Anda di halaman 1dari 19

BAB II

LANDASAN TEORETIS

A. Daya Apung Akademik (Academic Buoyancy)

1. Pengertian Daya Apung Akademik

Daya apung akademik (academic buoyancy) dikembangkan sebagai

konstruk yang mencerminkan ketahanan akademik sehari-hari dalam

konteks psikologi positif, dan didefinisikan sebagai kemampuan siswa

untuk berhasil menghadapi kemunduran akademik dan tantangan yang

merupakan ciri khas dari kehidupan sekolah yang biasa misalnya, nilai

yang buruk, berjibaku dengan deadline tugas, tekanan ujian, tugas

sekolah yang sulit (Martin & Marsh, 2008).

Konsep ini merupakan konsep yang menggambarkan kemampuan

siswa (mahasiswa) untuk berhasil bangkit dari kemunduran akademik,

dan berhasil menghadapi tantangan yang sehari-hari ditemui dalam

kehidupan akademiknya, seperti kinerja akademik yang buruk/menurun,

berpacu dengan deadline tugas, nilai yang jelek, beban tugas yang sulit

(Martin & Masrh, 2009; Putwain, Connors, Synnes, & Douglas-Osborn,

2012; Martin, Ginns, Brackett, Malmberg, Hall, 2013). Daya apung

akademik menekankan pada tantangan sehari-hari yang dialami siswa

dalam sekolah seperti kurangnya motivasi dan daya tahan, nilai yang

buruk, dan tekanan sehari-hari lainnya di sekolah (Martin, 2012). Daya

apung akademik menggambarkan kemampuan siswa (mahasiswa) dalam

18
mengatasi kemunduran akademik, dan mengatasi tantangan yang khas

muncul sehari-hari dalam kehidupan akademik.

Selaras dengan pendapat Martin dan Marsh diatas, Putwain,

Connors, Symes, dan Douglas-Osborn (2012) berpendapat bahwa daya

apung akademik merujuk pada, respon positif, membangun dan mudah

melakukan penyesuaian terhadap tipe tantangan dan hambatan yang

dialami dalam area akademik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

daya apung akademik sebagai salah satu faktor yang dapat membantu

siswa (mahasiswa) untuk lebih siap dalam menghadapi resiko akademik

(Martin & Marsh, 2009). Daya apung akademik merupakan versi positif

dari academic resilience, dan daya apung akademik termasuk dalam

bagian dari topik pembahasan psikologi positif (Martin, 2012).

Bakhshaee, Hejazi, Dortaj, dan Farzad (2016) berpendapat bahwa

daya apung akademik adalah kemampuan siswa untuk menjaga

kompetensi akademik dan respon positif dalam menghadapi tantangan

yang dilakukan oleh siswa remaja sampai dengan dewasa awal dalam

konteks kehidupan akademik mereka. Dalam pendapatnya tersebut,

Bakhshaee, dkk memasukkan unsur spesifik pada perkembangan remaja

sampai dengan dewasa awal sebagai bentuk keterampilan yang mereka

butuhkan pada rentang perkembangan tersebut untuk mengatasi

kesulitan akademik sehari-hari.

19
Adapun siswa (mahasiswa) yang memiliki derjat daya apung

akademik tinggi, maka siswa tersebut dapat bertahan selama menempuh

proses akademik. Namun sebaliknya apabila daya apung akademik-nya

rendah maka siswa tersebut tidak dapat bertahan dalam menghadapi

tantangan akademik sehari-harinya (Resetiana, 2017). Akibatnya siswa

(mahasiswa) yang daya apung akademik-nya rendah akan menunjukkan

perilaku maladaptive di sekolah, seperti membolos, motivasi belajar

rendah, dll.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa daya

apung akademik merupakan kemampuan siswa (mahasiswa) untuk

mampu bangkit dari kemunduran akademik, dan mampu untuk

menghadapi dengan baik tantangan-tantangan akademik yang muncul

sehari-hari. Siswa dengan derajat daya apung akademik tinggi akan

mampu bangkit dan mengatasi tantangan akademik dengan baik, dapat

berprestasi di sekolah, sedangkan siswa dengan derajat daya apung

akademik rendah akan menunjukkan perilaku maladaptive di sekolah.

