Anda di halaman 1dari 43

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Siklus Hidup dan Perkembangan Psikoseksual


Penelitian sistematik tentang siklus hidup di mulai pada awal abad ke-20 saat
berkembangnya perhatian psikiatri terhadap perjalanan perkembangan
kepribadian. Pemetaan siklus hidup (perjalanan hidup) adalah penting untuk
mlengkapi pengetahuan mengenai perilaku manusia dan dalam meramalkan
kesulitan-kesulitan yang timbul selama perkembangan manusia.
Anggapan mendasar dari teori siklus hidup yang menganggap bahwa
perkembangan terjadi dalam stadium-stadium berurutan telah diketahui dengan
jelas. Menurut prinsip epigenetik, masing-masing stadium mengikuti stadium
sebelumnya, dan masing masing stadium harus dilalui secara memuaskan untuk
memungkinkan proses perkembangan berjalan secara lancar. Jika suatu stadium
tidak dicapai, semua stadium selanjutnya mencerminkan kegagalan tersebut dalam
bentuk ketidakmampuan menyesuaikan diri (maladjustment) secara fisik, kognitif,
sosial, atau emosional.
Anggapan dasar lainnya dalam teori siklus kehidupan adalah bahwa
masing-masing stadium ditandai oleh suatu titik kritis yang harus berhasil diatasi.
Suatu krisis mengharuskan orang untuk beradaptasi. Hal ini merupakan peristiwa
biopsikososial sehingga terdiri dari interaksi faktor-faktor biologis, psikologis,
dan sosial. Theodore Lidz, seorang eksponen utama teori siklus kehidupan
mengatakan perjalanan dari dalam rahim menjadi manusia dewasa dan selanjutnya
melalui maturitas menuju usia yang lanjut adalah panjang, berputas-putas, dan
dikelilingi oleh kemungkinan-kemungkinan yang tidak dapat dihitung. Tidak
terdapat kata sepakat yang mendefinisikan dengan jelas stadium-stadium siklus
kehidupan.
Sigmund Freud
Sigmund Freud mengemukakan pemecahan (resolusi) yang berhasil pada
fase anak-anak adalah penting bagi berfungsinya orang dewasa secara normal.
Adapun stadium psikoseksual menurut Sigmund Freud :
1. Stadium Oral (sejak lahir sampai usia 1 tahun)

9
10

Stadium perkembangan paling awal, dimana kebutuhan, persepsi,


dan cara ekspresi bayi terutama berpusat di mulut, bibir, lidah, dan organ
lain yang berhubungan dengan zona oral. Zona oral mempertahankan
peranan dominannya dalam organisasi jiwa selama kira-kira 18 bulan
pertama kehidupan.
2. Stadium Anal
Stadium perkembangan psikoseksual yang ditandai oleh maturasi
pengendalian neuromuskular terhadap sfingter, terutama sfingter anal,
jadi memungkinkan pengendalian yang lebih disadari terhadap
penahanan atau pengeluaran feses yang berlangsung kira-kira 1 sampai 3
tahun. Pencapaian pengendalian sfingter yang volunter adalah disertai
dengan bertambahnya pergeseran dari pasivitas menjadi aktivitas.
3. Stadium Falik
Perkembangan seksual dimulai pada tahun ketiga perkembangan
dan berlanjut sampai kira-kira akhir tahun kelima. Stadium falik ditandai
oleh fokus primer minat, stimulasi, dan kegembiraan seksual pada daerah
genital. Stadium falik disertai dengan peningkatan masturbasi genital,
disertai oleh khayalan yang tidak disadari dan menonjol tentang
keterlibatan seksual dengan orangtua berjenis kelamin kebalikan.
Ancaman kastrasi dan kecemasan kastrasi yang berhubungan dengannya
timbul berhubungan dengan rasa bersalah terhadap masturbasi dan
keinginan oedipal.
Tujuan dari stadium ini adalah untuk memusatkan minat erotik
pada daerah genital dan fungsi genital. Pemusatan ini meletakkan dasar
bagi identitas jenis kelamin dan berperan untuk mengintegrasikan residu
dari stadium perkembangan psikoseksual sebelumnya ke dalam orientasi
genital-seksual yang menonjol. Stadium falik memberikan dasar bagi
timbulnya rasa identitas seksual, suatu rasa dengan keingintahuan tanpa
rasa malu, inisiatif tanpa rasa bersalah, dan juga rasa penguasaan bukan
saja terhadap objek dan orang dalam lingkungan tetapi juga terhadap
proses dan impuls internal.
4. Stadium Latensi
11

Stadium dorongan seksual yang relatif tenang atau tidak aktif


selama period dari resolusi kompleks oedipal sampai masa pubertas (kira-
kira 5-6 tahun sampai 11-13 tahun). Stadium ini adalah periode pertalian
homoseksual primer bagi laki-laki dan perempuan, juga sublimasi energi
libido da agresif menjadi belajar energetik dan aktivitas bermain, menggali
lingkungan, dan menjadi lebih cakap dalam menghadapi dunia dan orang
di sekitar mereka. Tujuan utama dari periode ini adalah integrasi
identifikasi oedipal lebih lanjut dan konsolidasi identitas jenis kelamin dan
peran jenis kelamin.
5. Stadium Genital
Stadium genital dari perkembangan psikoseksual yaitu mulai dari
sejak onset pubertas dari usia 11 sampai 13 tahun hingga orang mencapai
masa dewasa muda. Stadium ini dapat dibagi menjadi periode masa
praremaja, remaja awal, remaja pertengahan, remaja akhir, dan
pascaremaja. Maturasi fisiologis dari sistem fungsi genital (seksual) dan
sistem hormonal yang menyertainya menyebabkan penguatan dorongan
terutama dorongan libido. Tujuan utama dari periode ini akhirnya adalah
perpisahan dari ketergantungan dan perlekatan pada orangtua dan
penegakan relasi objek yang matur dan tidak sumbang. Dan juga
pencapaian rasa identitas personal yang matur dan penerimaan dan
integrasi peran dan fungsi dewasa yang memungkinkan integrasi adaptif
yang baru dengan harapan sosial dan nilai kultural.
Erik Erikson
Erikson berpendapat bahwa sepanjang sejarah hidup manusia, setiap orang
mengalami tahapan perkembangan dari bayi sampai dengan usia lanjut.
Perkembangan sepanjang hayat tersebut diperhadapkan dengan delapan
tahapan yang masing-masing mempunyai nilai kekuatan yang membentuk
karakter positif atau sebaliknya, berkembang sisi kelemahan sehingga karakter
negatif yang mendominasi pertumbuhan seseorang. Erikson menyebut setiap
tahapan tersebut sebagai krisis atau konflik yang mempunyai sifat sosial dan
psikologis yang sangat berarti bagi kelangsungan perkembangan di masa
depan. Delapan tahapan perkembangan tersebut sebagai berikut:
12

1. Tahap 1, Usia 0-2 tahun (Trust vs Mistrust)


Pada masa bayi atau tahun pertama adalah titik awal pembentukan
kepribadian. Bayi belajar mempercayai orang lain agar kebutuhan-
kebutuhan dasarnya terpenuhi. Peran ibu atau orang-orang terdekat
seperti pengasuh yang mampu menciptakan keakraban dan kepedulian
dapat mengembangkan kepercayaan dasar. Persepsi yang salah pada
diri anak tentang lingkungannya karena penolakan dari orangtua atau
pengasuh mengakibatkan bertumbuhnya perasaan tidak percaya
sehingga anak memandang dunia sekelilingnya sebagai tempat yang
jahat. Pada tahap ini kekuatan yang perlu ditumbuhkan pada
kepribadian anak ialah “harapan”.

2. Tahap 2, usia 2-3 tahun


Konflik yang dialami anak pada tahap ini ialah otonomi vs rasa
malu serta keraguraguan. Kekuatan yang seharusnya ditumbuhkan
adalah “keinginan atau kehendak” dimana anak belajar menjadi bebas
untuk mengembangkan kemandirian. Kebutuhan tersebut dapat
terpenuhi melalui motivasi untuk melakukan kepentingannya sendiri
seperti belajar makan atau berpakaian sendiri, berbicara, bergerak atau
mendapat jawaban dari sesuatu yang ditanyakan.

3. Tahap 3, usia 3-6 tahun


Anak pada tahap ini belajar menemukan keseimbangan antara
kemampuan yang ada dalam dirinya dengan harapan atau tujuannya.
Itu sebabnya anak cenderung menguji kemampuannya tanpa mengenal
potensi yang ada pada dirinya. Konflik yang terjadi adalah Inisiatif
atau terbentuknya perasaan bersalah. Bila lingkungan sosial kurang
mendukung maka anak kurang memiliki inisiatif.

4. Tahap 4, usia 6-12 tahun


Konflik pada tahap ini ialah kerja aktif vs rendah diri, itu sebabnya
kekuatan yang perlu ditumbuhkan ialah “kompetensi” atau
13

terbentuknya berbagai keterampilan. Membandingkan kemampuan diri


sendiri dengan teman sebaya terjadi pada tahap ini. Anak belajar
mengenai ketrampilan sosial dan akademis melalui kompetisi yang
sehat dengan kelompoknya. Keberhasilan yang diraih anak memupuk
rasa percaya diri, sebaliknya apabila anak menemui kegagalan maka
terbentuklah inferioritas.

5. Tahap 5, usia 12-20 tahun


Pada tahap ini anak mulai memasuki usia remaja dimana identitas
diri baik dalam lingkup sosial maupun dunia kerja mulai ditemukan.
Bisa dikatakan masa remaja adalah awal usaha pencarian diri sehingga
anak berada pada tahap persimpangan antara masa kanak-kanak
dengan masa dewasa. Konflik utama yang terjadi ialah Identitas vs
Kekaburan Peran sehingga perlu komitmen yang jelas agar terbentuk
kepribadian yang mantap untuk dapat mengenali dirinya.

6. Tahap 6, usia 20-40 tahun


Pada tahap ini kekuatan dasar yang dibutuhkan ialah “kasih”
karena muncul konflik antara keintiman atau keakraban vs
keterasingan atau kesendirian. Agen sosial pada tahap ini ialah
kekasih, suami atau isteri termasuk juga sahabat yang dapat
membangun suatu bentuk persahabatan sehingga tercipta rasa cinta dan
kebersamaan. Bila kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka muncullah
perasaan kesepian, kesendirian dan tidak berharga.

7. Tahap 7, usia 40-65 tahun


Seseorang telah menjadi dewasa pada tahap ini sehingga
diperhadapkan kepada tugas utama untuk menjadi produktif dalam bidang
pekerjaannya serta tuntutan untuk berhasil mendidik keluarga serta melatih
generasi penerus. Konflik utama pada tahap ini ialah generatifitas vs
stagnasi, sehingga kekuatan dasar yang penting untuk ditumbuhkan ialah
14

“kepedulian”. Kegagalan pada masa ini menyebabkan stagnasi atau


keterhambatan perkembangan.

