Anda di halaman 1dari 52

Draft 2

Tanggal revisi:
12 Juli 2019

+60175064120

LAPORAN MAGANG PROFESI WAJIB


PELAYANAN KLINIK KESEHATAN SAPI PERAH
DI WILAYAH KOPERASI PETERNAKAN BANDUNG SELATAN
(KPBS) PANGALENGAN, KABUPATEN BANDUNG SELATAN,
JAWA BARAT
08 April – 4 Mei 2019

Oleh :
KELOMPOK G
PPDH Angkatan III Tahun 2017/2018

Cici Andhika Putri, SKH B94174307


Priska Pathrycia Diru, SKH B94174334
Shobha Rajantiran, SKH B94174341

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
i

DAFTAR ISI
1
PENDAHULUAN 1
LATAR BELAKANG 1
PELAKSANAAN KEGIATAN 1
PROFIL KPBS 2
PELAYANAN KESEHATAN SAPI PERAH 3
PEMBAHASAN KASUS KLINK 4
LAMINITIS 4
LDA 9
HERNIA UMBLIKALIS 15
RUMEN ASIDOSIS 20
DOWNER COW SYNDROME 26
MASTITIS KLINIS 33
KESIMPULAN DAN SARAN 40
DAFTAR PUSTAKA 40
ii

Gambar 1 Laminitis pada kaki belakang kiri dan kanan yang diberi 9
Lymoxin Spray.

Gambar 2 Sapi E55005 yang mengalami LDA 14

Gambar 3 Jahitan luar setelah operasi right flank omentopexy 15

Gambar 4 Hernia umbilikalis pada anak sapi yang berumur 1 minggu 20

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Kasus klinik yang ditemukan di KPBS Pengalengan, Kabupaten 3


Bandung, Jawa Barat
1

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

D Indonesia, kebutuhan konsumsi protein hewan seperti susu, daging, dan telur
semakin meningkat. Hal ini menjadikan peternakan menjadi salah satu aspek penting
dalam hal tersebut. Sektor ini memegang peranan utama dalam pemenuhan kebutuhan
susu di Indonesia. perkembangan manajemen pemeliharaan dan kesehatan sapi perah
terus mengalami perkembangan. Tujuannya adalah menghasilkan produk susu yang
mempunyai kualitas dan kuantitas yang baik.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut diatas, berbagai usaha telah dilakukan oleh
pemerintah. Usaha yang dilakukan antara lain: pengadaan bibit unggul sapi perah dari
negara lain, penerapan teknologi di bidang reproduksi terutama inseminasi buatan (IB),
dan perbaikan manajemen pemeliharaan. Selain itu, usaha lain yang dilakukan adalah
penyediaan tenaga profesional dalam bidang kesehatan hewan, yaitu dokter hewan dan
paramedis termasuk ahli teknologi reproduksi (ATR)..
Dengan begitu, kebutuhan dan keterampilan tenaga medis, terutama dokter
hewan dan paramedis harus selalu ditingkatkan agar kesehatan sapi dan produksi susu
dapat terus meningkat. Dokter hewan merupakan profesi yang memiliki ruang lingkup
kerja yang luas. Dokter hewan memiliki peran penting dalam pengobatan penyakit
hewan dan dalam upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit
hewan serta penyakit zoonotik. Atas dasar tersebut, berbagai kegiatan dapat dilakukan
untuk meningkatkan kemampuan, profesionalitas, dan pengalaman bagi dokter hewan.
Salah satu kegiatan tersebut adalah adanya kegiatan magang profesi wajib pelayanan
kesehatan klinik dan reproduksi sapi perah untuk mahasiswa PPDH
FKH IPB di KPBS Pangalengan, Bandung.

PELAKSANAAN KEGIATAN

Kegiatan magang wajib mahasiswa PPDH FKH-IPB dalam pelayanan


kesehatan sapi perah dilaksanakan di KPBS Pangalengan, Kabupaten Bandung Selatan,
Jawa Barat pada tanggal 08 April – 4 Mei 2019. Beberapa kegiatan yang dilakukan
selama magang di KPBS Pangaengan meliputi pelayanan inseminasi buatan,
pemeriksaan kebuntingan, pelayanan kesehatan dan obat-obatan, serta penyuluhan.
Mahasiswa PPDH FKH-IPB mengikuti kegiatan tersebut bersama dokter hewan
ataupun paramedis. Permintaan pelayanan kesehatan oleh peternak dilakukan dengan
meletakkan kartu anggota ke dalam kotak pelayanan yang berada di setiap TPK. Selain
itu juga dapat dilakukan melalui layanan short massage service (SMS) kepada dokter
hewan ataupun paramedis yang bertugas di area tersebut.
2

Profil KPBS Pengalengan, Kabupaten Bandung Selatan, Jawa Barat

Sejarah

Pada November 1949 didirikan koperasi di Pangalengan dengan nama


GAPPSIP (Gabungan Petani Peternak Sapi Indonesia Pangalengan). Pada tahun 1961
GAPPSIP tidak dapat mengatasi ketidakstabilan perekonomian di Indonesia sehingga
perdagangan susu di ambil alih oleh para tengkulak dan peternak mengalami kerugian
karena harga susu yang sangat rendah hingga tidak dibayar. Kemudian adanya inisiatif
dari para masyarakat dan didukung oleh beberapa tokoh masyarakat didirikan Koperasi
Peternakan Bandung Selatan (KPBS) pada tanggal 22 Maret 1969.
KPBS bertempat di jalan raya Pangalengan no 340 Kabupaten Bandung. Pendiri
koperasi ini adalah seorang kolonial Belanda bernama Johan Geert Van Han
merupakan orang Belanda pertama yang membawa sapi perah ke daerah Pangalengan.
Koperasi peternakan ini dibangun karena beliau menyadari akan potensial yang besar
di daerah Pangalengan. KPBS Pangalengan memproduksi susu murni dan produk
olahan lainnya. Selain itu koperasi ini juga menjadi pioneer distributor pupuk dan
sebagai penyedia jasa penyimpanan dan pinjaman kepada petani sekitar.
Koperasi ini mendapat binaan dari pemerintah Kabupaten DT II Bandung,
Gubernur Jawa Barat, Dirjen Peternakan dan mendapat bantuan dari UNICEF. Pada
tahun 1977 KPBS menjalin kemitraan dengan PT Ultra Jaya untuk membangun Milk
Treatment dengan jangka waktu pembayaran 5 tahun dengan angsuran saham anggota
sebesar Rp. 25/liter. Tanggal 1 Januari 1979 pembangunan Milk Treatment dimulai
dan diresmikan tanggal 16 Juli 1979 oleh menteri muda urusan koperasi. Dalam rangka
peningkatan mutu genetik dan skala kepemilikan maka pada tahun 1994 KPBS
mendatangkan sapi perah dari New Zealand secara mandiri sebanyak 2.400 ekor dara
bunting dan 1 ekor pejantan unggul. Tahun 1997 KPBS Pangalengan merintis
pemasaran ke konsumen langsung berupa susu pasteurisasi dalam kemasan "Cup dan
Bantal" dengan merek KPBS Pangalengan (Koperasi Peternakan Bandung Selatan).

Visi

Menjadi koperasi yang amaliah, modern, sehat organisasi, sehat usaha dan sehat
mental serta unggul di tingkat regional dan nasional.

Misi
Misi dari Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS), Pangalengan adalah:
1. Taat dan patuh terhadap Pancasila, UUD 1945, Undang-Undang Perkoperasian
serta Peraturan Pelaksanaannya dan Peraturan Perundangundangan yang berlaku,
serta melaksanakan amanah keputusan Rapat Anggota.
2. Memotivasi anggota secara mandiri untuk meningkatkan harkat derajat sendiri,
sekaligus mengangkat citra perkoperasian.
3. Meningkatkan kopetensi sumber daya koperasi.
4. Melaksanakan Tata Kelola Operasional dengan baik, efektif dan efisien.
5. Menjadi laboratorium koperasi persusuan.
3

6. Mengimplementasikan inovasi, ilmu pengetahuan, teknologi tepat guna yang


ramah lingkungan.

Pelayanan Kesehatan Sapi Perah

Kegiatan pelayanan kesehatan klinik yang dilakukan selama praktik lapang di


wilayah KPBS Pengalengan adalah penanganan kasus-kasus klinik pada sapi.
Pelayanan kasus klinik dilakukan berdasarkan anamnesa dari peternak dapat dilihat
pada Tabel 1 .

Tabel 1 Kasus klinik yang ditemukan di KPBS Pengalengan, Kabupaten Bandung,


Jawa Barat
Kasus Sinyalemen dan Anamnesis
LDA Sapi FH berumur kurang lebih 2 tahun
mengalami penurunan nafsu makan.

Hernia umbilikalis Pedet berumur kurang lebih 1 minggu


mengalami hernia umbilikalis yang ditandai
dengan bagian umbilikal yang membesar.

Laminitis Sapi mengalami pincang pada kaki kiri dan


kanan belakang serta terjadi penurunan nafsu
makan. Menurut laporan dari peternak terdapat
nanah yang keluar dari bagian kaki belakang
disetai dengan darah.
Rumen asidosis Sapi tidak nafsu makan
Hipokalsemia Sapi dara dilaporkan ambruk dan tidak nafsu
makan sejak pagi. Sapi sedang bunting sekitar
8 bulan menjelang 9 bulan. Pakan diberikan
hijauan dan konsentrat, namun sekarang sedang
musim kemarau sehingga hijauan susah dicari.

Mastitis Sapi mengalami penurunan produksi susu,


warna susu berubah kekuningan, dan susu
pecah pada kuartir kanan depan, kanan dan kiri
belakang. Sapi baru melahirkan 4 hari yang
lalu, mengalami perubahan pada susu setelah
melahirkan.
4

PEMBAHASAN KASUS KLINK

LAMINITIS
Anamnesa
Sapi D2645 di KPBS Pangalengan dilaporkan oleh peternak mengalami
pincang pada kaki kiri dan kanan belakang serta terjadi penurunan nafsu makan.
Menurut laporan dari peternak terdapat nanah yang keluar dari bagian kaki belakang
disetai dengan darah.

Signalement
Nama : D2645
Jenis hewan/spesies : Sapi
Ras/Bredd : Friesian Hilstein
Warna kulit dan rambut : Hitam-Putih
Jenis kelamin : Betina
Umur : 4 tahun
BCS : 2.5
Tanda khusus :-

Status Present
Keadaan Umum
Suhu tubuh : 39.2°C
Frekuensi jantung : 68 kali/menit
Frekuensi napas : 32 kali/menit
Perawatan hewan : Baik
Tingkah laku : Jinak
Gizi : Cukup, BCS 3
Sikap berdiri : Berdiri pada keempat kaki

Kulit dan rambut


Aspek rambut : Kusam
Kebotakan : Tidak ada kebotakan
Permukaan kulit : Halus, tidak ada luka
Turgor kulit : < 3 detik

Mata dan orbita mata kiri


Palpebrae : Membuka dan menutup sempurna
Silia : Keluar sempurna
Konjungtiva : Rose, mengkilat, basah
Membrana niktitans : Tersembunyi
Bola mata kiri
Sklera : Putih
Kornea : Jernih, terang tembus
Iris : Tidak ada perlekatan
5

Limbus : Merata
Pupil : Tidak ada kelainan
Refleks pupil : Ada refleks
Vasa injeksio : Tidak ada

Mata dan orbita mata kanan


Palpabrae : Membuka dan menutup sempurna
Silia : Keluar sempurna
Konjungtiva : Rose, mengkilat, basah
Membran niktitans : Tersembunyi

Bola mata kanan


Sklera : Putih
Kornea : Jernih, terang tembus
Iris : Tidak ada perlekatan
Limbus : Merata
Pupil : Tidak ada kelainan
Refleks pupil : Ada refleks
Vasa injeksio : Tidak ada

Hidung dan sinus hidung : Basah, mengkilat

Mulut dan rongga mulut


Rusak/luka bibir : Tidak ada lesio
Mukosa : Rose, basah, mengkilat,licin
Gigi geligi : Terdapat karang gigi, lengkap
Lidah : Rose, tidak ada kerusakan

Telinga
Posisi telinga : Tegak kedua telinga
Bau : Bau khas cerumen
Permukaan : Licin, halus
Krepitasi : Tidak ada
Refleks panggilan : Ada

Leher
Perototan : Simetris
Trakea : Tidak ada refleks batuk
Esofagus : Teraba, tidak ada isi makanan

Thoraks: Sistem Pernapasan


Inspeksi
Bentuk rongga toraks : Simetris
Tipe pernapasan : Abdominal
Ritme : Teratur
6

