Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN CA NASOFARING

Disusun Oleh :

Viona Hepi Pramesti (1908097)

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KARYA HUSADA
SEMARANG
2019
Laporan Pendahuluan CA Nasofaring
A. Pengertian

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan
predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan tumor
ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. (Efiaty & Nurbaiti,
2010)
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan
predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring.Keganasan ini termasuk 5 besar bersama
kanker mulut rahim, payudara, kulit dan getah bening sedangkan pada laki-laki merupak
tumor yang paling banyak ditemukan (Roezin, 2009).
Nasofaring sendiri merupakan bagian nasal dari faring yang mempunyai struktur
berbentuk kuboid.Banyak terdapat struktur anatomis penting di sekitarnya. Banyak saraf
kranial yang berada di dekatnya, dan juga pada nasofaring banyak terdapat limfatik dan suplai
darah.Struktur anatomis ini mempengaruhi diagnosis, stadium, dan terapi dari kanker tersebut.
Karsinoma Nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa nasofaring
atau kelenjar yang terdapat di nasofaring. Carsinoma Nasofaring merupakan karsinoma yang
paling banyak di THT. Sebagian besar kien datang ke THT dalam keadaan terlambat atau
stadium lanjut. Didapatkan lebih banyak pada pria dari pada wanita, dengan perbandingan 3 :
1 pada usia / umur rata-rata 30 –50 th.
B. Etiologi
Penyebab timbulnya Karsinoma Nasofaring masih belum jelas. Namun banyak yang
berpendapat bahwa berdasarkan penelitian-penelitian epidemiologik dan eksperimental, ada 5
faktor yang mempengaruhi yakni :
1. Faktor Genetik (Banyak pada suku bangsa Tionghoa/ras mongolid).
2. Faktor Virus (Virus EIPSTEIN BARR)
3. Faktor lingkungan (polusi asap kayu bakar, atau bahan karsinogenik misalnya asap rokok
dll).
4. Iritasi menahun : nasofaringitis kronis disertai rangsangan oleh asap, alkohol dll.
5. Hormonal : adanya estrogen yang tinggi dalam tubuh.
C. Klasifikasi
Menurut Histopatologi :

 Well differentiated epidermoid carcinoma.


- Keratinizing
- Non Keratinizing.
 Undiffeentiated epidermoid carcinoma = anaplastic carcinoma
- Transitional
- Lymphoepithelioma.
 Adenocystic carcinoma
Menurut bentuk dan cara tumbuh

 Ulseratif
 Eksofilik: Tumbuh keluar seperti polip.
 Endofilik : Tumbuh di bawah mukosa, agar sedikit lebih tinggi dari jaringan
sekitar (creeping tumor)
Klasifikasi Histopatologi menurut WHO (1982)

Tipe WHO 1

- Karsinoma sel skuamosa (KSS)


- Deferensiasi baik sampai sedang.
- Sering eksofilik (tumbuh dipermukaan).
Tipe WHO 2

- Karsinoma non keratinisasi (KNK).


- Paling banyak pariasinya.
- Menyerupai karsinoma transisional
Tipe WHO 3

- Karsinoma tanpa diferensiasi (KTD).


- Seperti antara lain limfoepitelioma, Karsinoma anaplastik, “Clear Cell Carsinoma”,
varian sel spindel.
- Lebih radiosensitif, prognosis lebih baik.
Klasifikasi TNM

Menurut UICC (1987) pembagian TNM adalah sebagai berikut :

