Anda di halaman 1dari 14

Berita wafatnya Rasulullah Saw. tersebar.

Abu Bakar datang mengendarai yda dari


tempat tinggalnya di Sunha, la kembali ke rumahnya karena mengira Rasulullah Saw. telah
sembuh dari sakitnya. Setelah turun dari kuda, Abu Bakar langsung memasuki masjid, la
tidak berbicara kepada siapa pun hingga sampai ke kamar Aisyah. Jasad Rasulullah Saw.
yang terbungkus kain ia bawa ke bagian depan rumah. la buka wajahnya, lalu membungkuk
dan menciumnya. Abu Bakar menangis. la berkata, "Demi ayah dan ibuku, Allah tidak
memberikan padamu dua kematian. Kematian yang telah dituliskan untukmu telah engkau
alami."

Kemudian Abu Bakar ra. keluar. Sementara itu, Umar ra. berbicara di tengah- tengah
orang banyak bahwa Rasulullah Saw. belum meninggal, tetapi beliau kembali kepada
Tuhannya, sebagaimana kembalinya Musa bin Imran. Pun bahwa Rasulullah Saw. tidak akan
meninggal hingga Allah Swt. membinasakan orang- orang munafik. Maka, Abu Bakar datang
menemuinya dan berkata, "Tenang Umar, diamlah!" Namun, Umar terus berbicara. Bahkan,
ia mendatangi khalayak. Didatangi Umar, mereka malah mendatangi Abu Bakar. Abu Bakar
berkata, "Hai manusia, siapa di antara kalian yang menyembah Muhammad, kini Muhammad
telah meninggal. Dan, siapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah Swt. Maha hidup,
tidak akan mati. Allah Swt, berfirman, "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul,
sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika ia wafat atau dibunuh
kamu berbalik belakang (murtad)?" (QS Âli 'Imrân [3]: 144).

Orang-orang yang hadir saat itu seolah tidak tahu ayat ini turun hingga Abu Bakar
membacakannya. Mereka pun mendengarkan dan menyimaknya dengan baik dari Abu Bakar.
Tak seorang pun yang mendengar berita kematian Rasulullah Saw., kecuali ia membaca ayat
tersebut. Umar ra. berkata, "Demi Allah, ketika aku mendengar Abu Bakar membaca ayat
tersebut, kedua kakiku kaku hingga aku tersungkur ke tanah. Dan, aku pun benar-benar
menyadari bahwa Rasulullah Saw, telah tiada."

Para perawi dan ulama sepakat bahwa Rasulullah Saw. wafat di usia 63 tahun. 40
tahun beliau habiskan sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul, 13 tahun
beliau gunakan berdakwah di Mekah, dan 10 tahun beliau habiskan di Madinah
setelah hijrah. Rasulullah Saw. wafat pada awal tahun kesebelas Hijriah.

Al-Bukhari meriwayatkan dari Amr bin Al-Harts, "Rasulullah Saw. tidak


meninggalkan dinar, dirham, hamba sahaya laki-laki maupun perempuan, selain seekor himar
putih yang selalu ditungganginya, pedangnya, serta sebidang tanah yang telah disedekahkan
kepada para ibnu sabll (pengembara)."

Pelajaran dan Bahan Renungan:

Berbagai kejadian pada bagian akhir sejarah perjalanan Rasulullah Saw,


mengisyaratkan sebuah kenyataan besar dalam wujud ini. Sebuah kenyataan yang tidak dapat
dihindari oleh kesombongan, kekeraskepalaan, dan kepongahan. Yaitu, kenyataan yang
meliputi seluruh wujud bahwa semua memiliki batas akhir. Pun kenyataan yang
mengharuskan kehidupan manusia tunduk dan menghambakan diri hanya kepada Sang
Penguasa langit dan bumi. Sebuah kenyataan yang pasti menyeret, suka atau tidak suka, para
pembangkang maupun yang taat, pemimpin maupun rakyat jelata, rasul maupun nabi, hamba
yang selalu bertakarub kepada Allah Swt. dan orang-orang suci, yang kaya maupun yang
miskin, serta örang-orang yang mengaku dirinya berilmu dan kreatif.

