Anda di halaman 1dari 18

PEMBAGIAN EPISTEMOLOGI HABERMAS

DAN IMPLIKASINYA TERHADAP METODOLOGI


PENELITIAN SOSIAL-BUDAYA

THE CLASSIFICATION OF HABERMAS EPISTEMOLOGY


AND ITS IMPLICATION TOWARD SOCIAL-CULTURAL
RESEARCH METHODOLOGY
Anas Saidi
Peneliti pada Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan-LIPI
anastopone@yahoo.com

Abstract
As a branch of philosophy which studies the nature of science, epistemology seems to be
neglected in the research world. Some of young researchers assume that epistemology is only an
abstract philosophical material unrelated with the methodology. As a consequence, research is
often conducted based on the known methods rather than the nature of the reality. From the
very beginning, therefore, the research has been biased in methodology. This paper discusses
the classification of Habermas’ epistemology. Habermas has classified the science paradigm
into three categories, namely (1) Positivism (Technical knowledge interest or dominative
knowledge), (2) Interpretative Paradigm (Humanistic or practical knowledge Interest or
descriptive science), and (3) Critical Paradigm (Emancipatory knowledge interest/ liberating
knowledge). Understanding the strengths and weaknesses of each paradigm will encourage the
researchers to determine the appropriate methodology based on the the nature of reality.
Keywords: implication, epistemology, methodology, social-cultural, Jurgen Habermas

Abstrak
Sebagai cabang filsafat yang memelajari hakikat ilmu pengetahuan, epistemologi agaknya
paling terabaikan dalam dunia penelitian. Sebagian peneliti muda umumnya beranggapan bahwa
epistemologi hanyalah ulasan filsafat yang abstrak dan tidak ada kaitannya dengan metodologi.
Implikasinya, setiap penelitian yang dilakukan tidak didasarkan pada sifat realitas yang akan
diteliti, tetapi lebih pada pilihan metode yang dikuasai. Akibatnya, penelitian yang dilakukan
telah mengalami bias metodologi sejak dari awalnya. Tulisan ini akan menguraikan pembagian
epistemologi menurut Jurgen Habermas. Filsuf ini telah membagi paradigma Ilmu Pengetahuan
menjadi tiga, yaitu (1) Paradigma positivisme atau juga disebut sebagai technical knowledge
interest/ ilmu pengetahuan dominatif, (2) Paradigma Interpretatif/ Humanistik atau juga disebut
sebagai practical knowledge interest/ ilmu pengetahuan deskriptif, dan (3) Paradigma Kritis
atau yang disebutemancipatory knowledge interest/ilmu pengetahuan yang membebaskan.
Dengan mengetahui kelebihan dan kelemahan masing-masing paradigma tersebut, diharapkan
peneliti dapat menyadari bahwa penetapan metodologi yang digunakan akan disesuaikan dengan
sifat realitas yang diteliti.
Kata kunci: implikasi, epistemologi, metodologi, sosial-budaya, Jurgen Habermas

Pendahuluan dengan metodologi, apalagi metode penelitian


yang dibutuhkan. Ketidaktahuan relasi antara
Epistemologi, barangkali, cabang filsafat
epistemologi dengan metodologi memiliki
yang bersentuhan dengan metodologi penelitian
implikasi serius bagi penelitian sosial-budaya
sosial, tetapi paling “terabaikan” diperkenalkan
yang dilakukan. Pilihan penetapan metodologi
kepada para peneliti muda. Sejak mahasiswa
atau lebih tepatnya metode, yang tidak
umumnya mereka hanya diperkenalkan metode
didasarkan pada pilihan epistemologi sebagai
kuantitatif (survei) atau kualitatif (etnografi-
filter atas sifat realitas yang diteliti, mengundang
hermeneutik), tanpa diperkenalkan landasan
bias awal yang akut. Sifat realitas yang beragam
filosofis yang ada di belakangnya. Epistemologi
akhirnya sekadar dihampiri oleh pilihan
seringkali hanya dianggap sebagai filsafat ilmu
metodologi yang semena-mena. Bagi mereka
pengetahuan yang abstrak dan tidak ada kaitanya
yang terbiasa menggunakan metode kuantitatif

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015 111


(survei), apapun subject matter yang diteliti akan ada baiknya dibahas secara sekilas apa
dikuantifikasi dengan uji statistik. Sebaliknya, sebenarnya yang menjadi konsentrasi dalam
bagi mereka yang memiliki kebiasaan epistemologi; khususnya hubungannya dengan
melakukan penelitian kualitatif, apapun jenis ontologi.
datanya akan menggunakan etnografi, misalnya.
Secara definitif, ontologi sering
Tulisan ini akan memperkenalkan epistemologi
didefinisikan sebagai being of reality atau “From
dan implikasinya terhadap metododolgi
a philosophical point of view, ontology is the
penelitian sosial-budaya, dengan mengikuti
science or study of being”. ...Ontological
pembagian filsuf kenamaan, Jurgen Habermas
assumptions are concerned with what we believe
yang juga profesor pada Universaitas Frankfrut,
constitutes social reality (Blaikie, 2000: 8). …
Jerman.
Sementara itu, epistemology is the science of
Jurgen Habermas adalah filsuf generasi knowing, methodology (a subfield of epistemology)
kedua dari mazab Frankfurt yang lahir di might be called “the science of finding out”
Dusseldorf, Jerman, tahun 1929. Seperti (Babbie, 1992: 7).
umumnya keluarga Jerman pada tahun 1930-an
Kaitan antara ontologi, epistemologi dan
dan 1940-an, keluarga Habermas juga pro-Nazi.
metodologi inilah sering kali disebut
Habermas sendiri, menjelang akhir perang dunia
paradigma. Istilah ini pertama kali dipopulerkan
kedua, juga bergabung dengan Pemuda Hitler.
oleh Thomas Kuhn (1970) dalam bukunya yang
Namun, akhirnya ia menyadari kebrutalan
terkenal The Structure of Scientific Revolutions.
Nazisme. Pengalaman itu rupanya yang
Secara sederhana paradigma dapat diartikan
membuat Habermas menghabiskan seluruh
sebagai serangkaian keyakinan dasar yang
minatnya untuk mempelajari dan memromosikan
membimbing tindakan (Guba, 1990: 17).
demokrasi sepanjang karyanya. Habermas
Paradigma berkaitan dengan prinsip-prinsip
belajar filsafat dan memperoleh doktor yang
dasar. Paradigma adalah konstruksi manusia.
pertama pada tahun 1954 di bawah bimbingan
Paradigma menentukan pandangan dunia. Ada
Thedoro Adorno dan Max Horkheimer. Di
tiga elemen yang ada dalam paradigma, yaitu
sinilah Habermas memulai dialog panjang
ontologi, epistemologi, dan metodologi.
dengan Kant, Hegel, Marx, dan Weber.
Ontologi berbicara tentang hakikat realitas,
Pengetahuannya yang sangat luas dan epistemologi berbicara tentang hakikat ilmu
sulit dipahami itu antara lain meliputi masalah: pengetahuan, dan metodologi berbicara cara
sosiologi, linguistik, sejarah, hukum dan memperoleh pengetahuan.
demokrasi, epistemologi dan moralitas.
Dalam dunia ilmu pengetahuan sosial
Meskipun tema utamanya yang paling kuat
terdapat sejumlah kategori paradigma yang
adalah mempromosikan demokrasi radikal --
dilakukan para ahli. Egon G. Guba (1990) telah
proses demokrasi yang inklusif, partisipatif,
membagi menjadi empat paradigma; (1)
informatif, dan deliberalif (partisipasi yang
paradigma positivisme: (2) paradigma post-
membebaskan). Kuatnya semangat bahwa
positivisme; (3) konstruksivisme; (4) teori kritis.
perlunya apa yang ia sebut “emancipatory
Poluma (1987) membagi menjadi tiga
knowledge” (pengetahuan yang membebaskan),
paradigma, yaitu Paradigma Fakta Sosial
membuat Habermas digolongkan ke dalam
(Durheimian), Paradigma Definisi Sosial (Weberian),
paradigma teori Kritis. Beberapa bukunya yang
dan Paradigma Behaviorisme (Skinnerian).
utama antara lain: The Structural
Sementara Habermas (1968) membagi menjadi
Transformation of the Public Sphere (1989),
tiga paradigma, yaitu (1) Positivisme, (2)
Knowledge and Human Interest (1971),
Interpretatif/ Humanistik, dan (3) Kritis. Dalam
Legitimation Crisis (1975), The Theory
perspektif sosiologi klasik, paradigma Posivistik
Communication Action (1984) dan Between Fact
seringkali dikaitkan dengan Emile Durkheim,
and Norm (1986).
Paradigma Interpretatif dengan Max Weber, dan
Tulisan ini hanya akan mengulas Paradigma Kritis dengan Karl Marx.
pandangan epistemologinya, khususnya atas
Pada dasarnya hampir tidak ada
pembagian yang dilakukan dan implikasinya
perbedaan yang mendasar atas pembagian
terhadap metodologi ilmu sosial-budaya. Untuk
paradigma tersebut, terutama jika dilihat dari
membawa pada pengertian yang lebih rinci
sumber ontologi dan epistemologi yang dianut.
kaitan antara epistemologi dengan metodologi,
Epistemologi Positivistik berangkat dari asumsi

