Anda di halaman 1dari 112

Jurnal Akuntansi Keuangan dan Bisnis Vol.11 No.

1, Mei 2018

Dewan Redaksi

Pelaksana : Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat


Politeknik Caltex Riau
Pembina : Direktur Politeknik Caltex Riau
Dewan Penyunting
Ketua : Meliza Putriyanti Zifi, S.E., M.Acc
Anggota : Atika Zarefar, S.E., M.Ak., Ak
Reviewer
Arumega Zarefar, S.E., M.Ak., Ak., CA. Universitas Riau
Desi Handayani, S.E., M.Ak., Akt., CA. Politeknik Negeri Padang
Heri Ribut Yuliantoro, S.E., M.Ak., Akt., CA. Politeknik Caltex Riau

Sekretariat

UPPM Politeknik Caltex Riau


Jl. Umbansari No 1 Rumbai Pekanbaru 28265
Telp (0761)53939, Fax (0761)554224
http://jurnal.pcr.ac.id. Email: jurnal@pcr.ac.id

ii
Jurnal Akuntansi Keuangan dan Bisnis Vol.11 No.1, Mei 2018

Daftar Isi

Halaman Judul i
Dewan Redaksi ii
Daftar Isi iii

Komitmen Afektif Manajemen, Implementasi Sistem Pengukuran Kinerja,


Akuntabilitas, dan Kinerja Organisasi Publik dalam Perspektif Teori
Institusional, dan Teori Strukturisasi 1-10
Inung Pratiwi dan Rusdi Akbar

Mendeteksi Kecurangan Laporan Keuangan dengan Analisis Fraud


Pentagon 11-23
Yossi Septriani dan Desi Handayani

Effect of Tax Rate, Taxation Technology and Information, Possibility of


Fraud Detection, and Tax Fairnesson Taxpayer Perception of Tax Fraud
Ethics (Empirical Study on KPP Pekanbaru, Dumai, Rokan Hilir) 24-30
Meilda Wiguna dan Eka Hariyani

Analisis Break Even Point Sebagai Dasar Perencanaan Laba Pada


Gedung Serba Guna Politeknik Caltex Riau 31-41
Ari Supriadi, Suci Nurulita, dan Yefni

Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Effective Tax Rate 42-51


Vidiyanna Rizal Putri

Pengaruh Sistem Informasi Akuntansi dan Sistem Pengendalian Internal


Terhadap Kinerja Pegawai Bagian Akuntansi Sebagai Pengguna
Enterprise Resource Planning (ERP) Pada PT Pola Petro Development 52-60
Argo Putra Prima

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketepatan Waktu Pelaporan


Keuangan (Studi Kasus Pada Perusahaan Perbankan Yang Terdaftar
Di Bursa Efek Indonesia) 61-68
Viola Syukrina E Janrosl dan Argo Putra Prima

The Influence of Good Corporate Governance on Company Value in


Jakarta Islamic Index Companies 69-78
Vera Oktari, Nanda Fito Mela, dan Arumega Zarefar

The Machiavellian Character, Ethical Environment, and Personal Cost in


Their Impact to Whistleblowing Intention 79-88
Arumega Zarefar, Raja Adri Satriawan Surya, dan Nanda Fito Mela

iii
Jurnal Akuntansi Keuangan dan Bisnis Vol.11 No.1, Mei 2018

Pengaruh Sikap, Norma Subyektif, Persepsi Kontrol Perilaku, dan Etika


terhadap Whistleblowing Intention dan Perilaku Whistleblowing
(Studi Empiris di BPKP Perwakilan Riau dan Sumatera Barat) 89-98
Ari Andika Perdana, Amir Hasan, dan M. Rasuli

Risiko Kebangkrutan Pada Perusahaan Bank Umum Swasta Nasional


Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia 99-109
Bambang Budhijana dan Nelmida

iv
Jurnal Akuntansi Keuangan dan Bisnis Vol. 11, No. 1, Mei 2018, 1-10 1

Jurnal Politeknik Caltex Riau


http://jurnal.pcr.ac.id

Komitmen Afektif Manajemen, Implementasi Sistem


Pengukuran Kinerja, Akuntabilitas, dan Kinerja
Organisasi Publik dalam Perspektif Teori Institusional dan
Teori Strukturasi
Inung Pratiwi 1 dan Rusdi Akbar2

1
Alumni Universitas Gadjah M ada, email: inung.akt@gmail.com
2
Universitas Gadjah M ada, email: rusdi.akbar@ugm.ac.id

Abstrak
Penelitian ini bermaksud mengembangkan teoritikal model proses institusionalisasi sistem
pengukuran kinerja (SPK) dan akuntabilitas menggunakan perspektif teori institusional dan
teori strukturasi. Institusionalisasi SPK dan akuntabilitas di sebuah organisasi tidak dapat
lepas dari dorongan pihak eksternal. Namun, berhasil atau tidaknya proses institusionalisasi
sistem baru tersebut bergantung bagaimana individu (agen) dalam organisasi tersebut
melakukan rutinitas-rutinitas yang menjadi tuntutan pihak eksternal. Penelitian ini
menggunakan metode campuran dengan desain eksplanatori sekuensial. Pengumpulan data
menggunakan survei dan wawancara. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 99
manajemen SKPD di kabupaten dan kota di DIY. Hasil analisis data dari kedua pendekatan
menunjukkan bahwa manajemen di instansi pemerinta h masih sangat mempertimbangkan
tekanan institusional, khususnya koersif dan mimetik dalam mengimplementasikan SPK dan
akuntabilitas. Namun, tekanan eksternal tersebut kurang mampu mempengaruhi belief dan nilai
individu internal organisasi melalui rutinitas-rutinitas yang harus dilakukan. Berdasarkan
perspektif teori institusional dan teori strukturasi dapat dikatakan bahwa proses
institusionalisasi SPK dan akuntabilitas kurang berjalan dengan baik.

Kata kunci: Tekanan Institusional, Komitmen Afektif Manajemen, Sistem Pengukuran Kinerja,
Akuntabilitas, Kinerja

Abstract
This study intends to develop a theoretical model of the PMS implementation process and
accountability using the institutional theory and structuration theory perspectives.
Institutionalization of PMS and accountability in an organization can not be separated from the
encouragement of external parties. However, the process of institutionalization of the new
system could be success or failure depends on the routines of peoples (agents) in those
organizations . This research used mixed methods design with sequential explanatory. Data
collection used surveys and interviews. The sample in this study was 99 management sectors in
the counties and cities in the province. The data analysis result showed that institutional
pressures, particularly coercive and mimetic still had strong effect on implementing PM S and
accountability in local government. However, the external pressure was less able to influence
individual belief and volue in organization through routines that must be done. Based on the

Dokumen diterima pada Rabu 31 Januari, 2018


Dipublikasikan pada Kamis 31 M ei, 2018
2 Inung Pratiwi dan Rusdi Akbar

perspective of institutional theory and structuration theory could be said that the process of
PMS institutionalization and accountability in Indonesia local government not goes well yet.

Keywords: Institutional Pressures, Affective Commitment Management, PMS Implementation,


Accountability, Performance

1. Pendahuluan
Hasil penelitian Akbar et al.[1] memperlihatkan bahwa faktor eksternal dan faktor
individu dalam organisasi memiliki peran penting dalam proses institusionalisasi Sistem
Pengukuran Kinerja (SPK) dan akuntabilitas. Berdasarkan penelitian tersebut, penelitian ini
mencoba menangkap peran individu terhadap proses institusionalisasi dengan mengintegrasikan
teori institusional dan teori strukturasi. Manajemen yang memiliki komitmen diharapkan dapat
mendorong implementasi SPK yang lebih baik dalam jangka panjang. Literatur perubahan
organisasi menyatakan bahwa komitmen untuk berubah dari manajer senior dalam organisasi
merupakan hal kritis untuk kesuksesan usaha perubahan organisasi. Manajemen senior memiliki
kekuatan dan sumber daya penting untuk menginisiasi, mengarahkan, dan mendorong
perubahan Kotte dalam Carswell [2].

Penelitian ini mencoba memberikan beberapa kontribusi. Pertama, Penelitian ini


mengembangkan teoritikal model suatu proses institusionalisasi menggunakan perspektif teori
institusional DiMaggio dan Powell [3] dan teori strukturasi Gidden [4]. Kedua teori tersebut
digunakan untuk menjelaskan bagaimana proses institusionalisasi SPK dan akuntabilitas dalam
sebuah organisasi dipengaruhi oleh tekanan institusional eksternal (struktur) dan individu
internal organisasi (agen).

Kedua, penelitian ini menggunakan pendekatan komitmen yang lebih spesifik, yaitu
komitmen afektif manajemen dari Herscovitch dan Meyer [5]. Penggunaan konsep komitmen
afektif manajemen diharapkan dapat menangkap fenomena komitmen organisasional yang lebih
spesifik, yaitu komitmen yang memang muncul dari keinginan individu, sehingga memberikan
konsekuensi yang baik bagi organisasi.

Ketiga, penelitian ini mempertimbangkan dan menguji komitmen afektif manajemen


sebagai variabel mediasi hubungan antara tekanan institusional, implementasi SPK dan
akuntabilitas yang selanjutnya akan memengaruhi kinerja instansi pemerintah daerah Indonesia.
Penelitian Liang et al. [6] terkait pengadopsian sistem baru di sektor privat menemukan bahwa
faktor internal (manajemen) dapat memediasi hubungan antara tekanan eksternal (tekanan
institusional) dan implementasi sistem ERP. Penelitian Zheng et al. [7] di sektor publik terkait
tekanan intitusional dan komitmen manajemen sebagai faktor anteseden pengadopsian suatu
sistem masih sebatas melakukan pengujian langsung dan belum membuktikan adanya hubungan
tidak langsung antara pengadopsian G2G dan tekanan institusional yang dimediasi oleh
komitmen manajemen. Hasil penelitian dalam konteks sektor privat dan publik dimungkinkan
berbeda sehingga penelitian ini bermaksud melakukan analisis hubungan antara tekanan
intitusional dan implementasi sistem baru, yaitu SPK dan akuntabilitas yang dimediasi oleh
komitmen afektif manajemen.

2. Landasan Teori

2.1 Teori Institusional


Menurut Burns dan Scapens [8], literatur akuntansi merefleksikan ketertarikannya pada
teori institusional setidaknya melalui dua cara, yaitu old institutional economics (OIE) dan new
institutional sociology (NIS). Penelitian ini mengadopsi NIS karena NIS lebih berfokus pada
Komitmen Afektif Managemen, Implementasi Sistem Pengukuran Kinerja... 3

pendekatan sosiologi yang menekankan bahwa organisasi diselenggarakan dalam sebuah matrik
simbolik sebagai upaya untuk mendapatkan legitimasi DiMaggio dan Powell [3]. Selain itu,
penelitian ini menggunakan konsep isomorfisma institusional dalam NIS, yaitu konsep
isomorfisma yang relevan untuk kondisi bebas dari kompetisi dan menggunakan tiga elemen
isomorfisma dari DiMaggio dan Powell [3] sebagai tekanan institusional, yaitu tekanan koersif,
tekanan mimetik dan tekanan normatif.

Tekanan koersif merupakan tekanan formal maupun nonformal dari organisasi lain yang
mendesak suatu organisasi tempat organisasi tersebut bergantung DiMaggio dan Powell [3].
Tekanan normatif merupakan tekanan yang berasal dari profesionalisasi. Profesionalisasi
membangun basis kognitif dan legitimasi untuk otonomi organisasi DiMaggio dan Powell [3].
Tekanan mimetik terjadi ketika sebuah teknologi dalam organisasi tidak dipahami dengan baik,
ketika tujuan organisasi masih ambigu, atau ketika lingkungan eksternal membentuk
ketidakpastian simbolis DiMaggio dan Powell [3].

2.2 Teori Strukturasi


Teori strukturasi menggabungkan struktur yang menjadi komponen utama dalam teori
institusional dengan agen yang menjadi pokok dari konsep pengaruh manusia (human influence)
Giddens [4]. Kerangka kerja teori strukturasi mendalilkan bahwa hubungan yang dinamis antara
struktur dan agen untuk melakukan perubahan di struktur dan sistem sosial merupakan hasil dari
perilaku manusia yang dimungkinkan dan dibatasi oleh struktur. Struktur dalam penelitian ini
digambarkan oleh tekanan institusional sedangkan agen dalam penelitian ini digambarkan oleh
komitmen afektif manajemen.

Komitmen afektif didefinisikan sebagai sebuah kepercayaan karyawan terhadap nilai


dan pentingnya perubahan bagi organisasi Herscovitch dan Meyer [5]. Manajemen yang
memiliki komitmen afektif untuk berubah akan mendukung perubahan karena mereka memang
menginginkannya (want to). Manajemen dengan komitmen afektif yang kuat akan bertindak
melebihi batas apa yang secara teknikal diperlukan untuk memastikan perubahan itu berhasil.

2.3 Tekanan Institusional dan Komitmen Afektif Manajemen


Hipotesis ini dikembangkan dengan merujuk pada penemuan Liang et al. [6], bahwa
tekanan institusional memiliki hubungan positif dengan kepercayaan dan partisipasi manajemen
dalam asimilasi ERP. Manajer ketika menghadapi tekanan mimetik akan memutuskan kebijakan
dengan meniru kebijakan organisasi lain walaupun dengan pengetahuan yang terbatas ketika
melihat organisasi lain sukses menerapkan kebijakan tersebut. Manajer ketika menghadapi
tekanan koersif mau tidak mau akan mengambil kebijakan terkait organisasinya berdasarkan
tuntutan dari pihak eksternal, baik pemerintah, masyarakat, maupun stakeholder lain. Manajer
ketika menghadapi tekanan normatif merasa perlu mengikuti saran profesional dari segi kognitif
demi mencapai pengelolaan organisasi yang lebih baik.

Penelitian terdahulu menyebutkan bahwa tekanan eksternal terkait kepatuhan dapat


menjadi salah satu faktor munculnya komitmen manajemen Neubert dan Cady [9]. Organisasi
sektor publik juga disebutkan tidak dapat lepas dari kontrol eksternal. Stazyk et al. [10]
menyatakan bahwa dalam konteks institusional, kontrol eksternal memengaruhi komitmen
organisasional organisasi sektor publik. Tekanan koersif, normatif, dan mimetik merupakan
tekanan dan kontrol dari pihak eksternal yang dapat memengaruhi komitmen manajemen. Hal
ini dibuktikan dengan penelitian Zheng et al. [7] yang menemukan bahwa tekanan koersif,
normatif dan mimetik memiliki hubungan positif dengan komitmen manajemen. Penelitian ini
berbeda dengan Zheng et al. [7] dengan memasukkan komitmen afektif manajemen untuk
4 Inung Pratiwi dan Rusdi Akbar

melakukan perubahan Herscovich dan Meyer [5] sebagai proksi faktor internal. Berdasarkan
penjabaran tersebut, dapat dikembangkan hipotesis sebagai berikut:

H1: Tekanan koersif secara positif berhubungan dengan komitmen afektif manajemen
H2: Tekanan mimetik secara positif berhubungan dengan komitmen afektif manajemen
H3: Tekanan normatif secara positif berhubungan dengan komitmen afektif manajemen

2.4 Komitmen Afektif Manajemen dan Implementasi SPK


Kesuksesan proyek institusionalisasi dan bentuk institusi bergantung pada kekuasaan
relatif dari perilaku yang mendukung, menentang, atau usaha lain untuk mempengaruhi proses
institusionalisasi DiMaggio dalam Akbar et al. [1]. Keberhasilan dan pencapaian tujuan
implementasi SPK bergantung pada bagaimana individu dalam organisasi tersebut
menyikapinya. Komitmen merupakan faktor penting untuk menghadapi dinamisasi perubahan
di dalam sebuah organisasi.

Penelitian Cavalluzzo dan Ittner [11] serta penelitian Akbar, et al. [1] pada organisasi
sektor publik menemukan bahwa komitmen manajemen memiliki hubungan positif terhadap
implementasi SPK. Bentuk komitmen yang melekat pada manajemen dapat berbeda-beda dan
menghasilkan perilaku yang berbeda pula. Penelitian ini hanya berfokus pada komitmen afektif
manajemen. Hal ini dilakukan dengan maksud dapat memberikan hasil yang lebih detail untuk
menjelaskan penemuan Akbar et al.[1] terkait implementasi SPK di Indonesia yang masih
sebatas untuk memenuhi tuntutan regulasi, sedangkan di sisi lain manajemen juga memiliki
komitmen dalam implementasi SPK. Mempertimbangkan paparan tersebut, maka dapat
dibangun hipotesis sebagai berikut:

H4: Komitmen afektif manajemen secara positif berhubungan dengan implementasi SPK

2.5 Komitmen Afektif Manajemen dan Akuntabilitas


Noubert dan Cady [9] menyatakan bahwa pegawai yang memiliki komitmen tinggi
untuk melakukan perubahan lebih memungkinkan untuk menemukan member baru. Parish et al.
[12] menemukan bahwa komitmen memengaruhi karyawan untuk meningkatkan kinerja,
menyukseskan implementasi perubahan, dan proses belajar individu terkait perubahan.
Penelitian tersebut menemukan bahwa komitmen afektif memiliki pengaruh yang paling besar
dibandingkan komponen komitmen yang lain.

Penelitian terkait akuntabilitas menemukan bahwa komitmen manajemen memiliki


hubungan positif dengan akuntabilitas Akbar et al. [1]. Penelitian ini mengembangkan
penelitian tersebut dengan lebih mengkhususkan komitmen manajemen pada komitmen afektif
manajemen untuk melakukan perubahan dari Herscovitch dan Meyer [5]. Hal ini dilakukan
mengingat kondisi organisasi pemerintah di Indonesia masih menghadapi dinamisasi perubahan
menuju pencapaian akuntabilitas yang lebih baik. Berdasarkan paparan di atas, dapat
dikembangkan hipotesis sebagai berikut:

H5: Komitmen afektif manajemen secara positif berhubungan dengan akuntabilitas

2.6 Implementasi SPK dan Akuntabilitas


Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
PER/09/M.PAN/5/2007 tentang Pedoman Umum Penetapan Indikator Kinerja Utama di
lingkungan Instansi Pemerintah, perlu ditetapkan Indikator Kinerja Utama dalam rangka
pengukuran dan peningkatan kinerja serta untuk lebih meningkatkan akuntabilitas kinerja [13].
Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengukuran kinerja diperlukan sebagai upaya untuk
meningkatkan akuntabilitas organisasi.
Komitmen Afektif Managemen, Implementasi Sistem Pengukuran Kinerja... 5

Pengukuran kinerja dan akuntabilitas telah dibuktikan secara empiris memiliki


hubungan positif. Penelitian yang dilakukan oleh Julnes [14] di organisasi pemerintah Amerika
Serikat menunjukkan bahwa pengukuran kinerja menjadi inti perubahan manajemen untuk
meningkatkan akuntabilitas dalam kondisi logika program dalam menghasilkan pelayanan tidak
salah dan tepat dalam membangun tujuan program. Berdasarkan paparan di atas dapat dikatakan
bahwa implementasi SPK memiliki hubungan positif terhadap akuntabilitas. Untuk itu, dapat
dibangun hipotesis sebagai berikut:

H6: Implementasi SPK secara positif berhubungan dengan akuntabilitas

2.7 Implementasi SPK, Akuntabilitas dan Kinerja


Implementasi SPK dapat menjadi salah satu pendorong suatu organisasi untuk
meningkatkan kinerjanya. Spekle dan Verbeeten [15] memberikan bukti empiris terkait
hubungan positif antara penggunaan SPK dan kinerja. Menurut Hansen dan Van der Stede [16],
terdapat empat peran penggunaan SPK, yaitu perencanaan operasional, evaluasi kinerja,
komunikasi tujuan, dan menyusun strategi. Berdasarkan keempat peran penggunaan SPK
tersebut dapat kita temukan peran untuk mengevaluasi kinerja. Ketika kinerja dievaluasi dengan
baik, maka sangat dimungkinkan kinerja suatu organisasi akan meningkat. Mempertimbangkan
hasil penelitian-penelitian terdahulu tersebut, dapat dimunculkan sebuah dugaan bahwa
penggunaan SPK memiliki hubungan hubungan positif dengan kinerja.

Hubungan serupa juga dapat terjadi antara akuntabilitas dan kinerja. Akuntabilitas yang
lebih baik sering diasumsikan akan menghasilkan transparansi yang lebih baik dan memperbaiki
kinerja Dubnick [17]. Schaltegger dan Torgler 2007 [18] melakukan penelitian terkait hubungan
antara akuntabilitas pemerintah dan fiscal dicipline di negara Swiss. Hasil penelitian tersebut
memberikan bukti bahwa akuntabilitas pemerintah dapat memengaruhi kinerja fiskal.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disusun hipotesis sebagai berikut:

H7: Terdapat hubungan positif antara implementasi SPK dan kinerja organisasi
H8: Akuntabilitas secara positif berhubungan dengan kinerja organisasi

3. Metode Penelitian

3.1 Desain Penelitian dan Pemilihan Sampel


Penelitian ini menggunakan metode campuran khususnya strategi eksplanatori skuensial
yang mengombinasikan analisis data kuantitatif dan kualitatif Creswell dan Clark [19]. Data
untuk pendekatan kuantitatif dikumpulkan menggunakan teknik survei sedangkan data untuk
pendekatan kualitatif dikumpulkan menggunakan teknik wawancara. Penelitian dilakukan di
DIY, khususnya SKPD di Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul,
Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Sleman. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
eksekutif senior pada SKPD di lingkungan pemerintah kabupaten di DIY. Metode yang
digunakan untuk menyeleksi sampel adalah teknik pengambilan sampel secara acak.

3.2 Definisi Operasional Variabel dan Pengukurannya


3.2.1. Tekanan Institusional

Tiga bentuk tekanan institusional, yaitu tekanan koersif, tekanan normatif, dan tekan
mimetik dalam penelitian ini diambil dari DiMaggio dan Powell [3]. Tekanan koersif
merefleksikan tekanan regulasi serta aturan formal maupun nonformal dari pemerintah pusat.
6 Inung Pratiwi dan Rusdi Akbar

Tekanan normatif terjadi utamanya karena ada proses profesionalisasi. Tekanan mimetik terjadi
sebagai hasil respon organisasi terhadap ketidakpastian dengan meniru tindakan yang dilakukan
oleh organisasi lain. Instrumen yang digunakan untuk mengukur ketiga unsur tekanan
institusional merujuk pada instrumen yang digunakan oleh Liang et al. [6] dan Zheng et al. [7].

3.2.2. Akuntabilitas

Akuntabilitas pada penelitian ini merujuk pada Matek dalam Akbar et al. [1], penelitian ini
melihat akuntabilitas dalam dua kategori, internal dan eksternal. Kategori ini sangat cocok
dengan kondisi organisasi pemerintah di Indonesia yang berbentuk desentralisasi. Konstruk
akuntabilitas internal diukur dengan mengadopsi 4 item ukuran akuntabilitas internal dari Akbar
et al. [1] yang diadopsi dari Cavalluzzo dan Ittner [11]. Konstruk akuntabilitas eksternal diukur
dengan mengadopsi 8 item ukuran akuntabilitas eksternal dari Akbar et al. [1]. Instrumen
disusun dengan menggunakan 5 skala likert.

3.2.3. Kinerja

Penelitian ini mengadopsi 7 item yang digunakan Spekle dan Verbeeten [15] untuk
mengukur kinerja. Dimensi kinerja yang digunakan meliputi produktivitas, kualitas atau akurasi
hasil kerja, inovasi yang dilakukan, proses perngembangan, atau ide baru, reputasi keunggulan
kerja, pelayanan yang dicapai, efisiensi, dan moral personil. Instrumen disusun dengan
menggunakan 5 skala likert.

3.2.4. Komitmen Afektif Manajemen

Komitmen afektif manajemen dalam penelitian ini diambil dari Herscovitch dan Mayer
[5]. Individu yang memiliki komitmen ini dimungkinkan dapat mengurus pekerjaan secara
umum, melakukan tugas dengan kemampuan terbaik mereka, dan bersedia melakukan kerja
ekstra demi kebaikan organisasi. Instrumen yang digunakan untuk mengukur komitmen afektif
manajemen untuk berubah dalam penelitian ini diambil dari Herscovitch dan Mayer [5].

3.2.5. Implementasi SPK

Konstruk implementasi SPK didesain untuk mengukur implementasi SPK dari proses
mendesain hingga menilai SPK yang telah diterapkan. Penelitian ini mengadopsi instrumen
tahap mendesain SPK dari penelitian Akbar et al. [1]. Instrumen tahap menggunakan SPK
diadopsi dari Spekle dan Verbeeten [15]. Instrumen menilai SPK dikembangkan oleh peneliti
dengan merujuk pada penelitian Van Helden et al. [20].

4. Hasil Penelitian dan Pembahasan

4.1 Analisis Kuantitatif

4.1.1 Evaluasi Model Pengukuran dan Struktural


Evaluasi model pengukuran pada variabel reflektif dilakukan dengan melakukan uji
reliabilitas, validitas konvergen, dan validitas diskriminan [21]. Parameter untuk mengukur
reliabilitas konsistensi internal adalah alpha cronbach dan reliabilitas komposit. Hasil analisis
menggunakan WarpPLS 3.0 menunjukkan bahwa skor alpha cronbach dan reliabilitas komposit
pada semua variabel telah memenuhi syarat, yaitu > 0,70. Validitas konvergen dievaluasi
menggunakan nilai Average Variance Extracted (AVE) (>0,50). Sedangkan Validitas
diskriminan menggunakan kriteria akar kuadrat AVE (kolom diagonal) harus lebih tinggi dari
korelasi antar variabel laten pada kolom yang sama (di atas atau di bawahnya). Hasil pengujian
menunjukkan bahwa validitas konvergen dan validitas diskriminan telah terpenuhi. Evaluasi
Komitmen Afektif Managemen, Implementasi Sistem Pengukuran Kinerja... 7

model pengukuran variabel laten formatif menggunakan dua kriteria, yaitu bobot (weight) harus
signifikan (p<0,05) dan nilai VIF kurang dari 3,3. Analisis bobot indikator dan tingkat
signifikansi pada perhitungan variabelnya menunjukkan bahwa semua pengukuran variabel
laten formatif sudah memenuhi kelayakan pengukuran.

Model struktural dievaluasi menggunakan R Squared (R2 ) dan nilai Q-Squared untuk
variabel dependen dan nilai koefisien pada jalur (β) untuk variabel independen. Hasil analisis
menunjukkan bahwa koefisien R-Squared dari konstruk komitmen afektif manajemen adalah
sebesar 0,300, kinerja sebesar 0,382, akuntabilitas sebesar 0,550, dan implementasi SPK sebesar
0,092. Hasil estimasi model menunjukkan validitas prediksi (Q-Squared) yang baik karena
bernilai di atas nol, yaitu komitmen afektif manajemen sebesar 0,295, kinerja sebesar 0,392,
implementasi SPK sebesar 0,101, dan akuntabilitas sebesar 0,551.

4.1.2 Uji Hipotesis


Tabel 1. Koefisien Jalur (Path Coefficients, p Value)

Konstruk Koefisien Jalur p value


TK-KAM 0,280 <0,01
TM-KAM 0,360 <0,01
TN-KAM -0,001 0,45
KAM-AKT 0,160 0,03
AKT-KNJ 0,200 0,14
KAM-SPK 0,300 <0,01
SPK-KNJ 0,460 <0,01
SPK-AKT 0,670 <0,01
Ket: SPK (implementasi SPK); KNJ (kinerja); AKT (akuntabilitas); KAM (komitmen
afektif manajemen); TK (tekanan koersif); TM (tekanan mimetik); TN (tekan normatif)

Hasil uji hipotesis menggunakan analisis jalur dan nilai signifikansi terangkum dalam
tabel 1. Berdasarkan tabel 1 tersebut terlihat bahwa hipotesis 1,2,4, 5, 6, dan 7 terdukung.
Sedangkan hipotesis 3 dan 8 tidak terdukung secara empiris

Berdasarkan hasil analisis hipotesis 1, 2, dan 4 terdapat kemungkinan hubungan mediasi


sehingga dapat dilakukan analisis lanjutan terkait hubungan tidak langsung antara tekanan
institusional (koersif dan mimetik) dan implementasi SPK melalui komitmen manajemen. Hasil
menunjukkan bahwa komitmen afektif manajemen tidak memediasi hubungan antara tekanan
koersif dan implementasi SPK karena hubungan antara komitmen afektif manajemen dan
implementasi SPK menjadi tidak signifikan (p=0,40) dengan koefisien jalur 0,04.

Hasil analisis hipotesis 1, 2, dan 5 juga mengindikasikan terdapat hubungan mediasi


sehingga peneliti mencoba melakukan analisis lanjutan terkait hubungan tidak langsung antara
tekanan institusional (koersif dan mimetik) dan akuntabilitas melalui komitmen manajemen.
Hasil menunjukkan bahwa komitmen afektif manajemen tidak memediasi hubungan antara
tekanan koersif dan akuntabilitas karena hubungan antara komitmen afektif manajemen dan
akuntabilitas menjadi tidak signifikan (p=0,49) dengan koefisien jalur 0,000.

Berdasarkan hasil analisis hipotesis 4 dan hipotesis 6 dapat dilakukan analisis lanjutan
terkait hubungan tidak langsung antara komitmen afektif manajemen dan akuntabilitas melalui
8 Inung Pratiwi dan Rusdi Akbar

implementasi SPK. Pengaruh dua jalur antara komitmen afektif manajemen terhadap
akuntabilitas melalui implementasi SPK dengan nilai signifikan 0,008 (p<0,01) dan dengan
koefisien jalur positif. Hasil pengujian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh tidak langsung
antara komitmen afektif manajemen terhadap kinerja organisasi melalui implementasi SPK.
Implementasi SPK hanya memediasi secara parsial hubungan antara komitmen efektif
manajemen dan kinerja. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya koefisien beta hubungan
komitmen afektif manajemen dan akuntabilitas, yaitu dari 0,380 menjadi 0,15 dan nilai p yang
menurun dan tetap signifikan pada level 5%, yaitu dari p<0,01 menjadi p=0,03.

Berdasarkan hasil analisis hipotesis 7 dan 8 serta analisis pada hipotesis 4, 5, dan 6
dapat dilakukan analisis lanjutan terkait hubungan tidak langsung antara komitmen afektif
manajemen dan kinerja melalui implementasi SPK dan akuntabilitas. Pengaruh tiga jalur antara
komitmen afektif manajemen terhadap kinerja organisasi melalui implementasi SPK dan
akuntabilitas dengan nilai signifikan 0,015 (p<0,05) dan dengan koefisien jalur positif.
Implementasi SPK dan akuntabilitas memediasi secara penuh hubungan antara komitmen
efektif manajemen dan kinerja. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya koefisien beta, yaitu
dari 0,280 menjadi 0,16 dan nilai p yang menjadi tidak signifikan p=0,350.

4.2 Analisis Kualitatif


Hasil wawancara menunjukkan bahwa tekanan normatif tetap ada, namun pengaruhnya
terlalu kecil jika dibandingkan dengan tekanan koersif dan mimetik. Keberadaan tekanan
normatif tersebut tidak berpengaruh pada komitmen afektif manajemen karena transfer
pengetahuan yang dilakukan hanya pada batasan teknis dan prosedur saja, bukan pada tataran
esensi. Tekanan normatif yang ada semakin tidak berfungsi dengan adanya anggapan-anggapan
bahwa teknik dan prosedur tersebut kurang tepat. Tekanan normatif yang ada juga belum
mampu mendorong pihak manajemen di instansi pemerintah untuk berkomitmen melakukan
perubahan ke arah yang lebih baik terkait implementasi SPK dan Akuntabilitas.

Proses wawancara yang dilakukan kepada responden mengonfirmasi hasil analisis


kuantitatif yang menyatakan bahwa komitmen afektif manajemen memiliki hubungan positif
dan signifikan dengan implementasi SPK. Manajemen meyakini bahwa sistem pengukuran
kinerja itu penting dan perubahan-perubahan ke arah sistem pengukuran kinerja yang lebih baik
sangat diperlukan. Manajemen yang memiliki komitmen afektif tinggi cenderung
mengimplentasikan SPK dan membuat laporan pertanggungjawaban lebih dari sekedar tuntutan
administrasi. Responden analisis kualitatif dalam penelitian ini secara umum mengakui bahwa
peningkatan implementasi SPK berpengaruh terhadap kinerja setidaknya pada tataran
keteraturan dan pencapaian target

5. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis pendekatan kuantitatif diperoleh bukti bahwa komitmen
afektif manajemen tidak dapat memediasi hubungan antara tekan eksternal dan implementasi
SPK dan akuntabilitas. Para manajemen di instansi pemerintah masih sangat
mempertimbangkan tekanan institusional, khususnya koersif dan mimetik dalam
mengimplementasikan SPK dan akuntabilitas. Namun, tekanan eksternal tersebut kurang
mampu mempengaruhi belief dan nilai individu internal organisasi melalui rutinitas-rutinitas
yang harus dilakukan. Berdasarkan perspektif teori institusional dan teori strukturasi dapat
dikatakan bahwa proses institusionalisasi SPK dan akuntabilitas kurang berjalan dengan baik.

Penelitian ini tidak menemukan bukti bahwa tekanan normatif berpengaruh baik
terhadap implementasi SPK maupun komitmen afektif manajemen, namun memiliki pengaruh
terhadap akuntabilitas. Hal ini semakin menunjukkan bahwa tekanan koersif dan mimetik
memiliki peran yang dominan dalam implementasi SPK dan akuntabilitas. Tahapan analisis data
pada pendekatan kuantitatif juga menemukan adanya pengaruh yang signifikan antara
Komitmen Afektif Managemen, Implementasi Sistem Pengukuran Kinerja... 9

implementasi SPK dan kinerja, namun tidak ditemukan bukti bahwa akuntabilitas secara
signifikan memiliki pengaruh terhadap kinerja.

Hasil analisis data kualitatif memperkuat temuan adanya peran kuat tekanan
institusional terhadap implementasi SPK dan akuntabilitas. Tekanan institusional mampu
memengaruhi komitmen afektif manajemen, namun manajemen sulit berkomitmen terhadap
SPK dan akuntabilitas yang ada berdasarkan aturan dan standar baku yang telah ditetapkan. Hal
ini disebabkan masih banyaknya anggapan terkait sistem pengukuran kinerja dan sistem
akuntabilitas yang ada masih belum cukup baik dan tidak dapat mengukur kinerja organisasi
yang sesungguhnya.

Mempertimbangkan kebaruan topik dan operasionalisasi metodologi yang digunakan,


maka penelitian ini tidak dapat lepas dari keterbatasan. Adapun keterbatasan-keterbatasan yang
perlu menjadi perhatian dalam penelitian ini, pertama, minimnya responden valid yang bersedia
untuk diwawancara. Hal ini berimplikasi pada penggalian informasi tambahan yang diharapkan
dapat diperoleh melalui proses pengumpulan data kualitatif menjadi kurang maksimal. Kedua,
cakupan sampel yang masih terbatas di DIY dimungkinkan belum mencerminkan populasi
instansi pemerintah daerah di Indonesia yang sangat dimungkinkan memiliki kualitas SDM
yang berbeda.

Beberapa saran dan rekomendasi, penelitian selanjutnya dapat menggunakan cakupan


sampel yang lebih luas atau berbeda untuk menguji validitas eksternal. Selain itu, penelitian
selanjutnya dapat kembali menggunakan metoda campuran dengan berbagai penyempurnaan
mengingat manfaat dari metode campuran yang dapat menutupi keterbatasan-keterbatasan pada
metode kuantitatif maupun metode kualitatif. Penelitian selanjutnya juga dapat mengekplorasi
faktor-faktor lain selain komitmen manajemen sebagai faktor internal yang dapat memengaruhi
proses institusionalisasi.

Daftar Pustaka
[1] Akbar, Rusdi, Pilcher Robyn and Perrin Brian. 2012. “Performance Measurement in
Indonesia: The Case of Local Government.” Pacific Accounting Review 24, no. 3: 262-
291

[2] Carswell, John J. 2003. “Securing Senior Management Commitment to Organizational


Change: The Role of Influence Strategies.” Tesis, University of Western Ontario London,
Ontario, Canada

[3] DiMaggio, Paul J., Walter W. Powell. 1983. “The iron cage revisited: Institutional
isomorphism and collective rationality in organizational fields.” American Sociological
Review, 48, no. 2: 147-160.

[4] Giddens, Anthony. 1984. The Constitution of Society: Outline of the Theory of
Structuration. University of California Press. Barkeley, CA.

[5] Herscovitch, Lynne. & John P. Meyer. 2002. “Commitment to Organizational Change:
Extension of a Three-Component Model.” Journal of Applied Psychology, 87, no. 3: 474-
487.

[6] Liang, Huigang, Nilesh Saraf, Qing Hu, dan Yajiong Xue. 2007. “Assimilation of
Enterprise Systems: the Effect of Institutional Pressures and the Mediating Role of Top
Management.” MIS Quarterly, 31, no. 1: 59-87.
10 Inung Pratiwi dan Rusdi Akbar

[7] Zheng, Daqing, Jin Chen, dan Cheng Zhang. 2014. “E-government Adoption in Public
Administration Organizations: Integrating Institutional Theory Perspective and Resource-
Based View.” European Journal of Information Systems, 22: 221-234

[8] Burns, John, Robert W. Scapens. 2000. “Conceptualizing Management Accounting


Change: An Institutional Framework.” Management Accounting Research, 11: 3-35.

[9] Neubert, Mitchell T. dan Steven H. Cady. 2001. “Program Commitment: A Multi-Study
Longitudinal Field Investigation of Its Impact and Antecedent.” Personnel Psychology,
Vol. 54, No. 2.

[10] Stazyk, Edmund C., Sanjay K. Pandey, dan Bradley E. Wright. 2011. “Understanding
Affective Organizational Commitment: The Importance of Institutional Context.” The
American Review of Public Administration, 41, no. 6: 603-624.

[11] Cavalluzzo, Ken S., Christopher D. Ittner. 2004. “Implementing performance


measurement innovations: Evidence from government.” Accounting, Organizations and
Society, 29, no. 3-4: 243-267.

[12] Parish, Janet T., Susan Cadwallader, dan Paul Busch. 2008. “Want to, Need to, Ought to:
Employee Commitment to Organizational Change.” Journal of Organizational Change
Management, 21, no. 1: 32-52.

[13] Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. PER/09/M.PAN/2007


Tentang Pedoman Umum Penetapan Indikator Kinerja Utama Di Lingkungan Instansi
Pemerintah.

[14] Julnes, Patria D.L. 2006. “Performance Measurement: an Effective Tool for Government
Accountability? The Debate Goes On.” Evaluation, 12, no. 2: 219-235.

[15] Spekle, Roland F. dan Frank H.M. Verbeeten. 2014. “The Use of Performance
Measurement Systems in the Public Sector: Effects on Performance.” Management
Acounting Research, 25: 131-146.

[16] Hansen, Stephen. C. and Wim A. Van der Stede. 2004. “Multiple Facets Of Budgeting:
An Exploratory Analysis.” Management Accounting Research, 15: 415-439

[17] Dubnick, Melvin. 2005. “Accountability and the Promise of Performance: In Search of
the Mechanisms.” Performance & Management Review, 28, no.3: 76-417.

[18] Schaltegger, Chistoph A. dan Benno Torgler. 2007. “Government Accountability and
Fiscal Discipline: A Panel Analysis Using Swiss Data.” Hournal of Public Economics,
91: 117-140.

[19] Creswell, John W., dan Vicki L. P. Clark. 2011. Design and Conducting Mixed Methods
Research (2nd Ed). United States of America: Sage Publications.

[20] van Helden, G. J., Age Johnsen, dan Jarmo Vakkuri 2012. “TheLifecycle approach to
performance management: Implica-tions for public management and evaluation.”
Evaluation,the Journal of Research, Theory and Practice, 18, no. 2: 159-175.

[21] Hair, Joseph F, Thomas M. Hult, dan Christian M. Ringle. 2014. A Primer on Partial
Least Squares Structural Equation Modeling (PLS-SEM). Los Angeles: Sage
Jurnal Akuntansi, Keuangan dan Bisnis Vol. 11, No. 1, Mei 2018, 11-23 11

Jurnal Politeknik Caltex Riau


http://jurnal.pcr.ac.id

Mendeteksi Kecurangan Laporan Keuangan dengan


Analisis Fraud Pentagon.
Yossi Septriani 1 dan Desi Handayani 2
1
Politeknik Negeri Padang, email: y septriani@gmail.com
2
Politeknik Negeri Padang, email: ci_e@yahoo.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi kecurangan laporan keuangan yang dijelaskan dengan
earning management dengan menggunakan fraud pentagon theory. Faktor kecurangan
dijelaskan oleh variabel financial target, financial stability, external pressure, ineffective
monitoring, nature of industry, pergantian auditor, rationalization, pergantian dewan direksi dan
gambar CEO. Kecurangan sendiri diproksikan oleh earning mangement. Sampel yang
digunakan berupa perusahaan perbankan dan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
(BEI) tahun 2013-2016. Data dikumpulkan dari laporan tahunan dan laporan keuangan dari
direktori BEI. Analisis data menggunakan regresi berganda dan diolah dengan SPSS. Pada
perusahaan manufaktur, financial stability, external pressure, pergantian auditor dan pergantian
dewan direksi menunjukkan adanya pengaruh terhadap kecurangan laporan keuangan.
Sedangkan pada perusahaan perbankan, financial target, financial stability, ineffective
monitoring dan rationalization memiliki pengaruhi terhadap kecurangan laporan keuangan.

Kata kunci: fraud pentagon; fraudulent financial statement; earning management

Abstract
This research aimed to analyze the likelihood of fraudulent financial statement explained by
earning management using fraud pentagon theory. Fraud risk factors are explained using
variables financial target, financial stability, external pressure, ineffective monitoring, nature of
industry, changes in auditor, rationalization, changes in board of directors’s member, and
number of CEO’s picture, in detecting fraudulent financial statement proxied by earning
management. Samples selected are banking firms and manufacturing firms listed in Bursa Efek
Indonesia, for period 2013-2016. Data were collected from firms’ annual report and financial
statement from idx directory. Data analysis using multiple regression methods was run using
SPSS. The results of manufacturing firm shows that financial stability, exter nal pressure,
change in auditor and changes in board of committee’s member has an influence in explaining
the likelihood of fraudulent financial statement through earning management. The results of
banking firm shows that financial target, financial stability, ineffective monitoring, and
rationalization has an influence in expalining the likelihood of fraudulent financial reporting.