8. Tahap 8, usia 65 tahun-kematian


Pribadi yang sudah memasuki usia lanjut mulai mengalami penurunan
fungsi-fungsi kesehatan. Begitu juga pengalaman masa lalu baik
keberhasilan atau kegagalan menjadi perhatiannya sehingga kebutuhannya
adalah untuk dihargai. Konflik utama pada tahap ini ialah Integritas Ego vs
Keputusasaan dengan kekuatan utama yang perlu dibentuk ialah
pemunculan “hikmat atau kebijaksanaan”. Fungsi pengalaman hidup
terutama yang bersifat sosial, memberi makna tentang kehidupan.
Psikoseksual adalah istilah yang digunakan untuk mengesankan
perkembangan dan fungsi kepribadian sebagai sesuatu yang dipengaruhi oleh
seksualitas seseorang. Kepribadian itu sendiri merupakan suatu hal yang sangat
penting bagi manusia sebagai individu. Hal ini disebabkan karena kepribadian
seseorang terkadang menentukan posisi dan kedudukannya di masyarakat.
Teori mengenai psikoseksual yang dikemukakan Sigmund Freud berfokus
pada masalah alam bawah sadar, sebagai salah satu aspek kepribadian seseorang.
Menurut Freud peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa kanak-kanak sangat
mempengaruhi kehidupan sesorang di masa-masa selanjutnya. Seksualitas
seseorang tergantung pada empat faktor yang saling berhubungan yaitu identitas
seksual, identitas jenis kelamin, orientasi seksual, dan perilaku seksual. Faktor-
faktor tersebut mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dan fungsi
kepribadian. Keseluruhannya dinamakan “faktor psikoseksual”.
A. Identitas Seksual
Identitas seksual adalah karakteristik seksual biologis seseorang:
kromosom, genitalia eksternal, genitalia internal, komposisi hormonal,
gonad, dan karakteristik seks sekunder. Identitas seksual lebih mengarah
sebagai identifikasi yang berkaitan dengan pengetahuan objektif tentang
apakah individu seorang pria atau seorang wanita didasarkan pada tipe-
tipe alat kelamin yang dimilikinya (Semiun, 2006). Alat kelamin adalah
atribut-atribut fisiologis dan anatomis yang membedakan laki-laki dengan
15

perempuan (Wade dan Tavris, 2007). Laki-laki memiliki penis dan


sperma, sedangkan perempuan memiliki vagina dan ovum untuk
bereproduksi melahirkan anak.
B. Identitas Jenis Kelamin
Istilah identitas jenis kelamin (gender identity) merujuk kepada
persepsi diri individu sebagai seorang pria atau wanita (Halgin dan
Whitbourne, 2010). Identitas jenis kelamin menurut Robert Stoller
mengandung arti aspek psikologis dari perilaku yang berhubungan dengan
maskulinitas dan femininitas. Gender merupakan interpretasi sosio-
kultural, seperangkat peran yang telah dikonstruksi oleh masyarakat
bagaimana menjadi laki-laki atau perempuan. Perangkat perilaku ini
mencakup penampilan, perilaku, pakaian, sikap, kepribadian, seksualitas,
tanggung jawab keluarga, dan sebagainya. Sikap dan perilaku individu
dipengaruhi oleh karakteristik peran gender (gender role behavior), peran
gender individu sepanjang masa perkembangannya akan mempengaruhi
bagaimana ia memandang dirinya, caranya berinteraksi dengan orang lain,
termasuk dalam perilaku sosial, tingkat kreativitas, dan kemandiriannya.
Seperangkat peran gender adalah tentang seperti apa yang seharusnya dan
bagaimana perilaku, perasaan, dan pikiran individu sebagai seorang
maskulin atau feminin.
Gangguan identitas gender atau yang lebih dikenal dengan
transeksual adalah bagaimana seseorang merasa bahwa ia adalah seorang
pria atau wanita dimana terjadi konflik antara anatomi gender seseorang
dengan identitas gendernya (Nevid, Rathus & Greene, 2003). Dalam
DSM-III (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi
ketiga) orang seperti itu diklasifikasikan sebagai transeksual, tetapi dalam
DSM-IV istilah tersebut tidak digunakan dan mereka hanya dikategorikan
sebagai orang yang memiliki gangguan identitas gender (Kaplan &
Sadock, 2009). Jadi seseorang dengan gangguan identitas gender merasa
bahwa ia terperangkap dalam tubuh yang salah, ia merasa tidak sesuai
dengan jenis kelamin yang dimilikinya. Sehingga ada keinginan agar
tubuhnya seperti lawan jenisnya dengan melakukan operasi kelamin dan
16

mengonsumsi hormon. Beberapa orang yang mengalami gangguan


identitas gender berharap dapat hidup sebagai anggota dari lawan jenisnya.
Mereka pun bertingkah laku memakai pakaian sesuai dengan jenis kelamin
yang menjadi harapannya (Halgin dan Whitbourne, 2010). Para peneliti
dalam topik gangguan identitas gender telah melakukan usaha yang besar
untuk menemukan usia perkembangan ketika kondisi ini pertama kali
terdeteksi. Penetapan ketidakpuasan terhadap gender sulit ditentukan
karena adanya fakta bahwa banyak anak muda yang berperilaku dan
berbicara dengan cara seolah-olah menunjukan bahwa mereka lebih
memilih menjadi individu dengan jenis kelamin yang lain.
Ketika para individu dysphoria gender tumbuh dewasa, individu
wanita dilaporkan mengalami masalah yang lebih sedikit, mungkin karena
wanita yang berperilaku dan berpakaian dengan model maskulin lebih
dapat diterima bila dibandinglan pria yang berperilaku dan berpakaian
feminin. Sebagai konsekuensinya, tidak mengejutkan apabila pria lebih
banyak mencari bantuan tenaga profesional dibandingkan wanita
(American Psychiatric Assosiation, 2010).

C. Orientasi seksual
Orientasi seksual menggambarkan objek impuls seksual seseorang
yang terbagi menjadi heteroseksual (jenis kelamin berlawanan),
homoseksual (jenis kelamin sama), dan biseksual (kedua jenis kelamin).

D. Perilaku Seksual
Respon seksual adalah pengalaman psikofisiologis yang sebenarnya.
Rangsangan dicetuskan oleh stimulus psikologis maupun fisik, tingkat
ketegangan dialami secara fisiologis maupun emosional, dan pada
orgasme, normalnya terdapat persepsi subjektif akan puncak reaksi fisik
dan pelepasan. Perkembangan psikoseksual, sikap psikologis terhadap
seksualitas, dan sikap terhadap pasaangan seksual secara langsung terlibat
dan mempengaruhi fisiologis respon seksual seseorang. Laki-laki dan
perempuan normal mengalami serangkaian respon fisiologis terhadap
17

rangsangan seksual. Revisi teks edisi ke empat DSM-IV-TR menjelaskan


siklus respons 4 fase:
1. Fase 1: Hasrat (Desire)
Klasifikasi fase hasrat (atau nafsu): berbeda dengan fase
lain, hanya diidentifikasi melalui fisiologi, mencerminkan
hubungan kejiwaan dengan motivasi, dorongan dan kepribadian.
Fase ini ditandai dengan fantasi seksual dan hasrat untuk
melakukan aktivitas seksual.
2. Fase 2: Gairah (Excitement)
Fase gairah dan rangsangan ditimbulkan oleh stimulasi
psikologis (fantasi atau adanya objek yang dicintai) maupun
stimulasi fisiologis (belaian atau ciuman) atau kombinasi
keduanya, terdiri atas perasaan senang yang subjektif.
3. Fase 3: Orgasme (Orgasm)
Fase orgasme terdiri atas memuncaknya kesenangan
seksual dengan pelepasan ketegangan seksual serta kontraksi
ritmik otot perineum dan organ repro pelvis. Perasaan subjektif
ejakulasi yang tidak dapat ditahn mencetuskan orgasme pada laki-
laki.
4. Fase 4: Resolusi (Resolution)
Resolusi terdiri atas mengempisnya darah dari genitalia
(detumescence), yang membuat tubuh kembali pada fase istirahat.
Hormon dan neurohormon yang mempengaruhi perilaku seksual
adalah dopamine, serotonin, testosterone, estrogen, progesterone,
prolactin, kortisol, dan oksitosin. Zat yang meningkatkan kadar dopamine
di dalam otak menurunkan hasrat sedangkan zat yang memperkuat kadar
serotonin di dalam otak menurunkan hasrat. Testosteron meningkatkan
libido pada laki-laki dan perempuan, meskipun estrogen adalah faktor
utama lubrikasi yang terlibat di dalam perangsangan perempuan dan dapat
meningkatkan sensitivitas pada perempuan tersebut untuk dirangsang.
Progesterone sedikit menurunkan hasrat pada laki-laki dan perempuan
seperti halnya prolactin dan kortisol yang berlebihan. Oksitosin terlibat
18

dalam sensasi menyenangkan selama seks dan ditemukan dalam jumlah


tinggi pada laki-laki dan perempuan setelah orgasme.

II.1.2 Perilaku Menyimpang


Menurut Nasir (2011) Terdapat dua jenis stres, yaitu distres dan eustres.
Stres melibatkanperubahan fisiologis yang kemungkinan dapat dialami sebagai
perasaan yang baikatau buruk:
1. Eustress(stres yang baik) adalah sesuatu yang positif. Stres
dikatakanberdampak baik apabila seseorang mencoba untuk memenuhi
tuntutan untukmenjadikan orang lain maupun dirinya sendiri
mendapatkan sesuatu yang baikdan berharga.
2. Distress (stres yang buruk) atau yang bersifat negatif. Distres dihasilkan
darisebuah proses memaknai sesuatu yang buruk, di mana respon yang
digunakanselalu negatif dan ada indikasi menggaanggu integritas diri
sehingga bisadiartikan sebagai sebuah ancaman.
Suatu perilaku dianggap menyimpang apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai dan
norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat atau dengan kata lain
penyimpangan (deviation) adalah segala macam pola perilaku yang tidak berhasil
menyesuaikan diri (conformity) terhadap kehendak masyarakat.

Perilaku Menyimpang Menurut Para Ahli

James W. Van Der Zanden


Penyimpangan perilaku merupakan perilaku yang oleh sejumlah besar orang
dianggap sebagai hal yang tercela dan diluar batas toleransi.

Robert M. Z. Lawang
Perilaku menyimpang adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma
yang berlaku dalam sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang
berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku menyimpang.
19

Lemert
Penyimpangan dibagi menjadi dua bentuk:
a. Penyimpangan Primer (Primary Deviation)
Penyimpangan yang dilakukan seseorang akan tetapi si pelaku masih dapat
diterima masyarakat. Ciri penyimpangan ini bersifat temporer atau sementara,
tidak dilakukan secara berulang-ulang dan masih dapat ditolerir oleh masyarakat.
Contohnya : Menunggak iuran listrik dan telepon, melanggar rambu-rambu lalu
lintas dan ngebut di jalanan.
a. Penyimpangan Sekunder (secondary deviation)
Penyimpangan yang berupa perbuatan yang dilakukan seseorang yang secara
umum dikenal sebagai perilaku menyimpang. Pelaku didominasi oleh tindakan
menyimpang tersebut, karena merupakan tindakan pengulangan dari
penyimpangan sebelumnya. Penyimpangan ini tidak bisa ditolerir oleh
masyarakat. Contohnya : Pemabuk, pengguna obat-obatan terlarang,
pemerkosa, pelacuran, pembunuh, perampok dan penjudi.

