Anda di halaman 1dari 49

DALIL SULUK DALAM TASHAWUF

Dalam ilmu Tasawwuf ada istilah ‘al-Maqamat’ atau tahapan / tingkatan yang akan dilalui oleh
seseorang untuk mencapai ‘makrifat’ atau mengenal Allah. Perjalanan panjang menuju tujuan
tersebut disebut dengan ‘suluk’.
Maqamat tersebut menurut al-Ghazali adalah: Taubat → Sabar → Fakir → Zuhud → Tawakkal →
Mahabbah (cinta) → Makrifat → Ridla.
Sedangkan menurut ath-Thusi adalah: Taubat → Wara’ (menjauhi syubhat dab haram) → Zuhud →
Fakir → Sabar → Ridla → Tawakkal → Makrifat.
Jenjang Tasawuf menurut al-Kalabadzi adalah: Taubat → Zuhud → Sabar → Fakir → Tawadlu’
→Takwa → Tawakkal → Ridla → Mahabbah (cinta) → Makrifat.
Dan dalam metode Syaikh al-Qusyairi adalah: Taubat → Wara’ → Zuhud → Tawakkal → Ridla.
Suluk tersebut didasarkan pada sabda Rasulullah Saw:
‫َىءٍ أ َ َحبه إِلَ ه‬
‫ى‬ ْ ‫ع ْبدِى بِش‬ ‫ب إِلَ ه‬
َ ‫ى‬ َ ‫ َو َما تَقَ هر‬، ‫ب‬ ِ ‫عا َدى لِى َو ِليًّا فَقَ ْد آذَ ْنتُهُ بِ ْال َح ْر‬
َ ‫َّللا قَا َل َم ْن‬
َ ‫َّللا صلى هللا عليه وسلم إِ هن ه‬ ُ ‫ع ْن أَبِى ه َُري َْرة َ قَا َل قَا َل َر‬
ِ ‫سو ُل ه‬ َ
، ‫ْص ُر بِ ِه‬ ‫ه‬
ِ ‫ص َرهُ الذِى يُب‬ ‫ه‬
َ َ‫ َوب‬، ‫س ْمعَهُ الذِى يَ ْس َم ُع بِ ِه‬
َ ُ‫ت‬ ْ ُ ُ َ َ َ ُ ‫ه‬ ‫ه‬
‫ فإِذا أحْ بَ ْبتهُ كن‬، ُ‫ى بِالن َواف ِِل َحتى أحِ بهه‬ َ َ َ
‫ع ْبدِى يَتق هربُ إِل ه‬ ُ َ
َ ‫ َو َما يَزَ ال‬، ‫عل ْي ِه‬ ُ‫ْت‬ ْ
َ ‫مِ هما افت ََرض‬
(6502 ‫ َولَئ ِِن ا ْستَعَاذَنِى ألُعِيذَنههُ )البخارى‬، ُ‫سأَلَنِى ألُعْطِ يَنهه‬ َ ‫ َو ِإ ْن‬، ‫ش بِ َها َو ِرجْ لَهُ الهتِى يَ ْمشِى بِ َها‬ ُ ‫َويَ َدهُ الهتِى يَ ْب‬
ُ ‫ط‬
“Sesungguhnya Allah berfirman (Hadis Qudsi) : Barangsiapa yang memusuhi seorang wali maka
Aku mengizinkan berperang. Tidak ada yang seorang hamba yang mendekatkan diri kepadaKu
yang lebih Aku cintai daripada hal-hal yang telah Aku wajibkan kepadanya. Dan hambaku tiada
berhenti mendekatkan diri kepadaKu dengan ibadah sunah hingga Aku mencintainya. Jika Aku
mencintainya maka Aku menjadi pendengarannya, penglihatannya, tangan yang dipukulnya,
langkah kakinya. dan jika ia meminta maka sunggu Aku kabulkan, dan jika ia berlindung kepadaKu,
niscaya Aku lindungi” (HR al-Bukhari)
al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
‫الظاه َِرة‬‫اْلي َمان َو ه‬ َ ‫ضاتُ ْالبَاطِ نَةُ َوه‬
ِ ْ ‫ِي‬ َ ‫ إِ ْذ ْال ُم ْفت ََر‬، ‫ط ِري ِق ِه‬ َ ‫صول إِلَى َم ْع ِرفَتِ ِه َو َم َحبهتِ ِه َو‬ ُ ‫َّللا َو ْال ُو‬‫سلُوكِ إِلَى ه‬ ُّ ‫ص ٌل فِي ال‬ ُ ‫ َهذَا ْال َحد‬: ‫ي‬
ْ َ ‫ِيث أ‬ ُّ ‫قَا َل‬
ُّ ِ‫الطوف‬
ُّ ‫ت السها ِلكِينَ مِ ْن‬
‫الز ْهد‬ ِ ‫ض همنُ َمقَا َما‬َ َ ‫سان يَت‬ َ ْ‫اْلح‬ ِ ْ ‫ َو‬، ‫ِيث ِجب ِْريل‬ ُ ‫ض همنَهُ َحد‬ َ َ ‫سانُ فِي ِه َما َك َما ت‬ ِ ْ ‫اْلس ََْلم َو ْال ُم َر هكبُ مِ ْن ُه َما َوه َُو‬
َ ْ‫اْلح‬ ِ ْ ‫ِي‬
َ ‫َوه‬
‫صادِق ْال ُم َؤ هكد‬
‫عا ُؤهُ ل ُِو ُجو ِد َهذَا ْال َوعْد ال ه‬
َ ‫د‬
ُ ‫د‬ ‫ه‬ ‫ُر‬ ‫ي‬ ‫م‬ َ ‫ل‬ ‫ِل‬
َ ْ ِ َ ِ َ ‫ف‬ ‫ا‬ ‫و‬‫ه‬ ‫ن‬‫ال‬ ‫ب‬ ‫ب‬ ‫ر‬‫ه‬ َ ‫ق‬َ ‫ت‬‫و‬ ‫ه‬
ِ ‫ي‬
ْ َ ‫ل‬‫ع‬
َ َ َ َ َ َِ‫ب‬ ‫ج‬ ‫و‬ ‫ا‬‫م‬ ‫ب‬ ‫َى‬ ‫ت‬َ ‫أ‬ ‫ن‬ْ ‫م‬
َ ‫ه‬
‫ن‬ َ ‫أ‬ ‫ًا‬
‫ض‬ ‫ي‬
ْ َ ‫أ‬ ‫ِيث‬ ‫د‬ ‫ح‬َ ْ
‫ال‬ ‫ِي‬ ‫ف‬ ‫و‬ َ ، ‫َا‬‫ه‬ ‫ْر‬
‫ي‬ ‫غ‬
َ َ ‫اْل ْخ ََلص َو ْال ُم َراقَبَة‬
‫و‬ ِ ْ ‫َو‬
(342 ‫ ص‬/ 18 ‫ ج‬- ‫س ِم )فتح الباري البن حجر‬ ْ
َ َ‫بِالق‬
“ath-Thufi berkata: Hadis ini adalah dalil dasar dalam melakukan suluk (tahapan / jenjang) menuju
Allah dan sampai pada makrifat (mengenal) Allah dan mencintainya. Sebab kewajiban-kewajiban
batin seperti iman, dan kewajiban-kewajiban fisik yaitu Islam, dan yang tersusun dari keduanya,
yaitu Ihsan sebagaimana dalam hadis yang disampaikan dalam kisah Malaikat Jibril. Sementara
Ihsan mengandung tahapan-tahapan yang dilalui oleh pelaksana, seperti zuhud, ikhlas, diawasi oleh
Allah dan lainnya. Dalam hadis ini juga dijelaskan bahwa orang yang melakukan ibadah wajib dan
mendekatkan diri dengan ibadah sunah donya tidak akan ditolak, sebab telah ada janji yang
dikuatkan dengan sumpah” (Fathul Bari 18/342)
______________________________
Oleh Ustadz Muhammad Ma'ruf Khozin (Nara Sumber "Hujjah Aswaja" di TV9, Anggota Lembaga
Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, dan Ketua LBM-NU
Surabaya - Komisi Fatwa)
https://id-id.facebook.com/khazanahpesantren/posts/10151273891177000

===============-

Suluk

Suluk adalah proses latihan perbaikan kesalahan kemudian meminta ampun dan kemudian
meminta ampun. Jadi tariqat itu merupakan wadah atau sarana untuk mencapai jalan dengan
diajar seorang guru, sedangkan suluk adalah latihannya.
Adapun hakekat suluk, ialah mengosongkan diri dari sifat-sifat buruk (dari maksiat lahir dan dari
maksiat bathin) dan mengisinya dari sifat-sifat yang terpuji atau mahmudah (dengan taat lahir
dan bathin)..
Bersuluk bukan berarti hanya mengasingkan diri. Bersuluk adalah menjalankan agama
sebagaimana awal mulanya, yaitu beragama dalam ketiga aspeknya yaitu iman, islam, dan
ihsan (tauhid – fiqh – tasawuf)sekaligus, sebagai satu kesatuan agama islam yang tidak
terpisahkan.
Dasar segala amalan adalah al-qur’an dan tuntunan rasulullah, demikian pula amalan-amalan
dalam suluk. Suluk tidak mengajarkan untuk meninggalkan syariat pada level tertentu. Syariat
(bahkan hingga hakikat dari pelaksanaan syariat) tuntunan rasulullah wajib dipahami dan
dilaksanakan oleh seorang salik, hingga nafasnya yang penghabisan.
Jadi, bersuluk kurang lebih adalah berislam dengan sebaik-baiknya dalam sikap lahir maupun
batin, termasuk berusaha memahami kenapa seseorang harus berserah diri (berislam),
mengetahui makna berserah diri kepada allah, dalam rangka berusaha mengetahui fungsi spesifik
dirinya bagi allah, untuk apa ia diciptakan-nya.
Al quran, firman allah swt, surah al baqarah ayat 222: sesungguhnya allah menyukai orang-orang
yang tobat dan orang-orang yang mensucikan diri.
Surah al kahfi ayat 110: maka barang siapa mengharap perjumpaan dengan tuhannya, hendaklah
dia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah dia mempersekutukan seseorang pun dalam
beribadat kepada tuhannya.
Surah al araf ayat 142: dan telah kami janjikan kepada musa (memberikan taurat) sesudah berlalu
waktu 30 malam dan kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka
sempurnalah waktu yang telah ditentukan tuhannya 40 malam.
Surah an nahl ayat 69: maka tempuhlah jalan tuhanmu yang telah dimudahkan bagimu.
Al hadist, sabda rasulullah saw: barangsiapa menempuh jalan untuk menggali ilmu (termasuk
dengan beramal), allah akan memudahkan baginya jalan ke syurga.
Hadist riwayat bukhari: nabi muhammad diberi kesenangan menjalankan khalwat di gua hira’,
dengan tujuan beribadat kepada allah swt pada beberapa malam yang tidak sebentar.
Dari ayat-ayat tersebut di atas, dengan tegas allah menyukai dan mencintai orang yang selalu
bertobat dari dosa lahir maupun dosa batin, yang dia ketahui ataupun yang dia tidak ketahui.
Orang yang bertobat dan mensucikan dirinya, kemudian mengisinya dengan amal-amal saleh dan
tidak menserikatkan-nya dengan sesuatu pun, allah menjanjikan akan ada perjumpaan dengan-
nya nanti.
Persiapan suluk
Seseorang yang akan melaksanakan suluk, harus siap fisik dan mental. Secara fisik orang yang
akan suluk harus menyelesaikan dahulu segala sesuatu urusan duniawiyahnya, misalnya
membayar utang piutangnya kalau dia berhutang, menyerahkan kegiatan usahanya kepada orang
lain, minta ma’af kepada orang tua, sanak famili dan handai taulan, sebab orang yang suluk itu
bertekad seolah-olah dia menuju kepada zikrul maut (ingat kepada mati). Jadi kalau ingat kepada
mati, dia harus melupakan dan menyelesaikan segala urusan dunianya terlebih dahulu. Sabda
rasulullah saw “rasakanlah mati sebelum engkau mati”.
Secara mental seseorang yang akan suluk, harus terlebih dahulu bertobat dari segala dosa lahir
dan dosa batin, serta mengakui bahwa dia mempunyai banyak dosa. Karena itu dia harus berniat
dengan ikhlas untuk melaksanakan suluk semata-mata karena allah, semata-mata mentaati
perintah allah dan rasul-nya.
Pada masa pengaruh ajaran muhammad ibn abdul wahab (1703-1787), yang terkenal dengan
sebutan wahabi, kerajaan arab saudi telah melarang semua yang berbau bid’ah termasuk thariqat
naqsabandiyah, karena dianggap bertentangan dengan ajaran islam yang murni. Rumah suluk
yang dipimpin oleh syaikh sulaiman zuhdi di puncak jabal abi qubais, makkah, ditutup dan buku-
buku dan karangannya dibakar.
Harapan kita walaupun aliran thariqat banyak yang pro dan kontra, terlepas dari hal itu, kita
harus menjalankan ajaran islam ang sesuai dengan tuntunan al-qur’an dan hadits.
http://epthealwayz.blogspot.co.id/2013/06/suluk.html

===================-

Pengamalan Tharekat 2 : Suluk


Posted on June 30, 2008 by admin

JANGAN BURU2 MENYESATKAN ORANG!!!

Hati keras, ibadah tidak khusu’, doa tidak makbul, menganggap orang lain bodoh, sombong, hati tidak
mereakan kemanisan dalam beribadah…..coba pelajari tasauf”
Hadits nabi : “barangsiapa menghukumi perkara agama tanpa ada ilmu, maka ia akan mendapatkan laknat
Allah, para malaikat, dan manusia seluruhnya…( HR imam suyuti)
sebelum membaca risalah ini sebaiknya membaca artikel :
Pengamalan tharekat 1 : Taubat
https://salafytobat.wordpress.com/category/pengamalan-tharekat-i-taubat/
SULUK
fADHILAT DZIKIR :
Allah SWT berfirman : “Dan sebutlah (dengan lidah dan hatimu) akan nama Tuhanmu (teru menerus siang
dan malam), serta tumpukanlah (amal ibadatnu) kepadanya dengan sebulat-bulat tumpuan” (Al-Muzammil
ayat 8)
AllahSWT berfirman : “Ketahuilah!!! Dengan dzikrullah itu, tenang dan tentramlah hati manusia” (Ar’ad : 28)
DARIPADA ZUBAIR BIN ABDULLAH RA meriwayatkan bahwa baginda saw bersabda : ” Tiada satu amal yang
lebih menyelamatkan manusia dari azab Allah yang lebih dari dzikurullah
ketika ditanya : Walaupun jihad fiisabilillah?
Nabi bersabda : “walaupun jihad fii sabilillah tidak dapat menandingi dzikrullah, kecuali dia berjuang dengan
berani memukul pedangnya kesana kemari hingga pedangnya patah (HR atharani dalam al austh dan
jami’ushoghir,hadits shohih, majmu’zawaid 71/1)
Dari abdullah bin busrin ra meriwayatkan bahwa seseorang berkata kepada baginda
nabi Rasulullah saw : Ya rasulullah, sesungguhnya hukum-hukum islam telah banyak (yang semestinya kami
amalkan tetapi) berikan kepadaku satu amal supaya tetap menjadi amalanku
Baginda SAW bersabda : Janganlah putus-putus lidah kamu basah dari mengingati Allah” (HR Tirmidzi,
mutakhab 75/368)
a. Pengertian
Suluk yang berarti menempuh jalan menuju kepada Tuhan Allah SWT. Suluk juga disebut khalwat, yaitu
berada ditempat yang sunyi sepi, agar dapat beribadat dengan khusuk dan sempurna. Suluk ini juga
disebut iktikaf. Seseorang yang melaksanakan suluk dinamakan salik. Orang suluk beriktikaf di masjid
atau surau, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW atau Salafus Shaleh. Masa suluk itu
dilaksanakan 10 hari, 20 hari atau 40 hari. Orang yang melaksanakan suluk itu wajib di bawah pimpinan
seorang yang telah ma’rifat, dalam hal ini adalah Syekh Mursyid.
Pengertian suluk adalah ikhtiar menempuh jalan menuju kepada Tuhan Allah, semata-mata untuk
mencari keridlaan-Nya. Hakikat suluk adalah usaha, ikhtiar dengan sungguh-sungguh untuk
membersihkan diri rohani maupun jasmani, dengan bertobat dan mengosongkan diri pribadi dari sifat-
sifat buruk (maksiat lahir maupun batin), dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji, taat lahir maupun
batin. Setiap orang yang suluk meyakini, bahwa dirinya akan menjadi bersih dan tobatnya akan diterima
oleh Allah SWT, sehingga dia menjadi taqarrub, dekat diri kepada-Nya.
Syekh Amin Al Kurdi mengatakan, tidak mungkin seseorang itu sampai kepada makrifatullah dan hatinya
bersih serta bercahaya, sehingga dapat musyahadah kepada yang mahbub, yang dicintai yaitu Allah
SWT, kecuali dengan jalan suluk atau berkhalwat. Dengan cara inilah seseorang salik yang
menghambakan dirinya kepada Allah SWT semata-mata, bisa sampai kepada yang dimaksud (Amin Al
Kurdi 1994 : 430).
Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya menegaskan lima hal pokok yang harus dijaga dan dilestarikan
pelaksanaannya oleh pengamal (murid) tarikatullah Naqsyabandiyah :
a. Melaksanakan zikir sendiri-sendiri, sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh Syekh Mursyid
kepadanya.
b. Melaksanakan Khatam Tawajuh bersama-sama, di Alkah-alkah atau Surau-surau pada malam yang
ditetapkan.
c. Melaksanakan Suluk, bagi orang yang mempunyai kelapangan dan waktu, di tempat-tempat yang
telah ditentukan.
d. Melaksanakan penghidmatan, dalam pembinaan dan peningkatan peramalan ini.
e. Melaksanakan dan memelihara adab terhadap mursyid, adab terhadap sesama murid dan adab
terhadap diri sendiri.
Tentu saja penjagaan dan pelestarian kelima hal tersebut, harus dilandasi dengan pelaksanaan syariat
yang kuat terutama melaksanakan kewajiban shalat, zakat, puasa dan haji, serta kewajiban-kewajiban
lainnya yang ditetapkan oleh Syarak, seperti berbuat baik kepada orang tua (ibu,bapak), hak dan
kewajiban suami isteri dalam rumah tangga, hak dan kewajiban sebagai warga negara dan sebagainya.
Dengan kata lain seseorang murid itu baru bisa berhasil dengan baik untuk meningkatkan kualitas Iman
dan Takwanya, bertaqarrub kepada Allah, manakala melaksanakan ibadat uluhiyah (hablumminallah)
dan ibadat muamalah (hablumminannas) dengan baik dan sempurna. Demikian fatwa Prof. Dr. H. Saidi
Syekh Kadirun Yahya yang disampaikan beliau berulangkali.

