Anda di halaman 1dari 117

Sinopsis

Cerita ini berkisah tentang seorang bocah yang


tegar, kuat dan tabah bernama Ali. Dia dijuluki
bocah kuat karena begitu banyak cobaan hidup
yang berat yang menimpanya pada usia yang
masih bocah. Sementara di luar sana, anak-anak
seusianya tengah asyik bermain dengan dunianya.
Namun bocah itu mampu melampaui ujian dan
tantangan yang dihadapi. Akhirnya dia pun
mendapat hadiah dari Tuhan, sebuah akhir cerita
yang menyenangkan.Buku ini merupakan juara 1
naskah anak keagamaan Depag.

Ali, biasa bocah kecil itu dipanggil. Di hari ulang


tahunnya ke 5, bukannya hadiah terindah yang ia
peroleh. Justru bocah itu harus kehilangan kedua
orangtuanya yang meninggal karena kecelakaan.
Neneknya pun hanya sempat memeliharanya
sebentar, sebelum ajal menjemput.

Kini, si Bocah tinggal bersama paman dan bibinya.


Pamannya bersikap belas kasih pada si Bocah
lantaran masih punya “hutang” pada bocah kecil
itu. Namun bibi dan anak semata wayangnya, yang
usianya sebaya dengan si bocah, bersikap jahat
dan tidak bersahabat padanya.

Tinggal di rumah paman, bukanlah pilihannya. Tapi


si Bocah tak punya pilihan. Dia berusaha tegar dan

2
sabar menghadapi perilaku tak wajar dari Bibi dan
anaknya. Apapun dilakukan si Bocah supaya bisa
diterima di rumah itu, membantu membersihkan
rumah bahkan sampai menjadi seorang loper
koran.

Seorang anak orang kaya menjadi sahabat baiknya


lantaran sebuah tas yang tertinggal di musala.
Namun ibu si anak orang kaya ini tak menyukai si
Bocah yang miskin dan bahkan menghinanya di
depan orang banyak. Untung si Bocah masih
memiliki “malaikat”, seorang guru agama yang
selalu menyejukan hati dan membimbing
langkahnya.

Bocah itu terlalu muda untuk menerima berbagai


cobaan berat. Bagaimana kisah petualangan si
Bocah Kuat? Mampukah Ali bertahan ditengah
“badai” yang menghantamnya? Ikuti kisah seru dan
menarik serta penuh keteladanan ini dalam kisah
Ali Gesit si Bocah Kuat.

3
Kata Pengantar

Adik-adik yang Manis,


Mari kita ucap Puji syukur atas karunia Allah SWT,
karena buku Ali Gesit si Bocah Kuat telah hadir di
hadapan pembaca yang mulia. Tak lupa salawat
dan salam terkirim kepada Nabi pilihan Muhammad
, sang” lentera” kehidupan. Juga terima kasih pada
penerbit Bianglala Publishing yang telah menerbitan
buku ini.

Buku ini berkisah tentang seorang bocah yang


tegar, kuat dan tabah bernama Ali. Dia dijuluki
bocah kuat karena begitu banyak cobaan hidup
yang berat yang menimpanya pada usia yang
masih bocah. Sementara di luar sana, anak-anak
seusianya tengah asyik bermain dengan dunianya.
Namun bocah itu mampu melampaui ujian dan
tantangan yang dihadapi. Akhirnya dia pun
mendapat “hadiah” dari Tuhan, sebuah akhir cerita
yang menyenangkan.

Buku dengan nilai-nilai religi yang tergambar dari


sosok Ali, menjadi penyejuk dahaga bagi anak-anak
Indonesia khususnya sekolah dasar, di tengah
maraknya buku-buku anak sekuler yang jauh dari
norma agama. Buku ini sekaligus menjadi inspirasi
bagi anak-anak untuk senantiasa berbuat

4
kebajikan, saling tolong menolong dan menjaga
hubungan dengan sesama.

Buku ini saya persembahkan untuk anak-anak


Indonesia yang tengah merancang masa depannya,
semoga menjadi anak-anak harapan bangsa yang
berbudi pekerti, berhati Mekah dan berotak Jerman.
Terima kasih atas spirit dan dukungannya untuk
keluargaku tercinta, istriku Reni Sulistyani, dan
putriku Aliya Putri Shafrida dan Nurul Ramadhani.

Harapan penulis, buku ini menjadi rujukan bagi


sekolah-sekolah dasar khususnya sekolah Islam
sehingga memberikan hikmah dan warna dalam
kehidupan anak-anak. Kami juga bersedia untuk
diundang ke sekolah-sekolah untuk membedah
buku ini sekaligus memotivasi anak-anak yang
ingin belajar menulis.

Salam kreatif anak Indonesia

5
Daftar Isi

Sinopsis 2
Kata Pengantar 4
Bab 1 Cobaan Bocah Kecil 6
Bab 2 Uang Pensiun Ayah 18
Bab 3 Gelas Bibi Pecah 28
Bab 4 Tas Penggoda Hati 37
Bab 5 Penghalang Persahabatan 45
Bab 6 Bibi Kehilangan Uang 59
Bab 7 Kehilangan Pelanggan 74
Bab 8 Bertemu Pengemis Tua 80
Bab 9 Dompet Pembawa Berkah 88
Profil Penulis 101

6
BAB 1
Cobaan Bocah Kecil

Bocah kecil itu sedang memutar jari-jarinya.


Kelereng hitam menempel kuat diantara jempol dan
jari manisnya. Tak lama kemudian meluncurlah si
bola kecil menuju kelereng yang lain. Tepat
mengenai sasaran. Bocah itu senang dan membawa
pulang sekantong kelereng. Beberapa temannya
tertunduk lesu.
Nama bocah itu, Muhammad Ali. Panggil saja
Ali. Ayahnya, Farid Firmansyah, seorang pengagum
berat petinju legendaris dunia, Muhammad Ali.
Saking nge-fans-nya, ketika mempunyai anak pun
diberi nama yang sama. Harapannya kelak bocah
itu akan tumbuh menjadi seorang yang berani,
tegar, dan paling penting, saleh.
Farid seorang tentara berpangkat Letnan
Dua. sehari-hari dinas di markas Kodim (Komando
Distrik Minter) Kota Besar. Sementara ibu Ali,
Munawati seorang guru SD. Letak sekolah
tempatnya mengajar tak jauh dari rumah. Mereka
tinggal di asrama tentara Pangkalan Lima. Sebuah
lokasi perumahan perwira pertama TNI yang
sederhana dan asri.
Selain keluarga kecil itu, tinggal bersama
mereka adalah Marsidah, ibu dari Munawati.
Seorang janda pensiunan tentara yang usianya

7
sudah lanjut. Farid merupakan sosok tentara yang
pemberani. Selain gagah, tinggi besar, kumisnya
pun tebal seperti almarhum Saddam Husein,
mantan presiden Irak. Meski tampak seram, tapi
hatinya baik. Ia selalu mengajari bocah itu tentang
jiwa kepahlawanan, yakni membela orang yang
lemah dan berani menghadapi siapa pun asal
benar. Kedisiplinan menjadi menu harian yang
dicontohkan Farid pada anaknya.
“Ali harus jadi anak yang tegar dan kuat," kata
Farid suatu ketika pada bocah itu.
Ibu Ali, seorang wanita yang sabar dan
lembut. la sosok perempuan yang penuh perhatian
pada anaknya. Munawati menanamkan jiwa
kesederhanaan, kepedulian pada sesama manusia,
dan menghargai keberagaman atau perbedaan.
"Orang yang baik adalah orang yang berguna bagi
orang lain," nasehat Munawati pada anaknya.
Munawati mendidik anak semata wayangnya
sejak kecil tentang nilai-nilai kebaikan. Tak jarang,
saat ia menemani anaknya menonton televisi,
Munawati acap kali memberi pelajaran pada bocah
itu di balik tayangan yang disajikan. Pada usia dini,
keluarga itu sangat selektif dalam melihat sajian
televisi. Acara-acara teve yang belum pantas dilihat
anak kecil tidak diperbolehkan dilihat bocah itu.
Pada usianya yang hampir lima tahun,
kehidupan yang dijalani Ali tak jauh berbeda
dengan anak-anak seusianya. Bermain ceria

8
bersama teman sebaya. Sehari-hari, bocah itu
menjalani masa kanak-kanak yang menyenangkan.
Tiap pagi, Ali dan ibunya diantar sang ayah naik
sepeda motor ke sekolah di TK Bayangkari.
Jaraknya kira-kira lima ratus meter dari rumah.
Sehabis mengantar Ali, sang ayah pun mengantar
istrinya dan langsung dinas di kesatuannya.
Biasanya Ali pulang sekolah dengan kawan-
kawannya. Siang hari, jika tidak bermain dengan
kawannya, bocah itu tidur di kamar. Sore hari, ia
belajar mengaji di musala. Kalau hari libur, bocah
itu suka bermain bola di lapangan rumput dekat
asrama.
Marsidah sang nenek, sangat sayang pada
cucunya. Perempuan tua itu selalu memanjakan
bocah itu. Marsidah hidup dari uang pensiun karena
ia seorang janda pahlawan. Suaminya seorang
prajurit yang gugur di Laut Arafuru ketika
pemerintah Indonesia ingin merebut Irian Jaya dari
Belanda pada 1970-an. Sang suami meninggal di
medan perang dan jenazahnya terkubur di luasnya
lautan Arafuru.
Keseharian Marsidah diisi dengan kegiatan di
yayasan Bunga Kemboja. Tempat para janda
pahlawan mengadakan kegiatan sosial. Di samping
itu, untuk mengisi waktu luang, Marsidah juga suka
membuat kue. Biasanya, kue itu dititipkan ke
warung-warung tak jauh dari rumah. Tak sungkan

9
bocah itu pun suka membantu menitipkan kue
neneknya di kantin sekolah.
Pada suatu hari, Minggu pagi, langit di
angkasa tampak berawan tebal. Matahari tidak
tampak karena tertutup mendung yang
menggunung. Semalam, hujan mengguyur deras
Kota Besar. Akibatnya, jalanan tak beraspal di
kompleks tentara pun banyak yang becek. Hari itu,
keluarga Ali berkumpul di rumah.
Saat itu, bertepatan dengan hari ulang tahun
Ali yang ke-5. Ayah dan ibunya bermaksud
membelikan hadiah kejutan untuk anak semata
wayangnya. Jam di dinding rumah yang sederhana
itu menunjukan angka sembilan pagi. Ayah dan ibu
bersiap pergi ke toko yang berada di pusat kota.
Tapi, hujan di luar cukup deras dengan petir
menggelegar yang memekakkan telinga. Mereka
berdua duduk di ruang tamu menunggu hujan reda,
sementara bocah itu asyik bermain mobil-mobilan
kesukaannya.
"Ali, Ibu mau ke pasar, Ali di rumah saja ya, sama
Nenek," kata Munawati.
"Ali ikut, Bu ...!" rengek Ali.
"Eh, Ali di rumah saja, kan, di luar hujan," bujuk
ayahnya.
"Kalau hujan, ayah dan ibu di rumah aja, kan,
jalannya licin nanti bisa jatuh," kata bocah itu
sambil terus memainkan mobil balapnya.

10
Ayah dan ibunya tersenyum kecil mendengar
jawaban cerdas anaknya.
Marsidah keluar dari dapur, ia membawa sepiring
bubur ayam.
"Ali di rumah sama Nenek, ini Nenek buatkan bubur
kesukaan Ali," kata Nenek menghibur.
Bocah itu menghentikan mainannya, ia
senang melihat nenek membawa makanan
kegema-rannya. Sesendok bubur suapan neneknya
dikunyahnya dengan nikmat. Di luar, hujan mulai
reda. Tak lama kemudian Farid menstarter
motornya di teras rumah. Munawati bangkit
beranjak dari tempat duduknya, bersiap untuk
pergi. la menghampiri anaknya.
"Ali, umur Ali sekarang lima tahun, Ali jangan
nakal, ya, kalau ditinggal ayah sama ibu di rumah,"
kata Munawati sambil mencium mesra anaknya.
Tanpa disadari air mata ibu muda itu
menetes. Seperti akan berpisah jauh dengan
anaknya. Farid berjalan menghampiri mereka. Ia
itu menggendong bocah itu dan diangkatnya tinggi-
tinggi.
"Ali, apa pesan Ayah sama Ali kalau Ali besar
nanti,” tanya Farid memandang anaknya.
"Ali harus jadi anak yang berani dan kuat ... kayak
Muhammad Ali," kata Ali lucu.
Ayah tersenyum bangga, sementara
Munawati mengusap air matanya. Bocah itu pun

11
diturunkan ayahnya ke atas mobil yang paling
besar.
"Eit, masih kurang satu, ayo apalagi,”
"Ali harus jadi anak yang saleh, Ayah," kata bocah
itu sambil memegang mobil balapnya.
"Iya, pintar ...," Farid tersenyum, is mencium pipi
anaknya. Meski tampak ceria, mata Farid tampak
merah, ada rasa sedih di balik ketegarannya.
Marsidah diam. Ia hanya menatap kejadian itu.
Perempuan tua itu merasa janggal saja. Tapi, ia
berusaha untuk menyikapinya dengan wajar.
"Ali ikut ayah," teriak bocah kecil itu ketika ayah
dan ibunya pamitan.
Hujan di luar telah reda. Munawati berusaha
merayu anaknya. Ali terus berontak dan menangis.
Ia tak ingin berpisah dengan orangtuanya.
Terpaksa Marsidah bangkit dari duduk dan
menggendong cucunya. Tangisan Ali tak digubris.
Farid dan istrinya segera berlalu. Tak lama
kemudian, motor pun distarter. Farid dan istrinya
meluncur meninggalkan rumah mereka.
Bocah itu masih menangis kencang.
Perempuan tua itu berusaha menghibur dan
menenangkannya, tapi kali ini teriakan Ali berbeda
dari biasanya. Tangisannya lama sekali, sehingga
mata bocah itu pun menjadi merah. Segala cara
yang dilakukan Marsidah untuk meredakan
tangisan bocah itu sia-sia.

12
Setelah hampir satu jam rewel, akhirnya
bocah itu pun capek sendiri dan akhirnya tertidur di
pangkuan sang nenek. Marsidah segera
membopong Ali ke kamar tidur. Dibaringkannya
bocah itu di tempat tidur. Marsidah melihat keluar
rumah melalui jendela. Hujan mengguyur kembali.
Kali ini, lebih deras dan lebat menghujam ke bumi.
Saking derasnya hujan suaranya mempu
mengalahkan siaran berita radio yang disetel di
ruang tengah.
Marsidah lalu duduk di ruang tamu.
Pikirannya masih terbayang rasa aneh ketika anak
dan menantunya pamitan pada cucunya.
Tak seperti biasanya, kata nenek dalam hati.
Belum selesai si nenek terbawa pikirannya,
tiba-tiba pintu depan diketuk orang. Marsidah
bangkit dari kursinya. Selangkah kemudian, pintu
rumah pun dibuka. Dua orang laki-laki berseragam
polisi dengan mantel coklat yang basah kuyup
berdiri di hadapannya. Seorang berusia setengah
baya dan seorang lagi masih terlihat muda.
Marsidah agak kaget atas kedatangan tamu yang
tak diundang.
"Maaf Bu, apakah benar di sini rumah Letda
Farid Firmansyah?" tanya seorang polisi setengah
baya sambil melihat secarik kertas yang dibawanya.
Marsidah menganggukkan kepalanya. Matanya
masih menatap dua orang di hadapannnya dengan
penuh rasa heran.

13
“Saya Serka Agus dan ini rekan saya Sertu Paiman
kami dari Polsek Kota Tua, maaf sebelumnya,
apa hubungan Ibu dengan Pak Farid?" tanya Serka
Agus.
"Saya ibunya," jawab Marsidah singkat.
"Boleh kami duduk di dalam," ujar Sertu Paiman
menimpali.
Marsidah mempersilakan. Mereka pun duduk di
ruang tamu.
"Bu, apakah Letda Farid mempunyai putra?"
tanya Serka Agus.
"lya, ada satu, umurnya baru lima tahun. Maaf
kalau boleh saya tahu, apa maksud kehadiran
bapak berdua ke sini?" Marsidah memberanikan
diri bertanya.
"Kasihan anak itu, kami harap ibu bisa
merawatnya nanti," kata Serka Agus menghela
napas panjang.
la tak sampai hati menyampaikan kabar yang
dibawanya kepada Marsidah. Sertu Paiman
menatap atasannya. Serka Agus mengangguk
kecil.
"Pak Farid telah meninggal dunia Bu karena
kecelakaan lalu lintas, kini jenazahnya
disemayamkan di rumah sakit Bayangkara," kata
Paiman tanpa basa-basi.
"Ya Allah ... innalillaahi wa inna ilaihi roji”un ...
bagaimana dengan istrinya," Marsidah kaget bukan
kepalang.

