1, Mei 2018
Dewan Redaksi
Sekretariat
ii
Jurnal Akuntansi Keuangan dan Bisnis Vol.11 No.1, Mei 2018
Daftar Isi
Halaman Judul i
Dewan Redaksi ii
Daftar Isi iii
iii
Jurnal Akuntansi Keuangan dan Bisnis Vol.11 No.1, Mei 2018
iv
Jurnal Akuntansi Keuangan dan Bisnis Vol. 11, No. 1, Mei 2018, 1-10 1
1
Alumni Universitas Gadjah M ada, email: inung.akt@gmail.com
2
Universitas Gadjah M ada, email: rusdi.akbar@ugm.ac.id
Abstrak
Penelitian ini bermaksud mengembangkan teoritikal model proses institusionalisasi sistem
pengukuran kinerja (SPK) dan akuntabilitas menggunakan perspektif teori institusional dan
teori strukturasi. Institusionalisasi SPK dan akuntabilitas di sebuah organisasi tidak dapat
lepas dari dorongan pihak eksternal. Namun, berhasil atau tidaknya proses institusionalisasi
sistem baru tersebut bergantung bagaimana individu (agen) dalam organisasi tersebut
melakukan rutinitas-rutinitas yang menjadi tuntutan pihak eksternal. Penelitian ini
menggunakan metode campuran dengan desain eksplanatori sekuensial. Pengumpulan data
menggunakan survei dan wawancara. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 99
manajemen SKPD di kabupaten dan kota di DIY. Hasil analisis data dari kedua pendekatan
menunjukkan bahwa manajemen di instansi pemerinta h masih sangat mempertimbangkan
tekanan institusional, khususnya koersif dan mimetik dalam mengimplementasikan SPK dan
akuntabilitas. Namun, tekanan eksternal tersebut kurang mampu mempengaruhi belief dan nilai
individu internal organisasi melalui rutinitas-rutinitas yang harus dilakukan. Berdasarkan
perspektif teori institusional dan teori strukturasi dapat dikatakan bahwa proses
institusionalisasi SPK dan akuntabilitas kurang berjalan dengan baik.
Kata kunci: Tekanan Institusional, Komitmen Afektif Manajemen, Sistem Pengukuran Kinerja,
Akuntabilitas, Kinerja
Abstract
This study intends to develop a theoretical model of the PMS implementation process and
accountability using the institutional theory and structuration theory perspectives.
Institutionalization of PMS and accountability in an organization can not be separated from the
encouragement of external parties. However, the process of institutionalization of the new
system could be success or failure depends on the routines of peoples (agents) in those
organizations . This research used mixed methods design with sequential explanatory. Data
collection used surveys and interviews. The sample in this study was 99 management sectors in
the counties and cities in the province. The data analysis result showed that institutional
pressures, particularly coercive and mimetic still had strong effect on implementing PM S and
accountability in local government. However, the external pressure was less able to influence
individual belief and volue in organization through routines that must be done. Based on the
perspective of institutional theory and structuration theory could be said that the process of
PMS institutionalization and accountability in Indonesia local government not goes well yet.
1. Pendahuluan
Hasil penelitian Akbar et al.[1] memperlihatkan bahwa faktor eksternal dan faktor
individu dalam organisasi memiliki peran penting dalam proses institusionalisasi Sistem
Pengukuran Kinerja (SPK) dan akuntabilitas. Berdasarkan penelitian tersebut, penelitian ini
mencoba menangkap peran individu terhadap proses institusionalisasi dengan mengintegrasikan
teori institusional dan teori strukturasi. Manajemen yang memiliki komitmen diharapkan dapat
mendorong implementasi SPK yang lebih baik dalam jangka panjang. Literatur perubahan
organisasi menyatakan bahwa komitmen untuk berubah dari manajer senior dalam organisasi
merupakan hal kritis untuk kesuksesan usaha perubahan organisasi. Manajemen senior memiliki
kekuatan dan sumber daya penting untuk menginisiasi, mengarahkan, dan mendorong
perubahan Kotte dalam Carswell [2].
Kedua, penelitian ini menggunakan pendekatan komitmen yang lebih spesifik, yaitu
komitmen afektif manajemen dari Herscovitch dan Meyer [5]. Penggunaan konsep komitmen
afektif manajemen diharapkan dapat menangkap fenomena komitmen organisasional yang lebih
spesifik, yaitu komitmen yang memang muncul dari keinginan individu, sehingga memberikan
konsekuensi yang baik bagi organisasi.
2. Landasan Teori
pendekatan sosiologi yang menekankan bahwa organisasi diselenggarakan dalam sebuah matrik
simbolik sebagai upaya untuk mendapatkan legitimasi DiMaggio dan Powell [3]. Selain itu,
penelitian ini menggunakan konsep isomorfisma institusional dalam NIS, yaitu konsep
isomorfisma yang relevan untuk kondisi bebas dari kompetisi dan menggunakan tiga elemen
isomorfisma dari DiMaggio dan Powell [3] sebagai tekanan institusional, yaitu tekanan koersif,
tekanan mimetik dan tekanan normatif.
Tekanan koersif merupakan tekanan formal maupun nonformal dari organisasi lain yang
mendesak suatu organisasi tempat organisasi tersebut bergantung DiMaggio dan Powell [3].
Tekanan normatif merupakan tekanan yang berasal dari profesionalisasi. Profesionalisasi
membangun basis kognitif dan legitimasi untuk otonomi organisasi DiMaggio dan Powell [3].
Tekanan mimetik terjadi ketika sebuah teknologi dalam organisasi tidak dipahami dengan baik,
ketika tujuan organisasi masih ambigu, atau ketika lingkungan eksternal membentuk
ketidakpastian simbolis DiMaggio dan Powell [3].
melakukan perubahan Herscovich dan Meyer [5] sebagai proksi faktor internal. Berdasarkan
penjabaran tersebut, dapat dikembangkan hipotesis sebagai berikut:
H1: Tekanan koersif secara positif berhubungan dengan komitmen afektif manajemen
H2: Tekanan mimetik secara positif berhubungan dengan komitmen afektif manajemen
H3: Tekanan normatif secara positif berhubungan dengan komitmen afektif manajemen
Penelitian Cavalluzzo dan Ittner [11] serta penelitian Akbar, et al. [1] pada organisasi
sektor publik menemukan bahwa komitmen manajemen memiliki hubungan positif terhadap
implementasi SPK. Bentuk komitmen yang melekat pada manajemen dapat berbeda-beda dan
menghasilkan perilaku yang berbeda pula. Penelitian ini hanya berfokus pada komitmen afektif
manajemen. Hal ini dilakukan dengan maksud dapat memberikan hasil yang lebih detail untuk
menjelaskan penemuan Akbar et al.[1] terkait implementasi SPK di Indonesia yang masih
sebatas untuk memenuhi tuntutan regulasi, sedangkan di sisi lain manajemen juga memiliki
komitmen dalam implementasi SPK. Mempertimbangkan paparan tersebut, maka dapat
dibangun hipotesis sebagai berikut:
H4: Komitmen afektif manajemen secara positif berhubungan dengan implementasi SPK
Hubungan serupa juga dapat terjadi antara akuntabilitas dan kinerja. Akuntabilitas yang
lebih baik sering diasumsikan akan menghasilkan transparansi yang lebih baik dan memperbaiki
kinerja Dubnick [17]. Schaltegger dan Torgler 2007 [18] melakukan penelitian terkait hubungan
antara akuntabilitas pemerintah dan fiscal dicipline di negara Swiss. Hasil penelitian tersebut
memberikan bukti bahwa akuntabilitas pemerintah dapat memengaruhi kinerja fiskal.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disusun hipotesis sebagai berikut:
H7: Terdapat hubungan positif antara implementasi SPK dan kinerja organisasi
H8: Akuntabilitas secara positif berhubungan dengan kinerja organisasi
3. Metode Penelitian
Tiga bentuk tekanan institusional, yaitu tekanan koersif, tekanan normatif, dan tekan
mimetik dalam penelitian ini diambil dari DiMaggio dan Powell [3]. Tekanan koersif
merefleksikan tekanan regulasi serta aturan formal maupun nonformal dari pemerintah pusat.
6 Inung Pratiwi dan Rusdi Akbar
Tekanan normatif terjadi utamanya karena ada proses profesionalisasi. Tekanan mimetik terjadi
sebagai hasil respon organisasi terhadap ketidakpastian dengan meniru tindakan yang dilakukan
oleh organisasi lain. Instrumen yang digunakan untuk mengukur ketiga unsur tekanan
institusional merujuk pada instrumen yang digunakan oleh Liang et al. [6] dan Zheng et al. [7].
3.2.2. Akuntabilitas
Akuntabilitas pada penelitian ini merujuk pada Matek dalam Akbar et al. [1], penelitian ini
melihat akuntabilitas dalam dua kategori, internal dan eksternal. Kategori ini sangat cocok
dengan kondisi organisasi pemerintah di Indonesia yang berbentuk desentralisasi. Konstruk
akuntabilitas internal diukur dengan mengadopsi 4 item ukuran akuntabilitas internal dari Akbar
et al. [1] yang diadopsi dari Cavalluzzo dan Ittner [11]. Konstruk akuntabilitas eksternal diukur
dengan mengadopsi 8 item ukuran akuntabilitas eksternal dari Akbar et al. [1]. Instrumen
disusun dengan menggunakan 5 skala likert.
3.2.3. Kinerja
Penelitian ini mengadopsi 7 item yang digunakan Spekle dan Verbeeten [15] untuk
mengukur kinerja. Dimensi kinerja yang digunakan meliputi produktivitas, kualitas atau akurasi
hasil kerja, inovasi yang dilakukan, proses perngembangan, atau ide baru, reputasi keunggulan
kerja, pelayanan yang dicapai, efisiensi, dan moral personil. Instrumen disusun dengan
menggunakan 5 skala likert.
Komitmen afektif manajemen dalam penelitian ini diambil dari Herscovitch dan Mayer
[5]. Individu yang memiliki komitmen ini dimungkinkan dapat mengurus pekerjaan secara
umum, melakukan tugas dengan kemampuan terbaik mereka, dan bersedia melakukan kerja
ekstra demi kebaikan organisasi. Instrumen yang digunakan untuk mengukur komitmen afektif
manajemen untuk berubah dalam penelitian ini diambil dari Herscovitch dan Mayer [5].
Konstruk implementasi SPK didesain untuk mengukur implementasi SPK dari proses
mendesain hingga menilai SPK yang telah diterapkan. Penelitian ini mengadopsi instrumen
tahap mendesain SPK dari penelitian Akbar et al. [1]. Instrumen tahap menggunakan SPK
diadopsi dari Spekle dan Verbeeten [15]. Instrumen menilai SPK dikembangkan oleh peneliti
dengan merujuk pada penelitian Van Helden et al. [20].
model pengukuran variabel laten formatif menggunakan dua kriteria, yaitu bobot (weight) harus
signifikan (p<0,05) dan nilai VIF kurang dari 3,3. Analisis bobot indikator dan tingkat
signifikansi pada perhitungan variabelnya menunjukkan bahwa semua pengukuran variabel
laten formatif sudah memenuhi kelayakan pengukuran.
Model struktural dievaluasi menggunakan R Squared (R2 ) dan nilai Q-Squared untuk
variabel dependen dan nilai koefisien pada jalur (β) untuk variabel independen. Hasil analisis
menunjukkan bahwa koefisien R-Squared dari konstruk komitmen afektif manajemen adalah
sebesar 0,300, kinerja sebesar 0,382, akuntabilitas sebesar 0,550, dan implementasi SPK sebesar
0,092. Hasil estimasi model menunjukkan validitas prediksi (Q-Squared) yang baik karena
bernilai di atas nol, yaitu komitmen afektif manajemen sebesar 0,295, kinerja sebesar 0,392,
implementasi SPK sebesar 0,101, dan akuntabilitas sebesar 0,551.
Hasil uji hipotesis menggunakan analisis jalur dan nilai signifikansi terangkum dalam
tabel 1. Berdasarkan tabel 1 tersebut terlihat bahwa hipotesis 1,2,4, 5, 6, dan 7 terdukung.
Sedangkan hipotesis 3 dan 8 tidak terdukung secara empiris
Berdasarkan hasil analisis hipotesis 4 dan hipotesis 6 dapat dilakukan analisis lanjutan
terkait hubungan tidak langsung antara komitmen afektif manajemen dan akuntabilitas melalui
8 Inung Pratiwi dan Rusdi Akbar
implementasi SPK. Pengaruh dua jalur antara komitmen afektif manajemen terhadap
akuntabilitas melalui implementasi SPK dengan nilai signifikan 0,008 (p<0,01) dan dengan
koefisien jalur positif. Hasil pengujian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh tidak langsung
antara komitmen afektif manajemen terhadap kinerja organisasi melalui implementasi SPK.
Implementasi SPK hanya memediasi secara parsial hubungan antara komitmen efektif
manajemen dan kinerja. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya koefisien beta hubungan
komitmen afektif manajemen dan akuntabilitas, yaitu dari 0,380 menjadi 0,15 dan nilai p yang
menurun dan tetap signifikan pada level 5%, yaitu dari p<0,01 menjadi p=0,03.
Berdasarkan hasil analisis hipotesis 7 dan 8 serta analisis pada hipotesis 4, 5, dan 6
dapat dilakukan analisis lanjutan terkait hubungan tidak langsung antara komitmen afektif
manajemen dan kinerja melalui implementasi SPK dan akuntabilitas. Pengaruh tiga jalur antara
komitmen afektif manajemen terhadap kinerja organisasi melalui implementasi SPK dan
akuntabilitas dengan nilai signifikan 0,015 (p<0,05) dan dengan koefisien jalur positif.
Implementasi SPK dan akuntabilitas memediasi secara penuh hubungan antara komitmen
efektif manajemen dan kinerja. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya koefisien beta, yaitu
dari 0,280 menjadi 0,16 dan nilai p yang menjadi tidak signifikan p=0,350.
5. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis pendekatan kuantitatif diperoleh bukti bahwa komitmen
afektif manajemen tidak dapat memediasi hubungan antara tekan eksternal dan implementasi
SPK dan akuntabilitas. Para manajemen di instansi pemerintah masih sangat
mempertimbangkan tekanan institusional, khususnya koersif dan mimetik dalam
mengimplementasikan SPK dan akuntabilitas. Namun, tekanan eksternal tersebut kurang
mampu mempengaruhi belief dan nilai individu internal organisasi melalui rutinitas-rutinitas
yang harus dilakukan. Berdasarkan perspektif teori institusional dan teori strukturasi dapat
dikatakan bahwa proses institusionalisasi SPK dan akuntabilitas kurang berjalan dengan baik.
Penelitian ini tidak menemukan bukti bahwa tekanan normatif berpengaruh baik
terhadap implementasi SPK maupun komitmen afektif manajemen, namun memiliki pengaruh
terhadap akuntabilitas. Hal ini semakin menunjukkan bahwa tekanan koersif dan mimetik
memiliki peran yang dominan dalam implementasi SPK dan akuntabilitas. Tahapan analisis data
pada pendekatan kuantitatif juga menemukan adanya pengaruh yang signifikan antara
Komitmen Afektif Managemen, Implementasi Sistem Pengukuran Kinerja... 9
implementasi SPK dan kinerja, namun tidak ditemukan bukti bahwa akuntabilitas secara
signifikan memiliki pengaruh terhadap kinerja.
Hasil analisis data kualitatif memperkuat temuan adanya peran kuat tekanan
institusional terhadap implementasi SPK dan akuntabilitas. Tekanan institusional mampu
memengaruhi komitmen afektif manajemen, namun manajemen sulit berkomitmen terhadap
SPK dan akuntabilitas yang ada berdasarkan aturan dan standar baku yang telah ditetapkan. Hal
ini disebabkan masih banyaknya anggapan terkait sistem pengukuran kinerja dan sistem
akuntabilitas yang ada masih belum cukup baik dan tidak dapat mengukur kinerja organisasi
yang sesungguhnya.
Daftar Pustaka
[1] Akbar, Rusdi, Pilcher Robyn and Perrin Brian. 2012. “Performance Measurement in
Indonesia: The Case of Local Government.” Pacific Accounting Review 24, no. 3: 262-
291
[3] DiMaggio, Paul J., Walter W. Powell. 1983. “The iron cage revisited: Institutional
isomorphism and collective rationality in organizational fields.” American Sociological
Review, 48, no. 2: 147-160.
[4] Giddens, Anthony. 1984. The Constitution of Society: Outline of the Theory of
Structuration. University of California Press. Barkeley, CA.
[5] Herscovitch, Lynne. & John P. Meyer. 2002. “Commitment to Organizational Change:
Extension of a Three-Component Model.” Journal of Applied Psychology, 87, no. 3: 474-
487.
[6] Liang, Huigang, Nilesh Saraf, Qing Hu, dan Yajiong Xue. 2007. “Assimilation of
Enterprise Systems: the Effect of Institutional Pressures and the Mediating Role of Top
Management.” MIS Quarterly, 31, no. 1: 59-87.
10 Inung Pratiwi dan Rusdi Akbar
[7] Zheng, Daqing, Jin Chen, dan Cheng Zhang. 2014. “E-government Adoption in Public
Administration Organizations: Integrating Institutional Theory Perspective and Resource-
Based View.” European Journal of Information Systems, 22: 221-234
[9] Neubert, Mitchell T. dan Steven H. Cady. 2001. “Program Commitment: A Multi-Study
Longitudinal Field Investigation of Its Impact and Antecedent.” Personnel Psychology,
Vol. 54, No. 2.
[10] Stazyk, Edmund C., Sanjay K. Pandey, dan Bradley E. Wright. 2011. “Understanding
Affective Organizational Commitment: The Importance of Institutional Context.” The
American Review of Public Administration, 41, no. 6: 603-624.
[12] Parish, Janet T., Susan Cadwallader, dan Paul Busch. 2008. “Want to, Need to, Ought to:
Employee Commitment to Organizational Change.” Journal of Organizational Change
Management, 21, no. 1: 32-52.
[14] Julnes, Patria D.L. 2006. “Performance Measurement: an Effective Tool for Government
Accountability? The Debate Goes On.” Evaluation, 12, no. 2: 219-235.
[15] Spekle, Roland F. dan Frank H.M. Verbeeten. 2014. “The Use of Performance
Measurement Systems in the Public Sector: Effects on Performance.” Management
Acounting Research, 25: 131-146.
[16] Hansen, Stephen. C. and Wim A. Van der Stede. 2004. “Multiple Facets Of Budgeting:
An Exploratory Analysis.” Management Accounting Research, 15: 415-439
[17] Dubnick, Melvin. 2005. “Accountability and the Promise of Performance: In Search of
the Mechanisms.” Performance & Management Review, 28, no.3: 76-417.
[18] Schaltegger, Chistoph A. dan Benno Torgler. 2007. “Government Accountability and
Fiscal Discipline: A Panel Analysis Using Swiss Data.” Hournal of Public Economics,
91: 117-140.
[19] Creswell, John W., dan Vicki L. P. Clark. 2011. Design and Conducting Mixed Methods
Research (2nd Ed). United States of America: Sage Publications.
[20] van Helden, G. J., Age Johnsen, dan Jarmo Vakkuri 2012. “TheLifecycle approach to
performance management: Implica-tions for public management and evaluation.”
Evaluation,the Journal of Research, Theory and Practice, 18, no. 2: 159-175.
[21] Hair, Joseph F, Thomas M. Hult, dan Christian M. Ringle. 2014. A Primer on Partial
Least Squares Structural Equation Modeling (PLS-SEM). Los Angeles: Sage
Jurnal Akuntansi, Keuangan dan Bisnis Vol. 11, No. 1, Mei 2018, 11-23 11
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi kecurangan laporan keuangan yang dijelaskan dengan
earning management dengan menggunakan fraud pentagon theory. Faktor kecurangan
dijelaskan oleh variabel financial target, financial stability, external pressure, ineffective
monitoring, nature of industry, pergantian auditor, rationalization, pergantian dewan direksi dan
gambar CEO. Kecurangan sendiri diproksikan oleh earning mangement. Sampel yang
digunakan berupa perusahaan perbankan dan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
(BEI) tahun 2013-2016. Data dikumpulkan dari laporan tahunan dan laporan keuangan dari
direktori BEI. Analisis data menggunakan regresi berganda dan diolah dengan SPSS. Pada
perusahaan manufaktur, financial stability, external pressure, pergantian auditor dan pergantian
dewan direksi menunjukkan adanya pengaruh terhadap kecurangan laporan keuangan.
Sedangkan pada perusahaan perbankan, financial target, financial stability, ineffective
monitoring dan rationalization memiliki pengaruhi terhadap kecurangan laporan keuangan.
Abstract
This research aimed to analyze the likelihood of fraudulent financial statement explained by
earning management using fraud pentagon theory. Fraud risk factors are explained using
variables financial target, financial stability, external pressure, ineffective monitoring, nature of
industry, changes in auditor, rationalization, changes in board of directors’s member, and
number of CEO’s picture, in detecting fraudulent financial statement proxied by earning
management. Samples selected are banking firms and manufacturing firms listed in Bursa Efek
Indonesia, for period 2013-2016. Data were collected from firms’ annual report and financial
statement from idx directory. Data analysis using multiple regression methods was run using
SPSS. The results of manufacturing firm shows that financial stability, exter nal pressure,
change in auditor and changes in board of committee’s member has an influence in explaining
the likelihood of fraudulent financial statement through earning management. The results of
banking firm shows that financial target, financial stability, ineffective monitoring, and
rationalization has an influence in expalining the likelihood of fraudulent financial reporting.
1. Pendahuluan
Setiap tahun selalu muncul kasus-kasus fraud yang menjadi permasalahan di dalam
perusahaan, dan lebih parahnya para pelaku kecurangan merupakan orang-orang yang memiliki
kekuasaan pada perusahaan tersebut [5]. Association of Certified Fraud Examiner [3]
menunjukkan bahwa setiap tahun perusahaan kehilangan 5% dari pendapatan mereka akibat
fraud. Potensi kerugian global akibat tindakan fraud hampir mencapai 3,7 triliun USD menurut
Gross World Product 2013.
Kecurangan, terutama atas laporan keuangan, terjadi karena adanya motivasi dan
dorongan dari berbagai pihak, baik dari dalam perusahaan, maupun dari luar perusahaan.
Dorongan dan motivasi agar laporan keuangan yang disajikan terlihat baik dan menarik
perhatian investor ataupun calon investor, sehingga manajer akan berusaha melakukan berbagai
cara untuk menyajikan laporan keuangan yang baik. Teknik kecurangan (fraud) yang
dilakukanpun bervariasi, mulai dari mengakali prinsip akuntansi berlaku umum (Standar
Akuntansi Keuangan), melakukan manajemen laba yang agresif hingga melakukan tindakan
ilegal yang kemudian disembunyikan, dan berujung pada kebangkrutan perusahaan. Tidak
jarang pula kasus kecurangan pelaporan keuangan yang terjadi, juga melibatkan auditor
perusahaan.
Perilaku dan alasan/motif manajemen melakukan fraud atau kecurangan dalam laporan
keuangan banyak dijelaskan dalam teori fraud. Tekanan (pressures) yang dihadapi manajemen
sebagai agent bagi investor (principal) seperti tekanan untuk meningkatkan kinerja atau
menaikkan nilai perusahaan di bursa misalnya, juga dapat dijadikan semacam
pembenaran/rasionalisasi (rationalization) bagi manajemen untuk melakukan manipulasi
laporan keuangan. Apalagi jika peluang (opportunity) untuk melakukan fraud, juga beresiko
kecil untuk dideteksi atau diketahui. Peluang akan menjadi pintu masuk untuk fraud, sementara
tekanan dan rasionalisasi akan mendorong manajemen melakukan fraud. Namun fraud dengan
teknik yang kompleks dan nominal yang besar tidak mungkin terjadi apabila tidak ada orang
tertentu dengan kapabilitas khusus dalam perusahaan [17]. Dengan kata lain, orang yang
melakukan fraud tersebut harus memiliki kapabilitas (capability) atau kompetensi (competence)
untuk mengelabui pengendalian internal, mengendalikan situasi dan mengembangkan strategi
untuk menyamarkan kecurangannya. Perasaan superior dan arogansi (arrogance) dengan posisi
yang dimiliki, ditambah dengan sifat tamak, membuat pelaku percaya diri bahwa pengendalian
internal tidak berlaku untuk mereka.
Praktek manajemen laba (earning management) merupakan suatu bentuk manipulasi
atas laporan keuangan yang seringkali dipilih sebagai ‘solusi’ jangka pendek oleh manajemen
untuk mempertahankan kepercayaan investor pada kinerja mereka. Earning management
merupakan fenomena yang sukar dihindari karena penggunaan dasar akrual dalam penyusunan
laporan keuangan. Walaupun dipandang lebih rasional dan adil secara prinsipil, akrual dapat
sedikit ‘digerakkan’ sehingga dapat mengubah angka laba yang dihasilkan. Earnings
management dapat membuat kinerja perusahaan menjadi terlihat lebih baik dibanding
pesaingnya, sehingga bagi investor yang tidak berhati-hati (inattentive investor) akan mudah
dikelabui oleh manajemen. Dapat dikatakan pula, earnings management merupakan awal dari
terjadinya kecurangan laporan keuangan (financial statement fraud) karena kecurangan laporan
keuangan seringkali diawali dengan salah saji atau manajemen laba dari laporan keuangan
kuartalan yang dianggap tidak material, tapi akhirnya berkembang menjadi fraud besar-besaran
dan menghasilkan laporan keuangan yang menyesatkan secara material menurut Rezae, 2002
dalam [12].
Kecurangan laporan keuangan ((financial statement fraud) yang tidak terdeteksi dini
dapat berkembang menjadi skandal besar yang lebih merugikan bagi banyak pihak. Penelitian
yang dilakukan oleh Association of Certified Fraud Examiners [3] menemukan bahwa 83%
kasus fraud yang terjadi dilakukan oleh pemilik perusahaan atau dewan direksi. Selain itu, Ernst
& Young (2009) juga menemukan bahwa lebih dari setengah pelaku fraud adalah manajemen
Skandal akuntansi besar seperti Enron, telah membuktikan dampak serius tindakan kecurangan
laporan keuangan bagi perekenomian suatu negara dan memberikan pelajaran yang sangat
Mendeteksi Kecurangan Laporan Keuangan..... 13
banyak bagi dunia akuntansi. Pendeteksian dini terhadap tindakan kecurangan dalam laporan
keuangan menjadi sebuah keharusan yang harus diprioritaskan. Kemampuan untuk
mengidentifikasi kecurangan dengan cepat, juga berkembang menjadi sebuah kebutuhan. Di
samping itu, tuntutan pelaporan keuangan yang semakin komprehensif pasca pemberlakuan
International Financial Reporting Standards (IFRS) sejak 5 tahun terakhir ini, juga tidak
menjamin mampu menekan peluang munculnya fraud dalam pelaporan keuangan. Dengan
semakin komprehensifnya laporan keuangan yang harus disajikan oleh manajemen, ada banyak
celah dalam laporan keuangan yang membuka peluang bagi oknum manajemen untuk
melakukan kecurangan (fraud) melalui manajemen laba (earning management). Selain itu,
pencegahan dan pendeteksian fraud dalam laporan keuangan juga seringkali terbentur dengan
hadirnya faktor lain yang memotivasi munculnya tindakan fraud dalam berbagai situasi, seperti
yang dijelaskan oleh berbagai teori fraud seperti Cressey’ Fraud Triangle Theory, Wolfe’ Fraud
Diamond Theory dan yang terbaru, Crowe’Fraud Pentagon Theory.