Intensitas : Dalam
Frekuensi : 32 kali per menit

Palpasi
Penekanan rongga toraks : Tidak ada rasa sakit
Palpasi interkostal : Tidak ada reflek sakit, tidak ada batuk
Uji Gumba : Tidak ada rasa sakit

Perkusi
Lapangan paru-paru : Tidak dilakukan
Gema perkusi : Tidak dilakukan

Auskultasi
Suara Pernapasan : Suara napas terdengar jelas, bronkhial inspirasi
vesikular ekspirasi
Suara ikutan : Tidak ada

Thoraks: Sistem Peredaran Darah


Inspeksi
Ictus cordis : Tidak ada

Perkusi
Lapangan jantung : Tidak dilakukan

Auskultasi
Frekuensi : 60 kali per menit
Intensitas : Kuat
Ritme : Teratur
Suara sistolik & diastolik : Terdengar jelas
Suara ekstrakardial : Tidak ada
Lapangan jantung : Tidak diamati
Sinkron pulsus & jantung : Sinkron

Abdomen dan Organ Pencernaan yang Berkaitan


Inspeksi
Besarnya : Proporsional
Bentuknya : Proporsional
Legok lapar : Terlihat

Auskultasi
Suara peristaltik usus : Tidak dilakukan
Frekuensi peristaltik rumen : Tidak dilakukan

Anus
Sekitar anus : Bersih
7

Refleks sphincter ani : Ada refleks

Sistem Urogenital
Mukosa vagina : Rose, basah, mengkilat
Kelenjar mammae
Ukuran : Tidak ada perubahan
Letak : Perineal
Bentuk : Terdapat papilloma pada keempat puting
Konsistensi kelenjar : Lunak

Sistem Lokomosi dan Persendian


Inspeksi
Perototan kaki depan : Simetris, kompak, ada kebengkakan
Perototan kaki belakang : Simetris, kompak, kaki lurus kaku
Spasmus otot : Tidak ada
Tremor : Tidak ada
Sudut persendian : Tidak ada kelainan

Kestabilan pelvis
Konformasi : Kompak
Kesimetrisan : Simetris

Palpasi Struktur pertulangan


Kaki kiri depan : Kompak
Kaki kanan depan : Kompak
Kaki kiri belakang : Kompak
Kaki kanan belakang : Kompak
Konsistensi pertulangan : Keras
Reaksi saat palpasi : Ada refleks, sakit pada kaki kiri dan kanan belakang

Prognosa : Fausta

Terapi di Lapang
Terapi yang diberikan di lapangan pada kasus laminitis adalah Phenylject®
(phenybutazoneI) dengan dosis 20 mg/kg secara IM dan Biodin® dengan dosis 0.05
mL/kg secara IM, serta diberikan Limoxyn spray. Phenylbutazone adalah obat anti-
infalmasi non steroid yang bekerja melalui penghambatan enzimsiklooksigenase dan
penghambatan mediator peradangan seperti histamine (Jedziniak et al. 2005). Biodin®
berfungsi dalam memperbaiki proses metabolism tubuh hewan lebih prima. Biodin®
mengandung adenosine triphosphat sebagai energy cadangan siap pakai, berperan
penting dalam proses metabolism sel tubuh hewan. Biodin® juga mengandung garam
aspartat yang berperan dalam mengatur keseimbangan ion-ion tubuh pada proses
metabolism sel dan berfungsi juga sebagai antioksidan dan vitamin B12, yang berperan
dalam proses metabolisme tubuh hewan.
8

Terapi Menurut Literatur


Terapi yang dapat dilakukan untuk menangani kasus laminitis yaitu dengan
membersihkan dan merendam kuku dalam larutan CuSO4 5%, larutan formalin 4%,
dan diberikan antibitotik lokak penivillin 20000 IU pada daerah lamina kuku yang
terluka. Obat sistemik seperti sulfamethazine dengan dosis 200 mg/kg juga dapat
diberikan secara IV. Antibiotik Oxytetracycline diberikan secara IM juga dapat
diberikan untuk mencegah infeksi sekunder (Greenough 2012).

Pembahasan
Laminitis adalah keadaan inflamasi atau kondisi peradangan pada korium
laminar dinding digitalis. Laminitis juga merupakan gangguan patofisiologi
vaskularisasi pembuluh darah kecil di daerah korium yang berfungsi menyuplai
jaringan. Laminitis dapat bersifat subklinis, akut, dan kronik, tergantung pada tingkat
keparahan dari beberapa variabel penyebab terjadinya penyakit (Smith 2014).
Laminitis subklinis adalah bentuk paling umum dari laminitis pada sapi perah
(Holzhauer et al 2008). Laminitis dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain:
trauma pada kuku, teknik pemotongan kuku yang salah, gangguan nutrisi, gangguan
vaskularisasi darah ke daerah kaki, gangguan hormonal, distensi pakan tinggi
karbohidrat, infeksi sistemik atau kondisi yang menyebabkan endotoksin misalnya
mastitis, metritis, endometritis yang terjadi pasca melahirkan, foot and rot disease
(Bergsten 2009).
Gejala klinis yang ditemukan di lapangan yaitu sapi tidak mau makan, suhu
badan meningkat, kaki tidak dapat menumpu dengan sempurna, serta bengkak pada
bagian batas kuku dengan kulit. Menurut literatur, gejala klinis dari laminitis yaitu
ditandai dengan kepincangan parah yang disertai pertumbuhan kuku yang tidak normal.
Pada laminitis akut, penderita mengalami tekanan, tidak mau makan dan berdiri dengan
tidak seimbang dan apabila dipaksa untuk berjalan, akan berjalan dengan pincang
dimana kaki yang sakit akan dipijakkan secepat mungkin (Aiello et al. 2016). Menurut
Hunt dan Wharton (2010) peningkatan denyut nadi, panas pada dinding kuku, dan
kepincangan. Kepincangan sering dimulai pada 36 jam setelah konsumsi karbohidrat
secara berlebihan (Belknap 2010).
Menurut Redden (2007), laminitis pada sapi juga dapat disebabkan oleh
tingginya pemberian pakan yang mengandung karbohidrat. Karbohidrat yang tinggi
dalam rumen dapat mengakibatkan peningkatan aktivitas fermentasi bakteri dalam
saluran pencernaan. Peningkatan hasil fermentasi bakteri menyebabkan penurunan pH
dibawah 5.5. Terjadinya penurunan pH rumen menyebabkan adanya kondisi asidosis.
Kondisi kandang yang lembab, kotor, dan kasar juga dapat menyebabkan predisposisi
laminitis pada kuku sapi.
Manajeman pakan yang salah juga merupakan penyebab utama laminitis,
terutama peningkatan konsumsi pakan tinggi karbohidrat yang mengakibatkan keadaan
asidosis, kemudian berakibat pada penurunan pH sistemik. Penurunan pH sistemik
mengaktifkan mekanisme vasoaktif yang meningkatkan pulsus dan aliran darah
keseluruh tubuh. Kondisi asidosis akan memicu pengeluaran histamin sebagai reaksi
asing adanya perubahan, ketidakseimbangan dan penyakit. Kondisi ini memicu
pembuluh darah untuk mengalami vasokontriksi. Vasokonstriksi pembuluh darah akan
9

berdampak pada daerah kaki dan kuku karena kaki dan kuku merupakan penyangga
berat tubuh sapi sehingga mengakibatkan tekanan pada daerah tersebut (Bergsten
2009).
Darah yang beredar di kuku berkurang atau bahkan berhenti dalam waktu yang
lama, mengakibatkan pembuluh darah akan mengalami nekrosa yang berdampak pada
perubahan fisik jaringan disekitarnya. Sebagai akibat dari kerusakan pada
mikrovaskular dan rendahnya suplai nutrisi serta oksigen pada sel-sel epidermis
mengakibatkan stratum germinativum di epidermis rusak. Peristiwa ini akhirnya
menyebabkan nekrosa bagian lamina dan korium kuku. Akhirnya terjadilah laminitis
yang ditandai dengan kepincangan parah yang disertai pertumbuhan kuku yang tidak
normal (Bergsten 2009).

Gambar 1 Laminitis pada kaki belakang kiri dan kanan yang diberi Lymoxin Spray.

LDA
(Left Displacement Abomasum)

Anamnesis
Seekor sapi FH berumur kurang lebih 2 tahun mengalami penurunan nafsu
makan.

Sinyalemen
Jenis hewan : Sapi
ID sapi : E55005
Umur : 2 tahun
Ras/breed : Friesian Holstein
Warna rambut : Hitam putih
Jenis kelamin : Betina
Berat badan : ± 400 kg
10

Status Present
Keadaan Umum
Suhu tubuh : 38.0°C
Frekuensi jantung : 60 kali/menit
Frekuensi napas : 32 kali/menit
Perawatan hewan : Baik
Tingkah laku : Jinak
Gizi : Cukup, BCS 3
Sikap berdiri : Berdiri pada keempat kaki

Kulit dan rambut


Aspek rambut : Mengkilap
Kebotakan : Tidak ada kebotakan
Permukaan kulit : Halus, tidak ada luka
Turgor kulit : < 3 detik

Mata dan orbita mata kiri


Palpebrae : Membuka dan menutup sempurna
Silia : Keluar sempurna
Konjungtiva : Rose, mengkilat, basah
Membrana niktitans : Tersembunyi
Bola mata kiri
Sklera : Putih
Kornea : Jernih, terang tembus
Iris : Tidak ada perlekatan
Limbus : Merata
Pupil : Tidak ada kelainan
Refleks pupil : Ada refleks
Vasa injeksio : Tidak ada

Mata dan orbita mata kanan


Palpabrae : Membuka dan menutup sempurna
Silia : Keluar sempurna
Konjungtiva : Rose, mengkilat, basah
Membran niktitans : Tersembunyi

Bola mata kanan


Sklera : Putih
Kornea : Jernih, terang tembus
Iris : Tidak ada perlekatan
Limbus : Merata
Pupil : Tidak ada kelainan
Refleks pupil : Ada refleks
Vasa injeksio : Tidak ada
11

Hidung dan sinus hidung : Basah, mengkilat

Mulut dan rongga mulut


Rusak/luka bibir : Tidak ada lesio
Mukosa : Rose, basah, mengkilat,licin
Gigi geligi : Terdapat karang gigi, lengkap
Lidah : Rose, tidak ada kerusakan

Telinga
Posisi telinga : Tegak kedua telinga
Bau : Bau khas cerumen
Permukaan : Licin, halus
Krepitasi : Tidak ada
Refleks panggilan : Ada

Leher
Perototan : Simetris
Trakea : Tidak ada refleks batuk
Esofagus : Teraba, tidak ada isi makanan

Thoraks: Sistem Pernapasan


Inspeksi
Bentuk rongga toraks : Simetris
Tipe pernapasan : Abdominal
Ritme : Teratur
Intensitas : Dalam
Frekuensi : 32 kali per menit

Palpasi
Penekanan rongga toraks : Tidak ada rasa sakit
Palpasi interkostal : Tidak ada reflek sakit, tidak ada batuk
Uji Gumba : Tidak ada rasa sakit

Perkusi
Lapangan paru-paru : Tidak dilakukan
Gema perkusi : Tidak dilakukan

Auskultasi
Suara Pernapasan : Suara napas terdengar jelas, bronkhial inspirasi
vesikular ekspirasi
Suara ikutan : Tidak ada

Thoraks: Sistem Peredaran Darah


Inspeksi
Ictus cordis : Tidak ada
12

Perkusi
Lapangan jantung : Tidak dilakukan

Auskultasi
Frekuensi : 60 kali per menit
Intensitas : Kuat
Ritme : Teratur
Suara sistolik & diastolik : Terdengar jelas
Suara ekstrakardial : Tidak ada
Lapangan jantung : Tidak diamati
Sinkron pulsus & jantung : Sinkron

Abdomen dan Organ Pencernaan yang Berkaitan


Inspeksi
Besarnya : Proporsional
Bentuknya : Proporsional
Legok lapar : Terlihat

Auskultasi
Suara peristaltik usus : Suara ping terdengar
Frekuensi peristaltik rumen : Tidak dilakukan

Anus
Sekitar anus : Bersih
Refleks sphincter ani : Ada refleks

Sistem Urogenital
Mukosa vagina : Rose, basah, mengkilat
Kelenjar mammae
Ukuran : Tidak ada perubahan
Letak : Perineal
Bentuk : Terdapat papilloma pada keempat puting
Konsistensi kelenjar : Lunak

Sistem Lokomosi dan Persendian


Inspeksi
Perototan kaki depan : Simetris, kompak, kaki lurus kaku
Perototan kaki belakang : Simetris, kompak, kaki lurus kaku
Spasmus otot : Tidak ada
Tremor : Tidak ada
Sudut persendian : Tidak ada kelainan

