Bibit ternak mempunyai peranan yang sangat strategis dalam proses produksi
ternak, sehingga diperlukan ketersediaan bibit ternak secara berkelanjutan.
untuk memenuhi ketersediaan bibit ternak secara berkelanjutan, baik kuantitas
maupun kualitas, perlu dilakukan pembibitan ternak dalam suatu wilayah
sumber bibit.
Untuk mendukung pembentukan wilayah sumber bibit, telah diterbitkan
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 48/Permentan/OT.140/9/2011 juncto
Permentan No.64/Permentan/OT.140/11/2012 tentang Pewilayahan Sumber
Bibit, yang mencakup kriteria wilayah sumber bibit, serta pembinaan dan
pengawasan.
Pewilayahan Sumber Bibit ini merupakan upaya untuk mengatur pengembangan
bibit ternak lokal/asli sesuai potensi daerah masing-masing, sekaligus sebagai
upaya untuk meningkatkan produktivitas ternak lokal/asli. dalam hal ini
diharapkan daerah yang sudah ditentukan sebagai sumber bibit ternak untuk
tidak dimasuki oleh jenis ternak selain yang ada didaerah tersebut.
Petunjuk teknis ini disusun sebagai acuan bagi daerah dalam pelaksanaan
pengusulan sebagai wilayah sumber bibit, kami menyadari bahwa petunjuk
teknis pewilayahan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran
sangat kami harapkan sebagai masukan untuk perbaikan dimasa yang akan
datang.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.………………………………….….......................... i
DAFTAR ISI ………….………………………...…………........……........ ii
Keputusan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
tentang Petunjuk Teknis Tata cara Penetapan dan Pengelolaan
Wilayah Sumber Bibit ............................................................................ iii
Lampiran Keputusan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan tentang Petunjuk Teknis Tata cara Penetapan dan
Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit ...................................................... 1
BAB I. PENDAHULUAN …................................................................... 1
A. Latar Belakang …………………………..………..........…........... 1
B. Maksud, Tujuan dan Sasaran ................…………..……........... 2
C. Ruang Lingkup ……………………………..……………..........… 2
D. Pengertian ............................................................................... 2
BAB II. KRITERIA WILAYAH SUMBER BIBIT ……...…........................ 4
A. Jenis Ternak ………………………....…..………..........…........... 5
B. Rumpun atau Galur Ternak .………………................................ 6
C. Agroklimat ................................................................................ 6
D. Kepadatan Penduduk .............................................................. 7
E. Sosial Ekonomi ........................................................................ 7
F. Budaya ..................................................................................... 7
G. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi ............................................ 8
BAB III. TATA CARA PENETAPAN …..….............................................. 9
A. Permohonan Penetapan Wilayah Sumber Bibit ...………......... 9
B. Pengajuan Proposal Penetapan Wilayah Sumber Bibit …........ 10
C. Pemeriksaan Kelengkapan Dokumen ...................................... 10
D. Penilaian Proposal oleh Tim Penilai ......................................... 10
E. Verifikasi Lokasi Calon Wilayah Sumber Bibit .......................... 11
F. Penilaian dan Penetapan Wilayah Sumber Bibit ....................... 12
BAB IV. PENGELOLAAN WILAYAH SUMBER BIBIT ........................... 13
A. Persiapan ……………..…..…................................................... 14
B. Pelaksanaan .………………………............................….....….. 14
C. Pembinaan ............................................................................... 20
D. Pendanaan ............................................................................... 20
E. Indikator keberhasilan .............................................................. 21
BAB.V. PENGORGANISASIAN ……..…................................................ 22
A. Tim Penilai ……………………………...................................…. 22
B. Tim Pendamping ……………………………………………................ 22
C. Kelompok Peternak ...…………………………………....................... 22
BAB VI. PENGAWASAN, MONITORING EVALUASI DAN PELAPORAN ... 24
A. Pengawasan ..................................................................................... 24
B. Monitoring dan Evaluasi .................................................................... 24
C. Pelaporan ......................................................................................... 25
BAB.VII. PENUTUP ....................................................................................... 26
ii
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN
HEWAN
NOMOR: 26/Kpts/OT.140/F/01/2015
TENTANG
iii
1
5. Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 1992 tentang
Obat Hewan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 129,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3509);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang
Karantina Hewan (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor
161, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4002);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Tahun 2007
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2011 tentang
Sumber Daya Genetik Hewan dan Perbibitan Ternak
(Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 123, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5260);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang
Kesehatan Masyarakat Veteriner (Lembaran Negara
Tahun 2012 Nomor 214, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 5356);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2013 tentang
Pemberdayaan Peternak (Lembaran Negara Tahun 2013
Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5391);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2014 tentang
Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan
(Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 130, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5543);
12. Peraturan Presiden Nomor 48 tahun 2013 tentang Budi
Daya Hewan Peliharaan (Lembaran Negara Tahun 2013
Nomor 115);
13. Keputusan Presiden Nomor 121/P Tahun 2014 tentang
Pembentukan Kementerian dan Pengangkatan Menteri
Kabinet Kerja Periode Tahun 2014-2019;
14. Keputusan Presiden Nomor 169/M Tahun 2011, tentang
Pengangkatan Pejabat Eselon I di Lingkungan
Kementerian Pertanian;
15. Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 54/Permentan/OT.
140/ 10/2006 tentang Pedoman Pembibitan Sapi
Potong yang Baik;
16. Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 61/Permentan/
OT.140/ 10/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Pertanian;
iv
2
17. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 48/Permentan/OT.
140/ 9/2011 tentang Pewilayahan Sumber Bibit;
18. Peraturan Menteri Pertanian Nomor
64/Permentan/OT.140/ 11/2012 tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Pertanian Nomor
48/Permentan/OT.140/11/2011 tentang Pewilayahan
Sumber Bibit;
MEMUTUSKAN:
Pasal 1
v
3
Pasal 3
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15 Januari 2015
DIREKTUR JENDERAL
PETERNAKAN
DAN KESEHATAN HEWAN,
SYUKUR IWANTORO
NIP. 19590530 198403 1 001
4
LAMPIRAN : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PETERNAKAN DAN
KESEHATAN HEWAN
NOMOR : 26/Kpts/OT.140/F/01/2015
TANGGAL : 15 Januari 2015
PETUNJUK TEKNIS
TATA CARA PENETAPAN DAN PENGELOLAAN WILAYAH SUMBER BIBIT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bibit ternak merupakan salah satu sarana produksi strategis untuk
meningkatkan produktivitas ternak. Ketersediaan bibit ternak yang
berkualitas dan berkelanjutan diperlukan dalam rangka untuk
memenuhi kebutuhan bibit ternak nasional. Untuk mendapatkan bibit
ternak yang berkualitas salah satu cara agar lebih terfokus pembibitan
ternak dilakukan dalam suatu wilayah yang memenuhi kriteria jenis dan
rumpun ternak, agroklimat, kepadatan penduduk, sosial ekonomi,
budaya, serta ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai wilayah sumber
bibit berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian sebagaimana diatur
dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 48/Permentan/OT.140/
9/2011 tentang Pewilayahan Sumber Bibit juncto Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 64/Permentan/OT.140/11/2012.
Suatu wilayah yang telah ditetapkan sebagai wilayah sumber bibit harus
dikelola secara baik dengan memperhatikan aspek teknis (pembibitan,
pakan, kesehatan hewan, agroklimat, ilmu pengetahuan dan teknologi),
sosio-ekonomi (kepadatan penduduk, kelembagaan, budaya), dan
kebijakan, termasuk dukungan pendanaan, sehingga keberlanjutan
wilayah tersebut sebagai wilayah sumber bibit ternak dapat terjamin.
Petunjuk Teknis ini disusun sebagai acuan dalam tata cara penetapan
dan pengelolaan wilayah sumber bibit dalam rangka pengembangan
ternak asli atau lokal dengan mengutamakan ternak yang telah
ditetapkan nama rumpunnya berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian
sesuai potensi daerah masing-masing. Untuk keberhasilannya
pemerintah daerah yang sebagian atau seluruh wilayahnya ditetapkan
sebagai wilayah sumber bibit ternak tetap konsisten melaksanakan
program pembibitan, sehingga dalam jangka panjang wilayah dimaksud
menjadi pusat pembibitan ternak rakyat (village breeding center).
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 1
5
B. Maksud, Tujuan dan Sasaran
1. Maksud
Sebagai acuan bagi pemerintah dan pemerintah daerah dalam
mengatur tata cara penetapan dan pengelolaan wilayah sumber bibit.
2. Tujuan
a. Mendorong pemerintah daerah yang memiliki banyak ternak
rumpun tertentu untuk mengusulkan penetapan wilayah sumber
bibit;
b. Meningkatkan pemahaman terhadap pengelolaan wilayah sumber
bibit.
3. Sasaran
a. Terbentuknya wilayah sumber bibit;
b. Tersedianya bibit ternak secara berkelanjutan.
C. Ruang Lingkup
1. Kriteria wilayah sumber bibit;
2. Tata cara penetapan;
3. Pengelolaan wilayah sumber bibit;
4. Pengorganisasian
5. Pengawasan, monitoring, evaluasi dan pelaporan.
D. Pengertian
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Pewilayahan sumber bibit adalah serangkaian kegiatan untuk
memetakan suatu wilayah dengan agroekosistem tertentu sebagai
wilayah sumber bibit.
2. Wilayah sumber bibit adalah suatu kawasan agroekosistem yang
tidak dibatasi oleh wilayah administrasi pemerintahan dan
mempunyai potensi untuk pengembangan bibit dari jenis, rumpun
atau galur ternak tertentu.
3. Jenis ternak yang selanjutnya disebut jenis adalah sekelompok
ternak yang memiliki sifat dan karakteristik genetik sama, dalam
kondisi alaminya dapat melakukan perkawinan untuk menghasilkan
keturunan.
4. Rumpun ternak yang selanjutnya disebut rumpun adalah segolongan
ternak dari suatu spesies yang mempunyai ciri-ciri fenotipe yang
khas dan dapat diwariskan pada keturunannya.
6
5. Galur ternak yang selanjutnya disebut galur adalah sekelompok
individu ternak dalam satu rumpun yang mempunyai karakteristik
tertentu yang dimanfaatkan untuk tujuan pemuliaan atau
perkembangbiakan.
6. Bibit ternak yang selanjutnya disebut bibit adalah ternak yang
mempunyai sifat unggul dan mewariskan serta memenuhi
persyaratan tertentu untuk dikembangbiakkan.
7. Pembibitan adalah serangkaian kegiatan budidaya untuk
menghasilkan bibit ternak.
8. Ternak asli adalah ternak yang kerabat liarnya berasal dari
Indonesia, dan proses domestikasinya terjadi di Indonesia.
9. Ternak lokal adalah ternak hasil persilangan atau introduksi dari luar
negeri yang telah dikembangbiakkan di Indonesia sampai generasi
kelima atau lebih yang telah beradaptasi pada lingkungan dan/atau
manajemen setempat.
10. Pemuliaan ternak adalah rangkaian kegiatan untuk untuk mengubah
komposisi genetik pada sekelompok ternak dari suatu rumpun atau
galur guna mencapai tujuan tertentu.
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 3
7
BAB II
KRITERIA WILAYAH SUMBER BIBIT
8
Kabupaten 2 Kabupaten 1
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 5
9
7. Itik (Anas).
8. Ayam (Gallus-gallus).
9. Puyuh (Cortunix-cortunix).
10. Kelinci (Nesolagus netscheri).
Jenis ternak yang diusulkan dalam satu kabupaten/kota harus memiliki
populasi dominan (>80%) dibandingkan dengan jenis ternak lainnya.
Apabila jenis ternak yang diusulkan lebih dari satu, maka dominasi dari
masing-masing jenis ternak tersebut berada pada kecamatan yang
berbeda. Dominasi jenis ternak ditentukan berdasarkan populasinya
yang dinyatakan dalam Satuan Ternak (ST) sebagaimana format 1.