Keywords: fraud pentagon; fraudulent financial statement; earning management

Dokumen diterima pada M inggu 6 M ei, 2018


Dipublikasikan pada Kamis 31 M ei, 2018
12 Yossi Septriani dan Desi Handayani

1. Pendahuluan
Setiap tahun selalu muncul kasus-kasus fraud yang menjadi permasalahan di dalam
perusahaan, dan lebih parahnya para pelaku kecurangan merupakan orang-orang yang memiliki
kekuasaan pada perusahaan tersebut [5]. Association of Certified Fraud Examiner [3]
menunjukkan bahwa setiap tahun perusahaan kehilangan 5% dari pendapatan mereka akibat
fraud. Potensi kerugian global akibat tindakan fraud hampir mencapai 3,7 triliun USD menurut
Gross World Product 2013.
Kecurangan, terutama atas laporan keuangan, terjadi karena adanya motivasi dan
dorongan dari berbagai pihak, baik dari dalam perusahaan, maupun dari luar perusahaan.
Dorongan dan motivasi agar laporan keuangan yang disajikan terlihat baik dan menarik
perhatian investor ataupun calon investor, sehingga manajer akan berusaha melakukan berbagai
cara untuk menyajikan laporan keuangan yang baik. Teknik kecurangan (fraud) yang
dilakukanpun bervariasi, mulai dari mengakali prinsip akuntansi berlaku umum (Standar
Akuntansi Keuangan), melakukan manajemen laba yang agresif hingga melakukan tindakan
ilegal yang kemudian disembunyikan, dan berujung pada kebangkrutan perusahaan. Tidak
jarang pula kasus kecurangan pelaporan keuangan yang terjadi, juga melibatkan auditor
perusahaan.
Perilaku dan alasan/motif manajemen melakukan fraud atau kecurangan dalam laporan
keuangan banyak dijelaskan dalam teori fraud. Tekanan (pressures) yang dihadapi manajemen
sebagai agent bagi investor (principal) seperti tekanan untuk meningkatkan kinerja atau
menaikkan nilai perusahaan di bursa misalnya, juga dapat dijadikan semacam
pembenaran/rasionalisasi (rationalization) bagi manajemen untuk melakukan manipulasi
laporan keuangan. Apalagi jika peluang (opportunity) untuk melakukan fraud, juga beresiko
kecil untuk dideteksi atau diketahui. Peluang akan menjadi pintu masuk untuk fraud, sementara
tekanan dan rasionalisasi akan mendorong manajemen melakukan fraud. Namun fraud dengan
teknik yang kompleks dan nominal yang besar tidak mungkin terjadi apabila tidak ada orang
tertentu dengan kapabilitas khusus dalam perusahaan [17]. Dengan kata lain, orang yang
melakukan fraud tersebut harus memiliki kapabilitas (capability) atau kompetensi (competence)
untuk mengelabui pengendalian internal, mengendalikan situasi dan mengembangkan strategi
untuk menyamarkan kecurangannya. Perasaan superior dan arogansi (arrogance) dengan posisi
yang dimiliki, ditambah dengan sifat tamak, membuat pelaku percaya diri bahwa pengendalian
internal tidak berlaku untuk mereka.
Praktek manajemen laba (earning management) merupakan suatu bentuk manipulasi
atas laporan keuangan yang seringkali dipilih sebagai ‘solusi’ jangka pendek oleh manajemen
untuk mempertahankan kepercayaan investor pada kinerja mereka. Earning management
merupakan fenomena yang sukar dihindari karena penggunaan dasar akrual dalam penyusunan
laporan keuangan. Walaupun dipandang lebih rasional dan adil secara prinsipil, akrual dapat
sedikit ‘digerakkan’ sehingga dapat mengubah angka laba yang dihasilkan. Earnings
management dapat membuat kinerja perusahaan menjadi terlihat lebih baik dibanding
pesaingnya, sehingga bagi investor yang tidak berhati-hati (inattentive investor) akan mudah
dikelabui oleh manajemen. Dapat dikatakan pula, earnings management merupakan awal dari
terjadinya kecurangan laporan keuangan (financial statement fraud) karena kecurangan laporan
keuangan seringkali diawali dengan salah saji atau manajemen laba dari laporan keuangan
kuartalan yang dianggap tidak material, tapi akhirnya berkembang menjadi fraud besar-besaran
dan menghasilkan laporan keuangan yang menyesatkan secara material menurut Rezae, 2002
dalam [12].
Kecurangan laporan keuangan ((financial statement fraud) yang tidak terdeteksi dini
dapat berkembang menjadi skandal besar yang lebih merugikan bagi banyak pihak. Penelitian
yang dilakukan oleh Association of Certified Fraud Examiners [3] menemukan bahwa 83%
kasus fraud yang terjadi dilakukan oleh pemilik perusahaan atau dewan direksi. Selain itu, Ernst
& Young (2009) juga menemukan bahwa lebih dari setengah pelaku fraud adalah manajemen
Skandal akuntansi besar seperti Enron, telah membuktikan dampak serius tindakan kecurangan
laporan keuangan bagi perekenomian suatu negara dan memberikan pelajaran yang sangat
Mendeteksi Kecurangan Laporan Keuangan..... 13

banyak bagi dunia akuntansi. Pendeteksian dini terhadap tindakan kecurangan dalam laporan
keuangan menjadi sebuah keharusan yang harus diprioritaskan. Kemampuan untuk
mengidentifikasi kecurangan dengan cepat, juga berkembang menjadi sebuah kebutuhan. Di
samping itu, tuntutan pelaporan keuangan yang semakin komprehensif pasca pemberlakuan
International Financial Reporting Standards (IFRS) sejak 5 tahun terakhir ini, juga tidak
menjamin mampu menekan peluang munculnya fraud dalam pelaporan keuangan. Dengan
semakin komprehensifnya laporan keuangan yang harus disajikan oleh manajemen, ada banyak
celah dalam laporan keuangan yang membuka peluang bagi oknum manajemen untuk
melakukan kecurangan (fraud) melalui manajemen laba (earning management). Selain itu,
pencegahan dan pendeteksian fraud dalam laporan keuangan juga seringkali terbentur dengan
hadirnya faktor lain yang memotivasi munculnya tindakan fraud dalam berbagai situasi, seperti
yang dijelaskan oleh berbagai teori fraud seperti Cressey’ Fraud Triangle Theory, Wolfe’ Fraud
Diamond Theory dan yang terbaru, Crowe’Fraud Pentagon Theory.
Penelitian ini menggunakan earning management sebagai proksi untuk mendeteksi
kecurangan laporan keuangan yang dianalisis dengan Fraud Pentagon Theory. Fraud Pentagon
Theory menurut Crowe memiliki lima fraud risk factor yang menggunakan rasio keuangan dan
non keuangan. Lima fraud risk factor terdiri dari pressure, opportunity, rationalization,
competence, dan arrogance. Dari pengujian yang dilakukan pada perusahaan manufaktur dan
perbankan, faktor pressure dan rationalization menunjukkan adanya pengaruh terhadap earning
manajemen. Faktor opportunity menunjukkan pengaruh terhadap earning manajemen pada
industri perbankan. Sedangkan faktor competence memberikan pengaruh pada perusahaan
manufaktur. Faktor arrogance tidak menunjukkan adanya pengaruh terhadap earning
manajemen pada kedua jenis industri.
Artikel ini disajikan dalam lima bagian, pendahuluan, kerangka pemikiran dan
hipotesis, metode penelitian, hasil dan kesimpulan.

2. Tinjauan Teori dan Hipotesis

2.1 Kecurangan dalam Laporan Keuangan


Tindakan manajemen laba yang dilakukan manajemen akibat dari agency problem yang
terjadi antara agent dan principal berkaitan erat dengan kecurangn (fraud). Kecurangan (fraud)
yang sengaja dilakukan oleh manajemen merupakan suatu tindakan yang melanggar aturan yang
telah ditetapkan oleh pihak regulator [14]. Menurut Association of Certified Fraud Examiners
(ACFE), kecurangan (fraud) merupakan tindakan penipuan atau kekeliruan yang dilakukan oleh
seseorang atau badan yang mengetahui bahwa kekeliruan tersebut dapat mengakibatkan
beberapa manfaat yang tidak baik terhadap individu, entitas, serta pihak lain.
ACFE menggambarkan fraud dalam bentuk pohon (fraud tree). Fraud tree mempunyai
tiga cabang utama, yaitu penyimpangan aset (asset misapropriation), kecurangan laporan
keuangan (financial statements fraud), dan korupsi (corruption). Dalam tiga cabang utama
tersebut dapat digolongkan beberapa tindakan yang dilakukan yaitu pertama, asset
misapropriation berupa kecurangan kas (cash fraud). Kedua, financial statement fraud yang
dikategorikan dalam timing difference yaitu mencatat waktu transaksi berbeda atau lebih awal
dari waktu transaksi sebenarnya. Ketiga, corruption, merupakan jenis fraud paling sulit
dideteksi karena menyangkut kerja sama dengan pihak lain dalam menikmati keuntungan
seperti suap dan korupsi. Korupsi terbagi atas suap (bribery) dengan tujuan untuk
mempengaruhi pembuat keputusan dalam membuat keputusan bisnis, pemberian hadiah setelah
terjadinya kesepakatan (illegal gratuity), dan pemerasan secara ekonomik (economic extortion).
Menurut ACFE [3] fraudulent financial reporting adalah kekeliruan yang disengaja dari
kondisi keuangan suatu perusahaan yang dilakukan melalui perbuatan salah saji dan kelalaian
dari jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan untuk menipu pengguna laporan
keuangan. Fraudulent financial reporting meliputi manipulasi, pemalsuan, atau alteration
catatan akuntansi atau dokumen pendukung dari laporan keuangan yang disusun tidak
14 Yossi Septriani dan Desi Handayani

menyajikan kebenaran atau dengan sengaja menghilangkan kejadian, transaksi, dan informasi
penting dari laporan keuangan dan dengan sengaja menerapkan prinsip akuntansi yang salah.

2.2 Teori Fraud Pentagon


Teori pertama dikemukan oleh Cressey (1953) dalam [1] yang menjelaskan elemen-
elemen penyebab fraud yang dikenal dengan teori fraud triangle.. Elemen-elemen fraud triangle
terdiri dari tekanan (pressure), kesempatan (opportunity), dan rasionalisasi (rationalization).
Ketiga elemen tersebut merupakan faktor risiko yang saling mendukung satu dengan yang
lainnya lalu membentuk pilar yang menyebabkan kecurangan [14].
Pengembangan teori fraud triangle dilakukan oleh Wolfe dan Hermanson [17] yang
dikenal dengan teori fraud diamond. Wolfe dan Hermanson menemukan empat elemen yang
menyebabkan fraud, yaitu dengan menambah kapabilitas atau kemampuan (capability) ke dalam
tiga elemen yang telah dijelaskan sebelumnya pada teori fraud triangle.
Selanjutnya pengembangan teori fraud triangle terbaru beberapa tahun belakang
dikemukakan oleh Crowe Howarth (2011) yang dikenal dengan teori fraud pentagon. Teori
fraud pentagon menambahkan elemen kompetensi (competence), dan arogansi (arrogance) ke
dalam tiga elemen yang terdapat pada teori fraud triangle.

Gambar 1. Teori fraud pentagon


Sumber: Teori fraud pentagon (Crowe, 2011)

Menurut SAS No. 99 (AICPA, 2002) dalam [16], financial target adalah target
keuangan yang menyebabkan adanya tekanan berlebihan pada manajemen yang ditetapkan oleh
direksi, termasuk tujuan-tujuan penerimaan bonus dari penjualan ataupun keuntungan. Tekanan
atas pencapaian target keuangan dapat memunculkan kemungkinan adanya pengaruh financial
target terhadap kecurangan pelaporan keuangan. Return on Asset (ROA) merupakan alat yang
digunakan untuk mengukur kinerja dengan indikasi efficiently assets dapat digunakan. ROA
adalah salah satu pengukuran yang digunakan untuk mengukur kinerja manajer terutama terkait
dengan bonus peningkatan dan sebagainya. Summer and Sweeny (1998) dalam [14] melaporkan
bahwa ROA secara signifikan mampu membedakan perusahaan yang melakukan fraud dengan
perusahaan yang tidak melakukan fraud.
H1 : Financial target berpengaruh terhadap fraudulent financial reporting

Menurut SAS No. 99 dalam [14], manajer menghadapi tekanan untuk melakukan
kecurangan dalam pelaporan keuangan ketika stabilitas keuangan (financial stability) perusahaan
terancam oleh keadaan ekonomi, industri, ataupun situasi entitas yang beroperasi. Manajemen
seringkali mendapatkan tekanan untuk menunjukkan bahwa perusahaan telah mampu mengelola
aset dengan baik, sehingga laba yang dihasilkan tercapai dan menghasilkan return yang tinggi
untuk investor. Besarnya total aset yang dimiliki oleh perusahaan menjadi daya tarik tersendiri
bagi para investor, kreditor, dan pemilik perusahaan (stakeholders). Namun, ketika total aset
mengalami penurunan bahkan mencapai negatif, hal itu akan membuat stakeholders tidak
tertarik karena menganggap bahwa kondisi keuangan perusahaan tidak stabil. Oleh sebab itu,
manajemen menggunakan laporan keuangan sebagai alat untuk menutupi kondisi keuangan yang
tidak stabil dengan melakukan fraud [16].
H2 : Financial stability berpengaruh terhadap fraudulent financial reporting
External pressure adalah tekanan yang berlebihan bagi manajemen untuk memiliki
persyaratan atau harapan dari pihak ketiga. Menurut SAS No. 99 dalam [16], ketika tekanan
Mendeteksi Kecurangan Laporan Keuangan..... 15

yang berlebihan dari pihak ekternal terjadi, maka terdapat risiko kecurangan terhadap laporan
keuangan. Hal ini didukung oleh pendapat Skousen et al yang menyatakan bahwa salah satu
tekanan yang seringkali dialami oleh manajemen di sebuah perusahaan adalah kebutuhan untuk
mendapatkan tambahan utang atau sumber pembiayaan eksternal agar tetap kompetitif, termasuk
pembiayaan riset dan pengeluaran pembangunan atau modal [13]. Manajer akan semakin merasa
berada di bawah tekanan karena harus memenuhi kebutuhan untuk memperoleh tambahan pada
keuangan melalui utang dan pembiayaan investasi. External pressure diukur menggunakan rasio
leverage yaitu perbandingan antara total liabilitas dan total aset [15].
H3 : External pressure berpengaruh terhadap fraudulent financial reporting

Kecurangan dapat diminimalkan salah satunya dengan cara mekanisme pengawasan


yang baik di dalam perusahaan. Ineffective monitoring adalah kondisi dimana sistem
pengendalian internal tidak berjalan secara efektif. Menurut SAS No. 99, hal itu terjadi karena
terdapat satu orang atau sekelompok kecil yang mendominasi manajemen di dalam perusahaan
tanpa pengawawan kompensasi, tidak efektifnya pengawasan dewan komisaris, direksi, dan
komite audit atas proses pelaporan keuangan sehingga menyebabkan terbukanya peluang
tindakan kecurangan [16].
H4 : Ineffective monitoring berpengaruh terhadap fraudulent financial reporting

Nature of industry adalah keadaan ideal suatu perusahaan dalam industri. Pada
pelaporan keuangan terdapat akun-akun tertentu yang jumlah saldonya ditentukan oleh
perusahaan berdasarkan suatu estimasi, seperti piutang tak tertagih dan persediaan usang.
Piutang tak tertagih memerlukan penilaian subjektif dalam memperkirakan tidak tertagihnya
piutang. Manajer akan fokus terhadap akun tersebut jika ingin melakukan kecurangan dalam
laporan keuangan (Summers dan Sweeney, 1998) dalam [16].
H5 : Nature of industry berpengaruh terhadap fraudulent financial reporting

Auditor bertugas dalam memeriksa dan mengawasi laporan keuangan yang disusun
manajemen di perusahaan. Informasi tentang perusahaan yang terindikasi terjadi fraud, biasanya
juga diketahui dari auditor. Perusahaan yang melakukan fraud lebih sering melakukan
pergantian auditor, karena manajemen perusahaan cenderung berusaha mengurangi
kemungkinan pendeteksian oleh auditor yang lama terkait kecurangan dalam pelaporan
keuangan [16]. Pergantian auditor (change in auditor) digunakan perusahaan sebagai suatu
bentuk menghilangkan jejak kecurangan (fraud trail) yang ditemukan oleh auditor sebelumnya.
Kecenderungan ini mendorong perusahaan untuk mengganti auditor independen untuk menutupi
kecurangan yang dilakukan dalam pelaporan keuangan perusahaan [15].
H6 : Change in auditor berpengaruh terhadap fraudulent financial reporting

Rasionalisasi (rationalization) merupakan pembenaran terhadap tindakan kecurangan


yang dilakukan oleh pelaku. Pelaku biasanya mencari berbagai alasan yang rasional untuk
membenarkan tindakan yang dilakukan [14]. Tindakan earnings management merupakan awal
dari terjadinya kecurangan dalam pelaporan keuangan. Earnings management merupakan
dampak dari penggunaan prinsip akrual dalam penyusunan laporan keuangan. Prinsip akrual
disepakati sebagai dasar penyusunan laporan keuangan karena lebih rasional dan adil. Namun
prinsip akrual dapat digerakkan (tuned) untuk mengubah angka laba yang dihasilkan, sehingga
terindikasi sebagai tindakan kecurangan dalam pelaporan keuangan [12]. Prinsip akrual
berhubungan dengan pengambilan keputusan manajemen dan memberikan wawasan terhadap
rasionalisasi dalam pelaporan keuangan (Francis dan Krishna, 1999 dan Vermeer, 2003) dalam
[12].
H7 : Rasionalisasi total akrual pada total aset berpengaruh terhadap fraudulent financial
reporting

Pergantian direksi merupakan bagian dari salah satu elemen teori fraud pentagon yaitu
kapabilitas (capability). Capability memiliki enam komponen seperti posisi (positioning),
16 Yossi Septriani dan Desi Handayani

kecerdasan (intelligence), percaya diri (confidence/ego), pemaksaan (coercion skill), penipuan


(effective lying/deceit), dan manajemen stres (stress management). Pergantian direksi dinilai
mampu dalam menggambarkan kemampuan dalam melakukan manajemen stres. Perubahan
direksi dapat menyebabkan stress period yang mengakibatkan terbukanya peluang untuk
melakukan fraud. Pergantian direksi dapat menjadi suatu upaya perusahaan untuk memperbaiki
kinerja direksi sebelumnya dengan melakukan perubahan susunan direksi ataupun pemilihan
direksi baru yang dianggap lebih kompeten [15]. Pergantian direksi ini juga dapat
mengindikasikan suatu kepentingan politik tertentu untuk menggantikan jajaran direksi
sebelumnya. Di sisi lain, pergantian direksi dianggap sebagai upaya dalam mengurangi
efektivitas kinerja manajemen karena memerlukan waktu lebih untuk dapat beradaptasi dengan
budaya kerja direksi baru [17].
H8 : Pergantian direksi berpengaruh terhadap fraudulent financial reporting

Frequent number of CEO’s picture adalah jumlah foto Chief Executive Officer (CEO)
yang terpampang dalam laporan keuangan tahunan perusahaan. Banyaknya foto CEO yang
terpampang dalam sebuah laporan keuangan perusahaan dapat menunjukkan tingkat arogansi
dan superioritas yang dimiliki CEO tersebut. Seorang CEO biasanya lebih ingin menunjukkan
kepada publik akan status dan posisi yang dimilikinya dalam sebuah perusahaan karena tidak
ingin kehilangan status atau posisi tersebut. Hal ini sesuai dengan salah satu elemen dalam teori
yang dikenalkan oleh Crowe (2011) yaitu arogansi. Tingkat arogansi yang tinggi dapat
menyebabkan terjadinya kecurangan (fraud) karena arogansi yang dimiliki seorang CEO dapat
membuatnya melakukan cara apapun untuk mempertahankan posisi dan kedudukan yang
sekarang dimiliki [15].
H9 : Frequent number of CEO’s picture berpengaruh terhadap fraudulent financial
reporting

3. Metode Penelitian
Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa publikasi laporan tahunan
dan laporan keuangan perusahaan manufaktur dan perbankan yang listing di BEI selama kurun
waktu 2013-2016. Data diperoleh dari website BEI (www.idx.co.id), website perusahaan dan
Capital Market Directory (ICMD) 2013-2016. Sampel dalam penelitian ini dipilih dengan
metode non-random yaitu purposive sampling. Dalam hal ini sampel dipilih dari dua populasi
yaitu perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI dari 2013-2016 dan perusahaan sektor
perbankan terdaftar di BEI dari 2013-2016 dengan kriteria sbb:
a. Perusahaan sektor manufaktur dan keuangan/perbankan yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia (BEI) selama periode 2013-2016.
b. Perusahaan mempublikasikan laporan keuangan tahunan yang sudah diaudit dalam website
perusahaan atau website BEI selama periode 2013-2016, yang dinyatakan dalam Rupiah.
c. Perusahaan tidak didelisting dari BEI selama periode 2013-2016
d. Data mengenai data-data yang berkaitan dengan variabel penelitian tersedia dengan lengkap
(data secara keseluruhan tersedia pada publikasi selama periode 2013-2016)
Metode analisis data yang digunakan adalah model regresi linear berganda. Hubungan antar
variabel mengacu kepada model Skousen et.al [12] dengan model regresi
DACCit = ß0+ß1ROA+ß2ACHANGE+ß3LEV+ß4BDOUT+ß5RECEIVABLE+
ß6∆CPA+ß7TATA+ß8DCHANGE+ß9CEOPIC+ε
Dimana :
ß0 : Koefisien regresi konstanta
ß1,ß2,ß3,ß4,ß5,ß6,ß7,ß8,ß9 : Koefisien regresi masing-masing proksi
DACCit : Discretionary accruals perubahan i pada tahun t
ROA : Return on Assets
ACHANGE : Rasio perubahan total aset
LEV : Rasio total kewajiban per total aset
BDOUT : Rasio dewan komisaris independen
Mendeteksi Kecurangan Laporan Keuangan..... 17

RECEIVABLE : Rasio perubahan piutang


∆CPA : Pergantian auditor independen
TATA : Rasio total akrual per total aset
DCHANGE : Pergantian Direksi
CEOPIC : Jumlah foto CEO
ε : Error term
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari variabel dependen yaitu
kecurangan dalam laporan keuangan yang diproksikan dengan earning management yang
dijelaskan sebagai Nilai Discretionary Accrual (DACCit) dari Modified Jones Model. Variabel
independen dalam penelitian ini disusun sesuai dengan 5 fraud risk factor dalam Fraud
Pentagon Theory yang dikemukakan oleh Crowe Howarth, menggunakan rasio keuangan dan
non keuangan sebagai berikut:
a. Fraud Risk factor: Pressure (tekanan) akan dijelaskan dengan (1) financial targets yang
diproksikan dengan Return On Asset (ROA), (2) financial stability yang diproksikan dengan
rasio perubahan total asset, (3) external pressure yang diproksikan dengan rasio Leverage.
b. Fraud Risk factor: Opportunity (peluang) akan dijelaskan dengan (1) innefective monitoring
yang diproksikan dengan rasio komisaris independen, dan (2) nature of industry yang
diproksikan dengan Rasio Piutang usaha
c. Fraud Risk factor: Rationalization (rasionalisasi) akan dijelaskan dengan (1) Chan ge in
Auditor yang diproksikan dengan Pergantian Akuntan Publik (∆CPA), (2) Rationalization
dengan proksi Rasio Total akrual (TATA),
d. Fraud Risk factor: Competence (kompetensi) akan dijelaskan dengan perubahan/pergantian
direksi (DCHANGE).
e. Fraud Risk factor: Arrogance (arogansi) akan dijelaskan dengan frequent number of CEO’s
pictures
Tabel 1. Pengukuran Variabel Independen

Nama Variabel Pengukuran


Financial target Rasio profitabilitas
𝑅𝑂𝐴 = Laba bersih
Total asset
Financial stability Rasio perubahan asset selama dua tahun
ACHANGE = % perubahan aset selama dua tahun
External pressure Rasio Leverage (LEV)
𝐿EV = Total Liabilitas
Total asset
Ineffective monitoring Rasio jumlah dewan komisari independen (BDOUT)
𝐵𝐷𝑂𝑈𝑇 = jumlah dewan komisaris independen
jumlah total dewan komisaris
Nature of industry Ratio total piutang (RECEIVABLE)
RECEIVABLE = Receivable t - Receivable t-1
Sales t Sales t-1
Change in auditor variabel dummy, apabila terdapat pergantian Kantor Akuntan
(∆CPA), Publik selama periode 2013-2015 maka diberi kode 1,
sebaliknya diberi kode 0
Rationalization Rasio Total Akrual (TATA)
TATA= ∆𝑊𝑜𝑟𝑘𝑖𝑛𝑔 𝐶𝑎𝑝𝑖𝑡𝑎𝑙 − ∆𝐶𝑎𝑠ℎ − ∆𝐶𝑢𝑟𝑟𝑒𝑛𝑡 𝑇𝑎𝑥𝑒𝑠
𝑃𝑎𝑦𝑎𝑏𝑙𝑒 − ∆𝐷𝑒𝑝𝑟𝑒𝑐𝑖𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 𝑎𝑛𝑑 𝐴𝑚𝑜𝑡𝑖𝑠𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡𝑠
Competence variabel dummy, kode 1 jika terdapat pergantian direksi
dalam perusahaan, kode 0 jika tidak terdapat pergantian
direksi
Arrogance total foto CEO yang terpampang dalam sebuah laporan
tahunan
18 Yossi Septriani dan Desi Handayani

4. Hasil dan Analisis


Berikut hasil penelitian yang dilakukan dengan analisis regresi berganda menggunakan
SPSS:
Tabel 2. Hasil Uji Hipotesis Perusahaan Perbankan

Tabel 3. Hasil Uji Hipotesis Perusahaan Manufaktur


Unstandardized Standardized
M odel Coefficients Coefficients T Sig.
B Std. Error Beta
(Constant) ,011 ,014 ,831 ,407
ROA -,028 ,038 -,044 -,728 ,467
ACHANGE ,076 ,021 ,201 3,599 ,000
LEV -,050 ,018 -,160 -2,771 ,006
BDOUT ,033 ,027 ,071 1,255 ,210
RECEIVABLE -,025 ,022 -,063 -1,138 ,256
ΔCPA -,027 ,012 -,131 -2,347 ,020
TATA ,043 ,030 ,076 1,399 ,163
DCHANGE -,018 ,007 -,138 -2,530 ,012
CEOPIC ,003 ,004 ,043 ,781 ,435
a. Dependent Variable: DACC
Hipotesis pertama dalam penelitian ini yaitu financial targets berpengaruh dalam
mendeteksi kecurangan laporan keuangan. Berdasarkan hasil yang telah diperoleh pada uji
parsial yang terdapat pada tabel 2, financial target yang diukur dengan return on assets (ROA)
memiliki pengaruh terhadap fraudulent financial reporting. ROA yang bernilai tinggi pada
periode sebelumnya menunjukkan bahwa perusahaan mampu menghasilkan laba yang tinggi dan
menargetkan perolehan laba yang lebih tinggi untuk periode yang akan datang [4]. Kenaikan
financial target pada perusahaan perbankan merupakan suatu tekanan (pressure) bagi
manajemen. Dengan kondisi demikian, manajemen terdorong untuk melakukan manipulasi agar
mencapai target laba yang sudah ditetapkan, sehingga adanya indikasi kecurangan dalam
penyusunan laporan keuangan, maka hipotesis 1 (H 1 ) diterima untuk perusahaan perbankan.
Pada perusahaan manufaktur, financial target tidak berpengaruh dalam mendeteksi kecurangan
laporan keuangan. ROA (profitabilitas) perusahaan yang tinggi belum tentu ada indikasi
kecurangan laporan keuangan di dalamnya. Kenaikan ROA bisa saja disebabkan oleh
peningkatan mutu operasional dan kinerja perusahaan seperti modernisasi sistem informasi.
Hipotesis kedua yaitu financial stability berpengaruh dalam mendeteksi kecurangan
laporan keuangan. Hasil pada perusahaan perbankan menunjukkan bahwa financial stability
berpengaruh terhadap fraudulent financial reporting. Aset dapat digunakan untuk melihat
kondisi stabilitas keuangan perusahaan karena aset menggambarkan kekayaan yang dimiliki oleh
Mendeteksi Kecurangan Laporan Keuangan..... 19

perusahaan. Kondisi perusahaan yang tidak stabil terjadi karena manajemen tidak mampu
mengelola aset yang dimiliki, sehingga menyebabkan perubahan total aset yang terlalu tinggi
atau terlalu rendah selama periode tertentu. Kondisi keuangan yang stabil dapat memperkecil
risiko terjadinya kecurangan. Hal ini menjadi tekanan bagi manajemen dalam menampilkan
kondisi keuangan yang stabil. Perusahaan yang memiliki pertumbuhan total dibawah rata-rata
industri, memungkinkan manajemen untuk melakukan manipulasi dalam penyusunan laporan
keuangan. Hasil ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Tessa dan Harto yang
membuktikan bahwa semakin rendah tingkat pertumbuhan aset suatu perusahaan dapat
mendorong perusahaan tersebut untuk melakukan fraudulent financial reporting [15]. Dengan
demikian hipotesis 2 (H2 ) diterima. Pada perusahaan manufaktur, financial stability berpengaruh
dalam mendeteksi kecurangan laporan keuangan. Dalam mencapai target finansial, perusahaan
akan didorong untuk memanfaatkan metode akuntansi untuk menaikkan atau menurunkan nilai
aset perusahaan seperti mekanisme fair value dan kapitalisasi aset (Albrecht, 2002) dalam [15].
Tingkat pertumbuhan aset digunakan untuk melihat stabilitas keuangan perusahaan.
Pertumbuhan aset yang terlalu tinggi juga tidak bagus bagi perusahaan. Tentunya jika aset
mengalami pertumbuhan yang tinggi, maka manajemen akan melakukan manipulasi laporan
keuangan agar kondisi keuangan perusahaan tetap stabil. Sehingga pertumbuhan aset
berhubungan searah dengan kecurangan laporan keuangan. Hasil penelitian ini mendukung hasil
penelitian yang dilakukan oleh [13], [12], [15], dan [2] yang menyatakan bahwa financial
stability berpengaruh dalam fraudulent financial statement.
Hipotesis ketiga dalam penelitian ini yaitu external pressure berpengaruh dalam
mendeteksi kecurangan laporan keuangan. Hasil uji hipotesis perusahaan perbankan
menunjukkan bahwa external pressure tidak berpengaruh terhadap fraudulent financial
reporting. External pressure berupa risiko kredit yang tinggi akibat besarnya jumlah pinjaman
atau utang mendorong manajemen untuk melakukan manipulasi terhadap laporan keuangan guna
meyakinkan kreditur. Semakin tinggi rasio leverage maka lebih besar kemungkinan terjadinya
pelanggaran terhadap perjanjian kredit melalui tindakan kecurangan [15]. Berdasarkan hasil
pengukuran pada rasio leverage perusahaan sektor perbankan tidak menjadi tekanan bagi
manajemen untuk melakukan kecurangan dalam menyusun laporan keuangan. Hal itu karena
perusahaan mampu membayar utangnya dan lebih memilih menerbitkan saham kembali untuk
memperoleh modal usaha, maka hipotesis 3 (H 3 ) ditolak. Sedangkan pada perusahaan
manufaktur external pressure berpengaruh dalam mendeteksi kecurangan laporan keuangan.
Beberapa perusahaan memilih melakukan pinjaman sebagai sumber pendanaan operasional
perusahaan. Jika tingkat kewajiban tinggi akan menjadikan pihak manajemen perusahaan
menjadi lebih sulit dalam membuat prediksi jalannya perusahaan ke depan. Artinya, semakin
besar utang yang dimiliki perusahaan, maka semakin ketat pengawasan yang dilakukan oleh
kreditor, sehingga fleksibilitas manajemen untuk melakukan kecurangan semakin berkurang.
Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian [6], [12], dan [15] dimana external pressure
berpengaruh dalam fraudulent financial statement.
Hipotesis keempat yaitu ineffective monitoring berpengaruh dalam mendeteksi
kecurangan laporan keuangan. Hasil menunjukkan bahwa ineffective monitoring memiliki
pengaruh terhadap fraudulent financial reporting. Tindakan kecurangan dengan cara melakukan
manajemen laba dapat diminimalkan salah satunya dengan mekanisme pengawasan yang baik.
Dewan komisaris bertugas untuk menjamin terlaksananya strategi perusahaan dan mengawasi
manajemen, serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas [12]. Ineffective monitoring adalah
keadaan dimana pengawasan internal yang tidak efektif. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis,
pengaruh ineffective monitoring terjadi karena kenaikan tingkat pengawasan yang tidak efektif
oleh dewan komisaris pada perusahaan perbankan. Jumlah komisaris independen dan jumlah
keseluruhan anggota dewan komisaris pada perusahaan perbankan relatif tetap selama tahun
pengamatan dengan rata-rata 56,90%. Dengan begitu komisaris independen dinilai kurang
bekerja secara efektif dan maksimal dalam mengawasai manajemen, sehingga membuka peluang
bagi manajemen untuk melakukan tindak kecurangan dalam menyusun laporan keuangan [4].
Dengan demikian hipotesis 4 (H 4 ) diterima. Hasil penelitian pada perusahaan manufaktur
20 Yossi Septriani dan Desi Handayani

menunjukan H4 ditolak, sehingga dapat dikatakan secara parsial variabel ineffective monitoring
tidak berpengaruh dalam mendeteksi kecurangan laporan keuangan. Secara umum, keberadaan
dewan komisaris independen akan sedikit memberikan jaminan terhadap pengawasan dalam
suatu perusahaan. Namun, jumlah atau banyaknya dewan komisaris independen belum
memberikan jaminan untuk meningkatkan pengawasan operasional perusahaan. Hal ini
disebabkan apabila terdapat intervensi kepada dewan komisaris independen, sehingga
pengawasan dalam perusahaan menjadi tidak objektif. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian [12] dimana ineffective monitoring berpengaruh terhadap fraudulent financial
statement.
Hipotesis kelima yaitu nature of industry berpengaruh dalam mendeteksi kecurangan
laporan keuangan. Hasil pada perusahaan perbankan menunjukkan bahwa nature of industry
yang diukur dengan nilai piutang usaha tidak berpengaruh terhadap fraudulent financial
reporting. Hasil tersebut terjadi karena besar kecilnya rasio perubahan pada piutang usaha
selama tahun pengamatan tidak memicu manajemen untuk melakukan kecurangan. Selain itu,
perbedaan sifat industri pada perusahaan perbankan dengan sektor lainnya membuat nilai
piutang usaha tidak dapat digunakan untuk mendeteksi tindakan kecurangan yang dilakukan
manajemen. Dengan demikin hipotesis 5 (H 5 ) ditolak. Pada perusahaan manufaktur juga
membuktikan bahwa H5 ditolak, artinya tidak ada pengaruh nature of industry dalam mendeteksi
kecurangan laporan keuangan. Perusahaan yang baik akan menekan jumlah piutang dan
meningkatkan penerimaan kas. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian [13].
Hipotesis keenam yaitu changes in auditor berpengaruh dalam mendeteksi kecurangan
laporan keuangan. Berdasarkan hasil diatas, change in auditor pada perusahaan perbankan tidak
berpengaruh terhadap fraudulent financial reporting, artinya pergantian auditor yang dilakukan
perusahaan tidak dapat digunakan untuk mendeteksi kecurangan yang dilakukan manajemen
dalam menyusun laporan keuangan. Manajemen perusahaan yang melakukan kecurangan akan
lebih sering melakukan pergantian auditor [16]. Nilai rata-rata pada analisis deskriptif
menunjukkan bahwa perusahaan sektor perbankan yang digunakan sebagai sampel selama tahun
pengamatan hanya 11% yang melakukan pergantian auditor. Pergantian auditor yang dilakukan
perusahaan publik bukan karena ingin menghapus jejak kecurangan yang ditemukan auditor
sebelumnya, melainkan karena perusahaan mentaati Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun
2015 tentang Praktik Akuntan Publik pasal 11 ayat 1. Dengan demikin hipotesis 6 (H 6 ) ditolak.
Sedangkan pada perusahaan manufaktur, changes in auditor berpengaruh dalam mendeteksi
kecurangan laporan keuangan. Perusahaan melakukan pergantian auditor untuk mengurangi
pendeteksian kecurangan laporan keuangan oleh auditor lama. Sehingga, dengan adanya
pergantian auditor, kemungkinan pendeteksian kecurangan laporan keuangan lebih kecil.
Hipotesis ketujuh yaitu rationalization dalam mendeteksi kecurangan laporan keuangan.
Hasil temuan pada perusahaan perbankan menunjukkan bahwa rasionalisasi total akrual pada
total aset berpengaruh terhadap fraudulent financial reporting. Berdasarkan temuan, terlihat
bahwa rasio total akrual pada total aset dapat digunakan untuk menggambarkan rasionalisasi
terkait dengan penggunaan prinsip akrual oleh manajemen [12]. Nilai aset lancar, liabilitas
lancar, arus kas operasional, beban depresiasi dan amortisasi dapat menggambarkan manajemen
laba yang terkandung dalam laporan keuangan. Hasil temuan yang bernilai positif memberikan
bukti bahwa perusahaan perbankan selama tahun pengamatan melakukan upaya untuk
menaikkan laba perusahaan. Earnings management yang dilakukan dengan cara menaikkan laba
terjadi karena kemungkinan manajemen bersikap optimis dalam melaporkan kinerjanya, yaitu
dengan mengakui pendapatan yang akan datang menjadi pendapatan sekarang [7]. Dengan
demikin hipotesis 7 (H7 ) diterima. Sedangkan pada perusahaan manufaktur, secara parsial
variabel rationalization tidak berpengaruh dalam mendeteksi kecurangan laporan keuangan.
Total akrual merupakan cerminan aktivitas perusahaan secara keseluruhan (Vermeer, 2003)
dalam [12]. Tingkat akrual perusahaan akan beragam tergantung pada keputusan manajemen
terkait kebijakan tertentu. Namun, dalam hal ini nilai akrual tidak dimanfaatkan manajemen
untuk memanipulasi laporan keuangan, melainkan untuk menampilkan kinerja dan posisi
Mendeteksi Kecurangan Laporan Keuangan..... 21

keuangan perusahaan berdasarkan terjadinya transaksi yang sebenarnya. Penelitian ini konsisten
dengan penelitian [13].
Hipotesis kedelapan yaitu pergantian direksi berpengaruh dalam mendeteksi kecurangan
laporan keuangan. Hasil pengujian pada perusahaan perbankan menunjukkan bahwa pergantian
direksi tidak berpengaruh terhadap fraudulent financial reporting. Hal itu karena selama tahun
pengamatan sebanyak 70% perusahaan perbankan yang menjadi sampel penelitian ini
melakukan pergantian susunan direksi. Pergantian direksi perusahaan tersebut dilakukan untuk
perekrutan direksi yang lebih kompeten dari sebelumnya. Pergantian direksi yang lebih
kompeten dianggap efektif untuk memungkinkan terjadinya peningkatan kinerja perusahaan
yang lebih baik dari sebelumnya [1]. Selain itu, hasil negatif menunjukkan bahwa pergantian
direksi yang terjadi tidak dimanfaatkan manajemen untuk melakukan tindakan kecurangan. Hal
ini sesuai dengan penelitian [4], [12], serta penelitian yang dilakukan [15]. Dengan demikian
hipotesis 8 (H8 ) ditolak. Sedangkan pada perusahaan manufaktur, pergantian direksi berpengaruh
dalam mendeteksi kecurangan laporan keuangan. Hal ini dapat terjadi apabila perusahaan
melakukan pergantian direksi untuk menutupi kecurangan yang telah dilakukan direksi
sebelumnya. Direksi baru membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan informasi keuangan
perusahaan. Sehingga, dengan adanya pergantian direksi akan sedikit sulit untuk mendeteksi
kecurangan yang dilakukan direksi sebelumnya.
Hipotesis kesembilan yaitu number of CEO’s picture berpengaruh dalam mendeteksi
kecurangan laporan keuangan. Hasil temuan pada perusahaan perbankan menunjukkan bahwa
tidak terdapat pengaruh frequent number of CEO’s picture terhadap fraudulent financial
reporting. Banyaknya jumlah foto CEO yang ditampilkan dalam laporan tahunan perusahaan
perbankan yang menjadi sampel penelitian selama tahun pengamatan rata-rata berada pada
kategori nomor 2. Posisi ini artinya rata-rata perusahaan perbankan yang menjadi sampel hanya
menampilkan foto sebanyak 5 sampai 8 foto. Berdasarkan hasil pengujian, berarti bahwa jumlah
foto yang ditampilkan perusahaan perbankan pada laporan keuangan tidak dapat mengindikasi
tingginya arogansi CEO perusahaan perbankan. Menurut Crowe (2011) kemungkinan bahwa
CEO akan melakukan berbagai cara untuk mempertahankan status dan posisinya dengan
menampilkan foto tidak terbukti pada penelitian ini. Dengan demikian hipotesis 9 (H 9 ) ditolak.
Sedangkan pada industri manufaktur, secara parsial variabel number of CEO’s picture tidak
berpengaruh dalam mendeteksi kecurangan laporan keuangan. Hal ini disebabkan dari seluruh
perusahaan yang menjadi sampel penelitian tidak banyak perusahaan yang memajang foto CEO
dalam laporan tahunan sehingga jumlah foto CEO yang terpajang tidak dapat dijadikan sebagai
faktor adanya indikasi manipulasi laporan keuangan.

5. Penutup

5.1 Kesimpulan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis teori fraud pentagon dalam
mendeteksi kecurangan laporan keuangan (fraudulent financial statement). Elemen-elemen teori
fraud pentagon yaitu, tekanan (pressure), peluang (opportunity), rasionalisasi (rationalization),
kompetensi (competence) dan arogansi (arrogance). Perusahaan yang menjadi sampel adalah
perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI selama periode 2013-2016 dengan jumlah 86
perusahaan manufaktur dan 27 perusahaan perbankan. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan
bahwa untuk perusahaan sektor manufaktur hanya fraud risk factor pressure, yaitu financial
stability, external pressure yang mempengaruhi kecendrungan dilakukannya manajemen laba
oleh perusahaan. Sementara itu, financial target, nature of industry, rationalization, dan
arrogance tidak terbukti memiliki pengaruh dalam mendeteksi adanya manajemen laba atau
kecurangan laporan keuangan. Sedangkan untuk perusahaan sektor perbankan, ditemukan bahwa
terdapat pengaruh signifikan dari financial stability (pressure), ineffective monitoring
(opportunity) dan rasionalisasi (rationalization) terhadap kemungkinan dilakukannya manajemen
laba yang memproksikan kecurangan laporan keuangan.
22 Yossi Septriani dan Desi Handayani

5.2 Saran
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan diantaranya
1. Penelitian selanjutnya dapat memilih sampel penelitian dengan sektor industri yang beragam
sehingga mungkin tidak menggambarkan dengan lebih baik fenomena kecurangan pelaporan
keuangan menggunakan fraud diamond theory
2. Penelitian selanjutnya, dapat menggunakan metode kualitatif atau kombinasi antara metode
kuantitatif dengan kualitatif. Karena, beberapa dari variabel yang terdapat dalam fraud risk
factor tidak dapat dijelaskan secara spesifik oleh alat analisis metode kuantitatif.
3. Penelitian selanjutnya dapat menggunakan pengukuran lain disamping discretionary accrual
sebagai alat ukur fraudulent financial statement untuk memberikan keberagaman dalam
penelitian-penelitian selanjutnya.
4. Penelitian selanjutnya dapat menggunakan variabel-variabel proksi lainnya untuk fraud risk
factor yang lebih dapat menjelaskan variabel dependennya.

Daftar Pustaka

[1] Annisya, Mafiana. Lindrianasari dan Yuztitya Asmaranti. 2016. “Pendeteksian Kecurangan
Laporan Keuangan Menggunakan Fraud Diamond”. Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE)
Halaman 72-89 Vol. 23 No.1. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung.
Lampung
[2] Aprilia. 2017. The Analysis of The Effect of Fraud Pentagon on Financial Statement Fraud
Using Beneish Model in Companies Applying The Asean Corporate Governance
Scorecard. Jurnal Akuntansi Riset, Vol 6, No. 1, p. 96-126.
[3] Association of Certified Fraud Examining (ACFE). 2014. Report to the nation on
occupational fraud and abuse (2014 global fraud study).
[4] Hanani, Mustika Dwi Putri. 2015. “Kecenderungan Kecurangan Laporan Keuangan Dengan
Analisis Diamond Fraud Pada Perusahaan Perbankan yang Listing di BEI”.
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Yogyakarta
[5] Hutomo, Oki Suryo. 2012. “Cara Mendeteksi Fraudulent Financial Reporting Dengan
Menggunakan Rasio-Rasio Finansial”. Universitas Diponegoro. Semarang
[6] Lou, Young-I, dan Ming-Long Wang. 2009. Fraud Risk factor of The Fraud Triangle
Assesing The Likelihood of Fraudulent Financial Reporting. Journal of Business &
Economics Research. Vol. 7, No. 2, p. 61-78.
[7] Padmantyo, Sri. 2010. “Analisis Manajemen Laba Pada Laporan Keuangan Perbankan
Syariah (Studi pada Bank Syariah Mandiri dan Bank Muamalat Indonesia)”. Jurnal
Manajemen dan Bisnis Vol. 14 No. 2 hal. 53-65. Universitas Muhammadiyah
Surakarta
[8] Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate
Governance bagi Bank Umum
[9] Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 33/POJK.04/2014 tentang Direksi dan Dewan
Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik
[10] Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 55/POJK.03/2016 tentang Penerapan Tata Kelola
Bagi Bank Umum
[11] Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2015 tentang Praktik Akuntan Publik
[12] Sihombing, Kennedy Samuel, dan Shiddiq Nur Rahardjo. 2014. Analisis Fraud Diamond
dalam Mendeteksi Financial Statement Fraud: Studi Empiris pada Perusahaan
Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2010-2012.
Diponegoro Journal of Accounting. Vol. 03, No. 02, p. 1-12.
[13] Skousen, et al. 2009. Detecting and Predicting Financial Statement Fraud: The
Effectiveness of the Fraud Triangle and SAS No. 99. Corporate Governance and Firm
Performance Advance in Financial Economincs, Vol. 13, p. 53-81.
[14] Sukirman dan Maylia Pramono Sari. 2013. Model Deteksi Kecurangan Berbasis Fraud
Triangle. Jurnal Akuntansi & Auditing. Vol. 9. No. 2. Semarang.
Mendeteksi Kecurangan Laporan Keuangan..... 23

[15] Tessa G, Chynthia, dan Puji Harto. 2016. Fraudulent Financial Reporting: Pengujian Teori
Fraud Pentagon pada sektor Keuangan dan Perbankan di Indonesia. Simposium
Nasional Akuntansi XIX Lampung, p. 1-21.
[16] Tiffani, Laila dan Marfuah. 2014. “Deteksi Financial Statement Fraud dengan Analisis
Fraud Triangle pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia”.
Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta
[17] Wolfe, David T, and Dana R. Hermanson. 2004. The Fraud Diamond: Considering The
Four Element of Fraud. The CPA Journal, p. 38-42.
24 Jurnal Akuntansi, Keuangan dan Bisnis Vol. 11, No. 1, Bulan Mei 2018, 24-30

Jurnal Politeknik Caltex Riau


http://jurnal.pcr.ac.id

Effect of Tax Rate, Taxation Technology and Information,


Possibility of Fraud Detection, and Tax Fairnesson
Taxpayer Perception of Tax Fraud Ethics
(Empirical Study on KPP Pekanbaru, Dumai, Rokan Hilir)
Meilda Wiguna1 dan Eka Hariyani 2
1
Universitas Riau, email: meildawiguna@yahoo.com
2
Universitas Riau, email: e.honey85@yahoo.com

Abstract
This research is aimed to examine effect of tax rate, taxation technology and information,
possibility of fraud detection, and tax fairness on taxpayer perception of tax fraud ethics. This
research uses primary data by questioners. Data are analyzed by using multiple regression with
105 respondents of individual taxpayers (wajib pajak orang pribadi) listed in Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) Pratama Senapelan Pekanbaru, KPP Dumai Kota, KPP Rokan Hilir, Riau,
Indonesia. Results show that tax rate has effect on taxpayer perce ption of tax f raud ethics,
taxation technology and information has effect on taxpayer perception of tax fraud ethics,
possibility of fraud detection has effect on taxpayer perception of tax fraud ethics, tax f airness
has effect on taxpayer perception of tax fraud ethics.

Keywords: tax rate, taxation technology and information, fraud, fairness, purposive sampling.

1. Introduction
Tax fraud is despicable act done by taxpayer, where taxpayer tries to cover true condition
up in order to minimize paid tax to the country. According to Pohan [2], tax evasion is taxpayer
effort to evade his/her tax payable illegally by covering true condition up Pohan [2]. Tax fraud
behavior or ethics are risen from taxpayer perception about tax fraud ethics itself, where there is
different perception and viewpoint between one to another taxpayer about tax fraud ethics. On
one side, taxpayer thinks that tax fraud done with some reasons, while on the other side, there is
possibility that other taxpayer thinks tax fraud is not an ethical act. There are some motivations
that explain why taxpayer is doing tax fraud.

First factor that has effect on tax fraud ethics is tax rate. Taxpayer argues that tax rate is
too high, while taxpayer does not get any benefits of his/her paid tax. This perception leads
taxpayer to think that tax fraud is ethical act, supported by motivation theory of Hilgard and
Atkinson 1979, that states taxpayer makes motivation of own assessment on applied rate.

