Tanggal revisi:
12 Juli 2019
+60175064120
Oleh :
KELOMPOK G
PPDH Angkatan III Tahun 2017/2018
DAFTAR ISI
1
PENDAHULUAN 1
LATAR BELAKANG 1
PELAKSANAAN KEGIATAN 1
PROFIL KPBS 2
PELAYANAN KESEHATAN SAPI PERAH 3
PEMBAHASAN KASUS KLINK 4
LAMINITIS 4
LDA 9
HERNIA UMBLIKALIS 15
RUMEN ASIDOSIS 20
DOWNER COW SYNDROME 26
MASTITIS KLINIS 33
KESIMPULAN DAN SARAN 40
DAFTAR PUSTAKA 40
ii
Gambar 1 Laminitis pada kaki belakang kiri dan kanan yang diberi 9
Lymoxin Spray.
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
D Indonesia, kebutuhan konsumsi protein hewan seperti susu, daging, dan telur
semakin meningkat. Hal ini menjadikan peternakan menjadi salah satu aspek penting
dalam hal tersebut. Sektor ini memegang peranan utama dalam pemenuhan kebutuhan
susu di Indonesia. perkembangan manajemen pemeliharaan dan kesehatan sapi perah
terus mengalami perkembangan. Tujuannya adalah menghasilkan produk susu yang
mempunyai kualitas dan kuantitas yang baik.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut diatas, berbagai usaha telah dilakukan oleh
pemerintah. Usaha yang dilakukan antara lain: pengadaan bibit unggul sapi perah dari
negara lain, penerapan teknologi di bidang reproduksi terutama inseminasi buatan (IB),
dan perbaikan manajemen pemeliharaan. Selain itu, usaha lain yang dilakukan adalah
penyediaan tenaga profesional dalam bidang kesehatan hewan, yaitu dokter hewan dan
paramedis termasuk ahli teknologi reproduksi (ATR)..
Dengan begitu, kebutuhan dan keterampilan tenaga medis, terutama dokter
hewan dan paramedis harus selalu ditingkatkan agar kesehatan sapi dan produksi susu
dapat terus meningkat. Dokter hewan merupakan profesi yang memiliki ruang lingkup
kerja yang luas. Dokter hewan memiliki peran penting dalam pengobatan penyakit
hewan dan dalam upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit
hewan serta penyakit zoonotik. Atas dasar tersebut, berbagai kegiatan dapat dilakukan
untuk meningkatkan kemampuan, profesionalitas, dan pengalaman bagi dokter hewan.
Salah satu kegiatan tersebut adalah adanya kegiatan magang profesi wajib pelayanan
kesehatan klinik dan reproduksi sapi perah untuk mahasiswa PPDH
FKH IPB di KPBS Pangalengan, Bandung.
PELAKSANAAN KEGIATAN
Sejarah
Visi
Menjadi koperasi yang amaliah, modern, sehat organisasi, sehat usaha dan sehat
mental serta unggul di tingkat regional dan nasional.
Misi
Misi dari Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS), Pangalengan adalah:
1. Taat dan patuh terhadap Pancasila, UUD 1945, Undang-Undang Perkoperasian
serta Peraturan Pelaksanaannya dan Peraturan Perundangundangan yang berlaku,
serta melaksanakan amanah keputusan Rapat Anggota.
2. Memotivasi anggota secara mandiri untuk meningkatkan harkat derajat sendiri,
sekaligus mengangkat citra perkoperasian.
3. Meningkatkan kopetensi sumber daya koperasi.
4. Melaksanakan Tata Kelola Operasional dengan baik, efektif dan efisien.
5. Menjadi laboratorium koperasi persusuan.
3
LAMINITIS
Anamnesa
Sapi D2645 di KPBS Pangalengan dilaporkan oleh peternak mengalami
pincang pada kaki kiri dan kanan belakang serta terjadi penurunan nafsu makan.
Menurut laporan dari peternak terdapat nanah yang keluar dari bagian kaki belakang
disetai dengan darah.
Signalement
Nama : D2645
Jenis hewan/spesies : Sapi
Ras/Bredd : Friesian Hilstein
Warna kulit dan rambut : Hitam-Putih
Jenis kelamin : Betina
Umur : 4 tahun
BCS : 2.5
Tanda khusus :-
Status Present
Keadaan Umum
Suhu tubuh : 39.2°C
Frekuensi jantung : 68 kali/menit
Frekuensi napas : 32 kali/menit
Perawatan hewan : Baik
Tingkah laku : Jinak
Gizi : Cukup, BCS 3
Sikap berdiri : Berdiri pada keempat kaki
Limbus : Merata
Pupil : Tidak ada kelainan
Refleks pupil : Ada refleks
Vasa injeksio : Tidak ada
Telinga
Posisi telinga : Tegak kedua telinga
Bau : Bau khas cerumen
Permukaan : Licin, halus
Krepitasi : Tidak ada
Refleks panggilan : Ada
Leher
Perototan : Simetris
Trakea : Tidak ada refleks batuk
Esofagus : Teraba, tidak ada isi makanan
Intensitas : Dalam
Frekuensi : 32 kali per menit
Palpasi
Penekanan rongga toraks : Tidak ada rasa sakit
Palpasi interkostal : Tidak ada reflek sakit, tidak ada batuk
Uji Gumba : Tidak ada rasa sakit
Perkusi
Lapangan paru-paru : Tidak dilakukan
Gema perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi
Suara Pernapasan : Suara napas terdengar jelas, bronkhial inspirasi
vesikular ekspirasi
Suara ikutan : Tidak ada
Perkusi
Lapangan jantung : Tidak dilakukan
Auskultasi
Frekuensi : 60 kali per menit
Intensitas : Kuat
Ritme : Teratur
Suara sistolik & diastolik : Terdengar jelas
Suara ekstrakardial : Tidak ada
Lapangan jantung : Tidak diamati
Sinkron pulsus & jantung : Sinkron
Auskultasi
Suara peristaltik usus : Tidak dilakukan
Frekuensi peristaltik rumen : Tidak dilakukan
Anus
Sekitar anus : Bersih
7
Sistem Urogenital
Mukosa vagina : Rose, basah, mengkilat
Kelenjar mammae
Ukuran : Tidak ada perubahan
Letak : Perineal
Bentuk : Terdapat papilloma pada keempat puting
Konsistensi kelenjar : Lunak
Kestabilan pelvis
Konformasi : Kompak
Kesimetrisan : Simetris
Prognosa : Fausta
Terapi di Lapang
Terapi yang diberikan di lapangan pada kasus laminitis adalah Phenylject®
(phenybutazoneI) dengan dosis 20 mg/kg secara IM dan Biodin® dengan dosis 0.05
mL/kg secara IM, serta diberikan Limoxyn spray. Phenylbutazone adalah obat anti-
infalmasi non steroid yang bekerja melalui penghambatan enzimsiklooksigenase dan
penghambatan mediator peradangan seperti histamine (Jedziniak et al. 2005). Biodin®
berfungsi dalam memperbaiki proses metabolism tubuh hewan lebih prima. Biodin®
mengandung adenosine triphosphat sebagai energy cadangan siap pakai, berperan
penting dalam proses metabolism sel tubuh hewan. Biodin® juga mengandung garam
aspartat yang berperan dalam mengatur keseimbangan ion-ion tubuh pada proses
metabolism sel dan berfungsi juga sebagai antioksidan dan vitamin B12, yang berperan
dalam proses metabolisme tubuh hewan.
8
Pembahasan
Laminitis adalah keadaan inflamasi atau kondisi peradangan pada korium
laminar dinding digitalis. Laminitis juga merupakan gangguan patofisiologi
vaskularisasi pembuluh darah kecil di daerah korium yang berfungsi menyuplai
jaringan. Laminitis dapat bersifat subklinis, akut, dan kronik, tergantung pada tingkat
keparahan dari beberapa variabel penyebab terjadinya penyakit (Smith 2014).
Laminitis subklinis adalah bentuk paling umum dari laminitis pada sapi perah
(Holzhauer et al 2008). Laminitis dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain:
trauma pada kuku, teknik pemotongan kuku yang salah, gangguan nutrisi, gangguan
vaskularisasi darah ke daerah kaki, gangguan hormonal, distensi pakan tinggi
karbohidrat, infeksi sistemik atau kondisi yang menyebabkan endotoksin misalnya
mastitis, metritis, endometritis yang terjadi pasca melahirkan, foot and rot disease
(Bergsten 2009).