B. Rumpun atau Galur Ternak
Rumpun atau galur ternak yang diusulkan dalam satu kabupaten/kota
harus memiliki populasi dominan (>80%) dibandingkan dengan rumpun
atau galur ternak lainnya. Rumpun atau galur ternak yang diusulkan
dalam wilayah sumber bibit, diutamakan rumpun/galur ternak yang
telah ditetapkan atau dilepas berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian.
Dominasi populasi rumpun/galur ternak harus memperhatikan struktur
populasinya berdasarkan jenis kelamin dan umur dengan rincian sebagai
berikut:
1. Jantan dewasa;
2. Jantan muda;
3. Jantan anak;
4. Betina produktif;
5. Betina dewasa;
6. Betina muda;
7. Betina anak.
C. Agroklimat
Agroklimat yang dipersyaratkan dalam penetapan wilayah sumber bibit
meliputi sumber dan daya dukung pakan, kesesuaian lahan, curah
hujan, temperatur, kelembaban, topografi dan kapasitas tampung.
1. Sumber dan daya dukung pakan merupakan tanaman yang dapat
digunakan sebagai bahan pakan atau pakan beserta ketersediaannya
dalam wilayah sumber bibit yang diusulkan, antara lain:
a. HPT: rumput gajah, rumput raja;
b. leguminosa: lamtoro, kaliandra;
c. hasil samping tanaman pertanian: jerami, dedak, dedak jagung;
d. hasil samping industri pertanian: ampas tahu, bungkil kelapa
sawit, tepung ikan.
6
10
2. Kesesuaian lahan di wilayah sumber bibit menggambarkan kondisi
tanah (pH dan jenis), lahan, dan iklim (curah hujan, temperatur,
kelembaban).
3. Topografi di wilayah sumber bibit menggambarkan profil wilayah yang
dapat berupa dataran, berbukit, pegunungan atau rawa yang
proporsinya diilustrasikan dalam peta biofisik sesuai format 2.
4. Kapasitas tampung di wilayah sumber bibit menggambarkan
kemampuan wilayah tersebut berdasarkan ketersediaan pakan dan
luas lahan dalam mendukung perkembangbiakan ternak yang
diunggulkan.
D. Kepadatan penduduk
Kepadatan penduduk di wilayah sumber bibit dibagi dalam dua kategori
yaitu di Pulau Jawa sebagai representasi daerah padat penduduk dan di
luar Pulau Jawa sebagai representasi daerah jarang penduduk.
Kepadatan penduduk dapat direpresentasikan dalam bentuk proporsi
antara jumlah jiwa (semua umur) dengan luas wilayah dalam wilayah
sumber bibit yang diusulkan, dalam satuan orang/km2. Selain itu, untuk
menggambarkan secara lengkap kondisi penduduk di wilayah tersebut.
Kepadatan penduduk dilengkapi pula dengan data-data jenis kelamin,
usia, jenis pekerjaan, serta rumah tangga peternak.
E. Sosial ekonomi
Sosial ekonomi di wilayah sumber bibit harus menggambarkan dinamika
masyarakat dalam menjalankan roda ekonominya, yang dapat
ditunjukkan dengan ketersediaan kelembagaan ekonomi seperti
perbankan, koperasi, lembaga perkreditan rakyat, pasar hewan,
kelembagaan sosial (kelompok peternak, gabungan kelompok peternak),
dan lain-lain.
Untuk melengkapi informasi sosial ekonomi, diperlukan juga data
tentang tingkat pendidikan, pendapatan rumah tangga per tahun.
F. Budaya
Budaya masyarakat di wilayah sumber bibit harus mencerminkan tradisi
atau kebiasaan adat istiadat masyarakat sehari-hari. Bagi masyarakat
dengan mata pencaharian pokok sebagai peternak, kekuatan budaya
beternak digambarkan dalam hal lama pengalaman beternak, kesukaan
terhadap pemeliharaan ternak tertentu, dan pola pemeliharaan yang
digunakan (intensif, semi intensif, dan ekstensif).
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 7
11
G. Ilmu pengetahuan dan teknologi
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah diaplikasikan di wilayah
sumber bibit direpresentasikan sebagai teknologi tepat guna yang
diperoleh secara turun-temurun dan teknologi baru yang
diintroduksikan, misalnya IB, rekayasa pakan, dll
12
BAB III
BAB III
TATA CARA PENETAPAN
TATA CARA PENETAPAN
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 11
15
F. Penilaian dan Penetapan Wilayah Sumber Bibit
1. Hasil verifikasi lapangan dinilai lebih lanjut oleh Tim Penilai dengan
dihadiri 50% jumlah tim ditambah satu, untuk merekomendasikan
wilayah yang diusulkan layak atau tidak untuk ditetapkan sebagai
wilayah sumber bibit dengan berita acara hasil penilaian yang
ditandatangani oleh Tim Penilai.
2. Apabila dari hasil rekomendasi yang dihasilkan tidak layak, maka
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
memberitahukan secara tertulis kepada gubernur atau bupati dengan
melampirkan seluruh hasil penilaian dan saran.
3. Apabila rekomendasi yang dihasilkan layak, maka Direktur Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan mengusulkan kepada Menteri
untuk ditetapkan sebagai wilayah sumber bibit dengan Keputusan
Menteri;
12
16
BAB IV
PENGELOLAAN WILAYAH SUMBER BIBIT
Wilayah sumber bibit yang telah ditetapkan oleh Menteri Pertanian, perlu
dikelola secara baik untuk mencapai sasaran yang diharapkan yakni
tersedianya bibit ternak secara berkelanjutan.
Program pemuliaan ternak dalam satu rumpun/galur ternak, harus
didukung oleh :
1. Partisipasi aktif masyarakat dan pelaku usaha;
1 2 3
Kelompok Pembibit
Tim Pembina
Wilayah sumber bibit yang telah ditetapkan, perlu dikelola dengan baik
sesuai dengan perencanaan kegiatan sebagai berikut:
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 13
17
A. Persiapan
1. Perencanaan operasional
Perencanaan operasional pengelolaan wilayah sumber bibit
dituangkan dalam rencana aksi yang menjelaskan urutan kegiatan,
waktu pelaksanaan dan rincian anggaran untuk setiap kegiatan.
2. Sosialisasi
a. Sosialisasi penetapan wilayah sumber bibit kepada masyarakat
secara berjenjang dari tingkat kecamatan sampai desa/kelurahan
tentang maksud, tujuan, dan manfaat penetapan wilayah sumber
bibit, agar mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat
setempat sesuai harapan pemerintah;
b. Sosialisasi program pemuliaan dilakukan di kelompok-kelompok
peternak sesuai rencana aksi. Dalam sosialisasi tersebut perlu
disepakati hasil yang akan dicapai dengan indikator yang jelas,
sehingga berdampak dalam peningkatan kesejahteraan
masyarakat, khususnya kelompok peternak.
B. Pelaksanaan
1. Pembentukan gabungan kelompok pembibit
Prasyarat penting untuk keberhasilan program pemuliaan di wilayah
sumber bibit adalah pengorganisasian peternak dalam satu
manajemen. Program pemuliaan harus diorientasikan untuk tujuan
bisnis yang harus menguntungkan. Oleh karena itu, program
pemuliaan dirancang sedemikian rupa agar menghasilkan
produtivitas tinggi dengan input seefisien mungkin.
Jumlah minimum ternak betina produktif yang diorganisir dalam
satu manajemen adalah 1.000 satuan ternak (ST) dengan 1 ST setara
satu ekor sapi betina produktif. Agar mencapai jumlah tersebut,
kelompok peternak yang sudah ada digabung menjadi satu gabungan
kelompok peternak. Jika masih kurang, beberapa gabungan
kelompok peternak digabung lagi menjadi Gabungan Usaha
Pembibitan Ternak (Gapokbit).
Organisasi ini harus mampu melakukan usaha pembibitan ternak
secara profesional dengan mempertimbangkan aspek teknis maupun
non-teknis. Informasi lebih detail mengenai pembinaan kelembagaan
pembibitan ternak mengacu pada Pedoman kelembagaan usaha
pembibitan ternak.
14
18
2. Penerapan program pemuliaan
Penerapan program pemuliaan sesuai rumpun/galur ternak
merupakan bagian utama dari pengelolaan wilayah sumber bibit.
Oleh karena itu diperlukan langkah operasional penerapan program
pemuliaan yang meliputi:
a) Identifikasi ternak
Identifikasi ternak merupakan langkah awal dan sangat
menentukan dalam program pembibitan. Tanpa identifikasi yang
jelas dan tahan lama, atau bahkan tidak ada identifikasi,
kemungkinan kesalahan pemilihan (seleksi) ternak akan sangat
besar.
Pemberian identitas ternak dilakukan dengan memberikan angka
atau kombinasi angka dan huruf dalam bentuk tatto di telinga
atau bagian permukaan tubuh lainnya sesuai jenis ternak atau
dengan menuliskan pada sepotong bahan dan dikalungkan.
Pilihan bentuk identifikasi dapat dikompromikan di dalam
Gapokbit. Perlu diingat pemberian identitas ini harus tahan lama
dan dapat bertahan seumur hidup ternak. Perlu diberikan
pemahaman kepada peternak bahwa identifikasi ini sangat
berguna apabila ternak yang bersangkutan termasuk dalam
kualifikasi bibit, dapat diberikan surat keterangan layak bibit,
atau apabila dalam proses pembibitan memenuhi standar sistem
manajemen mutu yang dipersyaratkan, dapat diberikan Sertifikat
Bibit oleh lembaga sertifikasi produk benih dan bibit ternak. Oleh
karena itu aspek identifikasi ini merupakan salah satu aspek
penting untuk program pemuliaan. Untuk jumlah digit yang
digunakan dalam identifikasi ini dapat disesuaikan dengan
kemungkinan jumlah ternak yang ada.
Jumlah digit angka untuk identifikasi dapat berjumlah 4 (empat)
atau 5 (lima) digit, tergantung kemungkinan jumlah ternak yang
dilahirkan per tahun per wilayah sumber bibit. Apabila jumlah
kelahiran ternak dalam satu tahun diperkirakan kurang dari
1.000 (seribu) ekor, maka dapat digunakan 4 (empat) digit, sedang
apabila jumlah kelahiran >1000 (lebih dari seribu) ekor,
digunakan 5 (lima) digit.
Dua digit pertama menunjukkan tahun lahir ternak yang
bersangkutan
Digit ke tiga sampai ke empat atau ke lima menunjukkan urutan
lahir pada tahun berjalan.
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 15
19
Sebagai contoh ternak dengan nomor 05017 menunjukkan bahwa
ternak yang bersangkutan adalah yang ke 17 (tujuh belas) lahir
pada tahun 2005.
b) Pencatatan
Pada usaha pembibitan, salah satu alat untuk memilih (seleksi)
ternak yang mempunyai prestasi produktivitas dibanding ternak
lainnya adalah dengan melihat catatan performa individu tersebut
menurut umur, jenis kelamin, silsilah, dan catatan kesehatan
ternak. Pencatatan atau disebut juga rekording juga merupakan
syarat penting dalam program pembibitan. Tanpa pencatatan
yang baik, program pembibitan tidak akan tercapai.
Nampaknya pencatatan ini relatif mudah, namun kenyataan
lapang menunjukkan bahwa pencatatan prestasi ternak ini
merupakan faktor kritis keberhasilan program pembibitan.
Diperlukan penyuluhan dan pemberdayaan kelompok
peternak/kelompok pembibit secara kontinyu untuk mengisi
kartu rekording secara benar dan kontinu. Agar pencatatan dapat
terlaksana dengan baik, diperlukan bimbingan teknis. Lampiran
9-15 adalah contoh kartu rekording menurut jenis ternak.
c) Pengukuran dan penimbangan
seleksi ternak tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya karakter
produksi dan/reproduksi yang di ukur atau ditimbang menurut
umur atau status fisiologisnya. Yang pertama dilakukan
menentukan karakter yang digunakan sebagai parameter seleksi.
berikutnya, merangking ukuran tertinggi sampai terendah dalam
populasi tertentu. Ukuran atau bobot suatu karakter yang
dijadikan patokan seleksi paling tidak sesuai dengan patokan
Standar Nasional Indonesia (SNI) menurut rumpun ternak atau
kalau belum ada SNI nya adalah berdasarkan Persyaratan Teknis
Minimal (PTM). Para pemulia dapat mengembangkan menentukan
faktor tambahan untuk menambahkan faktor-faktor karakter
ekonomi yang dijadikan standar bibit.
