butuh bantuan kamu, Dik. Aku—yah, kau tahu, begitulah… gagap
teknologi.”

Proses mengunggah berlangsung cepat sesuai dugaan Irwan. Berkali-kali Sahara Tarigan
menelpon seseorang, berbicara panjang-lebar, dan Irwan kemudian tahu bahwa orang yang ia
ajak bicara itu adalah Pak Haryono yang sejak tadi disebut-sebut.

Dengan penasaran Irwan mengikuti obrolan mereka, terutama ketika orang yang disebut Pak
Haryono itu begitu antusias membantu Sahara Tarigan dengan penuh tanggung jawab.

“Oh, belum toh, Mas? Tapi kok di sini aku sudah mengunggah lho. Kenapa bisa belum?”
Sahara Tarigan bertanya kepada Pak Haryono di teleponnya.

Ada beberapa berkas yang belum masuk, demikian Irwan menyimpulkan.

“Oh, begitu. Oke, terima kasih banyak, beribu-ribu terima kasih Maskuuuu …,” ujar Sahara
Tarigan.

Telepon ditutup.

“Yuk, Dik. Kita sudah selesai. Nanti berkas yang belum akan dibantu Pak Haryono,” katanya
lagi.

Ketika keduanya sedang merapikan berkas-berkas yang sudah tak karuan letaknya, Irwan
bertanya, “Memang Pak Haryono itu sedang di mana, Bu?”

212
Sahara Tarigan memandang Irwan, tersenyum dan mengesankan kehangatan. “Dia sedang di
luar kota. Sebenarnya dia orang sini yang selalu membantu kita, Dik.”

Irwan membulatkan mulut, tak bersuara. Kemudian, dengan hati-hati bertanya sekali lagi.

“Kalau sudah diurus orang sini, tenang dong kita ya, Bu?”

Sahara Tarigan mengangguk. Irwan berpura-pura menyibukkan diri agar pertanyaannya


barusan terkesan hanya selewat saja. Irwan membungkuk, mencabut hard disk portable, dan
agak terkejut begitu melihat sebuah benda di atas CPU milik ruang tender instansi pemerintah
itu; joystik game! Siapa yang… Irwan berpikir, Kok sempat-sempatnya bawa ini ke tempat
kerja?

“Perusahaan kita sudah kuat di sini sebelumnya, Dik. Jadi, tenang saja sebenarnya,” kata
Sahara Tarigan mengusik perhatian Irwan kepada joystik game di atas CPU tersebut.

Lagi-lagi Irwan cuma menjawab, “Oh.”

Sahara Tarigan berjalan, Irwan berjalan, mereka keluar dari ruangan dingin penuh komputer
itu. Sesekali mereka bertatap-muka dengan pegawai berseragam hijau, perempuan atau pria,
semuanya bersalaman dengan Sahara Tarigan, bertanya kabar, saling mencitra dalam
senyum. Mereka selalu berbicara agak membungkuk, tanda hormat. Irwan tak bisa
menghitung lagi, berapa orang di dalam gedung ini yang sebenarnya mengenal Sahara
Tarigan.

Irwan memperhatikan jejak langkah Sahara Tarigan yang selalu penuh kemenangan. Sebagai
konsultan psikologi, dia terbiasa menebar kecemasan orang-orang, pegawai negeri yang atas
maupun bawah; banyak yang merasa terancam dengan setumpuk kertas bercetak nilai
perilaku dan kompetensi kerja dari Sahara Tarigan.

“Kamu minggu ini sibuk di mana, Dik?” Sahara Tarigan bertanya.

“Tidak ada, Bu. Penelitian museum sudah hampir selesai. Minggu ini sepertinya tidak ada
pertemuan.”

“Iya. Kamu di sini saja dulu ya, sama saya bantu proyek barusan.”

Tender tadi, Irwan menyimpulkan.

“Jadi, tender itu harus lima perusahaan Dik, minimalnya.”

213
“Oh, begitu ya, Bu.”

“Iya. Jadi, kemungkinan unggah berkas tadi bakal diulang karena tidak ada lima perusahaan
yang ikut tender. Nah, selanjutnya kamu nanti membantu aku jadi wakil dari perusahaan
temanku, Dik. Kita maju sama teman-teman yang lain, beda-beda perusahaan.”