2. Aspek-aspek Daya apung akademik

Adapun aspek-aspek daya apung akademik menurut Martin, Colmar,

Davey, dan Marsh (2010) daya apung akademik terdiri dari lima aspek,

yaitu:

a. Efikasi diri (self-efficacy), keyakinan siswa (mahasiswa) terhadap

kemampuannya untuk bisa mengatasi tantangan yang dapat

mempengaruhi motivasi serta ketekunannya dalam menghadapi

20
tantangan tersebut. Siswa (mahasiswa) yang memiliki efikasi diri

tinggi memiliki penampilan yang lebih baik di kelasnya, yakni mampu

menunjukkan berbagai usaha dan ketekunan, serta mampu

menghadapi secara efektif masalah-masalah yang mereka temui

melalui proses kognitif dan emosional yang mereka gunakan

(Bandura, 1997, dalam Martin, 2002). Siswa (mahasiswa) dengan

efikasi diri rendah terpaku dengan kekurangannya dan memandang

situasi lebih rumit daripada kenyataan sebenarnya. Sebaliknya, siswa

yang memiliki efikasi diri tinggi merasa terpacu pada saat

menghadapi tantangan, dan mereka yakin pada kemampuannya

untuk menghadapi tantangan atau rintangan yang ditemuinya.

b. Planning, bagaimana siswa (mahasiswa) membuat rencana akademik

dengan jelas dan terukur, sehingga secara mandiri siswa

(mahasiswa) mampu mempertahankan progress akademik mereka

sendiri. Dengan demikian secara sadar siswa (mahasiswa) dapat

dengan mudah melakukan self reminder terhadap upaya untuk

mencapai target-target yang telah mereka tentukan.

c. Daya tahan (persistence), daya tahan siswa (mahasiswa) untuk

berusaha mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi, serta

daya tahan terhadap upaya untuk memahami suatu persoalan yang

berkaitan dengan akademik meskipun itu sulit. Sebagai contoh: siswa

(mahasiswa) yang merasa kesulitan untuk memahami mata kuliah

tertentu, tetap tekun berupaya untuk memahami dengan berdiskusi

21
dengan teman, menghampiri dosen di luar jam kelas, mencari

sebanyak-banyaknya referensi yang dapat digunakan untuk

mempermudah memahami materi yang sulit.

d. Level kecemasan yang rendah (low-level anxiety), perasaan gugup

dan khawatir pada siswa (mahasiswa). Perasaan gugup adalah rasa

tidak nyaman yang muncul pada diri siswa (mahasiswa) apabila

mengingat tugas sekolah, sedangkan perasaan khawatir adalah rasa

takut apabila tidak dapat menyelesaikan tugas sekolah dengan baik.

Mahasiswa yang memiliki tingkat level kecemasan yang rendah, tidak

akan merasa cemas dengan hasil dari tugas atau ujian mereka, serta

tidak mengkhawatirkan tentang konsekuensi yang akan mereka

dapatkan. Sedangkan pada mahasiswa yang tingkat level kecemasan

yang rendah tinggi akan merasa cemas, takut gagal, serta

memikirkan mengenai konsekuensi yang didapat jika mereka gagal

dalam ujian.

e. Kontrol (control), konstrak kontrol didefinisikan sebagai kemampuan

(mahasiswa) untuk mengontrol hasil akademik (positif/negatif) yang

akan datang. Sedangkan kebalikan dari kontrol adalah uncertain

control yang dinilai sebagai ketidakpastian individu tentang

bagaimana untuk mengerjakan tugas dengan baik. Kontrol berkaitan

dengan kemampuan siswa (mahasiswa) untuk menghindari

kegagalan, dan berorientasi pada keberhasilan. Mahasiswa dengan

kontrol akademik yang baik akan bersungguh-sungguh dalam

22
menjalani kehidupan akademiknya, memiliki produktifitas yang baik.

