Anda di halaman 1dari 56

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR KETURUNAN

DENGAN KEJADIAN KELAINAN REFRAKSI PADA


SISWA SMA

PROPOSAL SKRIPSI

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan


Mencapai Derajat Sarjana Kedokteran

ANTO TRIWIBOWO
030.12.028

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA, AGUSTUS 2015

i
Bidang Ilmu: Komunitas

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR KETURUNAN


DENGAN KEJADIAN KELAINAN REFRAKSI PADA
SMA

PROPOSAL SKRIPSI

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan


Mencapai Derajat Sarjana Kedokteran

ANTO TRIWIBOWO
030.12.028

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA, AGUSTUS 2015

i
PERSETUJUAN
PROPOSAL SKRIPSI

Judul:
HUBUNGAN ANTARA FAKTOR KETURUNAN DENGAN KEJADIAN
KELAINAN REFRAKSI PADA SISWA SMA

ANTO TRIWIBOWO
030.12.028
Telah disetujui untuk diuji di hadapan
Tim Penguji Skripsi
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Pada hari Senin, 18 Agustus 2015

Pembimbing

(dr. Noviani Prasetyaningsih, Sp.M)

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL………………………………………………….…………………….. i
PERSETUJUAN PROPOSAL SKRIPSI………………………….………….. ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………….. iii
DAFTAR TABEL….…………………………………………………………. iv
DAFTAR GAMBAR...…………….…………………………………………. v
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………….. vii
BAB I PENDAHULUAN………………….…………………………………
1.1 Latar belakang…………………………………………………. 1
1.2 Perumusan masalah…………………….……………………… 3
1.3Tujuan………....…………………………….………………….
1.3.1 Tujuan umum……………………………………………… 3
1.3.2 Tujuan khusus………………………..……………………. 3
1.4 Hipotesis……….……………………………………………… 4
1.5 Manfaat………………………………………………………...
1.5.1 Manfaat untuk ilmu pengetahuan…………………………. 4
1.5.2 Manfaat untuk peneliti…………………………………….. 4
1.5.3 Manfaat untuk masyarakat………………………………… 4
BAB II TINJAUAN, RINGKASAN PUSTAKA DAN KERANGKA
TEORI………………………………………………………………………... 5
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI
26
OPERASIONAL..............................................................................................
BAB IV METODE…...………..……………………………….................
4.1 Desain………….………………………………...................... 29
4.2 Lokasi dan waktu penelitian…………….……………………
4.2.1 Lokasi penelitian………………………………................. 29
4.2.2 Waktu penelitian…………………………………………. 29
4.3 Populasi dan sampel penelitian……………………................. 29
4.3.1 Besar sampel……………………………………….…….. 29
4.3.2 Pemilihan sampel……..………………………………….. 29
4.3.3 Kriteria inklusi dan eksklusi……………………………… 30
4.3.4 Alur pemilihan sampel…………………………………… 30
4.4 Bahan dan instrumen penelitian……………………………… 30
4.5 Analisis data………………………………...………………... 31
4.6 Alur kerja penelitian………………………………………….. 32
4.7 Etika penelitian……………………………………………….. 33
4.8 Penjadwalan penelitian……………………………………….. 34
4.9 Pembiayaan…....……………………………………………… 35

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Classification Systems for Myopia ……………………………….. 13


Tabel 2.1 Ringkasan Pustaka…………………………………….................... 24
Tabel 3.1 Definisi Operasional ……………………………..………..……… 27
Tabel 4.1 Penjadwalan penelitian……………………………………………. 34
Tabel 4.2 Pembiayaan………………………………………………………... 35

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi Bola Mata……………...……………..…….................. 5


Gambar 2. Titik fokus pada mata emetropia dan ametropia………………... 11
Gambar 3. Kelainan refraksi pada mata myopia …………………………… 12
Gambar 4. Kelainan refraksi pada mata hipermetropia ..……..……………. 16
Gambar 5. Kelainan refraksi pada mata astigmatisma……….……………... 19
Gambar 6. Kerangka Teori………………………………………………….. 25
Gambar 7. Alur kerja penelitian…………………………………………….. 32

v
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Informed consent……………………….……………………… 38


Lampiran 2 Kuesioner...……………………………..….…………………... 39

vi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kelainan refraksi merupakan suatu kondisi yang memerlukan perhatian
khusus terutama pada anak-anak usia sekolah. Apabila pada masa-masa ini
kelainan refraksi tidak dilakukan koreksi maka dapat mengganggu proses belajar
mengajar pada anak.1 Definisi kelainan refraksi sendiri itu adalah keadaan
bayangan tegas tidak dibentuk pada retina, dimana terjadi ketidakseimbangan
penglihatan pada mata sehingga menghasilkan bayangan yang kabur. Sinar tidak
dibiaskan tepat pada retina, tetapi dapat di depan atau di belakang retina dan atau
tidak terletak pada satu titik fokus. Kelainan refraksi dapat diakibatkan karena
kelainan kelengkungan kornea dan lensa, perubahan indeks bias, dan kelainan
panjang sumbu bola mata.2 Tiga kelainan refraksi yang paling sering dijumpai
yaitu miopia, hipermetropia, dan astigmatisma.5

Gangguan refraksi masih merupakan salah satu penyebab kebutaan di dunia.


World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa terdapat 45 juta orang
yang menjadi buta di seluruh dunia, dan 135 juta dengan low vision. Diperkirakan
gangguan refraksi menyebabkan sekitar 8 juta orang (18% dari penyebab
kebutaan global) mengalami kebutaan. Angka kebutaan anak di dunia masih
belum jelas, namun diperkirakan ada sekitar 1,4 juta kasus kebutaan pada anak,
dan 500.000 kasus baru terjadi tiap tahunnya. Sebagian besar anak-anak ini
meninggal beberapa bulan setelah mengalami kebutaan. Penyebab kebutaan pada
anak sangat bervariasi pada tiap negara. Diperkirakan setiap satu menit terdapat
satu anak menjadi buta dan hampir setengahnya berada di Asia Tenggara CEHJ
(2007).2 Berdasarkan data dari WHO pada 2004 prevalensi kelainan refraksi pada
umur 10-17 tahun sebanyak 12,8 juta orang (0,97%). Dari data tersebut ditemukan
bahwa kelainan yang timbul akibat kelainan refraksi yang tidak di koreksi.4

Melihat situasi yang ada WHO merekomendasikan untuk dilakukannya


skrining penglihatan dan pelayanan kesehatan yang ditujukan bagi anak sekolah.

1
Berkaitan dengan hal tersebut maka pada anak usia sekolah tingkat taman kanak-
kanak sampai sekolah menengah tingkat pertama dan sekolah tingkat atas sangat
rentan terhadap kelainan refraksi apabila sedini mungkin tidak di koreksi
akibatnya akan berpengaruh pada kegiatan belajar dan dapat mempengaruhi
prestasi belajar.8,9

Angka kebutaan di Afrika dan Asia diperkirakan sekitar 15:10.000 anak.