Pada aspek pengukuran dan penimbangan juga memerlukan
pelatihan atau bimbingan teknis cara, waktu, dan umur menurut
status fisiologis untuk melaksanakan pengukuran dan
penimbangan ternak. Sebagai contoh menimbang bobot badan
ternak, akan berbeda pada waktu (jam) sebelum makan dan
sesudah makan. Demikian juga mengukur panjang badan dengan
arah yang berbeda.
16
20
d) Seleksi
d) Seleksi
Istilah seleksi dalam pemuliaan ternak menunjukkan keputusan
Istilah seleksioleh
yang diambil dalam pemuliaan
pemulia ternak
pada tiap menunjukkan
generasi keputusan
untuk menentukan
yang diambil oleh pemulia pada tiap generasi untuk
ternak mana yang akan dipilih sebagai tetua pada generasi menentukan
ternak mana
berikutnya danyang
manaakan dipilih
yang akan sebagai tetua pada generasi
disisihkan.
berikutnya dan mana yang akan disisihkan.
Tujuan dari program seleksi harus disesuaikan dengan tujuan
Tujuan
produksi,dari program
misalnya seleksiperforma
tingkat harus disesuaikan dengan
dari sifat-sifat ternaktujuan
yang
produksi,
akan dikembangkan. Untuk pelaksanaan seleksi, ternak
misalnya tingkat performa dari sifat-sifat yang
diperlukan
akan dikembangkan. Untuk pelaksanaan seleksi, diperlukan
identifikasi dan pencatatan setiap individu dari seluruh kelompok
identifikasi
ternak. dan pencatatan setiap individu dari seluruh kelompok
ternak.
Dalam suatu populasi rumpun ternak, seleksi (pemilihan) ternak
Dalam
terhadapsuatu
suatupopulasi rumpun ternak,
sifat (produksi seleksi (pemilihan)
dan reproduksi), tergantungternak
kita
terhadap suatu sifat (produksi dan reproduksi), tergantung
memilih “berapa persen terbaik” dari suatu populasi. Oleh karena kita
memilih “berapa persen terbaik” dari suatu populasi.
pejantan dapat mengawini banyak betina dewasa, kita dapat Oleh karena
pejantan dapat terbaik.
memilih 5-10% mengawini banyak
Sedang padabetina
betina dewasa, kita dapat
dewasa dapat lebih
memilih
longgar (sampai 50% terbaik dari populasi). Peternak lebih
5-10% terbaik. Sedang pada betina dewasa dapat yang
longgar
memiliki (sampai 50% terbaik
ternak terpilih menjadi darikelompok
populasi).pembibit.
PeternakSecara
yang
memiliki ternak terpilih menjadi kelompok pembibit.
skematis pemilihan ternak bibit dapat diterangkan sebagai Secara
skematis
berikut : pemilihan ternak bibit dapat diterangkan sebagai
berikut :
j >30-50% (C)
ju >30-50% (C)
u
m >10-30% (B)
m
l >10-30% (B)
la
10% (A)
a
h 10% (A)
h
X1
X1
produksi
produksi
Gambar 3. Skematis pemilihan pejantan dan induk untuk program
Gambar 3. Skematisdari
perbibitan pemilihan pejantan rumpun
suatu populasi dan induk untuk
ternak di program
suatu kawasan.
perbibitan dari suatu populasi rumpun ternak di suatu kawasan.
Pada proses seleksi suatu sifat yang dipilih dari suatu populasi
Pada proses seleksi
rumpun/galur suatu sifat
ternak yang dipilih
diwilayah sumberdari suatu
bibit, populasi
dapat
rumpun/galur ternak diwilayah
dikelompokkan menjadi tiga kelas yakni: sumber bibit, dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelas yakni:
kelas A (10% ranking tertinggi);
kelas A (10% ranking tertinggi);
kelas B (>10-30% ranking tertinggi); dan
kelas B (>10-30% ranking tertinggi); dan
kelas C (>30-50% ranking tertinggi).
kelas C (>30-50% ranking tertinggi).
Ternak diberi tanda (marking) sesuai kelas tersebut. Ternak di
Ternak
bawah diberi tanda
rata-rata (marking)
tidak diberi sesuai
tanda. kelas tersebut.
Seleksi Ternak di
dapat dilakukan
bawah rata-rata tidak diberi tanda. Seleksi dapat dilakukan
menurut status fisiologisnya dan jenis kelamin (dewasa, muda,
menurut status fisiologisnya dan jenis kelamin (dewasa, muda,
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 17
21
21
dan anak). Tahap berikutnya adalah melakukan program
perkawinan yang terarah. Ternak kelas A dipertahankan selama
mungkin dan kalau perlu dikembangkan sifat fanatisme hasil
kerja yang dilaksanakan kelompok. Pada program pemuliaan
diperlukan pencatatan prestasi biologis ternak dan silsilahnya
serta alat ukur dan/atau timbangan.
Agar program pembibitan dapat berjalan sesuai dengan yang
direncanakan, Tim Pembina agar menyusun program detil per
tahun dengan target-target yang diharapkan. Apabila belum
sesuai target perlu dilakukan evaluasi untuk mendapatkan solusi
dan cara memecahkan masalah yang timbul. Evaluasi dimulai
dari aspek input
sampai output. Perlu juga diingat bahwa program pembibitan ini
tergantung juga pada dukungan kelembagaan (sosial dan
ekonomi) dan kebijakan.
3. Penguatan Infrastruktur Pembibitan Ternak
a) Penguatan puskeswan (SDM, sarana dan prasarana)
Wilayah yang telah ditetapkan sebagai wilayah sumber bibit,
kondisi lingkungan, ternak, dan peternaknya harus lebih bersih
dan lebih sehat daripada kondisi wilayah lainnya yang bukan
wilayah sumber bibit. Selain itu, tingkat perkembang-biakan
ternak juga harus lebih tinggi karena keberhasilan program
pemuliaan sangat tergantung pada banyaknya jumlah ternak
(khususnya betina produktif) dalam wilayah tersebut. Untuk itu,
peran puskeswan dalam membuat tercapainya kondisi seperti itu
dapat dioptimalkan diantaranya melalui (a) melakukan vaksinasi
secara massal dan terjadwal, (b) melakukan pengobatan terhadap
ternak yang sakit secara cepat dan tepat, (c) pengambilan sampel
secara rutin untuk dilakukan pengujian dan pemeriksaan
anatomi dan patologi alat reproduksi dan kebuntingan pada
ternak, membantu dinas menerapkan biosecurity di wilayah
sumber bibit ternak.
Jika jumlah ternak dalam wilayah sumber bibit berkembang,
pusat unit layanan IB perlu dibangun di wilayah tersebut untuk
melayani kegiatan IB sehingga kinerja IB dapat dimaksimalkan.
Peralatan kesehatan hewan juga disediakan dengun jumlah dan
kualitas memadai. Tenaga paramedis perlu disiapkan juga untuk
membantu kewengan tenaga medis dalam menjamin kesehatan
hewan dan lingkungannya dari terjangkitnya penyakit.
Semua kegiatan pengendalian dan pencegahan penyakit di
wilayah sumber bibit yang telah ditetapkan harus mengacu pada
18
22
Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 64 tahun 2007
tentang Pedoman Pelayanan Pusat Kesehatan Hewan
(Puskeswan). Dalam hal ini, puskeswan merupakan unit kerja
yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada
Kepala Dinas Kabupaten/Kota, dan dipimpin oleh seorang Dokter
Hewan.
b) Optimalisasi ketersediaan sumber pakan dan lahan
Di dalam wilayah sumber bibit, sumber pakan potensial harus
diidentifikasi dan lahan marginal harus dioptimalkan
penggunaannya. Berbagai ragam pakan yang tersedia di wilayah
tersebut harus diketahui nama dan kandungan nutrisinya.
Limbah tanaman pangan atau tanaman perkebunan yang dapat
dimanfaatkan untuk sumber pakan ternak harus pula dihitung
potensinya. Ini penting dilakukan untuk mengetahui kapasitas
tampung wilayah tersebut terhadap ternak yang dikembang-
biakan. Upaya membangun unit pabrik pakan mini dapat
dipertimbangkan jika potensi sumber pakan nya cukup tinggi.
Beberapa kegiatan dalam rangka mengptimalkan ketersediaan
sumber pakan diantaranya meliputi (a) pengembangan sumber
bibit atau benih hijauan pakan ternak (HPT), (b) penyediaan dan
perbaikan padang penggembalaan, (c) pemanfaatan hasil samping
pertanian dan industri, serta (d) penerapan teknologi pakan yang
dapat menigkatkan kualitas pakan dari hasil samping
pertanian/industri.
Penerapan teknologi dimaksudkan untuk meningkatkan
ketersediaan pakan baik jumlah maupun kualitas dengan
pemanfaatan sumber daya lokal melalui kegiatan:
1) Identifikasi bahan pakan lokal
2) Pengembangan unit usaha bahan pakan (UBP)
3) Pengembangan integrasi ternak ruminansia
4) Pengembangan kawasan penggembalaan
5) Pengembangan HPT di lahan kehutanan
6) Pengembangan unit pengolahan pakan (UPP) ruminansia dan
unggas.
7) Penegembangan lumbung pakan (LP) ruminansia dan
unggas.
8) pengawasan mutu pakan.
9) penguatan laboratorium pengujian mutu pakan daerah.
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 19
23
C. Pembinaan
20
24
E. Indikator keberhasilan
Untuk mengetahui keberhasilan kegiatan pewilayahan sumber bibit,
ada 2 pendekatan yang digunakan sebagai basisnya, yaitu pendekatan
makro (wilayah administrasi sebagai wilayah sumber bibit) dan
pendekatan mikro (program pembibitan yang dilakukan oleh kelompok
peternak atau gabungan kelompok pembibit).
Untuk pendekatan makro, upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah
kabupaten yaitu mempertahankan wilayah tersebut dengan melakukan
surveilans secara berkelanjutan, mempertahankan rumpun yang telah
ditetapkan, dan mempertahankan kondisi wilayah sesuai dengan
kriteria wilayah sumber bibit. Sedangkan untuk pendekatan mikro,
kinerja reproduksi ternak betina dan produktivitas ternak harus dapat
dipantau perkembangannya dalam populasi yang ternaknya sudah
tercatat dengan baik.
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 21
25
BAB V
PENGORGANISASIAN
22
26
3. Mengidentifikasi permasalahan yang ada dan upaya pemecahannya.
4. Melaporkan perkembangan pelaksanaan pengelolaan wilayah sumber
bibit kepada Kapala Dinas Provinsi/Kabupaten/Kota dengan
tembusan ke Direktur Jenderal Peternakan Dan Kesehatan Hewan cq.
Direktorat Perbibitan Ternak.
C. Kelompok peternak
Tugas dan fungsi kelompok peternak:
1. Melaksanakan program pemuliaan sesuai proposal dan rencana
aksi.
2. Mengembangakan usaha pembibitan ternak.
3. Memberdayakan anggota kelompok.
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 23
27
BAB VI
BAB EVALUASI
PENGAWASAN, MONITORING VI DAN PELAPORAN
PENGAWASAN, MONITORING EVALUASI DAN PELAPORAN
A. Pengawasan
A. Pengawasan kegiatan pengelolaan wilayah sumber bibit dilakukan oleh
Pengawasan kegiatan
Direktur Jenderal pengelolaan
Peternakan wilayah
dan sumber
Kesehatan bibit dilakukan
Hewan, oleh
Kepala Dinas
Direktur Jenderal
Provinsi dan KepalaPeternakan dan Kesehatan
Dinas Kabupaten/Kota Hewan,
secara Kepala sesuai
terkoordinasi Dinas
Provinsi dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota secara terkoordinasi sesuai
kewenangannya.
kewenangannya.