Irwan diam saja, tak mengerti sama sekali.

Sahara Tarigan melanjutkan, “Kita akan bertanding nanti, Dik, dengan bendera masing-
masing.”

Sahara Tarigan menoleh.

“Kamu cocok, Dik, karena belum banyak orang yang hafal wajahmu di sini.”

Irwan hanya mampu melihat punggung Sahara Tarigan ketika wanita itu berkata, “Aku ingin
kau bekerja seterusnya di sini, Dik.”

Irwan bergeming. Mereka terus berjalan, menuruni gedung dengan lift. Entah bagaimana
Irwan enggan membuka mulut, terus berjalan. Tawaran kerja tersebut tak langsung Irwan
pikirkan, tapi … akan diulang … harus ada lima perusahaan … kamu maju … jadi salah
satu wakil … berputar-putar di kepala Irwan.

Maju ke mana? Perusahaan apa? Kenapa aku harus bertanding? Irwan bertanya-tanya.

Tiba-tiba dia sudah berada di mobil Sahara Tarigan, termenung-menung dengan pandangan
keluar jendela. Gedung pemerintah yang mereka kunjungi tadi semakin kecil. Ada perasaan
yang membuat nafas Irwan memburu. Dia hampir mengeluarkannya keluar dari mulut, tapi,
untungnya hanya tercatat dalam hati: R-E-K-A-Y-A-S-A!

Itu benar-benar jelas! Hal yang dikatakan Sahara Tarigan kepadaku barusan adalah upaya
merekayasa tender. Aku dan beberapa orang lagi yang disebut Sahara Tarigan tadi sebagai
“teman-teman kita” itu akan “bertanding”, agar kemenangannya terhadap tender sah
secara prosedur.

Irwan memijit-mijit keningnya. Dia sangat kebingungan. Kenapa sampai harus mengadakan
rekayasa pertandingan seperti itu? Keinginan Sahara Tarigan? … Tapi, Irwan lebih berpikir
inilah aturan main yang dibuat oleh mereka, pemegang-pemegang jabatan kenegaraan itu.
Tidak ada tender, bahkan sebenarnya tidak ada proyek. Irwan mengingat-ingat daftar proyek

214
pemerintah tadi; pembuatan papan reklame, pengadaan lahan parkir, pengadaan barang …
Apa sebenarnya itu semua?

Pak Haryono … Pak Haryono si makelar … nama itu tiba-tiba melintas di kepala Irwan.

Ketika mobil terus membawanya membelah kesibukan kota Jakarta, Irwan berkata dalam
hati, Aku tak mau jadi koruptor!

Sepanjang perjalanan pulang itu Irwan terus merenung dan sangat merindukan Light.

215
Bab 32

Sore hari menjelang tahun baru, Irwan menginap di rumah Sahara Tarigan untuk
menyelesaikan setumpuk laporan proyek. Waktu bergulir dengan cepat, sehingga ketika
langit telah gelap, Irwan tak begitu menyadari bunyi-bunyian petasan telah bergema di luar.

Pasangan Tarigan menemui Irwan di garasi. Keduanya telah berdandan dengan rapi. Ramadin
mengenakan kemeja putih berlengan pendek, menyisir rambutnya yang sedikit kelabu hingga
ke belakang. Bersamanya Sahara Tarigan mengenakan terusan berwarna ungu dan sejumlah
perhiasan mencolok di lehernya. Keduanya sumringah ketika melihat Irwan.

“Hai, Dik,” Sahara Tarigan menyapa riang. “Kita tinggal dulu ya. Kamu mau pesan apa? Kita
mau belanja buat hidangan tahun baru.”

“Ehm…, apa ya?” Irwan kebingungan menjawabnya. “Terserah Ibu saja.”

Sahara Tarigan tersenyum. “Oke, kalau begitu.”

Di belakangnya Ramadin Tarigan mengelus-elus perutnya. “Jangan lupa bikin kopimu,


Irwan. Suruh Nurlaela, ya.”

“Iya, Pak.”

Keduanya lalu pergi. Irwan melihat mobil mereka berbelok keluar dari halaman rumah.

“Mas Irwan mau kopi?” Nurlaela tiba di ujung pintu garasi.