Angka ini sangat besar bila dibandingkan angka kebutaan anak di Eropa dan
Amerika Utara yang hanya 3:10.000 anak. Di Eropa yang merupakan negara
maju, angka kebutaan pada anak sekitar 3:10.000 (CEHJ (2007).2


Di Indonesia prevalensi kelainan refraksi menempati urutan pertama pada


penyakit mata. Kasus kelainan refraksi dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan. Jumlah pasien yang menderita kelainan refraksi di Indonesia hampir
25% dari populasi atau sekitar 55 juta jiwa.29 Angka kebutaan di Indonesia
menempati urutan ketiga di dunia. Bahkan kondisi kebutaan di Indonesia
merupakan yang terburuk di Asia dan ASEAN. Hingga saat ini, sekitar 3,1 juta
(1,5%) penduduk Indonesia mengalami kebutaan.2

Kelainan refraksi dapat terjadi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain umur, jenis kelamin, genetik, ras, dan lingkungan.2 Faktor genetik dan faktor
lingkungan merupakan faktor risiko yang memegang peranan penting untuk
terjadinya kelainan refraksi. Faktor genetik dapat menurunkan sifat kelainan
refraksi ke keturunannya, baik secara autosomal dominan maupun autosomal
resesif. Anak dengan orang tua yang mengalami kelainan refraksi cenderung
mengalami kelainan refraksi.7 Prevalensi miopia pada anak dengan kedua orang
tuanya miopia adalah 32,9 % dan berkurang sampai 18,2% pada anak dengan
hanya salah satu orang tuanya yang mengalami miopia, dan kurang dari 8,3%
pada anak dengan orang tua tanpa miopia.6 Begitupun penelitian yang dilakukan
oleh Jones tentang riwayat miopia pada orang tua, efek olahraga dan aktivitas di
luar rumah terhadap kejadian miopia, didapatkan hasil bahwa jumlah olahraga dan
aktivitas di luar rumah meningkatkan kejadian miopia pada anak yang mempunyai

2
kedua orang tua miopia daripada anak yang hanya mempunyai salah satu atau
tidak satupun orang tua dengan riwayat miopia tersebut.17

Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Fatika Sari di Sumatra Utara
yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara faktor keturunan dengan
kelainan refraksi. Penelitipun memilih judul ini dikarenakan belum adanya
penelitian yang dilakukan pada siswa/i SMA tepatnya di Jakarta. Sebagai
mahasiswa kedokteran, kita seharusnya dapat membantu mengedukasi orang lain
di sekitarnya, untuk menangani kelainan refraksi pada siswa/i SMA agar tidak
berpengaruh pada kegiatan belajar dan dapat mempengaruhi prestasi belajar.

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan uraian pada latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya,
dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
 Apakah terdapat hubungan antara faktor keturunan dengan kejadian
kelainan refraksi pada siswa SMA kelas 2 IPA ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara faktor keturunan
dengan kejadian kelainan refraksi pada siswa SMA
1.3.2 Tujuan khusus
1. Mengetahui prevalensi kelainan refraksi pada siswa SMA kelas 2 IPA
2. Mengetahui prevalensi siswa SMA kelas 2 IPA yang orang tuanya
berkacamata jarak jauh
3. Mengetahui hubungan antara faktor keturunan dengan kejadian kelainan
refraksi pada siswa SMA kelas 2 IPA
4. Mengetahui pola hidup siswa SMA kelas 2 IPA yang mempunyai kelainan
refraksi

3
1.4 Hipotesis
Terdapat hubungan antara faktor keturunan dengan kejadian kelainan
refraksi pada siswa SMA

1.5 Manfaat
1.5.1 Manfaat untuk ilmu pengetahuan
 Penelitian ini dapat dijadikan pedoman untuk menjadi salah satu tindakan
penanganan terhadap terjadinya kelainan refraksi pada siswa SMA

1.5.2 Manfaat untuk peneliti

 Menambah ilmu dan pengetahuan tentang hubungan antara faktor


keturunan dengan kejadian kelainan refraksi

1.5.3 Manfaat untuk masyarakat


 Sebagai informasi dan pengetahuan mengenai faktor keturunan dengan
angka kejadian kelainan refraksi pada siswa/i SMA kelas 2 IPA

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mata
Mata adalah bola berisi cairan yang terbungkus oleh tiga lapisan jaringan
khusus. Mata menangkap pola bentuk dalam lingkungan sebagai suatu gambaran
optik pada sebuah lapisan sel-sel yang peka terhadap cahaya, yaitu retina seperti
sebuah kamera yang menangkap sebuah bayangan pada film. Seperti film yang
dapat dicuci, dicetak untuk menghasilkan gambar yang mirip dengan aslinya.
Demikia juga citra yang dikode di retina disalurkan melalui serangkaian
pengolahan visual yang semakin kompleks setiap langkahnya sampai akhirnya
secara sadar dipersepsikan sebagai gambar yang mirip dengan asli.24

2.2 Anatomi mata


2.2.1 Ukuran dan lokasi

Gambar 1. Anatomi bola mata30

Setiap bola mata berbentuk spheroid irregular, dengan diameter sekitar


24mm dan berat sekitar 8g. Didalam orbit (rongga untuk mata pada tulang wajah),
mata menempati ruang dengan otot-otot mata ekstrinsik, kelenjar lakrimalis,
pembuluh darah dan saraf-saraf kranial yang juga mempersaraf bagian wajah lain.

5
Bola mata dikelilingi oleh lemak orbital (orbital fat) yang berfungsi sebagai
insulator dan shock absorber.30
2.2.2 Dinding bola mata
Dinding bola mata terdiri dari 3 lapisan, yaitu:28
1. Lapisan fibrosa
Adalah lapisan paling luar dari mata dan terdiri dari 2 bagian; sklera dan
kornea. Lapisan fibrosa memberi pelindungan fisik dan mechanical support, serta
menjadi permukaan untuk lokasi otot ekstrinsik untuk berikatan dan mengandung
struktur yang membantu dalam proses focusing.

 Sklera
Menutupi 5/6 bagian dari permukaan mata. Sklera terdiri dari jaringan ikat
fibrosa yang mengandung kolagen dan serabut elastic. Permukaan dari sklera
mengandung pembuluh darah kecil dan serabut saraf yang menembus sklera untuk
mencapai struktur internal.

 Kornea
Bagian transparan yang bersambung dengan sklera. Batasan antara sklera dan
kornea disebut limbus. Kornea terdiri dari 5 lapisan, yaitu; lapisan epithelium,
membran Bowmann's, lapisan stroma (substansia Propria), Membran Descemet,
lapisan endotel. Secara anaatomis permukaan luar kornea mata dilapisi oleh epitel
yang penting untuk menjaga kejernihannya. Sel progenitor epitel kornea yang
menjaga epitel berada pada sisi basal dari limbus. Epitel kornea mempunyai ciri
cepat memperbaiki diri. Proses ini penting untuk menjaga struktur konstan dari sel
epitel kornea.31

2. Lapisan vascular
Terdiri dari koroid, iris, dan badan siliaris. Koroid merupakan lapisan yang
terletak di antara sklera dan kornea. Koroid memiliki vaskularisasi yang tinggi.
Badan siliaris adalah penebalan di sebelah posterior korneoskleral junction,
berfungsi untuk sebagai tempat perlekatan antara lensa dan sekresi aquos humor.

6
Iris adalah cincin kontraktil yang terletak di anterior lensa. Di tengah iris terdapat
pupil, yang berfungsi sebagai tempat masuknya cahaya. Iris berfungsi mengatur
lebar pupil. Fungsi ini dapat dilakukan karena iris memiliki dua jenis otot, yaitu
muskulus dilatator pupil dan konstriktor pupil. Otot konstriktor pupil memiliki
persarafan parasimpatis, sedangkan dilatator pupil simpatis.28

3. Lapisan neural
Lapisan paling dalam, terdiri dari retina. Retina terdiri dari pars optic (yang
berfungsi menerima rangsang cahaya) dan pars non-optik. Daerah tempat
fokusnya cahaya secara klinis disebut fundus optic. Pada fundus optic terdapat
papil optic, yaitu tempat masuknya nervus optikus. Di lateral papil optic terdapat
macula, yang merupakan daerah paling sensitive terhadap cahaya.28

2.2.3 Konjungtiva
Konjungtiva adalah suatu membrane mukosa yang dilapisi oleh epithelium
berlapis gepeng (Squamous stratified epithelium) tipis dan transparan.
Konjungtiva melapisi permukaan anterior dari bola mata dan permukaan posterior
dari palpebra. Lapisan permukaan konjungtiva, yaitu lapisan epitel berhubungan
dengan epidermis dari palpebra (palpebra conjungtiva) dan dengan lapisan
permukaan dari kornea, yaitu epitel kornea (bulbar konjungtiva). Konjungtiva
bertanggung jawab atas produksi mucus, yang penting dalam menjaga stabilitas
tear film dan transparansi kornea. Selain itu konjungtiva juga mampu melindungi
permukaan ocular dari patogen, baik sebagai barier fisik, maupun sebagai sumber
sel-sel inflamasi.25