Kestabilan pelvis
Konformasi : Kompak
13

Kesimetrisan : Simetris

Palpasi Struktur pertulangan


Kaki kiri depan : Kompak
Kaki kanan depan : Kompak
Kaki kiri belakang : Kompak
Kaki kanan belakang : Kompak
Konsistensi pertulangan : Keras
Reaksi saat palpasi : Ada refleks, tidak ada rasa sakit

Diagnosa : Left Displacement Abomasum (LDA)


Differensial Diagnosa :-
Prognosa : Fausta

Terapi di Lapang
Terapi yang dilakukan di lapang pada kasus ini adalah operasi untuk reposisi
dan fikasi abomasum. Metode yang dilakukan adalah right flank omentopexy. Metode
right flank omentopexy merupakan salah satu metode yang paling sering digunakan
pada kasus LDA. Kelebihan operasi ini adalah dapat dilakukan pada sapi dengan posisi
berdiri. Operasi dilakukan dengan melakukan penyayatan di bagian flank kanan
abdomen sapi hingga menca[ai rongga abdomen. Setelah itu dilakukan pencarian
abomasum, dan kemudian gas yang ada di abomasum dikeluarkan melalui selang.
Abomasum yang telah kempes di reposisi ke arah kanan dan dilakukan fiksasi dengan
menjahitnya dengan omentum. Setelah itu dilakukan penjahitan omentum, otot, dan
kulit untuk menutup abdomen kembali.
Obat anastesi yang digunakan adalah Lidocaine HCl dengan dosis 5 mL/ 40 kg
BB, yaitu sebanyak 50 mL yang diberikan intramuscular secara lokal di sekitar area
yang akan disayat. Antibiotik yang diberikan adalah Penstrep-400® dengan dosis 1
mL/ 20 kg BB, yaitu sebanyak 20 mL yang diberikan secara intramuscular. Selain itu
juga diberikan Infadex-40® sebanyak 500 mL, Biodin® dengan dosis 1 mL/ 20 kg BB,
yaitu sebanyak 20 mL secara intravena, dan Infalgin-100 Inj® dengan dosis 1 mL/ 20
kg BB, yaitu sebanyak 20 mL secara intramuscular.

Terapi menurut Literatur


Terapi yang bisa dilakukan pada kasus LDA dapat berupa penggulingan sapi,
operasi abomasopeksi atau omentopeksi melalui laparotomi, dan toggle-pin suture
(Raizman dan Santos 2002).

Pembahasan
Kasus Left Displacement Abomasum (LDA) pada sapi perah E55005 ditandai
dengan sapi yang anoreksia dan feses yang sedikit. Pemeriksaan secara perkusi pada
abdomen bagian kiri menunjukkan adanya suara “ping”. Pemeriksaan fisik yang
dilakukan menunjukkan suhu tubuh 38.0 °C, frekuensi jantung 60 kali per menit, dan
frekuensi napas 32 kali per menit. Diagnosis pada sapi tersebut adalah LDA. Terapi
yang diberikan adalah berupa operasi untuk mereposisi dan memfiksasi abomasum.
14

Secara normal, posisi abomasum terletak pada processus xiphoideus di bagian


tengah ventral abdomen. Perubahan posisi abomasum biasanya terjadi ke sisi kiri
meskipun perpindahan ke kanan juga terjadi. Left Displacement Abomasum (LDA)
merupakan kondisi dimana terjadi perpindahan abomasum ke arah kiri. Perpindahan
abomasum merupakan sindrom multifaktorial, dimana atoni abomasum merupakan
simptom pertama dari kejadian ini. Gas dihasilkan oleh fermentasi mikroba yang
abnormal yang menyebabkan abdomen menggembung dan berpindah. Pakan dengan
konsentrat tinggi mampu meningkatkan akumulasi gas di dalam abomasum (Cardoso
et al. 2008). Menurut Pravetton et al. (2004), LDA merupakan penyakit mulfaktorial
yang disebabkan oleh genetik, anatomi, pakan, dan kondisi patologis yang
menyebabkan atoni abomasum. Pemberian pakan yang salah merupakan faktor yang
paling penting pada kejadian atoni abomasum yang akhirmnya menyebabkan LDA.
Secara epidemiologi, faktor yang mempengaruhi kejadian LDA adalah jenis sapi
Friesian Holstein, Jersey, dan Guernsey, sapi yang baru melahirkan dan sapi yang
memiliki produksi susu tinggi, sapi yang mengalami penurunan intake pakan dan
nutrisi, sapi yang menderita penyakit endometitis dan pincang, serta pengaruh
lingkungan. Sedangkan secara etiologi adalah pengaruh asupan pakan, keseimbangan
energi negatif, dan efek kalsium pada fungsi abomasal, yang berhubungan dengan
motilitas dan produksi gas (Van Winden dan Kuiper 2003).

Gambar 2 Sapi E55005 yang mengalami LDA

Perpindahan ini sering terjadi pada sapi perah dengan produksi tinggi selama 6
minggu setelah kelahiran dan umumnya tidak fatal. Aktivitas yang berat menjadi
predisposisi kejadian ini pada sapi yang tidak bunting. Atoni abomasum dapat terjadi
pada sapi yang baru melahirkan akibat pemberiaan konsentrat yang berlebihan (volatile
fatty acid menurunkan motilitas) dan hipokalsemia. Selain itu, gravid uterus
menyebabkan perpidahan rumen dan abomasum ke depan dan ke kiri, merobek
perlekatan omentum dengan abomasum. Abomasum kemudian pindah ke kiri dan
menggeser rumen ke medial. Hal ini menyebabkan obstruksi parsial aliran darah keluar
abomasum. Gejala klinis perpindahan abomasum ditandai dengan anoreksia, kaheksia,
dehidrasi, ketonuria, feses yang sedikit, dan adanya suara “ping” saat dilakukan perkusi
pada abomasum (Zachary dan McGavin 2012).
15

Gambar 3 Jahitan luar setelah operasi right flank omentopexy

HERNIA UMBLIKALIS

Anamnesa
Seekor pedet berumur kurang lebih 1 minggu mengalami hernia umbilikalis
yang ditandai dengan bagian umbilikal yang membesar.

Signalement
Jenis hewan : Sapi
ID sapi :-
Umur : 1 minggu
Ras/breed : Friesian Holstein
Warna rambut : Hitam putih
Jenis kelamin : Jantan
Berat badan : ± 15 kg

Status Present
Keadaan Umum
Perawatan : Baik
Habitus : Tulang punggung tidak rata
Gizi : Baik
Pertumbuhan : Baik
Sikap Berdiri : Tegak pada ke empat kaki
Suhu : 38.5 oC
Frekuensi jantung : 64 kali/menit
Frekuensi nafas : 40 kali/menit

Kulit dan rambut


Aspek rambut : Kusam
Kerontokan : Tidak rontok
Kebotakan : Tidak ada
Turgor kulit : < 3 detik
16

Permukaan kulit : Halus dan rata

Kepala dan leher


(Inspeksi)
Ekspresi wajah : Jinak
Pertulangan kepala : Simetris
Posisi tegak telinga : Kedua telinga ke arah samping
Posisi kepala : Lurus dengan tulang punggung

Mata dan orbita kiri


Palpabrae : Dapat membuka dan menutup dengan sempurna
Cilia : Mengarah keluar
Konjuctiva : Rose, licin, permukaan rata dan tidak ada lesio
Membran nictitans : Sembunyi

Mata dan orbita kanan


Palpabrae :Membuka dan menutup dengan sempurna
Cilia : Mengarah keluar
Konjuctiva : Rose, licin, permukaan rata dan tidak ada lesio
Membran nictitans : Sembunyi

Bola mata kanan


Sclera : Putih, tidak ada vasa injeksio
Kornea : Jernih, terang, tembus
Iris : Tidak ada perlekatan
Limbus : Rata
Pupil : Tidak ada perubahan
Refleks pupil : Ada refleks
Vasa injectio : Tidak ada vasa injeksio

Bola mata kiri


Sclera : Putih, tidak ada vasa injeksio
Kornea : Jernih, terang, tembus
Iris : tidak ada perlekatan
Limbus : Rata
Pupil : Tidak ada perubahan
Refleks pupil : Ada refleks
Vasa injectio : Tidak ada vasa injeksio

Hidung dan sinus-sinus


Bentuk : Simetris
Lubang : Tidak ada sumbatan
Aliran udara : Tidak ada sumbatan
Suara perkusi Nyaring
17

Mulut dan rongga mulut


Rusak atau luka bibir : tidak adal luka
Mukosa : rose, permukaan rata dan licin
Gigi geligi tidak ada karang gigi, lengkap
Karang gigi : tidak ada
Permukaan lidah : Rose, kasar, tidak perlukaan

Telinga
Posisi daun telinga : Mengarah ke samping
Bau : Khas cerumen
Permukaan : Kotor
Refleks pangilan : Ada
Krepitasi : Tidak ada krepitasi

Leher
Perototan : Simetris
Trakhea : Teraba, tidak ada respon batuk
Esophaus : Teraba, tidak ada perubahan

Thoraks
Sistem pernafasan
(Inspeksi)
Bentuk : Simetris
Tipe pernafasan : Abdominal
Ritme : Teratur
Intensitas : Dalam
Frekuensi : 20 kali/menit
(Palpasi)
Penekanan rongga thorak : Tidak ada respon sakit
Penekanan intercostalis : Tidak ada respon sakit
(Perkusi)
Lapangan paru-paru : Tidak ada perluasaan
Gema perkusi : Nyaring
(Auskultasi)
Suara pernfasan : Vesikular respirasi terdengar jelas
Suara ikutan antara ex dan inspirasi : Tidak ada

Sistem peredaran darah


(Inspeksi)
Ictus cordis : Tidak terlihat
(Perkusi)
Lapangan jantung : Tidak ada perluasan
(Auskultasi)
Frekuensi : 64x/menit
Intensitas : Kuat
18

Ritme : Tidak ada kelainan


Suara sistol dan diastole : Terdengar jelas
Sinkronisasi pulsus dan jantung : Sinkron

Uji lain-lain
Uji gumba : Tidak ada respon
Uji alu : Tidak ada respon

Abdomen dan Organ pencernaan


(Inspeksi)
Besarnya : Proporsional
Bentuknya : Simetris kanan dan kiri
Legok lapar : terlihat
(Palpasi)
Tegangan isi perut : Tegang
Frekuensi rumen : 5 kali/5 menit
(Auskultasi)
Rumen : Terdengar suara peristaltik
Peristaltik usus : Terdengar
Anus
Sekitaran anus : Kotor
Refleks spincter ani : Ada

Alat urogenitalia
Betina
(Inspeksi dan Palpasi)
Mukosa vagina : Rose, licin, tidak ada lesio
Kelenjar mamae
Besar : Bengkak
Letak : Ventral Abdomen
Bentuk : Tidak Proporsional
Kesimetrisan : Simetris
Konsistensinya : Kenyal
Palpasi rektal : Tidak dilakukan

Alat gerak
(Inspeksi)
Perototan kaki depan : Simetris
Perototan kaki belakang : Simetris
Spasmus otot : Tidak ada
Tremor : Tidak ada

Kestabilan pelvis
Konformasi : tegas dan kompak
Kesimetrisan : simetris
19

Palpasi Pertulangan
Kaki kiri depan : Tidak ada kelainan
Kaki kanan depan : Tidak ada kelainan
Kaki kiri belakang : Tidak ada kelainan
Kaki kanan belakang : Tidak ada kelainan
Konsistensi pertulangan : Simetris
Reaksi saat dipalpasi : Tidak ada kelainan

Diagnosa : Hernia umblikalis


Differensial Diagnosa :-
Prognosa : Fausta

Terapi di Lapang
Terapi yang diberikan pada kasus hernia umbilikalis adalah berupa operasi
(herniorrhaphy). Anak sapi yang mengalami hernia umbilikalis dioperasi untuk
mengangkat bagian otot yang sudah mengalami nekrosis. Setelah itu cincin hernia
dibuat perlukaan dan dijahit dengan jahitan simple continous suture. Obat anastesi yang
digunakan adalah xylazine HCl 2% dengan dosis 0.1 mL/kg BB, yaitu sebanyak 1.5
mL yang diberikan secara intramuscular.

Terapi Menurut Literatur


Menurut Kumar et al. (2013), satu-satunya terapi yang paling efektif untuk
hernia umbilikalis adalah dengan operasi untuk mengembalikan integritas dinding
perut. Beberapa metode untuk terapi hernia adalah ligasi kantung hernia, penggunaan
klem, penjahitan kantung hernia, dan operasi (herniorrhaphy). Herniorrhaphy
merupakan metode yang paling umum digunakan untuk kasus ini (Sutradhar et al.
2009).