Penelitian ini menggunakan earning management sebagai proksi untuk mendeteksi
kecurangan laporan keuangan yang dianalisis dengan Fraud Pentagon Theory. Fraud Pentagon
Theory menurut Crowe memiliki lima fraud risk factor yang menggunakan rasio keuangan dan
non keuangan. Lima fraud risk factor terdiri dari pressure, opportunity, rationalization,
competence, dan arrogance. Dari pengujian yang dilakukan pada perusahaan manufaktur dan
perbankan, faktor pressure dan rationalization menunjukkan adanya pengaruh terhadap earning
manajemen. Faktor opportunity menunjukkan pengaruh terhadap earning manajemen pada
industri perbankan. Sedangkan faktor competence memberikan pengaruh pada perusahaan
manufaktur. Faktor arrogance tidak menunjukkan adanya pengaruh terhadap earning
manajemen pada kedua jenis industri.
Artikel ini disajikan dalam lima bagian, pendahuluan, kerangka pemikiran dan
hipotesis, metode penelitian, hasil dan kesimpulan.
menyajikan kebenaran atau dengan sengaja menghilangkan kejadian, transaksi, dan informasi
penting dari laporan keuangan dan dengan sengaja menerapkan prinsip akuntansi yang salah.
Menurut SAS No. 99 (AICPA, 2002) dalam [16], financial target adalah target
keuangan yang menyebabkan adanya tekanan berlebihan pada manajemen yang ditetapkan oleh
direksi, termasuk tujuan-tujuan penerimaan bonus dari penjualan ataupun keuntungan. Tekanan
atas pencapaian target keuangan dapat memunculkan kemungkinan adanya pengaruh financial
target terhadap kecurangan pelaporan keuangan. Return on Asset (ROA) merupakan alat yang
digunakan untuk mengukur kinerja dengan indikasi efficiently assets dapat digunakan. ROA
adalah salah satu pengukuran yang digunakan untuk mengukur kinerja manajer terutama terkait
dengan bonus peningkatan dan sebagainya. Summer and Sweeny (1998) dalam [14] melaporkan
bahwa ROA secara signifikan mampu membedakan perusahaan yang melakukan fraud dengan
perusahaan yang tidak melakukan fraud.
H1 : Financial target berpengaruh terhadap fraudulent financial reporting
Menurut SAS No. 99 dalam [14], manajer menghadapi tekanan untuk melakukan
kecurangan dalam pelaporan keuangan ketika stabilitas keuangan (financial stability) perusahaan
terancam oleh keadaan ekonomi, industri, ataupun situasi entitas yang beroperasi. Manajemen
seringkali mendapatkan tekanan untuk menunjukkan bahwa perusahaan telah mampu mengelola
aset dengan baik, sehingga laba yang dihasilkan tercapai dan menghasilkan return yang tinggi
untuk investor. Besarnya total aset yang dimiliki oleh perusahaan menjadi daya tarik tersendiri
bagi para investor, kreditor, dan pemilik perusahaan (stakeholders). Namun, ketika total aset
mengalami penurunan bahkan mencapai negatif, hal itu akan membuat stakeholders tidak
tertarik karena menganggap bahwa kondisi keuangan perusahaan tidak stabil. Oleh sebab itu,
manajemen menggunakan laporan keuangan sebagai alat untuk menutupi kondisi keuangan yang
tidak stabil dengan melakukan fraud [16].
H2 : Financial stability berpengaruh terhadap fraudulent financial reporting
External pressure adalah tekanan yang berlebihan bagi manajemen untuk memiliki
persyaratan atau harapan dari pihak ketiga. Menurut SAS No. 99 dalam [16], ketika tekanan
Mendeteksi Kecurangan Laporan Keuangan..... 15
yang berlebihan dari pihak ekternal terjadi, maka terdapat risiko kecurangan terhadap laporan
keuangan. Hal ini didukung oleh pendapat Skousen et al yang menyatakan bahwa salah satu
tekanan yang seringkali dialami oleh manajemen di sebuah perusahaan adalah kebutuhan untuk
mendapatkan tambahan utang atau sumber pembiayaan eksternal agar tetap kompetitif, termasuk
pembiayaan riset dan pengeluaran pembangunan atau modal [13]. Manajer akan semakin merasa
berada di bawah tekanan karena harus memenuhi kebutuhan untuk memperoleh tambahan pada
keuangan melalui utang dan pembiayaan investasi. External pressure diukur menggunakan rasio
leverage yaitu perbandingan antara total liabilitas dan total aset [15].
H3 : External pressure berpengaruh terhadap fraudulent financial reporting
Nature of industry adalah keadaan ideal suatu perusahaan dalam industri. Pada
pelaporan keuangan terdapat akun-akun tertentu yang jumlah saldonya ditentukan oleh
perusahaan berdasarkan suatu estimasi, seperti piutang tak tertagih dan persediaan usang.
Piutang tak tertagih memerlukan penilaian subjektif dalam memperkirakan tidak tertagihnya
piutang. Manajer akan fokus terhadap akun tersebut jika ingin melakukan kecurangan dalam
laporan keuangan (Summers dan Sweeney, 1998) dalam [16].
H5 : Nature of industry berpengaruh terhadap fraudulent financial reporting
Auditor bertugas dalam memeriksa dan mengawasi laporan keuangan yang disusun
manajemen di perusahaan. Informasi tentang perusahaan yang terindikasi terjadi fraud, biasanya
juga diketahui dari auditor. Perusahaan yang melakukan fraud lebih sering melakukan
pergantian auditor, karena manajemen perusahaan cenderung berusaha mengurangi
kemungkinan pendeteksian oleh auditor yang lama terkait kecurangan dalam pelaporan
keuangan [16]. Pergantian auditor (change in auditor) digunakan perusahaan sebagai suatu
bentuk menghilangkan jejak kecurangan (fraud trail) yang ditemukan oleh auditor sebelumnya.
Kecenderungan ini mendorong perusahaan untuk mengganti auditor independen untuk menutupi
kecurangan yang dilakukan dalam pelaporan keuangan perusahaan [15].
H6 : Change in auditor berpengaruh terhadap fraudulent financial reporting
Pergantian direksi merupakan bagian dari salah satu elemen teori fraud pentagon yaitu
kapabilitas (capability). Capability memiliki enam komponen seperti posisi (positioning),
16 Yossi Septriani dan Desi Handayani
Frequent number of CEO’s picture adalah jumlah foto Chief Executive Officer (CEO)
yang terpampang dalam laporan keuangan tahunan perusahaan. Banyaknya foto CEO yang
terpampang dalam sebuah laporan keuangan perusahaan dapat menunjukkan tingkat arogansi
dan superioritas yang dimiliki CEO tersebut. Seorang CEO biasanya lebih ingin menunjukkan
kepada publik akan status dan posisi yang dimilikinya dalam sebuah perusahaan karena tidak
ingin kehilangan status atau posisi tersebut. Hal ini sesuai dengan salah satu elemen dalam teori
yang dikenalkan oleh Crowe (2011) yaitu arogansi. Tingkat arogansi yang tinggi dapat
menyebabkan terjadinya kecurangan (fraud) karena arogansi yang dimiliki seorang CEO dapat
membuatnya melakukan cara apapun untuk mempertahankan posisi dan kedudukan yang
sekarang dimiliki [15].
H9 : Frequent number of CEO’s picture berpengaruh terhadap fraudulent financial
reporting
3. Metode Penelitian
Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa publikasi laporan tahunan
dan laporan keuangan perusahaan manufaktur dan perbankan yang listing di BEI selama kurun
waktu 2013-2016. Data diperoleh dari website BEI (www.idx.co.id), website perusahaan dan
Capital Market Directory (ICMD) 2013-2016. Sampel dalam penelitian ini dipilih dengan
metode non-random yaitu purposive sampling. Dalam hal ini sampel dipilih dari dua populasi
yaitu perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI dari 2013-2016 dan perusahaan sektor
perbankan terdaftar di BEI dari 2013-2016 dengan kriteria sbb:
a. Perusahaan sektor manufaktur dan keuangan/perbankan yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia (BEI) selama periode 2013-2016.
b. Perusahaan mempublikasikan laporan keuangan tahunan yang sudah diaudit dalam website
perusahaan atau website BEI selama periode 2013-2016, yang dinyatakan dalam Rupiah.
c. Perusahaan tidak didelisting dari BEI selama periode 2013-2016
d. Data mengenai data-data yang berkaitan dengan variabel penelitian tersedia dengan lengkap
(data secara keseluruhan tersedia pada publikasi selama periode 2013-2016)
Metode analisis data yang digunakan adalah model regresi linear berganda. Hubungan antar
variabel mengacu kepada model Skousen et.al [12] dengan model regresi
DACCit = ß0+ß1ROA+ß2ACHANGE+ß3LEV+ß4BDOUT+ß5RECEIVABLE+
ß6∆CPA+ß7TATA+ß8DCHANGE+ß9CEOPIC+ε
Dimana :
ß0 : Koefisien regresi konstanta
ß1,ß2,ß3,ß4,ß5,ß6,ß7,ß8,ß9 : Koefisien regresi masing-masing proksi
DACCit : Discretionary accruals perubahan i pada tahun t
ROA : Return on Assets
ACHANGE : Rasio perubahan total aset
LEV : Rasio total kewajiban per total aset
BDOUT : Rasio dewan komisaris independen
Mendeteksi Kecurangan Laporan Keuangan..... 17
perusahaan. Kondisi perusahaan yang tidak stabil terjadi karena manajemen tidak mampu
mengelola aset yang dimiliki, sehingga menyebabkan perubahan total aset yang terlalu tinggi
atau terlalu rendah selama periode tertentu. Kondisi keuangan yang stabil dapat memperkecil
risiko terjadinya kecurangan. Hal ini menjadi tekanan bagi manajemen dalam menampilkan
kondisi keuangan yang stabil. Perusahaan yang memiliki pertumbuhan total dibawah rata-rata
industri, memungkinkan manajemen untuk melakukan manipulasi dalam penyusunan laporan
keuangan. Hasil ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Tessa dan Harto yang
membuktikan bahwa semakin rendah tingkat pertumbuhan aset suatu perusahaan dapat
mendorong perusahaan tersebut untuk melakukan fraudulent financial reporting [15]. Dengan
demikian hipotesis 2 (H2 ) diterima. Pada perusahaan manufaktur, financial stability berpengaruh
dalam mendeteksi kecurangan laporan keuangan. Dalam mencapai target finansial, perusahaan
akan didorong untuk memanfaatkan metode akuntansi untuk menaikkan atau menurunkan nilai
aset perusahaan seperti mekanisme fair value dan kapitalisasi aset (Albrecht, 2002) dalam [15].
Tingkat pertumbuhan aset digunakan untuk melihat stabilitas keuangan perusahaan.
Pertumbuhan aset yang terlalu tinggi juga tidak bagus bagi perusahaan. Tentunya jika aset
mengalami pertumbuhan yang tinggi, maka manajemen akan melakukan manipulasi laporan
keuangan agar kondisi keuangan perusahaan tetap stabil. Sehingga pertumbuhan aset
berhubungan searah dengan kecurangan laporan keuangan. Hasil penelitian ini mendukung hasil
penelitian yang dilakukan oleh [13], [12], [15], dan [2] yang menyatakan bahwa financial
stability berpengaruh dalam fraudulent financial statement.
Hipotesis ketiga dalam penelitian ini yaitu external pressure berpengaruh dalam
mendeteksi kecurangan laporan keuangan. Hasil uji hipotesis perusahaan perbankan
menunjukkan bahwa external pressure tidak berpengaruh terhadap fraudulent financial
reporting. External pressure berupa risiko kredit yang tinggi akibat besarnya jumlah pinjaman
atau utang mendorong manajemen untuk melakukan manipulasi terhadap laporan keuangan guna
meyakinkan kreditur. Semakin tinggi rasio leverage maka lebih besar kemungkinan terjadinya
pelanggaran terhadap perjanjian kredit melalui tindakan kecurangan [15]. Berdasarkan hasil
pengukuran pada rasio leverage perusahaan sektor perbankan tidak menjadi tekanan bagi
manajemen untuk melakukan kecurangan dalam menyusun laporan keuangan. Hal itu karena
perusahaan mampu membayar utangnya dan lebih memilih menerbitkan saham kembali untuk
memperoleh modal usaha, maka hipotesis 3 (H 3 ) ditolak. Sedangkan pada perusahaan
manufaktur external pressure berpengaruh dalam mendeteksi kecurangan laporan keuangan.
Beberapa perusahaan memilih melakukan pinjaman sebagai sumber pendanaan operasional
perusahaan. Jika tingkat kewajiban tinggi akan menjadikan pihak manajemen perusahaan
menjadi lebih sulit dalam membuat prediksi jalannya perusahaan ke depan. Artinya, semakin
besar utang yang dimiliki perusahaan, maka semakin ketat pengawasan yang dilakukan oleh
kreditor, sehingga fleksibilitas manajemen untuk melakukan kecurangan semakin berkurang.
Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian [6], [12], dan [15] dimana external pressure
berpengaruh dalam fraudulent financial statement.
Hipotesis keempat yaitu ineffective monitoring berpengaruh dalam mendeteksi
kecurangan laporan keuangan. Hasil menunjukkan bahwa ineffective monitoring memiliki
pengaruh terhadap fraudulent financial reporting. Tindakan kecurangan dengan cara melakukan
manajemen laba dapat diminimalkan salah satunya dengan mekanisme pengawasan yang baik.
Dewan komisaris bertugas untuk menjamin terlaksananya strategi perusahaan dan mengawasi
manajemen, serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas [12]. Ineffective monitoring adalah
keadaan dimana pengawasan internal yang tidak efektif. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis,
pengaruh ineffective monitoring terjadi karena kenaikan tingkat pengawasan yang tidak efektif
oleh dewan komisaris pada perusahaan perbankan. Jumlah komisaris independen dan jumlah
keseluruhan anggota dewan komisaris pada perusahaan perbankan relatif tetap selama tahun
pengamatan dengan rata-rata 56,90%. Dengan begitu komisaris independen dinilai kurang
bekerja secara efektif dan maksimal dalam mengawasai manajemen, sehingga membuka peluang
bagi manajemen untuk melakukan tindak kecurangan dalam menyusun laporan keuangan [4].
Dengan demikian hipotesis 4 (H 4 ) diterima. Hasil penelitian pada perusahaan manufaktur
20 Yossi Septriani dan Desi Handayani
menunjukan H4 ditolak, sehingga dapat dikatakan secara parsial variabel ineffective monitoring
tidak berpengaruh dalam mendeteksi kecurangan laporan keuangan. Secara umum, keberadaan
dewan komisaris independen akan sedikit memberikan jaminan terhadap pengawasan dalam
suatu perusahaan. Namun, jumlah atau banyaknya dewan komisaris independen belum
memberikan jaminan untuk meningkatkan pengawasan operasional perusahaan. Hal ini
disebabkan apabila terdapat intervensi kepada dewan komisaris independen, sehingga
pengawasan dalam perusahaan menjadi tidak objektif. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian [12] dimana ineffective monitoring berpengaruh terhadap fraudulent financial
statement.
Hipotesis kelima yaitu nature of industry berpengaruh dalam mendeteksi kecurangan
laporan keuangan. Hasil pada perusahaan perbankan menunjukkan bahwa nature of industry
yang diukur dengan nilai piutang usaha tidak berpengaruh terhadap fraudulent financial
reporting. Hasil tersebut terjadi karena besar kecilnya rasio perubahan pada piutang usaha
selama tahun pengamatan tidak memicu manajemen untuk melakukan kecurangan. Selain itu,
perbedaan sifat industri pada perusahaan perbankan dengan sektor lainnya membuat nilai
piutang usaha tidak dapat digunakan untuk mendeteksi tindakan kecurangan yang dilakukan
manajemen. Dengan demikin hipotesis 5 (H 5 ) ditolak. Pada perusahaan manufaktur juga
membuktikan bahwa H5 ditolak, artinya tidak ada pengaruh nature of industry dalam mendeteksi
kecurangan laporan keuangan. Perusahaan yang baik akan menekan jumlah piutang dan
meningkatkan penerimaan kas. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian [13].
Hipotesis keenam yaitu changes in auditor berpengaruh dalam mendeteksi kecurangan
laporan keuangan. Berdasarkan hasil diatas, change in auditor pada perusahaan perbankan tidak
berpengaruh terhadap fraudulent financial reporting, artinya pergantian auditor yang dilakukan
perusahaan tidak dapat digunakan untuk mendeteksi kecurangan yang dilakukan manajemen
dalam menyusun laporan keuangan. Manajemen perusahaan yang melakukan kecurangan akan
lebih sering melakukan pergantian auditor [16]. Nilai rata-rata pada analisis deskriptif
menunjukkan bahwa perusahaan sektor perbankan yang digunakan sebagai sampel selama tahun
pengamatan hanya 11% yang melakukan pergantian auditor. Pergantian auditor yang dilakukan
perusahaan publik bukan karena ingin menghapus jejak kecurangan yang ditemukan auditor
sebelumnya, melainkan karena perusahaan mentaati Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun
2015 tentang Praktik Akuntan Publik pasal 11 ayat 1. Dengan demikin hipotesis 6 (H 6 ) ditolak.
Sedangkan pada perusahaan manufaktur, changes in auditor berpengaruh dalam mendeteksi
kecurangan laporan keuangan. Perusahaan melakukan pergantian auditor untuk mengurangi
pendeteksian kecurangan laporan keuangan oleh auditor lama. Sehingga, dengan adanya
pergantian auditor, kemungkinan pendeteksian kecurangan laporan keuangan lebih kecil.
Hipotesis ketujuh yaitu rationalization dalam mendeteksi kecurangan laporan keuangan.
Hasil temuan pada perusahaan perbankan menunjukkan bahwa rasionalisasi total akrual pada
total aset berpengaruh terhadap fraudulent financial reporting. Berdasarkan temuan, terlihat
bahwa rasio total akrual pada total aset dapat digunakan untuk menggambarkan rasionalisasi
terkait dengan penggunaan prinsip akrual oleh manajemen [12]. Nilai aset lancar, liabilitas
lancar, arus kas operasional, beban depresiasi dan amortisasi dapat menggambarkan manajemen
laba yang terkandung dalam laporan keuangan. Hasil temuan yang bernilai positif memberikan
bukti bahwa perusahaan perbankan selama tahun pengamatan melakukan upaya untuk
menaikkan laba perusahaan. Earnings management yang dilakukan dengan cara menaikkan laba
terjadi karena kemungkinan manajemen bersikap optimis dalam melaporkan kinerjanya, yaitu
dengan mengakui pendapatan yang akan datang menjadi pendapatan sekarang [7]. Dengan
demikin hipotesis 7 (H7 ) diterima. Sedangkan pada perusahaan manufaktur, secara parsial
variabel rationalization tidak berpengaruh dalam mendeteksi kecurangan laporan keuangan.
Total akrual merupakan cerminan aktivitas perusahaan secara keseluruhan (Vermeer, 2003)
dalam [12]. Tingkat akrual perusahaan akan beragam tergantung pada keputusan manajemen
terkait kebijakan tertentu. Namun, dalam hal ini nilai akrual tidak dimanfaatkan manajemen
untuk memanipulasi laporan keuangan, melainkan untuk menampilkan kinerja dan posisi
Mendeteksi Kecurangan Laporan Keuangan..... 21
keuangan perusahaan berdasarkan terjadinya transaksi yang sebenarnya. Penelitian ini konsisten
dengan penelitian [13].
Hipotesis kedelapan yaitu pergantian direksi berpengaruh dalam mendeteksi kecurangan
laporan keuangan. Hasil pengujian pada perusahaan perbankan menunjukkan bahwa pergantian
direksi tidak berpengaruh terhadap fraudulent financial reporting. Hal itu karena selama tahun
pengamatan sebanyak 70% perusahaan perbankan yang menjadi sampel penelitian ini
melakukan pergantian susunan direksi. Pergantian direksi perusahaan tersebut dilakukan untuk
perekrutan direksi yang lebih kompeten dari sebelumnya. Pergantian direksi yang lebih
kompeten dianggap efektif untuk memungkinkan terjadinya peningkatan kinerja perusahaan
yang lebih baik dari sebelumnya [1]. Selain itu, hasil negatif menunjukkan bahwa pergantian
direksi yang terjadi tidak dimanfaatkan manajemen untuk melakukan tindakan kecurangan. Hal
ini sesuai dengan penelitian [4], [12], serta penelitian yang dilakukan [15]. Dengan demikian
hipotesis 8 (H8 ) ditolak. Sedangkan pada perusahaan manufaktur, pergantian direksi berpengaruh
dalam mendeteksi kecurangan laporan keuangan. Hal ini dapat terjadi apabila perusahaan
melakukan pergantian direksi untuk menutupi kecurangan yang telah dilakukan direksi
sebelumnya. Direksi baru membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan informasi keuangan
perusahaan. Sehingga, dengan adanya pergantian direksi akan sedikit sulit untuk mendeteksi
kecurangan yang dilakukan direksi sebelumnya.
Hipotesis kesembilan yaitu number of CEO’s picture berpengaruh dalam mendeteksi
kecurangan laporan keuangan. Hasil temuan pada perusahaan perbankan menunjukkan bahwa
tidak terdapat pengaruh frequent number of CEO’s picture terhadap fraudulent financial
reporting. Banyaknya jumlah foto CEO yang ditampilkan dalam laporan tahunan perusahaan
perbankan yang menjadi sampel penelitian selama tahun pengamatan rata-rata berada pada
kategori nomor 2. Posisi ini artinya rata-rata perusahaan perbankan yang menjadi sampel hanya
menampilkan foto sebanyak 5 sampai 8 foto. Berdasarkan hasil pengujian, berarti bahwa jumlah
foto yang ditampilkan perusahaan perbankan pada laporan keuangan tidak dapat mengindikasi
tingginya arogansi CEO perusahaan perbankan. Menurut Crowe (2011) kemungkinan bahwa
CEO akan melakukan berbagai cara untuk mempertahankan status dan posisinya dengan
menampilkan foto tidak terbukti pada penelitian ini. Dengan demikian hipotesis 9 (H 9 ) ditolak.
Sedangkan pada industri manufaktur, secara parsial variabel number of CEO’s picture tidak
berpengaruh dalam mendeteksi kecurangan laporan keuangan. Hal ini disebabkan dari seluruh
perusahaan yang menjadi sampel penelitian tidak banyak perusahaan yang memajang foto CEO
dalam laporan tahunan sehingga jumlah foto CEO yang terpajang tidak dapat dijadikan sebagai
faktor adanya indikasi manipulasi laporan keuangan.
5. Penutup
5.1 Kesimpulan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis teori fraud pentagon dalam
mendeteksi kecurangan laporan keuangan (fraudulent financial statement). Elemen-elemen teori
fraud pentagon yaitu, tekanan (pressure), peluang (opportunity), rasionalisasi (rationalization),
kompetensi (competence) dan arogansi (arrogance). Perusahaan yang menjadi sampel adalah
perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI selama periode 2013-2016 dengan jumlah 86
perusahaan manufaktur dan 27 perusahaan perbankan. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan
bahwa untuk perusahaan sektor manufaktur hanya fraud risk factor pressure, yaitu financial
stability, external pressure yang mempengaruhi kecendrungan dilakukannya manajemen laba
oleh perusahaan. Sementara itu, financial target, nature of industry, rationalization, dan
arrogance tidak terbukti memiliki pengaruh dalam mendeteksi adanya manajemen laba atau
kecurangan laporan keuangan. Sedangkan untuk perusahaan sektor perbankan, ditemukan bahwa
terdapat pengaruh signifikan dari financial stability (pressure), ineffective monitoring
(opportunity) dan rasionalisasi (rationalization) terhadap kemungkinan dilakukannya manajemen
laba yang memproksikan kecurangan laporan keuangan.
22 Yossi Septriani dan Desi Handayani
5.2 Saran
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan diantaranya
1. Penelitian selanjutnya dapat memilih sampel penelitian dengan sektor industri yang beragam
sehingga mungkin tidak menggambarkan dengan lebih baik fenomena kecurangan pelaporan
keuangan menggunakan fraud diamond theory
2. Penelitian selanjutnya, dapat menggunakan metode kualitatif atau kombinasi antara metode
kuantitatif dengan kualitatif. Karena, beberapa dari variabel yang terdapat dalam fraud risk
factor tidak dapat dijelaskan secara spesifik oleh alat analisis metode kuantitatif.
3. Penelitian selanjutnya dapat menggunakan pengukuran lain disamping discretionary accrual
sebagai alat ukur fraudulent financial statement untuk memberikan keberagaman dalam
penelitian-penelitian selanjutnya.
4. Penelitian selanjutnya dapat menggunakan variabel-variabel proksi lainnya untuk fraud risk
factor yang lebih dapat menjelaskan variabel dependennya.
Daftar Pustaka
[1] Annisya, Mafiana. Lindrianasari dan Yuztitya Asmaranti. 2016. “Pendeteksian Kecurangan
Laporan Keuangan Menggunakan Fraud Diamond”. Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE)
Halaman 72-89 Vol. 23 No.1. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung.
Lampung
[2] Aprilia. 2017. The Analysis of The Effect of Fraud Pentagon on Financial Statement Fraud
Using Beneish Model in Companies Applying The Asean Corporate Governance
Scorecard. Jurnal Akuntansi Riset, Vol 6, No. 1, p. 96-126.
[3] Association of Certified Fraud Examining (ACFE). 2014. Report to the nation on
occupational fraud and abuse (2014 global fraud study).
[4] Hanani, Mustika Dwi Putri. 2015. “Kecenderungan Kecurangan Laporan Keuangan Dengan
Analisis Diamond Fraud Pada Perusahaan Perbankan yang Listing di BEI”.
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Yogyakarta
[5] Hutomo, Oki Suryo. 2012. “Cara Mendeteksi Fraudulent Financial Reporting Dengan
Menggunakan Rasio-Rasio Finansial”. Universitas Diponegoro. Semarang
[6] Lou, Young-I, dan Ming-Long Wang. 2009. Fraud Risk factor of The Fraud Triangle
Assesing The Likelihood of Fraudulent Financial Reporting. Journal of Business &
Economics Research. Vol. 7, No. 2, p. 61-78.