Dalam rangka pengelolaan wilayah sumber bibit, beberapa tahapan
Dalam rangka
kritis yang perlupengelolaan
diperhatikan,wilayah
yaitu : sumber bibit, beberapa tahapan
kritis yang perlu diperhatikan, yaitu :
1. Sosialisasi kegiatan pengelolaan wilayah sumber bibit
1.
2. Sosialisasi
Pendataan kegiatan
ternak dipengelolaan wilayah
wilayah sumber sumber bibit
bibit;
2.
3. Pendataan ternak
Pendampingan di wilayah wilayah
pengelolaan sumber sumber
bibit; bibit antara lain:
3. Pendampingan
a. pengelolaanpengelolaan wilayah
ternak sesuai sumber bibit
program antara lain:
pemuliaan yang telah
a. pengelolaan
direncanakan.ternak sesuai program pemuliaan yang telah
b. direncanakan.
pengelolaan pakan.
b.
c. pengelolaan pakan.
kesehatan hewan.
c.
d. kesehatan
kelembagaanhewan.
peternak.
4. d. kelembagaan
Administrasi peternak.
penyelenggaraan kegiatan dan pemanfaatan dana.
4. Administrasi penyelenggaraan kegiatan dan pemanfaatan dana.
B. Monitoring dan Evaluasi
B. Monitoring dan Evaluasi
Kegiatan monitoring dan evaluasi dilakukan sedini mungkin untuk
mengetahui
Kegiatan berbagai dan
monitoring masalah yangdilakukan
evaluasi timbul dan tingkat
sedini keberhasilan
mungkin untuk
yang dicapaiberbagai
mengetahui serta pemecahan
masalah yang masalahnya.
timbul dan Untuk
tingkat itu, kegiatan
keberhasilan
monitoring
yang danserta
dicapai evaluasi dilakukanmasalahnya.
pemecahan secara berkala mulai
Untuk itu,dari Pusat,
kegiatan
Provinsi dandan
monitoring Kabupaten.
evaluasi dilakukan secara berkala mulai dari Pusat,
Provinsi dan Kabupaten.
Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/kota melakukan kegiatan pemantauan
dan evaluasi
Pusat, serta
Provinsi, dan membuat laporanmelakukan
Kabupaten/kota tertulis hasil pemantauan
kegiatan dan
pemantauan
evaluasi
dan yang meliputi
evaluasi :
serta membuat laporan tertulis hasil pemantauan dan
evaluasi
1. yang meliputi
Kesesuaian antara: kegiatan yang direncanakan dengan yang
1. Kesesuaian
dilaksanakan.antara kegiatan yang direncanakan dengan yang
dilaksanakan.
2. Perkembangan populasi ternak yang diunggulkan di wilayah sumber
2. Perkembangan
bibit. populasi ternak yang diunggulkan di wilayah sumber
3. bibit.
Produktivitas ternak.
3.
4. Produktivitas ternak.
Kinerja kelompok peternak.
4.
5. Kinerja kelompok peternak.
Perkembangan kondisi wilayah berdasarkan kriteria wilayah sumber
5. Perkembangan
bibit. kondisi wilayah berdasarkan kriteria wilayah sumber
bibit.
24
28
28
Hasil monitoring dan evaluasi diformulasikan menjadi laporan yang
memuat data dan informasi sebagai bahan kebijakan selanjutnya.
C. Pelaporan
Pelaporan diperlukan untuk mengetahui perkembangan pengelolaan
wilayah sumber bibit dengan tahapan sebagai berikut :
1. Tim Pendamping membuat laporan tertulis secara berkala paling
kurang 3 (tiga) bulan sekali kepada bupati/walikota atau gubernur
c.q. kepala dinas kabupaten/kota atau provinsi.
2. Kepala Dinas Kabupaten/Kota atau Provinsi merekapitulasi laporan
dari Tim Pendamping yang selanjutnya membuat laporan tertulis
secara berkala paling kurang 6 (enam) bulan sekali kepada Direktur
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Outline laporan seperti
format model 10
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 25
29
BAB VII
PENUTUP
26
30
Format 1.
SATUAN TERNAK (ST) / ANIMAL UNIT (AU)
Satuan Ternak (ST) atau Animal Unit (AU) merupakan satuan untuk ternak yang
didasarkan atas konsumsi pakan.
Setiap satu AU diasumsikan atas dasar konsumsi seekor sapi perah dewasa non
laktasi dengan berat 325 kg atau seekor kuda dewasa.
Tabel. Nilai konversi ST atau AU pada pelbagai jenis dan umur fisiologis
ternak.
Jenis Ternak ST atau AU 1 ST setara
per ekor dengan Jumlah
Ternak
Kuda 1.00 1
Sapi 1.00 1
Sapi Pejantan 1.00 1
Sapi muda, umur lebih 1 tahun 0.50 2
Pedet (anak sapi) 0.25 4
Anak kuda (colt) 0.50 2
Babi induk/pejantan 0.40 2,5
Babi seberat 90 kg 0.20 5
Domba Induk/pejantan 0.14 7
Anak domba (cempe) 0.07 14
Ayam (setiap 100 1.00 100
ekor) 1.00 200
Anak ayam (setiap 200
ekor)
Sumber: Ensminger, 1961.
Catatan:
2 ekor anak kuda = 2 X 0,50 ST = 1 ST
1 ekor sapi muda = 0,50 ST sehingga 1 ST sapi muda = 1 / 0,50 ekor
= 2
ekor sapi muda.
1 ST domba = 1 / 0,14 ekor
= 7,14 ekor atau (7 ekor ternak domba)
1 ST anak domba = 1 / 0,07 ekor
= 14,28 ekor atau (14 ekor ternak anak domba).
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa:
1 ST = 1 ekor sapi = 2 ekor babi = 7 ekor domba = 100 ekor ayam.
1 ST = 2 ekor sapi muda = 5 ekor babi muda = 14 ekor domba muda = 200 ekor
anak ayam
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 27
31
Format 2.
Gambar 1. Contoh Peta Biofisik
Peta biofisik dibuat untuk memudahkan pemahaman secara visual tata letak
berbagai sarana dan prasarana (jalan, saluran irigasi, sekolah) dan delineasi
hamparan lahan (daerah pemukiman, hamparan sawah, hamparan kebun,
hamparan perkebunan, hamparan kehutanan, dst yang terdapat pada suatu
wilayah). Peta biofisik yang dimaksudkan cukup sketsa.
KECAMATAN
SIRAMPOG
KABUPATEN
Pagergunung BANYUMAS
1554 m dpl
Tretepan
Lahan usahatani
1336 m dpl
Igirpandan
Kaliguwa
Taman
1492 m dpl
1538 m dpl
G. Cupu
1576 m dpl
Wilayah pemukiman
1622 m dpl
Igirkucing
N
G. Sembung
1642 m dpl
W E
28
32
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 29
33
Format 3.
Formulir Model 1
Yth.
Menteri Pertanian
c.q. Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Di
Jakarta
Dengan hormat,
Saya/kami yang bertanda tangan di bawah ini:
1. Nama : …………………………………………………………..
2. Alamat : …………………………………………………………..
3. Jabatan : …………………………………………………………..
Mengajukan permohonan penetapan wilayah sumber bibit ternak ..……… di Kecamatan ………..
Kabupaten ………, setelah mempertimbangkan hasil evaluasi diri terhadap potensi wilayah tersebut
berdasarkan kriteria pewilayahan sumber bibit (Peraturan Menteri Pertanian Nomor …………………).
Untuk kejelasan potensi wilayah disampaikan satu berkas hasil evaluasi. Selain itu kami lampirkan
pula data berikut:
1. Proposal wilayah sumber bibit.
2. Peta biofisik.
3. Dukungan asosiasi, kelompok peternak, perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan
peternakan.
4. ……………………………………………**)
5. …….…………………………………….. **)
Demikian disampaikan untuk penetapan lebih lanjut.
Atas perhatian Bapak, diucapkan terima kasih.
Nama dan tanda tangan pemohon
Meterai secukupnya.
(Nama lengkap)
Tembusan:
Gubernur yang bersangkutan.
Keterangan:
*) Coret yang tidak perlu
**) Tambahkan sesuai spesifikasi ternak.
30
34
Format 4.
Formulir Model 2
Yth.
Menteri Pertanian
c.q. Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Di
Jakarta
Dengan hormat,
Saya/kami yang bertanda tangan di bawah ini:
1. Nama : …………………………………………………………..
2. Alamat : …………………………………………………………..
3. Jabatan : …………………………………………………………..
Mengajukan permohonan penetapan wilayah sumber bibit ternak ..………... di Kabupaten ………
(sebutkan masing-masing kabupaten/kota yang akan ditetapkan), setelah mempertimbangkan hasil
evaluasi diri terhadap potensi wilayah tersebut berdasarkan kriteria pewilayahan sumber bibit
(Peraturan Menteri Pertanian Nomor …………………).
Untuk kejelasan potensi wilayah disampaikan satu berkas hasil evaluasi. Selain itu kami lampirkan
pula data berikut:
1. Proposal wilayah sumber bibit
2. Peta biofisik
3. Dukungan asosiasi, kelompok peternak, perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan
peternakan.
4. ……………………………………………**)
5. …….…………………………………….. **)
Demikian disampaikan untuk penetapan lebih lanjut.
Atas perhatian Bapak, diucapkan terima kasih.
Nama dan tanda tangan pemohon
Meterai secukupnya.
(Nama lengkap)
Tembusan:
Bupati/walikota yang bersangkutan.
Keterangan:
*) Coret yang tidak perlu
**) Tambahkan sesuai spesifikasi ternak.
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 31
35
Format 5.
SURVEILENS YANG DILAKUKAN PADA JENIS TERNAK
Persyaratan
Penyakit Hewan
yang telah Pejabat
No Hal Uraian dilakukan Bukti berwenang yang Keterangan
surveilans menandatangani
selama 5 tahun
terakhir
Unggas : Itik, ND, AI,
Ayam lokal, Pullorum,
puyuh, Burung Salmonella
kesayangan enteritidis,
Hog Colera,
Babi
PRRS
Anthraks,
Ruminansia Hasil
Brucellosis, IBR,
Besar (Sapi surveilans 5
BVD, Surra, ada
potong, sapi tahun
Calon Jembrana intepretasi
perah, dan terakhir yang
wilayah (khusus sapi hasil
1 kerbau) dilakukan Pemohon
sumber bali) surveilans
oleh
bibit Ruminansia Anthraks, dari
BBVet/BPPV
Kecil Brucellosis, BBVet/BPPV
di
(kambing, Penyakit
wilayahnya
domba, dan parasiter, surra
rusa) (khusus rusa)
Kuda Surra, Anthraks
Scabies,
Kelinci Coccidia
Anjing dan
kucing Rabies
32
36
Format 6.
SURAT KESANGGUPAN KELOMPOK DALAM WILAYAH
(..................................................)
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 33
37
Format 7.
Provinsi/ Kabupaten :
Rumpun Ternak :
........., .........................
Penilai,
(................................................)
34
38
Format 8.
KUESIONER PENETAPAN WILAYAH SUMBER BIBIT RUMINANSIA
Data Umum :
1. Lokasi penilaian :
2. Jumlah populasi Ruminansia Besar :
3. Luas wilayah penilaian :
4. Jumlah penduduk :
5. Jumlah petani/peternak :
Nilai
No Skoring Bobot 4 3 2 1
Tertimbang
1 2 3 4 5 6 7 8
1.1 Jenis 15
1.1.1 Dominasi jenis 15 0 > 80 % > 70 - 80 % > 60 - 70 % ≤ 60 %
1.2 Rumpun Ternak 30
1.2.1 Dominasi rumpun 6 0 > 80 % > 70 - 80 % > 60 - 70 % ≤ 60 %
1.2.2 Struktur populasi dalam rumpun 24 Jumlah betina Jumlah betina Jumlah betina Jumlah betina
dewasa > 42 % dewasa 37 - dewasa 32 - 37 dewasa < 32
dari jumlah 42 % dari % dari jumlah % dari jumlah
populasi jumlah populasi populasi
populasi
1.2.3.a Jantan produktif 2 0 < 10 % < 15 % < 20 % < 25 %
1.2.3.b Betina produktif 6 0 > 40 % > 35 % > 30 % > 25 %
1.2.3.c Jantan muda 4 0 < 20 % < 25 % < 30 % < 35 %
1.2.3.d Betina muda 5 0 > 20 % > 15 % > 10 % >5%
1.2.3.e Pedet Jantan 3 0 <5% <6% <7% <8%
1.2.3.f Pedet betina 4 0 >5% >4% >3% >2%
1.3 Agroklimat 20
1.3.1 Sumber pakan 6 0 HPT, hasil HPT, hasil hasil samping hasil samping
samping samping Tanaman Tanaman
Tanaman Tanaman pangan, pangan.
pangan, pangan, perkebunan,
perkebunan, perkebunan. hortikultura.
hortikultura.