14
"Ibu kondisinya kritis, sekarang dirawat di rumah
sakit yang sama," ujar Serka Agus.
Marsidah menangis tersedu-sedu. Bocah kecil itu
masih terbuai dengan mimpinya. Perempuan tua
itu tak menyangka begitu cepat peristiwa itu
terjadi. Dua orang polisi berupaya
menenangkannya. Marsidah pun berusaha
mengendalikan diri. Akhirnya setelah suasana agak
tenang Serka Agus menceritakan kronologi kejadian
yang menimpa Farid dan istrinya.
"Waktu itu hujan deras, saat Pak Farid
memboncengkan istrinya. Di jalan Semangka, ada
seorang tunanetra hendak menyeberang jalan.
Motor Pak Farid kencang dan ingin menghindari
orang buta itu. Lalu, Pak Farid mengambil jalan ke
tengah, dari arah berlawanan ada sebuah mobil
meluncur dengan kecepatan tinggi. Tabrakan tak
bisa dihindarkan. Bapak meninggal seketika dan ibu
luka berat dan kini kondisinya kritis di rumah sakit,”
jelas Sertu Paiman. Marsidah sedih mendengar
berita duka itu. Ternyata perpisahan haru antara
anak dan orang tuanya itu, adalah pertemuan
terakhir, kenang Marsidah.
Hari itu, yang mestinya hari bahagia buat
cucunya berubah menjadi hari duka cita. Tak lama
kemudian, Munawati pun menyusul suaminya
menghadap llahi. Marsidah sangat berduka karena
kehilangan anak
dan menantunya. la berusaha untuk tegar dan
tenang menghadapi ujian itu. Marsidah percaya
15
semua itu sudah menjadi kehendak Tuhan. Tapi
satu hal yang

16
berat baginya, yakni mengatakan apa yang
sebenarnya terjadi pada cucunya. la merasa bocah itu
belum cukup umur untuk mengetahui nasib yang
dialami kedua orangtuanya.
Akhirnya, acara prosesi pemakaman pun
diadakan di kantor Kodim Kota Besar, tanpa
sepengetahuan bocah itu. Beberapa kerabat Ali
datang menghantarkan orangtuanya ke tempat
peristirahatan yang terakhir. Saat prosesi
berlangsung, Ali diantar oleh pamannya, Rahmat ke
sekolah.
Ali yang tidak tahu keberadaan ayah ibunya
sering menanyakan kabar orangtuanya pada sang
nenek. Bocah kecil itu tak bisa dibendung rasa ingin
bertemu kedua orangtuanya. Ali sering menangis
saat bertanya ke mana orangtuanya pergi.
"Ayah dan ibu lagi pergi jauh, nanti juga
kembali," begitulah jawab Marsidah setiap ditanya.
Mereka pun kini hidup berdua. Marsidah dengan
penuh kasih sayang memelihara bocah itul.
Semakin bertambah usia semakin Ali merindukan
kedua orangtuanya.
Pada satu hari, setelah empat puluh hari dari
peristiwa itu berlalu, nenek mengajak Ali ke suatu
tempat. Hari itu, bocah itu mengenakan pakaian
yang bagus. Marsidah pun memakai pakaian dan
kerudung warna hitam. Mereka pergi menuju
tempat yang sepi dan tenang. Di sana, penuh
dengan tumbuhan pohon kemboja yang rindang.

17
"Kita ke tempat siapa, Nek. Ini, kan, kuburan,"
celutuk Ali.
Nenek diam dan terus menuntun cucunya
berjalan menyusuri jalan setapak di antara batu
nisan yang berjejer di sekelilingnya. Sang nenek
menghentikan langkahnya pada dua buah kubur
yang masih berupa gundukan tanah. Tertulis nama
di dua bongkah kayu yang terpancang. Bocah itu
membaca tulisan itu yang tak lain adalah kuburan
kedua orangtua-nya. Tiba-tiba, bocah itu menangis
keras. Marsidah memeluk cucunya kuat-kuat.
"Ayah sama ibu sudah tenang di surga. Ali harus
tabah seperti pesan ayah," kata Nenek.
"Ayah ... ibu ... Ali ikut, jangan tinggalkan Ali
sendiri ...," tangisan bocah itu begitu kuat.
Marsidah tak kuasa membendung air matanya. la
pun larut dalam kesedihan.
"Ali tidak sendiri, masih ada nenek,” ucap
Marsidah sambil sesenggukan.
Tak lama kemudian, mereka pulang. Ali kini tahu
bahwa kedua orangtuanya telah pergi jauh dan
takkan pernah kembali lagi. Bocah itu takkan lagi
menemukan canda dan tawa ayahnya. Kini tak ada
sosok wanita yang lembut menemani ketika
menonton teve. Untuk beberapa hari, bocah itu
masih dirundung duka.
Marsidah pada usia senjanya harus merawat
bocah malang itu. Sebenarnya, Tina, kakak
Munawati

18
pernah meminta agar Ali untuk tinggal di
rumahnya. Tapi, permintaan itu ditolak Marsidah.
'Tina orang yang ringan tangan terhadap
anaknya sendiri, apalagi sama keponakannya, pasti
lebih dari itu," pikir Marsidah.
Itulah alasan kenapa ia enggan menitipkan
bocah itu pada anaknya sendiri. Di samping itu,
nenek sangat sayang pada cucunyau. Beruntung Ali
masih mendapat uang asuransi ayahnya.
Disamping itu, mereka masih mempunyai uang
pensiun yang masih tersimpan di yayasan Bakti
Yudha. Uang itulah yang digunakan sang nenek
untuk kebutuhan bocah kecil itu kelak.
--o0o—

19
BAB 2
Uang Pensiun Ayah

Sejak usia lima tahun, bocah itu hidup tanpa


kasih sayang ibu bapaknya. Karena asrama tentara
itu hanya untuk prajurit yang masih aktif maka
beberapa bulan setelah ayahnya tiada, mereka
harus meninggalkan rumah itu. Kini,bocah itu dan
neneknya mengontrak pada sebuah rumah petak di
pinggir kota. Marsidah dengan sabar membimbing
dan mengajari bocah itu tentang ketabahan dan
keikhlasan. Nilai-nilai agama juga ditanamkan nenek
sejak bocah itu masih belia.
Uang pensiun nenek, sebenarnya sudah bisa
mencukupi kebutuhan mereka. Namun Marsidah
masih mengisi kesibukannya dengan membuat kue
basah untuk menambah penghasilan. Bocah itu ikut
membantu menitipkan kue dagangan neneknya ke
kantin sekolah. Pagi hari, bocah itu menitipkan kue
itu, kemudian siang hari sepulang sekolah
mengambil uang kue yang laku dan sisa kue jika
ada. Sisa kue itu nanti dijual keliling di kampung.
Bila tak laku juga biasanya akan diberikan pada
pengemis tua disimpang jalan.
Setelah selesai TK, kini Ali duduk di kelas satu
SD Negeru Ketapang. Bocah itu semakin rajin
membantu neneknya. Kini neneknya hanya
membuat kue sedang Ali yang menjualnya. Setiap
jumat pagi nenek pun

20
sering mengajak bocah itu untuk menengok makam
orang tuanya. Di tempat itu sang nenek mengajari
doa-doa antara lain mendoakan kepada kedua
orang tua.
Suatu hari Rahmat, adik kandung Farid satu-
satunya bertandang ke rumah mereka. Rahmat
bersama keluarganya tinggal di tengah kota, jarak
rumah mereka cukup jauh. Biasanya kalau tidak
ada keperluan penting laki-laki itu jarang main ke
rumah Marsidah.
Rahmat berjalan lemas menuju rumah kecil itu.
Wajahnya sangat kusut. Ia pun mengetuk rumah.
Marsidah membukakan pintu, ketika bocah itu
sedang belajar mengaji di musala.
"Ada apa, Nak Rahmat? Kok, kelihatan letih,”
tanya Marsidah.
"Begini Bu ..., saat ini, saya lagi dapat
musibah," kata Rahmat. la diam sesaat.
Marsidah mempersilakan duduk. Sekelebat
kemudian segelas teh manis terhidang di meja.
“Bu, saya telah melakukan kesalahan di
pekerjaan, kesalahan tersebut dianggap fatal
yang berakibat perusahaan mengalami kerugian
ratusan juta rupiah. Sekarang, saya dipecat. dan
masih harus membayar denda lima puluh juta,"
tutur Rahmat sedih.
Rahmat bekerja sebagai juru survey di sebuah
perusahaan pembiayaan mobil. Dia dianggap tidak
bisa memberikan data calon nasabah dengan benar

21
sehingga ada dua mobil yang dibawa kabur oleh
dua nasabahnya. Kasusnya saat ini sedang
ditangani polisi. Akhirnya Rahmat dipecat, dan dia
akan di penjara bila tidak mau mengganti sebagian
kerugian.
“Masya Allah," ucap Marsidah kaget.
“Uang sebanyak itu saya tidak punya, Bu.
Akhirnya, terpaksa saya jual macam-macam
barang berharga, tapi ternyata tetap saja belum
cukup dan hutang saya masih 25 juta rupiah,"
cerita Rahmat.
Marsidah mendengarkan dengan saksama.
“Saya sudah tidak ada duit lagi, kalau tidak
dibayar sisanya, saya bisa dipenjara,” katanya
melas.
“Apa yang bisa Ibu bantu, kamu tahu kan, ibu
juga nggak punya apa-apa "
“Mungkin saya ingin dipinjami dulu uang pensiun
bang Farid di yayasan Bakti Yudha. Nanti, saya
bayar cicilannya ke Ibu."
"Wah, itu kan bukan uang Ibu, tapi milik Ali. Ibu
tidak berani kalau Ali tidak ditanya lebih dulu."
“Saya tahu kondisi ibu dan Ali. Sebenarnya
saya juga berat untuk melangkah kemari. Tapi
saya sudah tidak tahu lagi mau pinjam ke mana.
Mau ke bank saya tidak punya jaminan. Ke
rentenir malah bunganya nanti mencekik. Satu-
satumya harapan adalah tabungan almarhum
kakak saya,” tutur Rahmat sedih.

22
Akhirnya, ketika Ali pulang sekolah, pamannya
bicara baik-baik pada bocah itu. Rahmat
membawakan bocah itu sepotong cokelat. Ali
senang menerimanya. Bocah itu terlalu lugu untuk
ditanya masalah seperti itu. la hanya mengiyakan
ketika sang paman bermaksud meminjam uang
pensiun ayahnya. Akhirnya, Rahmat pun mendapat
pinjaman dua puluh lima juta rupiah milik
almarhum Farid. Rahmat berjanji akan mencicil
selama lima tahun pada
Marsidah. Uang tabungan pensiun milik orang tua
bocah itu sudah dicairkan semua. Sebagai gantinya
Rahmat akan membayar bulanan cicilannya untuk
kebutuhan pendidikan keponakannya.
Sebenarnya Marsidah merasa keberatan dengan
permintaan Rahmat, tapi ketika Ali membolehkan
pamannya ia hanya terdiam. Marsidah berharap Ali
tidak mengiyakan karena khawatir janji Rahmat
tidak terpenuhi. Apalagi kini mereka tidak
mempunyai penghasilan yang rutin.
Pada bulan-bulan awal, Rahmat memenuhi
kewajibannya. Tapi, setelah memasuki bulan ke-
enam dan seterusnya ia mulai menunggak dan
tidak bisa mencicil hutangnya lagi. Suatu hari
Rahmat datang menemui Marsidah.
“Maaf, Bu, saya belum bisa memenuhi kewajiban
saya, karena saya belum dapat pekerjaan tetap
sampai sekarang. Kemarin saya jadi kenek angkot,
namun angkotnya kena razia dan tidak beroperasi
lagi. Sementara warung di rumah pun agak sepi,
23
sehingga

24
hasilnya hanya cukup untuk makan," tutur Rahmat
memelas.
“Mat, itu uang keponakanmu, uang pensiun itu
untuk biaya sekolah Ali. Uang tulah satu-satunya
yang kuharapkan untuk membiayai sekolahnya.
Kamu harus pikirkan masa depan keponakanmu
juga," tegas Marsidah.
"Saya tahu Bu, cuma saat ini saya memang
benar- benar tidak punya uang, jadi saya minta
maaf sama Ibu dan Ali," ujar Rahmat.
"Terus, apa rencanamu Mat?"
Rahmat diam dan berpikir
sebentar.
"Saya akan wiraswasta saja Bu, rencana saya
akan jualan es cendol. Buat modalnya, saya akan
meminjam pada kawan-kawan," jawab Rahmat.
Begitulah, sejak itu Rahmat tak bisa memenuhi
kewajibannya. Ekonomi keluarganya memang tak
lancar lagi. Yang paling sedih adalah Marsidah. Kini,
mereka hanya mengandalkan uang pensiun miliknya,
karena hasil jualan kue juga tidak seberapa
untungnya. Untuk menutupi kebutuhan sehari-hari,
nenek pun mengambil jahitan dari pabrik garmen di
daerah sekitar itu.
Melihat neneknya yang berjuang keras siang
malam untuk membiayai hidup mereka, Ali tak
tinggal diam. Bocah itu berusaha membantu
sebisanya. Kalau kue dari sekolah masih ada maka
dia akan ngider ke kampung. Kalau jahitan nenek
perlu diobras, maka bocah itu akan pergi ke tukang
25
obras. Bocah itu tidak

26
tega melihat neneknya berjuang sendirian membanting
tulang.
Suatu ketika Ali sedang menjajakan kuenya
melewati lapangan bola. Teman-teman mengajaknya
main bola, namun bocah itu menolak karena
dagangannya belum laku. Si Gendut, Jayus, pun
mengejeknya dan mengatakannya sebagai penakut.
Akhirnya Ali terpancing. Bocah itu turun ke
lapangan dan nampan kue diletakkannya pinggir
lapangan. Keasyikan bermain membuat Ali lupa
akan barang dagangnnya.
Tiba-tiba sebuah tendangan keras Jayus
mengenai kue di nampan itu, sehingga berserakan
di tanah. Ali menghentikan permainannya dan
menatapi barang dagangannya. Kue basah itu kotor
berserakan. Bocah itu sedih takut dimarahi
neneknya. Lalu ia minta si Gendut untuk membayar
kuenya. Bukannya mau mengganti, tapi Jayus
malah menyalahkan bocah itu yang dianggapnya
menaruh kue sembarangan .
Bocah itu marah. Maka diterjanglah badan si Gendut
hingga tersungkur di tanah. Meski bocah itu
badannya sedang, namun ia tidak gentar
menghadapi laki-laki yang berbadan lebih besar.
Pergulatan pun terjadi di lapangan. Anak-anak
menonton di pinggir lapangan dan menyoraki.
Bocah itu tidak terluka sementara Jayus badannya
memar-memar. Perkelahian baru usai setelah Jayus
nebyerah danlari meninggalkan lapangan.

27
Sesampai di rumah, anak Gendut itu melaporkan
pada bapaknya apa yang telah dilakukan Ali
padanya. Bapak Jayus pun murka dan
menyambangi rumah bocah itu. Di situ dia minta
agar si nenek bisa mendidik cucunya. Setelah bapak
Jayus pulang. Marsidah pun menanyai bocah itu
peristiwa yang sebenarnya. Ali lalu menceritakannya.
Bocah itu menangis karena hari ini kuenya
banyak yang tidak laku dan kotor terkena bola.
Keuntungan kue biasa itu biasanya untuk sangu
dan sebagian ditabung pada gurunya. Marsidah pun
sedih. Perempuan itu minta bocah itu untuk tidak
gampang terpancing ulah kawannya.
Waktu berlalu dan usia Ali pun menginjak tujuh
tahun. Ssemakin lama makin besar dan
kebutuhannya pun bertambah banyak. Uang pensiun
nenek semakin tak cukup. Apalagi pamannya
Rahmat, sudah satu tahun tidak bisa mencicil
hutangnya. Kehidupan Rahmat pun masih sulit
sehingga belum bisa memenuhi kewajibannya. Masa
anak-anak bocah itu pun dipaksa untuk berjualan
kue dan membantu neneknya mencari nafkah.
Sejak Rahmat tak bisa mengangsur hutangnya
sang nenek bekerja keras siang malam. Akibat usia
tua dan kecapekan nenek pun sering jatuh sakit.
Meski Marsidah telah divonis penyakit gula oleh
dokter, tapi semangat kerjanya cukup tinggi meski
kesehatannya pun makin lama makin menurun.

28
Suatu ketika, setelah setahun lebih tidak bisa
membayar cicilan, Marsidah pergi menemui Rahmat
di rumahnya. Kala itu, istri Rahmat tengah
berbelanja di pasar dan anaknya masih sekolah.
Marsidah bermaksud meminta uang milik Ali.
Namun Rahmat tidak bisa memenuhinya. Meski dia
dan istrinya bekerja keras namun hanya cukup
untuk kebutuhan sehari-harinya. Rahmat menjual
cendol di pagi hari dan malamnya menjadi sopir
ojek, sedang istrinya membuka warung kelontong di
depan rumah.
Perempuan tua itu pun kembali ke rumah
dengan tangan hampa. Dalam pikirannya hanya
bocah itu yang ada. Bagaimana masa depan bocah
itu yang sudah ditinggal kedua orang tuanya. Satu-
satunya harta yang dimiliki yakni tabungan pensiun
ayah Ali pun sudah ludes. Pikiran itu membuat
perempuan itu kelihatan semakin tua.
Marsidah pun semakin lemah dan sering sakit.
Diantar tukang ojek sebelah rumah, perempuan itu
bolak-balik ke rumah sakit. Biayanya pun tidak
sedikit, sebagian terpaksa hutang untuk menebus
resep dokter. Apalagi rumah kontrakannya sudah
mulai telat membayar sewa bulanan. Wanita yang
sudah beruban itu minta tolong tukang ojek
memanggil Rahmat di rumahnya. Laki-laki itu pun
datang membawa sekaranjang buah-buahan.
"Begini Mat, Ibu kan sudah tua, penyakit juga
banyak. Kalau sewaktu-waktu Allah memanggil Ibu,
apa rencanamu terhadap Ali. Saudara orangtua Ali
29
cuma anakku Tina, sama kamu. Ibu tidak tega
kalau Tina yang mengasuh Ali, bagaimana dengan
kamu?" mata Marsidah menatap Rahmat yang
sudah ia anggap seperti anak sendiri.
"Sebenarnya hidup kami juga pas-pasan Bu. Apalagi
saya hanya kerja begini. Meskipun begitu, saya
akan senang kalau Ali mau tinggal di rumah saya.
Apalagi saya masih punya hutang sama Ali, seluruh
biaya hidup dan sekolah Ali akan saya tanggung
sampai Ali bisa mandiri," jawab Rahmat begitu
meyakinkan.
"Kamu janji, Mat "
"lya Bu, saya berjanji. Saya akan
memperlakukan Ali seperti Jaim anak saya sendiri."
Marsidah lega melihat niat baik Rahmat.
Setidaknya, ada yang mengasuh bocah itu kelak
kalau dia telah tiada.
Ternyata, firasat Marsidah tidak meleset. Karena
sering kecapekan, penyakit Marsidah pun kambuh.
Untuk beberapa lama Marsidah terbaring di rumah.
Dia tidak mau dirawat di rumah sakit karena tidak
mau membebani biaya pada orang lain. Bocah itu
lah yang merawat sang nenek tercinta. Tantenya
Tina hanya sekali-kali datang ke rumah. Di saat
orang tuanya sakit, Tina pun jarang membantu
tenaga maupun biaya. Ia sibuk dengan urusannya
sendiri.
Karena sakit yang tak kunjung sembuh, Marsidah
akhirnya meninggal dunia. Bocah itu sangat
kehilangan seseorang yang sangat mencintainya.
30
Kini, pada usia tujuh tahun ia harus kehilangan
orang