Gejala klinis yang ditemukan di lapangan yaitu sapi tidak mau makan, suhu
badan meningkat, kaki tidak dapat menumpu dengan sempurna, serta bengkak pada
bagian batas kuku dengan kulit. Menurut literatur, gejala klinis dari laminitis yaitu
ditandai dengan kepincangan parah yang disertai pertumbuhan kuku yang tidak normal.
Pada laminitis akut, penderita mengalami tekanan, tidak mau makan dan berdiri dengan
tidak seimbang dan apabila dipaksa untuk berjalan, akan berjalan dengan pincang
dimana kaki yang sakit akan dipijakkan secepat mungkin (Aiello et al. 2016). Menurut
Hunt dan Wharton (2010) peningkatan denyut nadi, panas pada dinding kuku, dan
kepincangan. Kepincangan sering dimulai pada 36 jam setelah konsumsi karbohidrat
secara berlebihan (Belknap 2010).
Menurut Redden (2007), laminitis pada sapi juga dapat disebabkan oleh
tingginya pemberian pakan yang mengandung karbohidrat. Karbohidrat yang tinggi
dalam rumen dapat mengakibatkan peningkatan aktivitas fermentasi bakteri dalam
saluran pencernaan. Peningkatan hasil fermentasi bakteri menyebabkan penurunan pH
dibawah 5.5. Terjadinya penurunan pH rumen menyebabkan adanya kondisi asidosis.
Kondisi kandang yang lembab, kotor, dan kasar juga dapat menyebabkan predisposisi
laminitis pada kuku sapi.
Manajeman pakan yang salah juga merupakan penyebab utama laminitis,
terutama peningkatan konsumsi pakan tinggi karbohidrat yang mengakibatkan keadaan
asidosis, kemudian berakibat pada penurunan pH sistemik. Penurunan pH sistemik
mengaktifkan mekanisme vasoaktif yang meningkatkan pulsus dan aliran darah
keseluruh tubuh. Kondisi asidosis akan memicu pengeluaran histamin sebagai reaksi
asing adanya perubahan, ketidakseimbangan dan penyakit. Kondisi ini memicu
pembuluh darah untuk mengalami vasokontriksi. Vasokonstriksi pembuluh darah akan
9
berdampak pada daerah kaki dan kuku karena kaki dan kuku merupakan penyangga
berat tubuh sapi sehingga mengakibatkan tekanan pada daerah tersebut (Bergsten
2009).
Darah yang beredar di kuku berkurang atau bahkan berhenti dalam waktu yang
lama, mengakibatkan pembuluh darah akan mengalami nekrosa yang berdampak pada
perubahan fisik jaringan disekitarnya. Sebagai akibat dari kerusakan pada
mikrovaskular dan rendahnya suplai nutrisi serta oksigen pada sel-sel epidermis
mengakibatkan stratum germinativum di epidermis rusak. Peristiwa ini akhirnya
menyebabkan nekrosa bagian lamina dan korium kuku. Akhirnya terjadilah laminitis
yang ditandai dengan kepincangan parah yang disertai pertumbuhan kuku yang tidak
normal (Bergsten 2009).
Gambar 1 Laminitis pada kaki belakang kiri dan kanan yang diberi Lymoxin Spray.
LDA
(Left Displacement Abomasum)
Anamnesis
Seekor sapi FH berumur kurang lebih 2 tahun mengalami penurunan nafsu
makan.
Sinyalemen
Jenis hewan : Sapi
ID sapi : E55005
Umur : 2 tahun
Ras/breed : Friesian Holstein
Warna rambut : Hitam putih
Jenis kelamin : Betina
Berat badan : ± 400 kg
10
Status Present
Keadaan Umum
Suhu tubuh : 38.0°C
Frekuensi jantung : 60 kali/menit
Frekuensi napas : 32 kali/menit
Perawatan hewan : Baik
Tingkah laku : Jinak
Gizi : Cukup, BCS 3
Sikap berdiri : Berdiri pada keempat kaki
Telinga
Posisi telinga : Tegak kedua telinga
Bau : Bau khas cerumen
Permukaan : Licin, halus
Krepitasi : Tidak ada
Refleks panggilan : Ada
Leher
Perototan : Simetris
Trakea : Tidak ada refleks batuk
Esofagus : Teraba, tidak ada isi makanan
Palpasi
Penekanan rongga toraks : Tidak ada rasa sakit
Palpasi interkostal : Tidak ada reflek sakit, tidak ada batuk
Uji Gumba : Tidak ada rasa sakit
Perkusi
Lapangan paru-paru : Tidak dilakukan
Gema perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi
Suara Pernapasan : Suara napas terdengar jelas, bronkhial inspirasi
vesikular ekspirasi
Suara ikutan : Tidak ada
Perkusi
Lapangan jantung : Tidak dilakukan
Auskultasi
Frekuensi : 60 kali per menit
Intensitas : Kuat
Ritme : Teratur
Suara sistolik & diastolik : Terdengar jelas
Suara ekstrakardial : Tidak ada
Lapangan jantung : Tidak diamati
Sinkron pulsus & jantung : Sinkron
Auskultasi
Suara peristaltik usus : Suara ping terdengar
Frekuensi peristaltik rumen : Tidak dilakukan
Anus
Sekitar anus : Bersih
Refleks sphincter ani : Ada refleks
Sistem Urogenital
Mukosa vagina : Rose, basah, mengkilat
Kelenjar mammae
Ukuran : Tidak ada perubahan
Letak : Perineal
Bentuk : Terdapat papilloma pada keempat puting
Konsistensi kelenjar : Lunak
Kestabilan pelvis
Konformasi : Kompak
13
Kesimetrisan : Simetris
Terapi di Lapang
Terapi yang dilakukan di lapang pada kasus ini adalah operasi untuk reposisi
dan fikasi abomasum. Metode yang dilakukan adalah right flank omentopexy. Metode
right flank omentopexy merupakan salah satu metode yang paling sering digunakan
pada kasus LDA. Kelebihan operasi ini adalah dapat dilakukan pada sapi dengan posisi
berdiri. Operasi dilakukan dengan melakukan penyayatan di bagian flank kanan
abdomen sapi hingga menca[ai rongga abdomen. Setelah itu dilakukan pencarian
abomasum, dan kemudian gas yang ada di abomasum dikeluarkan melalui selang.
Abomasum yang telah kempes di reposisi ke arah kanan dan dilakukan fiksasi dengan
menjahitnya dengan omentum. Setelah itu dilakukan penjahitan omentum, otot, dan
kulit untuk menutup abdomen kembali.
Obat anastesi yang digunakan adalah Lidocaine HCl dengan dosis 5 mL/ 40 kg
BB, yaitu sebanyak 50 mL yang diberikan intramuscular secara lokal di sekitar area
yang akan disayat. Antibiotik yang diberikan adalah Penstrep-400® dengan dosis 1
mL/ 20 kg BB, yaitu sebanyak 20 mL yang diberikan secara intramuscular. Selain itu
juga diberikan Infadex-40® sebanyak 500 mL, Biodin® dengan dosis 1 mL/ 20 kg BB,
yaitu sebanyak 20 mL secara intravena, dan Infalgin-100 Inj® dengan dosis 1 mL/ 20
kg BB, yaitu sebanyak 20 mL secara intramuscular.
Pembahasan
Kasus Left Displacement Abomasum (LDA) pada sapi perah E55005 ditandai
dengan sapi yang anoreksia dan feses yang sedikit. Pemeriksaan secara perkusi pada
abdomen bagian kiri menunjukkan adanya suara “ping”. Pemeriksaan fisik yang
dilakukan menunjukkan suhu tubuh 38.0 °C, frekuensi jantung 60 kali per menit, dan
frekuensi napas 32 kali per menit. Diagnosis pada sapi tersebut adalah LDA. Terapi
yang diberikan adalah berupa operasi untuk mereposisi dan memfiksasi abomasum.