b. Dasar Hukum
Bersuluk, berkhalwat atau beriktikaf dalam pengertian di atas, mempunyai dasar hukum naqli Al Quran
maupun Al Hadis.
Firman Allah SWT,

Artinya: Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan orang-orang yang mensucikan diri.
(Q.S. Al Baqarah 2 : 222).
Firman Allah SWT,

Artinya : Maka barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah dia mengerjakan
amal yang saleh dan janganlah dia mempersekutukan seseorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.
(Q.S. Al Kahfi 18 : 110).

Firman Allah SWT,

Artinya : Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu 30 malam
dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang
telah ditentukan Tuhannya 40 malam (Q.S. Al Araf 7 : 142).

Firman Allah SWT,

Artinya : Maka tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan bagimu (Q.S. An Nahl 16 : 69).

Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Barangsiapa menempuh jalan untuk menggali ilmu (termasuk dengan beramal), Allah akan
memudahkan baginya jalan ke Syurga.
Dari ayat-ayat tersebut di atas, dengan tegas Allah menyukai dan mencintai orang yang selalu bertobat
dari dosa lahir maupun dosa batin, yang dia ketahui ataupun yang dia tidak ketahui. Demikian juga Allah
menyukai dan mencintai orang-orang yang selalu mensucikan dirinya dengan berwuduk secara syariah,
dan mengisi batin rohaninya dengan Allah SWT secara hakikat. Orang yang bertobat dan mensucikan
dirinya, kemudian mengisinya dengan amal-amal saleh dan tidak menserikatkan-Nya dengan sesuatu
pun, Allah menjanjikan akan ada perjumpaan dengan-Nya nanti.
Untuk melaksanakan isi kandungan ayat-ayat tersebut, maka Nabi-Nabi sebelum Rasul Muhammad SAW
seperti Nabi Musa a.s telah melaksanakan khalwat di bukit Tursina. Nabi Muhammad SAW sendiri
melaksanakannya di gua Hira’.
Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Nabi Muhammad diberi kesenangan menjalankan khalwat di gua Hira’, dengan tujuan
beribadat kepada Allah SWT pada beberapa malam yang tidak sebentar (H.R. Bukhari).

Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Barang siapa beramal dengan ikhlas karena Allah SWT selama 40 hari, niscaya terpancarlah
sumber-sumber hikmah dari hatinya ke lidahnya. (H.R. Ahmad).

Sabda Rasulullah SAW :

Artinya :Dari Aisyah r.a., dia berkata, “Adalah Nabi SAW melaksanakan iktikaf dalam sepuluh hari akhir
Ramadhan, lalu saya buatkan kelambu untuk beliau, lalu Rasul shalat Shubuh, kemudian Rasul
memasukinya. (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Gua Hira’ terletak di Jabal Nur beberapa kilometer di luar kota Mekkah. Gua Hira’ adalah gua yang tidak
luas (sempit) yang cukup untuk satu orang saja kalau berkhalwat di dalamnya. Adalah sulit di beberapa
tempat, apalagi di masa kini untuk berkhalwat di gua semacam itu, sedangkan yang ingin berkhalwat itu
tidak hanya ratusan jumlahnya, tapi ribuan orang. Karena itu para Syekh Mursyid memodifikasikannya
dengan memakai kelambu. Kelambu ini berfungsi tidak hanya bebas dari ganggguan orang, tetapi juga
bebas dari gangguan nyamuk, sekaligus juga menjaga temperatur udara yang dingin. Empat puluh hari
adalah masa maksimal satu suluk, tapi oleh sebab pertimbangan kesempatan, biaya, tugas dan
sebagainya, maka waktu itu dapat dibagi atau dicicil menjadi beberapa hari.
Selanjutnya apabila mengkaji lebih dalam lima ayat yang pertama turun dalam surat Al Alaq, kita jumpai
di sana ada dua kalimat iqra’. Sudah pasti iqra’ pertama berbeda dengan kandungan iqra’ kedua.
Firman Allah SWT,

Artinya : Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah (Q.S. Al Alaq 96 : 1-2).

Iqra pertama ini berarti kita disuruh berzikir dengan menyebut nama Allah Ismuz Zat atau Nafi Isbat,
sebagai suatu metode untuk membersihkan diri rohani kita yang menjadi landasan, fondamen dan
memberi jiwa keikhlasan terhadap ibadat yang zahiriahnya dilakukan oleh jasmani. Karena itulah kita
melihat dengan waktu yang cukup lama, antara turunnya surat Al Alaq ini dengan turun ayat berikutnya,
Rasulullah berkhalwat di gua Hira sebagai realisasi pelaksanaan kandungan Iqra pertama ini.
Firman Allah SWT,

Artinya : Bacalah dan Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan
kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S.Al Alaq 96: 3-5).

Iqra kedua ini berarti kita disuruh bekerja dan beramal dengan ketentuan dan peraturan syariat Allah
SWT. Berbuat dan beramal itu harus dengan ilmu pengetahuan yang melandasinya, baik untuk amalan
syariat yang akan meningkatkan kualitas Iman dan Takwa (imtak), maupun berbuat dan beramal untuk
kesejahteraan dan kebahagiaan hidup duniawi dengan ilmu pengetahuan dan tekhnologi (iptek) yang
canggih.
Pelaksanaan kandungan Iqra’ kedua ini setelah turun surat Al Muddatstsir yang mengandung perintah
supaya Rasul mulai berdakwah. Secara historis periode Mekkah adalah periode memantapkan Iman dan
Takwa melalui zikrullah, seperti yang terkandung dalam Iqra pertama, dilanjutkan periode Madinah
melaksanakan syariat, baik Ubudiyah Uluhiyah maupun Ubudiyah Muamalah, seperti yang terkandung
dalam Iqra kedua. Kedua-dua kandungan Iqra itu harus dikerjakan dan diamalkan dengan utuh, selaras,
serasi dan seimbang.
Dari penjelasan di atas yang didasarkan kepada Al Quran dan Al Hadis, dapat kita simpulkan bahwa suluk
atau berkhalwat adalah meneruskan sunnah Rasul yaitu Nabi Musa a.s berkhalwat di bukit Tursina dan
Nabi Muhammmad SAW berkhalwat di gua Hira’.

c. Persiapan Suluk
Seseorang yang akan melaksanakan suluk, harus siap fisik dan mental. Secara fisik orang yang akan suluk
harus menyelesaikan dahulu segala sesuatu urusan duniawiyahnya, misalnya membayar utang
piutangnya kalau dia berhutang, menyerahkan kegiatan usahanya kepada orang lain, minta ma’af
kepada orang tua, sanak famili dan handai taulan, sebab orang yang suluk itu bertekad seolah-olah dia
menuju kepada zikrul maut (ingat kepada mati). Jadi kalau ingat kepada mati, dia harus melupakan dan
menyelesaikan segala urusan dunianya terlebih dahulu. Kalau seorang anak minta izin orang tuanya, bila
istri minta izin suaminya dan seterusnya.
Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Rasakanlah mati sebelum engkau mati.

Secara mental seseorang yang akan suluk, harus terlebih dahulu bertobat dari segala dosa lahir dan dosa
batin, serta mengakui bahwa dia mempunyai banyak dosa. Karena itu dia harus berniat dengan ikhlas
untuk melaksanakan suluk semata-mata karena Allah, semata-mata mentaati perintah Allah dan Rasul-
Nya, serta mengikuti petunjuk-petunjuk Syekh Syekh Mursyidnya.
Sebelum pelaksanaan suluk, seseorang itu harus mandi taubat dengan air yang bersih dengan niat,
bahwa dia mandi taubat dari dosa lahir maupun batin karena Allah SWT. Setelah mandi taubat barulah
dia melaksanakan beberapa shalat sunat, yaitu shalat sunat wudlu 2 rakaat, shalat sunat taubat 2 rakaat,
dan shalat hajat untuk melaksanakan suluk 2 rakaat. Setelah itu dia berniat suluk menempuh jalan
menuju kepada Tuhan Allah dengan melaksanakan ‘akmalush shalihat, amal-amal ibadat sebagaimana
yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para ahli silsilah Tarikat Naqsyabandiyah.
Menurut DR. Mustafa Zahri setelah itu dia berdo’a dengan do’a sebagai berikut :
– “Ya Tuhan, jadikanlah hatiku berjalan kepada-Mu, sehingga aku memperoleh keridlaan-Mu yang aku
cari.”
– “Ya Tuhan, hilangkanlah hijab dalam hatiku dan bukakanlah hijab yang menutupi aku untuk
menemukan Engkau.”
– “Ya Tuhan, limpahkan kepadaku Nur Makrifat-Mu dalam hatiku, supaya aku melihat wajah- Mu.”
– “Ya Tuhan, kembalikanlah aku kepada kudrat-Mu dan iradat-Mu.”
– “Ya Tuhan, berikanlah aku keridlaan-Mu dan janganlah aku disiksa di hari kemudian.” (Mustafa Zahri
1991 : 257).

d. Syarat Suluk
Syekh Amin Al Kurdi dalam bukunya “Tanwirul Qulub” mengatakan ada 20 syarat suluk:
1). Berniat ikhlas, tidak riya dan sum’ah lahir dan batin.
2). Mohon ijin dan do’a dari syekh mursyidnya, dan seorang salik tidak memasuki rumah suluk sebelum
ada ijin dari syekh selama dia dalam pengawasan dan pendidikan.
3). ‘Uzlah (mengasingkan diri), membiasakan jaga malam, lapar dan berzikir sebelum suluk.
4). Melangkah dengan kaki kanan pada waktu masuk rumah suluk. Waktu masuk seorang salik mohon
perlindungan kepada Allah dari godaan syetan dan membaca basmalah, setelah itu dia membaca surat
An Nas tiga kali, kemudian melangkah kaki kiri dengan berdo’a,

Artinya : Ya Allah, yang menjadi pelindung di dunia dan akhirat, jadikanlah aku sebagaimana Engkau
telah menjadikan penghulu kami Muhammad SAW dan berilah aku kurnia, rizki mencintai-Mu. Berilah
aku kurnia, rizki mencintai kekasih-Mu. Ya Allah, sibukkanlah aku dengan kecantikan-Mu dan jadikanlah
aku termasuk hamba-Mu yang ikhlas. Ya Allah hapuskanlah diriku dengan tarikan zat-Mu, wahai Yang
Maha Peramah yang tidak ada orang peramah bagi-Nya. Ya Tuhan, janganlah Engkau biarkan aku tinggal
sendirian, sedangkan Engkau adalah sebaik-baik orang yang mewarisi.

Setelah itu dia masuk ke Musholla lalu mengucapkan,

Artinya : Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada yang menciptakan langit dan bumi dalam
keadaan hanif/lurus dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.

Kalimat itu dibaca 21 kali. Setelah itu baru melaksanakan shalat sunat 2 rakaat. Setelah membaca Al
Fatihah di rakaat pertama, dibaca ayat kursi (Al Baqarah 2 : 255) dan di rakaat kedua setelah membaca
Al Fatihah, dibaca Amanar Rasul (AlBaqarah 2 : 285). Dan setelah salam membaca Ya Fatah ( ) 500 kali.

Artinya : Seseorang itu memohon kepada Allah agar dibukakan makrifat-Nya.