31
yang selama ini mengasuh dan membesarkannya.
Neneknya pun dimakamkan di makam yang sama
dengan kedua orang tuanya.
Akhirnya, Rahmat pun mengasuh keponakannya,
sesuai janjinya pada almarhum neneknya.
Kemudian ia memindahkan sekolah bocah itu ke
dekat rumahnya di pusat kota. Sejak itulah, bocah
itu tinggal bersama pamannya.
Kematian kedua orang tua yang dicintainya
membuat Ali sempat terpukul. Apalagi ia terlalu
kecil untuk ditinggal pergi orangtuanya. Bocah itu
masih membutuhkan pendidikan dan kasih sayang
dari bapak ibunya. Kepergian sang nenek membuat
bocah itu terpukui untuk kedua kalinya. Begitulah
takdir Tuhan, semua yang terjadi seperti yang
dikehendaki- Nya.
--o0o—

32
BAB 3
Gelas Baru Bibi Pecah

Waktu terus berlalu. Usia Ali sudah menginjak


sembilan tahun, duduk kelas empat SD Negeri
Ketapang. Bocah itu masih tinggal bersama
pamannya, Rahmat. Bibi-nya Laela, sehari-hari
berjualan kelontong di kios kecil depan rumah.
Kini, satu-satunya harapan Ali, hanya pamannya,
Rahmat. Di rumah sederhana itu Ali timggal
bersama paman dan bibinya, juga ada anak mereka
Jaim. Usia Jaim sebaya dengan Ali. Namun, anak
itu minta ampun nakalnya. Lama kelamaan ia
merasa cemburu dengan kehadiran Ali. Sebab, dulu
sebelum bocah itu tinggal di rumahnya, Jaim sangat
dimanja. Jaim merasa sejak kehadiran Ali maka
kasih sayang orangtuanya terbagi dua.
Begitulah. meski masih kecil namun Ali
menyadari semua keadaan itu. Bocah itu tinggal
bukan dengan orangtua kandungnya. Kasih sayang
antara orang tua dan paman jelas berbeda.
Awalnya keluarga itu bersikap baik terhadap Ali,
mengingat Rahmat merasa berhutang budi pada
Ali. Namun seiring dengan waktu, dan himpitan
ekonimi perlakuan bibi dan anaknya mulai berbeda.
Kadang, Jaim pun sering berlaku seenaknya
pada bocah itu. Demikian juga bibinya, yang
bermuka dua. Bersikap baik pada bocah itu di
hadapan
33
suaminya, namun bila Rahmat tak ada di rumah
maka Ali sering didholimi. Bocah kecil itu tak punya
pilihan dan hanya bisa menjalani hidupnya. Di kala
galau hatinya, ia akan pergi ke makam menengok
orang tua dan neneknya. Bocah itu akan
mencurahkan isi hatinya, perasaannya pada batu
nisan di depannya.
Meski Rahmat cuma seorang tukang es cendol
dengan penghasilannya tak seberapa, tapi ia tak
ingin keponakannya terlunta-lunta.
“Bagaimanapun Ali adalah anak kakak kandungku,
dan dia telah menolongku sehingga tidak di
penjara, maka aku harus menganggapnya seperti
anakku sendiri" ucap Rahmat pada istrinya ketika
membawa bocah itu.
Pada Minggu siang, Rahmat dan istrinya sedang
arisan di rumah pak RT. Seperti biasa, setiap pagi,
Ali selalu mengepel lantai rumah. Bocah itu rajin
bekerja membantu paman dan bibinya. Apalagi hari
libur sekolah, Bocah itu biasa bangun shubuh dan
shalat di masjid. Selepas shalat, ia bersih-bersih
rumah, setelah itu baru bermain bola dengan kawan-
kawannya.
Lain Ali, lain pula dengan Jaim. Bocah gendut itu
sangat pemalas. Makan dan tidurnya pun kuat.
Kalau ibunya, belum mengguyur mukanya pakai air,
si Jaim masih asyik bermimpi. Bocah tambun itu
punya kebiasaan jelek yakni suka main perintah
terhadap sepupunya. Manjanya juga luar biasa.
Apalagi kalau
34
ayah dan ibunya tidak di rumah, kenakalannya
terhadap Ali makin menjadi-jadi.
Ketika Bocah itu tengah mengepel lantai rumah,
si Jaim malah asyik nonton teve. Sebungkus kacang
kulit di tangan kiri dan remote teve digenggam erat
di tangan kanan. Anak itu betah nongkrong lama di
depan teve. Sebelum bapaknya mematikan teve,
nggak bakalan dia beranjak dari tempatnya. Paling-
paling, kalau mau mengambil makan atau kebelet
pipis ia baru bangkit dari duduknya. Selain manja,
Jaim juga bandel dan sering ketinggalan pelajaran
di kelas.
"Li, ambilin minum dong ... haus, nih," pinta
Jaim sambil tiduran.
Ali diam sejenak. Lalu diletakkan kain pel-nya
dan berjalan ke dapur. Diambilnya segelas air putih
dan dibawa ke tempat Jaim. Gelas kaca itu ditaruh
di meja dekat anak manja itu. Lalu, bocah itu
melanjutkan pekerjaannya.
Krompyang ... Praaak!
Tak berapa lama, gelas itu pecah. Jaim sengaja
menyenggol dengan kakinya. Gelas pun hancur
berantakan dan air tumpahnya ke lantai. Padahal,
lantai itu baru saja dibersihkan oleh bocah itu.
Pecahan gelas pun berserakan.
“Aduh Li ... tumpah nih, Li ..., gimana sih
kamu naruhnya," teriak anak gendut itu
pura- pura menyalahkan Ali.

35
Bocah itu sudah mengetahui perilaku Jaim,
tidak banyak bicara. Bukan sekali ini Jaim berbuat
seperti itu. Dulu Jaim pernah mengambil uang
sakunya. Juga pernah meminta cokelat
Fatimah dengan alasan bocah itu yang
menyuruh, padahal makanan itu dikunyah sendiri.
Bocah itu menyadari itu. Namun kali ini apa yang
dilakukan Jaim menurut bocah itu sudah
keterlaluan. Apalagi gelas yang
dipecahkannya itu gelas baru. Bocah itu berusaha
untuk sabar. Ia ingat pesan neneknya, orang sabar
itu
disayang Tuhan.
Lalu bocah itu segera mengambil pecahan gelas
satu persatu. Dibersihkannya kepingan kecil dengan
sapu. Ali ingin meyakinkan bahwa tak ada pecahan
dilantai.
“Kalau sampai terinjak, pasti sakitnya minta
ampun," pikir Ali.
Setelah dirasa tak ada pecahan lagi ia kembali
mengepel lantai yang basah. Jaim hanya
mengamati dengan senyum sinis. Selangkah
kemudian, Ali ke dapur memasuk-pecahan kaca ke
kantong plastik. Lalu, bocah itu membuang ke
tempat sampah.
Tapi, Ali sadar bahwa bibinya akan marah bila
mengetahui ada gelas yang pecah. Apalagi gelas itu
masih tergolong baru. Bocah itu pernah melihat
bibinya belum lama mengambil barang itu dari
tukang kredit barang keliling. Apalagi cicilannya
36
pun belum lunas. Gelas yang jelek dipakai
pamannya untuk jualan es cendol.
"Gawat kalau bibi tahu, gelasnya pecah satu ...,"
gerutu Ali seraya mengambil kembali plastik itu
dari tong sampah.
Lalu, ia menguburnya dalam tanah di kebun
belakang rumah. Bocah itu berharap bibinya tidak
menghitung gelas barunya, apalagi tahu yang
memecahkan anaknya, Jaim.
Petang pun telah tiba. Jam dinding keluarga
Rahmat menunjukan angka 19.00 tepat. Mereka
telah selesai makan malam. Rahmat duduk di ruang
depan. Tangannya terampil memarut kelapa. Laki-
laki berkumis tipis itu membuat santan untuk
dagangan cendolnya. Sementara, Laela memasak
air di dapur. Biasanya, setiap petang istrinya
membuat teh panas untuk mereka.
Di meja belajar, Ali asyik berhitung. Rupanya, ia
tengah mengerjakan PR Matematika, mata
pelajaran kesukaannya. Tidak jauh dari tempatnya
belajar, Jaim belum beranjak di depan teve,
menonton film kartun. Sesekali, ia berteriak
kencang, tertawa terpingkal-pingkal sehingga
membuat susana sangat berisik.
"Im ... kamu nggak belajar... besok kan masuk
sekolah," tegur Rahmat.
"Enggak, Pak ... lagi males ... filmnya bagus-
bagus, nih ...," sahut Jaim kalem.

37
"Kalau kamu nggak belajar, kamu nggak akan
pandai ... PR-mu belum dikerjakan, kan?"
"Ah ... Bapak, kan, ada si Ali," jawab jaim
enteng. “Maksudmu, PR kamu dikerjain Ali, sedang
kamu enak-enakan nonton teve?" Pak Rahmat
marah.

Lalu ia berdiri menghampiri Ali. Bocah itu diam


ketika pamannya mengambil buku tulis yang
dipegangnya.
“Hmmm ... jadi selama ini, PR Jaim dikerjakan Ali,
ya ...," kata Pak Rahmat sambil geleng-geleng
kepala.
"Ali ... kenapa kamu mau mengerjakan PR Jaim,
itu bisa membuat Jaim jadi anak bodoh."
“Saya kasihan Paman, ulangan matematika selalu
dapat merah," jawab Ali jujur.
“Ya...tapi bukan begitu caranya. Kalau kasihan,
kamu bantu dia belajar, kasih tahu cara
menyelesaikannya, bukan mengerjakan semua
tugasnya. Dia nanti, jadi anak yang malas."
Lalu, Rahmat mendatangi anaknya. Jaim masih
memeloti tayangan teve. Rahmat segera
mengambil remote di meja dan mematikan teve.
"Ahhh ... Bapak, filmnya kan belum selesai,"
teriak Jaim kesal.
"Sekarang, kamu harus belajar. Kalau tidak, teve
ini nanti Bapak jual," ancam ayahnya.
Jaim pun dengan jengkel mengambil tas dan
bukunya. la duduk di sebelah Ali. Jaim
38
mengeluarkan bukunya dengan muka yang masih
masam. Anak gendut itu mencoba mengerjakan PR
nya, namun lama sekali berpikirnya. Rahmat pun
menyembunyikan remote ke kamarnya. la pun
melanjutkan pekerjaannya memarut kelapa.
"Paaakkk ...!!!"
Terdengar teriakan suara dari dapur. Laela
berlari tergopoh-gopoh menuju ruang depan.
Dengan napas tersengal-sengal dan muka
memerah, wanita gemuk itu masuk ke ruang
depan. Tangannya masih memegang sendok.
Tampak mukanya merah. Mata wanita itu melotot
ke arah dua anak yang sedang belajar. Kedua anak
kecil itu diam ketakutan.
"Ada apa, Bu?" tanya Rahmat.
"Selama kita pergi arisan tadi Pak, ada yang
tidak beres di rumah ini. Gelas yang saya beli
kemarin tidak ada satu, gelas satu lusin itu saya
beli masih kredit," keluh Laela.
"Paling, ibu lupa menyimpan dimana ... ingat-
ingatlah."
"Udah dicari tapi tidak ada ... aku mau tanya
sama mereka "
Laela berjalan mendekati kedua anak itu.
"Siapa yang tahu gelas Ibu ...," tanya Laela
menyeramkan.
Keduanya diam menunduk. Ketakutan. Terlihat
Jaim mulai keder. Keringat dingin sedikit
membasahi badannya. Sementara Ali menunduk
diam seribu bahasa. la tak tahu apa yang harus
39
diperbuat.

40
Wanita gendut itu kalau marah benar-benar
menakutkan.
"Kalau kalian masih diam tidak ada yang
mengaku, berarti di antara kalian ada yang tahu.
Hukumannya, kalian berdua tidak mendapat uang
jajan besok pagi,” kata Laela jengkel.
"Ali, Jaim, ... bicaralah!" kata Pak Rahmat lirih.
Mata Jaim melirik Ali, dari bawah meja kakinya
menyepak saudara sepupunya. Bocah itu
mengangkat kepalanya. la pun buka suara.
"Begini Paman, Bibi, sebelumnya Ali minta maaf.
Ali tadi yang mecahin gelas itu. Ali nggak sengaja.
Sekarang, pecahan sudah Ali tanam di belakang
rumah," kata Ali.
"Ooo ... jadi kamu, ya. Ibu sudah menduga.
Untung bukan Jaim. Kamu tahu nggak itu gelas
mahal!" bentak Laela keras.
Bocah itu geleng-geleng kepala. Sementara Jaim
tersenyum penuh kemenangan.
"Anak ini mesti dijewer telinganya," kata Laela
sambil memegangi telinga Ali.
Melihat gelagat yang kurang baik itu, Rahmat
segera melerai.
"Bu, sudah, Bu ... nanti kita beli lagi kan, bisa,"
katanya sambil memegangi tangan istrinya.
Ali mengaduh kesakitan. Telinganya merah.
“Baiklah, tapi nasihati keponakanmu itu. jangan
diulangi lagi. Kalau diulangi lagi, aku akan memberi

41
hukuman yang lebih berat, Sudah numpang hidup
gratis kok masih bikin repot," ujar Laela emosi.
"Jangan lupa, besok Ali tidak dapat uang jajan dari
bibi. Buat ganti gelas yang pecah nengerti!" kata
Laela berkacak pinggang.
"lya, Bibi ...," rintih Ali.

Laela pun kembali ke dapur. Jaim menghela napas


lega. Rahmat memegangi pundak bocah itu. Dia
meminta bocah itu untuk mengerti sikap bibinya.
Sebenarnya bocah itu akan mengatakan yang
sesungguhnya. Tapi dia tidak tega melihat Jaim
dihukum. Bocah itu pernah melihat Jaim dijemur
dimatahari oleh Rahmat gara-gara bolos sekolah
dan malah main play station seharian.

Malamnya sebelum tidur bocah itu teringat kata-


kata bibinya. Dia sudah berusaha berbuat baik
membantu pekerjaan rumah yang ia bisa lakukan.
Bocah itu tak mau dianggap hanya menumpang
saja. Dia pun sudah bantak mengalah kepada Jaim.
Namun sepupunya itu bukannya berlaku baik
padanya. Malah ia perlakuan buruk anak gendut itu
kian menjadi-jadi. Hanya pamannya yang masih
memiliki perhatian pada bocah itu.Tanpa disadari
air mata pun menetes membasahi rona mukanya.
Bocah itu ingat kedua orang tuanya.

-o0o-

42
BAB 4
Tas Penggoda Hati

Waktu istirahat kelas telah tiba. Bel dibunyikan


dan murid-murid SD Ketapang, berhamburan
keluar. Mereka berlari ke sana kemari ramai sekali.
Seperti burung merpati yang lepas dari sangkarnya.
Sebagian terlihat bermain lompat tali. Beberapa
anak menuju ke kamar kecil. Ada pula yang
mengerubuti penjaja makanan dan minuman di
halaman sekolah.
Aneka jajanan anak tersedia komplet. Ada
minuman es doger, kelapa muda, es krim, juga es
campur. Selain itu, ada penjual bakso, kerak telur,
dan kue-kue kecil. Pedagang pun sibuk meladeni
permintaan anak-anak.
Bagi bocah itu, saat istirahat hari itu malah
menjadi saat paling menyiksa. Bagaimana tidak?
Hari itu, ia tidak diberi uang jajan. Biasanya bibi
memberinya dua ribu perak, jatah uang saku di
sekolah. Gara-gara mengakui perbuatan nakal
sepupunya, ia terpaksa menahan lapar. Bocah itu
hanya duduk di bawah pohon jambu sambil
memandangi teman-temannya yang asyik berjajan
ria.
Doni gendut, mondar-mandir makan es krim di
depannya. Sementara Rina dan Santi asyik
menyantap bubur ayam khas Jawa Timur. Si Jaim,
terlihat nyengir dari kejauhan. Ia minum es

43
mambo

44
dengan Jayus kawan akrabnya. Seolah-olah,
anak gendut itu ingin pamer makanan dan
mengejek Ali. Bocah itu sebenarnya kesal
dengan tingkah pongah sepupunya. Tapi, ia tahu
diri dan berusaha menahan emosi.
Bocah itu mencoba menghibur diri. la
membuka buku pelajaran sejarah sambil
menunggu lonceng sekolah berbunyi. Seorang
sahabatnya, Fatimah tidak diketahui dari mana
datangnya, tiba-tiba sudah berada di
sampingnya. Bocah itu kaget. Gadis manis
berkepang dua itu duduk di sebelahnya. la
menyodorkan sebuah cokelat. Ali masih diam
menatap sahabatnya yang baik hati.
“Ambillah, Ali! Kamu, kan, suka cokelat,"
kata Fatimah tulus.
"Terima kasih, buat kamu saja, aku masih
kenyang," jawab bocah itu.
"Yang bener. Biasanya jam istirahat kamu
makan kue di kantin, kok, hari ini tumben
enggak?" tanya Fatimah
Ali terdiam. la tak sanggup mengatakan apa
yang ia alami sebenarnya. Bpcah itu mencoba
mengalihkan pembicaraan.
"Oh ya, Fatimah, ulangan bahasa Indonesia
dapat berapa?"
"Tujuh," jawab Fatimah.
Ali mengangguk-angguk. Fatimah terus
menyodorkan cokelatnya. Karena dipaksa Fatimah,

45
akhirnya bocah itu menerima cokelat mente
kesukaannya.
Pelajaran sekolah telah usai. Siang itu, udara
luar biasa panasnya. Bocah itu biasanya pulang
berjalan kaki ke rumah. Jaraknya sekitar satu
kilometer. Sementara Jaim naik sepeda kecil,
hadiah ulang tahun dari ayahnya. Meski ada
boncengannya, Jaim lebih suka membonceng
teman akrabnya Jayus, ketimbang saudaranya
sendiri.
Di tengah derita lapar dan haus yang luar biasa,
serta terik matahari yang menyengat kulit, Bocah
itu mampir ke Musala Al-lkhlas di pinggir jalan
besar. Sebuah musala mungil yang terletak di
samping SD Ibnu Sina. Ibnu Sina merupakan SD
Islam kesohor dengan murid-murid dari golongan
menengah ke atas. Suasana musala pada siang
bolong itu tidak begitu ramai. Hanya satu dua
orang keluar masuk untuk beribadah.
Ali lantas mengambil air wudhu. Air segar
membasahi mulut dan rambutnya. Bocah itu masuk
dan mengerjakan shalat Dhuhur. Sehabis salam,
matanya tertuju pada sebuah benda di sudut
musala. Sebuah tas sekolah warna hijam tergeletak
di pojok musala. Bocah itu ragu untuk mengambil
tas itu. Diperhatikannya orang-orang sudah keluar
dan musala benar-benar sepi.