Second factor that has effect on tax fraud ethics is taxation technology and information.
Modernization of tax service by government is expected to increases service quality, so taxpayer
obedience can be increased along with easiness of tax payment and reporting. Based on
motivation theory Hilgard and Atkinson [3], effort of motivation to maximizes tax collection
done by intensification and extensification in taxation. By provided taxation technology and

Dokumen diterima pada Rabu 25 April, 2018


Dipublikasikan pada Kamis 31 M ei, 2018
Effect of Tax Rate, Taxation Technology and Information…. 25

information facility, taxpayer has no any reasons to do tax fraud, because all of taxpayer’s needs
related to tax payment facility have been available.

Third factor that has effect on tax fraud ethics is possibility of fraud detection. When
taxpayer has perception that there is high possibility of fraud will be detected, taxpayer will be
more afraid to do tax evasion or fraud, so he/she is more likely to obey tax regulation.

Fourth factor that has effect on tax fraud ethics is tax fairness. Existence of perception
about importance of fairness for someone in tax payment has effect on their attitude in tax
payment. The more they percept that current tax system is unfair, the more likely they do tax
fraud, because current tax system is not well enough to accommodates their interest. Event it is
not significant, research of Andres [1] indicates those condition.

There is example case related to tax fraud ethics. In Medan, tax bailiff is murdered by
taxpayer that has unpaid tax payable (TV One, 12th April 2016). This case proves that there are
taxpayers unwilling to pay tax and against tax officer as well as taxpayers that have low
awareness and obedient on taxation. Research motivation comes from this case and previous
research gap and inconsistencies by Permatasari [7], Ayu and Hastuti [4], Rahman [8].

Based on above explanation, includes murderer case and previous research gap, this
research does study entitled “Effect of Tax Rate, Taxation Technology and Information,
Possibility of Fraud Detection, and Tax Fairness on Taxpayer Perception of Tax Fraud Ethics”.

2. Literature Review
2.1. Tax Rate and Taxpayer Perception of Tax Fraud Ethics
Tax rate is percentage used to calculate amount of tax payable. According to Mardiasmo
[5], tax collected based on certain rate. In order to determines and calculates amount of tax
payable of taxpayer, then it uses tax rate. By increasing the tax rate, government expects income
of country will be increased, but, in contrast, the higher tax rate, the more taxpayers do tax
fraud. It means that the higher tax rate, the more ethical for taxpayer to do tax fraud. It is linear
to motivation theory Hilgard and Atkinson [3] that states taxpayer makes motivation of own
assessment on applied rate. Taxpayer obedient, to fulfill taxation obligation related to tax rate,
could be categorized as technical obedient that consists of obedient in tax amount calculation
that has to be paid by taxpayer. Based on above explanation, developed hypothesis is as
followed:
H1 : Tax rate has effect on taxpayer perception of tax fraud ethics.
2.2 Taxation Technology and Information and Taxpayer Perception of Tax Fraud Ethics

According to Pandiangan [6] modernization of modern tax administration can be


implemented well if it is supported by taxation system information technology. Taxation system
technology is updating process in information technology related to taxation administration
system.
Modernization, moreover, signaled by implementation of current information
technology in taxation service, such as online payment, e-SPT, e-filling, e-registration and DJP
information system. Taxation technology and information is technology and information used
by tax officer in taxation process supporting. Taxation service modernization by government is
expected to increases service quality, so taxpayer obedient for pays tax can be increased because
of easiness in tax payment and reporting Ayu and Hastuti [4]. According to motivation theory,
effort of motivation to maximize tax collection is done by intensification and extensification of
taxation Hilgard and Atkinson [3]. Based on above explanation, developed hypothesis is as
followed:
26 Meilda Wiguna dan Eka Hariyani

H2 : Taxation technology and information has effect on taxpayer perception of tax f raud
ethics.

2.3 Possibility of Fraud Detection and Taxpayer Perception of Tax Fraud Ethics
Tax auditing is activities of data, notes, and/or evidences collection and analysis done
objectively and proportionally based on an audit standard to examine obedient of taxation
obligation fulfillment; and/or for other purposes; in order to implement regulation of tax
constitution Waluyo [12]. Tax auditing is done in order to implements regulation of tax
constitution. Tax auditing is done to examine taxpayer obedient and other purposes. Tax
auditing based on tax regulation possibly can detect fraud by taxpayer, so it has effect on tax
fraud ethics.
Taxpayer perception of possibility of fraud detection will be affected by percentage of
possibility that auditing process will be done. When taxpayer feels high percentage of
possibility that auditing process will be done, taxpayer is more likely to obey tax regulation, so
tax fraud ethics can be avoided. Based on above explanation, developed hypothesis is as
followed:
H3 : Possibility of fraud detection has effect on taxpayer perception of tax fraud ethics.
2.4 Tax Fairness and Taxpayer Perception of Tax Fraud Ethics

Tax collection has to be fair and equal, which is, tax that charged on individual has to be
proportional with his/her ability to pay and consistent with achieved benefits. It is one of
conditions in tax collection.
Fairness theory Rawls [9] states that tax collection has to be final, fair, and equal.
Unfairness in taxation will leads to tax fraud. The more unfair applied tax system based on
taxpayer perception, the more likely taxpayer to do tax fraud, because taxpayer feels that
available tax system is not enough in order to accommodate all of taxpayer interests. Based on
above explanation, developed hypothesis is as followed:
H4 : Tax fairness has effect on taxpayer perception of tax fraud ethics.
2.5 Research Model

Independent Variables (X) Dependent Variable (Y)

Tax Rate (X1)

Taxation Technology Taxpayer Perception


and Information (X2) of Tax Fraud Ethics

(Y)
Possibility of Fraud
Detection (X3)

Tax Fairness (X4)

Figure 1. Theoretical Framework


Effect of Tax Rate, Taxation Technology and Information…. 27

3. Research Methods
3.1 Data Collection
In order to examine effect of tax rate, taxation technology and information, possibility
of fraud detection, and tax fairness on taxpayer perception of tax fraud ethics; this research do
survey by questioners. Questioners are spread to 105 respondents of Wajib Pajak Orang Pribadi
[Individual Tax Payer] (WPOP) listed in KPP Pratama Senapelan Pekanbaru, KPP Dumai Kota
and KPP Rokan Hilir, Riau, Indonesia.
Sample selection done by purposive sampling method, which is sample selection with
certain consideration Sugiono [10]. Consideration of sample selection is Wajib Pajak Orang
Pribadi [Individual Tax Payer] except for Pegawai Negeri Sipil [State Officer] (PNS). Taxpayer
that does not suitable for the criteria could not be research sample.
Based on job; the highest number is entrepreneurs by 82 respondents (78.1%), second
highest is private employee by 19 respondent (18.1%), and the lowest one is professional
workers by 4 respondent (3.8%). Those taxpayers are respondents in this research.

3.2 Variables Measurement

Tax fraud ethics measured with instrument developed by Suminarsasi and Supriyadi
[11], Rahman [8]; that related to tax rate, taxation technology and information, possibility of
fraud detection, and tax fairness aspects. It consists of 11 questions items of 5 point likert scale.
Variable indicators are (1) tax rate implementation and importance of well teamwork between
tax officer and taxpayer, (2) availability of adequate taxation technology and information, (3)
weak laws and low possibility of fraud detection, (4) fairness in taxation, (5) bad integrity or
mentality tax and government officer, and (6) consequences of tax fraud.

Tax rate measured with instrument of 5 point likert scale developed by Permatasari
[7]. Tax rate indicators are (1) taxpayer knows charged tax rate and tax rate increasing, (2)
taxpayer knows how to calculate tax payable, (3) taxpayer pays tax based on regulation, and (4)
taxpayer obedient.

Taxation technology and information measured with instrument of 5 point likert scale
developed by Ayu and Hastuti [4]. Taxation technology and information indicators are (1)
availability of technology that related to taxation, (2) adequate technology for taxation, (3) easy
access of taxation information, (4) the use of taxation technology and information facility. Each
respondent is asked to answer 11 questions items.

Possibility of fraud detection measured with instrument of 5 point likert scale developed
by Ayu and Hastuti [4] and Rahman [8]. Each respondent is asked to answer 5 questions items.
Possibility of fraud detection indicators are (1) general society fulfill obligation based on afraid
of laws, (2) low level of possibility of fraud detection in SPT filling, and (3) implemented tax
auditing is aimed to identifies existences of fraud.

Tax fairness measured with instrument of 5 point likert scale developed by Ayu and
Hastuti [4]. Each respondent is asked to answer 6 questions items.

3.3 Data Analysis

Collected data analyzed by computer program of Statistical Package for Social Science
(SPSS) version 20.0 for windows, Result can be seen in table 1.
28 Meilda Wiguna dan Eka Hariyani

Table. 1 Result of Descriptive S tatistics


N Minimum Maximum Mean Std.
Deviation
Tax Rate (X1) 105 10.00 30.00 21.4095 4.91210
Taxation Technology and
105 9.00 25.00 17.9143 3.92995
Information (X2)
Possibility of Fraud Detection
105 10.00 24.00 18.0381 3.21333
(X3)
Tax Fairness (X4) 105 10.00 29.00 21.1619 4.08356
Tax Fraud Ethics (Y) 105 22.00 52.00 37.7238 5.54439
Valid N (listwise) 105

4. Result And Discussion

Result of Hypotheses Test and Discussion

Table. 2 Result of Hypotheses Test

Hypothesis Significance Alpha (α) Notes


3.374 1.984 0.001 0.05 Accepted
2.446 1.984 0.016 0.05 Accepted
3.304 1.984 0.001 0.05 Accepted
3.158 1.984 0.002 0.05 Accepted
Result of Hypothesis Test for H 1

Based on table 2, it can be seen that > which is 3.374 > 1.984 with
significance value 0.001 and error level (alpha) 0.05, so is rejected and is accepted.
Based on the result, it can be concluded that tax rate has effect on taxpayer perception of tax
fraud ethics.

Result of Hypothesis Test for H 2

Based on table 2, it can be seen that > which is 2.446 > 1.984 and
significance value 0.016 < 0.05, so is rejected and is accepted. Based on the result, it can
be concluded that taxation technology and information has effect on taxpayer perception of tax
fraud ethics.

Result of Hypothesis Test for H 3

Based on table 2, it can be seen that > which is 3.304 > 1.984 and
significance value 0.001 < 0.05, so is rejected and is accepted. Based on the result, it can
be concluded that possibility of fraud detection has effect on taxpayer perception of tax fraud
ethics.
Effect of Tax Rate, Taxation Technology and Information…. 29

Result of Hypothesis Test for H 4

Based on table 2, it can be seen that > which is 3.158 > 1.984 with
significance value 0.002 < 0.05, so is rejected and is accepted. Based on the result, it can
be concluded that tax fairness has effect on taxpayer perception of tax fraud ethics.

5. Conclusion, Implications And Limitations

Research result could be a discussion material for future research in taxation field, could
be useful insights for practitioner, and could be inputs for government in determination of tax
regulation in Indonesia, so it can increases obedient and decreases tax fraud by taxpayer. Result
also give understanding of tax rate, taxation technology and information, possibility of fraud
detection and tax fairness that have effect on taxpayer perception of tax fraud ethics.
Government can considers these variables in determination of tax constitution.

This research still has limitation. This research only uses tax rate, taxation technology
and information, possibility of fraud detection and tax fairness variables; so it might be there are
other variables that have affect on taxpayer perception of tax fraud ethics. Future research can
add other variables to see taxpayer perception about tax fraud ethics.

References

[1] Andres, Luis. 2002. “Determinants of Propensity to Tax Evasion: The Argentinean Case”.
University of Chichago

[2] Pohan, Chairil Anwar 2013 “Manajemen Perpajakan [Taxation Management]“, PT


Gramedia Pustaka Utama,Jakarta.

[3] Hilgard, Ernest Ropiquet, and Rita L. Atkinson. 1979. 7th Edition. Introduction to
Psychology. New York : Harcourt Brace Jocanovich

[4] Ayu, Dyah dan Rini Hastuti. 2009. Persepsi Wajib Pajak Dampak Pertentangan Diametral
Pada Tax Evasion Wajib Pajak Dalam Aspek Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan,
Keadilan, Ketepatan Pengalokasian, Teknologi Sistem Perpajakan, dan Kecenderungan
Personal (Studi WP Orang Pribadi) [Taxpayer Perception of Impact of Diametric Conflict
on Tax Evasion by Taxpayer in Possibility of Fraud Detection, Fairness, Allocation
Accuracy, Taxation System Technology, and Personality Tendency Aspects (Study of
Individual Taxpayer)]. Kajian akuntansi. Volume 1, Nomor 1, Februari 2009

[5] Mardiasmo. 2009. Perpajakan [Taxation] Edisi Revisi 2009. Yogyakarta, Penerbit Andi.

[6] Pandiangan, Liberti. (2007). Modernisasi & Reformasi Pelayanan Perpajakan


[Modernization and Reformation of Taxation Service]. Jakarta: Elex Media Komputindo

[7] Permatasari, Laksito. 2013. Minimalisasi Tax Evasion Melalui Tarif Pajak, Teknologi dan
Informasi Perpajakan, Keadilan Sistem Perpajakan, dan Ketetapan Pengalokasian
Pengeluaran Pemerintah [Tax Evasion Minimization by Tax Rate, Taxation Technology
and Information, Taxation System Fairness, and Government Expenditure Allocation
Accuracy]. Journal Of Accounting, Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013.
30 Meilda Wiguna dan Eka Hariyani

[8] Rahman. 2013. Pengaruh Keadilan, Sistem Perpajakan, Diskriminasi, Dan Kemungkinan
Terdeteksi Kecurangan Terhadap Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan
Pajak (Tax Evasion) [Effect of Fairness, Taxation System, Discrimination, and Possibility
of Fraud Detection on Taxpayer Perception of Tax Fraud Ethics (Tax Evasion)]. Jakarta.
Skripsi. Fakultas Ekonomi UIN Syarif Hidayatullah.

[9] Rawls, John.1971. A Theory of Justice, dalam Chapter II The Principle of Justice.
Publisher: the Belknap Press of Harvard University Press Cambridge, Massachusetts.
Tersedia: www.wahyudi.djafar.web.id. Diakses 14 Desember 2013.

[10] Sugiono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D [Research Method of
Quantitative, Qualitative, and R&D]. Bandung, Alfabeta.

[11] Suminarsasi, Wahyu dan Supriyadi. 2011. Pengaruh Keadilan, Sistem Perpajakan dan
Diskriminasi Terhadap Persepsi Wajib Pajak Mengenai Penggelapan Pajak [Effect of
Fairness, Taxation System, and Discrimination on Taxpayer Perception of Tax Fraud
Ethics].

[12] Waluyo, 2010.Perpajakan Indonesia [Taxation of Indonesia]. Jakarta, Salemba Empat.


Jurnal Akuntansi, Keuangan dan Bisnis Vol. 11, No. 1, Mei 2018, 31-41 31

Jurnal Politeknik Caltex Riau


http://jurnal.pcr.ac.id

Analisis Break Even Point Sebagai Dasar Perencanaan


Laba Pada Gedung Serba Guna Politeknik Caltex Riau
Ari Supriadi 1 , Suci Nurulita2 dan Yefni 3
1
Program Studi Akuntansi, Politeknik Caltex Riau, email: ari@alumni.pcr.ac.id
2
Program Studi Akuntansi, Politeknik Caltex Riau, email: suci@pcr.ac.id
3
Program Studi Akuntansi, Politeknik Caltex Riau, email: yefni@pcr.ac.id

Abstrak
Analisis Break Even Point (BEP) atau titik impas merupakan teknik analisa yang dilakukan
untuk mempelajari hubungan antara biaya tetap, biaya variabel, laba yang diharapkan dan
volume penjualan/penyewaan. Secara Umum analisa ini juga memberikan gambaran kepada
Pihak manajemen perusahaan atau Yayasan untuk mengetahui berapakah penjualan atau
penyewaan minimal dalam 1 periode akuntansi agar kegiatan operasionalnya tidak mengalami
kerugian. Penelitian dilakukan di Yayasan GSG PCR yang bergerak d ibidang jasa yaitu
sebagai gedung kegiatan akademik kemahasiswaan maupun penyewaan berbagai macam
acara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berapa BEP dari penyewaan GSG pada tahun
2016. Oleh karena itu, peneliti melakukan perhitungan BEP GSG PCR untuk acara pernikahan
berdasarkan produk-produk yang disewa. Adapun hasil BEP (Paket) GSG tahun 2016 secara
keseluruhan yaitu sebanyak 16 kali penyewaan minimal yang harus didapatkan dan BEP (Rp)
dari semua produk yaitu sebesar Rp399.500.000 yang harus didapatkan dalam setahun agar
mencapai titik impas. Target laba penyewaan minimal sebesar 30% yang diinginkan untuk
semua produk yang disewakan, sehingga BEP (Paket) yang harus dicapai yaitu sebanyak 28
kali penyewaan dalam setahun untuk mencapai titik impas. Dari hasil penelitian pada tahun
2016, penyewaan GSG PCR telah mendapatkan perencanaan laba sebesar 47% atau melebihi
dari target yang diinginkan sehingga BEP telah tercapai.
Kata kunci: Break Even Point, Perencanaan Laba

Abstract

Break Even Point Analysis (BEP) is an analysis technique that to study the relationship between
fixed cost, variable cost, expected profit and sales volume / lease. In general, this analysis also
provides an overview to the management of the company to find out what is the sale o r lease in
a minimum of 1 accounting period so that its operational activities do not suffer losses. The
research was conducted at GSG PCR Foundation. This study aims to find out how much BEP
from GSG rental in 2016. Therefore, researchers do calculations BEP GSG PCR for the
wedding based on the products hired. The results of the BEP (Package) GSG 2016 as a whole
that is as much as 16 times the minimum rental that must be obtained and BEP (Rp) of all
products that amounted to Rp399.500.000 which must be obt ained in a year to break even.
Minimum rental profit target of 30% is desired for all leased products, so the BEP (Package) to
be achieved is 28 rentals in a year to break even. From the results of the study in 2016, leasing
GSG PCR has gained profit planning of 47% or exceeded the desired target so that the BEP has
been achieved.
Keywords: Break Even Point, Profit Planning

Dokumen diterima pada Rabu 7 M aret, 2018


Dipublikasikan pada Kamis 31 M ei, 2018
32 Ari Supriadi, Suci Nurulita dan Yefni

1. Pendahuluan
Dalam dunia usaha, setiap perusahaan atau entitas dalam menjalankan usahanya
memiliki beberapa tujuan, salah satu nya memperoleh laba dari usaha yang dijalankan. Untuk
lembaga sosial seperti sekolah, perguruan tinggi, rumah ibadah, rumah sakit atau entitas nirlaba
lainnya yang didirikan tanpa dasar untuk memperoleh laba, namun tidak menutupi
kemungkinan bahwa setiap entitas nirlaba tersebut perlu juga mempertimbangkan laba dengan
mendayagunakan asset yang dimiliki untuk dijalankan sebagai salah satu kegiatan demi
keberlangsungan entitas tersebut. Dengan demikian, dibutuhkan peran aktif manajemen untuk
mengelola sumber daya yang ada didalamnya. Salah satu peran manajemen yaitu melakukan
perencanaan yang harus ditempuh dimasa yang akan datang untuk mewujudkan suatu tujuan
yang diharapkan.
Salah satu perencanaan yang dilakukan manajemen perusahaan yaitu perencanaan laba.
Perencanaan laba merupakan langkah-langkah atau strategi yang dilakukan manajemen
perusahaan untuk mencapai target laba yang diinginkan. Laba adalah selisih antara penjualan
setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan. Laba dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu
biaya, volume, dan harga jual. Untuk meningkatkan laba yang diinginkan, suatu perusahaan
dapat menaikkan harga jual suatu barang atau jasa, mengefisiensikan biaya-biaya dalam
perusahaan atau dengan meningkatkan penjualan (barang atau jasa).
Alat bantu yang digunakan manajemen dalam perencanaan laba adalah analisis BEP
atau titik impas. BEP atau titik impas adalah suatu titik perusahaan tidak memperoleh
keuntungan dan tidak pula menderita kerugian atau dimana pendapatan dari hasil penjualan
barang atau jasa hanya dapat menutupi biaya-biaya untuk menghasilkan barang atau jasa
tersebut. Menurut Mulyadi [6], titik impas (BEP) adalah keadaan suatu usaha yang memperoleh
laba dan tidak menderita rugi. Suatu usaha dikatakan impas jika jumlah pendapatan (revenue)
sama dengan jumlah biaya, atau apabila laba kontribusi hanya dapat digunakan untuk menutup
biaya tetap saja. Jadi dapat disimpulkan bahwa suatu perusahaan akan mencapai keadaan BEP
apabila total penerimaan sama dengan total biaya. Adapun hal-hal yang berhubungan dengan
analisis BEP yaitu suatu hubungan antara biaya tetap, biaya variabel, keuntungan, dan volume
penjualan. Dengan melakukan analisis BEP ini, pihak manajemen dapat memperoleh informasi
yaitu berapa tingkat volume penjualan yang harus dicapai agar perusahaan memperoleh laba
yang diinginkan atau perusahaan tidak mengalami keuntungan atau kerugian. Dari penjelasan
tersebut dapat disimpulkan bahwa BEP sangat berguna bagi pihak manajemen dalam
menentukan harga jual, biaya dan jumlah produksi suatu produk barang atau jasa yang
dihasilkan guna memperoleh laba yang dinginkan.
Politeknik Caltex Riau (PCR) adalah salah satu kampus swasta yang terdapat di
Provinsi Riau yang memiliki 2 gedung yaitu gedung utama dan gedung serba guna (GSG).
Kedua gedung ini dipergunakan untuk aktivitas akademik proses belajar mengajar maupun non
akademik. Selain dari kegiatan akademik yang dilaksanakan, PCR saat ini juga menawarkan
jasa sewa GSG untuk acara–acara resmi dan resepsi pernikahan untuk pihak umum dan alumni.
Dari hasil penyewaan GSG tersebut, PCR dapat menambah pendapatan untuk meningkatkan
produktivitas terutama dalam mendukung kegiatan perkuliahan di PCR tersebut. Saat ini harga
sewa GSG yang ditawarkan PCR bervariatif. Keputusan mengenai harga ini diambil dari
kebijaksanaan manajemen yayasan berdasarkan harga pasar yang berlaku untuk penyewaan
gedung di Kota Pekanbaru.
Politeknik Caltex Riau selama ini belum melakukan perencanaan laba terhadap GSG,
sehingga pihak manajemen Yayasan Politeknik Chevron Riau belum mengetahui sampai berapa
kali jumlah minimal penyewaan jasa GSG tersebut berdasarkan masing-masing kategori
penyewaanya agar tidak menderita kerugian. Dalam hal ini, dibutuhkan perhitungan yang jelas
terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan untuk operasional GSG agar Yayasan Politeknik
Chevron Riau bisa mempertimbangkan dan mengelompokkan mana biaya-biaya yang relevan
(biaya tetap dan biaya variabel) dan mana yang tidak relevan berdasarkan masing-masing
kategori sewa. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada Yayasan
Analisis BEP Sebagai Dasar Perencanaan Laba Pada Gedung Serba Guna PCR 33

Politeknik Chevron Riau untuk mengetahui berapa kali penyewaan GSG tersebut dapat
mengembalikan modal investasi ataupun mencapai titik impas.

2. Tinjauan Pustaka

2.1 Break Even Point


Break Even Point (BEP) merupakan salah satu bentuk akuntansi manajemen khususnya
analisis Cost Volume Profit (CVP) yang populer dengan perhitungan titik impas perusahaan
yang menunjukkan volume pendapatan yang tidak menimbulkan laba atau rugi. BEP berarti
suatu keadaan dimana perusahaan tidak mengalami laba dan juga tidak mengalami rugi artinya
seluruh biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan produksi ini dapat ditutupi oleh penghasilan
penjualan. Total biaya (biaya tetap dan biaya variabel) sama dengan total penjualan sehingga
tidak ada laba tidak ada rugi, Witjaksono [9].
Menurut Surjadi [7], BEP adalah suatu keadaan impas yaitu apabila telah disusun
perhitungan laba dan rugi suatu periode tertentu, perusahaan tersebut tidak mendapat
keuntungan dan sebaliknya tidak menderita kerugian. Menurut Dunia [1], BEP adalah tingkat
penjualan yang diperlukan untuk menutupi semua biaya operasional, dimana break even
tersebut laba sebelum bunga dan pajak sama dengan nol (0).
Analisa BEP memberikan penerapa yang luas untuk menguji tindakan-tindakan yang
diusulkan dalam mempertimbangkan alternatif-alternatif atau tujuan pengambilan keputusan
yang lain. Analisa BEP tidak hanya sematamata untuk mengetahui keadaan perusahaan yang
break even saja, akan tetapi analisa break even point mampu memberikan informasi kepada
pimpinan perusahaan mengenai berbagai tingkat volume penjualan, serta hubungan dengan
kemungkinan memperoleh laba menurut tingkat penjualan yang bersangkutan, Horngren [2].
Menurut Kasmir [5], analisis titik impas juga sering disebut analisis perencanaan laba
(profit planing). Analisis ini biasanya lebih sering digunakan apabila perusahaan ingin
mengeluarkan produk baru. Artinya, dalam memproduksi produk baru tentu berkaitan dengan
masalah biaya yang harus dikeluarkan. Kemudian penentuan harga jual serta jumlah barang atau
jasa yang akan diproduksi atau dijual kekonsumen, baik dalam unit maupun rupiah. Salah satu
kegunaan titik impas ialah untuk mengetahui pada jumlah berapa hasil penjualan sama dengan
biaya. Suatu perusahaan beroperasi dalam kondisi tidak laba dan tidak pula rugi, atau laba sama
dengan nol. Melalui titik impas kita akan mengetahui bagaimana hubungan antara biaya tetap,
biaya variabel, tingkat keuntungan yang diinginkan, dan volume kegiatan (penjualan dan
produksi). Manfaat lain dari analisis titik impas untuk membantu manajer mengambil keputusan
dalam hal aliran kas, jumlah permintaan (produksi), dan penentuan harga suatu produk tertentu.

2.2 Margin Of Safety


Pengertian margin of safety menurut Warindrani [8] adalah penjualan sesungguhnya di
atas volume penjualan BEP. Margin of safety juga memberi petunjuk tentang sampai seberapa
banyak penjualan boleh turun sebelum perusahaan mengalami kerugian. Informasi mengenai
Margin of safety juga dapat menunjukkan mengenai risiko usaha suatu perusahaan. Perusahaan
yang mempunyai margin of safety yang besar kurang rentan terhadap dampak penurunan
permintaan penjualan. Penyebabnya yaitu kemerosotan ekonomi, perubahan perilaku
konsumen, ataupun kondisi persaingan bisnis.
Margin of safety adalah suatu informasi mengenai sampai tingkat berapa perusahaan
boleh mengalami penurunan penjualan namun perusahaan tidak mengalami kerugian. Margin
of safety dicari dengan mengurangi jumlah penjualan pada titik impas, semakin besar margin of
safety semakin besar perusahaan dapat memperoleh laba dan begitu pula sebaliknya. Margin of
Safety merupakan angka yang menunjukan jarak antara penjualan yang direncanakan atau yang
dianggarkan (budgeting) dengan penjualan pada BEP, Witjaksono [9]. Dengan demikian
Margin of Safety juga menggambarkan batas jarak dimana jika penjualan berkurang melampaui
batas jarak antara penjualan yang direncanakan dengan penjualan pada BEP tersebut, maka
perusahaan akan menderita rugi.
34 Ari Supriadi, Suci Nurulita dan Yefni

2.3 Hubungan antara BEP dengan Perencanaan Laba


Menurut Jumingan [3], analisis BEP sangat bermanfaat untuk merencanakan penjualan
dan laba perusahaan, dengan mengetahui besarnya BEP maka dapat menentukan berapa jumlah
minimal produk yang harus dijual dan harga jualnya untuk meningkatkan laba perusahaan.
Penerapan analisis BEP merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk menetapkan
harga dengan cara menentukan biaya yang dikeluarkan perusahaan dengan tingkat laba yang
diharapkan.
Dengan demikian, analisis BEP adalah suatu alat yang di gunakan untuk mempelajari
hubungan antara biaya tetap, biaya variabel, keuntungan dan volume penjualan. Oleh karena itu,
analisis BEP merupakan alat yang efektif dalam menyajikan informasi manajemen untuk
keperluan perencanaan laba sehingga manajer dapat memilih berbagai usulan kegiatan yang
akan memberikan kontribusi terbesar terhadap pencapaian laba di masa yang akan datang.
Dengan melakukan analisis BEP, manajemen akan memperoleh informasi tingkat
penjualan minimal yang harus dicapai, dan juga dapat diketahui sampai seberapa jauh volume
penjualan yang direncanakan boleh turun agar tidak mengalami kerugian. Sebagai contoh jika
perusahaan sudah mengetahui titik impas, maka dapat ditentukan perencanaan labanya agar
dapat mengetahui penjualan minimal.

3. Metodologi Penelitian

3.1 Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan oleh penulis di Politeknik Caltex Riau yang beralamat di
Jalan Umban Sari No. 1 Rumbai, Pekanbaru (Riau).

3.2 Jenis dan Sumber Data


Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data Sekunder
adalah data yang mengacu pada informasi yang dikumpulkan atau telah diolah dari sumber yang
telah ada. Sumber data sekunder ini adalah catatan laporan atau dokumentasi perusahaan.
Sedangkan data primer merupakan data yang diperoleh langsung di lapangan oleh peneliti
sebagai obyek penulisan. Metode wawancara mendalam dipergunakan untuk memperoleh data
dengan metode wawancara dengan narasumber yang akan diwawancarai.

3.3 Teknik Pengumpulan Data


Dalam penulisan proyek akhir ini, teknik pengumpulan data dan informasi yang
dilakukan penulis adalah menggunakan Teknik wawancara dan dokumentasi. Wawancara
adalah teknik pengumpulan data dengan cara wawancara atau memberikan pertanyaan secara
langsung kepada pihak yang bersangkutan yaitu Ketua Yayasan dan staff. Data yang didapat
seperti sejarah berdirinya PCR, bagaimana awal mulanya berdirinya PCR, tujuan dan manfaat
kampus PCR bagi pihak internal maupun pihak eksternal, bagaimana penetapan harga sewa
GSG dan lain-lain. Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang bersumber dari
dokumen-dokumen, bukti transaksi, dan arsip yang berhubungan dengan penelitian ini.

3.4 Analisis Data


Analisis data bertujuan untuk mempermudah terhadap pemahaman data sehingga lebih
dimengerti. Berikut langkah-langkah dan tahapan penulis dalam menganalisa dan perhitungan
data yang diperoleh:
1. Mengumpulkan data-data yang diperlukan dalam penelitian ini langsung dari Politeknik
Caltex Riau seperti catatan jumlah penyewaan, biaya tenaga kerja langsung dan biaya
lain-lain (Rencana Anggaran Biaya).
2. Melakukan pemisahan dan perhitungan terhadap biaya-biaya untuk setiap produk yang
ditawarkan Yayasan Politeknik Caltex Riau seperti:
Analisis BEP Sebagai Dasar Perencanaan Laba Pada Gedung Serba Guna PCR 35

Tabel 1. Klasifikasi Biaya


Biaya Tetap Biaya Variabel
1. Depresiasi Aset Tetap Paket A,B ,C & 1. Biaya Tenaga Kerja Langsung
D Biaya catering
2. Biaya Tenaga Kerja Tidak Langsung 2. Biaya Kursi dan Sarung
3. Biaya peralatan 3. Biaya katering
4. Biaya listrik 4. Biaya Mini Garden
5. Biaya pemeliharaan alas meja dan
kursi
6. Biaya Perlengkapan
7. Biaya Transportasi
8. Biaya Orgen Tunggal
9. Biaya Lain-lain

3. Memisahkan biaya semi variabel menjadi biaya tetap dan biaya variabel untuk setiap
produk yang ditawarkan.
4. Melakukan perhitungan titik impas untuk setiap produk yang ditawarkan baik BEP
dalam bentuk Rupiah (Rp) maupun BEP dalam bentuk kuantitas/unit dengan
Rumusnya yaitu:
BEP = Biaya Tetap {[MK(a) x Prop(a) x (MK(b) x Prop(b))]}
Sumber: Kamarrudin [4]

Keterangan:
Prop = Proporsi penjualan yang direncanakan atas Produk A, Produk B, dan Produk C
MK = Margin Kontribusi

5. Melakukan perhitungan Margin of Safety yaitu menggambarkan batas jarak, dimana


kalau berkurangnya penjualan melampaui batas jarak tersebut perusahaan akan
menderita kerugian. Rumusnya yaitu:
Margin of Safety = Total Penjualan – Penjualan BEP
Sumber: Warindrani [8]

Margin of Safety dapat dinyatakan dalam rupiah atau dalam bentuk persentase.
Persentase ini dicari dengan membagi Margin of Safety dengan jumlah rupiah
penjualan, seperti rumus berikut ini:
Persentase MOS = Target Penjualan BEP Penjualan x 100
Sumber: Warindrani [8]

6. Menentukan penjualan minimal sesuai dengan laba yang telah rencanakan.


Perhitungannya dengan menambahkan biaya tetap dan laba yang diinginkan lalu
membaginya dengan Contribution Margin per unit, seperti rumus berikut ini:
Penjualan Minimal = FC + Laba yang diinginkan CM per
unit
Sumber: Warindrani [8]

7. Kesimpulan dari hasil perhitungan yang didapat maka diambil yaitu bagaimana analisis
BEP ini berfungsi membantu perusahaan dalam merencanakan laba di masa yang akan
datang. Jika hasil perhitungan menunjukkan jumlah BEP dalam beberapa unit,
perusahaan dapat merencanakan untuk memproduksi unit lebih besar dari batas BEP
sehingga perusahaan dapat memperoleh laba.
36 Ari Supriadi, Suci Nurulita dan Yefni

4. Hasil Pembahasan
GSG PCR merupakan salah satu gedung yang digunakan dalam penyewaan jasa baik
untuk pihak umum maupun alumni PCR berdasarkan produk-produk yang ditawarkan yaitu
Paket A, Paket B, Paket C dan Paket D. Adapun paket produk tersebut adalah paket pernikahan
untuk pihak umum minimal 500 pax dengan harga normal yaitu Rp 21.000.000,- sedangkan
paket pernikahan untuk pihak alumni diberikan discount 40% dari harga normal. Pada tahun
2016, untuk acara pernikahan GSG PCR disewakan sebanyak 43 kali dalam 1 tahun tersebut.
Dalam proses penyewaannya, GSG PCR mengeluarkan berbagai biaya-biaya yang digolongkan
menjadi biaya tetap dan biaya variabel. Berikut data biaya selama penyewaan pada tahun
tersebut :

Tabel 2 . Data Biaya Penyewaan tahun 2016


Jenis Biaya Biaya
Biaya Tetap:
Depresiasi Aset Tetap Paket A,B,C & D Rp 130.683.994
Biaya Tenaga Kerja Tidak Langsung Rp 31.950.000
Biaya Peralatan Rp 1.697.554
Biaya Listrik Rp 4.724.324

Biaya Variabel:
Biaya Tenaga Kerja Langsung Rp 241.128.950
Biaya Kursi dan Sarung Rp 21.184.800
Biaya katering Rp 96.200.000
Biaya Mini Garden Rp 33.683.319
Biaya Pemeliharaan Alas meja dan kursi Rp 1.892.000
Biaya perlengkapan Rp 8.062.500
Biaya transportasi Rp 8.600.000
Biaya Orgen Tunggal Rp 5.700.000
Biaya lain-lain Rp 31.449.125

Sumber: Data Olahan, 2017


Berdasarkan Tabel No.2 tersebut dijelaskan bahwa total biaya tetap atas penyewaan
GSG PCR dalam setahun yaitu sebesar Rp 169.055.872. Selain menghitung biaya tetap, dalam
menghitung BEP diperlukan juga perhitungan biaya variabel. Biaya variabel secara keseluruhan
yang telah dihitung berdasarkan data history pada tahun 2016 berdasarkan paket, jumlah
kapasitas dan jumlah penyewaannya setahun, dapat diketahui bahwa total biaya variabel adalah
sebesar Rp 447.900.694.

4.1 Analisis Perhitungan BEP Berdasarkan History Penyewaan


Dalam perhitungannya, peneliti melakukan perhitungan titik impas (BEP) yang
berfokus pada multiproduk yang terdiri dari 8 paket, 4 paket untuk Pihak Umum dan 4 paket
untuk Pihak Alumni. Selain itu, titik impas atau BEP GSG mempunyai total tingkat penyewaan
yang sama besar dengan total biaya. Menurut Mulyadi (1997) Marjin kontribusi atau laba
kontribusi merupakan kelebihan pendapatan penjualan diatas biaya variabel atau selisih antara
penjualan dengan biaya variabel untuk menutupi biaya tetap. Sebelum melakukan perhitungan
BEP untuk pihak Umum dan Alumni berdasarkan produk-produknya, peneliti akan menghitung
BEP nya berdasarkan history yang telah terjadi sebelumnya, yaitu pada tahun 2016. Maka harus
diketahui jumlah data masing-masing penyewaannya setiap paket beserta sales mix-nya yang
dapat dilihat pada Tabel No.3 sebagai berikut:
Analisis BEP Sebagai Dasar Perencanaan Laba Pada Gedung Serba Guna PCR 37

Tabel 3. Perhitungan data S ales Mix dari setiap penyewaan


Data Penyewaan Paket Sales Paket Sales
Umum Mix (% ) Alumni Mix (% )
Paket A Nanang 1 2% 1 2%
Paket B Seroja - - - -
Paket C Seroja 1 2% 1 2%
Paket D Tanpa 26 61% 13 31%
Katering
Jumlah 28 kali 65% 15 Kali 35%
Sumber : Data Olahan, 2017

Setelah mengetahui total biaya variabel dan biaya tetap nya dalam setahun pada tahun 2016,
maka langkah selanjutnya yaitu menghitung marjin kontribusi paket (WACM) nya dengan
komponen harga sewa, biaya variabel, marjin kontribusi, dan sales mix berdasarkan masing-
masing paket penyewaannya pada tahun 2016. Peneliti melakukan perhitungan terhadap
produk-produk yang hanya disewakan saja baik yang disewa Pihak Umum maupun yang disewa
Pihak Alumni pada tahun 2016 yang dapat dilihat pada Tabel No.4 sebagai berikut:

Tabel 4. Perhitungan nilai paket marjin kontribusi berdasarkan penyewaan setiap paket
Pihak Umum dan Alumni
Package
Paket A M arjin Contribution
Harga Sewa Biaya Variabel Sales M ix
Nanang Kontribusi M argin
/ WACM
700 Pax Rp 60.000.000 Rp 40.886.258 Rp 19.113.742 0,02 Rp 444.506

Package
Paket C M arjin Sales Contribution
Harga Sewa Biaya Variabel
Seroja Kontribusi M ix M argin
/ WACM

800 Pax Rp 51.000.000 Rp 32.644.458 Rp 18.355.542 0,02 Rp 426.873

Package
Paket D
M arjin Contribution
Tanpa Harga Sewa Biaya Variabel Sales M ix
Kontribusi M argin
Katering
/ WACM

800 Pax Rp 21.000.000 Rp 8.019.458 Rp 12.980.542 0,61 Rp 7.848.700

Package
Paket A M arjin Contribution
Harga Sewa Biaya Variabel Sales M ix
Nanang Kontribusi M argin
/ WACM

600 Pax Rp 43.500.000 Rp 36.328.058 Rp 7.171.942 0,02 Rp 166.789

Package
Paket C M arjin Contribution
Harga Sewa Biaya Variabel Sales M ix
Seroja Kontribusi M argin
/ WACM

500 Pax Rp 30.500.000 Rp 23.769.858 Rp 6.730.142 0,02 Rp 156.515


38 Ari Supriadi, Suci Nurulita dan Yefni

Pihak Umum dan Alumni

Package
Paket D
M arjin Contribution
Tanpa Harga Sewa Biaya Variabel Sales M ix
Kontribusi M argin
Katering
/ WACM

1000 Pax Rp 13.500.000 Rp 8.135.858 Rp 5.364.142 0,31 Rp 1.621.717


Sumber : Data Olahan, 2017

Tabel No.4 menjelaskan perhitungan untuk mencari nilai marjin kontribusi paket
berdasarkan harga sewa, biaya variabel dan sales mix. Sebelum mendapatkan hasil marjin
kontribusi paket, maka diperlukan langkah untuk menghitung marjin kontribusi (sewa) dengan
cara harga sewa dikurangi dengan biaya variabel dan dikalikan dengan sales mix, sehingga
didapatkan hasil Weight average contribution margin (WACM) nya setiap masing-masing paket
nya. Berikut adalah contoh perhitungan menghitung Weight Average Contribution Margin
(WACM) nya, yaitu Paket A Nanang kapasitas 700 pax:
Langkah 1:
Marjin kontribusi (sewa) = Harga sewa – Biaya Variabel
Marjin kontribusi (sewa) = Rp 60.000.000 – Rp 40.886.258 (Biaya katering+biaya
kursi+ biaya variabel per acara paket A Nanang) = Rp 19.113.742
Langkah 2:
WACM per paket = Marjin Kontribusi (sewa) x sales mix
WACM mixmix
per paket = Rp19.113.742 x 0,02
= Rp 444.506 (Paket A Nanang kapasitas 700)
Untuk mencari perhitungan WACM per paket lainnya, dapat dilakukan dengan langkah seperti
contoh diatas. Adapun hasil atau total WACM untuk keseluruhan dari setiap paket yang
disewakan pada tahun 2016 yaitu sebesar Rp 10.665.100.

Untuk menghitung BEP paket, maka dapat digunakan rumus sebagai berikut:
BEP Paket = Total Biaya Tetap
Total WACM keseluruhan

BEP Paket = Rp169.055.872 = 16 Paket


Rp10.665.100
Dari perhitungan tersebut dapat diketahui bahwa BEP paket penyewaanya adalah minimal 16
kali. Langkah selanjutnya yaitu menghitung BEP (Sewa) untuk setiap masing-masing paket
yang disewakan berdasarkan hasil perkalian dari BEP Paket secara keseluruhan dikali dengan
sales mix masing-masing setiap paketnya. Berikut contoh perhitungan untuk Paket A Pihak
Umum dengan hasil perhitungan pada Tabel No.5 sebagai berikut:
BEP Sewa (Paket A Nanang Pihak Umum) = BEP Paket x Sales Mix paket A Nanang Pihak Umum
= 16 x 0,02 = 1

Tabel 5. Perhitungan BEP (Paket S ewa)


No Data Penyewaan Tahun 2016
Pihak Umum Alumni
1 Paket A Nanang 1 Kali 1 Kali
2 Paket B Seroja - -
3 Paket C Seroja 1 Kali 1 Kali
Analisis BEP Sebagai Dasar Perencanaan Laba Pada Gedung Serba Guna PCR 39

4 Paket D Tanpa Katering 7 Kali 5 Kali


Sumber : Data Olahan, 2017

Setelah mengetahui BEP (Sewa) masing-masing paketnya, selanjutnya yaitu melakukan


pembuktian untuk memastikan Total Marjin kontribusi sama nilai nya dengan Total biaya tetap
sehingga membuktikan hasil BEP atau titik impas nya nol. Berikut adalah Tabel No.6 sebagai
pembuktiannya:
Tabel 6. Pembuktian Hasil BEP sama dengan nol atau mencapai titik impas
Keterangan Umum Alumni Total

Paket A Paket C Paket D Paket A Paket C Paket D


Nanang Seroja T anpa Nanang Seroja T anpa
Katering Katering
Pendapatan
Penyewaan 60.000.000 51.000.000 147.000.000 43.500.000 30.500.000 67.500.000 399.500.000
T otal Biaya
Variabel 40.886.258 32.644.458 56.136.206 36.328.058 23.769.858 40.679.290 230.444.128
Marjin
Kontribusi 19.113.742 18.355.542 90.863.794 7.171.942 6.730.142 26.820.710 169.055.872
Total Fixed
Cost 169.055.872
-

Sumber: Data Olahan, 2017


Dari Tabel No.6 dapat dijelaskan bahwa untuk mencari total penjualan penyewaan
(BEP Rupiah) contohnya pada paket A Nanang (Pihak Umum) sebesar Rp60.000.000 didapat
dari harga sewa dikalikan dengan BEP (Sewa) untuk Paket A Nanang (Pihak Umum) sebesar 1
kali. Adapun harga sewa Paket A Nanang (Pihak Umum) sebesar (Rp60.000.000 x 1 kali) =
Rp60.000.000. Sedangkan biaya variabel Paket A Nanang (Pihak Umum), didapatkan dari biaya
variabel dikalikan dengan BEP (Sewa) sebesar 1 kali. Adapun biaya variabel Paket A Nanang
(Pihak Umum) sebesar (Rp40.886.258 x 1 kali) = Rp40.886.258, sehingga pembuktian bahwa
hasil BEP untuk seluruh paket atau produk baik Pihak Umum atau pun Pihak Alumni sama
dengan nol total marjin kontribusi dengan total biaya tetapnya, sehingga mencapai titik impas
atau BEP nya dari keseluruhan.