2.2.4 Pupil
Pupil adalah lubang bundar di bagian tengah iris tempat masuknya cahaya
ke bagian dalam mata. Pupil anak-anak berukuran kecil akibat belum
berkembangnya saraf simpatis. Sedangkan orang dewasa ukuran pupilnya adalah
sedang dan orang tua pupilnya akan semakin mengecil akibat rasa silau yang

7
dibangkitkan oleh lensa yang sklerosis. Pupil waktu tidur berukuran kecil, hal ini
dipakai sebagai ukuran tidur, simulasi, koma dan tidur yang sebenarnya.
Pupil berukuran kecil waktu tidur diakibatkan oleh berkurangnya
rangsangan simpatis dan hambatan rangsang miosis. Bila subkorteks bekerja
sempurna maka terjadi miosis. Pada waktu bangun korteks menghambat pusat
subkorteks sehingga terjadi midriasis. Waktu tidur hambatan subkorteks hilang
sehingga terjadi kerja subkorteks yang sempurna yang akan menjadikan miosis.
Fungsi mengecilnya pupil yaitu untuk mencegah aberasi kromatis pada akomodasi
untuk memperdalam fokus seperti pada kamera foto yang diafragmanya
dikecilkan.26

2.2.5 Sudut bilik mata depan


Sudut bilik mata yang dibentuk jaringan korneosklera dengan pangkal iris.
Pada bagian ini terjadi pengaliran keluar cairan bilik mata. Bila terdapat hambatan
atau sumbatan pengaliran cairan bola mata akan terjadi penimbunan atau
penumpukan cairan bilik mata di dalam bola mata sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan intra ocular atau glaukoma. Berdekatan dengan sudut ini
didapatkan jaringan trabekulum, kanal schlemm, baji sklera, garis Schwalbe dan
jonjot iris.26

2.2.6 Lensa mata


Lensa berfungsi sebagai media refraksi, yang berperan secara pasif dalam
proses akomodasi sehingga sinar yang melalui kornea dan aquos humor dapat
difokuskan di retina dan menghasilkan tajam penglihatan yang baik. Transparansi
lensa ini dipertahankan oleh keseragaman serat, keseragaman distribusi dan
komposisi protein kristalin dalam lensa.27

8
2.2.7 Badan Kaca
Badan kaca merupakan suatu jaringan seperti kaca yang terletak antara
lensa dan retina. Badan kaca bersifat semi cair di dalam bola mata. Mengandung
air sebanyak 90% sehingga tidak dapat lagi menyerap air. Sesungguhnya fungsi
badan kaca sama dengan fungsi cairan bola mata, yaitu untuk mempertahankan
bola mata agar tetap bulat. Peranannya yaitu untuk mengisi ruang untuk
meneruskan sinar dari lensa ke retina.26

2.2.8 Retina
Retina atau selaput jala merupakan bagian mata yang mengandung reseptor yang
menerima rangsangan cahaya. Retina terbatas antara koroid dengan sel epitel
pigmen retina dan terdiri dari lapisan-lapisan berikut :26
1. Lapisan fotoreseptor
Merupakan lapisan terluar dari retina yang terdiri atas sel batang yang
mempunyai bentuk yang ramping dan sel kerucut
2. Membran limitan eksterna
Merupakan membran ilusi
3. Lapisan nukleus luar
Merupakan susunan lapis nukleus sel kerucut dan batang. Ketiga lapisan
diatas termasuk yang avaskuler dan mendapat metabolism dari kapiler
koroid.
4. Lapisan pleksiform luar
Merupakan lapisan aseluler dan merupakan tempat sinapsis sel
fotoreseptor dengan sel bipolar dan horizontal.
5. Lapisan nukleus dalam
Merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal dan sel Muller, lapisan ini
mendapat metabolisme dari arteri retina sentral.
6. Lapisan pleksiform dalam
Merupakan lapisan yang aseluler tempat sinaps sel bipolar, sel amakrin
dengan sel ganglion.

9
7. Lapisan sel ganglion
Merupakan lapis badan sel dari neuron kedua.
8. Lapisan serabut saraf
Merupakan lapis akson sel ganglion yang menuju kea rah saraf optik. Di
dalam lapisan-lapisan ini terletak sebagian besar pebuluh darah retina.
9. Membran limitan interna
Merupakan membran hialin antara retina dengan badan kaca

2.2.9 Saraf optik


Saraf optik yang keluar dari polus posterior dari bola mata ini merupakan
saraf yang membawa 2 jenis serabut saraf yaitu saraf penglihatan dan serabut
pupilmotor. Kelainan saraf optik menggambarkan gangguan yang diakibatkan
tekanan langsung atau tidak langsung terhadap saraf optik ataupun perubahan
toksik dan anoksik yang mempengaruhi penyaluran aliran listrik.

2.3 Kelainan refraksi


2.3.1 Definisi kelainan refraksi
Kelainan refraksi adalah keadaan bayangan tegas tidak dibentuk pada retina,
dimana terjadi ketidakseimbangan penglihatan pada mata sehingga menghasilkan
bayangan yang kabur. Sinar tidak dibiaskan tepat pada retina, tetapi dapat di
depan atau di belakang retina dan atau tidak terletak pada satu titik fokus.5
Ametropia merupakan suatu kondisi kelainan refraksi. Penyebab kelainan
bisa diakibatkan kelainan pada axial length maupun kelainan daya refraksi media
refrakta.10 Kondisi ini mungkin disebabkan oleh karena sumbu bola mata terlalu
pendek (hipermetropi) atau terlalu panjang (miopia) atau karena kornea atau lensa
yang tidak memiliki kemampuan refraksi yang dibutuhkan.11

10
Gambar 2. Titik fokus pada mata emetropia dan ametropia1

2.3.2 Etiologi kelainan refraksi


Ametropia aksial adalah ametropia yang terjadi akibat sumbu optik bola
mata lebih panjang atau lebih pendek sehingga bayangan benda difokuskan di
depan atau di belakang retina. Pada miopia aksial, fokus akan terletak di depan
retina karena bola mata lebih panjang. Sedangkan pada hipermetropia aksial,
fokus bayangan terletak di belakang retina. Ametropia indeks refraktif adalah
ametropia akibat kelainan indeks refraksi media penglihatan. Sehingga walaupun
panjang sumbu mata normal, sinar terfokus di depan (miopia) atau di belakang
retina (hipermetropia). Kelainan indeks refraksi ini dapat terletak pada kornea
atau pada lensa (cembung, diabetik). Ametropia kurvatur disebabkan
kelengkungan kornea atau lensa yang tidak normal sehingga terjadi perubahan
pembiasan sinar. Kecembungan kornea yang lebih berat akan mengakibatkan
pembiasan lebih kuat sehingga bayangan dalam mata difokuskan di depan bintik
kuning sehingga mata ini akan menjadi mata miopia atau rabun jauh. Sedangkan
kecembungan kornea yang lebih kurang atau merata (flat) akan mengakibatkan
pembiasan menjadi lemah sehingga bayangan dalam mata difokuskan dibelakang
bintik kuning dan mata ini menjadi hipermetropia atau rabun dekat.5

11
2.3.3 Macam-macam kelainan refraksi
2.3.3.1 Miopia
2.3.3.1.1 Definisi
Miopia atau rabun dekat adalah suatu kelainan refraksi pada mata dimana
bayangan difokuskan di depan retina, ketika mata tidak dalam kondisi
berakomodasi. Ini juga dapat dijelaskan pada kondisi refraktif dimana cahaya
yang sejajar dari suatu objek yang masuk pada mata akan jatuh di depan retina.13