14
Perpindahan ini sering terjadi pada sapi perah dengan produksi tinggi selama 6
minggu setelah kelahiran dan umumnya tidak fatal. Aktivitas yang berat menjadi
predisposisi kejadian ini pada sapi yang tidak bunting. Atoni abomasum dapat terjadi
pada sapi yang baru melahirkan akibat pemberiaan konsentrat yang berlebihan (volatile
fatty acid menurunkan motilitas) dan hipokalsemia. Selain itu, gravid uterus
menyebabkan perpidahan rumen dan abomasum ke depan dan ke kiri, merobek
perlekatan omentum dengan abomasum. Abomasum kemudian pindah ke kiri dan
menggeser rumen ke medial. Hal ini menyebabkan obstruksi parsial aliran darah keluar
abomasum. Gejala klinis perpindahan abomasum ditandai dengan anoreksia, kaheksia,
dehidrasi, ketonuria, feses yang sedikit, dan adanya suara “ping” saat dilakukan perkusi
pada abomasum (Zachary dan McGavin 2012).
15
HERNIA UMBLIKALIS
Anamnesa
Seekor pedet berumur kurang lebih 1 minggu mengalami hernia umbilikalis
yang ditandai dengan bagian umbilikal yang membesar.
Signalement
Jenis hewan : Sapi
ID sapi :-
Umur : 1 minggu
Ras/breed : Friesian Holstein
Warna rambut : Hitam putih
Jenis kelamin : Jantan
Berat badan : ± 15 kg
Status Present
Keadaan Umum
Perawatan : Baik
Habitus : Tulang punggung tidak rata
Gizi : Baik
Pertumbuhan : Baik
Sikap Berdiri : Tegak pada ke empat kaki
Suhu : 38.5 oC
Frekuensi jantung : 64 kali/menit
Frekuensi nafas : 40 kali/menit
Telinga
Posisi daun telinga : Mengarah ke samping
Bau : Khas cerumen
Permukaan : Kotor
Refleks pangilan : Ada
Krepitasi : Tidak ada krepitasi
Leher
Perototan : Simetris
Trakhea : Teraba, tidak ada respon batuk
Esophaus : Teraba, tidak ada perubahan
Thoraks
Sistem pernafasan
(Inspeksi)
Bentuk : Simetris
Tipe pernafasan : Abdominal
Ritme : Teratur
Intensitas : Dalam
Frekuensi : 20 kali/menit
(Palpasi)
Penekanan rongga thorak : Tidak ada respon sakit
Penekanan intercostalis : Tidak ada respon sakit
(Perkusi)
Lapangan paru-paru : Tidak ada perluasaan
Gema perkusi : Nyaring
(Auskultasi)
Suara pernfasan : Vesikular respirasi terdengar jelas
Suara ikutan antara ex dan inspirasi : Tidak ada
Uji lain-lain
Uji gumba : Tidak ada respon
Uji alu : Tidak ada respon
Alat urogenitalia
Betina
(Inspeksi dan Palpasi)
Mukosa vagina : Rose, licin, tidak ada lesio
Kelenjar mamae
Besar : Bengkak
Letak : Ventral Abdomen
Bentuk : Tidak Proporsional
Kesimetrisan : Simetris
Konsistensinya : Kenyal
Palpasi rektal : Tidak dilakukan
Alat gerak
(Inspeksi)
Perototan kaki depan : Simetris
Perototan kaki belakang : Simetris
Spasmus otot : Tidak ada
Tremor : Tidak ada
Kestabilan pelvis
Konformasi : tegas dan kompak
Kesimetrisan : simetris
19
Palpasi Pertulangan
Kaki kiri depan : Tidak ada kelainan
Kaki kanan depan : Tidak ada kelainan
Kaki kiri belakang : Tidak ada kelainan
Kaki kanan belakang : Tidak ada kelainan
Konsistensi pertulangan : Simetris
Reaksi saat dipalpasi : Tidak ada kelainan
Terapi di Lapang
Terapi yang diberikan pada kasus hernia umbilikalis adalah berupa operasi
(herniorrhaphy). Anak sapi yang mengalami hernia umbilikalis dioperasi untuk
mengangkat bagian otot yang sudah mengalami nekrosis. Setelah itu cincin hernia
dibuat perlukaan dan dijahit dengan jahitan simple continous suture. Obat anastesi yang
digunakan adalah xylazine HCl 2% dengan dosis 0.1 mL/kg BB, yaitu sebanyak 1.5
mL yang diberikan secara intramuscular.
Pembahasan
Kasus hernia umbilikalis pada pedet ditandai dengan adanya pembesaran di
daerah umbilikal. Secara inspeksi terlihat hernia umbilikal tersebut mengalami luka
terbuka. Pemeriksaan fisik yang dilakukan menunjukkan suhu tubuh 38.5 °C, frekuensi
jantung 64 kali per menit, dan frekuensi napas 40 kali per menit. Diagnosis pada sapi
tersebut adalah hernia umbilikalis. Terapi yang diberikan adalah berupa operasi.
Hernia umbilikalis terjadi akibat adanya kegagalan penutupan cincin pusar dan
menyebabkan isi perut masuk ke dalam subkutis (Sutradhar et al. 2009). Hernia
umbilikalis merupakan cacat kongenital yang umum pada anak sapi Friesian Holstein
dengan frekuensi kejadian 4 sampai 15% (Herrmann et al. 2001). Hernia umbilikalis
sering terjadi pada hewan domestik seperti kuda, sapi, dan anjing. Kondisi ini
disebabkan oleh adanya kromosom abnormal, yang menyebabkan kesalahan pada
penutupan umbilikal saat lahir karena otot abdomen yang tidak berkembang atau
hipoplasia (Rahman et al. 2001). Secara umum, penyebab hernia umbilikalis terkait
dengan genetik, namun dapat juga terjadi akibat infeksi pada umbilikal. Kelahiran yang
20
berulang dan masa kehamilan yang lebih singkat merupakan faktor risiko kejadian
hernia umbilikalis pada anak sapi (Sutradhar et al. 2009).
Kejadian hernia umbilikalis diwariskan melalui gen dominan ataupun resesif.
Selain itu, berdasarkan penelitian di Amerika Serikat dan Kanada, risiko kejadian
hernia umbilikalis pada sapi ras Friesian Holstein dua kali lipat lebih sering
dibandingkan dengan ras lain (Angus, Ayrshire, Brown Swiss, Charolais, Guernsey,
Hereford , Jersey, dan Shorthorn). Faktor lain selain genetik yang bisa menyebabkan
hernia umbilikalis adalah infeksi pada umbilikal. Infeksi pada umbilikal dapat
memperlambat penutupan umbilikal. Frekuensi hernia umbilikalis pada sapi betina
Friesian Holstein dengan infeksi umbilikal akan berkurang sebesar 68-82% jika infeksi
umbilikal telah dicegah (Steenholdt dan Hernandez 2004). Hernia awalnya kecil pada
saat lahir, namun akan semakin membesar seiring dengan bertambahnya usia. Isi hernia
biasanya adalah lemak, omentum, dan apabila hernianya besar terdapat usus di
dalamnya (Sutradhar et al. 2009). Sapi dengan hernia umbilikalis yang besar memiliki
risiko tinggi mengalami kolik yang sering menyebabkan kematian pada anak sapi (Distl
et al. 2002).
RUMEN ASIDOSIS
Anamnesa
Sapi D2618 dilaporkan oleh peternak bahwa sapi tersebut tidak nafsu makan.