Pembahasan
Kasus hernia umbilikalis pada pedet ditandai dengan adanya pembesaran di
daerah umbilikal. Secara inspeksi terlihat hernia umbilikal tersebut mengalami luka
terbuka. Pemeriksaan fisik yang dilakukan menunjukkan suhu tubuh 38.5 °C, frekuensi
jantung 64 kali per menit, dan frekuensi napas 40 kali per menit. Diagnosis pada sapi
tersebut adalah hernia umbilikalis. Terapi yang diberikan adalah berupa operasi.
Hernia umbilikalis terjadi akibat adanya kegagalan penutupan cincin pusar dan
menyebabkan isi perut masuk ke dalam subkutis (Sutradhar et al. 2009). Hernia
umbilikalis merupakan cacat kongenital yang umum pada anak sapi Friesian Holstein
dengan frekuensi kejadian 4 sampai 15% (Herrmann et al. 2001). Hernia umbilikalis
sering terjadi pada hewan domestik seperti kuda, sapi, dan anjing. Kondisi ini
disebabkan oleh adanya kromosom abnormal, yang menyebabkan kesalahan pada
penutupan umbilikal saat lahir karena otot abdomen yang tidak berkembang atau
hipoplasia (Rahman et al. 2001). Secara umum, penyebab hernia umbilikalis terkait
dengan genetik, namun dapat juga terjadi akibat infeksi pada umbilikal. Kelahiran yang
20

berulang dan masa kehamilan yang lebih singkat merupakan faktor risiko kejadian
hernia umbilikalis pada anak sapi (Sutradhar et al. 2009).
Kejadian hernia umbilikalis diwariskan melalui gen dominan ataupun resesif.
Selain itu, berdasarkan penelitian di Amerika Serikat dan Kanada, risiko kejadian
hernia umbilikalis pada sapi ras Friesian Holstein dua kali lipat lebih sering
dibandingkan dengan ras lain (Angus, Ayrshire, Brown Swiss, Charolais, Guernsey,
Hereford , Jersey, dan Shorthorn). Faktor lain selain genetik yang bisa menyebabkan
hernia umbilikalis adalah infeksi pada umbilikal. Infeksi pada umbilikal dapat
memperlambat penutupan umbilikal. Frekuensi hernia umbilikalis pada sapi betina
Friesian Holstein dengan infeksi umbilikal akan berkurang sebesar 68-82% jika infeksi
umbilikal telah dicegah (Steenholdt dan Hernandez 2004). Hernia awalnya kecil pada
saat lahir, namun akan semakin membesar seiring dengan bertambahnya usia. Isi hernia
biasanya adalah lemak, omentum, dan apabila hernianya besar terdapat usus di
dalamnya (Sutradhar et al. 2009). Sapi dengan hernia umbilikalis yang besar memiliki
risiko tinggi mengalami kolik yang sering menyebabkan kematian pada anak sapi (Distl
et al. 2002).

Gambar 4 Hernia umbilikalis pada anak sapi yang berumur 1 minggu

RUMEN ASIDOSIS

Anamnesa
Sapi D2618 dilaporkan oleh peternak bahwa sapi tersebut tidak nafsu makan.

Signalement
Nama : D2618
Jenis hewan/spesies : Sapi
Ras/Bredd : Friesian Hilstein
Warna kulit dan rambut : Hitam-Putih
Jenis kelamin : Betina
Umur : 3 tahun
BCS :3
Tanda khusus :-
21

Status Present
Keadaan Umum
Perawatan : Baik
Habitus : Tulang punggung tidak rata
Gizi : Baik
Pertumbuhan : Baik
Sikap Berdiri : Tegak pada ke empat kaki
Suhu : 39.5 oC
Frekuensi jantung : 64 kali/menit
Frekuensi nafas : 28 kali/menit

Kulit dan rambut


Aspek rambut : Kusam
Kerontokan : Tidak rontok
Kebotakan : Tidak ada
Turgor kulit : < 3 detik
Permukaan kulit : Halus dan rata

Kepala dan leher


(Inspeksi)
Ekspresi wajah : Jinak
Pertulangan kepala : Simetris
Posisi tegak telinga : Kedua telinga ke arah samping
Posisi kepala : Lurus dengan tulang punggung

Mata dan orbita kiri


Palpabrae : Dapat membuka dan menutup dengan sempurna
Cilia : Mengarah keluar
Konjuctiva : Rose, licin, permukaan rata dan tidak ada lesio
Membran nictitans : Sembunyi

Mata dan orbita kanan


Palpabrae : Dapat membuka dan menutup dengan sempurna
Cilia : Mengarah keluar
Konjuctiva : Rose, licin, permukaan rata dan tidak ada lesio
Membran nictitans : Sembunyi

Bola mata kanan


Sclera : Putih, tidak ada vasa injeksio
Kornea : Jernih, terang, tembus
Iris : Tidak ada perlekatan
Limbus : Rata
Pupil : Tidak ada perubahan
Refleks pupil : Ada refleks
Vasa injectio : Tidak ada vasa injeksio
22

Bola mata kiri


Sclera : Putih, tidak ada vasa injeksio
Kornea : Jernih, terang, tembus
Iris : tidak ada perlekatan
Limbus : Rata
Pupil : Tidak ada perubahan
Refleks pupil : Ada refleks
Vasa injectio : Tidak ada vasa injeksio

Hidung dan sinus-sinus


Bentuk : Simetris
Lubang : Tidak ada sumbatan
Aliran udara : Tidak ada sumbatan Suara perkusi
: Nyaring

Mulut dan rongga mulut


Rusak atau luka bibir : tidak adal luka
Mukosa : rose, permukaan rata dan licin
Gigi geligi : tidak ada karang gigi, lengkap
Karang gigi : tidak ada
Permukaan lidah : Rose, kasar, tidak perlukaan

Telinga
Posisi daun telinga : Mengarah ke samping
Bau : Khas cerumen
Permukaan : Kotor
Refleks pangilan : Ada
Krepitasi : Tidak ada krepitasi

Leher
Perototan : Simetris
Trakhea : Teraba, tidak ada respon batuk
Esophaus : Teraba, tidak ada perubahan

Thoraks
Sistem pernafasan
(Inspeksi)
Bentuk : Simetris
Tipe pernafasan : Abdominal
Ritme : Teratur
Intensitas : Dalam
Frekuensi : 32 kali/menit
(Palpasi)
Penekanan rongga thorak : Tidak ada respon sakit
23

Penekanan intercostalis : Tidak ada respon sakit


(Perkusi)
Lapangan paru-paru : Tidak ada perluasaan
Gema perkusi : Nyaring
(Auskultasi)
Suara pernfasan : Vesikular respirasi terdengar jelas
Suara ikutan antara ex dan inspirasi : Tidak ada

Sistem peredaran darah


(Inspeksi)
Ictus cordis : Tidak terlihat
(Perkusi)
Lapangan jantung : Tidak ada perluasan
(Auskultasi)
Frekuensi : 64x/menit
Intensitas : Kuat
Ritme : Tidak ada kelainan
Suara sistol dan diastole : Terdengar jelas
Sinkronisasi pulsus dan jantung : Sinkron

Uji lain-lain
Uji gumba : Tidak ada respon
Uji alu : Tidak ada respon

Abdomen dan Organ pencernaan


(Inspeksi)
Besarnya : tidak proporsional
Bentuknya : tidak simetris
Legok lapar : terlihat
(Palpasi)
Tegangan isi perut : Tegang
Frekuensi rumen : 5 kali/5 menit
(Auskultasi)
Rumen : Terdengar suara peristaltik ping
Peristaltik usus : Terdengar

Anus
Sekitaran anus : Kotor
Refleks spincter ani : Ada

Alat urogenitalia
Betina
(Inspeksi dan Palpasi)
Mukosa vagina : Rose, licin, tidak ada lesio
Kelenjar mamae
24

Besar : Proporsional
Letak : Ventral Abdomen
Bentuk : Proporsional
Kesimetrisan : Simetris
Konsistensinya : Kenyal
Palpasi rektal : Tidak dilakukan

Alat gerak
(Inspeksi)
Perototan kaki depan : Simetris
Perototan kaki belakang : Simetris
Spasmus otot : Tidak ada
Tremor : Tidak ada

Kestabilan pelvis
Konformasi : tegas dan kompak
Kesimetrisan : simetris

Palpasi Pertulangan
Kaki kiri depan : Tidak ada kelainan
Kaki kanan depan : Tidak ada kelainan
Kaki kiri belakang : Tidak ada kelainan
Kaki kanan belakang : Tidak ada kelainan
Konsistensi pertulangan : Simetris
Reaksi saat dipalpasi : Tidak ada kelainan

Diagnosa : Rumen Asidosis


Differensial Diagnosa : Tympani, kolik
Prognosa : Fausta – dubius

Terapi di Lapang
Terapi yang diberikan di lapangan pada kasus rumen asidosis yaitu Calcitect®
400 mL melalui pemberian secara IV, infuse Infadrex® (dextrose) 500 mL + Biodine®
10 mL melalui pemberian secara IV. infuse Infadrex® (dextrose) 500 mL melalui vena
jugularis dilakukan untuk mengatasi kondisi dehidrasi dari sapi perah tersebut.

Terapi Menurut Literatur


Terapi yang dapat dilakukan untuk penangan kasus rumen asidosis yaitu dengan
mengganti pakan konsemtrat menjadi pakan menhandung banyak serat seperti rumput
untuk meningkatkan gerakan mengunyah yang dapat menstimulasi produksi saliva
yang berperan penting dalam menetralisir asam rumen. Infuse dextrose juga digunakan
untuk mengatasi dehidrasi parah pada sapi perah yang dalam kondisi parah (RAGFAR
2007).
25

Synder dan Credille (2017) menyatakan bahwa terapi dapat dilakukan dengan
pemberian larutan NaHCO3 5% dengan kecepatan 5 L dalam waktu 30 menit untuk
hewan dengan berat badan 450kg, diikuti dengan pemberian NaHCO3 1.3% yang
diberikan sebanyak 150 mL/kgBB dalam rentang waktu 6 hingga 12 jam. Untuk
mencegah terjadinya abses pada hati juga dapat diberikan antibiotic berupa penicillin,
tylosin, potentiated sulphonamides dan tetracycline. Terapi suportif seperti pemberian
flunixin meglumine dengan dosis 1 mg/kg untuk mengatasi endotemia, antihistamin
untuk mengawal produksi antihistamin, pemberian kalsium dan magnesium secara IV
atau SC untuk mencegah hypocalcaemia dan hypomagnesaemia serta pemberian
thiamine dengan dosis 10 mg/kg setiap 24-48 jam juga dapat dilakukan untuk
mencegah polioencepalomalacia.
Menurut Subronto (2006), pemberian larutan magnesium sulfat atau
sodiumsulfat 1-2 kali. Antihistamin, seperti Delladryl® sebanyak 10-15 ml secara
suntikan. Pemberian antibiotic secara oral, misalnya penisilin untukmengurangi jumlah
Lactobacillus dengan diulang 12 jam kemudian. Hewan yang mengalami dehidrasi
dilakukan penggantian cairan yang hilang, jumlahnya sesuai dengan derajat dehidrasi.
Untuk mengurangi asidosis dapat diberikan larutan sodium bikarbonat 2.5% sebanyak
500ml secara intravena perlahan-lahan untuk menghindari alkaliemia.