Sebaliknya mahasiswa dengan kontrol yang rendah memiliki

produktifitas yansg buruk, mudah mengeluh, tidak bersungguh-

sungguh dalam mengerjakan tugasnya.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya Apung Akademik

Adapun Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi derajat daya apung

akademik siswa (mahasiswa) menurut beberapa ahli, di antaranya adalah

adalah sebagai berikut:

a. Gaya identitas informasional melalui mediator efikasi diri.

Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Nurafifah, dkk

(2012) menunjukkan bahwa gaya identitas informasional

berhubungan positif dengan daya apung akademik melalui mediasi

efikasi diri. Yakni orang yang memiliki gaya identitas informasional

dengan efikasi diri yang tinggi akan mempersepsi kesulitan tugas

atau stresor akademik sebagai tantangan yang harus dihadapi

daripada untuk dihindari. Mereka mampu melakukan visualisasi

terhadap kesuksesannya dalam mengatasi tantangan akademik. Hal

itu membuat mereka menjadi optimis. Kemudian, dalam menghadapi

stresor akademik orang yang memiliki gaya identitas informasional

dengan efikasi diri-nya yang tinggi mampu melakukan pengaturan diri

dengan baik, seperti membuat perencananaan, mengontrol dan

mengevaluasi aktivitas belajarnya, serta memanfaatkan sumber daya

23
disekelilingnya untuk menjadi pendukung dalam mencapai tujuan

yang mereka inginkan.

b. Motivasi, Analya (2011) menemukan motivasi dapat menjadi faktor

yang mempengaruhi daya apung akademik. Mahasiswa yang

memiliki motivasi tinggi, memiliki dorongan yang kuat untuk dapat

berhasil mengatasi tantangan akademik. Sebaliknya, mahasiswa

dengan motivasi yang rendah kurang bersemangat dalam mengatasi

tantangan akademik.

c. Usia dan Jenis kelamin. Penelitian yang dilakukan oleh (Martin, Yu,

Ginns, & Papworth, 2016) menunjukkan adanya perbedaan yang

signifikan antara jenis kelamin dan usia, dimana perempuan memiliki

daya apung akademik yang lebih tinggi daripada laki-laki dan

mahasiswa yang lebih muda lebih mudah beradaptasi untuk

menghadapi tantangan akademik daripada mahasiswa yang lebih tua.

d. Status sosial ekonomi (SES), SES seseorang dalam hal ini dapat

dilihat dari status pendidikan dan status social ekonomi dalam

mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menyikapi suatu

tantangan (Martin, Yu, Ginns, & Papworth, 2016).

4. Perbedaan Antara Daya apung akademik dan Academic Resilience

Terdapat beberapa perbedaan antara konsep daya apung akademik

dengan academic resilience. Pertama berdasarkan definisinya, menurut

Martin (2012) daya apung akademik didefinisikan sebagai kemampuan

untuk mengatasi kemunduran, tantangan, dan kesulitan akademik sehari-

24
hari. Sedangkan academic resilience kemampuan untuk mengatasi

kesulitan akut dan atau kronis yang dipandang sebagai ancaman utama

bagi perkembangan pendidikan siswa (Martin, 2012). Singkatnya bila

ditinjau dari sifat permasalahan yang dihadapi, daya apung akademik

berhubungan dengan tantangan akademik yang sehari-hari ditemui

mahasiswa. Sedangkan academic resilience berhubungan dengan

tantangan akademik yang ekstrim.

Selanjutnya, berdasarkan populasi yang mengalaminya, Martin

(2012) daya apung akademik berpotensi untuk dihadapi oleh sebagian

besar siswa mengingat permasalahan yang dihadapi adalah tantangan

akademik sehari-hari. Dibandingkan dengan academic resilience, yang

mana hanya dialami oleh sebagian kecil mahasiswa karena

permasalahan yang dihadapi bersifat ekstrim. Adapun contoh

permasalahan yang dihadapi dari perspektif daya apung akademik

adalah ketika mahasiswa menghadapi dosen yang dianggap sulit, maka

perilaku yang ditunjukkan untuk menghadapinya adalah dengan

meminilasir berinteraksi dengan dosen yang sulit. Sedangan dalam

perspektif academic resilience, mahasiswa yang bermasalah dengan

dosen, akan terang-terangan menunjukkan perlawanan dengan tidak

masuk kuliah sama sekali pada mata kuliah yang diampu oleh dosen

tersebut (Martin & Marsh, 2009).