PENENTUAN STADIUM :
TUMOR SIZE (T)
T Tumor primer
T0 Tidak tampak tumor
T1 Tumor terbatas pada satu lokasi saja
T2 Tumor dterdapat pada dua lokalisasi atau lebih tetapi masih terbatas
pada rongga nasofaring
T3 Tumor telah keluar dari rongga nasofaring
T4 Tumor teah keluar dari nasofaring dan telah kmerusak tulang
tengkorak atau saraf-saraf otak
Tx Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap
REGIONAL LIMFE NODES (N)
N0 Tidak ada pembesaran
N1 Terdapat pembesarantetapi homolateral dan masih bisa digerakkan
N2 Terdapat pembesaran kontralateral/ bilateral dan masih dapat
digerakkan
N3 Terdapat pembesaran, baik homolateral, kontralateral maupun
bilateral yang sudah melekat pada jaringan sekitar
METASTASE JAUH (M)
M0 Tidak ada metastase jauh
M1 Metastase jauh
- Stadium I : T1 N0 dan M0
- Stadium II : T2 N0 dan M0
- Stadium III : T1/T2/T3 dan N1 dan M0 atau T3 dan N0 dan M0
- Stadium IV : T4 dan N0/N1 dan Moatau T1/T2/T3/T4 dan N2/N3 dan M0 atau
T1/T2/T3/t4 dan N0/N1/N3/N4 dan M1
1. Stadium 0: sel-sel kanker masih berada dalam batas nasopharing, biasa disebut
nasopharynx in situ
2. Stadium 1: Sel kanker menyebar di bagian nasopharing
3. Stadium 2: Sel kanker sudah menyebar pada lebih dari nasopharing ke rongga hidung.
Atau dapat pula sudah menyebar di kelenjar getah bening pada salah satu sisi leher.
4. Stadium 3: Kanker ini sudah menyerang pada kelenjar getah bening di semua sisi leher
5. Stadium 4: kanker ini sudah menyebar di saraf dan tulang sekitar wajah.
Konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat karsinogen dapat
mengaktifkan Virus Epstein Barr ( EBV). Ini akan menyebabkan terjadinya stimulasi
pembelahan sel abnormal yang tidak terkontrol, sehingga terjadi differensiasi dan proliferasi
protein laten (EBNA-1). Hal inilah yang memicu pertumbuhan sel kanker pada nasofaring,
dalam hal ini terutama pada fossa Rossenmuller.

D. Manifestasi Klinik
1. Gejala Setempat :
Gejala Hidung :
- Pilek dari satu atau kedua lubang hidung yang terus-menerus/kronik.
- Lendir dapat bercampur darah atau nanah yang berbau.
- Epistaksis dapat sedikit atau banyak dan berulang.
- Dapat juga hanya berupa riak campur darah.
- Obstruksio nasi unilateral atau bilateral bila tumor tumbuh secara eksofilik
Gejala Telinga :

- Kurang, pendengaran.
- Tinitus
- OMP.
2. Gejala karena tumbuh dan menyebarnya tumor
Merupakan gejala yang timbul oleh penyebaran tumor secara ekspansif, infiltratif dan
metastasis.
a. Ekspansif
- Ke muka, tumor tumbuh ke depan mengisi nasofaring dan menutup koane
sehingga timbul gejala obstruksi nasi/hidung buntu.
- Ke bawah, tumor mendesak palatum mole sehingga terjadi “bombans palatum
mole” sehingga timbul gangguan menelan/sesak.
b. Infiltratif
- Ke atas :
Melalui foramen ovale masuk ke endokranium, maka terkena dura dan timbul
sefalgia/sakit kepala hebat, Kemudian akan terkena N VI, timbul diplopia,
strabismus. Bila terkena N V, terjadi Trigeminal neuralgi dengan gejala nyeri
kepala hebat pada daerah muka, sekitar mata, hidung, rahang atas, rahang bawah
dan lidah. Bila terkena N III dan IV terjadi ptosis dan oftalmoplegi. Bila lebih
lanjut lagi akan terkena N IX, X, XI dan XII.
- Ke samping :
Masuk spatium parafaringikum akan menekan N IX dan X : Terjadi Paresis
palatum mole, faring dan laring dengan gejala regurgitasi makan-minum ke
kavum nasi, rinolalia aperta dan suara parau.
Menekan N XI : Gangguan fungsi otot sternokleido mastoideus dan otot
trapezius.
Menekan N XII : Terjadi Deviasi lidah ke samping/gangguan menelan
c. Gejala karena metastasis melalui aliran getah bening :
Terjadi pembesaran kelenjar leher yang terletak di bawah ujung planum mastoid,
di belakang ungulus mandibula, medial dari ujung bagian atas muskulus
sternokleidomastoideum, bisa unilateal dan bilateral. Pembesaran ini di sebut
tumor colli.
d. Gejala karena metastasis melalui aliran darah :
Akan terjadi metastasis jauh yaitu paru-paru, ginjal, limpa, tulang dan sebagainya.
Gejala di atas dapat dibedakan antara :