Signalement
Nama : D2618
Jenis hewan/spesies : Sapi
Ras/Bredd : Friesian Hilstein
Warna kulit dan rambut : Hitam-Putih
Jenis kelamin : Betina
Umur : 3 tahun
BCS :3
Tanda khusus :-
21
Status Present
Keadaan Umum
Perawatan : Baik
Habitus : Tulang punggung tidak rata
Gizi : Baik
Pertumbuhan : Baik
Sikap Berdiri : Tegak pada ke empat kaki
Suhu : 39.5 oC
Frekuensi jantung : 64 kali/menit
Frekuensi nafas : 28 kali/menit
Telinga
Posisi daun telinga : Mengarah ke samping
Bau : Khas cerumen
Permukaan : Kotor
Refleks pangilan : Ada
Krepitasi : Tidak ada krepitasi
Leher
Perototan : Simetris
Trakhea : Teraba, tidak ada respon batuk
Esophaus : Teraba, tidak ada perubahan
Thoraks
Sistem pernafasan
(Inspeksi)
Bentuk : Simetris
Tipe pernafasan : Abdominal
Ritme : Teratur
Intensitas : Dalam
Frekuensi : 32 kali/menit
(Palpasi)
Penekanan rongga thorak : Tidak ada respon sakit
23
Uji lain-lain
Uji gumba : Tidak ada respon
Uji alu : Tidak ada respon
Anus
Sekitaran anus : Kotor
Refleks spincter ani : Ada
Alat urogenitalia
Betina
(Inspeksi dan Palpasi)
Mukosa vagina : Rose, licin, tidak ada lesio
Kelenjar mamae
24
Besar : Proporsional
Letak : Ventral Abdomen
Bentuk : Proporsional
Kesimetrisan : Simetris
Konsistensinya : Kenyal
Palpasi rektal : Tidak dilakukan
Alat gerak
(Inspeksi)
Perototan kaki depan : Simetris
Perototan kaki belakang : Simetris
Spasmus otot : Tidak ada
Tremor : Tidak ada
Kestabilan pelvis
Konformasi : tegas dan kompak
Kesimetrisan : simetris
Palpasi Pertulangan
Kaki kiri depan : Tidak ada kelainan
Kaki kanan depan : Tidak ada kelainan
Kaki kiri belakang : Tidak ada kelainan
Kaki kanan belakang : Tidak ada kelainan
Konsistensi pertulangan : Simetris
Reaksi saat dipalpasi : Tidak ada kelainan
Terapi di Lapang
Terapi yang diberikan di lapangan pada kasus rumen asidosis yaitu Calcitect®
400 mL melalui pemberian secara IV, infuse Infadrex® (dextrose) 500 mL + Biodine®
10 mL melalui pemberian secara IV. infuse Infadrex® (dextrose) 500 mL melalui vena
jugularis dilakukan untuk mengatasi kondisi dehidrasi dari sapi perah tersebut.
Synder dan Credille (2017) menyatakan bahwa terapi dapat dilakukan dengan
pemberian larutan NaHCO3 5% dengan kecepatan 5 L dalam waktu 30 menit untuk
hewan dengan berat badan 450kg, diikuti dengan pemberian NaHCO3 1.3% yang
diberikan sebanyak 150 mL/kgBB dalam rentang waktu 6 hingga 12 jam. Untuk
mencegah terjadinya abses pada hati juga dapat diberikan antibiotic berupa penicillin,
tylosin, potentiated sulphonamides dan tetracycline. Terapi suportif seperti pemberian
flunixin meglumine dengan dosis 1 mg/kg untuk mengatasi endotemia, antihistamin
untuk mengawal produksi antihistamin, pemberian kalsium dan magnesium secara IV
atau SC untuk mencegah hypocalcaemia dan hypomagnesaemia serta pemberian
thiamine dengan dosis 10 mg/kg setiap 24-48 jam juga dapat dilakukan untuk
mencegah polioencepalomalacia.
Menurut Subronto (2006), pemberian larutan magnesium sulfat atau
sodiumsulfat 1-2 kali. Antihistamin, seperti Delladryl® sebanyak 10-15 ml secara
suntikan. Pemberian antibiotic secara oral, misalnya penisilin untukmengurangi jumlah
Lactobacillus dengan diulang 12 jam kemudian. Hewan yang mengalami dehidrasi
dilakukan penggantian cairan yang hilang, jumlahnya sesuai dengan derajat dehidrasi.
Untuk mengurangi asidosis dapat diberikan larutan sodium bikarbonat 2.5% sebanyak
500ml secara intravena perlahan-lahan untuk menghindari alkaliemia.
Pembahasan
Rumen asidosis merupakan bentuk indigesti akut yang ditandai dengan
ruminostatis yang sarat, rumen berisi ingesta yang bersifat asam, disertai anoreksia
total, dehidrasi, asidosis, dan toksemia. Gangguan ini disebabkan karena sapi-sapi
memakan bahan makanan penguat yang kaya akan karbohidrat (konsentrat) secara
berlebihan, terlalu banyak memakan konsentrat yang terlalu tinggi karbohidratnya,
seekor sapi dapat menderita rumen asidosis (Subronto 2006).
Rumen asidosis adalah salah satu penyakit metabolik terpenting pada sapi perah
yang ditandai dengan penurunan pH rumen dibawah 5.5 beberapa jam setelah
pemberian pakan. Penyakit ini disebabkan oleh penurunan pH rumen dibawah level
normal, karena peningkatan konsentrasi volatile fatty acids (VFA) yang berlebihan.
Peningkatan konsentrasi VFA dapat dibebakan oleh diet yang kaya akan karbohidrat
yang mudah difermantasi atau lambatnya penyerapan VFA oleh dinding rumen, karena
penyesuaian yang tidak tepat dalam diet tinggi karbohidrat. Rumen asidosis pada sapi
perah dapat berdampak pada penurunan produksi susu, penurunan lemak susu,
laminitis, abses hati, serta sindrom caudal vena cava (Sato 2016; Nagaraja dan
Titgemeyert 2007).
Penurunan konsumsi pakan merupakan cara terakhir yang dilakukan ruminasia
untuk mengatur pH rumen. Penurunan bahan kering jelas terlihat ketika pH rumen
kurang dari 5.5. Namun produksi laktat pada pH rumen rendah dapat mengimbangi
kenaikan dari penyerapan VFA. Ketika pH turun, bakteri penghasil laktat seperti
Streptococcus bovis mulai memfermentasi glukosa menjadi laktat dibanding
memfermentasi VFA. Hal ini situasi yang berbahaya karena laktat mempunyai pKa
lebih rendah dari VFA (3.9 dan 4.8) dan laktat 5.2 kali lebih sulit terurai dibanding
VFA pada pH 5.0. Oleh karena itu, laktat terakumulasi dirumen lebih lama dan
berkontribusi dalam penurunan pH rumen (Fraser et al. 2011).
26
Anamnesa
Seekor sapi perah yang masih dara dilaporkan ambruk dan tidak nafsu makan
sejak pagi. Sapi sedang bunting sekitar 8 bulang menjelang 9 bulan. Pakan diberikan
hijauan dan konsentrat, namun sekarang sedang musim kemarau sehingga hijauan
susah dicari.
Signalment
Sapi dengan ras Friesian Holstein (FH) berjenis kelamin betina memiliki warna
rambut hitam-putih. Sapi berumur sekitar ± 1.5 tahun dengan bobot badan sekitar ±
350 kg.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
- Perawatan : Baik
- Habitus : Tulang punggung tidak rata
- Gizi : Baik
- Pertumbuhan : Baik
- Sikap Berdiri : Tegak pada ke empat kaki
- Suhu : 35.3 oC
27
Telinga
- Posisi daun telinga : Mengarah ke samping
- Bau : Khas cerumen
- Permukaan : Kotor
- Refleks pangilan : Ada
- Krepitasi : Tidak ada krepitasi
Leher
- Perototan : Simetris
- Trakhea : Teraba, tidak ada respon batuk
- Esophaus : Teraba, tidak ada perubahan
Thoraks
Sistem pernafasan
(Inspeksi)
- Bentuk : Simetris
- Tipe pernafasan : Abdominal
- Ritme : Teratur
- Intensitas : Dalam
- Frekuensi : 20 kali/menit
(Palpasi)
- Penekanan rongga thorak : Tidak ada respon sakit
- Penekanan intercostalis : Tidak ada respon sakit
(Perkusi)
- Lapangan paru-paru : Tidak ada perluasaan
- Gema perkusi : Nyaring
(Auskultasi)
- Suara pernfasan : Vesikular respirasi terdengar jelas
- Suara ikutan antara ex dan inspirasi : Tidak ada
29
Uji lain-lain
- Uji gumba : Tidak ada respon
- Uji alu : Tidak ada respon
Alat urogenitalia
Betina
(Inspeksi dan Palpasi)
- Mukosa vagina : Rose, licin, tidak ada lesio
Kelenjar mamae
- Besar : Bengkak
- Letak : Ventral Abdomen
- Bentuk : Tidak Proporsional
- Kesimetrisan : Simetris
- Konsistensinya : Kenyal
- Palpasi rektal : Tidak dilakukan
Alat gerak
(Inspeksi)
30
Kestabilan pelvis
- Konformasi : tegas dan kompak
- Kesimetrisan : simetris
Palpasi Pertulangan
- Kaki kiri depan : Tidak ada kelainan
- Kaki kanan depan : Tidak ada kelainan
- Kaki kiri belakang : Tidak ada kelainan
- Kaki kanan belakang : Tidak ada kelainan
- Konsistensi pertulangan : Simetris
- Reaksi saat dipalpasi : Tidak ada kelainan
Temuan Klinis
Ambruk, mukosa pucat, frekuensi nafas rendah, frekuensi jantung cepat, dan
suhu tubuh di bawah normal. Setelah dilakukan palpasi perektal, ternyata fetus sudah
mati.
