TINJAUAN PUSTAKA
9
10
C. Orientasi seksual
Orientasi seksual menggambarkan objek impuls seksual seseorang
yang terbagi menjadi heteroseksual (jenis kelamin berlawanan),
homoseksual (jenis kelamin sama), dan biseksual (kedua jenis kelamin).
D. Perilaku Seksual
Respon seksual adalah pengalaman psikofisiologis yang sebenarnya.
Rangsangan dicetuskan oleh stimulus psikologis maupun fisik, tingkat
ketegangan dialami secara fisiologis maupun emosional, dan pada
orgasme, normalnya terdapat persepsi subjektif akan puncak reaksi fisik
dan pelepasan. Perkembangan psikoseksual, sikap psikologis terhadap
seksualitas, dan sikap terhadap pasaangan seksual secara langsung terlibat
dan mempengaruhi fisiologis respon seksual seseorang. Laki-laki dan
perempuan normal mengalami serangkaian respon fisiologis terhadap
17
Robert M. Z. Lawang
Perilaku menyimpang adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma
yang berlaku dalam sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang
berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku menyimpang.
19
Lemert
Penyimpangan dibagi menjadi dua bentuk:
a. Penyimpangan Primer (Primary Deviation)
Penyimpangan yang dilakukan seseorang akan tetapi si pelaku masih dapat
diterima masyarakat. Ciri penyimpangan ini bersifat temporer atau sementara,
tidak dilakukan secara berulang-ulang dan masih dapat ditolerir oleh masyarakat.
Contohnya : Menunggak iuran listrik dan telepon, melanggar rambu-rambu lalu
lintas dan ngebut di jalanan.
a. Penyimpangan Sekunder (secondary deviation)
Penyimpangan yang berupa perbuatan yang dilakukan seseorang yang secara
umum dikenal sebagai perilaku menyimpang. Pelaku didominasi oleh tindakan
menyimpang tersebut, karena merupakan tindakan pengulangan dari
penyimpangan sebelumnya. Penyimpangan ini tidak bisa ditolerir oleh
masyarakat. Contohnya : Pemabuk, pengguna obat-obatan terlarang,
pemerkosa, pelacuran, pembunuh, perampok dan penjudi.
a.) Tidak patuh nasihat orang tua agar mengubah pendirian yang kurang baik,
penyimpangannya disebut
b.) Tidak taat kepada peringatan orang-orang yang berwenang di
lingkungannya, penyimpangannya disebut
c.) Melanggar norma-norma umum yang berlaku, penyimpangannya disebut
pelanggar.
20
a. Kenakalan remaja
Remaja memiliki keinginan membuktikan keberanian dalam melakukan hal-hal
yang dianggap bergengsi, sekelompok orang melakukan tindakan-tindakan
menyerempet bahaya, misalnya kebut-kebutan dan membentuk geng-geng yang
membuat onar.
b. Tawuran/perkelahian pelajar
Perkelahian antar pelajar termasuk jenis kenakalan remaja yang pada umumnya
terjadi di kota-kota besar sebagai akibat kompleknya kehidupan di kota besar.
Demikian juga tawuran yang terjadi antar kelompok/etnis/warga yang akhir-akhir
ini sering muncul. Tujuan perkelahian bukan untuk mencapai nilai yang positif,
melainkan sekedar untuk balas dendam atau pamer kekuatan/unjuk kemampuan.
c. Penyimpangan kebudayaan
Ketidakmampuan menyerap norma-norma kebudayaan kedalam kepribadian
masing-masing individu dalam kelompok maka dapat terjadi pelanggaran
21
b. Terhadap Masyarakat/Kelompok
Seorang pelaku penyimpangan senantiasa berusaha mencari kawan yang sama
untuk bergaul bersama, dengan tujuan supaya mendapatkan „teman‟. Lama-
kelamaan berkumpullah berbagai individu pelaku penyimpangan menjadi
penyimpangan kelompok, akhirnya bermuara kepada penentangan terhadap norma
masyarakat. Dampak yang ditimbulkan selain terhadap individu juga terhadap
kelompok/masyarakat.