Dalam hati, bocah itu berpikir siapa pemilik tas


tersebut. Tidak banyak orang yang biasa shalat di
46
tempat itu. Umumnya, mereka yang shalat
kebanyakan murid atau guru Ibnu Sina atau
karyawan yang ada di dalam sekolah.
Ali menghampiri tas kecil hijau tua itu.
Diperhatikannya baik-baik. Sepertinya, tas milik
anak Sekolah Dasar. Akhirnya, setelah
dipertimbangkan masak-masak, bocah itu merasa
perlu membawanya. Karena tas itu relatif lebih
kecil, maka bocah itu memasukkannya ke dalam
tas ranselnya yang segede gajah. Tas ransel milik
bocah itu kenangan dari ayahnya. Lalu, ia pulang
dengan harapan, esok lusa bisa mengembalikannya
pada pemilik barang.
Sesampainya di rumah, Ali masuk kamar. Dia
penasaran ingin membuka tas itu. Tanpa pikir
panjang, ia buka retsletingnya. Di dalamnya
terdapat buku pelajaran dan buku tulis dan
beberapa bungkus cokelat. Diambilnya buku tulis
itu. la bolak-balik. Tiba-tiba mata bocah itu
terbelalak melihat selembar uang lima puluh ribu
rupiah yang diselipkan di tengah lipatan buku.
Ali diam mematung. Keraguan mulai
membayangi diri bocah kecil itu. Antara kebaikan
dan kejahatan bergejolak dalam hatinya. Di satu
sisi, ia memang butuh uang, apalagi kayaknya
bibinya bakal memperpanjang hukumannya.
Apalagi saat ini tak ada sepser pun di sakunya.
Ditambah cokelat yang ditemukannya begitu
menggiurkan hati. Tapi di

47
sisi lain, ia merasa berdosa bila ia mengambil
sesuatu yang bukan haknya. Bocah itu pun mulai
tergoda.
Di antara kebimbangan dan bisikan setan itu,
bocah itu teringat pesan Pak Toha, guru agamanya
bahwa Allah akan menolong orang yang berbuat
kebajikan dari jalan yang tidak disangka-sangka.
Bocah itu ingat betul. Setelah merenung agak lama,
Ali mencoba membuka halaman depan buku itu.
Ada sebuah nama yang lengkap ditulis dengan
alamatnya.
"Amir Syamsudin, Jalan Mawar 25 ...," baca Ali
lirih.

Ali paham betul tulisan itu coretan tangan anak


Sekolah Dasar, sebaya dengannya. la makin yakin
tas itu milik seorang murid SD Ibnu Sina. Dari
alamat rumahnya, tampaknya tidak terlalu jauh
dari tempat tinggalnya, rumah itu kompleks orang
kaya.
“Amir pasti anak orang kaya, mungkin tas dan
isinya ini tidak berarti baginya. Tapi, bagiku sangat
berarti," bisik pikiran jahat di hati bocah itu.
Setelah belajar malam itu, bocah itu langsung
tidur. la tidak mau terlalu pusing memikirkannya
lalu ia berdoa sebelum tidur. Dalam tidurnya, ia
bermimpi bersua dengan ayahnya yang telah tiada.
Sang ayah meminta agar bocah itu mengembalikan
tas itu pada pemiliknya. Mimpi itu sudah cukup
memberi jawaban kebimbangan Ali.
48
Esok yang cerah tiba. Sinar matahari yang indah
memecah kebisuan malam. Ali bangun pagi-pagi. la
ingat mimpinya. Tanpa pikir panjang, bocah itu
akan mengembalikan tas dan isinya pada
pemiliknya. Akhirnya selepas sekolah, Ali mencari
alamat yang tertulis di buku itu. Dengan keringat
yang membasahi tubuh di tengah udara siang yang
menyengat, bocah itu berjalan mencari alamat
tersebut.
Setelah cukup lama berjalan, akhirnya Ali
menemukan alamat yang dimaksud. Sebuah rumah
megah dan besar dengan cat oranye terlihat begitu
mentereng. Bocah itu terkagum-kagum. la merasa
kurang percaya diri untuk masuk. Apalagi dinding
pagarnya tinggi dengan pintu besi yang kokoh dan
kuat tertutup rapat di hadapannya. Bocah itu berdiri
memandangi rumah itu sambil berpikir mencari
letak bel rumah. Sesaat bocah itu membayangkan
alangkah indahnya tinggal di rumah mewah dengan
fasilitas yang lengkap itu.
Belum selesai Ali melamun, tiba-tiba sebuah
sedan mercy membunyikan klakson. la terkejut.
Bocah itu minggir memberi jalan. Seorang lelaki tua
keluar dari mobil. Tampaknya, ia seorang sopir.
Orang itu membuka pintu besi. Lalu, ia memandang
Ali yang berdiri di pinggir pintu.
"Kamu siapa, Nak? Mau mencari siapa?" sapanya
akrab.

49
"Nama saya Ali Pak, saya kemari ingin
mengembalikan tas ini, kemarin tertinggal di
musala. Apa ini benar rumah Amir Samsudin?” ujar
bocah itu sopan.
"Oh ya benar," orangtua itu menyambut
gembira.
Seorang anak berkulit putih keluar dari mobil,
berlari ke arah bocah yang memegang tasnya.
"lya, itu tas saya…”' teriaknya riang.
"lya, Den Amir, ini ada anak baik yang
mengembalikan tasnya yang kemarin hilang," kata
pak sopir.
Ali mengulurkan tangan. Tangan Amir pun
merengkuh tasnya.
"Terima kasih, ya. Siapa
namamu?" "Ali."
"Aku Amir, ayo masuk dulu!"
"Nggak usah, terima kasih. Aku masih harus
mengerjakan PR di rumah"
"Kamu sekolah di
mana?" "SD Ketapang."
"Aku di SD Ibnu Sina, kapan-kapan kita ketemu
lagi, ya."
Ali mengangguk. Mereka pun berpisah. Bocah
itu merasa lega, sudah mengembalikan tas milik
empunya. Amir terkesan dengan kebaikan anak
sebaya dengannya itu. Padahal sebelumnya dia
yakin jika si penemu tasnya tak bakal
mengembalikannya. Amir pun sudah

50
mengiklhaskannya. Tapi ternyata, masih ada
kebaikan yang terselip di tengah himpitan
kehidupan yang keras. Dari jauh, ia pandangi
bocah itu sampai hilang di belokan jalan.

--o0o--

51
BAB 5
Penghalang Persahabatan

Sejak peristiwa itu, Ali berteman dengai Amir.


Mereka sering bermain bersama. Keduanya biasa
bertemu di rumah Pak Toha, guru agama Ali
sekaligus guru mengaji Amir. Atau, bermain bola di
lapangan rumput kelurahan setiap hari Minggu.
Semakin lama, Ali dan Amir bertambah akrab.
Meski mereka dari latar belakang status sosial yang
berbeda, tapi kedua anak itu bersahabat erat.
Meski akrab, Amir tidak menceritakan
pertemanannya dengan bocah itu kepada
orangtuanya. Amir tahu, mamanya tidak senang jika
tahu ia bergaul dengan anak dari keluarga yang
tidak mampu. Di samping itu, Amir juga tidak
menceritakan sikap mamanya pada bocah itu. la
takut Ali tak mau berteman dengannya lagi.
Suatu siang, Ali ingin ke rumah Amir. Di tengah
jalan bocah itu menjumpai mobil tua yang mogok.
Bocah itu melihat haji Dorman, agen koran di
kecamatan mencari bantuan. Tak ada seorang pun
kecuali bocah itu. Tanpa diminta bocah itu
mendorongnya. Baju bocah itu lusuh dan kotor
terkena keringat. Setelah mesin menyala haji
Dorman berterima kasih. Bocah itu menolak ketika
laki-laki tua itu memberinya upah.

52
Dengan baju yang lusuh bocah itu sampai di
rumah Amir. Saat itu, Amir sedang pergi
memancing dengan papanya. Mama Amir, Rosidah
duduk santai di teras. Dari jauh ia melihat seorang
bocah berpakaian lusuh berjalan ke arah rumahnya.
Rosidah pun meminta pembantunya menyiapkan
uang recehan.
Ali memencet bel pagar pintu dan seorang
pembantu membuka pintu besi.
“Saya bukan pengemis, bu ,” ujar bocah itu saat
mpok Ijah menyerahkan uang lima ratus perak.
Bocah kecil itu masuk ke halaman. Kehadiran
bocah kecil itu membuat Rosidah heran, kenapa
ada bocah lusuh masuk pekarangan rumahnya.
Wanita modis itu memperhatikan bocah yang
disangkanya pengemis itu. Mpok Ijah membisikinya
bocah itu mengaku teman Amir. Bocah itu
tersenyum ingin menyapa, tapi melihat wajah
nyonya rumah tidak menunjukkan persahabatan
bocah itu mengulum senyumannya.
“Saya kesini mau bertemu dengan Amir Bu."
“Kamu siapa?"
“Ali Bu, temannya Amir."
“Lhoo ..., tapi anak saya tidak pernah
punya gembel begini, mungkin bukan Amir
di sini, tapi yang lain coba deh, tanya rumah
lain," jawabnya sinis.

53
“Enggak, Bu, saya tidak salah, kok, ini rumah
Amir. Saya pernah mengembalikan tasnya
yang ketinggalan di musala,"
“Ya udah, sekarang kamu mau apa?"
“Saya cuma mau kasih tahu Amir, kalau besok
ada pertandingan bola dengan anak SD
tetangga kelurahan, besok Amir kami ditunggu
jam empat sore."
“Ck ... ck ... ya udah. Tapi, saya katakan
sekalian kalau Amir tidak bisa ikut. Dia ada
les matematika. Kamu kasih tahu teman-
teman kamu ya "
Dengan muka tertunduk bocah itu pulang. la
berjalan lesu dan hatinya sedih dengan sikap
mama Amir yang tidak ramah. Dia tahu mama
Amir berbohong karena Amir pernah bercerita
berkata padanya saat ini ia mengambil les
bahasa Inggris.
Ali bertanya pada dirinya sendiri, kenapa
orang kaya itu menyangkanya seorang
pengemis. Dia melihat bajunya yang lusuh
setelah mendorong mobil haji Dorman.
Apalagi baju dan celana yang ia kenakan
memang sudah lapuk dimakan usia, karena ia
belum bisa membeli yang baru.
Kebanyakan baju-baju yang ia pakai
didapatkan dari sumbangan pakaian pantas
pakai yang dikumpulkan yayasan bunga
Kemboja. Meski terlihat lawas, Ali selalu

54
mencuci dan menyetrikanya. Kadang-kadang
ia pun menyemprot dengan parfum.
Ketika bocah itu keluar dari rumah mewah itu,
ternyata Jaim dan Jayus memerhatikan gerak
geriknya dari jauh. Rupanya, kedua bocah
gendut itu sengaja membuntuti bocah itu.
Melihat bocah itu pergi dari rumah orang kaya
itu, kedua anak itu segera kabur dengan
sepedanya. Setibanya di rumah, Jaim melaporkan
apa yang dilihatnya kepada bapaknya.
Namun, Jaim mengarang cerita dengan
mengatakan kalau ia melihat Ali meminta-minta
pada keluarga kaya itu. Mengetahui laporan itu, Pak
Rahmat naik darah. Sore itu juga, dipanggilnya
bocah itu yang baru pulang dari bermain bola.
"Ali, katanya kamu tadi dari rumah orang kaya di
jalan Mawar, ya!"
"Iya, Paman."
"Kamu ngapain ke sana?"
"Saya punya teman yang tinggal di situ,
namanya Amir."
"Kamu jangan bohong, kamu minta-minta, ya?"
Ali terperanjat dengan tuduhan pamannya. Meski
keluarganya tergolong tidak mampu namun
pantang bagi si bocah itu untuk mengemis.
"Masya Allah! Itu tidak benar Paman. Saya tidak
pernah minta-minta pada siapa pun. Amir adalah
teman saya bermain bola," tegas bocah itu.

55
"Baik, kalau begitu kamu harus buktikan, kalau
Amir itu temanmu. Paman kasih waktu tiga hari,
Amir kamu ajak ke sini, kalau ia memang temanmu
ia pasti mau. Tapi kalau tidak, Paman akan jatuhi
hukuman sama kamu karena kamu telah
berbohong ... mengerti?"
Bocah itu mengangguk. la merasa dirinya telah
difitnah. Malam itu setelah mengaji di langgar
bocah itu mendatangi kamar Jaim. la yakin Jaimlah
yang telah berkata dusta kepada pamannya. Jaim
asyik bermain kartu sendirian. Ali duduk di sebelah
bocah gendut itu.
“Im, kamu yang melapor ke paman, ya,
sewaktu aku ke rumah Amir?"
Jaim cukek saja, ia masih asyik dengan
mainannya. Pura-pura tidak mendengar.
"Im, dengerin aku ngomong sama kamu," Ali
agak kesal.
'Aku enggak tahu ...," katanya kasar.
"Bohong! Kalau kamu nggak mau jujur aku akan
bilang bibi. Bahwa kamu yang pecahin gelas itu,"
ancam Ali.
Jaim terdiam. Bocah gundul itu memandang Ali.
la ketakutan tidak mendapat uang jajan.
"Ja ... jangan ...! Baiklah, memang aku yang
bilang ke ayah."
"Begitu, kan, tapi kenapa kamu mesti bilang aku
minta-minta ke rumah Amir?"

56
"Ya ... kalau kamu enggak minta-minta, lalu
ngapain? Aku lihat pembantu itu memberi uang.
Mungkin kamu mau duit yang lebih besar dari
nyonya rumah. Tapi kamu keluar dari rumah itu
tertunduk lesu. Nggak dapat duit, kan? Buktiin aja
kalau kamu berteman sama Amir. Bawa dia ke
sini," tantang Jaim.
"Baik ... tapi awas ... kalau kamu bikin
masalah lagi," ancam Ali kesal.
Bocah itu pergi meninggalkan sepupunya.
Keesokan harinya, Ali ingin membuktikan bahwa
Amir adalah temannya. Bahwa ia ke rumah Amir
bukan untuk minta-minta layakbya seorang
pengemis. Sepulang sekolah, bocah itu sengaja
menunggu sahabatnya di rumah Pak Toha. Setiap
siang, selepas sekolah mereka biasanya berkumpul
di rumah guru spiritual itu. Di situ, Amir selalu les
mengaji.
"Sudah pukul dua Pak, Amir kok belum datang,"
kata Ali resah.
"lya, biasanya jam satu dia sudah di sini.
Mungkin lagi pergi atau sakit kali. Kelihatannya kamu
ada perlu sama Amir," tanya Pak Toha.
"lya, Pak, nanti sore ada pertandingan bola. Kita
butuh kiper seperti Amir. Badannya tinggi besar.
Dia cekatan menangkap bola."
Pak Toha manggut-manggut. Waktu terus
berjalan. Sekarang, pukul 15.00 sore. Bocah itu

57
mulai cemas. Setengah jam lagi pertandingan bola
akan dimulai.
"Udah Ali, nggak perlu kamu tunggu, besok aja
kamu ke sini lagi," ajak Pak Toha.
Bocah itu pun pamitan.
Sore itu, pertandingan sepakbola antar anak
kampung mulai digelar menyambut tujuh belas
Agustus. Kali ini, saling berhadapan kesebelasan
kelurahan Jatipadang tempat Ali dan Amir tinggal
melawan kelurahan Rawasari. Ini adalah
pertandingan final pertama berlangsung di
lapangan Rawasari. Tiga hari kemudian
pertandingan digelar di Jatipadang. Sebagai juara
adalah kesebelasan yang memiliki selisih gol
terbaik.
Beberapa orang berkerumun di pinggir lapangan.
Kebanyakan adalah supporter kesebelasan
Rawasari. Hanya beberapa anak SD Ketapang yang
hadir memberi dukungan pada bocah itu dan
timnya. Fatimah membawakan kardus minuman.
Sementara Jaim dan Jayus siap member semangat
pada anak- anak Jatipadang.
Ketidakhadiran Amir membuat kesebelasan
Jatipadang menjadi pincang karena tidak
mempunyai kiper yang andal. Penjaga gawang
yang biasanya dikawal Amir, kali ini digantikan oleh
seorang anak yang berbadan besar yakni Jayus.
Jayus sebenarnya hanya menonton, tapi karena
tidak afa kipper cadangan, Jayus pun ditarik ke
lapangan.
58
Namun meski badannya besar, Jayus kurang
terampil bermain bola. Pada babak pertama, dia
sudah keteteran menghadapi serangan lawan.
Akhirnya, gawangnya pun banyak kebobolan.
Berkali-kali Jayus memungut bola dari gawangnya,
itu membuat ia sering disoraki teman-temannya
termasuk Fatimah.
Pertandingan ini pun akhirnya dan dimenangkan
oleh anak-anak tuan rumah Rawasari dengan skor
meyakinkan 4-2. Dua gol kelurahan Jatipadang
dijaringkan oleh striker lincahnya, Ali. Kekalahan itu
membuat bocah itu dan teman-temannya sedih.
Padahal, sebelumnya mereka selalu menang
dengan angka yang cukup telak. Parabocah
Jatipadang pun tertunduk lesu. Mereka tidak
mengira akan kekalahan itu. Sementara anak-anak
Rawasari merayakan kemenangan itu dengan suka
cita. Mereka akan menjadi juara jika tidak
kebobolan dua gol.
"Ini semua gara-gara Jayus. Masak tendangan
lemah gitu masuk ...," teriak Boim.
"lya, lamban banget, sih, dia ...," tambah Yoyok.
"Kalian nggak bisa nyalahin saya, dong. Saya,
kan,
cuma pemain pengganti. Salahin aja si Amir yang
tidak datang,” bela Jayus.
"lya, Jayus benar... mestinya si Amir yang salah.
Tiba-tiba, dia tidak datang tanpa memberitahu kita,
sehingga kita nggak ada persiapan kiper," tegas
Boim.
59
"Kita harus jatuhkan hukuman buat Amir," lanjut
Yoyok.
"Benar! Emang gitu, kan, mestinya," tambah
Jayus ceria.
"Sudah, sudah, kita nggak usah nyalahin siapa-
siapa, kita kalah nggak terlalu memalukan. Minggu
depan di kandang kita, tim kita bisa juara kalau
menang 3-0. Yang penting kita persiapkan dari
sekarang oke," pinta Ali, sang kapten kesebelasan.
"Oke," semua menjawab kompak.
Hari kedua, sehabis pulang sekolah lagi-lagi Ali,
menunggu Amir. Masih di rumah Pak Toha. Kali ini
ia berpikir, pertama, bagaimana agar Amir bisa
diajak ke rumahnya. Kedua, ia bisa bergabung lagi
membela kesebelasannya. Bocah itu mulai cemas,
sampai pukul 15.00 Amir tak juga datang. Dan lagi-
lagi, Ali pulang ke rumah dengan kecewa.
Di rumah Amir, ternyata ia dikurung di rumah
saja. Mamanya melarang anaknya berkawan
dengan Ali. Mamanya tidak suka Amir bergaul,
bermain bola dengan bocah itu. Karena itu,
sepulang sekolah, Amir harus diam di rumah. la
tidak boleh keluar rumah.
"Ma, kenapa Amir nggak boleh bermain dengan
Ali? Apa salah dia?" tanya Amir.
"Amir, dengerin Mama, ya! Amir, mestinya kamu
bermain dengan anak baik-baik kayak Yanto atau
Rizal."