Irwan menoleh. Pembantu itu berusia menjelang 30, namun Irwan melihat sejuta alasan
mengapa perempuan itu memiliki wajah lebih tua dari sebenarnya. Rambutnya kusam, kusut
di balik daun telinganya. Air mukanya begitu lelah.

“Nanti saja, Mbak, aku bikin sendiri.”

Pembantu itu menunduk dan segera minta diri. Ketika pembantu itu berjalan tanpa suara,
Irwan memanggil, “Mbak.”

Pembantu itu langsung berbalik dengan cepat. “Dalem, Mas.”

216
Irwan menatap sebentar kepadanya. Rasa iba tiba-tiba muncul di dadanya. Dia pasti jauh dari
keluarganya di kampung.

“Ada apa, Mas?”

Irwan terkesiap. “Oh, tidak. Aku mau mengobrol sebentar,” kata Irwan. “Aku mau tanya
tentang ibu, kelihatannya dia sangat kasar kepada pegawai-pegawainya.”

Nurlaela langsung menengok ke kanan-kiri, seperti memastikan tak ada yang mengawasi
sekelilingnya.

“Itu dia, Mas,” Nurlaela berkata pelan. “Ibu memang orangnya seperti itu. Kalau kubilang,
sih, seperti bayi, apapun maunya harus dipenuhi.”

Irwan mengangguk-angguk. “Mbak sudah berapa lama kerja di sini?”

“Aku? Aku sudah enam bulan, Mas. Kata orang-orang aku ini satu-satunya yang paling lama
lho. Pembantu yang sebelumnya paling cuma bisa bertahan dua minggu. Ya, karena ibu
orangnya seperti itu sih.”

“Terus, kenapa Mbak bisa lama daripada yang lain?”

“Aku masih lihat Bapak, Mas,” wajah Nurlaela langsung muram. “Sebenarnya aku sudah
mau pergi sejak bulan pertama, tapi Bapak menahanku. Dia bilang, ‘Kalau kau tidak ada,
Nur, semuanya bakal hancur’, begitu, Mas. Bapak kasih aku gaji tambahan tanpa bilang ke
Ibu.”

Irwan menatap wajah sayu di depannya itu. Wajah khas perempuan Jawa yang penuh
kesabaran menanggung beban hidup yang teramat berat. Wajah yang ikhlas karena tahu tak
pernah berdaya menghadapi kesewenangan orang kaya. Wajah yang kalah, tapi tak mau
menyerah.

Irwan berkata, “Aku kan beberapa kali juga ada di sampingnya, kalau Ibu sedang marah-
marah ke Mbak Nur. Menurutku, orang tua Mbak Nur pun tak boleh menghina seperti itu.
Aku ingat sekali, Ibu pernah memaki Mbak Nur dengan sebutan ‘bodoh’, ‘tidak becus’, dan
sebagainya. Aku—walaupun bukan aku yang dimarahi—tetap saja dadaku sesak begitu
mendengarnya.”

217
Nurlaela merasa hanyut dalam haru. Upayanya memendam keluh kesah karena tak pernah
ada teman berbagi selama ini mulai luluh. Isak tangisnya memenuhi ruangan malam itu.

“Itu semua masih biasa saja, Mas,” Nurlaela berjuang menahan tangisnya yang semakin
deras. “Aku ini mengurus rumah tangga sekaligus kantor. Ibu tak pernah mau mengerti.
Kalau aku tidur sebelum dia tidur, aku dibangunkan. Katanya waktu itu, ‘Hebat ya kamu,
majikan belum tidur kamu sudah enak-enakan tidur!’ Dini hari aku seringkali diminta
menyapu, memijit, membuat teh manis, dan harus bangun sebelum shubuh.”

Irwan menelan ludah. Pertama kali dia menginap di rumah Sahara Tarigan, dia memang
melihat Nurlaela masih menggosok timbunan pakaian padahal jam sudah menunjukkan pukul
satu dini hari.

“Mbak tidak ingin pergi dari sini?” Irwan bertanya kembali. Dia merasa tak sabar.

Nurlaela menghela nafas, tampak bingung dan semakin sedih. “Rencanaku bulan depan, Mas,
kalau suamiku sudah dapat pekerjaan.”