5). Berkekalan wudlu atau senantiasa berwudlu.
6). Jangan berangan-angan untuk memperoleh keramat.
7). Jangan menyandarkan punggungnya ke dinding.
8). Senantiasa menghadirkan musyid.
9). Berpuasa.
10). Diam, tidak berkata-kata kecuali berzikir atau terpaksa mengatakan sesuatu yang ada kaitannya
dengan masalah syariat. Berkata-kata yang tidak perlu akan menyia-nyiakan nilai khalwat dan akan
melenyapkan cahaya hati.
11). Tetap waspada terhadap musuh yang empat, yaitu syetan, dunia, hawa nafsu dan syahwat.
12). Hendaklah jauh dari gangguan suara-suara yang membisingkan.
13). Tetap menjaga shalat jum’at dan shalat berjama’ah karena sesungguhnya tujuan pokok dari khalwat
adalah mengikuti Nabi SAW.
14). Jika terpaksa keluar haruslah menutupi kepala sampai dengan leher dengan memandang ke tanah.
15). Jangan tidur, kecuali sudah sangat mengantuk dan harus berwudlu. Jangan karena hendak istirahat
badan, bahkan jika sanggup, jangan meletakkan rusuk ke lantai/berbaring dan tidurlah dalam keadaan
duduk.
16). Menjaga pertengahan antara lapar dan kenyang.
17). Jangan membukakan pintu kepada orang yang meminta berkat kepadanya, kalau meminta berkat
hanya kepada Syekh-Syekh Mursyid.
18). Semua nikmat yang diperolehnya harus dianggapnya berasal dari Syekh-Syekh Mursyid, sedangkan
Syekh-Syekh Mursyid memperolehnya dari Nabi Muhammad SAW.
19). Meniadakan getaran dan lintasan dalam hati, baik yang buruk maupun yang baik, karena lintasan-
lintasan itu akan membuyarkan konsentrasi munajat kepada Allah SWT sebagai hasil dari zikir.
20). Senantiasa berzikir dengan kaifiat yang telah ditetapkan oleh syekh Syekh Mursyid baginya, hingga
sampai dengan dia diperkenankan atau dinyatakan selesai dan boleh keluar (Amin Al Kurdi 1994 : 430-
431).
Pelaksanaan suluk pimpinan Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya disamping memenuhi syarat suluk
tersebut, adalagi ketentuan adab suluk yang pada prinsipnya sama dengan syarat suluk yang 20 tadi.
Ada 21 adab suluk yang inti pokoknya mengatur ketentuan-ketentuan orang yang suluk itu supaya
mendapatkan hasil maksimal dalam suluknya. Ada lagi 9 (sembilan) adab setelah keluar dari suluk, yang
harus diperhatikan dan dipedomani agar hasil Ubudiyah suluk itu dapat dipertahankan dan bahkan
dapat lebih ditingkatkan lagi.

e. Zikrullah
Orang dalam suluk seluruh hidup dan kehidupannya harus bernilai ibadat dan tidak boleh ada padanya
yang bernilai sia-sia. Karena itu ibadat-ibadat yang dilakukan baik yang wajib maupun yang sunat, sama
saja dengan ibadat yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak suluk, sesuai dengan ketentuan syariat.
Orang dalam suluk berusaha bermujahadah, bersungguh-sungguh melaksanakan itu semua dengan lebih
intensif, dengan konsentrasi penuh, dengan khusuk lillahi ta’ala. Tidak ada sedikit pun peramalan itu
yang menyimpang, apalagi keluar dari ketentuan syariat. Tidak ada peramalan bid’ah, apalagi menjurus
kepada khurafat dan syirik, bahkan orang suluk berusaha untuk mendapatkan tauhid yang semurni-
murninya, tidak hanya dalam bentuk ilmul yakin atau ‘ainul yakin tapi dalam bentuk hakkul yakin.
Untuk mendapatkan itu tidak mungkin dengan metode belajar saja, tapi harus dengan beramal dengan
metodenya yang benar dan tahkik. Beramal dengan metode yang benar dan tahkik inilah, pengamal
Tarikat Naqsyabandiyah sebagaimana halnya pengamal-pengamal tarikat lainnya, wajib memerlukan
seorang Syekh Mursyid dalam arti sesungguhnya (memenuhi kriteria Mursyid) sebagai pembimbing
rohani dalam beramal. Syekh-Syekh Mursyid itu telah menerima bimbingan rohani dari Syekh-Syekh
Mursyidnya, dan begitulah seterusnya sambung bersambung (silsilah) sampai dengan junjungan kita
Nabi besar Muhammad SAW, yang beliau juga menerima bimbingan itu dari Jibril a.s. Menurunkan
silsilah atau mengijazahkan peramalan kepada muridnya dengan statuta yang sah. Dengan demikian
tidak semua murid Syekh Mursyid itu nantinya berhak menjadi Syekh Mursyid pula, paling-paling dia
berstatus sebagai khalifah atau pembantu Syekh Mursyid.
Disamping ibadat wajib dan sunat sesuai dengan ketentuan syariat, orang dalam suluk peramalan
utamanya adalah zikrullah. Peramalan zikrullah bagi setiap murid, dilaksanakan sesuai dengan ketetapan
Syekh Mursyid terhadapnya. Mengamalkan zikrullah harus sesuai dengan tatacara dan kaifiat yang telah
ditetapkan pada masing-masing tarikat.

1). Adab Zikir


Untuk mendapatkan kualitas zikir yang tinggi dan dampak yang maksimal, seseorang yang berzikir itu
harus melaksanakan adab zikir. Syekh Amin Al Kurdi mengatakan ada 11 adab zikir, yaitu :
(1). Suci dari hadas kecil atau seseorang itu dalam keadaan berwudlu.
Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Wudlu itu menghapus dosa-dosa. (H.R. Ahmad).


(2). Shalat sunat dua rakaat.
(3). Menghadap kiblat di tempat yang sunyi.

Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Sebaik-baik majlis ialah menghadap kiblat. (H.R. Thabrani).

Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Tujuh orang yang mendapat perlindungan Allah pada suatu hari yang tidak ada perlindungan
kecuali daripada-Nya. Di dalam hadis itu disebutkan antara lain : Dan seorang laki-laki berzikir di tempat
yang sunyi kemudian dia menangis dengan mengeluarkan air matanya. (H.R. Bukhari Muslim).

(4). Duduk tawarruk, yaitu kebalikan dari duduk tawarruk dalam shalat. Sebagaimana duduknya para
sahabat di hadapan Rasulullah SAW. Duduk tawarruk seperti itu memudahkan seseorang untuk
mendapatkan tawaduk dan konsentrasi.
(5). Istighfar atau minta ampun dari semua maksiat dan kesalahan yang telah lalu. Dalam mengucapkan
istighfar itu, dia membayangkan semua maksiat dan kesalahan-kesalahannya secara keseluruhan, sambil
dia percaya dan membayangkan Allah melihatnya sekarang ini. Karena itu dia meninggalkan semua
kesibukan dan fikiran duniawiyah. Yang dibayangkannya, hanyalah kebesaran dan keagungan Allah SWT
yang hadir pada saat ini, yang bersifat Maha Pemurah lagi Maha Pengampun.

Setelah itu dia mengucapkan Astaghfirullah ( ) 5 kali atau 15 kali atau 25 kali. Yang terbaik adalah 25 kali.
Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Barang siapa yang lestari terus menerus mengucapkan istighfar, niscaya Allah memberikan
jalan keluar baginya dari segala kesempitan dan menghilangkan segala yang menggelisahkan dan
memberikan rezki dari sumber yang tidak dia duga sebelumnya. (H.R. Ahmad dan Hakim).

(6). Membaca surat Al Fatihah satu kali dan surat Al Ikhlas tiga kali dan menghadiahkan pahalanya
kepada roh Nabi Muhammad SAW dan kepada arwah sekalian Syekh ahli silsilah Tarikat
Naqsyabandiyah, terutama kepada Syekh Mursyid.
(7). Memejamkan kedua mata dan menutup mulut dan menongkatkan lidah ke langit-langit. Hal itu
dilakukan untuk mendapatkan kekhusukan yang sempurna dan lebih memastikan lintasan- lintasan hati
yang harus diperhatikan.
(8). Rabithah Kubur, artinya seseorang yang berzikir itu membayangkan seolah-olah dirinya sudah mati.
Karena itu dia membayangkan dirinya dimandikan, dikafankan, dishalatkan, diusung ke kubur dan
akhirnya dimakamkan (dikebumikan). Semua keluarga dan sahabat handai taulan meninggalkan kita
sendirian dalam kubur. Pada waktu itu ingatlah kita bahwa segala sesuatu tidak berguna lagi kecuali
amal saleh.
Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau sedang dalam perjalanan dan karena itu
persiapkanlah dirimu untuk pada suatu saat menjadi penghuni kubur (H.R. Tarmizi).

(9). Rabithah Mursyid, artinya murid merabithahkan atau menghubungkan rohaniahnya kepada
rohaniah mursyid yang akan membimbingnya atau bersama-sama menuju kehadirat Allah SWT.
Rohaniah mursyid itu dalam kajian orang tasawuf, ibarat corong atau pancuran untuk mendapatkan
limpahan kurnia dan berkah dari Allah SWT.
Firman Allah SWT,

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah SWT dan carilah jalan (wasilah) yang
mendekatkan diri kepada-Nya dan berjihadlah pada jalan-Nya pasti kamu mendapat keberuntungan
(sukses). (Q.S. Al Maidah 5 : 35).

Firman Allah SWT,

Artinya : Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-
orang yang benar. (Q.S. At Taubah 9 : 120).

Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Seseorang itu akan selalu bersama dengan orang yang dia kasihi. (H.R. Bukhari Muslim).

Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Abu Sofyan bin Waki’ menceritakan kepada kami dari Ashim bin Ubaidillah dari Salim dari Ibnu
Umar dari Umar bahwa sesungguhnya Umar bin Khatab minta izin kepada Nabi SAW untuk
melaksanakan ibadat umrah, maka Nabi bersabda, “Wahai saudaraku, ikut sertakan kami (ingatkan
kami) pada waktu engkau berdo’a nanti dan jangan sekali-kali engkau melupakan kami.” (H.R. Abu Daud
dan Tarmizi).

Sabda Rasulullah,

Artinya : Besertalah kamu dengan Allah, tapi kalau belum sanggup, maka hendaklah kamu beserta
dengan orang-orang yang telah beserta dengan Allah, karena sesungguhnya bersama- sama orang itulah
kamu akan sampai kepada Allah SWT.(H.R Abu Dawud).

Kata orang-orang arif,

Artinya : Fana pada syekh adalah mukaddimah untuk fana kepada Allah SWT.

(10). Mengkonsentrasikan semua panca indera dan memutuskan hubungan dengan semua yang
membimbangkan untuk ingat kepada Allah. Konsentrasi hanya ditujukan kepada Allah saja lalu
mengucapkan,

Artinya : Wahai Tuhanku, Engkaulah yang kumaksud dan keridhoan-Mulah yang aku tuntut (dibaca tiga
kali).
Sesudah itu barulah mulai berzikir ismus zat dalam hati dengan meresapkan perhatian ismus zat itu
yakni : Dialah zat yang tiada sesuatu pun setara dengan Dia. Dia hadir, memperhatikan semua hal, sesuai
dengan sabda Rasul dalam menafsirkan makna Al Ikhsan,

Artinya : Hendaklah engkau beribadat kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka jikalau
engkau tidak melihat-Nya maka yakinilah bahwa sesungguhnya Allah SWT melihat engkau (H.R. Bukhari
Muslim).

Sabda Rasulullah SAW :

Artinya : Iman yang paling baik adalah anda mengetahui / merasakan bahwa sesungguhnya Allah
menyaksikan anda di mana pun anda berada (H.R. Thabrani).

(11). Menunggu sebentar datangnya sesuatu yang akan muncul pada waktu berzikir hampir berakhir
sebelum membuka dua mata. Apabila datang sesuatu yang ghaib, maka hendaklah waspada dan
berhati-hati karena cahaya hati akan berpancar.

Demikian Amin Al Kurdi menjelaskan tentang adab zikir. (Amin Al Kurdi 1994 : 443 –
444).
https://salafytobat.wordpress.com/2008/06/30/pengamalan-tharekat-2-suluk/

===================-

pa yang dilaksanakan Rasulullah S.A.W. di gua Hira itulah sebenarnya


haqiqat suluk (riyadhoh) yang dijalankan oleh para ahli sufi
thariqatullah (Tarekat Mu'thabarah).
Siapa gerangan yang dapat membantah hal ini ?

‫للا اتَّقُواَ آ َمنُواَ الَّذِينََ أَيُّ َها يَا‬ َ َ‫تُف ِل ُحونََ لَ َعلَّ ُكم‬
ََّ َ‫سبِي ِل َِه فِي َو َجا ِه َُدواَ ال َو ِسيلَ َةَ ِإلَي َِه َوابتَغُوا‬

Ya ayyhuhallazina amanuttaqullaha wabtaghu ilaihil washilata wajahidu fi


sabililihi laallakum tuflihun.Y aayyuhallazina amanuzkurullah
dzikrankatsira laallakum tuflihun.

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, carilah


wasilah (penghantar/yang mengantar) untuk mendekatkan diri kepada-
Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan,
Qs. Al-Maidah: ayat 35.

Jadi suliq bukanlah hal yang dibuat buat oleh para sufi. Beranjak dari
awaluddin makrifatullah ( awal agama adalah mengenal Allah ). Maka
suluk adalah sarana untuk mengenal allah tersebut.
Di dalam suluk tersebut dilatihlah wuquf qalbi atau hati/qalbu yang
terhenti dari hal hal yang bersifat duniawi tetapi dikonsentrasikan munajat
kehadirat Allah swt. Tentu saja dalam hal ini diperlukan pembimbing (
sang mursyid) yang menjadi wasilah bukan perantara.
Dalam teori elektisitas (kelistrikan) kita mengenal adanya kabel yang yang
menjadi penghantar jalannya arus listrik. Maka nurun ala nurin( nur Ilahi )
yanh terpancar dari zat dan fiil ilahi rabbi itu di dalam suluq
dikonsentrasikan didalam latifatul qalbi. Sang mursyid sebagai mediator
yang maha baik menghantarkan langsung kehadirat Ilahi Rabbi. Tidak ada
yang sampai ke matahari kecuali cahaya matahari itu sendiri.
Begitulah sang mursyid yang menjadi channel KETUHANAN yang dapat
menghantarkan sang mukmin yang bersuluk menuju hadirat Ilahi rabbi.
Dunia ini hanyalah panggung sandiwara tetapi zat Allah lah yang kekal
abadi yang akan menyelamatkan umat manusia ini sampai ke alam baqa.
Nah, darimanakah manusia itu bisa mengenal sesuatu tanpa ada guru yang
membimbingnya.
Suluk hanya dapat dilaksanakan oleh mereka yang telah menerima amalan
thariqah. Rasulullah S.A.W. telah memberikan amanah kepada para
sahabat sampai kepada para tabiin dan sampai kepada para ulama
warisatulmbiyai wal mursalin termasuk para waliyullah sebagai pemegang
tampuk pusaka dari Rasulullah S.A.W. di akhir zaman ini.
Apabila kita kelak meninggalkan dunia yang fana ini maka yang berjalan
menuju hadirat ilahi adalah ruh kita .
ُ ‫ال ُمط َمئِنَّ َةُ يآيُّ َهاالنَّف‬.‫ِلى ار ِج ِعىَ ال‬
َ‫س‬ ََ ‫اضيَّةَ َربِّكََ ا‬ ِ ‫ َّمر‬.‫ج‬
ِ ‫ضيَّةَ َر‬

Ya aayatuhannafsul muthmainnah irjii ila rasbbili radhiyatam mardiyah


fadkhuli fi ibadi wadkhuli jannati.

Artinya: Hai jiwa yang tenang kembalilah Tuhanmu dengan hati yang puas
lagi diridhai-Nya.(QS. al-Fajr,ayat 27-28)

Perjalan ruh yang seba metafisika ini tidak dapat berjalan begitu saja tanpa
indikator , indikator inilah yang disebut sang Mursyid. Beliaulah yang
menyalurkan nurun ala nurin (Cahaya di atas Cahaya) itu kedalam ruh para
muridnya untuk dapat melasanakan zikir sebanyak banyaknya secara
intensif pula. Seperti halnya rasul didalam gua Hira dibimbing oleh Jibril
Alaihissalam. Begitu dahsyatnya pandangan bathin sang Mursyid yang
memimpin murid muridnya di seluruh dunia ini. Dan para mursyid
membimbing muridnya melalui ruhnya yang disertakan Alloh
Cahaya...(red.)
-(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke
dalam gua lalu mereka berdo’a: “Wahai Rabb kami berikanlah rahmat
kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang
lurus dalam urusan kami (ini)”.

-Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu,

-kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di


antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa
lamanya mereka tinggal (dalam gua itu).

-Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan


sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang
beriman kepada Rabb mereka dan Kami tambahkan kepada mereka
petunjuk; dan Kami telah meneguhkan qalbu mereka di waktu mereka
berdiri lalu mereka berkata: “Rabb kami adalah Rabb langit dan bumi,
kami sekali-kali tidak menyeru Ilah selain Dia, sesungguhnya kami kalau
demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran.

(QS. Al-Kahfi ayat 11-14)

Read more: http://www.dokumenpemudatqn.com/2013/01/dalil-suluk-riyadhoh-dalam-


tarekat.html#ixzz41vUyx2Oa

http://www.dokumenpemudatqn.com/2013/01/dalil-suluk-riyadhoh-dalam-tarekat.html

=====================-

Memahami Pengertian Dalil Secara Sempit


By erwin syahbudin 2:27 AM No comments
“Haditsnya kan shahih, ya sudah ikut saja,
ustadz”.
Pernyataan diatas bisa benar bisa salah. Benar; karena memang
hampir semua ulama sejak zaman dahulu pasti menjunjung
tinggi hadits Nabi. Salah; karena telah mempersempit
pengertian dalil hanya pada shahih tidaknya hadits saja.