4.2 Perhitungan Perencanaan Laba Sewa


Perhitungan laba dilakukan dengan cara total penyewaan dikurangi dengan total biaya.
Adapun total pendapatan penyewaan GSG PCR selama tahun 2016 adalah sebesar Rp
906.500.000,- dan total biayanya sebesar Rp 616.956.566,-. Berdasarkan perhitungan laba, GSG
PCR mengalami keuntungan sebesar Rp 289.543.434. Persentase laba GSG PCR pada tahun
2016 adalah sebesar 47% mencapai atau melebihi titik impasnya. Pihak manajemen yayasan
menghendaki laba minimal sebesar 30% dari BEP. Perhitungan target laba selama satu tahun
berdasarkan data history tahun 2016 adalah sebagai berikut:
Target laba satu tahun = 30% x BEP (Rp)
= 30% x Rp399.500.000
= Rp119.850.000

Berdasarkan perhitungan target laba satu tahun diatas, laba minimal yang diinginkan
GSG PCR adalah sebesar Rp Rp 119.850.000, maka Pihak Yayasan GSG PCR harus
menentukan paket yang dijual untuk memenuhi target laba minimal tersebut sebagai berikut:

Penyewaan Minimal = FC + Laba yang min diinginkan


WACM
=
Rp169.055.872 + Rp119.850.000
Rp10.665.100
= 28 kali penyewaan
40 Ari Supriadi, Suci Nurulita dan Yefni

Berdasarkan perhitungan penyewaan minimal diatas, untuk memenuhi target laba


minimal sebesar 30% maka GSG PCR harus tersewa paket sebanyak minimal 28 kali
penyewaan dengan menentukan paket apa saja yang minimal harus disewakan agar target
keuntungan tersebut dapat tercapai dalam setahun. Perhitungan tersebut dapat dilihat pada tabel
No.7 berdasarkan sales mix yang terjadi pada tahun 2016.
Tabel 7. Perhitungan Perencanaan Laba (S ewa) sebesar 30% dari BEP S ewa
Data Penyewaan Tahun 2016
Pihak Umum Alumni
Paket A Nanang 1 1
Paket B Seroja - -
Paket C Seroja 1 1
Paket D Tanpa Katering 16 8
Sumber: Data Olahan,2017
Tabel No.6 menjelaskan perhitungan BEP Sewa yang harus dilakukan agar mencapai
target laba sebesar 30% dari hasil BEP yang telah diperhitungkan sebelumnya. Jadi GSG PCR
harus bisa menyewakan paket A Nanang masing-masing sebanyak 1 kali untuk Pihak Umum
dan Alumni, paket C Seroja masing-masing sebanyak 1 kali untuk Pihak Umum dan Alumni
dan paket D Tanpa Katering masing-masing sebanyak 16 kali untuk Pihak Umum dan sebanyak
8 kali untuk Pihak Umum. Secara keseluruhan dapat disimpulkan laba penyewaan yang didapat
dari pendapatan sewa Gedung pada tahun 2016 sudah melebihi target laba yang diinginkan dan
sudah melampaui BEP.

5. Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan BEP setiap produk-produk yang ditawarkan
terdiri dari 8 paket, yaitu 4 paket untuk Pihak Umum dan 4 paket untuk Pihak Alumni serta data
yang diperoleh dari penyewaan GSG Politeknik Caltex Riau maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Perhitungan analisis BEP GSG untuk Pihak Umum dan Pihak Alumni berdasarkan
produk-produk yang ditawarkan pada tahun 2016, terdiri dari paket A Nanang, paket
B Seroja Katering, paket C Seroja Katering dan paket D Tanpa Katering. Adapun
penyewaan yang terjadi pada tahun 2016 yaitu sebanyak 43 kali dalam setahun.
Berdasarkan data history, total penyewaan yang terjadi pada tahun 2016 untuk Pihak
Umum yaitu sebanyak 28 kali dan untuk Pihak Alumni sebanyak 15 kali. Maka hasil
perhitungan BEP paket atau titik impas untuk Pihak Umum dan Alumni secara total
keseluruhan yaitu sebanyak 16 kali penyewaan dalam 1 tahun 2016 dan BEP (Rp)
secara total keseluruhan yaitu sebesar Rp399.500.000.

2. Target laba yang ingin dicapai oleh pihak yayasan PCR adalah minimal sebesar 30%
dari BEP, maka pihak manajemen yayasan GSG PCR harus bisa menyewakan GSG
sebanyak 28 kali penyewaan dalam setahun. Untuk Pihak Umum, paket A Nanang
sebesar 1 kali, paket C Seroja sebanyak 1 kali dan paket D Tanpa Katering 16 kali.
Sedangkan untuk Pihak alumni paket A Nanang sebesar 1 kali, paket C Seroja
sebanyak 1 kali dan paket D tanpa katering sebanyak 8 kali agar mencapai
perencanaan laba minimal sebesar 30%
Analisis BEP Sebagai Dasar Perencanaan Laba Pada Gedung Serba Guna PCR 41

5.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Manajemen gedung yayasan PCR disarankan menerapkan analisis perhitungan BEP
sebagai alat bantu dalam perencanaan laba penyewaan jasa gedung sehingga dapat
diketahui jumlah penyewaan minimum dalam setahun berdasarkan kapasitas-kapasitas
yang disediakan. Hal ini berguna untuk memberikan informasi atau gambaran mengenai
total penyewaan minimal yang harus dicapai agar menemukan nilai BEP atau titik
impasnya.
2. Pihak manajemen yayasan dapat melakukan peningkatan harga sewa per paket dan
kapasitasnya agar GSG PCR dapat melampaui titik impas. Dan juga untuk
meningkatkan penyewaan, pihak Yayasan harus memperluas ruang lingkup pemasaran
penyediaan jasa sewa di GSG PCR di berbagai daerah khususnya masyarakat di kota
Pekanbaru.

Daftar Pustaka
[1] Dunia, Firdaus.A, “Akuntansi Biaya”, Salemba Empat, 2012.

[2] Horngren, Charles.T, “Akuntansi Biaya, Edisi II”, PT. Macanan Jaya Cemerlang, 2010.

[3] Jumingan, “Analisis Laporan Keuangan”, Yogyakarta: Bumi Aksara, 2011.

[4] Kamaruddin, Ahmad. “Akuntansi Manajemen: Dasar-Dasar Konsep Biaya Dan


Pengambil Keputusan”, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013.

[5] Kasmir, “Pengantar Manajemen Keuangan. Edisi Pertama” Kencana Prenada Media,
2010.

[6] Mulyadi, “Akuntansi Manajemen”, Salemba Empat, Edisi 3, 2001.

[7] Surjadi, Lukman. “Akuntansi Biaya”, BPFE Yogyakarta, 2013.

[8] Warindrani, Armila Krisna. “Akuntansi Manajemen, Edisi Pertama”, Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2006.

[9] Witjaksono, A. “Akuntansi Biaya; Edisi Revisi”, Graha Ilmu, 2013.


42 Jurnal Akuntansi Keuangan dan Bisnis Vol. 11, No. 1, Mei 2018, 42-51

Jurnal Politeknik Caltex Riau


http://jurnal.pcr.ac.id

Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Effective Tax Rate


Vidiyanna Rizal Putri 1
1
STIE Indonesia Banking School, email: vidiputri@ibs.ac.id

Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji dan menganalisis hubungan profitabilitas,
leverage, intensitas modal dan kepemilikan Institusional terhadap penghindaran pajak yang
diproksikan oleh ETR. Pemilihan sampel menggunakan metode purposive sampling dan
observasi dari penelitian ini adalah sebanyak 7 perusahaan konstruksi yang terdaftar di BEI.
Data diperoleh dari data sekunder laporan keuangan perusahaan konstruksi, mulai dari tahun
2012 hingga 2016. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi
linier berganda. Hipotesis dalam penelitian ini didasarkan pada penelitian sebelumnya dan
berbagai teori pendukung lainnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Intersity modal dan
Kepemilikan institusional tidak berpengaruh pada penghindaran pajak dan profitabilitas dan
leverage berpengaruh positif signifikan terhadap tax avoidance pada perusahaan konstruksi.
Kata kunci: Profitabilitas, Leverage, intensitas modal, kepemilikan institusional, Penghindaran
Pajak

Abstract
The purpose of this research is to examine and analyze the relation of profitability, leverage,
capital intensity and Institusional ownership against tax avoidance proxied by ETR. The sample
selection using purposive sampling method and observation from this research is as many as 7
construction companies listed in BEI. Data obtained from secondary data of financial statements
of construction companies, starting from 2012 until 2016. Analysis technique used in this
research is multiple linear regression analysis. The hypothesis in this study is based on previous
research and various other supporting theories. The results of this study indicate that Capital
intesity and institusional Ownership have no effect on tax avoidance and profitability and
leverage have a significant positive effect on tax avoidancein construction companies.

Keywords: Institutional Pressures, Affective Commitment Management, PMS Implementation,


Accountability, Performance

1. Pendahuluan
Sumber pendapatan utama suatu negara salah satu nya adalah dari penerimaan pajak.
Indonesia yang merupakan negara berkembang yang membutuhkan dana untuk pembangunan di
segala bidang, demi meningkatkan kesejahteraan penduduknya. Definisi pajak menurut Undang-
Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada Pasal 1
ayat 1, Pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Pendapatan negara yang bersumber dari pajak adalah sekitar 84,8% yaitu 1.546,7 triliun

Dokumen diterima pada Senin 15 Januari, 2018


Dipublikasikan pada Kamis 31 M ei, 2018
Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Effective Tax Rate 43

rupiah dari total pendapatan negara 1.822,5 triliun rupiah dalam APBN-P 2016 Penerimaan
tersebut antara lain digunakan untuk meningkatkan pendidikan dan kesejahteraan rakyat,
membangun infrastruktur pendorong pertumbuhan ekonomi, mendukung ketahanan dan
keamanan, serta untuk pembangunan di daerah (RAPBN 2014). Dalam pelaksanaannya,
pemungutan pajak oleh pemerintah, tidak selalu mendapat sambutan baik dari perusahaan yang
merupakan subjek pajak. Perusahaan berusaha untuk membayar pajak serendah mungkin karena
pajak dianggap akan mengurangi pendapatan atau laba bersih, sedangkan pemerintah
mengharapkan pajak setinggi mungkin agar dapat membiayai rencana pembangunan. Perbedaan
kepentingan inilah yang menyebabkan wajib pajak berupaya mengurangi pembayaran pajak, baik
secara legal maupun ilegal. Perusahaan menggunakan tarif pajak efektif (Effective tax rate/ETR)
sebagai salah satu acuan dalam penetapan kebijakan sistem perpajakan perusahaan (Ardyansah,
2014). Penghindaran pajak secara legal (Tax Avoidance) diukur dengan Effective Tax Rate
perusahaan tersebut. Tarif pajak efektif (effective tax rate/ETR) dapat dijadikan kategori
pengukuran perencanaan pajak yang efektif, seperti yang diungkapkan oleh Karayan dan
Swenson (2007) dalam Ardyansah (2014), salah satu cara untuk mengukur seberapa baik sebuah
perusahaan mengelola pajaknya adalah dengan melihat persentase tarif efektifnya. Pada
prinsipnya effective tax rate (ETR) merupakan perbandingan antara kewajiban perpajakan yang
dihasilkan dari penghasilan kena pajak (PKP) berdasarkan peraturan perpajakan, terhadap laba
akuntansi berdasarkan standar akuntansi. Effective tax rate (ETR) dihitung dengan konsep
membagi kewajiban pajak perusahaan dengan laba atau arus kas sebelum pajak (Hanlon dan
Heitzman, 2010). Secara umum tindakan penghindaran pajak dianggap sebagai tindakan yang
legal karena lebih banyak memanfaatkancelahyang ada dalam peraturan perpajakan yang berlaku
(lawfull) (Santoso dan Ning, 2013. Faktor-faktor yang mempengaruhi penghindaran pajak (tax
avoidance) bisa bersumber dari faktor internal maupun faktor eksternal. Yang akan digunakan
sebagai variable independent dalam penilitian ini adalah profitabilitas (ROA), leverage (DAR),
struktur kepemilikan (kepemilikan institusional), dan Capital Intensity
Pada penelitian ini objek yang dipilih adalah perusahaan konstruksi yang ada di Indonesia
pada umumnya kepemilikan saham paling banyak atau mayoritas adalah dari pemerintah.
Berdasarkan pemaparan yang telah diuraikan, maka peneliti ingin melakukan penelitian yang
berjudul: Analisis faktor yang Mempengaruhi effective tax rate (studi empiris pada:
perusahaan konstruksi yang terdaftar di BEI periode 2012 – 2016) .

2. Landasan Teori
2.1 Teori Keagenan (Agency Theory)
Perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (lebih-lebih untuk yang telah terdaftar di
pasar modal), seringkali terjadi pemisahan antara pengelola perusahaan (pihak manajemen,
disebut juga sebagai agent) dengan pemilik perusahaan (atau pemegang saham, disebut juga
sebagai principal). Masalah keagenan (agency problem) muncul dalam dua bentuk, yaitu antara
pemilik perusahaan (principals) dengan pihak manajemen (agent), dan antara pemegang saham
dengan pemegang obligasi. Tujuan normatif pengambilan keputusan keuangan yang menyatakan
bahwa keputusan diambil untuk memaksimumkan kemakmuran pemilik perusahaan, hanya
benar apabila pengambil keputusan keuangan (agent) memang mengambil keputusan dengan
maksud untuk kepentingan para pemilik perusahaan (Husnan dan Pudjiastuti, 2012).

2.2 Pajak

Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang paling besar. Salah satu usaha
untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa dan negara dalam pembiayaan pembangunan yaitu
menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk
membiayai pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama. Pajak adalah iuran kepada
negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh ang wajib membayarnya menurut peraturan-
peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang
44 Vidiyanna Rizal Putri

gunanya adalah untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umum berhubung dengan


tugasnegara yang menyelenggarakan pemerintahan, Waluyo [8].

2.3 Effective Tax Rate Effective tax rate (ETR)

Laba (income) sering dinyatakan sebagai indikasi kemampuan perusahaan membayar


dividen. Dalam konsep laba, laba dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu dilihat dari sisi
ekonomi dan sisi akuntansi. Laba akuntansi atau laba yang dilaporkan berbeda dari laba
ekonomi. Hal ini disebabkan akuntan menggunakan kriteria berbeda untuk menentukan laba.
Kinerja akuntansi dari suatu perusahaan dapat diukur dengan laba akuntansi dan total arus
kas. Belkaoui (2012) menyatakan bahwa laba akuntansi secara operasional didefinis ikan
sebagai perbedaan antara pendapatan yang direalisasikan yang berasal dari transaksi suatu
periode dan berhubungan dengan biaya historis.
Di dalam laba akuntansi terdapat berbagai komponen yaitu kombinasi beberapa komponen
pokok seperti laba kotor laba usaha laba sebelum pajak dan laba sesudah pajak. Sehingga dalam
menentukan besar laba akuntansi investor dapat melihat dari perhitungan laba setelah pajak.
2.4 Tax Avoidance
Pengaturan untuk meminimumkan atau menghilangkan beban pajak dengan
mempertimbangkan akibat pajak yang ditimbulkannya. Tax Avoidance bukan pelanggaran
undang – undang perpajakan karena usaha wajib pajak untuk mengurangi, menghindari,
meminimumkan dan meringankan beban pajak dilakukan dengan cara yang dimungkinkan oleh
Undang – Undang pajak (Kurniasih & Sari [4]). Upaya meminimalkan pajak secara eufimisme
sering disebut dengan perencanaan pajak (tax planning). Pelaksanaan tax avoidance yang
dilakukan diberbagai negara berbeda-beda sesuai dengan peraturan perpajakan yang ada dalam
negara tersebut. Untuk negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia sering
terjadi praktik tax avoidance yang dilakukan dengan cara tidak melaporkan pendapatan sesuai
dengan hal yang sebenarnya (Uppal dalam Judi Budiman, 2011). Penghindaran pajak baik secara
legal (Tax Avoidance) adalah salah satu upaya meminimalisasi beban pajak yang sering
dilakukan oleh perusahaan, karena masih berada dalam bingkai peraturan perpajakan yang
berlaku
2.5 Profitabilitas
Profitabilitas merupakan rasio laba operasi dengan penjualan dari data laporan laba rugi
akhir tahun yang digunakan untuk menilai kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba
(Sujoko dalam Jeany C, et al ,2012). Metode yang digunakan untuk menilai profitabilitas dalam
penelitian ini yaitu dengan menggunakan ROA. Kenaikan ROA akan mengakibatkan kenaikan
ETR, (Yoehana, 2013). Menurut Rodiguez dan Arias (2012) profitabilitas merupakan salah satu
faktor penentu beban pajak, karena perusahaan yang memiliki keuntungan yang besar akan
membayar pajak setiap tahun. Perusahaan yang memiliki kemampuan untuk memperoleh
keuntungan harus mempersiapkan pajak yang akan dibayarkan sebesar pendapatan yang
diperoleh. Hal itu sejalan dengan penelitian Rodiguez dan Arias (2012) menyebutkan bahwa ada
hubungan yang positif antara kemampuan menghasilkan laba perusahaan dengan effective tax
rate (ETR). Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
H1 : Profitabilitas berpengaruh terhadap Effective Tax Rate
Leverage adalah salah satu rasio keuangan yang menggambarkan hubungan antara hutang
perusahaan terhadap modal maupun asset perusahaan. Leverage dihitung dari total utang dibagi
dengan total aset Semakin besar utang yang dimiliki perusahaan maka beban bunga yang harus
dibayarkan juga semakin tinggi. Perusahaan yang memiliki utang tinggi akan mendapatkan
insentif pajak berupa potongan atas bunga pinjaman sehingga perusahaan yang memiliki beban
pajak tinggi dapat melakukan penghematan pajak dengan cara menambah utang perusahaan
(Suyanto dan Suparmono, 2012). Pengeluaran bunga sebagai akibat adanya utang yang dimiliki
Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Effective Tax Rate 45

perusahaan dapat dikurangkan dari pajak sementara dividen tidak. Maka dengan perencanaan
keputusan struktur modal perusahaan yang tepat perusahaan dapat memperoleh manfaat pajak
dari pengurangan beban bunga. Upaya penghindaran pajak oleh perusahaan dapat berkurang.
H2 : Leverage berpengaruh terhadap Effective Tax Rate

2.6 Capital Intensity


Capital intensity ratio atau rasio intensitas modal adalah aktivitas investasi yang dilakukan
perusahaan yang dikaitkan dengan investasi dalam bentuk aset tetap (intensitas modal) dan
persediaan (intensitas persediaan). Rasio intensitas modal dapat menunjukkan tingkat efisiensi
perusahaan dalam menggunakan aktivanya untuk menghasilkan penjualan. Seluruh aset tetap
mengalami penyusutan dan beban penyusutan tersebut dapat mengurangi jumlah pajak yang
dibayar perusahaan. Seperti yang dijelaskan Hanum (2013) biaya depresiasi merupakan biaya
yang dapat dikurangkan dari penghasilan dalam menghitung pajak, maka semakin banyak jumlah
aset tetap yang dimiliki oleh perusahaan maka akan semakin besar pula beban depresiasinya
sehingga mengakibatkan jumlah penghasilan kena pajak dan tarif pajak efektifnya akan semakin
kecil. Lebih lanjut, Sabli dan Noor (2012) menjelaskan bahwa perusahaan yang mempunyai aset
tetap yang tinggi cenderung melakukan perencanaan pajak, sehingga mempunyai effective tax
rate yang rendah. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai
berikut:
H3 : Capital intensity ratio berpengaruh terhadap Effective Tax Rate
2.6 Kepemilikan Institusional
Stuktur Kepemilikan terdiri atas struktur kepemilikan institusional dan kepemilikan
manajerial. Kepemilikan institusional berperan penting dalam mengawasi kinerja manajemen
yang lebih optimal karena dianggap mampu memonitor setiap keputusan yang diambil oleh para
manajer secara efektif. Kepemilikan institusional merupakan proporsi kepemilikan saham oleh
institusi pendiri perusahaan, bukan institusi pemegang saham publik yang diukur dengan
presentase jumlah saham yang dimiliki oleh investor institusi intern (Sujoko dalam Fadhilah [3]).
Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa investor institusional memiliki tingkat pengendalian
yang tinggi terhadap tindakan manajemen yang dapat memperkecil potensi manajemen untuk
melakukan kecurangan yang merugikan pemegang saham. Terdapatnya andil kepemilikan
institusional dalam penetapan kebijakan pajak efektif memberikan hipotesis dalam penelitian ini
yaitu :
H4 : Kepemilikan Institusional berpengaruh terhadap Effective Tax Rate

3. Metodologi Peneletian
Penelitian ini ditujukan untuk menguji apakah, profitabilitas, leverage, capital intensity
dan kepemilikan institusional berpengaruh terhadap Effective Tax Rate/ETR (tax avoidance).
Obyek dari penelitian ini adalah perusahaan kontruksi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
pada periode tahun 2012 sampai dengan 2016. Populasi pada penelitian ini adalah perusahaan
kontruksi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan menerbitkan laporan keuangan pada
periode tahun 2012 hingga 2016. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive
sampling. Purposive sampling adalah salah satu teknik pengambilan sampel dalam
nonprobability sampling dimana informasi yang dikumpulkan dari target atau kelompok tertentu
dengan beberapa dasar atau pertimbangan tertentu (Sekaran [6]). Data yang diperoleh dalam
penelitian ini adalah data sekunder laporan keuangan dari perusahaan konstruksi yang terdaftar
di Bursa Efek Indonesia tahun 2012-2016. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini ada
analisis regersi berganda.

Variabel dependen atau variabel terikat adalah variabel utama yang menjadi faktor yang
berlaku dalam investigasi (Sekaran [6]). Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Effective Tax Rate (ETR). Penghindaran pajak dalam penelitian ini diproksikan dengan
46 Vidiyanna Rizal Putri

Effective Tax Rate (ETR) sebagai variabel dependen. ETR menggambarkan presentase total beban
pajak penghasilan yang dibayarkan perusahaan dari seluruh total pendapatan sebelum pajak yang
diperoleh perusahaan (Pradipta dan Supriyadi [5]).
𝒃𝒆𝒃𝒂𝒏 𝒑𝒂𝒋𝒂𝒌 𝒑𝒆𝒏𝒈𝒉𝒂𝒔𝒊𝒍𝒂𝒏
ETR = (1)
𝒑𝒆𝒏𝒅𝒂𝒑𝒂𝒕𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒃𝒆𝒍𝒖𝒎 𝒑𝒂𝒋𝒂𝒌
Variabel independen adalah variabel yang memengaruhi atau yang menjadi sebab
perubahannya atau timbulnya variabel dependen. Variabel independen yang digunakan adalah
profitabilitas, leverage, capital intensity dan kepemilikan institusional. Variabel independen
pertama adalah Profitabilitas perusahaan dapat diukur menggungakan Return on Asset (ROA).
Rasio profitabilitas adalah evaluasi rasio kinerja operasi yang umumnya mengaitkan pos laporan
laba rugi dengan penjualan (Subramanyam [7]). Penghitungan ROA diukur dengan model:
𝑳𝒂𝒃𝒂𝒓 𝑩𝒆𝒓𝒔𝒊𝒉+𝒃𝒆𝒃𝒂𝒏 𝒃𝒖𝒏𝒈𝒂 𝒙 (𝟏−𝒕𝒂𝒓𝒊𝒇 𝒑𝒂𝒋𝒂𝒌)
ROA = (2)
𝑹𝒂𝒕𝒂 𝒓𝒂𝒕𝒂 𝒕𝒐𝒕𝒂𝒍 𝒂𝒔𝒔𝒆𝒕
Leverage merupakan rasio yang mengukur kemampuan utang baik jangka panjang maupun
jangka pendek untuk membiayai aset perusahaan. Variabel ini diukur dengan menggunakan debt
to total asset ratio (DAR) karena dapat mengukur seberapa besar jumlah aset perusahaan dibiayai
dengan total utang. DAR adalah salah satu rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat
solvabilitas perusahaan (Dewinta dan Setiawan [1]).
𝒕𝒐𝒕𝒂𝒍 𝒍𝒊𝒂𝒃𝒊𝒍𝒊𝒕𝒚
Debt to total asset Ratio = (3)
𝒕𝒐𝒕𝒂𝒍 𝒂𝒔𝒔𝒆𝒕
Variabel independen berikutnya adala capital intensity. Capital intensity atau rasio intensitas
aset tetap adalah perbandingan aset tetap terhadap total aset sebuah perusahaan. Rasio intensitas
modal merupakan salah satu informasi yang penting bagi investor karena dapat menunjukkan
tingkat efisiensi penggunaan modal yang telah ditanamkan (Commanar and Willson,1967).
𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝑨𝒔𝒔𝒆𝒕 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑
Capital Intensity = 𝒙 𝟏𝟎𝟎% (4)
𝒕𝒐𝒕𝒂𝒍 𝒂𝒔𝒔𝒆𝒕
Variabel intependen terakhir adalah kepemilikan institusional. Kepemilikan institusional
adalah kepemilikan saham oleh pihak institusional. Kepemilikan institusional dalam penelitian
ini dihitung dengan menggunakan rasio kepemilikan saham institusional dibagi total saham
yang (Sugiarto, 2009).
𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒔𝒂𝒉𝒂𝒎 𝒊𝒏𝒔𝒕𝒊𝒕𝒖𝒔𝒊𝒐𝒏𝒂𝒍
Kepemilikan Institusional = 𝒙 𝟏𝟎𝟎% (5)
𝒋𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒔𝒂𝒉𝒂𝒎 𝒃𝒆𝒓𝒆𝒅𝒂𝒓
3.1 Model Penelitian
Statistik deskriptif menurut Ghozali [2], memberikan gambaran atau deskripsi suatu data
yang dilihat dari nilai rata-rata (mean), standar deviasi, varian, maksimum, sum, range, kurtosis
dan skewness (kemencengan distribusi). Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data panel. Uji analisis regresi data panel yang dilakukan yaitu: uji Chow dan uji hausman.
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan metode regresi linear berganda (multiple
regression) dengan menggunakan alat statistic EViews 9. Analisis regresi berganda adalah
analisis tentang hubungan antara satu dependent variable dengan dua atau lebih independent
variable. Model yang dilakukan oleh penelitian ini adalah:
ETR i,t = α + + β1 ROAi,t + β2 LEVi,t + β3 CIRi,t + β4 INSTOWi,t + e
Keterangan :
ETR i,t : penghindaran pajak yang diukur dengan menggunakan proksi ETR
∝ : Konstanta
β1, β2, β3, β4 : Koefisien regresi
ROA i,t : return on asset
Lev i,t : Leverage
CIR i,t : Capital Intensity
INSTOW i,t : Kepemilikan Institusional

4. Analisis Dan Pembahasan


4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian
Objek penelitian yang digunakan adalah perusahaan konstruksi yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia (BEI) periode tahun 2012-2016. Tahun yang dipilih dimulai dari tahun 2012
Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Effective Tax Rate 47

karena sebagian besar perusahaan konstruksi yang terdaftar di BEI pada tahun 2013 ke atas. BEI
dipilih sebagai sumber data utama karena BEI merupakan pasar saham terbesar dan utama di
Indonesia. Dimana perusahaan yang memenuhi kriteria dalam purposive sampling sebanyak 7
perusahaan dengan jumlah observasi 35.
4.2 Statistik Deskriptif
Berikut ini merupakan tabel hasil pengujian dari analisis statistik deskriptif untuk melihat
angka pada setiap variabel yang digunakan dalam penelitian ini.
Tabel 1. S tatistik Deskriptif

ETR ROA LEV CIR INSTOW


Mean 0.323686 0.034862 0.673274 0.077400 0.252400
Median 0.375000 0.036413 0.722580 0.063000 0.230000
maximum 0.500000 0.152147 0.849000 0.175000 0.641000
Minimum 0.023000 -0.24877 0.426987 0.002000 0.001000
Std. Dev 0.140600 0.056750 0.124491 0.051455 0.167970
Observation 35 35 35 35 35
Sumber: Hasil output Program Eviews 9.0

4.3 Uji Normalitas


Hasil uji normalitas disajikan dalam gambar 1 berikut ini:
7
Series: Standardized Residuals
6 Sample 2012 2016
Observations 35
5
Mean -7.93e-19
Median 0.019391
4
Maximum 0.109344
Minimum -0.175056
3
Std. Dev. 0.070474
Skewness -0.779766
2 Kurtosis 3.102355

1 Jarque-Bera 3.562153
Probability 0.168457
0
-0.20 -0.15 -0.10 -0.05 0.00 0.05 0.10

Gambar 1. Hasil Uji Normalitas

Sumber: Output Eviews, diolah 2017

Berdasarkan hasil pengolahan data menggunakan eviews 9, seperti yang tampak disajikan
pada gambar di atas menunjukkan bahwa semua variabel telah terdistribusi dengan normal. Hal
ini ditunjukkan dengan nilai probability Jarque- Bera yang lebih besar dari 5% yaitu 3,562153.
Dengan hasil ini maka dapat disimpulkan bahwa data telah terdistribusi normal dengan jumlah
observasi sebanyak 35.
4.4 Uji Multikolinieritas

Tabel 2. Hasil Uji Multikolinieritas

ROA LEV CIR INSTOW


ROA 1 0.14153 0.11021 -0.41246
LEV 0.1415 1 -0.3123 -0.69005
CIR 0.1102 -0.3123 1 -0.0684
-
INSTOW -0.69 -0.0683 1
0.4124
Sumber : Output Eviews, diolah 2017
48 Vidiyanna Rizal Putri

Pada tabel diatas dapat disimpulkan bahwa antar variabel independen tidak ada unsur
multikoleniaritas. Hasil yang didapat dari correlation matrix di atas menunjukkan korelasi antar
variabel kurang dari 0.85, artinya tidak ada unsur multikoleniaritas di dalam penelitian ini.

4.5 Uji Heterokedastisitas


Tabel di bawah menunjukkan hasil dari uji heterokedastisitas yang tampak sebagai berikut:

Tabel 3. Hasil Uji Heterokedastisitas

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

ROA 9.138931 11.1579 0.81905 0.4208


LEV -11.5336 9.79412 -1.1776 0.2505
CIR -15.8687 14.3648 -1.1047 0.2802

INSTOW -8.32963 14.808 -0.5625 0.579

C 2.635027 8.49942 0.31002 0.7592

Tabel 4. Hasil Uji Autokorelasi

Mean
R-squared 0.748757 dependent 0.323686
var
S.D.
Adjusted R-
0.644073 dependent 0.1406
squared
var
Akaike
S.E. of -
0.083881 info
regression 1.867549
criterion
Sum squared Schwarz -
0.168866
resid criterion 1.378725
Hannan-
-
Log likelihood 43.68211 Quinn
1.698807
criter.
Durbin-
F-statistic 7.15252 Watson 1.603493
stat
Prob(F-
0.00004
statistic)
S umber :Output Eviews, diolah 2017

Berdasarkan pengolahan data yang sudah dilakukan, maka diperoleh bahwa nilai DW
pada model penelitian sebesar 1.603493 yang artinya bahwa nilai D-W sesuai dengan kriteria
yang telah ditetapkan, sehingga dapat disimpulkan bahwa model penelitian tidak mengalami
autokorelasi.
Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Effective Tax Rate 49

4.6 Analisis Regresi Data Panel


Berikut ini adalah hasil dari regresi data panel dengan menggunakan alat statistik eviews 9
yang menunjukan pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen,
yaitu sebagai berikut:

Tabel 5. Hasil Uji Regresi Data Panel

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob


ROA 1.36194 0.315516 4.316547 0.0002
LEV 0.716449 0.276951 2.586914 0.0162
- -
CIR 0.406199 0.318
0.414194 1.019684
INSTOW 0.293465 0.418731 0.700845 0.4901
- -
C 0.240341 0.3121
0.248173 1.032589
S umber: Output Eviews, diolah 2017

Hasil regresi data panel model penelitian yang didapat adalah sebagai berikut:

ETR i,t = -0,248173 + 1.361940ROAIi,t +0.716449 LEVi,t-0.414194CIRi,t +


0.293465INSTOWi,t + e

Kesimpulan yang dapat diambil dari uji t persamaan adalah sebagai berikut:
1. Pengujian Hipotesis 1 ROA berpengaruh positif dan signifikan terhadap penghindaran
pajak. Hal ini berdasarkan tabel 4.11yang menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.0002
(0,2%) lebih kecil dari  0.05 (5%) maka Ho1 ditolak dan Ha2 diterima.
2. Pengujian Hipotesis 2 leverage (LEV) berpengaruh positif terhadap penghindaran pajak.
Hal ini berdasarkan tabel 4.11 yang menunjukan probabilitas sebesar 0.0162 (1,62 %)
lebih kecil dari 0.05 (5%), maka H02 ditolak dan Ha2 diterima.
3. Pengujian Hipotesis 3 Capital Intensity (CIR) tidak berpengaruh terhadap penghindaran
pajak. Hal ini berdasarkan tabel 4.11 yang menunjukkan probabilitas sebesar 0.3180lebih
besar dari  0.05 (5%) 05, maka Ho3 diterima dan Ha3 ditolak.
4. Pengujian Hipotesis 4 kepemilikan Institusional (INSTOW) tidak berpengaruh terhadap
penghindaran pajak. Hal ini berdasarkan tabel 4.11 yang menunjukkan probabilitas
sebesar 0.4901 lebih besar dari  0.05 (5%), maka Ho4 diterima dan Ha4 ditolak.
Uji Koefisien Determinasi atau yang biasa disebut Adjusted R Square pada penelitian ini
menunjukkan kemampuan model untuk menjelaskan hubungan antara variabel independen dan
variabel dependen. Nilai Adjusted R-squared selalu berada dikisaran antara 0 sampai 1. Nilai
Adjusted R-squared model penelitian pada tabel 4.10 adalah sebesar 0.644073 atau 64,4073%.
Hal ini menunjukkan bahwa profitability (ROA), leverage (DAR), Capital Intensity (CIR), dan
kepemilikan Institusional (INSTOW) mampu menjelaskan pengaruh kepada penghindaran
pajak hanya sebesar 64,4073%. Sisanya yaitu sebesar 35,5927% dijelaskan oleh variabel lain
yang tidak digunakan dalam model penelitian ini.

4.7 Implikasi Manajerial


Berdasarkan hasil analisis dan penjelasan mengenai profitabilitas (ROA), leverage
(DAR), capital intensity (CIR) dan kepemilikan instititusional (INSTOW), terhadap
penghindaran pajak yang diproksikan effective tax rate pada perusahaan, terdapat beberapa hal
yang dijadikan pertimbangan dan bisa dimanfaatkan bagi pihak pemerintah dan pihak-pihak
yang berkepentingan untuk mengetahui pengaruh mengenai profitabilitas (ROA), leverage
(DAR), capital intensity (CIR) dan kepemilikan instititusional (INSTOW) terhadap
50 Vidiyanna Rizal Putri

penghindaran pajak yang diproksikan effective tax rate yang termasuk dalam perusahaan
konstruksi di Bursa Efek Indonesia periode 2012-2016. Dari hasil analisis regresi mengenai
pengaruh pengaruh mengenai profitabilitas (ROA), leverage (DAR), capital intensity (CIR) dan
kepemilikan instititusional (INSTOW) terhadap penghindaran pajak yang diproksikan effective
tax rate yang telah dilakukan, ditemukan bahwa dari dua variabel independen tersebut memiliki
pengaruh terhadap penghindaran pajak tetapi ada yang menunjukan beda arah dan dua lagi tidak
berpengaruh
Hasil penelitian menyatakan bahwa ROA memiliki pengaruh positif terhadap tingkat
penghindaran pajak yang diproksikan dengan effective tax rate (ETR). Dalam pernyataan ini
perusahaan dengan profitabilitas yang tinggi akan memiliki penghindaran pajak yang
diproksikan dengan effective tax rate (ETR) juga tingga. ETR yang tinggi tersebut meyebabkan
perusahaan tersebut tidak melakukan penghindaran pajak, karena perusahaan dengan
profitabilitas yang tinggi tidak akan melakukan usaha untuk meminimalkan pajak
Hasil penelitian menyatakan bahwa leverage memiliki pengaruh positif terhadap tingkat
penghindaran pajak yang diproksikan dengan effective tax rate (ETR). Hal ini berarti rasio hutang
mempengaruhi kegiatan perpajakan perusahaan konstruksi. Perusahaan memanfaatkan sumber
dana dari pihak ketiga untuk membelian sset tetap berupa alat berat. Investasi alat berat ini
digunakan untuk kegiatan operasional perusahaan yang berimbas meningkatnya pendapatan
perusahaan yang berdampak bertambahnya laba. Sehingga dengan meningkatnya biaya bunga
dari utang pada pihak ketiga yang di investasikan dalam bentuk asset tetap, maka juga
meningkatkan jumlah pajak yang dibayarkan perusahaan.
Capital intensity tidak memiliki pengaruhterhadap tingkat penghindaran pajak yang
diproksikan dengan effective tax rate (ETR). Hal ini karena perusahaan yang sudah besar biasanya
asset tetap yang digunakan sudah habis masa manfaatnya. Selain itu pihak manajemen perusahaan
membuat kebijakan beban penyusutan sesuai dengan peraturan perpajakan, sehingga tidak
menimbulkan koreksi fiskal. Hal ini mengakibatkan besar kecilnya asset tetap yang dimiliki
perusahaan tidak berpengaruh terhadap penghindaran pajak.
Kepemilikan institusional (INSTOW) tidak memiliki pengaruhterhadap tingkat
penghindaran pajak yang diproksikan dengan effective tax rate (ETR). Hal ini berarti proporsi
kepemilikan institusi seperti BUMN, pemerintah tidak memiliki pengaruh terhadap penghindaran
pajak. Kepemilikan institusional diharapkan bisa mengawasi kebijakan dan pelaksanaan
operasional oleh pihak manajemen. Tetapi pada praktek dilapangannya, kepemilikan intitusional
mempercayakan pengawasan kepada komisaris, sehingga tetap saja ada kesempatan untuk
terjadinya penghindaran pajak.

5. Kesimpulan dan Saran


Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Profitabilitas berpengaruh positif dan signifikan terhadap penghindaran pajak
perusahaan konstruksi periode 2012 sampai 2016.
2. Leverage tidak berpengaruh negatif terhadap penghindaran pajak perusahaan konstruksi
periode 2012 sampai 2016
3. Capital Intensity tidak berpengaruh terhadap penghindaran pajak perusahaan konstruksi
periode 2012 sampai 2016.
4. Kepemilikan Institusional tidak berpengaruh terhadap penghindaran pajak perusahaan
konstruksi periode 2012 sampai 2016.
Dalam penelitian ini terdapat keterbatasan dan saran untuk peneliti selanjutnya antara lain:
1. Penelitian ini hanya dilakukan selama 5 (lima) tahun, diharapkan untuk penelitian
selanjutnya dapat melakukan penelitian selama 10 (sepuluh) tahun. Karena pengukuran
tax avoidance yang tepat adalah dalam jangka panjang, karena diharapkan mampu
menghapus permanent differences
2. Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk menggunakan pengukuran dengan Book
Tax Gap (BTG) dalam mengukur Tax Avoidance.
Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Effective Tax Rate 51

3. Disarankan untuk penelitian selanjutnya mampu mengembangkan variabel dan juga


model dalam mengukur efektifitas pajak.

Daftar Pustaka
[1] Dewinta, I. A. R., & Setiawan, P. E. (2016). Pengaruh Ukuran Perusahaan, Umur Perusahaan,
Profitabilitas, Leverage, Dan Pertumbuhan Penjualan Terhadap Tax Avoidance. E-Jurnal
Akuntansi Universitas Udayana, 14(3), 1584–1613.

[2] Ghozali, Imam. (2016). Aplikasi Analisis Mulitivariate Dengan Program Ibm Spss 23,
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

[3] Fadhila, Rahmi(2014) Pengaruh Good Corporate Governance terhadap Tax Avoidance (Studi
empiris pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di

[4] Kurniasih, T., & Sari, M. M. R. (2013). Pengaruh Return on Assets , Leverage , Corporate
Governance , Ukuran Perusahaan Dan Kompensasi Rugi Fiskal Pada Tax Avoidance.
Buletin Studi Ekonomi, 18(1), 58–66.

[5] Pradipta, D. H., & Supriyadi. (2015). Pengaruh Cosrporate Social Responsibility (CSR),
Profitabilitas, Leverage, dan Komisaris Independen Terhadap Praktik Penghindaran Pajak.
SNA 18 Universitas Sumatera Utara, Medan.

[6] Sekaran, Uma dan Bougie, Roger. 2013. Research Methods for Business. United Kingdom:
Jhon Wiley & Sons Ltd.

[7] Subramanyam, K.R. dan John J. Wild. (2009). Analisis Laporan Keuangan Financial
Statement Analysis. Buku 1 Edisi 10. Jakarta: Salemba Empat.

[8] Waluyo, Teguh muji, Yessi Mutia Basri, dan Rusli. (2015). Pengaruh Return On Asset,
Ukuran Perusahaan, Kompensasi Rugi Fiskal, dan Kepemilikan Institusi Terhadap
Penghindaran Pajak. Universitas Riau
Jurnal Akuntansi Keuangan dan Bisnis Vol. 11, No. 1, Mei 2018, 52-60 52

Jurnal Politeknik Caltex Riau


http://jurnal.pcr.ac.id

Pengaruh Sistem Informasi Akuntansi Dan Sistem


Pengendalian Internal Terhadap Kinerja Pegawai Bagian
Akuntansi Sebagai Pengguna Enterprise
Resource Planning (ERP)
Pada Pt. Pola Petro Development
Argo Putra Prima1

1
Universitas Putera Batam, email: argoupb@gmail.com

Abstrak
Tujuan dari peneltian ini adalah untuk mengetahui pengaruh sistem informasi akuntansi dan
pengendalian internal terhadap kinerja pegawai bagian akuntansi sebagai pengguna Enterprise
Resource Planning (ERP). Berdasarkan informasi beberapa karyawan PT. Pola Petro
Development yang menyatakan bahwa permasalahan yang berhubungan dengan kualitas
informasi laporan keuangan di PT. Pola Petro Development yaitu sering terjadi gangguan
masalah kualitas informasi yang selama ini masih sering dijumpai oleh perusahaan sebelum
penerapan Enterprise Resource Planning (ERP). Populasi penelitian ini adalah karyawan
pengguna sistem Enterprise Resource Planning (ERP) berjumlah 80 orang pada PT. Pola Petro
Development. Sampel yang digunakan pada penelitian ni adalah sampel. Hasil penelitian ini
ada pengaruh signifikan sistem informasi akuntansi dan sistem pengendalian internal terhadap
kinerja pegawai bagian akuntansi pengguna Enterprise Resource Planning dengan nilai
signifikan masing-masing adalah 0,01 dan 0,018. Sedangkan secara simultan sistem inf ormasi
akuntansi dan sistem pengendalian internal berpengaruh signifikan dengan nilai signif ikan
adalah 0,000 < 0,05.

Kata kunci: Sistem Informasi Akuntansi, Sistem Pengendalian Internal, Enterprise Resource
Planning.
Abstract
The purpose of this study is to determine the effect of accounting information systems and
internal controls on employee performance accounting department as an Enterprise Resource
Planning (ERP) user. Based on the information of some employees of PT. Pattern Petro
Development which states that the problems related to the quality of financial statement
information at PT. Pattern Petro Development is often the problem of information quality
problems that are still often encountered by the company before the implementation of
Enterprise Resource Planning (ERP). The population of this study is the employees of
Enterprise Resource Planning (ERP) system users are 80 people at PT. Pattern of Petro
Development. The sample used in this research is sample. The result of this research is
significant influence of accounting information system and internal control system to employee

Dokumen diterima pada Senin 16 Oktober, 2017


Dipublikasikan pada Kamis 31 M ei, 2018
Pengaruh SIA dan SPI terhadap Kinerja Pegawai… 53

performance of Enterprise Resource Planning user accounting with significant value are 0,01
and 0,018 respectively. While simultaneously the accounting information system and internal
control system significantly influence the significant value is 0,000 <0.05.

Keywords: Accounting Information System, Internal Control System, Enterprise Resource


Planning

1. Pendahuluan
Penggunaan teknologi pada aktivitas bisnis perusahaan juga membuka peluang bagi
pengaksesan, pengelolaan dan pendayagunaan informasi dalam volume yang besar, secara cepat
dan akurat oleh perusahaan. Informasi akuntansi yang berhubungan dengan data keuangan dari
suatu perusahaan merupakan bagian dari informasi penting yang diperlukan oleh manajemen.
Kualitas informasi yang ada pada PT. Pola Petro Development dirasakan belum sesuai dengan
apa yang diharapkan. Hal tersebut dapat diketahui berdasarkan informasi beberapa karyawan
PT. Pola Petro Development yang menyatakan bahwa permasalahan yang berhubungan dengan
kualitas informasi laporan keuangan di PT. Pola Petro Development diantaranya yaitu sering
terjadi gangguan, sehingga karyawan yang membutuhkan suatu informasi yang berhubungan
dengan komputer harus menunggu sampai sistem dapat digunakan sehingga informasi yang
dibutuhkan sudah tidak tepat waktu dan mungkin sudah tidak akurat lagi. Sedangakan PT. Pola
Petro Development menerapkan sistem on time dalam melaksanakan pekerjaan, artinya
pekerjaan harus diselesaikan dengan tepat waktu.

Oleh karena itu perlunya Sistem informasi akuntansi (SIA) dan pengendalian internal
merupakan sistem yang memliki tugas dalam hal pengelolaan data atau transaksi keuangan
menjadi informasi berupa bentuk laporan keuangan, informasi keuangan tersebut dibutuhkan
untuk memenuhi kebutuhan pihak internal maupun eksternal yang akan digunakan sebagai
pembuatan keputusan finansial. Implementasi Enterprise Resource Planning (ERP) bisa berjalan
dengan lancar perusahaan harus menyiapkan beberapa hal, antara lain bagaimana memilih
sistem ERP yang sesuai dengan kebutuhan, membangun model bisnis dan menyiapkan
manajemen perusahaan yang harus dilakukan akibat penerapan sistem ERP. Sistem informasi
yang digunakan di perusahaan membutuhkan waktu untuk beradaptasi bagi karyawan
mengoperasikannya. Fokus penelitian bagaimana penerapan sistem informasi akuntansi serta
pengendalian internal dengan menggunakan Enterprise Resource Planning (ERP) dalam
pembuatan laporan keuangan PT. Pola Petro Development.