Pembahasan
Rumen asidosis merupakan bentuk indigesti akut yang ditandai dengan
ruminostatis yang sarat, rumen berisi ingesta yang bersifat asam, disertai anoreksia
total, dehidrasi, asidosis, dan toksemia. Gangguan ini disebabkan karena sapi-sapi
memakan bahan makanan penguat yang kaya akan karbohidrat (konsentrat) secara
berlebihan, terlalu banyak memakan konsentrat yang terlalu tinggi karbohidratnya,
seekor sapi dapat menderita rumen asidosis (Subronto 2006).
Rumen asidosis adalah salah satu penyakit metabolik terpenting pada sapi perah
yang ditandai dengan penurunan pH rumen dibawah 5.5 beberapa jam setelah
pemberian pakan. Penyakit ini disebabkan oleh penurunan pH rumen dibawah level
normal, karena peningkatan konsentrasi volatile fatty acids (VFA) yang berlebihan.
Peningkatan konsentrasi VFA dapat dibebakan oleh diet yang kaya akan karbohidrat
yang mudah difermantasi atau lambatnya penyerapan VFA oleh dinding rumen, karena
penyesuaian yang tidak tepat dalam diet tinggi karbohidrat. Rumen asidosis pada sapi
perah dapat berdampak pada penurunan produksi susu, penurunan lemak susu,
laminitis, abses hati, serta sindrom caudal vena cava (Sato 2016; Nagaraja dan
Titgemeyert 2007).
Penurunan konsumsi pakan merupakan cara terakhir yang dilakukan ruminasia
untuk mengatur pH rumen. Penurunan bahan kering jelas terlihat ketika pH rumen
kurang dari 5.5. Namun produksi laktat pada pH rumen rendah dapat mengimbangi
kenaikan dari penyerapan VFA. Ketika pH turun, bakteri penghasil laktat seperti
Streptococcus bovis mulai memfermentasi glukosa menjadi laktat dibanding
memfermentasi VFA. Hal ini situasi yang berbahaya karena laktat mempunyai pKa
lebih rendah dari VFA (3.9 dan 4.8) dan laktat 5.2 kali lebih sulit terurai dibanding
VFA pada pH 5.0. Oleh karena itu, laktat terakumulasi dirumen lebih lama dan
berkontribusi dalam penurunan pH rumen (Fraser et al. 2011).
26

Rendahnya pH rumen selama rumen asidosis juga menurunkan jumlah spesies


mikroba rumen, walaupun aktivitas metabolic bakteri yang tersisa sangat tinggi.
Populasi protozoa terbatas akibat pH rumen mencapai 5.0. Ketika spesies bakteri dan
protozoa sedikit, mikroflora rumen kurang stabil sehingga kemampuan untuk menjaga
pH rumen normal ketika perubahan pakan yang tiba-tiba. Sel epitel rumen tidak
terlindungi oleh mukus. Oleh karena itu, sel-sel tersebut rentan terhadap kerusakan
kimia akibat asam. pH rumen rendah menyebabkan rumenitis, erosi, dan ulserasi epitel
rumen (Fraser et al. 2011).
Tanda-tanda klinis yang terjadi pada kasus rumen asidosis bervarisai tergantung
jenis dan jumlah pakan yang diberikan, dan tingkat keparahan secara fisiologis. Dalam
kasus ini motilitas rumen berkurang, hewan mengalami diare, menurunnya nafsu
makan, adanya tanda dehidrasi ringan, sertanya terjadinya penurunan jumlah produksi
susu (Synder and Credille 2017). Menurut Subronto (2006), sapi yang menderita rumen
asidosis menunjukan rasa sakit pada daerah perut, kelemahan umum, nafsu makan dan
minum hilang secara total, rumen mengalami distensi kearah lateral maupun medial.
Terdapat gas pada ingesta walaupun jumlahnya tidak banyak. Palpasi rumen
menunjukan konsistensi yang padat dan liat. Selain itu, penderita mengalami dehidrasi,
feses yang terbentuk sedikit, konsistensi lunak bercampur lendir dan berwarna gelap
serta berbau tajam.

DOWNER COW SYNDROME

Anamnesa

Seekor sapi perah yang masih dara dilaporkan ambruk dan tidak nafsu makan
sejak pagi. Sapi sedang bunting sekitar 8 bulang menjelang 9 bulan. Pakan diberikan
hijauan dan konsentrat, namun sekarang sedang musim kemarau sehingga hijauan
susah dicari.

Signalment

Sapi dengan ras Friesian Holstein (FH) berjenis kelamin betina memiliki warna
rambut hitam-putih. Sapi berumur sekitar ± 1.5 tahun dengan bobot badan sekitar ±
350 kg.

Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
- Perawatan : Baik
- Habitus : Tulang punggung tidak rata
- Gizi : Baik
- Pertumbuhan : Baik
- Sikap Berdiri : Tegak pada ke empat kaki
- Suhu : 35.3 oC
27

- Frekuensi jantung : 76 kali/menit


- Frekuensi nafas : 20 kali/menit

Kulit dan rambut


- Aspek rambut : Kusam
- Kerontokan : Tidak rontok
- Kebotakan : Tidak ada
- Turgor kulit : < 3 detik
- Permukaan kulit : Halus dan rata

Kepala dan leher


(Inspeksi)
- Ekspresi wajah : Jinak
- Pertulangan kepala : Simetris
- Posisi tegak telinga : Kedua telinga ke arah samping
- Posisi kepala : Lurus dengan tulang punggung

Mata dan orbita kiri


- Palpabrae : Dapat membuka dan menutup dengan sempurna
- Cilia : Mengarah keluar
- Konjuctiva : Rose, licin, permukaan rata dan tidak ada lesio
- Membran nictitans : Sembunyi

Mata dan orbita kanan


- Palpabrae :Membuka dan menutup dengan sempurna
- Cilia : Mengarah keluar
- Konjuctiva : Rose, licin, permukaan rata dan tidak ada lesio
- Membran nictitans : Sembunyi

Bola mata kanan


- Sclera : Putih, tidak ada vasa injeksio
- Kornea : Jernih, terang, tembus
- Iris : Tidak ada perlekatan
- Limbus : Rata
- Pupil : Tidak ada perubahan
- Refleks pupil : Ada refleks
- Vasa injectio : Tidak ada vasa injeksio

Bola mata kiri


- Sclera : Putih, tidak ada vasa injeksio
- Kornea : Jernih, terang, tembus
- Iris : tidak ada perlekatan
- Limbus : Rata
- Pupil : Tidak ada perubahan
- Refleks pupil : Ada refleks
28

- Vasa injectio : Tidak ada vasa injeksio

Hidung dan sinus-sinus


- Bentuk : Simetris
- Lubang : Tidak ada sumbatan
- Aliran udara : Tidak ada sumbatan
- Suara perkusi Nyaring
-
Mulut dan rongga mulut
- Rusak atau luka bibir : tidak adal luka
- Mukosa : rose, permukaan rata dan licin
- Gigi geligi tidak ada karang gigi, lengkap
- Karang gigi : tidak ada
- Permukaan lidah : Rose, kasar, tidak perlukaan

Telinga
- Posisi daun telinga : Mengarah ke samping
- Bau : Khas cerumen
- Permukaan : Kotor
- Refleks pangilan : Ada
- Krepitasi : Tidak ada krepitasi

Leher
- Perototan : Simetris
- Trakhea : Teraba, tidak ada respon batuk
- Esophaus : Teraba, tidak ada perubahan

Thoraks
Sistem pernafasan
(Inspeksi)
- Bentuk : Simetris
- Tipe pernafasan : Abdominal
- Ritme : Teratur
- Intensitas : Dalam
- Frekuensi : 20 kali/menit
(Palpasi)
- Penekanan rongga thorak : Tidak ada respon sakit
- Penekanan intercostalis : Tidak ada respon sakit
(Perkusi)
- Lapangan paru-paru : Tidak ada perluasaan
- Gema perkusi : Nyaring
(Auskultasi)
- Suara pernfasan : Vesikular respirasi terdengar jelas
- Suara ikutan antara ex dan inspirasi : Tidak ada
29

Sistem peredaran darah


(Inspeksi)
- Ictus cordis : Tidak terlihat
(Perkusi)
- Lapangan jantung : Tidak ada perluasan
(Auskultasi)
- Frekuensi : 64x/menit
- Intensitas : Kuat
- Ritme : Tidak ada kelainan
- Suara sistol dan diastole : Terdengar jelas
- Sinkronisasi pulsus dan jantung : Sinkron

Uji lain-lain
- Uji gumba : Tidak ada respon
- Uji alu : Tidak ada respon

Abdomen dan Organ pencernaan


(Inspeksi)
- Besarnya : Proporsional
- Bentuknya : Simetris kanan dan kiri
- Legok lapar : terlihat
(Palpasi)
- Tegangan isi perut : Tegang
- Frekuensi rumen : 5 kali/5 menit
(Auskultasi)
- Rumen : Terdengar suara peristaltik
- Peristaltik usus : Terdengar
Anus
- Sekitaran anus : Kotor
- Refleks spincter ani : Ada

Alat urogenitalia
Betina
(Inspeksi dan Palpasi)
- Mukosa vagina : Rose, licin, tidak ada lesio
Kelenjar mamae
- Besar : Bengkak
- Letak : Ventral Abdomen
- Bentuk : Tidak Proporsional
- Kesimetrisan : Simetris
- Konsistensinya : Kenyal
- Palpasi rektal : Tidak dilakukan

Alat gerak
(Inspeksi)
30

- Perototan kaki depan : Simetris


- Perototan kaki belakang : Simetris
- Spasmus otot : Tidak ada
- Tremor : Tidak ada

Kestabilan pelvis
- Konformasi : tegas dan kompak
- Kesimetrisan : simetris

Palpasi Pertulangan
- Kaki kiri depan : Tidak ada kelainan
- Kaki kanan depan : Tidak ada kelainan
- Kaki kiri belakang : Tidak ada kelainan
- Kaki kanan belakang : Tidak ada kelainan
- Konsistensi pertulangan : Simetris
- Reaksi saat dipalpasi : Tidak ada kelainan

Diagnosa : Downer Cow Syndrome


Differensial Diagnosa : Hipokalsemia, milk fever
Prognosa : Fausta – dubius

Temuan Klinis
Ambruk, mukosa pucat, frekuensi nafas rendah, frekuensi jantung cepat, dan
suhu tubuh di bawah normal. Setelah dilakukan palpasi perektal, ternyata fetus sudah
mati.

Diagnosa
Downer Cow Syndrome

Prognosa
Infausta.

Terapi di lapangan
Terapi yang dilakukan adalah memberikan infus cofacalsium sebanyak 500ml
cofakalsium®.

Terapi menurut literature


Terapi yang disarankan pada sapi yang mengalami downer cow syndrome
adalah infus dextrose 50% sebanyak 500 mL dan infus Cofakalsium® sebanyak 500
mL. Awalnya sapi diinfus dengan dextrose 50% sebanyak 500 mL melalui vena
jugularis dan setelah itu dilanjutkan dengan infus Cofakalsium® sebanyak 500 mL
melalui tempat yang sama. Infus dextrose 50% mengandung glukosa sebanyak 50%.
Tujuan pemberian infus dextrose 50% adalah untuk memberikan asupan glukosa pada
sapi. Sapi tersebut tidak mau makan sehingga diberikan infus dextrose untuk
31

meningkatkan kadar gula di dalam darah. Glukosa berfungsi untuk proses metabolisme
sel-sel tubuh. Cofakalsium mengandung kalsium gluconat, magnesium hipofosfit
6H2O dan asam borat. Cofacalsium merupakan terapi untuk sapi yang mengalami
hipokalsemia atau hipomagnesemia. Menurut Goff (2008), terapi pada kasus
hipokalsemia adalah injeksi secara intravena larutan kalsium borogluconate dengan
dosis 8.5-11.5 g Ca/ 500 mL. Larutan tersebut biasanya juga mengandung magnesium
, fosfor, dan glukosa (dextrose). Dosis efektif untuk injeksi kalsium secara intravena
adalah 2 gram Ca/100 kg BB. Selain itu preparat kalsium juga dapat diberikan secara
subcutan dengan dosis 1-1.5 g Ca atau intramuscular 0.5-1.0 g Ca.

Pembahasan
Seekor sapi berumur ±3 tahun melahirkan namun pada keesokan harinya, sapi
tersebut lemas, tidak mau berdiri, dan tidak mau makan. Setelah dilakukan
pemeriksaan, sapi mengalami dehidrasi dengan CRT >2 detik. Berdasarkan temuan
gejala klinis di lapang, sapi didiagnosa downer cow syndrome dan suspect
hipokalsemia.
Downer cow syndrome ataupun dikenali sebegai penyakit sindrom sapi ambruk
merupakan penyakit yang sering diderita oleh sapi di Indonesia dengan angka kerugian
yang cukup tinggi di kalangan peternak. Penyakit ini bisa disebabkan oleh banyak
faktor yang sangat bervariatif dan komplikatif. Namun beigitu banyak literatur
melaporkan bahwa Downer cow syndrome bermanifestasi setelah partus dan berkait
dengan hipokalsemia. Untuk memeriksa hipokalsemia harus melakukan pemeriksaan
untuk melihat kadar kalsium, tetapi ini sangat tidak memungkinkan di lapang karena
faktor biaya. Downer cow syndrome juga dikenali dengan istilah paraplegia post
partum kerana ia selalu terjadi pada induk hewan yang sedang buting tua atau beberapa
hari sesudah partus yang menyebabkan sapi tidak dapat berdiri, tetapi selalu dalam
keadaan berbaring diri, tetapi selalu dalam keaddan berbaring pada salah satu sisi
tubuhnya karena adanya kelemahan pda bagian belakang tubuh (Subronto 2007).
Beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab adalah adanya kelemahan badan
akibat menrima beban terlalu berat misalnya bunting dengan anak yang terlalu besar,
anak kembar. Ia juga dapat disebabkan oleh adanya contusion pada otor di abgian tubuh
sebelah belakang waktu berbaring atau menjatuhkan diri sehingga ada kerusakan pada
otot atau tulang pelvis. Downer cow syndrome juga dapat disebabkan oleh adanya
osteomalasia karena defisiensi vitamin D, pembendungan pembuluh darah pada kaki
belakang sehingga menimbulkan peredaran darah.Gejala yang terlihat secara tiba-tiba
induk hewan yang baru saja melahirkan terlihat jatuh dan tidak dapat berdiri karena
adanya kelemahan di bagian belakang badannya, gejalala ini bisa terlihat 2-3hari
sebelum partus. Pada kebanyakan kasus, DCS adalah komplikasi hipokalsemia
periparturient (Subronto 2007).
Hipokalsemia merupakan penyakit metabolik dimana kadar kalsium dalam darah
berada di bawah rentang normal (8.5-10 mg/dL) (Goff 2008). Kalsium dalam tubuh
berperan untuk pembentukan tulang, kontraksi otot, transmisi saraf, pembekuan darah,
dan sebagai second messenger yang mengatur hormon-hormon. Sebagian besar kasus
hipokalsemia terjadi dalam 24-48 jam setelah melahirkan. Secara umum, sapi yang
32