Hanya saja sayangnya pernyataan itu sekarang sering kita temui


dari para awam agama, seolah ada model ushul fiqih baru;
ushul fiqih cukup hadits shahih.
Dalil secara bahasa artinya sesuatu yang mengantarkan kepada
maksud tertentu (Abu Ya’la al-Farra’ w. 458 H, al-Uddah fi Ushul
al-Fiqh, h. 1/131). Sedangkan dalam istilah syar’i, dalil adalah:

‫خبري مطلوب ِإلى فيه النظر بصحيح التوصل يمكن ما‬

Segala sesuatu yang memungkinkan untuk mengantarkan


kepada sesuatu yang diinginkan yang bersifat khabari/ berita
dengan analisis yang benar. (Ibnu Muflih w. 763 H, Ushul al-
Fiqh, h. 1/ 19, lihat pula: Muhammad bin Ali as-Syaukani w.
1250 H, Irsyad al-Fuhul, h. 1/ 22).
Artinya para ulama dari sejak zaman salaf tak pernah gegabah
menentukan sebuah hukum hanya bermodal kepada satu
hadits shahih saja. Karena hadits shahih saja belum cukup
menjadi produk hukum kecuali setelah melewati pemahaman
yang shahih pula.

Selain pula, dalam pembahasan ushul fiqih, dalil yang


disepakati oleh semua ulama ada beberapa; seperti al-Qur’an,
Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Adapun yang masih diperselisihkan
diantaranya seperti Qaul Shahabi, Syariat sebelum Nabi
Muhammad, Mashlahat Mursalah, Urf, dan juga istihsan. (Ibnu
Quddamah al-Maqdisi w. 620 H, Raudhatu an-Nadzir, h. 1/
194).

Dalil untuk Orang Awam

Beberapa kali ada teman bertanya kepada saya tentang rute


sebuah alamat. Saya berikan peta plus saya gambarkan
rutenya. Hanya saja ada beberapa teman yang nyasar di jalan.
Masalah nyasar bisa jadi bukan karena alamatnya yang palsu,
atau karena peta atau rutenya yang keliru. Tersesat bisa jadi
karena ketidak cakapan seorang membaca peta atau
memahami rute.

Maka jika memang masih awam dalam membaca peta, tak ada
salahnya jika bertanya kepada orang yang memang sudah tiap
hari lewat jalan tersebut. Atau malah nebeng orang lain yang
sudah cukup hafal peta itu.

Begitu juga sebagai awam agama. Imam As-Syathibi (w. 790 H)


dalam as-Muwafaqatmenuliskan:

‫المجتهدين إلى بالنسبة الشرعية كاألدلة العوام إلى بالنسبة المجتهدين فتاوى‬

Fatwa-fatwa ulama mujtahidin bagi orang awam itu ibarat dalil


syar’i bagi para mujtahid.(Ibrahim bin Musa as-Syathibi w. 790
H, al-Muwafaqat, h. 5/ 336).

Hal itu cukup beralasan, kenapa? Karena dalil bagi orang yang
awam itu ya buat apa? Ibarat orang yang tidak cakap memasak
bahkan malah tidak punya alat memasak, untuk apa diberi
bahan mentah.

Sebagaimana Imam Syathibi (w. 790 H) sampaikan, bahkan


Imam as-Syathibi melarang orang awam untuk ikut-ikutan
menggali hukum sendiri dari dalil:
‫يستفيدون ال كانوا إذ سواء؛ وعدمها المقلدين إلى بالنسبة األدلة وجود أن عليه والدليل‬
‫شأنهم من واالستنباط األدلة في النظر فليس شيئا؛ منها‬، ‫ألبتة لهم ذلك يجوز وال‬

Dasarnya adalah ada dan tidaknya dalil bagi orang awam itu
sebenarnya sama saja. Karena mereka belum bisa mengambil
faedah dari dalil-dalil itu. Menganalisis dalil-dalil syar’i bukanlah
tugas mereka. Bahkan tidak boleh sama sekali mereka
melakukan itu. (Ibrahim bin Musa as-Syathibi w. 790 H, al-
Muwafaqat, h. 5/ 337)

Imam as-Syathibi (w. 790 H) memang cukup keras dalam


melarang orang awam untuk ikut berijtihad sendiri. Dan
memang seperti itulah seharusnya.

Awamkah Kita?

Untuk menjawab hal itu, memang butuh kesadaran diri. Tak


jarang ada yang beranggapan bahwa kalo sudah ustadz berarti
tidak awam, kalo sudah lulus sarjana syariah berarti sudah lulus
keawamannya.

Tidak serta merta seorang hafal al-Qur’an dan hadits lantas


bukan awam, apalagi hanya pernah belajar Bahasa Arab. Bukti
paling nyata adalah tidak semua Orang Arab yang sudah bisa
Bahasa Arab sejak kecil lantas bisa dan boleh menggali sendiri
hukum dari al-Qur’an dan Hadits.

Hadits Bisa Jadi Menyesatkan


Mana mungkin Hadits Nabi yang shahih itu bisa menyesatkan?
Bukan haditsnya yang menyesatkan. Tetapi pemahaman yang
belum tuntaslah yang biasanya bisa membuat orang nyasar.
Ibnu Hajar al-Haitami as-Syafi’i (w. 974 H) menukil perkataan
Ibnu Uyainah (w. 198 H):
‫للفقهاء إال مضلة الحديث‬

Hadits itu bisa jadi menyesatkan kecuali fuqaha’. (Ibnu Hajar al-
Haitami w. 974 H, al-Fatawa al-Haditsiah, h. 202). Kita akan lihat
buktinya.

Hafal Banyak Hadits Belum Tentu Faqih

Syarat menjadi faqih adalah tahu banyak hadits beserta tahu


cara memahaminya. Hanya saja kadang orang yang hafal
banyak hadits, tidak tahu banyak terhadap kandungan hadits
yang dihafalkan itu. Hal itu sebagaimana sabda Nabi
Muhammad shallaAllahu alaihi wasallam:
‫أفقه هو من إلى فقه حامل ورب بفقيه ليس فقه حامل ورب سامع من أوعى مبلغ رب‬
‫منه‬

Banyak orang yang hanya disampaikan kepadanya suatu hadits,


dan dia lebih paham daripada orang yang mendengarkannya
langsung. Banyak yang menyampaikan fiqih tetapi tidak faqih/
faham. Dan banyak pembawa fiqih, dia membawakannya
kepada orang yang lebih faham darinya. (HR. Bukhari, h. 1/ 24,
an-Nasa’i dalam as-Sunan al-Kubra, h. 5/ 365, Ibnu Majah
dalam Sunan-nya, h. 1/ 159, Ahmad dalam Musnad-nya, h. 27/
301)
Kesimpulan sederhana yang bisa kita ambil dari hadits ini
adalah tak semua penyampai hadits itu paham atas hadits yang
mereka sampaikan.

Tidak Setiap Hadits Harus Diamalkan, Meskipun Shahih

Ibn Wahab (w. 197 H) salah seorang murid dari Imam Malik bin
Anas (w. 179 H) pernah suatu ketika berkata:

‫مالك لوال‬، ‫لهلكت والليث‬، ‫وسلم عليه هللا صلى النبي عن جاء ما كل أن أظن كنت‬
‫به يعمل‬

Kalau saja saya (Ibnu Wahab) tidak bertemu dengan Imam


Malik (w. 179 H) dan al-Laits bin Saad (w. 175 H), maka
celakalah saya. Dahulu saya menyangka segala sesuatu yang
datang dari Nabi itu pasti harus diamalkan. (Jamaluddin
Muhammad al-Mizzi as-Syafi’i w. 742 H, Tahdzib al-Kamal, h.
24/ 270, lihat pula: Ibnu Asakir w. 571 H, Tarikh Dimasyq, h. 50/
359)

Awalnya Ibnu Wahab (w. 197 H) menyangka bahwa semua yang


datang dari Nabi itu mesti diamalkan. Untungnya beliau
bertemu dan berguru kepada ulama sekelas Imam Malik bin
Anas (w. 179 H) dan al-Laits bin Saad (w. 175 H).
Hal ini mirip-mirip yang terjadi akhir-akhir ini. Banyak yang
menyangka semua yang datang dari Nabi mesti diamalkan.
Tidak mengamalkan berarti menolak, menolak berarti
menentang hadits Nabi. Seharusnya mereka itu belajar kepada
ulama sekelas Imam Malik bin Anas (w. 179 H), bukan kepada
syeikh Google atau syeikh radio.

Intinya, hadits yang shahih juga harus dibarengi dengan


pemahaman yang shahih oleh orang-orang yang ahli. Berikut
contoh hadits yang shahih hanya tidak diamalkan:

Contoh: Tidak diamalkan dhahir haditsnya saja

Nabi Muhammad shallaAllahu alaihi wasallam bersabda:


‫ط أ َ َح ُد ُك َُم أَتَى إِ َذا‬ ََ ‫ظهره لهاََيُو َو‬، ‫غ ِ َّربُوا أَوَ ش ِ َّرقُوا‬
َ َ َ‫ال ال ِقبلَ َةَ يَستَقبِل ف‬
ََ ِ‫ل الغَائ‬

Ketika kalian buang air besar, maka jangan menghadap kiblat


atau membelakanginaya. Tetapi menghadaplah ke TIMUR atau
ke BARAT. (HR. Bukhari dan Muslim)
Nabi melarang buang air menghadap atau membelakangi
kiblat, tetapi beliau menyuruh menghadap ke timur atau ke
barat. Jika kita di Indonesia, bukankah kiblatnya ke arah barat?
Disinilah pemahaman terhadap hadits harus tepat.

Contoh: Tidak diamalkan karena mansukh


Dalam sebuah Hadits shahih riwayat Imam Bukhari disebutkan:
‫خالد بن زيد أن‬، ‫أنه أخبره‬، ‫عنه هللا رضي عفان بن عثمان سأل‬، ‫جامع إذا أرأيت قلت‬
‫يمن فلم‬، ‫من سمعته عثمان قال »ذكره ويغسل للصلة يتوضأ كما يتوضأ« عثمان قال‬
‫عليا ذلك عن فسألت وسلم عليه هللا صلى هللا رسول‬، ‫والزبير‬، ‫وطلحة‬، ‫كعب بن وأبي‬
‫بذلك فأمروه عنهم هللا رضي‬

Zaid bin Tsabit pernah bertanya kepada Utsman bin Affan,


apakah yang dilakukan seseorang jika berjima’ dengan istri
tetapi tidak keluar mani? Utsman bin Affan menjawab:
Berwudhu sebagaimana wudhu’ akan shalat dan memcuci
dzakarnya, hal itu saya dengar dari Rasulullah. (Muhammad bin
Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, h. 1/ 46).

Hadits shahih riwayat Imam Muslim juga menyebutkan:


‫الماء من الماء إنما‬

Air (wajib mandi) itu karena air (keluar mani). (Muslim bin
Hajjaj, Shahih Muslim, h. 1/ 269)

Dari kedua hadits yang shahih tadi, disimpulkan bahwa jika


seseorang berjima’ dengan istri tetapi tidak mengeluarkan mani
maka cukup dengan wudhu dan membasuh dzakar saja.
Meski kedua hadits shahih tadi masih tertulis di dalam kitab
shahih Bukhari dan Muslim, hanya saja para ulama tidak
mengamalkan hadits tersebut. Kenapa?

Hadits diatas di-nasakh dengan hadits muttafaq alaih juga,


yaitu:
‫الغسل وجب فقد الختان الختان ومس األربع شعبها بين جلس إذا‬

Ketika seorang duduk diantara empat cabang kaki wanita dan


kedua khitan saling bersentuhan, maka dia harus mandi besar.
(Muttafaq alaih)

Contoh: Perbuatan Shahabat berbeda dengan Periwayatan

Ada hal menarik ketika membaca sejarah para shahabat Nabi.


Beberapa riwayat menyebutkan ada beberapa shahabat Nabi
tidak mengamalkan hadits yang mereka riwayatkan sendiri.

Sebut saja misalnya Aisyah Ummu al-Mu’minin radhiyaAllahu


anha. Beliau suatu ketika pernah menikahkan anak perempuan
dari saudaranya tanpa ijin walinya terlebih dahulu.

Padahal Aisyah sendiri meriwayatkan hadits tentang larangan


menikahkan perempuan tanpa ijin wali. Hadits tersebut adalah:
‫باطل فنكاحها وليها إذن بغير نكحت امرأة أيما‬
Setiap wanita yang menikah tanpa ijin walinya, maka nikahnya
batil. (HR. at-Timidzi, h. 2/ 398, Abu Daud, h. 2/ 229, al-Hakim
dalam al-Mustadrak, h. 2/ 182 dengan sanad yang shahih).

Sedangkan Aisyah sendiri pernah menikahkan anak dari


saudara laki-lakinya; Hafshah binti Abdurrahman bin Abu Bakar
dengan Mundzir bin Zubair. Padahal Abdurrahman; saudara
dari Aisyah dan wali bagi Hafshah sedang berada di Syam.

Artinya Aisyah sebagai perawi hadits diatas malah dalam


perbuatannya menyelisih terhadap hadits yang beliau
riwayatkan sendiri. (Abu Ja’far at-Thahawi w. 321 H, Syarh
Ma’ani al-Atsar, h. 3/ 18, lihat pula: Ibnu Hajar al-Asqalani w.
852 H, Fath al-Bari, h. 9/ 186).

Contoh lainnya adalah hadits Abu Hurairah tentang banyaknya


basuhan sesuatu yang terkena jilatan anjing; Abu Hurairah
meriwayatkan hadits dibasuh 7 kali, sedangkan beliau sendiri
melakukan basuhan 3 kali. (Abdul Karim an-Namlah,
Mukhalafat as-Shahabi lil Hadits an-Nabawi, h. 125).

Maka dalam hal seperti ini, hanya bermodal hadits sudah


shahih saja belum cukup menjadi dalil hukum. Bagaimana
mungkin seorang shahabat Nabi yang meriwayatkan sendiri
hadits, malah dalam perbuatannya berbeda dengan hadits yang
diriwayatkan.

Maka, dalam kaitan kasus seperti ini para ulama ushul fiqih
telah membahasnya secara tuntas dalam bab "perbuatan rawi
menyelisih riwayatnya sendiri"; apakah mengikuti riwayatnya
atau perbuatannya.

Ahli Hadits Tetapi Tidak Mengamalkan Hadits Nabi

Dalam contoh yang lebih nyata, para Ahli Hadits malah “tidak
mengamalkan” hadits Nabi yang mereka tuliskan dalam kitab-
kitab mereka.

Dalam hadits shahih riwayat Imam Muslim dalam shahih-nya;


Nabi Muhammad shallaAllahu alaihi wasallam melarang
menuliskan sesuatu apapun terkait beliau selain al-Qur’an.
‫الخدري سعيد أبي عن‬، ‫قال وسلم عليه هللا صلى هللا رسول أن‬: ‫عني تكتبوا ال‬، ‫ومن‬
‫فليمحه القرآن غير عني كتب‬، ‫عني وحدثوا‬، ‫حرج وال‬.. ‫الحديث‬

Rasulullah shallaAllahu alaihi wasallam bersabda: Janganlah


kalian menulis tentang saya, siapa yang menuliskan sesuatu
tentang saya selain al-Qur’an maka hapuslah. Dan tidaklah
mengapa, Sampaikanlah hadits saya. (Muslim bin Hajjaj, Shahih
Muslim, h. 4/ 2298).
Larangan menulis sesuatu tentang Nabi ini malah tertulis dalam
kitab-kitab hadits para ulama ahli hadits. Artinya para ahli
hadits malah tidak mengindahkan larangan Nabi, padahal
haditsnya shahih.

Inilah mengapa memahami hadits Nabi tidak hanya cukup


bermodal shahihnya saja. Hadits diatas dijelaskan dengan
hadits khutbah Nabi saat Fathu Makkah:
‫شاه ألبي اكتبوا‬

Tulislah (khutbahku) untuk Abu Syah. (Muttafaq alaih)

Para ulama menyebutkan bahwa alasan tidak boleh menuliskan


sesuatu selain al-Qur’an saat itu adalah agar tidak bercampur
dengan teks al-Qur’an sesuatu yang bukan al-Qur’an.