1. Gejala Dini : Merupakan gejala yang dapat timbul waktu tumor masih tumbuh
dalam batas-batas nasofaring, jadi berupa gejala setempat yang disebabkan oleh
tumor primer (gejala-gejala hidung dan gejala-gejala telinga seperti di atas).
2. Gejala Lanjut : Merupakan gejala yang dapat timbul oleh karena tumor telah
tumbuh melewati batas nasofaring, baik berupa metastasis ataupun infiltrasi dari
tumor.
Sebagai pedoman :Ingat akan adanya tumor ganas nasofaring bila dijumpai
TRIAS :

 Tumor colli, gejala telinga, gejala hidung.


 Tumor colli, gejala intrakranial (syaraf dan mata), gejala hidung dan telinga.
 Gejala Intrakranial, gejala hidung dan telinga.

E. Patofisiologi
Urutan tertinggi penderita karsinoma nasofaring adalah suku mongoloid yaitu 2500
kasus baru pertahun. Diduga disebabkan karena mereka memakan makanan yang diawetkan
dalam musim dingin dengan menggunakan bahan pengawet nitrosamin.

Insidens karsinoma nasofaring yang tinggi ini dihubungkan dengan kebiasaan makan,
lingkungan dan virus Epstein-Barr Selain itu faktor geografis, rasial, jenis kelamin, genetik,
pekerjaan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman atau parasit juga
sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini. Tetapi sudah hampir dapat dipastikan
bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-barr, karena pada semua pasien
nasofaring didapatkan titer anti-virus EEB yang cukup tinggi

Infeksi virus Epstein Barr dapat menyebabkan karsinoma nasofaring. Hal ini dapat
dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten pada penderita karsinoma
nasofaring. Pada penderita ini sel yang teerinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein
tertentu yang berfungsi untuk proses poliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus
didalam sel host. Protein laten ini dapat dipakai sebagai pertanda delam mendiagnosa
karsinoma nasofaring.

Hubungan antara karsinoma nasofaring dan infeksi virus Epstein-Barr juga dinyatakan
oleh berbagai peneliti dari bagian yang berbeda di dunia ini . Pada pasien karsinoma nasofaring
dijumpai peninggian titer antibodi anti EBV (EBNA-1) di dalam serum plasma. EBNA-1
adalah protein nuklear yang berperan dalam mempertahankan genom virus. Huang dalam
penelitiannya, mengemukakan keberadaan EBV DNA dan EBNA di dalam sel penderita
karsinomanasofaring.(Iskandar,2010)
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan CT-Scan daerah kepala dan leher untuk mengetahui keberadaan tumor
sehingga tumor primer yang tersembunyi pun akan ditemukan.

2. Pemeriksaan Serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk mengetahui infeksi virus E-B

3. Untuk diagnosis pasti ditegakkan dengan Biopsi nasofaring dapat dilakukan dengan dua
cara yaitu dari hidung dan mulut. Dilakukan dengan ane\stesi topikal dengan Xylocain 10
%.

4. Pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.

1. FISIK

Inspeksi : Wajah, mata, rongga mulut dan leher.

Pemeriksaan THT:

 Otoskopi : Liang telinga, membran timpani.