Jenis-Jenis Perilaku Menyimpang


a. Penyimpangan Individual (Individual Deviation)
Penyimpangan individual merupakan penyimpangan yang dilakukan oleh
seseorang yang berupa pelanggaran terhadap norma-norma suatu kebudayaan
yang telah mapan. Penyimpangan ini disebabkan oleh kelainan jiwa seseorang
atau karena perilaku yang jahat/tindak kriminalitas. Penyimpangan yang bersifat
individual sesuai dengan kadar penyimpangannyadapat dibagi menjadi beberapa
hal, antara lain:

a.) Tidak patuh nasihat orang tua agar mengubah pendirian yang kurang baik,
penyimpangannya disebut
b.) Tidak taat kepada peringatan orang-orang yang berwenang di
lingkungannya, penyimpangannya disebut
c.) Melanggar norma-norma umum yang berlaku, penyimpangannya disebut
pelanggar.
20

d.) Mengabaikan norma-norma umum, menimbulkan rasa tidak aman/tertib,


kerugian harta benda atau jiwa di lingkungannya, penyimpangannya
disebut perusuh atau penjahat.

b. Penyimpangan Kolektif (Group Deviation)


Penyimpangan kolektif yaitu: penyimpangan yang dilakukan secara
bersama- sama atau secara berkelompok. Penyimpangan ini dilakukan oleh
sekelompok orang yang beraksi secara bersama-sama (kolektif). Mereka patuh
pada norma kelompoknya yang kuat dan biasanya bertentangan dengan norma
masyarakat yang berlaku.
Penyimpangan yang dilakukan kelompok, umumnya sebagai akibat
pengaruh pergaulan/teman. Kesatuan dan persatuan dalam kelompok dapat
memaksa seseorang ikut dalam kejahatan kelompok, supaya jangan disingkirkan
dari kelompoknya.

Penyimpangan yang dilakukan secara kelompok/kolektif antara lain:

a. Kenakalan remaja
Remaja memiliki keinginan membuktikan keberanian dalam melakukan hal-hal
yang dianggap bergengsi, sekelompok orang melakukan tindakan-tindakan
menyerempet bahaya, misalnya kebut-kebutan dan membentuk geng-geng yang
membuat onar.
b. Tawuran/perkelahian pelajar
Perkelahian antar pelajar termasuk jenis kenakalan remaja yang pada umumnya
terjadi di kota-kota besar sebagai akibat kompleknya kehidupan di kota besar.
Demikian juga tawuran yang terjadi antar kelompok/etnis/warga yang akhir-akhir
ini sering muncul. Tujuan perkelahian bukan untuk mencapai nilai yang positif,
melainkan sekedar untuk balas dendam atau pamer kekuatan/unjuk kemampuan.

c. Penyimpangan kebudayaan
Ketidakmampuan menyerap norma-norma kebudayaan kedalam kepribadian
masing-masing individu dalam kelompok maka dapat terjadi pelanggaran
21

terhadap norma-norma budayanya. Contoh: tradisi yang mewajibkan mas kawin


yang tinggi dalam masyarakat tradisional banyak ditentang karena tidak lagi
sesuai dengan tuntutan zaman.

Dampak Perilaku Menyimpang


a. Terhadap Diri Sendiri/Individu
Seseorang yang melakukan tindak penyimpangan oleh masyarakat akan dicap
sebagai penyimpang (devian). Sebagai tolok ukur menyimpang atau tidaknya
suatu perilaku ditentukan oleh norma-norma atau nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat.
Setiap tindakan yang bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat
akan dianggap sebagai penyimpangan dan harus ditolak. Akibat tidak
diterimanya/ditolak perilaku individu yang bertentangan dengan nilai dan norma
masyarakat, maka berdampaklah bagi si individu tersebut.

b. Terhadap Masyarakat/Kelompok
Seorang pelaku penyimpangan senantiasa berusaha mencari kawan yang sama
untuk bergaul bersama, dengan tujuan supaya mendapatkan „teman‟. Lama-
kelamaan berkumpullah berbagai individu pelaku penyimpangan menjadi
penyimpangan kelompok, akhirnya bermuara kepada penentangan terhadap norma
masyarakat. Dampak yang ditimbulkan selain terhadap individu juga terhadap
kelompok/masyarakat.
Usaha Mengantisipasi dan Mengatasi Perilaku Menyimpang
a. Upaya-upaya Mengantisipasi Perilaku Menyimpang
Antisipasi adalah usaha sadar yang berupa sikap, perilaku atau tindakan yang
dilakukan seseorang melaui langkah-langkah tertentu untuk menghadapi peristiwa
yang kemungkinan terjadi. Jadi sebelum tindak penyimpangan terjadi atau akan
terjadi seseorang telah siap dengan berbagai perisai untuk menghadapinya.
Upaya mengantisipasi tersebut melalui:

b. Penanaman nilai dan norma yang kuat


Penanaman nilai dan norma pada seseorang individu melalui proses sosialisasi.
Adapun tujuan proses sosialisasi antara lain sebagai berikut:
22

1. Pembentukan konsep diri


2. Pengembangan keterampilan
3. Pengendalian diri
4. Pelatihan komunikasi
Melihat tujuan sosialisasi tersebut jelas ada penanaman nilai dan norma. Apabila
tujuan sosialisasi tersebut terpenuhi pada seseorang individu dengan ideal, niscaya
tindak penyimpangan tidak akan dilakukan oleh si individu tersebut.

c. Pelaksanaan Peraturan Yang Konsisten


Segala bentuk peraturan yang dikeluarkan pada hakekatnya adalah usaha
mencegah adanya tindak penyimpangan, sekaligus juga sebagai sarana/alat
penindak laku penyimpangan.
Namun apabila peraturan-peraturan yang dikeluarkan tidak konsisten justru akan
dapat menimbulkan tindak penyimpangan. Apa yang dimaksud dengan konsisten?
Konsisten adalah: satu dan lainnya saling berhubungan dan tidak bertentangan
atau apa yang disebut dengan ajeg.

d. Berkepribadian Kuat dan Teguh


Menurut Theodore M. Newcomb kepribadian adalah kebiasaan, sikap-sikap dan
lain-lain, sifat yang khas yang dimiliki seseorang yang berkembang apabila orang
tadi berhubungan dengan orang lain.
Seseorang disebut berkepribadian, apabila seseorang tersebut siap memberi
jawaban dan tanggapan (positif) atas suatu keadaan. Apabila seseorang
berkepribadian teguh ia akan mempunyai sikap yang melatarbelakangi semua
tindakannya. Dengan demikian ia akan mempunyai pola pikir, pola perilaku, pola
interaksi yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakatnya.
Upaya-upaya Mengatasi Perilaku Menyimpang
Sebelum kita menemui penyimpangan sosial terjadi dalam masyarakat, secara
pribadi individu hendaklah sudah berupaya mengantisipasinya. Namun, apabila
penyimpangan sosial terjadi juga, kita masing-masing berusaha untuk
mengatasinya.
Langkah-langkah yang dapat lakukan :
23

a. Sanksi yang tegas


Sanksi adalah persetujuan atau penolakan terhadap perilaku tertentu. Persetujuan
adalah sanksi positif, sedangkan penolakan adalah sanksi negatif yang mencakup
pemulihan keadaan, pemenuhan keadaan dan hukuman. Sanksi diperlukan untuk
menjamin tercapainya tujuan dan dipatuhinya norma-norma.
Pada pelaku penyimpangan sudah selayaknya mendapatkan sanksi yang tegas
berupa hukuman yang tegas sesuai dengan undang-undang yang berlaku demi
pemulihan keadaan masyarakat untuk tertib dan teratur kembali.

b. Penyuluhan-penyuluhan
Melalui jalur penyuluhan, penataran ataupun diskusi-diskusi dapat disampaikan
kepada masyarakat penyadaran kembali pelaksanaan nilai, norma dan peraturan
yang berlaku. Kepada pelaku penyimpangan sosial kesadaran kembali untuk
berlaku sesuai dengan nilai, norma dan peraturan yang berlaku yang telah
dilanggarnya, harus melalui penyuluhan secara terus menerus dan
berkesinambungan.
Terlebih-lebih pada pelaku tindak kejahatan/ kriminal. Peran lembaga-lembaga
agama, kepolisian, pengadilan, Lembaga Permasyarakatan (LP) sangat diharapkan
untuk mengadakan penyuluhan- penyuluhan tersebut.

c. Rehabilitasi sosial
Untuk mengembalikan peranan dan status pelaku penyimpangan ke dalam
masyarakat kembali seperti keadaan sebelum penyimpangan terjadi, itulah yang
dimaksud dengan Rehabilitasi.
Panti-panti rehabilitasi sosial sangat dibutuhkan untuk pelaku penyimpangan
tertentu, misalnya Panti Rehabilitasi Anak Nakal, Pecandu Narkoba, dan Wanita
Tuna Susila.
Kartini dan Kartono (2007) mengemukakan pendapatnya bahwa “perilaku
menyimpang ini sebagai perilaku abnormal yaitu tingkah laku yang tidak adekuat,
tidak bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya dan tidak sesuai dengan
norma sosial yang ada”. Perilaku menyimpang merupakan perbuatan yang
bertentangan dengan norma dalam suatu kelompok, sekolah, atau masyarakat
tertentu. Becker sebagaimana dikutip oleh Horton dan Hunt (2008)
24

mengemukakan bahwa: Penyimpangan bukanlah suatu kualitas dari suatu


tindakan yang dilakukan orang, melainkan konsekuensi dari adanya peraturan dan
penerapan sanksi yang dilakukan oleh orang lain terhadap perilaku tindakan
tersebut. Dengan kata lain penyimpangan adalah setiap perilaku yang dinyatakan
sebagai suatu pelanggaran terhadap norma-norma kelompok atau masyarakat.
Sementara Kartono (2011:12) mengemukakan “tingkah laku yang abnormal atau
menyimpang ialah tingkah laku yang tidak bisa diterima oleh masyarakat pada
umumnya dan tidak sesuai dengan norma sosial yang ada”. Bentuk perilaku
menyimpang dapat berupa melanggar aturan, melanggar norma hukum dapat yang
juga disebut sebagai penyimpangan primer dan penyimpangan sekunder.
Lemart dalam Horton dan Hunt (2008) mendefinisikan “penyimpangan primer
adalah perbuatan penyimpangan yang dilakukan oleh seseorang dalam bentuk
aspek kehidupan lainnya lalu berlaku konformis.” Perbuatan menyimpang itu
demikian kecilnya sehingga sangat mudah untuk dimaafkan atau begitu gampang
untuk disembunyikan, sehingga orang tersebut tidak diidentifikasikan sebagai
pelaku penyimpangan secara terbuka. Sedangkan penyimpangan sekunder adalah
suatu perbuatan yang oleh masyarakat diidentifikasikan sebagai perbuatan yang
menyimpang seperti perkosaan, penyalahgunaan obat, pencurian dan lain-lain.
Kartono (2011) menyebutkan urutan-urutan peristiwa yang menyebabkan
terjadinya penyimpangan sekunder yaitu:
1. Dimulai dengan deviasi primer.
2. Muncul kemudian reaksi-reaksi sosial, hukuman, dan sanksi.
3. Pengembangan dari deviasi-deviasi primer.
4. Reaksi sosial dan penolakan yang lebih hebat dari masyarakat.
5. Pengembangan deviasi lebih lanjut, disertai pengorganisasian yang lebih
rapi, timbul sikap bermusuhan serta dendam penuh kebencian terhadap
masyarakat yang menghukum mereka.
6. Kesabaran masyarakat sudah sampai pada batas akhir.
7. Timbul reaksi kebencian di pihak si penyimpang.