Bicara Hadits Tetapi Hanya di Mulut Saja


Ada hadits yang cukup serius berbicara tentang orang-orang
yang ngomongnya pakai hadits, tapi malah mendapat kritikan
dari Nabi:

‫آخر في قومَ سيخرج‬ َُ


َِ ‫الزمان‬، ‫أحداث‬ ‫األسنان‬، ‫األحلم سفها َُء‬، ‫ل َِخير من يقولون‬
َِ ‫قو‬
َُ
‫البرية‬، ‫يجاوز ال‬ ‫حناجرهم إيمانهم‬، ‫الرمية من السهم يمرق كما الدين من يمرقون‬..
‫الحديث‬
"Akan datang di akhir zaman, suatu kaum yang muda usianya,
bodoh cara berpikirnya danberbicara dengan sabda sebaik-
baiknya Makhluq; Rasulullah. Iman mereka tidak sampai
melewati tenggorokannya Mereka keluar dari Islam seperti
anak panah tembus keluar dari badan binatang buruannya. (HR.
Bukhari dan Muslim)

Tentu hadits ini umum, tak hanya menuding kelompok ini atau
itu, tetapi lebih sebagai pengingat.

Anak muda, baik secara umur atau keilmuan yang punya cukup
semangat menebarkan hadits dan sunnah Nabi tentu sangat
bagus. Tetapi bisa jadi orang yang sedikit-sedikit membawa
dalil hadits Nabi, belum tentu benar-benar mewakili apa yang
Nabi Muhammad syariatkan.

Cara Aman Agar Tak Tersesat

Contoh-contoh hadits shahih yang tidak diamalkan diatas


sebenarnya sudah tuntas dibahas oleh para ulama
terdahulu. Ulama madzhab fiqih yang empat, telah menuntun
kita dengan membuat formulasi cara memahami teks-teks dalil
agama. Formulasi pemahaman teks agama itu disebut ilmu
ushul fiqih. Hal itu agar tak terjadi penyimpangan pemahaman
terhadap teks-teks agama.
Maka, hanya tahu satu hadits shahih saja belum cukup kecuali
dipahami dengan cara yang benar oleh orang-orang yang
benar-benar benar. waAllahu a’lam bis shawab.

Hanif Luthfi, Lc
http://dar-almusthofa.blogspot.co.id/2015/08/memahami-pengertian-dalil-secara-sempit.html

================-

Pengertian Umum Suluk sebagai Sastra Kitab


9:00 AM

Pengertian Umum Suluk sebagai Sastra Kitab

1.Pengertian Suluk

Penyebaran Islam ke Nusantara termasuk di Jawa tidak dapat dipisahkan dari pengaruh ajaran
tasawuf.َPadaَumumnyaَajaranَtasawufَtersebutَdiajarkanَolehَparaَda’iَyangَmemilikiَpengetahuanَdanَ
pengalaman di bidang tarekat. Hal ini berdampak positif terhadap berkembangnya karya sastra di Jawa,
yaitu karya Islam santri dan karya Islam kejawen. Khusus untuk karya sastra Islam kejawen muncul apa
yang sering disebut primbon , suluk, dan wirid.

Khusus untuk istilah suluk hampir sama dengan tarekat, keduanya berarti jalan atau cara
mendekatiَ Tuhanَ untukَ memperolehَ ma’rifah.َ Halَ iniَ dilakukanَ denganَ latihanَ dalamَ jangkaَ waktuَ
tertentu sesuai dengan kaidah tertentu dalam ajaran tasawuf, sedangkan orang yang menjalankan suluk
ini disebut salik.[1] Kemudian pada perkembangan selanjutnya di Jawa istilah suluk mempunyai dua
macam pengertian, suluk yang berarti nyanyian (tembang) yang dilagukan oleh dalang ketika akan
memulai satu adegan (babak) dalam pertunjukan wayang,[2]dan suluk yang berarti satu jenis karya
sastra Islam kejawen berbentuk puisi, ditulis dengan mengunakan tembang macapat yang berisi
berbagai aspek ajaran Islam. Salah satu aspek ajaran Islam yang menonjol dalam karya sastra suluk
adalah tasawuf.

Ditinjau dari asal usul bahasanya, suluk berasal dari kata dalam bahasa Arab, yaitu sulukun yang
merupakan isim masdar dari salaka artinya, melalui atau menempuh jalan. Kemungkinan suluk berasal
dari perkataan sulukun, merupakanَisimَjama’َdariَsilkun,َberartiَbenang atau tali yang digunakan untuk
merangkai intan atau permata.[3]

Pengertian di atas yang berkaitan dengan arti kata suluk, yaitu menempuh jalan, dapat
dihubungkan dengan ajaran tasawuf, yaitu berarti jalan yang harus dilalui untuk menuju kesempurnaan
batin.[4] Sedangkan arti suluk yang berarti benang atau tali, mempunyai makna atau pengertian bahwa
suluk merupakan salah satu khasanah kasusasteraan Jawa. Menurut Faqir Abdul Haq, karya puisi yang
berisi ajaran tasawuf ini digubah dengan maksud agar dipakai sebagai petunjuk yang menjadi tali
pengikat atau penghubung antara makhluk dengan khaliknya atau bisa jadi merupakan petunjuk tentang
jalan yang harus ditempuh oleh seseorang untuk sampai pada makrifat Tuhan.[5] Hal ini sebagaimana
disebutkan dalam al-Qur’anَ suratَ An-Nahl: 69 /16:69 yang artinya :

“Tempuhlahَ jalanَ Tuhanmuَ yangَ dimudahkanَ bagimu…”.[6]

Beberapa ahli tasawuf memberi tafsiran lain terhadap ayat di atas. Di antaranya ada yang memberi arti
“makaَ bersuluklahَ kamu…”,َ danَ menjadikannya sebagai salah satu dasar bagi ajaran tasawuf.[7]

Kemudian hakikat suluk itu sendiri dalam ilmu tasawuf adalah mengosongkan diri dari sifat
mazmumah (buruk) yaitu dari maksiat lahir dan batin, dan mengisinya dengan sifat-sifat yang mahmudah
(terpuji).َDalamَbersulukَdisyari’atkanَuntukَmelakukanَsebuahَperjalananَspiritualَyangَpanjangَdenganَ
berbagai maqamnya, yang akhirnya akan memperoleh tujuan yang dikehendaki, yakni kesempurnaan
Iman.[8]

Mengenai sejak kapan istilah suluk dipakai untuk menamai karya sastra Jawa yang bercorak
tasawuf, belum dapat diketahui dengan pasti. Namun, dalam khasanah sastra Melayu Klasik, istilah suluk
ini sudah dipakai sebagai nama lain dari tasawuf. Sementara itu, para penganutnya disebut ahlus suluk.
Untuk itu, dibawah ini akan dibicarakan mengenai suluk sebagai karya sastra yang berkembang di Jawa.

2.Suluk Sebagai Sastra Kitab

Bentuk suluk yang muncul dalam kasusasteraan Jawa tidaklah sama dengan suluk yang muncul
dalam tarekat. Suluk telah terakulturasi dengan ide-ide mistik Hindu Jawa. Makna suluk tersebut telah
bergeser dan tidak terkait lagi dengan dunia tarekat, namun telah berkembang menjadi sebuah bentuk
kasusasteraan.[9]

Suluk sebagai karya sastra Jawa dimulai semenjak Majapahit berada diujung kehancuran yang ditandai
dengan kekacauan politik. Hal inilah kemudian yang memudahkan unsur-unsur Islam masuk dengan
mewarnai dan mempengaruhi tradisi masyarakat Jawa. Pada saat Majapahit berada dalam puncak
kejayaan, sebenarnya sudah ada beberapa orang yang memeluk Islam di sepanjang pantai utara Pulau
Jawa. Mereka ini yang kemudian di samping berdagang, juga menjalankan dakwah Islam di kalangan
masyarakat. Dalam penyebaran Islam ini, pada awalnya belum dapat menembus wilayah kerajaan, Islam
mulai tersebar dari lapisan bawah, yaitu di daerah-daerah pedesaan sepanjang pesisiran yang kemudian
melahirkan lingkungan budaya baru yang berpusat di pesantren.[10] Baru kira-kira abad ke-16 M,
dakwah Islam mulai menembus benteng-benteng istana, yaitu melalui unsur-unsur Islam yang telah
meresap dan mewarnai sastra budaya istana, didukung oleh masuk Islamnya kalangan priyayi. Dengan
demikian, maka munculah kitab-kitab berbahasa Jawa yang berisi hal-hal yang berkaitan dengan
permasalahan keislaman.[11]

Para priyayi, para cendekiawan dan para sastrawan berusaha mempertahankan warisan budaya
istana dan mengembangkannya dengan menyesuaikan unsur-unsur Islam. Dalam zaman Hindu, para
priyayi, cendekiawan dan sastrawan berhasil mengembangkan kebudayaan istana dengan
memanfaatkan unsur-unsur Hinduisme dalam cerita Ramayana dan Mahabarata. Cerita tersebut telah
mengilhami berbagai macam lahirnya sejumlah karya sastra dan seni pewayangan yang mendukung
serta memperluas wibawa raja dan kaum priyayi sebagai sendi dasar stabilitas kebesaran negara pada
masa itu. [12]

Demikian juga ketika Islam mulai menyebar dengan berdirinya Kerajaan Demak, maka para priyayi, para
cendekiawan dan para sastrawan berusaha menyadap unsur-unsur baru dari kitab-kitab yang bersumber
pada lingkungan pesantren. Hal ini sebagai sarana untuk memperkaya khazanah Budaya Jawa dan
untuk mengembangkan karya-karyanya, sehingga lahirlah berbagai macam serat, suluk, wirid, primbon,
dan gubahan kisah-kisah yang berasal dari tradisi pesantren baik yang berasal dari bahasa Arab maupun
Melayu.[13]

Mengenai sejak kapan sastra suluk mulai digunakan di kalangan sastra Islam Jawa belum
diketahui secara pasti. Namun menurut sejumlah sumber kasusasteraan Jawa, penggunaan suluk
dimulai sejak awal abad enambelas. Hal ini dapat dilihat pada penemuan manuskrip yang disebut
sebagai Het Boek Van Bonang atau Een Javaanse Primbon Uit De Zestiende Eeuw (Kitab Sunan
Bonang atau Primbon Abad Keenambelas). Di samping itu, terdapat serat Suluk Sukarasa dan Suluk
Wujil, yang menurut Poerbotjaraka, suluk ini merupakan manuskrip tertua dalam literatur Jawa.[14]

Perkembangan sastra suluk, serat-serat babad, primbon dan cerita-cerita keislaman yang
digubah dan disesuaikan dengan wayang Hindu Jawa makin subur pada zaman pemerintahan Sultan
Agung. Pada masa pemerintahannya, Sultan Agung telah berhasil menyelaraskan dan berusaha
menutup jurang perbedaan yang menyebabkan konflik antara tradisi budaya pesantren dengan kejawen,
yaitu dengan mengkompromikan unsur-unsur Islam ke dalam tradisi seni budaya kejawen di lingkungan
istana.[15]

Kebangkitan perkembangan kasusasteraan Jawa, khususnya suluk mengalami puncak kejayaan di


bawah kekuasaan Surakarta. Saat itu, diangkat para pegawai khusus di kalangan istana yang disebut
pujangga. Mereka merupakan pegawai yang diberi posisi terhormat dalam istana kerajaan dengan
pangkat Tumenggung. Mereka mengadakan pembaharuan kitab-kitab berbahasa Jawa kuno ke dalam
bahasa Jawa baru. Mereka juga mengambil unsur-unsur Islam yang terdapat dalam literatur-literatur Arab
yang berpusat di pesantren, untuk digubah kedalam bahasa dan tulisan Jawa serta dipadukan dengan
alam pikiran Jawa. Perpaduan antara unsur-unsur Islam dengan Jawa ini telah menumbuhkan karya baru
dalam kasusasteraan Jawa. Contoh dari kitab-kitab baru, misalnya Kitab Centini, serat wirid Hidayat jati,
Wulangreh, Wedhatama, dan suluk-suluk yang lain seperti Suluk Sujinah, Suluk Syeh Ngabdulsalam,
Suluk Permusyawaratan wali dan sebagainya.[16]

Lebih lanjut, berkembangnya kreasi seni budaya dan karya sastra Jawa adalah sebagai bentuk
kompensasi dari hilangnya kedaulatan kerajaan oleh pemerintah kolonial Belanda. Apalagi setelah
kerajan Mataram terpecah dan Belanda berkuasa penuh, tidak ada lagi aktivitas politik yang dapat
diperhitungkan. Kemudian kerajaan mengarahkan perhatiannya pada penulisan sastra Jawa dalam
upaya mengungkapkan budaya Jawa kuno. Drewes mengatakan bahwa masa itu merupakan masa
paling produktif bahkan masa kebangkitan sastra yaitu periode antara 1757-1881.[17]

Karya-karya suluk tersebut rata-rata tersusun dalam bentuk dialog atau tanya jawab antara dua
orang pelaku atau lebih tentang hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan keagamaan. Biasanya,
bentuk dialognya adalah tanya jawab antara guru dengan murid, atau orang tua dengan anaknya,
dengan cucunya, atau mungkin seperti dalam Suluk Sujinah ini, adanya dialog antara seorang suami
dengan istrinya.

Untuk penamaan atau pemilihan judul dari sebuah karya suluk biasanya diambil dari nama salah
seorang pelaku dalam karya suluk yang bersangkutan, atau mengambil topik pembicaraan antara tokoh-
tokohnya. Dalam hal ini, Suluk Sujinah, Suluk Wujil dan Suluk Sukarasa termasuk kedalam kelompok
pertama, sementara Suluk Sangkanparan, Suluk Musyawaratan Para Wali dan banyak suluk yang lain
tergolong dalam kelompok kedua. Namun tidak jarang dijumpai terdapat karya suluk yang sama sekali
tidak mempunyai nama judul. Karena kebanyakan dari suluk-suluk jenis ini kerap kali terkumpul dalam
suatu bendel suluk baik yang mempunyai nama atau tidak.

Pada waktu itu, banyak sastrawan dan pujangga menyalin sebuah karya sastra yang sudah ada dan
kemudian disesuaikan dengan latar belakang kehidupan penyalinnya, sehingga banyak dijumpai karya-
karya sastra yang sama dalam pertumbuhan khazanah kasusasteraan Jawa.

[1] Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat ( Solo: CV. Ramadhani, 1985), hlm. 121.

[2] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen P&K, Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hlm. 866.

[3]َ Louisَ Ma’luf, Al-Munjid (Beirut: Dar al-Masyriq, 1975), hlm. 347.

[4] Atjeh, Pengantar, hlm 121.

[5] Sindu Galba, Sri Mintosih, dkk., Suluk Sujinah (Jakarta: Dep. Dik. Bud. Dirjen.Proyek Penelitian dan
Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1992), hlm. 3.

[6] Departemen Agma R.I., Al-Qur’anَ danَ Terjemahnyaَ (Jakarta:َ Proyekَ Pengadaanَ Kitabَ Suciَ al-
Qur’an,َ 1983),َ hlm.َ 412.

[7] Musthafa Zuhri, Kunci Memahami Tasawuf (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1979), hlm.160.

[8] Asywadie Syukur, Ilmu Tasawuf I (Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1982), hlm. 59.
[9] Masdarَ Hilmy,َ “Sulukَ dalamَ sastraَ Jawa”,َ Rindangَ (Semarang:َ Penerbitَ Yayasanَ Kesejahteraanَ
Karyawan Kantor Wilayah Depag. Prop. Jawa Tengah, No. 8 TH. XXIII Maret 1998), hlm. 47.

[10]َ Muzairi,َ dkk.,َ “Aspekَ Kitabَ Kuningَ dalamَ Sulukَ Centini”َ (Yogyakarta:َ Proyek PTA. IAIN Sunan
Kalijaga, 1995/1996), hlm.73.

[11] Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa (Bandung: Teraju, 2003), hlm. 90.

[12] M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogjakarta: Gadjah Mada University press,1998), hlm. 81.

[13] Simuh, Sufisme Jawa, Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa (Yogyakarta: Penerbit Bentang,
1996), hlm.127.

[14]َ Hilmy,َ “Sulukَ ”,َ hlm.َ 48

[15] Simuh, Islam, hlm. 94.

