Anda di halaman 1dari 10

Seperti kebanyakan bekas anggota Tentara Kerajaan di Hindia Belanda (KNIL) yang

belakangan jadi jenderal di TNI, Ahmad Yunus Mokoginta juga anti komunis. Contoh
lain jenderal macam itu adalah Gatot Subroto dan Abdul Haris Nasution

Dalam buku Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan politik Indonesia,
1926-1998 (2005), Audrey Kahin menyebut bahwa terkait penumpasan komunis di
Sumatra belahan utara, “orang tidak dapat melupakan peran yang dimainkan oleh
Panglima Komando Antar Daerah (Koanda) Sumatra di Medan, Mayor Jenderal Ahmad
Yunus Mokoginta” (hlm. 372).

Mokoginta sebelas-dua belas dengan orang-orang Masyumi di Sumatra yang benci luar
biasa kepada komunis—yang kala itu diwakili Partai Komunis Indonesia (PKI).

Mokoginta bukan orang Sumatra. Dia keturunan keluarga raja kecil di Kabupaten
Bolaang Mangondow, Sulawesi Utara. Sejak kecil Mokoginta sudah tinggal di Jawa
karena ikut ayahnya, Abraham Patra Mokoginta, yang berdinas di pulau itu sejak 1926.

Sekitar enam tahun setelahnya, seperti dicatat dalam Bapak Kepolisian Negara
Republik Indonesia: Jenderal Polisi R.S. Soekanto (2000), kakak perempuan Yunus
Mokoginta, Bua Hadidjah Lena Mokoginta alias Magdalena Mokoginta, dinikahi seorang
perwira polisi muda bernama Raden Said Soekanto pada 21 April 1932 (hlm. 12).
Belakangan Soekanto jadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia pertama.

Polisi Militer yang Brutal

Sedari muda, Ahmad Yunus Mokoginta dekat dengan dunia polisi. Dia pun sempat
sebentar jadi polisi umum setelah lulus AMS B Semarang—taraf pendidikan yang cukup
tinggi di zaman itu. Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI AD (1989: 212-
213) mencatat Mokoginta pernah ikut Politie School (Sekolah Polisi) di Jakarta.
Sementara Rosihan Anwar dalam Soebadio Sastrosatomo: Pengemban Misi
Politik (1995: 44) menyebut Mokoginta sebagai polisi yang kasar.

Waktu ada lowongan jadi calon perwira KNIL, Mokoginta ikut. Menurut Alex Kawilarang
dalam autobiografinya, A.E. Kawilarang: untuk Sang Merah Putih (1988) yang disusun
Ramadhan K.H., Mokoginta belajar di Akademi Militer Kerajaan di Bandung pada 1941
sebagai calon perwira infanteri. Dia tak pernah benar-benar jadi letnan KNIL karena
Jepang keburu menguasai Hindia Belanda (hlm. 57).

Setelah Indonesia merdeka, dia termasuk mantan KNIL yang bergabung dengan
Republik. Sebagai mantan calon perwira KNIL, dia dapat pangkat kapten. Harsya
Bachtiar menyebut dia pernah jadi sekretaris Kepala Staf Umum Markas Besar Tentara
Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo (1945); Kepala Staf Brigade Kian Santang di
Purwakarta (1946-1947); dan pada 1948, waktu Nasution menjabat Panglima Markas
Besar Komando Jawa, Mokoginta jadi Kepala Polisi Militer di Komando Jawa. Jabatan
kepala Polisi Militer sebelumnya pernah dijabat Gatot Subroto.
David Jenkins dalam Soeharto dan Barisan Jenderal Orba (2009: 123) menyebut,
“Mokoginta dikenal sebagai polisi militer yang keras, bahkan brutal.”

Nama Mokoginta tercatat di buku sejarah (untuk anak sekolah) sebagai letnan kolonel
CPM yang ditahan anak buah Andi Azis dalam pemberontakan serdadu KNIL di
Makassar pada 5 April 1950. Dia pernah ditunjuk sebentar sebagai Panglima Tentara &
Teritorium VII Wirabuana. Mokoginta adalah komandan Seskoad pertama. Setelah
lama di Kementerian Pertahanan, dia akhirnya diangkat menjadi Panglima Koanda I di
Sumatra sejak 1964. Dia lama mengisi posisi itu.