Diagnosa
Downer Cow Syndrome
Prognosa
Infausta.
Terapi di lapangan
Terapi yang dilakukan adalah memberikan infus cofacalsium sebanyak 500ml
cofakalsium®.
meningkatkan kadar gula di dalam darah. Glukosa berfungsi untuk proses metabolisme
sel-sel tubuh. Cofakalsium mengandung kalsium gluconat, magnesium hipofosfit
6H2O dan asam borat. Cofacalsium merupakan terapi untuk sapi yang mengalami
hipokalsemia atau hipomagnesemia. Menurut Goff (2008), terapi pada kasus
hipokalsemia adalah injeksi secara intravena larutan kalsium borogluconate dengan
dosis 8.5-11.5 g Ca/ 500 mL. Larutan tersebut biasanya juga mengandung magnesium
, fosfor, dan glukosa (dextrose). Dosis efektif untuk injeksi kalsium secara intravena
adalah 2 gram Ca/100 kg BB. Selain itu preparat kalsium juga dapat diberikan secara
subcutan dengan dosis 1-1.5 g Ca atau intramuscular 0.5-1.0 g Ca.
Pembahasan
Seekor sapi berumur ±3 tahun melahirkan namun pada keesokan harinya, sapi
tersebut lemas, tidak mau berdiri, dan tidak mau makan. Setelah dilakukan
pemeriksaan, sapi mengalami dehidrasi dengan CRT >2 detik. Berdasarkan temuan
gejala klinis di lapang, sapi didiagnosa downer cow syndrome dan suspect
hipokalsemia.
Downer cow syndrome ataupun dikenali sebegai penyakit sindrom sapi ambruk
merupakan penyakit yang sering diderita oleh sapi di Indonesia dengan angka kerugian
yang cukup tinggi di kalangan peternak. Penyakit ini bisa disebabkan oleh banyak
faktor yang sangat bervariatif dan komplikatif. Namun beigitu banyak literatur
melaporkan bahwa Downer cow syndrome bermanifestasi setelah partus dan berkait
dengan hipokalsemia. Untuk memeriksa hipokalsemia harus melakukan pemeriksaan
untuk melihat kadar kalsium, tetapi ini sangat tidak memungkinkan di lapang karena
faktor biaya. Downer cow syndrome juga dikenali dengan istilah paraplegia post
partum kerana ia selalu terjadi pada induk hewan yang sedang buting tua atau beberapa
hari sesudah partus yang menyebabkan sapi tidak dapat berdiri, tetapi selalu dalam
keadaan berbaring diri, tetapi selalu dalam keaddan berbaring pada salah satu sisi
tubuhnya karena adanya kelemahan pda bagian belakang tubuh (Subronto 2007).
Beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab adalah adanya kelemahan badan
akibat menrima beban terlalu berat misalnya bunting dengan anak yang terlalu besar,
anak kembar. Ia juga dapat disebabkan oleh adanya contusion pada otor di abgian tubuh
sebelah belakang waktu berbaring atau menjatuhkan diri sehingga ada kerusakan pada
otot atau tulang pelvis. Downer cow syndrome juga dapat disebabkan oleh adanya
osteomalasia karena defisiensi vitamin D, pembendungan pembuluh darah pada kaki
belakang sehingga menimbulkan peredaran darah.Gejala yang terlihat secara tiba-tiba
induk hewan yang baru saja melahirkan terlihat jatuh dan tidak dapat berdiri karena
adanya kelemahan di bagian belakang badannya, gejalala ini bisa terlihat 2-3hari
sebelum partus. Pada kebanyakan kasus, DCS adalah komplikasi hipokalsemia
periparturient (Subronto 2007).
Hipokalsemia merupakan penyakit metabolik dimana kadar kalsium dalam darah
berada di bawah rentang normal (8.5-10 mg/dL) (Goff 2008). Kalsium dalam tubuh
berperan untuk pembentukan tulang, kontraksi otot, transmisi saraf, pembekuan darah,
dan sebagai second messenger yang mengatur hormon-hormon. Sebagian besar kasus
hipokalsemia terjadi dalam 24-48 jam setelah melahirkan. Secara umum, sapi yang
32
mengalami hipokalsemia tidak mampu berdiri dan hanya karena kalsium dalam darah
yang rendah (Seifi dan Kia 2008).
Menurut Oetzel (1988), sebanyak 75% kasus hipokalsemia terjadi dalam waktu
24 jam setelah melahirkan, 12% terjadi setelah 24 hingga 48 jam setelah melahirkan,
6% kasus terjadi saat melahirkan dan menyebabkan distokia, 3% kasus terjadi saat
sebelum melahirkan, dan 4% kasus terjadi lebih dari 48 jam setelah melahirkan.
Penyebab umum dari hipokalsemia yaitu karena terjadi penurunan kalsium di
dalam darah secara tiba-tiba. Kadar kalsium di dalam darah berada di bawah normal
mencapai angka 2-5 mg/dL (Radostids et al. 2000). Sedangkan menurut Sjafarnjanto
(2010), penyebab hipokalsemia karena perubahan kadar ion dalam sel cairan tubuh.
Perubahan kadar ion tersebut mempengaruhi iritabilitas, gerakan dan tonus otot, serta
pengaruh dari ion-ion Na, K, Ca dan Mg yang mempengaruhi implus syaraf. Fungsi Ca
dan Mg sebagai pemelihara permeabilitas membran sel dan kontraksi otot. Sedangkan
Ca berfungsi sebagai aktivator ikatan protein aktin dan myosin sehingga dapat
menghasilkan kontraksi otot (Subronto 2007).
Faktor predisposisi dari hipokalsemia yaitu umur, produktivitas susu, nafsu
makan, kandungan gizi ransum, fungsi pencernaan, bawaan dari lahir, kecukupan ultra
violet, breed (bangsa), dan kering kandang. Hipokalsemia sering terjadi pada indukan
sapi yang telah berumur empat tahun lebih dan atau berada pada laktasi ketiga dan
seterusnya. Sapi yang berumur tua daya penyerapan kalsiumnya akan menurun. Sapi
dengan produksi susu yang tinggi akan lebik mudah mengalami hipokalsemia, karena
tingginya mobilitas kalsium yang bergerak ke mammae dan keluar memalui susu.
Nafsu makan yang turun dapat menyebabkan tersedianya kalsium yang siap diserap
juga menurun dan terjadi defisiensi kalsium. Kalsium dalam darah yang turun sendiri
dapat mengakibatkan nafasu makan menurun (Subronto 2007). Apabila kandungan
nutrisi pada ransum tidak mencukupi maka dapat berpotensi terjadi hipokalsemia.
Apabila kondisi pencernaan sapi tidak baik, maka penyerapan nutrisi akan terganggu
dan hipokalsemia dapat terjadi. Anak sapi yang berasal dari induk sapi yang menderita
hipokalsemia akan lebih mudah terkena hipokalsemia. Hal ini karena ketika anak sapi
berada di dalam rahim dan induk mengalami hipokalsemia maka suplai kalsium ke
anak juga akan kurang (Goff 2008).