Hakikat yang terus terdengar di setiap zaman dan tempat oleh setiap telinga yang
mendengar dan akal yang berpikir, bahwa tiada Tuhan yang pantas disembah selain Allah
semata, dan bahwa tiada kepatuhan terhadap suatu hukum kecuali kepada hukum Allah Swt.;
ketetapan-Nya tidak dapat ditolak, kekuasaan-Nya tidak terbatas, hukum-Nya tidak boleh
dikesampingkan, dan ajaran-ajaran-Nya tak dapat dikalahkan.

Adakah hakikat (kenyataan) lain yang memberi isyarat lebih jelas, urtanpa sedikit
kematian dan sakaratul maut, yang dengan keduanya Allah Swt. memaksa seluruh penduduk
dunia, sejak awal munculnya fajar hingga terbenamnya matahari? pun keraguan dan
kesulitan, selain daripada hakikat
Dunia ini telah dilewati orang-orang yang terpedaya kekuatan yang dimilikinya, ilmu
yang dipahiaminya, dan penemuan yang dihasilkannya. Akan tetapi, kenyataan besar ini
menjadikan mereka begitu lemah dan mengembalikan mereka kepada semangat ibadah,
menyadarkan mereka untuk tunduk kepada Pencipta langit dan bumi, Raja para penguasa.
Mereka datang kepada Allah Swt. sebagai hamba yang tunduk dan patuh.

Setiap jiwa pasti akan mati!

Sebuah kalimat yang mutlak, umum, dan komprehensif. Tidakada pengecualian atau
batasan apa pun, dan oleh siapa pun di dunia ini. Para cendekiawan, kaum modernis, dan
teknokrat, boleh saja mengumpulkan segala kekuatan dan kemampuan mereka. Silakan
kumpulkan parabola dan kendaraan terbaru mereka untuk melindungi diri dari kematian yang
memaksa dan menundukkan. Hadapilah tantangan Allah yang isatu ini: setiap jiwa pasti akan
mati. pada saat itu mereka boleh memproduksi rudal-rudal tinggi untuk melindungi diri
mereka beserta kepongahan, pembangkangan, penyimpangan, kesyirikan, dan kekafiran
mereka. Jika tidak, sebaiknya mereka meluangkan waktu untuk memikirkan kuburan, sebuah
tempat ilsu a mereka mampu melakukannya, di mana mereka akan ditempatkan dan ditimbun
tanah. Tak seorang pun dapat lari darinya.

Sungguh mudah bagi Allah untuk melindungi Rasulullah Saw. dari kematian dan rasa
sakit yang menyergapnya. Akan tetapi, Allah ingin ketetapan-Nya berlaku umum, betapa pun
dekatnya hamba itu kepada- Nya. Dengan begitu, manusia benar-benar meresapi makna dan
hakikat tauhid. Pun agar mereka memahami dengan baik bahwa setiap yang ada di langit dan
bumi pasti akan datang menghadap Allah Swt. Sehingga tak seorang pun berhak
menyombongkan diri dan merasa lebih tinggi dari lainnya. Sepeninggal Rasulullah Saw.,
patuh dengan hukumnya dan dridha dengan ketetapannya. Selain itu, agar tak seorang pun
lalai dari banyak mengingat mati beserta rasa sakit yang menyertainya, setelah kekasih Allah
pun menghadapinya.u
Inilah yang dijelaskan Allah Swt. dalam firman-Nya, "Sesungguhnya kamu akan mati
dan sesungguhnya mereka akan mati (pula)" (QS Az- zumar [39]: 30).

"Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu
(Muhammad), maka jika kamu mati, apakah mereka akan kekal? Tiap-tiap yang berjiwa akan
merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan
(yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan," (QS Al-Anbiya'
[21]:34-35).

Selain itu, pada bagian akhir sirah Rasulullah Saw. ini, kita diperlihatkan dua hakikat
di mana keduanya merupakan fondasi iman kepada Allah Swt., sekaligus fondasi hakikat
seluruh alam; yaitu hakikat menauhidkan Allah Swt. dan hakikat ubudiyah (penghambaan
diri kepada Allah Swt.) yang komprehensif, yang telah diciptakan dalam diri seluruh
manusia, tanpa ada perubahan pada hukum dan perintah Allah Swt.

