Anda di halaman 1dari 11

Bentuk bentuk kusta yang dapat kita lihat dibawah mikroskop adalah bentuk utuh,

bentuk pecah – pecah ( fragmented ), bentuk granular ( granulated ), bentuk globus dan bentuk

clumps. Bentuk utuh , diman dinding selnya masih utuh, mengambil zat warna merata, dan

panjangnya biasanya empat kali lebarnya. Bentuk pecah – pecah, dimana dinding selnya

terputus sebagian atau seluruhnya dan pengambilan zat warna tidak merata. Bentuk granular,

dimana kelihatan seperti titik – titik tersusun seperti garis lurus atau berkelompok. Bentuk

globus, dimana beberapa bentuk utuh atau fragmented atau granulated mengandung ikatan atau

berkelompok – kelompok. Kelompok kecil adalah kelompok yang terdiri dari 40 – 60 BTA

sedangkan kelompok besar adalah kelompok yang terdiri dari 200 – 300 BTA. Bentuk clumps,

dimana beberapa bentuk granular membentuk pulau – pulau tersendiri dan biasanya lebih dari

500 BTA (Wahyuni, 4-5:2009).

PATOGENESIS

Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen Presenting

Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua. Signal pertama adalah

tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang dipresentasikan oleh

molekul MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua adalah produksi sitokin dan

ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan

sel T melalui CD28. Adanya kedua signal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan

berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF α dan IL 12 akan membantu differensiasi

To menjadi Th1 (Wahyuni, 6:2009).

Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang akan meningkatkan fagositosis makrofag(

fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M.leprae akan berikatan dengan C3 melalui

reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan difagositosis) dan proliferasi sel B.

Selain itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu CD8+.Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I
akan melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh anion superoksida dan radikal

hidroksil yang dapat menghancurkan secara kimiawi. Karena gagal membunuh antigen maka

sitokin dan growth factors akan terus dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya

makrofag akan terus diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag

akan membesar, sekarang makrofag seudah disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel

epitelioid ini akan membentuk granuloma (Wahyuni, 6-7:2009).

Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari eosinofil.

IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4akan mengaktifasi sel B untuk

menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel mast (Wahyuni,

7:2009).

Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak

teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid

Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan denganTh2 sedangkan

pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1(Wahyuni,

7:2009).

APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum – sum tulang dan

melalui darah didistribusikan ke jaringan non limfoid. Sel dendritik merupakan APC yang

paling efektif karena letaknya yang strategis yaitu di tempat – tempat mikroba dan antigen

asing masuk tubuh serta organ – organ yang mungkin dikolonisasi mikroba. Sel denritik dalam

hal untuk bekerja harus terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc akan diaktifkan oleh

adanya peptida dari MHC pada permukaan sel, selain itu dengan adanya molekul kostimulator

CD86/B72, CD80/B7.1, CD38 dan CD40. Setelah DC matang, DC akan pindah dari jaringan

yang inflamasi ke sirkulasi limfatik karena adanya ekspresi dari CCR7 ( reseptor kemokin satu

– satunya yang diekspresikan oleh DC matang). M. Leprae mengaktivasi DC melalui TLR 2 –


TLR 1 heterodimer dan diasumsikan melalui triacylated lipoprotein seperti 19 kda lipoprotein.

TLR 2 polimorfisme dikaitkan dengan meningkatnya kerentanan terhadap leprosy (Wahyuni,

8:2009).