“Suami Mbak ada di Jakarta juga?”

“Iya, Mas. Kadang suka main kemari.”

Nurlaela menarik nafas dan menyeka air matanya. “Aku mau buktikan, Ibu pasti kerepotan
kalau aku tak ada.”

Irwan terpaku menatap Nurlaela. Dia menderita sekali, pikirnya. Seandainya aku bisa
memperkerjakan seseorang… dan Irwan segera mengingat Light. Betapa menyenangkan jika
dia punya bisnis sendiri sehingga bisa memperkerjakan orang-orang seperti Nurlaela. Orang-
orang yang gigih dan patuh. Orang-orang yang seharusnya disayangi oleh atasan mereka
karena baktinya yang begitu besar, namun selalu dipandang sebelah mata.

Irwan mengangguk ketika Nurlaela meminta diri untuk kembali ke dapur. Dulu, Irwan
berucap dalam hati. Dulu Farhan pernah bilang, ‘Walau hidup kita miskin, yang penting kita
berguna buat orang lain.’

Itu kalimat yang Farhan katakan untuk menyemangati teman-teman di Light Magazine.
Namun Irwan terpaksa mengakuinya, menjelang tahun baru malam itu, Light Magazine akan
segera ditutup. Semuanya telah berakhir.

218
Irwan berpaling kepada layar komputernya. Dia membuka website Light Magazine. Saat itu
halaman yang muncul di hadapannya adalah:

Sorry, This Page Doesn’t Exist Anymore.

Irwan menekan refresh. Tak ada perubahan.

Sekali lagi ia menekan refresh, dan segera saja wajahnya menunduk, menahan penyesalan
yang teramat dalam. Derai air mata mengalir hangat di sudut matanya.

Maafkan aku, Irwan menekan giginya. Maafkan aku, teman-teman…

Setelah termenung panjang, Irwan menatap layar komputernya kembali dan membuka
rangkaian pesan di grup Facebook Light Magazine. Dia mulai mengetikkan pesan
terakhirnya.

Dear semua,

Aku minta maaf tak pernah muncul lagi sejak pengumuman Light bangkrut. Aku sibuk.
Kesibukan ini karena pengumuman Farhan tentang ditutupnya Light Magazine yang
sejujurnya, susah kuterima. Aku sempat tertekan hampir satu minggu karena memikirkan
akan ke mana lagi setelah ini semua. Aku belum pernah bisa mengakui kegagalan.

Dari Light Magazine ini aku paham. Ternyata aku harus belajar menerima kegagalan betapa
pun pahitnya itu.

Teman-teman, tinggal hitungan jam sampai Light Magazine resmi ditutup. Sekali lagi aku
minta maaf dan terima kasih yang banyak kepada kalian, khususnya Farhan. Maaf, aku tak
mampu mempertahankan majalah kita, perusahaan kita. Aku banyak belajar dari Light,
mudah-mudahan kalian pun begitu, dapat ilmu dan pengalaman yang berguna.

Sampai bertemu lagi di lain kesempatan. Keep inspiring!

Cengkareng, 31 Desember

219
Selesai menulis pesan itu, Irwan mengemasi barangnya. Nurlaela menyadari dan keheranan
melihat Irwan.

“Mas Irwan mau ke mana?” Nurlaela bertanya.

“Aku mau pulang, Mbak. Tolong nanti sampaikan ke Bapak dan Ibu Tarigan. Laporannya
sudah kuselesaikan semua.”

Nurlaela semakin keheranan. “Bukannya Mas Irwan mau makan malam di sini?”

Irwan menggeleng dan tersenyum. Dia menoleh, “Tidak jadi, Mbak. Teman-temanku
menunggu di Pamulang.”

Ketika Irwan keluar membuka pagar, mendorong sepeda motornya, Nurlaela mengiringinya.
Di balik helm-nya Irwan menoleh kepada Nurlaela.

“Mbak, rezeki ada di tangan kita dan Tuhan sudah mengaturnya. Kita tak perlu membiarkan
diri kita menderita hanya karena seseorang bisa membayar kita.”

Nurlaela mengernyitkan dahinya.

“Selamat tinggal, Mbak Nur.”