Sekarang, mari kita kemukakan beberapa hikmah dan pelajaran dari pembahasan ini.

Pertama, Islam tidak membeda-bedakan umatnya, kecuali amal saleh.

Zaid bin Haritsah, ayahanda Usamah, dulunya seorang budak. Usamah, sebagaimana
kami jelaskan, ketika itu masih muda belia. Usianya sekitar 18 tahun atau 20 tahun. Kendati
masih kecil dan dulunya seorang budak, tidak menghalangi Rasulullah Saw. untuk
menjadikannya panglima bagi para sahabat.

Sekalipun pengangkatannya mendapat reaksi dan dari penentangan i orang-orang


munafik, syariat Islam tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang asing dan tidak pula
mengingkarinya. Islam tidak datang selain untuk menghancurkan batasan-batasan jahiliah,
yang telah membuat mereka berbeda tingkatan satu sama lain. Bisa jadi Rasulullah Saw.
menemukan dalam diri Usamah sesuatu yang istimewa sehingga menjadikannya lebih utama
dalam memimpin pasukan kaum muslimin
dalam peperangan ini. Dan, kaum muslimin tak punya pilihan selain mendengar dan taat,
sekalipun yang memimpin mereka adalah hamba sahaya dari bangsa Habasyah. Karena itu,
tugaspertama yang dilakukan Abu Bakar ra. setelah menjadi khalifah adalah melanjutkan
misi pasukan di bawah pimpinan Usamah. Beliau keluar menemui pasukan, lalu
mengantarkan mereka menuju medan perang dengan berjalan kaki, sedangkan Usamah
berkendara. Usamah berkata, "Wahai khalifah (penerus) Rasulullah, engkau yang naik
kendaraan atau aku yang turun." Abu Bakar berkata, "Demi Allah, kamu tidak boleh turun,
dan lan tidak akan naik kendaraan. Mengapa kedua kakiku tidak boleh berdebu di jalan
Allah?" Usamah kembali dari peperangan ini membawa kemenangan. Dan, dalam hal ini
kaum muslimin mendapatkan manfaat besar.

Kedua, keutamaan rukyah.

Rukyah berarti memohon perlindungan. Dalilnya, sebagaimana telah kami paparkan


sebelumnya, sebuah hadis yang diriwayatkan Al- Bukhari dan Muslim bahwa jika Rasulullah
Saw, merasa sakit, beliau membaca doa memohon perlindungan, lalu mengusap dirinya
dengan tangan.

Di suatu kesempatan, Rasulullah Saw. pernah merukyah sahabat dengan Al-Qur'an.


Dan, pada kesempatan lain, beliau merukyah dengan doa-doa dan zikir. Muslim
meriwayatkan dari Aisyah ra., "Apabila ada di antara kami yang mengeluh sakit, Rasulullah
Saw. mengusapnya dengan tangan kanannya sembari memohon, Hilangkanlah penyakitnya,
wahai Tuhan seluruh manusia. Sembuhkanlah, sesungguhnya Engkau Maha Penyembuh.
Tiada kesembuhan selain dari-Mu, kesembuhan yang tiada sakit setelahnya." Al-Bukhari dan
Muslim juga meriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa apabila Rasulullah Saw, mengeluh sakit,
beliau membaca al-mu'awwidzat (ayat-ayat permohonan perlindungan). Dan, ketika
penyakitnya semakin parah, akulah yang membacakan bacaan tersebut kepadanya, lalu
mengusap badannya dengan tangannya. Aku Derharap mendapatkan keberkahan darinya.
Dan, dalil yang paling jelas
tentang disyariatkannya rukyah ialah firman Allah Swt., "Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an
suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Dan AL-Qur'an itu
tidaklah menambah kepada orang-orang yang lalim selain kerugian," (QS Al-Isrá' [17]: 82).

Rukyah berbeda dengan doa. Rukyah dilakukan dengan berdoa, lalu ditambah usapan
tangan dan tiupan napas. Begitulah menurut pendapat yang paling sahih.