 Rinoskopia anterior :

- Pada tumor endofilik tak jelas kelainan di rongga hidung, mungkin hanya
banyak sekret.

- Pada tumor eksofilik, tampak tumor di bagian belakang rongga hidung, tertutup
sekret mukopurulen, fenomena palatum mole negatif.

 Rinoskopia posterior :

- Pada tumor indofilik tak terlihat masa, mukosa nasofaring tampak agak
menonjol, tak rata dan paskularisasi meningkat.

- Pada tumor eksofilik tampak masa kemerahan.

 Faringoskopi dan laringoskopi :


Kadang faring menyempit karena penebalan jaringan retrofaring; reflek muntah dapat
menghilang.

 X – foto : tengkorak lateral, dasar tengkorak, CT Scan

 Biopsi :

Biopsi sedapat mungkin diarahkan pada tumor/daerah yang dicurigai. Dilakukan


dengan anestesi lokal. Biopsi minimal dilakukan pada dua tempat (kiri dan kanan),
melalui rinoskopi anterior, bila perlu dengan bantuan cermin melalui rinoskopi
posterior. Bila perlu Biopsi dapat diulang sampai tiga kali.

Bila tiga kali Biopsi hasil negatif, sedang secara klinis mencurigakan dengan
karsinoma nasofaring, biopsi dapat diulang dengan anestesi umum.Biopsi melalui
nasofaringoskopi dilakukan bila klien trismus atau keadaan umum kurang
baik.Biopsi kelenjar getah bening leher dengan aspirasi jarum halus dilakukan bila
terjadi keraguan apakah kelenjar tersebut suatu metastasis.

G. PENATALAKSANAAN MEDIS

1. Radioterapi

Sebelumnya persiapan pasien dengan oral hygiene, dan apabila infeksi/kerusakan gigi
harus diobati terlebih dahulu. Dosis yang diberikan 200 rad/hari sampai 6000-6600 rad
untuk tumor primer, sedangkan kelenjar leher yang membesar diberi 6000 rad. Jika tidak ada
pembesaran kelenjar diberikan juga radiasi efektif sebesar 4000 rad. Ini dapat diberikan pada
keadaan kambuh atau pada metastasis tulang yang belum menimbulkan keadaan fraktur
patologik. Radiasi dapat menyembuhkan lesi, dan mengurangi rasa nyeri.

2. Pengobatan tambahan

Yang diberikan dapat berupa diseksi leher ( benjolan di leher yang tidak menghilang
pada penyinaran atau timbul kembali setelah penyinaran dan tumor induknya sudah hilang
yang terlebih dulu diperiksa dengan radiologik dan serologik), pemberian tetrasiklin, faktor
transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan antivirus.
3. Kemoterapi

Sebagai terapi tambahan dan diberikan pada stadium lanjut.Biasanya dapat


digabungkan dengan radiasi dengan urutan kemoterapi-radiasi-kemoterapi. Kemoterapi yang
dipakai yaitu Methotrexate (50 mg IV hari 1 dan 8); Vincristin (2 mg IV hari1); Platamin
(100 mg IV hari 1); Cyclophosphamide (2 x 50 mg oral, hari 1 s/d 10); Bleomycin (15 mg
IV hari 8). Pada kemoterapi harus dilakukan kontrol terhadap efek samping fingsi
hemopoitik, fungsi ginjal dan lain-lain.

4. Operasi

Tindakan operasi berupa diseksi leher radikal, dilakukan jika masih ada sisa kelenjar
pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar, dengan syarat bahwa tumor primer sudah
dinyatakan bersih.