Irwan pun bergegas memacu sepeda motornya.

220
Bab 33

Sudah lebih dari tiga minggu Irwan tak kembali ke rumah keluarga Tarigan. Awalnya dia
mengatakan bahwa dirinya sakit ketika menjawab telepon dari Ramadin Tarigan. Tak lama
kemudian, setiap kali telepon dari keluarga Tarigan memanggilnya, Irwan tak pernah
menjawabnya lagi.

Ibunya kembali cemas melihat Irwan hanya di rumah saja selama berhari-hari. Irwan
mengatakan kepadanya, “Aku mau pindah pekerjaan, Ma.”

Irwan menceritakan kepada ibunya bagaimana menyebalkannya Sahara Tarigan, meskipun


Ramadin, suaminya, membuat dirinya cukup betah dengan lelucon-leluconnya.

Namun, sebenarnya Irwan tak pernah mencari pekerjaan. Kegiatannya setiap hari di hadapan
komputer adalah mengumpulkan tulisan-tulisan yang pernah ia buat selama di Light
Magazine. Dia juga membuat tulisan-tulisan baru mengenai beberapa inspirasi yang ia
pikirkan ketika bekerja di PT Sahara Indonesia. Semuanya ia terbitkan di dalam blog
pribadinya.

www.irwantriawan.com, Irwan menamakan blog-nya sendiri. Dia langsung mengabarkan ke


beberapa temannya, termasuk Fandi, Herdian, Bomo, Fahmi, dan Lutfi. Semuanya
menyemangati. Irwan merasa puas, namun tetap cemas. Masalahnya, bagaimana dia bisa
mendapatkan uang hanya dengan menjalani blog pribadinya?

Seketika Irwan mendengar pintu rumahnya diketuk. Dia menampik berbagai pikiran yang
berkelebat di kepalanya dan berjalan menghampiri pintu dengan malas. Ketika ia membuka
pintu, Farhan berdiri di hadapannya.

Selintas anak itu tersenyum, menatap Irwan. “Hai,” ia menyapa.

Irwan terkejut, ia tampak tak bisa menyembunyikan rasa canggungnya. Siapa menyangka
Farhan akan menemuinya kembali?

“Hai—“ Irwan tak sadar bahwa dia menarik nafas, mengamati Farhan sampai ke bawah.
“Kau…”

Farhan mengangguk. “Malam, boleh aku masuk?”

221
Irwan menjadi semakin gugup. Ia menelan ludah. “Oh, iya, ayo masuk.”

Malam itu Farhan tampak leluasa dengan celana jins pendek dan kaus putih. Wajahnya
tenang meski sama seperti halnya Irwan, sulit menyembunyikan kecanggungan. Di benaknya
memikirkan segala hal untuk memulai percakapan. Hubungan pertemanannya dengan Irwan
lebih beku daripada yang pernah ia bayangkan.

Keduanya telah duduk berhadapan. Irwan segera bersikap spontan, “Aku ambil minum dulu,”
ia berkata.

“Kopi hitam saja,” Farhan buru-buru mengusulkan. Ia berusaha sebaik mungkin agar
terdengar seperti bercanda.

Irwan tergelak seraya mengangguk. “Seperti biasa, malam ini bakal panjang.”

Farhan tersenyum sampai memperlihatkan giginya.

Lima menit kemudian Irwan datang dengan dua cangkir berisi kopi panas. Asapnya
mengepul di antara pandangannya kepada Farhan. Menghangatkan kebekuan mereka. Aku tak
bisa berbohong, Irwan berkata dalam hati. Aku senang melihat dia kembali.

Farhan terlihat sedang memeriksa ponselnya ketika Irwan meletakkan cangkir berisi kopi di
dekatnya. Irwan duduk, dan Farhan langsung menyimpan ponselnya ke dalam tas kecil yang
ia gelayutkan di bahunya.

Irwan menatap Farhan. “Aku tidak dengar suara sepeda motor.”

Farhan tersenyum sebentar. Ia meraih cangkir berisi kopi dan meniupnya beberapa kali,
kemudian menempelkan ujung bibirnya ke cairan berwarna pekat itu.

“Biasanya aku hafal suara sepeda motormu,” Irwan berkata kembali.