[7] Padmantyo, Sri. 2010. “Analisis Manajemen Laba Pada Laporan Keuangan Perbankan
Syariah (Studi pada Bank Syariah Mandiri dan Bank Muamalat Indonesia)”. Jurnal
Manajemen dan Bisnis Vol. 14 No. 2 hal. 53-65. Universitas Muhammadiyah
Surakarta
[8] Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate
Governance bagi Bank Umum
[9] Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 33/POJK.04/2014 tentang Direksi dan Dewan
Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik
[10] Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 55/POJK.03/2016 tentang Penerapan Tata Kelola
Bagi Bank Umum
[11] Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2015 tentang Praktik Akuntan Publik
[12] Sihombing, Kennedy Samuel, dan Shiddiq Nur Rahardjo. 2014. Analisis Fraud Diamond
dalam Mendeteksi Financial Statement Fraud: Studi Empiris pada Perusahaan
Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2010-2012.
Diponegoro Journal of Accounting. Vol. 03, No. 02, p. 1-12.
[13] Skousen, et al. 2009. Detecting and Predicting Financial Statement Fraud: The
Effectiveness of the Fraud Triangle and SAS No. 99. Corporate Governance and Firm
Performance Advance in Financial Economincs, Vol. 13, p. 53-81.
[14] Sukirman dan Maylia Pramono Sari. 2013. Model Deteksi Kecurangan Berbasis Fraud
Triangle. Jurnal Akuntansi & Auditing. Vol. 9. No. 2. Semarang.
Mendeteksi Kecurangan Laporan Keuangan..... 23
[15] Tessa G, Chynthia, dan Puji Harto. 2016. Fraudulent Financial Reporting: Pengujian Teori
Fraud Pentagon pada sektor Keuangan dan Perbankan di Indonesia. Simposium
Nasional Akuntansi XIX Lampung, p. 1-21.
[16] Tiffani, Laila dan Marfuah. 2014. “Deteksi Financial Statement Fraud dengan Analisis
Fraud Triangle pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia”.
Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta
[17] Wolfe, David T, and Dana R. Hermanson. 2004. The Fraud Diamond: Considering The
Four Element of Fraud. The CPA Journal, p. 38-42.
24 Jurnal Akuntansi, Keuangan dan Bisnis Vol. 11, No. 1, Bulan Mei 2018, 24-30
Abstract
This research is aimed to examine effect of tax rate, taxation technology and information,
possibility of fraud detection, and tax fairness on taxpayer perception of tax fraud ethics. This
research uses primary data by questioners. Data are analyzed by using multiple regression with
105 respondents of individual taxpayers (wajib pajak orang pribadi) listed in Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) Pratama Senapelan Pekanbaru, KPP Dumai Kota, KPP Rokan Hilir, Riau,
Indonesia. Results show that tax rate has effect on taxpayer perce ption of tax f raud ethics,
taxation technology and information has effect on taxpayer perception of tax fraud ethics,
possibility of fraud detection has effect on taxpayer perception of tax fraud ethics, tax f airness
has effect on taxpayer perception of tax fraud ethics.
Keywords: tax rate, taxation technology and information, fraud, fairness, purposive sampling.
1. Introduction
Tax fraud is despicable act done by taxpayer, where taxpayer tries to cover true condition
up in order to minimize paid tax to the country. According to Pohan [2], tax evasion is taxpayer
effort to evade his/her tax payable illegally by covering true condition up Pohan [2]. Tax fraud
behavior or ethics are risen from taxpayer perception about tax fraud ethics itself, where there is
different perception and viewpoint between one to another taxpayer about tax fraud ethics. On
one side, taxpayer thinks that tax fraud done with some reasons, while on the other side, there is
possibility that other taxpayer thinks tax fraud is not an ethical act. There are some motivations
that explain why taxpayer is doing tax fraud.
First factor that has effect on tax fraud ethics is tax rate. Taxpayer argues that tax rate is
too high, while taxpayer does not get any benefits of his/her paid tax. This perception leads
taxpayer to think that tax fraud is ethical act, supported by motivation theory of Hilgard and
Atkinson 1979, that states taxpayer makes motivation of own assessment on applied rate.
Second factor that has effect on tax fraud ethics is taxation technology and information.
Modernization of tax service by government is expected to increases service quality, so taxpayer
obedience can be increased along with easiness of tax payment and reporting. Based on
motivation theory Hilgard and Atkinson [3], effort of motivation to maximizes tax collection
done by intensification and extensification in taxation. By provided taxation technology and
information facility, taxpayer has no any reasons to do tax fraud, because all of taxpayer’s needs
related to tax payment facility have been available.
Third factor that has effect on tax fraud ethics is possibility of fraud detection. When
taxpayer has perception that there is high possibility of fraud will be detected, taxpayer will be
more afraid to do tax evasion or fraud, so he/she is more likely to obey tax regulation.
Fourth factor that has effect on tax fraud ethics is tax fairness. Existence of perception
about importance of fairness for someone in tax payment has effect on their attitude in tax
payment. The more they percept that current tax system is unfair, the more likely they do tax
fraud, because current tax system is not well enough to accommodates their interest. Event it is
not significant, research of Andres [1] indicates those condition.
There is example case related to tax fraud ethics. In Medan, tax bailiff is murdered by
taxpayer that has unpaid tax payable (TV One, 12th April 2016). This case proves that there are
taxpayers unwilling to pay tax and against tax officer as well as taxpayers that have low
awareness and obedient on taxation. Research motivation comes from this case and previous
research gap and inconsistencies by Permatasari [7], Ayu and Hastuti [4], Rahman [8].
Based on above explanation, includes murderer case and previous research gap, this
research does study entitled “Effect of Tax Rate, Taxation Technology and Information,
Possibility of Fraud Detection, and Tax Fairness on Taxpayer Perception of Tax Fraud Ethics”.
2. Literature Review
2.1. Tax Rate and Taxpayer Perception of Tax Fraud Ethics
Tax rate is percentage used to calculate amount of tax payable. According to Mardiasmo
[5], tax collected based on certain rate. In order to determines and calculates amount of tax
payable of taxpayer, then it uses tax rate. By increasing the tax rate, government expects income
of country will be increased, but, in contrast, the higher tax rate, the more taxpayers do tax
fraud. It means that the higher tax rate, the more ethical for taxpayer to do tax fraud. It is linear
to motivation theory Hilgard and Atkinson [3] that states taxpayer makes motivation of own
assessment on applied rate. Taxpayer obedient, to fulfill taxation obligation related to tax rate,
could be categorized as technical obedient that consists of obedient in tax amount calculation
that has to be paid by taxpayer. Based on above explanation, developed hypothesis is as
followed:
H1 : Tax rate has effect on taxpayer perception of tax fraud ethics.
2.2 Taxation Technology and Information and Taxpayer Perception of Tax Fraud Ethics
H2 : Taxation technology and information has effect on taxpayer perception of tax f raud
ethics.
2.3 Possibility of Fraud Detection and Taxpayer Perception of Tax Fraud Ethics
Tax auditing is activities of data, notes, and/or evidences collection and analysis done
objectively and proportionally based on an audit standard to examine obedient of taxation
obligation fulfillment; and/or for other purposes; in order to implement regulation of tax
constitution Waluyo [12]. Tax auditing is done in order to implements regulation of tax
constitution. Tax auditing is done to examine taxpayer obedient and other purposes. Tax
auditing based on tax regulation possibly can detect fraud by taxpayer, so it has effect on tax
fraud ethics.
Taxpayer perception of possibility of fraud detection will be affected by percentage of
possibility that auditing process will be done. When taxpayer feels high percentage of
possibility that auditing process will be done, taxpayer is more likely to obey tax regulation, so
tax fraud ethics can be avoided. Based on above explanation, developed hypothesis is as
followed:
H3 : Possibility of fraud detection has effect on taxpayer perception of tax fraud ethics.
2.4 Tax Fairness and Taxpayer Perception of Tax Fraud Ethics
Tax collection has to be fair and equal, which is, tax that charged on individual has to be
proportional with his/her ability to pay and consistent with achieved benefits. It is one of
conditions in tax collection.
Fairness theory Rawls [9] states that tax collection has to be final, fair, and equal.
Unfairness in taxation will leads to tax fraud. The more unfair applied tax system based on
taxpayer perception, the more likely taxpayer to do tax fraud, because taxpayer feels that
available tax system is not enough in order to accommodate all of taxpayer interests. Based on
above explanation, developed hypothesis is as followed:
H4 : Tax fairness has effect on taxpayer perception of tax fraud ethics.
2.5 Research Model
(Y)
Possibility of Fraud
Detection (X3)
3. Research Methods
3.1 Data Collection
In order to examine effect of tax rate, taxation technology and information, possibility
of fraud detection, and tax fairness on taxpayer perception of tax fraud ethics; this research do
survey by questioners. Questioners are spread to 105 respondents of Wajib Pajak Orang Pribadi
[Individual Tax Payer] (WPOP) listed in KPP Pratama Senapelan Pekanbaru, KPP Dumai Kota
and KPP Rokan Hilir, Riau, Indonesia.
Sample selection done by purposive sampling method, which is sample selection with
certain consideration Sugiono [10]. Consideration of sample selection is Wajib Pajak Orang
Pribadi [Individual Tax Payer] except for Pegawai Negeri Sipil [State Officer] (PNS). Taxpayer
that does not suitable for the criteria could not be research sample.
Based on job; the highest number is entrepreneurs by 82 respondents (78.1%), second
highest is private employee by 19 respondent (18.1%), and the lowest one is professional
workers by 4 respondent (3.8%). Those taxpayers are respondents in this research.
Tax fraud ethics measured with instrument developed by Suminarsasi and Supriyadi
[11], Rahman [8]; that related to tax rate, taxation technology and information, possibility of
fraud detection, and tax fairness aspects. It consists of 11 questions items of 5 point likert scale.
Variable indicators are (1) tax rate implementation and importance of well teamwork between
tax officer and taxpayer, (2) availability of adequate taxation technology and information, (3)
weak laws and low possibility of fraud detection, (4) fairness in taxation, (5) bad integrity or
mentality tax and government officer, and (6) consequences of tax fraud.
Tax rate measured with instrument of 5 point likert scale developed by Permatasari
[7]. Tax rate indicators are (1) taxpayer knows charged tax rate and tax rate increasing, (2)
taxpayer knows how to calculate tax payable, (3) taxpayer pays tax based on regulation, and (4)
taxpayer obedient.
Taxation technology and information measured with instrument of 5 point likert scale
developed by Ayu and Hastuti [4]. Taxation technology and information indicators are (1)
availability of technology that related to taxation, (2) adequate technology for taxation, (3) easy
access of taxation information, (4) the use of taxation technology and information facility. Each
respondent is asked to answer 11 questions items.
Possibility of fraud detection measured with instrument of 5 point likert scale developed
by Ayu and Hastuti [4] and Rahman [8]. Each respondent is asked to answer 5 questions items.
Possibility of fraud detection indicators are (1) general society fulfill obligation based on afraid
of laws, (2) low level of possibility of fraud detection in SPT filling, and (3) implemented tax
auditing is aimed to identifies existences of fraud.
Tax fairness measured with instrument of 5 point likert scale developed by Ayu and
Hastuti [4]. Each respondent is asked to answer 6 questions items.
Collected data analyzed by computer program of Statistical Package for Social Science
(SPSS) version 20.0 for windows, Result can be seen in table 1.
28 Meilda Wiguna dan Eka Hariyani
Based on table 2, it can be seen that > which is 3.374 > 1.984 with
significance value 0.001 and error level (alpha) 0.05, so is rejected and is accepted.
Based on the result, it can be concluded that tax rate has effect on taxpayer perception of tax
fraud ethics.
Based on table 2, it can be seen that > which is 2.446 > 1.984 and
significance value 0.016 < 0.05, so is rejected and is accepted. Based on the result, it can
be concluded that taxation technology and information has effect on taxpayer perception of tax
fraud ethics.
Based on table 2, it can be seen that > which is 3.304 > 1.984 and
significance value 0.001 < 0.05, so is rejected and is accepted. Based on the result, it can
be concluded that possibility of fraud detection has effect on taxpayer perception of tax fraud
ethics.
Effect of Tax Rate, Taxation Technology and Information…. 29
Based on table 2, it can be seen that > which is 3.158 > 1.984 with
significance value 0.002 < 0.05, so is rejected and is accepted. Based on the result, it can
be concluded that tax fairness has effect on taxpayer perception of tax fraud ethics.
Research result could be a discussion material for future research in taxation field, could
be useful insights for practitioner, and could be inputs for government in determination of tax
regulation in Indonesia, so it can increases obedient and decreases tax fraud by taxpayer. Result
also give understanding of tax rate, taxation technology and information, possibility of fraud
detection and tax fairness that have effect on taxpayer perception of tax fraud ethics.
Government can considers these variables in determination of tax constitution.
This research still has limitation. This research only uses tax rate, taxation technology
and information, possibility of fraud detection and tax fairness variables; so it might be there are
other variables that have affect on taxpayer perception of tax fraud ethics. Future research can
add other variables to see taxpayer perception about tax fraud ethics.
References
[1] Andres, Luis. 2002. “Determinants of Propensity to Tax Evasion: The Argentinean Case”.
University of Chichago
[3] Hilgard, Ernest Ropiquet, and Rita L. Atkinson. 1979. 7th Edition. Introduction to
Psychology. New York : Harcourt Brace Jocanovich
[4] Ayu, Dyah dan Rini Hastuti. 2009. Persepsi Wajib Pajak Dampak Pertentangan Diametral
Pada Tax Evasion Wajib Pajak Dalam Aspek Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan,
Keadilan, Ketepatan Pengalokasian, Teknologi Sistem Perpajakan, dan Kecenderungan
Personal (Studi WP Orang Pribadi) [Taxpayer Perception of Impact of Diametric Conflict
on Tax Evasion by Taxpayer in Possibility of Fraud Detection, Fairness, Allocation
Accuracy, Taxation System Technology, and Personality Tendency Aspects (Study of
Individual Taxpayer)]. Kajian akuntansi. Volume 1, Nomor 1, Februari 2009
[5] Mardiasmo. 2009. Perpajakan [Taxation] Edisi Revisi 2009. Yogyakarta, Penerbit Andi.
[7] Permatasari, Laksito. 2013. Minimalisasi Tax Evasion Melalui Tarif Pajak, Teknologi dan
Informasi Perpajakan, Keadilan Sistem Perpajakan, dan Ketetapan Pengalokasian
Pengeluaran Pemerintah [Tax Evasion Minimization by Tax Rate, Taxation Technology
and Information, Taxation System Fairness, and Government Expenditure Allocation
Accuracy]. Journal Of Accounting, Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013.
30 Meilda Wiguna dan Eka Hariyani
[8] Rahman. 2013. Pengaruh Keadilan, Sistem Perpajakan, Diskriminasi, Dan Kemungkinan
Terdeteksi Kecurangan Terhadap Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan
Pajak (Tax Evasion) [Effect of Fairness, Taxation System, Discrimination, and Possibility
of Fraud Detection on Taxpayer Perception of Tax Fraud Ethics (Tax Evasion)]. Jakarta.
Skripsi. Fakultas Ekonomi UIN Syarif Hidayatullah.
[9] Rawls, John.1971. A Theory of Justice, dalam Chapter II The Principle of Justice.
Publisher: the Belknap Press of Harvard University Press Cambridge, Massachusetts.
Tersedia: www.wahyudi.djafar.web.id. Diakses 14 Desember 2013.
[10] Sugiono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D [Research Method of
Quantitative, Qualitative, and R&D]. Bandung, Alfabeta.
[11] Suminarsasi, Wahyu dan Supriyadi. 2011. Pengaruh Keadilan, Sistem Perpajakan dan
Diskriminasi Terhadap Persepsi Wajib Pajak Mengenai Penggelapan Pajak [Effect of
Fairness, Taxation System, and Discrimination on Taxpayer Perception of Tax Fraud
Ethics].
Abstrak
Analisis Break Even Point (BEP) atau titik impas merupakan teknik analisa yang dilakukan
untuk mempelajari hubungan antara biaya tetap, biaya variabel, laba yang diharapkan dan
volume penjualan/penyewaan. Secara Umum analisa ini juga memberikan gambaran kepada
Pihak manajemen perusahaan atau Yayasan untuk mengetahui berapakah penjualan atau
penyewaan minimal dalam 1 periode akuntansi agar kegiatan operasionalnya tidak mengalami
kerugian. Penelitian dilakukan di Yayasan GSG PCR yang bergerak d ibidang jasa yaitu
sebagai gedung kegiatan akademik kemahasiswaan maupun penyewaan berbagai macam
acara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berapa BEP dari penyewaan GSG pada tahun
2016. Oleh karena itu, peneliti melakukan perhitungan BEP GSG PCR untuk acara pernikahan
berdasarkan produk-produk yang disewa. Adapun hasil BEP (Paket) GSG tahun 2016 secara
keseluruhan yaitu sebanyak 16 kali penyewaan minimal yang harus didapatkan dan BEP (Rp)
dari semua produk yaitu sebesar Rp399.500.000 yang harus didapatkan dalam setahun agar
mencapai titik impas. Target laba penyewaan minimal sebesar 30% yang diinginkan untuk
semua produk yang disewakan, sehingga BEP (Paket) yang harus dicapai yaitu sebanyak 28
kali penyewaan dalam setahun untuk mencapai titik impas. Dari hasil penelitian pada tahun
2016, penyewaan GSG PCR telah mendapatkan perencanaan laba sebesar 47% atau melebihi
dari target yang diinginkan sehingga BEP telah tercapai.
Kata kunci: Break Even Point, Perencanaan Laba
Abstract
Break Even Point Analysis (BEP) is an analysis technique that to study the relationship between
fixed cost, variable cost, expected profit and sales volume / lease. In general, this analysis also
provides an overview to the management of the company to find out what is the sale o r lease in
a minimum of 1 accounting period so that its operational activities do not suffer losses. The
research was conducted at GSG PCR Foundation. This study aims to find out how much BEP
from GSG rental in 2016. Therefore, researchers do calculations BEP GSG PCR for the
wedding based on the products hired. The results of the BEP (Package) GSG 2016 as a whole
that is as much as 16 times the minimum rental that must be obtained and BEP (Rp) of all
products that amounted to Rp399.500.000 which must be obt ained in a year to break even.
Minimum rental profit target of 30% is desired for all leased products, so the BEP (Package) to
be achieved is 28 rentals in a year to break even. From the results of the study in 2016, leasing
GSG PCR has gained profit planning of 47% or exceeded the desired target so that the BEP has
been achieved.
Keywords: Break Even Point, Profit Planning
1. Pendahuluan
Dalam dunia usaha, setiap perusahaan atau entitas dalam menjalankan usahanya
memiliki beberapa tujuan, salah satu nya memperoleh laba dari usaha yang dijalankan. Untuk
lembaga sosial seperti sekolah, perguruan tinggi, rumah ibadah, rumah sakit atau entitas nirlaba
lainnya yang didirikan tanpa dasar untuk memperoleh laba, namun tidak menutupi
kemungkinan bahwa setiap entitas nirlaba tersebut perlu juga mempertimbangkan laba dengan
mendayagunakan asset yang dimiliki untuk dijalankan sebagai salah satu kegiatan demi
keberlangsungan entitas tersebut. Dengan demikian, dibutuhkan peran aktif manajemen untuk
mengelola sumber daya yang ada didalamnya. Salah satu peran manajemen yaitu melakukan
perencanaan yang harus ditempuh dimasa yang akan datang untuk mewujudkan suatu tujuan
yang diharapkan.
Salah satu perencanaan yang dilakukan manajemen perusahaan yaitu perencanaan laba.
Perencanaan laba merupakan langkah-langkah atau strategi yang dilakukan manajemen
perusahaan untuk mencapai target laba yang diinginkan. Laba adalah selisih antara penjualan
setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan. Laba dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu
biaya, volume, dan harga jual. Untuk meningkatkan laba yang diinginkan, suatu perusahaan
dapat menaikkan harga jual suatu barang atau jasa, mengefisiensikan biaya-biaya dalam
perusahaan atau dengan meningkatkan penjualan (barang atau jasa).
Alat bantu yang digunakan manajemen dalam perencanaan laba adalah analisis BEP
atau titik impas. BEP atau titik impas adalah suatu titik perusahaan tidak memperoleh
keuntungan dan tidak pula menderita kerugian atau dimana pendapatan dari hasil penjualan
barang atau jasa hanya dapat menutupi biaya-biaya untuk menghasilkan barang atau jasa
tersebut. Menurut Mulyadi [6], titik impas (BEP) adalah keadaan suatu usaha yang memperoleh
laba dan tidak menderita rugi. Suatu usaha dikatakan impas jika jumlah pendapatan (revenue)
sama dengan jumlah biaya, atau apabila laba kontribusi hanya dapat digunakan untuk menutup
biaya tetap saja. Jadi dapat disimpulkan bahwa suatu perusahaan akan mencapai keadaan BEP
apabila total penerimaan sama dengan total biaya. Adapun hal-hal yang berhubungan dengan
analisis BEP yaitu suatu hubungan antara biaya tetap, biaya variabel, keuntungan, dan volume
penjualan. Dengan melakukan analisis BEP ini, pihak manajemen dapat memperoleh informasi
yaitu berapa tingkat volume penjualan yang harus dicapai agar perusahaan memperoleh laba
yang diinginkan atau perusahaan tidak mengalami keuntungan atau kerugian. Dari penjelasan
tersebut dapat disimpulkan bahwa BEP sangat berguna bagi pihak manajemen dalam
menentukan harga jual, biaya dan jumlah produksi suatu produk barang atau jasa yang
dihasilkan guna memperoleh laba yang dinginkan.
Politeknik Caltex Riau (PCR) adalah salah satu kampus swasta yang terdapat di
Provinsi Riau yang memiliki 2 gedung yaitu gedung utama dan gedung serba guna (GSG).
Kedua gedung ini dipergunakan untuk aktivitas akademik proses belajar mengajar maupun non
akademik. Selain dari kegiatan akademik yang dilaksanakan, PCR saat ini juga menawarkan
jasa sewa GSG untuk acara–acara resmi dan resepsi pernikahan untuk pihak umum dan alumni.
Dari hasil penyewaan GSG tersebut, PCR dapat menambah pendapatan untuk meningkatkan
produktivitas terutama dalam mendukung kegiatan perkuliahan di PCR tersebut. Saat ini harga
sewa GSG yang ditawarkan PCR bervariatif. Keputusan mengenai harga ini diambil dari
kebijaksanaan manajemen yayasan berdasarkan harga pasar yang berlaku untuk penyewaan
gedung di Kota Pekanbaru.
Politeknik Caltex Riau selama ini belum melakukan perencanaan laba terhadap GSG,
sehingga pihak manajemen Yayasan Politeknik Chevron Riau belum mengetahui sampai berapa
kali jumlah minimal penyewaan jasa GSG tersebut berdasarkan masing-masing kategori
penyewaanya agar tidak menderita kerugian. Dalam hal ini, dibutuhkan perhitungan yang jelas
terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan untuk operasional GSG agar Yayasan Politeknik
Chevron Riau bisa mempertimbangkan dan mengelompokkan mana biaya-biaya yang relevan
(biaya tetap dan biaya variabel) dan mana yang tidak relevan berdasarkan masing-masing
kategori sewa. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada Yayasan
Analisis BEP Sebagai Dasar Perencanaan Laba Pada Gedung Serba Guna PCR 33
Politeknik Chevron Riau untuk mengetahui berapa kali penyewaan GSG tersebut dapat
mengembalikan modal investasi ataupun mencapai titik impas.
2. Tinjauan Pustaka
3. Metodologi Penelitian
3. Memisahkan biaya semi variabel menjadi biaya tetap dan biaya variabel untuk setiap
produk yang ditawarkan.
4. Melakukan perhitungan titik impas untuk setiap produk yang ditawarkan baik BEP
dalam bentuk Rupiah (Rp) maupun BEP dalam bentuk kuantitas/unit dengan
Rumusnya yaitu:
BEP = Biaya Tetap {[MK(a) x Prop(a) x (MK(b) x Prop(b))]}
Sumber: Kamarrudin [4]
Keterangan:
Prop = Proporsi penjualan yang direncanakan atas Produk A, Produk B, dan Produk C
MK = Margin Kontribusi
Margin of Safety dapat dinyatakan dalam rupiah atau dalam bentuk persentase.
Persentase ini dicari dengan membagi Margin of Safety dengan jumlah rupiah
penjualan, seperti rumus berikut ini:
Persentase MOS = Target Penjualan BEP Penjualan x 100
Sumber: Warindrani [8]
7. Kesimpulan dari hasil perhitungan yang didapat maka diambil yaitu bagaimana analisis
BEP ini berfungsi membantu perusahaan dalam merencanakan laba di masa yang akan
datang. Jika hasil perhitungan menunjukkan jumlah BEP dalam beberapa unit,
perusahaan dapat merencanakan untuk memproduksi unit lebih besar dari batas BEP
sehingga perusahaan dapat memperoleh laba.
36 Ari Supriadi, Suci Nurulita dan Yefni
4. Hasil Pembahasan
GSG PCR merupakan salah satu gedung yang digunakan dalam penyewaan jasa baik
untuk pihak umum maupun alumni PCR berdasarkan produk-produk yang ditawarkan yaitu
Paket A, Paket B, Paket C dan Paket D. Adapun paket produk tersebut adalah paket pernikahan
untuk pihak umum minimal 500 pax dengan harga normal yaitu Rp 21.000.000,- sedangkan
paket pernikahan untuk pihak alumni diberikan discount 40% dari harga normal. Pada tahun
2016, untuk acara pernikahan GSG PCR disewakan sebanyak 43 kali dalam 1 tahun tersebut.