mengalami hipokalsemia tidak mampu berdiri dan hanya karena kalsium dalam darah
yang rendah (Seifi dan Kia 2008).
Menurut Oetzel (1988), sebanyak 75% kasus hipokalsemia terjadi dalam waktu
24 jam setelah melahirkan, 12% terjadi setelah 24 hingga 48 jam setelah melahirkan,
6% kasus terjadi saat melahirkan dan menyebabkan distokia, 3% kasus terjadi saat
sebelum melahirkan, dan 4% kasus terjadi lebih dari 48 jam setelah melahirkan.
Penyebab umum dari hipokalsemia yaitu karena terjadi penurunan kalsium di
dalam darah secara tiba-tiba. Kadar kalsium di dalam darah berada di bawah normal
mencapai angka 2-5 mg/dL (Radostids et al. 2000). Sedangkan menurut Sjafarnjanto
(2010), penyebab hipokalsemia karena perubahan kadar ion dalam sel cairan tubuh.
Perubahan kadar ion tersebut mempengaruhi iritabilitas, gerakan dan tonus otot, serta
pengaruh dari ion-ion Na, K, Ca dan Mg yang mempengaruhi implus syaraf. Fungsi Ca
dan Mg sebagai pemelihara permeabilitas membran sel dan kontraksi otot. Sedangkan
Ca berfungsi sebagai aktivator ikatan protein aktin dan myosin sehingga dapat
menghasilkan kontraksi otot (Subronto 2007).
Faktor predisposisi dari hipokalsemia yaitu umur, produktivitas susu, nafsu
makan, kandungan gizi ransum, fungsi pencernaan, bawaan dari lahir, kecukupan ultra
violet, breed (bangsa), dan kering kandang. Hipokalsemia sering terjadi pada indukan
sapi yang telah berumur empat tahun lebih dan atau berada pada laktasi ketiga dan
seterusnya. Sapi yang berumur tua daya penyerapan kalsiumnya akan menurun. Sapi
dengan produksi susu yang tinggi akan lebik mudah mengalami hipokalsemia, karena
tingginya mobilitas kalsium yang bergerak ke mammae dan keluar memalui susu.
Nafsu makan yang turun dapat menyebabkan tersedianya kalsium yang siap diserap
juga menurun dan terjadi defisiensi kalsium. Kalsium dalam darah yang turun sendiri
dapat mengakibatkan nafasu makan menurun (Subronto 2007). Apabila kandungan
nutrisi pada ransum tidak mencukupi maka dapat berpotensi terjadi hipokalsemia.
Apabila kondisi pencernaan sapi tidak baik, maka penyerapan nutrisi akan terganggu
dan hipokalsemia dapat terjadi. Anak sapi yang berasal dari induk sapi yang menderita
hipokalsemia akan lebih mudah terkena hipokalsemia. Hal ini karena ketika anak sapi
berada di dalam rahim dan induk mengalami hipokalsemia maka suplai kalsium ke
anak juga akan kurang (Goff 2008).
Proses pembentukan vitamin D dari pro vitamin D tidak lepas membutuhkan
sinar ultra violet matahari. Jika proses pembentukan vitamin D terganggu maka proses
penyerapan kalsium pun akan terganggu (Sjafarjanto 2010). Kejadian hipoklasemia
sering pada Jersy, dikarenakan populasi terbanyak adalah jenis Holstein maka terlihat
paling banyak pada Friesien Holstein. Masa kering kandang adalah masa persiapan
ambing untuk produksi susu berikutnya. Jika tidak dilakukan kering kandang, maka
sapi perah akan terus memproduksi susu sehingga kalsium banyak termobilisasi keluar
melalui susu selain dimobilisasi ke janin dan ekskresi melalui tinja dan urin. Sehingga
potensi hipokalsemia dapat terjadi. Akhir masa kebuntingan cukup tinggi
membutuhkan kalsium jika dalam pakan tidak mencukupi, maka kalsium di dalam
tubuh akan dimobilisasi untuk memenuhi kebutuhan tersebut (Subronto 2007).
Patogenesa terjadinya hipokalsemia yaitu pemberian pakan tinggi kalsium pada
periode kering kandang dapat merangsang pelepasan kalsitonin dari sel-sel
parafolikuler kelenjar tiroid. Homeostasis kalsium dalam darah diatur oleh kalsitonin,
33

parathormon dan vitamin D3. Lepasnya kalsitonin dapat menghambat penyerapan


kalsium dalam tulang oleh parathormon. Pemberian pakan tinggi kalsium
mengakibatkan hiperkalsemia sehingga dapat menghambat sekresi parathormon dan
merangsang sekresi kalsitonin. Kalsitonin dapat menurunkan konsentrasi kalsium
dalam darah dengan mengakselerasi penyerapan oleh tulang (Goff 2006). Kejadian ini
dapt menghambat adaptasi normal sapi terhadap kekurangan kalsium pada permulaan
partus dan laktasi yang dapat mengakibatkan kelumpuhan. Kelumpuhan terjadi karena
kadar kalsium dalam darah di bawah 5 mg/dl.
Kasus hipokalsemia yang di temukan di lapangan menunjukkan gejala klinis
pada stadium dua. Gejala klinis yang terlihat sapi ambruk dengan posisi sternal
recumbency membentuk huruf S, anoreksia, mukosa pucat, denyut nadi lemah dan
suhu tubuh di bawah normal. Pengobatan di lapangan terhadap gejala sapi tersebut
yaitu dengan pemberian infus cofacalsium secara intravena. Namun, setelah dilakukan
pengobatan tidak menunjukkan perubahan kondisi yang lebih baik sehingga pemilik
memutuskan untuk menjual sapi tersebut.

MASTITIS KLINIS

Anamnesa
Seekor sapi Fresian Holstein dengan nomor telinga C8573 dilaporkan oleh
pemilik mengalami penurunan produksi susu, warna susu berubah kekuningan, dan
susu pecah pada kuartir kanan depan, kanan dan kiri belakang. Sapi baru melahirkan 4
hari yang lalu, mengalami perubahan pada susu setelah melahirkan.

Signalment
Nama : C9732
Jenis hewan : Sapi
Ras : Fresian Holstein
Warna rambut : Hitam-putih
Jenis kelamin : Betina
Umur : ± 3 tahun
Berat badan : ± 400 kg

Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
- Perawatan : Baik
- Habitus : Tulang punggung tidak rata
- Gizi : Baik
- Pertumbuhan : Baik
- Sikap Berdiri : Tegak pada ke empat kaki
- Suhu : 38.6 oC
- Frekuensi jantung : 60 kali/menit
- Frekuensi nafas : 30 kali/menit
34

Kulit dan rambut


- Aspek rambut : Kusam
- Kerontokan : Tidak rontok
- Kebotakan : Tidak ada
- Turgor kulit : < 3 detik
- Permukaan kulit : Halus dan rata

Kepala dan leher


(Inspeksi)
- Ekspresi wajah : Jinak
- Pertulangan kepala : Simetris
- Posisi tegak telinga : Kedua telinga ke arah samping
- Posisi kepala : Lurus dengan tulang punggung

Mata dan orbita kiri


- Palpabrae : Dapat membuka dan menutup dengan sempurna
- Cilia : Mengarah keluar
- Konjuctiva : Rose, licin, permukaan rata dan tidak ada lesio
- Membran nictitans : Sembunyi

Mata dan orbita kanan


- Palpabrae :Membuka dan menutup dengan sempurna
- Cilia : Mengarah keluar
- Konjuctiva : Rose, licin, permukaan rata dan tidak ada lesio
- Membran nictitans : Sembunyi

Bola mata kanan


- Sclera : Putih, tidak ada vasa injeksio
- Kornea : Jernih, terang, tembus
- Iris : Tidak ada perlekatan
- Limbus : Rata
- Pupil : Tidak ada perubahan
- Refleks pupil : Ada refleks
- Vasa injectio : Tidak ada vasa injeksio

Bola mata kiri


- Sclera : Putih, tidak ada vasa injeksio
- Kornea : Jernih, terang, tembus
- Iris : tidak ada perlekatan
- Limbus : Rata
- Pupil : Tidak ada perubahan
- Refleks pupil : Ada refleks
- Vasa injectio : Tidak ada vasa injeksio
35

Hidung dan sinus-sinus


- Bentuk : Simetris
- Lubang : Tidak ada sumbatan
- Aliran udara : Tidak ada sumbatan
- Suara perkusi Nyaring
-
Mulut dan rongga mulut
- Rusak atau luka bibir : tidak adal luka
- Mukosa : rose, permukaan rata dan licin
- Gigi geligi tidak ada karang gigi, lengkap
- Karang gigi : tidak ada
- Permukaan lidah : Rose, kasar, tidak perlukaan

Telinga
- Posisi daun telinga : Mengarah ke samping
- Bau : Khas cerumen
- Permukaan : Kotor
- Refleks pangilan : Ada
- Krepitasi : Tidak ada krepitasi

Leher
- Perototan : Simetris
- Trakhea : Teraba, tidak ada respon batuk
- Esophaus : Teraba, tidak ada perubahan

Thoraks
Sistem pernafasan
(Inspeksi)
- Bentuk : Simetris
- Tipe pernafasan : Abdominal
- Ritme : Teratur
- Intensitas : Dalam
- Frekuensi : 30 kali/menit
(Palpasi)
- Penekanan rongga thorak : Tidak ada respon sakit
- Penekanan intercostalis : Tidak ada respon sakit
(Perkusi)
- Lapangan paru-paru : Tidak ada perluasaan
- Gema perkusi : Nyaring
(Auskultasi)
- Suara pernfasan : Vesikular respirasi terdengar jelas
- Suara ikutan antara ex dan inspirasi : Tidak ada

Sistem peredaran darah


(Inspeksi)
36

- Ictus cordis : Tidak terlihat


(Perkusi)
- Lapangan jantung : Tidak ada perluasan
(Auskultasi)
- Frekuensi : 64x/menit
- Intensitas : Kuat
- Ritme : Tidak ada kelainan
- Suara sistol dan diastole : Terdengar jelas
- Sinkronisasi pulsus dan jantung : Sinkron

Uji lain-lain
- Uji gumba : Tidak ada respon
- Uji alu : Tidak ada respon

Abdomen dan Organ pencernaan


(Inspeksi)
- Besarnya : Proporsional
- Bentuknya : Simetris kanan dan kiri
- Legok lapar : terlihat
(Palpasi)
- Tegangan isi perut : Tegang
- Frekuensi rumen : 5 kali/5 menit
(Auskultasi)
- Rumen : Terdengar suara peristaltik
- Peristaltik usus : Terdengar
Anus
- Sekitaran anus : Kotor
- Refleks spincter ani : Ada

Alat urogenitalia
Betina
(Inspeksi dan Palpasi)
- Mukosa vagina : Rose, licin, tidak ada lesio
Kelenjar mamae
- Besar : Bengkak
- Letak : Ventral Abdomen
- Bentuk : Tidak Proporsional
- Kesimetrisan : Simetris
- Konsistensinya : Kenyal
- Palpasi rektal : Tidak dilakukan

Alat gerak
(Inspeksi)
- Perototan kaki depan : Simetris
- Perototan kaki belakang : Simetris
37

- Spasmus otot : Tidak ada


- Tremor : Tidak ada

Kestabilan pelvis
- Konformasi : tegas dan kompak
- Kesimetrisan : simetris

Palpasi Pertulangan
- Kaki kiri depan : Tidak ada kelainan
- Kaki kanan depan : Tidak ada kelainan
- Kaki kiri belakang : Tidak ada kelainan
- Kaki kanan belakang : Tidak ada kelainan
- Konsistensi pertulangan : Simetris
- Reaksi saat dipalpasi : Tidak ada kelainan

Diagnosa : Mastitis Klinis


Differensial Diagnosa :-
Prognosa : Fausta

Temuan Klinis
Kelenjar mamae bengkak dan keras; susu mengalami perubahan secara fisik.