Imam Malik, Imam Al-Syafi'i, Ahmad, Ishaq dan Abu Tsaur berpendapat, boleh
mengambil upah dari jasa rukyah. Abu Hanifah memisahkan antara mengajarkan Al-Qur'an
dan rukyah. Beliau melarang mengambil upah dari mengajar Al-Qur'an dan membolehkannya
dari melakukan rukyah. 257 Dalilnya, hadis yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim
bahwa sejumlah sahabat Rasulullah Saw. sedang berada dalam perjalanan jauh. Melewati
salah satu perkampungan Arab, mereka memohon agar diterima sebagai tamu. Akan tetapi,
penduduk kampung itu tidak mau melakukannya. Penduduk kampung itu bertanya, "Apakah
di antara kalian terdapat orang yang bisa melakukan rukyah? Pemimpin kampung kami
sedang sakit akibat patukan atau ditimpa musibah." Salah seorang dari mereka menjawab,
"Ya." Sahabat itu mendatangi sang kepala kampung, lalu merukyah-nya dengan membacakan
surah al- Fatihah. Alhasil, si kepala kampung sembuh. Sahabat itu diberi sepotong daging
kambing. Namun, ia enggan menerimanya. Ia tanyakan hal itu terlebih dahulu kepada Nabi
saw. Sahabat itu mendatangi Rasulullah Saw. dan menceritakan kejadian tersebut kepadanya.
Ia berkata, "Wahai Rasulullah, demi Allah aku hanya merukyah-nya dengan Fâtihatul Kitab
(surah al-Fatihah)," Rasulullah Saw. tersenyum dan bersabda, "Tahukah engkau; apa itu
rukyah?" Beliau melanjutkan, "Ambillah upah dari mereka dan mohon berikan padaku bagian
dari kalian."

Al-Nawawi, Al-Hafizh Ibnu Hajar, dan selainnya menyebutkan bahwa ulama sepakat
tentang disyariatkannya rukyah jika memenuhi tiga syarat: rukyah dilakukan dengan
kalamullah (firman Allah Swt.);
atau dengan merapalkan asma" wa shifat (nama-nama dan sifat-sifat Allah Swt.), dengan
menggunakan bahasa arab atan dengan bahasa lainnya yang dipahami; dan berkeyakinan
bahwa bukan rukyah yang menyembuhkannya, melainkan Allah Swt.

Ketiga syarat tersebut didasarkan pada hadis-hadis sahih, seperti yang diriwayatkan
Muslim dari Auf bin Malik Al-Asyjai. Auf mengatakan, di masa jahiliah, dulu kami pernah
melakukan rukyah. Maka, kami menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah Saw.,"Wahai
Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang hal tersebut?" Beliau menjawab, Jelaskan padaku
cara kalian merukyah. Rukyah tidak mengapa dilakukan selama di dalamnya tidak terdapat
perbuatan syirik."

Sihir dan Rukyah

Rukyah terpenting yang pernah dilakukan Rasulullah Saw. pada dirinya adalah
dengan membaca al-mu'awwidzat guna melepaskan diri dari pengaruh sihir, di mana beliau
pernah disihir Labid ibn Al-Asham, sebagaimana terdapat dalam hadis yang diriwayatkan Al-
Syaikhan (Al- Bukhari dan Muslim).

Ulama juga menyebutkan, jumhur muslimin meyakini silhir itu ada. Dalilnya, hadis di
atas. Bahkan, keberadaannya disebutkan Allah dalam Al-Qur'an. Sihir itu termasuk sesuatu
yang dipelajari. Artinya, sesuatu tidak akan dipelajari, kecuali jika ia memiliki hakikat atau
wujud.

Tentang sihir, Allah Swt.berfirman, "Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat
itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan
istrinya," (QS Al-Baqarah [2]: 102). Perpisahan seorang suami dengan istrinya adalah sesuatu
yang nyata, sebagaimana kita maklumi bersama.

Terkadang ada sebagian orang yang mempermasalahkan hal ini, karena dua sebab:
Pertama, pendapat bahwa sihir itu benar-benar ada.

Sebagian orang menganggap hal tersebut bertentangan dengan ajaran tauhid, juga
bertentangan dengan keyakinan bahwa hanya Allah- lah yang memiliki pengaruh.