Usaha Mengantisipasi dan Mengatasi Perilaku Menyimpang
a. Upaya-upaya Mengantisipasi Perilaku Menyimpang
Antisipasi adalah usaha sadar yang berupa sikap, perilaku atau tindakan yang
dilakukan seseorang melaui langkah-langkah tertentu untuk menghadapi peristiwa
yang kemungkinan terjadi. Jadi sebelum tindak penyimpangan terjadi atau akan
terjadi seseorang telah siap dengan berbagai perisai untuk menghadapinya.
Upaya mengantisipasi tersebut melalui:
b. Penyuluhan-penyuluhan
Melalui jalur penyuluhan, penataran ataupun diskusi-diskusi dapat disampaikan
kepada masyarakat penyadaran kembali pelaksanaan nilai, norma dan peraturan
yang berlaku. Kepada pelaku penyimpangan sosial kesadaran kembali untuk
berlaku sesuai dengan nilai, norma dan peraturan yang berlaku yang telah
dilanggarnya, harus melalui penyuluhan secara terus menerus dan
berkesinambungan.
Terlebih-lebih pada pelaku tindak kejahatan/ kriminal. Peran lembaga-lembaga
agama, kepolisian, pengadilan, Lembaga Permasyarakatan (LP) sangat diharapkan
untuk mengadakan penyuluhan- penyuluhan tersebut.
c. Rehabilitasi sosial
Untuk mengembalikan peranan dan status pelaku penyimpangan ke dalam
masyarakat kembali seperti keadaan sebelum penyimpangan terjadi, itulah yang
dimaksud dengan Rehabilitasi.
Panti-panti rehabilitasi sosial sangat dibutuhkan untuk pelaku penyimpangan
tertentu, misalnya Panti Rehabilitasi Anak Nakal, Pecandu Narkoba, dan Wanita
Tuna Susila.
Kartini dan Kartono (2007) mengemukakan pendapatnya bahwa “perilaku
menyimpang ini sebagai perilaku abnormal yaitu tingkah laku yang tidak adekuat,
tidak bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya dan tidak sesuai dengan
norma sosial yang ada”. Perilaku menyimpang merupakan perbuatan yang
bertentangan dengan norma dalam suatu kelompok, sekolah, atau masyarakat
tertentu. Becker sebagaimana dikutip oleh Horton dan Hunt (2008)
24
Homoseksualitas
25
II.4.1 Epidemiologi
Informasi mengenai prevalensi gangguan identitas gender pada anak-anak,
remaja dan orang dewasa jumlahnya sedikit, karena sebagian besar perkiraan
prevalensi didasarkan pada jumlah orang yang mencari pembedahan penggantian
jenis kelamin. Rasio perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan yang
menjalani operasi pembedahan jenis kelamin pada beberapa klinik di Amerika
Serikat adalah 30 banding 1, 17 banding 1, dan 6 bnding 1, dengan demikian
klinik-klinik tersebut hanya memiliki sedikit pengalaman dengan anak
perempuan. Dilihat dari perbedaan tersebut menunjukkan bahwa anak laki-laki
lebih rentan terhadap gangguan identitas gender dibandingkan anak perempuan.
Penelitian pada anak laki-laki yang dirujuk ke psikiater rawat jalan
mengungkapkan bahwa hingga kira-kira 50% nya memiliki jumlah perilaku
feminine yang signifikan. Anak laki-laki tersebut awalnya tidak dirujuk untuk
masalah identitas gender. Masih belum jelas berapa kasus yang memenuhi kriteria
gangguan identitas gender.