25
Daya apung akademik berhubungan dengan motivasi dan

keterlibatan (engagement) mahasiswa dalam menjalani kegiatan

akademik. Apabila mahasiswa mengalami permasalahan dengan daya

apung akademik, maka motivasi belajar, motivasi berprestasi akan turun,

serta mahasiswa tidak terlibat di kelas. Sedangkan academic resilience

berkaitan dengan perilaku membolos yang akut dan tidak terlibat

(dissengagement) dengan sekolah (Martin, 2012). Dengan kata lain,

academic resilience berhubungan dengan kronik underachievement,

sedangkan daya apung akademik berhubungan dengan performance

akademik yang buruk.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan perbedaan antara

daya apung akademik dengan academic resilience, sebagai berikut:

Tabel 1.
Perbedaan daya apung akademik dan academic resilience.
Daya apung akademik Academic Resilience
(Academic Buoyancy)
Definisi: Definisi:
Kemampuan/kapasitas individu Kemampuan/kapasitas individu
mengatasi kemunduran, untuk mengatasi kesulitan akut dan
tantangan, dan kesulitan atau kronis yang dipandang sebagai
akademik sehari-hari. ancaman utama bagi
perkembangan pendidikan siswa.
Relevan dengan nilai dan Relevan dengan underachievement
performance akademik yang yang kronik.
buruk.

26
Tabel 1.
Lanjutan Perbedaan daya apung akademik dan academic resilience.
Daya apung akademik Academic Resilience
(Academic Buoyancy)
Relevan untuk menanggulangi Relevan untuk mengatasi hasil
adanya kemungkinan dampak negative yang sifatnya lebih berat
buruk yang sifatnya lebih ringan dalam permasalahan akademik.
atas premasalahan dalam
menghadapi tantangan
akademik.
Berkaitan dengan motivasi dan Berkaitan dengan perilaku
minimnya keterlibatan membolos, menarik diri,
(engagement) individu yang disengagement.
mengalaminya permasalahan
daya apung akademik.
Berkaitan dengan interaksi yang Berkaitan dengan mengasingkan
relative kecil dengan dosen yang diri dari dosen yang dianggap tidak
dianggap kurang bersahabat. bersahabat.
Berhubungan dengan tantangan Berhubungan dengan kesulitan
akademik sehari-hari. yang kronis/akut.
Dihadapi oleh populasi yang lebih Dihadapi oleh minoritas populasi.
besar.

B. Pelatihan instruksi diri (Self-Instruction Training)

1. Pengertian Instruksi Diri (Self-instruction)

Meichenbaum & Goodman (1971) awalnya mengembangkan

metode pelatihan instruksi diri (self-instruction) untuk membantu anak

mengatasi perilaku impulsif mereka (Martin & Pear, 2015). Model

instruksi diri merupakan salah satu metode intervensi dari pendekatan

cognitive behavior, yang melibatkan identifikasi keyakinan-keyakinan

27
disfungsional yang dimiliki seseorang dan mengubahnya menjadi

lebih realistis, serta melibatkan tekhnik-tekhnik modifikasi perilaku

(Boss, dkk, 2006). Tekhnik instruksi diri menurut Meichenbaum

(Martin & Pear, 2015) merupakan salah satu tekhnik modifikasi

perilaku yang memiliki dua fungsi, yaitu mengubah sudut pandang

negative terhadap diri sendiri menjadi sudut pandang yang positif

terhadap diri sendiri, serta dapat digunakan untuk mengarahkan

perilaku setelah pola pikir diperbaiki.

Sementara itu, kegunaan tekhnik ini untuk mengarahkan

perilaku didasari oleh pemikiran bahwa pemberian instruksi

merupakan bagian penting pada perkembangan manusia dalam

mengarahkan perilaku (Rock, 1977 dalam Larasti, 2012). Mengingat

sejak kecil individu bertumbuh, berkembang, dan belajar melalui

sarana instruksi yang diberikan orangtua. Dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa pemberian instruksi merupakan salah satu upaya

yang perlu untuk dilakukan dalam rangka membantu seseorang

mengatasi permasalahannya. Intervensi instruksi diri ini bisa

melibatkan beberapa strategi: modeling, rehearsal, verbal cueing,

role-playing, dan sub verbalization (Freeman & Dattilio dalam

Escamilia, 2000).