1.1 Identifikasi Masalah


Masalah kualitas informasi yang selama ini masih sering dijumpai oleh perusahaan ialah
belum memuaskannya kualitas informasi bagi pengguna. Berikut identifikasi masalah:
1. Kebutuhan akan sistem yang baik untuk menunjang sistem informasi akuntasi
agar menghasilkan informasi sesuai agar dapat digunakan oleh manajemen dan
pihak yang berkepentingan.
2. Sulitnya akses untuk pengendalian internal disebabkan manajemen berada
ditempat yang jauh dari organisasi.
54 Agro Putra Prima

1.2 Batasan Masalah


Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, maka masalah penelitian ini
dibatasi pada dua variabel eksogen yaitu Sistem Informasi Akuntansi dan Sistem Pengendalian
Internal dan dua variabel endogen yaitu Kompetensi dan Kinerja Pegawai Pengguna ERP.

1.3 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah dan batasan yang telah dipaparkan
sebelumnya maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah terdapat pengaruh sistem informasi akuntansi terhadap kinerja pegawai


bagian akuntansi pengguna sistem ERP pada PT. Pola Petro Development?

2. Apakah terdapat pengaruh sistem pengendalian internal terhadap kinerja


pegawai bagian akuntansi pengguna sistem ERP pada PT. Pola Petro
Development?

3. Apakah terdapat pengaruh sistem informasi akuntansi dan sistem pengendalian


internal terhadap kinerja pegawai bagian akuntansi pengguna sistem ERP pada
PT. Pola Petro Development secara bersama?

1.4 Tujuan Penelitan


Tujuan dari pengendalian penelitian adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaruh sistem informasi akuntansi terhadap kinerja


pegawai pengguna sistem ERP.

2. Untuk mengetahui pengaruh sistem pengendalian internal terhadap kinerja


pegawai pengguna sistem ERP.

3. Untuk mengetahui pengaruh sistem informasi akuntansi dan sistem


pengendalian internal terhadap kinerja pegawai bagian akuntansi pengguna
sistem ERP pada PT. Pola Petro Development secara bersama-sama.

2. KERANGKA TEORI, KERANGKA BERPIKIR, MODEL PENELITIAN, DAN


HIPOTESIS

2.1 Akuntansi Keperilakuan


[1] akuntansi keperilakuan berada dibalik akuntansi tradisional yang berarti
mengumpulkan, megukur, mencatat dan melaporkan informasi keuangan. Dengan demikian,
dimensi akuntansi berkaitan dengan perilaku manusia dan juga dengan desain, konstruksi, serta
penggunaan suatu sistem informasiyang efisien.

2.2 Sistem Informasi Akuntansi


Pengertian sistem informasi akuntansi menurut [2] menyatakan bahwa: Sistem
akuntansi adalah organisasi formulir, catatan dan laporan yang dikoordinasi sedemikian rupa
Pengaruh SIA dan SPI terhadap Kinerja Pegawai… 55

untuk menyediakan informasi keuangan yang dibutuhkan oleh manajemen guna memudahkan
pengelolaan perusahaan.

2.3 Sistem Pengendalian Internal


Pengendalian internal yang didefinisikan oleh COSO dalam Husein adalah sebagai
suatu ssistem, struktur atau proses yang dipersentasikan oleh dewan direktur perusahaan,
manajemen dan personal lainnya, yang didesain untuk menghasilkan penilaian rasional sebagai
upaya mencapai sasaran pengendalian. Dalam arti sempit: Pengendalian Intern disamakan
dengan “Internal Check ” yang merupakan prosedur-prosedur mekanisme untuk memeriksa
ketelitian dari data-data administrasi, seperti mencocokkan penjumlahan Horizontal dengan
penjumlahan vertikal. Dalam arti luas: Pengendalian Intern dapat disamakan dengan
“Manajemen Control”, yaitu suatu sistem yang meliputi semua cara-cara yang digunakan oleh
pimpinan perusahaan untuk mengawasi/mengendalikan perusahaan.

2.4 Sistem Enterprise Resource Planning (ERP)


ERP (Enterprise Resource Planning) atau dalam bahasa Indonesia sering disebut
dengan Perencanaan Sumber Daya Perusahaan adalah struktur sistem informasi yang digunakan
untuk mengintegrasikan proses bisnis dalam perusahaan manufaktur/jasa yang meliputi
operasional dan distribusi produk yang dihasilkan [3].

2.5 Kinerja
[4]berpendapat bahwa kinerja (perfomance) pada dasarnya apa yang yang dilakukan
atau tidak dilakukan oleh karyawan. Kinerja karyawan yang umum untuk kebanyakan pekerjaan
meliputi elemen yaitu kuantitas dari hasil, kualitas dari hasil, ketepatan waktu dari hasil,
kehadiran atau absensi, dan kemampuan bekerja sama.

2.6 Kerangka Pemikiran

Sistem Informasi Akuntansi


(X1)

Kinerja Pegawai Pengguna


ERP (Y)

Sistem Pengedalian Internal


(X2)

Gambar 1. Model Penelitian

2.7 Hipotesis Penelitian


Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. Sistem Informasi Akuntansi berpengaruh terhadap kinerja pegawai pengguna


Enterprise Resources Planning.
56 Agro Putra Prima

2. Sistem Pengendalian Internal (SPI) berpengaruh terhadap kinerja pegawai


bagian akuntansi pengguna Enterprise Resources Planning.
3. Sistem Informasi Akuntansi dan Sistem Pengendalian Internal (SPI)
berpengaruh terhadap kinerja pegawai bagian akuntansi pengguna Enterprise
Resources Planning secara bersama-sama.

3. METODE PENELITIAN

3.1 Populasi dan Sampel


Populasi dalam penelitian ini adalah karyawan pengguna sistem Enterprise Resource
Planning (ERP) berjumlah 80 orang pada PT. Pola Petro Development. Sampel yang digunakan
pada penelitian ni adalah sampel jenuh yaitu semua anggota populasi digunakan sebagai sampel.

3.2 Metode Pengumpulan Data


Dalam penulisan ini jenis data yang digunakan adalah data primer. Menurut [5]data
primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data. Dalam
penelitian ini, data primer diperoleh dari hasil menyebarkan kuisioner kepada pegawai
penggunan Enterprise Resounce Planning (ERP) PT. Pola Petro Development. Data primer
dapat berupa opini subjek (orang) secara individual atau kelompok tentang variabel-variabel
yang berkaitan dengan penelitian, seperti kepribadian dan kinerja pegawai.

Penelitian ini menggunakan jenis data interval. Skala interval memungkinkan untuk
melakukan tindakan operasional aritmatika berdasarkan data yang diperoleh dari responden. Hal
ini membantu dalam menghitung rerata hitung (mean) dan standart deviasi respon terhadap
variabel yang digunakan [3] Data ini berupa nilai atau skor atas jawaban responden terhadap
pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner. Sumber data penelitian adalah data primer yang
diperoleh melalui pembagian kuesioner kepada responden.

3.3 Teknik Analisis Data


Metode analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Path
Analisis. Metode analisis dibutuhkan untuk memecahkan perumusan masalah yang telah
ditentukan sebelumnya.

3.4 Uji Kualitas Data

3.4.1 Uji Validitas Data


Uji validitas dimaksudkan untuk mengukur sejauh mana ketepatan alat ukur penelitian
tentang isu atau arti sebenarnya yang diukur [6]. Uji validitas dalam penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan analisis butir, korelasi yang digunakan adalah Pearson Product Moment.
Jika koefisien korelasi (r) bernilai positif dan lebih besar dari r tabel (pada taraf signifikansi
5% atau 0,05) maka dinyatakan bahwa butir pertanyaan tersebut valid atau sah.

3.4.2 Uji Reliabilitas


Uji reliabilitas dimaksudkan untuk menguji konsistensi kuesioner dalam mengukur
suatu kontruk yang sama atau stabilitas kuesioner jika digunakan dari waktu ke waktu [6]Uji
Asumsi Klasik
Pengaruh SIA dan SPI terhadap Kinerja Pegawai… 57

Uji asumsi klasik dengan menggunakan uji normalitas, multikolinearitas,


heteroskesdasitas, uji linearitas.

3.4.3 Uji Parsial (Uji t)


Uji t ini digunakan untuk mengetahui signifikasi peran secara parsial antara variabel
independen terhadap variabel independen dengan mengasumsikan bahwa variabel independen
lain dianggap konstan dengan nilai sig < 0,05.

3.4.4 Pengujian Terhadap Koefisien Regresi Secara Silmutan (Uji F)


Uji-F dilakukan untuk mengetahui tingkat signifikan pengaruh variabel bebas
terhadap variabel terikat secara bersama-sama.

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Hasil penelitian akan diuraikan dalam pembahasan pada bab ini berdasarkan data
jawaban kuesioner yang mengukur tiga jenis variabel yaitu sistem informasi akuntansi dan
sistem pengendalian internal sebagai variabel bebas, kinerja pegawai pengguna Enterprise
Resources Planning dan kompetensi sebagai variabel intervening. Deskripsi hasil penelitian
akan menggambarkan tentang responden, analisis data variabel penelitian dengan statistik
deskriptif, uji validitas dan reliabilitas, uji normalitas, linieritas, heteroskedastisitas,
multikolinearitas, uji hipotesis, dan pembahasan terhadap hasil uji hipotesis.

4.1 Gambaran Umum Responden Penelitian


Gambaran umum responden penelitian bertujuan untuk memberikan gambaran secara
umum, faktual, dan akurat mengenai hasil penelitian yang dilakukan. Hasil sebaran angket yang
dilakukan terhadap 80 responden yang bekerja sebagai pegawai pengguna Enterprise Resources
Planning di PT. Pola Petro Development. Penyebaran serta pengembalian kuesioner
dilaksanakan mulai tanggal 26 Juni 2015 sampai 30 Juli 2016. Dalam penelitian ini
pengambilan sampel sebanyak 6 cabang di seluruh Indonesia, yaitu Batam, Medan, Bandung,
Surabaya, Cikarang, dan Jakarta. Kuesioner yang disebarkan sejumlah 80 buah, semua
kuesioner dikembalikan dan dapat diolah, jumlah kuesioner yang diolah sebanyak 80 buah atau
100%.

4.2 Uji Validitas dan Reliabilitas


Uji validitas dan reliabilitas terhadap variabel sistem informasi akuntansi (X1), sistem
pengendalian internal (X2), kompetensi (X3) dan kinerja pegawai pengguna Enterprise
Resources Planning (Y) menunjukkan hasil perhitungan bahwa semua variabel valid dan
reliabel atau dapat dipercaya, dengan hasil semua butir pernyataan memiliki nilai korelasi
melebihi syarat minimal validitas suatu instrumen penelitian atau diatas 0,30 dan memiliki nilai
Cronbach’s Alpha diatas 0,60.

4.3 Uji Normalitas


Uji normalitas dengan menggunakan metode Kolmogorov-Smirnov jika mendekati atau
berdistribusi normal dapat dilihat dari nilai Asymp Sig. (2-tailed), yaitu apabila Asymp Sig. (2-
tailed) > 0,05 maka distribusi data adalah normal dan apabila nilai Asymp Sig. (2-tailed) < 0,05
maka distibusi data adalah tidak normal. Berdasarkan hasil uji normalitas menunjukkan bahwa
nilai Asyimp Sig. (2-tailed) lebih besar dari nilai probabilitas (p) yaitu 0,05 sehingga dapat
disimpulkan bahwa data penelitian memiliki distribusi normal.
58 Agro Putra Prima

Tabel 1
One-S ample Kolmogorov-S mirnov Test
Sistem Efektifitas Kinerja Pegawai
Informasi Pengendalian bagian akuntansi
Akuntansi Internal Pengguna ERP
N 80 80 80
a,b M ean 43.35 37.64 61.34
Normal Parameters
Std. Deviation 4.601 4.067 5.917
Absolute .145 .136 .123
M ost Extreme Differences Positive .062 .106 .123
Negative -.145 -.136 -.111
Kolmogorov-Smirnov Z 1.294 1.212 1.098
Asymp. Sig. (2-tailed) .070 .106 .179

4.4 Uji Multikolineritas


Hasil uji multikolineritas tidak mengindikasikan terdapat multikolineritas suatu variabel
bebas. Nilai tolerance masing-masing variabel bebas lebih besar dari 0,1. Hasil perhitungan
variance inflation factor (VIF) juga menunjukkan bahwa nilai VIF masing-masing variabel
bebas kurang dari 10 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada multikolineritas antar variabel
bebas dalam model regresi.

Tabel 2.
Nilai Variance Inflaction Factor (VIF)
Model Collinearity
Statistics
Tolerance VIF
(Constant)
1 Sistem Informasi Akuntansi .763 1.310
Sistem Pengendalian Internal .742 1.348

a. Dependent variabel: Kinerja Pegawai Bagian Akuntansi Pengguna ERP

Tabel 3
Uji Parsial (Uji t)
Model Unstandardized Standardized T Sig. 95.0% Confidence
Coefficients Coefficients Interval for B
B Std. Beta Lower Upper
Error Bound Bound

(Constant) 30.730 6.784 4.530 .000 17.222 44.238

1
Sistem Informasi Akuntansi 372 .140 .289 2.653 .010 .093 .652
Sistem Pengendalian Internal 385 .159 .264 2.423 .018 .069 .701

a. Dependent variabel: Kinerja Pegawai Bagian Akuntansi Pengguna ERP

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai signifikan dari kedua variabel bebas yaitu
nilai signifikan variabel sistem informasi akuntansi = 0,010 < 0,05 dan nilai signifikan sistem
pengendalian internal = 0,018 < 0,05. Hasil ini menunjukkan bahwa variabel sistem informasi
akuntansi dan sistem pengendalian internal masing-masing berpengaruh signifikan terhadap
kinerja pegawai bagian akuntansi pengguna ERP. Besarnya nilai R 2 = 0,210 menunjukkan
Pengaruh SIA dan SPI terhadap Kinerja Pegawai… 59

bahwa sistem informasi akuntansi, sistem pengendalian internal dan kompetensi terhadap
Kinerja pegawai pengguna ERP adalah sebesar 21,0 % sedangkan sisanya 79,0 % merupakan
kontribusi dari variabel-variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian.

4.5 Pengujian Terhadap Koefisien Regresi Secara Silmutan (Uji F)


Tabel 4

ANOVAa

Model Sum of Df Mean F Sig.


Squares Square
582.029 2 291.01 1 .000 b
Regression
5 0.261
2183.858 7 28.362
1Residual
7
2765.888 7
Total
9
a. Dependent Variable: Kinerja Pegawai Pengguna ERP
b. Predictors: (Constant), Sistem Pengendalian Internal, Sistem Informasi Akuntansi
Dari hasil perhitungan pada uji F menunjukkan bahwa Fhitung > Ftabel , yaitu sebesar
10,261> 3,12 dengan nilai signifikan 0,000 < 0,05. Maka dapat dinyatakan bahwa hipotesis
adalah Ha diterima dan Ho ditolak dengan ini dapat disimpulkan bahwa sistem pengendalian
internal dan sistem informasi akuntansi berpengaruh signifikan secara bersama-sama.

4.6 Hasil dan Pembahasan

4.6.1 Hipotesis 1
Dari analisa diperoleh bahwa nilai signifikan sistem informasi akuntansi adalah 0,010 <
0,05. Hasil ini memberi kesimpulan bahwa H 1 diterima, yang berarti bahwa secara langsung ada
pengaruh signifikan sistem informasi akuntansi terhadap Kinerja Pegawai Bagian Akuntansi
Pengguna ERP.

4.6.2 Uji Hipotesis 2


Dari analisa diperoleh bahwa nilai signifikan sistem pengendalian internal adalah 0,018
< 0,05. Hasil ini memberi kesimpulan bahwa H 2 diterima yang berarti bahwa secara langsung
minat mahasiswa terhadap Kinerja Pegawai Bagian Akuntansi Pengguna ERP berpengaruh
signifikan.

4.6.3 Hipotesis 3
Dari analisa diperoleh bahwa nilai signifikan sistem informasi akuntansi dan sistem
pengendalian internal adalah 0,000 < 0,05. Hasil ini memberi kesimpulan bahwa H 3 diterima,
yang berarti bahwa secara simultan (bersama-sama) ada pengaruh signifikan sistem informasi
akuntansi dan sistem pengendalian internal terhadap Kinerja Pegawai Bagian Akuntansi
Pengguna ERP.
60 Agro Putra Prima

5. KESIMPULAN
Dari pembahasan yang dilakukan, maka dapat dituangkan beberapa kesimpulan, yaitu:

1. Adanya pengaruh signifikan sistem informasi akuntansi terhadap kinerja pegawai


pengguna Enterprise Resource Planning dengan nilai signifikan 0,01.
2. Adanya pengaruh signifikan sistem pengendalian internal terhadap kinerja
pegawai pengguna Enterprise Resource dengan nilai signifikan 0,018.
3. Secara simultan ada pengaruh signifikan sistem informasi akuntansi dan sistem
pengendalian internal terhadap Kinerja Pegawai Bagian Akuntansi Pengguna ERP
dengan nilai signifikan 0,000.

5.1 Implikasi
1. Implikasi Teoritik

Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan sistem informasi


akuntansi, sistem pengendalian internal dan kompetensi merupakan
pengembangan konsep dalam mengukur kinerja pegawai pengguna Enterprise
Resouce Planning. Model teoritik penelitian yang lain dapat dikembangkan
dengan pengembangan kajian substansi kinerja pegawai pengguna Enterprise
Resouce Planning.
2. Implikasi Praktik

Hasil penelitian ini dapat diterapkan dan menjadikan bahan masukan bagi
karyawan dalam menjalankan pekerjaannya dalam menggunakan sistem yang
baru diterpkan dalam perusahaan. Hal ini didasari sistem informasi akuntansi dan
sisem pengendalian internal, dapat meningkat sejalan dengan peningkatan
pengaruh yang diberikan oleh kompetensi dan substansi kinerja pegawai
pengguna Enterprise Resouce Planning.
3. Implikasi Metodologi

Kajian penelitian kausal dapat dikembangkan atas dasar kajian teoritik dimana
hasilnya dapat didukung dengan data ataupun tidak didukung dengan data.
Namun penelitian tentang substansi kinerja pegawai pengguna Enterprise
Resouce Planning.harus dilakukan verifikasi melalui penelitian yang akan datang
guna untuk memperoleh hasil penelitian yang lebih kredibel.

DAFTAR PUSTAKA

[1] I. A. P. Indonesia, Standar Profesional Akuntan Publik. Jakarta: Erlangga, 2011.


[2] Mulyadi, Sistem Akuntansi, Edisi ke-3. Jakarta: Salemba Empat, 2008.
[3] A. A. A. P. Mangkunegara, Evaluasi Kinerja SDM. Bandung: PT Refika Aditama, 2006.
[4] R. L. & J. H. J. Mathis, Human Resource Management. Jakarta: Salemba Empat, 2006.
[5] Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2014.
[6] I. Ghozali, Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, 2011.
Jurnal Akuntansi Keuangan dan Bisnis Vol. 11, No. 1, Mei 2018, 61-68 61

Jurnal Politeknik Caltex Riau


http://jurnal.pcr.ac.id

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi


Ketepatan Waktu Pelaporan Keuangan (Studi Pada
Perusahaan Perbankan yang Terdaftar Di Bei)
Viola Syukrina E Janrosl 1
Argo Putra Prima2

1
Universitas Putra Batam, email:viola.myudzz21@gmail.com
2
Universitas Putra Batam, email:argo.upb@gmail.com

Abstract

This research is expected to provide basic information to investors relating to the timeliness of
financial reporting which will become relevant information for investors in business and
economic decision making. From the data obtained from the Investment Coordinating Board
(BKPM) shows an increase in investment growth from 2016-2017. In line with the incre ase in
investment of course makes the investors need relevant and timely information. But in fact many
public companies are late in delivering their annual financial statements while investors are in
need of financial reports quickly because the capital market moves dynamically every minute.
The population in this study is the financial statements of banking companies from 2014 -2016.
Based on the sample criteria, there were 65 samples. The results of leverage and firm size
research partially significant effect on the timeliness of financial reporting while prof itability
and ownership structure has no significant effect on the timeliness of financial reporting. The
result of F test is Fcount compared with Ftable 3.007> 2.53 and significant value 0,025 <0,05
which shows simultaneously leverage, firm size, profitability and ownership structure have
significant effect on timeliness of financial reporting.

Keywords: Leverage, Firm Size, Profitability, Ownership Structure and Timeliness Of Financial
Reporting

Abstrak

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar kepada investor yang berkaitan
dengan ketepatan waktu pelaporan keuangan yang akan menjadi informasi yang relevan bagi
investor dalam pengambilan keputusan bisnis dan ekonomi. Dari data yan g di dapat dari
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan pertumbuhan investasi yang
mengalami peningkatan dari tahun 2016-2017. Sejalan dengan peningkatan investasi tentunya
membuat para investor memerlukan informasi yang relevan dan tepat waktu. Namun faktanya
banyak perusahaan publik yang terlambat dalam menyampaikan laporan keuangan tahunannya
sedangkan investor sangat membutuhkan laporan keuangan dengan cepat karena pasar modal
bergerak dinamis setiap menitnya. Populasi dalam penelitian ini adalah laporan keuangan
perusahaan perbankan dari tahun 2014-2016. Berdasarkan k riteria sampel didapatkan 65
sampel. Hasil penelitian leverage dan ukuran perusahaan secara parsial berpengaruh
signifikan terhadap ketepatan waktu pelaporan keuangan sedangkan profitabilitas dan struktur

Dokumen diterima pada Rabu 24 Januari, 2018


Dipublikasikan pada Kamis 31 M ei, 2018
62 Viola Syukrina E Janrosl dan Agro Putra Prima

kepemilikan tidak berpengaruh signifikan terhadap ketepatan waktu pelaporan keuangan. Hasil
uji F didapatkan nilai Fhitung dibandingkan dengan Ftabel 3.007 > 2,53 dan nilai signif ikan
0,025 < 0,05 yang menunjukkan secara simultan leverage, ukuran perusahaan, profitabilitas
dan struktur kepemilikan berpengaruh secara signifikan terhadap ketepatan waktu pelaporan
keuangan.

Kata Kunci: Leverage, Ukuran Perusahaan, Profitabilitas, Struktur Kepemilikan dan


Ketepatan Waktu Pelaporan Keuangan.

1. Pendahuluan

Ketepatan waktu (timeliness) merupakan salah satu faktor penting dalam penyajian suatu
informasi yang relevan. Informasi akan mempunyai manfaat jika disampaikan tepat waktu
kepada para pengguna laporan keuangan untuk pengambilan keputusan. Laporan keuangan
sebagai sebuah informasi akan bermanfaat apabila informasi yang dikandungnya disediakan
tepat waktu bagi para pembuat keputusan [1]. Jika terdapat penundaan yang tidak semestinya
dalam pelaporan keuangan maka informasi yang diberikan akan kehilangan relevansinya.
Informasi dikatakan relevan apabila memiliki nilai prediksi (predictive value), nilai umpan balik
dan tersedia tepat waktu.
Setiap perusahaan yang go public memiliki kewajiban untuk menyampaikan laporan
keuangan yang disusun sesuai dengan standar akuntansi keuangan dan telah diaudit tepat waktu.
Perusahaan yang terlambat dalam menyampaikan laporan keuangan secara tepat waktu akan
dikenakan sanksi administrasi dan denda sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh undang-
undang [2].
PT Bursa Efek Indonesia (BEI) telah memberikan peringatan tertulis kepada 65
perusahaan tercatat yang tidak memenuhi kewajiban penyampaian laporan keuangan interim
yang berakhir pada 31 Maret 2016 secara tepat waktu, dari 581 perusahaan tercatat, sebanyak
515 perusahaan yang menyampaikan laporan keuangannya. Sedangkan 66 efek dan perusahaan
yang tidak melakukan kewajibannya. Adapun, yang telah menyampaikan laporan keuangan
tepat waktu sebanyak 433 perusahaan. Sebanyak 82 perusahaan tidak tepat waktu
menyampaikan laporan keuangan. Dari data diatas terbukti banyak perusahaan publik yang
terlambat dalam menyampaikan laporan keuangan tahunannya sedangkan investor sangat
membutuhkan laporan keuangan dengan cepat karena pasar modal bergerak dinamis setiap
menitnya.
Faktor-faktor lainnya yang mungkin berpengaruh pada ketepatan waktu pelaporan
keuangan yaitu leverage, ukuran perusahaan, profitabilitas dan struktur kepemilikan. Leverage
digunakan untuk mengukur tingkat aktiva perusahaan yang dibiayai oleh penggunaan hutang.
Perusahaan yang mempunyai leverage yang tinggi berarti sangat tergantung pada pinjaman luar
untuk membiayai aktivanya. Sedangkan perusahaan yang mempunyai leverage yang rendah
lebih banyak membiayai investasinya dengan modal sendiri. Dengan demikian semakin tinggi
leverage berarti semakin tinggi risiko karena ada kemungkinan bahwa perusahaan tersebut tidak
bisa melunasi kewajiban hutangnya baik pokok maupun bunganya [4].
Ukuran perusahaan dapat dinilai dari beberapa segi. Besar kecilnya ukuran perusahaan
dapat didasarkan pada total nilai aset, total penjualan, kapitalisasi pasar, jumlah tenaga kerja dan
sebagainya. Semakin besar nilai item-item tersebut maka semakin besar pula ukuran perusahaan
[5].
Profitabilitas menunjukkan keberhasilan perusahaan di dalam menghasilkan keuntungan.
Profitabilitas suatu perusahaan mencerminkan tingkat efektivitas yang dicapai oleh suatu
operasional perusahaan. Dasar pemikiran bahwa tingat keuntungan dipakai sebagai salah satu
cara untuk menilai keberhasilan efektivitas perusahaan tentunya berkaitan dengan hasil akhir
dari berbagai kebijakan dan keputusan perusahaan yang telah dilaksanakan oleh perusahaan
dalam periode berjalan [6].
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketepatan… 63

Struktur kepemilikan perusahaan dapat disebut juga sebagai struktur kepemilikan saham,
yaitu suatu perbandingan antara jumlah saham yang dimiliki oleh pihak dalam atau manajemen
perusahaan dengan jumlah saham yang dimiliki oleh pihak luar [5]. Struktur kepemilikan dalam
penelitian ini adalah persentase kepemilikan saham terbesar oleh pihak luar yang diukur dengan
melihat dari berapa besar saham yang dimiliki oleh pihak luar pada perusahaan go public yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Karena kepemilikan pihak luar mempunyai kekuatan yang
besar dalam mempengaruhi perusahaan baik melalui media massa maupun dalam bentuk
kritikan atau komentar yang dianggap sebagai aspirasi publik atau masyarakat.

2. Tinjauan Pustaka

2.1 Ketepatan Waktu Pelaporan Keuangan

Tepat waktu diartikan bahwa informasi harus disampaikan sedini mungkin untuk dapat
digunakan sebagai dasar untuk membantu dalam pengambilan keputusan-keputusan ekonomi
dan untuk menghindari tertundanya pengambilan keputusan tersebut [7]
Salah satu cara untuk mengukur transparansi dan kualitas pelaporan keuangan adalah
ketepatan waktu. Rentang waktu antara tanggal laporan keuangan perusahaan dan tanggal ketika
informasi keuangan diumumkan ke publik berhubungan dengan kualitas informasi keuangan
yang dilaporkan [8].
Laporan keuangan menurut [9] disusun dan disajikan sukurang-kurangnya setahun sekali
untuk memenuhi kebutuhan sejumlah besar pengguna. Beberapa diantara pengguna ini
memerlukan dan berhak untuk memperoleh informasi tambahan di samping yang tercakup
dalam laporan keuangan.
Ketepatan waktu menunjukkan rentang waktu antara penyajian informasi yang
diinginkan dengan frekuensi pelaporan informasi. Ketepatan waktu diukur dengan dummy
varibel, dimana kategori 1 untuk perusahaan yang tepat waktu dan kategori 0 untuk perusahaan
yang tidak tepat waktu. Perusahaan di kategorikan terlambat jika laporan keuangan dilaporkan
setelah tanggal 31 Maret [8].

2.2 Leverage
Leverage digunakan untuk mengukur tingkat aktiva perusahaan yang dibiayai oleh
penggunaan hutang. Perusahaan yang mempunyai leverage yang tinggi berarti sangat
tergantung pada pinjaman luar untuk membiayai aktivanya. Sedangkan perusahaan yang
mempunyai leverage yang rendah lebih banyak membiayai investasinya dengan modal sendiri.
Dengan demikian semakin tinggi leverage berarti semakin tinggi risiko karena ada
kemungkinan bahwa perusahaan tersebut tidak bisa melunasi kewajiban hutangnya baik pokok
maupun bunganya [4].

2.3 Ukuran Perusahaan


Ukuran perusahaan dapat dinilai dari beberapa segi. Besar kecilnya ukuran perusahaan
dapat didasarkan pada total nilai aset, total penjualan, kapitalisasi pasar, jumlah tenaga kerja dan
sebagainya. Semakin besar nilai item-item tersebut maka semakin besar pula ukuran perusahaan
itu.
Perusahaan besar sering berargumen untuk lebih cepat dalam menyampaikan laporan
keuangan karena beberapa alasan. Pertama, perusahaan besar memiliki lebih banyak sumber
daya, lebih banyak staf akuntansi dan sistem informasi yang canggih dan memiliki sistem
pengendalian intern yang kuat. Kedua, perusahaan besar mendapat pengawasan yang lebih dari
investor dan regulator serta lebih menjadi sorotan publik. Secara rinci perusahaan besar
seringkali diikuti oleh sejumlah besar analis yang selalu mengharapkan informasi yang tepat
waktu untuk memperkuat maupun meninjau kembali harapan-harapan mereka. Perusahaan besar
64 Viola Syukrina E Janrosl dan Agro Putra Prima

berada di bawah tekanan untuk mengumumkan laporan keuangannya tepat waktu untuk
menghindari adanya spekulasi dalam perdagangan saham perusahaannya [6].

DER = Total Ekuitas (1)


Total Hutang

2.4 Profitabilitas
Profitabilitas menunjukan kebehasilan perusahaan di dalam menghasilkan keuntungan.
[6] menyatakan bahwa profitabilitas suatu perusahaan mencerminkan tingkat efektivitas yang
dicapai oleh suatu operasional perusahaan. Dasar pemikiran bahwa tingat keuntungan dipakai
sebagai salah satu cara untuk menilai keberhasilan efektivitas perusahaan, tentunya berkaitan
dengan hasil akhir dari berbagai kebijakan dan keputusan perusahaan yang telah dilaksanakan
oleh perusahaan dalam periode berjalan.

ROA = Laba bersih setelah pa (2)


Rata-rata total aktiva
2.5 Struktur Kepemilikan
Struktur kepemilikan perusahaan dapat disebut juga sebagai struktur kepemilikan saham
yaitu suatu perbandingan antara jumlah saham yang dimiliki oleh pihak dalam atau manajemen
perusahaan dengan jumlah saham yang dimiliki oleh pihak luar [5]. Struktur kepemilikan dalam
penelitian ini adalah persentase kepemilikan saham terbesar oleh pihak luar yang diukur dengan
melihat dari berapa besar saham yang dimiliki oleh pihak luar pada perusahaan go public yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Karena kepemilikan pihak luar mempunyai kekuatan yang
besar dalam mempengaruhi perusahaan baik melalui media massa maupun dalam bentuk
kritikan atau komentar yang semuanya dianggap sebagai aspirasi publik atau masyarakat.

3. Metode Penelitian

Desain penelitian merupakan kerangka kerja yang digunakan dalam suatu penelitian.
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain kausal. Desain kausal
digunakan untuk penelitian yang memiliki hubungan sebab akibat antara variabel independen
dan dependen yang diteliti.
Populasi penelitian ini adalah laporan keuangan perusahaan perbankan yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia. Sampel dalam penelitian ini yaitu laporan keuangan perusahaan
perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dari tahun 2012 sampai 2014. Berdasarkan
kriteria sampel didapatkan 65 sampel dalam penelitian ini

4. Hasil Dan Pembahasan

4.1 Metode Statistik Deskriptif


Tabel 1. Descriptive S tatistics
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
LEVERAGE 65 -1.46 2.03 .0131 .92087
UKURAN 65 -.65 2.43 -.1562 .67003
PERUSAHAAN
PROFITABILITAS 65 -1.27 2.19 -.1785 .73921
STRUKTUR 65 -1.20 1.31 -.1412 .78944
KEPEMILIKAN
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketepatan… 65

KETEPATAN WAKTU 65 -.91 1.09 .0140 1.00240


PELAPORAN
KEUANGAN
Valid N (listwise) 65
S umber: Data S ekunder yang diolah tahun 2018
Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat nilai minimum variabel leverage yaitu -1.46, nilai
maksimum 2.03, nilai rata-rata 0,0131 dan standar deviasinya 0,92087. Perusahaan yang
mempunyai leverage yang rendah lebih banyak membiayai investasinya dengan modal sendiri.
Semakin tinggi leverage berarti semakin tinggi risiko karena ada kemungkinan bahwa
perusahaan tersebut tidak bisa melunasi kewajiban hutangnya baik pokok maupun bunganya.
Nilai minimum ukuran perusahaan yaitu -0.65, nilai maksimum 2.43, nilai rata-rata -
0.1562 dan standar deviasinya 0.67003. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata ukuran
perusahaan perbankan dari total nilai asset dan total penjualan yaitu -0.1562.
Nilai minimum profitabilitas yaitu -1.27, nilai maksimum 1.31, nilai rata-rata -0.1758
dan standar deviasinya 0.73921. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata keberhasilan perusahaan
perbankan menghasilkan laba bersih yaitu -17.58%.
Nilai minimum struktur kepemilikan yaitu -1.20, nilai maksimum 87.23, nilai rata-rata -
0.1412 dan standar deviasinya 0.78944. Hal ini berarti rata-rata struktur kepemilikan perusahaan
perbankan yang dimiliki masyarakat yaitu -14.12%.
Nilai minimum ketepatan waktu pelaporan keuangan yaitu -0.91, nilai maksimum 1.09,
nilai rata-rata 0.0140 dan standar deviasinya 1.00240. Hal ini berarti rata-rata perusahaan
perbankan yang tepat waktu melaporkan laporan keuangan yaitu 1.40%.

4.1 Hasil Uji Pengaruh


4.1.1 Hasil Uji t (Persial)
Digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel independen atau bebas (X) terhadap
variabel dependen atau terikat (Y).
Kaidah pengambilan keputusan dalam pengujian ini adalah:
1. Jika t hitung > t tabel dan nilai Signifikan < 0,05, maka H1 diterima, jadi variabel independen
(X) berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen (Y).
2. Jika t hitung < t tabel dan nilai Signifikan > 0,05, maka H2 ditolak, jadi variabel independen
(X) tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen (Y).

Tabel 2. Hasil Uji t


Coefficients a

Standardized
Coeffici
Unstandardized Coefficients ents
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) .264 .163 1.613 .112
LEVERAGE -.366 .178 -.242 -2.053 .044
UKURAN .605 .203 .405 2.976 .004
PERUSAHAAN
PROFITABILITAS -.213 .186 -.157 -1.145 .257
STRUKTUR -.276 .148 -.217 -1.862 .067
KEPEMILIKAN
a. Dependent Variable: KETEPATAN WAKTU PELAPORAN KEUANGAN
S umber : Data diolah, S PS S 21, 2018
66 Viola Syukrina E Janrosl dan Agro Putra Prima

Dari tabel 2 diatas dapat dilihat hasil uji t hitung, sehingga dibandingkan dengan t table:
1. Pengaruh leverage (X1 ) terhadap ketepatan waktu pelaporan keuangan (Y)
Hasil perhitungan untuk nilai signifikan 0.044 < 0,05. Jadi leverage (X1 )
berpengaruh signifikan terhadap ketepatan waktu pelaporan keuangan (Y).
2. Pengaruh ukuran perusahaan (X2 ) terhadap ketepatan waktu pelaporan keuangan
(Y)
Hasil perhitungan untuk nilai signifikan 0.04 < 0,05. Jadi ukuran perusahaan (X2 )
berpengaruh signifikan terhadap ketepatan waktu pelaporan keuangan (Y).
3. Pengaruh profitabilitas (X3 ) terhadap ketepatan waktu pelaporan keuangan (Y)
Hasil perhitungan untuk nilai signifikan 0.257 > 0,05. Jadi profitabilitas (X3 )
tidak berpengaruh signifikan terhadap ketepatan waktu pelaporan keuangan (Y).
4. Pengaruh struktur kepemilikan (X4 ) terhadap ketepatan waktu pelaporan keuangan
(Y)
Hasil perhitungan untuk nilai signifikan 0.067 > 0,05. Jadi struktur kepemilikan
(X4 ) tidak berpengaruh signifikan terhadap ketepatan waktu pelaporan keuangan
(Y).

4.1.2 Hasil Uji F (simultan)


Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah semua variabel independen (X1, X2, X3
dan X4 ) yang dimasukkan dalam model memiliki pengaruh secara bersama-sama terhadap
variabel dependen.

Tabel 3. Hasil Uji F (S imultan)


ANOVAb

Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.


1 Regression 10.740 4 2.685 3.007 .025a
Residual 53.567 60 .893
Total 64.308 64
a. Predictors: (Constant), STRUKTUR KEPEMILIKAN, PROFITABILITAS,
LEVERAGE, UKURAN PERUSAHAAN
b. Dependent Variable: KETEPATAN WAKTU PELAPORAN KEUANGAN
S umber : Data diolah, S PS S 21, 2018

Berdasarkan tabel perhitungan diatas diperoleh nilai Fhitung dibandingkan dengan


Ftabel 3.007 > 2,53 dan nilai signifikan 0,025 < 0,05 yang menunjukkan secara simultan
leverage, ukuran perusahaan, profitabilitas dan struktur kepemilikan berpengaruh secara
signifikan terhadap ketepatan waktu pelaporan keuangan (Y).

4.2 Pembahasan
4.2.1 Pengaruh Leverage Terhadap Ketepatan Waktu Pelaporan Kuangan
Hasil perhitungan untuk nilai signifikan 0.044 < 0,05. Artinya leverage berpengaruh
signifikan terhadap ketepatan waktu pelaporan keuangan perusahaan perbankan yang terdaftar
di Bursa Efek Indonesia. Hasil penilitian ini menunjukkan bahwa tinggi rendahnya tingkat
leverage keuangan suatu perusahaaan mempengaruhi ketepatan waktu penyampaian laporan
keuangan.
Dari data penelitian dapat diketahui bahwa rata-rata tingkat leverage perusahaan sampel
adalah 1,31%. Beberapa perusahaan memiliki tingkat leverage keuangan yang tinggi seperti
Bank Bukopin Tbk, Bank Nusantara Parahyangan Tbk menyampaikan laporan keuangan tidak
tepat waktu. Sebaliknya perusahaan yang mempunyai nilai leverage yang rendah
menyampaikan laporan keuangan dengan tepat waktu seperti Bank Rakyat Indonesia Agro
Niaga Tbk dan Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketepatan… 67

Perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan biasanya tidak tepat waktu dalam
penyampaian pelaporan keuangan dibanding perusahaan yang tidak mengalami kesulitan
keuangan. Hal ini disebabkan perusahaan yang memiliki debt to equity rasio yang tinggi
menunjukkan adanya kemungkinan bahwa perusahaan tersebut tidak bisa melunasi kewajiban
atau hutangnya baik berupa pokok maupun bunganya. Sehingga ini merupakan berita buruk
bagi perusahaan. Oleh sebab itu pihak manajemen cenderung akan menunda penyampaian
laporan keuangannya.

4.2.2 Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Ketepatan Waktu Pelaporan


Kuangan
Hasil perhitungan nilai signifikan 0.04 < 0,05. Artinya ukuran perusahaan berpengaruh
signifikan terhadap ketepatan waktu pelaporan keuangan. Semakin besar suatu perusahaan maka
perusahaan tersebut akan lebih tepat waktu dalam menyampaikan laporan keuangan, karena
semakin besar perusahaan, semakin banyak memiliki sumber daya, lebih banyak staf akuntansi
dan sistem informasi yang canggih serta memiliki sistem pengendalian intern yang kuat
sehingga akan semakin cepat dalam penyelesaian laporan keuangan. Selain itu, perusahaan
besar juga akan lebih tepat waktu dalam penyampaian laporan keuangan untuk menjaga image
atau citra perusahaan di mata publik. Seperti Bank Rakyat Indonesia Agro Niaga Tbk, Bank
Negara Indonesia (Persero) Tbk dan Bank Pan Indonesia Tbk yang dari 2014- 2016 yang tepat
waktu dalam pelaporan keuangan.

4.2.3 Pengaruh Profitabilitas Terhadap Ketepatan Waktu Pelaporan Keuangan


Hasil perhitungan nilai signifikan 0.257 > 0,05. Artinya profitabilitas tidak berpengaruh
signifikan terhadap ketepatan waktu pelaporan keuangan. Hal ini terjadi karena keuntungan
yang diperoleh oleh perusahaan tidak mempengaruhi tepat atau terlambatnya suatu perusahaan
melaporkan laporan keuangannya. Adanya keuntungan tinggi yang dicapai oleh perusahaan
tidak dapat mengambarkan kinerja manajemen yang baik sehingga tidak bisa dipastikan bahwa
perusahaan yang memperoleh keuntungan dapat menyajikan laporan keuangannya secara tepat
waktu.

4.2.4 Pengaruh Struktur Kepemilikan Terhadap Ketepatan Waktu Pelaporan


Keuangan
Hasil perhitungan nilai signifikan 0.067 > 0,05. Artinya struktur kepemilikan tidak
berpengaruh signifikan terhadap ketepatan waktu pelaporan keuangan. Besar kecilnya
prosentase saham yang dimiliki pihak luar ternyata tidak mempengaruhi manajemen untuk
menunjukkan kinerja yang baik.
Adanya konsentrasi kepemilikan dari publik seharusnya membuat pihak manajemen
untuk lebih tepat waktu dalam penyampaian laporan keuangan tahunan perusahaan, karena
pemegang saham dari pihak luar yang ingin dengan segera mengetahui informasi perkembangan
dan kondisi perusahaan.

5.Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka penulis
menarik kesimpulan adalah sebagai berikut:
1. Leverage berpengaruh signifikan terhadap ketepatan waktu pelaporan keuangan
2. Ukuran Perusahaan berpengaruh signifikan terhadap ketepatan waktu pelaporan
keuangan
3. Profitabilitas tidak berpengaruh signifikan terhadap ketepatan waktu pelaporan
keuangan.
4. Struktur Kepemilikan tidak berpengaruh signifikan terhadap ketepatan waktu
pelaporan keuangan.
68 Viola Syukrina E Janrosl dan Agro Putra Prima

5. Leverage, Ukuran Perusahaan, Profitabilitas dan Struktur Kepemilikan secara


simultan berpengaruh signifikan terhadap ketepatan waktu pelaporan keuangan.

DAFTAR PUSTAKA
[1] W. A. N. Sulistyo, “Analisis Faktor Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Ketepatan
Waktu Penyampaian Laporan Keuangan Pada Perusahaan Yang Listing Di Bursa Efek
Indonesia,” 2010.
[2] Bapepam, “Ketua Bapepamv n Keputusan v,” 2017. [Online]. Available:
www.bapepam.go.id.
[3] BEI, “52 Perusahaan Belum Sampaikan Laporan Keuangan,” Metro tv. [Online].
Available: http://ekonomi.metrotvnews.com.
[4] Y. C. B. Sembiring and A. Akhmad, “Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh
Terhadap Ketepatan Waktu Pelaporan Keuangan Pada Perusahaan Perkebunan Dan
Pertambangan Yang Terdaftar Di BEI,” J. Ekon., vol. 15, no. 4, pp. 157–162, 2012.
[5] E. A. Irawan, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketepatan Waktu Pelaporan
Keuangan Perusahaan Perbankan Go Publik Di Bursa Efek Indonesia,” 2012.
[6] K. M. Dewi, “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketepatan Waktu Dan Audit
Delay Penyampaian Laporan Keuangan,” 2013.
[7] L. M. Ifada, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketepatan Waktu Pelaporan
Keuangan,” JAI, vol. 5, pp. 43–56, 2009.
[8] K. A. Al Daoud, K. N. I. K. Ismail, and N. A. Lode, “The Timeliness of Financial
Reporting among Jordanian Companies: Do Company and Board Characteristics, and
Audit Opinion Matter?,” Asian Soc. Sci., vol. 10, no. 13, pp. 191–201, 2014.
[9] N. E. Juan and E. T. Wahyuni, Panduan Praktis Standar Akuntansi Keuangan (Berbasis
IFRS). Salemba Empat, 2012.
Jurnal Akuntansi Keuangan dan Bisnis Vol. 11, No. 1, Mei 2018, 69-78 69

Jurnal Politeknik Caltex Riau


http://jurnal.pcr.ac.id

The Influence of Good Corporate Governance on


Company Value in Jakarta Islamic Index Companies
Vera Oktari 1 , Nanda Fito Mela2 dan Arumega Zarefar3
1
Universitas Riau, email: vera.oktari@lecturer.unri.ac.id
2
Universitas Riau, email: Nanda.fito.mela@gmail.com
3
Universitas Riau, email: arumegazarefar.akt@gmail.com

Abstract
The goal of this study is to assess the effect of the Board of Commissioner, Independent
Commissioner, and Audit Committee to company value. The population in this study was all
companies in Jakarta Islamic Index as many as 30 companies. This study is using purposive
sampling method, there are 15 companies that listed in Jakarta Islamic Index on 2012-2016 that
meets the criteria of the sample. The data analyzed by using multiple regression. The study
states that the Board of Commissioner does not have a significant influence on firm value.
Independent Commissioner has a significant impact on the corporate value. Audit committee
has a significant effect on firm value.