Homoseksualitas
25

Homoseksualitas pada tahun 1973 dihilangkan sebagai kategori diagnostic


oleh American Psychiatric Association (APA) dan pada tahun 1980 disingkirkan
dari DSM.
Revisi ke 10 International Statistical Classification of Disease and Related
Health Problems (ICD-10) menyatakan bahwa orientasi seksual saja tidak
dianggap sebagai suatu gangguan. Perubahan ini mencerminkan adanya
perubahan pemahaman mengenai homoseksualitas, yang saat ini dianggap terjadi
dengan sejumlah keteraturan sebagai varian seksualitas manusia, bukan suatu
gangguan patologis. Seperti yang ditulis oleh David Hawkins yaitu adanya
homoseksualitas tampaknya bukan masalah pilihan, ekspresi homoseksualitas-lah
yang merupakan masalah pilihan.
Istilah homoseksualitas menggambarkan perilaku terbuka seseorang,
orientasi seksual, dan rasa identitas pribadi atau sosial. Banyak orang memilih
untuk mengidentifikasi orientasi seksual dengan menggunakan istilah lesbi dan
gay daripada istilah homoseksual, yang dapat mengaitkan patologi dan etiologi
berdasarkan asalnya sebagai istilah medis dan mengacu pada perilaku seksual
dengan istilah seperti jenis kelamin sama, laki-laki dan perempuan.
Menurut Hawkins, istilah gay dan lesbi mengacu pada kombinasi identitas
penerimaan diri dan identitas social dimana istilah ini mencerminkan ras
kepemilikan seseorang terhadap suatu kelompok social dalam naungan istilah
yang sama.
Pernyataan diri menurut Richekke Klinger dan Robert Cabaj, pernyataan
diri adalah suatu proses saat seseorang mengakuti orientasi seksualnya walaupun
menghadapi stigma sosial dan dengan resolusi yang berhasil berupa penerimaan
dirinya sendiri.

Gangguan Identitas Gender


Identitas gender merupakan suatu keadaan psikologis yang mencerminkan
perasaan seseorang mengenai ia sebagai laki-laki atau perempuan, berkembang
pada usia 2 atau 3 tahun dan biasanya bersesuaian dengan jenis kelamin seks
seseorang dari rangkaian sinyal yang didapat dari orang tua, budaya secara luas
yang merupakan reaksi terhadap genitalia bayi.
26

Peran gender adalah pola perilaku eksternal yang mencerminkan perasan


internal seseorang mengenai “saya laki-laki” atau “saya perempuan”. Pada peran
gender terdapat fleksibilitas mengenai perilaku yang dianggap maskulin atau
feminine.
Gangguan identitas gender melibatkan hasrat menetap untuk menjadi atau
sikap bersikeras seseorang bahwa ia berjenis kelamin sebaliknya dan rasa tidak
nyaman yang hebat dengan kelamin aslinya serta peran gendernya.

II.4.1 Epidemiologi
Informasi mengenai prevalensi gangguan identitas gender pada anak-anak,
remaja dan orang dewasa jumlahnya sedikit, karena sebagian besar perkiraan
prevalensi didasarkan pada jumlah orang yang mencari pembedahan penggantian
jenis kelamin. Rasio perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan yang
menjalani operasi pembedahan jenis kelamin pada beberapa klinik di Amerika
Serikat adalah 30 banding 1, 17 banding 1, dan 6 bnding 1, dengan demikian
klinik-klinik tersebut hanya memiliki sedikit pengalaman dengan anak
perempuan. Dilihat dari perbedaan tersebut menunjukkan bahwa anak laki-laki
lebih rentan terhadap gangguan identitas gender dibandingkan anak perempuan.
Penelitian pada anak laki-laki yang dirujuk ke psikiater rawat jalan
mengungkapkan bahwa hingga kira-kira 50% nya memiliki jumlah perilaku
feminine yang signifikan. Anak laki-laki tersebut awalnya tidak dirujuk untuk
masalah identitas gender. Masih belum jelas berapa kasus yang memenuhi kriteria
gangguan identitas gender.

II.4.2 Etiologi
Etiologi pada gangguan identitas gender dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu,
a. Faktor Biologis
Ekspresi perilaku seksual pada laki-laki atau perempuan dewasa
dipengaruhi oleh steroid seks yaitu testosterone yang dapat meningkatkan
libido dan agresivitas pada perempuan dan estrogen yang dapat
menurunkan libido dan agresivitas pada laki-laki. Akan tetapi,
27

maskulinitas, femininitas dan identitas gender lebih diakibatkan oleh


peristiwa kehidupan pascalahir daripada pengaturan hormonal prenatal.
Prinsip yang sama mengenai maskulinisasi atau feminisasi
diterapkan pada otak. Testosteron mempengaruhi saraf otak yang turut
berperan terhadap maskulinisasi otak di area seperti hipotalamus. Tetapi
apakah testosterone turut berperan dalam pola perilaku feminin dan
maskulin pada gangguan identitas gender, masih menjadi kontroversi.
b. Faktor Psikososial
Pada umumnya, anak mengembangkan identitas gender sesuai
dengan jenis kelamin aslinya yang juga dikenal sebagai jenis kelamin yang
didapat. Pembentukan identitas gender dipengaruhi oleh interaksi antara
tempramen anak dengan kualitas dan sikap orang tua terhadap anak.
Peran gender yang dapat diterima budaya adalah anak laki-laki
tidak diharapkan menjadi feminin sedangkan anak perempuan tidak
diharapkan menjadi tomboy atau maskulin.
Hal yang paling utama dalam pembentukan identitas gender adalah
kualitas hubungan ibu dan anak. Selama periode ini, ibu memfasilitasi
kesadaran anaknya dan rasa bangga atas gender yang dimiliki (anak laki-
laki dan anak perempuan kecil), tetapi ibu yang memusuhi dan
merendahkan dapat menimbulkan masalah gender. Pada waktu yang
bersamaan, perpisahan-pengindividuan, bersifat terbuka. Ketika msalah
gender menjadi terkait dengan masalah pengindividuan-perpisahan,
akibatnya dapat berupa penggunaan seksualitas untuk tetap
mempertahankan hubungan yang ditandai oleh silih bergantinya kedekatan
infantile yang putus asa dan kerenggangan yang tidak bersahabat.
Sejumlah anak diberikan pesan bahwa mereka lebih akan berharga
jika mengadopsi identitas gender dari jenis kelamin yang berlawanan.
Anak yang tidak diinginkan atau disiksadapat berlaku dengan keyakinan
seperti itu. Masalah identitas gender juga dapat dipicu oleh kematin ibu,
ketiadaan dalam waktu lama, atau depresi, yang mengakibatkan seorang
anak laki-laki mungkin bereaksi dengan benar-benar menganggap dirinya
28

sama dengan ibunya, yaitu dengan menjadi ibu untuk menggantikan


ibunya.
Peran ayah cukup penting pada tahun-tahun awal. Keberadaan
ayah juga membantu proses pengindividuan-perpisahan. Tanpa seorang
ayah, ibu dan anak dapat terlalu dekat. Untuk anak perempuan, seorang
ayah biasanya menjadi prototype objek yang dicintai di masa mendatang,
untuk anak laki-laki, ayah merupakan model untuk identifikasi laki-laki.
II.4.3 Diagnosis
Menurut edisi revisi keempat Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder (DSM-IV-TR), gambaran penting pda gangguan identitas gender adalah
distress seseorang yang menetap dan hebat mengenai jenis kelamin aslinya dan
keinginan unutk menjadi, atau sikap bersikeras bahwa ia berjenis kelamin
sebaliknya. Sebagai anak-anak, anak laki-laki dan anak perempuan menunjukkan
ketidaksukaan terhadap cara berpakaian feminine atau maskulin yang normative
dan stereotipik serta menyangkal ciri anatomis mereka.
(masukin table kriteria diagnostic DM-IV-TR gangguan identitas)

II.4.4 Gambaran Klinis


Pada anak-anak, tidak ada garis tegas yang dapat ditarik mengenai
kelanjutan gangguan identitas gender antara anak yang harus diberikan diagnosis
formal dan anak yang seharusnya tidak diberikan diagnosis tersebut.
Pada anak perempuan misalnya terdapat ciri-ciri sebagai berikut:
a. Biasanya memiliki banyak teman laki-laki
b. Mempunyai minat yang kuat pada olah raga
c. Mempunyai minta yang kuat pada permainan kasar
d. Tidak tertarik untuk bermain boneka atau rumah-rumahan, kecuali jika
mereka berperan menjadi ayah atau peran laki-laki lainnya.
e. Menolak untuk buang air kecil dengan posisi duduk
f. Menyatakan bahwa mereka memiliki atau akan tumbuh penis
g. Tidak ingin tumbuh payudara atau mengalami mensruasi
h. Menyatakan dengan tegas bahwa mereka akan tumbuh menjadi seorang
laki-laki
29

Sedangkan pada anak laki-laki, biasanya memiliki preokupasi tentang


aktivitas perempuan yang stereotipik, misalnya:
a. Memiliki kecenderungan berpakaian seperti perempuan
b. Memiliki keinginan yang kuat untuk turut serta dalam permainan dan
aktivitas anak perempuan
c. Permainan favoritnya misalnya boneka perempuan dan lebih memilih anak
perempuan sebagai teman mainnya
d. Saat mereka bermain rumah-rumahan, mereka mengambil peran anak
perempuan
e. Sikap dan tindakannya sering dinilai feminine
f. Biasanya menjadi subjek godaan dan penolakan dari kelompok sebaya
laki-laki
g. Menyatakan dengan tegas bahwa mereka akan tumbuh sebagai perempuan
(bukan hanya peran)
h. Menyatakan bahwa penis atau testisnya menjijikan atau akan hilang, atau
bahwa akan lebih baik jika mereka tidak memiliki penis atau testis
i. Sejumlah anak menolak datang ke sekolah karena ejekan atau tekanan
untuk berpakaian sesuai dengan jenis kelamin aslinya
Dan sebagian besar anak (baik laki-laki maupun perempuan) menyangkal
merasa terganggu dengan gangguan ini kecuali jika gangguan ini
menyebabkan konflik terhadap harapan keluarga atau teman sebaya mereka.
Pada remaja dan dewasa, terdapat berbagai tanda dan gejala yang serupa,
seperti:
a. Mengungkapkan keinginan untuk berjenis kelamin sebaliknya
b. Sering mencoba untuk menjadi anggota kelompok lawan jenisnya
c. Ingin hidup serta diperlakukan seperti lawan jenisnya
d. Berkeinginan memperoleh ciri seks lawan jenisnya
e. Mereka mungkin meyakini bahwa mereka lahir dengan jenis kelamin
yang salah sehingga membuat pernyataan yang khas seperti “saya
merasa bahwa saya adalah perempuan yang terperangkap di dalam
tubuh laki-laki” atau sebaliknya
30

f. Transeksual dewasa biasanya mengeluh bahwa mereka tidak nyaman


mengenakan pakaian yang sesuai jenis kelamin aslinya, oleh karena
itu mereka berpakaian seperti lawan jenis dan terlibat di dalam
aktivitas yang berkaitan dengan lawan jenis
g. Mereka merasa alat kelaminnya menjijikan, sehingga mereka
menginginkan pembedahan permanen (penggantian alat kelamin
melalui proses bedah plastik) dan keinginan ini mengalahkan semua
keinginan lain.
h. Laki-laki memakai estrogen untuk membentuk payudara dan kontur
feminine lainnya, melakukan elektrolisis untuk membuang rambut
laki-lakinya, dan menjalani pembedahan untuk membuang testis dan
penisnya serta untuk membuat vagina buatan
i. Perempuan mengikat payudaranya atau menjalani mastektomi ganda,
histerektomi dan ooforektomi, memakai testosterone untuk
membangun massa otot dan memperberat suara, dan menjalani
pembedahan untuk membentuk penis buatan
Sejumlah peneliti menggambarkan perilaku orang yang mengubah jenis
kelamin nyaris sebagai karikatur yang mewakili peran gendernya yang baru.