112 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015


filsuf Windeband tentang nomotetis yang Pertama, apakah realitas sosial itu objektif yang
diteruskan oleh Comte, Durkhiem, dan terutama berpusat pada pengalaman (indra) atau subjektif
sekali dipopulerkan oleh Karl Popper. yang bertumpu pada makna. Kedua, apakah ilmu
Paradigma interpretatif didasarkan pada pengetahuan itu bebas nilai (free value) atau
epistemologi filsuf Dilthey tentang ideografis, terikat nilai. Ketiga, apakah realitas sosial itu
ditemukan fakta sosiologisnya pada Max bersifat deterministik, bersifat kausalitas, dan
Weber, Husserl, Albert Schutz, Gadamer, linier atau sebaliknya bersifat cair dan siklus.
Ricoeur, Geertz, dan Peter Berger. Adapun Keempat, apakah asumsi kebenaran itu harus
paradigma Kritis didasarkan pada pemikiran dibuktikan melalui verifikasi pengalaman
Karl Marx, yang dipopulerkan oleh kelompok indrawi atau melalui pemahaman (tafsir).
Frankfrut, seperti: Adordo, Herbert Marcuse,
Perdebatan itu ternyata memiliki
dan termasuk Jurgen Habermas.
implikasi luas. Pertama, bagi kaum positivis
pewaris tradisi Aristotelian realitas itu bersifat
Ontologi: Ada dan Menjadi
objektif dan hanya dapat diketahui melalui
Dalam dunia filsafat, perdebatan tentang pengalaman indrawi. Bagi realisme “dunia yang
hakikat realitas (being of reality) itu sudah kita ketahui berada terlepas dari pengetahuan
dimulai oleh Parminides (540-515 SM) filsuf kita terhadapnya”. Sebaliknya, bagi kaum
Yunani Kuno pertama yang memikirkan dasar ideografis (subjektivis) realitas merupakan hasil
segala sesuatu secara ontologis. Menurut konstruksi berbagai kepentingan yang bersifat
Parmenides segala yang ada dalam “Ada” (all subjektif.
what is) dengan ungkapan yang terkenal “yang
Kedua, bagi kaum positivis ilmu adalah
ada itu ada, yang tidak ada itu tidak ada”.
bebas nilai.Tidak ada pertanyaan moral yang
Parmenides meyakini ketetapan nalar dalam
dapat disertakan dalam kebenaran ilmu. Tugas
menyerap dan memeluk kebenaran mutlak,
ilmuwan hanyalah memotret realitas itu apa
yakni “Ada”. Sebaliknya menurut Herakleitos
adanya (how to know) dan tidak ada kewajiban
(540-475 SM), yang ada itu menjadi (becoming).
untuk mengubahnya (how to change). Sebaliknya
Dengan kata lain, Parmenides menekankan
bagi kaum subjektivis (kelompok kritis), ilmu
tentang “Ada” dan Herakleitos menekankan
tidak netral. Tugas ilmuwan bukan sekadar
yang ”menjadi” (Adian, 2010:1).
mengetahui realitas (how to know) secara apa
Perdebatan itu dilanjutkan Plato dan adanya, tetapi juga berkewajiban untuk mengubahnya
Aristoteles yang mempersoalkan subtansi (how to change).
realitas. Plato yang terkenal dengan gagasannya
Ketiga, pada hakikatnya dalam ilmu
tentang ide, menyebutkan bahwa sumber
pengetahuan (sosial) ada keteraturan (pattern)
pengetahuan itu terletak pada “gagasan”
yang dapat dilacak sebab-akibatnya dan jalannya
(idealisme) yang bersumber pada fikiran.
perubahan bersifat linier. Karenanya dapat
Sebaliknya Aristoteles menganggap sumber
diramalkan. Sebaliknya bagi kaum subjektivis,
pengetahuan adalah (realisme) yang bertumpu
tidak ada keteraturan yang dibakukan dalam
pada empirisme. Perdebatan ini ditengahi oleh
sebab-akibat yang deterministik. Terlalu banyak
Immanuel Kant dengan kata-katanya yang
keunikan yang tidak bisa diseragamkan dan
terkenal bahwa “pikiran tidak bisa melihat,
diprediksi secara matematis, karena jalannya
pancaindra tidak bisa berfikir”. Intinya sumber
realitas cenderung mengulang (siklus).
pengetahuan bermuara dari keduanya.
Keempat, kebenaran realitas sosial
Dengan demikian kita tidak dapat
hanya bisa disebut objektif, jika dapat dibuktikan
membicarakan masalah epistemologi, sebelum
(verified) melalui verifikasi empiris yang dapat
mendiskusikan masalah ontologi. Sebab, ontologi
ditempuh melalui uji-statistik. Bagi kaum
merupakan asumsi dasar tentang hakikat realitas
subjektivis kebenaran bukan sekadar fakta,
yang harus dipahami sebelum membicarakan
melainkan lebih berkaitan dengan nilai (makna)
asumsi tentang hakikat ilmu pengetahuan.
dan makna tidak dapat direduksi melalui
Demikian juga kita tidak dapat membahas
verifikasi atau falsifikasi, melainkan oleh
masalah metodologi tanpa membahas lebih dulu
pemahaman (tafsir).
masalah epistemologi.
Perdebatan apakah ilmu itu “bebas nilai”
Sementara itu, ada sejumlah masalah
dan netral atau sebaliknya terikat nilai dan tidak
yang biasanya dipersoalkan dalam epistemologi.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015 113


netral telah memiliki implikasi terhadap peran Epistemologi inilah yang menjadi dasar
ilmuwan. Apakah peneliti dan objek yang metodologi penelitian kualitatif. Bidang yang
diteliti harus dianggap terpisah atau keduanya biasanya dikategorikan dalam ilmu-ilmu
harus dilibatkan sebagai instrumen perubahan historis-hermeneutik antara lain sejarah, ilmu
sosial. Implikasinya apakah seorang ilmuan pengetahuan budaya, dan ilmu kemanusiaan
hanya bertugas untuk memotret realitas sosial itu lainnya. Tujuannya untuk mengungkapkan
secara apa adanya, berjarak, dan tidak makna, sedangkan yang diusahakan adalah
bertanggungjawab atas realitas itu ataukah peningkatan saling pengertian dengan tujuan
mereka bertanggungjawab atas perubahan sosial tindakan bersama.
seperti yang dikehendaki.
Ketiga, paradigma kritis atau critical/
Sementara itu, Habermas membagi emancipatory knowledge. Bagi paradigma ini,
paradigma ilmu pengetahuan menjadi tiga. ilmu sosial lebih dipahami sebagai proses
Pertama, paradigma instrumental knowledge. katalisasi untuk membebaskan (emancipatory)
Dalam paradigma ini pengetahuan lebih manusia dari segenap ketidakadilan. Paradigma
dimaksudkan untuk menaklukkan dan ini memperjuangkan pendekatan yang bersifat
mendominasi objeknya.Yang digolongkan dalam holistik serta menghindari cara berfikir
paradigma ini adalah Positivisme. Positivisme determinisktik dan reduksionistik. Paradigma
adalah suatu aliran filsafat yang berakar pada inilah yang menjadi penyumbang utama Action
tradisi ilmu sosial yang dikembangkan dengan Research atau yang juga terkenal dengan
mengambil cara tradisi ilmu pengetahuan ilmu Participatory Action Research (PAR) dan
alam, dengan kepercayaan adanya generalisasi Community Base Research (CBR) itu.
dan universalisme.Tujuan ilmu pengetahuan Kelompok ini oleh Habermas dikategorikan
adalah untuk menemukan hukum-hukum dalam sebagai ilmu tindakan. Bidang yang termasuk
fenomena alam dan fenomena sosial (Habermas, dalam kategori ini antara lain ilmu ekonomi,
1968, Akhyar, 2011). Prinsip-prinsip epistemologi sosiologi, atau ilmu-ilmu reflektif, seperti kritik
inilah yang menjadi dasar dari penelitian ideologi atau filsafat. Kepentingan internal
kuantitatif. kategori ilmu ini adalah pembebasan. Metode
dasar ilmu-ilmu ini adalah refleksi kritis atas
Habermas mengelompokkan sebagai
sejarah subjek manusiawi (Habermas, 1968;
ilmu empiris-analitis, yang perlakuannya seperti
Magnis, 1990).
ilmu alam. Tugasnya mencari hukum-hukum
kausalitas yang bersifat nomotetis. Tujuan ilmu Jika dalam paradigma Positivis tugas
ini pada dasarnya untuk penguasaan alam. ilmu adalah untuk meramalkan, mencari
Habermas menunjuk bahwa apa yang biasanya penjelasan sebab-musabab, dalam paradigma
dianggap sebagai pengamatan-pengamatan indrawi Interpretatif tugas ilmu adalah untuk memahami
bukanlah sebuah pengamatan, melainkan realitas, mencari makna. Sementara dalam
pengorganisasian kesan-kesan indrawi di bawah paradigm kritis tugas ilmu bukan hanya untuk
kepentingan penggunakan teknis proses-proses memotret realitas, tetapi juga mengubahnya
yang diobjektifkan (Habermas, 1968; Magnis, (membebaskan). Dalam ilmu-ilmu humaniora
1990; Akhyar, 2011). (Geisteswissenschaften) fakta-faktanya hanya
bisa ditangkap dengan Verstehen (pemahaman),
Di dalam ilmu-ilmu empiris-analitis,
yang di dalamnya tidak begitu penting untuk
sistem referensi yang sudah mengambil sikap
hukum-hukum umum (generalisasi). Fenomenologi
lebih dulu terhadap makna dari pernyataan-
menyingkapkan kemampuan-kemampuan suatu
pernyataan yang mungkin dihasilkan oleh ilmu-
subjektivitas yang memberi makna. Dalam
ilmu empiris menetapkan aturan-aturan, baik
pandangan Husserl, subjektivitas yang aktif ini
untuk membangun teori-teori maupun untuk
menghilang di bawah selimut pemahaman diri
pengujiannya secara kritis (Habermas, 1968:
yang objektif.
165).
Ilmu-ilmu historis-hermeneutis memperoleh
Kedua, paradigma ilmu-ilmu historis
pengetahuannya dalam kerangka metodologis
hermeneutik (hermeneutic knowledge, interpretative
yang lain. Di sini makna validitas pernyataan-
knowledge). Dasar filsafat aliran ini adalah
pernyataan tidak mengkonstitusikan diri di
phenomenology dan hermeneutics, yaitu tradisi
dalam sistem referensi penguasaan teknis.
filsafat yang lebih menekankan minat yang besar
Pemahaman makna (sinnverstehen), dan bukan
untuk memahami (verstehen, understand).