60
"Ali juga baik, Ma. Waktu tas Ali ketinggalan di
musala, Ali yang mengembalikan ke sini."
"Ali itu anak orang miskin. Mama khawatir dia
berteman sama kamu pasti ada apa-apanya."
"Enggak, Ali nggak seperti itu, Ma. Selama Amir
bermain dengan Ali, ia tidak pernah meminta
sesuatu pun dari Amir. Kalau pun Amir kasih
sesuatu, pasti ia menolak."
"Ah, itu, kan, cuma pikiranmu. Ibu lebih tahu
dari kamu,”
“Kenapa juga Amir nggak boleh mengaji sama
pak Toha,”
“Sudahlah sekarang kamu nurut Mama saja.
Nanti Mama carikan guru les mengaji yang lebih
baik dari Pak Toha."
"Terus main bolanya, Ma? Gimana, gara-gara
Amir nggak belain kemarin. Kesebelasan kelurahan
kita kalah, Ma."
"Nggak usah kuatir, nanti Mama daftarin ke
klub sepak bola yang terkenal. Yang nggak
kampungan gitu."
Begitulah. Rosidah benar-benar melarang
anaknya bergaul dengan Ali. Hal ini membuat Amir
sangat sedih. Selepas sekolah, ia harus langsung
pulang. Biasanya ia bertemu bocah itu dan belajar
mengaji di rumah Pak Toha. Dulu setiap sabtu sore
biasanya ia bermain bola. Kini, ia selalu diawasi
sopirnya, Pak Mamat. Sudah hampir tiga hari Amir
tidak bisa berjumpa dengan temannya.

61
Ali lebih sedih lagi. Karena, ini hari ketiga. Hari
terakhir, bocah itu harus bisa mengajak Amir ke
rumahnya. Pamannya pasti akan menuduhnya yang
tidak-tidak bila ia tidak bisa membawa Amir ke
rumah. Bocah itu bingung mencari jalan keluar.
Hari itu, selepas sekolah, Ali langsung menunggu
di depan gerbang SD Ibnu Sina. la berharap
bertemu dengan Amir. Kali ini, bocah itu tidak lagi
menunggu di rumah Pak Toha. Siang itu, pukul satu
siang bocah itu sudah menunggu di pintu gerbang
SD Ibnu Sina. Ia sengaja berlari dari sekolahnya,
takut terlambat. Keringat mengucur deras
membasahi bajunya. Napasnya pun terengah-
engah.
Ali bersandar di dinding bercat coklat. Mengatur
napas. matanya memerhatikan setiap mobil yang
meluncur keluar sekolah, tanpa berkedip. Sekitar
lima belas menit, ia menunggu, tetapi mobil yang
biasa dipakai Amir belum juga keluar. Bocah itu
menunggu dengan harap-harap cemas. Matanya
menatap tajam sebuah sedan mercy warna metalik
yang meluncur keluar dan akan melintas di depan
gerbang sekolah.
"Itu mobil Amir," pikir Ali lega.
Mobil itu meluncur semakin mendekat. Ali berdiri
di samping dengan waspada. Pada jarak yang
cukup dekat, Ali pun berteriak memanggil
sahabatnya. Tangannya melambai-lambai.
Teriakannya begitu kencang. Kaca mobil belakang
pun terbuka, dari dalam mobil Amir pun
62
menyambut teriakannya. la

63
meminta Pak Mamat untuk berhenti. Tetapi, lelaki
tua itu tetap tancap gas.
"Aliii ...," teriakan Amir dari dalam mobil. Mobil
pun berlalu meninggalkan sekolah itu. Bocah itu
hanya berdiri sedih. la lemas dan hanya terpaku
karena gagal menjumpai sahabat karibnya. Dan, ia
harus siap dengan hukuman yang akan diberikan oleh
pamannya nanti. Bocah itu pulang dengan tangan
hampa. Pasrah.
Bocah itu merasa gagal. la tidak langsung
pulang, tapi, mampir dulu ke rumah Pak
Toha. Di sana, Ali menceritakan semuanya. Pak
Toha mengerti. la siap untuk datang ke rumah
Ali dan menjelaskan kepada paman dan bibinya.
la merasa kasihan dengan masalah yang dihadapi
anak didiknya.
Akhirnya, sore itu Ali mengajak Pak Toha ke
rumah. Setelah menunggu sejenak, tak lama
kemudian Rahmat sampai di rumah mendorong
gerobak cendolnya. la heran dengan kedatangan
guru berpeci di teras rumahnya. Sementara Laela,
sembunyi di dalam rumah. Wanita gendut itu
merasa takut kalau kedatangan Pak Toha
menagih bayaran SPP bocah itu yang menunggak
dua bulan.
"Oh, Pak Toha, maaf Pak, saya baru pulang nih,
udah lama, Pak?" sapa Pak Rahmat sambil
menepikan gerobak cendolnya.

64
"Belum, baru saja kok, gimana dagangannya,
Pak?"
"Wah, beberapa hari ini agak sepi, Pak. Itu
masih banyak, sebentar Pak, saya ambilkan."
"Eh, nggak usah repot-repot, Pak."
Rahmat mengambil dua gelas es cendol
dagangannya. Lalu mereka berbincang di ruang
tamu.
"Begini, Pak Rahmat. Saya sudah mendengar
cerita dari Ali. Pada intinya keponakan Bapak
merasa bersalah kalau sampai hari ini ia tidak bisa
mengajak Amir ke sini."
"Oh, itu Pak, itu masalah kecil kok."
"Enggak Pak Rahmat, ini masalah besar. Saya
kenal baik dengan keponakan bapak juga Amir.
Mereka memang berteman karena saya guru
agama Ali di sekolah juga guru mengaji Amir di
rumah. Kalau bapak tidak percaya, sayalah
saksinya."
"Oh tidak, tidak usah, Pak. Saya percaya sama pak
Toha. Sebenarnya saya hanya ingin mengajari Ali
agar kalau memilih teman ya, jangan terlalu
jauhlah kondisinya. Dan, saya takut nanti kalau
orangtua mereka berpikiran macam-macam sama
Ali."
"Dalam berteman, kita tidak usah pilih-pilih, Pak.
Yang penting bisa saling memahami. Begitu, kan,
Ali?"
Ali hanya mengangguk pelan.
"Kalau memang begitu keadaannya, saya permisi
65
dulu, Pak. Saya khawatir kalau anak sekecil Ali
yang

66
sudah yatim piatu ini harus menanggung beban
yang terlalu berat, Bocah seumur dia masih perlu
kasih sayang," pinta Pak Toha.
Rahmat hanya mengangguk-angguk. Setelah
meneguk es cendol hingga habis, Pak Toha lalu
pamit. Bocah itu lega akhirnya tidak jadi dihukum.

--o0o—

67
BAB 6
Bibi Kehilangan Uang

Keuangan keluarga Rahmat mulai seret


belakangan ini. Apalagi musim hujan telah tiba.
Sudah hampir seminggu es cendol yang
dijajakannya dari pagi sampai petang masih banyak
tersisa. Bahkan, sudah tiga kali terpaksa dibuang
ke sungai. Hal ini membuat kondisi ekonomi
keluarga itu mulai kembang-kempis. Ditambah,
dagangan kios istrinya yang juga sepi.
"Pak, kenapa nggak cari kerja saja. Jualan es
cendol gitu, kan, nggak bisa menjamin kebutuhan
keluarga," tuntut istrinya suatu malam.
"Mau kerja apa, Bu? Ibu tahu sendiri bapak
sudah belasan tahun jadi buruh malah dipecat."
"lya, kerja apa, kek, yang penting nggak jualan
es cendol. Tanya sama Pak Marjan, barangkali ada
lowongan jadi satpam atau Om Marto, mungkin
perusahaannya butuh kurir, kan, bisa."
"Ya, baru akhir-akhir ini saja dagangan sepi,
dulu juga nggak begini."
"Ah, kalau pun laris duitnya juga nggak
seberapa," jawab istrinya sinis.
"Kita punya masalah dengan SPP-nya anak-anak,
Pak. Si Jaim satu bulan nunggak, Ali malah sudah
tiga bulan belum terbayar dan ada surat teguran
dari sekolah kalau minggu ini tidak dibayar Ali
akan

68
diskors, tidak boleh masuk lagi,”' tambah istrinya
jengkel.
“Jaim nunggak, ah yang bener saja. Baru
minggu lalu aku kasih. Mana itu anak?" Pak Rahmat
kaget.
Jaim pun dipanggil ayahnya. Rahmat
menanyakan uang SPP 1 bulan yang belum
dibayarkan. Bocah gendut itu mengatakan ia kalah
taruhan saat pertandingan bola anak-anak
Jatipadang melawan Rawasari. Rahmat pun marah.
Namun buru-buru istrinya membelanya. Laela
berjanji akan mengganti uang SPP bulan ini.
“Gara-gara Ali tuh, saya kalah taruhan,” ujar
Jaim.
“Jangan nyalahin saja, sana masuk kamar!”
jawaba Rahmat kesal.
Dia pun kembali duduk disamping istrinya.
“Pak, Jaim bagaimana pun anak kita. …kalau Ali
aku punya rencana, gimana kalau kita titipkan aja
ke panti asuhan. Kita kan, enggak sanggup
membiayai dia," saran Laela.
Rahmat tidak senang dengan ide istrinya, ia
menghela nafas panjang.
"Bu, semiskin apa pun kita. Aku nggak akan
nitipin anak itu ke panti asuhan. Biarlah dia di sini,
kalau kita cuma bisa membiayai sampai tamat SD,
ya nggak apa-apa. Kalau kita sanggupnya sampai
SMP, ya sampai SMP. Ali itu amanat dari kakakku,
Farid. Dan aku masih punya hutang banyak sama
Ali,”
69
"Baiklah, kalau begitu Bapak harus rajin cari
duit. Bayarin tuh, SPP Ali. Kalau si Jaim darah
dagingku. Biar cincin ini aku jual besok buat biaya
sekolah dia."
Akhirnya, perbincangan antara Rahmat dan
istrinya tidak menemukan titik terang mengenai
nasib Ali. Rahmat masih bertahan untuk membiayai
anak itu, sedang istrinya cenderung ingin bocah itu
tidak di rumahnya lagi.
Malam pun berganti pagi. Matahari telah
menampakkan wujudnya. Seperti biasa, Laela siap-
siap pergi ke pasar untuk kulakan dagangan. la
hendak mengambil uang untuk belanja. Tiba-tiba,
Laela dikejutkan dengan laci uangnya yang kosong.
Uang lima ratus ribu lenyap.
"Hah! Paaak ..., Pak ke sini Pak! Uang belanja
kita dicuri orang," teriaknya keras.
Dengan tergopoh-gopoh, Rahmat segera
menghampiri istrinya. la kaget melihat laci uang di
warungnya kosong. Sementara istrinya tertunduk
lemas duduk di kursi. Wajahnya pucat pasi.
"Uang itu untuk belanja barang dan makan kita
selama tiga hari pak!" kata istrinya lunglai.
"Kita harus cari pencurinya, Bu. Mana anak-
anak?"
Rahmat lalu memeriksa pintu rumah dan jendela.
Keributan itu memicu tetangga berdatangan.
Beberapa tetangga dekat pun mulai membantu
mencari. Pak RT memeriksa ke sana kemari,

70
barangkali ada jejak pencurinya. Namun sayang,
tak ada sesuatu yang bisa dicurigai. Pintu rumah,
jendela, semua masih utuh. Jaim dan Ali pun
mondar-mandir ikut membantu.
Setelah tidak berhasil mendapatkan titik terang
siapa pencuri itu para tetangga pun pulang. Saat
suasana sepi, kedua anak SD itu pun ditanyai.
"Ali, Jaim, di antara kalian ada yang mengambil
uang ibu nggak?" tanya Rahmat
Jaim menggeleng.
"Tidak tahu, Paman," jawab Ali.
"Bener kalian tidak tahu?" tanyanya
lagi. Jaim kembali menggeleng.
"Demi Allah, Paman, Ali tidak mengambilnya."
"Ya sudah. Asal tahu saja, uang itu buat jatah
makan kita tiga hari. Dan, sisanya buat belanja
untuk mengisi warung ibu. Kalau ketemu
pencurinya, saya akan gebukin meskipun itu kalian
berdua," kata Rahmat kesal.
Akhirnya, penderitaan keluarga Rahmat semakin
parah. Hari itu, mereka hanya memasak nasi
dengan lauk sambal dan ikan teri. Di sekolah, Ali
tidak mendapat uang buat jajan lagi, Ditambah
SPP-nya yang tiga bulan nunggak. Ali begitu sedih
melihat surat teguran dari sekolah. la
membayangkan seandainya kedua orangtuanya
masih hidup, tentu tidak akan menderita seperti ini.
Tapi, semua sudah menjadi kehendak Tuhan. Bocah
itu hanya bisa pasrah.

71
Siang itu, seperti biasa Ali bermain ke rumah Pak
Toha, tempat curahan hatinya. Pak Toha
menganggap Ali seperti anaknya sendiri. Bocah itu
menceritakan tentang keluarga pamannya yang
kehilangan uang. Dan juga SPP-nya yang tiga bulan
belum terbayar.
"Ali, kamu nggak usah bingung. Kemarin waktu
kamu nggak ke sini, Amir datang kemari. Bapak
memberi tahu SPP kamu nunggak tiga bulan. Dan,
ia tahu kalau minggu ini SPP-mu tidak dilunasi,
maka kamu akan diskors. Kemarin, dia membayari
SPP kamu."
"Apa? Amir, Pak. Saya ingin mengembalikan
uang itu biarlah saya diskor pak. Saya nggak
sekolah nggak apa-apa, saya ingin kerja, Pak. biar
tidak nyusahin paman dan bibi lagi." bocah itu
tampak emosi.
"Tidak Ali, kamu anak yang pandai. Kamu
peringkat nomor satu, kamu harus sekolah. Kalau
kamu mau mengembalikan uang Amir, silakan.
Anggap aja itu pinjaman dan kamu bisa
mengangsurnya."
"Kalau begitu, gimana caranya, Pak?" Ali mulai
luluh.
''Ali coba mencari sambilan kerja, apa saja yang
penting halal. Asal bisa dilakukan sepulang sekolah.
Nanti, uang itu kamu kumpulkan bisa dititipkan ke
bapak dan kalau sudah cukup nanti bisa
dikembalikan pada Amir. Bagaimana?"
"Baiklah, Pak. Saya akan cari kerja."
72
"Oya ... tentang uang bibimu yang hilang
bagaimana?"
"Belum ketemu, Pak."
"Aku turut sedih."
Lalu, Pak Toha masuk ke dapur, sekejap
kemudian lelaki berjenggot tipi situ memberikan
rantangan nasi lengkap dengan sayur dan lauknya
pada Ali. Rantang itu nanti untuk makan bersama
keluarga pamannya.
Setelah mendapat nasihat gurunya, esoknya Ali
pun segera mencari pekerjaan. Ia menghubungi
bang Sani, mandor bangunan tapi ditolak karena
terlalu kecil. Bocah itu menawarkan diri mencuci
piring di restoran bu Marni, tapi bu Marni tidak mau
kalau hanya kerja paruh waktu. Mang Jajang
preman pasar memintanya jadi pengamen namun
bocah itu tak tertarik.
Tiba-tiba bocah itu ingat haji Dorman. Dengan
senang hati Haji Dorman agen koran terbesar di
kecamatan menerimanya. Meski sebenarnya
tenaganya sudah cukup, tapi bagi pak Haji
menolong orang yang membutuhkan adalah ibadah.
Apalagi bocah itu pernah menolongnya mendorong
mobil tanpa pamrih.
Kini, setiap pagi sebelum sekolah dan sore hari
sepulang sekolah, Ali menjadi tukang loper koran.
la mendapat bayaran lima belas ribu rupiah per
hari. Disamping itu, bocah itu pun mendapat
pinjaman sepeda dari majikannya dan boleh
dibawa pulang.
73
Kebetulan, salah satu rumah yang menjadi
langganannya adalah rumah Amir.
Nah, itulah kesempatan Ali untuk terus
berhubungan dengan sohibnya. Ali selalu berbisik
pada Mpok Ijah untuk menyampaikan sesuatu
kepada sahabatnya. Suatu ketika, mereka berhasil
berjumpa di depan rumah Amir saat orangtuanya
tidak ada di rumah. Mereka gembira bisa berjumpa
karena sudah lama kedua sahabat itu tidak bersua.
"Makasih ya, Mir, uangnya. Berkat kamu aku
masih bisa sekolah."
"Berterima kasihlah pada Allah, kebetulan saja
nasibku lebih beruntung daripada kamu," kata Amir
merendah.
"Alhamdulillah besok aku diizinkan main bola
sama papaku, karena aku dapat nilai matematika
delapan," katanya bangga.
"Oh gitu, ya, besok kita harus menang main
bolanya,” tutur Ali gembira.
Ali senang mendengarnya, tiba-tiba ia ingat
mama Amir.
"Tapi, mamamu masih belum membolehkan kita
bertemu," tambahnya.
"Ali, aku minta maaf atas perlakuan mamaku.
Aku yakin suatu saat nanti mamaku bisa menerima
keberadaanmu, kok,” kata Amir.
"Aku mengerti."