Gambar 3. Kelainan refraksi pada mata myopia14

2.3.3.1.2 Etiologi dan faktor resiko myopia


 Faktor keturunan
Penelitian ginekologis telah memberikan banyak bukti bahwa faktor keturunan
merupakan faktor etiologi utama terjadinya miopia. Cara transmisi resesif,
autosomal dominan, sex linked dan derajat miopia yang diturunkan ternyata
bervariasi.15
 Faktor perkembangan
Bukti yang ada menunjukkan bahwa faktor prenatal dan perinatal turut
berperan serta menyebabkan miopia. Penyakit ibu yang dikaitkan dengan
penderita miopia kongenital adalah hipertensi sistemik, toksemia dan penyakit
retina. Faktor lain yang dianggap berhubungan dengan miopia adalah kelahiran
prematur yakni berat badan lahir kurang dari 2.500 gr.15
 Faktor lingkungan
Kerja dekat yang berlebihan seperti membaca terlalu dekat atau aktifitas jarak
dekat, kurangnya faktor atau aktifitas jarak jauh terutama sport atau aktifitas di
luar rumah, pencahayaan yang ekstra kuat dan lama (computer, TV, game).5

12
2.3.3.1.3 Klasifikasi
Ada berbagai klasifikasi untuk miopia, yaitu klasifikasi berdasarkan
gambaran klinis, derajat miopia, dan usia saat terkena miopia (Tabel 1) (American
Optometric Association, 2006).13
Tabel 1.1 Classification Systems for Myopia13
Type of
Classes of Myopia
Classification
 - Simple Myopia
 - Nocturnal Myopia
 - Pseudomyopia
Clinical Entity
 - Degenerative myopia
 - Induced myopia

 - Low myopia (<3.00 D)


 - Medium myopia (3.00 D-6.00 D) High myopia
Degree
(>6.00 D)

 - Congenital myopia (present at birth and persisting


through infancy)
 - Youth-onset myopia (<20 years of age)
Age of Onset
 - Early adult-onset myopia (20-40 years of age)
 - Late adult-onset myopia (>40 years of age)

Pada mata dengan simple myopia, status refraksinya tergantung pada


kekuatan optik dari kornea dan lensa kristalin, dan panjang aksial mata. Pada mata
emetropik, panjang aksial dan kekuatan optik adalah berbanding terbalik. Mata
dengan kekuatan optik yang lebih besar dari rata-rata dapat menjadi emetropik
jika panjang aksialnya lebih pendek dari rata-rata, begitu juga mata dengan
kekuatan optik yang lebih rendah jika panjang aksialnya lebih panjang dari rata-
rata.

Mata dengan simple myopia adalah mata normal yang memiliki panjang
aksial yang terlalu panjang untuk kekuatan optiknya, atau kekuatan optiknya
terlalu besar untuk panjang aksialnya. Simple myopia, yang merupakan tipe yang
paling sering terjadi daripada tipe lainnya, biasanya kurang dari 6 dioptri (D).

13
Pada banyak pasien biasanya kurang dari 4 atau 5 D. Astigmatisme dapat terjadi
pada konjungsi dengan simple myopia.

Nocturnal myopia hanya terjadi pada penerangan yang kurang atau gelap.
Hal ini dikarenakan meningkatnya respon akomodasi sehubungan dengan
sedikitnya cahaya yang ada.

Pseudomyopia merupakan hasil dari peningkatan kekuatan refraksi okular


akibat overstimulasi terhadap mekanisme akomodasi mata atau spasme siliar.
Disebut pseudomyopia karena pasien hanya menderita miopia karena respon
akomodasi yang tidak sesuai.

Miopia yang berat yang berhubungan dengan perubahan degeneratif pada


segmen posterior mata disebut degenerative atau pathological myopia. Perubahan
degeneratif dapat menyebabkan fungsi penglihatan yang abnormal, seperti
perubahan lapangan pandang. Retinal detachment dan glaukoma adalah sekuele
yang biasa terjadi.

Induced myopia adalah akibat terpapar oleh berbagai obat-obatan, kadar


gula darah yang bervariasi, nuklear sklerosis pada lensa kristalin, atau kondisi
ganjil lainnya. Miopia ini seringnya bersifat sementara dan reversibel.13

2.3.3.1.4 Patologi
Menurut Duke Elder S
Berbagai teori dikemukakan mengenai terjadinya miopia degeneratif, tetapi ada
dua teori pokok yang saling bertentangan, yaitu :
Teori mekanik
Timbul pada abad ke 19, yang mengatakan bahwa terjadinya miopia tinggi
disebabkan karena peregangan sklera. Peregangan ini dapat terjadi pada sklera
normal ataupun yang sudah lemah.15
Adanya konvergensi yang berlebihan, akomodasi yang terus menerus dan
kontraksi muskulus orbicularis okuli akan mengakibatkan tekanan intra okuler

14
meningkat yang selanjutnya menimbulkan peregangan sklera. Selain itu pada
akomodasi dimana terjadi kontraksi muskulus ciliaris akan menarik otot koroid,
sehingga menyebabkan atropi. Konvergensi dan posisi bola mata ke arah inferior
pada waktu membaca menyebabkan pole posterior tertarik oleh nervus optikus.15
Perlemahan sklera diduga juga menjadi penyebab membesarnya bola
mata. Perlemahan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :15

 Kongesti sklera
 Inflamasi sklera
 Malnutrisi
 Endokrin
 Keadaan umum
 Skleromalasia

Teori biologi
Teori ini timbul setelah pengamatan bahwa miopia aksial adalah herediter,
penipisan bola mata hanya di daerah pole posterior, degenerasi retina terjadi
sekunder setelah atrofi koroid dan adanya perubahan-perubahan atrofi yang tidak
sesuai dengan besarnya pemanjangan bola mata.15
Vogt mengatakan bahwa faktor timbulnya miopia terdapat pada jaringan
eckodermal yaitu retina, sedangkan jaringan mesodermal disekitarnya tetap
normal. Retina tumbuh lebih menonjol dibanding dengan koroid dan sklera.
Pertumbuhan retina yang abnormal ini diikuti dengan penipisan sklera dan
peregangan koroid. Koroid yang peka terhadap regangan akan menjadi atrofi.
Seperti diketahui pertumbuhan sklera berhenti pada janin umur 5 bulan sedangkan
bagian posterior retina masih tumbuh terus sehingga bagian posterior sklera
menjadi paling tipis.1

15
2.3.3.1.5 Gejala klinik
Gejala dari miopia meliputi :
• Melihat benda yang jauh menjadi buram
• Anak-anak mungkin memiliki masalah dalam membaca seperti di papan tulis,
tapi dapat dengan mudah membaca buku
• Mata tegang
• Pusing
Gejala semakin memburuk dari waktu ke waktu.16

2.3.3.2 Hipermetropia
2.3.3.2.1 Definisi
Hipermetropia didefinisikan sebagai ketidaksesuaian antara kekuatan
refraksi media refrakta dengan panjang sumbu bola mata dimana berkas sinar
paralel yang masuk berkonvergensi pada satu titik fokus di posterior retina.
Kelainan ini bisa dikoreksi dengan lensa konvergen atau lensa positif. 10

Gambar 4. Kelainan refraksi pada mata hipermetropia 14

2.3.3.2.2 Etiologi dan klasifikasi


Penyebab utama hipermetropia adalah panjangnya bola mata yang lebih
pendek. Akibat bola mata yang lebih pendek, bayangan benda akan dfokuskan di
belakang retina.5
Berdasarkan penyebabnya, hipermetropia dapat dibagi atas :5

1. Hipermetropia sumbu atau aksial, merupakan kelainan refraksi akibat bola


mata pendek atau sumbu anteroposterior yang pendek.

16
2. Hipermetropia kurvatur, dimana kelengkungan kornea atau lensa kurang
sehingga bayangan difokuskan di belakang retina.
3. Hipermetropia indeks refraktif, dimana terdapat indeks bias yang kurang pada
sistem optik mata.

Secara klinis, hipermetropia terbagi dalam 3 kategori :18

1. Simple hyperopia, karena variasi normal biologis, bisa disebabkan oleh


panjang sumbu aksial mata ataupun karena refraksi.
2. Pathological hyperopia, disebabkan anatomi mata yang abnormal karena
gagal kembang, penyakit mata, atau karena trauma.
3. Functional hyperopia adalah akibat dari paralisis akomodasi.