2. Aspek-aspek Instruksi Diri

Meichenbaum (Martin & Pear, 2015) membuat highlight pada

aspek instruksi diri yakni self verbalization. Menurut Meichenbaum,

28
perilaku maladaptive seseorang dapat munucul disebabkan oleh

pikiran irasional. Oleh karena itu, untuk memperbaikinya, diperlukan

re-verbalization terhadap diri sendiri, dari pemikiran yang negatif

menjadi pemikiran yang positif. Adapun tahapan-tahapan tekhnik

instruksi diri sendiri menurut Meichenbaum (Larasti, 2012) terdiri dari

4 tahapan di antaranya adalah:

1) Identifikasi keyakinan diri yang negatif. Meichenbaum (Martin &

Pear, 2003) keyakinan diri negative pada seseorang kerap dipicu

oleh pernyataan-pernyataan negatif (negative self-statement) diri

yang kerap digunakan individu untuk menggambarkan siapa

dirinya. Oleh karena itu, untuk memperbaiki kondisi ini perlu

dilakukan identifikasi terlebih dahulu terhadap yang diyakini oleh

individu.

2) Pembelajaran positive self-talk untuk melawan negative self-

statement. Positive self-talk akan membantu individu untuk

menemukan dan mengenali potensi positif yang ia miliki, bukan

berfokus pada kegagalan yang pernah ia hadapi. Subjek didorong

untuk mencari dan memuji keberhasilan yang telah ia alami,

daripada terus mengingat kegagalan atau kekurangan yang

pernah ia lakukan (Stallard dalam Larasati, 2012).

3) Pembelajaran tekhnik instruksi diri untuk melakukan langkah-

langkah perilaku yang akan dilakukan. Setelah individu melakukan

dua langkah di atas, yakni identifikasi keyakinan diri negatif,

29
kemudian melakukan positive self-talk. Selanjutnya individu

diminta untuk membuat kalimat instruksi kepada diri mereka

sendiri yang sifat dari kalimat tersebut adalah arahan untuk

melakukan tindakan baru yang positif.

4) Menentukan self-reinforcement apabila berhasil melakukan

perubahan. Self-reinforcement perlu dilakukan begitu individu

berhasil mengatasi situasi yang dihadapinya dengan

mengarahkan perilaku baru yang positif (Meichenbaum, dalam

Martin & Pear, 2003)

3. Pelatihan Instruksi Diri (Self-Instruction Training)

Tekhnik instruksi diri (self-instruction) membantu seseorang

menggantikan pemikiran diri negatif menjadi positif melalui metode

verbalisasi, kemudian mengarahkannya menjadi perilaku yang

adaptif. Kegunaan pelatihan instruksi diri untuk mengganti pemikiran

negatif menjadi pemikiran yang positif terhadap diri sendiri, adalah

didasari oleh pemikiran bahwa pandangan seseorang mengenai

dirinya dapat diarahkan/diinstruksi (Friedenberg, Liss, & Lange, 1998,

dalam Larasti, 2012). Individu diarahkan untuk mengganti pemikiran

negatif terhadap dirinya, menjadi pemikiran yang positif, kemudian

diarahkan untuk memunculkan perilaku baru yang positif/adaptif.

30
C. Pelatihan Instruksi Diri untuk Meningkatkan Derajat Daya Apung

Akademik Mahasiswa

Dalam kesehariannya di dunia akademik, tidak dipungkiri mahasiswa

akan selalu dihadapkan dengan tantangan-tantangan akademik. Beberapa

contoh tantangan akademik sehari-hari di antaranya adalah, kinerja

akademik yang buruk, tugas yang sulit, tekanan terhadap regulasi diri

akademik, jadwal kuliah yang padat, kecemasan dalam menghadapi ujian,

kecemasan mendapatkan nilai yang buruk, deadline tugas yang menumpuk

(Martin, Ginns, Brackett, Malmberg, Hall, 2013). Agar dapat

mempertahankan eksistensi diri akademik, para mahasiswa membutuhkan

adanya kemampuan dalam mengatasi tantangan akademik sehari-hari dan

kemunduran akademik. Kemampuan mahasiswa untuk mengatasi tantangan

akademik sehari-hari dan kemunduran akademik ini disebut dengan daya

apung akademik (Martin, Ginns, Brackett, Malmberg, Hall, 2013).