Baca juga: Buta Politik dan Diperalat, Andi Azis pun Memberontak

Memimpin Pembersihan PKI

Ketika meletus G30S, Mokoginta berada di Medan. Di sana dia biasa berkoordinasi
dengan para jenderal lain seperti Brigadir Jenderal Ishak Djuarsa (Panglima Kodam
I/Iskandar Muda) yang berwenang atas Aceh, Brigadir Jenderal Darjatmo (Panglima
Kodam II/Bukit Barisan) yang bertanggungjawab atas pulau Sumatra bagian tengah dan
digantikan Brigadir Jenderal Sobirin setelah Oktober 1965, dan Brigadir Jenderal
Makmun Murod (Panglima Kodam Sriwijaya) yang bertanggungjawab atas Sumatra
bagian selatan.

Di Sumatra Utara kala itu banyak sekali kaum buruh. Pada 1960-an mereka rentan
didekati PKI. Tak heran bahwa pembasmian komunis di daerah itu terbilang keras.
G30S terjadi di tengah-tengah giatnya kampanye Konfrontasi Dwikora Ganyang
Malaysia. Karena itu ada Komando Mandala Siaga (Kolaga) di sana. Mokoginta
menjadi Panglima Kolaga I di Sumatra.

Jess Melvin dalam The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass (2018)
menyebut pada 23 Maret 1965 di Medan Mokoginta mencanangkan Operasi
Singgalang dalam rangka melawan kaum komunis. Orang-orang sipil dilibatkan dalam
operasi itu.

“Mokoginta memberi dukungan kepada Pemuda Pancasila, suatu kelompok yang


dibentuk untuk menandingi Pemuda Rakyat yang didominasi PKI,” tulis Audrey Kahin
(2005: 375).

Jess Melvin juga menyebut dilibatkannya Pertahanan Sipil (Hansip) dalam


pengganyangan komunis di sana. Dalam tulisannya di media ini Melvin menyebut
Mokoginta, setelah gagalnya G30S itu, memberi komando bersiap dan tunggu perintah.

Kemudian diumumkan lewat radio agar seluruh perintah daripada Panglima Komando
Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Mayor Jenderal Soeharto dipatuhi.
“Segenap anggota Angkatan Bersendjata untuk setjara tegas/tandas, menumpas
contra-revolusi ini dan segala bentuk penchianatan2 dan sematjamnja sampai
keakar2nja,” titah Mokoginta pada malam 1 Oktober 1965.

Aksi pengganyangan komunis itu begitu gemilang seperti dinarasikan Orde Baru.
Setidaknya, ada yang menyebut jutaan orang terbunuh dalam pembantaian sekitar
1965-1966, termasuk di wilayah yang jadi wewenang Mokoginta.

Baca juga: Pembunuhan Massal 1965: Bermula dari Aceh, Diulangi selama DOM

Kritis pada Soeharto

Jabatan Panglima Koanda I diampu Mokoginta hingga 1967. Namun, jasa-jasanya


menumpas komunis di Sumatra Utara tampak kurang diakui. Dalam hal penumpasan
PKI, Mokoginta berperan seperti Sarwo Edhi Wibowo di Jawa Tengah. Jika Sarwo Edhi
sempat jadi panglima Kodam dan Gubernur Akabri, maka Mokoginta langsung di-
dubes-kan di Republik Persatuan Arab, Sudan, Libanon, dan Maroko dari 1967 hingga
1970.

Baca juga: Sarwo Edhie, "King Maker" yang Disingkirkan Soeharto

Secara usia, Mokoginta sudah terhitung senior di ABRI dan memilih berdinas di luar
struktur kemiliteran selepas jadi dubes. Setelah itu dia jadi Direktur PT Wahana
Samudra. Sebelumnya dia menjadi Direktur Utama PT Tri Usaha Bhakti. Seperti dicatat
Harsya bachtiar, dia dilantik di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) setelah bertugas
di Timur Tengah. Selain itu Mokoginta juga aktif di Lembaga Pembina Usahawan dan
Kadin pusat.