Hipermetropia juga dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat kelainan


refraksinya, yaitu:18

1. Hipermetropia ringan (≤ +2,00 D)


2. Hipermetropia sedang (+2,25 - +5,00 D)
3. Hipermetropia berat (≥+5,00 D)

2.3.3.2.3 Patologi
Penggunaan dari istilah “patologis” menandakan bahwa hyperopia
memiliki etiologi selain dari variasi biologis normal dari komponen refraksi mata.
Hyperopia patologis bisa disebabkan karena gangguan perkembangan dari mata di
masa prenatal atau di awal periode postnatal, sebuah variasi dari perubahan
kornea atau lenticular, inflamasi chorioretina atau orbital atau neoplasma, atau
etiologi yang bersifat gangguan syaraf atau berasal dari obat. Merupakan hal
yang jarang jika dibandingkan dengan hyperopia fisiologis dan juga
berkemungkinan memiliki pola warisan genetik. Karena hubungan dari hyperopia
terhadap berapa seriusnya kelainan ocular dan sistemik, diagnosis dan
penatalaksanaan yang tepat terhadap hal yang berkemungkinan menjadi
penyebabnya adalah hal yang penting terhadap kesehatan keseluruhan dari pasien.

17
Microphthalmia dan kondisi ini sering terdapat dalam bentuk herediter,
nanophthalmia, yang dapat menimbulkan hyperopia jika ada kelebihan +20 D.
Malformasi segmen anterior seperti plana kornea, sclerocornea, anterior chamber
cleavage syndrome, dan limbal dermoid juga dihubungkan dengan hyperopia
berat. Kelainan didapat yang bisa menimbulkan pergeseran hyperopia yang
dihasilkan dari distorsi kornea ataupun trauma, chalazion, chemical or thermal
burn, kelainan vaskular dari retina, diabetes mellitus, katarak berkembang atau
katarak transien atau penggunaan lensa kontak. Jika sudah sangat parah dapat
berkembang menjadi afaksia relatif, ektopia lentis menyebabkan hyperopia berat.
Kondisi yang menyebabkan lapisan foto reseptor dari retina agar memproyeksikan
secara anterior (koroidpati serosa sentral idiopatik dan hemangioma koroidal dari
penyakit Sturge-Weber) juga bisa menyebabkan hyperopia. Dengan cara yang
sama, tumor orbital, lipatan koroidal idiopatik, dan edema dapat menyebabkan
distorsi mekanik dari bola mata dan menekan mata secara dari arah anterior, yang
pada akhirnya menyebabkan hyperopia.
Sejumlah kegagalan perkembangan dan sindrom juga dihubungkan dengan
hyperopia berat. Kondisi adanya hypoplasia foveal (albinisme, achromatopsia,
dan aniridia) atau degenerasi retina awal (Leber's congenital amaurosis) tampak
mengganggu emmetropisasi dan menyebabkan hyperopia berat dan astigmatisme.
Kelainan lain dengan prevalensi hyperopia yang tinggi adalah Aarskog-Scott,
Kenny, Rubinstein-Taybi, fragile X, and sindrom down.18

2.3.3.2.4 Gejala klinik


Diantara tanda dan gejala dari hyperopia adalah mata merah atau berair,
menyipit, dan perubahan mimic saat membaca, kelelahan mata atau asthenopia,
sering berkedip, penglihatan kabur secara terus menerus atau hilang timbul,
gangguan konsentrasi, penglihatan binokular kedua mata yang menurun dan juga
kesulitan dan atau keengganan membaca. Adanya dan parahnya gejala yang
muncul sangat bervariasi beberapa pasien muda dengan hyperopia, termasuk yang
memiliki hyperopia sedang maupun berat, bisa saja tidak memiliki tanda dan
gejala.18

18
2.3.3.3 Astigmatisma
2.3.3.3.1 Definisi
Astigmatisma adalah suatu keadaan dimana sinar yang sejajar tidak
dibiaskan dengan kekuatan yang sama pada seluruh bidang pembiasan sehingga
fokus pada retina tidak pada satu titik.19 Hal itu dapat terjadi karena bentuk kornea
yang tidak beraturan, yang mencakup di bagian depan mata atau kadang-kadang
kelengkungan terjadi di lensa mata.20

Gambar 5. Kelainan refraksi pada mata astigmatisma21

2.3.3.3.2 Etiologi
Terjadinya astigmatisma disebabkan karena bentuk kornea atau lensa mata
yang tidak normal. Kornea dan lensa berperan penting dalam memfokuskan
cahaya yang masuk ke mata yang menyebabkan kita dapat melihat dengan jelas.
Lengkungan kornea dan lensa menyebabkan cahaya yang masuk ke mata di
belokkan agar cahaya terfokus dengan tepat pada retina di bagian belakang mata.
Pada astigmatisma, permukaan dari kornea atau lensa memiliki cekungan yang
berbeda di satu sisi atau lainnya. Pada kasus kornea, yang biasanya memiliki
bentuk bulat seperti bola basket, justru akan berbentuk seperti bola rugby. Pada
akhirnya, mata tidak mampu memfokuskan sinar ke satu titik yang menyebabkan
penglihatan menjadi tidak fokus pada jarak apapun.20

19
2.3.3.3.3 Klasifikasi
Pembagian Astigmatisma menurut Ilyas :5
A. Astigmatisma reguler
Berdasarkan axis dan sudut yang dibentuk antara dua principal meridian,
regular astigmatisma dapat dibagi dalam 3 bentuk, yaitu :
1) Horizontal-vertikal astigmatisma
Astigmatisma ini merupakan dua meridian yang membentuk sudut
satu sama lain secara horizontal (180 20) atau vertical (90 20)
astigmatisma ini terbagi atas 2 jenis :
1. With-in-the-rule astigmatism
Dimana meridian vertical mempunyai kurvatura yang lebih kuat
(melengkung) dari meridian horizontal. Disebut with the rule
karena mempunyai kesamaan dengan kondisi normal mata
mempunyai kurvatura vertikal lebih besar oleh karena penekanan
oleh kelopak mata. Astigmatisma ini dapat di koreksi dengan –axis
180 atau +axis 90.
2. Against-the rule astigmatism
Suatu kondisi dimana meridian horizontal mempunyai kurvatura
yang lebih kuat (melengkung) dari meridian vertikal. Astigmatisma
jenis ini dapat dikoreksi dengan +axis 180 atau –axis 90.
2) Oblique astigmatim
Merupakan suatu astigmatisma regular dimana kedua principle
meridian tidak pada meridian horizontal atau vertikal. Principal
meridian terletak lebih dari 20 dari meridian vertikal atau horizontal.
3) Bioblique astigmatism
Suatu kondisi dimana kedua principle meridian tidak membentuk
sudut satu sama lain.

20
B. Irreguler astigmatisma
Suatu keadaan refraksi dimana setiap meridian mempuyai perbedaan refraksi
yang tidak teratur bahkan kadang-kadang mempunyai perbedaan pada meridian
yang sama. Principle meridian tidak tegak lurus satu dengan lainnya. Biasanya
astigmatisma irregular ini dikoreksi dengan lensa kontak kaku

Berbicara mengenai induksi astigmatisma pasca operasi (induced astigmatism),


seperti kita ketahui, penderita astigmatisma sebagian besar adalah with the rule
astigmatism. Insisi yang ditempatkan pada kornea akan menyebabkan pendataran
pada arah yang berhadapan dengan insisi tersebut. Artinya, jika melakukan insisi
dari temporal cenderung menyebabkan pendataran pada sumbu horizontal kornea,
dimana hal ini akan mengakibatkan induksi with-the-rule astigmatism. Sebaliknya
jika melakukan insisi kornea dari superior cenderung mengakibatkan induksi
againts-the-rule astigmatism. Biasanya induksi astigmatisma ini bergantung dari
panjangnya insisi, yaitu semakin panjang insisi akan semakin besar induksi
astigmatisma.