[16] Simuh, Sufisme, hlm. 151-152.

[17]َM.Jandra,َ“PergulatanَIslamَdenganَBudayaَJawaَyangَtercerminَdalamَNaskahَSeratَPujiَI”َdalamَ
Khasanah Budaya Kraton Yogyakarta II (Yogyakarta: Yayasan Kebudayaan Islam Indonesia &IAIN
Sunan Kalijaga, 2001), hlm 15.

http://satriabajahikam.blogspot.co.id/2013/04/pengertian-umum-suluk-sebagai-sastra.html

========================-

Makna Suluk dan Tasawuf


Red: cr01

Blogspot.com
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Suluk berarti memperbaiki akhlak, mensucikan amal, dan menjernihkan


pengetahuan. Suluk merupakan aktivitas rutin dalam memakmurkan lahir dan batin. Segenap
kesibukan hamba hanya ditujukan kepada Sang Rabb. Bahkan ia selalu disibukkan dengan
usaha-usaha menjernihkan hati sebagai persiapan untuk sampai kepada-Nya (wusul).

Ada dua perkara yang dapat merusak usaha seorang salik (pelaku suluk); Pertama, mengikuti
selera orang-orang yang mengambil aspek-aspek yang ringan dalam penafsiran. Dan kedua,
mengikuti orang-orang sesat yang selalu menurut dengan hawa nafsunya. Barangsiapa yang
menyia-nyiakan waktunya, maka ia termasuk orang bodoh. Dan orang yang terlalu mengekang
diri dengan waktu maka ia termasuk orang lalai. Sementara orang yang melalaikannya, dia
adalah orang-orang lemah.

Keinginan seorang hamba untuk melakukan laku suluk tidak dibenarkan kecuali ketika ia
menjadikan Allah SWT dan Rasul-Nya sebagai pengawas hatinya. Siang hari ia selalu puasa dan
bibirnya pun diam terkatup tanpa bicara. Sebab terlalu berlebihan dalam hal makan, bicara, dan
tidur akan mengakibatkan kerasnya hati. Sementara punggungnya senantiasa terbungkuk rukuk,
keningnya pun bersujud, dan matanya sembab berlinangan air mata. Hatinya selalu dirundung
kesedihan (karena kehinaan dirinya di hadirat-Nya), dan lisannya tiada henti terus berdzikir.

Dengan kata simpul, seluruh anggota tubuh seorang hamba disibukkan demi untuk melakukan
suluk. Suluk dalam hal ini adalah segala yang telah dianjurkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya
dan meninggalkan apa yang dibenci olehnya. Melekatkan dirinya dengan sifat wara',
meninggalkan segala hawa nafsunya, dan melakukan segala hal yang berkaitan erat dengan
perintah-Nya.

Semua itu dilakukan dengan segala kesungguhan hanya karena Allah SWT, bukan sekedar untuk
meraih balasan pahala, dan juga diniatkan untuk ibadah bukan hanya sekadar ritual kebiasaan.
Karena sesungguhnya orang yang asyik dengan amaliyahnya, tidak lagi memandang bentuk rupa
zahir amalan itu, bahkan jiwanya pun telah menjauh dari syahwat keduniaan. Maka satu hal yang
benar adalah meninggalkan segala bentuk ikhtiar sekaligus menenangkan diri dalam hilir mudik
takdir Tuhan.

Dalam sebuah syair dinyatakan;


Aku ingin menemuinya,
Namun Dia menghendakiku untuk menghindar
Lalu kutanggalkan semua hasratku
Demi apa yang Kau kehendaki

Sirnakan semua makhluk darimu dengan hukum Allah SWT dan binasakan hawa nafsumu atas
perintah-Nya. Demikian halnya, tanggalkan seluruh hasratmu demi perbuatan-perbuatan-Nya
(af'al). Dengan demikian, maka kau telah mampu menangkap ilmu Allah SWT.

Kebebasanmu dari ketergantungan dengan makhluk ditandai dengan perpisahanmu dengan


mereka, kau tidak akan kembali dengan mereka, dan kau pun tidak akan menyesali semua yang
ada dalam genggaman mereka. Adapun tanda kebebasanmu dari hawa nafsu adalah dengan tidak
memasang harapan yang berlebihan dari semua usahamu, dan tidak pula bergantung dengan
urusan kausalitas untuk meraih sebuah kemanfaatan ataupun untuk menghindari kebinasaan.

Maka kau jangan hanya bergulat dengan dirimu sendiri, jangan terlalu percaya diri, jangan
mencelakan atau membahayakan dirimu sendiri. Namun pertama-tama yang harus kau lakukan
adalah menyerahkan semuanya pada Yang Berhak, agar Dia berkenan memberikan kuasa-Nya
kepadamu. Seperti kepasrahanmu kepada-Nya saat kau berada dalam rahim ibumu, atau saat kau
masih dalam susuan ibumu.

Sementara tanggalnya seluruh hasrat iradah-mu, lebur dalam iradah-Nya ditandai dengan tidak
adanya sifat menghendaki dalam dirimu (murid), dalam hal ini kau hanyalah sebagai obyek yang
dikehendaki (murad). Bahkan dalam setiap lakumu ada intervensi aktivitas-Nya maka jadilah kau
sebagai obyek yang dikehendaki-Nya.

Adapun aktivitas-Nya menempati semua anggota ragamu, menenteramkan jiwa, melapangkan


dada, menyinari wajahmu, dan memeriahkan suasana batinmu. Takdir menjadi nuansa dalam
hatimu, azali senantiasa akan menyerumu. Rabb yang Maha Menguasai mengajarimu dengan
ilmu-Nya, menyematkan pakaian untukmu dari cahaya hulul, dan memposisikanmu pada derajat
generasi orang terdahulu di antara para ulama yang saleh (ulu al-'ilm).

Sumber : Mi'raj As-Salikin karya Imam Al-Ghazali/Sufi Road


http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/tasawuf/11/07/21/loonc2-makna-suluk-dan-
tasawuf

====================-

SULUK SUFI DAN TASAWUF (Imam Ghazaly)


OLEH ALIFBRAJA

ARTI SULUK DAN TASAWUF (Imam Ghazaly)


Suluk berarti memperbaiki akhlak, mensucikan amal, dan menjernihkan pengetahuan. Suluk

merupakan aktivitas rutin memakmurkan lahir dan batin. Segenap kesibukan hamba hanya ditujukan

kepada Sang Rabb, bahkan ia selalu disibukkan dengan usaha-usaha menjernihkan hati sebagai

persiapanuntuk sampai kepada-Nya (wusul). Ada dua perkara yang dapat merusak usaha seorang

salik (pelaku suluk), yaitu :


Pertama, mengikuti selera orang-orang yang mengambil aspek-aspek yang ringan dalam penafsiran

dan Kedua, mengikuti orang-orang sesat yang selalu menurut dengan hawa nafsunya. Barangsiapa

yang menyia-siakan waktunya,maka ia termasuk orang bodoh. Dan orang yang terlalu mengekang diri

dengan waktu maka ia termasuk orang lalai. Sementara orang yang melalaikannya, dia adalah orang-

orang lemah.Keinginan seorang hamba untuk melakukan laku suluk tidak dibenarkan kecuali ketika ia

menjadikan Allah Swt. dan Rasul-Nya sebagai pengawas hatinya. Siang hari ia selalu puasa dan

bibirnya pun diam terkatup tanpa bicara, sebab terlalu berlebihan dalam hal makan, bicara, dan tidur

akan mengakibatkan kerasnya hati. Sementara punggungnya senantiasa terbungkuk rukuk,

keningnya pun bersujud, dan matanya sembab berlinangan air mata. Hatinya selalu dirundung

kesedihan (karena kehinaan dirinya dihadirat-Nya), dan lisannya tiada henti terus berzikir. Dengan

kata simpul, seluruh anggota tubuh seorang hamba disibukkan demi untuk melakukan suluk. Suluk

dalam hal ini adalah segala yang telah dianjurkan oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya dan meninggalkan

apa yang dibenci olehnya. Melekatkan dirinya dengan sifat wara’ meninggalkan segala hawa nafsunya,

dan melakukan segala hal yang berkaitan erat dengan perintah-Nya. Semua itu dilakukan dengan

segala kesungguhan hanya karena Allah Swt., bukan sekadar untuk meraih balasan pahala, dan juga

diniatkan untuk ibadah bukan hanya sekadar ritual kebiasaan. Karena sesungguhnya orang yang

Asyiq dengan amaliahnya, tidak lagi memandang bentuk rupa zahir amalan itu, bahkan jiwanya pun

telah menjauh dari syahwat keduniaan. Maka satu hal yang benar adalah meninggalkan segala bentuk

ikhtiar sekaligus menenangkan diri dalam hilir mudik takdir Tuhan. Dalam sebuah syair dinyatakan;

Aku ingin menemuinya,

Namun Dia menghendakiku untuk menghindar

Lalu kutanggalkan semua hasratku

Demi apa yang Kaukehendaki

Sirnakan semua makhluk darimu dengan hukum Allah Swt. dan binasakan hawa nafsumu atas

perintah-Nya. Demikian halnya, tanggalkan seluruh hasratmu demi perbuatan-perbuatan-Nya (af’al).

Dengan demikian, maka kau telah mampu menangkap ilmu Allah Swt. Kebebasanmu dari

ketergantungan dengan makhluk ditandai dengan perpisahanmu dengan mereka, kau tidak akan

kembali dengan mereka, dan

kau pun tidak akan menyesali semua yang ada dalam genggaman mereka. Adapun tanda

kebebasanmu dari hawa nafsu adalah dengan tidak memasang harapan yang beriebihan dari semua

usahamu, dan tidak pula bergantung dengan urusan kausalitas untuk meraih sebuah kemanfaatan

ataupun untuk menghindari kebinasaan. Maka kau jangan hanya bergulat dengan dirimu sendiri,
jangan terlalu percaya diri, jangan mencelakan atau membahayakan dirimu sendiri. Namun, pertama-

tama yang harus kau lakukan adalah menyerahkan semuanya pada Yang Berhak, agar Dia berkenan

memberikan kuasa-Nya kepadamu. Seperti kepasrahanmu kepada-Nya saat kau berada dalam rahim

ibumu, atau saat kau masih dalam susuan ibumu. Sementara, tanggalnya seluruh hasrat iradah-mu.

lebur dalam iradah-Nya ditandai dengan tidak adanya sifat menghendaki dalam dirimu (murid), dalam

hal ini kau hanyalah sebagai obyek yang dikehendaki (murad), bahkan dalam setiap lakumu ada

intervensi aktivitas-Nya maka jadilah kau sebagai obyek yang dikehendaki-Nya. Adapun aktivitas-Nya

menempati semua anggota ragamu, mententramkan jiwa, melapangkan dada, menyinari wajahmu,

dan memeriahkan suasana batinmu. Takdir menjadi nuansa dalam hatimu, azali senantiasa akan

menyerumu. Rabb yang Maha Menguasai mengajarimu dengan ilmu-Nya, menyematkan pakaian

untukmu dari cahaya

hulul, dan memposisikanmu pada derajat generasi orang terdahulu di antara para ulama yang saleh

(ulu al-‘ilm). Mi’raj as-Salikin, Imam Al Gazali

SUFI, JALAN DAMAI DITENGAH KEKERASAN

Situasi dunia saat ini dipenuhi dengan berbagai kekerasan yang tak henti-hentinya, berbagai upaya

telah dilakukan untuk menumbuhkan perdamaian, sayangnya kekerasan masih terus berlangsung.

Ajaran sufi, dapat menjadi alternative jalan damai ditengah kekerasan tersebut.“Sekarang ini era

kekerasan dan ekstrisme, tetapi kita lebih membutuhkan era spiritual, yang menjadi modal utama

dalam menjalani kehidupan. Ajaran sufi memberi dampak positif dalam perilaku kehidupan sehari-

hari,” kata KH Said Aqil Siroj, Senin (11/7).NU dari dulu sampai sekarang terus berkomitmen dalam

memperjuangkan dunia yang damai, mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamiin. Dalam momentum

harlah ke-85 ini, selain mempromosikan sufisme sebagai jalan hidup melalui konferensi Internasional

Al Multaqo As Sufi, PBNU juga melakukan langkah nyata menggelar Prakarsa Perdamaian

Afganistan.“Amerika saja tidak sanggup menyelesaikan konflik di Afganistan. Kita berusaha


menjembatani perbedaan dengan model tawassuth dan tawazun yang merupakan prinsip inti NU.

Konflik akan hilang jika mampu mengaplikasikan prinsip-prinsip itu,” tuturnya.

Ia menjelaskan, Afganistan merupakan pengikut Sunni yang bermazhab Hanafi, tetapi memiliki

pandangan agama yang ekstrim. Nilai NU yang toleran dan moderat inilah yang akan dicoba

digunakan sebagai media dalam penyelesaian konflik.

“Kita ingin menunjukkan kepada dunia, masih ada kelompok terbesar dunia yang membangun

kebersamaan dengan prinsip toleran dan moderat, yaitu NU,” katanya.

Demikian pula, kekerasan yang terjadi di Libya, Yaman dan negara-negara Timur lainnya diakibatkan

mereka kehilangan sifat tawazun dan tasamuh. “Seandainya masyarakat di Timur Tengah berfikir ala

NU, ngak akan ada konflik,” tandasnya.

SYA’IR YANG MEMBUAT IMAM AHMAD MENANGIS

Berikut ini adalah sebuah kutipan syair yang diriwayatkan di dalam buku karya Imam Ibnul Qayyim Al

Jauziyah membuat Imam Ahmad menangis tersedu-sedu hingga hampir pingsan. Hal ini

menunjukkan betapa lembut dan pekanya hati Imam Ahmad terhadap hal-hal yang mengingatkan

manusia kepada Rabbnya, dosa-dosanya, dan kehidupan akhirat.

‫نب وت ُخفي … تَعصينِي استحييتَ أ َما َر ِبِّي لِي قَا َل َما إذَا‬
َ َّ‫تأتيني وبالعصيان َخ ْلقي عن الذ‬

‫حين إلى حين من باآلمال النفس أسلي … يحميني سوف ذا ومن ويحي يا أجيب فكيف‬
ِ
ِ ‫العيش ضمِ ْنتُ قد كأني … تكفيني بع ُد ماذا المو‬
‫ت وراء ما وأنسى‬ َ ‫يأتيني الموت ليس‬

ِ ‫أليس الوجو ِه إلى نظرتُ … سيَحْ ميني من الشديدةُ المو‬


‫ت سكرة وجاءت‬ َ ‫سيفديني من منهم‬

‫سأَل‬
ْ ُ ‫دنياي في قدَّمتُ الذي ما سأ‬
َ ‫فرطتُ ما بع ُد من إجابتي فكيف … يُنجيني‬
َّ ‫ديني في‬

‫وياسين قاف في جاء قد بما أسمع ألم … يدعوني هللا كالم أسمع ألم ويحي ويا‬
ِ
‫ت منادي أسمع ألم … والديني الجمع يوم الحشر بيوم أسمع ألم‬
ِ ‫يناديني يدعوني المو‬
‫رب سوى … سيأويني ذا من تائب عبد ربَّاه فيَا‬
ِّ ‫للحق واسع غفور‬
ِ ِّ ‫يهديني‬

ُ‫يُجازيني من أرجى أنت جزائي في وخفف … موازينِي فِي وث ِقِّل فارحمني إليك أتيت‬

Jika Rabb-ku mengatakan kepadaku: “Tidak malukah kau bermaksiat kepada-Ku?!

Engkau menutupi dosa dari para makhluk-Ku, tapi malah dengan kemaksiatan kau mendatangi-Ku!”

Maka bagaimana aku menjawabnya, dan siapa yang mampu melindungiku…

Aku terus menghibur diri dengan angan-angan (dunia) dari waktu ke waktu…

Tetapi aku lalai dengan perihal setelah kematian, tentang apa yang dapat mencukupiku setelah itu…

Seolah aku akan hidup terus, dan maut tidak akan menghampiriku…

Saat sakaratulmaut yang dahsyat itu benar-benar datang, siapakah yang mampu melindungiku…

Aku melihat wajah orang-orang… Tidakkah ada diantara mereka yang mau menebusku?!