Dalam proses penyewaannya, GSG PCR mengeluarkan berbagai biaya-biaya yang digolongkan
menjadi biaya tetap dan biaya variabel. Berikut data biaya selama penyewaan pada tahun
tersebut :
Biaya Variabel:
Biaya Tenaga Kerja Langsung Rp 241.128.950
Biaya Kursi dan Sarung Rp 21.184.800
Biaya katering Rp 96.200.000
Biaya Mini Garden Rp 33.683.319
Biaya Pemeliharaan Alas meja dan kursi Rp 1.892.000
Biaya perlengkapan Rp 8.062.500
Biaya transportasi Rp 8.600.000
Biaya Orgen Tunggal Rp 5.700.000
Biaya lain-lain Rp 31.449.125
Setelah mengetahui total biaya variabel dan biaya tetap nya dalam setahun pada tahun 2016,
maka langkah selanjutnya yaitu menghitung marjin kontribusi paket (WACM) nya dengan
komponen harga sewa, biaya variabel, marjin kontribusi, dan sales mix berdasarkan masing-
masing paket penyewaannya pada tahun 2016. Peneliti melakukan perhitungan terhadap
produk-produk yang hanya disewakan saja baik yang disewa Pihak Umum maupun yang disewa
Pihak Alumni pada tahun 2016 yang dapat dilihat pada Tabel No.4 sebagai berikut:
Tabel 4. Perhitungan nilai paket marjin kontribusi berdasarkan penyewaan setiap paket
Pihak Umum dan Alumni
Package
Paket A M arjin Contribution
Harga Sewa Biaya Variabel Sales M ix
Nanang Kontribusi M argin
/ WACM
700 Pax Rp 60.000.000 Rp 40.886.258 Rp 19.113.742 0,02 Rp 444.506
Package
Paket C M arjin Sales Contribution
Harga Sewa Biaya Variabel
Seroja Kontribusi M ix M argin
/ WACM
Package
Paket D
M arjin Contribution
Tanpa Harga Sewa Biaya Variabel Sales M ix
Kontribusi M argin
Katering
/ WACM
Package
Paket A M arjin Contribution
Harga Sewa Biaya Variabel Sales M ix
Nanang Kontribusi M argin
/ WACM
Package
Paket C M arjin Contribution
Harga Sewa Biaya Variabel Sales M ix
Seroja Kontribusi M argin
/ WACM
Package
Paket D
M arjin Contribution
Tanpa Harga Sewa Biaya Variabel Sales M ix
Kontribusi M argin
Katering
/ WACM
Tabel No.4 menjelaskan perhitungan untuk mencari nilai marjin kontribusi paket
berdasarkan harga sewa, biaya variabel dan sales mix. Sebelum mendapatkan hasil marjin
kontribusi paket, maka diperlukan langkah untuk menghitung marjin kontribusi (sewa) dengan
cara harga sewa dikurangi dengan biaya variabel dan dikalikan dengan sales mix, sehingga
didapatkan hasil Weight average contribution margin (WACM) nya setiap masing-masing paket
nya. Berikut adalah contoh perhitungan menghitung Weight Average Contribution Margin
(WACM) nya, yaitu Paket A Nanang kapasitas 700 pax:
Langkah 1:
Marjin kontribusi (sewa) = Harga sewa – Biaya Variabel
Marjin kontribusi (sewa) = Rp 60.000.000 – Rp 40.886.258 (Biaya katering+biaya
kursi+ biaya variabel per acara paket A Nanang) = Rp 19.113.742
Langkah 2:
WACM per paket = Marjin Kontribusi (sewa) x sales mix
WACM mixmix
per paket = Rp19.113.742 x 0,02
= Rp 444.506 (Paket A Nanang kapasitas 700)
Untuk mencari perhitungan WACM per paket lainnya, dapat dilakukan dengan langkah seperti
contoh diatas. Adapun hasil atau total WACM untuk keseluruhan dari setiap paket yang
disewakan pada tahun 2016 yaitu sebesar Rp 10.665.100.
Untuk menghitung BEP paket, maka dapat digunakan rumus sebagai berikut:
BEP Paket = Total Biaya Tetap
Total WACM keseluruhan
Berdasarkan perhitungan target laba satu tahun diatas, laba minimal yang diinginkan
GSG PCR adalah sebesar Rp Rp 119.850.000, maka Pihak Yayasan GSG PCR harus
menentukan paket yang dijual untuk memenuhi target laba minimal tersebut sebagai berikut:
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan BEP setiap produk-produk yang ditawarkan
terdiri dari 8 paket, yaitu 4 paket untuk Pihak Umum dan 4 paket untuk Pihak Alumni serta data
yang diperoleh dari penyewaan GSG Politeknik Caltex Riau maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Perhitungan analisis BEP GSG untuk Pihak Umum dan Pihak Alumni berdasarkan
produk-produk yang ditawarkan pada tahun 2016, terdiri dari paket A Nanang, paket
B Seroja Katering, paket C Seroja Katering dan paket D Tanpa Katering. Adapun
penyewaan yang terjadi pada tahun 2016 yaitu sebanyak 43 kali dalam setahun.
Berdasarkan data history, total penyewaan yang terjadi pada tahun 2016 untuk Pihak
Umum yaitu sebanyak 28 kali dan untuk Pihak Alumni sebanyak 15 kali. Maka hasil
perhitungan BEP paket atau titik impas untuk Pihak Umum dan Alumni secara total
keseluruhan yaitu sebanyak 16 kali penyewaan dalam 1 tahun 2016 dan BEP (Rp)
secara total keseluruhan yaitu sebesar Rp399.500.000.
2. Target laba yang ingin dicapai oleh pihak yayasan PCR adalah minimal sebesar 30%
dari BEP, maka pihak manajemen yayasan GSG PCR harus bisa menyewakan GSG
sebanyak 28 kali penyewaan dalam setahun. Untuk Pihak Umum, paket A Nanang
sebesar 1 kali, paket C Seroja sebanyak 1 kali dan paket D Tanpa Katering 16 kali.
Sedangkan untuk Pihak alumni paket A Nanang sebesar 1 kali, paket C Seroja
sebanyak 1 kali dan paket D tanpa katering sebanyak 8 kali agar mencapai
perencanaan laba minimal sebesar 30%
Analisis BEP Sebagai Dasar Perencanaan Laba Pada Gedung Serba Guna PCR 41
5.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Manajemen gedung yayasan PCR disarankan menerapkan analisis perhitungan BEP
sebagai alat bantu dalam perencanaan laba penyewaan jasa gedung sehingga dapat
diketahui jumlah penyewaan minimum dalam setahun berdasarkan kapasitas-kapasitas
yang disediakan. Hal ini berguna untuk memberikan informasi atau gambaran mengenai
total penyewaan minimal yang harus dicapai agar menemukan nilai BEP atau titik
impasnya.
2. Pihak manajemen yayasan dapat melakukan peningkatan harga sewa per paket dan
kapasitasnya agar GSG PCR dapat melampaui titik impas. Dan juga untuk
meningkatkan penyewaan, pihak Yayasan harus memperluas ruang lingkup pemasaran
penyediaan jasa sewa di GSG PCR di berbagai daerah khususnya masyarakat di kota
Pekanbaru.
Daftar Pustaka
[1] Dunia, Firdaus.A, “Akuntansi Biaya”, Salemba Empat, 2012.
[2] Horngren, Charles.T, “Akuntansi Biaya, Edisi II”, PT. Macanan Jaya Cemerlang, 2010.
[5] Kasmir, “Pengantar Manajemen Keuangan. Edisi Pertama” Kencana Prenada Media,
2010.
[8] Warindrani, Armila Krisna. “Akuntansi Manajemen, Edisi Pertama”, Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2006.
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji dan menganalisis hubungan profitabilitas,
leverage, intensitas modal dan kepemilikan Institusional terhadap penghindaran pajak yang
diproksikan oleh ETR. Pemilihan sampel menggunakan metode purposive sampling dan
observasi dari penelitian ini adalah sebanyak 7 perusahaan konstruksi yang terdaftar di BEI.
Data diperoleh dari data sekunder laporan keuangan perusahaan konstruksi, mulai dari tahun
2012 hingga 2016. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi
linier berganda. Hipotesis dalam penelitian ini didasarkan pada penelitian sebelumnya dan
berbagai teori pendukung lainnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Intersity modal dan
Kepemilikan institusional tidak berpengaruh pada penghindaran pajak dan profitabilitas dan
leverage berpengaruh positif signifikan terhadap tax avoidance pada perusahaan konstruksi.
Kata kunci: Profitabilitas, Leverage, intensitas modal, kepemilikan institusional, Penghindaran
Pajak
Abstract
The purpose of this research is to examine and analyze the relation of profitability, leverage,
capital intensity and Institusional ownership against tax avoidance proxied by ETR. The sample
selection using purposive sampling method and observation from this research is as many as 7
construction companies listed in BEI. Data obtained from secondary data of financial statements
of construction companies, starting from 2012 until 2016. Analysis technique used in this
research is multiple linear regression analysis. The hypothesis in this study is based on previous
research and various other supporting theories. The results of this study indicate that Capital
intesity and institusional Ownership have no effect on tax avoidance and profitability and
leverage have a significant positive effect on tax avoidancein construction companies.
1. Pendahuluan
Sumber pendapatan utama suatu negara salah satu nya adalah dari penerimaan pajak.
Indonesia yang merupakan negara berkembang yang membutuhkan dana untuk pembangunan di
segala bidang, demi meningkatkan kesejahteraan penduduknya. Definisi pajak menurut Undang-
Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada Pasal 1
ayat 1, Pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Pendapatan negara yang bersumber dari pajak adalah sekitar 84,8% yaitu 1.546,7 triliun
rupiah dari total pendapatan negara 1.822,5 triliun rupiah dalam APBN-P 2016 Penerimaan
tersebut antara lain digunakan untuk meningkatkan pendidikan dan kesejahteraan rakyat,
membangun infrastruktur pendorong pertumbuhan ekonomi, mendukung ketahanan dan
keamanan, serta untuk pembangunan di daerah (RAPBN 2014). Dalam pelaksanaannya,
pemungutan pajak oleh pemerintah, tidak selalu mendapat sambutan baik dari perusahaan yang
merupakan subjek pajak. Perusahaan berusaha untuk membayar pajak serendah mungkin karena
pajak dianggap akan mengurangi pendapatan atau laba bersih, sedangkan pemerintah
mengharapkan pajak setinggi mungkin agar dapat membiayai rencana pembangunan. Perbedaan
kepentingan inilah yang menyebabkan wajib pajak berupaya mengurangi pembayaran pajak, baik
secara legal maupun ilegal. Perusahaan menggunakan tarif pajak efektif (Effective tax rate/ETR)
sebagai salah satu acuan dalam penetapan kebijakan sistem perpajakan perusahaan (Ardyansah,
2014). Penghindaran pajak secara legal (Tax Avoidance) diukur dengan Effective Tax Rate
perusahaan tersebut. Tarif pajak efektif (effective tax rate/ETR) dapat dijadikan kategori
pengukuran perencanaan pajak yang efektif, seperti yang diungkapkan oleh Karayan dan
Swenson (2007) dalam Ardyansah (2014), salah satu cara untuk mengukur seberapa baik sebuah
perusahaan mengelola pajaknya adalah dengan melihat persentase tarif efektifnya. Pada
prinsipnya effective tax rate (ETR) merupakan perbandingan antara kewajiban perpajakan yang
dihasilkan dari penghasilan kena pajak (PKP) berdasarkan peraturan perpajakan, terhadap laba
akuntansi berdasarkan standar akuntansi. Effective tax rate (ETR) dihitung dengan konsep
membagi kewajiban pajak perusahaan dengan laba atau arus kas sebelum pajak (Hanlon dan
Heitzman, 2010). Secara umum tindakan penghindaran pajak dianggap sebagai tindakan yang
legal karena lebih banyak memanfaatkancelahyang ada dalam peraturan perpajakan yang berlaku
(lawfull) (Santoso dan Ning, 2013. Faktor-faktor yang mempengaruhi penghindaran pajak (tax
avoidance) bisa bersumber dari faktor internal maupun faktor eksternal. Yang akan digunakan
sebagai variable independent dalam penilitian ini adalah profitabilitas (ROA), leverage (DAR),
struktur kepemilikan (kepemilikan institusional), dan Capital Intensity
Pada penelitian ini objek yang dipilih adalah perusahaan konstruksi yang ada di Indonesia
pada umumnya kepemilikan saham paling banyak atau mayoritas adalah dari pemerintah.
Berdasarkan pemaparan yang telah diuraikan, maka peneliti ingin melakukan penelitian yang
berjudul: Analisis faktor yang Mempengaruhi effective tax rate (studi empiris pada:
perusahaan konstruksi yang terdaftar di BEI periode 2012 – 2016) .
2. Landasan Teori
2.1 Teori Keagenan (Agency Theory)
Perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (lebih-lebih untuk yang telah terdaftar di
pasar modal), seringkali terjadi pemisahan antara pengelola perusahaan (pihak manajemen,
disebut juga sebagai agent) dengan pemilik perusahaan (atau pemegang saham, disebut juga
sebagai principal). Masalah keagenan (agency problem) muncul dalam dua bentuk, yaitu antara
pemilik perusahaan (principals) dengan pihak manajemen (agent), dan antara pemegang saham
dengan pemegang obligasi. Tujuan normatif pengambilan keputusan keuangan yang menyatakan
bahwa keputusan diambil untuk memaksimumkan kemakmuran pemilik perusahaan, hanya
benar apabila pengambil keputusan keuangan (agent) memang mengambil keputusan dengan
maksud untuk kepentingan para pemilik perusahaan (Husnan dan Pudjiastuti, 2012).
2.2 Pajak
Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang paling besar. Salah satu usaha
untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa dan negara dalam pembiayaan pembangunan yaitu
menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk
membiayai pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama. Pajak adalah iuran kepada
negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh ang wajib membayarnya menurut peraturan-
peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang
44 Vidiyanna Rizal Putri
perusahaan dapat dikurangkan dari pajak sementara dividen tidak. Maka dengan perencanaan
keputusan struktur modal perusahaan yang tepat perusahaan dapat memperoleh manfaat pajak
dari pengurangan beban bunga. Upaya penghindaran pajak oleh perusahaan dapat berkurang.
H2 : Leverage berpengaruh terhadap Effective Tax Rate
3. Metodologi Peneletian
Penelitian ini ditujukan untuk menguji apakah, profitabilitas, leverage, capital intensity
dan kepemilikan institusional berpengaruh terhadap Effective Tax Rate/ETR (tax avoidance).
Obyek dari penelitian ini adalah perusahaan kontruksi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
pada periode tahun 2012 sampai dengan 2016. Populasi pada penelitian ini adalah perusahaan
kontruksi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan menerbitkan laporan keuangan pada
periode tahun 2012 hingga 2016. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive
sampling. Purposive sampling adalah salah satu teknik pengambilan sampel dalam
nonprobability sampling dimana informasi yang dikumpulkan dari target atau kelompok tertentu
dengan beberapa dasar atau pertimbangan tertentu (Sekaran [6]). Data yang diperoleh dalam
penelitian ini adalah data sekunder laporan keuangan dari perusahaan konstruksi yang terdaftar
di Bursa Efek Indonesia tahun 2012-2016. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini ada
analisis regersi berganda.
Variabel dependen atau variabel terikat adalah variabel utama yang menjadi faktor yang
berlaku dalam investigasi (Sekaran [6]). Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Effective Tax Rate (ETR). Penghindaran pajak dalam penelitian ini diproksikan dengan
46 Vidiyanna Rizal Putri
Effective Tax Rate (ETR) sebagai variabel dependen. ETR menggambarkan presentase total beban
pajak penghasilan yang dibayarkan perusahaan dari seluruh total pendapatan sebelum pajak yang
diperoleh perusahaan (Pradipta dan Supriyadi [5]).
𝒃𝒆𝒃𝒂𝒏 𝒑𝒂𝒋𝒂𝒌 𝒑𝒆𝒏𝒈𝒉𝒂𝒔𝒊𝒍𝒂𝒏
ETR = (1)
𝒑𝒆𝒏𝒅𝒂𝒑𝒂𝒕𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒃𝒆𝒍𝒖𝒎 𝒑𝒂𝒋𝒂𝒌
Variabel independen adalah variabel yang memengaruhi atau yang menjadi sebab
perubahannya atau timbulnya variabel dependen. Variabel independen yang digunakan adalah
profitabilitas, leverage, capital intensity dan kepemilikan institusional. Variabel independen
pertama adalah Profitabilitas perusahaan dapat diukur menggungakan Return on Asset (ROA).
Rasio profitabilitas adalah evaluasi rasio kinerja operasi yang umumnya mengaitkan pos laporan
laba rugi dengan penjualan (Subramanyam [7]). Penghitungan ROA diukur dengan model:
𝑳𝒂𝒃𝒂𝒓 𝑩𝒆𝒓𝒔𝒊𝒉+𝒃𝒆𝒃𝒂𝒏 𝒃𝒖𝒏𝒈𝒂 𝒙 (𝟏−𝒕𝒂𝒓𝒊𝒇 𝒑𝒂𝒋𝒂𝒌)
ROA = (2)
𝑹𝒂𝒕𝒂 𝒓𝒂𝒕𝒂 𝒕𝒐𝒕𝒂𝒍 𝒂𝒔𝒔𝒆𝒕
Leverage merupakan rasio yang mengukur kemampuan utang baik jangka panjang maupun
jangka pendek untuk membiayai aset perusahaan. Variabel ini diukur dengan menggunakan debt
to total asset ratio (DAR) karena dapat mengukur seberapa besar jumlah aset perusahaan dibiayai
dengan total utang. DAR adalah salah satu rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat
solvabilitas perusahaan (Dewinta dan Setiawan [1]).
𝒕𝒐𝒕𝒂𝒍 𝒍𝒊𝒂𝒃𝒊𝒍𝒊𝒕𝒚
Debt to total asset Ratio = (3)
𝒕𝒐𝒕𝒂𝒍 𝒂𝒔𝒔𝒆𝒕
Variabel independen berikutnya adala capital intensity. Capital intensity atau rasio intensitas
aset tetap adalah perbandingan aset tetap terhadap total aset sebuah perusahaan. Rasio intensitas
modal merupakan salah satu informasi yang penting bagi investor karena dapat menunjukkan
tingkat efisiensi penggunaan modal yang telah ditanamkan (Commanar and Willson,1967).
𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝑨𝒔𝒔𝒆𝒕 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑
Capital Intensity = 𝒙 𝟏𝟎𝟎% (4)
𝒕𝒐𝒕𝒂𝒍 𝒂𝒔𝒔𝒆𝒕
Variabel intependen terakhir adalah kepemilikan institusional. Kepemilikan institusional
adalah kepemilikan saham oleh pihak institusional. Kepemilikan institusional dalam penelitian
ini dihitung dengan menggunakan rasio kepemilikan saham institusional dibagi total saham
yang (Sugiarto, 2009).
𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒔𝒂𝒉𝒂𝒎 𝒊𝒏𝒔𝒕𝒊𝒕𝒖𝒔𝒊𝒐𝒏𝒂𝒍
Kepemilikan Institusional = 𝒙 𝟏𝟎𝟎% (5)
𝒋𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒔𝒂𝒉𝒂𝒎 𝒃𝒆𝒓𝒆𝒅𝒂𝒓
3.1 Model Penelitian
Statistik deskriptif menurut Ghozali [2], memberikan gambaran atau deskripsi suatu data
yang dilihat dari nilai rata-rata (mean), standar deviasi, varian, maksimum, sum, range, kurtosis
dan skewness (kemencengan distribusi). Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data panel. Uji analisis regresi data panel yang dilakukan yaitu: uji Chow dan uji hausman.
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan metode regresi linear berganda (multiple
regression) dengan menggunakan alat statistic EViews 9. Analisis regresi berganda adalah
analisis tentang hubungan antara satu dependent variable dengan dua atau lebih independent
variable. Model yang dilakukan oleh penelitian ini adalah:
ETR i,t = α + + β1 ROAi,t + β2 LEVi,t + β3 CIRi,t + β4 INSTOWi,t + e
Keterangan :
ETR i,t : penghindaran pajak yang diukur dengan menggunakan proksi ETR
∝ : Konstanta
β1, β2, β3, β4 : Koefisien regresi
ROA i,t : return on asset
Lev i,t : Leverage
CIR i,t : Capital Intensity
INSTOW i,t : Kepemilikan Institusional
karena sebagian besar perusahaan konstruksi yang terdaftar di BEI pada tahun 2013 ke atas. BEI
dipilih sebagai sumber data utama karena BEI merupakan pasar saham terbesar dan utama di
Indonesia. Dimana perusahaan yang memenuhi kriteria dalam purposive sampling sebanyak 7
perusahaan dengan jumlah observasi 35.
4.2 Statistik Deskriptif
Berikut ini merupakan tabel hasil pengujian dari analisis statistik deskriptif untuk melihat
angka pada setiap variabel yang digunakan dalam penelitian ini.
Tabel 1. S tatistik Deskriptif
1 Jarque-Bera 3.562153
Probability 0.168457
0
-0.20 -0.15 -0.10 -0.05 0.00 0.05 0.10
Berdasarkan hasil pengolahan data menggunakan eviews 9, seperti yang tampak disajikan
pada gambar di atas menunjukkan bahwa semua variabel telah terdistribusi dengan normal. Hal
ini ditunjukkan dengan nilai probability Jarque- Bera yang lebih besar dari 5% yaitu 3,562153.
Dengan hasil ini maka dapat disimpulkan bahwa data telah terdistribusi normal dengan jumlah
observasi sebanyak 35.
4.4 Uji Multikolinieritas
Pada tabel diatas dapat disimpulkan bahwa antar variabel independen tidak ada unsur
multikoleniaritas. Hasil yang didapat dari correlation matrix di atas menunjukkan korelasi antar
variabel kurang dari 0.85, artinya tidak ada unsur multikoleniaritas di dalam penelitian ini.
Mean
R-squared 0.748757 dependent 0.323686
var
S.D.
Adjusted R-
0.644073 dependent 0.1406
squared
var
Akaike
S.E. of -
0.083881 info
regression 1.867549
criterion
Sum squared Schwarz -
0.168866
resid criterion 1.378725
Hannan-
-
Log likelihood 43.68211 Quinn
1.698807
criter.
Durbin-
F-statistic 7.15252 Watson 1.603493
stat
Prob(F-
0.00004
statistic)
S umber :Output Eviews, diolah 2017
Berdasarkan pengolahan data yang sudah dilakukan, maka diperoleh bahwa nilai DW
pada model penelitian sebesar 1.603493 yang artinya bahwa nilai D-W sesuai dengan kriteria
yang telah ditetapkan, sehingga dapat disimpulkan bahwa model penelitian tidak mengalami
autokorelasi.
Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Effective Tax Rate 49
Hasil regresi data panel model penelitian yang didapat adalah sebagai berikut:
Kesimpulan yang dapat diambil dari uji t persamaan adalah sebagai berikut:
1. Pengujian Hipotesis 1 ROA berpengaruh positif dan signifikan terhadap penghindaran
pajak. Hal ini berdasarkan tabel 4.11yang menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.0002
(0,2%) lebih kecil dari 0.05 (5%) maka Ho1 ditolak dan Ha2 diterima.
2. Pengujian Hipotesis 2 leverage (LEV) berpengaruh positif terhadap penghindaran pajak.
Hal ini berdasarkan tabel 4.11 yang menunjukan probabilitas sebesar 0.0162 (1,62 %)
lebih kecil dari 0.05 (5%), maka H02 ditolak dan Ha2 diterima.
3. Pengujian Hipotesis 3 Capital Intensity (CIR) tidak berpengaruh terhadap penghindaran
pajak. Hal ini berdasarkan tabel 4.11 yang menunjukkan probabilitas sebesar 0.3180lebih
besar dari 0.05 (5%) 05, maka Ho3 diterima dan Ha3 ditolak.
4. Pengujian Hipotesis 4 kepemilikan Institusional (INSTOW) tidak berpengaruh terhadap
penghindaran pajak. Hal ini berdasarkan tabel 4.11 yang menunjukkan probabilitas
sebesar 0.4901 lebih besar dari 0.05 (5%), maka Ho4 diterima dan Ha4 ditolak.
Uji Koefisien Determinasi atau yang biasa disebut Adjusted R Square pada penelitian ini
menunjukkan kemampuan model untuk menjelaskan hubungan antara variabel independen dan
variabel dependen. Nilai Adjusted R-squared selalu berada dikisaran antara 0 sampai 1. Nilai
Adjusted R-squared model penelitian pada tabel 4.10 adalah sebesar 0.644073 atau 64,4073%.
Hal ini menunjukkan bahwa profitability (ROA), leverage (DAR), Capital Intensity (CIR), dan
kepemilikan Institusional (INSTOW) mampu menjelaskan pengaruh kepada penghindaran
pajak hanya sebesar 64,4073%. Sisanya yaitu sebesar 35,5927% dijelaskan oleh variabel lain
yang tidak digunakan dalam model penelitian ini.
penghindaran pajak yang diproksikan effective tax rate yang termasuk dalam perusahaan
konstruksi di Bursa Efek Indonesia periode 2012-2016. Dari hasil analisis regresi mengenai
pengaruh pengaruh mengenai profitabilitas (ROA), leverage (DAR), capital intensity (CIR) dan
kepemilikan instititusional (INSTOW) terhadap penghindaran pajak yang diproksikan effective
tax rate yang telah dilakukan, ditemukan bahwa dari dua variabel independen tersebut memiliki
pengaruh terhadap penghindaran pajak tetapi ada yang menunjukan beda arah dan dua lagi tidak
berpengaruh
Hasil penelitian menyatakan bahwa ROA memiliki pengaruh positif terhadap tingkat
penghindaran pajak yang diproksikan dengan effective tax rate (ETR). Dalam pernyataan ini
perusahaan dengan profitabilitas yang tinggi akan memiliki penghindaran pajak yang
diproksikan dengan effective tax rate (ETR) juga tingga. ETR yang tinggi tersebut meyebabkan
perusahaan tersebut tidak melakukan penghindaran pajak, karena perusahaan dengan
profitabilitas yang tinggi tidak akan melakukan usaha untuk meminimalkan pajak
Hasil penelitian menyatakan bahwa leverage memiliki pengaruh positif terhadap tingkat
penghindaran pajak yang diproksikan dengan effective tax rate (ETR). Hal ini berarti rasio hutang
mempengaruhi kegiatan perpajakan perusahaan konstruksi. Perusahaan memanfaatkan sumber
dana dari pihak ketiga untuk membelian sset tetap berupa alat berat. Investasi alat berat ini
digunakan untuk kegiatan operasional perusahaan yang berimbas meningkatnya pendapatan
perusahaan yang berdampak bertambahnya laba. Sehingga dengan meningkatnya biaya bunga
dari utang pada pihak ketiga yang di investasikan dalam bentuk asset tetap, maka juga
meningkatkan jumlah pajak yang dibayarkan perusahaan.
Capital intensity tidak memiliki pengaruhterhadap tingkat penghindaran pajak yang
diproksikan dengan effective tax rate (ETR). Hal ini karena perusahaan yang sudah besar biasanya
asset tetap yang digunakan sudah habis masa manfaatnya. Selain itu pihak manajemen perusahaan
membuat kebijakan beban penyusutan sesuai dengan peraturan perpajakan, sehingga tidak
menimbulkan koreksi fiskal. Hal ini mengakibatkan besar kecilnya asset tetap yang dimiliki
perusahaan tidak berpengaruh terhadap penghindaran pajak.