II.4.5 Perjalanan Gangguan dan Prognosis


Prognosis untuk gangguan identitas gender bergantung pada onset usia dan
intensitas gejala.
Pada 75% anak laki-laki biasanya gangguan ini dimulai sebelum usia 4
tahun misalnya dengan memakai pakaian lawan jenis, dan konflik dengan teman
sebaya terjadi selama tahun-tahun awal sekolah sekitar usia 7-8 tahun. Sikap
feminine yang jelas dapat berkurang ketika anak laki-laki bertambah usianya,
terutama jika diupayakan untuk menghambat perilaku seperti itu.
Pada anak perempuan, biasanya onset pada usia dini, tetapi sebagian besar
anak perempuan menunjukkan perilaku maskulin pada saat menginjak usia
remaja.
31

Steven Levine melaporkan bahwa studi follow-up pada anak laki-laki


dengan gangguan gender secara konsisten menunjukkan bahwa orietasi
homoseksual biasanya merupakan hasil akhir pada masa remaja tersebut.
Pada kurang dari 10% kasus terdapat transeksualisme yaitu keinginan
untuk menjalani pembedahan ganti kelamin.
Dapat terjadi gangguan fungsi social dan pekerjaan pada orang dengan
gangguan identitas yang diakibatkan oleh keinginan seseorang untuk turut serta
dalam peran gender yang diinginkan.
Depresi juga lazim ditemukan pada orag dengan gangguan identitas
terutama jika orang tersebut merasa putus asa untuk mendapatkan perubahan jenis
kelamin dengan pembedahan atau hormon. Laki-laki dengan gangguan ini
diketahui mengastrasi diri mereka sendiri tetapi bukan sebagai percobaan bunuh
diri melainkan untuk memaksa ahli bedah untuk mengatasi masalah mereka.

II.4.6 Terapi
Terapi pada gangguan identitas gender jarang berhasil jika tujuannya
adalah untuk menyembuhkan gangguan. Pada sebagian orang dengan gangguan
identitas gender, mereka memiliki gagasan dan nilai yang terfiksasi dan tidak
ingin berubah. Mereka mengikuti psikoterapi bukan karena gangguan identitas
gender yang mereka alami melainkan karena masalah depresi atau ansietas yang
menyertai keadaan mereka.
Terapi pada anak-anak dikembangkan oleh Richard Green, untuk
menanamkan pola perilaku yang dapat diterima budaya pada anak laki-laki.
Terapi tersebut berupa:
a. Permainan berpasangan pada anak-anak tersebut, satu-satu dengan orang
dewasa atau teman sebaya memainkan peran perilaku maskulin
b. Konseling orang tua sebagai pelengkap pertemuan kelompok antar orang
tua dan anak-anak dengan gangguan identitas gender. Diperiksa juga
apakah orang tua tidak menyadari bahwa mereka sedang membantu
mengembangkan perilaku yang berlawanan misalnya dengan memakaikan
pakaian anak perempuan pada anak laki-laki atau tidak mencukur rambut
mereka.
32

Pasien remaja sulit diterapi karena adanya krisis identitas normal dan
kebingungan identitas gender secara bersamaan. Remaja lazim berpura-pura dan
jarang memiliki motivasi kuat untuk mengubah stereotype peran gender mereka
yang berlawanan.
Pasien dewasa pada umumnya mengikuti psikoterapi untuk mempelajari cara
menghadapi gangguan mereka, bukan untuk mengubahnya.

II.1.3 Pola Pengasuhan


II.1.3.1 Definisi Pola Pengasuhan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2019), pengasuhan diartikan
sebagai hal (cara, perbuatan, dan sebagainya) dalam mengasuh. Kata mengasuh
mengandung makna menjaga, merawat, mendidik, membimbing, membantu,
melatih, memimpin, mengepalai, dan menyelenggarakan. Sehingga bisa
disimpulkan sebagi cara atau sikap orangtua dalam mendidik, membimbing, serta
melatih anaknya (Lestari, 2016).
Para ahli meyakini pengasuhan adalah hal penting dasar dalam
mempersiapkan anak menjadi bagian yang baik dalam masyarakat. Pengasuhan
ini bisa berupa pendidikan umum yang diberikan melalui serangkaian proses
interaksi. Dalam interaksinya, orangtua cenderung menggunakan cara-cara yang
dianggapnya terbaik (Rahmawati, 2013). Cara yang berbeda-beda antara orangtua
satu dengan yang lain dalam pengasuhan disebut dengan pola pengasuhan.
II.1.3.2 Dimensi Pola Pengasuhan
Maccoby & Martin (dalam Shaffer & Kipp, 2010) mengemukakan
pendekatan pengasuhan terdiri atas 2 pendekatan, yaitu 1) pendekatan interaksi
sosial, dan 2) pendekatkan pola pengasuhan. Sementara itu, pola pengasuhan
terbagi lagi menjadi dua berdasarkan implementasinya, yaitu : 1) Demandingness,
dan 2) Responsiveness.
1. Demandingness or Control
Dimensi yang mengacu pada derajat dimana orangtua membuat tuntutan
dan mengawasi kegiatan anak. Orangtua berkeinginan menjadikan anak
sebagai bagian dari keluarga dan masyarakat dengan peraturan perilaku,
tuntutan kedewasaan, displin dan perilaku kontrol. Kontrol orangtua
33

ditunjukkan untuk melindungi dan mencegah anak dari perilaku yang


negatif.
2. Responsiveness/Parental Acceptance
Dimensi yang menggambarkan situasi dimana orangtua membantu
perkembangan anak dalam hal membimbing kepribadian anak. Situasi
yang diberikan meliputi kehangatan, dukungan, dan komunikasi yang baik.
Hal ini membuat anak lebih mudah menerima dan menginternalisasikan
standar nilai yang diberikan oleh orangtua.
II.1.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Pengasuhan
Pada prosesnya pengasuhan tidak berjalan satu arah, akan tetapi melibatkan
interaksi antara orangtua, anak dan lingkungan (Brook et.al., 2010). Oleh sebab
itu, pola pengasuhan di bentuk oleh tiga aspek, yaitu:
a. Aspek Orangtua
Pada aspek orangtua terdiri atas 5 (lima), meliputi: kepribadian, usia,
pekerjaan, tingkat pendidikan, dan status perkawinan.
1. Kepribadian Orangtua
Kepribadian merupakan salah satu parameter dalam cara seseorang
bersikap atau berperilaku, termasuk pola pengasuhan. Sebagai contoh
seorang ayah yang karakternnya tidak sabar dengan ambang marah
yang rendah cenderung mendidik anak dengan perilaku keras secara
verbal, bahkan fisik (Ambert dalam Rahmawati, 2013).
2. Usia Orangtua
Usia orangtua merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pola
pengasuhan. Penelitian Trentacosta dan Shaw (Brook et.al., 2010)
memperkuat pernyataan diatas, ibu muda(kurang dari 20 tahun)
cenderung mengabaikan atau tidak mendukung pengasuh pada anak.
Tidak banyak penelitian secara spesifik mengaitkan pengaruh usia
orangtua dengan pola pengasuhan. Namun secara teoritis keduanya
memiliki korelasi yang signifikan jika dilihat dari tahapan usia yang
memiliki karakteristik dan tugas perkembangan yang berbeda. Sehingga
tiap tahapan usia punya pola pengasuhan yang berbeda karena
dipengaruhi oleh karakteristik individu.
34

3. Tingkat Pendidikan Orangtua


Cara dan bagaimana orangtua mengasuh anak dipengaruhi oleh tingkat
pengetahuan.Sementara parameter tingkat pengetahuan yang paling
mudah adalah dari status pendidikan. Orangtua yang memiliki
pendidikan tinggi cenderung lebih mengetahui tentang bagaimana cara
pengasuh anak yang baik. Disisi lain, orangtua yang memiliki
pendidikan tinggi cenderung sebagai kelompok pekerja, sehingga
pengasuhan anak sering kali tidak optimal.
4. Pekerjaan
Jenis pekerjaan dapat mempengaruhi pola pengasuhan dan intensitas
dalam berinteraksi. Ibu yang berkerja kantoran relatif memiliki waktu
yang lebih sedikit dibandingkan dengan ibu yang berperan sebagai ibu
rumah tangga saja. Sehingga hal ini akan berpengaruh terhadap pola
pengasuhannya di dalam keluarga.
5. Status Perkawinan
Dalam sudut pandang psikologi keluarga, anak yang diasuh oleh ayah
atau ibu saja (perceraian atau meninggal dunia) secara teori mampu
menyebabkan disfungsi dalam keluarga. Sehingga hal ini akan
berdampak pada pengasuhan yang diberikan oleh orangtua. Pada
umumnya pola pengasuhan yang terdapat pada kasus keluarga bercerai
atau meninggal dunia adalah permissive dan rejecting-neglecting.
b. Aspek Anak
Pada aspek anak terdiri atas 3 (tiga), yaitu : kepribadian anak, usia anak,
jenis kelamin anak.
1. Kepribadian Anak
Ambert (dalam Rahmawati, 2013) mengemukakan orangtua mampu
bersikap keras bahkan bertindak kasar ketika anak menunjukan perilaku
tidak patuh, sikap tidak hormat, atau membantah. Sehingga disimpulkan
bisa saja orangtua mengubah pola pengasuhannya sewaktu-waktu
berdasarkan kepribadian atau karakteristik anak sebagai bentuk
menyesuaian.
2. Usia Anak
35

Penelitian di Inggris dan Amerika Utara menunjukan sikap ibu yang


cenderung menyayangi anak yang berusia lebih muda dibandingkan
anak yang lebih besar (Dunn & Plomin dalam Rahmawati, 2013).
3. Jenis Kelamin Anak
Penelitian Sigal & Barclay (dalam Ardiwijaya, 2014) menyatakan
dalam sebuah evaluasi anak laki-laki memberikan penilaian lebih
positif dibandingkan anak perempuan. Kecuali dalam aspek
penggunaan hukuman fisik. Disisi lain penelitian ini juga menunjukan
kecenderungan kontrol yang lebih dominan kepada anak perempuan
dibanding anak laki-laki. Lau, et.al. (dalam Ardiwijaya, 2014) dalam
penelitiannya di Cina, mengemukan ayah memiliki kecenderungan
kontrol lebih ketat dan kurang hangat kepada anak laki-laki
dibandingkan perempuan. Di Australia, Russel & Russel (dalam
Ardiwijaya, 2014) melaporkan dalam studinya tidak terdapat korelasi
antara jenis kelamin anak dengan pengasuhan orangtua.
c. Aspek Lingkungan
Pada aspek anak terdiri dari 3 (tiga), yakni : budaya, status sosial ekonomi,
dan dukungan sosial.