Aku akan ditanya, tentang apa -yang kukerjakan di dunia ini- yang dapat menyelamatkanku…

Maka bagaimanakah jawabanku setelah aku lupakan agamaku…

Sungguh celaka aku… Tidakkah ku dengar firman Alloh yang menyeruku?!

Tidakkah pula kudengar ayat-ayat yang ada di Surat Qoof dan Yasin itu?!

Bukankah kudengar tentang hari kebangkitan, hari dikumpulkan, dan hari pembalasan itu?!

Bukankah kudengar pula panggilan kematian yang terus melayangkan panggilan dan seruan

kepadaku?!

Maka ya Robb… akulah hambamu yang bertaubat… Tidak ada yang dapat melindungiku,

Melainkan Robb yang Maha Pengampun, lagi Maha Luas Karunianya… Dia-lah yang menunjukkan

hidayah kepadaku

Aku telah datang kepada-Mu… maka rahmatilah aku, dan beratkanlah timbanganku…

Ringankanlah hukumanku… Sungguh Engkaulah yang paling kuharapkan pahalanya untukku

https://alifbraja.wordpress.com/2012/07/01/suluk-sufi-dan-tasawuf-imam-ghazaly/

=========================-

Majelis Dzikir Thoriqoh Shiddiqiyyah Tembilahan-Riau


17. juli 2013 ·
ARTI SULUK DAN TASAWUF (Imam Ghazaly)
Suluk berarti memperbaiki akhlak, mensucikan amal, dan menjernihkan pengetahuan. Suluk
merupakan aktivitas rutin memakmurkan lahir dan batin. Segenap kesibukan hamba hanya ditujukan
kepada Sang Rabb, bahkan ia selalu disibukkan dengan usaha-usaha menjernihkan hati sebagai
persiapanuntuk sampai kepada-Nya (wusul). Ada dua perkara yang dapat merusak usaha seorang
salik (pelaku suluk), yaitu :
Pertama, mengikuti selera orang-orang yang mengambil aspek-aspek yang ringan dalam penafsiran
dan Kedua, mengikuti orang-orang sesat yang selalu menurut dengan hawa nafsunya. Barangsiapa
yang menyia-siakan waktunya,maka ia termasuk orang bodoh. Dan orang yang terlalu mengekang
diri dengan waktu maka ia termasuk orang lalai. Sementara orang yang melalaikannya, dia adalah
orang-orang lemah.Keinginan seorang hamba untuk melakukan laku suluk tidak dibenarkan kecuali
ketika ia menjadikan Allah Swt. dan Rasul-Nya sebagai pengawas hatinya. Siang hari ia selalu
puasa dan bibirnya pun diam terkatup tanpa bicara, sebab terlalu berlebihan dalam hal makan,
bicara, dan tidur akan mengakibatkan kerasnya hati. Sementara punggungnya senantiasa
terbungkuk rukuk, keningnya pun bersujud, dan matanya sembab berlinangan air mata. Hatinya
selalu dirundung kesedihan (karena kehinaan dirinya dihadirat-Nya), dan lisannya tiada henti terus
berzikir. Dengan kata simpul, seluruh anggota tubuh seorang hamba disibukkan demi untuk
melakukan suluk. Suluk dalam hal ini adalah segala yang telah dianjurkan oleh Allah Swt. dan
Rasul-Nya dan meninggalkan apa yang dibenci olehnya. Melekatkan dirinya dengan sifat wara’
meninggalkan segala hawa nafsunya, dan melakukan segala hal yang berkaitan erat dengan
perintah-Nya. Semua itu dilakukan dengan segala kesungguhan hanya karena Allah Swt., bukan
sekadar untuk meraih balasan pahala, dan juga diniatkan untuk ibadah bukan hanya sekadar ritual
kebiasaan. Karena sesungguhnya orang yang Asyiq dengan amaliahnya, tidak lagi memandang
bentuk rupa zahir amalan itu, bahkan jiwanya pun telah menjauh dari syahwat keduniaan. Maka satu
hal yang benar adalah meninggalkan segala bentuk ikhtiar sekaligus menenangkan diri dalam hilir
mudik takdir Tuhan. Dalam sebuah syair dinyatakan;
Aku ingin menemuinya,
Namun Dia menghendakiku untuk menghindar
Lalu kutanggalkan semua hasratku
Demi apa yang Kaukehendaki
Sirnakan semua makhluk darimu dengan hukum Allah Swt. dan binasakan hawa nafsumu atas
perintah-Nya. Demikian halnya, tanggalkan seluruh hasratmu demi perbuatan-perbuatan-Nya (af’al).
Dengan demikian, maka kau telah mampu menangkap ilmu Allah Swt. Kebebasanmu dari
ketergantungan dengan makhluk ditandai dengan perpisahanmu dengan mereka, kau tidak akan
kembali dengan mereka, dan
kau pun tidak akan menyesali semua yang ada dalam genggaman mereka. Adapun tanda
kebebasanmu dari hawa nafsu adalah dengan tidak memasang harapan yang beriebihan dari
semua usahamu, dan tidak pula bergantung dengan urusan kausalitas untuk meraih sebuah
kemanfaatan ataupun untuk menghindari kebinasaan. Maka kau jangan hanya bergulat dengan
dirimu sendiri, jangan terlalu percaya diri, jangan mencelakan atau membahayakan dirimu sendiri.
Namun, pertama-tama yang harus kau lakukan adalah menyerahkan semuanya pada Yang Berhak,
agar Dia berkenan memberikan kuasa-Nya kepadamu. Seperti kepasrahanmu kepada-Nya saat kau
berada dalam rahim ibumu, atau saat kau masih dalam susuan ibumu. Sementara, tanggalnya
seluruh hasrat iradah-mu. lebur dalam iradah-Nya ditandai dengan tidak adanya sifat menghendaki
dalam dirimu (murid), dalam hal ini kau hanyalah sebagai obyek yang dikehendaki (murad), bahkan
dalam setiap lakumu ada intervensi aktivitas-Nya maka jadilah kau sebagai obyek yang
dikehendaki-Nya. Adapun aktivitas-Nya menempati semua anggota ragamu, mententramkan jiwa,
melapangkan dada, menyinari wajahmu, dan memeriahkan suasana batinmu. Takdir menjadi
nuansa dalam hatimu, azali senantiasa akan menyerumu. Rabb yang Maha Menguasai
mengajarimu dengan ilmu-Nya, menyematkan pakaian untukmu dari cahaya
hulul, dan memposisikanmu pada derajat generasi orang terdahulu di antara para ulama yang saleh
(ulu al-’ilm). Mi’raj as-Salikin, Imam Al Gazali
SUFI, JALAN DAMAI DITENGAH KEKERASAN
Situasi dunia saat ini dipenuhi dengan berbagai kekerasan yang tak henti-hentinya, berbagai upaya
telah dilakukan untuk menumbuhkan perdamaian, sayangnya kekerasan masih terus berlangsung.
Ajaran sufi, dapat menjadi alternative jalan damai ditengah kekerasan tersebut.“Sekarang ini era
kekerasan dan ekstrisme, tetapi kita lebih membutuhkan era spiritual, yang menjadi modal utama
dalam menjalani kehidupan. Ajaran sufi memberi dampak positif dalam perilaku kehidupan sehari-
hari,” kata KH Said Aqil Siroj, Senin (11/7).NU dari dulu sampai sekarang terus berkomitmen dalam
memperjuangkan dunia yang damai, mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamiin. Dalam
momentum harlah ke-85 ini, selain mempromosikan sufisme sebagai jalan hidup melalui konferensi
Internasional Al Multaqo As Sufi, PBNU juga melakukan langkah nyata menggelar Prakarsa
Perdamaian Afganistan.“Amerika saja tidak sanggup menyelesaikan konflik di Afganistan. Kita
berusaha menjembatani perbedaan dengan model tawassuth dan tawazun yang merupakan prinsip
inti NU. Konflik akan hilang jika mampu mengaplikasikan prinsip-prinsip itu,” tuturnya.
Ia menjelaskan, Afganistan merupakan pengikut Sunni yang bermazhab Hanafi, tetapi memiliki
pandangan agama yang ekstrim. Nilai NU yang toleran dan moderat inilah yang akan dicoba
digunakan sebagai media dalam penyelesaian konflik.
“Kita ingin menunjukkan kepada dunia, masih ada kelompok terbesar dunia yang membangun
kebersamaan dengan prinsip toleran dan moderat, yaitu NU,” katanya.
Demikian pula, kekerasan yang terjadi di Libya, Yaman dan negara-negara Timur lainnya
diakibatkan mereka kehilangan sifat tawazun dan tasamuh. “Seandainya masyarakat di Timur
Tengah berfikir ala NU, ngak akan ada konflik,” tandasnya.
SYA’IR YANG MEMBUAT IMAM AHMAD MENANGIS
Berikut ini adalah sebuah kutipan syair yang diriwayatkan di dalam buku karya Imam Ibnul Qayyim
Al Jauziyah membuat Imam Ahmad menangis tersedu-sedu hingga hampir pingsan. Hal ini
menunjukkan betapa lembut dan pekanya hati Imam Ahmad terhadap hal-hal yang mengingatkan
manusia kepada Rabbnya, dosa-dosanya, dan kehidupan akhirat.
‫نب عن خ َْلقي وبالعصيان تأتيني‬ َ ‫إذَا َما قَا َل لِي َربِِّي أ َما استحييتَ ت َعصينِي … وتُخفي الذه‬
‫حين‬
ِ ‫فكيف أجيب يا ويحي ومن ذا سوف يحميني … أسلي النفس باآلمال من حين إلى‬
‫العيش ليس الموت يأتيني‬ َ ُ‫ت ماذا بع ُد تكفيني … كأني قد ضمِ ْنت‬ ِ ‫وأنسى ما وراء المو‬
‫أليس منهم من سيفديني‬ َ ‫ت الشديدة ُ من سيَحْ ميني … نظرتُ إلى الوجو ِه‬ ِ ‫وجاءت سكرة المو‬
‫فرطتُ في ديني‬ ‫دنياي يُنجيني … فكيف إجابتي من بع ُد ما ه‬ َ ‫سأُسْأَل ما الذي قدهمتُ في‬
‫وياسين‬
ِ ٍ‫ويا ويحي ألم أسمع كَلم هللا يدعوني … ألم أسمع بما قد جاء في قاف‬
‫ت يدعوني يناديني‬ ِ ‫ألم أسمع بيوم الحشر يوم الجمع والديني … ألم أسمع منادي المو‬
‫ق يهديني‬ِ ِّ ‫غفور واسعٍ للح‬
ٍ ‫ب‬ ٍِّ ‫فيَا ربهاه عب ٌد تائبٌ من ذا سيأويني … سوى ر‬
‫أتيتُ إليك فارحمني وث ِقِّل فِي موازينِي … وخفف في جزائي أنت أرجى من يُجازيني‬
Jika Rabb-ku mengatakan kepadaku: “Tidak malukah kau bermaksiat kepada-Ku?!
Engkau menutupi dosa dari para makhluk-Ku, tapi malah dengan kemaksiatan kau mendatangi-Ku!”
Maka bagaimana aku menjawabnya, dan siapa yang mampu melindungiku…
Aku terus menghibur diri dengan angan-angan (dunia) dari waktu ke waktu…
Tetapi aku lalai dengan perihal setelah kematian, tentang apa yang dapat mencukupiku setelah itu…
Seolah aku akan hidup terus, dan maut tidak akan menghampiriku…
Saat sakaratulmaut yang dahsyat itu benar-benar datang, siapakah yang mampu melindungiku…
Aku melihat wajah orang-orang… Tidakkah ada diantara mereka yang mau menebusku?!
Aku akan ditanya, tentang apa -yang kukerjakan di dunia ini- yang dapat menyelamatkanku…
Maka bagaimanakah jawabanku setelah aku lupakan agamaku…
Sungguh celaka aku… Tidakkah ku dengar firman Alloh yang menyeruku?!
Tidakkah pula kudengar ayat-ayat yang ada di Surat Qoof dan Yasin itu?!
Bukankah kudengar tentang hari kebangkitan, hari dikumpulkan, dan hari pembalasan itu?!
Bukankah kudengar pula panggilan kematian yang terus melayangkan panggilan dan seruan
kepadaku?!
Maka ya Robb… akulah hambamu yang bertaubat… Tidak ada yang dapat melindungiku,
Melainkan Robb yang Maha Pengampun, lagi Maha Luas Karunianya… Dia-lah yang menunjukkan
hidayah kepadaku
Aku telah datang kepada-Mu… maka rahmatilah aku, dan beratkanlah timbanganku…
Ringankanlah hukumanku… Sungguh Engkaulah yang paling kuharapkan pahalanya untukku.
https://nb-
no.facebook.com/MajelisDzikirThoriqohShiddiqiyyahTembilahanRiau/posts/539765456083390

==================-

Pengertian Suluk
Labels: Suluk

Asas pertama tarekat adalah al-iradah, yaitu kehendak atau kemauan bulat untuk selalu mendekatkan
diri kepada Allah dengan menapaki jalan-jalan (menujuNya) secara sungguh-sugguh sedemikan rupa
sehingga yang bersangkutan benar-benar mengalami dan merasakan (kehadiran) Tuhan (Rukun
Ihsan: Seolah-olah beribadah melihat Allah apabila tidak maka sadirilah bahwa Allah melihatnya).
Perintah Tuhan mengenai hal ini sangat jelas ketika berfirman:

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan carilah wasilah, serta bersungguh-
sungguhlah menapaki jalan-jalan (menuju kepada)-Nya agar kamu memperoleh
kemenangan/kesuksesan. (Al-Maidah, 5:35).

Sebenarnya tidak hanya manusia yang diperintahkan Tuhan untuk menapaki jalan-jalan-Nya lebah-
pun bahkan menjadi objek yang di-khitab Tuhan dengan perintah yang sama melalui wahyu yang
disampaikan kepadanya, Maka tempuhlah jalan-jalan Tuhan -Mu yang telah dimudahkan untukmu [Al-
Nahl, 16: 69]. Dalam kasus lebah ini terdapat tanda ketuhanan yang layak direnungkan oleh murid
(orang yang berkehendak bulat bertemu dengan Tuhan). Perjalanan menuju Tuhan tidak mungkin
dapat dilakukan, dan jalan-jalan menuju Tuhan pun tidak akan pernah tersingkap, kecuali dengan
mujahadah (perjuangan yang sungguh-sungguh) yang dimotori oleh iradah tersebut. Hal ini
ditegaskan Tuhan dalam sebuah firman-Nya:

Dan orang-orang yang ber-mujahadah di dalam Kami, kepada mereka Kami benar-benar
menunjukkan jalan-jalan menuju Kami; sesungguhnya Allah benar-benar bersama dengan orang yang
mengalami ihsan (beribadah seolah-olah melihat Allah). (Al-Ankabut, 29:69).

Dalam wacana sufi perjalanan dalam menempuh jalan-jalan menuju Tuhan disebut dengan suluk dan
orang yang melakukan perjalanan disebut salik.

Di dalam suluk para salik menyibukan diri dengan riyadhah (latihan kejiwaan) dalam rangka
pendekatan diri kepada Allah (al-taqarrub ilallah) melalui pengamalan ibadah-ibadah faraidh (wajib)
dan nawafil (sunnah); semua aktivitas ini dilakukan diatas fondasi dzikrullah, di samping dzikrullah itu
sendiri dijadikan sebagai amalan yang berdiri sendiri, lepas dari ibadah-ibadah lainnya, sebagai wujud
konkret pengamalan firman Allah dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan
Muslim:
Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersamanya ketika ia berdzikir kepada-
Ku; jika ia berdzikir kepada-Ku dalam dirinya,maka Aku berdzikir kepadanya dalam diri-Ku; jika ia
berdzikir kepada-Ku dalam suatu kelompok, maka Aku berdzikir kepadanya dalam kelompok yang
lebih baik daripada mereka. Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya
sehasta; jika ia mendekat kepada-Ku sehasta; maka Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia
mendatangi-Ku dalam keadaan berjalan, maka Aku mendatanginya dalam keadaan berlari [Shahih al-
Bukhari, VI: 2694; Shahih Muslim, IV: 2061].