Kepemilikan institusional (INSTOW) tidak memiliki pengaruhterhadap tingkat
penghindaran pajak yang diproksikan dengan effective tax rate (ETR). Hal ini berarti proporsi
kepemilikan institusi seperti BUMN, pemerintah tidak memiliki pengaruh terhadap penghindaran
pajak. Kepemilikan institusional diharapkan bisa mengawasi kebijakan dan pelaksanaan
operasional oleh pihak manajemen. Tetapi pada praktek dilapangannya, kepemilikan intitusional
mempercayakan pengawasan kepada komisaris, sehingga tetap saja ada kesempatan untuk
terjadinya penghindaran pajak.
Daftar Pustaka
[1] Dewinta, I. A. R., & Setiawan, P. E. (2016). Pengaruh Ukuran Perusahaan, Umur Perusahaan,
Profitabilitas, Leverage, Dan Pertumbuhan Penjualan Terhadap Tax Avoidance. E-Jurnal
Akuntansi Universitas Udayana, 14(3), 1584–1613.
[2] Ghozali, Imam. (2016). Aplikasi Analisis Mulitivariate Dengan Program Ibm Spss 23,
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
[3] Fadhila, Rahmi(2014) Pengaruh Good Corporate Governance terhadap Tax Avoidance (Studi
empiris pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di
[4] Kurniasih, T., & Sari, M. M. R. (2013). Pengaruh Return on Assets , Leverage , Corporate
Governance , Ukuran Perusahaan Dan Kompensasi Rugi Fiskal Pada Tax Avoidance.
Buletin Studi Ekonomi, 18(1), 58–66.
[5] Pradipta, D. H., & Supriyadi. (2015). Pengaruh Cosrporate Social Responsibility (CSR),
Profitabilitas, Leverage, dan Komisaris Independen Terhadap Praktik Penghindaran Pajak.
SNA 18 Universitas Sumatera Utara, Medan.
[6] Sekaran, Uma dan Bougie, Roger. 2013. Research Methods for Business. United Kingdom:
Jhon Wiley & Sons Ltd.
[7] Subramanyam, K.R. dan John J. Wild. (2009). Analisis Laporan Keuangan Financial
Statement Analysis. Buku 1 Edisi 10. Jakarta: Salemba Empat.
[8] Waluyo, Teguh muji, Yessi Mutia Basri, dan Rusli. (2015). Pengaruh Return On Asset,
Ukuran Perusahaan, Kompensasi Rugi Fiskal, dan Kepemilikan Institusi Terhadap
Penghindaran Pajak. Universitas Riau
Jurnal Akuntansi Keuangan dan Bisnis Vol. 11, No. 1, Mei 2018, 52-60 52
1
Universitas Putera Batam, email: argoupb@gmail.com
Abstrak
Tujuan dari peneltian ini adalah untuk mengetahui pengaruh sistem informasi akuntansi dan
pengendalian internal terhadap kinerja pegawai bagian akuntansi sebagai pengguna Enterprise
Resource Planning (ERP). Berdasarkan informasi beberapa karyawan PT. Pola Petro
Development yang menyatakan bahwa permasalahan yang berhubungan dengan kualitas
informasi laporan keuangan di PT. Pola Petro Development yaitu sering terjadi gangguan
masalah kualitas informasi yang selama ini masih sering dijumpai oleh perusahaan sebelum
penerapan Enterprise Resource Planning (ERP). Populasi penelitian ini adalah karyawan
pengguna sistem Enterprise Resource Planning (ERP) berjumlah 80 orang pada PT. Pola Petro
Development. Sampel yang digunakan pada penelitian ni adalah sampel. Hasil penelitian ini
ada pengaruh signifikan sistem informasi akuntansi dan sistem pengendalian internal terhadap
kinerja pegawai bagian akuntansi pengguna Enterprise Resource Planning dengan nilai
signifikan masing-masing adalah 0,01 dan 0,018. Sedangkan secara simultan sistem inf ormasi
akuntansi dan sistem pengendalian internal berpengaruh signifikan dengan nilai signif ikan
adalah 0,000 < 0,05.
Kata kunci: Sistem Informasi Akuntansi, Sistem Pengendalian Internal, Enterprise Resource
Planning.
Abstract
The purpose of this study is to determine the effect of accounting information systems and
internal controls on employee performance accounting department as an Enterprise Resource
Planning (ERP) user. Based on the information of some employees of PT. Pattern Petro
Development which states that the problems related to the quality of financial statement
information at PT. Pattern Petro Development is often the problem of information quality
problems that are still often encountered by the company before the implementation of
Enterprise Resource Planning (ERP). The population of this study is the employees of
Enterprise Resource Planning (ERP) system users are 80 people at PT. Pattern of Petro
Development. The sample used in this research is sample. The result of this research is
significant influence of accounting information system and internal control system to employee
performance of Enterprise Resource Planning user accounting with significant value are 0,01
and 0,018 respectively. While simultaneously the accounting information system and internal
control system significantly influence the significant value is 0,000 <0.05.
1. Pendahuluan
Penggunaan teknologi pada aktivitas bisnis perusahaan juga membuka peluang bagi
pengaksesan, pengelolaan dan pendayagunaan informasi dalam volume yang besar, secara cepat
dan akurat oleh perusahaan. Informasi akuntansi yang berhubungan dengan data keuangan dari
suatu perusahaan merupakan bagian dari informasi penting yang diperlukan oleh manajemen.
Kualitas informasi yang ada pada PT. Pola Petro Development dirasakan belum sesuai dengan
apa yang diharapkan. Hal tersebut dapat diketahui berdasarkan informasi beberapa karyawan
PT. Pola Petro Development yang menyatakan bahwa permasalahan yang berhubungan dengan
kualitas informasi laporan keuangan di PT. Pola Petro Development diantaranya yaitu sering
terjadi gangguan, sehingga karyawan yang membutuhkan suatu informasi yang berhubungan
dengan komputer harus menunggu sampai sistem dapat digunakan sehingga informasi yang
dibutuhkan sudah tidak tepat waktu dan mungkin sudah tidak akurat lagi. Sedangakan PT. Pola
Petro Development menerapkan sistem on time dalam melaksanakan pekerjaan, artinya
pekerjaan harus diselesaikan dengan tepat waktu.
Oleh karena itu perlunya Sistem informasi akuntansi (SIA) dan pengendalian internal
merupakan sistem yang memliki tugas dalam hal pengelolaan data atau transaksi keuangan
menjadi informasi berupa bentuk laporan keuangan, informasi keuangan tersebut dibutuhkan
untuk memenuhi kebutuhan pihak internal maupun eksternal yang akan digunakan sebagai
pembuatan keputusan finansial. Implementasi Enterprise Resource Planning (ERP) bisa berjalan
dengan lancar perusahaan harus menyiapkan beberapa hal, antara lain bagaimana memilih
sistem ERP yang sesuai dengan kebutuhan, membangun model bisnis dan menyiapkan
manajemen perusahaan yang harus dilakukan akibat penerapan sistem ERP. Sistem informasi
yang digunakan di perusahaan membutuhkan waktu untuk beradaptasi bagi karyawan
mengoperasikannya. Fokus penelitian bagaimana penerapan sistem informasi akuntansi serta
pengendalian internal dengan menggunakan Enterprise Resource Planning (ERP) dalam
pembuatan laporan keuangan PT. Pola Petro Development.
untuk menyediakan informasi keuangan yang dibutuhkan oleh manajemen guna memudahkan
pengelolaan perusahaan.
2.5 Kinerja
[4]berpendapat bahwa kinerja (perfomance) pada dasarnya apa yang yang dilakukan
atau tidak dilakukan oleh karyawan. Kinerja karyawan yang umum untuk kebanyakan pekerjaan
meliputi elemen yaitu kuantitas dari hasil, kualitas dari hasil, ketepatan waktu dari hasil,
kehadiran atau absensi, dan kemampuan bekerja sama.
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan jenis data interval. Skala interval memungkinkan untuk
melakukan tindakan operasional aritmatika berdasarkan data yang diperoleh dari responden. Hal
ini membantu dalam menghitung rerata hitung (mean) dan standart deviasi respon terhadap
variabel yang digunakan [3] Data ini berupa nilai atau skor atas jawaban responden terhadap
pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner. Sumber data penelitian adalah data primer yang
diperoleh melalui pembagian kuesioner kepada responden.
Tabel 1
One-S ample Kolmogorov-S mirnov Test
Sistem Efektifitas Kinerja Pegawai
Informasi Pengendalian bagian akuntansi
Akuntansi Internal Pengguna ERP
N 80 80 80
a,b M ean 43.35 37.64 61.34
Normal Parameters
Std. Deviation 4.601 4.067 5.917
Absolute .145 .136 .123
M ost Extreme Differences Positive .062 .106 .123
Negative -.145 -.136 -.111
Kolmogorov-Smirnov Z 1.294 1.212 1.098
Asymp. Sig. (2-tailed) .070 .106 .179
Tabel 2.
Nilai Variance Inflaction Factor (VIF)
Model Collinearity
Statistics
Tolerance VIF
(Constant)
1 Sistem Informasi Akuntansi .763 1.310
Sistem Pengendalian Internal .742 1.348
Tabel 3
Uji Parsial (Uji t)
Model Unstandardized Standardized T Sig. 95.0% Confidence
Coefficients Coefficients Interval for B
B Std. Beta Lower Upper
Error Bound Bound
1
Sistem Informasi Akuntansi 372 .140 .289 2.653 .010 .093 .652
Sistem Pengendalian Internal 385 .159 .264 2.423 .018 .069 .701
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai signifikan dari kedua variabel bebas yaitu
nilai signifikan variabel sistem informasi akuntansi = 0,010 < 0,05 dan nilai signifikan sistem
pengendalian internal = 0,018 < 0,05. Hasil ini menunjukkan bahwa variabel sistem informasi
akuntansi dan sistem pengendalian internal masing-masing berpengaruh signifikan terhadap
kinerja pegawai bagian akuntansi pengguna ERP. Besarnya nilai R 2 = 0,210 menunjukkan
Pengaruh SIA dan SPI terhadap Kinerja Pegawai… 59
bahwa sistem informasi akuntansi, sistem pengendalian internal dan kompetensi terhadap
Kinerja pegawai pengguna ERP adalah sebesar 21,0 % sedangkan sisanya 79,0 % merupakan
kontribusi dari variabel-variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian.
ANOVAa
4.6.1 Hipotesis 1
Dari analisa diperoleh bahwa nilai signifikan sistem informasi akuntansi adalah 0,010 <
0,05. Hasil ini memberi kesimpulan bahwa H 1 diterima, yang berarti bahwa secara langsung ada
pengaruh signifikan sistem informasi akuntansi terhadap Kinerja Pegawai Bagian Akuntansi
Pengguna ERP.
4.6.3 Hipotesis 3
Dari analisa diperoleh bahwa nilai signifikan sistem informasi akuntansi dan sistem
pengendalian internal adalah 0,000 < 0,05. Hasil ini memberi kesimpulan bahwa H 3 diterima,
yang berarti bahwa secara simultan (bersama-sama) ada pengaruh signifikan sistem informasi
akuntansi dan sistem pengendalian internal terhadap Kinerja Pegawai Bagian Akuntansi
Pengguna ERP.
60 Agro Putra Prima
5. KESIMPULAN
Dari pembahasan yang dilakukan, maka dapat dituangkan beberapa kesimpulan, yaitu:
5.1 Implikasi
1. Implikasi Teoritik
Hasil penelitian ini dapat diterapkan dan menjadikan bahan masukan bagi
karyawan dalam menjalankan pekerjaannya dalam menggunakan sistem yang
baru diterpkan dalam perusahaan. Hal ini didasari sistem informasi akuntansi dan
sisem pengendalian internal, dapat meningkat sejalan dengan peningkatan
pengaruh yang diberikan oleh kompetensi dan substansi kinerja pegawai
pengguna Enterprise Resouce Planning.
3. Implikasi Metodologi
Kajian penelitian kausal dapat dikembangkan atas dasar kajian teoritik dimana
hasilnya dapat didukung dengan data ataupun tidak didukung dengan data.
Namun penelitian tentang substansi kinerja pegawai pengguna Enterprise
Resouce Planning.harus dilakukan verifikasi melalui penelitian yang akan datang
guna untuk memperoleh hasil penelitian yang lebih kredibel.
DAFTAR PUSTAKA
1
Universitas Putra Batam, email:viola.myudzz21@gmail.com
2
Universitas Putra Batam, email:argo.upb@gmail.com
Abstract
This research is expected to provide basic information to investors relating to the timeliness of
financial reporting which will become relevant information for investors in business and
economic decision making. From the data obtained from the Investment Coordinating Board
(BKPM) shows an increase in investment growth from 2016-2017. In line with the incre ase in
investment of course makes the investors need relevant and timely information. But in fact many
public companies are late in delivering their annual financial statements while investors are in
need of financial reports quickly because the capital market moves dynamically every minute.
The population in this study is the financial statements of banking companies from 2014 -2016.
Based on the sample criteria, there were 65 samples. The results of leverage and firm size
research partially significant effect on the timeliness of financial reporting while prof itability
and ownership structure has no significant effect on the timeliness of financial reporting. The
result of F test is Fcount compared with Ftable 3.007> 2.53 and significant value 0,025 <0,05
which shows simultaneously leverage, firm size, profitability and ownership structure have
significant effect on timeliness of financial reporting.
Keywords: Leverage, Firm Size, Profitability, Ownership Structure and Timeliness Of Financial
Reporting
Abstrak
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar kepada investor yang berkaitan
dengan ketepatan waktu pelaporan keuangan yang akan menjadi informasi yang relevan bagi
investor dalam pengambilan keputusan bisnis dan ekonomi. Dari data yan g di dapat dari
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan pertumbuhan investasi yang
mengalami peningkatan dari tahun 2016-2017. Sejalan dengan peningkatan investasi tentunya
membuat para investor memerlukan informasi yang relevan dan tepat waktu. Namun faktanya
banyak perusahaan publik yang terlambat dalam menyampaikan laporan keuangan tahunannya
sedangkan investor sangat membutuhkan laporan keuangan dengan cepat karena pasar modal
bergerak dinamis setiap menitnya. Populasi dalam penelitian ini adalah laporan keuangan
perusahaan perbankan dari tahun 2014-2016. Berdasarkan k riteria sampel didapatkan 65
sampel. Hasil penelitian leverage dan ukuran perusahaan secara parsial berpengaruh
signifikan terhadap ketepatan waktu pelaporan keuangan sedangkan profitabilitas dan struktur
kepemilikan tidak berpengaruh signifikan terhadap ketepatan waktu pelaporan keuangan. Hasil
uji F didapatkan nilai Fhitung dibandingkan dengan Ftabel 3.007 > 2,53 dan nilai signif ikan
0,025 < 0,05 yang menunjukkan secara simultan leverage, ukuran perusahaan, profitabilitas
dan struktur kepemilikan berpengaruh secara signifikan terhadap ketepatan waktu pelaporan
keuangan.
1. Pendahuluan
Ketepatan waktu (timeliness) merupakan salah satu faktor penting dalam penyajian suatu
informasi yang relevan. Informasi akan mempunyai manfaat jika disampaikan tepat waktu
kepada para pengguna laporan keuangan untuk pengambilan keputusan. Laporan keuangan
sebagai sebuah informasi akan bermanfaat apabila informasi yang dikandungnya disediakan
tepat waktu bagi para pembuat keputusan [1]. Jika terdapat penundaan yang tidak semestinya
dalam pelaporan keuangan maka informasi yang diberikan akan kehilangan relevansinya.
Informasi dikatakan relevan apabila memiliki nilai prediksi (predictive value), nilai umpan balik
dan tersedia tepat waktu.
Setiap perusahaan yang go public memiliki kewajiban untuk menyampaikan laporan
keuangan yang disusun sesuai dengan standar akuntansi keuangan dan telah diaudit tepat waktu.
Perusahaan yang terlambat dalam menyampaikan laporan keuangan secara tepat waktu akan
dikenakan sanksi administrasi dan denda sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh undang-
undang [2].
PT Bursa Efek Indonesia (BEI) telah memberikan peringatan tertulis kepada 65
perusahaan tercatat yang tidak memenuhi kewajiban penyampaian laporan keuangan interim
yang berakhir pada 31 Maret 2016 secara tepat waktu, dari 581 perusahaan tercatat, sebanyak
515 perusahaan yang menyampaikan laporan keuangannya. Sedangkan 66 efek dan perusahaan
yang tidak melakukan kewajibannya. Adapun, yang telah menyampaikan laporan keuangan
tepat waktu sebanyak 433 perusahaan. Sebanyak 82 perusahaan tidak tepat waktu
menyampaikan laporan keuangan. Dari data diatas terbukti banyak perusahaan publik yang
terlambat dalam menyampaikan laporan keuangan tahunannya sedangkan investor sangat
membutuhkan laporan keuangan dengan cepat karena pasar modal bergerak dinamis setiap
menitnya.
Faktor-faktor lainnya yang mungkin berpengaruh pada ketepatan waktu pelaporan
keuangan yaitu leverage, ukuran perusahaan, profitabilitas dan struktur kepemilikan. Leverage
digunakan untuk mengukur tingkat aktiva perusahaan yang dibiayai oleh penggunaan hutang.
Perusahaan yang mempunyai leverage yang tinggi berarti sangat tergantung pada pinjaman luar
untuk membiayai aktivanya. Sedangkan perusahaan yang mempunyai leverage yang rendah
lebih banyak membiayai investasinya dengan modal sendiri. Dengan demikian semakin tinggi
leverage berarti semakin tinggi risiko karena ada kemungkinan bahwa perusahaan tersebut tidak
bisa melunasi kewajiban hutangnya baik pokok maupun bunganya [4].
Ukuran perusahaan dapat dinilai dari beberapa segi. Besar kecilnya ukuran perusahaan
dapat didasarkan pada total nilai aset, total penjualan, kapitalisasi pasar, jumlah tenaga kerja dan
sebagainya. Semakin besar nilai item-item tersebut maka semakin besar pula ukuran perusahaan
[5].
Profitabilitas menunjukkan keberhasilan perusahaan di dalam menghasilkan keuntungan.
Profitabilitas suatu perusahaan mencerminkan tingkat efektivitas yang dicapai oleh suatu
operasional perusahaan. Dasar pemikiran bahwa tingat keuntungan dipakai sebagai salah satu
cara untuk menilai keberhasilan efektivitas perusahaan tentunya berkaitan dengan hasil akhir
dari berbagai kebijakan dan keputusan perusahaan yang telah dilaksanakan oleh perusahaan
dalam periode berjalan [6].
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketepatan… 63
Struktur kepemilikan perusahaan dapat disebut juga sebagai struktur kepemilikan saham,
yaitu suatu perbandingan antara jumlah saham yang dimiliki oleh pihak dalam atau manajemen
perusahaan dengan jumlah saham yang dimiliki oleh pihak luar [5]. Struktur kepemilikan dalam
penelitian ini adalah persentase kepemilikan saham terbesar oleh pihak luar yang diukur dengan
melihat dari berapa besar saham yang dimiliki oleh pihak luar pada perusahaan go public yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Karena kepemilikan pihak luar mempunyai kekuatan yang
besar dalam mempengaruhi perusahaan baik melalui media massa maupun dalam bentuk
kritikan atau komentar yang dianggap sebagai aspirasi publik atau masyarakat.
2. Tinjauan Pustaka
Tepat waktu diartikan bahwa informasi harus disampaikan sedini mungkin untuk dapat
digunakan sebagai dasar untuk membantu dalam pengambilan keputusan-keputusan ekonomi
dan untuk menghindari tertundanya pengambilan keputusan tersebut [7]
Salah satu cara untuk mengukur transparansi dan kualitas pelaporan keuangan adalah
ketepatan waktu. Rentang waktu antara tanggal laporan keuangan perusahaan dan tanggal ketika
informasi keuangan diumumkan ke publik berhubungan dengan kualitas informasi keuangan
yang dilaporkan [8].
Laporan keuangan menurut [9] disusun dan disajikan sukurang-kurangnya setahun sekali
untuk memenuhi kebutuhan sejumlah besar pengguna. Beberapa diantara pengguna ini
memerlukan dan berhak untuk memperoleh informasi tambahan di samping yang tercakup
dalam laporan keuangan.
Ketepatan waktu menunjukkan rentang waktu antara penyajian informasi yang
diinginkan dengan frekuensi pelaporan informasi. Ketepatan waktu diukur dengan dummy
varibel, dimana kategori 1 untuk perusahaan yang tepat waktu dan kategori 0 untuk perusahaan
yang tidak tepat waktu. Perusahaan di kategorikan terlambat jika laporan keuangan dilaporkan
setelah tanggal 31 Maret [8].
2.2 Leverage
Leverage digunakan untuk mengukur tingkat aktiva perusahaan yang dibiayai oleh
penggunaan hutang. Perusahaan yang mempunyai leverage yang tinggi berarti sangat
tergantung pada pinjaman luar untuk membiayai aktivanya. Sedangkan perusahaan yang
mempunyai leverage yang rendah lebih banyak membiayai investasinya dengan modal sendiri.
Dengan demikian semakin tinggi leverage berarti semakin tinggi risiko karena ada
kemungkinan bahwa perusahaan tersebut tidak bisa melunasi kewajiban hutangnya baik pokok
maupun bunganya [4].
berada di bawah tekanan untuk mengumumkan laporan keuangannya tepat waktu untuk
menghindari adanya spekulasi dalam perdagangan saham perusahaannya [6].
2.4 Profitabilitas
Profitabilitas menunjukan kebehasilan perusahaan di dalam menghasilkan keuntungan.
[6] menyatakan bahwa profitabilitas suatu perusahaan mencerminkan tingkat efektivitas yang
dicapai oleh suatu operasional perusahaan. Dasar pemikiran bahwa tingat keuntungan dipakai
sebagai salah satu cara untuk menilai keberhasilan efektivitas perusahaan, tentunya berkaitan
dengan hasil akhir dari berbagai kebijakan dan keputusan perusahaan yang telah dilaksanakan
oleh perusahaan dalam periode berjalan.
3. Metode Penelitian
Desain penelitian merupakan kerangka kerja yang digunakan dalam suatu penelitian.
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain kausal. Desain kausal
digunakan untuk penelitian yang memiliki hubungan sebab akibat antara variabel independen
dan dependen yang diteliti.
Populasi penelitian ini adalah laporan keuangan perusahaan perbankan yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia. Sampel dalam penelitian ini yaitu laporan keuangan perusahaan
perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dari tahun 2012 sampai 2014. Berdasarkan
kriteria sampel didapatkan 65 sampel dalam penelitian ini
Standardized
Coeffici
Unstandardized Coefficients ents
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) .264 .163 1.613 .112
LEVERAGE -.366 .178 -.242 -2.053 .044
UKURAN .605 .203 .405 2.976 .004
PERUSAHAAN
PROFITABILITAS -.213 .186 -.157 -1.145 .257
STRUKTUR -.276 .148 -.217 -1.862 .067
KEPEMILIKAN
a. Dependent Variable: KETEPATAN WAKTU PELAPORAN KEUANGAN
S umber : Data diolah, S PS S 21, 2018
66 Viola Syukrina E Janrosl dan Agro Putra Prima
Dari tabel 2 diatas dapat dilihat hasil uji t hitung, sehingga dibandingkan dengan t table:
1. Pengaruh leverage (X1 ) terhadap ketepatan waktu pelaporan keuangan (Y)
Hasil perhitungan untuk nilai signifikan 0.044 < 0,05. Jadi leverage (X1 )
berpengaruh signifikan terhadap ketepatan waktu pelaporan keuangan (Y).
2. Pengaruh ukuran perusahaan (X2 ) terhadap ketepatan waktu pelaporan keuangan
(Y)
Hasil perhitungan untuk nilai signifikan 0.04 < 0,05. Jadi ukuran perusahaan (X2 )
berpengaruh signifikan terhadap ketepatan waktu pelaporan keuangan (Y).
3. Pengaruh profitabilitas (X3 ) terhadap ketepatan waktu pelaporan keuangan (Y)
Hasil perhitungan untuk nilai signifikan 0.257 > 0,05. Jadi profitabilitas (X3 )
tidak berpengaruh signifikan terhadap ketepatan waktu pelaporan keuangan (Y).
4. Pengaruh struktur kepemilikan (X4 ) terhadap ketepatan waktu pelaporan keuangan
(Y)
Hasil perhitungan untuk nilai signifikan 0.067 > 0,05. Jadi struktur kepemilikan
(X4 ) tidak berpengaruh signifikan terhadap ketepatan waktu pelaporan keuangan
(Y).
4.2 Pembahasan
4.2.1 Pengaruh Leverage Terhadap Ketepatan Waktu Pelaporan Kuangan
Hasil perhitungan untuk nilai signifikan 0.044 < 0,05. Artinya leverage berpengaruh
signifikan terhadap ketepatan waktu pelaporan keuangan perusahaan perbankan yang terdaftar
di Bursa Efek Indonesia. Hasil penilitian ini menunjukkan bahwa tinggi rendahnya tingkat
leverage keuangan suatu perusahaaan mempengaruhi ketepatan waktu penyampaian laporan
keuangan.
Dari data penelitian dapat diketahui bahwa rata-rata tingkat leverage perusahaan sampel
adalah 1,31%. Beberapa perusahaan memiliki tingkat leverage keuangan yang tinggi seperti
Bank Bukopin Tbk, Bank Nusantara Parahyangan Tbk menyampaikan laporan keuangan tidak
tepat waktu. Sebaliknya perusahaan yang mempunyai nilai leverage yang rendah
menyampaikan laporan keuangan dengan tepat waktu seperti Bank Rakyat Indonesia Agro
Niaga Tbk dan Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketepatan… 67
Perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan biasanya tidak tepat waktu dalam
penyampaian pelaporan keuangan dibanding perusahaan yang tidak mengalami kesulitan
keuangan. Hal ini disebabkan perusahaan yang memiliki debt to equity rasio yang tinggi
menunjukkan adanya kemungkinan bahwa perusahaan tersebut tidak bisa melunasi kewajiban
atau hutangnya baik berupa pokok maupun bunganya. Sehingga ini merupakan berita buruk
bagi perusahaan. Oleh sebab itu pihak manajemen cenderung akan menunda penyampaian
laporan keuangannya.
5.Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka penulis
menarik kesimpulan adalah sebagai berikut:
1. Leverage berpengaruh signifikan terhadap ketepatan waktu pelaporan keuangan
2. Ukuran Perusahaan berpengaruh signifikan terhadap ketepatan waktu pelaporan
keuangan
3. Profitabilitas tidak berpengaruh signifikan terhadap ketepatan waktu pelaporan
keuangan.
4. Struktur Kepemilikan tidak berpengaruh signifikan terhadap ketepatan waktu
pelaporan keuangan.