1.3.2 Daya dukung pakan 4 0 Mandiri sebagian sebagian besar tergantung dari
kecil dari luar dari luar wilayah luar wilayah
1.3.3 Kesesuaian lahan 4 0 Sangat sesuai Sesuai Cukup sesuai Belum sesuai
1.3.4 Topografi 2 0 Datar Berbukit Pegunungan Rawa
1.3.5 Kapasitas tampung 4 0 Sangat tinggi Tinggi Cukup Kurang
1,4 Kepadatan Penduduk 10
1.4.1.a Rasio jumlah penduduk dan luas 10 0 Lihat statistik Lihat statistik Lihat statistik Lihat statistik
wilayah (Pulau jawa) jumlah orang jumlah orang jumlah orang jumlah orang
per km2 per km2 per km2 per km2
1.4.1.b Rasio jumlah penduduk dan luas 10 0 Lihat statistik Lihat statistik Lihat statistik Lihat statistik
wilayah (Luar pulau jawa) jumlah orang jumlah orang jumlah orang jumlah orang
per km2 per km2 per km2 per km2
1.5 Sosial Ekonomi 10
1.5.1 Rata-rata pengalaman beternak pada 5 0 > 10 tahun 8 – 10 tahun 6 – 8 tahun < 6 tahun
kelompok
1.5.2 Ketersediaan kelembagaan ekonomi 2 0 Sangat lengkap Lengkap Cukup Kurang
1.5.3 Status kelembagaan kelompok 3 0 Mandiri Madya Lanjut Pemula
1.6 Budaya 10
1.6.1 Tradisi masyarakat terhadap 4 0 Turun temurun Turun Peternakan Tidak ada
peternakan dan usaha temurun dan merupakan Hal usaha
pokok usaha baru peternakan
sampingan
1.6.2 Pola pemeliharaan 6 0 Intensif (100 % Semi intensif Semi Ekstensif (0 %
kandang) (75 % ekstensif (25 % kandang)
kandang) kandang)
Keterangan:
≥ 320 Layak
< 320 Perlu perbaikan
Penilai,
(.................................................................)
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 35
39
Lampiran 9.
Data Umum :
1. Lokasi penilaian :
2. Jumlah populasi unggas/babi * :
3. Luas wilayah penilaian :
4. Jumlah penduduk :
5. Jumlah petani/peternak :
Nilai
No Skoring Bobot 4 3 2 1
Tertimbang
1 2 3 4 5 6 7 8
1.1 Jenis 15
1.1.1 Dominasi jenis 15 0 > 80 % > 70 - 80 % > 60 - 70 % ≤ 60 %
1.2 Rumpun Ternak 30
1.2.1 Dominasi rumpun 6 0 > 80 % > 70 - 80 % > 60 - 70 % ≤ 60 %
1.2.2 Struktur populasi dalam rumpun 24 Jumlah betina Jumlah betina Jumlah betina Jumlah betina
dewasa > 42 % dewasa 37 - dewasa 32 - 37 dewasa < 32
dari jumlah 42 % dari % dari jumlah % dari jumlah
populasi jumlah populasi populasi
populasi
1.2.3.a Jantan produktif 2 0 < 10 % < 15 % < 20 % < 25 %
1.2.3.b Betina produktif 6 0 > 40 % > 35 % > 30 % > 25 %
1.2.3.c Jantan muda 4 0 < 20 % < 25 % < 30 % < 35 %
1.2.3.d Betina muda 5 0 > 20 % > 15 % > 10 % >5%
1.2.3.e DOC/DOD jantan 3 0 <5% <6% <7% <8%
1.2.3.f DOC/DOD betina 4 0 >5% >4% >3% >2%
1.3 Agroklimat 20
1.3.1 Sumber pakan 10 0 konsentrat, konsentrat, hasil samping Tidak ada hasil
hasil samping hasil samping Tanaman samping
Tanaman Tanaman pangan, tanaman
pangan, dan pangan. pangan
tanaman lainnya
1.3.2 Daya dukung pakan 10 0 Mandiri sebagian sebagian besar tergantung dari
kecil dari luar dari luar wilayah luar wilayah
Keterangan:
≥ 320 Layak
< 320 Perlu perbaikan
Penilai,
(.................................................................)
36 40
Lampiran 10.
OUTLINE LAPORAN
I. PENDAHULUAN
II. HASIL YANG DICAPAI
1. Sosialisasi kegiatan pengelolaan wilayah sumber bibit;
2. Pendataan ternak di wilayah sumber bibit;
3. Pendampingan pengelolaan wilayah sumber bibit antara lain:
a. pengelolaan ternak sesuai program pemuliaan yang telah direncanakan.
b. pengelolaan pakan.
c. kesehatan hewan.
d. kelembagaan peternak.
4. Administrasi penyelenggaraan kegiatan dan pemanfaatan dana.
III. PERMASALAHAN DAN TINDAK LANJUT
IV. PENUTUP
V. LAMPIRAN
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 37
41
Lampiran 11.
KARTU CATATAN SAPI POTONG INDUK
Nama Peternak :
Nama Kelompok : Foto sapi (sisi kiri)
Alamat : RT : RW :
Desa :
Kecamatan :
Kabupaten/Kota :
Provinsi :
Nomor ternak :
Foto sapi (sisi kanan)
Rumpun :
Tanggal lahir :
Nomor induk :
Rumpun induk :
Nomor bapak/straw :
Rumpun bapak :
Warna tubuh
:
dominan
Umur PB LD TP BB
Tanggal Keterangan*)
(bln) (cm) (cm) (cm) (kg)
Keterangan :
PB : panjang badan
LD : lingkar dada
TP : tinggi pundak
BB : bobot badan
*) : diisi apakah dalam status kering/bunting...bln/menyusui..bln
38
42
KARTU CATATAN SAPI POTONG INDUK
Kawin Anak
Tgl
Nomor
Tgl Kawin Bera- BL
Pejantan Rumpun Nomor JK
nak (kg)
/straw*)
Keterangan :
BL : bobot lahir
JK: jenis kelamin (J = jantan; b = betina)
*) : untuk kawin dengan IB adalah nomor/kode straw. Induk yg lebih dari 3 kali
kawin, perlu dicurigai adanya kemajiran, rendahnya kualitas semen, atau
prosedur IB yg tidak tepat.
Tanggal
Keterangan
Keterangan :
Diisi dengan kejadian seperti : penyakit (tanda-tanda sakit, pengobatan dengan apa,
dan hasil pengobatan); keguguran; dijual dan harga jual; mati; dipotong;
digaduhkan; kondisi pakan; lainnya
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 39
43
KARTU CATATAN SAPI POTONG ANAK – MUDA
40
44
KARTU CATATAN SAPI POTONG ANAK – MUDA
Tanggal Keterangan
Keterangan :
Diisi dengan kejadian seperti : penyakit (tanda-tanda sakit, pengobatan dengan apa,
dan hasil pengobatan); keguguran; dijual dan harga jual; mati; dipotong;
digaduhkan; kondisi pakan; lainnya
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 41
45
KARTU CATATAN SAPI POTONG PEJANTAN
Umur PB LD TP BB LS
tanggal
(bln) (cm) (cm) (cm) (kg) (cm)
Keterangan :
PB : panjang badan
LD : lingkar dada
TP : tinggi pundak
BB : bobot badan
LS : lingkar scrotum
42
46
KARTU CATATAN SAPI POTONG PEJANTAN
Tanggal Keterangan
Keterangan :
Diisi dengan kejadian seperti : penyakit (tanda-tanda sakit, pengobatan dengan apa,
dan hasil pengobatan); keguguran; dijual dan harga jual; mati; dipotong;
digaduhkan; kondisi pakan; lainnya
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 43
47
Lampiran 12.
KARTU CATATAN SAPI PERAH INDUK
Foto sapi (sisi kiri) Foto sapi (depan) Foto sapi (sisi kanan)
Nama Peternak :
Nama Kelompok :
Alamat : RT : RW :
Desa :
Kecamatan :
Kabupaten/Kota :
Provinsi :
Nomor ternak :
Rumpun :
Tanggal lahir :
Nomor induk :
Nomor bapak/straw :
Status reproduksi : kawin/belum kawin *)
*)
Bentuk ambing : simetris/tidak simetris/puting>4
Warna tubuh dominan : hitam-putih/merah-putih*)
Umur PB LD TP BB
tanggal Keterangan*)
(bln) (cm) (cm) (cm) (kg)
Keterangan :
PB : panjang badan; LD : lingkar dada; TP : tinggi pundak
BB : bobot badan; *) : diisi apakah dalam status kering/ bunting...bln/menyusui..bln
44
48
KARTU CATATAN SAPI PERAH INDUK
Kawin Anak
Nomor Tgl Bera-
Tgl Kawin BL
Pejantan Rumpun nak Nomor JK
(kg)
/straw*)
Keterangan :
BL : bobot lahir
JK: jenis kelamin (J = jantan; b = betina)
*) : untuk kawin dengan IB adalah nomor/kode straw. Induk yg lebih dari 3 kali
kawin, perlu dicurigai adanya kemajiran, rendahnya kualitas semen, atau
prosedur IB yg tidak tepat.
Tanggal Keterangan
Keterangan :
Diisi dengan kejadian seperti : penyakit (tanda-tanda sakit, pengobatan dengan
apa, dan hasil pengobatan); keguguran; dijual dan harga jual; mati; dipotong;
digaduhkan; kondisi pakan; lainnya
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 45
49
KARTU CATATAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH
Nama peternak :
Nomor ternak :
Laktasi ke :
46
50
KARTU CATATAN SAPI PERAH ANAK – MUDA
Foto sapi (sisi kiri) Foto sapi (depan) Foto sapi (sisi kanan)
Nama Peternak :
Nama Kelompok :
Alamat : RT : RW :
Desa :
Kecamatan :
Kabupaten/Kota :
Provinsi :
Nomor ternak :
Rumpun :
Tanggal lahir :
Nomor induk :
Nomor bapak/straw :
Warna tubuh dominan : hitam-putih/merah-putih*)
Umur PB LD TP BB LS
tanggal
(bln) (cm) (cm) (cm) (kg) (cm)
lahir
3
6
12
18
Keterangan :
PB : panjang badan; LD : lingkar dada; TP : tinggi pundak
BB : bobot badan; LS : lingkar scrotum, hanya untuk sapi jantan
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 47
51
KARTU CATATAN SAPI PERAH ANAK – MUDA
Tanggal Keterangan
Keterangan :
Diisi dengan kejadian seperti : penyakit (tanda-tanda sakit, pengobatan dengan apa,
dan hasil pengobatan); keguguran; dijual dan harga jual; mati; dipotong;
digaduhkan; kondisi pakan; lainnya
48
52
KARTU CATATAN SAPI PERAH PEJANTAN
Rumpun :
Tanggal lahir :
Nomor induk :
Rumpun induk :
Nomor :
bapak/straw
Rumpun bapak :
Warna tubuh
dominan :
Umur PB LD TP BB LS
tanggal
(bln) (cm) (cm) (cm) (kg) (cm)
Keterangan :
PB : panjang badan
LD : lingkar dada
TP : tinggi pundak
BB : bobot badan
LS : lingkar scrotum
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 49
53
KARTU CATATAN SAPI PERAH PEJANTAN
Tanggal Keterangan
Keterangan :
Diisi dengan kejadian seperti : penyakit (tanda-tanda sakit, pengobatan dengan apa,
dan hasil pengobatan); keguguran; dijual dan harga jual; mati; dipotong;
digaduhkan; kondisi pakan; lainnya
50
54
Lampiran 13.