1. Budaya
Dalam suatu kebudayaan terkandung norma-norma yang menjadi
pedoman bagi masyarakatnya yang diwarisan secara turun-temurun
hingga menjadi suatu kebiasaan, termasuk kebiasaan dalam mengasuh
anak. Menurut Rubin & Chung (2006) dalam penelitiannya menyatakan
budaya mampu mempengaruhi orangtua dalam memberikan
pengasuhan. Sementara itu, perbedaan sikap dalam menerima hal baru
terlihat antara negara Kanada dan Republik Rakyat Cina(RRC). RRC
cenderung menunjukan perilaku inhibisi(berhati-hati dalam menerima
hal baru) dibandingkan dengan Kanada. Sementara itu di Kanada, ibu
dengan tingkat inhibisi tinggi menunjukan kurangnya penerimaan dan
dorongan yang rendah untuk berprestasi kepada anaknya. Skor yang
tinggi ini juga berkorelasi positif dengan hasil pengukuran dari skala
36

orientasi hukuman, proteksi dan kepedulian. Hal ini bertolak belakang


dengan hasil penelitian di RRC.
2. Status Sosial Ekonomi
Satus sosial ekonomi menunjukan adanya hubungan yang bermakna
antara sifat temperamen pada anak dengan status sosial ekonomi yang
menengah ke atas daripada anak dengan status sosial ekonomi menegah
ke bawah. Hal ini terjadi karena ibu dengan status ekonomi menegah ke
atas cenderung mampu memenuhi kebutuhan individualitas anaknya,
dibanding yang menengah ke bawah.
3. Dukungan Sosial
Menurut Wills (dalam Safarino, 2006), dukungan sosial bisa dipahami
sebagai adanya kenyaman, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang
diberikan oleh orang lain atau kelompok. Dalam hal ini dukungan sosial
berupa perhatian yang diberikan orang lain disekitar orangtua. Di sisi
lain, ibu dengan dukungan sosial yang rendah cenderung
memperlihatkan sensitivitas(kepedulian) yang rendah terhadap bayi
mereka.
II.1.3.4 Pola Pengasuhan Baumrind
Pendekatan pola pengasuhan dipelopori oleh Baumrind mengajukan empat
pola pengasuhan sebagai kombinasi dari dimensi demandingness dan
responsiveness. Empat pola pengasuhan tersebut, yaitu authoritative,
authoritarian, permissive dan rejecting-neglecting. Matriks kombinasi dua
dimensi demandingness dan responsiveness dalam pengasuhan terdapat dalam
tabel 2.2.
Tabel 2.2 Matriks Kombinasi Dua Dimensi Pengasuhan
Responsiveness
Tinggi Rendah
37

a. Authoritative b. Authoritarian
Tuntutan yang masuk akal, Banyak aturan dan tuntutan,
penguatan yang konsisten, sedikit penjelasan, dan kurang

Tinggi
disertai kepekaan dan peka terhadap kebutuhan dan
Demandingness

penerimaan pada anak. pemahaman anak.

c. Permissive d. Rejecting-Neglecting
Sedikit aturan dan tuntutan, Sedikit aturan dan tuntutan,
Rendah

anak dibiarkan bebas menuruti orangtua tidak peduli dan peka


kemauannya. terhadap kebutuhan anak.

(Sumber: Shaffter, 2002 dalam Lestari, 2016)


a. Authoritative
Ciri pola pengasuhan authoritative yaitu orangtua menekankan pada
individualitas anak namun juga pada tuntutan sosial. Tipe pola pengasuhan
ini diperumpamakan seperti tulang belakang(back bone), yang menyangga
tubuh agar kuat, tapi masih dapat menekuk. Hal ini sesuai dengan pola
asuh authoritative yang memiliki aturan atau patokan dalam keluarga,
namun tetap fleksibel.
Orangtua menunjukan afeksi seperti kasih sayang dan penerimaan, namun
juga menghendaki anak berperilaku baik. Sehingga dalam keluarga tetap
ada aturan yang jika dilanggar akan mengenakan sanksi kepada anak. Saat
memperkenalkan aturan-aturan dalam keluarga orangtua akan menjelaskan
alasan mengapa peraturan itu perlu dibuat. Aturan yang dibuat meliputi :
keselamatan, tanggung jawab, dan cara bersikap terhadap orang lain.
Orangtua dengan pola pengasuhan ini cenderung memberikan arahan pada
anak dalam mengambil keputusan, sehingga terbentuk kepribadian yang
self reliant, self control, self assertive, dan hasrat eksploratif yang tinggi
(Papalia & Feldman, 2012).
b. Authoritarian
Pola pengasuhan ini sering dikenal juga dengan otoriter, dimana orangtua
menekankan anak untuk bersikap patuh dan taat dengan aturan-aturan
38

yang dibuat tanpa pengecualian. Tipe ini bisa diperumpamakan dengan


tembok bata(brickwall) yang mempunyai struktur keras. Sumber dalam
membuat aturan adalah apa yang dianggap penting oleh orangtua tanpa
melibatkan anak dalam memutuskannya. Hukuman adalah hal ganjarkan
kepad anak jika tidak taat, baik fisik maupun mental. Anak-anak yang
dibesarkan dengan pola pengasuhan ini cenderung memiliki jarak dan
tidak adanya hubungan yang hangat dengan orangtua. Ciri anak yang
tumbuh dalam pola pengasuhan ini adalah menarik diri, distrustful, serta
cenderung ragu-ragu dalam mengambil keputusan (Papalia & Feldman,
2012).
c. Permissive
Pola pengasuhan ini diibaratkan seperti ubur-ubur (jellyfish). Orangtua
cenderung acuh tak acuh dengan perilaku anaknya, sehingga membiarkan
apapun yang diinginkan anaknya adalah salah satu ciri pola pengasuhan
ini. Dalam prakteknya aturan-aturan tetap dibuat, namun pada
pelaksanaanya orangtua tidak konsisten. Anak yang dibesarkan dengan
pola pengasuhan seperti ini cenderung rendah dalam self control dan minat
eksploratif. Mereka juga cenderung sulit untuk brlajar menghagai dan
bertanggung jawab (Papalia & Feldman, 2012).
d. Rejecting-Neglecting
Pada dimensi ini, orangtu tidak memiliki ikatan dengan anaknya karena
terlalu sibuk dengan urusan dan masalah mereka sendiri. Akibatnya
mereka tidak memiliki banyak waktu dan tenaga untuk berinteraksi dengan
anak mereka (Anandari, 2016). Sehingga pada pola pengasuhan Baumrind
yang dikembangkan oleh Buri, rejecting-neglecting tidak lagi
diikutsertakan dalam tipe pola pengasuhan, karena hakikatnya rejecting-
neglecting bukanlah pola pengasuhan melainkan bentuk disfungsi keluarga
akibat tidak adanya keterlibatan (univolved) peran orangtua dalam
kehidupan anak. Anak yang dibesarkan dengan pola asuh ini cenderung
memiliki harga diri yang rendah, dan tidak mempunyai kompetensi sosial.

II.1.4 Pengalaman Traumatis


39

II.1.4.1 Definisi Trauma


Trauma adalah tekanan emosional dan psikologis padaumumnya karena
kejadian yang tidak menyenangkan atau pengalaman yang berkaitan dengan
kekerasan.Kata trauma juga bisa digunakan untuk mengacu pada kejadian yang
menyebabkan stres berlebih. Suatu kejadian dapat disebut traumatisbila kejadian
tersebutmenimbulkan stres yang ekstrem dan melebihi kemampuan individu untuk
mengatasinya (Giller.1999).
Orang bisa dikatakan mempunyai Trauma adalah mereka harus mengalami
suatu stres emosional yang besar dan berlebih sehingga orang tersebut tidak bisa
mengendalikan perasaan itu sendiri yang menyebabkan munculnya trauma pada
hampir setiap orang (Kaplan dan sadock,1997). Sejumlah gejala yang dapat
menandakan individu dengan pengalaman traumatis. Beberapa gejala yang umum
adalah mempunyai kenangan menyakitkan yang tidak mudah dilupakan, mimpi
buruk berulang akan kejadian traumatis,dan timbulnya kenangan akan kejadian
traumatis ketika melihat hal-hal yang terkait dengan kejadian tersebut. Dari segi
kognitif, kenangan akan kejadian traumatis dapat memicu perasaan cemas,
ketakutan berlebih, dan perasaan tertekan (American Psychiatric Association,
2013).Pada anak-anak gejala trauma dapat berupa kesulitan tidur, perasaan takut
ketika harus tidur sendiri, tidak ingin ditinggal sendirian meskipun untuk waktu
singkat, bersikap agresif ketika diajak membahas masa lalu, dan marah secara
tiba-tiba.
II.1.4.2 Penyebab Trauma
Trauma disebabkan oleh kejadian yang begitu negatif hingga
menghasilkan dampak berkepanjangan pada stabilitas mental dan emosional
individu.Sumber dari kejadian trauma sendiri dapat berupa fisik ataupun
psikologis. Beberapa kejadian traumatis yang umum mencakup pelecehan seksual,
kekerasan dalam rumah tangga, pengalaman akan bencana alam, penyakit ataupun
kecelakaan serius, kematian orang-orang yang dicintai, ataupun menyaksikan
suatu bentuk kekerasan (Allen, 2005). Seorang individu tidak harus berada
langsung dan terlibat secara langsung dalam kejadian yang menyebabkan trauma.
Individu juga dapat mengalami trauma ketika menyaksikan suatu kejadian buruk
dari jarak jauh.
40

II.1.4.3 Dampak Trauma


Salah satu dampak trauma pada individu, terutama anak-anak, terletak
pada kemampuan individu untuk membentuk hubungan interpersonal yang positif
dan bermakna. Tokoh pengasuh atau orangtua merupakan jendela bagi anak untuk
memandang dunia sebagai hal yang aman ataupun berbahaya. Anak yang
mengalami kejadian traumatis berupa kekerasan oleh tokoh pengasuh akan
memandang dunia sebagai tempat yang berbahaya. Oleh karena itu, anak yang
memiliki pengalaman traumatis cenderung bersikap curiga pada orang-orang di
sekitar mereka dan mengalami kesulitan dalam membentuk hubungan sosial
ataupun romantis.
Selain dampak pada kognisi, kejadian traumatis juga memiliki dampak
terhadap fisiologi individu.Ketika berhadapan dengan situasi yang mengingatkan
mereka pada kejadian traumatis, individu dapat menunjukkan nafas yang tidak
teratur, detak jantung berlebih, ataupun mengalami dampak psikosomatis seperti
sakit perut dan kepala (Kolk, Roth, Pelcovitz, & Mandel, 1993).
Anak dengan sejarah kejadian trauma yang kompleks dapat dengan mudah
terpancing dan mengeluarkan reaksi berlebih akan stimulus-stimulus yang
umumnya tidak berbahaya. Anak tersebut juga akan mengalami kesulitan dalam
mengendalikan emosinya (misal sulit menenangkan diri ketika marah) dan
seringkali bertindak secara impulsif tanpa memikirkan konsekuensinya. Oleh
karena itu, anak yang mengalami trauma dapat berperilaku secara tidak terduga
dan ekstrem. Ia dapat bersikap agresif atau malah bersikap kaku dan penurut
secara tidak wajar(American Psychiatric Association,2013).
Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa anak yang hidup dalam
lingkungan traumatis, seperti orangtua yang abusive, dan secara terus menerus
berhadapan dengan stres akan mengalami gangguan dalam perkembangannya.
Daya tahan tubuh, sistem otak, dan jaringan saraf pada anak tidak akan
berkembang sempurna ketika ia beranjak dewasa.(Kaplan, Harold , Sadock,
Benjamin, & Grebb, 1997)