Kedua, keberatan jika dikatakan Rasulullah Saw.

pernah terkena sihir.

Menurut mereka, hal ini menurunkan martabat kenabian. Bahkan. bisa membuat
orang meragukan kenabian Rasulullah Saw.

Menjawab keraguan pertama: menganggap sihir sebagai sesuatu yang nyata bukan
berarti sihir itu memiliki pengaruh yang berdiri sendiri. Hal ini tidak berbeda ketika dikatakan
bahwa racun itu memiliki pengaruh pada objeknya. Demikian pula obat, ia memiliki
pengaruh pada yang meminumnya. Ungkapan ini sah-sah saja, asal tidak mengesampingkan
Allah Swt. sebagai pengaruh utama. Tentang sihir, Allah Swt. berfirman, "Dan mereka itu
(ahli sihir) tidak memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin
Allah," (QS Al Baqarah [02]: 102).

Melalui ayat ini, Allah Swt. menafikan bahwa sihir itu memiliki pengaruh yang
berdiri sendiri. Pada saat yang sama, Allah Swt. juga menetapkan bahwa sihir itu memiliki
pengaruh pada objeknya sesuai izin Allah Swt.

Adapun jawaban terhadap keraguan kedua: bahwa sihir yang telah menimpa
Rasulullah Saw. hanya memengaruhi jasad dan anggota badannya. Sebagaimana kita ketahui
bersama, tidak menimpa akal, hati, dan keyakinan beliau. Derita yang dialami beliau akibat
sihir tidak berbeda dengan derita akibat ditimpa penyakit tertentu. Dan, seperti yang kita
maklumi bersama, kemaksuman Rasulullah Saw. bukan berarti beliau bebas dari berbagai
macam penyakit dan faktor-faktor manusiawi lainnya.

Al-Qadhi Iyadh berkata, "Sebuah hadis menyatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
membayangkan melakukan sesuatu, tetapi wrall
sebenarnya tidak. Hal ini tidak mengindikasikan adanya kekurangan atau aib apa pun pada
diri Rasulullah dalam menyampaikan dakwah dan ajarannya. Sebab, ada dalil dan ijma'
ulama yang menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. terjaga dari perkara semacam itu (yakni
terjaga dari kesalahan dan kekurangan dalam menyampaikan syariat Allah Swt.). Hal ini
berlaku dalam perkara-perkara keduniawian, di mana Rasulullah Saw. tidak diutus dan
dimuliakan karena perkara keduniawian. Kendati demikian, sebagai manusia biasa,
Rasulullah Saw. tidak luput dari penyakit. Sehingga tidaklah berlebihan jika Rasulullah Saw.
"dipaksa" mengkhayalkan sesuatu, kemudian menyadari bahwa apa yang dikhayalkannya itu
benar-benar tidak ada.

Kukatakan, hal seperti itu jamak terjadi pada seseorang ketika sakit keras. Wajar jika
seseorang diliputi khayalan dan bayangan tak berwujud ketika suhu tubuhnya panas tinggi.
Ini alami menimpa setiap orang, tak terkecuali nabi dan rasul.

Berita yang beredar bahwa Rasulullah Saw, pernah disihir termasuk nerkara luar biasa
yang diberikan Allah Swt. hanya kepada belian. Alih-alih menjadi kekurangan beliau, justru
menjadi salah satu bukti baru akan kemuliaan dan penjagaan Allah Swt. terhadap Rasul-Nya
itu, Rasulullah Saw. terus berdoa ketika badannya didera rasa sakit hingga Allah Swt.
memperlihatkan kepada beliau tipu daya Labid ibn Al-A'sham secara sembunyi-sembunyi.
Labid pergi ke suatu tempat, lalu meletakkan beberapa helai rambut dan menyisirnya.
Namun, Rasulullah Saw. terhindarkan dari semua itu.