II.4.2 Etiologi
Etiologi pada gangguan identitas gender dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu,
a. Faktor Biologis
Ekspresi perilaku seksual pada laki-laki atau perempuan dewasa
dipengaruhi oleh steroid seks yaitu testosterone yang dapat meningkatkan
libido dan agresivitas pada perempuan dan estrogen yang dapat
menurunkan libido dan agresivitas pada laki-laki. Akan tetapi,
27
II.4.6 Terapi
Terapi pada gangguan identitas gender jarang berhasil jika tujuannya
adalah untuk menyembuhkan gangguan. Pada sebagian orang dengan gangguan
identitas gender, mereka memiliki gagasan dan nilai yang terfiksasi dan tidak
ingin berubah. Mereka mengikuti psikoterapi bukan karena gangguan identitas
gender yang mereka alami melainkan karena masalah depresi atau ansietas yang
menyertai keadaan mereka.
Terapi pada anak-anak dikembangkan oleh Richard Green, untuk
menanamkan pola perilaku yang dapat diterima budaya pada anak laki-laki.
Terapi tersebut berupa:
a. Permainan berpasangan pada anak-anak tersebut, satu-satu dengan orang
dewasa atau teman sebaya memainkan peran perilaku maskulin
b. Konseling orang tua sebagai pelengkap pertemuan kelompok antar orang
tua dan anak-anak dengan gangguan identitas gender. Diperiksa juga
apakah orang tua tidak menyadari bahwa mereka sedang membantu
mengembangkan perilaku yang berlawanan misalnya dengan memakaikan
pakaian anak perempuan pada anak laki-laki atau tidak mencukur rambut
mereka.
32
Pasien remaja sulit diterapi karena adanya krisis identitas normal dan
kebingungan identitas gender secara bersamaan. Remaja lazim berpura-pura dan
jarang memiliki motivasi kuat untuk mengubah stereotype peran gender mereka
yang berlawanan.
Pasien dewasa pada umumnya mengikuti psikoterapi untuk mempelajari cara
menghadapi gangguan mereka, bukan untuk mengubahnya.
1. Budaya
Dalam suatu kebudayaan terkandung norma-norma yang menjadi
pedoman bagi masyarakatnya yang diwarisan secara turun-temurun
hingga menjadi suatu kebiasaan, termasuk kebiasaan dalam mengasuh
anak. Menurut Rubin & Chung (2006) dalam penelitiannya menyatakan
budaya mampu mempengaruhi orangtua dalam memberikan
pengasuhan. Sementara itu, perbedaan sikap dalam menerima hal baru
terlihat antara negara Kanada dan Republik Rakyat Cina(RRC). RRC
cenderung menunjukan perilaku inhibisi(berhati-hati dalam menerima
hal baru) dibandingkan dengan Kanada. Sementara itu di Kanada, ibu
dengan tingkat inhibisi tinggi menunjukan kurangnya penerimaan dan
dorongan yang rendah untuk berprestasi kepada anaknya. Skor yang
tinggi ini juga berkorelasi positif dengan hasil pengukuran dari skala
36
a. Authoritative b. Authoritarian
Tuntutan yang masuk akal, Banyak aturan dan tuntutan,
penguatan yang konsisten, sedikit penjelasan, dan kurang
Tinggi
disertai kepekaan dan peka terhadap kebutuhan dan
Demandingness
c. Permissive d. Rejecting-Neglecting
Sedikit aturan dan tuntutan, Sedikit aturan dan tuntutan,
Rendah
Gejala dari fisik bisa seperti gangguan makan, gangguan tidur, disfungsi
seksual, energy yang rendah ataupun merasakan sakit terus menerus yang tidak
bisa di jelaskan, ataupun bisa juga gejala melalui emosional dari anak bisa itu
adanya perasaan depresi, putus asa, kecemasan serangan panic, takut, kompulsif
dan perilaku obsesif ataupun yang terakhir adalah penarikan diri dari rutinitas
normal. Bisa juga gejala yang ditimbulkan oleh trauma melalui kognitif adalah
penyimpangan memori terutama tentang trauma, kesulitan memberikan
keputusan, penurunan kemampuan untuk berkonsentrasi,merasa terganggu oleh
lingkunga sekitar ataupun yang terakhir adalah gejala seperti gangguan pada
perkembangan otak yang menyebabkan penderitanya menjadi hiperaktif, impulsif,
serta susah memusatkan perhatian. Beberapa ciri lain seperti mengingat peristiwa
masa lalu, gangguan tidur dikarenakan mimpi buruk, cemas, marah, sedih, merasa
bersalah, tidak merasakan simpati dan empati, sulit percaya pada orang lain,
panik, ketakutan.