II.1.4.4 Ciri-ciri Trauma


41

Gejala dari fisik bisa seperti gangguan makan, gangguan tidur, disfungsi
seksual, energy yang rendah ataupun merasakan sakit terus menerus yang tidak
bisa di jelaskan, ataupun bisa juga gejala melalui emosional dari anak bisa itu
adanya perasaan depresi, putus asa, kecemasan serangan panic, takut, kompulsif
dan perilaku obsesif ataupun yang terakhir adalah penarikan diri dari rutinitas
normal. Bisa juga gejala yang ditimbulkan oleh trauma melalui kognitif adalah
penyimpangan memori terutama tentang trauma, kesulitan memberikan
keputusan, penurunan kemampuan untuk berkonsentrasi,merasa terganggu oleh
lingkunga sekitar ataupun yang terakhir adalah gejala seperti gangguan pada
perkembangan otak yang menyebabkan penderitanya menjadi hiperaktif, impulsif,
serta susah memusatkan perhatian. Beberapa ciri lain seperti mengingat peristiwa
masa lalu, gangguan tidur dikarenakan mimpi buruk, cemas, marah, sedih, merasa
bersalah, tidak merasakan simpati dan empati, sulit percaya pada orang lain,
panik, ketakutan.

Adverse Childhood Experiences (ACE)


Definisi Adverse Childhood Experiences (ACE) Adverse Childhood
Experience adalah alat ukur untuk melihat kejadian trauma yang dialami oleh
anak, berdasarkan pengalaman masa lalu yang dialami oleh anak. Alat ukur ini
bisa melihat kejadian trauma pada anak (Sahmsa, 2018).
Pengalaman buruk masa kanak kanak yang dapat dilihat dengan
menggunakan ACE biasanya dikarenakan stres yang berlebihan atau peristiwa
buruk yang menimbulkan trauma pada anak, termasuk dibidang kriminal. Mereka
mungkin juga memiliki disfungsi pada rumah tangga dimana anak yang
menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga atau tumbuh dengan anggota
keluarga yang telah menggunakan zat yang terlarang. ACE terkait pembangunan
dan prevalensi berbagai masalah kesehatan di seluruh orang, termasuk yang
terkait dengan penyalahgunaan zat (Hughes, Lowey, Quigg, dan Bellis, 2016).
ACE biasanya digunakan pada anak yang mempunyai kejadian yang
berhubungan dengan kekerasan yang terjadi pada lingkungan sekitar ataupun
keluarga. Pengalaman yang buruk yang terjadi pada seseorang, sehingga dapat
mempengaruhi kognisi terutama pada anak.
42

Hal ini dapat berkembang seiring berjalannya waktu sehingga dapat secara
otomatis membentuk karakter pada anak (Samhsa, 2001) Alat Ukur ini dapat
digunakan karena dapat melihat pengalaman pengalaman buruk yang dialami oleh
anak pada masa lalu, dan banyaknya hubungan dengan tindak kekerasan terhadap
anak, beberapa contoh yang dapat dilihat adalah kekerasan yang dilakukan
terhadap orang tua, kekerasan yang dilakukan oleh lingkungan sekitar, pelecehan
seksual yang dialami oleh anak, dan beberapa tindak kekerasan lainnya (Center
for Disease Control, 2003).

Dimensi Trauma
Beberapa trauma dapat menurut Adverse Childhood Experience dapat di
bagi menjadi 8 dimensi meliputi physical abuse, sexual abuse, domestic violence,
emotional abuse, parental separation, alchohol misuse, drug misuse, mental
illness.
1. Physical abuse dimana anak terlibat pada kekerasan yang dilakukan oleh orang
tua, pada lingkungan keluarga dalam rumah tangga, seperti pada keluarga yang
broken home sang anak akan mendapatkan perlakuan fisik, sehingga anak
mengalami tekanan dan stres yang berlebih yang mengakibatkan trauma pada
masa lalunya.(Larkin, Felitti, Anda, 2011)
2. Parental separation menjadi salah satu dimensi pada anak yang kedua orang
tuanya mengalami perpisahan dimana anak merasa bimbang untuk memilih mana
yang ia ikuti.(Anda, Dong, Brown, Felitti, Giles, Perry, Edwards, Dube, 2009)
3. Sexual abuse menjadi salah satu yang dominan terjadi pada anak, dimana ia
mengalami pelecehan atau melakukan pelecehan terhadap orang lain, contohnya
adalah anak melakukan pelecehan seksual terhadap teman pada lingkungan
sekitarnya. (Edwards, Freyd, Dube, Anda, dan Felitti, 2012).
4. Emotional abuse yang dialami oleh anak pada lingkungan sekitar, dimana anak
tersebut dikucilkan atau dirundung oleh teman temannya, sehingga ia mengalami
stres pada lingkungan sekitar.
5. Alchohol misuse juga dialami oleh beberapa anak, dimana anak tersebut dimana
beberapa anak yang mempunyai orang tua yang minum minum sehingga tidak
43

memperhatikan kondisi anak, sehingga anak tidak mendapatkan perhatian dari


orang tua
6. Drug Misuse pada anak terjadi biasanya karena anak tersebut mempunyai
pengalaman yang tidak baik yang berhubungan dengan obat-obatan, contohnya
seorang anak yang dipaksa untuk mengkonsumsi obat-obatan oleh teman
temannya, anak tersebut tidak bisa menolak sehingga anak tersebut, terjerat
kedalam dunia obat obatan.(Anda, Brown, Felitti, Dube, Giles, 2008).
7. Mental illness menjadi salah satu dapat dikategorikan menjadi dimensi pada
trauma dimana anak tersebut mempunyai permasalahan kognisi secara genetik,
pada beberapa hal anak tersebut tidak bisa membedakan mana yang boleh
dilakukan dan tidak boleh dilakukan.
8. Domestic violence juga menjadi salah satu dimensi pada trauma karena ini
biasanya terjadi berhubungan dengan kekerasan yang dilakukan pada Anak
terhadap lingkungan sekitarnya (Brown, 2009).

Freud dalam pandangan psikoanalisanya, mengatakan bahwa


homoseksualitas merupakan hasil yang berkelanjutan pada predisposisi manusia
yang terlahir dalam keadaan biseksual. Ia menambahkan bahwa lingkungan yang
normal pada fase psikoseksual yang berkembang pada masa kanak-kanak akan
berjalan baik sesuai dengan kehidupan heteroseksualnya. Namun pada kondisi
lingkingan tertentu, perkembangan yang normal mengalami gangguan dalam
tahap ketidakmatangan sehingga menghasilkan homoseksualitas dimasa dewasa
(Masters, Johnson & Kolodny, 1992).
Dalam sebuah penelitian, diperoleh sebuah keterangan yang berasal dari
subjek yang menjadi homoseksual. Dikarenakan ia sempat mengalami peristiwa
traumatis semasa kecil, seperti pernah di sodomo saat kecil, mendapat penolakan
dari wanita yang dicintainya, sehingga hal tersebut membuat ketraumaan terhadap
dirinya dan akhirnya memilih untuk menjalin kehidupan homoseksual
(Dermawan, 2016).

II.1.5 Pengunaan Media Internet


44

Perkembangan teknologi informasi mengantarkan media sosial yang


menawarkan banyak kemudahan bagi masyarakat betah berselancar dengan waktu
yang lama di dunia maya. Secara global, pada Januari 2018 dari 4 milyar orang
yang menggunakan internet, pengguna aktif sosial media berjumlah 3,2 milyar
(Kemp, 2018). Pesatnya perkembangan media sosial juga dikarenakan semua
lapisan masyarakat mampu memiliki media sendiri. Beberapa platform media
sosial yang paling sering digunakan oleh remaja saat ini yaitu Facebook, Twitter,
Youtube, Line, Instagram, Whatsapp, BBM, dan lainnya. Pada dasarnya platform
media sosial ini menurut fungsi utamanya terbagi menajdi dua; jejaring sosial dan
aplikasi pesan/chat.
Berdasarkan hasil survey We Are Social (2018), platform media sosial
yang paling sering digunakan masyarakat secara global yaitu Facebook dengan
jumlah pengguna aktif sebanyak 2.167 juta, Youtube dengan 1.500 juta pengguna
aktif, WhatsApp dan FB Messanger dengan 1.300 juta pengguna aktif, WeChat
dengan 980 juta pengguna aktif, Instagram dengan 800 juta pengguna aktif,
Tumblr dengan 794 juta pengguna aktif, Twitter denga 330 juta pengguna aktif,
Skype dengan 300 juta pengguna aktif, LinkedIn dengan 260 juta pengguna aktif,
Snapchat dengan 255 juta pengguna aktif, Line dengan 203 juta pengguna aktif,
Pinterest dengan 200 juta pengguna aktif, Telegram dengan 100 juta pengguna
aktif, BBM dengan 63 juta pengguna aktif, dan KakaoTalk dengan 49 juta
pengguna aktif.
Dengan banyaknya platform yang terdapat pada media sosial, orang-orang
memanfaatkannya sebagai sarana untuk berinteraksi dengan teman, berbagi tugas-
tugas sekolah, bermain game, atau sekedar mengisi waktu luang. Media sosial
yang banyak digemari oleh masyarakat saat ini menghadirkan berbagai fitur atau
fasilitas yang memberikan kesempatan bagi penggunanya untuk dapat
mendokumentasikan setiap aspek kehidupannya. Sebagai contoh aplikasi
Instagram yang menawarkan kemudahan bagi pengguna untuk berbagi foto dan
video yang dilengkapi fitur-fitur tambahan seperti lokasi, live video, boomerang,
atau bahkan melakukan percakapan pribadi disertai dengan berbagai macam
emoticon menarik.
45