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa Rasulullah Saw. disihir
seorang laki-laki dari Bani Zuraiq bernama Labid ibn Al-A'sham. Akibatnya, Rasulullah
Saw. membayangkan dirinya melakukan sesuatu, padahal sebenarnya tidak. Pada suatu nari
atau suatu malam, ketika ada di sisiku, beliau terus berdoa dan berdoa. Kemudian beliau
bersabda, "Wahai Aisyah, tahukah engkau bahwa Allah Swt. telah menjawabkan pertanyaan
yang kuajukan? Aku
kedatangan dua orang laki-laki, salah seorang duduk di sisi kepalaku, dan lainnya duduk di
sisi kakiku. Salah seorang dari mereka berkata kepada temannya, Apa penyakit laki-laki itu?
Temannya menjawab, Dia disihir' la bertanya lagi, 'Siapa yang menyihirnya? Temannya
menjawab, 'Labid ibn Al-Asham.' Lelaki pertama bertanya lagi, Dengan apa?' Temannya
menjawab, 'Dengan sisir dan rerontokan rambut saat disisir, dan kulit mayang kurma jantan.
Lelaki pertama bertanya, 'Di mana?' la menjawab, 'Di Sumur Dzarwan." Lalu, Rasulullah
Saw. mendatangi sumur tersebut bersama beberapa orang sahabatnya. Setelah tiba di sumur
itu, Rasulullah Saw. bersabda, "Wahai Aisyah, airnya berwarna merah kecoklatan, bagaikan
air hasil perasan daun pacar, dan kepala mayang kurmanya bagaikan kepala setan." Aku
(Aisyah) berkata, "Mengapa engkau tidak meminta dikeluarkan saja?" Rasulullah Saw.
bersabda, "Allah telah menyembuhkanku. Aku benci menebarkan keburukan kepada orang
banyak." Maka, Rasulullah Saw. memerintahkan menutup sumur tersebut.

Seperti yang Anda lihat, hadis ini merupakan bukti pemuliaan dan penjagaan Allah
kepada Rasul-Nya. Penjagaan ini lebih tampak dibandingkan bukti gangguan yang telah
menimpa tubuhnya, atau hal lain yang terkait dengan kemanusiaannya.

Pertanyaan lain yang terkadang mengemuka adalah: bagaimana membedakan


mukjizat Ilahi dengan sihir dan indikatornya, jika benar sihir itu ada?

Jawabannya, mukjizat Rasulullah Saw. selalu disertai bukti-bukti kenabian. Adapun


sihir tidak demikian. Jadi, seorang tukang sihir tidak mungkin membuktikan dirinya sebagai
seorang nabi. Selain itu, kekuatan sihir sangat terbatas. Sekalipun sihir memilikihakikat,
seperti kami katakan, namun tidak dapat melewati batasan-batasan tertentu, dan tidak pula
mencapai bagian paling dalam serta mengubah hal-hal yang tampak padanya. Karena itu,
Allah Swt. mengungkapkan sihir para tukang sihir Firaun dengan menyatakan, ""Silakan
kamu sekalian melemparkan.' Maka, tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka,
terbyang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka," (QS Thả Hà
[20]: 66).

Allah Swt. menjelaskan bahwa apa yang dilihat Musa hanyalah bavangan belaka.
Artinya, tali-tali terscbut tidak pernah berubeh menjadi ular disebabkan sihir mereka. Sasaran
sihir mereka adalah mata orang orang yangmenyaksikannya. Mata merekalah yang disihir,
bukan tali atau tongkat. Inilah yang dijelaskan firman Allah Swt., "Mereka menyulap mata
orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar
(menakjubkan)," (OS AL-A'raf [7]: 116). Jika mengamati penjelasan kami, niscaya Anda
akan mengetahui bahwa pernyataan sihir itu ada tidaklah bertentangan dengan firman Allah
Swt., "Terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepul, lantaran sihir mereka," (QS
Thå Hà [20]: 66). Sebab, perubahan menjadi ular hanyalah bayangan belaka. Adapun
terpengaruhnya mata dengan bayangan tersebut, itulah hasil kerja sihir yang sekaligus
rmembuktikan keberadaannya. Hal ini juga menegaskan bahwa yang menjadi sasaran sihir
adalah tubuh, perasaan, atau anggota badan 1seseorang, sehingga sesuatu yang dilihat atau
diindra tampak bukan dalam wujud sebenarnya.

Ketiga, beberapa indikator keutamaan Abu Bakar ra.