Diagnosa
Mastitis.

Prognosa
Prognosa dari kasus ini yaitu fausta.

Terapi di lapangan
Terapi yang diberikan yaitu dengan menyuntikan Phenylject® dengan dosis
1mL/kg BB secara intramuskular dan pemberian antibiotik Lactaclox® intramamari
selama 3 hari pada puting yang terinfeksi mastitis.

Terapi Menurut Literatur


Terapi yang disarankan yaitu dilakukan pemberian antibiotik Lactaclox® secara
intramamaria. Pemberian antibiotik tersebut diberikan setelah kwartir yang terinfeksi
mastitis di perah. Lactaclox® persyringe (5 g) mengandung Ampisilin tryhidrat 75 mg
dan Cloxaxillin benzathine 200 mg. Antibiotik tersebut merupakan antibiotik
berspektrum luas terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Bekerja dengan
membunuh bakteri yang menghasilkan enzym beta laktamase. Dosis dan aturan
pemakaian dari produk tersebut yaitu dengan menyuntikan satu syringe pada kwartir
ambing yang sakit pada masa laktasi setelah pemerahan. Terapi diulangi setiap 12 jam
hingga 3 kali pemerahan. Waktu henti obat tersebut 60 jam pada susu dan kontra
38

indikasi obat pada hewan yang hipersensitif terhadap penisilin (SHS Internasional
2013).
Selain itu diberikan Phenylject® dengan dosis 1mL/10 kg BB secara
intramuskular. Phenylject mengandung Phenylbutazone 200 mg yang merupakan
turunan Pyrazolone dan termasuk obat golongan antipiretik, analgesik, dan
antiinflamasi non steroid. Indikasi obat ini Sebagai antiinflamasi, analgesik dan
antipiretik untuk mengatasi kasus arthritis, bursitis, myositis, neuritis, tendinitis,
tendovaginitis, trauma kelahiran, impotensia coeundi, luka pada otot dan nyeri karena
luka seperti memar, distorsi, hemoragi dan luksasi pada sapi, kambing, domba, anjing,
kucing dan babi. Selain itu, obat ini aman dipakai pada hewan yang bunting (TMC
2016).

Pembahasan
Mastitis adalah peradangan pada jaringan parenkim kelenjar mammae yang
umumnya disebabkan oleh invasi mikroorganisme patogen melalui rute
intramamaria. Ketika seekor sapi dianggap mengalami mastitis klinis ia akan
menunjukkan abnormalitas pada sifat fisik susu yang berasal dari satu atau keempat
kwartir ambing dan menunjukkan tanda-tanda peradangan pada ambing (misalnya
bengkak, panas, sakit, dan merah) (Martin et al. 2018) Hewan yang sering menderita
mastitis yaitu sapi perah dan biasanya disebabkan oleh bakteri atau mikoplasma.
Penyakit mastitis pada sapi perah berdasarkan gejala klinis dapat dibedakan menjadi
dua yaitu mastitis subklinis dan mastitis klinis. Mastitis klinis mengakibatkan
perubahan fisik susu seperti susu pecah, bercampur nanah, ambing membengkak
asimetris, berdarah, berjonjot, bila dipegang panas, dan dapat menunjukkan adanya
respon sakit bila dipegang. Sedangkan mastitis subklinis secara fisik tidak ditemukan
perubahan pada susu, tetapi bila dilakukan uji mastitis misal CMT, IPB mastitis test
dan tes lainnya akan terlihat penjendalan yang artinya menunjukkan adanya
peningkatan jumlah sel darah putih dalam susu (Kementan 2014). Penyakit ini
merupakan penyakit multifaktorial dan sulit untuk disembuhkan.
Penyakit mastitis selalunya disebabkan oleh bakteri dan cendawan. Bakteri
penyebab mastitis antara lain Streptococcus agalactiae, Staphylococcus aureus,
Staphylococcus epidermidis, Streptococcus disgalactiae, Streptococcus uberis, bakteri
coliform terutama klebsiella dan Pseudomonas aerugenosa (Supar dan Ariyanti 2008).
Bakteri Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Streptococcus agalactiae
menjadi penyebab mastitis hingga 91.5% sedangkan Streptococcus disgalactiae,
Streptococcus uberis, dan coliform sebesar 8.5%. Mycoplasma sp dan Nocardia
asteroides dalam keadaan tertentu dapat dijumpai sebagai penyebab mastitis
(Kementan 2014). Cendawan penyebab mastitis diantaranya yaitu yeast seperti
Candida sp dan fungi juga dapat menjadi penyebab mastitis, namun biasanya sebagai
penyebab mastitis subklinis (Swartz 2006).
Adanya invasi mikroorganisme patogen (misalnya bakteri) secara ascendens dan
descendens melalui lubang puting susu dapat menyebabkan mastitis Bakteri
masuk ke dalam saluran puting menuju ke jaringan kelenjar apokrin ambing yang
mensekresikan susu. Kemudian bakteri melakukan kolonisasi pada kelenjar
ambing. Koloni bakteri dapat menghasilkan toksin yang memicu terjadinya
39

pelepasan mediator peradangan sehingga terjadi peningkatkan permeabilitas


vaskula, pembengkakan pada sel-sel kelenjar ambing, dan infiltrasi sel-sel radang.
Selain itu, pelepasan toksin oleh bakteri dapat menimbulkan gejala sistemik seperti
anoreksia, demam, dan diare (Chase et al. 2017). Kebersihan lingkungan yang buruk
dapat meningkatkan kejadian mastitis dan jumlah kepemilikan yang banyak akan
meningkatkan risiko kejadian mastitis. Semakin banyak jumlah ternak maka peternak
akan lebih susah untuk membersihkan ternak dan kandang.
Menurut Subronto (2008), tingkat kejadian mastitis akan meningkat pada masa
kering kandang sapi perah dan umumnya masih bersifat subklinis. Hal tersebut terjadi
karena pada masa kering kandang, sel-sel alveol sedang mengalami perombakan dan
penggantian, sehingga sel-sel epitel yang rusak menjadi tempat yang cocok untuk
mikroba masuk sebelum sel epitel alveol yang baru terbentuk. Faktor predisposisi
terjadinya mastitis yaitu higiene pemerahan dan kebersihan lingkungan yang buruk,
kesalahan pemerahan, kesalahan manajemen, dan adanya luka pada puting. Selain itu,
jarak antar sapi yang terlalu dekat atau populasi sapi yang padat akan mempermudah
terjadinya penularan mastitis (Kementan 2014).
Patogenesa dari kejadian mastitis yaitu dimulai dari mikroba masuk ke dalam
kelenjar mamae melalui lubang puting (sphincter puting) yang terbuka. Beberapa tahap
proses infeksi mastitis yaitu diawali dengan adanya kontak dengan mikroba yang
mengalami multiplikasi disekitar lubang puting, kemudian mikroba masuk melalui
lubang puting yang terbuka atau karena ada luka. Induk semang memberikan respon
pertahanan dengan memanggil leukosit untuk mengeliminasi mikroba yang telah
menempel pada sel-sel ambing. Hal tersebut mengakibatkan pembuluh darah mamae
mengalami vasodilatasi dan terjadi peningkatan aliran darah ke ambing. Vasodilatasi
menyebabkan permeabilitas membran pembuluh darah mengalami peningkatan dan
disertai dengan pembentukan produk-produk inflamasi. Kebengkakan pada ambing
terjadi karena adanya filtrasi cairan ke jaringan, keluarnya sel-sel PMN dan makrofag
secara perdiapedesis dari pembuluh darah menuju jaringan yang terinfeksi yang
kemudian dilanjutkan dengan fagositosis dan penghancuran mikroba. Apabila
respon tersebut gagal, maka mikroba akan mengalami multiplikasi yang dapat
memberikan efek lain seperti sapi menjadi demam. Apabila infeksi terus berlanjut
maka akan mengakibatkan infeksi yang kronis dengan ditandai terbentuknya jaringan
ikat sehingga ambing menjadi keras dan produksi susu terhenti (Luthvin 2007).
Gejala klinis dari mastitis klinis ditandai dengan terjadi pembengkakan pada
ambing dan puting yang dapat terjadi pada satu kwartir atau lebih; terjadi penurunan
produksi susu yang bervariasi mulai dari ringan sampai berat bahkan dapat sampai
produksi susu berhenti; dan rasa sakit ketika dilakukan pemerahan (Kementan 2014).
Sedangkan menurut Nurhayati dan Martindah (2015), gejala klinis penyakit mastitis
dapat berupa pembengkakan, pengerasan ambing, rasa sakit, panas serta kemerahan
bahkan sampai terjadi penurunan fungsi ambing. Susu mengalami perubahan fisik yang
ditandai adanya penggumpalan dan kadang terdapat darah (Blowey dan Weaver 2011).
Penyakit mastitis dapat memicu respon sistemik seperti terjadi anoreksia, toxemia,
dehidrasi, demam, takikardia, ruminal stasis, rekumbensi, bahkan dapat menyebabkan
kematian (Radostids et al. 2007).
40

Gejala klinis yang ditemukan di lapangan juga menunjukkan gejala yang sama
seperti dijelaskan di atas. Gejala klinis yang terjadi pada sapi ini yaitu terjadi
pembengkakan pada ambing, terasa keras dan panas. Perubahan fisik pada susu berupa
perubahan warna menjadi kekuningan, susu pecah, dan produksinya menurun. Ambing
yang menunjukkan gejala mastitis klinis yaitu pada ambing kwartir kanan depan, kanan
belakang, dan kiri belakang Kejadian mastitis tersebut dimulai setelah sapi tersebut
melahirkan, yang kemungkinan kejadian mastitis tersebut disebabkan karena kesalahan
pada proses pemerahan.
.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Kegiatan pelayanan kesehatan sapi perah di KPBS Pengalengan
memberikan pengalaman dan penambahan ilmu bagi mahasiswa PPDH FKH IPB
dalam penentuan diagnosa dan memberikan terapi pada kasus reproduksi maupun
klinik.

Saran
Saran yang dapat diberikan kepada para peternak adalah meningkatkan
kebersihan kandang dan lebih tanggap dalam pelaporan sapi yang sakit,
sedangkan saran untuk petugas lapang di KPBS pangalengan adalah
meningkatkan sosialisasi mengenai penyakit yang sering terjadi serta penanganan
awal yang dapat dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA
[RAGFAR] Reference Advisory Group on Fermentative Acidosis of Ruminants.
Rumen acidosis—Aetiopathogenesis, Prevention and Treatment, Australian
Veterinary Association, Sydney (AU).
Aiello SE, Moses MA, Allen DG. 2016. The Merck Veterinary Manual. Ed ke-11.
USA: Merck & Co Inc.
Aspinall V, Cappello M. 2009. Introduction to Veterinary Anatomy and Physiology
Textbook 2nd Edition. London (UK): Elsevier.
Blowey RW, Weaver AD. 2011. Color atlas of disease and disorder of cattle 3 rd.
Edition. London (UK): Mosby Elsevier.
Champness D. 2007. Milk Fever (Hypocalcaemia) in Cows. [internet]. [Diakses pada
27 April 2019]. Tersedia pada: http://agriculture.vic.gov.au/agriculture/pests-
diseases-and-weeds/animal-diseases/beef-and-dairy-cows/milk-fever-
hypocalcaemia-in-cows.
41