68 Viola Syukrina E Janrosl dan Agro Putra Prima
DAFTAR PUSTAKA
[1] W. A. N. Sulistyo, “Analisis Faktor Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Ketepatan
Waktu Penyampaian Laporan Keuangan Pada Perusahaan Yang Listing Di Bursa Efek
Indonesia,” 2010.
[2] Bapepam, “Ketua Bapepamv n Keputusan v,” 2017. [Online]. Available:
www.bapepam.go.id.
[3] BEI, “52 Perusahaan Belum Sampaikan Laporan Keuangan,” Metro tv. [Online].
Available: http://ekonomi.metrotvnews.com.
[4] Y. C. B. Sembiring and A. Akhmad, “Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh
Terhadap Ketepatan Waktu Pelaporan Keuangan Pada Perusahaan Perkebunan Dan
Pertambangan Yang Terdaftar Di BEI,” J. Ekon., vol. 15, no. 4, pp. 157–162, 2012.
[5] E. A. Irawan, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketepatan Waktu Pelaporan
Keuangan Perusahaan Perbankan Go Publik Di Bursa Efek Indonesia,” 2012.
[6] K. M. Dewi, “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketepatan Waktu Dan Audit
Delay Penyampaian Laporan Keuangan,” 2013.
[7] L. M. Ifada, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketepatan Waktu Pelaporan
Keuangan,” JAI, vol. 5, pp. 43–56, 2009.
[8] K. A. Al Daoud, K. N. I. K. Ismail, and N. A. Lode, “The Timeliness of Financial
Reporting among Jordanian Companies: Do Company and Board Characteristics, and
Audit Opinion Matter?,” Asian Soc. Sci., vol. 10, no. 13, pp. 191–201, 2014.
[9] N. E. Juan and E. T. Wahyuni, Panduan Praktis Standar Akuntansi Keuangan (Berbasis
IFRS). Salemba Empat, 2012.
Jurnal Akuntansi Keuangan dan Bisnis Vol. 11, No. 1, Mei 2018, 69-78 69
Abstract
The goal of this study is to assess the effect of the Board of Commissioner, Independent
Commissioner, and Audit Committee to company value. The population in this study was all
companies in Jakarta Islamic Index as many as 30 companies. This study is using purposive
sampling method, there are 15 companies that listed in Jakarta Islamic Index on 2012-2016 that
meets the criteria of the sample. The data analyzed by using multiple regression. The study
states that the Board of Commissioner does not have a significant influence on firm value.
Independent Commissioner has a significant impact on the corporate value. Audit committee
has a significant effect on firm value.
1. Introduction
The purpose of the establishment of a business entity, whether State-Owned Enterprises or
Private-Owned Enterprises is to make a profit. Maximizing the value of the company is one of
the company goals that must be achieved (Anggraini, 2012). Company value is the achievement
completed by the company in a certain period or the results of activities conducted by the
company during a certain period (Zarefar, 2009)
Efforts that can be made by the owner or shareholder to maximize the value of the
company are to submit the management of the company to experts or professionals called
managers (Muryati and Suardikha, 2014). Jensen (2001) in Siallagan and Machfoedz (2006)
states that in order to maximize the company's value in the long run, managers are required to
make decisions that take into account the interests of all stakeholders, so that managers will be
assessed for performance based on their ability to achieve the expected goals. Meanwhile,
according to Morris (1987) in Suranta and Machfoedz (2003) explains that the manipulation of
firm value is assumed to aim to maximize the profit that can lead to agency costs. Furthermore,
Siallagan and Mas'ud Machfoedz (2006) stated that one of the mechanisms expected to control
agency costs is by implementing good corporate governance. The same view is put forward by
Faqi et al. (2013), to solve the problem companies need to implement Good Corporate
Governance (GCG).
The phenomenon of the lack of good corporate governance is the case of PT. Lippo, Tbk,
In this case, the company performs financial manipulation with the detection of three audited
financial statements. In fact, an auditor should, as well as the board of directors and
commissioners, be parties that are trusted by shareholders to perform a certain task, which
should be based on good faith and prudence. This indicates that the auditor has neglected to do
his job well. The disclosure of this case is a big loss for the company, which is marked by the
decline in stock prices of the company, because the financial community is hesitant to join the
company (Surya and Ivan, 2006).
Corporate Governance began to become an interesting topic in Indonesia in 1998 when
Indonesia was in crisis. Many banks are bankrupt (liquidated) because their survival cannot be
maintained. One of the causes of bankruptcy of the bank, among others, has not been applied
the principles of Corporate Governance in the banking environment (Effendi, 2008: 84) in
Muryati and Suardikha (2014). Therefore, the government including Bank Indonesia has made
various efforts to promote the realization of Good Corporate Governance in the banking
environment. In 2006 Bank Indonesia issued Bank Indonesia Regulation no. 8/4 / PBI / 2006
dated 30 January 2006 regarding the implementation of Good Corporate Governance for
commercial banks.
According to Zarefar (2009) corporate governance is one of the most efficient ways in
order to reduce the occurrence of conflict of interest and ensure the achievement of corporate
goals. Corporate Governance is a system that regulates and controls companies that are expected
to provide and increase the value of the company to shareholders. To implement good corporate
governance (GCG) and is expected to increase company value in a company, Good Corporate
Governance mechanism is required.
One of the mechanisms of Good Corporate Governance is the Board of Commissioners,
where the board of commissioners is supported by the perspective of service and control
functions that can be provided by the board, as these two functions are more likely to be given
by the Board of Commissioners for the conditions of corporate governance structure in
Indonesia. Service function states that the Board may provide consultation and advice to
management (directors). The interview-based Lorsch and Maclver (1989) study found that the
role of advisory dominates the activities of board members (Young et al., 2001 in Kusumawati
2005). With this emphasis on functionality, Dalton and Daily (1999) state that the role of
expertise or counseling provided by board members is a quality service for management and
companies that cannot be provided by the market. Members of the board of commissioners who
have expertise in a particular field can also provide valuable advice in the preparation of
strategy and organization of the company. The control function undertaken by the board of
commissioners is derived from agency theory that represents a major internal mechanism for
controlling opportunistic management behavior so as to help align the interests of shareholders
and managers (Young et al., 2001 in Kusumawati, 2005).
Another Good Corporate Governance Mechanism is the Independent Commissioner's
Presence, where independent commissioners can also be used to resolve agency conflicts
because independent commissioners can communicate shareholders' goals to managers. With
the increasing complexity and challenges of the company, the company's internal
commissioners have many shortcomings not only because of the low degree of independence
but are also driven by the limitations of the quality of individual internal commissioners. The
existence of Independent Commissioners continues to be strengthened so that the results of its
work remain high with the support of the Audit Committee (Syakhroza, 2004).
Audit Committee also an extension of the board of commissioners, and can assist the Board
of Commissioners in carrying out its responsibilities by providing an overview of accounting
issues and internal oversight systems and financial reporting systems. A free audit committee is
having no business relationship with the company nor does it have a familial relationship with
the board of directors or the Commissioner of the company. With such freedom the Audit
Committee must be fair in making decisions, it is intended for all parties concerned and is
expected to improve the performance of the company (Hendri, 2006). To oversight the financial
statements, the audit committee also serves to oversee the internal control of the company. The
The Influence of Good Corporate Governance on Company Value… 71
presence of this supervision will ensure the achievement of the company's performance and be
able to increase the value of the company (Chan and Li, 2008) in (Muryati and Suardika, 2014).
Some empirical studies have been conducted by researchers namely Rachmawati and
Triatmoko (2007) examine the factors that affect the value of the company. The results of their
research provide empirical evidence that the existence of the audit committee and the
composition of the independent commissioner does not affect the value of the company.
Kusumawati and Riyanto (2005) examine the factors of corporate governance and board
structure on the market value of the firm. Their results show that the size of the board of
commissioners and corporate governance has a positive effect on the market value of the
company.
Rismawati, Yusuf and Asriani (2015) examines the Effect of Internal Audit on the
Implementation of Good Corporate Governance at PT. FIF Palopo Branch. Their results
conclude that the role of internal audit has a positive and significant impact on the
implementation of good corporate governance. Similarly, Adestian research (2015) entitled
Influence of Board of Commissioners, Board of Directors, Independent Board of
Commissioners, Audit Committee and Corporate Size on Corporate Banking Performance
Listed on IDX In 2012-2014, concluded the size of the Board of Commissioners affect the
performance of the company; The Board of Commissioners does not affect the performance of
the company; The Board of Directors has no effect on the performance of the Company; Audit
Committee has no effect on company performance.
Muryati and Suardikha (2014) examine the effect of Corporate Governance on Corporate
Value concludes that the independent audit committee influences the firm's value but with a
negative direction. While Purwaningtyas and Pengestu (2010) examined the Influence Analysis
of Good Corporate Governance Mechanism on Value Company concluded that the Independent
Board of Commissioners and Audit Committee showed the results are not significant to the
value of the company. Meanwhile, Wahyudi (2010) examines the Influence of Good Corporate
Governance Disclosure, Board of Commissioner Size and Cross-Directorship Level of the
Board of Corporate Values concludes that the size of the Board of Commissioners has a
negative and insignificant effect on the value of the company.
From the above description, the researcher is interested to examine the effect of good
corporate governance on corporate value with research variables of Board of Commissioner,
Independent Commissioner, and Audit Committee at companies registered in Jakarta Islamic
Index (JII) in 2012-2016.
2. THEORY AND DEVELOPMENT OF HYPOTHES ES
This theory emphasizes the importance of the company owner (shareholder) hands over the
management of the company to the professionals (agents) in running the business every day.
The goal is for the owners of the company to get the maximum profit as possible with the cost
efficiency and managed by professionals. In general, management objectives and shareholders
are usually no different. Both aim to maximize profits and increase revenue growth and share
price of the company. However, in certain situations there are also different interests, whose
solutions are often more favorable to management (OECD, 1999).
Conflict of interest caused by the possibility that the agent does not always act in
accordance with the interests of the principal can be minimized with a supervisory mechanism,
Corporate Governance is expected to serve as a tool to convince various related parties (Zarefar,
2009). Good Corporate Governance Mechanism serves as a tool to discipline managers to
comply with contracts that have been agreed, so that the existence of good governance
mechanism based on the principles of Corporate Governance is expected to reduce agency
problems in the company which can then improve the performance of the company (Hartono
and Nugrahanti , 2014).
guidance and direction to corporate managers. Given the responsible management to improve
the efficiency and competitiveness of the company, while the Board of Commissioners is
responsible for overseeing management, the Board of Commissioners is a center of endurance
and success of the company.
The relationship between the number of board members and the value of the firm is
supported by the perspective of service and control functions that the board can provide. Since
these two functions are more likely to be given by the board of commissioners for the condition
of corporate governance structure in Indonesia, the hypothesis of this study is limited only to the
number / size of the board of commissioners only. Kusumawati and Riyanto (2005) examine the
factors of corporate governance and board structure on the market value of the firm. Their
results show that the size of the board of commissioners and corporate governance has a
positive effect on the market value of the company.
From the explanation, the proposed research hypothesis is:
H1: The Board of Commissioners positively affects the value of the company.
3. RESEARCH METHODS
of Muryati and Suardikha (2013) which examines the effect of Corporate Governance on
Corporate Value and concludes that audit committee influences company value.
5.1 Conclusions
The results of research on the research model and hypothesis testing proposed in this study
resulted in several conclusions as follows:
1. Normality of this research data can be seen from Normal Probability Plot. Normal
Probability The plot in this regression analysis model shows that the data is close to the
diagonal line. The classical assumption test performed on the regression analysis model is
obtained evidence that the regression model is free from multicollinearity, heterocedasticity,
and autocorrelation problems.
2. The first hypothesis submission shows that the size of the Board of Commissioners has no
effect on the value of the firm (Price Book Value). Rejection this hypothesis shows that a
high Board of Commissioner's Size may not necessarily increase the value of the company.
3. Submission of the second hypothesis indicates that the Independent Commissioner
influences the firm's value (Price Book Value). Acceptance this hypothesis shows that the
presence of Independent Commissioners affects the value of the company.
4. Submission of the third hypothesis indicates that the Audit Committee influences the value
of the firm (Price Book Value). Acceptance this hypothesis shows that the Audit
Committee's independence affects the value of the company.
The Influence of Good Corporate Governance on Company Value… 77
5.3 Suggestions
The suggestions given by the author based on the results of the analysis used are:
1. In this study the sample used only from companies listed in the Jakarta Islamic Index (JII), in
subsequent research selection of the sample used should be expanded
2. In subsequent research replace the other independent variables that are suspected to have a
significant influence on the value of the company.
3. Future researchers can use other financial ratios to measure company value.
REFERENCES
[1] Adestian, Yuda, “Pengaruh Dewan Komisaris, Dewan Direksi, Dewan Komisaris
Independen, Komite Audit dan Ukuran Perusahaan pada Kinerja Perusahaan Perbankan
yang Listing di BEI pada Tahun 2012-2014”, Jurnal Universitas Dian Nuswantoro,
Semarang. 2015. (Jurnal)
[2] Andri Rachmawati dan Hanung Triatmoko, “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kualitas Laba dan Nilai Perusahaan”, Simposium Nasional Akuntansi X Makassar, 26-28
Juli, 2007. (Jurnal)
[3] Anggraini, Dina, “Pengaruh Good Corporate Governance Terhadap Nilai Perusahaan
Pada Perusahaan Textile, Garment yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Periode
2009-2012”, e-Journal Accounting Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjung Pinang.
Vol.2, No. 2, 2012. (Jurnal)
[4] Beasley, M., “An Empirical Analysis Of The Relation Between The Board Of Director
Composition And Financial Statement Fraud”, The Accounting Review. Vol. 71. Pp.443-
465, 1996 (Jurnal)
[5] Daily, C.M., & Dalton, D.R., “Corporate Governance and The Bankrupt Firm: An
Empirical Assessment”, Strategic Management Journal, Vol. 15 No. 6, pp. 643-56, 1994.
(Jurnal)
[6] Effendi, M.A, “The Power of Good Corporate Governance” Teori dan Implementasi”,
Salemba Empat, 2008. (Buku)
[7] Fama, Eugene F, “The Effects of a Firm’s Investment and Financing Decisions on the
Welfare of Its Security Holders”, The American Economic Review. 272-284, 1978.
(Jurnal)
[8] Forum for Corporate Governance in Indonesia, Seri Tata Kelola (Corporate Governance)
Jilid II. http://fcgi.org.id, 2001. (Sumber Internet)
[9] Ghozali, Imam. “Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS“. Semarang:
UNDIP.
[10] Hamdani, “Good Corporate Governance Tinjauan Etika dalam Praktik Bisnis”, Mitra
Wacana Media; Jakarta, 2016. (Buku)
[11] Hartono, Daniel F., & Nugrahanti, Yeterina W. “Pengaruh Mekanisme Corporate
Governance Kinerja Keuangan Perusahaan Perbankan”, Dinamika Akuntansi, Keuangan
dan Perbankan, Vol. 3, No. 2, 2014. (Jurnal)
[12] Hendri, Ma’ruf, “Pemasaran Ritel”, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006. (Buku)
78 Vera Oktari, Nanda Fito Mela, dan Arumega Zarefar
[13] Jensen, M. C and Meckling, W.H, “Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency
Costs and Ownership Structure”, Journal of Financial Economics, Oktober, 1976, V. 3,
No. 4, pp. 305-360, Avalaible from:http://papers.ssrn.com (Sumber Internet)
[14] Kusumawati, Dwi Novi dan Bambang Riyanto LS, “Corporate Governanve dan Kinerja:
Analisi Compliance Reporting dan Struktur Dewan Terhadap Kinerja”, Simposium
Nasional Akuntansi (SNA) VIII Solo, 2005. (Prosiding Konferen)
[15] Lorsch, J.W. & E. Maclver, “pawns or potentates: The Reality of America’s Corporate
Boards”. Boston; Harvard Business School Press, 1989. (Buku)
[16] Muryati, N.N.T.S., dan Suardhika, I.M.S., “Pengaruh Good Corporate Governance pada
Nilai Perusahaan”, Jurnal Akuntansi Universitas Udayana, 2014. (Jurnal)
[17] Nuryanah, Siti, “Analisis Hubungan Board Governance dengan penciptaaan Nilai
Perusahaan: Studi Kasus Perusahaan tercatat di BEJ”, Universitas Indonesia, Depok,
2004.
[18] OECD, OECD Principles of Corporate Governance, 1999. (Buku)
[19] Purwaningtyas dan Irene Rini Demi, “Analisis Pengaruh Mekanisme Good Corporate
Governance Terhadap Nilai Perusahaan (Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur
yang Terdaftar di BEI Tahun 2007-2009)”, Jurnal Akuntansi Universitas Diponegoro,
Semarang, 2011. (Jurnal)
[20] Rismawati, Yusuf Q, dan Rezeki Asriani, “Pengaruh Internal Audit Terhadap Penerapan
Good Corporate Governance pada PT. FIF Cabang Palopo”, Jurnal Akuntansi Sekolah
Tinggi Ilmu Ekonomi Muhammadiyah Palopo. Vol 02, No 01. Hal 32-37, 2015. (Jurnal)
[21] Siallagan, Hamonangandan M. Machfoedz, “Mekanisme Corporate Governance,
Kualitas Laba dan Nilai Perusahaan”, Simposium Nasional Akuntansi (SNA) IX .
Padang, 2006. (Prosiding Konferen)
[22] Suranta, Eddy dan Mas’ud Machfoedz, “Analisis Struktur kepemilikan, Nilai Perusahaan,
Investasi dan Ukuran Dewan Direksi”, Simposium Nasional Akuntansi VI. Surabaya,
2003. (Jurnal)
[23] Surya, Indradan Ivan Yustia vandana, ”Penerapan Good Corporate Governance
(Mengesampingkan Hak-hak Istimewa demi Kelangsungan Usaha”, LKPMK. Jakarta,
2006.
[24] Syakhroza, Ahmad, “Model Komisaris untuk Efektifitas Good Corporate Governance di
Indonesia. Usahawan. No.65, 2004.
[25] Ujiyanto, Muh Arief, dan Bambang Agus Pramuka, ”Mekanisme Corporate Governance,
Manajemen Laba dan Kinerja Keuangan”, SNA 8,kakpm-01, Unhas Makassar, 2007.
(Prosifing Konferen)
[26] Wahyudi, Johan, “Pengaruh Pengungkapan Good Corporate Governance, Ukuran Dewan
Komisaris dan Tingkat Cross-Directorship Dewan Terhadap Nilai Perusahaan”, Fakultas
Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang, 2010. (Skripsi)
[27] Weston, J. Fred & Eugeence F. Bringham, “Modern Portofolio”, The Dryden Pass. New
York, 11 edition, 1996. (Buku)
[28] Zarefar, A, “Pengaruh Good Corporate Governance Terhadap Nilai Perusahaan Pada
Perusahaan LQ-45 DI Bursa Efek Indonesia”, Fakultas Ekonomi Universitas Riau, 2009.
(Skripsi).
Jurnal Akuntansi Keuangan dan Bisnis Vol. 11, No. 1, Mei 2018, 79-88 79
Abstract
The objective of this study is to examine the effect of Machiavellian Character, Ethical
Environment and Personal Cost to Whistleblowing Intention. This research was directed to all
employees who work on SAMSAT Pekanbaru City and Rokan Hulu District. The sampling
method that used in this study is purposive sampling. Collecting data of this study using a
questionnaire submitted to 130 working in the office of One Stop Roof Administration Unit
(SAMSAT) Pekanbaru City and Rokan Hulu District. From questionnaires distributed, 82
questionnaires can be completed and can be processed. Data collected were analyzed with
Partial Least Square (PLS). The results of hypothesis testing conclude that: first, Machiavellian
nature has influence toward whistleblowing intention with value tcount 3,551 > ttable 1,99. Second,
Ethical Environment has effect toward whistleblowing intention with value t count 2,829>
ttable1,99. Third, Personal Cost has impact toward whistleblowing intention with value tcount
4,200> ttable 1,99. The result of the coefficient of determination (R2 ) is 0,556 which means that
the independent variable used in this research affects Whistleblowing Intention of 55,6% while
the remaining 44,4% is influenced by other variables not included in this regression model.
1. INTRODUCTION
In accordance with the above statement, the Ethical Environment is also believed to be
a variable that may affect the intention of conducting whistleblowing. The organizational ethical
environment is effectively able to encourage individuals to express fraud. Given that ethical
training is unlikely to be effective in increasing the whistleblowing intentions of high Mach type
of people, the organizational ethical environment can effectively encourage high Mach types to
reveal mistakes. Organizations can help facilitate disclosure of corporate errors by encouraging
organizational norms, practices, and rewards with ethical behavior. The organizational ethical
environment will increase the whistleblowing intentions for high Mach type of people as well as
low Mach types. A strong ethical environment will gradually be important for high Mach type
of people, because a strong ethical environment can help high-minded people to report errors.
Sweeney (2010: 545) states that companies with a good ethical environment can influence
ethical decisions of professional tax workers and auditors.
The last variable assessed to affect the intention in doing whistleblowing is personal
cost. In contrast to research conducted by Dalton and Radtke (2012: 156) make personal cost as
a moderating variable between Machiavellian characters with the intention of doing
whistleblowing. While this research makes the variable personal cost as an independent
variable, because it is believed that the variable personal cost can directly influence the intention
of doing whistleblowing. Personal Cost is the employee's view of the risk of retaliation or
sanction from members of the organization, which may reduce the employee's interest to report
wrongdoing (Schutlz et al., 1993). Members of the organization in question are management,
supervisors, or co-workers. Personal cost is one of the main reasons individuals do not want to
report allegations of abuse because they feel that their reports will not be followed up, they will
feel retaliation for the report, or management will not protect them from the threat of retaliation,
particularly on the type of offense involving managers (Septianti, 2013: 1067).
2. LITERATURE REVIEW
2.1.1. Whistleblowing
Whistleblowing is the disclosure by an organization member (employee or former
employee) in engaging in illegal, immoral, or legitimate practices under the supervision of a
supervisor to an employee or organization that may have an effect of corrective action (Near
and Micelli, 1985).
Bouville (2007) states whistleblowing is the action of an employee to express what he
or she believes to be illegal or unethical behavior to higher management or internal
82 Arumega Zarefar, Raja Adri Satriawan Surya, dan Nanda Fito Mela
2.2. Framework
manipulation, gain much more, are not easily persuaded, and more persuasive than individuals
with low Mach levels. Individuals with high Machiavellian character will tend to perform
unethical actions compared to individuals with low Machiavellian character. And may affect in
deciding for the intention of doing whistleblowing.
Research on the influence of Machiavellian character by Rodiyah (2015) shows that
Machiavellian character have an effect on the intention to conduct whistleblowing. And in line
with research conducted by Dalton and Radtke (2012: 162) i.e. someone who has a high
Machiavellian behavior will be more unethical. And has an influence on the intention of doing
whistleblowing for low Machiavellian character. This can mean that the lower the
Machiavellian character of a person the higher his intention in doing whistleblowing.
H1: Machiavellian character affect the intention of doing whistleblowing.
3. METHODS
Population is a generalization region consisting of: objects / subjects that have certain
qualities and characteristics set by researchers to be studied and then drawn conclusions. So the
population not only people, but also objects and objects - other natural objects. Population also
not just the number of objects or subjects that are studied, but includes all the characteristics or
properties possessed by the subject or object (Sugiyono, 2014: 115). The population in this
research is all permanent employees who work on SAMSAT Pekanbaru and Rokan Hulu
Regency.
The sample is part of the number and characteristics possessed by that population.
Sample size is the size of the sample taken to carry out a study of the population that has been
determined. The size of the sample can be determined statistically or through the researcher's
estimation. It should be noted that the selected sample should be representative, in the sense that
all the characteristics of the existing population can be reflected in the selected sample
(Sugiyono, 2014: 116). The sampling in this study all employees or permanent employees at
SAMSAT Pekanbaru and Rokan Hulu that have worked at least 2 years.
The type of data used in this study is quantitative data in the form of scores on answers
given by the respondents to the questions that exist in the questionnaire. The data source used is
the primary data obtained from the respondents' answers which are employees who work on
SAMSAT Pekanbaru and Rokan Hulu.
To test the hypothesis used Partial Least Square (PLS) technique using SmartPLS 3.0
M3. The PLS model is a structural equation model (SEM) based on components or variance.
PLS is a powerful analytical method because it is not based on many assumptions such as
unnecessary sample size, potential distribution of variables must be normal, and the use of
formative and reflexive indicators makes PLS more suitable to choose (Latan and Ghozali,
2012: 77).
The description of the research variables is presented in the descriptive statistics table,
to see the mean and standard deviation can be seen in the following table:
Table 1. S tatistic Descriptive Result
The average value of these four variables is greater than the value of the standard
deviation, so this indicates that the data spread is good.
5. CONCLUSIONS
5.1. Conclusion
This study aims to analyze the relationship among Machiavellian character, ethical
environment, personal cost, to whistleblowing intention at SAMSAT of Pekanbaru and Rokan
Hulu. To analyze the relationship among these variables, this research uses Partial Least Square
(PLS). Based on the analysis and discussion in the previous section, it can be concluded as
follows:
1. The results of the first hypothesis test shows the character of Machiavellian influence
on the intention of doing whistleblowing. This means that the greater the character of
a Machiavellian someone has, the more it will fail to do the whistleblowing and the
lower the Machiavellian personality, the more he wants to do the whistleblowing.
2. Results of the second hypothesis test shows the ethical environment has an influence
on the intention of doing whistleblowing. This means that a good ethical environment
will determine intention in doing whistleblowing
3. The result of the third hypothesis test shows that personal cost has an influence on the
intention of doing whistleblowing. This means that the personal cost perceived by a
person will determine the intention to conduct whistleblowing
5.3. Suggestion
Based on the conclusion that has been put forward, it can be given suggestions for
further researchers that:
1. Further research should be added direct interview method on each respondent in an
effort to collect data, so as to avoid the possibility of respondent not objective or not
serious in filling questionnaires.
2. Further research is expected to expand the object of research to generalize the results
of research. Can also be done on staff / employees of a company.
3. In the next research, it is expected that the researcher can add some other independent
variables which may also influence the intention of doing whistleblowing, also can be
added the mediation or moderator variable to develop the research model.
REFERENCES
[1] Abdullah, Abdul Rahman Haji, “Pemikiran Islam di Malaysia: Sejarah dan Aliran”.
Malaysia: Gema Insani Press, 1997.
[2] Arnold, V., Lampe, J., & Sutton, S. (1999). Understanding the factors underlying ethical
organizations: Enabling continuous ethical improvement. Journal of Applied Business
Research, 15, 1–20.
[3] Arnold, V., Lampe, J., & Sutton, S. (2000). Creating an ethically driven organization: A
model for fostering an epidemic of ethical intensity. Advances in Accounting
Behavioral Research, 3, 201–224.