114 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015


pengamatan, yang merintis jalan menuju fakta- Dalam penelitiannya tentang bunuh diri,
fakta. Pengujian hipotesis-hipotesis yang melalui data statistik, Durkheim melihat
sistematis digantikan oleh penafsiran teks keajegan yang mencolok dalam data yang
(Habermas, 1968). ditemui dan ternyata gejala itu tidak dapat
dijelaskan melalui faktor-faktor iklim,
Di dalam dunia filsafat, perdebatan
keturunan, penyakit jiwa, dan sebagainya.
antara epistemologi Positivistik dengan
Keajegan itu harus dijelaskan secara sosial. Data
epistemologi interpretatif (hermeneutik) sebenarnya
juga menunjukkan bahwa orang-orang yang
sudah lama terjadi. Jauh sebelum Habermas
sendirian ternyata lebih banyak yang bunuh diri
(1968) membagi tipe ilmu pengetahuan sosial
daripada orang yang sudah menikah. Hal ini
itu. Filsuf Jerman Wilhelm Dilthey (1833-1911)
menunjukkan tidak adanya kepaduan kelompok
dan Windeband telah mempermasalahkan apa
(kohesi sosial). Oleh karena itu, fenomena yang
yang mereka namakan ilmu ideografis dan ilmu
menunjukkan lebih banyak orang Protestan yang
nomotetis. Ilmu nomotetis (beta) berkaitan
bunuh diri daripada orang Katolik dapat
dengan pengkajian ilmu alam (natural science)
dijelaskan, yaitu karena orang Katolik lebih
dengan gejalanya yang berulang-ulang,
terikat pada komunitas-komunitas keagamaan,
memungkinkan terciptanya sebuah hukum.
sedangkan dalam Protestanisme terdapat anjuran
Sebaliknya ilmu ideografis (alfa) berhubungan
yang kuat untuk bertanggungjawab secara
dengan gejala yang unik dan tak berulang
individual (Denzin & Lincons, 1997;
sehingga dibutuhkan metode yang berbeda dari
Laeyendecker, 1983; Johnson, 1981). Temuan-
metode ilmu alam.
temuan inilah yang di kemudian hari melahirkan
Sementara itu, di dalam ilmu sosial, sebuah teori yang terkenal, yang menyatakan ada
khususnya sosiologi, biasanya yang disebut- korelasi positif antara lemah dan kuatnya kohesi
sebut sebagai pelopor epistemologi Positivistik sosial dengan gejala bunuh diri.
adalah Auguste Comte (1798-1875). Dia pulalah
Dari uraian singkat atas pengertian fakta
yang menamakan sosiologi sebagai fisika sosial.
sosial Durkheim di atas, sangatlah jelas apa yang
Namun, sebenarnya yang paling berjasa dalam
sebenarnya menjadi dasar epistemologi Durkheim
penggunaan metode itu adalah Emile Durkheim
yang membawa pada kesimpulan atas kebutuhan-
(1858-1917). Kendati Karl Popper (1906-1994)
kebutuhan pengutamaan faktor eksternal, keajegan
yang sebenarnya paling berjasa mempromosikan
hukum sosial, hukum kausalitas, tuntutan
logika Positivistik dalam beberapa bukunya,
objektivitas, dan sifat empiris dalam ilmu sosial
antara lain The Logic of Scientific Discovery
yang kemudian menjadi dasar epistemologi
(1959) dan Objective Knowledge (1973).
Positivistik.
Paradigma Positivistik ini pada dasarnya
Semua hal itu menampilkan ciri-ciri
terikat pada ide yang memandang sosiologi
paham Positivistik sebagai paham yang memiliki
sebagai ilmu yang memiliki kesamaan dengan
kecermatan dalam mengkonstruksikan teori,
posisi ilmu alam sebagai ilmu. Salah satu hal
khususnya dalam penyusunan proposisi yang
yang paling penting dari pandangan ini adalah
berkaitan dengan sifat teori sebagai “set of
adanya keyakinan bahwa fenomena sosial pada
interconnected propositions” di samping sebagai
dasarnya memiliki pola serta tunduk pada
“unified theory of society”. Oleh karena itu,
hukum-hukum yang deterministik, sebagaimana
konseptualisasi seharusnya mampu melakukan
hukum-hukum yang mengatur hukum ilmu alam
prediksi setelah mengalami verifikasi dan
(Poluma, 1984: 5; Tashakkori &Teddlie (Eds.),
falsifikasi.
2003).
Mengenai masalah falsifikasi, Popperlah
Emile Durkheim adalah salah satu tokoh
yang memperkenalkannya sebagai pelengkap
yang menghasilkan karya klasik yang menjadi
epistemologi Positivistik. Dengan batasan yang
tumpuan teori Positivistik. Ia menyebut sosiologi
sangat ketat antara pengetahuan ilmiah dan
sebagai “fakta sosial” dan fakta sosial itu adalah
bukan ilmiah, yaitu testabilitas, refutabilitas,
suatu konsep yang memiliki realitas empiris di
verifikasi dan falsifikasi, maka epistemologi
dalam imajinasi individu. Fakta sosial antara lain
Positivistik menjadi kokoh. Popper tidak puas
meliputi status perkawinan, usia, agama, kondisi
atas tuntutan empiris yang hanya melalui
ekonomi, tingkat bunuh diri dan kejahatan. Fakta
verifikasi tanpa falsifikasi. Sebab, hukum ilmiah
sosial atau variabel itu konkret, dapat diamati,
pada dasarnya merupakan hipotesis atau
dan dapat diukur.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015 115


merupakan dugaan belaka, yang perlu pengujian logis mereduksi apa atau bagaimana
dengan metode “trial and error”. Semakin seharusnya hasil penelitian jika hipotesis itu
sering dan semakin berhasil suatu hipotesis itu benar.
diuji serta mendapatkan konfirmasi, maka (6) Untuk menguji hipotesis, peneliti harus
semakin besar kebenarannya (Kleden, 1983). mengoperasionalkan variabel yang terkandung
dalam hipotesis dan mengujinya secara
Hal itulah yang sering dianggap sebagai
logis dan empiris.
pemecah kemacetan pendekatan induksi yang
(7) Dalam derajat tertentu perilaku manusia
menjadi dasar metode kualitatif. Induksi yang
dapat diramalkan, meskipun ramalan
selalu terbatas pada sejumlah hal yang terhingga
tersebut tidak setepat perilaku alam.
tidak mungkin dijabarkan dalam pernyataan
(8) Pengetahuan dapat disebut jika penjelasannya
umum. Sebaliknya, pernyataan umum tidak
dapat diamati oleh setiap orang melalui
dapat diverifikasikan oleh suatu proses verifikasi
pancaindra.
yang terhingga. Dengan demikian cara induksi
(9) Perilaku manusia banyak ditentukan oleh
dianggap tidak berperan dalam epistemologi atau
struktur sosial yang bersifat eksternal,
metode ilmiah.
umum, dan memaksa.
Dengan falsifikasi, seseorang teorisi (10) Unsur terpenting dalam pendekatan
selalu akan memilih teori yang akan ditolak, positivistik (objektif) adalah eksplanasi
dengan pengertian bahwa ia akan menerima atau penjelasan (Denzin & Lincons, 1997).
unsur-unsur teori lama itu yang ternyata dapat
bertahan melalui pengujian dan sekaligus Evaluasi terhadap Epistemologi Positivistik
menjelaskan di mana teori lama itu gagal dan
Kritik yang paling tajam atas paradigma
sekaligus di mana teori itu berhasil. Teori baru
Positivistik ini dilancarkan oleh historisme.
itu akan tetap dipegang selama ternyata dapat
Menurut aliran ini, metode generalisasi yang
bertahan terhadap pengujian dan akan
diambil alih oleh ilmu fisika, sangat
digugurkan apabila ternyata tidak cocok
menyesatkan. Sebab, metode eksperimen dalam
(Kleden, 1983).
ilmu-ilmu sosial tidak mempunyai arti yang
Pemikiran Popper tersebut memiliki tiga sama dengan eksperimen dalam bidang fisika.
unsur. Pertama, sebagai metode untuk testing Keajegan dalam ilmu sosial lebih bersifat semu,
hanya bisa digunakan metode deduksi. Kedua, dalam arti tidak akan diulang seperti dalam ilmu
kekuatan teori tidak dapat diukur berdasarkan alam, karena masyarakat memang selalu
verifikasi, melainkan hanya mungkin berdasarkan berubah. Ini berarti bahwa setiap saat kita harus
falsifikasi. Ketiga, pengetahuan tidak dapat siap menghadapi kejadian yang pada hakikatnya
dicari dasarnya pada observasi, melainkan hanya merupakan kejadian baru. Dan ini juga tidak
mungkin pada teori yang diajukan sebagai terjadi dalam bidang fisika. Kalaupun metode
ikhtisar pemecahan masalah (Kleden, 1983). yang digunakan dalam bidang fisika bisa
Singkatnya epistemologi Positivistik diterapkan dalam bidang masyarakat, metode itu
atau juga disebut sebagai pendekatan Objektif tidak dapat diterapkan pada sifat yang
memiliki ciri-ciri sebagai berikut. terpenting. Dengan kata lain, cara fisika tidak
akan menyumbangkan banyak kepada pengertian
(1) Cenderung menganggap manusia bersifat kita tentang perkembangan sosial.
pasif dan perubahan banyak ditentukan oleh
faktor dari luar. Lebih dari itu, dalam ilmu sosial tidak
(2) Kebenaran hanya dapat ditemukan jika dikenal suatu hal yang dapat dibandingkan
peneliti mengambil jarak dari objeknya. dengan hukum kausal yang dirumuskan secara
(3) Perilaku manusia adalah nyata, dapat matematis seperti dalam bidang fisika.
diamati, diukur melalui variabel, indikator Kendatipun begitu, menurut Historisme, ilmu
yang ditentukan dan sebagainya serta dapat sosial harus mencari penjelasan-penjelasan yang
diramalkan. bersifat kausal, misalnya, dapat menerangkan
(4) Memandang ada keteraturan dalam realitas bahwa imperialisme disebabkan oleh ekspansi
sosial dan dalam perilaku manusia, meskipun industri. Akan tetapi apabila usaha itu dilakukan
keteraturan itu bersifat probabilistik. untuk menerjemahkan hukum sosiologi ke dalam
(5) Peneliti memulai dengan suatu kerangka bentuk kuantitatif, maka usaha itu merupakan
teoritis, merumuskan hipotesis, dan secara hal yang sia-sia. Dengan kata lain, hukum sosial
tidak dapat dirumuskan secara matematis.