Chase CCL Lutz KA, McKenzie EC, Tibary A. 2017. Blackwell’s Five-Minute
Veterinary Consult: Ruminant. Ed ke-2. Hoboken (US): John Wiley
Belknap JK. 2010. Black walnut extract: an inflammatory model. Vet Clin North
Am Equine Pract 26(1):95-101.
Bergsten C. 2009. Laminitis: Causes, Risk Factors, and Prevention. [internet]. Tersedia
pada: http://www.txanc.org/proceedings/2011/BovineLaminitis .pdf. Diakses
pada 2019 Juni 16.
Cardoso FCD, Esteves VS, Oliveira STD, Lasta CS, Valle SF, Campos R, González
FHD. 2008. Hematological, biochemical and ruminant parameters for diagnosis
of left displacement of the abomasum in dairy cows from Southern
Brazil. Pesquisa Agropecuária Brasileira. 43(1): 141-147.
Distl O, Herrmann R, Utz J, Doll K, Rosenberger E. 2002. Inheritance of congenital
umbilical hernia in German Fleckvieh. Journal of Animal Breeding and
Genetics. 119(4): 264-273
Fraser CM. 2011. The Merck Veterinary Manual: Hand Book of Diagnosis, Therapy
and Disease Prevention and Control for The Veterinarian. 7th ed. London (UK).
Merck & Co Inc.
Greenough PR. 2012. Laminitis in cattle. [internet]. Tersedia pada:
http://www.merckmanuals.com/vet/musculoskeletalsystem/lamenessincattle
/laminitisincattle.html. Diakses pada: 2019 Juni 16
Goff JP. 2006. Macromineral physiology and application to the feeding of the dairy
cow for prevention of milk fever and other periparturient mineral disorders.
Animal Feed Science and Technology. 126: 237-257.
Goff JP. 2008. The monitoring, prevention, and treatment of milk fever and subclinical
hypocalcemia in dairy cows. The Veterinary Journal
Herrmann R, Utz J, Rosenberger E, Doll K, Distl O. 2001. Risk factors for congenital
umbilical hernia in German Fleckvieh. The Veterinary Journal,.162(3): 233-
240.
Holzhauer M, Hardenberg C and Bartels CJM. 2008. Herd and cow-level prevalence
of sole ulcers in The Netherlands and associated-risk factors. Prev. Vet. Med.
85:125-135.
Hunt RJ, Wharton RE. 2010. Clinical presentation, diagnosis, and prognosis of chronic
laminitis in North America. Vet Clin North Am Equine Pract. 26(1):141-53.
Luthvin. 2007. Identifikasi Staphylococcus aureus Penyebab Mastitis Dengan Uji
Fermentasi Mannitol dan Deteksi Produksi Asetoin pada Sapi Perah Di Wilayah
Kerja Koperasi Usaha Tani Ternak Suka Makmur Grati Pasuruan. Jurnal
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Air Langga, Jawa Timur.
Martin P, Barkema HW, Brito LF, Narayana SG, Miglior F. 2018. Symposium
review: Novel strategies to genetically improve mastitis resistance in dairy
cattle. Journal of Dairy Science. 101(3):2724-2736
Nurhayati IS, Martindah E. 2015. Pengendalian mastitis subklinis melalui pemberian
antibiotik saat periode kering pada sapi perah. Wartazoa. 25(2): 065-074.
Nagaraja TG, Titgemeyert EC. 2007. Ruminal acidosis in beef cattle: the current
microbiological and nutritional outlook. Journal of Dairy Science. 90: 17-38.
42

Kumar V, Kumar N, Gangwar AK, Saxena AC. 2013. Using acellular aortic matrix to
repair umbilical hernias of calves. Australian veterinary journal. 91(6): 251-
253. Pravettoni D, Doll K, Hummel M, Cavallone ERM, Belloli AG. 2004.
Insulin resistance and abomasal motility disorders in cows detected by use of
abomasoduodenal electromyography after surgical correction of left displaced
abomasum. American journal of veterinary research. 65(10): 1319-1324.
Oetzel GK. 1988. Parturient Paresis and Hypocalcemia in Ruminant Livestock.
Veterinary Clinics of North America. Food Animal Practice. 4(2): 351–364.
Rahman MM, Biswas D, Hossain MA. 2001. Occurrence of umbilical hernia and
comparative efficacy of different suture materials and techniques for its
correction in calves. Pakistan Journal of Biological Science. 4(8): 1026-1028.
Radostids OM, Gay CC, Hinchcliff KW, Constable PD. 2007. Veterinary Medicine: A
Textbook of The Diseases of Cattle, Sheep, Goats, Pigs, and Horses. 10th edition.
Edinburgh (GB): Saunders Elsevier.
Raizman EA, Santos JEP. 2002. The effect of left displacement of abomasum corrected
by toggle-pin suture on lactation, reproduction, and health of Holstein dairy
cows. Journal of dairy science. 85(5): 1157-1164.
Redden R. 2007. Understanding Laminitis. Lexington (US): The Blood Horse, Inc.
Sato S. 2016. Pathophysiological evaluation of subacute ruminal acidosis (SARA) by
continuous ruminal pH monitoring. Animal Science Journal. 87: 168-177
Sjafarjanto A 2010. Ilmu Penyakit Hewan Besar II. Diktat Program Pendidikan
Diploma Tiga Kesehatan Hewan dan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
Supar, Ariyanti T. 2008. Kajian pengendalian mastitis subklinis pada sapi perah.
Dalam: Diwyanto K, Wina E, Priyanti A, Natalia L, Herawati T, Purwandaya B,
Penyunting. Prosiding Lokakarya Nasional Prospek Industri sapi perah menuju
perdagangan bebas 2020. Jakarta, 21 April 2008. Bogor (Indonesia):
Puslitbangnak.
Swartz HA. 2006. Mastitis in the Ewe [internet]. [diunduh pada 2018 September 01].
Tersedia pada http://www.caseagworld.com/caw.Lumast
Subronto. 2008. Ilmu Penyakit Ternak. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University
Press.
Steenholdt C, Hernandez J. 2004. Risk factors for umbilical hernia in Holstein heifers
during the first two months after birth. Journal of the American Veterinary
Medical Association. 224(9): 1487-1490.
Sutradhar BC, Hossain MF, Das BC, Kim G, Hossain MA. 2009. Comparison between
open and closed methods of herniorrhaphy in calves affected with umbilical
hernia. Journal of veterinary science. 10(4): 343-347.
Smith Bradford P. 2014. Large Animal Internal Medicine. Ed ke-5. USA: Elsevier
Mosby.
Subronto. 2006. Ilmu Penyakit Ternak II. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ Pr.
Synder E, Credille B. 2017. Diagnosis and treatment of clinical rumen acidosis.
Veterinary Clinics of North America Food Animal Practice. (3): 451-461.
43

Van Winden SCL, Kuiper R. 2003. Left displacement of the abomasum in dairy cattle:
recent developments in eidemiological dan etiological aspects. Veterinary
research. 34(1): 47-56.
Zachary JF, McGavin MD. 2012. Pathologic Basis of Veterinary Disease. 5th Ed.
Missouri (US): Elsevier
44

Lampiran 1 Daftar obat yang digunakan dalam praktik lapangan di KPBS Pangalengan Bandung Selatan pada 08 April- 05 Mei 2019
No Merek Dagang Kandungan Sediaan Indikasi Dosis dan Cara pemberian
® Vial 100 Arthritis, mastitis, infeksi saluran Sapi dewasa: 1 ml / 20 kg BB
1 Penstrep 400 a. Procaine
Penicillin G ml pencernaan, pernafasan, dan urinari Pedet: 1 ml / 10 kg BB
200000 IU/ml yang disebabkan oleh mikroorganisme Injeksi IM
b. Streptomycin yang sensitif terhadap penicillin dan
Sulphate 200 dihidrostreptomicin, seperti
Campylobacter, Clostridium,
mg/ml Corynobacterium, E.coli, Erysipelothrix,
Haemophilus, Klebsiella, Listeria,
Pasteurella, Salmonella,
Staphylococcus, dan Streptococcus.
2 Vitol-140® a. Vitamin A Vial 100 Pencegahan atau perawatan pada Sapi dan kuda: 10 mL
retinol palmitate ml defisiensi vitamin A, vitamin D, dan Anak sapi dan anak kuda: 5
80.000 IU vitamin E pada hewan ternak. mL Kambing dan domba: 3
b. Vitamin D3 Pencegahan dan perawatan terhadap mL Babi: 5-8 mL Anjing: 1-5
cholecalciferol kondisi stress akibat vaksinasi, sakit, mL Kucing: 1-2 mL IM/SC
40.000 IU transportasi, kepadatan tinggi,
c. Vitamin E α- temperature tinggi atau perubahan
tocopherol acetate temperatur drastic perubahan pakan
20 mg
3 Vitamin B-12 Vitamin B12 10 Vial 100 Membantu proses pembentukan Sapi: 5-10 mL/ 200 kg BB
Injeksi Meyer® mg/mL ml darah. Menjaga fertilitas sperma Injeksi IM
dan ovum.
Mengatasi anemia, kelesuan, kurang
nafsu makan dan kelemahan umum.
Meningkatkan dan mempertahankan
daya tahan dan kekuatan otot.
Membantu proses metabolisme
5 Cotrimoxazole® Tiap kaplet Kaplet Endometritis dan metritis, post Peroral atau Intrauterin
mengandung dalam partus untuk mencegah infeksi Sapi, kerbau, kuda: 2-4
Sulfametoxazole botol. sekunder, retensio secundinae, kaplet/ekor
800 mg dan Satu prolapsus uteri, abortus,
botol Domba, kambing, babi: 1-2
Trimethoprim 160 enteritis, diare, pneumonia, kaplet/ekor
terdapat hygroma, abses
mg
50
kaplet.

6 Biodin® ATP 1 mg/ml Vial 50 Untuk stimulasi tubuh secara umum 20 ml / ekor
Mg Aspartate 15 ml terutama pada tonus otot dari semua Injeksi IM atau IV
mg/ml species hewan seperti pada keadaan
K Aspartate 10 kelemahan otot, menjaga stamina
mg/ml kuda pacu dan anjing, miositis akut.
Na Selenite 1
mg/ml
Vitamin B12 0.5
mg/ml
7 B-Complex® Vitamin B1 2 Vial Menambah nafsu makan, meningatkan Sapi dewasa: 5 ml / 100
mg/ml 100 ml daya tahan tubuh, memperbaiki kg BB
Vitamin B2 2 kekurangan vitamin, merfungsi sebagai Pedet: 0.03 ml / kg BB
mg/ml koenzim dalam metabolisme Injeksi IM
Vitamin B6 2
mg/ml
Nicotamid 20
mg/ml
Panth 10 mg/ml
Licocain HCl 20
mg/ml
46

8 Oxytocin-10® Oksitosin sintesis 10 Botol 4- Memicu atau memperkuat otot Rahim Sapi: 4-5 mL/ekor
IU/mL 5 mL

9 Infalgin® Antalgin 100 mg/mL Vial 100 Analgesik antipiretik 7,5 mg/kgBB
mL Intramuskular
10 Ghalapan® PGF2α Vial 4-5 Melisiskan corpus luteum dan 2-3 ml per ekor
mL mengontraksikan miometrium intramuskular
Lampiran 2 Jurnal kegiatan praktik lapangan di KPBS Pangalengan Bandung Selatan
pada 08 April- 05 Mei 2019
Tanggal Kegiatan
08 April 2019 Penerimaan peserta PPDH dan kuliah singkat bersama Drh
Asep
09 April 2019 Pelayanan kesehatan - pengobatan sapi perah dengan Drh
Triyono
Preventif pre partus dan post partus pada 2 ekor sapi
10 April 2019 Pelayanan kesehatan - pengobatan sapi perah dengan Drh
Triyono
11 April 2019 Pelayanan kesehatan - pengobatan sapi perah dengan Drh
Triyono
12 April 2019 Pelayanan kesehatan - pengobatan sapi perah dengan Pak
Wijaya
13 April 2019 Pelayanan kesehatan - pengobatan sapi perah dengan Pak
Wijaya
15 April 2019 Pelayanan kesehatan - pengobatan sapi perah dengan
Drh.Triyono
Operasi C-section dengan Drh Triono
16 April 2019 Pelayanan kesehatan - pengobatan sapi perah dengan Drh Sari
Preventif pre partus pada 1 ekor sapi
18 April 2019 Pelayanan kesehatan - pengobatan sapi perah dengan Drh Sari
Pelayanan kesehatan - pengobatan sapi perah dengan Pak
Ajang
Preventif post partus pada 1 ekor sapi
Pelayanan inseminasi buatan pada 3 ekor sapi
Pemeriksaan kebuntingan pada 3 ekor sapi
20 April 2019 Piket di kandang dengan Pak Rodiana
Pelayanan kesehatan - pengobatan sapi perah
22 April 2019 Piket di kandang dengan Pak Rodiana
Pelayanan kesehatan - pengobatan sapi perah
23 April 2019 Pelayanan kesehatan - pengobatan sapi perah dengan Pak
Rodiana
Preventif post partus pada 1 ekor sapi
24 April 2019 Kunjungan ke PT. Ultra Peternakan Bandung Selatan (UPBS)
25 April 2019 Pelayanan kesehatan - pengobatan sapi perah dengan
Pemeriksaan Kebuntingan pada 4 ekor sapi
26 April 2019 Pelayanan kesehatan-pengobatan sapi preah dengan Pak
Ajang
27 April 2019 Pelayanan kesehatan - pengobatan sapi perah dengan Pak
Ajang
Preventif post partus pada 1 ekor sapi
Pelayanan inseminasi buatan pada 1 ekor sapi
48

29 April 2019 Pelayanan kesehatan - pengobatan sapi perah dengan Pak


Ajang

30 April 2019 Pelayanan kesehatan - pengobatan sapi perah


2 Mei 2019 Diskusi kasus dengan pembimbing lapang
3 Mei 2019 Diskusi kasus dengan pembimbing kampus

Anda mungkin juga menyukai