88 Arumega Zarefar, Raja Adri Satriawan Surya, dan Nanda Fito Mela
[4] Booth, P., & Schultz, A. (2004). The impact of an ethical environment on managers’ project
evaluation judgments under agency problem conditions. Accounting, Organizations
and Society, 29, 473–488
[5] Bouville, M. 2007. Whistle-Blowing and Morality.Journal of Business Ethics 81: 579–585.
[6] Christie, R., & Geis, F. (1970). Studies in Machiavellianism. New York: Academic Press.
[7] Curtis, Mary B. “Are Audit-related Ethical Decisions Dependent upon Mood?”. Journal of
Business Ethics. Vol.68; 191-209, 2006.
[8] Dalton, Derek dan Robin R. Radtke. “The Joint Effects of Machiavellianism and Ethical
Environment on Whistle-Blowing”. Spriager Science + Bussiness Media Dordrecht,
2012.
[9] Dahling, J., Whitaker, B., & Levy, P. (2009). The development and validation of a new
Machiavellianism scale. Journal of Management, 35(2), 219–257.
[10] Gunnthorsdottir, A., McCabe, K., & Smith, V. (2002). Using the Machiavellianism
instrument to predict trustworthiness in a bargaining game. Journal of Economic
Psychology, 23, 49–66.
[11] Miceli, M. P. dan J. P. Near. 1985. Characteristics of Organizational Climate and Perceived
Wrongdoing Associated with Whistle-Blowing Decisions. Personnel Psychology
1985(38): 525 544.
[12] Purba P. Bona. 2015. Fraud Dan Korupsi (Pencegahan, Pendeteksian, dan
Pemberantasannya). Lestari Kiranatama: 2015.
[13] Purnamasari, St Vena dan Agnes Advensia Chrismastuti, “Dampak Reinforcement
Contigency Terhadap Hubungan Sifat Machiavellian dan Perkembangan M oral”.
Padang: Simposium Nasional Akuntansi 9, 2006.
[14] Robbins, Stephen P. dan Timothy A. Judge. “Perilaku Organisasi (Organizational
Behavior)” Buku 1, edisi 12. Jakarta: Salemba Empat, 2008.
[15] Schultz-Jr., J. J., D. A. Johnson., D. Morris dan S. Dyrnes. 1993. An Investigation of The
Reporting of Questionable Acts in an International Setting. Journal of Accounting
Research 31: 75-103.
[16] Septianti, Windy. “Pengaruh Faktor Organisasional, Individual, Situasional, dan
Demografis Terhadap Niat Melakukan Whistleblowing Internal”. Manado: Simposium
Nasional Akuntansi, 2013.
[17] Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta.
[18] Surya, Raja Adi Satriawan and Zarefar, Arumega and Mela, Nanda Fito, Whistle Blowing
in the Police Sector: The Importance of Control Behaviour Factor and Professional
Commitment (March 3, 2017). Accounting and Finance Review (AFR) Vol. 2(2) 2017.
9-14.
[19] Susmanschi, G. 2012. Internal Audit and Whistle-Blowing. Economics, Management, and
Financial Markets 7(4): 415– 421.
[20] Sweeney, Breda, Don Arnold dan Bernard Pierce. “The Impact of Perceived Ethical
Culture of the Firm and Demographic Variables on Auditors’ Ethical Evaluation and
Intention to Act Decisions”. Journal of Business Ethics, Spriager, 2010.
[21] Syaifa, Rodiyah. 2015. Pengaruh Sifat Machiavellian, Lingkungan Etika, Personal Cost
Terhadap Intensi Melakukan Whistleblowing. Jakarta: Program Sarjana (S1)
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
[22] Vitell, S., Lumpkin, J., & Rawwas, M. (1991). Consumer ethics: An investigation of the
ethical beliefs of elderly consumers. Journal of Business Ethics, 10, 365–375.
[23] Zhuang, Jinyun, “Whistleblowing & Peer Reporting: A Cross-Cultural Comparison of
Canadians and Chinese”, Tesis Magister Sains. Canada: University of Lethbridge,
2003.
Jurnal Akuntansi Keuangan dan Bisnis Vol. 11, No. 1, Mei 2018, 89-98 89
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti faktor yang menggunakan Theory of Planned Behavior/
TPB yaitu sikap, norma subjektif dan persepsi kontrol atas perilaku dengan tambahan variabel
etika, untuk menjelaskan minat melakukan whistleblowing dan perilaku whistleblowing auditor.
Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuesioner yang disampaikan kepada 120
auditor yang bekerja pada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan
Provinsi Riau dan Sumatera Barat. Dari kuesioner yang disebarkan, sebanyak 89 kuesioner
(74.12%) diisi lengkap dan dapat diolah. Data yang dikumpulkan, dianalisis dengan
menggunakan Warp Partial Least Square (WarpPLS). Hasil penelitian menghasilkan
kesimpulan: Pertama, sikap berpengaruh terhadap whistleblowing intention. Kedua, norma
subyektif berpengaruh terhadap whistleblowing intention. Ketiga, persepsi kontrol atas perilaku
tidak berpengaruh terhadap whistleblowing intention. Keempat, etika tidak berpengaruh
terhadap whistleblowing intention. Kelima, whistleblowing intention berpengaruh terhadap
perilaku whistleblowing. Keenam, persepsi kontrol atas perilaku berpengaruh langsung terhadap
perilaku whistleblowing.
Kata kunci: Theory planned behaviour, etika, whistleblowing intention, dan whistleblowing
behaviour.
Abstract
This study aimed to analyze the influence of attitude, subjective norms and perceived behavioral
control (PBC) and ethic to explain whistleblowing intention and the behavior of whistleblowing
auditor. Collecting data of this study using a questionnaire submitted to 120 auditors who work
on the BPKP at West Sumatra and Riau. From questionnaires distributed, 89 questionnaires
(74,12%) can be completed and can be processed. Data collected were analyzed with Warp Partial
Least Square (WarpPLS). The results of hypothesis testing conclude that: First, the attitude has
significant effect toward whistleblowing intention. Second, subjective norm has significant effect
toward the whistleblowing intention. Third, perceived behavioral control doesn’t effect toward
whistleblowing intention. Fourth, ethic doesn’t effect toward whistleblowing intention. Fifth,
whistleblowing intention has effect toward whistleblowing behavior. Sixth, perceived behavioral
control has significant directly effect toward whistleblowing behavior.
Key Words: attitude, perceived behavioral control, subjective norm, ethic, whistleblowing
intention, and whistleblowing behavior.
1. Pendahuluan
Banyak perusahaan telah menerapkan sistem kontrol organisasi hierarkis yang kuat,
tetapi kenyataannya masih banyak ditemukan skandal kecurangan korporasi (fraud) dan praktik
korupsi di dalamnya. Pada tahun2014, The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE)
memproyeksikanpotensi kerugian yang diakibatkan oleh fraud adalah lebih dari $3,7 triliun,
jumlahtersebut setara dengan 5% dari pendapatan tahunan seluruh organisasi di dunia(ACFE,
2014). Fraud sangat sulit terdeteksi karena individu yang melakukanfraud cenderung berupaya
menutupi tindak kejahatannya, fraud merupakan suatutindakan yang sulit diprediksi dan para
auditor memiliki pengalaman yangterbatas dalam mendeteksi fraud.Kompleksitas operasional
organisasi yang semakin meningkat dan adanya keterbatasan informasi dalam suatu organisasi
menyebabkankapasitas organisasi masih perlu terus menerus dioptimalkan melalui mekanisme
kontrol sosial dan pelaksanaan sistem whistleblowing (Waluyo, 2010).
Negara Indonesia belum memiliki dasar yuridis tentang whistleblowing. Indonesia baru
memiliki UU No.13 Tahun 2006 yang mengatur tentang perlindungan terhadap saksi dan korban.
Secara substansial UU tersebut hanya mengatur tentang public crime yang meliputi proses
perlindungan saksi dan korban dari tahap penyelidikan sampai pada keluarnya keputusan
pengadilan, sedangkan whistleblowing konteksnya pengungkapan fakta pada suatu organisasi. Di
Indonesia, Pedoman Sistem Pelaporan dan Pelanggaran (SPP) atau Whistleblowing System
(WBS) diterbitkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) pada 10 November
2008. Tugas KNKG (Komite Nasional Kebijakan Governance) antara lain mengeluarkan
pedoman Corporate Governance, Compliance & Etics, Fraud & Corruption, Whistleblower.
Penelitian mengenai wistleblwing telah banyak dilakukan dan kebanyakan mencoba
menguraikan faktor-faktor apa yang mempengaruhi individu untuk melakukan whistleblowing
(Chiu, 2003). Motivasi whistleblower hanya ingin melakukan sesuatu yang benar pada organisasi
tempat mereka bekerja. Sebenarnya para whistleblower telah mengetahui risiko yang mungkin
diterimanya seperti konsekuensi terhadap karir, kehidupan pribadi, maupun kehidupan
bermasyarakat.. Seperti halnya di Indonesia, mantan Kabareskrim Polisi Republik Indonesia
Susno Duaji yang melaporkan adanya kecurangan dalam hal makelar kasus yang terjadi di dalam
institusinya justru dijadikan tersangka atas pasal pencemaran nama baik dan pelanggaran disiplin
sebagai anggota Polisi Republik Indonesia.
Penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan niat melakukan whistleblowing telah
mengungkap beberapa determinan dari niat whistleblowing. Diantaranya pengaplikasian konsep
Theory of Planned Behavior yang menjelaskan bahwa perilaku yang dilakukan individu timbul
karena adanya niat yang melandasi perilaku tersebut, yang terbentuk oleh tiga faktor utama yaitu
sikap terhadap perilaku, norma subyektif, dan persepsi kontrol atas perilaku hal ini diteliti oleh
Winardi (2013) yang menggunakan kerangka theory Ajzen (1991).
Menurut TPB, determinan langsung dari tingkah laku individu adalah intensinya (I) untuk
menampilkan tingkah laku tersebut. Intensi seseorang dapat diprediksi melalui 3 hal utama, yaitu
sikapnya terhadap hal tersebut dan norma subyektif yang ia miliki juga persepsi kontrol perilaku
(Ajzen, 1991). Penelitian Dalton, (2010) mengatakan Theory Planned Behavior (TPB) mencakup
beberapa variabel yang tidak termasuk dalam Schultz et al.(1993). Schultz et al.(1993) tidak
memperhitungkan tekanan sosial untuk melaporkan kesalahan (yaitu, norma subyektif) tingkat
kesulitan yang dirasakan untuk melaporkan kesalahan (misalnya, perilaku dirasakan); atau
potensi manfaat (misalnya, menghentikan aktivitas yang ilegal atau memperbaiki iklim etis
sebuah perusahaan tertentu) yang mungkin timbul dari keputusan individu untuk melaporkan
Pengaruh Sikap, Norma Subyektif, Persepsi Kontrol Perilaku dan Etika… 91
kesalahan. Selain TPB faktor etika juga sangat mempengaruhi seseorang untuk dapat melakukan
whistleblowing.
Etika merupakan spesifik budaya. Apa yang di anggap etis dalam satu budaya dapat
dianggap tidak etis di tempat lain. Forte (2005) melakukan penelitian terhadap manager dan
eksekutif di Amerika menemukan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara locus of
control dan penalaran terhadap niat whistleblowing. Namun, Chiu (2003) yang melakukan
penelitian serupa terhadap manager di China menemukan bahwa terdapat hubungan positif antara
pertimbangan etis dan niat whistleblowing dengan memasukkan variabel locus of control sebagai
variabel moderasi. Arumega (2016) juga menemukan bahwa terdapat hubungan positif antara
etika terhadap kualitas audit pada auditor BPKP.
Penelitian ini ingin mengetahui pengaruh sikap, norma subyektif dan persepsi kontrol
perilaku dan etika terhadap whistleblowing intention pada auditor internal BPKP Perwakilan
Provinsi Riau. Auditor internal BPKP Perwakilan Provinsi Riau dipilih sebagai responden dalam
penelitian ini karena merupakan salah satu perwakilan dari badan pengawas pemerintah di tingkat
di Indonesia yang bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden. Dari kedudukan ini BPKP
Perwakilan dapat dikatakan sebagai pemeriksa intern, namun dari sudut pemeriksaan BPKP
Perwakilan merupakan pemeriksa intern yang senantiasa mempertahankan sikap obyektif dan
independen, maka dibutuhkan auditor yang profesional dalam menjalankan tugasnya karena
pelanggaran nilai-nilai etika dan norma dianggap sebagai perilaku yang tidak profesional.
2.2 Sikap
Sikap terhadap perilaku didefinisikan oleh Davis et al. (dalam Jogiyanto, 2007) sebagai
perasaan positif atau negatif seseorang jika harus melakukan perilaku yang akan ditentukan.
Ajzen (1991) mendefinisikan sikap sebagai derajad individu untuk mengevaluasi dan menilai
sesuatu yang menguntungkan atau tidak menguntungkan. Selanjutnya dalam Teori Perilaku
Terencana (Theory of Planned Behavior) yang dikemukakan Ajzen (1991) sikap didefinisikan
sebagai jumlah dari perasaan (afeksi) yang dirasakan seseorang untuk mendukung atau menolak
suatu obyek yang dihadapi dan perasaan yang dirasakan tersebut diukur dengan skala evaluatif
seperti baik atau buruk, setuju atau tidak setuju dan penting atau tidak penting.
92 Ari Andika Perdana, Amir Hasan dan M. Rasuli
2.5 Etika
Hubungan antara penilaian etika dan niat perilaku telah diteliti secara empiris sehubungan
dengan pengungkapan rahasia dalam setidaknya satu studi (Barnett et al, 1996). Dalam penelitian
tersebut, ditemukan bahwa yang menunjang pelaporan atau pengaduan (suatu bentuk
whistleblowing) adalah etika dan niat untuk melaporkan perilaku rekan kerja yang tidak etis.
Orang-orang yang percaya dengan ethically dari whistleblowing, akan lebih berpotensi memiliki
niat perilaku untuk melaporkan kesalahan yang dilakukan oleh rekan kerja atau atasannya, dan
mereka yang percaya bahwa whistleblowing tidak etis, lebih kecil kemungkinannya untuk
melaporkan perilaku rekan kerja yang tidak etis tersebut.
intention eksternal, tetapi tidak memiliki efek signifikan pada whistleblowing intention internal
(Park dan Blenkinsopp, 2009). Daltong, (2010) menemukan bahwa norma subyektif berpengaruh
positif kepada nia seseorang melakukan whistleblowing. Maka hipotesis ketiga dirumuskan:
H2 : Norma subyektif berpengaruh terhadap whistleblowing intention.
Sikap
Norma Subyektif
Etika
3. Metodologi Penelitian
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah tenaga auditor yang bekerja pada
BPKP Perwakilan Provinsi Riau dan BPKP Perwakilan Provinsi Sumatera Barat, oleh karena itu
penulis menggunakan sensus dengan mengambil seluruh auditor di BPKP Perwakilan Provinsi
Riau dan BPKP Perwakilan Provinsi Sumatera Barat untuk dijadikan sampel. Sumber data
penelitian adalah data primer yaitu data yang diperoleh dengan survey lapangan yang
menggunakan semua metodepengumpulan data original (Kuncoro,2003:127).Data primer di
dapatkan dari pengumpulan kuesioner yang telah di jawab oleh populasi penetian.
3.1.1 Sikap
Sikap terhadap perilaku (attitude toward behavior) merupakan evaluasi individu secara
positif atau negatif terhadap benda, orang, institusi, kejadian, perilaku atau niat tertentu.Variabel
ini diukur melalui dua pernyataan yang dikembangkan Park &Blenkinsopp (2009) dan diadopsi
oleh pipit budhi (2012) dengan indikator mengenai pencegahan kejahatan kepada
organisasi,pengendalian korupsi,peningkatan pelayanan publik, melakukan tugasseseorang
sebagai suatu karyawan, dan kepuasan moral dengan menggunakan lima skala likert.
3.1.2 Norma Subyektif
Norma Subjektif (Subjective Norm) merupakan faktor diluar individu yang menunjukkan
persepsi seseorang tentang perilaku yang dilaksanakan.variabel ini diukur dari dua pertanyaan.
Dengan indikator yang pertama mengenai berapa banyak orangyang bangga jika ada orang yang
melaporkan tindak pelanggaran, diukur sesuaidengan norma yang dianut (normative beliefs),
menggunakan lima skala likert.
3.1.4 Etika
Etika merupakan segala hal yang berhubungan dengan baik dan buruknya perilaku
individu atau kelompok.Etika merupakan spesifik budaya, sehingga apa yang di anggap etis
dalam satu budaya dapat dianggap tidak etis di tempat lain. Pengukuran untuk pertimbangan etika
menggunakan Multidimensional Etchics Scale (MES) yang dikembangkan oleh dikembangkan
oleh Reidenbach dan Robin (1988). Instrumen MES terdiri dari dari 5 macam konstruk etika/
moral, yaitu justice, utilitarianism, relativism, egoism, dan dentology yang diilustrasikan ke dalam
1 buah kasus. Masing-masing kasus terdiri dari 12 pernyataan yang menggambarkan kelima
konstruk tersebut; dua items menggambarkan tentang justice, dua items menggambarkan tentang
relativism, tiga items menggambarkan tentang deontology, dua items menggambarkan tentang
utilitarism, dan tiga items terakhir menggambarkan tentang egoism.
3.1.6 Behavior
Perilaku (behavior), merupakan tindakan nyata yang dilakukan seseorang berdasarkan
niat yang ada. Variabel perilaku dalam penelitian ini diukur menggunakan instrument yang
diadopsi dari penelitian Hays (2013) yang juga digunakan Rustiarini, et al., (2014). Kuesioner
menggunakan 3 item pernyataan dengan menggunakan skala Likert 7 poin.
S (R) 10i
β=0.60
(P<0.01)
NS (R) 2i
β=0.18
(P=0.03) β=0.39
NW (R) 5i (P<0.01) WB (R) 3i
β=-0.03
PP (R) 5i (P=0.36) β=0.36
R2 =0.47 (P<0.01) R2 =0.32
β=-0.02
(P=0.37)
E (R) 10i
Persepsi Kontrol
Perilaku (PP) Niat
H3 0.360 0.004 -0.028 0.079
Melakukan
Whistleblowing (NW)
Persepsi Kontrol
Perilaku (PP)
H5 0.003* 0.147 0.358 0.125
Whistleblowing Behavi or
(WB)
Niat Melakukan
Whistleblowing (NW)
H6 <0.001* 0.171 0.390 0.083
Whistleblowing Behavi or
(WB)
Pada tabel 1 diatas dapat diketahui bahwa hipotesis pertama (H1)tidak mendapat
dukungan secara statistik.Ini dibuktikan dengan perolehan nilai p-value sebesar 0.372 > 0.05,
dengan nilai effect size sebesar 0.006 < 0.02 dan nilai path coefficient sebesar -0.023. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa etika tidak berpengaruh terhadap minat melakukan whistleblowing
Kemudian, diketahui bahwa hipotesis kedua (H2) mendapat dukungan secara statistik.
Hasilnya dapat dilihat dari nilai p-value yang signifikan sebesar 0.027 < 0.05, lalu nilai effect size
sebesar 0.070> 0.02 dan nilai path coefficient sebesar 0.179. dari hasil tersebut dapat disimpulkan
bahwa norma subyektif berpengaruh terhadap minat melakukan whistleblowing(Ha.2 diterima
dan Ho.2 ditolak).
Kemudian, untuk hipotesis ketiga (H3) dapat diketahui pada tabel di atas. Hipotesis ketiga
(H3) tidak didukung secara statistik. Hal ini dibuktikan dari nilai p-value sebesar 0.360 > 0.05,
nilai effect size sebesar 0.004 < 0.02 dan nilai path coefficient sebesar -0.028. Dari hasil statistik
yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa persepsi kontrol perilaku tidak berpengaruh terhadap
minat melakukan whistleblowing(Ha.3 ditolak dan Ho.3 diterima).
Selanjutnya, pada tabel 1 di atas diketahui hipotesis ke-empat (H4) mendapat dukungan
secara statistik. Dukungan ini dapat dilihat dari perolehan nilai signifikansi p-value sebesar
<0.001 < 0.05, kemudian nilai effect size sebesar 0.171> 0.15 dan nilai path coefficient sebesar
0.603. dari nilai-nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa sikap berpengaruh terhadap minat
melakukan whistleblowing(Ha.4 diterima dan Ho.4 ditolak).
Pengaruh Sikap, Norma Subyektif, Persepsi Kontrol Perilaku dan Etika… 97
Kemudian, pada tabel 1 di atas diketahui bahwa hipotesis ke-lima (H5) mendapat
dukungan secara statistik. Hasilnya dapat dilihat dari nilai p-value yang signifikan sebesar 0.003
< 0.05, lalu nilai effect size sebesar 0.147 > 0.02 dan nilai path coefficient sebesar 0.358. dari hasil
tersebut dapat disimpulkan bahwa persepsi kontrol perilaku berpengaruh terhadap whistleblowing
behavior (Ha.5 diterima dan Ho.5 ditolak).
Hipotesis ke-enam (H6) juga mendapat dukungan secara statistik yang dapat dilihat pada
tabel 1 di atas. Dukungan tersebut diperkuat dengan perolehan signifikansi p-value sebesar <0.001
<0.05, nilai effect size sebesar 0.390 > 0.35, dan nilai path coefficient sebesar 0.083. Ini berarti
minat melakukan whistleblowing berpengaruh terhadap whistleblowing behavior (Ha. diterima
dan Ho.6 ditolak).
Dari hasil yang ditunjukkan pada 2 di atas menjelaskan bahwa hipotesis ke-tujuh (H7)
tidak didukung secara statistik. Hal tersebut dapat dilihat pada tingkat signifikansi p-value sebesar
0.370 > 0.05 dan nilai effect size sebesar 0.005 < 0.02. Nilai-nilai tersebut dapat disimpulkan
bahwa minat melakukan whistleblowing tidak memediasi hubungan antara persepsi kontrol
perilaku terhadap wishtleblowing behavior(Ha.7 ditolak dan Ho.7 diterima).
5.1 Simpulan
Simpulan dari penelitian ini adalah sebgai berikut :
1) Hasil uji hipotesis pertama menunjukkan tidak adanya pengaruh sikap terhadap niat untuk
melakukan whistleblowing auditor.
2) Hasil uji hipotesis kedua menunjukkan adanya pengaruh antara norma subjektif dan niat
untuk melakukan whistleblowing auditor.
3) Hasil uji hipotesis ketiga menunjukkan tidak adanya pengaruh antara persepsi kontrol
atas perilaku dan niat untuk melakukan whistleblowing auditor.
4) Hasil uji hipotesis keempat menunjukkan adanya pengaruh sikap terhadap niat untuk
melakukan whistleblowing auditor.
5) Hasil uji hipotesis kelima menunjukkan adanya pengaruh langsung antara persepsi
kontrol atas perilaku dan perilaku whistleblowing auditor.
6) Hasil uji hipotesis keenam menunjukkan adanya pengaruh antara niat untuk melakukan
whistleblowing dan perilaku whistleblowing.
7) Niat untuk melakukan whistleblowing bukan merupakan variabel mediasi antara persepsi
kontrol atas perilaku dengan perilaku whistleblowing.
98 Ari Andika Perdana, Amir Hasan dan M. Rasuli
5.2 Saran
Saran yang dapat diajukan penulis dalam penelitian ini adalah:
1) Untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat menggunakan metode teknik sampling lain,
selain metode sensus.
2) Menggunakan variabel-variabel lain seperti locus of control, komitmen organisasi atau
keseriusan tingkat kecurangandan mengembangkan butir-butir pertanyaan di variabel
yang diduga juga dapat mempengaruhi perilaku whistleblowing auditor.
Daftar Pustaka
[1] Ajzen, I, 1991,“The Theory of Planned Behavior. Organizational Behavior and Human
Decision Processes”50: 179-211.
[2] Arumega Zarefar, Andreas, Atika Zarefar}, “The Influence of Ethics, Experience and
Competency toward the Quality of Auditing with Professional Auditor Scepticism as a
Moderating Variable”, Journal Procedia - Social and Behavioral Sciences},219: 828-
832
[3] Association of Certified Fraud Examiner. (2014). Report to The Nations on Occupational
Fraud and Abuse. Texas: Author.
[4] Barnett, T., Bass, K. and Brown, G, (1996) Religiosity, Ethical Ideology, and Intentions to
Report a Peer’s Wrongdoing, Journal of Business Ethics, vol 15, pp.1161–1174.
[5] Childers, David. 2009. Tapping into Tips. Altamonte Springs.
[6] Chiu, Randy K., 2003. “Ethical Judgement and Whistleblowing Intention: Examining the
Moderating Role of Locus of Control”, Journal of Bussiness Ethics, 43, pp. 65-74.
[7] Dalton, D.W. 2010. A More Comprehensive Whistleblower Model: An Expansion of the
Schultz et.al. (1993) Model. A Disertation In Bussiness Administration - Accouting.
Texas Tech University.
[8] Forte, Almerinda. 2005. Locus Control and the Moral Reasoning of Managers. Journal of
Business Ethics. Springer.
[9] Jogiyanto. 2007. Sistem Informasi Keperilakuan. Percetakan Andi Offset. Yogyakarta.
[10] KNKG (Komite Nasional Kebijakan Governance). 2008. Pedoman Whistleblowing. Jakarta.
[11] Miceli, M., Near, J., and Schwenk, C. 1991. Who Blows the Whistle and Why? Industrial
and Labor Relations Review.
[12] Park, H. and J. Blenkinsopp. 2009. Whistleblowing as Planned Behavior - A Survey of South
Korean Police Officers. Journal of Business Ethics 85: 545-556.
[13] Pipit, Budhi. 2012. Pengujian Teori Planned Behavior dalam Kasus Whistleblowing. Tesis.
UNS.
[14] Rustiarini dan Sunarsih. 2015. Fraud dan Whistleblowing: Pengungkapan Kecurangan
Akuntansi oleh Auditor Pemerintah. Simposium Nasional Akuntansi
[15] Schultz, J.J., D.A. Johnson, D. Morris, and S. Dyrnes. 1993. An Investigation of the
Reporting of Questionable Acts in an International Setting. Journal of Accounting Research
31 (Supplement): 75-103.
[16] Waluyo, 2010. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Sistem Whistle-
Blowing Internal dan Dampaknya Terhadap Fraud dan Sistem Kontrol Organisasi
Hirarkis. Disertasi. Universitas Indonesia. Jakarta.
[17] Winardi, Rijadh Djatu. 2013. The Influence Of Individual and Situational Factors on Lower-
Level Civil Servants Whistle-Blowing Intention in Indonesia. Jurnal Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Universitas Gadjah Mada.