Intinya semua sunnah Nabi sebagai model al-Quran yang hidup, nyata, dan sempurna, yang dalam
bahasa Aisyah diungkapkan dengan redaksi akhlak Nabi adalah al-Quran [Musnad Ahmad, VI: 91; Al-
Mu'jam al-Awsath, I: 30], diwujudkan secara konkret dan sungguh-sungguh dalam suluk. Berkekalan
dalam wudhu, berdzikir dalam setiap keadaan (berdiri, duduk dan berbaring), berjamaah dalam
semua salat wajib, menjaga moderasi antara lapar dan kenyang, menghiasi waktu malam dengan
berbagai ibadah dan salat sunah, mengosongkan kalbu dari selain Allah, mengarahkan segenap
konsentrasi dan perhatian sebagian contoh sunnah Nabi yang dipraktekkan dalam suluk.

Suluk sekaligus, merupakan jalan menuntut ilmu dan marifah yang dengannya Allah melempangkan
jalan menuju sorga yang notabene jalan menuju Allah sendiri karena sorga tidak ada kecuali di sisi
Allah. Sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Muslim, dan imam-imam hadis
lainnya, mendukung kenyataan ini:

Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, niscaya Allah memudahkan baginya jalan
menuju sorga [Shahih al-Bukhari, I: 37; Shahih Muslim, IV: 2074; Musnad Ahmad, II: 325].

http://catatanmustain.blogspot.co.id/2010/07/pengertian-suluk.html

====================-

SULUK, MENGENAL DIRI, MISI HIDUP: APA ITU?


March 18, 2008Herry Mardian

[TANYA] bersuluk, bermakna keberserahdirian. namun apakah yang dilakukan/dikerjakan oleh


orang2 yg bersuluk? amalannya? dimana? caranya? kenapa? dan mengapa? (Nurhidayah)

[JAWAB] Bersuluk sebenarnya tidak tepat jika dikatakan bermakna keberserahdirian.


‘Islam’ (aslama)-lah yang artinya ‘berserah diri’. ‘Islam’, adalah keberserahdirian dalam
ketaatan dan pengabdian sejati kepada Allah.

Bersuluk, artinya ‘menempuh jalan’. Jalan yang dimaksud adalah ‘jalan kembali kepada Allah’,
yaitu ‘jalan taubat’ (ingat asal kata ‘taubat’ adalah ‘taaba’, artinya ‘kembali’), atau jalan ad-
diin. ‘Suluk’ secara harfiah berarti ‘menempuh’, (Sin – Lam – Kaf) asalnya dari Q.S. An-Nahl
[16] : 69, “Fasluki subula Rabbiki zululan,”

“…dan tempuhlah jalan Rabb-mu yang telah dimudahkan


(untukmu).” (Q. S. An-Nahl [16] : 69)
‘Menempuh jalan suluk’ berarti memasuki sebuah disiplin selama seumur hidup untuk
menyucikan qalb dan membebaskan nafs (jiwa) dari dominasi jasadiyah dan keduniawian,
dibawah bimbingan seorang mursyid sejati (yang telah meraih pengenalan akan diri sejatinya dan
Rabb-nya, dan telah diangkat oleh Allah sebagai seorang mursyid bagi para pencari-Nya), untuk
mengendalikan hawa nafsu, membersihkan qalb, juga belajar Al-Qur’an dan belajar agama,
hingga ke tingkat hakikat dan makna. Dengan bersuluk, seseorang mencoba untuk beragama
dengan lebih dalam daripada melaksanakan syari’at saja tanpa berusaha memahami. Orang yang
memasuki disiplin jalan suluk, disebut salik (bermakna ‘pejalan’).

Ber-suluk –bukan– mengasingkan diri. Ber-suluk adalah menjalankan agama sebagaimana awal
mulanya, yaitu beragama dalam ketiga aspeknya, ‘Iman’ – ‘Islam’ – ‘Ihsan’ (tauhid – fiqh –
tasawuf) sekaligus, sebagai satu kesatuan diin Al-Islam yang tidak terpisah-pisah. Secara
sederhana, bisa dikatakan bahwa bersuluk adalah ber-thariqah,walaupun tidak selalu demikian.

Yang dilakukan, adalah setiap saat berusaha untuk menjaga dan menghadapkan qalbnya kepada
Allah, tanpa pernah berhenti sesaat pun, sambil melaksanakan syari’at Islam sebagaimana yang
dibawa Rasulullah saw. Amalannya adalah ibadah wajib dan sunnah sebaik-baiknya, dalam
konteks sebaik-baiknya secara lahiriah maupun secara batiniah. Selain itu ada pula amalan-
amalan sunnah tambahan, bergantung pada apa yang paling sesuai bagi diri seorang salik untuk
mengendalikan sifat jasadiyah dirinya, mengobati jiwanya, membersihkan qalbnya, dan untuk
lebih mendekat kepada Allah.

“Tidak ada cara ber-taqarrub (mendekatkan diri) seorang


hamba kepada-Ku yang lebih Aku sukai selain melaksanakan
kewajiban-kewajiban yang telah Akufardhu-kan kepadanya.
Namun hamba-Ku itu terus berusaha mendekatkan diri kepada-
Ku dengan melakukan (sunnah) nawafil, sehingga Aku pun
mencintainya. Apabila ia telah Aku cintai, Aku menjadi
pendengarannya yang dengan Aku ia mendengar, (Aku menjadi)
pengelihatannya yang dengan Aku ia melihat, (Aku menjadi)
tangannya yang dengan Aku ia keras memukul, dan (Aku
menjadi) kakinya yang dengan Aku ia berjalan. Jika ia
memohon kepada-Ku, sungguh, akan Aku beri dia, dan jika ia
memohon perlindungan-Ku, Aku benar-benar akan
melindunginya.” (Hadits Qudsi riwayat Bukhari).
Dasar segala amalan adalah Al-Qur’an dan tuntunan Rasulullah, demikian pula amalan-amalan
dalam suluk. Suluk tidak mengajarkan untuk meninggalkan syariat pada level tertentu. Syariat
(bahkan hingga hakikat dari pelaksanaan syariat) tuntunan Rasulullah wajib dipahami dan
dilaksanakan oleh seorang salik, hingga nafasnya yang penghabisan.

Dimana? Dimana pun, kapan pun. Setiap saat, selama hidup hingga nafas terakhir kelak.
Kenapa? Karena sebagian orang ingin memahami makna hidup, makna Al-Qur’an, ingin hidup
tertuntun dan senantiasa ada dalam bimbingan Allah setiap saat. Sebagian orang ingin
memahami agama, bukan sekedar menghafal dalil-dalil beragama.

Jadi, bersuluk kurang lebih adalah ber-Islam dengan sebaik-baiknya dalam sikap lahir maupun
batin, termasuk berusaha memahami kenapa seseorang harus berserah diri (ber-Islam),
mengetahui makna ‘berserah diri kepada Allah’ (bukan ‘pasrah’), dalam rangka berusaha
mengetahui fungsi spesifik dirinya bagi Allah, untuk apa ia diciptakan-Nya.

Dengan mengetahui fungsi spesifik kita masing-masing, maka kita mulai


melaksanakanibadah (pengabdian) yang sesungguhnya. Sebagai contoh, shalatnya seekor burung
ada di dalam bentuk membuka sayapnya ketika ia terbang, dan shalatnya seekor ikan ada di
dalam kondisi saat ia berenang di dalam air. Masing-masing kita pun memiliki cara pengabdian
yang spesifik, jika kita berhasil menemukan fungsi untuk apa kita diciptakan-Nya.

“Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya ber-


tasbih kepada Allah siapa pun yang ada di petala langit dan
bumi, dan burung dengan mengembangkan sayapnya. Sungguh
setiap sesuatu mengetahui carashalat-nya dan cara tasbih-nya
masing-masing. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa
yang mereka kerjakan.” (Q. S. An-Nuur [24] : 41)
Inilah ibadah (pengabdian) yang sejati: beribadah dengan cara melaksanakan pengabdian pada
Allah dengan menjalankan fungsi spesifik diri kita, sesuai dengan untuk apa kita diciptakan-Nya
sejak awal. Fungsi diri yang spesifik inilah yang disebut dengan ‘misi hidup’ atau ‘tugas
kelahiran’, untuk apa kita diciptakan.

Sebagaimana sabda Rasulullah:

Dari Imran ra, saya bertanya, “Ya Rasulullah, apa dasarnya


amal orang yang beramal?” Rasulullah saw. menjawab, “Tiap-
tiap diri dimudahkan mengerjakan sebagaimana dia telah
diciptakan untuk (amal) itu.” (H. R. Bukhari no. 2026).
Juga,

“…(Ya Rasulullah) apakah gunanya amal orang-orang yang


beramal?” Beliau saw. menjawab, “Tiap-tiap diri bekerja
sesuai dengan untuk apa dia diciptakan, atau menurut apa yang
dimudahkan kepadanya.”(H. R. Bukhari no. 1777).
Tiap-tiap diri. Setiap orang. Spesifik. Masing-masing memiliki suatu alasan penciptaan, sebuah
tugas khusus, sebuah amanah ilahiyah. Ketika seseorang menemukan tugas dirinya, Allah akan
memudahkan dirinya beramal dalam pengabdian sejati berupa pelaksanaan akan tugas itu. Ia
akan menjadi yang terbaik dalam bidang tugasnya tersebut. Jalan ‘yang dimudahkan kepadanya’
inilah jalan pengabdian yang sesuai misi hidup, sesuai untuk apa kita diciptakan Allah,
sebagaimana Q. S. 16 : 69 tadi, “… tempuhlan jalan Rabb-mu yang dimudahkan (bagimu).”

Agama-agama timur mengistilahkan hal ini dengan kata ‘dharma’. Para wali songgo di Jawa
zaman dahulu memberi istilah ‘kodrat diri’ atau kadar diri, sesuai istilah dalam Qur’an. Ada juga
yang menyebutnya dengan ‘jati diri’.

Segala sesuatu diciptakan Allah dengan ketetapan, dengan tugas, dengan ukuran fungsi spesifik
tertentu. Demikian pula kita masing-masing, dan berbeda untuk tiap-tiap orang. Al-Qur’an
mengistilahkan hal ini dengan qadar. “Inna kulli syay’in khalaqnaahu bi qadr.”
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu
dengan qadr.” (Q. S. Al-Qamar [54] : 49)
Kita, karena ke-Mahapenciptaan Allah, mustahil diciptakan-Nya secara ‘murahan’ dan ‘tidak
kreatif’ sebagai sebuah produk massal. Kita sama sekali bukan mass-product, karya generik.
Masing-masing kita dirancang Allah secara spesifik, tailor-made orang-per-orang, dengan segala
kombinasi kekuatan dan kelemahan yang diukur dengan presisi oleh tangan-Nya sendiri.

Masing-masing kita diciptakan-Nya dengan dirancang untuk memiliki sekian kombinasi ‘kadar’
keunggulan pada sisi tertentu dan kelemahan pada sisi lainnya, demi kesesuaian untuk
melaksanakan sebuah tugas, demi melaksanakan sebuah misi.

Menemukan ‘misi hidup’ adalah menemukan qadr diri kita sendiri sebagaimana yang tersebut
pada ayat di atas, sehingga kita memahami untuk (fungsi) apa kita diciptakan. Kita
menemukan qudrah Allah yang ada dalam diri kita sendiri. Inilah maksudnya ‘mengenal diri’
dalam hadits “man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu.”.

“Siapa yang mengenal jiwa (nafs)-nya, akan mengenal Rabb-


nya.”
Tentu saja, dengan mengenal jiwa (nafs) otomatis juga mengenal Rabb, karena pengetahuan
tentang fungsi dan kesejatian diri kita hanya bisa turun langsung dari sisi Allah ta’ala dan bukan
dikira-kira oleh kita sendiri. Turunnya pengetahuan sejati (‘ilm)tentang ini bukan kepada jasad
maupun kepada otak di jasad kita ini; melainkan hanya kepada jiwa (nafs), diri kita yang
sesungguhnya. Dalam jiwa (nafs) kitalah tersimpan pengetahuan tentang diri dan pengetahuan
tentang Allah, karena nafs-lah yang dahulu mempersaksikan Allah dan berbicara dengan-Nya,
sebagaimana diabadikan oleh Al-Qur’an di surat Al-A’raaf [7] : 172;

“Dan (ingatlah), ketika Rabb-mu mengeluarkan dari bani


Adam, dari punggung mereka, keturunan-keturunan mereka,
dan mengambil kesaksian terhadap jiwa-jiwa(nafs-nafs;
anfus) mereka (seraya berkata): ‘Bukankah Aku ini Rabb-mu.’
Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami
bersaksi’….” (Q. S. [7] : 172)
Ketika kita mengenal jiwa (nafs), kita mendapatkan pengetahuan tentang Allah, qudrah
Allah dan qadr diri yang tersimpan dalam jiwa kita. Dengan demikian, kita pun mengenal Allah
dan juga mengenal fungsi spesifik untuk apa kita diciptakan-Nya (mengenal diri). Dengan
melaksanakan fungsi tersebut, maka kita pun melaksanakan pengabdian yang sejati kepada Allah
sesuai tujuan-Nya menciptakan kita. Kita mulai mengabdi (ya’bud) di atas agama-Nya (Ad-
Diin) dengan hakiki. Inilah maksud perkataan sahabat Ali r. a. yang termasyhur: “Awaluddiina
Ma’rifatullah.”

“Awal Ad-Diin adalah mengenal


Allah (ma’rifatullah)”(Sahabat Ali r. a.)
Demikianlah pengabdian (ibadah) yang hakiki. ‘Ibadah’ bukanlah sekedar puasa, shalat, zakat,
dan semacamnya; melainkan jauh, jauh lebih dalam dari itu. ‘Ibadah’ berasal dari kata ‘abid,
bermakna, ‘abdi’, ‘hamba’, atau ‘budak’. ‘Ibadah’ pada hakikatnya adalah sebuah pengabdian,
atau penghambaan diri. Dan pengabdian yang hakiki adalah pengabdian dengan menjalankan
tugas ilahiyah sesuai dengan keinginan-Nya, menurut kehendak-Nya, untuk fungsi apa Dia
menciptakan kita.

Demikian pula, status ‘Abdullah’ (‘abdi Allah/hamba Allah) maupun ‘Abdina’ (hamba Kami)
adalah mereka yang sudah mengenali tugasnya dan sudah berfungsi sesuai dengan yang
sebagaimana Allah kehendaki bagi dirinya. ‘Hamba Allah’ adalah sebuah status yang tinggi.

Sekarang, insya Allah kita jadi sedikit lebih memahami makna ‘dalam’ dari ayat tujuan
penciptaan jin dan manusia, “wama khalaqtul jinna wal insa illa liya’buduun.”

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan


untuk beribadah mengabdi/menghamba (ya’bud)kepada-Ku.”
(Q. S. Adz-Dzariyaat [51] : 56)
Demikian pula pada Q. S. Al-Faatihah [1] : 5,
“Kepada Engkau kami mengabdi/menghamba
(‘na’bud’,*dari ‘abid,), dan kepada Engkau kami memohon
pertolongan.” (Q. S. Al-Faatihah [1] : 5)
Semoga kelak kita diizinkan Allah mampu melaksanakan pengabdian yang hakiki, dengan
dijadikan Allah termasuk ke dalam golongan ‘Abdullah’.

Semoga bermanfaat,

Herry Mardian; Yayasan Paramartha.


____
* na’bud sering diinterpretasikan dengan arti ‘kami menyembah’.
[*] Oh ya, mungkin akan sangat membantu memahami hal ini jika membaca juga tulisan Watung
Arif, “Tiap Orang, Satu Misi”, di sini.
[*] Beberapa kalimat dikutip dari makalah Zamzam A. Jamaluddin, “Struktur Insan Dalam Al-
Qur’an dan Hadits: Misykat Cahaya-cahaya.”
https://suluk.wordpress.com/2008/03/18/suluk-apa-itu/

====================-

Anda mungkin juga menyukai