116 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015


Terlalu banyak “keunikan” yang terjadi dalam mempunyai hubungan dengan kebudayaan.
tingkah laku manusia. Malahan, secara Variabel seperti umur, tingkat pendidikan, jenis
konseptual, ilmu sosial tertentu lebih mengandung kelamin dan sebagainya, seperti diungkapkan
teka-teki dibandingkan ilmu alam (Ryan, 1969: Durkheim, tidak memainkan peran yang sama
24). sebagaimana suhu tekanan dalam benda.
Kekurangnisbian ilmu-ilmu sosial Dengan verstehen, Weber mengkritik
menyebabkan tingkat keberhasilan dalam secara tajam logika Positivistik yang tidak
memprediksi fenomena sosial sangat rendah, mengindahkan peran aktor dalam realitas sosial.
jika dibandingkan dalam ilmu-ilmu alam seperti Weber tidak menganut “hemean” tentang
astronomi. Hal itu disebabkan oleh fenomena kausalitas tapi lebih menjelaskan aksi-aksi itu
sosial jarang yang muncul secara berulang-ulang secara subjektif (Turner, 1984:10). Kecenderungan
dan pasti dalam bentuk yang sama. Itulah Positivistik yang berpegang pada keterangan
sebabnya memprediksi gerhana matahari akan sebab akibat, memiliki keterbatasan. Baginya,
sangat berbeda kejituannya dibandingkan ada keterbatasan berlakunya mata rantai sebab
meramalkan sebuah revolusi. akibat (A muncul karena B, B muncul karena C,
dan seterusnya).
Dalam hal ini, Mc. Iver memberikan
ilustrasi yang menarik, yaitu ada distingsi antara Sementara itu, kritik terhadap epistemologi
tipe kausalitas yang menyangkut sehelai kertas Popper adalah bahwa verifikasi maupun
yang diterbangkan angin dengan tipe kausalitas falsifikasi ternyata mengandung masalah yang
yang menyangkut orang yang melarikan diri dari tidak hanya bersifat empiris. Pertama, penerapan
masyarakat yang mengejarnya. Kertas tidak benar (verifikasi) dan tidak benar (falsifikasi)
takut dan angin tidak membenci. Namun, orang- merupakan kasus batas yang dalam bentuk
orang lari itu ada perasaan ketakutan. Demikian mutlak jarang terjadi. Tuntutan falsifikasi
juga apa sebabnya pemerintahan jatuh, akan sebagai tuntutan penolakan terlalu logis dan
berbeda dengan apa sebabnya sebuah meteor terlalu jauh dari praktik kegiatan ilmu. Kedua,
jatuh ke bumi. Oleh Karena itu, dalam metode pada kegiatan ilmiah sering terjadi bahwa
penelitian sosial, “verstehen” (understanding) sesuatu teori dipertahankan, walaupun ada
merupakan masalah kunci. Makin rumit bagian yang jelas dapat dibantah (ada imunisasi
persoalan dalam penelitian sosial, “pemahaman” dalam teori). Ketiga, dapat dikatakan bahwa
semakin diperlukan. Ilmu pada dasarnya tidak suatu teori menghantar seluruh sistem ilmu.
hanya menerangkan (kausalitas), melainkan juga Suatu teori tidak memberikan pendeskripsian
berusaha memahami (verstehen). fakta, yang bisa “benar” dan “tidak benar”,
melainkan ketentuan apa yang harus
Bagaimanapun setiap masyarakat
dilaksanakan untuk mengemukakan ilmu lebih
menuntut analisis yang khas. Tidak mungkin
lanjut; dan hal itu dapat “tepat” atau “tidak
menerangkan perilaku manusia dengan hanya
tepat” (Peursen, 1985: 49).
memeriksa keteraturan statistik dalam bahasa
fisika. Berbeda dengan hukum alam, orang dapat Sebenarnya kritik yang paling tajam
menyimpang dari kaidah untuk menaati atau untuk Popper ini dilancarkan Thomas Kuhn
tidak. Tanpa melihat keyakinan ini, dunia sosial (1922-1996) dalam bukunya yang terkenal “The
tidak akan pernah dianalisis (Peursen, 1985: 57). Structure of Scientific Revolutions” (1969).
Memahami bukan sebagai usaha batiniah yang Menurut Kuhn, Karl Popper sangat dipengaruhi
subjektif, melainkan sebagai keharusan melihat oleh “idea of progress”, yaitu keyakinan bahwa
kerangka yang lebih luas. perkembangan ilmu pengetahuan akan berjalan
secara linear dan setiap pergantian paradigma
Singkatnya, perilaku manusia tidak
lama oleh paradigma baru selalu diartikan
“teratur” dan tidak “berulang” (uniform), baik
sebagai kemajuan. Hal ini menurut Kuhn
dilihat dari sudut individu maupun
dianggap suatu model yang “ahistoris” yang
antarmasyarakat. Oleh karena itu, perilaku
tidak terbukti dalam sejarah ilmu pengetahuan
manusia tidak dapat diukur dan tidak dapat
(Kleden, 1983: 19).
diramalkan secara pasti. Menurut Weber, ilmu
tentang manusia mempunyai orisinalitas atau Ditunjukkan bahwa apabila suatu
kekhasan yang disebabkan oleh kenyataan eksperimen tidak berhasil membuktikan prognosis,
bahwa kelakuan manusia: (a) Dapat dipahami maka yang pertama-tama harus dipermasalahkan
dari dalam, (b) Bersifat histori, dan (c) Selalu bukanlah teori yang mendasarinya, melainkan