Jurnal Akuntansi Keuangan dan Bisnis Vol. 11, No. 1, Mei 2018, 99-109 99
1
STIE Indonesia Banking School, email: nelmida@ibs.ac.id
2
STIE Indonesia Banking School, email: bambang@ibs.ac.id
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengetahui risiko kebangkrutan perusahaan Bank Umum Swasta Nasional
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang
berasal dari laporan keuangan perusahaan dari tahun 2013-2015. Populasi penelitian ini adalah
seluruh perusahaan Bank Umum Nasional yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dengan teknik
pengambilan sampelnya purposive sampling. Metode analisa yang digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan Model Z Score Altman. Berdasarkan hasil analisis Model Z Score bahwa ada sebelas
perusahaan perbankan yang termasuk kategori aman (Safe Zon) dengan nilai Z Score besar dari
2,60, satu perusahaan perbankan yang termasuk kategori kurang aman (Grey Zone) dengan nilai Z
Score diantara 1,1 dan 2,60, dan dua perusahaan perbankan yang termasuk tidak sehat (Distress
Zone) dengan nilai Z Score kecil dari 1,1.
Kata kunci: risiko kebangkrutan, Model Z Score, Bank Umum Swasta Nasional, dan Bursa Efek
Indonesia.
Abstract
This study emplo to determine the risk of bankruptcy of National PrivateBanks listed on the
Indonesia Stock Exchange. The data used is secondary data from the company's financial
statements repots 2011-2015. The population of this research is all National Commercial Banks
listed on Indonesia Stock Exchange with sampling technique purposive sampling. The method of
analysis used in this research is Z Score Model. Based on the results of Z Score Model analysis that
there are eleventh banking companies that belong to the category of Safe Zone with Z Score value >
2.60, onece of company banking category including Gray Zone with the value is Z Score 1.1 < Z<
2.60, and two companies which includes a Distress Zone with Z Score value <1.1.
Keywords: Bankrupt risk , Z Score Model, National Commercial Banks, and Indonesia Stock
Exchange.
1. Pendahuluan
Setiap perusahaan mempunyai potensi mengalami kebangkrutan, sebelum perusahaan
mengalami kebangkrutan akan diawali dengan kesulitan keuangan (Financial Distress). Distress
risk merupakan risiko kegagalan perusahaan dalam menjalankan operasi atau usahanya Altman [3].
Dalam dunia bisnis, kegagalan dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor ekonomi dan faktor
finansial. Kegagalan ekonomi berarti bahwa perusahaan kehilangan pendapatan sehingga tidak
dapat menutup biaya-biaya perusahaan, ini berarti tingkat laba perusahaan lebih kecil daripada
biaya modal atau nilai sekarang dari arus kas perusahaan lebih kecil dari kewajiban. Sedangkan
faktor keuangan dapat berupa utang yang terlalu banyak serta penggunaan modal yang tidak efisien.
Altman [3] memperkenalkan metode analisis Z-Score untuk mengukur financial strangth. Z-Score
adalah skor yang ditentukan dari tingkat kemungkinan kebangkrutan perusahaan. Semakin rendah
nilai Z (Z-Score) suatu perusahaan menandakan tingginya risiko kebangkrutan (bankruptcy risk )
perusahaan tersebut. Selanjutnya Ohlson [20] memperkenalkan metode analisis O-Score untuk
menyempurnakan metode Z-Score. O-score merupakan pengukuran untuk financial distress.
Perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan (financial distress) akan berpotensi mengalami
risiko kebangrutan. Semakin tinggi O-score berarti semakin tinggi pula kemungkinan perusahaan
mengalami kebangkrutan. Risiko kebangkrutan tidak di kompensasi dengan return yang tinggi.
Dengan kata lain Perusahaan dengan risiko kepailitan yang tinggi (high risk bankruptcy)
memberikan return yang rendah Dichev [9]. Dalam menditeksi potensi kebangkrutan dalam
penelitian menggunakan pendekatan Z Score Altman [3], dengan menggunakan informasi yang
terdapat pada laporan keuangan yang dijadikan dasar untuk menentukan nilai Z Score Atlman [3]
sehingga diperoleh informasi bahwa perusahaan berda dalam kondisi aman (safe zone), kurang
aman (grey Zone), dan tidak aman (financial distress). Oleh karena itu, dengan menggunakan
pendekatan Z Score Altman [3] dapat memprediksi potensi kebangkrutan bisnis untuk periode satu
sampai lima tahun sebelum bisnis tersebut benar-benar bangkrut Nesser dan Aryati [19].
Perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dikelompokkan berdasarkan sektor usaha yang
dilakukan, salah satunya adalah sektor perbakan. Sebelum memutuskan membeli atau menjual
saham, para investor sangat membutuhkan informasi untuk dapat memprediksi besarnya
keuntungan saham yang akan diterima dari investasi yang dilakukan. Informasi yang dimaksudkan
terkait dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat keuntungan yang diharapkan. Risiko
kebangkrutan merupakan salah satu yang akan menpengaruruhi tingkat keuntungan yang
diharapkan (Required of Return) oleh investor. Berdasarkan survey pendahuluan terhadap
empat puluh tiga perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI ada sembilan perusahaan
Perbankan yang memperoleh returns saham kurang dari sepuluh persen, sebagaimana yang
terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Return S aham Perusahaan Bank Umum kurang dari S epuluh Persen
No. Kode Harga Penutupan Harga Penutupan Return 2015 Persen
Saham 30 Desember 2014 30 Desember 2015 (Dalam Rupiah) (% )
(Dalam Rupiah) (Dalam Rupiah)
1. BABP 70 68 -2 -3%
2. BBKP 700 640 -60 -9%
3. BBNP 1.860 1.910 50 3%
4. BCIC 50 50 0 0%
5. BNLI 945 555 -390 -41%
6. BSWD 3.595 2.050 -1.545 -43%
7. BVIC 105 107 2 2%
8. PNBN 820 750 -70 -9%
9. SDRA 1.100 1.150 50 5%
Sumber: https://www.sahamok.com/retun-saham/return-saham-2016
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi kebangkrutan Bank Umum swasta
Nasional dengan menggunakan model Z Score yang dimodifikasi untuk perusahaan non
manufaktur perusahaan yang terdaftar di pasar modal pada negara yang sedang berkembang atau
emerging market Altman [4].
Analisis Risiko Kebangrutan pada Perusahaan Bank Umum Swasta Nasional… 101
2. Tinjauan Pustaka
2.1 Risiko (Risk)
Risiko dapat dikatakan sebagai suatu peluang terjadinya kerugian atau kehancuran. Lebih luas,
rsiko dapat diartikan sebagai kemungkinan terjadinya hasil yang tidak diinginkan atau berlawanan
dari yang diinginkan. Dalam industri keuangan pada umumnya, terdapat suatu jargon “high risk
bring about high return”, artinya jika ingin memperoleh hasil yang lebih besar, akan dihadapkan
pada risiko yang lebih besar pula. Contohnya dalam investasi saham. Volatilitas atau pergerakan
naik-turun harga saham secara tajam akan membuka peluang untuk memperoleh hasil yang lebih
besar, namun sebaliknya, jika harga bergerak ke arah yang berlawanan, maka kerugian yang akan
ditanggung sangat besar Indroes dan Sugiarto [16]. Griffin dan Michael [13] mengatakan risiko
adalah uncertainty about future event, adapun Siegel dan Sim [25] mendefinisikan risiko pada 3 hal
yaitu; a) keadaan yang mengarah kepada sekumpulan hasil khusus dimana hasilnya dapat diperoleh
dengan kemungkinan yang telah diketahui oleh pengambilan keputusan, b) variasi dalam
keuntungan penjualan atau variabel keuangan lainnya, dan c) kemungkinan dari sebuah masalah
keuangan yang mempengaruhi kinerja operasi perusahaan atau posisi keuangan. Eiteman, Stonehill
dan Moffet [10] mengatakan bahwa risiko dasar adalah the mismatching of interest rate bases for
associated assets and liabilities. Sehingga secara umum risiko dapat ditangkap sebagai bentuk
keadaan ketidakpastian tentang suatu keadaan yang akan terjadi nantinya dengan keputusan yang
diambil berdasarkan suatu pertimbangan. Menurut salah satu definisi, risiko (risk) adalah sama
dengan ketidakpastian (uncertainty). Secara umum risiko dapat diartikan sebagai suatu keadaan
yang dihadapi seseorang atau perusahaan dimana terdapat kemungkinan yang merugikan.
Risiko investasi dapat diartikan sebagai kemungkinan terjadinya perbedaan antara actual
return dan expected return, sehingga setiap investor dalam mengambil keputusan investasi harus
selalu berusaha meminimalisasi berbagai risiko yang timbul, baik jangka pendek maupun jangka
panjang. Setiap perubahan kondisi ekonomi baik mikro ataupun makro akan mendorong investor
untuk melakukan strategi yang harus diterapkan untuk tetap memperoleh return. Menurut Jones
[17] total risiko yang mempengaruhi return saham terdiri dari risiko sistematis ditambah dengan
risiko tidak sistematis. Adanya pengaruh yang positif antara penilaian risiko sistematis dan tidak
sistematis terhadap return saham menunjukkan bahwa ketika nilai dari risiko sistematis dan tidak
sistematis keduanya tinggi atau rendah maka akan menyebabkan return saham yang tinggi atau
rendah pula, artinya hubungan risiko terhadap return saham, baik risiko sistematis dan tidak
sistematis akan linier atau searah ketika kedua risiko tersebut berada pada kondisi nilai yang sama
tinggi atau sama rendah. Sharpe, Alexander dan Bailey [24] menyatakan bahwa tingkat
pengembalian yang diharapkan dari suatu saham akan dipengaruhi oleh dua karakter dasar, yaitu
risiko sistematis dan likuiditas saham. Hearth dan Zaima [15] mengatakan risiko sistematis
merupakan risiko yang berasal dari faktor-faktor yang mempengaruhi perusahaan secara langsung,
seperti ketidakpastian kondisi ekonomi (gejolak kurs tukar mata uang, tingkat inflasi dan tingkat
suku bunga yang tidak menentu) dan ketidak pastian politik.
2.2 Risiko Kebangkrutan
Financial distress (kesulitan keuangan) terjadi sebelum kebangkrutan benar-benar dialami
oleh perusahaan. Financial distress sebagai tahap penurunan kondisi keuangan yang terjadi sebelum
terjadinya kebangkrutan ataupun likuidasi Plat dan Plat [21]. Foster [13] mendifinisikan Financial
distress sebagai: “Financial distress is used to mean severe liquidity promlems that cannot be
resolved without a sizeable rescaling of entity’s operations or structure”. Kebangkrutan dapat
diartikan sebagai kegagalan perusahaan dalam menjalankan operasi perusahaan untuk memperoleh
laba. Kebangkrutan sebagai kegagalan diartikan sebagai kegagalan keuangan atau Financial failure
dan kegagalan ekonomi atau economic failure Adnan dan Taufik [1].
Risiko kebangkrutan sebuah perusahaan dapat diukur melalui laporan keuangan dengan cara
melakukan analisis terhadap laporan keuangan. Dengan melakukan analisis laporan keuangan
perusahaan, maka pimpinan perusahaan dapat mengetahui keadaan dan perkembangan financial
102 Bambang Budhijana dan Nelmida
perusahaan dan hasil-hasil yang telah dicapai di waktu lampau, maka dapat diketahui kelemahan-
kelemahan perusahaan dan hasil yang dianggap cukup baik, dan mengetahui potensi kebangkrutan
perusahaan tersebut Adnan dan Taufik [1].
Model Z - Score yang pertama meneliti kebangrutan untuk perusahaan manufaktur dengan
formula sebagai berikut Altman [5]:
Z Score 1,2 X 1 1,4 X 2 3,3 X 3 0,6 X 4 1,0 X 5
(1)
Dimana: X1 = Net Working Capital / Total Assets (Mengukur assets likuid perusahaan)
X2 = Retained Earnings / Total Assets (Mengukur profitabilitas perusahaan)
X3 = Earnings Before Interest and Taxes / Total Assets (Mengukur efisiensi operasional
perusahaan)
X4 = Market Value of Equity / Book Value of Total Liabilities (Mengukur value
perusahaan berdasarkan harga pasar saham perusahaan)
X5 = Sales /Total Assets (Mengukur kemampuan menghasilkan revenue)
Nilai Z-Score yang telah dihitung dengan menggunakan persamaan (1), selanjutnya
diinterpretasikan kedalam tiga Zona of discriminations, sebagai berikut: Altman [5]; a) Nilai Z>
2,99 , termasuk kategori Saf” Zone, pada kondisi ini perusahaan dalam keadaan sehat dan potensi
kebangkrutan dimasa yang akan datang sangat kecil, b) Nilai 1,81 <Z< 2,99 teramasuk kategori
Grey Zone, pada kondisi ini perusahaan dalam keadaan kurang sehat meskipun masih dapat
bertahan dalam jangka pendek namun potensi kebangkrutan dimasa yang akan datang dinilai cukup
besar terjadi), dan c) NIlai Z< 1,81 termasuk kategori Distres” Zone, pada kondisi ini perusahaan
dalam keadaan tidak sehat dan kondisi keuangan dalam kondisi tekanan yang berat serta potensi
kebangkrutan dimasa yang akan datang dinilai sangat besar terjadi. Altman [6] mengatakan model
Z-Score dengan 5 komponen hanya relevan untuk perusahaan manufaktur. Pada tahun 2000 Altman
melakukan penelitian untuk menditeksi kemungkinan kebangkrutan pada perusahaan Perbankan
pada negara yang sudah maju dengan menggunakan empat komponen dengan formula sbb Altaman
[6]:
Z Score 6,56 X 1 3,26 X 2 6,72 X 3 1,05 X 4 (2)
Dimana: X1 = (current assets − current liabilities) / total assets
X2 = retained earnings / total assets
X3 = earnings before interest and taxes / total assets
X4 = book value of equity / total liabilities
Nilai Z-Score yang dihitung dengan menggunakan persamaan diatas, selanjutnya ditafsirkan
kedalam 3 Zona of discriminations, sebagai berikut Altman [2]: a) Nilai Z> 2,6, termasuk kategori
Safe Zone, pada kondisi ini perusahaan dalam keadaan sehat dan potensi kebangkrutan dimasa yang
akan datang sangat kecil, b) Nilai 1,1 < Z < 2,6 teramasuk kategori Grey Zone, pada kondisi ini
perusahaan dalam keadaan kurang sehat meskipun masih dapat bertahan dalam jangka pendek
namun potensi kebangkrutan dimasa yang akan datang dinilai cukup besar terjadi), dan c) NIlai Z<
1,1termasuk kategori Distres” Zone, pada kondisi ini perusahaan dalam keadaan tidak sehat dan
kondisi keuangan dalam kondisi tekanan yang berat serta potensi kebangkrutan dimasa yang akan
datang dinilai sangat besar terjadi. Model Z-Score dengan 4 komponen menurut formula (2) hanya
relevan untuk perusahaan perbankan yang telah go public atau terdaftar di bursa saham untuk
negara yang sudah maju, namun kurang relevan jika digunakan untuk perusahaan yang berada di
negara emerging market seperti Indonesia, sehingga model Z-Score tersebut ditemukan masih
memiliki kelemahan. Atas hal tersebut, Altman menyempurnakan model Z-score untuk menilai
risiko keuangan dan memprediksi potensi kebangkrutan perusahaan non manufaktur atau
perusahaan perbankan pada negara emerging market Altman [4] dengan formula sbb:
Z Score 3,25 6,56 X 1 3,26 X 2 6,72 X 3 1,05 X 4 (3)
Dimana: X1 = (current assets − current liabilities) / total assets
Analisis Risiko Kebangrutan pada Perusahaan Bank Umum Swasta Nasional… 103
yaitu BCIC yang termasuk kategori kurang sehat atau kurang aman (Grey Zone) artinya perusahaan
dalam keadaan kurang sehat meskipun masih dapat bertahan dalam jangka pendek namun potensi
kebangkrutan dimasa yang akan datang dinilai cukup besar terjadi, c) terdapat dua perusahaan
perbakan yaitu BCIC dan OCBC yang termasuk kategori tidak sehat atau tidak aman (Distress
Zone) artinya perusahaan dalam keadaan tidak sehat dan kondisi keuangan dalam kondisi tekanan
yang berat serta potensi kebangkrutan dimasa yang akan datang dinilai sangat besar terjadi.
4.3.1 Pembahasan Hasil Z Score Perusahaan Perbankan BACA
Berdasarkan hasil penelitian bahwa nilai Z Score yang diperoleh untuk Perusahaan BACA
berada pada distress zone yaitu adalah kecil dari 1,1 kecuali pada tahun 2011 dengan nilai 1,76 yang
berada pada grey zone, tetapi setelah itu nilai Z score turun menjadi 0,80 untuk tahun 2012, 0,72
untuk tahun 2013, 0,63 untuk tahun 2014, dan 0,74 untuk tahun 2015. Hasil penelitian ini bertolak
belakang dengan hasil penelitian [12], dimana [12] menemukan nilai Z Score 0,93 untuk tahun 2011
yang berada pada distress zone sedangkan penelitian ini berada pada grey zone. Namun, untuk
tahun 2012 hasil penelitian ini sejalan denagn hasil penelitian [12] dengan nilai Z Score 0,87 yang
juga berada pada distress zone, berarti pada tahun 2012 perusahaan, dalam kondisi tidak sehat atau
tidak aman (Distress Zone) artinya perusahaan dalam keadaan tidak sehat dan kondisi keuangan
dalam kondisi tekanan yang berat serta potensi kebangkrutan dimasa yang akan datang dinilai
sangat besar terjadi, berlangsung sampai 2015. Berdasarkan data yang diperoleh dan hasil analisis,
memburuknya kondisi perusahaan disebabkan karena nilai rasio modal kerja besih dengan total
asset perusahaan bernilai negatif dan rasio lainnya seperti rasio laba ditahan dengan total asset, rasio
EBIT dengan total asset dan rasio nilai pasar ekuiti dengan total hutang sangat kecil sekali. Keadaan
ini berlangsung dari tahun 2011 -2015 dapat dilihat pada Tabel. 5.
Tabel 6. Hasil Hitungan Rasio Keuangan BACA
No Perusahaan BACA Tahun
2011 2012 2013 2014 2015
1 X1 (0,27) (o,41) (0,42) (0,43) (0,42)
2 X2 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01
3 X3 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01
4 X4 0,17 0,11 0,09 0,07 0,12
Sumber: Data yang diolah
4.3.2 Pembahasan Hasil Z Score Perusahaan BCIC
Berdasarkan hasil penelitian bahwa nilai Z Score yang diperoleh untuk Perusahaan BCIC
berada pada kondisi grey zone yaitu nilai Z Scorel 1,1 < Z < 2,6 dapat dilihat pada Tabel 4 dengan
nilai Z Score 1,91 untuk tahun 2011, 2,15 untuk tahun 2012, 1,64 untuk tahun 2013, 1,29 untuk
tahun 2014, dan 1,48 untuk tahun 2015. Kondisi perusahaan dalam keadaan kurang sehat atau
kurang aman (Grey Zone) artinya perusahaan dalam keadaan kurang sehat meskipun masih dapat
bertahan dalam jangka pendek namun potensi kebangkrutan dimasa yang akan datang dinilai cukup
besar terjadi. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Altman [6], dimana Altman [6]
menemukan nilai Z Score 1,33 untuk tahun 2011 tetapi untuk tahun 2012 berbeda dengan hasil
penelitian Altman [6] dengan nilai Z Score 1,07 atau kecil dari 1,1 menurut Altman [3] termasuk
kategori distress zone yang berarti pada tahun 2012 Perusahaan BCIC berada pada daerah tidak
aman (Distress Zone) artinya perusahaan dalam dalam kondisi tekanan yang berat serta potensi
kebangkrutan dimasa yang akan datang dinilai sangat besar terjadi. Namun, Hasil penelitian ini
bertolak belakang dengan hasil penelitian [19] menemukan nilai Z Score perusahaan OCBC dengan
nilai 3,31 untuk tahun 2011, 3,37 untuk tahun 2012, dan 3,62 untuk tahun 2013. Nilai Z Score
tersebut berada pada safe zone dengan nilai Z Score besar dari 2,60 Altman [3] yang berarti
perusahaan dalam kondisi sehat atau aman (Safe Zone) artinya Perusahaan dalam keadaan sehat dan
potensi kebangkrutan dimasa yang akan datang sangat kecil. Berdasarkan data yang diperoleh dan
hasil analisis memburuknya kondisi perusahaan disebabkan karena nilai rasio modal kerja besih
dengan total asset, rasio rasio laba ditahan dengan total asset, rasio EBIT dengan total asset dan
Analisis Risiko Kebangrutan pada Perusahaan Bank Umum Swasta Nasional… 107
rasio nilai pasar ekuiti dengan total hutang sangat kecil sekali, malahan ada yang nilainya nol yaitu
rasio laba ditahan denagn total asset, hal ini bisa terjadi karena selama tanun 2011 -2015 nilai dari
laba ditahannya adalah nol. Keadaan ini berlangsung dari tahun 2011 -2015 dapat dilihat pada Tabel
6.
Tabel 7. Hasil Hitungan Rasio Keuangan BCIC
Tahun
No Perusahaan BCIC 2011 2012 2013 2014 2015
5. Penutup
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dari 14 (emapat belas) perusahaan perbankan
yang menjadi objek penelitian dengan mengidentifikasi kemungkinan terjadinya kesulitan keuangan
atau kebangkrutan dengan menggunakan model Z Score yang sudah dimodifikasi Altman [5]. Nilai
Z Score yang diperoleh dapat dikelompokan sebagai berikut: a) terdapat 11 (sebelas) perusahaan
yang termasuk pada safe zone yaitu: INCP, BBKP, BNGA, ICBC, BBMD, BKSW, NOBU, OUB, BVIC, PNBN,
dan HSBC, b) terdapat 1 (satu) perusahaa yang termasuk kategore grey zone yaitu perusahaan BCIC,
dan c) terdapat 2 (dua) perusahaan yaitu BACA dan OCBC termasuk kategori distress zone.
Implikasi penelitian untuk perusahaan yang termasuk kategori safe zone dengan indikasi bahwa
perusahaan tersebut termasuk aman atau sehat, hal ini akan berimplikasi pada kelangsungan hidup
108 Bambang Budhijana dan Nelmida
perusahaan. Keadaan ini harus dipertahankan terus dengan cara menjaga nilai rasio keuangan
seperti rasio modal kerja besih dengan total asset, rasio laba ditahan dengan total asset, rasio EBIT
dengan total asset dan rasio nilai pasar ekuitas dengan total hutang. Selanjutnya untuk perusahaan
yang masuk kategori grey zone dengan indikasi bahwa perusahaan tersebut termasuk kurang aman
atau kurang sehat, hal ini akan berimplikasi pada kesinambungan hidup perusahaan, perusahaan ini
tidak akan mengalami kesulitan keuangan, meskipun masih dapat bertahan dalam jangka pendek
namun potensi kebangkrutan dimasa yang akan datang memiliki peluang cukup besar akan terjadi.
Keadaan ini hendaklah menjadi perhatian khusus bagi pihak manajerial agar perusahaan bisa
bertahan dalam jangka waktu lama sehingga perusahaan tidak terancam kebangkrutan. Pihak
manajerial hendaklah berusaha meningkatan rasio keuangan perusahaan umumnya dan khususnya
terkaitan dengan rasio modal kerja besih dengan total asset, rasio laba ditahan dengan total asset,
rasio EBIT dengan total asset dan rasio nilai pasar ekuitas dengan total hutang. Nilai Z Score
perusahaan perbankan yang masuk kategori disterss zone dengan indikasi bahwa perusahaan
tersebut termasuk tidak sehat, hal ini akan berimplikasi pada kelangsungan hidup perusahaan,
dimana peruhaan perbankan yang berada pada distress zone ini akan mengalami kesulitan keuangan
atau akan berpotensi bangkrut dimasa yang akan datang memiliki peluang cukup besar akan terjadi.
Keadaan ini hendaklah menjadi perhatian lebih dan khusus bagi pihak manajerial agar perusahaan
bisa bertahan tidak mengalami kesulitan keuangan dan terancam kebangkrutan. Pihak manajerial
hendaklah lebih berusaha seoptimal mungkin agar bisa memperbaiki kondisi keuangan perusahaan
denagn sehingga nilai rasio keuangan perusahaan secara keseluruhan bisa meningkat dan khususnya
terkaitan dengan rasio modal kerja besih dengan total asset, rasio laba ditahan dengan total asset,
rasio EBIT dengan total asset dan rasio nilai pasar ekuitas dengan total hutang.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat dibuat beberapa ketebatasan penelitian
sebagai berikut; a) penelitian ini hanya meneliti perusahaan perbankan yang termasuk bank umum
swasta nasional yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia yang berjumlah 60 perusahaan perbankan.
Disarankan untuk penelitian yang akan datang agar memperluas ruang lingkup penelitian sehingg
jumlah sampel akan lebih banyak lagi dan hasil penelitian lebih bisa digeneralisasikan, dan b)
dalam mengidentifikasi kemungkinan kebangkrutan penelitian ini menggunakan Model Z Score
yang dimodefikasi Altman [4] untuk perusahaan non manufaktur yang terdaftar di pasar modal
untuk negara yang sedang berkembang (emerging market). Disarankan pada peneliti yang akan
datang menggunakan model Z Score selain dari Model Z Score Altman [4] seperti O Score. Model
Springate S-Score.
Daftar Pustaka
[1] Adnan, M. A dan M. Taufik. “Analisis Ketepatan Prediksi Metode Altman terhadap
terjadinya Likuidasi pada Lembaga Perbankan”. Jurnal Ekonomi dan Auditing Vol 5,
No. 2, Desember. 2001.
[2] Altman, E.I & E. Hotchkiss, “Corporate Financial Distress & Bankruptcy” , 3rd edition, John
Wiley , 2006
[3] Altman, E.I Małgorzata Iwanicz-Drozdowska, Erkki K. Laitinen, “Distressed Firm and
Bankruptcy prediction in an international context: a review and empirical analysis of
Altman’s Z-Score Model”, www.googlescholar 2014.
[4] Altman, E.I., “Corporate Financial Distress. A Complete Guide to Predicting, Avoiding, and
Dealing with Bankruptcy”, Wiley Interscience, John Wiley and Sons.1983.
[5] Altman, Edward I. “Corporate Financial Distress and Bankruptcy”. New York : Wiley, 1968.
[6] Altman, Edward I.. “Predicting Financial Distress of Companies: Revisiting the Z-Score and
Zeta®” Models. Working Paper. 2000
[7] Argyris A.. “Predicting financial distress using Neural Networks:Another episode to the
serial?”, Thesis of Master of Degree, Hanken, Swedish School of Economic and Business
Analisis Risiko Kebangrutan pada Perusahaan Bank Umum Swasta Nasional… 109