Dalam kisah sakitnya Rasulullah Saw. telah disebutkan empat bukti keistimewaan
Abu Bakar di sisi beliau.

Pertama, ketika Rasulullah memulai ceramahnya dengan bersabda, "Seorang hamba


diberi pilihan oleh Allah Swt. antara memiliki kemewahan dunia atau memilih apa yang ada
di sisi-Nya, lalu hamba itu memilih apa yang ada di sisi Nya." Abu Bakar memahami
pernyataan Rasulullah Saw. tersebut, sehingga la pun menangis dan berteriak, "Kami siap
menebusmu, demi bapak dan ibu kami." Tak ada seorang pun yang memperhatikan ucapan
Rasulullah Saw. itu selain Abu Bakar ra. Dalam beberapa jalur hadis yang diriwayatkan dari
Abu Sa'id Al-Khudri bahwa ketika Abu Bakar menangis setelah mendengarkan pernyataan
Rasulullah Saw. itu, aku berkata dalam
diriku, "Apa yang membuat orang tua ini menangis ketika Rasulullah Saw. memberitahukan
kepada kami tentang hamba yang diberi pilihan, lalu menentukan pilihannya?" Abu Sa'id
melanjutkan, "Ternyata hamba dyang diberi pilihan itu adalah Rasulullah Saw., dan ternyata
Abu Bakar lebih memahami itu dibandingkan kami para sahabat."

Kedua, sabda Rasulullah Saw. yang berbunyi, "Sesungguhnya orang yang paling
dermawan dan paling bersahabat denganku adalah Abu Bakar." Pernyataan yang tulus dan
tidak ada padanannya selain untuk Abu Bakar ra.

Ketiga, sebuah hadis yang diriwayatkan Muslim dari Aisyah menyebutkan Rasulullah
Saw. bersabda, "Panggilkan untukku Abu Bakar, ayah, dan saudaramu, agar aku menuliskan
wasiat untuknya. Aku khawatir ada seseorang yang memiliki suatu cita-cita lalu berkata, Aku
lebih utama, sementara Allah dan Rasul-Nya tidak menginginkan selain Abu Bakar." Hadis
ini mengisyaratkan, tongkat kepemimpinan Rasulullah Saw. diberikan kepada Abu Bakar ra.
Dan, jika kebijakan ilahi menetapkan Rasulullah Saw. tidak boleh melakukan perjanjian
dengan sahabat-sahabatnya, dan tidak menuliskan sebuah pesan buat mereka, semua itu
bertujuan agar pergantian kepemimpinan dan khilafah yang diwarisi secara turun-temurun
oleh keluarga dekat tidak menjadi suatu sunah (aturan) yang harus diikuti sepeninggal beliau.
Karena, peralihan kepemimpinan seperti itu dapat menimbulkan kerusakan dalam
pengambilan keputusan, di mana syarat utama bagi seorang hakim (pemimpin) adalah
kesalehan, sebagaimana dipahami setiap orang.

Keempat, permintaan Rasulullah Saw. kepada Abu Bakar agar menggantikannya


memimpin shalat bersama umat Islam. Bisa Anda lihat ketegasan Rasulullah Saw. saat
menunjuk Abu Bakar melaksanakan tugas tersebut, termasuk tanggapan beliau terhadap
bantahan Aisyah ra. saat menolak keinginan beliau. Keistimewaan Abu Bakar tersebut itulah
yang mendorong kaum muslimin mau membaiat dan menyetujuinya sebagai khalifah
sepeninggal Rasulullah Saw. Namun, hal ini tidak mengurangi
keistimewaan dan keutamaan para sahabat dan khalifah lainnya, khususnya Ali bin Abu
Thalib ra. Karena, seperti yang Anda talu, pada Perang Khaibar Rasulullah Saw.bersabda,
"Aku akan memberikan panji tei besok, kepada seorang laki-laki yang dicintai Allah dan
Rasul-Nya" Sehingga pada malam itu umat Islam bertanya-tanya, siapakahgerangan ang akan
menerima panji-panji itu? Ternyata, pemilik panji tersebut adalah Ali bin Abi Thalib ra.