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015 117


ilmuwan yang merencanakan prosedur eksperimen. memperoleh watak ilmiah dianggap terlalu
Menghadapi sebuah masalah tak banyak bedanya menyimpang dari masalah kemanusiaan.
dengan menghadapi teka-teki. Seorang peneliti
Sebenarnya yang menjadi peletak dasar
yang buru-buru menyalahkan teorinya seperti
dari paradigma ini adalah W. Dilthey, yang
seorang tukang kayu yang menyalahkan
kemudian diteruskan oleh Gadamer (1900), Paul
pemukul dan gergaji kalau kursi yang dibuatnya
Ricoeur (1913), O.Apel (1922). Secara umum,
ternyata tidak sesuai dengan model yang
yang menjadi ciri utama hermeneutika yang
dipesan. Di samping menurut Kuhn, eksperimen
mengandalkan verstehen ini antara lain; pertama,
crusi, yaitu eksperimen yang sungguh-sungguh
metode ilmu sosial yang dianggap paling cocok
menjatuhkan teori lama, merupakan peristiwa
untuk menghasilkan pengetahuan interpretatif
yang terjadi sekali saja dalam sejarah ilmu
adalah yang berdasarkan pada verstehen, yang
pengetahuan. Seharusnya menurut Kuhn, apabila
merupakan cara pengembangan pengetahuan
suatu hipotesis tidak terbukti dalam suatu tes
yang memanfaatkan kemampuan manusia
empiris, hipotesis itu tidak langsung difalsifikasi,
menempat diri dalam situasi dan kondisi orang
melainkan dimasukkan dalam kelompok anomali;
lain; dengan tujuan memahami pikiran, perasaan,
dan apabila anomali itu mulai bertambah banyak
cita-cita, dorongan, dan kemauannya. Kedua,
dan kian menumpuk, barulah kemudian timbul
kalau ilmu alam dikatakan bersifat “nomologis”,
krisis (Kleden, 1983: 20).
yakni bertujuan menghasilkan sejenis “penjelasan”
Kritik lain yang sangat tajam terhadap (explanation) yang megungkapkan hukum alam
Popper, dilancarkan oleh P. Wich (1926-1988) (natural laws) yang umum atau universal, yang
dalam bukunya “the idea of social science and memungkinkan penurunan metode matemtatis,
its relation to philosophy” (gagasan tentang ilmu ilmu sosial seharusnya bersifat “hermeneutic”,
pengetahuan sosial dan hubungannya dengan yaitu memberikan “pemahaman” (understanding)
filsafat) 1988. Menurut Winch, antara ilmu yang bersifat menyeluruh (comprehensive) dan
sosial dan ilmu alam terdapat perbedaan yang mendalam (in depth) tentang gejala yang
mendasar. Tingkah laku manusia tidak terlepas menjadi objek studinya (Wuisman, 1996: 50).
dari pemberian makna dan interpretasi oleh
Jika Emile Durkheim yang dianggap
manusia itu sendiri dan sedikit banyak
paling berjasa mengembangkan epistemologi
dipengaruhi oleh pertimbangan rasional untuk
Positivistik, dalam epistemologi Humanistik ini
mencapai sasaran tertentu. Itulah sebabnya
tokoh yang dianggap berjasa adalah Max Weber.
dalam menggambarkan dan menjelaskan
Sebagaimana diuraikan di depan, Weber menolak
perilaku manusia harus memperhitungkan ciri-
kecenderungan epistemologi Positivistik yang
ciri spesifik dari kenyataana sosial yang
berpegang pada keterangan sebab akibat,
ada.Tugas ilmu sosial adalah memberi
terutama adanya keterbatasan berlakunya mata
interpretasi dengan menerangkan “pengertian”
rantai sebab akibat itu. Oleh karena itu, ia
(meaning) konsep yang berkaitan dengan
berpijak dari metodologinya yang sering disebut
perilaku aktor, dengan metode verstehen
sebagai “verstehen”’ atau substansi yang
(Wuisman, 1996: 29).
dihadapi, yakni suatu pendekatan yang berusaha
mengerti makna yang mendasari peristiwa sosial
Asumsi Dasar Epistemologi Interpretatif
dan historis. Pendekatan ini berpijak dari ide
Dalam ilmu sosial, khususnya sosiologi, bahwa setiap situasi sosial didukung oleh
pada dasarnya ada tiga isu pokok yang jaringan makna yang dibuat oleh sang aktor yang
mendasari paradigma Interpretatif ini. Pertama, terlibat di dalamnya. Dari jaringan makna yang
paradigma ini menerima “common sense” diberikan aktor terjadi sebuah dialog yang terus
tentang sifat manusia. Kedua, paradigma ini menerus. Tugas seorang sosiolog atau peneliti
yakin bahwa pandangan “common sense” dapat adalah berusaha “mengerti” maksud itu,
dan harus diberlakukan sebagai premis, tempat sebagaimana diartikan oleh aktor dalam
perumusan sosiologi ini berasal. Ketiga, peristiwa sosial. Dengan demikian “pengertian”
paradigma ini lebih mengetengahkan masalah dari usaha merangkul fenomena secara
kemanusiaan daripada usaha untuk menggunakan keseluruhan dan utuh, dengan harapan seseorang
preskripsi metodologi yang bersumber pada akan dapat menangkap struktur internal dari
ilmu-ilmu alam. Dengan kata lain, ilmu sosial sebuah tindakan. Setidaknya, pendekatan secara
berbeda dengan ilmu-ilmu alam. Oleh karena itu, verstehen adalah sebuah upaya menjaring
penggunaan metode fisika (matematik) untuk sesuatu yang ada di belakang tindakan yang

118 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015


eksplisit yang dapat dilihat (Abdullah, 1979: 14- dan pemahaman yang dituangkan dalam konsep-
16; Turner, 1984). konsep.
Ringkasnya, Weber mengembangkan Pandangan-pandangan Weber yang
analisis metode sosiologis yang bersentral dalam rumit di atas sebenarnya dimulai dari interpretasi
arti subjektif; aksi dilihat dari pandangan si kenyataan sosial yang bersifat sederhana dan
pelaku sosial dan bukan perilaku itu sendiri. induktif. Bermula dari fakta sosiologis yang
Oleh karena itu, menurut Weber, peristiwa fisik ditemukan di Jerman, bahwa sebagian besar dari
yang sama dapat menumbuhkan berbagai makna “pimpinan perusahaan”, “pemilik modal”, dan
yang berbeda. Dalam hal ini, tugas seorang personil teknis dan komersial di tingkat atas
sosiolog adalah memahami aksi-aksi yang ada adalah orang-orang Protestan dan bukan orang-
melalui definisi subjektif sang aktor atas orang Katolik. Setelah ditelusuri, ternyata ada
keadaan yang bersangkutan. Metode Weber ini ajaran Calvinisme (sebuah sekte dari agama
berbeda dengan pendekatan intuitif yang Protestanisme) tentang takdir dan nasib manusia
mengharap penghayatan sosiolog atas peran di hari nanti. Dan ini, menurut Weber,
aktor sosial (Turner, 1984: 71). merupakan kunci utama yang menentukan sikap
hidup para penganutnya. Takdir telah ditentukan,
Teori Weber ini sekaligus mengatasi
keselamatan diberikan pada Tuhan kepada orang
kesulitan yang biasanya terdapat dalam aliran
yang terpilih. Jadi manusia sesungguhnya dalam
intuitif bahwa aliran fenomenologis yang sering
ketidakpastian yang abadi. Apakah ia merupakan
mengalami jalan buntu dalam menerka motivasi
orang yang terpilih atau tidak, tidak ada
sang aktor. Metode interpretatif Weber tidak
kepastian. Namun, merupakan kewajiban setiap
sepaham dengan pandangan aktor sosial menurut
orang untuk beranggapan bahwa dirinya adalah
fenomenologis. Kalaupun sosiologi harus
orang terpilih. Sebab, tiadanya kepercayaan
menerima tuntutan sang aktor sebagai data,
berarti kurangnya rahmat. Untuk memupuk
sosiologi tidak diharuskan menerima kebenaran
kepercayaan diri sendiri, maka manusia harus
atas si pelaku. Kesulitan-kesulitan motivasi sang
bekerja keras, karena bekerja keras merupakan
aktor bisa terjadi karena beberapa hal. Pertama,
satu-satunya hal yang dapat menghilangkan
tingkah laku manusia sangat sukar dipahami.
keraguan religius. Dalam kerangka pemikiran
Kedua, tingkah laku manusia hanya dapat
teologis seperti inilah ‘semangat kapitalisme’,
dipahami melalui manusia lain. Ketiga, manusia
yang bersandarkan kepada cita ketekunan,
sebagai subjek atas ramalan ilmiah seringkali
hemat, berperhitungan, rasional dan sanggup
mempunyai kemampuan membalik ramalan-
menahan diri, menemukan pasangannya
ramalan itu (Goode & Paul, 1962: 2).
(Abdullah, 1979: 8-9; Turner, 1984; Weber,
Weber sebenarnya cukup hati-hati dalam 1979).
memakai metode verstehen. Ia secara kasar
Dengan kata lain, dilema psikologis
membagi tipe interpretasi dalam tindakan sosial
yang dihadapi orang-orang Calvinis adalah
menjadi dua. Pertama, tipe tindakan yang paling
mereka menginginkan kepastian tentang
rasional, berupa tindakan yang paling mudah
keselamatan abadi saat berada dalam situasi
dimengerti. Kedua, tipe tindakan yang kurang
mereka tidak punya kekuasaan untuk mengubah
rasional, berupa tindakan yang sulit dimengerti.
status keagamaannya maupun mengetahui
Dengan demikian, sosiologi Weber telah takdirnya. Untuk keluar dari kemelut ketidakpastian
menyajikan suatu program metodologis yang ini, kaum Calvinis telah mengembangkan dua
menggariskan patokan yang harus diambil untuk bimbingan kependetaam. Pertama, setiap
mengelakkan diri dari satu tafsiran si pelaku penganut Calvinis yang takut kepada Tuhan
yang bersifat subjektif tentang hubungan- secara religius wajib memiliki kepercayaan diri
hubungan sosial ke suatu penjelasan yang bahwa ia adalah manusia terpilih. Sebab
berasal dari si pengamat. Kendatipun begitu, keraguan adalah bujukan syaitan. Kedua,
Weber sangat menyadari akan bahaya mengintenskan kegiatan duniawi untuk
subjektivisme. Oleh karena itu, ia menyarankan menghilangkan keragu-raguan dan membangkitkan
agar sosiologi dibentuk sedemikain rupa kepercayaan diri. Bangunan posisi semacam ini
sehingga menjadi titik temu antara yang ‘unik’ yang kemudian hari, menurut perkiraan Weber,
dengan yang berulang-ulang (recurrent), antara menjadi seperangkat motif-motif khusus yang
yang individu dengan yang umum. Sosiolog secara konsepsi keagamaan telah mengilhami
harus memahami arti yang dipesan oleh aktor lembaga kapitalisme (Turner, 1984:76).

