Anda di halaman 1dari 3

Indonesia bukan negara penanam gandum.

Namun, pertumbuhan konsumsi makanan


yang terbuat dari gandum di negara ini cukup tinggi. Awalnya, orang-orang Belanda dan
Eropa lainnya yang mukim di Indonesia terbiasa makan roti. Lalu makanan yang berupa
mie instan digemari juga oleh masyarakat Indonesia.

Sejak zaman kolonial, angka impor tepung gandum di Indonesia cukup besar. Bahkan
ketika era revolusi dan setelah pengakuan kedaulatan, impor tepung gandum tetap
tinggi. Menurut catatan Kolonel Raden Mas Gonnie Soegondo dalam Ilmu Bumi Militer
Indonesia-Volume 1 (1954:168), impor tepung gandum pada 1948 sebesar 63.223 ton;
tahun 1949 sebanyak 68.617 ton; tahun tahun 1950 sebesar 53.979 ton; dan tahun
1951 mencapai 126.231 ton.

Setelah tahun-tahun tersebut, impor tepung gandum terus berlanjut. Sampai suatu hari
beberapa pengusaha Indonesia berinisiatif untuk membangun penggilingan gandum di
dalam negeri. Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim
Group: Pilar Bisnis Soeharto (2016:173) mencatat bahwa ide tersebut mulanya berasal
dari Liem Poo Hien alias Jantje Liem alias Yani Haryanto. Namun, namanya kemudian
tidak pernah disebut sebagai inisiator.

Versi lain tentang pendirian pabrik penggilingan gandum itu adalah berasal dari Geng
Empat Serangkai, Liem Sioe Liong, Djohar Sutanto, Ibrahim Risjad dan Sudwikatmono.
Mereka mengajukan proposal kepada pemerintah dan disetujui.

Versi lain lagi adalah ide ini berasal dari pembicaraan konglomerat Robert Kuok dengan
Bustanil Arifin (tokoh yang kelak menjadi kepala Bulog dan menteri di era Orde Baru).
Konon, saat itu Robert Kuok berkata, “Pak Bustanil, mengapa [kita] tidak membangun
pabrik [penggilingan gandum] sendiri saja?”

Menurut Anthony Salim, putra Liem Sioe Liong, seperti dicatat Richard Borsuk dan
Nancy Chng (2016:173-174), tanpa Robert Kuok tak mungkin pabrik penggilingan
gandum itu menjadi milik Salim Group.

Sementara Bustanil Arifin berpendapat bahwa Liem Sioe Liong punya dua modal yang
kuat untuk merealisasikan pembangunan pabrik tersebut, yakni lahan di sepanjang
Teluk Jakarta dan kepercayaan dari Soeharto.

“Pada tahun 1970-an, Liem Sioe Liong datang pada saya dan minta saran tentang
usaha apa yang bisa dilakukannya,” kata Soeharto seperti dikutip koran Merdeka (
25/09/1995) dan termuat dalam buku Presiden ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto
dalam Berita Buku XVII 1995 (2008:399).

“Saya berikan petunjuk. Saya bilang, kamu jangan hanya dagang cari untung. Tapi
harus membangun industri yang dibutuhkan rakyat. Misalnya, pangan,” tambah
Soeharto.

Baca juga: Berkat Om Liem, Kita Semua jadi Pelahap Indomie


"Bukan Kolusi Saya dengan Oom Liem"

Perusahaan penggilingan gandum yang didirikan pada Mei 1969 itu diberi nama PT
Bogasari Flour Mill. Modal awalnya sebesar Rp 500 Juta. Mulanya, kapasitas
produksinya hanya 650 ton perhari, lalu pada 1990-an mencapai 9.500 ton perhari.
Mesin gilingnya didatangkan dari Jerman Barat, sementara gandumnya didatangkan
dari Australia.

Dalam Anggaran Dasar Bogasari tahun 1970, seperti dicatat Richard Robison
dalam Indonesia: The Rise of Capital (2009:323), disebutkan bahwa 26 persen
keuntungan Bogasari diserahkan kepada Yayasan Harapan Kita (dipimpin oleh Nyonya
Siti Hartinah Soeharto) dan Yayasan Dharma Putra (milik Kostrad yang pernah dipimpin
Soeharto).

Ketika baru didirikan, Bogasari mendapat pinjaman dana dari bank sebesar Rp 2,8
miliar. Jika Bogasari sebagai pabrik penggilingan gandum, maka Bulog bertindak
sebagai importir gandum dan distributor tepung terigu.

Bogasari resmi beroperasi sebagai pabrik penggilingan gandum pada 29 November


1971 yang berlokasi di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka meluncurkan tiga merek
produk perdana yaitu Cakra Kembar, Segitiga Biru, dan Kunci Biru. Setahun berikutnya,
pabrik Bogasari di Tanjung Perak, Surabaya berdiri. Demi kelancaran bisnis, pada 1977
didirikan pabrik kantong terigu yang berlokasi di Citeureup, Jawa Barat.

Baca juga: Liem Sioe Liong: Taipan Penting daripada Soeharto

Pada tahun 1980-an, Bogasari dianggap memonopoli bisnis tepung terigu di Indonesia.
Selain Bogasari, perusahaan lain yang didirikan oleh Liem Sioe Liong dan dianggap
melakukan monopoli adalah PT Indocement Tunggal Perkasa. Atas kejayaan usaha
Liem Sioe Liong itu Soeharto sempat berkata, “Itu bukan kolusi saya dengan Om Liem.”

Kolusi atau bukan, nyatanya adik sepupu daripada Soeharto, yakni Sudwikatmono
pernah memimpin Bogasari. “Dwi (Sudwikatmono) adalah wajah Cendana di dunia
bisnis,” tulis Richard Borsuk dan Nancy Chng (2016:103). Ia juga pernah memimpin
Indocement dan Indofood.

Industri tepung gandum Bogasari terkait erat dengan Indofood yang dikenal sebagai
salah satu produsen mie instan. Ketika terjadi kelangkaan beras pada tahun 1970-an,
seperti diungkapkan Piet Yap dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group: Pilar Bisnis
Soeharto (2016:301), pemerintah meminta Bogasari untuk mempromosikan terigu
sebagai pengganti beras. Produksi mie instan itu salah satunya untuk memasok bahan
pangan para PNS dan prajurit ABRI.

Kejayaan Salim Group dalam bisnis tepung terigu dan olahan gandum lainnya membuat
menu makanan orang Indonesia tidak lagi sekadar nasi. Konsumsi mie instan dan roti
yang terbuat dari tepung terigu semakin meningkat. Dan impor gandum terus berjalan.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Petrik
Matanasi
(tirto.id - Ekonomi)

Penulis: Petrik Matanasi


Editor: Irfan Teguh

Anda mungkin juga menyukai