Hal ini dapat berkembang seiring berjalannya waktu sehingga dapat secara
otomatis membentuk karakter pada anak (Samhsa, 2001) Alat Ukur ini dapat
digunakan karena dapat melihat pengalaman pengalaman buruk yang dialami oleh
anak pada masa lalu, dan banyaknya hubungan dengan tindak kekerasan terhadap
anak, beberapa contoh yang dapat dilihat adalah kekerasan yang dilakukan
terhadap orang tua, kekerasan yang dilakukan oleh lingkungan sekitar, pelecehan
seksual yang dialami oleh anak, dan beberapa tindak kekerasan lainnya (Center
for Disease Control, 2003).
Dimensi Trauma
Beberapa trauma dapat menurut Adverse Childhood Experience dapat di
bagi menjadi 8 dimensi meliputi physical abuse, sexual abuse, domestic violence,
emotional abuse, parental separation, alchohol misuse, drug misuse, mental
illness.
1. Physical abuse dimana anak terlibat pada kekerasan yang dilakukan oleh orang
tua, pada lingkungan keluarga dalam rumah tangga, seperti pada keluarga yang
broken home sang anak akan mendapatkan perlakuan fisik, sehingga anak
mengalami tekanan dan stres yang berlebih yang mengakibatkan trauma pada
masa lalunya.(Larkin, Felitti, Anda, 2011)
2. Parental separation menjadi salah satu dimensi pada anak yang kedua orang
tuanya mengalami perpisahan dimana anak merasa bimbang untuk memilih mana
yang ia ikuti.(Anda, Dong, Brown, Felitti, Giles, Perry, Edwards, Dube, 2009)
3. Sexual abuse menjadi salah satu yang dominan terjadi pada anak, dimana ia
mengalami pelecehan atau melakukan pelecehan terhadap orang lain, contohnya
adalah anak melakukan pelecehan seksual terhadap teman pada lingkungan
sekitarnya. (Edwards, Freyd, Dube, Anda, dan Felitti, 2012).
4. Emotional abuse yang dialami oleh anak pada lingkungan sekitar, dimana anak
tersebut dikucilkan atau dirundung oleh teman temannya, sehingga ia mengalami
stres pada lingkungan sekitar.
5. Alchohol misuse juga dialami oleh beberapa anak, dimana anak tersebut dimana
beberapa anak yang mempunyai orang tua yang minum minum sehingga tidak
43
yang sangat andil dalam menyampaikan informasi, salah satunya pada Instagram
yang dengan jelas mengutamakan foto dan video sehingga informasi dapat secara
cepat dipersepsi oleh penggunanya (Sukma, 2015).