Proses pembentukan vitamin D dari pro vitamin D tidak lepas membutuhkan
sinar ultra violet matahari. Jika proses pembentukan vitamin D terganggu maka proses
penyerapan kalsium pun akan terganggu (Sjafarjanto 2010). Kejadian hipoklasemia
sering pada Jersy, dikarenakan populasi terbanyak adalah jenis Holstein maka terlihat
paling banyak pada Friesien Holstein. Masa kering kandang adalah masa persiapan
ambing untuk produksi susu berikutnya. Jika tidak dilakukan kering kandang, maka
sapi perah akan terus memproduksi susu sehingga kalsium banyak termobilisasi keluar
melalui susu selain dimobilisasi ke janin dan ekskresi melalui tinja dan urin. Sehingga
potensi hipokalsemia dapat terjadi. Akhir masa kebuntingan cukup tinggi
membutuhkan kalsium jika dalam pakan tidak mencukupi, maka kalsium di dalam
tubuh akan dimobilisasi untuk memenuhi kebutuhan tersebut (Subronto 2007).
Patogenesa terjadinya hipokalsemia yaitu pemberian pakan tinggi kalsium pada
periode kering kandang dapat merangsang pelepasan kalsitonin dari sel-sel
parafolikuler kelenjar tiroid. Homeostasis kalsium dalam darah diatur oleh kalsitonin,
33
MASTITIS KLINIS
Anamnesa
Seekor sapi Fresian Holstein dengan nomor telinga C8573 dilaporkan oleh
pemilik mengalami penurunan produksi susu, warna susu berubah kekuningan, dan
susu pecah pada kuartir kanan depan, kanan dan kiri belakang. Sapi baru melahirkan 4
hari yang lalu, mengalami perubahan pada susu setelah melahirkan.
Signalment
Nama : C9732
Jenis hewan : Sapi
Ras : Fresian Holstein
Warna rambut : Hitam-putih
Jenis kelamin : Betina
Umur : ± 3 tahun
Berat badan : ± 400 kg
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
- Perawatan : Baik
- Habitus : Tulang punggung tidak rata
- Gizi : Baik
- Pertumbuhan : Baik
- Sikap Berdiri : Tegak pada ke empat kaki
- Suhu : 38.6 oC
- Frekuensi jantung : 60 kali/menit
- Frekuensi nafas : 30 kali/menit
34
Telinga
- Posisi daun telinga : Mengarah ke samping
- Bau : Khas cerumen
- Permukaan : Kotor
- Refleks pangilan : Ada
- Krepitasi : Tidak ada krepitasi
Leher
- Perototan : Simetris
- Trakhea : Teraba, tidak ada respon batuk
- Esophaus : Teraba, tidak ada perubahan
Thoraks
Sistem pernafasan
(Inspeksi)
- Bentuk : Simetris
- Tipe pernafasan : Abdominal
- Ritme : Teratur
- Intensitas : Dalam
- Frekuensi : 30 kali/menit
(Palpasi)
- Penekanan rongga thorak : Tidak ada respon sakit
- Penekanan intercostalis : Tidak ada respon sakit
(Perkusi)
- Lapangan paru-paru : Tidak ada perluasaan
- Gema perkusi : Nyaring
(Auskultasi)
- Suara pernfasan : Vesikular respirasi terdengar jelas
- Suara ikutan antara ex dan inspirasi : Tidak ada
Uji lain-lain
- Uji gumba : Tidak ada respon
- Uji alu : Tidak ada respon
Alat urogenitalia
Betina
(Inspeksi dan Palpasi)
- Mukosa vagina : Rose, licin, tidak ada lesio
Kelenjar mamae
- Besar : Bengkak
- Letak : Ventral Abdomen
- Bentuk : Tidak Proporsional
- Kesimetrisan : Simetris
- Konsistensinya : Kenyal
- Palpasi rektal : Tidak dilakukan
Alat gerak
(Inspeksi)
- Perototan kaki depan : Simetris
- Perototan kaki belakang : Simetris
37
Kestabilan pelvis
- Konformasi : tegas dan kompak
- Kesimetrisan : simetris
Palpasi Pertulangan
- Kaki kiri depan : Tidak ada kelainan
- Kaki kanan depan : Tidak ada kelainan
- Kaki kiri belakang : Tidak ada kelainan
- Kaki kanan belakang : Tidak ada kelainan
- Konsistensi pertulangan : Simetris
- Reaksi saat dipalpasi : Tidak ada kelainan
Temuan Klinis
Kelenjar mamae bengkak dan keras; susu mengalami perubahan secara fisik.
Diagnosa
Mastitis.
Prognosa
Prognosa dari kasus ini yaitu fausta.
Terapi di lapangan
Terapi yang diberikan yaitu dengan menyuntikan Phenylject® dengan dosis
1mL/kg BB secara intramuskular dan pemberian antibiotik Lactaclox® intramamari
selama 3 hari pada puting yang terinfeksi mastitis.
indikasi obat pada hewan yang hipersensitif terhadap penisilin (SHS Internasional
2013).
Selain itu diberikan Phenylject® dengan dosis 1mL/10 kg BB secara
intramuskular. Phenylject mengandung Phenylbutazone 200 mg yang merupakan
turunan Pyrazolone dan termasuk obat golongan antipiretik, analgesik, dan
antiinflamasi non steroid. Indikasi obat ini Sebagai antiinflamasi, analgesik dan
antipiretik untuk mengatasi kasus arthritis, bursitis, myositis, neuritis, tendinitis,
tendovaginitis, trauma kelahiran, impotensia coeundi, luka pada otot dan nyeri karena
luka seperti memar, distorsi, hemoragi dan luksasi pada sapi, kambing, domba, anjing,
kucing dan babi. Selain itu, obat ini aman dipakai pada hewan yang bunting (TMC
2016).
Pembahasan
Mastitis adalah peradangan pada jaringan parenkim kelenjar mammae yang
umumnya disebabkan oleh invasi mikroorganisme patogen melalui rute
intramamaria. Ketika seekor sapi dianggap mengalami mastitis klinis ia akan
menunjukkan abnormalitas pada sifat fisik susu yang berasal dari satu atau keempat
kwartir ambing dan menunjukkan tanda-tanda peradangan pada ambing (misalnya
bengkak, panas, sakit, dan merah) (Martin et al. 2018) Hewan yang sering menderita
mastitis yaitu sapi perah dan biasanya disebabkan oleh bakteri atau mikoplasma.
Penyakit mastitis pada sapi perah berdasarkan gejala klinis dapat dibedakan menjadi
dua yaitu mastitis subklinis dan mastitis klinis. Mastitis klinis mengakibatkan
perubahan fisik susu seperti susu pecah, bercampur nanah, ambing membengkak
asimetris, berdarah, berjonjot, bila dipegang panas, dan dapat menunjukkan adanya
respon sakit bila dipegang. Sedangkan mastitis subklinis secara fisik tidak ditemukan
perubahan pada susu, tetapi bila dilakukan uji mastitis misal CMT, IPB mastitis test
dan tes lainnya akan terlihat penjendalan yang artinya menunjukkan adanya
peningkatan jumlah sel darah putih dalam susu (Kementan 2014). Penyakit ini
merupakan penyakit multifaktorial dan sulit untuk disembuhkan.
Penyakit mastitis selalunya disebabkan oleh bakteri dan cendawan. Bakteri
penyebab mastitis antara lain Streptococcus agalactiae, Staphylococcus aureus,
Staphylococcus epidermidis, Streptococcus disgalactiae, Streptococcus uberis, bakteri
coliform terutama klebsiella dan Pseudomonas aerugenosa (Supar dan Ariyanti 2008).
Bakteri Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Streptococcus agalactiae
menjadi penyebab mastitis hingga 91.5% sedangkan Streptococcus disgalactiae,
Streptococcus uberis, dan coliform sebesar 8.5%. Mycoplasma sp dan Nocardia
asteroides dalam keadaan tertentu dapat dijumpai sebagai penyebab mastitis
(Kementan 2014). Cendawan penyebab mastitis diantaranya yaitu yeast seperti
Candida sp dan fungi juga dapat menjadi penyebab mastitis, namun biasanya sebagai
penyebab mastitis subklinis (Swartz 2006).