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015 119


Dari metodologi yang digunakan Weber di Popper menolak verstehen sebagai metode
atas sangatlah terlihat bahwa teori yang ilmiah, karena tidak menghasilkan hipotesis
dihasilkan itu dibangun dari cara kerja yang yang dapat diverifikasi. Verstehen dianggap
induktif, berangkat dari pemahaman “makna” hanya memiliki fungsi heuristic, padahal alam
kepercayaan orang-orang Calvin yang subjektif lingkungan dianggap sangat analog dengan
dengan menggunakan metode verstehen. pengalaman yang diperoleh dari perubahan
lingkungan sosial dan sejarah.
Akhirnya secara ringkas dapat dikatakan
bahwa paradigma epistemologi humanistik, Oleh karena itu, argumen keunikan
memiliki ciri-ciri yang bertolak belakang dengan (uniqueness), yakni bahwa sifat-sifat unik ilmu
paradigma epistemologi positivistik, antara lain: sosial dan kemanusiaan menuntut sebuah metode
tersendiri, adalah tidak beralasan. Setiap objek
 Menolak paham “kesatuan ilmu” dan
studi mempunyai sifat keunikan atau einmalig
menganggap esensi ilmu sosial berbeda
ketika objek itu mempunyai sifat-sifat yang tidak
dengan ilmu alam. Oleh karenaitu, metode
terdapat pada objek lain (Vredenbregt, 1985:
ilmu fisika tidak dapat ditransfer dalam
17). Bahkan, jika keunikan itu tidak bisa
metode ilmu sosial.
dikategorikan dan dibandingkan, keunikan itu
 Akibat begitu menonjolnya fenomena bukanlah objek studi ilmiah. Cara kerja
tingkah laku manusia yang bersifat “unik”, verstehen yang begitu subjektif, apabila hendak
maka metode verstehen merupakan kunci dimanfaatkan pada ilmu pengetahuan,
utama untuk memperoleh pengetahuan memerlukan tindak lanjut untuk melihat apakah
dalam ilmu sosial. hipotesis-hipotesis yang diperoleh melalui
 Perilaku manusia pada dasarnya “tidak verstehen juga berhasil tahan uji melalui
teratur” dan tidak berulang (uniform). Oleh pengendalain objektif secara empiris
karena itu, perilaku manusia tidak dapat (Vredenbregt, 1985: 60). Metode fisika telah
diukur atau diramalkan dengan menggunakan banyak membuktikan keberhasilan dalam ilmu-
mekanisme benda mati. ilmu sosial. Percobaan untuk menggunakan
 Persoalan “makna” menjadi sentral eksperimen ilmu fisika di dalam psikologi oleh
pemahaman untuk mengerti gejala sosial generasi Wilhelm Wund, misalnya, dianggap
(mengutamakan masalah yang bersifat salah satu bukti pembaruan dalam ilmu tersebut
implisit daripada yang eksplisit). (Popper, 1985: 1). Dalam arti ini, verstehen
 Interpretasi atas perilaku manusia tidak sebagai alat untuk memahamai sifat einmalig
bersifat kausal dan tidak dapat dijelaskan dari gejala sosial menjadi batal, karena hal itu
melalui hukum yang permanen atas dianggap salah jika dilihat dari segi metodologi.
generalisasi umum. Verstehen tidak pernah bisa menggantikan
 Realitas sosial adalah sesuatu yang cair dan pengujian hipotesis secara deduksi.
mudah berubah melalui interaksi manusia
dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu, kritik yang dilontarkan
 Tindakan manusia yang menentukan struktur terhadap pemikiran Max Weber, umumnya
dan bukan sebaliknya struktur yang karena pemikirannya dianggap mangabaikan
beberapa hal. Pertama, faktor-faktor sosial dari
menentukan tindakan manusia.
luar sang sosiolog atau peneliti yang ikut
 Struktur sosial sekedar merupakan kontruksi
menentukan pilihannya dan proses penelitian
sosial dan dapat dinegoisasikan.
ilmiah tidak dipetimbangkan. Kedua, faktor-
 Struktur sosial bersifat rentan, tidak
faktor dan proses sosial yang dari luar orang
permanen, dan artifisial. Jatuhnya rezim
berpengaruh atas isi dan arah perilaku mereka
komunisme di Uni Soviet, misalnya,
terlihat diabaikan. Seperti apa yang dikatakan
menunjukkan struktur bersifat tidak permanen
Alfred Schutz, selalu ada dilema dalam sosiologi
(Turner, 1984). Weber. Di satu saat, Weber mengambil posisi
yang sama dengan si pelaku, di saat yang lain
Evaluasi terhadap Epistemologi Interpretatif tak jarang tergelincir dalam posisi si pengamat.
Seperti apa yang dilontarkan secara Demikian juga yang dikatakan Mills. Menurut
tajam oleh Popper atas “kegagalan” historisme, Mills, perhatian Weber tentang motif-motif
pada umumnya tradisi humanistik-interpretatif timbul dari niat untuk mengetahui bagaimana
dianggap sangat subjektif serta tidak memiliki seorang pengamat mempertalikan motif-
takaran ilmiah yang jelas. Dengan kata lain, motifnya dan bagaimana pelaku-pelaku sosial

120 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015


menafsirkan kegiatan-kegiatannya dan kegiatan Kritis. Pertama, teori sosial kritis berlawanan
orang lain (Turner, 1984: 23-24). dengan Positivisme. Teori ini beranggapan
bahwa pengetahuan bukan semata-mata refleksi
Schutz juga berpendapat sama. Dia
atas dunia statis “di luar sana”. Ilmu
menyatakan keprihatinannya atas kegagalan
pengetahuan tidak bebas nilai. Teori ini juga
metodologi Weber, seperti social meaning,
berlawanan dengan Positivis yang mengatakan
action, social relationship, yang masih
bahwa sains harus menjelaskan hukum alam
membutuhkan dasar filosofis yang lebih kukuh.
masyarakat. Sebaliknya, teori kritis percaya
Kerancuan yang ditemukan Schutz terletak pada
bahwa masyarakat ditandai oleh historisitas
keburaman pemahaman dari sudut si pelaku atau
(terus mengalami perubahan).
dari sudut si pengamat. Schutz membedakan arti
subjektif dan objektif. Arti objektif mengacu Kedua, teori Kritis membedakan masa
pada tanda-tanda, aksi-aksi yang mempunyai arti lalu dan masa kini, yang secara umum ditandai
bagi umum, terlepas dari maksud dan kehendak oleh dominasi, eksploitasi, dan penindasan.
si pengamat. Arti subjektif mengacu pada aksi Masyarakat masa depan ini dapat diciptakan
dari orang lain dapat dipahami sepenuhnya jika dengan aksi sosial dan politis yang dilakukan
menghadirkan secara langsung orang lain itu. secara intensif. Peran teori sosial Kritis bersifat
Proporsi perbedaan Schutz inilah yang oleh politis karena teori ini berpartisipasi dalam
Turner (1984) dianggap telah menyumbangkan mendorong perubahan.
konsep analisis tentang social relationship yang
Ketiga, teori sosial Kritis berpandangan
kurang diisi oleh Weber.
bahwa dominasi itu bersifat struktural.
Dalam kesadaran kita, penerapan Kehidupan masyarakat sehari-hari dipengaruhi
metode verstehen dalam penelitian ternyata oleh institusi sosial yang lebih besar seperti
banyak menemukan kesulitan teknis. Tidak politik, ekonomi, budaya, diskursus, jender, dan
jelasnya takaran-takaran ilmiah yang dapat ras.Teori sosial Kritis mengungkap struktur ini
diukur cenderung menjebak peran peneliti untuk membantu masyarakat dalam memahami
sebagai pengamat danmenjadikan peneliti akar global dan rasional penindasan yang
memasukkan opini dalam menjaring realitas mereka alami.
sosial, meskipun dalam antropologi sudah
Dalam level ini, teori sosial Kritis
dipisahkan antara masalah emik dan masalah
berkeyakinan bahwa struktur dominasi
etik untuk tidak mencampuradukkan antara tafsir
direproduksi melalui kesadaran palsu manusia,
peneliti dan pendapat sang aktor atau antara
dilanggengkan oleh ideologi (Marx), reifikasi
pengamat dengan yang diamati.
(Georg Lukacs), hegemoni (Gramsci), pemikiran
satu dimensi (Macuse), dan metafisika
Paradigma Teori Kritis
keberadaan (Derrida). Kini kesadaran palsu
Ciri khas dari paradigma teori Kritis dipelihara oleh ilmu sosial positivis seperti
yang mengambil titik pangkal dari pemikiran ekonomi dan sosiologi yang menggambarkan
Karl Marx adalah pemikiran filosofis disebutkan masyarakat sebagai entitas yang dikendalikan
selalu berkaitan erat dengan kritik hubungan oleh hukum yang kaku. Akibatnya orang diajak
sosial yang nyata. Intinya bahwa para filsuf berfikir bahwa satu-satunya perilaku yang
terdahulu hanya dianggap menafsirkan dunia dan beralasan berkaitan dengan penyelesaian pada
kini sudah waktunya untuk mengubah dunia. pola-pola keajegan ini.Teori sosial kritis
Lebih lanjut pemikiran teori kritis merefleksikan mematahkan kesadaran palsu dengan meyakini
masyarakat serta diri sendiri dalam konteks adanya kuasa manusia, baik secara pribadi
dialektika struktur-struktur penindasan dan maupun secara kolektif untuk mengubah
emansipasi (Magnis, 1990). Teori ini mulai masyarakat (Angger, 2003; Magnis, 1990).
berkembang tahun 1920-an dengan tokoh-tokoh
Mengikuti pemikiran Marx, teori sosial
yang terkenal, seperti George Luckas, Karl
Kritis menggambarkan hubungan antara struktur
Korsh, Ernast Bloch, Antonio Gramscy, dan
dan manusia secara dialektis. Meskipun struktur
tentu saja kelompok Frankfurt, seperti Max
mengkondisikan pengalaman sehari-hari, pengetahuan
Horkeimer, Theodor W. Adorno, Herbert
tentang struktur dapat membantu masyarakat
Marcus, Eric Fromm, serta tokoh neo-Marxisme.
mengubah kondisisosialnya. Teori sosial kritis
Menurut Ben Agger (2003) ada membangun jembatan dialektis ini dengan
sejumlah ciri-ciri pokok dalam Teori Sosial menolak determinisme ekonomi.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015 121