KARTU CATATAN KERBAU INDUK
Umur PB LD TP BB
tanggal Keterangan*)
(bln) (cm) (cm) (cm) (kg)
Keterangan :
PB : panjang badan
LD : lingkar dada
TP : tinggi pundak
BB : bobot badan
*) : diisi apakah dalam status kering/bunting...bln/menyusui..bln
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 51
55
KARTU CATATAN KERBAU INDUK
Kawin Anak
Tgl Tgl Bera-
Nomor Pejantan BL
Kawin Rumpun nak Nomor JK
/straw*) (kg)
Keterangan :
BL : bobot lahir
JK: jenis kelamin (J = jantan; b = betina)
*) : untuk kawin dengan IB adalah nomor/kode straw. Induk yg lebih dari 3 kali
kawin, perlu dicurigai adanya kemajiran, rendahnya kualitas semen, atau
prosedur IB yg tidak tepat.
Tanggal Keterangan
Keterangan :
Diisi dengan kejadian seperti : penyakit (tanda-tanda sakit, pengobatan dengan
apa, dan hasil pengobatan); keguguran; dijual dan harga jual; mati; dipotong;
digaduhkan; kondisi pakan; lainnya
52
56
KARTU CATATAN KERBAU ANAK – MUDA
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 53
57
KARTU CATATAN KERBAU ANAK – MUDA
Tanggal Keterangan
Keterangan :
Diisi dengan kejadian seperti : penyakit (tanda-tanda sakit, pengobatan dengan
apa, dan hasil pengobatan); keguguran; dijual dan harga jual; mati; dipotong;
digaduhkan; kondisi pakan; lainnya
54
58
KARTU CATATAN KERBAU PEJANTAN
Nomor ternak :
Rumpun :
Tanggal lahir :
Nomor induk :
Rumpun induk :
Nomor :
bapak/straw
Rumpun bapak :
Warna tubuh
:
dominan
Umur PB LD TP BB LS
tanggal
(bln) (cm) (cm) (cm) (kg) (cm)
Keterangan :
PB : panjang badan
LD : lingkar dada
TP : tinggi pundak
BB : bobot badan
LS : lingkar scrotum
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 55
59
KARTU CATATAN KERBAU PEJANTAN
Tanggal Keterangan
Keterangan :
Diisi dengan kejadian seperti : penyakit (tanda-tanda sakit, pengobatan dengan apa,
dan hasil pengobatan); keguguran; dijual dan harga jual; mati; dipotong;
digaduhkan; kondisi pakan; lainnya
56
60
Lampiran 14.
KARTU CATATAN KAMBING/DOMBA*) INDUK
Nama Peternak :
Nama Kelompok : Foto k/d (sisi kiri)
Alamat : RT : RW :
Desa :
Kecamatan :
Kabupaten/Kota :
Provinsi :
Nomor ternak :
Rumpun : Foto k/d (sisi kanan)
Tanggal lahir :
Tipe lahir : 1/2/3/4/5**)
Nomor induk :
Rumpun induk :
Nomor bapak :
Rumpun bapak :
Warna tubuh
:
dominan
*)
pilih sesuai jenis ternak ; **) pilih sesuai tipe lahir
TK Pjt TB JL Nomor BL JK JS BS
(ek) Anak (kg) (j/b) (ek) (kg)
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 57
61
KARTU CATATAN KAMBING/DOMBA*) INDUK
Kawin Anak
Nomor Tgl Bera-
Tgl Kawin BL
Pejantan Rumpun nak Nomor JK
(kg)
/straw*)
Keterangan :
BL : bobot lahir
JK: jenis kelamin (J = jantan; b = betina)
*) : untuk kawin dengan IB adalah nomor/kode straw. Induk yg lebih dari 3 kali
kawin, perlu dicurigai adanya kemajiran, rendahnya kualitas semen, atau
prosedur IB yg tidak tepat.
Tanggal Keterangan
Keterangan :
Diisi dengan kejadian seperti : penyakit (tanda-tanda sakit, pengobatan dengan
apa, dan hasil pengobatan); keguguran; dijual dan harga jual; mati; dipotong;
digaduhkan; kondisi pakan; lainnya
58
62
KARTU CATATAN KAMBING/DOMBA*) ANAK–MUDA
Umur PB LD TP BB LS
tanggal
(bln) (cm) (cm) (cm) (kg) (cm)
lahir
3
6
12
18
Keterangan :
PB : panjang badan; LD : lingkar dada; TP : tinggi pundak
BB : bobot badan; LS : lingkar scrotum, hanya untuk k/d jantan
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 59
63
KARTU CATATAN KAMBING/DOMBA*) ANAK–MUDA
Tanggal Keterangan
Keterangan :
Diisi dengan kejadian seperti : penyakit (tanda-tanda sakit, pengobatan dengan
apa, dan hasil pengobatan); keguguran; dijual dan harga jual; mati; dipotong;
digaduhkan; kondisi pakan; lainnya
60
64
KARTU CATATAN KAMBING/DOMBA*) PEJANTAN
Umur PB LD TP BB LS
tanggal
(bln) (cm) (cm) (cm) (kg) (cm)
lahir
3
6
12
18
Keterangan :
PB : panjang badan; LD : lingkar dada; TP : tinggi pundak
BB : bobot badan; LS : lingkar scrotum
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 61
65
KARTU CATATAN KAMBING/DOMBA*) PEJANTAN
Tanggal Keterangan
Keterangan :
Diisi dengan kejadian seperti : penyakit (tanda-tanda sakit, pengobatan dengan apa,
dan hasil pengobatan); keguguran; dijual dan harga jual; mati; dipotong;
digaduhkan; kondisi pakan; lainnya
62
66
KARTU CATATAN KAMBING PERAH INDUK
Rumpun :
Tanggal lahir :
Tipe lahir : 1/2/3/4/5**)
Nomor induk :
Rumpun induk :
Nomor bapak :
Rumpun bapak :
Warna tubuh
:
dominan
*)
pilih sesuai jenis ternak ; **) pilih sesuai tipe lahir
JL Nomor BL JK JS BS
TK Pjt TB
(ek) Anak (kg) (j/b) (ek) (kg)
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 63
67
KARTU CATATAN KAMBING PERAH INDUK
Kawin Anak
Nomor Tgl Bera-
Tgl Kawin BL
Pejantan Rumpun nak Nomor JK
/straw*) (kg)
Keterangan :
BL : bobot lahir
JK: jenis kelamin (J = jantan; b = betina)
*) : untuk kawin dengan IB adalah nomor/kode straw. Induk yg lebih dari 3 kali
kawin, perlu dicurigai adanya kemajiran, rendahnya kualitas semen, atau
prosedur IB yg tidak tepat.
Tanggal Keterangan
Keterangan :
Diisi dengan kejadian seperti : penyakit (tanda-tanda sakit, pengobatan dengan
apa, dan hasil pengobatan); keguguran; dijual dan harga jual; mati; dipotong;
digaduhkan; kondisi pakan; lainnya
64
68
KARTU CATATAN PRODUKSI SUSU KAMBING PERAH
Nama peternak :
Nomor ternak :
Laktasi ke :
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 65
69
KARTU CATATAN KAMBING PERAH ANAK – MUDA
Umur PB LD TP BB LS
tanggal
(bln) (cm) (cm) (cm) (kg) (cm)
lahir
3
6
12
18
Keterangan :
PB : panjang badan; LD : lingkar dada; TP : tinggi pundak
BB : bobot badan; LS : lingkar scrotum, hanya untuk kambing jantan
66
70
KARTU CATATAN KAMBING PERAH ANAK – MUDA
Tanggal Keterangan
Keterangan :
Diisi dengan kejadian seperti : penyakit (tanda-tanda sakit, pengobatan dengan
apa, dan hasil pengobatan); keguguran; dijual dan harga jual; mati; dipotong;
digaduhkan; kondisi pakan; lainnya
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 67
71
KARTU CATATAN KAMBING PERAH PEJANTAN
Umur PB LD TP BB LS
tanggal
(bln) (cm) (cm) (cm) (kg) (cm)
lahir
3
6
12
18
Keterangan :
PB : panjang badan; LD : lingkar dada; TP : tinggi pundak
BB : bobot badan; LS : lingkar scrotum
68
72
KARTU CATATAN KAMBING PERAH PEJANTAN
Tanggal Keterangan
Keterangan :
Diisi dengan kejadian seperti : penyakit (tanda-tanda sakit, pengobatan dengan apa,
dan hasil pengobatan); keguguran; dijual dan harga jual; mati; dipotong;
digaduhkan; kondisi pakan; lainnya.
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 69
73
Lampiran 15.
KARTU CATATAN PRODUKSI AYAM
70
74
Lampiran 16.
KARTU CATATAN PRODUKSI ITIK
Bulan :
Ekor
Populasi Awal Perkembangan Populasi Akhir
No Uraian Muda
Betina Jantan Anak Anak Anak Jantan Betina
Jantan Betina
1 Induk -
2 DOD - -
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 71
75
Format 1.
SATUAN TERNAK (ST) / ANIMAL UNIT (AU)
Satuan Ternak (ST) atau Animal Unit (AU) merupakan satuan untuk ternak
yang didasarkan atas konsumsi pakan.
Setiap satu AU diasumsikan atas dasar konsumsi seekor sapi perah dewasa
non laktasi dengan berat 325 kg atau seekor kuda dewasa.
Tabel Nilai konversi ST atau AU pada pelbagai jenis dan umur
fisiologis ternak.
Jenis Ternak ST atau 1 ST setara
AU per dengan Jumlah
ekor Ternak
Kuda 1.00 1
Sapi 1.00 1
Sapi Pejantan 1.00 1
Sapi muda, umur lebih 1 0.50 2
tahun 0.25 4
Pedet (anak sapi) 0.50 2
Anak kuda (colt) 0.40 2,5
Babi induk/pejantan 0.20 5
Babi seberat 90 kg 0.14 7
Domba Induk/pejantan 0.07 14
Anak domba (cempe) 1.00 100
Ayam (setiap 100 ekor) 1.00 200
Anak ayam (setiap 200 ekor)
Sumber: Ensminger, 1961.
Catatan:
3 ekor anak kuda = 2 X 0,50 ST = 1 ST
2 ekor sapi muda = 0,50 ST sehingga 1 ST sapi muda = 1 / 0,50 ekor
= 2 ekor sapi muda.
1 ST domba = 1 / 0,14 ekor
= 7,14 ekor atau (7 ekor ternak domba)
1 ST anak domba = 1 / 0,07 ekor
= 14,28 ekor atau (14 ekor ternak anak domba).
72
76
Format. 2
KECAMATAN
SIRAMPOG
KABUPATEN
Pagergunung BANYUMAS
1554 m dpl
Tretepan
Lahan usahatani
1336 m dpl
Igirpandan
Kaliguwa
Taman
1492 m dpl
1538 m dpl
G. Cupu
1576 m dpl
Wilayah pemukiman
1622 m dpl
Igirkucing
N
G. Sembung
1642 m dpl
W E
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 73
77
Format 3.
74
78
Formulir Model 1
Nomor :
Lampiran :
Hal : Permohonan Penetapan Wilayah Sumber Bibit
Yth.
Menteri Pertanian
c.q. Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Di
Jakarta
Dengan hormat,
Saya/kami yang bertanda tangan di bawah ini:
4. Nama : …………………………………………………………..
5. Alamat : …………………………………………………………..
6. Jabatan : …………………………………………………………..
Mengajukan permohonan penetapan wilayah sumber bibit ternak ..……… di
Kecamatan ……….. Kabupaten ………, setelah mempertimbangkan hasil evaluasi
diri terhadap potensi wilayah tersebut berdasarkan kriteria pewilayahan sumber
bibit (Peraturan Menteri Pertanian Nomor …………………).