2.3.3.3.4 Patofisiologi
Pada mata normal, permukaan kornea yang melengkung teratur akan
memfokuskan sinar pada satu titik. Pada astigmatisma, pembiasan sinar tidak
difokuskan pada satu titik. Sinar pada astigmatisma dibiaskan tidak sama pada
semua arah sehingga pada retina tidak didapatkan satu titik fokus pembiasan.
Sebagian sinar dapat terfokus pada bagian depan retina sedang sebagian sinar lain
difokuskan di belakang retina.22
Jatuhnya fokus sinar dapat dibagi menjadi 5, yaitu :5

1. Astigmaticus miopicus compositus, dimana 2 titik jatuh didepan retina


2. Astigmaticus hipermetropicus compositus, dimana 2 titik jatuh di belakang
retina
3. Astigmaticus miopicus simplex, dimana 2 titik masing-masing jatuh di
depan retina dan satunya tepat pada retina

21
4. Astigmaticus hipermetropicus simplex, dimana 2 titik masing- masing
jatuh di belakang retina dan satunya tepat pada retina
5. Astigmaticus mixtus, dimana 2 titik masing-masing jatuh didepan retina
dan belakang retina.

2.3.3.3.5 Gejala klinik


Gejala dari astigmatisma mungkin berbeda tiap individu. Bahkan beberapa
orang tidak mengalami gejala sama sekali. Gejala dari astigmatisma meliputi :23
• Pandangan kabur, terdistorsi, atau kabur dari semua jarak (dekat dan jauh)
• Kesulitan melihat pada malam hari
• Mata tegang
• Memyipitkan mata
• Iritasi mata
• Pusing

2.4 Diagnosis kelainan refraksi


Diagnosis kelainan refraksi ditegakkan dengan pemeriksaan tajam
penglihatan, ditentukan dengan melihat kemampuan mata membaca huruf-huruf
berbagai ukuran pada jarak baku pada kartu Snellen. Hasilnya dinyatakan dengan
angka pecahan seperti 6/6 untuk penglihatan normal. Pada keadaan ini mata dapat
melihat dan membaca huruf pada jarak 6 meter yang seharusnya dapat dilihat
pada jarak tersebut. Tajam penglihatan normal rata-rata bervariasi antara 6/4
sampai 6/6 (atau 20/15 atau 20/20 meter).26
Pemeriksaan penurunan visus dilakukan satu mata bergantian dan biasanya
pemeriksaan refraksi dimulai dengan mata kanan terlebih dahulu lalu kemudian
mata kiri. Kartu Snellen di letakkan di depan pasien, pasien duduk menghadap
kartu Snellen dengan jarak 6 meter dan satu mata ditutup dan biasanya dimulai
dengan menutup mata kiri terlebih dahulu untuk menguji mata kanan, dengan
mata yang terbuka pasien diminta untuk membaca baris terkecil yang masih dapat
dibaca kemudian diletakkan lensa +0,50 D untuk menghilangkan akomodasi saat
pemeriksaan di depan mata yang dibuka, bila penglihatan tidak membaik, berarti

22
pasien tidak hipermetropi, bila bertambah jelas dan dengan kekuatan lensa yang
ditambah perlahan-lahan menjadi membaik berarti pasien tersebut menderita
hipermetropi. Lensa positif yang terkuat yang masih memberikan ketajaman
terbaik merupakan ukuran lensa koreksi untuk mata tersebut, bila penglihatan
tidak bertambah baik, maka diletakkan lensa negatif. Bila menjadi jelas, berarti
pasien menderita Miopia. Ukuran lensa koreksi adalah lensa negative teringan
yang memberikan ketajaman penglihatan yang maksimal, bila penglihatan tidak
maksimal pada kedua pemeriksaan untuk hipermetropi dan miopi dimana
penglihatan tidak mencapai 6/6 atau 20/20 aka lakukan uji pinhole untuk
mengetahui apakah mata ini mengalami kelainan anatomi atau tidak.26

23
2.5 Ringkasan pustaka

Tabel 2.1 Ringkasan pustaka


Peneliti Lokasi Studi Subjek Variabel penelitian Waktu Hasil
penelitian penelitian penelitian
Usman S, Nukman E, Indonesia Cross Sectional 85 Mahasiswa Variabel bebas faktor 2014 1. Terdapat hubungan
Bebasari E. FK Univ Riau keturunan, aktivitas yang bermakna antara
melihat dekat, faktor keturunan dengan
Variabel terikat kejadian myopia
myopia 2. Tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara
aktivitas melihat dekat
kejadian myopia.29
Komariah C, Indonesia Deskriptif 123 Siswa SD Variabel bebas kebiasaan 2013 Terdapat hubungan antara
Wahyu AN. membaca, aktivitas di kebiasaan membaca, aktivitas
depan komputer, status di depan komputer dan status
refraksi orang tua refraksi orang tua dengan
Variabel terikat status status refraksi.7
refraksi

24
2.6 Kerangka teori

Kelainan refraksi

Genetik Perkembangan Lingkungan

Riwayat keluarga yang  membaca terlalu dekat atau aktifitas


mengalami kelainan jarak dekat dan lama
refraksi Normal BBLR,  kurangnya faktor atau aktifitas jarak
Prematur jauh
 pencahayaan yang ekstra kuat dan
lama (dari televisi atau lampu)

Mempengaruhi sel
dalam tubuh

Merusak anatomi dari


mata
Faktor predisposisi

Kelainan refraksi

Gambar 6. Kerangka Teori

25
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka konsep


Agar tujuan penelitian dapat terlaksana dan menjawab pertanyaan dari
rumusan masalah, maka dibutuhkan adanya kerangka konsep untuk melakukan
penelitian. Berikut gambaran kerangka konsep penelitian :

VARIABEL INDEPENDEN VARIABEL DEPENDEN

Faktor Kelainan
Keturunan Refraksi

VARIABEL PERANCU
1. Karakteristik
Responden (usia,jenis
kelamin)
2. Posisi badan saat
membaca
3. Lamanya membaca
4. Lamanya menonton TV

3.2 Variabel penelitian


3.2.1 Variabel tergantung
Variabel tergantung pada penelitian ini adalah kelainan refraksi
3.2.2 Variabel bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah faktor keturunan
3.2.3 Variabel perancu
Variabel perancu pada penelitian ini adalah karakteristik responden, posisi
badan saat membaca, lamanya membaca dan lamanya menonton TV.

26
3.3 Definisi operasional

Variabel Definisi operasional Alat ukur Cara ukur Skala ukur Hasil ukur
Penderita Pasien yang telah didiagnosa Kuesioner Responden responden mengisi Ordinal Miopia,
Kelainan menderita kelainan refraksi kuesioner Astigmatisma,
Refraksi menurut hasil kuesioner Hypermetropia

Usia Usia yang di ambil antara 15- Kuesioner Responden responden mengisi Ordinal Tahun
17 tahun kuesioner

Jenis Jenis kelamin anak yang Kuesioner Responden responden mengisi Nominal 1: Laki-laki
Kelamin merupakan subyek penelitian kuesioner 2: Perempuan

Posisi saat Kuesioner Responden responden mengisi Nominal 1: Selalu


Membaca kuesioner tiduran/rebahan
2: Lebih sering
tiduran/rebahan
3: Lebih sering
duduk
4: Selalu duduk

Lamanya Gangguan penurunan Kuesioner Responden responden mengisi Nominal 1: 1-2 jam
Membaca ketajaman penglihatan pada kuesioner 2: 2-3 jam
anak 3: >3 jam

27
Lamanya Gangguan penurunan Kuesioner Responden responden mengisi Nominal 1: 1-2 jam
menonton TV ketajaman penglihatan pada kuesioner 2: 2-3 jam
anak 3: >3 jam

Faktor Faktor keturunan dari orang Kuesioner Responden responden mengisi Nominal 1 : Berkacamata (-)
keturunan tua mempengaruhi kelainan kuesioner 2 : Berkacamata (+)
refraksi pada anak 3 : Silindris
4 : Tidak
berkacamata