“Ya,” Farhan meletakkan cangkirnya. “Sekarang lebih baik kau menghafalkan suara
mobilku.”

Irwan memicingkan mata. “Mobil?”

Farhan tersenyum, mengangguk.

“Kau sudah beli mobil? Benarkah? Hebat!”

222
Farhan mengeluarkan sebatang rokok dari bungkus dan membakarnya. “Alhamdulillah,
rezekiku sedang bagus.”

Irwan menggeleng-gelengkan kepala. “Wah, keren, Farhan! Kau benar-benar…”

Farhan langsung mengibas tangannya. “Biasa saja,” katanya. “Omong-omong, bagaimana


kesibukanmu?”

Irwan menarik nafas, diam sejenak. Ia tertawa geli sendiri.

Farhan keheranan. “Kenapa?”

“Kau tak akan percaya,” Irwan menjawab. “Aku baru saja keluar dari pekerjaan konsultan
dan sekarang sedang membuat blog pribadi.”

Kedua alis Farhan langsung terangkat. “Wow, hebat!” Ia mengangguk-angguk,


menghembuskan asap rokoknya ke segala arah. “Kenapa dengan pekerjaan konsultan?”

Irwan berpikir sejenak. Banyak alasannya, ia bergumam. “Panjang ceritanya, mungkin kau
akan bosan mendengarnya nanti. Aku tidak betah di sana.”

Farhan mengamati Irwan beberapa saat. Sudah berapa bulan sebenarnya ia tak pernah
bertemu dengan sahabatnya itu? Perasaannya seperti meyakinkan bahwa mereka sudah tidak
bertemu selama bertahun-tahun. Diam-diam Farhan lumayan lega melihat Irwan lagi.

“Jadi, rencanamu selanjutnya apa dengan blog itu?” Farhan bertanya.

Irwan mengelus-elus dagunya. “Banyak. Aku…,” ia tergelak. “Aku terus-terusan mengingat


Light. Aku sering menunda beberapa pekerjaan di konsultan, kemudian menulis sebebas-
bebasnya, mengumpulkan lagi artikel-artikel yang kutulis waktu di Light dulu.”

Farhan mengangguk-angguk. Ia menatap Irwan dengan pandangan serius sekaligus terharu.


Dia belum bisa melupakannya, pikir Farhan.

Beberapa saat kemudian Farhan menghela nafas. Ia berkata, “Wan, pastikan semuanya serius,
jangan setengah-setengah. Kau mau jadi blogger sejati? Itu bisa mendatangkan kesuksesan
untukmu. Kerjakan sepenuh hati, tinggalkan semua yang cuma buang-buang waktumu.
Jangan lagi kau ragu-ragu, karena pasti ada jalan, entah kapan dan bagaimana pun caranya.”

223
Keduanya terdiam. Irwan mengaduk-aduk kopinya, melarutkan segala perasaan yang ingin ia
sampaikan. Ia berjuang melepaskan kegalauan bahwa kini dirinya harus berusaha seorang diri
menentukan masa depannya, tanpa keberanian Farhan—kenekatan sahabatnya itu—yang
berkali-kali membuat Irwan merasa berani menghadapi berbagai tantangan. Blog itu bukan
Light. Blog itu adalah anak kreasinya sendiri. Apakah blog itu akan berhasil? Ia tak tahu.

“Kau tahu,” suara Farhan memecahkan keheningan. “Bulan depan aku akan melamar Annisa
di Bandung. Aku berharap kau mau datang.”

“Kau—“ sepintas Irwan tak bisa mengungkapkan apa-apa. Wajahnya mendadak menjadi
berseri-seri. “Berita bagus! Oh, akhirnya…,” Irwan tersenyum senang. “Kau semakin
membuatku iri saja.”

“Kau akan melebihi diriku yang hari ini,” Farhan menegaskan. Ia menghisap rokoknya
dalam-dalam, kemudian melanjutkan. “Aku ceritakan padamu, bagaimana selama ini aku
mencambuk diriku sendiri.”

Irwan langsung menatap serius.

Farhan berkata, “Aku telah melepaskan segala keraguan. Aku meyakinkan bahwa semua
yang kupikirkan, kurencanakan, akan terjadi dengan doa dan usaha. Nah, aku tahu dari
pengalaman-pengalamanku, kalau kita semakin banyak memberi, kita akan meraih lebih
banyak. Oleh karena itu, kusarankan padamu, memberilah ketika kau sedang bangkrut. Itu
lebih membahagiakan,” Farhan menarik nafas. “Yah, pada akhirnya kita perlu merasakan
kelaparan yang benar-benar gila. Kau akan berpikir, apakah saatnya kau akan menjadi
maling, atau mati kelaparan. Pada saat itulah otak dan hatimu berbincang. Keduanya akan
mengantarkanmu memilih jalan dengan keyakinan yang sesungguhnya.”

Ketika Farhan menjeda perkataannya, Irwan merasa seisi ruangan menatapnya.

“Kalau kau mau sukses, Wan, bertaruhlah,” Farhan melanjutkan. “Tidak ada orang yang akan
ragu-ragu dengan apa yang ia pertaruhkan.”

Irwan hanya bisa terpaku memperhatikan Farhan. Tatapannya lurus tajam.

Farhan melanjutkan berkata, “Kau sudah gagal di Light, jangan sampai terulang lagi.”

Irwan mendengar dengan setengah percaya. Begitu cepat semuanya berubah, begitu cepat
semuanya kembali. Bagaimana jika sejarah akan berulang? Bagaimana jika ia gagal lagi

224
seperti waktu masuk SMA dulu, seperti saat Light? Satu sisi hati Irwan juga bertanya-tanya,
mungkin saja kali ini Tuhan benar-benar menunjukkan jalan sebenarnya untuk dia, inikah
waktunya dia akan berhasil?

Di hadapan Irwan sedang menganga sebuah misteri masa depan. Kembali lagi dia harus
memutuskan untuk melangkah. Mundur, maju, perdebatan batin yang selalu ia hadapi.
Pengalaman hidup mengenai kegagalan telah membuatnya ciut. Setiap kali aku memutuskan,
Irwan bergidik memikirkannya. Aku selalu gagal,

Sejurus kemudian, Farhan berkata kepadanya kembali. “Sadarlah, Wan, di belakang


kesuksesan besar ada ratusan kegagalan.”

Irwan mendongak. “Ya,” katanya mengangguk-angguk. “Inilah saatnya bertaruh kembali.”

Malam itu satu keputusan lagi akan mengubah segalanya.

225
Epilog

Farhan tak pernah menyelesaikan kuliah dan terus mengembangkan bisnis kosmetiknya. Dia
meminta Irwan menuliskan kisah cintanya dengan Annisa di undangan pernikahannya.

Fahmi bekerja di perusahaan periklanan sebagai desain grafis. Bersama Bomo dan Lutfi,
mereka mendirikan usaha percetakan yang selalu kebanjiran pesanan. Ketiganya mulai
memikirkan sebuah tempat untuk meletakkan mesin cetak yang akan segera mereka beli.

Herdian membangun blog pribadinya tentang concert photography. Dia menjadi kontributor
di sebuah majalah lagi, dan berharap suatu hari fotonya akan dibeli oleh orang-orang. Tak
satu pun fotonya berhasil terjual, melainkan diminta secara resmi oleh manajemen The
Cranberries untuk dijadikan foto utama dalam berita mengenai band tersebut setelah
melaksanakan konser di Indonesia.

Boy dan Fandi terus berjuang menyelesaikan kuliahnya. Begitu juga Dwi dan Anneke.

Mereka, anak-anak muda itu, terus bertaruh. Dalam sejarah bangsa ini, anak-anak muda pun
telah mempertaruhkan segala-galanya demi kehormatan bangsa. Mengapa kini banyak anak
muda yang justru takut bertaruh demi dirinya sendiri dan mimpi-mimpinya? Hidup yang tak
pernah dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan. Dan jika kau telah mempertaruhkan
sesuatu, akankah ada jalan kembali? Untuk para pemuda…

Kenang, kenanglah kami

Teruskan, teruskanlah jiwa kami

Menjaga bung Karno

Menjaga bung Hatta

Menjaga bung Sjahrir

(Chairil Anwar, Karawang-Bekasi, 1948)

-TAMAT-

Pamulang, 11 Juli 2012

226

Anda mungkin juga menyukai