Untuk kejelasan potensi wilayah disampaikan satu berkas hasil evaluasi. Selain
itu kami lampirkan pula data berikut:
6. Proposal wilayah sumber bibit.
7. Peta biofisik.
8. Dukungan asosiasi, kelompok peternak, perguruan tinggi, lembaga penelitian
dan pengembangan peternakan.
9. ……………………………………………**)
10. …….…………………………………….. **)
Demikian disampaikan untuk penetapan lebih lanjut.
Atas perhatian Bapak, diucapkan terima kasih.
Nama dan tanda tangan pemohon
Meterai secukupnya.
(Nama lengkap)
Tembusan:
Gubernur yang bersangkutan.
Keterangan:
*) Coret yang tidak perlu
**) Tambahkan sesuai spesifikasi ternak.
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 75
Formulir Model 2
Nomor :
Lampiran :
Hal : Permohonan Penetapan Wilayah Sumber Bibit
Yth.
Menteri Pertanian
c.q. Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Di
Jakarta
Dengan hormat,
Saya/kami yang bertanda tangan di bawah ini:
1. Nama : …………………………………………………………..
2. Alamat : …………………………………………………………..
3. Jabatan : …………………………………………………………..
Meterai secukupnya.
(Nama lengkap)
Tembusan:
Bupati/walikota yang bersangkutan.
Keterangan:
*) Coret yang tidak perlu
**) Tambahkan sesuai spesifikasi ternak.
76
80
Lampiran 4
SURVEILENS YANG DILAKUKAN PADA JENIS TERNAK
Persyaratan
Penyakit
Hewan yang
telah Pejabat
No Hal Uraian dilakukan Bukti berwenang yang Keterangan
surveilans menandatangani
selama 5
tahun
terakhir
Unggas : Itik,
ND, AI,
Ayam lokal,
Pullorum,
puyuh,
Salmonella
Burung
enteritidis,
kesayangan
Hog Colera,
Babi
PRRS
Anthraks,
Ruminansia Brucellosis, Hasil
Besar (Sapi IBR, BVD, surveilans 5
potong, sapi Surra, tahun ada
Calon perah, dan Jembrana terakhir intepretasi
wilayah kerbau) (khusus sapi yang hasil
1 Pemohon
sumber bali) dilakukan surveilans
bibit oleh dari
Anthraks,
Ruminansia BBVet/BPPV BBVet/BPPV
Brucellosis,
Kecil di
Penyakit
(kambing, wilayahnya
parasiter,
domba, dan
surra (khusus
rusa)
rusa)
Surra,
Kuda
Anthraks
Scabies,
Kelinci Coccidia
Anjing dan
kucing Rabies
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 77
81
Lampiran 5
Nama : ........................................................................
Alamat : ........................................................................
....................,..................... 2013
(.................................................)
78
82
Lampiran 6
Provinsi/ Kabupaten :
Rumpun Ternak :
........., .........................
Penilai,
(................................................)
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 79
83
Lampiran 7
KUESIONER PENETAPAN WILAYAH SUMBER BIBIT RUMINANSIA
Data Umum :
1. Lokasi penilaian :
2. Jumlah populasi Ruminansia Besar :
3. Luas wilayah penilaian :
4. Jumlah penduduk :
5. Jumlah petani/peternak :
Nilai
No Skoring Bobot 4 3 2 1
Tertimbang
1 2 3 4 5 6 7 8
1.1 Jenis 15
1.1.1 Dominasi jenis 15 0 > 80 % > 70 - 80 % > 60 - 70 % ≤ 60 %
1.2 Rumpun Ternak 30
1.2.1 Dominasi rumpun 6 0 > 80 % > 70 - 80 % > 60 - 70 % ≤ 60 %
1.2.2 Struktur populasi dalam rumpun 24 Jumlah betina Jumlah betina Jumlah betina Jumlah betina
dewasa > 42 % dewasa 37 - dewasa 32 - 37 dewasa < 32
dari jumlah 42 % dari % dari jumlah % dari jumlah
populasi jumlah populasi populasi
populasi
1.2.3.a Jantan produktif 2 0 < 10 % < 15 % < 20 % < 25 %
1.2.3.b Betina produktif 6 0 > 40 % > 35 % > 30 % > 25 %
1.2.3.c Jantan muda 4 0 < 20 % < 25 % < 30 % < 35 %
1.2.3.d Betina muda 5 0 > 20 % > 15 % > 10 % >5%
1.2.3.e Pedet Jantan 3 0 <5% <6% <7% <8%
1.2.3.f Pedet betina 4 0 >5% >4% >3% >2%
1.3 Agroklimat 20
1.3.1 Sumber pakan 6 0 HPT, hasil HPT, hasil hasil samping hasil samping
samping samping Tanaman Tanaman
Tanaman Tanaman pangan, pangan.
pangan, pangan, perkebunan,
perkebunan, perkebunan. hortikultura.
hortikultura.
1.3.2 Daya dukung pakan 4 0 Mandiri sebagian sebagian besar tergantung dari
kecil dari luar dari luar wilayah luar wilayah
1.3.3 Kesesuaian lahan 4 0 Sangat sesuai Sesuai Cukup sesuai Belum sesuai
1.3.4 Topografi 2 0 Datar Berbukit Pegunungan Rawa
1.3.5 Kapasitas tampung 4 0 Sangat tinggi Tinggi Cukup Kurang
1,4 Kepadatan Penduduk 10
1.4.1.a Rasio jumlah penduduk dan luas 10 0 Lihat statistik Lihat statistik Lihat statistik Lihat statistik
wilayah (Pulau jawa) jumlah orang jumlah orang jumlah orang jumlah orang
per km2 per km2 per km2 per km2
1.4.1.b Rasio jumlah penduduk dan luas 10 0 Lihat statistik Lihat statistik Lihat statistik Lihat statistik
wilayah (Luar pulau jawa) jumlah orang jumlah orang jumlah orang jumlah orang
per km2 per km2 per km2 per km2
1.5 Sosial Ekonomi 10
1.5.1 Rata-rata pengalaman beternak pada 5 0 > 10 tahun 8 – 10 tahun 6 – 8 tahun < 6 tahun
kelompok
1.5.2 Ketersediaan kelembagaan ekonomi 2 0 Sangat lengkap Lengkap Cukup Kurang
1.5.3 Status kelembagaan kelompok 3 0 Mandiri Madya Lanjut Pemula
1.6 Budaya 10
1.6.1 Tradisi masyarakat terhadap 4 0 Turun temurun Turun Peternakan Tidak ada
peternakan dan usaha temurun dan merupakan Hal usaha
pokok usaha baru peternakan
sampingan
1.6.2 Pola pemeliharaan 6 0 Intensif (100 % Semi intensif Semi Ekstensif (0 %
kandang) (75 % ekstensif (25 % kandang)
kandang) kandang)
Keterangan:
≥ 320 Layak
< 320 Perlu perbaikan
Penilai,
(.................................................................)
80
84
Lampiran 8
KONSEP KUESIONER PEWILAYAHAN NON RUMINANSIA
Data Umum :
1. Lokasi penilaian :
2. Jumlah populasi unggas/babi * :
3. Luas wilayah penilaian :
4. Jumlah penduduk :
5. Jumlah petani/peternak :
Nilai
No Skoring Bobot 4 3 2 1
Tertimbang
1 2 3 4 5 6 7 8
1.1 Jenis 15
1.1.1 Dominasi jenis 15 0 > 80 % > 70 - 80 % > 60 - 70 % ≤ 60 %
1.2 Rumpun Ternak 30
1.2.1 Dominasi rumpun 6 0 > 80 % > 70 - 80 % > 60 - 70 % ≤ 60 %
1.2.2 Struktur populasi dalam rumpun 24 Jumlah betina Jumlah betina Jumlah betina Jumlah betina
dewasa > 42 % dewasa 37 - dewasa 32 - 37 dewasa < 32
dari jumlah 42 % dari % dari jumlah % dari jumlah
populasi jumlah populasi populasi
populasi
1.2.3.a Jantan produktif 2 0 < 10 % < 15 % < 20 % < 25 %
1.2.3.b Betina produktif 6 0 > 40 % > 35 % > 30 % > 25 %
1.2.3.c Jantan muda 4 0 < 20 % < 25 % < 30 % < 35 %
1.2.3.d Betina muda 5 0 > 20 % > 15 % > 10 % >5%
1.2.3.e DOC/DOD jantan 3 0 <5% <6% <7% <8%
1.2.3.f DOC/DOD betina 4 0 >5% >4% >3% >2%
1.3 Agroklimat 20
1.3.1 Sumber pakan 10 0 konsentrat, konsentrat, hasil samping Tidak ada hasil
hasil samping hasil samping Tanaman samping
Tanaman Tanaman pangan, tanaman
pangan, dan pangan. pangan
tanaman lainnya
1.3.2 Daya dukung pakan 10 0 Mandiri sebagian sebagian besar tergantung dari
kecil dari luar dari luar wilayah luar wilayah
Keterangan:
≥ 320 Layak
< 320 Perlu perbaikan
Penilai,
(.................................................................)
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 81
85
Lampiran 9
KARTU CATATAN SAPI POTONG INDUK
Umur PB LD TP BB
tanggal Keterangan*)
(bln) (cm) (cm) (cm) (kg)
Keterangan :
PB : panjang badan
LD : lingkar dada
TP : tinggi pundak
BB : bobot badan
*) : diisi apakah dalam status kering/bunting...bln/menyusui..bln
82
86
KARTU CATATAN SAPI POTONG INDUK
Kawin Anak
Tgl
Tgl Nomor
Bera- BL
Kawin Pejantan Rumpun Nomor JK
nak (kg)
/straw*)
Keterangan :
BL : bobot lahir
JK : jenis kelamin (J = jantan; b = betina)
*) : untuk kawin dengan IB adalah nomor/kode straw. Induk yg lebih dari
3 kali kawin, perlu dicurigai adanya kemajiran, rendahnya kualitas
semen, atau prosedur IB yg tidak tepat.
Tanggal
Keterangan
Keterangan :
Diisi dengan kejadian seperti : penyakit (tanda-tanda sakit, pengobatan
dengan apa, dan hasil pengobatan); keguguran; dijual dan harga jual; mati;
dipotong; digaduhkan; kondisi pakan; lainnya
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 83
87
KARTU CATATAN SAPI POTONG ANAK – MUDA
84
88
KARTU CATATAN SAPI POTONG ANAK – MUDA
Tanggal Keterangan
Keterangan :
Diisi dengan kejadian seperti : penyakit (tanda-tanda sakit, pengobatan
dengan apa, dan hasil pengobatan); keguguran; dijual dan harga jual; mati;
dipotong; digaduhkan; kondisi pakan; lainnya
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 85
89
KARTU CATATAN SAPI POTONG PEJANTAN
Umur PB LD TP BB LS
tanggal
(bln) (cm) (cm) (cm) (kg) (cm)
Keterangan :
PB : panjang badan
LD : lingkar dada
TP : tinggi pundak
BB : bobot badan
LS : lingkar scrotum
86
90
KARTU CATATAN SAPI POTONG PEJANTAN
Tanggal Keterangan
Keterangan :
Diisi dengan kejadian seperti : penyakit (tanda-tanda sakit, pengobatan
dengan apa, dan hasil pengobatan); keguguran; dijual dan harga jual; mati;
dipotong; digaduhkan; kondisi pakan; lainnya
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 87
91
Lampiran 10
Foto sapi (sisi kiri) Foto sapi (depan) Foto sapi (sisi kanan)
Nama Peternak :
Nama Kelompok :
Alamat : RT : RW :
Desa :
Kecamatan :
Kabupaten/Kota :
Provinsi :
Nomor ternak :
Rumpun :
Tanggal lahir :
Nomor induk :
Nomor bapak/straw :
Status reproduksi : kawin/belum kawin *)
Bentuk ambing : simetris/tidak simetris/puting>4 *)
Umur PB LD TP BB
tanggal Keterangan*)
(bln) (cm) (cm) (cm) (kg)
Keterangan :
PB : panjang badan; LD : lingkar dada; TP : tinggi pundak
BB : bobot badan; *) : diisi apakah dalam status kering/
bunting...bln/menyusui..bln
88
92
KARTU CATATAN SAPI PERAH INDUK
Kawin Anak
Tgl
Tgl Nomor
Bera- BL
Kawin Pejantan Rumpun Nomor JK
nak (kg)
/straw*)
Keterangan :
BL : bobot lahir
JK : jenis kelamin (J = jantan; b = betina)
*) : untuk kawin dengan IB adalah nomor/kode straw. Induk yg lebih dari
3 kali kawin, perlu dicurigai adanya kemajiran, rendahnya kualitas
semen, atau prosedur IB yg tidak tepat.