Mokoginta yang bersekolah lebih tinggi dari Soeharto, dan pastinya sama-sama dari
Angkatan 45, menjadi orang yang kritis terhadap penguasa Orde Baru itu. Dia aktif
dalam Forum Studi dan Komunikasi (Fosko) yang berisikan para perwira yang dianggap
kritis kepada rezim Soeharto.

Di zaman represi Soeharto sedang di puncaknya, Mokoginta termasuk pensiunan


jenderal yang “gila”, dia berani berseberangan dengan penguasa. Dia adalah salah satu
penandatangan Petisi 50 pada 5 Mei 1980. Tidak banyak orang seperti Mokoginta di
zaman Orde Baru. Sebab melawan pemerintah sama dengan cari penyakit dan bakal
sulit hidupnya. Tanggal 11 Januari 1984, tepat hari ini 36 tahun lalu, Mokoginta
mengembuskan napasnya yang terakhir.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Petrik
Matanasi
(tirto.id - Politik)

Penulis: Petrik Matanasi


Seperti kebanyakan bekas anggota Tentara Kerajaan di Hindia Belanda (KNIL) yang
belakangan jadi jenderal di TNI, Ahmad Yunus Mokoginta juga anti komunis. Contoh
lain jenderal macam itu adalah Gatot Subroto dan Abdul Haris Nasution

Dalam buku Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan politik Indonesia,
1926-1998 (2005), Audrey Kahin menyebut bahwa terkait penumpasan komunis di
Sumatra belahan utara, “orang tidak dapat melupakan peran yang dimainkan oleh
Panglima Komando Antar Daerah (Koanda) Sumatra di Medan, Mayor Jenderal Ahmad
Yunus Mokoginta” (hlm. 372).

Mokoginta sebelas-dua belas dengan orang-orang Masyumi di Sumatra yang benci luar
biasa kepada komunis—yang kala itu diwakili Partai Komunis Indonesia (PKI).

Mokoginta bukan orang Sumatra. Dia keturunan keluarga raja kecil di Kabupaten
Bolaang Mangondow, Sulawesi Utara. Sejak kecil Mokoginta sudah tinggal di Jawa
karena ikut ayahnya, Abraham Patra Mokoginta, yang berdinas di pulau itu sejak 1926.

Sekitar enam tahun setelahnya, seperti dicatat dalam Bapak Kepolisian Negara
Republik Indonesia: Jenderal Polisi R.S. Soekanto (2000), kakak perempuan Yunus
Mokoginta, Bua Hadidjah Lena Mokoginta alias Magdalena Mokoginta, dinikahi seorang
perwira polisi muda bernama Raden Said Soekanto pada 21 April 1932 (hlm. 12).
Belakangan Soekanto jadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia pertama.

Polisi Militer yang Brutal

Sedari muda, Ahmad Yunus Mokoginta dekat dengan dunia polisi. Dia pun sempat
sebentar jadi polisi umum setelah lulus AMS B Semarang—taraf pendidikan yang cukup
tinggi di zaman itu. Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI AD (1989: 212-
213) mencatat Mokoginta pernah ikut Politie School (Sekolah Polisi) di Jakarta.
Sementara Rosihan Anwar dalam Soebadio Sastrosatomo: Pengemban Misi
Politik (1995: 44) menyebut Mokoginta sebagai polisi yang kasar.

Waktu ada lowongan jadi calon perwira KNIL, Mokoginta ikut. Menurut Alex Kawilarang
dalam autobiografinya, A.E. Kawilarang: untuk Sang Merah Putih (1988) yang disusun
Ramadhan K.H., Mokoginta belajar di Akademi Militer Kerajaan di Bandung pada 1941
sebagai calon perwira infanteri. Dia tak pernah benar-benar jadi letnan KNIL karena
Jepang keburu menguasai Hindia Belanda (hlm. 57).