Adanya invasi mikroorganisme patogen (misalnya bakteri) secara ascendens dan
descendens melalui lubang puting susu dapat menyebabkan mastitis Bakteri
masuk ke dalam saluran puting menuju ke jaringan kelenjar apokrin ambing yang
mensekresikan susu. Kemudian bakteri melakukan kolonisasi pada kelenjar
ambing. Koloni bakteri dapat menghasilkan toksin yang memicu terjadinya
39
Gejala klinis yang ditemukan di lapangan juga menunjukkan gejala yang sama
seperti dijelaskan di atas. Gejala klinis yang terjadi pada sapi ini yaitu terjadi
pembengkakan pada ambing, terasa keras dan panas. Perubahan fisik pada susu berupa
perubahan warna menjadi kekuningan, susu pecah, dan produksinya menurun. Ambing
yang menunjukkan gejala mastitis klinis yaitu pada ambing kwartir kanan depan, kanan
belakang, dan kiri belakang Kejadian mastitis tersebut dimulai setelah sapi tersebut
melahirkan, yang kemungkinan kejadian mastitis tersebut disebabkan karena kesalahan
pada proses pemerahan.
.
Kesimpulan
Kegiatan pelayanan kesehatan sapi perah di KPBS Pengalengan
memberikan pengalaman dan penambahan ilmu bagi mahasiswa PPDH FKH IPB
dalam penentuan diagnosa dan memberikan terapi pada kasus reproduksi maupun
klinik.
Saran
Saran yang dapat diberikan kepada para peternak adalah meningkatkan
kebersihan kandang dan lebih tanggap dalam pelaporan sapi yang sakit,
sedangkan saran untuk petugas lapang di KPBS pangalengan adalah
meningkatkan sosialisasi mengenai penyakit yang sering terjadi serta penanganan
awal yang dapat dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
[RAGFAR] Reference Advisory Group on Fermentative Acidosis of Ruminants.
Rumen acidosis—Aetiopathogenesis, Prevention and Treatment, Australian
Veterinary Association, Sydney (AU).
Aiello SE, Moses MA, Allen DG. 2016. The Merck Veterinary Manual. Ed ke-11.
USA: Merck & Co Inc.
Aspinall V, Cappello M. 2009. Introduction to Veterinary Anatomy and Physiology
Textbook 2nd Edition. London (UK): Elsevier.
Blowey RW, Weaver AD. 2011. Color atlas of disease and disorder of cattle 3 rd.
Edition. London (UK): Mosby Elsevier.
Champness D. 2007. Milk Fever (Hypocalcaemia) in Cows. [internet]. [Diakses pada
27 April 2019]. Tersedia pada: http://agriculture.vic.gov.au/agriculture/pests-
diseases-and-weeds/animal-diseases/beef-and-dairy-cows/milk-fever-
hypocalcaemia-in-cows.
41
Chase CCL Lutz KA, McKenzie EC, Tibary A. 2017. Blackwell’s Five-Minute
Veterinary Consult: Ruminant. Ed ke-2. Hoboken (US): John Wiley
Belknap JK. 2010. Black walnut extract: an inflammatory model. Vet Clin North
Am Equine Pract 26(1):95-101.
Bergsten C. 2009. Laminitis: Causes, Risk Factors, and Prevention. [internet]. Tersedia
pada: http://www.txanc.org/proceedings/2011/BovineLaminitis .pdf. Diakses
pada 2019 Juni 16.
Cardoso FCD, Esteves VS, Oliveira STD, Lasta CS, Valle SF, Campos R, González
FHD. 2008. Hematological, biochemical and ruminant parameters for diagnosis
of left displacement of the abomasum in dairy cows from Southern
Brazil. Pesquisa Agropecuária Brasileira. 43(1): 141-147.
Distl O, Herrmann R, Utz J, Doll K, Rosenberger E. 2002. Inheritance of congenital
umbilical hernia in German Fleckvieh. Journal of Animal Breeding and
Genetics. 119(4): 264-273
Fraser CM. 2011. The Merck Veterinary Manual: Hand Book of Diagnosis, Therapy
and Disease Prevention and Control for The Veterinarian. 7th ed. London (UK).
Merck & Co Inc.
Greenough PR. 2012. Laminitis in cattle. [internet]. Tersedia pada:
http://www.merckmanuals.com/vet/musculoskeletalsystem/lamenessincattle
/laminitisincattle.html. Diakses pada: 2019 Juni 16
Goff JP. 2006. Macromineral physiology and application to the feeding of the dairy
cow for prevention of milk fever and other periparturient mineral disorders.
Animal Feed Science and Technology. 126: 237-257.
Goff JP. 2008. The monitoring, prevention, and treatment of milk fever and subclinical
hypocalcemia in dairy cows. The Veterinary Journal
Herrmann R, Utz J, Rosenberger E, Doll K, Distl O. 2001. Risk factors for congenital
umbilical hernia in German Fleckvieh. The Veterinary Journal,.162(3): 233-
240.
Holzhauer M, Hardenberg C and Bartels CJM. 2008. Herd and cow-level prevalence
of sole ulcers in The Netherlands and associated-risk factors. Prev. Vet. Med.
85:125-135.
Hunt RJ, Wharton RE. 2010. Clinical presentation, diagnosis, and prognosis of chronic
laminitis in North America. Vet Clin North Am Equine Pract. 26(1):141-53.
Luthvin. 2007. Identifikasi Staphylococcus aureus Penyebab Mastitis Dengan Uji
Fermentasi Mannitol dan Deteksi Produksi Asetoin pada Sapi Perah Di Wilayah
Kerja Koperasi Usaha Tani Ternak Suka Makmur Grati Pasuruan. Jurnal
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Air Langga, Jawa Timur.
Martin P, Barkema HW, Brito LF, Narayana SG, Miglior F. 2018. Symposium
review: Novel strategies to genetically improve mastitis resistance in dairy
cattle. Journal of Dairy Science. 101(3):2724-2736
Nurhayati IS, Martindah E. 2015. Pengendalian mastitis subklinis melalui pemberian
antibiotik saat periode kering pada sapi perah. Wartazoa. 25(2): 065-074.
Nagaraja TG, Titgemeyert EC. 2007. Ruminal acidosis in beef cattle: the current
microbiological and nutritional outlook. Journal of Dairy Science. 90: 17-38.
42
Kumar V, Kumar N, Gangwar AK, Saxena AC. 2013. Using acellular aortic matrix to
repair umbilical hernias of calves. Australian veterinary journal. 91(6): 251-
253. Pravettoni D, Doll K, Hummel M, Cavallone ERM, Belloli AG. 2004.
Insulin resistance and abomasal motility disorders in cows detected by use of
abomasoduodenal electromyography after surgical correction of left displaced
abomasum. American journal of veterinary research. 65(10): 1319-1324.
Oetzel GK. 1988. Parturient Paresis and Hypocalcemia in Ruminant Livestock.
Veterinary Clinics of North America. Food Animal Practice. 4(2): 351–364.
Rahman MM, Biswas D, Hossain MA. 2001. Occurrence of umbilical hernia and
comparative efficacy of different suture materials and techniques for its
correction in calves. Pakistan Journal of Biological Science. 4(8): 1026-1028.
Radostids OM, Gay CC, Hinchcliff KW, Constable PD. 2007. Veterinary Medicine: A
Textbook of The Diseases of Cattle, Sheep, Goats, Pigs, and Horses. 10th edition.
Edinburgh (GB): Saunders Elsevier.
Raizman EA, Santos JEP. 2002. The effect of left displacement of abomasum corrected
by toggle-pin suture on lactation, reproduction, and health of Holstein dairy
cows. Journal of dairy science. 85(5): 1157-1164.
Redden R. 2007. Understanding Laminitis. Lexington (US): The Blood Horse, Inc.
Sato S. 2016. Pathophysiological evaluation of subacute ruminal acidosis (SARA) by
continuous ruminal pH monitoring. Animal Science Journal. 87: 168-177
Sjafarjanto A 2010. Ilmu Penyakit Hewan Besar II. Diktat Program Pendidikan
Diploma Tiga Kesehatan Hewan dan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
Supar, Ariyanti T. 2008. Kajian pengendalian mastitis subklinis pada sapi perah.
Dalam: Diwyanto K, Wina E, Priyanti A, Natalia L, Herawati T, Purwandaya B,
Penyunting. Prosiding Lokakarya Nasional Prospek Industri sapi perah menuju
perdagangan bebas 2020. Jakarta, 21 April 2008. Bogor (Indonesia):
Puslitbangnak.