Persepsi masyarakat mengenai fenomena LGBT ini memunculkan
berbagai pendapat-pendapat pada berbagai kalangan khususnya kalangan
masyarakat muda yang paling banyak menjadi pengguna aktif media sosial. Hal
ini dapat kita lihat pada postingan foto dan video mengenai konten LGBT di
media sosial dan berbagai tulisan–tulisan yang dibuat masyarakat mengenai
pendapatnya terhadap adanya informasi LGBT, ada pendapat positif dan juga
tidak sedikit yang berpandangan negatif. Semua tergantung bagaimana cara
masyarakat dapat menyikapi dengan kritis informasi sehingga tidak menimbulkan
dampak buruk tersedianya konten-konten LGBT karena adanya potensi media
sosial dapat mempengaruhi persepsi penggunanya dalam berperilaku. Karena
media sosial merupakan variabel yang secara diam mempengaruhi perilaku
individu dan konstruksi sosial yang menjadi perhatian bahwa dengan adanya
fenomena LGBT akan mempengaruhi cara masyarakat muda di Indonesia dalam
berperilaku dan semakin mengikis moral anak bangsa yang jelas tidak sesuai
dengan kebudayaan yang sudah lama tertanam di Indonesia.
II.1.6 Karang Taruna
II.1.6.1 Pengertian
Karang Taruna adalah organisasi sosial kemasyarakatan sebagai wadah
dan sarana pengembangan setiap anggota masyarakat yang tumbuh dan
berkembang atas dasar kesadaran dan tanggung jawab sosial dari, oleh dan untuk
masyarakat terutama generasi muda di wilayah desa/kelurahan terutama bergerak
dibidang usaha kesejahteraan sosial.
II.1.6.2 Anggota
Anggota Karang Taruna yang selanjutnya disebut Warga Karang Taruna
adalah setiap anggota masyarakat yang berusia 13 (tiga belas) tahun sampai
dengan 45 (empat puluh lima) tahun yang berada di desa/kelurahan.
48
Warga Karang Taruna sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mempunyai hak dan
kewajiban yang sama tanpa membedakan asal keturunan, golongan, suku dan
budaya, jenis kelamin, kedudukan sosial, pendirian politik, dan agama.
II.1.6.3 Tujuan
Karang Taruna bertujuan untuk mewujudkan :
a.) Pertumbuhan dan perkembangan setiap anggota masyarakat yang
berkualitas, terampil, cerdas, inovatif, berkarakter serta memiliki
kesadaran dan tanggung jawab sosial dalam mencegah, menangkal,
menanggulangi dan mengantisipasi berbagai masalah kesejahteraan sosial,
khususnya generasi muda.
b.) Kualitas kesejahteraan sosial setiap anggota masyarakat terutama generasi
muda di desa/kelurahan secara terpadu, terarah, menyeluruh serta
berkelanjutan.
c.) Pengembangan usaha menuju kemandirian setiap anggota masyarakat
terutama generasi muda.
d.) Pengembangan kemitraan yang menjamin peningkatan kemampuan dan
potensi generasi muda secara terarah dan berkesinambungan.
II.1.6.4 Kedudukan
Karang Taruna berkedudukan di desa/kelurahan di dalam wilayah hukum
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
II.1.6.5 Fungsi
Karang Taruna mempunyai fungsi :
a.) Mencegah timbulnya masalah kesejahteraan sosial, khususnya generasi
muda.
b.) Menyelenggarakan kesejahteraan sosial meliputi rehabilitasi, perlindungan
sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan diklat setiap anggota
masyarakat terutama generasi muda.
c.) Meningkatkan Usaha Ekonomi Produktif.
49
Faktor Predisposisi
Faktor Pendukung Faktor Penguat
(Predisposing
(Enabling Factor) (Reinforcing Factor)
Factor)
- Pengetahuan
- Sikap - Sarana dan - Pola Asuh
Prasarana Orangtua
- Pengalaman
Traumatis Kesehatan
- Sikap dan
- Penggunaan
- Kepercayaan Perilaku Petugas
Media
- Norma Sosial Kesehatan
Internet
Budaya - Sikap Tokoh
- Faktor Masyarakat
Sosiodemografi
Tidak Ya
Kecenderungan Perilaku
Menyimpang Kearah LGBT
VARIABEL VARIABEL
INDEPENDENT DEPENDENT