Setelah Indonesia merdeka, dia termasuk mantan KNIL yang bergabung dengan
Republik. Sebagai mantan calon perwira KNIL, dia dapat pangkat kapten. Harsya
Bachtiar menyebut dia pernah jadi sekretaris Kepala Staf Umum Markas Besar Tentara
Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo (1945); Kepala Staf Brigade Kian Santang di
Purwakarta (1946-1947); dan pada 1948, waktu Nasution menjabat Panglima Markas
Besar Komando Jawa, Mokoginta jadi Kepala Polisi Militer di Komando Jawa. Jabatan
kepala Polisi Militer sebelumnya pernah dijabat Gatot Subroto.

David Jenkins dalam Soeharto dan Barisan Jenderal Orba (2009: 123) menyebut,
“Mokoginta dikenal sebagai polisi militer yang keras, bahkan brutal.”

Nama Mokoginta tercatat di buku sejarah (untuk anak sekolah) sebagai letnan kolonel
CPM yang ditahan anak buah Andi Azis dalam pemberontakan serdadu KNIL di
Makassar pada 5 April 1950. Dia pernah ditunjuk sebentar sebagai Panglima Tentara &
Teritorium VII Wirabuana. Mokoginta adalah komandan Seskoad pertama. Setelah
lama di Kementerian Pertahanan, dia akhirnya diangkat menjadi Panglima Koanda I di
Sumatra sejak 1964. Dia lama mengisi posisi itu.

Baca juga: Buta Politik dan Diperalat, Andi Azis pun Memberontak

Memimpin Pembersihan PKI

Ketika meletus G30S, Mokoginta berada di Medan. Di sana dia biasa berkoordinasi
dengan para jenderal lain seperti Brigadir Jenderal Ishak Djuarsa (Panglima Kodam
I/Iskandar Muda) yang berwenang atas Aceh, Brigadir Jenderal Darjatmo (Panglima
Kodam II/Bukit Barisan) yang bertanggungjawab atas pulau Sumatra bagian tengah dan
digantikan Brigadir Jenderal Sobirin setelah Oktober 1965, dan Brigadir Jenderal
Makmun Murod (Panglima Kodam Sriwijaya) yang bertanggungjawab atas Sumatra
bagian selatan.

Di Sumatra Utara kala itu banyak sekali kaum buruh. Pada 1960-an mereka rentan
didekati PKI. Tak heran bahwa pembasmian komunis di daerah itu terbilang keras.
G30S terjadi di tengah-tengah giatnya kampanye Konfrontasi Dwikora Ganyang
Malaysia. Karena itu ada Komando Mandala Siaga (Kolaga) di sana. Mokoginta
menjadi Panglima Kolaga I di Sumatra.

Jess Melvin dalam The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass (2018)
menyebut pada 23 Maret 1965 di Medan Mokoginta mencanangkan Operasi
Singgalang dalam rangka melawan kaum komunis. Orang-orang sipil dilibatkan dalam
operasi itu.

“Mokoginta memberi dukungan kepada Pemuda Pancasila, suatu kelompok yang


dibentuk untuk menandingi Pemuda Rakyat yang didominasi PKI,” tulis Audrey Kahin
(2005: 375).

Jess Melvin juga menyebut dilibatkannya Pertahanan Sipil (Hansip) dalam


pengganyangan komunis di sana. Dalam tulisannya di media ini Melvin menyebut
Mokoginta, setelah gagalnya G30S itu, memberi komando bersiap dan tunggu perintah.
Kemudian diumumkan lewat radio agar seluruh perintah daripada Panglima Komando
Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Mayor Jenderal Soeharto dipatuhi.
“Segenap anggota Angkatan Bersendjata untuk setjara tegas/tandas, menumpas
contra-revolusi ini dan segala bentuk penchianatan2 dan sematjamnja sampai
keakar2nja,” titah Mokoginta pada malam 1 Oktober 1965.