Keywords: Board of Commissioner, Independent Commissioner, Audit Committee, Firm Value

1. Introduction
The purpose of the establishment of a business entity, whether State-Owned Enterprises or
Private-Owned Enterprises is to make a profit. Maximizing the value of the company is one of
the company goals that must be achieved (Anggraini, 2012). Company value is the achievement
completed by the company in a certain period or the results of activities conducted by the
company during a certain period (Zarefar, 2009)
Efforts that can be made by the owner or shareholder to maximize the value of the
company are to submit the management of the company to experts or professionals called
managers (Muryati and Suardikha, 2014). Jensen (2001) in Siallagan and Machfoedz (2006)
states that in order to maximize the company's value in the long run, managers are required to
make decisions that take into account the interests of all stakeholders, so that managers will be
assessed for performance based on their ability to achieve the expected goals. Meanwhile,
according to Morris (1987) in Suranta and Machfoedz (2003) explains that the manipulation of
firm value is assumed to aim to maximize the profit that can lead to agency costs. Furthermore,
Siallagan and Mas'ud Machfoedz (2006) stated that one of the mechanisms expected to control
agency costs is by implementing good corporate governance. The same view is put forward by
Faqi et al. (2013), to solve the problem companies need to implement Good Corporate
Governance (GCG).
The phenomenon of the lack of good corporate governance is the case of PT. Lippo, Tbk,
In this case, the company performs financial manipulation with the detection of three audited
financial statements. In fact, an auditor should, as well as the board of directors and

Dokumen diterima pada Kamis 25 Januari, 2018


Dipublikasikan pada Kamis 31 M ei, 2018
70 Vera Oktari, Nanda Fito Mela, dan Arumega Zarefar

commissioners, be parties that are trusted by shareholders to perform a certain task, which
should be based on good faith and prudence. This indicates that the auditor has neglected to do
his job well. The disclosure of this case is a big loss for the company, which is marked by the
decline in stock prices of the company, because the financial community is hesitant to join the
company (Surya and Ivan, 2006).
Corporate Governance began to become an interesting topic in Indonesia in 1998 when
Indonesia was in crisis. Many banks are bankrupt (liquidated) because their survival cannot be
maintained. One of the causes of bankruptcy of the bank, among others, has not been applied
the principles of Corporate Governance in the banking environment (Effendi, 2008: 84) in
Muryati and Suardikha (2014). Therefore, the government including Bank Indonesia has made
various efforts to promote the realization of Good Corporate Governance in the banking
environment. In 2006 Bank Indonesia issued Bank Indonesia Regulation no. 8/4 / PBI / 2006
dated 30 January 2006 regarding the implementation of Good Corporate Governance for
commercial banks.
According to Zarefar (2009) corporate governance is one of the most efficient ways in
order to reduce the occurrence of conflict of interest and ensure the achievement of corporate
goals. Corporate Governance is a system that regulates and controls companies that are expected
to provide and increase the value of the company to shareholders. To implement good corporate
governance (GCG) and is expected to increase company value in a company, Good Corporate
Governance mechanism is required.
One of the mechanisms of Good Corporate Governance is the Board of Commissioners,
where the board of commissioners is supported by the perspective of service and control
functions that can be provided by the board, as these two functions are more likely to be given
by the Board of Commissioners for the conditions of corporate governance structure in
Indonesia. Service function states that the Board may provide consultation and advice to
management (directors). The interview-based Lorsch and Maclver (1989) study found that the
role of advisory dominates the activities of board members (Young et al., 2001 in Kusumawati
2005). With this emphasis on functionality, Dalton and Daily (1999) state that the role of
expertise or counseling provided by board members is a quality service for management and
companies that cannot be provided by the market. Members of the board of commissioners who
have expertise in a particular field can also provide valuable advice in the preparation of
strategy and organization of the company. The control function undertaken by the board of
commissioners is derived from agency theory that represents a major internal mechanism for
controlling opportunistic management behavior so as to help align the interests of shareholders
and managers (Young et al., 2001 in Kusumawati, 2005).
Another Good Corporate Governance Mechanism is the Independent Commissioner's
Presence, where independent commissioners can also be used to resolve agency conflicts
because independent commissioners can communicate shareholders' goals to managers. With
the increasing complexity and challenges of the company, the company's internal
commissioners have many shortcomings not only because of the low degree of independence
but are also driven by the limitations of the quality of individual internal commissioners. The
existence of Independent Commissioners continues to be strengthened so that the results of its
work remain high with the support of the Audit Committee (Syakhroza, 2004).
Audit Committee also an extension of the board of commissioners, and can assist the Board
of Commissioners in carrying out its responsibilities by providing an overview of accounting
issues and internal oversight systems and financial reporting systems. A free audit committee is
having no business relationship with the company nor does it have a familial relationship with
the board of directors or the Commissioner of the company. With such freedom the Audit
Committee must be fair in making decisions, it is intended for all parties concerned and is
expected to improve the performance of the company (Hendri, 2006). To oversight the financial
statements, the audit committee also serves to oversee the internal control of the company. The
The Influence of Good Corporate Governance on Company Value… 71

presence of this supervision will ensure the achievement of the company's performance and be
able to increase the value of the company (Chan and Li, 2008) in (Muryati and Suardika, 2014).
Some empirical studies have been conducted by researchers namely Rachmawati and
Triatmoko (2007) examine the factors that affect the value of the company. The results of their
research provide empirical evidence that the existence of the audit committee and the
composition of the independent commissioner does not affect the value of the company.
Kusumawati and Riyanto (2005) examine the factors of corporate governance and board
structure on the market value of the firm. Their results show that the size of the board of
commissioners and corporate governance has a positive effect on the market value of the
company.
Rismawati, Yusuf and Asriani (2015) examines the Effect of Internal Audit on the
Implementation of Good Corporate Governance at PT. FIF Palopo Branch. Their results
conclude that the role of internal audit has a positive and significant impact on the
implementation of good corporate governance. Similarly, Adestian research (2015) entitled
Influence of Board of Commissioners, Board of Directors, Independent Board of
Commissioners, Audit Committee and Corporate Size on Corporate Banking Performance
Listed on IDX In 2012-2014, concluded the size of the Board of Commissioners affect the
performance of the company; The Board of Commissioners does not affect the performance of
the company; The Board of Directors has no effect on the performance of the Company; Audit
Committee has no effect on company performance.
Muryati and Suardikha (2014) examine the effect of Corporate Governance on Corporate
Value concludes that the independent audit committee influences the firm's value but with a
negative direction. While Purwaningtyas and Pengestu (2010) examined the Influence Analysis
of Good Corporate Governance Mechanism on Value Company concluded that the Independent
Board of Commissioners and Audit Committee showed the results are not significant to the
value of the company. Meanwhile, Wahyudi (2010) examines the Influence of Good Corporate
Governance Disclosure, Board of Commissioner Size and Cross-Directorship Level of the
Board of Corporate Values concludes that the size of the Board of Commissioners has a
negative and insignificant effect on the value of the company.
From the above description, the researcher is interested to examine the effect of good
corporate governance on corporate value with research variables of Board of Commissioner,
Independent Commissioner, and Audit Committee at companies registered in Jakarta Islamic
Index (JII) in 2012-2016.
2. THEORY AND DEVELOPMENT OF HYPOTHES ES

2.1 Agency Theory


In agency theory it is explained that agency relationship is a contract between manager
(agent) and investor (principal). The conflict of interest between the owner and the agent occurs
because the possibility of the agent does not always do in accordance with the interests of the
principal, thus triggering agency costs (Ujiyanto, et al, 2007). The agency theory assumption
states that the separation between ownership and management of a company can lead to agency
problems. The owner of the company will authorize the manager (manager) to take care of the
running of the company such as managing funds and making other company decisions for and
on behalf of the owner of the company. It is possible that managers do not act on behalf of the
owner's interests, due to differences of interest (Hamdani, 2016).
In agency theory, share ownership is wholly owned by shareholders and managers (agents)
are required to maximize the return rate of holders (Barle and Means, 1932, in Hamdani, 2016).
Thus it can be concluded that the core of the agency relationship is the separation between
ownership (on the side of the principal / investor) and the manager (on the part of the agent /
manager). According to Jensen and Meckling (1976) in the agency theory called principal is the
shareholder and the agent is the management that manages the company (Zarefar, 2009).
72 Vera Oktari, Nanda Fito Mela, dan Arumega Zarefar

This theory emphasizes the importance of the company owner (shareholder) hands over the
management of the company to the professionals (agents) in running the business every day.
The goal is for the owners of the company to get the maximum profit as possible with the cost
efficiency and managed by professionals. In general, management objectives and shareholders
are usually no different. Both aim to maximize profits and increase revenue growth and share
price of the company. However, in certain situations there are also different interests, whose
solutions are often more favorable to management (OECD, 1999).
Conflict of interest caused by the possibility that the agent does not always act in
accordance with the interests of the principal can be minimized with a supervisory mechanism,
Corporate Governance is expected to serve as a tool to convince various related parties (Zarefar,
2009). Good Corporate Governance Mechanism serves as a tool to discipline managers to
comply with contracts that have been agreed, so that the existence of good governance
mechanism based on the principles of Corporate Governance is expected to reduce agency
problems in the company which can then improve the performance of the company (Hartono
and Nugrahanti , 2014).

2.2 Company Value


The Company was established with the aim of increasing the value of the company through
increasing wealth of owners or shareholders. The higher the value the company describes the
more prosperous the owner. The value of the company will be reflected from its stock market
price (Fama, 1978).
The main purpose of the company is to increase the value of the company through
increasing the wealth of owners or shareholders (Brigham, 1996). To increase the value of the
company by arranging the company's financial activities, called financial management.
According to the concept of Corporate Governance will get the value of the company (value of
the firm) is maximal if the functions and tasks of each perpetrator of a modern business
organization can be separated, then the company will obtain maximum corporate value.
The importance of Corporate Governance is also emphasized by various academics with
the ultimate goal that the application of the GCG concept in the company can provide the
company's value in a sustainable manner and at the same time provide benefits for the interest
of shareholders and related stakeholders.

2.3 Good Corporate Governance


The Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) defines corporate governance as
a set of rules that establishes relationships among stakeholders, managers, creditors,
government, employees, and other internal and external stakeholders. From the definitions
described above, it can be concluded that corporate governance is a set of rules run by interested
parties to ensure that the activities and goals of the company are to meet the interests and
welfare of the stakeholders, not merely achieve the goals of the company itself.
In the implementation there are some principles of good corporate governance that must be
applied by the company. GCG principles according to the KNKCG (National Committee on
Corporate Governance Policy) attached in the General Guidelines of Corporate Governance
(FCGI 2001) include transparency, accountability, responsibility, independency, and equity and
fairness.

2.4 Factors Affecting Corporate Value

2.4.1 Board of Commissioners


The Board of Commissioners plays a very important role in the company, especially in the
implementation of Good Corporate Governance. The Board of Commissioners is the core of
Corporate Governance assigned to ensure the implementation of corporate strategy, overseeing
management in managing the company, and obliging the implementation of accountability. In
principle, the Board of Commissioners is an oversight mechanism and mechanism to provide
The Influence of Good Corporate Governance on Company Value… 73

guidance and direction to corporate managers. Given the responsible management to improve
the efficiency and competitiveness of the company, while the Board of Commissioners is
responsible for overseeing management, the Board of Commissioners is a center of endurance
and success of the company.
The relationship between the number of board members and the value of the firm is
supported by the perspective of service and control functions that the board can provide. Since
these two functions are more likely to be given by the board of commissioners for the condition
of corporate governance structure in Indonesia, the hypothesis of this study is limited only to the
number / size of the board of commissioners only. Kusumawati and Riyanto (2005) examine the
factors of corporate governance and board structure on the market value of the firm. Their
results show that the size of the board of commissioners and corporate governance has a
positive effect on the market value of the company.
From the explanation, the proposed research hypothesis is:
H1: The Board of Commissioners positively affects the value of the company.

2.4.2 Independent Commissioners


Independent Commissioner is a representative of shareholders in a broad sense that is
stakeholders, which usually comes from government agencies, communities, NGOs, or other
organizations that are outside the company and do not have shares in the narrow sense of the
company where he became a commissioner. The independence and plurality of the Council, can
make the Board work better which can then increase the value of the company. The Beasley
(1996) study examined the relationship between the proportion of the Board of Commissioners
and the fraud with non-cheating companies.
Nuryanah's research (2004) found evidence that the composition of the Board of
Commissioners had no significant effect on the value of the company. Siallagan and Machfoedz
(2006) stated that the Board of Commissioners positively affects the value of the company.
From the explanation the proposed hypothesis is:
H2: independent commissioner positively influences the firm's value.

2.4.3 Audit Committee


In order to improve oversight of the management of the company and the implementation
of GCG Indonesia Stock Exchange in Regulation No.1-A requires the establishment of Audit
Committee in public companies. Audit Committee should consist of individuals who are
independent and not involved with the day-to-day tasks of the managing management of
company, and have experience to perform monitoring functions effectively. One of the main
reasons for this independence is to maintain objective integrity and perspective in the report and
the preparation of recommendations proposed by the Audit Committee, as independent
individuals tend to be more impartial and impartial and objective in dealing with a problem.
The number of members of the Audit Committee adjusted to the extent of organization and
responsibility. But usually three to five members is an ideal amount. The Audit Committee is
usually required to hold meetings three to four times a year to carry out its obligations and
responsibilities regarding the financial reporting system (FCGI, 2001). The Freedom of the
Audit Committee is an important factor for ensuring accountability of management to
shareholders (Blue Ribbon Committee, 1999; Cadbury Committee, 1992 in Hendri, 2006).
Rita grace (2005) in Hendri (2006) finds that the Freedom Audit Committee influences
achievement in decision making when facing disputes between management and external
auditors. Hendri's research (2006) found that the Freedom Audit Committee had no effect on the
performance of the company. Based on the explanation, the proposed research hypothesis is:
H3: audit committee has a positive effect on company value.
74 Vera Oktari, Nanda Fito Mela, dan Arumega Zarefar

3. RESEARCH METHODS

3.1 Population and Sample


The population in this study is all companies classified into the Jakarta Islamic Index (JII)
listed on the Indonesia Stock Exchange. Sample used in this study as many as 75 companies.
Sampling technique using purposive sampling method, determine with certain criterion. The
data in this study are collected from the financial statements of JII companies listed on the
Indonesia Stock Exchange during the period of 2012-2016 which can be seen in www.idx.co.id.

3.2 Measurement of Variables


Variable of firm value is measured by Price Book Value (PBV) in accordance with
research conducted by Zarefar (2009). Board of Commissioners variables is the number of
board of commissioners owned by the company (Kusumawati and Bambang 2005). Independent
Commissioner Variable is calculated by percentage of Independent Commissioner amount to
total number of commissioner that exist in composition of board of commissioner (Rachmawati
and Triatmoko 2007). Audit Committee variables are calculated by the percentage of
independent Audit Committee divided by the total number of Audit Committee (Hendri, 2006).

3.3 Data Analysis Method


Data analysis method in this research is quantitative data analysis method processed by
Statistical Package for Social Science (SPSS) 17 computer program. Data analysis is using
descriptive statistic, classical assumption test, and then hypothesis testing. Hypothesis testing is
using multiple linear regression analysis. The multiple linear regression equation analysis which
is built in this research is:
Y = α + β1X1 + β2 X2 + β3 X3 + e. (1)
Information:
Y: The value of the company X3: Audit Committee
X1: Board of Commissioners e: Error
X2: Independent Commissioner
4. RESULT AND DISCUSSION RESULT

4.1 Descriptive Statistics Analysis


Descriptive statistics can provide descriptive or description of data seen from the mean,
standard deviation, variant, maximum, minimum, sum, range, kurtosis, and skewness (Ghozali,
2009). The results of statistical descriptive treatment of each variable in this study are as
follows:
Table 1. Descriptive statistics
N Minimum Maximum Mean Std.
Deviation
PBV 75 -.29 15.52 5.8975 5.58784
DK 75 1.10 2.48 1.8321 .29325
KI 75 -1.94 -.18 -.8816 .29482
KA 75 1.10 1.95 1.2400 .23251
Valid N (listwise) 75
Source: SPSS Output
Table 1 shown that value of company assessed by PBV has an average of 5.8975. Board of
Commissioner's variables have an average of 1.8321 means the average sample company has
1.8321% size of the board of commissioners. Independent Commissioner's variables have an
average of -0.8816 means the average sample company has -0.8816% independent
commissioners of the entire board of commissioners. Audit committee variables have an
average of 1.2400%, means the average sample company has 1.2400% audit committee.
The Influence of Good Corporate Governance on Company Value… 75

4.2 Hypothesis Testing Results and Discussion


Hypothesis testing in this study was conducted by using multiple linear regression analysis
technique. Researchers use α = 5% to assess the significance of the relationship between each
variable studied. Regression analysis results are presented in the following table: Based on table
3 above it can be seen that Durbin Watson value is 1.080, which indicates that Durbin Watson's
value in this research is between -2 and +2, so the regression model is free from autocorrelation.
Table 2. Hypothesis testing result
Unstandardized Standardized
Model Beta t Ig.
Coefficients Coefficients
B Std. Error
Constant .336 .756 912 365
DK .768 .064 .198 .826 072
KI 5.944 .105 -.314 2.823 006
KA 8.534 .698 -.355 3.163 002
Dependent Variable: PBV
Source: SPSS Ouput

4.2.1 Influence of the Board of Commissioners on Corporate Value


From table 4 regression test above can be seen that the variables of the Board of
Commissioners (DK) has t count <t table that is equal to 1.826 and significance value> α that is
equal to 0.072. So it can be concluded that the BOC variable has no significant effect on the
value of the company. Thus, hypothesis 1 in this research is rejected. This finding is
inconsistent with the results of Siallagan and Machfoedz (2006) and Kusumawati and Bambang
(2005) research and suggesting that the Board of Commissioners positively affects the value of
the company. However, these findings strengthen the results of Nuryanah (2004) Research
which found evidence that the composition of the Board of Commissioners has no significant
effect on the value of the company. A possible explanation is due to the different impact of the
BOC's Size on Corporate Values with respect to company performance and the difference in
sample used. During this time the board of commissioners has two trends, the first role of the
commissioner is too strong in the company and the two roles of the commissioner who is too
weak in carrying out its supervisory functions. The first tendency occurs when the
commissioner represents the majority shareholder. In this case the commissioner too often
intervened the board of directors, being excessively suspicious of the directors. In contrast, the
second tendency occurs when the directors of the position are so strong that the effectiveness of
the commissioner becomes impeded because, the directors are very reluctant to divide authority.

4.2.2 Effect of Independent Commissioners on Corporate Value


From table 4 above regression test results can be seen that Independent Commissioner (KI)
has t count <t table that is equal to -2,823 and significance value> α that is equal to 0,006.
Where the result of data processing is obtained t count equal to -2.823 and t table (n-k-1 = 75-3-
1 = 71,055) is 1,993 thus t cal <t table, this means first hypothesis accepted, meaning there is
influence between independent commissioner with company value. The result of this study in
line with the results of research Siallagan and Machfoedz (2006) stated that independent
commissioners significantly influence the value of the company.

4.2.3 The influence of the Audit Committee on Corporate Values


From table 4 above regression test results can be seen that the variable Audit Committee
(KA) has t count> t table that is -3.163 and the significance value <α that is equal to 0.002.
Where the result of data processing is obtained t count of -3,163 and t table (n-k-1 = 75-3-1 =
71,055) is 1,993 thus t cal <t table, this means first hypothesis is accepted, it means there is
influence between audit committee to company value. This research is in line with the research
76 Vera Oktari, Nanda Fito Mela, dan Arumega Zarefar

of Muryati and Suardikha (2013) which examines the effect of Corporate Governance on
Corporate Value and concludes that audit committee influences company value.

4.3 Significant Simultaneous Test (F Test)


Simultaneous Significance Test is used to find out how large independent variables (X1,
X2 and X3) together affect the dependent variable (Y). Before comparing the value of F, we
must determine the degree of trust (1-ɑ) and degrees of freedom (n-(k + 1) in order to determine
the critical value. The Alpha value used in this study is 0.05. Where the decision criteria used is
if F count <F table then H0 accepted because it has no significant effect and if F count> F table
then Ha accepted because there is significant influence. Alpha value used in this study was 0.05.
From the table 5, it is known that F count of 5.397 with a significance value of 0.002 <0.05
which means Ha accepted and H0 rejected. This shows that the variable size of the board of
commissioners, independent commissioners and audit committee together significantly affect
the value of companies in companies listed in (JII) year 2012-2016.
Table 3. Simultaneous Hypothesis Testing Recapitulation (F test)
F Sig. Symbol Alpha (ɑ) Explanation Result
Ha Accepted
5.397 .002b < 0,05 Significant
H0 Rejected
Source: SPSS output

4.4 Results of Coefficient of Determination Test (R2)


Coefficient of Determination (R2) is a coefficient used to see how much independent
variable (board of commissioners, independent commissioner and audit committee) can explain
the dependent variable (firm value) as shown at table 6.
Table 4. Coefficient of Determination Test Result (R2)
Model R R Square Adjusted R Std. Error of Durbin-
Square the Estimate Watson
1 .431a .186 .151 5.14783 1.080
a. Predictors: (Constant), KA, DK, KI; b. Dependent Variable: PBV
Source: SPSS Output

5. CONCLUSIONS AND SUGGESTIONS

5.1 Conclusions
The results of research on the research model and hypothesis testing proposed in this study
resulted in several conclusions as follows:
1. Normality of this research data can be seen from Normal Probability Plot. Normal
Probability The plot in this regression analysis model shows that the data is close to the
diagonal line. The classical assumption test performed on the regression analysis model is
obtained evidence that the regression model is free from multicollinearity, heterocedasticity,
and autocorrelation problems.
2. The first hypothesis submission shows that the size of the Board of Commissioners has no
effect on the value of the firm (Price Book Value). Rejection this hypothesis shows that a
high Board of Commissioner's Size may not necessarily increase the value of the company.
3. Submission of the second hypothesis indicates that the Independent Commissioner
influences the firm's value (Price Book Value). Acceptance this hypothesis shows that the
presence of Independent Commissioners affects the value of the company.
4. Submission of the third hypothesis indicates that the Audit Committee influences the value
of the firm (Price Book Value). Acceptance this hypothesis shows that the Audit
Committee's independence affects the value of the company.
The Influence of Good Corporate Governance on Company Value… 77

5.2 Limitations of Research


1. The number of samples to be the object of research is still too little, so the picture of the
results of this study does not present the general situation that occurred in the Jakarta Islamic
Index.
2. In addition, this study does not pay attention to external factors that influence the value of
companies such as political issues, investor behavior, market sentiment and others.
3. This study only uses Price Book Value (PBV) to measure the value of the company. While
many other components that can be used in measuring the value of the company, for
example, Return on Equity (ROE), Return on Assets (ROA), Net Profit Margin (NPM).

5.3 Suggestions
The suggestions given by the author based on the results of the analysis used are:
1. In this study the sample used only from companies listed in the Jakarta Islamic Index (JII), in
subsequent research selection of the sample used should be expanded
2. In subsequent research replace the other independent variables that are suspected to have a
significant influence on the value of the company.
3. Future researchers can use other financial ratios to measure company value.

REFERENCES
[1] Adestian, Yuda, “Pengaruh Dewan Komisaris, Dewan Direksi, Dewan Komisaris
Independen, Komite Audit dan Ukuran Perusahaan pada Kinerja Perusahaan Perbankan
yang Listing di BEI pada Tahun 2012-2014”, Jurnal Universitas Dian Nuswantoro,
Semarang. 2015. (Jurnal)
[2] Andri Rachmawati dan Hanung Triatmoko, “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kualitas Laba dan Nilai Perusahaan”, Simposium Nasional Akuntansi X Makassar, 26-28
Juli, 2007. (Jurnal)
[3] Anggraini, Dina, “Pengaruh Good Corporate Governance Terhadap Nilai Perusahaan
Pada Perusahaan Textile, Garment yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Periode
2009-2012”, e-Journal Accounting Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjung Pinang.
Vol.2, No. 2, 2012. (Jurnal)
[4] Beasley, M., “An Empirical Analysis Of The Relation Between The Board Of Director
Composition And Financial Statement Fraud”, The Accounting Review. Vol. 71. Pp.443-
465, 1996 (Jurnal)
[5] Daily, C.M., & Dalton, D.R., “Corporate Governance and The Bankrupt Firm: An
Empirical Assessment”, Strategic Management Journal, Vol. 15 No. 6, pp. 643-56, 1994.
(Jurnal)
[6] Effendi, M.A, “The Power of Good Corporate Governance” Teori dan Implementasi”,
Salemba Empat, 2008. (Buku)
[7] Fama, Eugene F, “The Effects of a Firm’s Investment and Financing Decisions on the
Welfare of Its Security Holders”, The American Economic Review. 272-284, 1978.
(Jurnal)
[8] Forum for Corporate Governance in Indonesia, Seri Tata Kelola (Corporate Governance)
Jilid II. http://fcgi.org.id, 2001. (Sumber Internet)
[9] Ghozali, Imam. “Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS“. Semarang:
UNDIP.
[10] Hamdani, “Good Corporate Governance Tinjauan Etika dalam Praktik Bisnis”, Mitra
Wacana Media; Jakarta, 2016. (Buku)
[11] Hartono, Daniel F., & Nugrahanti, Yeterina W. “Pengaruh Mekanisme Corporate
Governance Kinerja Keuangan Perusahaan Perbankan”, Dinamika Akuntansi, Keuangan
dan Perbankan, Vol. 3, No. 2, 2014. (Jurnal)
[12] Hendri, Ma’ruf, “Pemasaran Ritel”, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006. (Buku)
78 Vera Oktari, Nanda Fito Mela, dan Arumega Zarefar

[13] Jensen, M. C and Meckling, W.H, “Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency
Costs and Ownership Structure”, Journal of Financial Economics, Oktober, 1976, V. 3,
No. 4, pp. 305-360, Avalaible from:http://papers.ssrn.com (Sumber Internet)
[14] Kusumawati, Dwi Novi dan Bambang Riyanto LS, “Corporate Governanve dan Kinerja:
Analisi Compliance Reporting dan Struktur Dewan Terhadap Kinerja”, Simposium
Nasional Akuntansi (SNA) VIII Solo, 2005. (Prosiding Konferen)
[15] Lorsch, J.W. & E. Maclver, “pawns or potentates: The Reality of America’s Corporate
Boards”. Boston; Harvard Business School Press, 1989. (Buku)
[16] Muryati, N.N.T.S., dan Suardhika, I.M.S., “Pengaruh Good Corporate Governance pada
Nilai Perusahaan”, Jurnal Akuntansi Universitas Udayana, 2014. (Jurnal)
[17] Nuryanah, Siti, “Analisis Hubungan Board Governance dengan penciptaaan Nilai
Perusahaan: Studi Kasus Perusahaan tercatat di BEJ”, Universitas Indonesia, Depok,
2004.
[18] OECD, OECD Principles of Corporate Governance, 1999. (Buku)
[19] Purwaningtyas dan Irene Rini Demi, “Analisis Pengaruh Mekanisme Good Corporate
Governance Terhadap Nilai Perusahaan (Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur
yang Terdaftar di BEI Tahun 2007-2009)”, Jurnal Akuntansi Universitas Diponegoro,
Semarang, 2011. (Jurnal)
[20] Rismawati, Yusuf Q, dan Rezeki Asriani, “Pengaruh Internal Audit Terhadap Penerapan
Good Corporate Governance pada PT. FIF Cabang Palopo”, Jurnal Akuntansi Sekolah
Tinggi Ilmu Ekonomi Muhammadiyah Palopo. Vol 02, No 01. Hal 32-37, 2015. (Jurnal)
[21] Siallagan, Hamonangandan M. Machfoedz, “Mekanisme Corporate Governance,
Kualitas Laba dan Nilai Perusahaan”, Simposium Nasional Akuntansi (SNA) IX .
Padang, 2006. (Prosiding Konferen)
[22] Suranta, Eddy dan Mas’ud Machfoedz, “Analisis Struktur kepemilikan, Nilai Perusahaan,
Investasi dan Ukuran Dewan Direksi”, Simposium Nasional Akuntansi VI. Surabaya,
2003. (Jurnal)
[23] Surya, Indradan Ivan Yustia vandana, ”Penerapan Good Corporate Governance
(Mengesampingkan Hak-hak Istimewa demi Kelangsungan Usaha”, LKPMK. Jakarta,
2006.
[24] Syakhroza, Ahmad, “Model Komisaris untuk Efektifitas Good Corporate Governance di
Indonesia. Usahawan. No.65, 2004.
[25] Ujiyanto, Muh Arief, dan Bambang Agus Pramuka, ”Mekanisme Corporate Governance,
Manajemen Laba dan Kinerja Keuangan”, SNA 8,kakpm-01, Unhas Makassar, 2007.
(Prosifing Konferen)
[26] Wahyudi, Johan, “Pengaruh Pengungkapan Good Corporate Governance, Ukuran Dewan
Komisaris dan Tingkat Cross-Directorship Dewan Terhadap Nilai Perusahaan”, Fakultas
Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang, 2010. (Skripsi)
[27] Weston, J. Fred & Eugeence F. Bringham, “Modern Portofolio”, The Dryden Pass. New
York, 11 edition, 1996. (Buku)
[28] Zarefar, A, “Pengaruh Good Corporate Governance Terhadap Nilai Perusahaan Pada
Perusahaan LQ-45 DI Bursa Efek Indonesia”, Fakultas Ekonomi Universitas Riau, 2009.
(Skripsi).
Jurnal Akuntansi Keuangan dan Bisnis Vol. 11, No. 1, Mei 2018, 79-88 79

Jurnal Politeknik Caltex Riau


http://jurnal.pcr.ac.id

The Machiavellian Character, Ethical Environment


and Personal Cost in their impact to Whistleblowing
Intention (Empirical Study on SAMSAT of Pekanbaru
City and Rokan Hulu Regency)
Arumega Zarefar1 , Raja Adri Satriawan Surya2 , Nanda Fito Mela3
1
Universitas Riau, email:arumegazarefar.akt@gmail.com
2
Universitas Riau, email: rajaadri@gmail.com
3
Universitas Riau, email: nanda.fito.mela@gmail.com

Abstract
The objective of this study is to examine the effect of Machiavellian Character, Ethical
Environment and Personal Cost to Whistleblowing Intention. This research was directed to all
employees who work on SAMSAT Pekanbaru City and Rokan Hulu District. The sampling
method that used in this study is purposive sampling. Collecting data of this study using a
questionnaire submitted to 130 working in the office of One Stop Roof Administration Unit
(SAMSAT) Pekanbaru City and Rokan Hulu District. From questionnaires distributed, 82
questionnaires can be completed and can be processed. Data collected were analyzed with
Partial Least Square (PLS). The results of hypothesis testing conclude that: first, Machiavellian
nature has influence toward whistleblowing intention with value tcount 3,551 > ttable 1,99. Second,
Ethical Environment has effect toward whistleblowing intention with value t count 2,829>
ttable1,99. Third, Personal Cost has impact toward whistleblowing intention with value tcount
4,200> ttable 1,99. The result of the coefficient of determination (R2 ) is 0,556 which means that
the independent variable used in this research affects Whistleblowing Intention of 55,6% while
the remaining 44,4% is influenced by other variables not included in this regression model.

Keywords: Machiavellian Character, Ethical Environment, Personal Cost, Whistleblowing


intention

1. INTRODUCTION

1.1 Research Background


In recent years, many cases of fraud have occurred in Indonesia, both in the private and
public sectors. When viewed from the side of the public sector, especially in the government
sector has a lot of fraud. One form of fraud that happens is corruption. Corruption is categorized
as one of extraordinary crimes. Corruption is any form of misuse or abuse of power in order to
enrich oneself or a particular group (Purba P. Bona, 2015).
Corruption turned out to have a negative impact on people's welfare. Fraud in the form
of corruption can lead to financial losses of the state which then affects the loss of public
confidence. Therefore, corruption must be eradicated in order for Indonesia's development to
run safely and public trust will return. One way that can be used to express cheating is by doing

Dokumen diterima pada Senin 16 April, 2018


Dipublikasikan pada Kamis 31 M ei, 2018
80 Arumega Zarefar, Raja Adri Satriawan Surya, dan Nanda Fito Mela

whistleblowing. Whistleblowing is one of the actions performed by an employee (former


employee) to express what he believes about illegal or unethical behavior to higher management
or to authorities outside the organization or the public (Bouville, 2007). Near and Miceli (1985),
states that Whistleblowing is a disclosure by an organization member (former employee or
employee) of illegal, immoral or unlawful practices under the control of his supervisor, to
individuals or other parties who may be able to influence corrective action. While people who
do whistleblowing it is known as whistleblower.
Whistleblower is a person (an employee within an organization) who notifies his
supervisors or to the ruling authorities about dishonest acts, illegal activities, or errors
commonly occurring in government departments, public organizations, private organizations or
a company (Susmanchi, 2012) . Reports provided by a whistleblower are more effective in
exposing fraud than internal audit, internal controls or external auditing (Sweeney, 2008).
Whistleblower's role really attracts the world's attention. How not, the case of big
accounting scandals like Enron and Worldcom revealed because of the whistleblower. The
Whistleblower is Sherron Watkins in the Enron case, Cynthia Cooper on Worldcom and Coleen
Rowley of the FBI. In Enron's case, cheating lies in manipulated corporate financial statements
to show good performance. The financial statements made by Enron Company are deliberately
manipulated by marking up the company's earnings (academia.edu).
While the case on the SAMSAT is case of SAMSAT Palembang. Corruption Crime
Unit (Tipikor) Police SUMSEL (South Sumatra police) found an indication of misuse of tax
deposit funds in the body of SAMSAT Palembang in 2012 ago that caused the state losses
reached Rp 64 billion. The case occurred in 2012. To uncover this case we have examined
several witnesses among them Regional Revenue Service (DISPENDA) SUMSEL (South
Sumatra) Officer, Officer Bank of South Sumatra Babel and officer of Jasa Raharja. According
to him, in this case alleged perpetrators do not deposit the tax money paid by the community.
For example, taxpayers who should pay a tax of Rp 4 million only paid officer of Rp 2 million.
While the remaining Rp 2 million is not paid. The suspect in this case is Eppy Mirza.
(Tribunsumsel.com) Another SAMSAT case of civil servant (PNS) Samsat Gunung Sugih,
Central Lampung, Agus Firmansyah became defendant corruption case of motor vehicle tax
payable. Corruption of tax revenues of vehicle tax (PKB) and motor vehicle tax refund
(BBNKB) taxpayer in the Regional Revenue Service (Dispenda) of Central Lampung 2014-
2015 to cause state losses amounting to Rp2, 49 billion. The revealing is Cholik Amalik.
The behavior of someone in doing whistleblowing or not doing whistleblowing usually
based on the intention (Surya, 2017). So that intention can motivate someone to do
whistleblowing. Intention in behaving can be regarded as a guide in decision making. One
factor that tends to have a significant impact on whistleblowing is the individual level of
Machiavellian. Machiavellian is an individual who justifies any means to achieve his goal
(Abdullah (1970: 189) Individuals who have a high Machiavellian character tend to make
ethical decisions primarily on deception and manipulation to achieve their goals. High
Machiavellian attributes ignore ethical norms when dealing with moral problems Based on the
above explanation it can be said that someone who has a high Machiavellian character will play
an important role in making a decision to conduct whistleblowing Derek and Radtke (2012)
examine the relationship between Machiavellian character and ethical environment to
whistleblowing intentions the results show that Machiavellian character have an influence on
whistleblowing intentions. A person with a high Machiavellian character, a desire for low
whistleblowing. Research of Rodiyah (2015) also shows that the Machiavellian character have
effect on the intention of doing whistleblowing.
Derek and Dalton (2012) also stated that organizations with a good ethical environment
can have an effect on the intention of doing whistleblowing. Organizations with a good ethical
environment can be done with ethical training for their employees. Ethical training has a great
impact on individuals who have low Machiavellian character than individuals with high
Machiavellian traits in finding cheating to report (Bloodgood, 2010).
The Machiavellian Character, Ethical Environment and Personal Cost… 81

In accordance with the above statement, the Ethical Environment is also believed to be
a variable that may affect the intention of conducting whistleblowing. The organizational ethical
environment is effectively able to encourage individuals to express fraud. Given that ethical
training is unlikely to be effective in increasing the whistleblowing intentions of high Mach type
of people, the organizational ethical environment can effectively encourage high Mach types to
reveal mistakes. Organizations can help facilitate disclosure of corporate errors by encouraging
organizational norms, practices, and rewards with ethical behavior. The organizational ethical
environment will increase the whistleblowing intentions for high Mach type of people as well as
low Mach types. A strong ethical environment will gradually be important for high Mach type
of people, because a strong ethical environment can help high-minded people to report errors.
Sweeney (2010: 545) states that companies with a good ethical environment can influence
ethical decisions of professional tax workers and auditors.
The last variable assessed to affect the intention in doing whistleblowing is personal
cost. In contrast to research conducted by Dalton and Radtke (2012: 156) make personal cost as
a moderating variable between Machiavellian characters with the intention of doing
whistleblowing. While this research makes the variable personal cost as an independent
variable, because it is believed that the variable personal cost can directly influence the intention
of doing whistleblowing. Personal Cost is the employee's view of the risk of retaliation or
sanction from members of the organization, which may reduce the employee's interest to report
wrongdoing (Schutlz et al., 1993). Members of the organization in question are management,
supervisors, or co-workers. Personal cost is one of the main reasons individuals do not want to
report allegations of abuse because they feel that their reports will not be followed up, they will
feel retaliation for the report, or management will not protect them from the threat of retaliation,
particularly on the type of offense involving managers (Septianti, 2013: 1067).

1.2 Formulation of the problem


Based on the background of the problem described above, the problem formulation in
this research are:
1. Does the Machiavellian character affect the intention of doing whistleblowing?
2. Does the ethical environment affect whistleblowing intentions?
3. Does personal cost affect the intention of doing whistleblowing?

1.3 Research Objectives


The purpose of this research are:
1. To test the effect of Machiavellian character on the intention of doing whistleblowing.
2. To examine the influence of the ethical environment on the intention of conducting
whistleblowing.
3. To test the effect of personal cost on the intention of doing whistleblowing.

2. LITERATURE REVIEW

2.1. Literature review

2.1.1. Whistleblowing
Whistleblowing is the disclosure by an organization member (employee or former
employee) in engaging in illegal, immoral, or legitimate practices under the supervision of a
supervisor to an employee or organization that may have an effect of corrective action (Near
and Micelli, 1985).
Bouville (2007) states whistleblowing is the action of an employee to express what he
or she believes to be illegal or unethical behavior to higher management or internal
82 Arumega Zarefar, Raja Adri Satriawan Surya, dan Nanda Fito Mela

whistleblowing or to authorities outside organization and to the public (external


whistleblowing).

2.1.2. The Machiavellian Character


Christie and Geis (1970) describe the Machiavellian personality as an antisocial
personality, which ignores the conventional morality and has a low ideological commitment. In
general, individuals with high Machiavellian character are more likely to ignore ethical norms
when faced with moral problems (Dalton and Radtke, 2012: 153). Furthermore Vitell (1991)
and Granitz (2003) describe the Machiavellian personality as a person accepting unethical
behaviors such as theft and cheating practices, then Dahling (2009) and Gunnthorsdottir (2002)
suggest Machiavellian individuals will take action taking into account the economic benefits
gained as the basis for acting.
Robbins (2008: 139) defines Machiavellian as the degree to which one individual is
pragmatic, maintains an emotional distance, and is confident that the outcome is more important
than the process. This Machiavellian character is a trait that has adverse effects on a profession,
especially the accounting profession. Because someone who embraces Machiavellian character
will tend to have a manipulative attitude in his life.

2.1.3. Ethical Environment


Ethics is a fundamental concept for all areas of accounting, marketing, finance,
government and so forth. A person's ethical behavior and actions will have an impact on others
and the environment including the environment in which he or she works, and vice versa, the
environment that has formed in an organization may affect members of the organization.
Behavior and ethical actions also become a critical part of the determinants of the sustainability
of the company or more familiar with the term GCG (Good Corporate Governance). Awareness
of the importance of this is precisely the case when various cases of counter-ethics occur both in
the accounting profession and business as a whole.
There are two views on the factors that influence the ethical actions made by an
individual. First, views that argue that unethical actions or decision-making are more influenced
by the individual's moral character. Second, unethical actions are more influenced by the
environment, such as corporate reward and punishment systems, the ethical climate of the
organization and the socialization of professional codes of ethics by the organizations in which
the individuals work (Trevino and Youngblood, 1990 in Purnamasari and Chrismastuti, 2006:
2). Connecting or attaching individual identity in an organization.

2.1.4. Personal Cost


According to Schutlz et al., (1993) personal cost is the employee's view of the risk of
retaliation or retaliation or sanction from members of the organization, which may reduce the
employee's interest to report wrongdoing. Members of such organizations may be from
management, supervisors, or co-workers. Some retaliation may occur intangibles, such as
uneven performance appraisals, salary increases, termination of employment, or transfer to
undesirable positions (Curtis, 2006).
Personal cost is one of the main reasons why a person does not want to report a
suspected offense because they believe their report will not be followed up, they will experience
retaliation, or management will not protect them from the threat of retaliation, especially in the
type of offense involving managers ( Brown, 2008 in Rodiyah, 2015).

2.2. Framework

2.2.1. Effects of Machiavellian Character on the Intention to Conduct Whistleblowing


Machiavellian is a process whereby manipulators earn a lot of rewards compared to
what they do without manipulation, when individuals get fewer in the short term (Christine and
Geis, 1970 in Princess, 2016). Individuals with high Mach character tend to do more
The Machiavellian Character, Ethical Environment and Personal Cost… 83

manipulation, gain much more, are not easily persuaded, and more persuasive than individuals
with low Mach levels. Individuals with high Machiavellian character will tend to perform
unethical actions compared to individuals with low Machiavellian character. And may affect in
deciding for the intention of doing whistleblowing.
Research on the influence of Machiavellian character by Rodiyah (2015) shows that
Machiavellian character have an effect on the intention to conduct whistleblowing. And in line
with research conducted by Dalton and Radtke (2012: 162) i.e. someone who has a high
Machiavellian behavior will be more unethical. And has an influence on the intention of doing
whistleblowing for low Machiavellian character. This can mean that the lower the
Machiavellian character of a person the higher his intention in doing whistleblowing.
H1: Machiavellian character affect the intention of doing whistleblowing.

2.2.2. The Ethical Environment Effect on the Intention to Conduct Whistleblowing


Arnold et al. (1999, 2000) developed a basic framework showing that organizations can
foster an ethical environment that ultimately leads to more ethical behavior. So it can make the
individual to behave ethically and report errors. Organizational practices such as the Code of
Ethics and ethical training reinforce the ethical norms of the work environment and encourage
ethical decision making. The more individuals / organizations understand the code of ethics then
the decisions taken will be more approached fairness, fair and moral. And relate to the decision
in the intention of doing whistleblowing.
Previous research has found that the organizational ethical environment can influence
ethical behavior in contextual relationships. Research Booth and Schulz (2004) found that a
good ethical environment can help reduce the tendency of managers to behave profits when
problems arise. In line with Sweeney's (2010) study, the ethical environment of a company can
influence ethical decision-making of auditors and professional tax workers. Some components
of the organizational ethical environment, such as top management support and whistleblower
policies can encourage whistleblowing.
Dalton and Radtke (2012: 157) in his research focused on the ethical environment of the
organization. He said that there are six factors that affect the organizational ethical environment
of corporate mission values, leadership and management values, peer groups, procedures and
ethical codes, ethical training and rewards and sanctions. Respondents used are postgraduate
students who have had work experience so that they have more knowledge about good
organizational environment and not.
The results showed that the interaction between ethical environment and Machiavellian
character was significant. A good ethical environment indicates a good impact on a person with
a high Machiavellian character. In short there is a relationship between Machiavellian character
and whistleblowing intentions that are moderated by the ethical environment. And in line with
research conducted by Rodiyah (2015) with respondents of auditors who are in companies that
apply whistleblowing system with the results of research that says that the ethical environment
affects the intention of doing whistleblowing.
H2: The ethical environment affects the intention of doing whistleblowing.

2.2.3. The Influence of Personal Cost on the Intention to Conduct Whistleblowing


Personal cost is one of the main reasons why a person does not want to report a
suspected offense because they believe their report will not be followed up, they will experience
retaliation, or management will not protect them from the threat of retaliation, especially in the
type of offense involving managers (Rodiyah, 2015). Schultz et al. (1993) declare personal cost
as the employee's view of the risk of retaliation / retaliation or sanction from members of the
organization, which may reduce the employee's interest to report wrongdoing. In line with
research conducted by Zhuang (2003: 21) suggests that the most valued personal cost is
retaliation from people in organizations who oppose reporting. The magnitude of retaliation or
84 Arumega Zarefar, Raja Adri Satriawan Surya, dan Nanda Fito Mela

sanctions imposed by management on whistleblowers is the most significant determinant of


whistleblower decisions in disclosing organizational violations.
In research conducted by Dalton and Radtke (2012: 156) personal cost moderate
Machiavellian character variable with whistleblowing intentions. While Rodiyah (2015) in her
research said that personal cost negatively affect the intention to conduct whistleblowing with
the object of research at the accountant who is in the company that has implemented
whistleblowing system in DKI Jakarta. This means that from the negative influence is when the
personal cost is low then the intention in doing whistleblowing becomes high.
The results of this study supported Schultz, et al (1993), with the object of research
managers and professional staff at Go Public companies in Norway, America and France, stated
that personal cost negatively affect the intention of doing whistleblowing. So it can be
concluded that the higher the personal cost of the individual the more reluctant he is in the
intention of doing whistleblowing.
H3: Personal cost affects the intention of doing whistleblowing.

3. METHODS
Population is a generalization region consisting of: objects / subjects that have certain
qualities and characteristics set by researchers to be studied and then drawn conclusions. So the
population not only people, but also objects and objects - other natural objects. Population also
not just the number of objects or subjects that are studied, but includes all the characteristics or
properties possessed by the subject or object (Sugiyono, 2014: 115). The population in this
research is all permanent employees who work on SAMSAT Pekanbaru and Rokan Hulu
Regency.
The sample is part of the number and characteristics possessed by that population.
Sample size is the size of the sample taken to carry out a study of the population that has been
determined. The size of the sample can be determined statistically or through the researcher's
estimation. It should be noted that the selected sample should be representative, in the sense that
all the characteristics of the existing population can be reflected in the selected sample
(Sugiyono, 2014: 116). The sampling in this study all employees or permanent employees at
SAMSAT Pekanbaru and Rokan Hulu that have worked at least 2 years.
The type of data used in this study is quantitative data in the form of scores on answers
given by the respondents to the questions that exist in the questionnaire. The data source used is
the primary data obtained from the respondents' answers which are employees who work on
SAMSAT Pekanbaru and Rokan Hulu.
To test the hypothesis used Partial Least Square (PLS) technique using SmartPLS 3.0
M3. The PLS model is a structural equation model (SEM) based on components or variance.
PLS is a powerful analytical method because it is not based on many assumptions such as
unnecessary sample size, potential distribution of variables must be normal, and the use of
formative and reflexive indicators makes PLS more suitable to choose (Latan and Ghozali,
2012: 77).