74
"Oh ya, Ali, kemarin aku lihat saudaramu, Jaim,
sudah dua hari main video game di rental dekat
sekolahku. Kok, nggak sayang, ya, uangnya."
Ali mulai berpikir, dari mana Jaim mendapat
uang sebanyak itu.
"Jangan-jangan, uang itu “...pikir Ali mulai
mereka- reka.
Sesampainya di rumah, ia akan menanyai Jaim.
Uang yang ia gunakan untuk main video game itu
dari mana, pikir Ali. Setelah senang bisa jumpa
sahabatnya,
Ali pun pulang. la memarkir sepeda kerjanya di
samping rumah. Di teras paman, bibi, dan Jaim
menunggunya. Kelihatannya suasana kurang
baik. Mukanya berkerut semua. Ali terheran-
heran.
"Ali, duduk dulu!" bentak paman berkacak
pinggang.
Ali mulai ketakutan.
"Sekarang, kamu pura-pura kerja,ya? Biar
disangka punya uang banyak dari situ?" sindir
bibinya sinis.
"Maksud Bibi?"
"Ali? Bicara yang jujur, dari mana kamu dapat
uang untuk membayar SPP."
"Pasti itu duit Ibu, ayo ngaku,“ tuding Jaim.
"Ya Allah, oh itu "
"Iya itu, apalagi? Kita lagi susah, kok,” bentak
paman.

75
Bocah itu berpikir sesaat, apakah ia harus
mengatakan siapa yang membayari SPP-nya.
Dari jauh, Amir mengayuh sepeda ke rumah
bocah itu.
"Dari mana? Jawab!" tanya paman dengan
suara lantang.
Bocah itu masih diam, bingung apa yang akan
dikatakan. Tiba-tiba sebuah suara dari jauh
memecah keheningan.
"Dari saya, Om?" teriak Amir, tiba-tiba
muncul.
Semua tercengang. Kehadiran Amir sungguh
tidak disangka oleh paman dan bibinya termasuk
Ali. Amir pun menjelaskan semuanya.
"Om dan Tante, sayalah yang membayari SPP
Ali. Dia sahabat baik saya dan uang yang saya
pakai adalah tabungan saya tanpa
sepengetahuan orang tua. Saya tidak bisa
melihat Ali tidak sekolah, karena dia anak yang
baik dan cerdas,” jelas Amir.
Kedua orang tua itu bengong mendengar
penjelasan anak orang kaya di depannya.
“Maaf kalau saya harus menjelaskan semua
yang sebenarnya. Saya ingin Om dan Tante
berlaku adil. jangan hanya Ali yang ditanyai, tapi
Jaim juga. Saya melihat sudah dua hari dia main
video game di rental dekat sekolah saya. Dari saya
berangkat sekolah sampai saya pulang dia masih di
tempat itu. "

76
''Hah! Jaim, benarkah?" teriak Laela.
Rahmat dan Laela pun kaget mendengar
penjelasan Amir. Jaim diam membisu. Rahmat
berdiri mendekati anaknya. Matanya merah.
"Dari mana duit untuk main video game, Jaim?"
tanya Rahmat.
"Bohong, Pak, saya tidak main video game, kok,
saya cuma melihat," bela Jaim.
"Jaim yang bohong Om, kalau mau saya
panggilkan saksinya banyak," cetus Amir serius.
Ali hanya memerhatikan. Jaim benar-benar
terpojok. la pun menyerah.
"Kalau Jaim jujur, Bapak sama Ibu tidak marah
sama Jaim, kan?"
Rahmat menggelengkan kepala. Sementara,
Laela memandang tajam menunggu kata-kata dari
buah hatinya.
"Itu uang Ibu di laci Pak ...," kata Jaim lirih.
Bukan main terkejutnya Rahmat mendengar
pengakuan itu. Apalagi istrinya, ia seolah tak
percaya. Laela meneteskan air mata dan menangis
pelan. Rahmat tak sanggup menahan amarahnya.
Ditamparnya muka Jaim cukup keras dengan
tangan. Jaim pun menangis sejadi-jadinya.
Ali dan Amir berusaha untuk meredakan emosi
laki-laki setengah baya itu.
"Sudah, Paman, sabar, Paman "
"Om sudahlah, Om, kasihan Jaim, Om," bujuk
Amir.

77
"Masih kecil jadi pencuri kalau gede mau jadi
apa, hah?" bentak Pak Rahmat dengan emosi.
"Maafin Jaim, Pak ...," Jaim menangis tersedu-sedu.
Jaim merengek kesakitan. Dua pukulan ayahnya
mendarat telak di pipi kanan dan kiri membuat
wajahnya memerah. Sementara itu, Laela lari ke
kamar. la tak sanggup melihat anak
kesayangannya dihajar bapaknya. Namun, ia tidak
bisa menghentikan suaminya yang sedang marah.
Wanita itu tak pernah menyangka Jaim akan berbuat
seperti itu. la menangis
sedih. Hatinya seperti diiris-iris.
Akhirnya, Rahmat sadar bahwa anaknya
memang seorang anak yang nakal. Setelah
peristiwa itu, ia memberi hukuman Jaim untuk
membersihkan rumah, mengepel, dan mengisi bak
mandi. Tugas Ali pun berkurang sehingga ia
mempunyai waktu banyak untuk menjual koran.

Sore harinya, Ali dan Amir bertemu di lapangan


bola. Mereka sudah melupakan peristiwa yang
menimpa Jaim. Kesebelasan anak-anak kelurahan
Jatipadang siap untuk menebus kekalahan.
Keduanya bertekad untuk menundukkan anak-anak
kelurahan Rawasari. Apalagi mereka ditonton oleh
Pak Toha. Kedua anak itu tidak mau dipermalukan
lawan di depan guru yang santun itu dan juga di
kandang sendiri.

78
Penonton sudah meluber di pinggir arena.
Kebanyakan anak-anak dan sebagian orang dewasa
sebagai panitia lomba. Pedagang-pedagang pun
ikut meramaikan suasana. Termasuk Rahmat yang
berjualan cendol di pinggir lapangan. Fatimah tak
pernah absen memberi semangat pada rekan-
rekannya.
"Piala 17 Agustus kali ini harus kita rebut lagi,”
ujar Ali memberi semangat teman-temannya.
"lya, kita balas kekalahan kita tempo hari,"
kata Boim bek kanan.
"Saya minta maaf sama temen-temen kemarin
tidak datang, saya janji akan menjaga gawang kita
habis-habisan," tambah Amir.
"Horeee ...," teriak anak-anak kompak.
Kemudian, peluit pun berbunyi tanda
pertandingan dimulai. Permainan anak-anak
Jatipadang pun kelihatan kompak. Berkali-kali, Ali
yang lincah mengancam gawang kesebelasan
lawannya. Sementara Amir pun mati-matian
menjaga gawang. Berguling kesana kemari
memungut bola serangan anak-anak Rawasari.
Pertandingan kedua kesebelasan ini berjalan cukup
seru. Babak pertama skor masih imbang 0-0.
Babak kedua dimulai. Kali ini, anak-anak
Jatipadang menguasai jalannya pertandingan.
Sementara kesebelasan Rawasari mulai kehabisan
energi. Ali pun dengan gesit membombardir
gawang Jatipadang. Sebuah sundulan kerasnya
merobek jala
79
kesebelasan Rawasari. Gol itu menambah
semangat anak-anak Jatipadang. Kiper Rawasari
akhirnya harus bolak-balik memungut bola dari
gawangnya.
Pertandingan selesai. Hasil akhir dimenangkan
oleh kesebelasan anak anak Jatipadang. Skor-nya
pun cukup telak 3-0. Gelar pemain terbaik dan
pencetak gol terbanyak direbut oleh pemain
kesebelasan Jatipadang. Siapa lagi kalau bukan Ali
yang cerdik. Sorak-sorai penonton menyambut
kemenangan mewarnai lapangan rumput
Jatipadang. Mereka mengelu-elukan bocah itu bak
pahlawan.
Sukaria menyelimuti kesebelasan Jatipadang. Ali
pun mendekap Amir kuat-kuat. Ia bangga
sahabatnya mampu menjaga gawang dengan baik.
Tak satu pun gol mampu dijaringkan ke gawang
Jatipadang. Sementara itu, anak-anak Rawasari
tertunduk lesu. Kekalahan itu begitu menyakitkan.
Kemenangan itu membuat Haji Dorman, salah satu
tokoh kelurahan Jatipadang senang. Melalui
anaknya ia pun mentraktir seluruh pemain untuk
minum es cendol milik Rahmat. Dagangan itu pun
laris manis diserbu anak-anak. Rahmat ikut
bahagia mendapat berkah dari kemenangan
tersebut.
Tiba-tiba, ditengah sukaria kemenangan sebuah
mobil mewah meluncur di pinggir lapangan
memecah suasana. Seorang wanita muda keluar
pintu. Dia berjalan menuju tempat bocah-bocah itu
80
duduk

81
istirahat di lapangan. Mukanya tanpa senyum. Tak
ada seorang pun yang berani menegurnya.
"Amir ... ayo, pulang!"
Semua orang diam memerhatikan. Ibu muda itu
lalu menarik lengan Amir. Keceriaan pun mendadak
padam.
"Bentar lagi, Ma masih capek...,” pinta Amir.
"Tidak, Mama sudah bilang kamu tidak boleh
berteman sama anak itu, nanti kamu ketularan
miskin,”' kata Rosidah melihat Ali.
Bocah itu diam. Ali hanya tertunduk sedih. la
tidak tahu kenapa mama Amir membencinya.
Rahmat yang berdiri tak jauh dari tempat itu
merasa tersinggung keponakannya diperlakukan
seperti itu. Dia pun segera menghampiri wanita
yang telah menghina kehormatan keluarganya.
“Hai…wanita kaya, jangan mentang-mentang
kaya terus menghina orang seenaknya. Meski kami
orang miskin tapi kami punya harga diri, daripada
jadi orang kaya tapi tidak punya perasaan,” ujar
Rahmat terpancing emosi.
Rosidah melengos tidak peduli, wanita muda itu
menarik anaknya ke mobil. Pak Toha segera
menenangkan Rahmat yang murka. Rahmat pun
kembali menuju gerobak esnya.
Suasana menjadi hening. Pak Toha hanya
geleng- geleng kepala. Para penonton lainnya diam
terpaku. Bocah itu masih menatap mama Amir yang
memaksa

82
anaknya masuk ke mobil. Amir berusaha meronta,
tapi tak kuasa. Akhirnya, mobil pun melaju.
Pak Toha mendekati Ali yang tertunduk lesu.
Kebahagiaan yang dirasakannya pupus sudah.
Muka bocah itu begitu sedih, air matanya pun
mengucur. Pak Toha dan semua yang ada di situ
merasa simpati pada bocah itu. Fatimah pun
memberikan tisu untuk melap mukanya yang
basah.
“Ali adalah pahlawan kita. Kesebelasan kita
menang karena dia yang berperan besar. Saya
tidak terima Ali dihina di depan orang banyak,” ujar
Boim. “Ya saya juga tidak terima dengan
perlakuan kasar itu. Meski kami miskin tapi kami
tak pernah mencuri atau pun korupsi. Kami
mendingan tidak makan ketimbang
mendapat rejeki yang tidak
halal,“ ujar Rahmat.
Anak-anak dan beberapa warga kali ini bersatu
mendukung Ali. Bahkan mereka semua siap untuk
membalas bila Ali menghendaki. Namun bocah itu
tidak biasa melakukan balas dendam. Dia ingat
pesan ibunya ; Cukuplah Allah yang menjadi
penolongku karena Allah adalah sebaik-baiknya
penolong. Pak Toha pun menenangkan hatinya.
"Sudahlah Ali, jangan bersedih ... berdoa-lah
pada Allah semoga mama Amir diberi kesadaran,"
kata Pak Toha menghibur.
Guru yang bijak itu lalu menuntun Ali pulang.
Orang-orang masih diam tertegun melihat
83
ketegaran bocah itu.-o0o-

84
BAB 7
Kehilangan Pelanggan

Suatu siang, di rumah Haji Dorman, Ali


menerima gaji pertamanya, seminggu ia
mendapat upah seratus ribu rupiah. Lumayan,
dalam sebulan bocah itu sudah bisa membayar
hutangnya pada Amir. Haji Dorman masih
memandangi burung perkututnya ketika Ali
sedang mencuci sepedanya. Laki-laki bersarung
itu menghampiri bocah itu.
"Ali, minggu ini kita kehilangan satu
pelanggan. Sopir keluarga Amir tadi pagi datang
ke sini, katanya mereka berhenti berlangganan.
Aku heran, padahal mereka keluarga yang suka
membaca koran. Dan merekalah pelangganan
terlama saya," kata Pak Dorman kecewa.
Ali diam mendengarkan. Bocah itu tahu duduk
permasalahannya.
''Keluarga itu langganan kita tiga, satu koran
harian, satu tabloid dan majalah. Kamu coba
meyakinkan mereka untuk tetap berlangganan,
sebab kalau berhasil sangat berpengaruh pada
penghasilanmu."
Ali hanya tertegun. la tidak tahu apa yang harus
ia lakukan. Sudah dua hari, sejak selesai main
bola itu ia tidak ke rumah Amir. Selama itu, ia
hanya melempar koran dari pagar luar. Pernah ia

85
dimarahi pak Mamat gara-gara korannya masuk
ke kolam ikan.
Malam harinya, bocah itu shalat Tahajud.
Setelah shalat, ia berdoa agar keluarga Pak
Rahmat diberi kemudahan rezeki dan keselamatan.
la juga mendoakan agar permasaiahan yang
sedang ia hadapi bisa diberikan jalan keluar.
"Ya Allah, berilah petunjuk-Mu pada mama
Amir,agar dia tidak bersikap membenci aku, ya
Allah. Aku yakin ia seorang ibu yang baik, hanya
saja ia tidak mengerti."
Sementara di rumah keluarga Rahmat, Ali mulai
diperhatikan paman dan bibinya. Apalagi setelah
gajian ia selalu memberikan sebagian jerih
payahnya pada bibinya. Laela merasa senang.
Sedikit demi sedikit, perlakuannya terhadap bocah
itu pun mulai berubah.
Sementara Jaim, gara-gara mencuri uang ibunya,
ia diberikan beban pekerjaan di rumah. Jaim
sekarang harus menyapu lantai rumah dan
halaman, menguras dan mengisi bak mandi tiap
sore. Waktu menonton tevenya pun kini berkurang
jauh. Sebaliknya tugas Ali kini lenih ringan. Namun
meski sudah lelah bekerja, tiap malam Ali tetap
membantu pamannya membuat cendol.
Suatu hari, Ali dipanggil ke tempat Pak Toha.
Saat itu, Pak Toha sedang mengoreksi ulangan
agama. Melihat kedatangannya, Pak Toha
mempersilakan masuk.

86
"Assalamu alaikum."
"Wa "alaikum salam, masuk Ali."
"Akhir-akhir ini kenapa nilai ulanganmu
menurun, banyak guru yang bilang pada Bapak.
Padahal, kamu dikenal sebagai anak yang pintar,"
kata Pak Toha.
"Bapak tahu, kamu banyak masalah. Dan kamu
juga sibuk bekerja, tapi belajar seharusnya tetap
jalan, ada masalah apa Ali" lanjutnya.
"Saya bingung, Pak. Haji Dorman menyuruh saya
untuk merayu keluarga Amir langganan koran
kembali. Padahal, Bapak tahu mama Amir sangat
tidak suka sama saya. Dan saya tidak tahu
alasannya."
"Ya, mama Amir cuma tidak senang anaknya
bergaul dengan anak orang yang tidak sederajat
dengannya. la lebih suka anaknya bermain dengan
anak-anak orang mampu."
"Terus gimana caranya, agar saya bisa kembali
bermain dengan Amir. Dan keluarga Amir bisa
kembali langganan koran pak Dorman."
"Ya, Bapak akan coba bantu. Kebetulan kawan
bapak, Bu Samsiah itu sering mengisi ceramah di
pengajian mamanya Amir. Mungkin lewat Bu
Samsiah saya akan usahakan. Kamu tenang saja.
Yang penting buat kamu kembali belajar."
"Oh ya, Pak. Ini saya mau nitip uang Amir. Saya
baru dapat bayaran kemarin."

87
"Ya nanti saya sampaikan,”' kata Pak Toha
menerima uang dari Ali.
Di rumah Amir, papanya pak Bagas dan
mamanya lagi santai di ruang tengah. Sementara
Amir belajar di kamarnya.
"Ma, kemarin Amir bilang, katanya mama
melarang Amir bergaul dengan anak lain sekolah,
namanya Ali, kenapa sih, Ma?"
Rosidah masih sibuk memutar remote teve.
Memindah-mindah stasiun teve.
"Mama cuma ingin agar Amir nanti jadi anak
baik-baik. Dia harus pandai memilih teman dan
jangan salah bergaul. Semua ini mama lakukan
demi Amir, kok, Pa."
"Tapi, Amir bilang Ali itu anak baik. la bahkan
pernah mengembalikan tasnya yang ketinggalan di
musala."
"Ali itu anak pedagang cendol Pak, dia juga
seorang loper koran. Apa pantas ia bergaul dengan
anak kita?"
"Papa tidak setuju kalau itu alasan mama.
Selama anak itu baik kelakuannya, biarlah Amir
bermain dengannya. Mama tidak boleh merebut
masa anak- anak Amir."
"Mama tidak merebut, tapi mengarahkan, Mama
tidak mau anak kita bergaul dengan anak gembel,
titik!"