Aksi pengganyangan komunis itu begitu gemilang seperti dinarasikan Orde Baru.
Setidaknya, ada yang menyebut jutaan orang terbunuh dalam pembantaian sekitar
1965-1966, termasuk di wilayah yang jadi wewenang Mokoginta.

Baca juga: Pembunuhan Massal 1965: Bermula dari Aceh, Diulangi selama DOM

Kritis pada Soeharto

Jabatan Panglima Koanda I diampu Mokoginta hingga 1967. Namun, jasa-jasanya


menumpas komunis di Sumatra Utara tampak kurang diakui. Dalam hal penumpasan
PKI, Mokoginta berperan seperti Sarwo Edhi Wibowo di Jawa Tengah. Jika Sarwo Edhi
sempat jadi panglima Kodam dan Gubernur Akabri, maka Mokoginta langsung di-
dubes-kan di Republik Persatuan Arab, Sudan, Libanon, dan Maroko dari 1967 hingga
1970.

Baca juga: Sarwo Edhie, "King Maker" yang Disingkirkan Soeharto

Secara usia, Mokoginta sudah terhitung senior di ABRI dan memilih berdinas di luar
struktur kemiliteran selepas jadi dubes. Setelah itu dia jadi Direktur PT Wahana
Samudra. Sebelumnya dia menjadi Direktur Utama PT Tri Usaha Bhakti. Seperti dicatat
Harsya bachtiar, dia dilantik di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) setelah bertugas
di Timur Tengah. Selain itu Mokoginta juga aktif di Lembaga Pembina Usahawan dan
Kadin pusat.

Mokoginta yang bersekolah lebih tinggi dari Soeharto, dan pastinya sama-sama dari
Angkatan 45, menjadi orang yang kritis terhadap penguasa Orde Baru itu. Dia aktif
dalam Forum Studi dan Komunikasi (Fosko) yang berisikan para perwira yang dianggap
kritis kepada rezim Soeharto.

Di zaman represi Soeharto sedang di puncaknya, Mokoginta termasuk pensiunan


jenderal yang “gila”, dia berani berseberangan dengan penguasa. Dia adalah salah satu
penandatangan Petisi 50 pada 5 Mei 1980. Tidak banyak orang seperti Mokoginta di
zaman Orde Baru. Sebab melawan pemerintah sama dengan cari penyakit dan bakal
sulit hidupnya. Tanggal 11 Januari 1984, tepat hari ini 36 tahun lalu, Mokoginta
mengembuskan napasnya yang terakhir.
Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Petrik
Matanasi
(tirto.id - Politik)

Penulis: Petrik Matanasi


Editor: Ivan Aulia Ahsan

Seperti kebanyakan bekas anggota Tentara Kerajaan di Hindia Belanda (KNIL) yang
belakangan jadi jenderal di TNI, Ahmad Yunus Mokoginta juga anti komunis. Contoh
lain jenderal macam itu adalah Gatot Subroto dan Abdul Haris Nasution

Dalam buku Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan politik Indonesia,
1926-1998 (2005), Audrey Kahin menyebut bahwa terkait penumpasan komunis di
Sumatra belahan utara, “orang tidak dapat melupakan peran yang dimainkan oleh
Panglima Komando Antar Daerah (Koanda) Sumatra di Medan, Mayor Jenderal Ahmad
Yunus Mokoginta” (hlm. 372).

Mokoginta sebelas-dua belas dengan orang-orang Masyumi di Sumatra yang benci luar
biasa kepada komunis—yang kala itu diwakili Partai Komunis Indonesia (PKI).

Mokoginta bukan orang Sumatra. Dia keturunan keluarga raja kecil di Kabupaten
Bolaang Mangondow, Sulawesi Utara. Sejak kecil Mokoginta sudah tinggal di Jawa
karena ikut ayahnya, Abraham Patra Mokoginta, yang berdinas di pulau itu sejak 1926.