4. FINDINGS AND ARGUMENT

4.1. Descriptive Subject Research


Research subjects used in this study are employees of SAMSAT Pekanbaru and Rokan
Hulu. The population of this research is all employees of SAMSAT Pekanbaru and Rokan Hulu
Regency. The sample in this study are employees who work on SAMSAT Pekanbaru and Rokan
Hulu and have worked for at least 2 years.

4.2. Description of Research Variables


The questionnaire instrument used in this study consisted of 4 variable measurements.
Machiavellian character variable using 9 statements, ethical environment variable 7 questions,
personal cost 3 questions and Whistleblowing intention variable using 3 items statements.
The Machiavellian Character, Ethical Environment and Personal Cost… 85

The description of the research variables is presented in the descriptive statistics table,
to see the mean and standard deviation can be seen in the following table:
Table 1. S tatistic Descriptive Result

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation


SM 82 22.00 40.00 31.6341 4.03843
LET 82 24.00 35.00 29.7805 1.92466
PC 82
5.00 14.00 10.5610 1.76452
MW 82 6.00 14.00 10.7439 1.64663
Valid N (listwise) 82

source : data processing 2017

The average value of these four variables is greater than the value of the standard
deviation, so this indicates that the data spread is good.

4.3. Hypothesis testing


In the PLS statistical test each hypothesized relationship is performed using a
simulation. In this case the bootstrap method is performed on the sample. The test results with
bootstrapping from PLS analysis can be seen in the table previously presented images of
boostrapping results.

S ource : data processing, 2017

Figure 1. Bootstaping Result


86 Arumega Zarefar, Raja Adri Satriawan Surya, dan Nanda Fito Mela

Table 2. Bootstrapping Result

Original Sample Standard


t statistics p value
Sample Mean Deviation

SM -> MW 0,323 0,323 0,091 3,551 0,000

LE-> MW 0,199 0,194 0,070 2,829 0,005

PC-> MW 0,460 0,487 0,110 4,200 0,000

4.4. Hypothesis Testing Results

4.4.1. Influence of Machiavellian Character on the Intention Conducting


Whistleblowing
The first hypothesis proposed in this study is the Machiavellian character effect on the
Intention of Conducting Whistleblowing. The results of hypothesis testing 1 can be seen in
Table 4.8 which shows that the relationship of Machiavellian character variable (MC) with the
Intention Conducting Whistleblowing (WI) has a coefficient value of 0.323 with a t value of
3.551> 1.99 (p <0.05). These results indicate that the Machiavellian character affects a person's
intention in doing whistleblowing. This means Hypothesis 1 is accepted.
The results in this study are in line with research conducted by Derek Dalton and Robin
R. Radtke (2012); and Syaifa Rodiyah (2015) who found that the Machiavellian character affect
a person's interest in doing whistleblowing.

4.4.2. The Ethical Environment Effect on the Intention Conducting Whistleblowing


The second hypothesis proposed in this study is the Ethical Environment has an effect
on the Intention of Conducting Whistleblowing. The results of hypothesis 2 testing can be seen
in Table 4.8 which shows that the relationship of Ethical Environment variable (EE) with the
intention Conducting Whistleblowing (WI) has a coefficient value of 0.199 with a t value of
2.829> 1.99 (p <0.05). These results indicate that the ethical environment affects the Intention
of Conducting Whistleblowing. This means Hypothesis 2 is accepted.
The results of this study are in line with research conducted by Derek Dalton and Robin
R. Radtke (2012) and Syaifa Rodiyah (2015) which also revealed that the ethical environment
influences the intention in doing whistleblowing.

4.4.3. The Influence of Personal Costs to the Intention of Conducting Whistleblowing


The third hypothesis proposed in this study is the Personal Cost Affects the Intention of
Conducting Whistleblowing. The results of hypothesis 2 testing can be seen in table 4.8 which
shows that the relationship of personal cost variable (PC) with Interest Conducting
Whistleblowing (WI) has a path coefficient value of 0.460 with t value of 4.200> 1.99 (p
<0.05). These results indicate that personal cost affects the Intention of Conducting
Whistleblowing. This means Hypothesis 3 is accepted.
The results of this study are consistent with research conducted by Schultz, et al (1993),
Kaplan and Whitecotton (2001), and Derek Dalton and Robin R. Radtke (2012) who also
revealed that personal cost affects a person's intention in doing whistleblowing.
The Machiavellian Character, Ethical Environment and Personal Cost… 87

5. CONCLUSIONS

5.1. Conclusion
This study aims to analyze the relationship among Machiavellian character, ethical
environment, personal cost, to whistleblowing intention at SAMSAT of Pekanbaru and Rokan
Hulu. To analyze the relationship among these variables, this research uses Partial Least Square
(PLS). Based on the analysis and discussion in the previous section, it can be concluded as
follows:
1. The results of the first hypothesis test shows the character of Machiavellian influence
on the intention of doing whistleblowing. This means that the greater the character of
a Machiavellian someone has, the more it will fail to do the whistleblowing and the
lower the Machiavellian personality, the more he wants to do the whistleblowing.
2. Results of the second hypothesis test shows the ethical environment has an influence
on the intention of doing whistleblowing. This means that a good ethical environment
will determine intention in doing whistleblowing
3. The result of the third hypothesis test shows that personal cost has an influence on the
intention of doing whistleblowing. This means that the personal cost perceived by a
person will determine the intention to conduct whistleblowing

5.2. Limitations of Research


Limitations in this study are:
1. The sample of this research is only limited to the staff of SAMSAT of Pekanbaru and
Rohul regency with the number of respondents as many as 82 people so cannot
generalize the research results.
2. Surveys conducted using questionnaires and not interviewing the intended
respondents directly, are perceived as less likely to reflect actual behavior and
conditions of the respondents.

5.3. Suggestion
Based on the conclusion that has been put forward, it can be given suggestions for
further researchers that:
1. Further research should be added direct interview method on each respondent in an
effort to collect data, so as to avoid the possibility of respondent not objective or not
serious in filling questionnaires.
2. Further research is expected to expand the object of research to generalize the results
of research. Can also be done on staff / employees of a company.
3. In the next research, it is expected that the researcher can add some other independent
variables which may also influence the intention of doing whistleblowing, also can be
added the mediation or moderator variable to develop the research model.

REFERENCES
[1] Abdullah, Abdul Rahman Haji, “Pemikiran Islam di Malaysia: Sejarah dan Aliran”.
Malaysia: Gema Insani Press, 1997.
[2] Arnold, V., Lampe, J., & Sutton, S. (1999). Understanding the factors underlying ethical
organizations: Enabling continuous ethical improvement. Journal of Applied Business
Research, 15, 1–20.
[3] Arnold, V., Lampe, J., & Sutton, S. (2000). Creating an ethically driven organization: A
model for fostering an epidemic of ethical intensity. Advances in Accounting
Behavioral Research, 3, 201–224.
88 Arumega Zarefar, Raja Adri Satriawan Surya, dan Nanda Fito Mela

[4] Booth, P., & Schultz, A. (2004). The impact of an ethical environment on managers’ project
evaluation judgments under agency problem conditions. Accounting, Organizations
and Society, 29, 473–488
[5] Bouville, M. 2007. Whistle-Blowing and Morality.Journal of Business Ethics 81: 579–585.
[6] Christie, R., & Geis, F. (1970). Studies in Machiavellianism. New York: Academic Press.
[7] Curtis, Mary B. “Are Audit-related Ethical Decisions Dependent upon Mood?”. Journal of
Business Ethics. Vol.68; 191-209, 2006.
[8] Dalton, Derek dan Robin R. Radtke. “The Joint Effects of Machiavellianism and Ethical
Environment on Whistle-Blowing”. Spriager Science + Bussiness Media Dordrecht,
2012.
[9] Dahling, J., Whitaker, B., & Levy, P. (2009). The development and validation of a new
Machiavellianism scale. Journal of Management, 35(2), 219–257.
[10] Gunnthorsdottir, A., McCabe, K., & Smith, V. (2002). Using the Machiavellianism
instrument to predict trustworthiness in a bargaining game. Journal of Economic
Psychology, 23, 49–66.
[11] Miceli, M. P. dan J. P. Near. 1985. Characteristics of Organizational Climate and Perceived
Wrongdoing Associated with Whistle-Blowing Decisions. Personnel Psychology
1985(38): 525 544.
[12] Purba P. Bona. 2015. Fraud Dan Korupsi (Pencegahan, Pendeteksian, dan
Pemberantasannya). Lestari Kiranatama: 2015.
[13] Purnamasari, St Vena dan Agnes Advensia Chrismastuti, “Dampak Reinforcement
Contigency Terhadap Hubungan Sifat Machiavellian dan Perkembangan M oral”.
Padang: Simposium Nasional Akuntansi 9, 2006.
[14] Robbins, Stephen P. dan Timothy A. Judge. “Perilaku Organisasi (Organizational
Behavior)” Buku 1, edisi 12. Jakarta: Salemba Empat, 2008.

[15] Schultz-Jr., J. J., D. A. Johnson., D. Morris dan S. Dyrnes. 1993. An Investigation of The
Reporting of Questionable Acts in an International Setting. Journal of Accounting
Research 31: 75-103.
[16] Septianti, Windy. “Pengaruh Faktor Organisasional, Individual, Situasional, dan
Demografis Terhadap Niat Melakukan Whistleblowing Internal”. Manado: Simposium
Nasional Akuntansi, 2013.
[17] Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta.
[18] Surya, Raja Adi Satriawan and Zarefar, Arumega and Mela, Nanda Fito, Whistle Blowing
in the Police Sector: The Importance of Control Behaviour Factor and Professional
Commitment (March 3, 2017). Accounting and Finance Review (AFR) Vol. 2(2) 2017.
9-14.
[19] Susmanschi, G. 2012. Internal Audit and Whistle-Blowing. Economics, Management, and
Financial Markets 7(4): 415– 421.
[20] Sweeney, Breda, Don Arnold dan Bernard Pierce. “The Impact of Perceived Ethical
Culture of the Firm and Demographic Variables on Auditors’ Ethical Evaluation and
Intention to Act Decisions”. Journal of Business Ethics, Spriager, 2010.
[21] Syaifa, Rodiyah. 2015. Pengaruh Sifat Machiavellian, Lingkungan Etika, Personal Cost
Terhadap Intensi Melakukan Whistleblowing. Jakarta: Program Sarjana (S1)
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
[22] Vitell, S., Lumpkin, J., & Rawwas, M. (1991). Consumer ethics: An investigation of the
ethical beliefs of elderly consumers. Journal of Business Ethics, 10, 365–375.
[23] Zhuang, Jinyun, “Whistleblowing & Peer Reporting: A Cross-Cultural Comparison of
Canadians and Chinese”, Tesis Magister Sains. Canada: University of Lethbridge,
2003.
Jurnal Akuntansi Keuangan dan Bisnis Vol. 11, No. 1, Mei 2018, 89-98 89

Jurnal Politeknik Caltex Riau


http://jurnal.pcr.ac.id

Pengaruh Sikap, Norma Subyektif, Persepsi Kontrol


Perilaku dan Etika terhadap Whistleblowing
Intention dan Perilaku Whistleblowing
(Studi Empiris di BPKP Perwakilan Riau dan Sumatera
Barat)
Ari Andika Perdana1 , Amir Hasan2 dan M. Rasuli 3
1
Universitas Riau, email: ariandika26@gmail.com
2
Universitas Riau, email: amirhasan1950@yahoo.com
3
Universitas Riau, email: mohd_rasuli@yahoo.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti faktor yang menggunakan Theory of Planned Behavior/
TPB yaitu sikap, norma subjektif dan persepsi kontrol atas perilaku dengan tambahan variabel
etika, untuk menjelaskan minat melakukan whistleblowing dan perilaku whistleblowing auditor.
Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuesioner yang disampaikan kepada 120
auditor yang bekerja pada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan
Provinsi Riau dan Sumatera Barat. Dari kuesioner yang disebarkan, sebanyak 89 kuesioner
(74.12%) diisi lengkap dan dapat diolah. Data yang dikumpulkan, dianalisis dengan
menggunakan Warp Partial Least Square (WarpPLS). Hasil penelitian menghasilkan
kesimpulan: Pertama, sikap berpengaruh terhadap whistleblowing intention. Kedua, norma
subyektif berpengaruh terhadap whistleblowing intention. Ketiga, persepsi kontrol atas perilaku
tidak berpengaruh terhadap whistleblowing intention. Keempat, etika tidak berpengaruh
terhadap whistleblowing intention. Kelima, whistleblowing intention berpengaruh terhadap
perilaku whistleblowing. Keenam, persepsi kontrol atas perilaku berpengaruh langsung terhadap
perilaku whistleblowing.

Kata kunci: Theory planned behaviour, etika, whistleblowing intention, dan whistleblowing
behaviour.

Abstract
This study aimed to analyze the influence of attitude, subjective norms and perceived behavioral
control (PBC) and ethic to explain whistleblowing intention and the behavior of whistleblowing
auditor. Collecting data of this study using a questionnaire submitted to 120 auditors who work
on the BPKP at West Sumatra and Riau. From questionnaires distributed, 89 questionnaires
(74,12%) can be completed and can be processed. Data collected were analyzed with Warp Partial
Least Square (WarpPLS). The results of hypothesis testing conclude that: First, the attitude has
significant effect toward whistleblowing intention. Second, subjective norm has significant effect
toward the whistleblowing intention. Third, perceived behavioral control doesn’t effect toward
whistleblowing intention. Fourth, ethic doesn’t effect toward whistleblowing intention. Fifth,
whistleblowing intention has effect toward whistleblowing behavior. Sixth, perceived behavioral
control has significant directly effect toward whistleblowing behavior.

Dokumen diterima pada Senin 16 April, 2018


Dipublikasikan pada Kamis 31 M ei, 2018
90 Ari Andika Perdana, Amir Hasan dan M. Rasuli

Key Words: attitude, perceived behavioral control, subjective norm, ethic, whistleblowing
intention, and whistleblowing behavior.

1. Pendahuluan
Banyak perusahaan telah menerapkan sistem kontrol organisasi hierarkis yang kuat,
tetapi kenyataannya masih banyak ditemukan skandal kecurangan korporasi (fraud) dan praktik
korupsi di dalamnya. Pada tahun2014, The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE)
memproyeksikanpotensi kerugian yang diakibatkan oleh fraud adalah lebih dari $3,7 triliun,
jumlahtersebut setara dengan 5% dari pendapatan tahunan seluruh organisasi di dunia(ACFE,
2014). Fraud sangat sulit terdeteksi karena individu yang melakukanfraud cenderung berupaya
menutupi tindak kejahatannya, fraud merupakan suatutindakan yang sulit diprediksi dan para
auditor memiliki pengalaman yangterbatas dalam mendeteksi fraud.Kompleksitas operasional
organisasi yang semakin meningkat dan adanya keterbatasan informasi dalam suatu organisasi
menyebabkankapasitas organisasi masih perlu terus menerus dioptimalkan melalui mekanisme
kontrol sosial dan pelaksanaan sistem whistleblowing (Waluyo, 2010).
Negara Indonesia belum memiliki dasar yuridis tentang whistleblowing. Indonesia baru
memiliki UU No.13 Tahun 2006 yang mengatur tentang perlindungan terhadap saksi dan korban.
Secara substansial UU tersebut hanya mengatur tentang public crime yang meliputi proses
perlindungan saksi dan korban dari tahap penyelidikan sampai pada keluarnya keputusan
pengadilan, sedangkan whistleblowing konteksnya pengungkapan fakta pada suatu organisasi. Di
Indonesia, Pedoman Sistem Pelaporan dan Pelanggaran (SPP) atau Whistleblowing System
(WBS) diterbitkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) pada 10 November
2008. Tugas KNKG (Komite Nasional Kebijakan Governance) antara lain mengeluarkan
pedoman Corporate Governance, Compliance & Etics, Fraud & Corruption, Whistleblower.
Penelitian mengenai wistleblwing telah banyak dilakukan dan kebanyakan mencoba
menguraikan faktor-faktor apa yang mempengaruhi individu untuk melakukan whistleblowing
(Chiu, 2003). Motivasi whistleblower hanya ingin melakukan sesuatu yang benar pada organisasi
tempat mereka bekerja. Sebenarnya para whistleblower telah mengetahui risiko yang mungkin
diterimanya seperti konsekuensi terhadap karir, kehidupan pribadi, maupun kehidupan
bermasyarakat.. Seperti halnya di Indonesia, mantan Kabareskrim Polisi Republik Indonesia
Susno Duaji yang melaporkan adanya kecurangan dalam hal makelar kasus yang terjadi di dalam
institusinya justru dijadikan tersangka atas pasal pencemaran nama baik dan pelanggaran disiplin
sebagai anggota Polisi Republik Indonesia.
Penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan niat melakukan whistleblowing telah
mengungkap beberapa determinan dari niat whistleblowing. Diantaranya pengaplikasian konsep
Theory of Planned Behavior yang menjelaskan bahwa perilaku yang dilakukan individu timbul
karena adanya niat yang melandasi perilaku tersebut, yang terbentuk oleh tiga faktor utama yaitu
sikap terhadap perilaku, norma subyektif, dan persepsi kontrol atas perilaku hal ini diteliti oleh
Winardi (2013) yang menggunakan kerangka theory Ajzen (1991).
Menurut TPB, determinan langsung dari tingkah laku individu adalah intensinya (I) untuk
menampilkan tingkah laku tersebut. Intensi seseorang dapat diprediksi melalui 3 hal utama, yaitu
sikapnya terhadap hal tersebut dan norma subyektif yang ia miliki juga persepsi kontrol perilaku
(Ajzen, 1991). Penelitian Dalton, (2010) mengatakan Theory Planned Behavior (TPB) mencakup
beberapa variabel yang tidak termasuk dalam Schultz et al.(1993). Schultz et al.(1993) tidak
memperhitungkan tekanan sosial untuk melaporkan kesalahan (yaitu, norma subyektif) tingkat
kesulitan yang dirasakan untuk melaporkan kesalahan (misalnya, perilaku dirasakan); atau
potensi manfaat (misalnya, menghentikan aktivitas yang ilegal atau memperbaiki iklim etis
sebuah perusahaan tertentu) yang mungkin timbul dari keputusan individu untuk melaporkan
Pengaruh Sikap, Norma Subyektif, Persepsi Kontrol Perilaku dan Etika… 91

kesalahan. Selain TPB faktor etika juga sangat mempengaruhi seseorang untuk dapat melakukan
whistleblowing.
Etika merupakan spesifik budaya. Apa yang di anggap etis dalam satu budaya dapat
dianggap tidak etis di tempat lain. Forte (2005) melakukan penelitian terhadap manager dan
eksekutif di Amerika menemukan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara locus of
control dan penalaran terhadap niat whistleblowing. Namun, Chiu (2003) yang melakukan
penelitian serupa terhadap manager di China menemukan bahwa terdapat hubungan positif antara
pertimbangan etis dan niat whistleblowing dengan memasukkan variabel locus of control sebagai
variabel moderasi. Arumega (2016) juga menemukan bahwa terdapat hubungan positif antara
etika terhadap kualitas audit pada auditor BPKP.
Penelitian ini ingin mengetahui pengaruh sikap, norma subyektif dan persepsi kontrol
perilaku dan etika terhadap whistleblowing intention pada auditor internal BPKP Perwakilan
Provinsi Riau. Auditor internal BPKP Perwakilan Provinsi Riau dipilih sebagai responden dalam
penelitian ini karena merupakan salah satu perwakilan dari badan pengawas pemerintah di tingkat
di Indonesia yang bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden. Dari kedudukan ini BPKP
Perwakilan dapat dikatakan sebagai pemeriksa intern, namun dari sudut pemeriksaan BPKP
Perwakilan merupakan pemeriksa intern yang senantiasa mempertahankan sikap obyektif dan
independen, maka dibutuhkan auditor yang profesional dalam menjalankan tugasnya karena
pelanggaran nilai-nilai etika dan norma dianggap sebagai perilaku yang tidak profesional.

2. Telaah Pustaka Dan Pengembangan Hipotesis

2.1 Niat Melakukan Wistleblowing


Sebuah niat perilaku adalah probabilitas subjektif bahwa seseorang mempunyai
probabilitas alternatif perilaku tertentu yang akan dipilih (Ajzen 1991; Hunt dan Vitell, 1986).
Niat melakukan whistleblowing dalam penelitian ini mengacu pada probabilitas individu untuk
benar-benar terlibat dalam perilaku whistleblowing. Seseorang yang melakukan whistleblowing
dikenal dengan whistleblower.
Pada dasarnya pelapor pelanggaran (whistleblower) adalah karyawan dari organisas i
itusendiri (pihak internal), akan tetapi tidak tertutup adanya pelapor berasal dari pihak
eksternal (pelanggan, pemasok, masyarakat). Pelapor seyogyanya memberikan bukti,
informasi, atau indikasi yang jelas atas terjadinya pelanggaran yang dilaporkan,sehingga dapat
ditelusuri atau ditindaklanjuti. Tanpa informasi yang memadai laporan akan sulit
untukditindaklanjuti. (KNKG, 2008). Survey ACFE 2014 menyatakan bahwa pegawai/
karyawan merupakan sumber informasi yang sangat berharga bagi pengungkapan potensi
terjadinya fraud. Hampir setengah dari semua tip yang ada (49%) merupakan pendorong
terdeteksinya fraud.Hotline tip ini biasanya bisa dengan dua cara. Pertama, saluran
komunikasi formal seperti sistem pelaporan hotline bebasis web dan telepon. Kedua,
percakapan informal antara karyawan dan supervisor atau manajer lokal lainnya (Childers ,
2009).

2.2 Sikap
Sikap terhadap perilaku didefinisikan oleh Davis et al. (dalam Jogiyanto, 2007) sebagai
perasaan positif atau negatif seseorang jika harus melakukan perilaku yang akan ditentukan.
Ajzen (1991) mendefinisikan sikap sebagai derajad individu untuk mengevaluasi dan menilai
sesuatu yang menguntungkan atau tidak menguntungkan. Selanjutnya dalam Teori Perilaku
Terencana (Theory of Planned Behavior) yang dikemukakan Ajzen (1991) sikap didefinisikan
sebagai jumlah dari perasaan (afeksi) yang dirasakan seseorang untuk mendukung atau menolak
suatu obyek yang dihadapi dan perasaan yang dirasakan tersebut diukur dengan skala evaluatif
seperti baik atau buruk, setuju atau tidak setuju dan penting atau tidak penting.
92 Ari Andika Perdana, Amir Hasan dan M. Rasuli

2.3 Norma Subyektif


Persepsi membuat keputusan tentang pengaruh social untuk terlibat atau tidak terlibat
dalam perilaku tertentu yang disebut sebagai norma subyektif. Anggota keluarga, rekan kerja,
teman, dan orang lain yang dekat dengan pembuat keputusan mungkin mempengaruhi pembuat
keputusan. Theory Planned Behavior berpendapat bahwa ketika pembuat keputusan merasakan
bahwa orang lain penting menyetujui atau menyarankan perilaku tertentu, pembuat keputusan
lebih mungkin terlibat dalam perilaku itu. Near et al., (1981) mengungkapkan bahwa pelapor
cenderung untuk menerima dukungan dari keluarga dan kenalan social. Hal yang sama juga
diungkapkan oleh Randall dan Gibson (1991) dalam penelitiannya bahwa bahwa pengaruh sosial
mempengaruhi niat profesional kesehatan untuk melaporkan rekan.

2.4 Persepsi Kontrol Perilaku


Persepsi kontrol perilaku didefinisikan sebagai persepsi individu tentang derajad
kesulitan dalam melakukan perilaku tertentu (Ajzen, 1991). Beberapa individu akan merasakan
bahwa akan terlalu sulit untuk melaporkan masalah, dan sebaliknya, orang lain akan merasa
bahwa akan relatif mudah untuk melaporkan kesalahan.

2.5 Etika
Hubungan antara penilaian etika dan niat perilaku telah diteliti secara empiris sehubungan
dengan pengungkapan rahasia dalam setidaknya satu studi (Barnett et al, 1996). Dalam penelitian
tersebut, ditemukan bahwa yang menunjang pelaporan atau pengaduan (suatu bentuk
whistleblowing) adalah etika dan niat untuk melaporkan perilaku rekan kerja yang tidak etis.
Orang-orang yang percaya dengan ethically dari whistleblowing, akan lebih berpotensi memiliki
niat perilaku untuk melaporkan kesalahan yang dilakukan oleh rekan kerja atau atasannya, dan
mereka yang percaya bahwa whistleblowing tidak etis, lebih kecil kemungkinannya untuk
melaporkan perilaku rekan kerja yang tidak etis tersebut.

2.6 Kerangka Pemikiran dan Pengembangan Hipotesis

2.6.1 Pengaruh Sikap Terhadap Whistleblowing Intention


Sikap terhadap perilaku didefinisikan oleh Davis et al. (dalam Jogiyanto, 2007) sebagai
perasaan positif atau negatif seseorang jika harus melakukan perilaku yang akan ditentukan. Sikap
positif mengarah pada menghentikan aktivitas ilegal, melindungi masyarakat dan memperbaiki
iklim etika, sedangkan sikap negatif mengarah pada ancaman pembalasan, (Dalton, 2010).
Penelitian sebelumnya terhadap menemukan bahwa sikap petugas polisi terhadap whistleblowing
memiliki dampak yang signifikan pada niat untuk melakukan whistleblowing baik secara internal
maupun eksternal (Park dan Blenkinsopp, 2009). Dalton, (2010) menemukan bahwa sikap
berpengaruh positif kepada niat seseorang melakukan whistleblowing. Maka hipotesis kedua
dirumuskan:
H1 : Sikap berpengaruh terhadap whistleblowing intention.

2.6.2 Pengaruh Norma Subyektif Terhadap Whistleblowing Intention


Persepsi membuat keputusan tentang pengaruh social untuk terlibat atau tidak terlibat
dalam perilaku tertentu yang disebut sebagai norma subyektif. Theory Planned Behavior
berpendapat bahwa ketika pembuat keputusan merasakan bahwa orang lain penting menyetujui
atau menyarankan perilaku tertentu, pembuat keputusan lebih mungkin terlibat dalam perilaku
itu. Randall dan Gibson (1991) menemukan bahwa pengaruh sosial mempengaruhi niat
profesional kesehatan untuk melaporkan rekan. Demikian juga, Park dan Blenkinsopp (2009)
menemukan bahwa kekuatan sosial memiliki dampak pada whistleblowing intention personil
militer dan petugas polisi. Norma subyektif memiliki efek signifikan posistif pada whistleblowing
Pengaruh Sikap, Norma Subyektif, Persepsi Kontrol Perilaku dan Etika… 93

intention eksternal, tetapi tidak memiliki efek signifikan pada whistleblowing intention internal
(Park dan Blenkinsopp, 2009). Daltong, (2010) menemukan bahwa norma subyektif berpengaruh
positif kepada nia seseorang melakukan whistleblowing. Maka hipotesis ketiga dirumuskan:
H2 : Norma subyektif berpengaruh terhadap whistleblowing intention.

2.6.3 Pengaruh Persepsi Kontrol Perilaku Terhadap Whistleblowing Intention


Persepsi kontrol perilaku didefinisikan sebagai persepsi individu tentang derajad
kesulitan dalam melakukan perilaku tertentu (Ajzen, 1991). Penelitian sebelumnya menunjukkan
bahwa persepsi kontrol perilaku mempengaruhi whistleblowing intention (Park dan Blenkinsopp,
2009). Dalton, (2010) menemukan bahwa persepsi kontrol perilaku berpengaruh positif kepada
niat seseorang melakukan whistleblowing. Maka hipotesis keempat dirumuskan:
H3 : Persepsi kontrol perilaku berpengaruh terhadap whistleblowing intention.

2.6.4 Pengaruh Etika Terhadap Whistleblowing Intention


Orang-orang yang percaya dengan ethically dari whistleblowing, akan lebih berpotensi
memiliki niat perilaku untuk melaporkan kesalahan yang dilakukan oleh rekan kerja atau
atasannya, dan mereka yang percaya bahwa whistleblowing tidak etis, lebih kecil
kemungkinannya untuk melaporkan perilaku rekan kerja yang tidak etis tersebut. Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Randy K. Chiu dengan responden mahasiswa MBA di Guangzhou dan
Shengzhen Mainland of China pada tahun 2002 menyebutkan bahwa etika berpengaruh positif
terhadap niat melakukan whistleblowing.
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan
hipotesis sebagai berikut:
H4 : Etika berpengaruh terhadap whistleblowing intention.

2.6.5 Pengaruh Niat (Intention) untuk Melakukan Whistleblowing pada Perilaku


Whistleblowing
Tujuan utama theory of planned behavior adalah untuk memprediksi dan menjelaskan
perilaku individu (Ajzen, 1985). Menurut teori ini, yang menentukan individu untuk melakukan
suatu perilaku adalah niat untuk melakukan (atau tidak melakukan). Ajzen (2001), niat berperan
penting dalam menentukan tindakan manusia. Semakin kuat niat untuk melakukan perilaku, maka
besar kemungkinan niat tersebut diaktualisasikan dalam bentuk perilaku.
H5 : Niat (intention) untuk melakukan whistleblowing berpengaruh pada perilaku untuk
melakukan whistleblowing.
2.6.6 Pengaruh Persepsi Kontrol atas Perilaku (Perceived Behavioral Control) pada
Perilaku Whistleblowing
Persepsi kemampuan mengontrol perilaku adalah persepsi atau kemampuan diri individu
mengenai untuk mengontrol suatu perilaku, salah satunya perilaku whistleblowing. Hasil
penelitian Chang (1998) menunjukkan bahwa persepsi kontrol atas perilaku merupakan prediktor
kuat dari perilaku seseorang.
H6 : Persepsi kontrol atas perilaku berpengaruh pada perilaku whistleblowing.
94 Ari Andika Perdana, Amir Hasan dan M. Rasuli

2.7 Model Penelitian

Sikap

Norma Subyektif

Persepsi Kontrol Wistleblowing Intention Whistleblowing Behavior


Perilaku

Etika

Gambar 1. Kerangka Model Penelitian

3. Metodologi Penelitian
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah tenaga auditor yang bekerja pada
BPKP Perwakilan Provinsi Riau dan BPKP Perwakilan Provinsi Sumatera Barat, oleh karena itu
penulis menggunakan sensus dengan mengambil seluruh auditor di BPKP Perwakilan Provinsi
Riau dan BPKP Perwakilan Provinsi Sumatera Barat untuk dijadikan sampel. Sumber data
penelitian adalah data primer yaitu data yang diperoleh dengan survey lapangan yang
menggunakan semua metodepengumpulan data original (Kuncoro,2003:127).Data primer di
dapatkan dari pengumpulan kuesioner yang telah di jawab oleh populasi penetian.

3.1 Definisi Operasional Variabel dan Pengukuran Variabel

3.1.1 Sikap
Sikap terhadap perilaku (attitude toward behavior) merupakan evaluasi individu secara
positif atau negatif terhadap benda, orang, institusi, kejadian, perilaku atau niat tertentu.Variabel
ini diukur melalui dua pernyataan yang dikembangkan Park &Blenkinsopp (2009) dan diadopsi
oleh pipit budhi (2012) dengan indikator mengenai pencegahan kejahatan kepada
organisasi,pengendalian korupsi,peningkatan pelayanan publik, melakukan tugasseseorang
sebagai suatu karyawan, dan kepuasan moral dengan menggunakan lima skala likert.
3.1.2 Norma Subyektif
Norma Subjektif (Subjective Norm) merupakan faktor diluar individu yang menunjukkan
persepsi seseorang tentang perilaku yang dilaksanakan.variabel ini diukur dari dua pertanyaan.
Dengan indikator yang pertama mengenai berapa banyak orangyang bangga jika ada orang yang
melaporkan tindak pelanggaran, diukur sesuaidengan norma yang dianut (normative beliefs),
menggunakan lima skala likert.

3.1.3 Persepsi Kontrol Perilaku


Persepsi kemampuan mengontrol perilaku (perceived behavioral control/PBC) adalah
persepsi atau kemampuan diri individu mengenai kontrol individu tersebut atas suatu
perilaku.Park & Blenkinsopp (2009) dan Pipit Budhi (2012) mengukur melalui delapan item
dengan indikator; empat item untuk mengukur faktor-faktor pengendali dan empat item untuk
mengukur perceived power. Empat item faktor kendali menyatakan mengenai kepercayaan
tentang berbagai kesulitan yang sedang dihadapi seorang karyawan dalam proses pelaporan.
Diukur menggunakan lima skala likert. Sedangkan perceivedpower mengukur pentingkah suatu
organisasi menghalangi pelaporan (ataumengabaikan itu); berbagai kesulitan yang dihadapi
ketika sedang dalam prosespelaporan; tidak ada kesempatan untuk melakukan koreksi atas
pelanggaran dan adanya pembalasan oleh organisasi. Diukur menggunakan lima skala likert.
Pengaruh Sikap, Norma Subyektif, Persepsi Kontrol Perilaku dan Etika… 95

3.1.4 Etika
Etika merupakan segala hal yang berhubungan dengan baik dan buruknya perilaku
individu atau kelompok.Etika merupakan spesifik budaya, sehingga apa yang di anggap etis
dalam satu budaya dapat dianggap tidak etis di tempat lain. Pengukuran untuk pertimbangan etika
menggunakan Multidimensional Etchics Scale (MES) yang dikembangkan oleh dikembangkan
oleh Reidenbach dan Robin (1988). Instrumen MES terdiri dari dari 5 macam konstruk etika/
moral, yaitu justice, utilitarianism, relativism, egoism, dan dentology yang diilustrasikan ke dalam
1 buah kasus. Masing-masing kasus terdiri dari 12 pernyataan yang menggambarkan kelima
konstruk tersebut; dua items menggambarkan tentang justice, dua items menggambarkan tentang
relativism, tiga items menggambarkan tentang deontology, dua items menggambarkan tentang
utilitarism, dan tiga items terakhir menggambarkan tentang egoism.

3.1.5 Whistleblowing Intention


Niat untuk melakukan perilaku (intention), merupakan komponen diri individu yang
mengacu pada keinginan untuk melakukan perilaku tertentu.Variabel ini diukur melalui 8
pertanyaan yang diadopsi dari penelitian Pipit Budhi (2012) dengan indikator pengukuran;
cenderung membiarkan pelanggaran tersebut terjadi, melemparkan kesalahan tersebut kepada
rekan kerja, banyaknya tekanan saat dalam bekerja, dan merasa lebih berpengalaman dalam
bekerja.

3.1.6 Behavior
Perilaku (behavior), merupakan tindakan nyata yang dilakukan seseorang berdasarkan
niat yang ada. Variabel perilaku dalam penelitian ini diukur menggunakan instrument yang
diadopsi dari penelitian Hays (2013) yang juga digunakan Rustiarini, et al., (2014). Kuesioner
menggunakan 3 item pernyataan dengan menggunakan skala Likert 7 poin.

4. Hasil Penelitian Dan Pembahasan

4.1 Pengujian Hipotesis dan Pembahasan


Untuk model persamaan struktural (sructural equation model) dapat dilihat pada gambar
berikut:

S (R) 10i

β=0.60
(P<0.01)
NS (R) 2i
β=0.18
(P=0.03) β=0.39
NW (R) 5i (P<0.01) WB (R) 3i
β=-0.03
PP (R) 5i (P=0.36) β=0.36
R2 =0.47 (P<0.01) R2 =0.32
β=-0.02
(P=0.37)
E (R) 10i

Gambar 2. Full Structural Equation Model (setelah modifikasi)

4.1.1 Pengaruh Langsung (Direct Effect)


Untuk hasil pengujian hipotesis pengaruh langsung (direct effect) dalam bentuk model
persamaan struktural (structural equation model) dapat dilihat pada tabel 19 berikut ini:
96 Ari Andika Perdana, Amir Hasan dan M. Rasuli

Tabel 1 : Hasil Uji Hipotesis Pengaruh Langsung (Direct Effects)


Effect Path Standard
NNo. Uji Hipotesis P-Value
Size Coefficient Error

Sikap (S)  Niat


H1 Melakukan <0.001* 0.403 0.603 0.100
Whistleblowing (NW)

Norma Subyektif (NS) 


H2 Niat Melakukan 0.027* 0.070 0.179 0.091
Whistleblowing (NW)

Persepsi Kontrol
Perilaku (PP)  Niat
H3 0.360 0.004 -0.028 0.079
Melakukan
Whistleblowing (NW)

Etika (E)  Minat


H4 Melakukan 0.372 0.006 -0.023 0.071
Whistleblowing (MW)

Persepsi Kontrol
Perilaku (PP) 
H5 0.003* 0.147 0.358 0.125
Whistleblowing Behavi or
(WB)

Niat Melakukan
Whistleblowing (NW) 
H6 <0.001* 0.171 0.390 0.083
Whistleblowing Behavi or
(WB)

* Tingkat Signifikansi P-value ≤ 0.05

Sumber : Data Olahan WarpPLS 5.0, (2017)

Pada tabel 1 diatas dapat diketahui bahwa hipotesis pertama (H1)tidak mendapat
dukungan secara statistik.Ini dibuktikan dengan perolehan nilai p-value sebesar 0.372 > 0.05,
dengan nilai effect size sebesar 0.006 < 0.02 dan nilai path coefficient sebesar -0.023. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa etika tidak berpengaruh terhadap minat melakukan whistleblowing
Kemudian, diketahui bahwa hipotesis kedua (H2) mendapat dukungan secara statistik.
Hasilnya dapat dilihat dari nilai p-value yang signifikan sebesar 0.027 < 0.05, lalu nilai effect size
sebesar 0.070> 0.02 dan nilai path coefficient sebesar 0.179. dari hasil tersebut dapat disimpulkan
bahwa norma subyektif berpengaruh terhadap minat melakukan whistleblowing(Ha.2 diterima
dan Ho.2 ditolak).
Kemudian, untuk hipotesis ketiga (H3) dapat diketahui pada tabel di atas. Hipotesis ketiga
(H3) tidak didukung secara statistik. Hal ini dibuktikan dari nilai p-value sebesar 0.360 > 0.05,
nilai effect size sebesar 0.004 < 0.02 dan nilai path coefficient sebesar -0.028. Dari hasil statistik
yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa persepsi kontrol perilaku tidak berpengaruh terhadap
minat melakukan whistleblowing(Ha.3 ditolak dan Ho.3 diterima).
Selanjutnya, pada tabel 1 di atas diketahui hipotesis ke-empat (H4) mendapat dukungan
secara statistik. Dukungan ini dapat dilihat dari perolehan nilai signifikansi p-value sebesar
<0.001 < 0.05, kemudian nilai effect size sebesar 0.171> 0.15 dan nilai path coefficient sebesar
0.603. dari nilai-nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa sikap berpengaruh terhadap minat
melakukan whistleblowing(Ha.4 diterima dan Ho.4 ditolak).
Pengaruh Sikap, Norma Subyektif, Persepsi Kontrol Perilaku dan Etika… 97

Kemudian, pada tabel 1 di atas diketahui bahwa hipotesis ke-lima (H5) mendapat
dukungan secara statistik. Hasilnya dapat dilihat dari nilai p-value yang signifikan sebesar 0.003
< 0.05, lalu nilai effect size sebesar 0.147 > 0.02 dan nilai path coefficient sebesar 0.358. dari hasil
tersebut dapat disimpulkan bahwa persepsi kontrol perilaku berpengaruh terhadap whistleblowing
behavior (Ha.5 diterima dan Ho.5 ditolak).
Hipotesis ke-enam (H6) juga mendapat dukungan secara statistik yang dapat dilihat pada
tabel 1 di atas. Dukungan tersebut diperkuat dengan perolehan signifikansi p-value sebesar <0.001
<0.05, nilai effect size sebesar 0.390 > 0.35, dan nilai path coefficient sebesar 0.083. Ini berarti
minat melakukan whistleblowing berpengaruh terhadap whistleblowing behavior (Ha. diterima
dan Ho.6 ditolak).

4.1.2 Pengaruh Tidak Langsung (Indirect Effect)


Untuk menguji pengaruh tidak langsung (indrect effect) atau peran variabel mediasi, pada
penelitian ini dengan menggunakan program WarpPLS 5.0 dapat dilihat pada bagian indirect and
total effects – paths, p-values, standard errors and effect sizes of indirect ef fect for path with 2
segments.
Untuk hipotesis ke-tujuh (H7) pada penelitian ini, hasilnya akan ditampilkan pada tabel 2
di bawah ini:
Tabel 2. Nilai Paths, P Values, Standard Errors dan Effect Sizes of Indirect Effects for Paths with 2 Segments

Path Standard Effect


Uji Hipotesis P Value
Coeff. Errors Size

Persepsi Kontrol Perilaku (PP)  Minat Melakukan


Whistleblowing (MW) Wishtleblowing Behavior -0.011 0.370 0.033 0.005
(WB)
Sumber : Data Olahan WarpPLS 5.0, (2017)

Dari hasil yang ditunjukkan pada 2 di atas menjelaskan bahwa hipotesis ke-tujuh (H7)
tidak didukung secara statistik. Hal tersebut dapat dilihat pada tingkat signifikansi p-value sebesar
0.370 > 0.05 dan nilai effect size sebesar 0.005 < 0.02. Nilai-nilai tersebut dapat disimpulkan
bahwa minat melakukan whistleblowing tidak memediasi hubungan antara persepsi kontrol
perilaku terhadap wishtleblowing behavior(Ha.7 ditolak dan Ho.7 diterima).

5. Simpulan Dan Saran

5.1 Simpulan
Simpulan dari penelitian ini adalah sebgai berikut :
1) Hasil uji hipotesis pertama menunjukkan tidak adanya pengaruh sikap terhadap niat untuk
melakukan whistleblowing auditor.
2) Hasil uji hipotesis kedua menunjukkan adanya pengaruh antara norma subjektif dan niat
untuk melakukan whistleblowing auditor.
3) Hasil uji hipotesis ketiga menunjukkan tidak adanya pengaruh antara persepsi kontrol
atas perilaku dan niat untuk melakukan whistleblowing auditor.
4) Hasil uji hipotesis keempat menunjukkan adanya pengaruh sikap terhadap niat untuk
melakukan whistleblowing auditor.
5) Hasil uji hipotesis kelima menunjukkan adanya pengaruh langsung antara persepsi
kontrol atas perilaku dan perilaku whistleblowing auditor.
6) Hasil uji hipotesis keenam menunjukkan adanya pengaruh antara niat untuk melakukan
whistleblowing dan perilaku whistleblowing.
7) Niat untuk melakukan whistleblowing bukan merupakan variabel mediasi antara persepsi
kontrol atas perilaku dengan perilaku whistleblowing.
98 Ari Andika Perdana, Amir Hasan dan M. Rasuli

5.2 Saran
Saran yang dapat diajukan penulis dalam penelitian ini adalah:
1) Untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat menggunakan metode teknik sampling lain,
selain metode sensus.
2) Menggunakan variabel-variabel lain seperti locus of control, komitmen organisasi atau
keseriusan tingkat kecurangandan mengembangkan butir-butir pertanyaan di variabel
yang diduga juga dapat mempengaruhi perilaku whistleblowing auditor.

Daftar Pustaka
[1] Ajzen, I, 1991,“The Theory of Planned Behavior. Organizational Behavior and Human
Decision Processes”50: 179-211.
[2] Arumega Zarefar, Andreas, Atika Zarefar}, “The Influence of Ethics, Experience and
Competency toward the Quality of Auditing with Professional Auditor Scepticism as a
Moderating Variable”, Journal Procedia - Social and Behavioral Sciences},219: 828-
832
[3] Association of Certified Fraud Examiner. (2014). Report to The Nations on Occupational
Fraud and Abuse. Texas: Author.
[4] Barnett, T., Bass, K. and Brown, G, (1996) Religiosity, Ethical Ideology, and Intentions to
Report a Peer’s Wrongdoing, Journal of Business Ethics, vol 15, pp.1161–1174.
[5] Childers, David. 2009. Tapping into Tips. Altamonte Springs.
[6] Chiu, Randy K., 2003. “Ethical Judgement and Whistleblowing Intention: Examining the
Moderating Role of Locus of Control”, Journal of Bussiness Ethics, 43, pp. 65-74.
[7] Dalton, D.W. 2010. A More Comprehensive Whistleblower Model: An Expansion of the
Schultz et.al. (1993) Model. A Disertation In Bussiness Administration - Accouting.
Texas Tech University.
[8] Forte, Almerinda. 2005. Locus Control and the Moral Reasoning of Managers. Journal of
Business Ethics. Springer.
[9] Jogiyanto. 2007. Sistem Informasi Keperilakuan. Percetakan Andi Offset. Yogyakarta.
[10] KNKG (Komite Nasional Kebijakan Governance). 2008. Pedoman Whistleblowing. Jakarta.
[11] Miceli, M., Near, J., and Schwenk, C. 1991. Who Blows the Whistle and Why? Industrial
and Labor Relations Review.
[12] Park, H. and J. Blenkinsopp. 2009. Whistleblowing as Planned Behavior - A Survey of South
Korean Police Officers. Journal of Business Ethics 85: 545-556.
[13] Pipit, Budhi. 2012. Pengujian Teori Planned Behavior dalam Kasus Whistleblowing. Tesis.
UNS.
[14] Rustiarini dan Sunarsih. 2015. Fraud dan Whistleblowing: Pengungkapan Kecurangan
Akuntansi oleh Auditor Pemerintah. Simposium Nasional Akuntansi
[15] Schultz, J.J., D.A. Johnson, D. Morris, and S. Dyrnes. 1993. An Investigation of the
Reporting of Questionable Acts in an International Setting. Journal of Accounting Research
31 (Supplement): 75-103.
[16] Waluyo, 2010. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Sistem Whistle-
Blowing Internal dan Dampaknya Terhadap Fraud dan Sistem Kontrol Organisasi
Hirarkis. Disertasi. Universitas Indonesia. Jakarta.
[17] Winardi, Rijadh Djatu. 2013. The Influence Of Individual and Situational Factors on Lower-
Level Civil Servants Whistle-Blowing Intention in Indonesia. Jurnal Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Universitas Gadjah Mada.
Jurnal Akuntansi Keuangan dan Bisnis Vol. 11, No. 1, Mei 2018, 99-109 99

Jurnal Politeknik Caltex Riau


http://jurnal.pcr.ac.id

Analisis Risiko Kebangrutan pada Perusahaan Bank Umum


Swasta Nasional yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

Bambang Budhijana1 dan Nelmida2

1
STIE Indonesia Banking School, email: nelmida@ibs.ac.id
2
STIE Indonesia Banking School, email: bambang@ibs.ac.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengetahui risiko kebangkrutan perusahaan Bank Umum Swasta Nasional
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang
berasal dari laporan keuangan perusahaan dari tahun 2013-2015. Populasi penelitian ini adalah
seluruh perusahaan Bank Umum Nasional yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dengan teknik
pengambilan sampelnya purposive sampling. Metode analisa yang digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan Model Z Score Altman. Berdasarkan hasil analisis Model Z Score bahwa ada sebelas
perusahaan perbankan yang termasuk kategori aman (Safe Zon) dengan nilai Z Score besar dari
2,60, satu perusahaan perbankan yang termasuk kategori kurang aman (Grey Zone) dengan nilai Z
Score diantara 1,1 dan 2,60, dan dua perusahaan perbankan yang termasuk tidak sehat (Distress
Zone) dengan nilai Z Score kecil dari 1,1.