88
Rosidah kesal dan marah. la pergi meninggalkan
ruang santai. Suaminya hanya geleng-geleng kepala
menyaksikan istrinya yang keras kepala.
Pada malam harinya, Rosidah mengikuti
pengajian rutin wanita di lingkungannya. Pengajian
ini dihadiri ibu-ibu yang umumnya golongan
menengah ke atas. Seperti biasa, ceramah biasa
diisi oleh Hajah Samsiah. Pada saat ceramah,
Samsiah menyampaikan ceramahnya tentang
larangan Allah menyia-nyiakan anak yatim. Semua
jamaah yang hadir mendengarkan dengan
saksama.
"Jadi ibu-ibu, dalam surah Al-Maun dikatakan
bahwa Allah mengutuk orang-orang yang
menghardik anak yatim dan tidak menyantuni fakir
miskin," kata Samsiah.
"Juga dalam berhubungan kita dengan sesama
manusia tuntunan ajaran agama kita tidak
memandang harta, kedudukan, maupun status
sosial. Yang paling utama adalah akhlaknya. Kalau
seseorang mempunyai akhlak yang terpuji dan
sholeh kita wajib menyambung silaturahmi.
Apalagi sesama muslim wajib hukumnya,"
“Selain hablum minallah, maka kita sebagai
makhluk sosial wajib untuk hablum minnannas.
Termasuk pergaulan anak-anak kita harus atas
dasar iman dan akhlaktul karimah. Jangan karena
anak orang miskin kita membatasi pergaulan anak-
anak kita. Manusia di mata Allah sama, yang
membedakan hanya takwa- nya.”
89
Begitulah isi ceramah Hajah Samsiah. Ajakan itu
disampaikan ustazah kepada para peserta
pengajian, termasuk Rosidah. Perempuan itu merasa
ceramah itu ditujukan padanya. Seakan-akan sang
ustazah ingin agar dia mengijinkan anaknya
bermain dengan bocah gembel itu.
Tapi meski begitu, ia masih tinggi hati. Rosidah
menganggap semua yang dilakukannya terhadap
Ali adalah hal yang baik. Sepulang pengajian, dalam
hati Rosidah terjadi perang batin yang hebat. Di
satu sisi, ia membenarkan ceramah guru ngajinya,
di sisi lain ia malu dan merasa dirinya rendah kalau
harus minta maaf pada Ali dan keluarganya.
Sementara Ali terus bekerja seperti biasa
sepulang sekolah. Fatimah teman sekelasnya, siang
itu memintanya mampir ke rumahnya untuk
membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Sambil
membawa korannya, Ali menuju rumah Fatimah.
Ternyata, orang tua Fatimah sangat baik seperti
anaknya. Selepas belajar dengan Fatimah, ibu
Fatimah mendaftar menjadi pelanggan koran yang
dibawa Ali, tak tanggung-tanggung mereka
berlangganan tiga media. Nilainya sama dengan
yang dibayar keluarga Amir. Bocah itu merasa
senang karena keyakinannya bahwa Tuhan akan
memberikan ganti atas pelanggannya yang
berhenti. Bocah itu ingat di kitab suci dikatakan
bahwa Tuhan menurut prasangka hamba-Nya.
-o0o-

90
BAB 8
Bertemu Pengemis Tua

Seperti biasa sepulang sekolah, bocah itu


berganti baju lalu mengayuh sepeda kecilnya dan
berjualan koran. Hujan rintik telah tiba, hari itu tak
banyak koran yang terjual. Padahal sejak jam
12.00 bocah itu telah keliling kota. Selepas shalat
Ashar, Ali tiduran di musala. Bocah itu kecapekan,
apalagi hari Kamis ini ia tengah puasa. Sejak hidup
dengan neneknya, Ali membiasakan diri untuk rajin
puasa Senin-Kamis. Hujan di luar juga turun lebat,
Bocah itu masih menunggu hujan reda.
Bocah itu berniat untuk ziarah ke makam
kedua orangtuanya. Meski jaraknya cukup jauh ia
tetap menggunakan sepeda ke sana. Setelah hujan
berhenti, Ali bersiap diri menuju pemakaman Bukit
Rawa tempat ayah dan ibunya beristirahat tenang
di alam baka. Anak itu membiasakan diri sebulan
sekali ziarah ke kuburan orangtuanya dan
neneknya. Kalau bocah itu punya masalah di
samping ke pak Toha dia juga mengadu di makam
orang tuanya.
Bocah itu meluncur meninggalkan musala,
menyusuri jalanan yang masih tergenang air.
Perjalanan dari rumah paman ke pemakaman
ditempuh selama satu jam. Ali mengayuh sepeda
dengan santai sambil menikmati udara sore di Kota
Besar. Cuaca cukup sejuk setelah hujan mengguyur

91
dan membasahi permukaan aspal. Tumpukan koran
ditaruh dibesi tengah sepeda. Genangan air terlihat
di jalan yang berlubang.
Tiba-tiba dari arah belakang sebuah mobil sedan
mewah meluncur. Mobil itu melintas tidak jauh
darinya di atas air genangan di jalan. Air itu
terlindas ban mobil dan muncrat mengguyur
tubuhnya. Pakaian bocah itu pun kecipratan
sehingga basah kuyup dan kotor. Korannya yang
masih banyak ikut tersiram air kotor. Akibatnya,
koran itu tak layak dijual lagi. Bocah itu rela kalau
dirinya disemprot genangan air hujan, tapi sedih
ketika barang dagangannya kotor hingga tak laku
lagi.
Dari jauh mobil itu berjalan pelan. Seorang
wanita muda berkacamata hitam membuka jendela.
Wanita yang tak lain adalah Rosidah, perempuan itu
bukannya minta maaf tapi malah tersenyum kecut
ke arahnya. Mobil pun melaju lagi
meninggalkannya.
Ali menghentikan sepedanya, menyeka wajahnya
yang kotor dengan sapu tangannya. Dilihatnya
koran yang kotor. Bentuknya sudah tidak karuan.
"Haji Dorman pasti akan marah dan meminta
ganti rugi korannya," pikirnya cemas.
Ali hanya berdiri mematung. la bisa merasakan
begitu dalamnya kebencian Rosidah pada dirinya.
Tanpa disadari, air matanya menitik pelan. la tidak
sanggup diperlakukan seperti itu. Apa yang
dilakukan mama Amir dianggapnya sudah sangat
92
keterlaluan. Bocah itu berpikir jika ayahnya masih

93
ada, tentu orang lain tidak akan berani
menghinanya seperti itu.
Ali teringat ketika ayahnya masih ada. Waktu itu
ada seorang pemuda kaya yang menghinanya.
Ketika hal itu diceritakan pada ayahnya, ia segera
mendatangi pemuda itu. Ayahnya tegas dank keras.
Kehormatan keluarga diatas segalanya. Pemuda itu
disuruh minta maaf di hadapan banyak orang
kepadanya. Ketika ayahnya masih ada, tak ada
satu pun orang berani menghinanya. Tapi, sekarang
kondisinya sudah jauh berbeda. Apalagi perempuan
kaya itu sering menyebutnya gembel.
Selangkah kemudian, Ali kembali mengayuh
sepedanya. Ajaran kesabaran dari ibunda,
membuatnya mengerti akan makna kehidupan.
Meski sebenarnya bocah itu terlalu kecil untuk
menanggung semua itu. Sementara koran yang
lecek dan kotor dibiarkan menggantung di
sepedanya. Koran ini akan menjadi bukti kepada
Haji Dorman. Tapi, ia bingung mencari alasan
kenapa koran itu menjadi lecek. Untuk berkata jujur,
tidak mungkin dia lakukan mengingat Haji Dorman
berharap keluarga Amir suatu saat nanti
berlangganan kembali korannya.
Di perjalanan menuju makam, Ali sempat
mampir ke pasar. la membeli sepotong roti dan air
mineral untuk berbuka puasa nanti. Sekantung
makanan itu dimasukan ke dalam tas. Setelah
hampir setengah jam menggenjot sepeda,
sampailah bocah itu di pemakaman Bukit Rawa.
94
Suasana pemakaman menjelang magrib sunyi
senyap. Hanya ada satu atau dua orang lalu lalang
untuk ziarah. Umumnya mereka menggunakan
mobil. Meski hanya bersepeda Ali tidak merasa
minder. Ia segera berjalan menuju tempat istirahat
kedua orangtuanya.
Ali duduk di antara makam kedua orangtuanya
yang bersebelahan. la menengadahkan tangannya
ke atas.
"Ya Allah, ampunilah dosa kedua orang-tuaku
dan kasihanilah keduanya sebagaimana keduanya
mengasihani aku sewaktu kecil,"doa bocah itu.
Setelah berdoa, air matanya pun menetes
membasahi pipinya. la masih ingin merasakan kasih
sayang orangtuanya seperti anak-anak seusianya.
Bocah itu merasa kehidupannya sangat sulit tanpa
kedua orangtua. Bocah itu merasa berat
menanggung kehidupannya yang sering
dicampakkan orang. Matanya merah, ia tak kuasa
membendung air matanya. Bocah itu menangis
sesenggukan. Di saat batinnya galau bocah itu ingin
kedua orang tuanya segera menjemputnya. Dia
ingin kembali berkumpul, tertawa dan bercanda
dengan orang tuanya di surga.
Tiba-tiba lamunannya terbang ketika sebuah
suara memecah keheningan. Di tengah kepedihan
hatinya, samar-samar ia mendengar rintihan suara
orang minta tolong tak jauh dari tempatnya.

95
Ali sadar kakinya masih menginjak bumi. Bocah
itu bangkit dan menyeka air matanya. la mencari
arah datangnya suara tersebut.
"Aduuhh ... aduuuh ..., tolooong "
Bocah itui mencari asal suara itu. Dari jauh, ia
melihat seorang tua yang merintih di dekat pohon
Kemboja. Ali segera menghampiri orangtua itu.
Orang itu tampak lemas, ia bersandar pada sebuah
pagar makam. Rupanya, ia seorang pengemis tua.
Pakaiannya tampak kumal dan kotor. Janggutnya
putih lebat dan badannya kurus kering,
"Ada apa Pak, Bapak kenapa?" tanya Ali
mendekat. "Tolong, Nak ... Bapak lemas
sekali badan
sakit, seharian ... belum makan,” kata orang tua
itu dengan kalimat patah-patah.
Tak larna kemudian, azan maghrib terdengar.
Saatnya berbuka puasa telah tiba. Makanan milik Ali
hanya cukup untuk satu orang. Ia merasa bingung.
Makanan itu untuk membatalkan puasanya atau
diberikan pada orang tua itu. Akhirnya, ia memilih
mana yang lebih mendesak dan membutuhkan.
Bocah itu merasa haus dan lapar, tapi orang tua itu
lebih membutuhkan karena tidak ada yang bisa
menolong selain dirinya.
Sepotong roti dan air mineral ia sodorkan. Orang
tua itu memakannya pelan-pelan. Setelah habis
makanan dan minuman, Ali menuntunnya sampai
ke pos penjagaan di jalan depan.

96
"Nak, terima kasih banyak. Semoga Tuhan
membalas kebaikanmu. Kalau kamu mau pulang
silakan, Bapak istirahat di sini saja,” kata orang
berpakain putih-putih itu.
Ali diam sesaat memandangi laki-laki tua itu.
Selama beberapa kali ke makam belum pernah ia
melihat pengemis itu. Karena hari telah senja
bocah itu kemudian pulang, meski lapar ia merasa
senang bisa menolong orang lain. Pesan mendiang
ibunya setidaknya telah ia jalankan.
Ali kemudian mengambil sepedanya. Sekelebat
kemudian bocah itu melewati pos penjagaan,
namun ia heran melihat orang tua itu sudah tidak
ada di tempatnya. Sejenak dia mengamati di
sekitarnya. Tidak ada tanda-tanda orang tua itu
pergi. Karena waktu menjelang malam apalagi di
kuburan sendiri, bocah itu mulai ketakutan. Ia pun
bergegas pergi mengayuh sepedanya kencang.
Setelah shalat Magrib, Ali bergegas menuju ke
rumah Haji Dorman. Bagaimana pun dia harus
mempertanggungjawabkan koran yang lecek dan
tidak laku. Petang pun telah tiba dan bocah itu
terus berjalan pulang.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh,
Ali sampai di rumah Haji Dorman. Ternyata di rumah
Pak Haji sedang ada hajatan. Beberapa tetangga
sekitar tampak berkerumun di depan rumah. Bocah
itu menuntun sepedanya di haiaman rumah.
Bajunya

97
yang kotor telah mengering. Haji Dorman yang
berada di ruang tamu berjalan keluar menemuinya.
"Ali, tumben baru pulang, dari mana saja?"
tanya Pak Dorman.
Ali menceritakan semua yang telah dialaminya.
Termasuk mengakui bahwa korannya terjatuh dari
sepeda sehingga tercebur di genangan air. Ali takut
kalau Haji Dorman memecatnya. Bocah itu merasa
khawatir dan dihantui ketakutan.
Haji Dorman menepuk bahu Ali. Laki-laki
setengah baya itu tersenyum.
"Ali, sudahlah lupakan peristiwa itu. Bapak tidak
marah, Ali tidak perlu menggantinya. Mudah-
mudahan itu menjadi penebus dosa kita," tutur Haji
Dorman.
Ali bersyukur pada Allah dan berterima kasih
atas kebaikan Haji Dorman.
"Ali, hari ini hari bahagia Bapak, karena Bapak
berhasil mendapat bonus sebagai agen dengan
penjualan terbaik tahun ini. Maka, malam ini bapak
mengadakan tasyakuran. Ayo Ali masuk ke dalam
makan dulu."
Bocah itu pun masuk ke dalam rumah, beberapa
kawan sesama loper koran tengah makan di dalam
rumah. Makanan dan minuman enak tersaji di
meja. Ali pun menyantap daging rendang
kesukaannya. Makanan itu terakhir kali dimakannya
saat ibunya masih ada.

98
Dalam hati, ia bersyukur karena Allah
menggantikan makanan yang ia berikan kepada
pengemis tua itu dengan makanan yang jauh lebih
lezat. Lantas, Ali berbuka puasa dengan nikmat. la
merasa Allah telah memberikan karunia di tengah
kehidupannya yang penuh dengan cobaan. Bocah
itu yakin seperti apa yang dikatakan dalam kitab
suci, bahwa dibalik kesulitan pasti ada kemudahan.

-o0o-

99
BAB 9
Dompet Pembawa Berkah

Suatu hari jatuh di hari Sabtu, pak Bagas dan


istrinya tengah belanja di sebuah pusat
perbelanjaan yang terbilang elite di kota itu. Amir
tidak ikut karena anak itu lebih memilih bermain
play station yang baru dibelikan papanya.
Keluarga muda itu biasnyaa membeli segala
kebutuhan sehari-hari di mal terbesar di Kota
Besar.
Rosidah ingin memberikan kejutan buat
Amir. Kebetulan besok anaknya akan berulang
tahun. Rencananya akan dirayakan bersama
teman-teman sekolah di rumah. Undangan sudah
disebar. Suami istri itu membeli aneka makanan
untuk mempersiapkan pesta Amir. Mpok Ijah
tergopoh- gopoh menenteng belanjaan yang cukup
banyak.
Setelah belanjaan dirasa cukup, mereka
bergegas pulang. Pak Bagas mengambil mobil di
tempat parkir. Ia menyuruh mpok Ijah dan istrinya
menunggu di depan mal. Pak Mamat sopir
pribadinya sedang tidak sehat dan beristirahat di
rumah. Parkir mall cukup padat sehingga perlu
waktu lama bagi pak Bagas untuk mengeluarkan
mobilnya.
10
0
Sementara Rosidah berada di luar mal bersama
pembantunya mulai jenuh. Wanita itu tak sabar
menantikan tumpangannya datang. Banyak sekali
orang berlalu lalang di super market itu. Saking
banyaknya belanjaan tas yang dipegang wanita
itu tidak erat. Tiba-tiba seorang pemuda berwajah
garang sekelebat menyambar tas kecil di
lengannya. Rosidah kaget dan berteriak
sementara sang preman lari terbirit-birit.
"Tolooong ... copeeet .” teriak Rosidah
kencang.
Pencopet itu langsung mengambil langkah
seribu. Suasana menjadi ramai. Beberapa orang
di sekitarnya pun ikut mengejar sang pencopet
termasuk seorang satpam mal.
Pak Bagas segera menepikan mobilnya. Laki-laki
berkaca mata itu berlari mendekati istrinya.
Pengusaha muda itu pun menenangkan istrinya
yang panik dan terlihat pucat. Mpok Ijah buru-
buru memegangi majikannya yang lemas.
"Pa ... Mama kecopetan ...semua barang
berharga ada di tas itu."
Pak Bagas ikut panik. la segera menghubungi
kantor polisi lewat handphone-nya.
Beberapa orang pun berlari mengejar si pen-
copet. Namun, sayang tukang copet itu berlari
begitu cepat untuk diikuti. la sengaja mencari di
jalan yang sepi menghindari keramaian. Pencopet
itu masuk ke lorong-lorong di belakang mal.
Seorang
10
1
satpam mal masih membuntuti dari kejauhan. la
terus mengejar sambil berteriak. Karena sepi tak
ada seorang pun yang mendengar teriakannya.
"Copet ... copeeeeet ...," teriaknya lantang.
Pada waktu yang sama, kebetulan Ali tengah
melintas di jalan kecil itu dengan sepedanya. Dia
baru saja mengantar koran ke pelangganya yang
rumahnya terletak di belakang mal. Bocah itu
sengaja mencari jalan yang sepi supaya dia
terhindar dari keramaian. Apalagi sangat sedikit
orang yang mengendarai sepeda di jalan besar. Debu
dan asap pun banyak sekali.
Dari arah depan, Ali melihat satpam gemuk
mengejar seseorang. Dari teriakan satpam itu,
bocah itu tahu orang yang lari di kejauhan
mengarah kepadanya adalah seorang pencopet. Ali
berpikir langkah apa yang mesti ia ambil. Semakin
lama semakin jelas pencopet itu dari
pandangannya. Bocah itu pun mengambil tindakan
yang cepat. Akhirnya, bocah itu pun pun nekat.
Braaak ....
Tabrakan pun terjadi. Sepeda kecil yang
dibawanya ia tabrakan ke badan si pencopet.
Teriakan mengerang keras dari kedua pihak. Sang
Pencopet terdorong dua meter ke belakang. Ali
terpental ke samping dan jatuh di trotoar.
Sepedanya rusak dan masuk selokan. Pencopet
tersungkur kesakitan. Kaki dan pahanya lecet.
Darahnya pun keluar. Sementara kepala bocah itu
terbentur aspal. Tangan dan sikunya luka-luka.
10
2
Dadanya sedikit sesak. Pencopet itu

10
3
mengerang kesakitan, sementara bocah itu diam
tak berdaya.
Dengan mudah, satpam pun menangkap sang
pencopet yang sudah tak berkutik. Sebagian orang
pun berdatangan. Ada yang emosi sempat
memukuli si berandal itu. Tapi, sebelum si pencopet
sampai sekarat dihakimi massa, dua orang petugas
kepolisian datang ke lokasi. Seorang anggota polisi
langsung memborgol pencopet. Beberapa orang
turut menggotong dan membawanya bocah itu ke
rumah sakit. Bocah itu pingsan, darah menetes dari
kepalanya.
Pencopet berikut tas yang dirampas diamankan
oleh petugas kepolisian. Tak lama kemudian, Pak
Bagas dan istrinya sampai ke tempat kejadian.
Rosidah bersyukur pencopet dapat ditangkap. Dia
sangat senang tasnya berhasil ditemukan dan
setelah diperiksa isinya masih utuh.
"Tadi ada anak kecil pemberani yang
menabrakkan sepedanya dan melumpuhkan pen-
copet itu,” kata satpam mal.
"Sekarang, anak itu di mana, Pak?" tanya Pak Bagas.
"la pingsan dan sekarang sedang menuju rumah
sakit,” jelas polisi.
"Pak, ayolah kita tengok anak itu, aku
perlu berterima kasih kepadanya," kata
Rosidah.
"lya Ma, tapi kita pulang dulu, supaya Mama lebih
tenang."