Swartz HA. 2006. Mastitis in the Ewe [internet]. [diunduh pada 2018 September 01].
Tersedia pada http://www.caseagworld.com/caw.Lumast
Subronto. 2008. Ilmu Penyakit Ternak. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University
Press.
Steenholdt C, Hernandez J. 2004. Risk factors for umbilical hernia in Holstein heifers
during the first two months after birth. Journal of the American Veterinary
Medical Association. 224(9): 1487-1490.
Sutradhar BC, Hossain MF, Das BC, Kim G, Hossain MA. 2009. Comparison between
open and closed methods of herniorrhaphy in calves affected with umbilical
hernia. Journal of veterinary science. 10(4): 343-347.
Smith Bradford P. 2014. Large Animal Internal Medicine. Ed ke-5. USA: Elsevier
Mosby.
Subronto. 2006. Ilmu Penyakit Ternak II. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ Pr.
Synder E, Credille B. 2017. Diagnosis and treatment of clinical rumen acidosis.
Veterinary Clinics of North America Food Animal Practice. (3): 451-461.
43
Van Winden SCL, Kuiper R. 2003. Left displacement of the abomasum in dairy cattle:
recent developments in eidemiological dan etiological aspects. Veterinary
research. 34(1): 47-56.
Zachary JF, McGavin MD. 2012. Pathologic Basis of Veterinary Disease. 5th Ed.
Missouri (US): Elsevier
44
Lampiran 1 Daftar obat yang digunakan dalam praktik lapangan di KPBS Pangalengan Bandung Selatan pada 08 April- 05 Mei 2019
No Merek Dagang Kandungan Sediaan Indikasi Dosis dan Cara pemberian
® Vial 100 Arthritis, mastitis, infeksi saluran Sapi dewasa: 1 ml / 20 kg BB
1 Penstrep 400 a. Procaine
Penicillin G ml pencernaan, pernafasan, dan urinari Pedet: 1 ml / 10 kg BB
200000 IU/ml yang disebabkan oleh mikroorganisme Injeksi IM
b. Streptomycin yang sensitif terhadap penicillin dan
Sulphate 200 dihidrostreptomicin, seperti
Campylobacter, Clostridium,
mg/ml Corynobacterium, E.coli, Erysipelothrix,
Haemophilus, Klebsiella, Listeria,
Pasteurella, Salmonella,
Staphylococcus, dan Streptococcus.
2 Vitol-140® a. Vitamin A Vial 100 Pencegahan atau perawatan pada Sapi dan kuda: 10 mL
retinol palmitate ml defisiensi vitamin A, vitamin D, dan Anak sapi dan anak kuda: 5
80.000 IU vitamin E pada hewan ternak. mL Kambing dan domba: 3
b. Vitamin D3 Pencegahan dan perawatan terhadap mL Babi: 5-8 mL Anjing: 1-5
cholecalciferol kondisi stress akibat vaksinasi, sakit, mL Kucing: 1-2 mL IM/SC
40.000 IU transportasi, kepadatan tinggi,
c. Vitamin E α- temperature tinggi atau perubahan
tocopherol acetate temperatur drastic perubahan pakan
20 mg
3 Vitamin B-12 Vitamin B12 10 Vial 100 Membantu proses pembentukan Sapi: 5-10 mL/ 200 kg BB
Injeksi Meyer® mg/mL ml darah. Menjaga fertilitas sperma Injeksi IM
dan ovum.
Mengatasi anemia, kelesuan, kurang
nafsu makan dan kelemahan umum.
Meningkatkan dan mempertahankan
daya tahan dan kekuatan otot.
Membantu proses metabolisme
5 Cotrimoxazole® Tiap kaplet Kaplet Endometritis dan metritis, post Peroral atau Intrauterin
mengandung dalam partus untuk mencegah infeksi Sapi, kerbau, kuda: 2-4
Sulfametoxazole botol. sekunder, retensio secundinae, kaplet/ekor
800 mg dan Satu prolapsus uteri, abortus,
botol Domba, kambing, babi: 1-2
Trimethoprim 160 enteritis, diare, pneumonia, kaplet/ekor
terdapat hygroma, abses
mg
50
kaplet.
6 Biodin® ATP 1 mg/ml Vial 50 Untuk stimulasi tubuh secara umum 20 ml / ekor
Mg Aspartate 15 ml terutama pada tonus otot dari semua Injeksi IM atau IV
mg/ml species hewan seperti pada keadaan
K Aspartate 10 kelemahan otot, menjaga stamina
mg/ml kuda pacu dan anjing, miositis akut.
Na Selenite 1
mg/ml
Vitamin B12 0.5
mg/ml
7 B-Complex® Vitamin B1 2 Vial Menambah nafsu makan, meningatkan Sapi dewasa: 5 ml / 100
mg/ml 100 ml daya tahan tubuh, memperbaiki kg BB
Vitamin B2 2 kekurangan vitamin, merfungsi sebagai Pedet: 0.03 ml / kg BB
mg/ml koenzim dalam metabolisme Injeksi IM
Vitamin B6 2
mg/ml
Nicotamid 20
mg/ml
Panth 10 mg/ml
Licocain HCl 20
mg/ml
46
8 Oxytocin-10® Oksitosin sintesis 10 Botol 4- Memicu atau memperkuat otot Rahim Sapi: 4-5 mL/ekor
IU/mL 5 mL
9 Infalgin® Antalgin 100 mg/mL Vial 100 Analgesik antipiretik 7,5 mg/kgBB
mL Intramuskular
10 Ghalapan® PGF2α Vial 4-5 Melisiskan corpus luteum dan 2-3 ml per ekor
mL mengontraksikan miometrium intramuskular
Lampiran 2 Jurnal kegiatan praktik lapangan di KPBS Pangalengan Bandung Selatan
pada 08 April- 05 Mei 2019
Tanggal Kegiatan
08 April 2019 Penerimaan peserta PPDH dan kuliah singkat bersama Drh
Asep
09 April 2019 Pelayanan kesehatan - pengobatan sapi perah dengan Drh
Triyono
Preventif pre partus dan post partus pada 2 ekor sapi
10 April 2019 Pelayanan kesehatan - pengobatan sapi perah dengan Drh
Triyono
11 April 2019 Pelayanan kesehatan - pengobatan sapi perah dengan Drh
Triyono
12 April 2019 Pelayanan kesehatan - pengobatan sapi perah dengan Pak
Wijaya
13 April 2019 Pelayanan kesehatan - pengobatan sapi perah dengan Pak
Wijaya
15 April 2019 Pelayanan kesehatan - pengobatan sapi perah dengan
Drh.Triyono
Operasi C-section dengan Drh Triono
16 April 2019 Pelayanan kesehatan - pengobatan sapi perah dengan Drh Sari
Preventif pre partus pada 1 ekor sapi
18 April 2019 Pelayanan kesehatan - pengobatan sapi perah dengan Drh Sari
Pelayanan kesehatan - pengobatan sapi perah dengan Pak
Ajang
Preventif post partus pada 1 ekor sapi
Pelayanan inseminasi buatan pada 3 ekor sapi
Pemeriksaan kebuntingan pada 3 ekor sapi
20 April 2019 Piket di kandang dengan Pak Rodiana
Pelayanan kesehatan - pengobatan sapi perah
22 April 2019 Piket di kandang dengan Pak Rodiana
Pelayanan kesehatan - pengobatan sapi perah
23 April 2019 Pelayanan kesehatan - pengobatan sapi perah dengan Pak
Rodiana
Preventif post partus pada 1 ekor sapi
24 April 2019 Kunjungan ke PT. Ultra Peternakan Bandung Selatan (UPBS)
25 April 2019 Pelayanan kesehatan - pengobatan sapi perah dengan
Pemeriksaan Kebuntingan pada 4 ekor sapi
26 April 2019 Pelayanan kesehatan-pengobatan sapi preah dengan Pak
Ajang
27 April 2019 Pelayanan kesehatan - pengobatan sapi perah dengan Pak
Ajang
Preventif post partus pada 1 ekor sapi
Pelayanan inseminasi buatan pada 1 ekor sapi
48