PATOGENESIS KERUSAKAN SARAF PADA PASIEN KUSTA

M.Leprae memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang akan
berikatan dengansel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC
kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1
dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya
fenolat glikolipid I yang melindunginya di dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan
merangsang dia bekerja terus – menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF yang lebih
banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenelai bagian self atau nonself sehingga akan
merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah
penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan APC non professional

PATOGENESIS REAKSI KUSTA

Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit kusta yang

dianggap sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi penyakit kusta. Ada dua tipe

reaksi dari kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering

disebut reaksi lepra non nodular merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV ( Delayed Type

Hipersensitivity Reaction ). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT dan BL. M. Leprae akan

berinteraksi dengan limfosit T dan akan mengakibatkan perubahan sistem imunitas selluler

yang cepat. Hasil dari reaksi ini ada dua yaitu upgrading reaction / reversal reaction , dimana

terjadi pergeseran ke arah tuberkoloid ( peningkatan sistem imunitas selluler) dan biasanya

terjadi pada respon terhadap terapi, dan downgrading, dimana terjadi pergeseran ke arah

lepromatous ( penurunan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada awal terapi

(Wahyuni, 8:2009).
Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas humoraltepatnya hipersensitivitas tipe III.

Reaksi tipe dua sering juga disebut eritema nodosum lepromatous. Reaksi ini sering terjadi

pada pasien LL. M. Lepraeakan berinteraksi dengan antibodi membentuk kompleks imun dan

mengendap pada pembuluh darah. Komplemen akan berikatan pada komples imun dan

merangsang netrofil untuk menghasilkan enzim lisosom. Enzim lisosom akan melisis sel

(Wahyuni, 8:2009).

1. Tipe Tuberkuloid (TT)

Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau beberapa, dapat

berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi

yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi,

bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan

saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman

merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.

2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)

Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat yang sering

disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran

hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe TT. Adanya gangguan saraf

tidak seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf

perifer yang menebal.

3. Tipe Mid Borderline (BB)


Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk dismorfik dan

jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula infiltratif, permukaan lesi

dapat mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri khasnya adalah lesi punched out, yaitu, suatu

lesi hipopigmentasi dengan bagian tengah oval dan berbatas jelas.

4. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)

Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan cepat menyebar

ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas dengan distribusi lesi

yang hampir simetris dan beberapa nodul nampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian

tengah sering tampak normal dengan infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti punched

out. Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL.

5. Tipe Lepromatous Leprosy

Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematus,

berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis.

Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga;

sedangkan di badan mengenai bagian badan yang dingin, seperti lengan, punggung tangan, dan

ekstensor tungkai. Pada stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga

menebal, facies leonina, madarosis, iritis, keratitis, deformitas pada hidung, pembesaran

kelenjar limfe, dan orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.Kerusakan saraf yang

luas menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia dan pada stadium lanjut serabut-

serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anastesi dan

pengecilan otot tangan dan kaki.

Namun ada juga tipe kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi Ridley dan Jopling,

tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta, yaitu tipe Intermediate (I). Lesi biasanya berupa
makula hipopigmentasi dengan sedikit sisik dan kulit disekitarnya normal. Lokasi biasanya di

bagian ekstensor ekstremitas, bokong atau muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula

hipostesia atau sedikit penebalan saraf.

karena kerusakan saraf.

Gejala kerusakan saraf pada nervus ulnaris adalah anestesia pada ujung jari anterior

kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jari manis, dan atrofi hipotenar dan otot

interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial. Pada N.medianus adalah anestesia pada ujung

jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu

jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu jari kontraktur, dan juga atrofi otot tenar dan kedua otot

lumbrikalis lateral. Pada N.radialis adalah anestesi dorsum manus, serta ujung proksimal jari

telunjuk, tangan gantung (wrist drop) dan tak mampu ekstensi jari – jari atau pergelangan

tangan. Pada N. Poplitea lateralis adalah anestesi tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum

pedis, kaki gantung (foot drop) dan kelemahan otot peroneus. Pada N.tibialis posterior adalah

anestesi telapak kaki, claw toes , dan paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis. Pada

N. Fasialis adalah cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus dan cabang bukal,

mandibular serta servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan

mengatupkan bibir. Pada N.trigeminus adalah anestesi kulit wajah, kornea dan konjungtiva

mata.

Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia

pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder

disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum

sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya menyebabkan

kerusakan bagian – bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama – sama akan

menyebabkan kebutaan.
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan keringat, kelenjar

palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatous

dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi

granuloma pada tubulus seminiferus testis.

Kusta histioid, merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang titandai dengan

adanya nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk nodus yang berbatas tegas, dapat juga

berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relapse sensitive

atau relape resistent. Relapse sensitive terjadi, bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan

pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi oleh karena kuman yang

dorman aktif kembali atau pengobatan yang diselesaikan tisak adekuat, baik dosis maupun

lama pemberiannya.

Gejala pada reaksi kusta tipe I adalah perubahan lesi kulit, demam yang tidak begitu

tinggi, gangguan konstitusi, gangguan saraf tepi, multiple small satellite skin makulopapular

skin lesion dan nyeri pada tekan saraf. Reaksi kusta tipe I dapat dibedakan atas reaksi ringan

dan berat.

Pada reaksi kusta tipe II adalah neuritis, gangguan konstitusi, dan komplikasi organ

tubuh. Reaksi kusta tipe II juga dapat dibedakan atas reaksi ringan dan berat.

Fenomena lucio berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk tidak teratur, dan

nyeri. Lesi lebih berat tampak lebih eritematosa, purpura, bula, terjadi nekrosis dan ulserasi

yang nyeri. Lesi lambat sembuh dan terbentuk jaringan parut. Dari hasil histopatologi

ditemukan nekrosis epidermal iskemik, odem, proliferasi endotelial pembuluh darah dan

banyak basil M.leprae di endotel kapiler.


Eritema nodosum lepromatous (ENL), timbul nodul subkutan yang nyeri tekann dan

meradang, biasanya dalam kumpulan. Setiap nodul bertahan selama satua atau dua minggu

tetapi bisa timbul kumpulan nodul baru. Dapat terjadi demam, limfadenopati, dan athralgia.

PEMERIKSAAN BAKTERIOSKOPIS

Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa

hidung yang diwarnai denganpewarnaan BTA ZIEHL NEELSON. Pertama – tama harus

ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu

menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin

sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4lesi lain yang

paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga

tanpa mengiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut oleh karena pengalaman, pada

cuping telinga didapati banyak M.leprae.

Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan

dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA

dalam 100 lapangan pandang (LP).

1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP

2+Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP

3+Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP

4+Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP

5+Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP

6+Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP


Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan

non solid.

IM= Jumlah solidx 100 %

Jumlah solid + Non solid

Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak

perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai

10.000lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.

PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGIS

Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel

dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe

lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah

langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow

dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur tersebut.

Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M.leprae sebagai tempat berkembangbiak

dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.

PEMERIKSAAN LEPROMIN

Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak

untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M.leprae.

O,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian

dibaca setelah 48 jam/ 2hari ( reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu ( reaksi Mitsuda). Reaksi

Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritemayang menunjukkan kalau penderita bereaksi
terhadap M. Leprae yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test ( PPD) pada

tuberkolosis.

Reaksi Mitsuda bernilai :

0 Papul berdiameter 3 mm atau kurang

+ 1 Papul berdiameter 4 – 6 mm

+ 2Papul berdiameter 7 – 10 mm

+ 3 papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi

Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi atau

menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif dari para-

aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh bakteri.

Efek samping dari dapson adlah anemia hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit

kepala, dan vertigo.

Lamprene atauClofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta.

Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K ATPase.Efek

sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi berwarna ungu kehitaman,warna kulit akan

kembali normal bila obat tersebut dihentikan, diare, nyeri lambung.

Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja dengan cara

menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan berikatan pada subunit

beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan nefrotoksik.


Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas Ferrosus untuk

penderita kusta dgn anemia berat. VitaminA, untuk penderita kusta dgn kekeringan kulit dan

bersisisk (ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin untuk penderita kusta tipe PB I.

Anda mungkin juga menyukai