Kritik utama yang dilancarkan kepada partisipatif tidak saja sekadar mencari
epistemologi teori Kritis umumnya hampir pengetahuan. Riset tersebut juga merupakan
mirip dengan paradigm Interpretatif. Hanya ada proses transformasi sikap dan nilai individu,
dua perbedaan yang cukup mencolok personality, dan budaya serta sifat altruistik.
dibandingkan dua paradigma lainnya. Teori
Sebagai metode alternatif, PAR
Kritis memiliki pandangan bahwa realitas sosial
memiliki beberapa kelebihan. Pertama, berusaha
pada dasarnya merupakan hasil konstruksi
menutupi kelemahan dengan merumuskan
kepentingan (ideologis) yang tidak pernah netral
permasalahan atas dasar masalah yang langsung
dan objektif. Realitas sosial pada dasarnya
dirasakan oleh masyarakat. Kedua, pendekatan
merupakan hasil konstruksi kepentingan yang
dirancang berdasarkan kesepakatan antara
rumit, atau menggunakan istilah Stuart Hall
masyarakat dengan peneliti. Ketiga, hasil
(1982), telah dikonstruksikan oleh berbagai
penelitian tidak hanya bermanfaat bagi si peneliti,
kepentingan ideologis. Oleh karena itu,
tetapi juga masyarakat. Perubahan situasi,
ilmuwan harus memihak dan tidak hanya
meningkatnya pengetahuan, dan kemampuan
menjadi penghuni menara gading. Bagi
masyarakat dalam memahami dan mengubah
pengkritiknya, pandangan seperti ini bukan
serta kemampuan memecahkan masalah mereka
pandangan keilmuan tetapi ideologi. Jadi, sekali
atau mengubah situasi kehidupan mereka
lagi, ada perbedaan mendasar dibandingkan
merupakan hasil yang diharapkan.
dengan paradigma Positivistik dan Interpretatif,
yang beranggapan ilmu itu netral dan tugas
Prinsip-Prinsip PAR (Participacy Action
utama ilmuan hanyalah memotret realitas secara
Research)
objektif. Menurut teori Kritits, ilmuwan harus
bisa mengubah realitas dengan cara yang (1) PAR melibatkan seluruh kelompok masyarakat
partisipatoris dan emansipatoris (partisipasi yang yang tak berdaya---involves a whole range
membebaskan). of powerless groups of people - kelompok
masyarakat yang tereksploitasi, miskin,
Pokok-pokok pemikiran teori Kritis
tertindas, dan kelompok marginal.
inilah yang akhirnya mengilhami Kurt Lewin
(1947), Corey (1953), Hopkins (1985), Hult & (2) PAR melibatkan partisipasi masyarakat
Lennung (1980), Carl Glickman (1992), Peter secara penuh dan aktif dalam keseluruhan
Park (1993), dan lainya melahirkan apa yang proses riset.
sering disebut dengan Action Research atau yang (3) Subjek penelitian berasal dari masyarakat itu
lebih terkenal dengan Participacy Action sendiri dan penetapan masalah, analisis. dan
Research (PAR). Poin pokok dari PAR adalah penyelesaian masalahnya dilakukan oleh
“participatory dan emancipatory”, yang kemudiaan masyarakat yang bersangkutan.
dimodifikasi oleh CBR (Community Base
Research). (4) Tujuan akhirnya adalah transformasi radikal
atas realitas sosial dan perbaikan kehidupan
Seperti dirumuskan Fals Borda (2001), masyarakat itu sendiri. Penerima hasil riset
“Participatory Action Research has not been just adalah anggota masyarakat itu sendiri.
a quest for knowledge. It is also transformation
of individual attitudes and values, personality (5) Proses riset partisipatif dapat menciptakan
and culture, and altruistic process”. Participatory sebuah kesadaran masyarakat yang lebih
Action Research, juga sering disebut PRA besar terhadap sumber daya mereka sendiri
(Participatory Rural Apprasial) merupakan dan memobilisasinya untuk mencapai
sebuah pendekatan dan metode untuk pembangunan yang berdikari.
mempelajari kondisi dan kehidupan pedesaan (6) Participatory Action Research lebih
dari, dengan, dan oleh masyarakat desa itu merupakan metode atau riset ilmiah yang
sendiri. Participatory Action Research dipandang mampu menciptakan analisis autentik
mampu membawa tindakan dan refleksi, teori mengenai realitas sosial.
dan praktik, dengan cara terlibat dengan lainnya,
dalam mengejar penyelesaian praktis terhadap (7) Peneliti ikut berpartisipasi dan belajar dalam
berbagai isu penting yang menjadi perhatian proses penelitian, yaitu sebagai pengamat
masyarakat dan untuk mencapai kesejahteraan militan daripada sekedar sebagai pengamat
individu perorangan dan masyarakatnya yang terpisah (Hall & Kidd, 1978: 5)
(Bradbury & Reason, 2001: 2). Riset aksi

122 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015


Penutup bahan untuk menemukan teori. Hal yang
diutamakan dalam penelitian kualitatif bukan
Setelah secara singkat disajikan pokok-
keluasan tetapi kedalaman. Sementara tujuan
pokok pikiran epistemologi Positivistik yang
utama Partisipatory Action Research adalah
mendasari penelitian kuantitatif dan
melakukan perubahan sosial dengan prinsip
epistemologi Interpretatif yang mendasari
emancipatory dan partisipatory, membebaskan
penelitian kualitatif, serta epistemologi Kritis
masyarakat dengan cara meningkatkan
yang mendasari penelitian aksi, ada beberapa
kesadaran kritis.
hal yang perlu ditegaskan di sini.
Keempat, dalam penelitian kuantitatif,
Pertama, dalam kaitannya dengan
proses yang digunakan bersifat deduksi, yaitu
epistemologi Positivistik, Interpretatif dan Kritis,
memverifikasi teori dengan mengembangkan
meskipun berbeda tetapi ketiganya dapat saling
hipotesis. Dalam penelitian kualitatif, proses
mengisi. Ilmu-ilmu empiris analitis (Positivistik)
yang digunakan bersifat induksi sehingga tidak
mencegah kelompok pendekatan ilmu-ilmu
ada teori yang dibuktikan atau tidak menguji
hermeneutik (Interpretatif) dari subjektivisme
hipotesis. Sementara dalam PAR proses siklus
yang ditandai oleh interpretasi yang semena-
yang menciptakan link antara teori dan praktik
mena. Sebaliknya, pendekatan ilmu historis
adalah transformasi sosial. Di sini tidak ada
hermeneutik mencegah kelompok pendekatan
hipotesis kecuali yang dirumuskan masyarakat
empiris-analitis terjebak dalam determinisme
sendiri.
yang membuta dan menyerdehanakan realitas
sosial seperti benda alam. Sementara pendekatan Kelima, dalam penelitian kuantitatif,
epistemologi kritis lebih menagih ilmu sosial teori diletakkan sebagai landasan uji hipotesis.
agar tidak hanya berfungsi memelihara status- Dalam survei ini ada prinsip keterwakilan
quo tetapi juga sebagai intrumen pembebasan (representativeness) atau probabilitas untuk
dan sekaligus menagih ilmuwan sosial generalisasi hasil temuan, sehingga masalah
bertanggungjawab terhadap objek yang diteliti. sampel sangat penting. Sementara fungsi teori
dalam penelitian kualitatif adalah untuk
Kedua, dari segi tugas keilmuan, karena
memahami dan menafsirkan fenomena sosial.
ilmu pengetahuan sosial memiliki sifat
Dalam penelitian kualitatif tidak ada prinsip
menerangkan dan “memahami” (verstehen) yang
keterwakilan atau probilitas, sehingga masalah
merupakan dua belah mata uang yang sama,
jumlah sampel tidak dipersoalkan. Sementara
keduanya pada dasarnya bisa saling mengisi.
dalam penelitian aksi, fungsi teori hanya untuk
Untuk menjelaskan realitas sosial membutuhkan
mempermudah pemetaan masalah, bukan untuk
pemahaman yang mendalam dan sekaligus
menjelaskan (verifikasi) atau memahami
verifikasi yang terukur. Demikian juga ramalan
(verstehen). Di sini tidak dikenal prinsip
keilmuan tidak akan memberikan kontribusi
probabilitas dalam artian generalisasi, melainkan
yang berarti jika tidak didampingi imajinasi-
lebih mengutamakan pendalam sebagai upaya
refleksi. Sebaliknya imajinasi yang tajam saja
memahami masyarakat.
tidak akan mencukupi, jika tidak dapat
dibuktikan secara empiris. Demikian juga,
tugas ilmu sosial bukan hanya mendiskripsikan,
menjelaskan atau meramalkan jalannya realitas
sosial. Tanpa ada kemampuan untuk mendalangi
perubahan sosial, lembaga ilmu pengetahuan
hanya akan menjadi menara gading.
Ketiga, dari segi tujuan, tugas utama
penelitian kuantitatif adalah menjelaskan gejala
sosial, menguji teori, membentuk fakta, dan
menunjukkan hubungan antarvariabel. Oleh
karena itu, semakin luas lingkup variabel yang
dijelaskan, semakin akurat pula penelitian yang
dilakukan. Sementara tujuan utama penelitian
kualitatif adalah memahami (verstehen) terhadap
fenomena sosial, mencari konsep dengan
grounded, dan melakukan kategorisasi sebagai