Sekitar enam tahun setelahnya, seperti dicatat dalam Bapak Kepolisian Negara
Republik Indonesia: Jenderal Polisi R.S. Soekanto (2000), kakak perempuan Yunus
Mokoginta, Bua Hadidjah Lena Mokoginta alias Magdalena Mokoginta, dinikahi seorang
perwira polisi muda bernama Raden Said Soekanto pada 21 April 1932 (hlm. 12).
Belakangan Soekanto jadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia pertama.

Polisi Militer yang Brutal

Sedari muda, Ahmad Yunus Mokoginta dekat dengan dunia polisi. Dia pun sempat
sebentar jadi polisi umum setelah lulus AMS B Semarang—taraf pendidikan yang cukup
tinggi di zaman itu. Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI AD (1989: 212-
213) mencatat Mokoginta pernah ikut Politie School (Sekolah Polisi) di Jakarta.
Sementara Rosihan Anwar dalam Soebadio Sastrosatomo: Pengemban Misi
Politik (1995: 44) menyebut Mokoginta sebagai polisi yang kasar.

Waktu ada lowongan jadi calon perwira KNIL, Mokoginta ikut. Menurut Alex Kawilarang
dalam autobiografinya, A.E. Kawilarang: untuk Sang Merah Putih (1988) yang disusun
Ramadhan K.H., Mokoginta belajar di Akademi Militer Kerajaan di Bandung pada 1941
sebagai calon perwira infanteri. Dia tak pernah benar-benar jadi letnan KNIL karena
Jepang keburu menguasai Hindia Belanda (hlm. 57).
Setelah Indonesia merdeka, dia termasuk mantan KNIL yang bergabung dengan
Republik. Sebagai mantan calon perwira KNIL, dia dapat pangkat kapten. Harsya
Bachtiar menyebut dia pernah jadi sekretaris Kepala Staf Umum Markas Besar Tentara
Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo (1945); Kepala Staf Brigade Kian Santang di
Purwakarta (1946-1947); dan pada 1948, waktu Nasution menjabat Panglima Markas
Besar Komando Jawa, Mokoginta jadi Kepala Polisi Militer di Komando Jawa. Jabatan
kepala Polisi Militer sebelumnya pernah dijabat Gatot Subroto.

David Jenkins dalam Soeharto dan Barisan Jenderal Orba (2009: 123) menyebut,
“Mokoginta dikenal sebagai polisi militer yang keras, bahkan brutal.”

Nama Mokoginta tercatat di buku sejarah (untuk anak sekolah) sebagai letnan kolonel
CPM yang ditahan anak buah Andi Azis dalam pemberontakan serdadu KNIL di
Makassar pada 5 April 1950. Dia pernah ditunjuk sebentar sebagai Panglima Tentara &
Teritorium VII Wirabuana. Mokoginta adalah komandan Seskoad pertama. Setelah
lama di Kementerian Pertahanan, dia akhirnya diangkat menjadi Panglima Koanda I di
Sumatra sejak 1964. Dia lama mengisi posisi itu.

Baca juga: Buta Politik dan Diperalat, Andi Azis pun Memberontak

Memimpin Pembersihan PKI

Ketika meletus G30S, Mokoginta berada di Medan. Di sana dia biasa berkoordinasi
dengan para jenderal lain seperti Brigadir Jenderal Ishak Djuarsa (Panglima Kodam
I/Iskandar Muda) yang berwenang atas Aceh, Brigadir Jenderal Darjatmo (Panglima
Kodam II/Bukit Barisan) yang bertanggungjawab atas pulau Sumatra bagian tengah dan
digantikan Brigadir Jenderal Sobirin setelah Oktober 1965, dan Brigadir Jenderal
Makmun Murod (Panglima Kodam Sriwijaya) yang bertanggungjawab atas Sumatra
bagian selatan.

Di Sumatra Utara kala itu banyak sekali kaum buruh. Pada 1960-an mereka rentan
didekati PKI. Tak heran bahwa pembasmian komunis di daerah itu terbilang keras.
G30S terjadi di tengah-tengah giatnya kampanye Konfrontasi Dwikora Ganyang
Malaysia. Karena itu ada Komando Mandala Siaga (Kolaga) di sana. Mokoginta
menjadi Panglima Kolaga I di Sumatra.