Tanggal Keterangan
Keterangan :
Diisi dengan kejadian seperti : penyakit (tanda-tanda sakit, pengobatan
dengan apa, dan hasil pengobatan); keguguran; dijual dan harga jual;
mati; dipotong; digaduhkan; kondisi pakan; lainnya
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 89
93
KARTU CATATAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH
Nama peternak :
Nomor ternak :
Laktasi ke :
90
94
KARTU CATATAN SAPI PERAH ANAK – MUDA
Foto sapi (sisi kiri) Foto sapi (depan) Foto sapi (sisi kanan)
Nama Peternak :
Nama Kelompok :
Alamat : RT : RW :
Desa :
Kecamatan :
Kabupaten/Kota :
Provinsi :
Nomor ternak :
Rumpun :
Tanggal lahir :
Nomor induk :
Nomor bapak/straw :
Warna tubuh dominan : hitam-putih/merah-putih*)
Umur PB LD TP BB LS
tanggal
(bln) (cm) (cm) (cm) (kg) (cm)
lahir
3
6
12
18
Keterangan :
PB : panjang badan; LD : lingkar dada; TP : tinggi pundak
BB : bobot badan; LS : lingkar scrotum, hanya untuk sapi jantan
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 91
95
KARTU CATATAN SAPI PERAH ANAK – MUDA
Tanggal Keterangan
Keterangan :
Diisi dengan kejadian seperti : penyakit (tanda-tanda sakit, pengobatan
dengan apa, dan hasil pengobatan); keguguran; dijual dan harga jual; mati;
dipotong; digaduhkan; kondisi pakan; lainnya
92
96
KARTU CATATAN SAPI PERAH PEJANTAN
Umur PB LD TP BB LS
tanggal
(bln) (cm) (cm) (cm) (kg) (cm)
Keterangan :
PB : panjang badan
LD : lingkar dada
TP : tinggi pundak
BB : bobot badan
LS : lingkar scrotum
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 93
97
KARTU CATATAN SAPI PERAH PEJANTAN
Tanggal Keterangan
Keterangan :
Diisi dengan kejadian seperti : penyakit (tanda-tanda sakit, pengobatan
dengan apa, dan hasil pengobatan); keguguran; dijual dan harga jual; mati;
dipotong; digaduhkan; kondisi pakan; lainnya
94
98
Lampiran 11
KARTU CATATAN KERBAU INDUK
Umur PB LD TP BB
tanggal Keterangan*)
(bln) (cm) (cm) (cm) (kg)
Keterangan :
PB : panjang badan
LD : lingkar dada
TP : tinggi pundak
BB : bobot badan
*) : diisi apakah dalam status kering/bunting...bln/menyusui..bln
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 95
99
KARTU CATATAN KERBAU INDUK
Kawin Anak
Tgl Tgl Bera-
Nomor Pejantan Rump Nom BL
Kawin nak JK
/straw*) un or (kg)
Keterangan :
BL : bobot lahir
JK : jenis kelamin (J = jantan; b = betina)
*) : untuk kawin dengan IB adalah nomor/kode straw. Induk yg lebih dari
3 kali kawin, perlu dicurigai adanya kemajiran, rendahnya kualitas
semen, atau prosedur IB yg tidak tepat.
Tanggal Keterangan
Keterangan :
Diisi dengan kejadian seperti : penyakit (tanda-tanda sakit, pengobatan
dengan apa, dan hasil pengobatan); keguguran; dijual dan harga jual;
mati; dipotong; digaduhkan; kondisi pakan; lainnya
96
100
KARTU CATATAN KERBAU ANAK – MUDA
Umur PB LD TP BB LS
tanggal
(bln) (cm) (cm) (cm) (kg) (cm)
lahir
3
6
12
18
Keterangan :
PB : panjang badan
LD : lingkar dada
TP : tinggi pundak
BB : bobot badan
LS : lingkar scrotum, hanya untuk kerbau jantan
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 97
101
KARTU CATATAN KERBAU ANAK – MUDA
Tanggal Keterangan
Keterangan :
Diisi dengan kejadian seperti : penyakit (tanda-tanda sakit, pengobatan
dengan apa, dan hasil pengobatan); keguguran; dijual dan harga jual;
mati; dipotong; digaduhkan; kondisi pakan; lainnya
98
102
KARTU CATATAN KERBAU PEJANTAN
Nama Kelompok :
Alamat : RT : RW :
Desa :
Kecamatan :
Kabupaten/Kota :
Provinsi : Foto sisi kanan
Nomor ternak :
Rumpun :
Tanggal lahir :
Nomor induk :
Rumpun induk :
Nomor :
bapak/straw
Rumpun bapak :
Warna tubuh
:
dominan
Umur PB LD TP BB LS
tanggal
(bln) (cm) (cm) (cm) (kg) (cm)
Keterangan :
PB : panjang badan
LD : lingkar dada
TP : tinggi pundak
BB : bobot badan
LS : lingkar scrotum
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 99
103
KARTU CATATAN KERBAU PEJANTAN
Tanggal Keterangan
Keterangan :
Diisi dengan kejadian seperti : penyakit (tanda-tanda sakit, pengobatan
dengan apa, dan hasil pengobatan); keguguran; dijual dan harga jual; mati;
dipotong; digaduhkan; kondisi pakan; lainnya
100
104
Lampiran 12
KARTU CATATAN KAMBING/DOMBA*) INDUK
TK Pjt TB JL Nomor BL JK JS BS
(ek) Anak (kg) (j/b) (ek) (kg)
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 101
105
KARTU CATATAN KAMBING/DOMBA*) INDUK
Kawin Anak
Tgl
Tgl Nomor
Bera- BL
Kawin Pejantan Rumpun Nomor JK
nak (kg)
/straw*)
Keterangan :
BL : bobot lahir
JK : jenis kelamin (J = jantan; b = betina)
*) : untuk kawin dengan IB adalah nomor/kode straw. Induk yg lebih dari
3 kali kawin, perlu dicurigai adanya kemajiran, rendahnya kualitas
semen, atau prosedur IB yg tidak tepat.
Tanggal Keterangan
Keterangan :
Diisi dengan kejadian seperti : penyakit (tanda-tanda sakit, pengobatan
dengan apa, dan hasil pengobatan); keguguran; dijual dan harga jual;
mati; dipotong; digaduhkan; kondisi pakan; lainnya
102
106
KARTU CATATAN KAMBING/DOMBA*) ANAK–MUDA
Umur PB LD TP BB LS
tanggal
(bln) (cm) (cm) (cm) (kg) (cm)
lahir
3
6
12
18
Keterangan :
PB : panjang badan; LD : lingkar dada; TP : tinggi pundak
BB : bobot badan; LS : lingkar scrotum, hanya untuk k/d jantan
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 103
107
KARTU CATATAN KAMBING/DOMBA*) ANAK–MUDA
Tanggal Keterangan
Keterangan :
Diisi dengan kejadian seperti : penyakit (tanda-tanda sakit, pengobatan
dengan apa, dan hasil pengobatan); keguguran; dijual dan harga jual;
mati; dipotong; digaduhkan; kondisi pakan; lainnya
104
108
KARTU CATATAN KAMBING/DOMBA*) PEJANTAN
Umur PB LD TP BB LS
tanggal
(bln) (cm) (cm) (cm) (kg) (cm)
lahir
3
6
12
18
Keterangan :
PB : panjang badan; LD : lingkar dada; TP : tinggi pundak
BB : bobot badan; LS : lingkar scrotum
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 105
109
KARTU CATATAN KAMBING/DOMBA*) PEJANTAN
Tanggal Keterangan
Keterangan :
Diisi dengan kejadian seperti : penyakit (tanda-tanda sakit, pengobatan
dengan apa, dan hasil pengobatan); keguguran; dijual dan harga jual; mati;
dipotong; digaduhkan; kondisi pakan; lainnya
106
110
Lampiran 13
KARTU CATATAN KAMBING PERAH INDUK
JL Nomor BL JK JS BS
TK Pjt TB
(ek) Anak (kg) (j/b) (ek) (kg)
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 107
111
KARTU CATATAN KAMBING PERAH INDUK
Kawin Anak
Tgl
Tgl Nomor Bera- BL
Kawin Pejantan Rumpun Nomor JK
nak (kg)
/straw*)
Keterangan :
BL : bobot lahir
JK : jenis kelamin (J = jantan; b = betina)
*) : untuk kawin dengan IB adalah nomor/kode straw. Induk yg lebih dari
3 kali kawin, perlu dicurigai adanya kemajiran, rendahnya kualitas
semen, atau prosedur IB yg tidak tepat.
Tanggal Keterangan
Keterangan :
Diisi dengan kejadian seperti : penyakit (tanda-tanda sakit, pengobatan
dengan apa, dan hasil pengobatan); keguguran; dijual dan harga jual;
mati; dipotong; digaduhkan; kondisi pakan; lainnya
108
112
KARTU CATATAN PRODUKSI SUSU KAMBING PERAH
Nama peternak :
Nomor ternak :
Laktasi ke :
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 109
113
KARTU CATATAN KAMBING PERAH ANAK – MUDA
Umur PB LD TP BB LS
tanggal
(bln) (cm) (cm) (cm) (kg) (cm)
lahir
3
6
12
18
Keterangan :
PB : panjang badan; LD : lingkar dada; TP : tinggi pundak
BB : bobot badan; LS : lingkar scrotum, hanya untuk kambing jantan
110
114
KARTU CATATAN KAMBING PERAH ANAK – MUDA
Tanggal Keterangan
Keterangan :
Diisi dengan kejadian seperti : penyakit (tanda-tanda sakit, pengobatan
dengan apa, dan hasil pengobatan); keguguran; dijual dan harga jual;
mati; dipotong; digaduhkan; kondisi pakan; lainnya
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 111
115
KARTU CATATAN KAMBING PERAH PEJANTAN
Umur PB LD TP BB LS
tanggal
(bln) (cm) (cm) (cm) (kg) (cm)
lahir
3
6
12
18
Keterangan :
PB : panjang badan; LD : lingkar dada; TP : tinggi pundak
BB : bobot badan; LS : lingkar scrotum
112
116
KARTU CATATAN KAMBING PERAH PEJANTAN
Tanggal Keterangan
Keterangan :
Diisi dengan kejadian seperti : penyakit (tanda-tanda sakit, pengobatan
dengan apa, dan hasil pengobatan); keguguran; dijual dan harga jual; mati;
dipotong; digaduhkan; kondisi pakan; lainnya.
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 113
117
Lampiran 14
KARTU CATATAN PRODUKSI AYAM
Ekor
Populasi Awal Perkembangan Populasi Akhir
Muda
No Janta Janta
Induk Anak Janta Betina Anak Betina
n n
n
Bulan :
Minggu :
114
118
Lampiran 15
Bulan :
Ekor
Populasi Awal Perkembangan Populasi Akhir
Uraia Muda
No Betin Janta Janta
n Anak Janta Betin Anak Anak Betina
a n n
n a
1 Induk -
2 DOD - -
Petunjuk Teknis tata cara Penetapan Dan Pengelolaan Wilayah Sumber Bibit 115
119
Lampiran 16
OUTLINE LAPORAN
VI. PENDAHULUAN
IX. PENUTUP
X. LAMPIRAN
116
120
Kanpus Kementerian Gd. C Lt. 8, Jl. RM Harsono No.3 Ragunan Pasar Minggu Jakarta Selatan 12550 Telp. +62.21.7815781 Fax. +62.21.7811385