10
4
Rosidah lega tas yang berisi dompetnya bisa
kembali. Di dalam tas itu, tidak hanya berisi uang
jutaan rupiah, tapi juga surat-surat penting seperti
kartu kredit, paspor, dan identitas berharga lainnya.
"Alhamdulillah, Pa, semua masih utuh," kata
Rosidah sesampainya di rumah.
"Ya, Ma, ini juga karena bantuan anak kecil itu.
la rela menabrakan dirinya berikut sepedanya
untuk merobohkan si pencopet. la berkorban untuk
orang yang tidak dikenalnya. Apalagi kalau orang
yang ditolong dikenalnya, pasti ia mau berkorban
lebih besar lagi,” tambah pak Bagas kagum.
"Pak, aku ingin sekali bertemu anak itu, ia pasti
anak yang pemberani, aku akan menanggung
semua biaya perawatannya,” puji Rosidah.
“Nanti kita tengok ke rumah sakit bersama Amir,
agar ia bisa berteman dengan anak itu, Amir perlu
belajar banyak padanya,”
“Pa aku punya usul, bagaimana kalau anak kecil
itu nanti kita belikan sepeda baru, untuk mengganti
sepedanya yang rusak."
"Usul yang bagus, tapi lebih bagus lagi jika anak
itu orangtuanya tidak punya, kita biayai saja
sekolahnya."
"Oke, Pa, aku setuju sekali."
Sore harinya, Rosidah dan suaminya serta anak
semata wayangnya pergi ke rumah sakit. Mereka
bermaksud menjenguk bocah kecil pemberani
untuk mengucapkan terima kasih. Berbagai buah-
buahan
10
5
segar dan makanan lengkap disiapkan. Mama Amir
pun membawa aneka roti yang lezat yang mestinya
digunakan untuk ulang tahun anaknya setelah Amir
mengijinkan.
Sementara itu, di rumah sakit pusat Kota Besar,
Rahmat dan istrinya menunggu disamping bocah.
Jaim duduk agak jauh. Balutan perban di kepala
dan tangannya masih basah oleh darah. Ali masih
tak sadarkan diri. Bocah itu diinfus. Menurut dokter
bocah itu dalam keadaan koma. Ada geger otak
kecil dikepalanya.
Rahmat pun ingat almarhum Farid yang
kecelakaan dan masuk ke rumah sakit Kota Besar.
Di rumah sakit itu Munawati menghembuskan
nafasnya yang terakhir. Kini di hadapannya anak
yang mestinya dia jaga terbujur tak berdaya. Itulah
bocah yang diamanahkan kepadanya. Matanya
berkaca-kaca. Ia merasa telah menyia-nyiakan
amanat itu. Bocah itu tak sadarkan diri untuk
beberapa lama.
“Aku telah gagal mengemban amanah abangku.
Duitnya telah aku pakai habis dan sekarang Ali
harus ikut bekerja menanggung himpitan ekonomi
keluargaku,” tutur Rahmat menyesali diri sendiri.
Tanpa disadari, Jaim meneteskan air mata.
Rupanya, ia mulai sadar akan perbuatannya selama
ini. Jaim merasa bersalah selama ini berbuat zalim
kepada saudara sepupunya.
"Pak, kasihan Ali. Aku selalu berbuat jahat
padanya,” kata Jaim.
10
6
"Sudahlah, Jaim, doakan saja Ali lekas sembuh,"
kata Rahmat menghibur.
“Nanti kalau sudah sehat, aku mau ajak Ali
sekolah bareng naik sepeda. Kasihan melihatnya
jalan , sampai kakinya bengkak,” Jaim menangis.
Demikian juga Laela, ia merasa bersalah selama
ini memperlakukan bocah itu tidak sewajarnya.
"Untuk biaya rumah sakit Ali, biarlah cincinku
dijual, Pak, ini untuk menebus dosaku padanya,"
kata istrinya.
Rahmat bersyukur istrinya menyadari
kekhilafannya.
Bocah itu masih tak sadarkan diri. Ia terkulai
lemah dengan luka memar di sekujur tubuhnya.
Jantungnya masih berdetak. Namun semangat
hidupnya sangat lemah. Bocah itu sangat pasrah.
Dalam keadaan koma bocah itu pun bermimpi
bertemu dengan kedua orang tuanya di sebuah
taman yang indah. Ada sungai kecil di depannya
dengan ikan-ikan yang terlihat jelas. Bunga-bunga
yang mekar di sekelilingnya.
Dalam mimpi itu ayahnya sedang membaca
koran sedang ibunya tengah duduk bersama
neneknya menyiapkan makanan di atas tikar.
Mereka semua berpakaian putih-putih. Mereka
melambai-lambaikan tangan menunggu kehadiran
bocah itu yang berdiri tak jauh.
Bocah itu diam sebentar. Sesaat kemudian
bocah itu berlari kecil menghampiri keluarganya.

10
7
Ayah, ibu dan neneknya terlihat senang dan
menyambutnya. Namun seseorang memanggilnya.
Pak Toha meneriakinya untuk kembali. Dia
menggandeng Amir yang sedang membawa bola.
Anak itu mengajaknya main bola. Bocah itu diam
sesaat. Jaraknya di tengah antara keluarganya dan
orang-orang yang baik padanya.
Tak lama kemudian bocah itu melihat pamannya
sekeluarga bersama pak Toha dan Amir. Mereka
minta bocah itu pulang. Bocah itu bingung.
Akhirnya ia pun lari menemui pak Toha dan
sahabatnya tanpa mempedulikan keluarganya yang
melambaikan tangannya.
Bocah itu siuman ketika pintu kamar diketuk
orang.
Rahmat senang ketika bocah itu sadar. Jaim pun
memeluk saudaranya. Laela menangis terisak-isak.
Tak lama kemudian, sepasang suami istri dengan
seorang anak masuk.
Rosidah kaget bukan kepalang melihat keluarga
Rahmat berada di sekeliling bocah yang terbaring di
rumah sakit. Bocah itu sangat dikenalnya. Bocah
yang sangat tidak disukainya.
"Aliii ...," teriakan Amir memecah suasana.
Amir segera menghampiri sahabatnya yang
terbaring. Ali pun tersenyum. Amir mendekap
sahabatnya yang terbaring tak berdaya.
Rosidah tidak kuasa melihat pemandangan itu.
Wanita muda itu pun keluar ruangan. Pak Bagas

10
8
segera mengikuti, ia berusaha membujuk istrinya
untuk menghampiri Ali. Rosidah merasa canggung.
Sementara, keluarga Rahmat hanya berdiri
mematung.
Pergulatan hati Rosidah yang luar biasa.
Wanita itu tak menyangka sama sekali bocah
yang dibencinya ternyata menjadi pahlawan
baginya. Bocah malang itulah yang
menyelamatkan asetnya yang berharga. Perlu
waktu beberapa saat untuk membuat wanita itu
menundukkan hatinya. Membuang
keangkuhannya dan meniadakan ego- nya.
Akhirnya, dengan jiwa besar Rosidah
menghampiri Ali yang terbaring lemah. Bocah itu
masih diam memandang ibu sahabatnya. Sambil
meneteskan air mata Rosidah mendekati bocah
malang itu. Tangannya menggenggam bocah itu.
Mulutnya sesenggukan. Air matanya pun berlinang
membasahi pipinya.
"Ali ... maafin Tante, ya. Tante selama ini
berbuat dzolim sama Ali, sangat membenci Ali,
hanya karena Ali anak orang nggak punya. Tapi
mulai hari ini tante sadar bahwa tante telah
berbuat salah. Tuhan telah memberikan petunjuk-
Nva melalui dompet itu. Ali nggak marah, kan
sama Tante,"
Ali menggelengkan kepala. Matanya berkaca-
kaca.
Rosidah pun segera mendekap badan Ali.
Suasana menjadi haru. Tak lama kemudian
10
9
kemudian wanita itu

11
0
meminta maaf pada Rahmat akan perlakuannya
beberapa waktu lalu. Mereka pun saling
bersalaman. Hujan air mata terjadi diantara kedua
keluarga itu. Pak Bagas merasa terharu dan
bangga. Ia senang istrinya mau bersikap jujur dan
mau mengakui kesalahannya
"Ali adalah keponakan saya, Bu, kedua
orangtuanya meninggal karena kecelakaan. Di
usianya yang masih kecil dia sudah menjalani
kerasnya kehidupan. Berbagai cobaan sudah dia
lalui. Dia Bocah yang sangat kuat,” cerita Rahmat.
Mendengar kata-kata Rahmat, Rosidah merasa
sangat trenyuh. la merasa selama ini telah
menyakiti hati anak yatim piatu dan tidak berbuat
baik pada fakir miskin. la telah melanggar kaidah
agama yang ia anut. Wanita itu ingat pesan hajah
Samsiah sewaktu pengajian di rumah. Rosidah lalu
mengajak suaminya keluar kamar. Tak lama
kemudian. mereka pun kembali masuk.
"Pak Rahmat, saya sudah membicarakan dengan
istri saya, dan kami sangat simpati terhadap nasib
yang menimpa Ali. Kalau Bapak tidak keberatan,
kami ingin mengangkat Ali sebagai anak angkat
kami, Insya Allah kami akan merawatnya dengan
baik," kata Pak Bagas.
"Iya pak, itu untuk menebus dosa-dosa saya
padanya, biarlah Ali tinggal di rumah kita, ia bisa
menemani Amir, iya kan Amir ?" kata Rosidah.
Amir mengangguk senang. Matanya berbinar.

11
1
Rahmat menoleh ke arah istrinya. Laela
mengangguk pelan. Sebenarnya Rahmat keberatan.
Karena dia telah berjanji pada nenek Ali untuk
merawatnya. Karena dia masih memiliki hutang
tabungan pensiun ayah bocah itu. Namun kondisi
ekonomi keluarganya masih belum stabil dan ia tak
tega melihat Ali yang harus jungkir balik bekerja di
usianya yang masih kecil, Rahmat pun tak punya
pilihan.
Kemudian, laki-laki itu memandang Ali. Bocah itu
tersenyum tangannya masih menggenggam erat
sohibnya, Amir.
"Baiklah Pak, Bu, kami tidak keberatan bila Ali
mau dijadikan anak angkat. Kami berharap Ali
diperlakukan dengan baik hingga tercapai apa yang
dicita-citakannya. Namun, perbolehkan kami kalau
ingin menengok keponakan kami."
"Oh, tentu saja, mulai hari ini kita jadi saudara,
dan Ali akan saya perlakukan seperti anak saya
sendiri. Silakan datang ke rumah saya kapan saja,
Pak, pintu rumah kami terbuka lebar untuk
keluarga Bapak," kata pak Bagas riang.
Tak lama kemudia pak Toha masuk. Guru agama
itu terharu dan terkesan atas perubahan sikap
Rosidah. Ia juga bangga memilik anak didik seperti
Ali dan Amir. Persahabatan mereka tidak goyah
oleh latar belakang ekonomi yang jauh berbeda.

11
2
“Allah akan memberkahi pada keluarga yang
didalamnya memelihara anak yatim,” pesan pak
Toha ketika pamitan.
Tak lama kemudian Ali pun sembuh. Sejak itu,
bocah itu inggal bersama keluarga Amir. Bocah itu
senang karena ia diperlakukan seperti anak sendiri.
Meski begitu, Ali tetap Ali yang dulu, yang rajin
bekerja dan belajar. Meski ada pembantu di rumah,
Ali tidak manja, bocah itu tetap membantu
membersihkan halaman rumah itu. Meski tinggal di
rumah mewah, namun tidak menjadikannya
sombong.
Sementara Jaim sekarang menggantikan semua
pekerjaan yang dulu dilakukan bocah itu. Menyapu,
mencuci dan mengepel lantai. Tak ada lagi yang
bisa diperintahnya di rumah itu. Kalau ia tidak mau
membantu, maka ibunya tidak akan memberinya
uang saku.

TAMAT

11
3
Profil Penulis

11
4
Lahir sebagai Dudun Parwanto, anak ketiga
dari pasangan H. Soekirno dan Solikati. Sejak kecil
mempunyai hobi membaca dan menulis.
Menghabiskan masa kecil hingga remaja di kota
kelahirannya dimulai dari SD Negeri 86, SMP Negeri
3 dan SMA Negeri 7 Surakarta.

Tahun 1994 masuk jurusan Sejarah,


Universitas Diponegoro Semarang. Di sini
kegemarannya menulis mulai terasah. Pada 1995
tergabung dalam pengurus Koran Kampus
Manunggal Universitas Diponegoro. Artikel pertama
yang berjudul Tahun Baru, Apanya yang Baru tahun
1995 adalah karya pertama yang dimuat di harian
Suara Merdeka. Selanjutnya hampir setiap bulan
tulisannya baik dalam bentuk esai, kolom maupun
artikel menghiasi harian nomor satu di Jawa
Tengah itu. Beberapa tulisannya juga dimuat di
harian Bernas, Solo Pos dan Wawasan.

Buku pertama dikerjakan bersama tim


adalah Kartini-Kartini Jawa Tengah tahun 1996.
Pada 1997, karya tulisnya Kiat Pemenangan Pemilu
Partai Golkar menjadi juara Harapan I tingkat Jawa
Tengah. Tahun 1998, tulisan ilmiahnya bertitel
Upaya Melestarikan wayang Orang Ngesti Pandowo,
menjadi Finalis pada Pekan Ilmiah Mahasiswa

11
5
Nasional tahun 1998. Bukunya Ali Yang Salih
menjadi Juara I Penulisan cerita fiksi anak
keagamaan 2003 tingkat Nasional.

Di Jakarta memulai karir jurnalistik di


Majalah GAMMA sebagai Reporter tahun 2001.
Setahun kemudian pindah ke majalah GATRA.
Tahun 2003 bergabung mendirikan Tabloid Haji
Indonesia. Pada musim haji 2004, mendapat
amanat menjadi petugas haji bidang Media Center
Haji Arab Saudi, Daerah Kerja Jeddah. Tahun 2005
berwiraswasta dengan payung CV Bianglala Kreasi
Media bergerak bidang penulisan buku dan bulletin
internal. Pada tahun 2008-2011 bekerja sebagai
Assistant Manager Program, Telkomvision Jakarta.

Mulai Tahun 2012, Dudun aktif menjadi


penulis dan trainer penulisan. Sebagai pemilik
penerbitan self publishing yakni Bianglala
Publishing, cara menerbitkan buku secara indie
yang anti penolakan Informasinya silakan klik
http://bianglalakreasimedia.blogspot.co.id dan
hingga saat ini sudah menghasilkan 60an buku,
antara lain Buku Biografi, H. Surasa, Mantan Dirut
Bank Bumi Daya, i, Buku Misteri Gunung Padang,
Buku Kaya Cara Nabi, Buku Profil Profesi ITB
Angkatan 1986 , 6 Novel dan Buku2 dari
perusahaan seperti PT PLN, PT PJB, PT PP Persero
dan PT Bukaka Teknik Utama. Portofolio bisa dilihat
di https://ghostwritersbest.blogspot.com
11
6
Sebagai trainer, Dudun aktif mengisi training
penulisan untuk korporat yang dapat dilihat di
http://pelatihanpenulisan.blogspot.co.id/. Training
penulisan artikel, media internal dan penulisan
anatara lain dii PT Telkom, Kementrian Agama, PT
Dahana, Bank Indonesia, PT Freeport, PT Pos
Indonesia, PT PLN Persero dan sebagainya.

Di sela-sela pekerjaan Dudun juga tampil


sebagai comedian bergelar Komika Sosial Media
dan menjadi Juara 2 Lomba Stand Up Comedy se
Jawa Barat tahun 2016.

Jika ingin menghubungi Dudun silakan


melalui HP/WA 0813-10054310 atau
facebook/dudunparwantoo, twitter
https://twitter.com/DudunPurbakala1 atau email
doe2nparwanto@gmail.com.

11
7

Anda mungkin juga menyukai