Masalah peralihan kepemimpinan selesai. Kaum muslimin berhasil mengambil


sebuah keputusan, yaitu pengangkatan khalifah sepeninggal Rasulullah Saw., tanpa
perpecahan dan pertentangan selama meiakukan mudzâkarah (saling mengingatkan satu sama
lain) dan mundgasyah (diskusi). Masing-masing Abu Bakar dan Ali ra. saling menghargai
dan saling mengutamakan satu samalain. Maka, tanpa diragukan lagi, sia-sia kita
memperdebatkan yang ini lebih mulia dari yang itu, atau sebaliknya, setelah peristiwa itu
berlalu 14 abad lamanya. Apalagi mereka sendiri baik-baik saja. Dan, mereka kembali
kepada Tuhan dengan satu hati, saling mencintai dan menopang satu sama lain.

Keempat, larangan menjadikan kuburan sebagai masjid.

Melihat shighat hadis, menunjukkan perbuatan seperti ini sangat dilarang dan
diharamkan. Ulama berkata, "Rasulullah Saw. melarang menjadikan kuburannya dan kuburan
lainnya sebagai tempat sujud. Sebab, khawatir beliau diagung-agungkan secara berlebihan
dan menimbulkan fitnah. Selain itu, perbuatan tersebut dapat mengantarkan pada kekufuran,
sebagaimana terjadi pada umat-umat terdahulu.

Larangan tersebut menandaskan tidak boleh mendirikan masjid di atas kuburan


sehingga area sekitarnya menjadi tempat shalat banyak orang. Atau, melakukan shalat di
kuburan dan menjadikannya tempat bersujud. Sebagian ulama menghukumi shalat di kuburan
itu haram. Sebagian yang lain menghukuminya makruh. Dan, tingkat kemakruhannya
semakin bertambah jika shalat dilakukan menghadap ke kuburan. Dalam arti kata, di antara
orang yang shalat dan kiblat terdapat kuburan. Kendati demikian, shalatnya tetap sah, karena
al-
hurmatu la tastalzimu al-buthlan (diharamkannya melakukan sesuatu tidak serta merta
membatalkan perbuatan itu). Maka, shalat seperti itu sama hukumnya dengan shalat di atas
tanah yang dirampas.

Imam Al-Nawawi berkata, "Ketika para sahabat dan tabiin memandang perlu
melakukan perluasan masjid seiring bertambahnya jumlah kaum muslimin, di mana perluasan
itu mencakup rumah-rumah ummahat al-mu'minin, termasuk rumah Aisyah ra. yang menjadi
tempat dikebumikannya Rasulullah Saw. dan kedua sahabatnya (Abu Bakar dan Umar),
mereka pun membangun tembok pemisah yang tinggi di sekelilingnya. Dengan begitu,
kuburan-kuburan itu tidak tampak di dalam masjid, sehingga orang awam tidak shalat dengan
menghadap kepadanya. Selain itu, mereka juga membangun dua dinding pemisah di bagian
utara kuburan, agar keduanya saling terhubungkan satu sama lain, sehingga tidak
memungkinkan bagi seseorang menghadap ke kuburan."

Kelima, perasaan Rasulullah Saw. saat menghadapi

sakaratul maut.

Kita dapat membayangkan perasaan, pikiran, dan keresahan Rasulullah Saw. pada
saat itu, sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya. Seperti yang kita lihat, ketika orang-
orang berbaris rapi untuk melaksanakan shalat subuh pada hari Senin, tiba-tiba beliau tampak
dari balik dinding kamar Aisyah ra. Orang-orang yang sedang dalam saf shalat
memandangnya. Rasulullah Saw. pun tersenyum. Abu Bakar bermaksud mundur dan
bergabung dengan saf di belakangnya. Saat itu, shalat mereka hampir saja dilanda fitnah
(membatalkan shalat karena terlalu gembira melihat Rasulullah Saw.). Akan tetapi, beliau
memberikan isyarat agar mereka melanjutkan shalat. Setelah itu, beliau memasuki kamar dan
menutup kembali kain jendela.

Saat itu, pikiran Rasulullah Saw. tertuju pada umatnya; apa yang akan terjadi pada
mereka sepeninggalnya. Anda pun dapat

Anda mungkin juga menyukai