Daya apung akademik yang dimiliki setiap mahasiswa erbeda-beda

derajatnya. Pada mahasiswa yang memiliki derajat daya apung akademik

tinggi, maka mahasiswa tersebut memiliki keyakinan bahwa dirinya akan

mampu mengatasi tantangan-tantangan akademik dengan baik (efikasi diri).

Mampu membuat perencanaan akademik yang terstruktur dan terukur,

seperti membuat target kelulusan, membuat target nilai yang akan diperoleh,

membuat rencana belajar dalam menghadapi kuis atau ujian (planning).

Memiliki kesungguhan untuk terus belajar dalam misalnya menghadapi ujian

akhir, meskipun masih ada materi-materi yang belum dimengerti

31
(presistence). Mampu mengatasi kecemasan ketika hendak menghadapi

ujian. Atau menjadikan rasa cemas dalam kegiatan akademik sebagai

motivasi untuk memberikan usaha yang terbaik (level kecemasan yang

rendah). Serta menganggap kegagalan akademik yang diperolehnya, seperti

nilai yang kurang baik, merupakan buah dari dirinya sendiri yang kurang

maksimal dalam mempersiapkan ujian (kontrol).

Sebaliknya, mahasiswa dengan derajat daya apung akademik

rendah, akan merasa dirinya tidak mampu untuk mengatasi tantangan-

tantangan akademis, seperti merasa tidak bisa memperoleh nilai yang baik,

merasa tidak mampu lulus tepat waktu (efikasi diri rendah). Kurang mampu

membuat perencanaan/target-target akademik (planning), rendahnya daya

tahan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang sulit, seperti mudah

menyerah ketika mengalami kesulitan dalam memahami materi, atau

kesulitan dalam mengerjakan tugas (daya tahan). Mudah merasa cemas

ketika dihadapkan dengan tugas/ujian yang sulit (level kecemasan yang

rendah), dan menganggap jika baik itu keberhasilan atau kegagalan berasal

dari luar (bukan diri sendiri) atau dari hal yang tidak ia ketahui (uncertain

control). Kelima hal yang peneliti highlight tersebut, yakni efikasi diri,

planning, daya tahan, level kecemasan yang rendah, dan kontrol merupakan

aspek-aspek dari daya apung akademik (Martin, Colmar, Davey, Marsh,

2010).

32
Dampak terburuk dari rendahnya derajat daya apung akademik

adalah ancaman drop out karena perolehan nilai yang buruk. FK UII memiliki

kebijakan untuk memberikan peringatan drop out pada mahasiswa yang

tercatat memiliki nilai yang jelek, yakni di bawah standar kelulusan FK UII.

Nilai pada 36 sks pokok di luar mata kuliah umum kurang dari 2.00.

Perolehan nilai yang jelek merupakan bagian dari tantangan akademik

(Martin & Marsh, 2009). Sedangkan mendapatkan peringatan drop out dari

kampus, merupakan contoh dari suatu pengalaman yang buruk. Sedangkan

pengalaman yang buruk, dapat mempengruhi seseorang memiliki pola pikir

yang negative. Seperti pendapat yang disampaikan oleh Burns (Larasti,

2012) bahwasannya pikiran yang negative berasal dari pengalaman yang

negative. Pada umumnya ketika individu mengalami pengalaman buruk,

pikiran negatif cenderung ekstrim dan sangat tidak membantu (unhelpful).

Lebih lanjut, Burns (Larasati, 2012) menyatakan bahwa terdapat

hubungan yang kuat antara pikiran, perasaan dan perilaku. Pikiran yang

negative berasal dari pengalaman yang negative akan mempengaruhi emosi

menjadi negatif, lalu emosi negatif akan mengarahkan kepada perilaku yang

juga negatif. Hasil penelitian David Dozois (Muthmainah, 2009) menunjukkan

bahwa pikiran negatif (negative thougth) dapat menyebabkan seseorang

mengalami kecemasan (level kecemasan yang rendah), stres dan depresi.

Kecemasan sendiri merupakan salah satu dari aspek daya apung akademik

(Martin & Marsh, 2009).

33
Pikiran negatif dapat mempengaruhi aspek kognitif, afektif,

behavioral, motivasional dan somatik (Tobing, H, 2009). Dalam konteks daya

apung akademik, pengalaman mendapatkan peringatan drop out

mempengaruhi mahasiswa yang mengalaminya memiliki pikiran negatif

terhadap dirinya, sehingga muncul perasaan cemas dan tidak nyaman,

kemudian perilaku yang muncul adalah perilaku maladaptive dalam

menghadapi tantangan-tantangan akademik sehari-hari di kampus.

Diperlukan upaya khusus untuk membantu mahasiswa dalam meningkatkan

derajat daya apung akademiknya.

Metode yang dapat digunakan untuk membantu mahasiswa untuk

keluar dari belenggu pola pikir negatif, perasaan/emosi negatif, dan perilaku

maladaptive, adalah salah satunya dengan menggunakan tekhnik self-

instruction. Instruksi diri merupakan salah satu teknik dalam Cognitive

Behavior Therapy (CBT) yang dikembangkan oleh Meichenbaum. Metode

instruksi diri melibatkan identifikasi keyakinan disfungsional yang dimiliki

seseorang, dan merubahnya menjadi lebih realistis serta melibatkan tekhnik-

tekhnik modifikasi perilaku (Bos, dkk, 2006). Tekhnik ini berfokus pada

mengganti pemikiran negatif terhadap diri sendiri, kemudian mengganti

pikiran tersebut menjadi pemikiran yang positif, sehingga dapat

mengarahkan kepada perilaku yang positif (Meichenbaum, dalam Martin &

Pear, 2003).

34
Pada metode instruksi diri ini, terdapat strategi-strategi kognitif yang

bisa digunakan, seperti self-verbalization/self-talk, yang bertujuan untuk

menuntun seseorang mengatasi masalah yang dihadapinya (Escamilia,

2000). Lebih lanjut, berdasarkan tahapan instruksi diri milik Meichenbaum

(Larasati, 2012) yang terdiri dari pertama identifikasi keyakinan diri negatif,

kemudian membuat positif self-statement berdasarkan potensi positif dan

pengalaman keberhasilan yang partisipan miliki, kemudian membuat instruksi

terhadap diri sendiri untuk mengarahkan pada pembentukan perilaku yang

adaptif, setelah itu menentukan dan memberikan self-reinforcement terhadap

pencapaian baru yang baik pada diri sendiri. Tahapan-tahapan tersebut,

merupakan tahapan yang dapat diaplikasikan untuk membantu partisipan

meningkatkan derajat daya apung akademiknya. Hal ini dikarenakan derajat

daya apung akademik partisipan rendah karena pengalaman yang

membentuk keyakinan diri negatif terhadap diri mereka, sehingga partisipan

tidak mampu mengatasi tantangan akademik dengan baik.

D. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah tekhnik pelatihan instruksi

dirimampu meningkatkan skor derajat daya apung akademik pada mahasiswa FK

UII.

Hipotesis diterima ketika intervensi yang sama diberikan kepada partisipan yang

berbeda, dan mendapatkan hasil yang sama yakni terjadi peningkatan mean derajat

daya apung akademik. Landasan dari dilakukannya replikasi pemberian intervensi

35
kepada partisipan yang berbeda ini mengacu pada pendapat yang disampaikan oleh

Wolery dan Harris (1984), yakni dalam upaya konifirmasi hasil penelitian subjek

tunggal, peneliti dapat melakukan replikasi percobaan pada individu lain atau pada

subjek yang sama di pengaturan yang berbeda, atau pada subjek yang sama

dengan berbagai terapis atau intervensi.

36

Anda mungkin juga menyukai