Kata kunci: risiko kebangkrutan, Model Z Score, Bank Umum Swasta Nasional, dan Bursa Efek
Indonesia.
Abstract
This study emplo to determine the risk of bankruptcy of National PrivateBanks listed on the
Indonesia Stock Exchange. The data used is secondary data from the company's financial
statements repots 2011-2015. The population of this research is all National Commercial Banks
listed on Indonesia Stock Exchange with sampling technique purposive sampling. The method of
analysis used in this research is Z Score Model. Based on the results of Z Score Model analysis that
there are eleventh banking companies that belong to the category of Safe Zone with Z Score value >
2.60, onece of company banking category including Gray Zone with the value is Z Score 1.1 < Z<
2.60, and two companies which includes a Distress Zone with Z Score value <1.1.
Keywords: Bankrupt risk , Z Score Model, National Commercial Banks, and Indonesia Stock
Exchange.
1. Pendahuluan
Setiap perusahaan mempunyai potensi mengalami kebangkrutan, sebelum perusahaan
mengalami kebangkrutan akan diawali dengan kesulitan keuangan (Financial Distress). Distress
risk merupakan risiko kegagalan perusahaan dalam menjalankan operasi atau usahanya Altman [3].
Dalam dunia bisnis, kegagalan dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor ekonomi dan faktor
finansial. Kegagalan ekonomi berarti bahwa perusahaan kehilangan pendapatan sehingga tidak

Dokumen diterima pada Selasa 16 Januari, 2018


Dipublikasikan pada Kamis 31 M ei, 2018
100 Bambang Budhijana dan Nelmida

dapat menutup biaya-biaya perusahaan, ini berarti tingkat laba perusahaan lebih kecil daripada
biaya modal atau nilai sekarang dari arus kas perusahaan lebih kecil dari kewajiban. Sedangkan
faktor keuangan dapat berupa utang yang terlalu banyak serta penggunaan modal yang tidak efisien.
Altman [3] memperkenalkan metode analisis Z-Score untuk mengukur financial strangth. Z-Score
adalah skor yang ditentukan dari tingkat kemungkinan kebangkrutan perusahaan. Semakin rendah
nilai Z (Z-Score) suatu perusahaan menandakan tingginya risiko kebangkrutan (bankruptcy risk )
perusahaan tersebut. Selanjutnya Ohlson [20] memperkenalkan metode analisis O-Score untuk
menyempurnakan metode Z-Score. O-score merupakan pengukuran untuk financial distress.
Perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan (financial distress) akan berpotensi mengalami
risiko kebangrutan. Semakin tinggi O-score berarti semakin tinggi pula kemungkinan perusahaan
mengalami kebangkrutan. Risiko kebangkrutan tidak di kompensasi dengan return yang tinggi.
Dengan kata lain Perusahaan dengan risiko kepailitan yang tinggi (high risk bankruptcy)
memberikan return yang rendah Dichev [9]. Dalam menditeksi potensi kebangkrutan dalam
penelitian menggunakan pendekatan Z Score Altman [3], dengan menggunakan informasi yang
terdapat pada laporan keuangan yang dijadikan dasar untuk menentukan nilai Z Score Atlman [3]
sehingga diperoleh informasi bahwa perusahaan berda dalam kondisi aman (safe zone), kurang
aman (grey Zone), dan tidak aman (financial distress). Oleh karena itu, dengan menggunakan
pendekatan Z Score Altman [3] dapat memprediksi potensi kebangkrutan bisnis untuk periode satu
sampai lima tahun sebelum bisnis tersebut benar-benar bangkrut Nesser dan Aryati [19].
Perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dikelompokkan berdasarkan sektor usaha yang
dilakukan, salah satunya adalah sektor perbakan. Sebelum memutuskan membeli atau menjual
saham, para investor sangat membutuhkan informasi untuk dapat memprediksi besarnya
keuntungan saham yang akan diterima dari investasi yang dilakukan. Informasi yang dimaksudkan
terkait dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat keuntungan yang diharapkan. Risiko
kebangkrutan merupakan salah satu yang akan menpengaruruhi tingkat keuntungan yang
diharapkan (Required of Return) oleh investor. Berdasarkan survey pendahuluan terhadap
empat puluh tiga perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI ada sembilan perusahaan
Perbankan yang memperoleh returns saham kurang dari sepuluh persen, sebagaimana yang
terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Return S aham Perusahaan Bank Umum kurang dari S epuluh Persen
No. Kode Harga Penutupan Harga Penutupan Return 2015 Persen
Saham 30 Desember 2014 30 Desember 2015 (Dalam Rupiah) (% )
(Dalam Rupiah) (Dalam Rupiah)
1. BABP 70 68 -2 -3%
2. BBKP 700 640 -60 -9%
3. BBNP 1.860 1.910 50 3%
4. BCIC 50 50 0 0%
5. BNLI 945 555 -390 -41%
6. BSWD 3.595 2.050 -1.545 -43%
7. BVIC 105 107 2 2%
8. PNBN 820 750 -70 -9%
9. SDRA 1.100 1.150 50 5%
Sumber: https://www.sahamok.com/retun-saham/return-saham-2016
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi kebangkrutan Bank Umum swasta
Nasional dengan menggunakan model Z Score yang dimodifikasi untuk perusahaan non
manufaktur perusahaan yang terdaftar di pasar modal pada negara yang sedang berkembang atau
emerging market Altman [4].
Analisis Risiko Kebangrutan pada Perusahaan Bank Umum Swasta Nasional… 101

2. Tinjauan Pustaka
2.1 Risiko (Risk)
Risiko dapat dikatakan sebagai suatu peluang terjadinya kerugian atau kehancuran. Lebih luas,
rsiko dapat diartikan sebagai kemungkinan terjadinya hasil yang tidak diinginkan atau berlawanan
dari yang diinginkan. Dalam industri keuangan pada umumnya, terdapat suatu jargon “high risk
bring about high return”, artinya jika ingin memperoleh hasil yang lebih besar, akan dihadapkan
pada risiko yang lebih besar pula. Contohnya dalam investasi saham. Volatilitas atau pergerakan
naik-turun harga saham secara tajam akan membuka peluang untuk memperoleh hasil yang lebih
besar, namun sebaliknya, jika harga bergerak ke arah yang berlawanan, maka kerugian yang akan
ditanggung sangat besar Indroes dan Sugiarto [16]. Griffin dan Michael [13] mengatakan risiko
adalah uncertainty about future event, adapun Siegel dan Sim [25] mendefinisikan risiko pada 3 hal
yaitu; a) keadaan yang mengarah kepada sekumpulan hasil khusus dimana hasilnya dapat diperoleh
dengan kemungkinan yang telah diketahui oleh pengambilan keputusan, b) variasi dalam
keuntungan penjualan atau variabel keuangan lainnya, dan c) kemungkinan dari sebuah masalah
keuangan yang mempengaruhi kinerja operasi perusahaan atau posisi keuangan. Eiteman, Stonehill
dan Moffet [10] mengatakan bahwa risiko dasar adalah the mismatching of interest rate bases for
associated assets and liabilities. Sehingga secara umum risiko dapat ditangkap sebagai bentuk
keadaan ketidakpastian tentang suatu keadaan yang akan terjadi nantinya dengan keputusan yang
diambil berdasarkan suatu pertimbangan. Menurut salah satu definisi, risiko (risk) adalah sama
dengan ketidakpastian (uncertainty). Secara umum risiko dapat diartikan sebagai suatu keadaan
yang dihadapi seseorang atau perusahaan dimana terdapat kemungkinan yang merugikan.
Risiko investasi dapat diartikan sebagai kemungkinan terjadinya perbedaan antara actual
return dan expected return, sehingga setiap investor dalam mengambil keputusan investasi harus
selalu berusaha meminimalisasi berbagai risiko yang timbul, baik jangka pendek maupun jangka
panjang. Setiap perubahan kondisi ekonomi baik mikro ataupun makro akan mendorong investor
untuk melakukan strategi yang harus diterapkan untuk tetap memperoleh return. Menurut Jones
[17] total risiko yang mempengaruhi return saham terdiri dari risiko sistematis ditambah dengan
risiko tidak sistematis. Adanya pengaruh yang positif antara penilaian risiko sistematis dan tidak
sistematis terhadap return saham menunjukkan bahwa ketika nilai dari risiko sistematis dan tidak
sistematis keduanya tinggi atau rendah maka akan menyebabkan return saham yang tinggi atau
rendah pula, artinya hubungan risiko terhadap return saham, baik risiko sistematis dan tidak
sistematis akan linier atau searah ketika kedua risiko tersebut berada pada kondisi nilai yang sama
tinggi atau sama rendah. Sharpe, Alexander dan Bailey [24] menyatakan bahwa tingkat
pengembalian yang diharapkan dari suatu saham akan dipengaruhi oleh dua karakter dasar, yaitu
risiko sistematis dan likuiditas saham. Hearth dan Zaima [15] mengatakan risiko sistematis
merupakan risiko yang berasal dari faktor-faktor yang mempengaruhi perusahaan secara langsung,
seperti ketidakpastian kondisi ekonomi (gejolak kurs tukar mata uang, tingkat inflasi dan tingkat
suku bunga yang tidak menentu) dan ketidak pastian politik.
2.2 Risiko Kebangkrutan
Financial distress (kesulitan keuangan) terjadi sebelum kebangkrutan benar-benar dialami
oleh perusahaan. Financial distress sebagai tahap penurunan kondisi keuangan yang terjadi sebelum
terjadinya kebangkrutan ataupun likuidasi Plat dan Plat [21]. Foster [13] mendifinisikan Financial
distress sebagai: “Financial distress is used to mean severe liquidity promlems that cannot be
resolved without a sizeable rescaling of entity’s operations or structure”. Kebangkrutan dapat
diartikan sebagai kegagalan perusahaan dalam menjalankan operasi perusahaan untuk memperoleh
laba. Kebangkrutan sebagai kegagalan diartikan sebagai kegagalan keuangan atau Financial failure
dan kegagalan ekonomi atau economic failure Adnan dan Taufik [1].
Risiko kebangkrutan sebuah perusahaan dapat diukur melalui laporan keuangan dengan cara
melakukan analisis terhadap laporan keuangan. Dengan melakukan analisis laporan keuangan
perusahaan, maka pimpinan perusahaan dapat mengetahui keadaan dan perkembangan financial
102 Bambang Budhijana dan Nelmida

perusahaan dan hasil-hasil yang telah dicapai di waktu lampau, maka dapat diketahui kelemahan-
kelemahan perusahaan dan hasil yang dianggap cukup baik, dan mengetahui potensi kebangkrutan
perusahaan tersebut Adnan dan Taufik [1].
Model Z - Score yang pertama meneliti kebangrutan untuk perusahaan manufaktur dengan
formula sebagai berikut Altman [5]:
Z  Score  1,2 X 1  1,4 X 2  3,3 X 3  0,6 X 4  1,0 X 5
(1)
Dimana: X1 = Net Working Capital / Total Assets (Mengukur assets likuid perusahaan)
X2 = Retained Earnings / Total Assets (Mengukur profitabilitas perusahaan)
X3 = Earnings Before Interest and Taxes / Total Assets (Mengukur efisiensi operasional
perusahaan)
X4 = Market Value of Equity / Book Value of Total Liabilities (Mengukur value
perusahaan berdasarkan harga pasar saham perusahaan)
X5 = Sales /Total Assets (Mengukur kemampuan menghasilkan revenue)
Nilai Z-Score yang telah dihitung dengan menggunakan persamaan (1), selanjutnya
diinterpretasikan kedalam tiga Zona of discriminations, sebagai berikut: Altman [5]; a) Nilai Z>
2,99 , termasuk kategori Saf” Zone, pada kondisi ini perusahaan dalam keadaan sehat dan potensi
kebangkrutan dimasa yang akan datang sangat kecil, b) Nilai 1,81 <Z< 2,99 teramasuk kategori
Grey Zone, pada kondisi ini perusahaan dalam keadaan kurang sehat meskipun masih dapat
bertahan dalam jangka pendek namun potensi kebangkrutan dimasa yang akan datang dinilai cukup
besar terjadi), dan c) NIlai Z< 1,81 termasuk kategori Distres” Zone, pada kondisi ini perusahaan
dalam keadaan tidak sehat dan kondisi keuangan dalam kondisi tekanan yang berat serta potensi
kebangkrutan dimasa yang akan datang dinilai sangat besar terjadi. Altman [6] mengatakan model
Z-Score dengan 5 komponen hanya relevan untuk perusahaan manufaktur. Pada tahun 2000 Altman
melakukan penelitian untuk menditeksi kemungkinan kebangkrutan pada perusahaan Perbankan
pada negara yang sudah maju dengan menggunakan empat komponen dengan formula sbb Altaman
[6]:
Z  Score  6,56 X 1  3,26 X 2  6,72 X 3  1,05 X 4 (2)
Dimana: X1 = (current assets − current liabilities) / total assets
X2 = retained earnings / total assets
X3 = earnings before interest and taxes / total assets
X4 = book value of equity / total liabilities
Nilai Z-Score yang dihitung dengan menggunakan persamaan diatas, selanjutnya ditafsirkan
kedalam 3 Zona of discriminations, sebagai berikut Altman [2]: a) Nilai Z> 2,6, termasuk kategori
Safe Zone, pada kondisi ini perusahaan dalam keadaan sehat dan potensi kebangkrutan dimasa yang
akan datang sangat kecil, b) Nilai 1,1 < Z < 2,6 teramasuk kategori Grey Zone, pada kondisi ini
perusahaan dalam keadaan kurang sehat meskipun masih dapat bertahan dalam jangka pendek
namun potensi kebangkrutan dimasa yang akan datang dinilai cukup besar terjadi), dan c) NIlai Z<
1,1termasuk kategori Distres” Zone, pada kondisi ini perusahaan dalam keadaan tidak sehat dan
kondisi keuangan dalam kondisi tekanan yang berat serta potensi kebangkrutan dimasa yang akan
datang dinilai sangat besar terjadi. Model Z-Score dengan 4 komponen menurut formula (2) hanya
relevan untuk perusahaan perbankan yang telah go public atau terdaftar di bursa saham untuk
negara yang sudah maju, namun kurang relevan jika digunakan untuk perusahaan yang berada di
negara emerging market seperti Indonesia, sehingga model Z-Score tersebut ditemukan masih
memiliki kelemahan. Atas hal tersebut, Altman menyempurnakan model Z-score untuk menilai
risiko keuangan dan memprediksi potensi kebangkrutan perusahaan non manufaktur atau
perusahaan perbankan pada negara emerging market Altman [4] dengan formula sbb:
Z  Score  3,25  6,56 X 1  3,26 X 2  6,72 X 3  1,05 X 4 (3)
Dimana: X1 = (current assets − current liabilities) / total assets
Analisis Risiko Kebangrutan pada Perusahaan Bank Umum Swasta Nasional… 103

X2 = retained earnings / total assets


X3 = earnings before interest and taxes / total assets
X4 = book value of equity / total liabilities
Nilai Z-Score yang dihitung dengan menggunakan persamaan diatas, selanjutnya ditafsirkan
kedalam 3 Zona of discriminations, sebagai berikut Altman [4]: a) Nilai Z> 2,6, termasuk kategori
Saf” Zone, pada kondisi ini perusahaan dalam keadaan sehat dan potensi kebangkrutan dimasa yang
akan datang sangat kecil, b) Nilai 1,1 < Z < 2,6 teramasuk kategori Grey Zone, pada kondisi ini
perusahaan dalam keadaan kurang sehat meskipun masih dapat bertahan dalam jangka pendek
namun potensi kebangkrutan dimasa yang akan datang dinilai cukup besar terjadi), dan c) NIlai Z<
1,1termasuk kategori Distres” Zone, pada kondisi ini perusahaan dalam keadaan tidak sehat dan
kondisi keuangan dalam kondisi tekanan yang berat serta potensi kebangkrutan dimasa yang akan
datang dinilai sangat besar terjadi. Pada penelitian ini model yang digunakan adalah model Z Score
Altman [4], karena beberapa penelitian terdahalu banyak menemukan bahwa bahwa perusahaan
yang diteliti memberikan hasil yang kurang memuaskan. Hal ini disebabkan karena Model Z Score
yang digunakan khusus untuk di negara yang sudah maju seperti Model Z Score Altman [2].
2.3 Penelitian Terdahulu
Pada awalnya, penelitian memprediksi kesulitan keuangan (financial distress) dengan
melakukan perbandingan nilai rasio keuangan pada perusahaan yang sehat dan yang tidak sehat dan
menyimpulkan bahwa rasio keuangan pada perusahaan yang tidak sehat lebih buruk dibandingkan
rasio keuangan pada perusahaan yang sehat dilakukan oleh Ramser dan Foster [13]. Berikutnya
Argyris [7] menggunakan univariate discriminant anlysis dalam memprediksi kebangkrutan dan
menyimpulkan bahwa rasio working capital funds flow/total asset dan net income/total assets
mampu membedakan perusahaan yang akan pailit dengan yang tidak pailit. Selanjutnya Altman [5]
mempelopori penggunaan multivariate discriminant analysis (MDA) dalam memprediksi corporate
failure. Rahmat [22] menganalisa kemungkinan kesulitan dan kebangkrutan pada perbankan
Indonesia setelah dikeluarkan kebijakan Bank Indonesia Tanggal 13 Maret 1999 terhadap 1delapan
belas bank publik. Delapan belas bank publik tersebut terdiri atas 7 bank publik yang dapat
beroperasi tanpa rekapitalisasi, 5 bank publik yang direkapitalisasi, 2 bank publik yang diambil alih,
dan 4 bank publik yang ditutup usahanya. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa semua 18 bank
publik masuk dalam kategori bangkrut. Bahkan termasuk 7 bank publik yang dapat beroperasi tanpa
rekapitalisasi. Pada penelitian ini diperoleh bahwa model Z-Score tidak dapat diterapkan pada dunia
perbankan Indonesia, karena menghasilkan nilai yang bertolak belakang terutama untuk bank-bank
yang dapat beroperasi tanpa rekapitalisasi. Endri [12] meneliti tentang prediksi risiko kebangkrutan
Bank Umum Syariah yang terdiri dari Bank Muamalat, Bank Syariah Mandiri, dan Bank Syariah
Mega Indonesia dengan menggunakan metode Z Score Altman [5]. Berdasarkan hasil penelitian
Endri [12] menemukan bahwa bank syariah diprediksikan akan mengalami kebangkrutan.
2.4 Kekangka Pemikirian
Perusahaan Analisis Risiko Safe Zone (Z > 2,6)
Bank Umum Kebangkrutan Gray Zone (1,1 < Z < 2,6)
Nasional dengan Z Score Distress Zone Z < 1,1

Gambar 1. Kerangka Pemikiran


3. Metode Penelitian
3.1Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan Bank Umum Swasta Nasional yang
terdaftar pada Bursa Efek Indonesia (BEI). Sampel penelitian dipilih dari seluruh populasi dengan
menggunakan teknik purposive sampling yaitu menentukan jumlah sampel sesuai dengan krteria
sbb Sekaran dan Bogie [23]:
1. Termasuk dalam sektor industri Bank Umum Nasional sesuai dengan klasifikasi yang ada dalam
Indonesian Capital Market Directory selama 5 tahun yakni mulai tahun 2011-2015.
104 Bambang Budhijana dan Nelmida

2. Saham dari emiten aktif diperdagangkan selama periode pengamatan.


3. Menerbitkan Laporan Keuangan selama periode penelitian
3.2 Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang berasal laporan
keuangan perusahaan Bank Umum Nasional yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia. Periode
penelitian mulai tahun 2011 sampai dengan 2015 (lima tahun). Laporan keuangan perusahaan
diperoleh dari Indonesian Capital Market Directory (ICMD), Jakarta Stock Exchange (JSX).
3.3 Metode Analisisa
Metoda analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan anlisis
deskriptif dengan cara menghitung nilai Z Score setelah itu mengelompokan nilai Z Score
berdasarkan area (zona) kesulitan keuangan (financial Distress). Kemudian menentukan persentase
nilai Z Score berdasarkan ketiga zona tersebut. Dalam penelitian ini, tingkat Risiko kebangkrutan
perusahaan diproksikan dengan Z-score Altman [4] sesuai dengan formula (3).4. Hasil Penelitian
dan Pembahasan
4.1 Gambaran Umum Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menditeksi kemungkinan kebangkrutan pada perusahaan Bank Umum
Swasta Nasional yang jumlah populasi 60 perusahaan. Pada penelitian ini jumlah sampel yang
sesuai kriteria adalah 14 perusahaan karena hanya 14 perusahaan. Menurut Sekaran dan Bougie [24]
jika jumlah populasinya kecil minamal jumlah sampel 20%. Lama periode penellitian adalah lima
tahun (2011 -2015). Adapun perusahaan perbankan yang menjadi sampel penelitian seperti telihat
pada Tabel 1.
Tabel 2. Perusahaan Perbankan yang Menjadi S ampel
No Kode Nama perusahaan Perbankan
1 INCP PT Bank Artha Graha Internasional, Tbk
2 BBKP PT Bank Bukopin, Tbk
3 BACA PT Bank Capital Indonesia, Tbk
4 BNGA PT Bank CIMB Niaga, Tbk
5 ICBC PT Bank ICBC Indonesia
6 BCIC PT Bank JTRUST Indonesia, Tbk
7 BBMD PT Bank Mestika Dharma
8 BKSW PT Bank QNB Indonesia, Tbk
9 NOBU PT Bank Nationalnobu
10 OUB PT Bank UOB Indonesia
11 BVIC PT Bank Victoria International, Tbk
12 PNBN PT Pan Indonesia Bank, Tbk
13 HSBC PT. Hongkong dan Shanghai Banking Corporation, Tbk
14 OCBC Oversea-Chinese Banking Corporation NISP, Tbk
Sumber: IDX
Untuk menditeksi kemungkinan kebangkrutan perusahaan perbankan Model Z Score yang dipakai
adalah Model Z Score yang sudah dimodifikasi Altman [4] dengan formula (4).
4.2 Hasil Penelitian
Berdasar hasil perhitungan Z Score terhadap 14 perusahaan perbankan maka dapat
dikelompokan atas 3 kategori kemungkinan dalam mempredikasi kebangkrutan perusahaan
perbankan yaitu kategori aman (safe zone), kurang sehat (Grey Zone) dan kurang sehat (distress
Zone).
Tabel 3. Kelompok Perusahaan Perbankan dalam Kondisi Safe Zone
No Kode Tahun
2011 2012 2013 2014 2015
1 INCP 3,62 3,69 3,95 3,88 3,77
2 BBKP 3,92 4,56 4,11 4,04 3,94
3 BNGA 4,26 4.44 4,52 4,42 4,26
Analisis Risiko Kebangrutan pada Perusahaan Bank Umum Swasta Nasional… 105

4 ICBC 4,05 3,44 3,46 3,44 3,43


5 BBMD 5,04 5,36 6,55 6,41 6,26
6 BKSW 5,21 4,51 4,31 4,20 4.11
7 NOBU 5,89 4,58 5,73 5,36 4,71
8 OUB 3,97 4,02 3,94 3,87 3,82
9 BVIC 4,5 3,48 3,45 3,40 3,42
10 PNBN 4,81 4,76 4,61 4,69 4,43
11 HSBC 3,78 3,77 3,76 3,72 3,76
Sumber: Data yang diolah
Dari 14 perusahaan perbankan yang dianalisa ternyata sebelas (78,57%) perusahaan perbankan
berada pada kondisi aman atau sehat (Safe Zone) dengan nilai Z Score besar dari 2,60 dapat dilihat
pada Tabel 2. Pada Tabel 3 terdapat 11 perusahaan dalam keadaan sehat dan potensi kebangkrutan
dimasa yang akan datang sangat kecil. Sedangkan yang termasuk kategori kurang sehat (Grey Zone)
ada satu perusahaan (7,14%) yaitu perusahaan BCIC dengan nilai Z Score 1,1 < Z < 2,6 yang dapat
dilihat pada Tabel 3 dengan Z Score sebagai berikut 1,91, 2,15, 1,64, 1,29, dan 1,48 untuk tahun
2011, 2012, 2013, 2014, dan 2015. Pada Grey zone ini kondisi perusahaan dalam keadaan kurang
sehat meskipun masih dapat bertahan dalam jangka pendek namun potensi kebangkrutan dimasa
yang akan datang dinilai cukup besar terjadi.

Tabel 4. Kelompok Perusahaan BCIC dalam Kondisi Grey Zone


No Kode Tahun
2011 2012 2013 2014 2015
1 BCIC 1,91 2,15 1,64 1,29 1,48
Sumber: Data yang diolah
Berikutnya, perusahaan perbankan yang termasuk kategori tidak sehat (distress zone) ada 2
(dua) perusahaan (14,29%) yaitu perusahaan BACA dan OCBC dengan nilai Z Score kecil dari 1,1
seperti terlihat pada Tabel 4, d Nilai Z score BACA untuk tahun 2011 sebetulnya berada pada
Grey Zone dengan nilai Z Score 1,76, tetapi pada tahun berikutnya 2012, 2013, 2015, dan 2015
mengalami penurunan sehingga berada pada distress zone dengan nilai Z Score 0,80, 0,72, 0,63, dan
0,74 untuk tahun 2012, 2013, 2014, dan 2015. Pada distress zone ini kondisi perusahaan dalam
keadaan tidak sehat dan kondisi keuangan dalam kondisi tekanan yang berat serta potensi
kebangkrutan dimasa yang akan datang dinilai sangat besar terjadi. Begitu juga nilai Z Score untuk
perusahaan OCBC, dimana nilai Z Score lebih rendah dari nilai Z Score perusahaan BACA namun
lebih rendah lagi dengan nilai Z Score yang negatif pada tahun 2011 dengan nilai (-0.07), 0,12
tahun 2012, 0,51 tahun 2013, 0,53 tahun 2014, dan 0,03 tahun 2015.

Tabel 5. Kelompok Perusahaan Perbankan dalam Kategori Distress Zone


No Kode Tahun
2011 2012 2013 2014 2015
1 BACA 1,76 0,80 0,72 0,63 0,74
2 OCBC -0,7 0,12 0,51 0,53 0,03
Sumber: Data yang diolah
4.3 Pembahasan
Hasil analisis data yang telah dilakukan dengan menggunakan Model Z Score Altman [4] untuk
perusahaan non manufaktur atau perusahaan perbankan pada negara yang sedang berkembang
(Emerging market) yang terdaftar di Pasar Modal Indonesia (IDX) tahun 2011-2015 dapat
dikelompokan atas 3 kategori sebagaimana telah dijelaskan pada Tabel 2, Tabel 3, dan tabel 4
pengelompokan kategori dibagi atas tiga yaitu; a) terdapat 11 perusahaan yang termasuk kategori
sehat atau aman (Safe Zone) artinya Perusahaan dalam keadaan sehat dan potensi kebangkrutan
dimasa yang akan datang sangat kecil, diantaranya perusahaan INCP, BBKP, BNGA, ICBC,
BBMD, BKSW, NOBU, OUB, BVIC, NBN, dan HSBC, b)terdapat satu perusahaan perbankan
106 Bambang Budhijana dan Nelmida

yaitu BCIC yang termasuk kategori kurang sehat atau kurang aman (Grey Zone) artinya perusahaan
dalam keadaan kurang sehat meskipun masih dapat bertahan dalam jangka pendek namun potensi
kebangkrutan dimasa yang akan datang dinilai cukup besar terjadi, c) terdapat dua perusahaan
perbakan yaitu BCIC dan OCBC yang termasuk kategori tidak sehat atau tidak aman (Distress
Zone) artinya perusahaan dalam keadaan tidak sehat dan kondisi keuangan dalam kondisi tekanan
yang berat serta potensi kebangkrutan dimasa yang akan datang dinilai sangat besar terjadi.
4.3.1 Pembahasan Hasil Z Score Perusahaan Perbankan BACA
Berdasarkan hasil penelitian bahwa nilai Z Score yang diperoleh untuk Perusahaan BACA
berada pada distress zone yaitu adalah kecil dari 1,1 kecuali pada tahun 2011 dengan nilai 1,76 yang
berada pada grey zone, tetapi setelah itu nilai Z score turun menjadi 0,80 untuk tahun 2012, 0,72
untuk tahun 2013, 0,63 untuk tahun 2014, dan 0,74 untuk tahun 2015. Hasil penelitian ini bertolak
belakang dengan hasil penelitian [12], dimana [12] menemukan nilai Z Score 0,93 untuk tahun 2011
yang berada pada distress zone sedangkan penelitian ini berada pada grey zone. Namun, untuk
tahun 2012 hasil penelitian ini sejalan denagn hasil penelitian [12] dengan nilai Z Score 0,87 yang
juga berada pada distress zone, berarti pada tahun 2012 perusahaan, dalam kondisi tidak sehat atau
tidak aman (Distress Zone) artinya perusahaan dalam keadaan tidak sehat dan kondisi keuangan
dalam kondisi tekanan yang berat serta potensi kebangkrutan dimasa yang akan datang dinilai
sangat besar terjadi, berlangsung sampai 2015. Berdasarkan data yang diperoleh dan hasil analisis,
memburuknya kondisi perusahaan disebabkan karena nilai rasio modal kerja besih dengan total
asset perusahaan bernilai negatif dan rasio lainnya seperti rasio laba ditahan dengan total asset, rasio
EBIT dengan total asset dan rasio nilai pasar ekuiti dengan total hutang sangat kecil sekali. Keadaan
ini berlangsung dari tahun 2011 -2015 dapat dilihat pada Tabel. 5.
Tabel 6. Hasil Hitungan Rasio Keuangan BACA
No Perusahaan BACA Tahun
2011 2012 2013 2014 2015
1 X1 (0,27) (o,41) (0,42) (0,43) (0,42)
2 X2 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01
3 X3 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01
4 X4 0,17 0,11 0,09 0,07 0,12
Sumber: Data yang diolah
4.3.2 Pembahasan Hasil Z Score Perusahaan BCIC
Berdasarkan hasil penelitian bahwa nilai Z Score yang diperoleh untuk Perusahaan BCIC
berada pada kondisi grey zone yaitu nilai Z Scorel 1,1 < Z < 2,6 dapat dilihat pada Tabel 4 dengan
nilai Z Score 1,91 untuk tahun 2011, 2,15 untuk tahun 2012, 1,64 untuk tahun 2013, 1,29 untuk
tahun 2014, dan 1,48 untuk tahun 2015. Kondisi perusahaan dalam keadaan kurang sehat atau
kurang aman (Grey Zone) artinya perusahaan dalam keadaan kurang sehat meskipun masih dapat
bertahan dalam jangka pendek namun potensi kebangkrutan dimasa yang akan datang dinilai cukup
besar terjadi. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Altman [6], dimana Altman [6]
menemukan nilai Z Score 1,33 untuk tahun 2011 tetapi untuk tahun 2012 berbeda dengan hasil
penelitian Altman [6] dengan nilai Z Score 1,07 atau kecil dari 1,1 menurut Altman [3] termasuk
kategori distress zone yang berarti pada tahun 2012 Perusahaan BCIC berada pada daerah tidak
aman (Distress Zone) artinya perusahaan dalam dalam kondisi tekanan yang berat serta potensi
kebangkrutan dimasa yang akan datang dinilai sangat besar terjadi. Namun, Hasil penelitian ini
bertolak belakang dengan hasil penelitian [19] menemukan nilai Z Score perusahaan OCBC dengan
nilai 3,31 untuk tahun 2011, 3,37 untuk tahun 2012, dan 3,62 untuk tahun 2013. Nilai Z Score
tersebut berada pada safe zone dengan nilai Z Score besar dari 2,60 Altman [3] yang berarti
perusahaan dalam kondisi sehat atau aman (Safe Zone) artinya Perusahaan dalam keadaan sehat dan
potensi kebangkrutan dimasa yang akan datang sangat kecil. Berdasarkan data yang diperoleh dan
hasil analisis memburuknya kondisi perusahaan disebabkan karena nilai rasio modal kerja besih
dengan total asset, rasio rasio laba ditahan dengan total asset, rasio EBIT dengan total asset dan
Analisis Risiko Kebangrutan pada Perusahaan Bank Umum Swasta Nasional… 107

rasio nilai pasar ekuiti dengan total hutang sangat kecil sekali, malahan ada yang nilainya nol yaitu
rasio laba ditahan denagn total asset, hal ini bisa terjadi karena selama tanun 2011 -2015 nilai dari
laba ditahannya adalah nol. Keadaan ini berlangsung dari tahun 2011 -2015 dapat dilihat pada Tabel
6.
Tabel 7. Hasil Hitungan Rasio Keuangan BCIC
Tahun
No Perusahaan BCIC 2011 2012 2013 2014 2015

1 X1 0,20 0,20 0,18 0,18 0,18


2 X2 0 0 0 0 0
3 X3 0,02 0,02 0,02 0,02 0.01
4 X4 0,18 0.12 0.12 0.20 0.14
Sumber: Data yang diolah
4.3.3 Pembahasan Hasil Z Score Perusahaan OCBC
Berdasarkan hasil penelitian bahwa nilai Z Score yang diperoleh untuk Perusahaan OCBC
berada pada kondisi distress zone yaitu nilai Z Score kecil dari 1,1 dapat dilihat pada Tabel 4.5
dengan nialai Z Score negatif 0,07 untuk tahun 2011, 0,12 untuk tahun 2012, 0,51 untuk tahun
2013, 0,53 untuk tahun 2014, dan 0,03 untuk tahun 2015, artinya perusahaan dalam dalam kondisi
tekanan yang berat serta potensi kebangkrutan dimasa yang akan datang dinilai sangat besar terjadi.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian [22] yang menemukan nilai Z Score 1,01 untuk
tahun 2011, dan 1,09 untuk tahun 2012. Namun, hasil penelitian bertolak belakan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh [18] yang menyatakan bahwa nilai Z Score besar dari 2,60 yang
berarti perusahaan safe zone dengan nilai Z Score 3,32 untuk tahun 2011, 3,37 untuk tahun 2012,
dan 3,62 untuk tahun 2013, yang berari perusahaan dalam kondisi sehat atau aman (Safe Zone)
artinya perusahaan dalam keadaan sehat dan potensi kebangkrutan dimasa yang akan datang sangat
kecil terjadi. Berdasarkan data yang diperoleh dan hasil analisis memburuknya kondisi perusahaan
disebabkan karena nilai rasio modal kerja besih dengan total asset, rasio rasio laba ditahan dengan
total asset, rasio EBIT dengan total asset dan rasio nilai pasar ekuitas dengan total hutang sangat
kecil sekali, bahkan ada yang nilainya negatif yaitu rasio modal kerja bersih dengan total asset, hal
ini bisa terjadi karena selama tanun 2011 -2015 nilai dari modal kerja bersinnya negatif. Keadaan
ini berlangsung dari tahun 2011 -2015 dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 8. Hasil Hitungan Rasio Keuangan OCBC
Tahun
No Perusahaan OCBC 2011 2012 2013 2014 2015
1 X1 (0.55) (0.53) (0.47) (0.47) (0.53)
2 X2 0,01 0,01 0,01 0,01 (0,00027)
3 X3 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02
4 X4 0.14 0.18 0.17 0.18 0.14
Sumber: Data yang diolah

5. Penutup
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dari 14 (emapat belas) perusahaan perbankan
yang menjadi objek penelitian dengan mengidentifikasi kemungkinan terjadinya kesulitan keuangan
atau kebangkrutan dengan menggunakan model Z Score yang sudah dimodifikasi Altman [5]. Nilai
Z Score yang diperoleh dapat dikelompokan sebagai berikut: a) terdapat 11 (sebelas) perusahaan
yang termasuk pada safe zone yaitu: INCP, BBKP, BNGA, ICBC, BBMD, BKSW, NOBU, OUB, BVIC, PNBN,
dan HSBC, b) terdapat 1 (satu) perusahaa yang termasuk kategore grey zone yaitu perusahaan BCIC,
dan c) terdapat 2 (dua) perusahaan yaitu BACA dan OCBC termasuk kategori distress zone.
Implikasi penelitian untuk perusahaan yang termasuk kategori safe zone dengan indikasi bahwa
perusahaan tersebut termasuk aman atau sehat, hal ini akan berimplikasi pada kelangsungan hidup
108 Bambang Budhijana dan Nelmida

perusahaan. Keadaan ini harus dipertahankan terus dengan cara menjaga nilai rasio keuangan
seperti rasio modal kerja besih dengan total asset, rasio laba ditahan dengan total asset, rasio EBIT
dengan total asset dan rasio nilai pasar ekuitas dengan total hutang. Selanjutnya untuk perusahaan
yang masuk kategori grey zone dengan indikasi bahwa perusahaan tersebut termasuk kurang aman
atau kurang sehat, hal ini akan berimplikasi pada kesinambungan hidup perusahaan, perusahaan ini
tidak akan mengalami kesulitan keuangan, meskipun masih dapat bertahan dalam jangka pendek
namun potensi kebangkrutan dimasa yang akan datang memiliki peluang cukup besar akan terjadi.
Keadaan ini hendaklah menjadi perhatian khusus bagi pihak manajerial agar perusahaan bisa
bertahan dalam jangka waktu lama sehingga perusahaan tidak terancam kebangkrutan. Pihak
manajerial hendaklah berusaha meningkatan rasio keuangan perusahaan umumnya dan khususnya
terkaitan dengan rasio modal kerja besih dengan total asset, rasio laba ditahan dengan total asset,
rasio EBIT dengan total asset dan rasio nilai pasar ekuitas dengan total hutang. Nilai Z Score
perusahaan perbankan yang masuk kategori disterss zone dengan indikasi bahwa perusahaan
tersebut termasuk tidak sehat, hal ini akan berimplikasi pada kelangsungan hidup perusahaan,
dimana peruhaan perbankan yang berada pada distress zone ini akan mengalami kesulitan keuangan
atau akan berpotensi bangkrut dimasa yang akan datang memiliki peluang cukup besar akan terjadi.
Keadaan ini hendaklah menjadi perhatian lebih dan khusus bagi pihak manajerial agar perusahaan
bisa bertahan tidak mengalami kesulitan keuangan dan terancam kebangkrutan. Pihak manajerial
hendaklah lebih berusaha seoptimal mungkin agar bisa memperbaiki kondisi keuangan perusahaan
denagn sehingga nilai rasio keuangan perusahaan secara keseluruhan bisa meningkat dan khususnya
terkaitan dengan rasio modal kerja besih dengan total asset, rasio laba ditahan dengan total asset,
rasio EBIT dengan total asset dan rasio nilai pasar ekuitas dengan total hutang.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat dibuat beberapa ketebatasan penelitian
sebagai berikut; a) penelitian ini hanya meneliti perusahaan perbankan yang termasuk bank umum
swasta nasional yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia yang berjumlah 60 perusahaan perbankan.
Disarankan untuk penelitian yang akan datang agar memperluas ruang lingkup penelitian sehingg
jumlah sampel akan lebih banyak lagi dan hasil penelitian lebih bisa digeneralisasikan, dan b)
dalam mengidentifikasi kemungkinan kebangkrutan penelitian ini menggunakan Model Z Score
yang dimodefikasi Altman [4] untuk perusahaan non manufaktur yang terdaftar di pasar modal
untuk negara yang sedang berkembang (emerging market). Disarankan pada peneliti yang akan
datang menggunakan model Z Score selain dari Model Z Score Altman [4] seperti O Score. Model
Springate S-Score.
Daftar Pustaka
[1] Adnan, M. A dan M. Taufik. “Analisis Ketepatan Prediksi Metode Altman terhadap
terjadinya Likuidasi pada Lembaga Perbankan”. Jurnal Ekonomi dan Auditing Vol 5,
No. 2, Desember. 2001.
[2] Altman, E.I & E. Hotchkiss, “Corporate Financial Distress & Bankruptcy” , 3rd edition, John
Wiley , 2006
[3] Altman, E.I Małgorzata Iwanicz-Drozdowska, Erkki K. Laitinen, “Distressed Firm and
Bankruptcy prediction in an international context: a review and empirical analysis of
Altman’s Z-Score Model”, www.googlescholar 2014.
[4] Altman, E.I., “Corporate Financial Distress. A Complete Guide to Predicting, Avoiding, and
Dealing with Bankruptcy”, Wiley Interscience, John Wiley and Sons.1983.
[5] Altman, Edward I. “Corporate Financial Distress and Bankruptcy”. New York : Wiley, 1968.
[6] Altman, Edward I.. “Predicting Financial Distress of Companies: Revisiting the Z-Score and
Zeta®” Models. Working Paper. 2000
[7] Argyris A.. “Predicting financial distress using Neural Networks:Another episode to the
serial?”, Thesis of Master of Degree, Hanken, Swedish School of Economic and Business
Analisis Risiko Kebangrutan pada Perusahaan Bank Umum Swasta Nasional… 109

Administration, Department of Accounting, Caudill, M., & Butler, C. (1991). Naturally


Intelligent Systems (1st ed.). Cambridge, USA: The MIT Press. 2006
[8] Dhika Setyo Wahyu, “Analisis Z-Score pada Bank yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia
Pada Tahun 2013”, https://www.googlescolar.co.id, 2013.
[9] Dichev, Ilia D., “Is The Bankruptcy a Systematic Risk?”. Journal of Finance 5: 1131-1147.
1998
[10] Eiteman, David K., Arthur I. Stonehill, and Moffet, Michael H., “Multinational Business
Finance” Eleventh Edition. Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall. 2007.
[11] Ema Septiana, “Analisis Tingkat Kesehatan Bank Berdasarkan Metode Camels”. Jurnal
Akuntansi Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2009.
[12] Endri, “Prediksi Kebangkrutan Bank untuk Menghadapi dan Mengelola Perubahan
Lingkungan Bisnis: Analisis Model Altman’s Z-Score”, Perbanas Quarterly Review, Vol. 2
No. 1 Maret, 2009.
[13] Foster G.,” Financial Statement Analysis”. 2nd edition. USA : Prentice Hall Int. Inc.1986
[14] Griffin John M. dan Michael L. Lemmon, “Book-to-Market Equity, Distress Risk and Stock
Return”, The Journal of Finance, Vol. LVII, No.5, 2002.
[15] Hayes, Suzanne K., Kay A.Hodge, Larry W.Hughes, “ A Study of the Efficacy of Altman’s Z
To Predict Bankruptcy of Specialty Retail Firms Doing Business in Contemporary Times”,
Economic & Business Journal : Inquiries & Perspective, Vol.3, No.1, 2010.
[16] Indroes dan Sugiarto. “Manajemen Risiko Perbankan,” Yogyakarta, Grha Ilmu. 2006
[17] Jones Charles P.,” Investments: Analysis and Management”, Tenth Edition, John Wiley &
Sons 2000
[18] Maria Florida Sagho, dan Ni Ketut Lely Aryani Merkusiwati, “ Penggunaan Metode Altman
Z-Score Modifikasi untuk Memprediksi Kebangkrutan Bank yang Terdaftar di Bursa Efek
Indonesia”, E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana 11.3 ISSN: 2302-8556., 730-742, 2015.
[19] Nasser, Etty M dan Titik Aryati,. “Model Analisis CAMEL untuk Memprediksi Financial
Distress pada Sektor Perbankan yang go pulic” JAAI, Volume 4, No, 2, Desember 2000
[20] Ohlson, J. S., “ Financial Ratios And The Probabilistic Prediction of Bankrupted”, Journal of
Accounting Research (Spring), 1980
[21] Plat, H., dan H.B. Platt., “ Predicting Financial Distress”. Journal of Financial Service
Profesionals, 56 : 12-15. 2002
[22] Rahmat, T. “Penerapan Z-score untuk Memprediksi Kesulitan Keuangan dan Kebangkrutan
Perbankan Indonesia (Studi kasus kebijaksanaan Bank Indonesia Tanggal 13 Maret 1999
Terhadap 18 Bank Publik). Jakarta. 2002
[23] Sekaran., Uma dan Bougie Roger., “Research Methods for Business: A Skill Building
Approach” Fith Edition., A John Wiley and Sons, Ltd, Publication.,2009
[24] Sharpe, W.F., G.J. Alexander, dan J.V. Bailey.,” Investments”. 6th edition, Prentice Hall, Inc,
New Jersey. 1999
[25] Siegel Joel. G. dan Jae. K. Shim. “Handbook of Financial Analysis Forecasting and
Modeling”. The Amazon Book Review. 2001.

Anda mungkin juga menyukai