Jess Melvin dalam The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass (2018)
menyebut pada 23 Maret 1965 di Medan Mokoginta mencanangkan Operasi
Singgalang dalam rangka melawan kaum komunis. Orang-orang sipil dilibatkan dalam
operasi itu.

“Mokoginta memberi dukungan kepada Pemuda Pancasila, suatu kelompok yang


dibentuk untuk menandingi Pemuda Rakyat yang didominasi PKI,” tulis Audrey Kahin
(2005: 375).
Jess Melvin juga menyebut dilibatkannya Pertahanan Sipil (Hansip) dalam
pengganyangan komunis di sana. Dalam tulisannya di media ini Melvin menyebut
Mokoginta, setelah gagalnya G30S itu, memberi komando bersiap dan tunggu perintah.

Kemudian diumumkan lewat radio agar seluruh perintah daripada Panglima Komando
Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Mayor Jenderal Soeharto dipatuhi.
“Segenap anggota Angkatan Bersendjata untuk setjara tegas/tandas, menumpas
contra-revolusi ini dan segala bentuk penchianatan2 dan sematjamnja sampai
keakar2nja,” titah Mokoginta pada malam 1 Oktober 1965.

Aksi pengganyangan komunis itu begitu gemilang seperti dinarasikan Orde Baru.
Setidaknya, ada yang menyebut jutaan orang terbunuh dalam pembantaian sekitar
1965-1966, termasuk di wilayah yang jadi wewenang Mokoginta.

Baca juga: Pembunuhan Massal 1965: Bermula dari Aceh, Diulangi selama DOM

Kritis pada Soeharto

Jabatan Panglima Koanda I diampu Mokoginta hingga 1967. Namun, jasa-jasanya


menumpas komunis di Sumatra Utara tampak kurang diakui. Dalam hal penumpasan
PKI, Mokoginta berperan seperti Sarwo Edhi Wibowo di Jawa Tengah. Jika Sarwo Edhi
sempat jadi panglima Kodam dan Gubernur Akabri, maka Mokoginta langsung di-
dubes-kan di Republik Persatuan Arab, Sudan, Libanon, dan Maroko dari 1967 hingga
1970.

Baca juga: Sarwo Edhie, "King Maker" yang Disingkirkan Soeharto

Secara usia, Mokoginta sudah terhitung senior di ABRI dan memilih berdinas di luar
struktur kemiliteran selepas jadi dubes. Setelah itu dia jadi Direktur PT Wahana
Samudra. Sebelumnya dia menjadi Direktur Utama PT Tri Usaha Bhakti. Seperti dicatat
Harsya bachtiar, dia dilantik di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) setelah bertugas
di Timur Tengah. Selain itu Mokoginta juga aktif di Lembaga Pembina Usahawan dan
Kadin pusat.

Mokoginta yang bersekolah lebih tinggi dari Soeharto, dan pastinya sama-sama dari
Angkatan 45, menjadi orang yang kritis terhadap penguasa Orde Baru itu. Dia aktif
dalam Forum Studi dan Komunikasi (Fosko) yang berisikan para perwira yang dianggap
kritis kepada rezim Soeharto.

Di zaman represi Soeharto sedang di puncaknya, Mokoginta termasuk pensiunan


jenderal yang “gila”, dia berani berseberangan dengan penguasa. Dia adalah salah satu
penandatangan Petisi 50 pada 5 Mei 1980. Tidak banyak orang seperti Mokoginta di
zaman Orde Baru. Sebab melawan pemerintah sama dengan cari penyakit dan bakal
sulit hidupnya. Tanggal 11 Januari 1984, tepat hari ini 36 tahun lalu, Mokoginta
mengembuskan napasnya yang terakhir.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Petrik
Matanasi
(tirto.id - Politik)

Penulis: Petrik Matanasi


Editor: Ivan Aulia Ahsan

Anda mungkin juga menyukai