Kesadaran pengguna akan bagaimana hidup dirinya akan dinilai oleh


orang lain secara tidak sadar meningkat. Perlu disadari bahwa berbagai fitur yang
dimiliki oleh media sosial justru membiasakan masyarakat untuk hidup dan
mempresentasikan kehidupan yang “likeable” (Jurgenson, 2012). Seperti halnya
dalam pemilihan foto untuk dijadikan profile picture ataupun status yang
diperbaharui semuanya didasarkan pada sejauh mana hal tersebut akan disukai
oleh orang lain. Kekuatan transformatif yang dihadirkan oleh media sosial ini
menjadi salah satu jawaban atas maraknya penggunaan media sosial pada remaja.
Media sosial dirasa menjadi salah satu sarana bagi remaja untuk mengumpulkan
kepercayaan diri serta dukungan dari lingkungannya.
Penggunaan media sosial dalam segala kegiatan dapat dikategorikan
sebagai perbahan sosial karena mampu memunculkan gejala-gejala perubahan
struktur sosial pada masyarakat, mengubah cara lama dengan efisiensi ruang dan
waktu. Perubahan sosial berarti adanya perubahan pada struktur dan fungsi
masyarakat, perubahan tersebut dapat diketahui dengan adanya modifikasi-
modifikasi yang terjadi dalam pola kehidupan manusia. Hal tersebut diperkuat
oleh MacIver (dalam Soekanto, 2014) mengatakan bahwa “Perubahan-perubahan
sosial dikaitkannya sebagai perubahan-perubahan dalam hubungan sosial (social
relationships) atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium)
hubungan sosial”. Perubahan sosial dapat terjadi dalam bentuk material maupun
non-material, dan dapat mempengaruhi hubungan sosial dan keseimbangan yang
ada di masyarakat sebagai bentuk penyesuaian dan perkembangan pola-pola
kehidupan menuju hal yang lebih baik.
Berbicara mengenai media, George Gerbner menjelaskan bagaimana
asumsi dasar teori kultivasi yang lebih menekan pada “dampak” (Nurudin, 2007).
Asumsi mendasar dari teori kultivasi adalah terpaan media secara simultan akan
memberikan gambaran dan pengaruh pada persepsi penggunanya. Teori kultivasi
dalam bentuknya yang paling mendasar, percaya bahwa televisi bertanggung jawb
dalam membentuk atau mendoktrin konsepsi pemirsanya mengenai realitas sosial
yang ada disekelilingnya. Pengaruh-pengaruh dari televisi yang berlangsung
secara simultan, terus-menerus, secara tersamar telah membentuk persepsi
individu/audiens dalam memahami realitas sosial. Lebih jauh lagi hal tersebut
46

akan mempengaruhi budaya kita secara keseluruhan. Menurut teori kultivasi,


televisi menjadi media atau alat utama dimana para penonton televisi belajar
tentang masyarakat dan kultur di lingkungannya. Persepsi apa yang terbangun di
benak penonton tentang masyarakat dan budaya sangat ditentukan oleh televisi.
Walaupun bentuk mendasar teori kultivasi dijelaskan bahwa media televisi
sebagai fokus pembahasannya, namun prinsip awalnya adalah mengenai “media”
memberikan gambaran dan pengaruh pada persepsi penggunanya. Terdapat
berbagai macam jenis media dimulai dari media massa, media online, dan media
sosial. Dewasa ini media sosial patut dapat perhatian lebih karena pengguna
media sosial meningkat dari tahun ketahun. Media sosial adalah salah satu hal
yang membantu setiap individu untuk berkomunikasi dengan berbagai pihak di
belahan dunia, asalkan ada koneksi internet maka komunikasi di seluruh dunia
terintegrasi dengan baik. Pada dekade terakhir ini, media sosial menjadi media
favorit untuk berinteraksi bagi setiap individu, memudahkan manusia untuk
mengekspresikan perasaan, keinginan dan lain sebagainya. Media sosial juga
membantu manusia memahami dunia dengan mudah, lebih cepat mengetahui
informasi dan perkembangan dunia. Sesuai dengan teori ini pengguna media
internet mempunyai kebebasan untuk memutuskan bagaimana mereka
menggunakan media dan bagaimana informasi dari media tersebut akan
berdampak pada dirinya (Nurudin, 2007).
Salah satu informasi yang saat ini menjadi fenomena peredarannya pada
media sosial adalah informasi mengenai beredarnya komunitas LGBT (Lesbian,
Gay, Biseksual, dan Transgender). Banyaknya peredaran informasi komunitas
atau aktivitas berbau LGBT ini yang hampir setiap hari konten-nya selalu hadir di
media sosial disebabkan banyaknya dukungan dari berbagai kalangan dunia
internasional untuk melegalitaskan LGBT yang sedang diperjuangkan sebagai hak
asasi manusia. Berbagai pro dan kontra muncul dari masyarakat konvensional dan
masyarakat modern. Pada umumnya, manusia modern berusaha untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang menuntut dia untuk berkembang
bersama dengan teknologi. Hal ini menjadikan media sosial dinilai sebagai buah
dari teknologi yang keblablasan oleh berbagai pihak. Kontroversi publik dunia
terhadap LGBT tentunya tak luput oleh sorot media didalamnya apalagi perannya
47

yang sangat andil dalam menyampaikan informasi, salah satunya pada Instagram
yang dengan jelas mengutamakan foto dan video sehingga informasi dapat secara
cepat dipersepsi oleh penggunanya (Sukma, 2015).
Persepsi masyarakat mengenai fenomena LGBT ini memunculkan
berbagai pendapat-pendapat pada berbagai kalangan khususnya kalangan
masyarakat muda yang paling banyak menjadi pengguna aktif media sosial. Hal
ini dapat kita lihat pada postingan foto dan video mengenai konten LGBT di
media sosial dan berbagai tulisan–tulisan yang dibuat masyarakat mengenai
pendapatnya terhadap adanya informasi LGBT, ada pendapat positif dan juga
tidak sedikit yang berpandangan negatif. Semua tergantung bagaimana cara
masyarakat dapat menyikapi dengan kritis informasi sehingga tidak menimbulkan
dampak buruk tersedianya konten-konten LGBT karena adanya potensi media
sosial dapat mempengaruhi persepsi penggunanya dalam berperilaku. Karena
media sosial merupakan variabel yang secara diam mempengaruhi perilaku
individu dan konstruksi sosial yang menjadi perhatian bahwa dengan adanya
fenomena LGBT akan mempengaruhi cara masyarakat muda di Indonesia dalam
berperilaku dan semakin mengikis moral anak bangsa yang jelas tidak sesuai
dengan kebudayaan yang sudah lama tertanam di Indonesia.
II.1.6 Karang Taruna
II.1.6.1 Pengertian
Karang Taruna adalah organisasi sosial kemasyarakatan sebagai wadah
dan sarana pengembangan setiap anggota masyarakat yang tumbuh dan
berkembang atas dasar kesadaran dan tanggung jawab sosial dari, oleh dan untuk
masyarakat terutama generasi muda di wilayah desa/kelurahan terutama bergerak
dibidang usaha kesejahteraan sosial.

II.1.6.2 Anggota
Anggota Karang Taruna yang selanjutnya disebut Warga Karang Taruna
adalah setiap anggota masyarakat yang berusia 13 (tiga belas) tahun sampai
dengan 45 (empat puluh lima) tahun yang berada di desa/kelurahan.
48

Warga Karang Taruna sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mempunyai hak dan
kewajiban yang sama tanpa membedakan asal keturunan, golongan, suku dan
budaya, jenis kelamin, kedudukan sosial, pendirian politik, dan agama.

II.1.6.3 Tujuan
Karang Taruna bertujuan untuk mewujudkan :
a.) Pertumbuhan dan perkembangan setiap anggota masyarakat yang
berkualitas, terampil, cerdas, inovatif, berkarakter serta memiliki
kesadaran dan tanggung jawab sosial dalam mencegah, menangkal,
menanggulangi dan mengantisipasi berbagai masalah kesejahteraan sosial,
khususnya generasi muda.
b.) Kualitas kesejahteraan sosial setiap anggota masyarakat terutama generasi
muda di desa/kelurahan secara terpadu, terarah, menyeluruh serta
berkelanjutan.
c.) Pengembangan usaha menuju kemandirian setiap anggota masyarakat
terutama generasi muda.
d.) Pengembangan kemitraan yang menjamin peningkatan kemampuan dan
potensi generasi muda secara terarah dan berkesinambungan.

II.1.6.4 Kedudukan
Karang Taruna berkedudukan di desa/kelurahan di dalam wilayah hukum
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

II.1.6.5 Fungsi
Karang Taruna mempunyai fungsi :
a.) Mencegah timbulnya masalah kesejahteraan sosial, khususnya generasi
muda.
b.) Menyelenggarakan kesejahteraan sosial meliputi rehabilitasi, perlindungan
sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan diklat setiap anggota
masyarakat terutama generasi muda.
c.) Meningkatkan Usaha Ekonomi Produktif.
49

d.) Menumbuhkan, memperkuat dan memelihara kesadaran dan tanggung


jawab sosial setiap anggota masyarakat terutama generasi muda untuk
berperan secara aktif dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
e.) Menumbuhkan, memperkuat, dan memelihara kearifan lokal.
f.) Memelihara dan memperkuat semangat kebangsaan, Bhineka Tunggal Ika
dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
II.1.6.6 Kepengurusan
Pengurus Karang Taruna dipilih secara musyawarah dan mufakat oleh
Warga Karang Taruna setempat dan memenuhi syarat – syarat untuk diangkat
sebagai pengurus Karang Taruna yaitu :
a.) Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b.) Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945.
c.) Memiliki pengalaman serta aktif dalam kegiatan Karang Taruna.
d.) Memiliki pengetahuan dan keterampilan berorganisasi, kemauan dan
kemampuan, pengabdian di kesejahteraan sosial.
e.) Berumur 17 (tujuh belas) tahun sampai dengan 45 (empat puluh lima)
tahun.
Kepengurusan Karang Taruna desa/kelurahan dipilih, ditetapkan, dan
disahkan dalam Musyawarah Warga Karang Taruna di desa/kelurahan dan
dikukuhkan oleh Kepala Desa/Lurah setempat, dengan masa bhakti 3 (tiga)
tahun.
50

II.2 Kerangka Teori

Faktor Predisposisi
Faktor Pendukung Faktor Penguat
(Predisposing
(Enabling Factor) (Reinforcing Factor)
Factor)

- Pengetahuan
- Sikap - Sarana dan - Pola Asuh
Prasarana Orangtua
- Pengalaman
Traumatis Kesehatan
- Sikap dan
- Penggunaan
- Kepercayaan Perilaku Petugas
Media
- Norma Sosial Kesehatan
Internet
Budaya - Sikap Tokoh
- Faktor Masyarakat
Sosiodemografi

Kecenderungan Perilaku Menyimpang


Kearah Perilaku LGBT

Tidak Ya

Kecenderungan Perilaku
Menyimpang Kearah LGBT

Keterangan : Yang Diteliti


Yang Tidak Diteliti
Bagan 1. Kerangka Teori
Sumber : Modifikasi Lawrence Green dalam Notoatmodjo, (2010)
51

II.3 Kerangka Konsep

VARIABEL VARIABEL
INDEPENDENT DEPENDENT

Pola Asuh Orangtua,


Perilaku Menyimpang
Pengalaman Traumatis,
Kearah Perilaku LGBT
Penggunaan Media Internet

Bagan 2. Kerangka Konsep

II.4 Hipotesis Penelitian


H1 : Terdapat hubungan antara pola asuh orangtua dengan kecenderungan
perilaku menyimpang kearah perilaku LGBT pada anggota karang
taruna I dan G di Kota Depok.
H2 : Terdapat hubungan antara pengalaman traumatis dengan kecenderungan
perilaku menyimpang kearah perilaku LGBT pada anggota karang
taruna I dan G di Kota Depok.
H3 : Terdapat hubungan antara penggunaan media internet dengan
kecenderungan perilaku menyimpang kearah perilaku LGBT pada
anggota karang taruna I dan G di Kota Depok.

Anda mungkin juga menyukai