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015 123


Lampiran
Tabel 1. Skema Pembagian Metodologi Ilmu Sosial-Budaya
Positivis (Kuantitatif) Interpretatif (Kualitatif) Kritis (Aksi)
 Tujuan ilmu pengetahuan untuk  Tujuan ilmu pengetahuan untuk  Tujuan ilmu pengetahuan
dominasi, meramalkan dan interaksi, memahami dan empati untuk emansipatory,
rekayasa sosial  Realitas sosial bersifat subjektif membebaskan dan
 Realitas sosial bersifat objektif  Ilmu pengetahuan bebas nilai pemberdayaan
 Ilmu pengetahuan bebas nilai  Realitas sosial sifatnya kasuistik  Realitas sosial subjektif
 Realitas sosial tunggal  Tujuan utama penelitian adalah  Ilmu pengetahuan tidak
 Tujuan utama penelitian memahami (verstehen) terhadap bebas nilai
adalah menjelaskan gejala fenomena sosial,  Realitas sosial bersifat plural
sosial, menguji teori, mengembangkan konsep dengan  Tujuan utama penelitian
membentuk fakta dan grounded membebaskan masyarakat
menunjukkan hubungan  Pendekatan subjektif dengan cara meningkatkan
antarvariabel  Proses yang digunakan bersifat kesadaran kritis
 Pendekatan objektif induksi sehingga tidak ada teori  Pendekatan subjektif
 Proses yang digunakan bersifat yang dibuktikan atau tidak  Proses siklus menciptakan
deduksi, yaitu memverifikasi menguji hipotesis link antara teori, praktik, dan
teori dengan mengembangkan  Proses induksi merupakan transformasi sosial. Tidak
hipotesis hipotesis proses aposteriori dan ada hipotesis kecuali yang
 Dalam proses deduksi empiri dirumuskan masyarakat
merupakan proses apriori tanpa  Fungsi teori dalam penelitian sendiri
empiri kualitatif untuk memahami dan  Proses diagnosis, rencana,
 Fungsi teori dalam penelitian menafsirkan fenomena sosial aksi, evaluasi, dan refleksi
survei ada prinsip keterwakilan  Dalam penelitian kualitatif tidak yang dilakukan masyarakat
(representativeness) atau ada prinsip keterwakilan atau  Fungsi teori hanya untuk
probabilitas dalam generalisasi probilitas, sehingga masalah mempermudah pemetaan
hasil temuan, karena itu sampel jumlah sampel tidak masalah, bukan untuk
sangat penting dipersoalkan menjelaskan (verifikasi) atau
 Dalam penelitian survei yang  Teknik/metode yang digunakan: memahami (verstehen)
menjadi instrumen utama pengamatan terlibat, wawancara  Tidak mengenal prinsip
adalah kuisioner tak berstruktur (terbuka dan probabilitas dalam artian
 Teknik/metode yang digunakan mendalam), life history, generalisasi, melainkan lebih
biasanya eksperimen, survei, dokumen dan sebagainya mengutamakan pendalam,
wawancara berstruktur dan  Keberhasilan penelitian sangat sebagai upaya memahami
pengamatan berstruktur tergantung pada peneliti sendiri masyarakat
 Keberhasilan penelitian sangat  Teknik/metode yang
ditentukan oleh instrumen digunakan: pendampingan,
(kuesioner) partisipatif. Peneliti menjadi
bagian masyarakat yang
diteliti, terutama melalui
FGD
 Keberhasilan penelitian
sangat tergantung pada
masyarakat yang diteliti
sendiri

124 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015


Bagan 1. Trikotomi Paradigma Ilmu Pengetahuan Sosial

Tipe-tipe Ilmu Pengetahuan Sosial

Dominasi Interaktif Emancipatory


Tujuan Meramalkan & Memahami, Pembebasan &
Rekayasa Sosial Empati & Simpati Pemberdayaan

Realitas
Sosial
Tunggal Kasus Plural

Pendekatan Obyektif Subyektif Subyektif

Proses Hipotesa-Teori- Kasus-Terlibat- Kasus-Analisis-Masalah-


Ilmu Data-Uji Teori Pahami-Deskripsi Rencana-Aksi

Aplikasi Deskripsi Kasus


Teori Generalisasi Anti Generalisasi
(Keunikan)

Sifat Bebas Nilai Bebas Nilai Memihak

Dasar POSITIVISME FENOMENOGIS TEORI KRITIS


Pandangan

Habermas as quoted by Mahmudi, 1999

Bagan 2. Hierarki Paradigma Ilmu Pengetahuan

Ontology

Realism-nomotetive Nominalism-ideografis

Epestimology

Positivism Intrepertative Critis

Methodology

Quantitative Qualitative PAR (Participatory


Action Research)

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015 125


Bagan 3. Proses Metodologi Kuantitatif dan Kualitatif

Theory

Induction Deduction

Empirical Test of Hypotheses


Generalization A Theory

Operationalization
of Concept

Data Analysis Testable

Data Collection

Source: The Cicle of Theory Construction and Testing (Wallace 1971)

Participative Inguiry & Practice. London:


Daftar Pustaka
Sage Publication Ltd.
Adian, D.G. (2010). Pengantar Fenomenologi.
Denzin, N. & Lincons, Y.S. (Eds.). (1997).
Depok: Penerbit Koekoesan.
Handbook of Qualitative Researach.
Agger, B. (2003). Critical Social Theory, California: SAGE Publications.
terjemahan Nurhadi, Yogyakarta: Kreasi
Guba, E.G. (Ed.). (1990). The Paradigm Dialog.
Wacana.
California: Sage Publications.
Abdullah, T. (1979). Agama Etos Kerja dan
Gustavsen, B. (2002). Theory and Practice: the
Pengembangan Ekonomi, LP3ES, Jakarta.
Mediating Discourse. in Peter Reason &
Akhyar, Y.L. (2011). Teori Kritis dan Hilary Bradbury (Eds), dalam Handbook of
Postmodernisme: Pengaruhnya pada Filsafat Action Research Participative Inquiry &
Ilmu dan Metodologi Ilmu Pengetahuan Practice. London: Sage Publication Ltd.
Sosial-Budaya Kontemporer. Jakarta: FIB-UI.
Goode, W. & Paul, K.H. (1962). Methodes and
Blaikie, N. (2000). Designing Social Reasearch. Social Research. New York, Toronto,
First published by Polity Press in London: Mc. Graw-Hill, Book Company,
association with Blackwell Publishers Inc.
Ltd.
Habermas, J.(1990). Ilmu dan Teknologi Sebagai
Borda, O.F. (2001). Participatory action research Ideologi. Jakarta: LP3ES.
in social theory: Origins and challenges.
_______________, (1968). Theory and Practice,
in Peter Reason & Hillary Bradbury
translated by John Viersel, Heimemaun,
(Eds.). Handbook of Action Research
London.

126 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015


_______________, 1972. Knowledge and McCarthy, T. (2006). Teori Kritis Jurgen
Human Interests, Translated by Jeremy Habermas, terjemahan Nurhadi. Yogyakarta:
J. Shapioro, Boston: Beacon Press. Kreasi Wacana.
Hall, S. (1982). The rediscovery of ideology: Mills. C.W. (1959). The Sociological Imaginations:
Return of the pressed in media studies. Harmond Worth: Middlesexx.
In Micheal Gurevitch and Janet
Peursen, van. CA. (1985). Susunan Ilmu
Wollacott (Ed). Mass Comunication and
Pengetahuan Sebuah Pengantar Filsafat.
Society. Baverly Hills: Sage Publication.
Jakarta: Gramedia.
Hardiman, F.B. (2003). Kritik Ideologi Menyingkap
Reason, P. & Bradbury, H. (Eds.). Handbook of
Pengetahuan Bersama Habermas. Yogyakarta:
Action Research Participative Inguiry &
Penerbit Buku Baik.
Practice. London: Sage Publication Ltd.
Johnson, P.D. (1981). Sociological Theory
Ritzer, G. (1980). Sociology: Multiple a
Classical Founders and Contemporary
Pardigm Sciences, Revised edition,
Perspectives.
Allyn and Bacon, Boston.
Kleden, I. (1983). “Teori ilmu sosial sebagai
Ryan, A. (1985). The Philosophy of Socal
variabel sosial: Suatu tinjauan filsafat
Sciences. London.
sosial”, Prisma Juni. Jakarta: LP3ES.
Tashakkori, A. & Teddlie, C. (Eds.). (2003).
Kuhn, T. (1970). The Structure of Scientific
Handbook of Mixed Methods in Social
Revolution. Chicago: University of
& Behavior Research, California: SAGE
Chicago Press.
Publication, Inc Teller Road.
Laeyendecker, L. (1983). Orde, Verandering,
Turner, B. (1984). Weber and Islam: Critical
Ongelijkheid Een Inleiding in de
Study, terjemahan G.A. Ticoalu, Jakarta:
Geschiedenis Vande Sociologie, terjemahan
Penerbit Rajawali.
Smekto, Tata Perubahan dan Ketimpangan,
Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi. Weber, Max, 1979,. Sekte-sekte Agama
Jakarta: Gramedia. Protestan dan Semangat Kapitalsime
dalam Taufik Abdullah (ed) Agama,
Magnis, F. von. (1990). Ringkasan Sejarah
Etos Kerja dan Perubahan Ekonomi,
Marxisme dan Komunisme. Jakarta:
LP3ES, Jakarta.
Penerbit Sekolah Tinggi Drijarkara.
Wuisman, J.J.J. M. (1996). dengan penyunting
Martinjay. (2005). Sejarah Mazhab Frankfrut:
M. Hisman, Penelitian Ilmu-ilmu social,
Imajinasi Dialektis dalam Perkembangan
Jilid I, Jakarta: Fakultas Ekonomi
Teori Kritis, terjemahan Nurhani.
Universitas Indonesia.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015 127


128 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015

Anda mungkin juga menyukai