Tabel 3.1 Definisi Operasional

28
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Desain penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain penelitian potong
silang atau cross-sectional.
4.2 Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMAN 107 Jakarta Timur. Pengumpulan data
dilaksanakan dari November 2015 sampai dengan Desember 2015
4.3 Populasi dan sampel penelitian
4.3.1 Populasi penelitian
Populasi yang dipilih adalah siswa SMA Negeri 107 Jakarta dan memakai
kaca mata.
4.3.2 Besar sampel dan cara pengambilan sampel
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah siswa SMA Negeri 107
Jakarta kelas II IPA yang memenuhi kriteria. Teknik pengambilan sampel adalah
consecutive non random sampling, dimana semua calon responden yang datang dan
memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai didapatkan jumlah
sampel yang dibutuhkan. Jumlah sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini
sesuai dengan perhitungan berdasarkan rumus yang sudah ditetapkan.
Populasi infinit:

n0 = z2 x p x q n0 = 1,962 x 0,25 x (1-0,25)


d2 (0,05)2

n0 = 288,12 = 288

Keterangan
n0 : Besar sampel optimal yang dibutuhkan
z : Pada tingkat kemaknaan 95% besarnya 1,96
p : Prevalensi / proporsi kelompok yang menderita kelainan refraksi
q : Prevalensi / proporsi yang tidak menderita kelainan refraksi (1-p)
d : Akurasi dari ketepatan pengukuran, untuk p = > 10 % adalah 0,05

29
Rumus populasi finit:

n = no n = 288
_____ ________
1+ (n0/N) 1+ (288/108) n = 78,6 = 79

Keterangan
n : Besar sampel yang dibutuhkan untuk populasi yang finit
n0 : Besar sampel dari populasi infinit
N : Besar populasi finit
Dengan perkiraan drop out sebesar 15% dari jumlah sampel yang telah
didapatkan, maka:
n = 79 x 15%
= 11,85 79 + 11,85 = 90,85  91 orang
Setelah ditambah drop out sebesar 15%, sehingga pada penelitian ini didapatkan
jumlah besar sampel sebanyak 91 orang.
4.3.3 Kriteria inklusi
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Siswa/i kelas II IPA yang menderita kelainan refraksi di SMAN 107 Jakarta
2. Siswa/i SMAN 107 kelas II IPA yang memakai kacamata
4.3.4 Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Siswa/i yang tidak hadir
2. Siswa/i yang bermata merah
4.4 Bahan dan instrument penelitian
Dalam penelitian ini, data yang dikumpulkan berupa data primer. Alat yang
digunakan untuk memperoleh data tersebut tersebut dalam penelitian ini adalah
kuesioner atau daftar pertanyaan dan kartu Snellen.
Data primer pada penelitian ini diperoleh dari siswa/i yang menderita kelainan
refraksi dan juga merupakan responden dengan menggunakan kuesioner yang akan
diisi sendiri oleh responden berupa data mengenai adanya penyakit kelainan refraksi
dan data mengenai faktor keturunan dan faktor-faktor lain yang menyebabkan
kelainan refraksi dan juga dengan pemeriksaan dengan menggunakan Snellen Chart
yang di lakukan oleh refraksionis yang di rekomendasikan oleh dosen pembimbing.

30
Yang sebelumnya responden telah diberikan penjelasan sebelumnya mengenai
maksud dan tujuan dari penelitian ini dan menandatangani lembar persetujuan
(informed consent).

4.5 Analisis data


Tahapan pengolahan data dimulai dari pengkodean (coding) , pemasukan data
(entry), pengecekan ulang (cleaning) dan selanjutnya dianalisis. Setelah dilakukan
pengkodean (coding) kemudian data dimasukan kedalam tabel yang telah ada (entry).
Setelah itu dilakukan pengecekan ulang (cleaning) untuk memastikan tidak ada
kesalahan dalam memasukkan data. Untuk tahap analisis , data diolah menggunakan
program komputer Microsoft excell 2010 dan Statistical Program for Social Science
versi 17 for windows.
Data yang didapat dalam penelitian ini kemudian dianalisis menggunakan
analisis bivariat.

31
4.6 Alur kerja penelitian

Sampel Penelitian

Siswa Kelas II IPA SMAN


107 Jakarta yang
berkacamata

Informed consent

Kuesioner
Wawancara

Pengumpulan Data

Analisis Data

Pelaporan dan Presentasi

Gambar 7. Alur penelitian

32
4.7 Etika penelitian
Setelah proposal telah disetujui untuk dilakukan penelitian, selanjutnya akan
mengajukan Ethical Clearance kepada Komisi Etik Riset Fakultas Kedokteran
Universitas Trisakti. Dalam penelitian ini data subjek penelitian akan dijamin
kerahasiaannya dan subjek penelitian sudah diminta persetujuan terlebih dahulu
setelah diberikan penjelasan (informed consent) untuk ikut serta dalam penelitian
secara sukarela.

33
4.8 Penjadwalan penelitian

Tabel 4.1 Penjadwalan Penelitian

34
4.9 Pembiayaan
Tabel 4.2 Pembiayaan

No Alat dan kebutuhan Jumlah Biaya


Alat
1.
1. Optotipi Snellen 1 -
@Rp. 150.000,-
2. Refraksionis 2 orang 2 x 150000 =
Rp. 300.000,-
Fotocopy 1 lembar @Rp.100,-
3. 1. Kuesioner 30 30 x 100 = Rp. 3.000,-
2. Informed consent 30 30 x 100 = Rp. 3.000,-
Print dan fotocopy
4. - Rp. 50.000,-
proposal
1 buah @Rp. 6.000,-
5. Materai 3
3 x 6000 = Rp. 18.000,-
6. Biaya tak terduga - Rp.100.000,-
Total Rp. 474.000,-

35
Daftar Pustaka

1. World Health Organization. Global Initiative for the Elimination of Avoidable


Blindness: Action Plan 2011. Geneva: WHO; 2011. 

2. Goh P.P, Abqariyah Y, Pokharel G.P, Ellwein L.B. Refractive error and visual
impairment in school –age children in Gombak District. Opthalmology.
2005;112:678– 85.
3. Ariestanti T. Handayani, Anom I GN Supradnya, Dewayani C.I Pemayun.
Characteristic of patients with refractive disorder at eye clinic of sanglah general
hospital Denpasar. Bali Medical Journal (BMJ) 2012;1:101-7. 

4. Resnikof S. Global data on visual impairment in the year 2002. Bulletin of the World
Health Organization. 2004; 82
5. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Ed 4. Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta: 2012.
6. Kelley MP. Investigation of the Relationship between Myopia and Intelligence in a
Sample of Undergraduate Students. Neuroscience & Medicine. 2011;2:313-7.
7. Komariah C, Wahyu A.N. Hubungan Status Refraksi dengan Kebiasaan Membaca,
Aktivitas di Depan Komputer, dan Status Refraksi Orang Tua pada Anak Usia
Sekolah Dasar.
Bagian Ilmu Kesehatan Mata Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Saiful
Anwar Malang. 2014;28:138-9.
8. Vitale S, Cotch MF, Sperduto R. Prevalence of visual impairment in the United State.
JAMA. 2006;295:2158-63.
9. El-Bayomi BM, Saad A, Choudhury AH. Prevalence of refractive error and low
vision among school children in Cairo. East Mediterr Health J. 2007;13:575-9.
10. Spraul C.W, Lang G.K. Optics and refractive errors. In: Lang G.K. Ophthalmology.
New York: Thieme Stuttgart. 2006.
11. Ibeinmo O, Chinyere N.P. Screening of Primary School Children for Refractive
Error in South-South Nigeria. Ethiophian Journal Health and Science. 2012; 2:129 –
34.
12. Petua merawat rabun mata. Available at : www.providenetwork.com. Accessed on
June 13th 2015.
13. David A. Goss, Theodore P, Grosvenor, Jeffrey T. Keller, Wendy Marsh- Tootle,
Thomas T. Norton. Optomettric clinical practice guideline care of the patient with
myopia. U.S.A.: American Optometric Association; 2006. 

14. Christiningrum M. Hubungan Keteraturan Pemakaian Kacamata dengan
Progresivitas Kelainan Refraksi Pada Siswa Sekolah Menengah Pertama. Universitas
Trisakti. Jakarta; 2014:22-3,56.
15. Widodo A, Prillia T. Miopia Patologi. Jurnal Oftalmologi Indonesia. 2007;5:19-26.
16. Myopia or Nearsightedness. Available at : http://www.eyehealthweb.com/myopia.
Accessed on August, 15th 2015.
17. Jones L.A, Sinnott L.T, Mutti D.O, Mitchell G.L, Moeschberger M.L, Zadnik K.
Parental History of Myopia, Sports and Outdoor Activities, and Future Myopia. Invest
Ophthalmol Vis Sci. 2007;48:3524-32.
18. American Optometric Association (AOA). Care of the patient with hyperopia.
Available from: http://www.aoa.org/documents/optometrists/CPG-16.pdf. Accessed
on June 13th 2015.
19. E Nandy, Laya M.R., Rares. Hubungan Kelainan Refraksi dengan Prestasi Belajar
Anak di SMP Kristen Eben Haezar 2 Manado. Available at:
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/issue/view/577. Accessed on May
22nd 2015.

36
20. American Optometric Association (AOA), 2008. Astigmatism. Available from:
http://www.aoa.org/patients-and-public/eye-and-vision-problems/glossary-of-eye-
and-vision-conditions/astigmatism?sso=y. Accessed on June 15th 2015.
21. Perbedaan mata normal dengan astigmatisma. Available at : www.medicinesia.com.
accessed on June 15th 2015.
22. Neuro-Ophtahlmology. In: American Academy Of Ophthalmology. Basic and
Clinical Science Course, section 5. 2010.
23. Kivi R, Boskey E. Astigmatism. Available from :
th
http://www.healthline.com/health/astigmatism#Overview1. Accessed on June 18
2015.
24. Damaian C, Artur M, Maria U, et al. Prevalence of Refractive Error in School
Children Ranging from 6 to 18 years of Age. Journal Annales Academiae Mediciae
Stetinensis. 2007;53:53-6.
25. Vaughan D.G, Asburg T, Paul R.E. Anatomy and Embriology of The Eye. General
Ophthalmology. Mc. Graw Hill Companies. USA. 2004;16:25-7.
26. John T, Thomas T. Perspective : How Might Emmetropization and Genetic Factors
Produce Myopia in Normal Eyes?. Optometry and Vision Science. 2011;88:365-72.
27. Sulistya T.B, Dewi D.S, Suyuti H, Sumarno. Hubungan Antara Kadar Enzim
Glutation Reduktase dengan Derajat Kekeruhan Inti Lensa. Jurnal Kedokteran
Brawijaya. 2006;22:40-1.
28. Moore K.L, Dalley A.F, Agur A.M.R. Clinically Oriented Anatomy.
Philadelphia:Lippincott William and Wilkins. 6th ed. 2010.P. 889-909.
29. Usman S, Nukman E, Bebasari E. Hubungan Antara Faktor Keturunan, Aktivitas
Melihat Dekat dan Sikap Pencegahan Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Riau Terhadap Kejadian Miopia. JOM FK. 2014;1:1-2.
30. Johnson R.W. Anatomy for ophthalmic anaesthesia. British Journal of Anaesthesia.
Available at : http://bja.oxfordjournals.org/content/75/1/80.full.pdf. Accessed on July,
28th 2015.

37
Lampiran-1

INFORMED CONSENT

”Hubungan Keteraturan Pemakaian Kacamata dengan Tingkat Perbaikan


Kelainan Reraksi pada Siswa SMP”

Salam, saya Anto Triwibowo 030.12.028 mahasiswa semester tujuh dari


Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta yang sedang melakukan
penelitian mengenai ”Hubungan Faktor Keturunan dengan Angka Kejadian
Kelainan Refraksi pada SMA” Sehubungan dengan penelitian tersebut, saya
sangat berharap saudara bersedia menjadi responden dan menjawab kuisioner
di bawah ini serta berpartisipasi dalam pemeriksaann visus bagi siswa-siswi
yang berkacamata. Kerahasiaan data ini akan saya jaga dan bila saudara setuju,
saya akan mulai wawancara dan pemeriksaan ini.

Dengan ini, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : (L/P)

Umur : tahun

Alamat :

Bersedia mengikuti kuisioner dan berpartisipasi dalam pemeriksaan tanpa

paksaan

Jakarta,

Mengetahui
Peneliti Responden

(Anto Triwibowo) ( )

38
Lampiran-2

FORMULIR KUISIONER
Penelitian Tentang Kesehatan Pemakaian Kacamata
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
September 2015

Pilihlah jawaban yang paling sesuai dengan keadaan anda dengan cara
MELINGKARI pilihan yang tersedia. Setiap pertanyaan yang tercantum di
bawah HARUS DIISII

1. Nama anda : ___________________ Kelas : I / II


2. Jenis kelamin : Laki-laki / Perempuan
3. Tempat, tanggal lahir : ___________________
4. Apakah anda teratur memakai kacamata :
1. Ya
2. Tidak
5. Apakah Ayah anda memakai kacamata minus / melihat dekat :
1. Ya
2. Tidak
6. Apakah Ayah anda memakai kacamata positif / untuk melihat jauh :
1. Ya
2. Tidak
7. Apakah Ayah anda memakai kacamata silinder :
1. Ya
2. Tidak
8. Apakah Ibu anda memakai kacamata minus / melihat dekat :
1. Ya
2. Tidak
9. Apakah Ibu anda memakai kacamata positif / untuk melihat jauh :
1. Ya
2. Tidak

39
10. Apakah Ibu anda memakai kacamata silinder :
1. Ya
2. Tidak
11. Pemakaian kacamata pertama kali :
a. Tahun _________, atau Kelas ____________(SD / SMP).

b. Ukuran minus : kanan ______, kiri ______

c. Ukuran selinder : kanan ______, kiri ______

d. Ukuran positif : kanan ______, kiri ______

12. Pemakaian kacamata terakhir kali/waktu sekarang :


e. Tahun _________, atau Kelas ____________SMP

f. Ukuran minus : kanan ______, kiri ______

g. Ukuran selinder : kanan ______, kiri ______

h. Ukuran positif : kanan ______, kiri ______

13. Apakah anda memakai kacamata saat membaca buku (lingkari salah satu
yang paling cocok ) :
a. Selalu tidak memakai

b. Lebih sering tidak memakai

c. Lebih sering memakai

d. Selalu memakai

14. Apakah anda memakai kacamata saat beraktivitas ?


(lingkari salah satu yang paling cocok ) :
a. Selalu tidak memakai

b. Lebih sering tidak memakai

c. Lebih sering memakai

d. Selalu memakai

40
15. Apakah anda memakai kacamata saat menonton televisi ?
(lingkari salah satu yang paling cocok ) :
a. Selalu tidak memakai

b. Lebih sering tidak memakai

c. Lebih sering memakai

d. Selalu memakaii

16. Bagaimana posisi badan anda saat membaca membaca buku di rumah?
(lingkari salah satu yang paling cocok ) :
a. Selalu tiduran / rebahan

b. Lebih sering tiduran/ rebahan

c. Lebih sering duduki

d. Selalu duduk

17. Berapa lama waktu anda menonton tv di rumah? (lingkari salah satu yang
paling cocok ) :
a. <2 jam

b. 2-3 jam

c. >3 jam

18. Berapa lama waktu anda membaca buku di rumah? (lingkari salah satu yang
paling cocok ) :
a. <2 jam

b. 2-3 jam

c. >3 jam

KUISIONER TELAH SELESAI


TERIMA KASIH ANDA TELAH MENGISI KUISIONER INI

-------------------------------------------------------------------------------------------------

41
DIISI OLEH PENELITI

Ukuran kelainan refraksi pada mata pada tanggal __/__/__

Miopi : Normal ; Kanan : ______ ; Kiri : _______

Hipermetropi : Normal ; Kanan : ______ ; Kiri : _______

Astigmatisma : Normal ; Kanan : ______ ; Kiri : _______

42
43
44
45
46
47
48

Anda mungkin juga menyukai