H. Diagnose keperawatan
1. Nyeri akut Berhubungan dengan aegn cidera fisik
2. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan nyeri akut
3. Resiko infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit
4. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d asupan diet kurang
5. Gangguan harga diri rendah situasional b.d gangguan citra tubuh

I. Rencana keperawatan
No TUJUAN & NOC NIC TTD
Dp
1 Setelah dilakukan tindakan  NIC 1 manajemen nyeri
keperawatan selama 3x24 jam 1. Lakukan pengkajian nyeri
diharapkan nyeri akut dapat komprehensif yang
teratasi dengan kriteria hasil : meliputi
 Control nyeri lokasi,karakteristik, durasi,
1. Mengenali kapan nyeri frekuensi, kualitas,
terjadi intensitas, dan factor
2. Menggambarkan gaktor pemicu
terjadi 2. Pilih dan implementasikan
3. Mengguinakan tindakan tindakan yang beragam
pengurang(nyeri) tanpa (farmakologi, non
analgesic farmokologi) untuk
 Tingkat nyeri memfasilitasi penurunan
- Nyeri yang intensitas nyeri.
dilaporkan 3. Dukung istirahat / tidur
- Panjang episode yangh adekuat untuk
nyeri membantu penurunan
- Tidak bisa nyeri
beristirahat 4. Periksa tingkat
ketidaknyamanan pasien .
II Setelah dilakukan tindakan Pressure ulcer prevention wound
keperawatan selama 3x24 jam care
diharapkan kerusakan integritas  Jaga kulit agar tetap bersih dan
jaringan dapat teratasi dengan kering
kriteria hasil :  Monitor adanya kemerahan pada
Tissue integrity; Skin and kulit
mucous  Observasi luka
 Perfusi jaringan normal  Berikan posisi yang mengurang
 Tidak ada tanda infeksi tekanan pada luka
 Tekstur jaringan normal  Ajarkan keluarga tentang luka dan
Wound Healing ; Primary and perawatan luka
Secondary Intention
 Menunjukkan
pemahaman proses
perbaikan jaringan
 Menunjukkan adanya
proses penyembuhan
luka
III Setelah dilakukan tindakan Control infeksi
keperawatan selama 3x24 jam  Control infeksi : intraoperative
diharapkan resiko infeksi dapat Perlindungan infeksi
terasi dengan kriteria hasil :  Manajemen nutrisi
Keparahan infeksi  Terapi nutrisi
 Kemerahan  Perawatan luka
 Cairan yang berbau  Monitor nutrisi
busuk  Persepan obat
 Drainase
 Demam
 Nyeri
 Ketidakseimbangan suhu
IV Setelah dilakukan tindakan Manajemen nutrisi
keperawatan selama 3x24 jam  Monitor nutrisi
diharapkan Ketidak seimbangan  Terapi nutrisi
nutrisi kurang dari kebutuhan  Monitor tanda tanda vital
tubuh dapat teratasi dengan  Konseling nutrisi
kriteia hasil  Terapi intravena (IV)
Status nutrisi : asupan Manajemen gangguan makan
makanan dan cairan  Monitor cairan
 Tekanan darah  Manajemen cairan
 Bb stabil  Manajemen elektrolit
 Kelembapan membrane
mukosa
 Keseimbangan intake
dan output
Status nutrisi : asupan nutrisi
 Asupan kalori
 Asupan protein
 Asupan lemak
 Asupan karbohidrat
 Asupan mineral

V Setelah dilakukan tindakan Peningkatan harga diri


keperawatan selama 3x24 jam  Peningkatan sosialisasi
diharapkan gangguan harga diri  Membvangun hubungan yang
rendah dapat teratasi dengan kompleks
kriteia hasil Peningkatan koping
Harga diri  Peningkatan citra tubuh
 Penerimaan terhadap  Peningkatan peran
keterbatasan diri
 Gambaran diri
 Tingkat kepercayaan diri
 Perasaan tentang nilai
diri
DAFTAR PUSTAKA

Rothrock, C. J. (2009). Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. EGC : Jakarta.


Sjamsuhidajat & Wim De Jong. (2008). Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta.
Soepardi, Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. (2010). Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT. Edisi
kekempat. FKUI : Jakarta
Prasetyo B, Ilmu Penyakit THT, EGC Jakarta
Sjamsuhidajat & Wim De Jong. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai