Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH

ASKEP KEPERAWATAN TRAUMA MEDULLA SPINALIS

Oleh :

Kelompok 3

Dosen pembimbing :

Ns. Dian Anggraini M.kep, Sp.KMB

Nindy Oktaviani

Rahayu Agustina

Selly Oktaviani

Shindy Dewinda

Vani Oktavia

Wegi Julia Putri

D III KEPERAWATAN

STIKES YARSI SUMBAR BUKITTINGGI

2018/1019

1
KATA PENGANTAR

Puji Syukur hanya milik Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
kasih sayang Nya dan meluangkan waktu kepada kami untuk menyelesaikan
makalah Studi KMB II yang berjudul “Study Casetrauma Medulla Spinalis Dan
Shock Spinal.”

Makalah tentang Study Casetrauma Medulla Spinalis Dan Shock Spinal ini
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah KMB II. Penulisan
makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi lebih jauh tentang Study
Casetrauma Medulla Spinalis Dan Shock Spinal.

Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Hal itu dikarenakan keterbatasan kemampuan dan pengetahuan kami. Oleh karena
itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
para pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Akhir kata, kami memohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini
terdapat banyak kesalahan.

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Tujuan

1.3 Manfaat

BAB II TINJAUAN TEORITIS

2.1 Anatomi dan Fisiologis Medulla Spinalis


2.2 Trauma Medulla Spinalis

2.2.1 Definisi Trauma Medulla Spinalis


2.2.2 Klasifikasi Trauma Medulla Spinalis
2.2.3 Etiologi Trauma Medulla Spinalis
2.2.4 Patofisiologi Trauma Medulla Spinalis
2.2.5 Manifestasi Klinis Trauma Medulla Spinalis
2.2.6 Pemeriksaan Diagnostik Trauma Medulla Spinalis
2.2.7 Penatalaksanaan Trauma Medulla Spinalis
2.2.8 Komplikasi Medulla Spinalis
2.2.9 Prognosis Trauma Medulla Spinalis
2.2.10 Pencegahan Trauma Medulla Spinalis
2.2.11 Askep teoritis

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB 1

3
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Semakin banyaknya angka kejadian kecelakaan lalu lintas maka trauma


medulla spinalis kerap terjadi.Trauma medulla spinalis adalah trauma seringkali
mengenai daerah L1-L2 dan/atau di bawahnya, trauma ini mengakibatkan
kerusakan fungsi neurologis, hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta
kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.(Marilynn E. Doenges,1999;338).
Karena kondisi trauma pada medulla spinalis serta persyarafan akan mencetuskan
kejadian syok spinal, dimana syok spinal yaitu suatu keadaan kehilangan aktifitas
otonom, reflek motorik, dan sensorik pada daerah dibawah tingkat terjadinya
medulla spinalis (Kowalak, 2011).

Setiap tahun di Amerika Serikat sekitae 7.600 sampai 10.000 individu


mengalami trauma medulla spinalis. Pada tahun 2004 Cristopher & Dana Reeve
Foundation bekerjasama dengan Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) melakukan penelitian dimana hasilnya sekitar 0,4% dari populasi Amerika
serikat atau sekitar 1.275.000 orang mengalami paralisis dikarenakan oleh trauma
medulla spinalis. Hal ini menandakan bahwa sekunder syok spinal juga banyak
terjadi.

Kejadian trauma medulla spinalis lebih dominan terjadi pada pria usia muda
sekitar lebih dari 75% dari seluruh cedera. Pada usia sekitar 45 tahunlebih fraktur
banyak terjadi pada pria di bandingkan pada wanita karena olahraga, pekerjaan,
dan kecelakaan bermotor. Tetapiwanita juga sangat memungkinkan terkena
penyakit ini karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan dengan perubahan
hormonal (menopause) (Reevs, Charlene J.,1999). Sedangkan syok spinal terjadi
sekunder akibat kerusakan pada medula spinalis (Kowalak, 2011).Syok pada
medula spinalis adalah keadaan disorganisasi fungsi medula spinalis yang
fisiologis dan berlangsung untuk sementara waktu, keadaan ini timbul segera
setelah cedera dan berlangsung dari beberapa jam hingga beberapa minggu. Syok
spinal juga diketahui sebagai syok neurogenik adalah akibat dari kehilangan tonus
vasomotor yang mengakibatkan dilatasi vena dan arteriol umum. Syok ini

4
menimbulkan hipotensi, dengan penumpukan darah pada pembuluh penyimpan
atau penampung dan kapiler organ splanknik(Tambayong, 2000).

Klien yang mengalami trauma medulla spinalis membutuhkan perhatian lebih


diantaranya dalam pemenuhan kebutuhan ADL danmobilisasi. Begitu juga dengan
spinal shock dimana membutuhkan terapi fisik dan kolaborasi pembedahan. Maka
dari itu sebagai perawat merasa perlu untuk dapat membantu dalam memberikan
asuhan keperawatan pada klien dengan trauma medulla spinalis dan spinal syok
dengan cara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative.

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Mempelajari konsep teoritis dan asuhan keperawatan berdasarkan


study casetrauma medulla spinalis dan shock spinal.

1.2.2 Tujuan Khusus

1) Mengetahuianatomi fisiologi medulla spinal


2) Mengetahui definisitrauma medulla spinal dan shock spinal.
3) Mengetahui etiologi trauma medulla spinal dan shock spinal.
4) Mengetahui patofisiologi trauma medulla spinal dan shock spinal.
5) Mengetahui manfestasi klinis trauma medulla spinal dan shock
spinal.
6) Mengetahui pemeriksaan diagnostik pada klien dengan trauma
medulla spinal dan shock spinal.
7) Mengetahui penatalaksanaan pada klien dengan trauma medulla
spinal dan shock spinal.
8) Mengetahuikomplikasi pada klien dengan trauma medulla spinal
dan shock spinal.
9) Mengetahui prognosis pada klien dengan trauma medulla spinal
dan shock spinal.
10) Mengetahui asuhan keperawatan klien dengan trauma medulla
spinal dan shock spinal.

1.3 Manfaat

5
Memberikan pengetahuan tentang asuhan keperawatan trauma medulla spinal
dan shock spinal dengan menggunakan konsep dan study case.

6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologis Medulla Spinalis

Medula spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat, terletak didalam
canalis vertebralis dan merupakan lanjutan dari medulla oblongata danujung
caudalnya membentuk conus medullaris. Panjangnya pada pria sekitar 45cm
dan wanita 42-43 cm dengan garis tengah 2 cm (seukuran kelingking). Medula
spinalis terdiri atas 31 segmen jaringan saraf dan masing-masing memiliki
sepasang saraf yang keluar dari kanalis vertebralis melalui foramen intervetebra
(lubang pada tulang vertebra). Saraf-saraf spinal diberi nama sesuai dengan
foramen intervertebra, kecuali saraf servical pertama yang keluar di antara tulang
oksipital dan vertebra servikal pertama. Dengan demikian, terdapat 8 pasang saraf
servikal (dan hanya tujuh vertebra servikalis), 12 pasang saraf torakalis, 5 pasang
saraf lumbalis, 5 pasang saraf sakralis, dan 1 pasang saraf koksigis (Akhyar,
2009). Segmen upper cervical & thoracal berbentuk silindris dan segmen lower
cervical dan lumbal berbentuk oval. Berawal dari dasar otak(atlas/V.C1), berakhir
setinggi L1-L2 (conus medullaris), ke bawah melanjutkandiri sebagai fillum
terminale. Di bawah Conus medullaris terbentuk anyaman akarsaraf (saraf tepi)
menyerupai ekor kuda (cauda equina).Saraf Spinal dilindungi oleh tulang
vertebra, ligamen juga oleh meningen spinal dan CSF (Muttaqin, 2008).

7
Pada potongan melintang medulla spinalis terdapat substansia grisea atau gray
matter (abu-abu) dan substansi alba atau white matter (putih). Bagian central
membentuk huruf H (Gray Matter) dan dikelilingi oleh white matter.
2 bagian medulla spinalis dipisahkan oleh septum medianus (dorsal/posterior) dan
fissura medianus (ventral/anterior). Sulcus dorsolateral (posterior) adalah pintu
masuk akar saraf posterior (sensorik) dan sulcus ventrolateral (anterolateral)
adalah pintu keluar akar saraf ventral (motorik). 3 area white matter: funikulus
posterior, funikulus lateralis, funikulus anterio.
a. Substansia grisea (gray matter)
1) Cornu Anterior (anterior horn cell/ AHC) berisi akar saraf motorik.
2) Cornu Intermediolateral terbatas pada regio thoracal dan upper lumbal.
3) Cornu Posterior (posterior horn cell/ PHC) berisi akar saraf sensorik
4) Canalis Centralis terletak di tengah substansia abu-abu,membagi
medulla spinalis menjadi 2 daerah commisura grisea anterior &
posterior
b. Substansia alba (white matter)
1) Berisi serabut-serabut sensorik, motorik dan otonom
2) Terdiri dari tiga area funikulus, yaitu
a) Anterior (berisi fasikulus descending/motorik)
b) Lateral (berisi fasikulus decsending & ascending)
c) Posterior (berisi fasikulus ascending/sensorik)
3) Tiap funikulus terdiri dari satu atau lebih traktus ataufunikulus

Medulla spinalis melewati dua traktus dengan fungsi tertentu, yaitu traktus
desenden dan asenden. Traktus desenden berfungsi membawa sensasi yang
bersifat perintah yang akan berlanjut ke perifer. Sedangkan traktus asenden secara
umum berfungsi untuk mengantarkan informasi aferen yang dapat atau tidak dapat
mencapai kesadaran. Informasi ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu (1)
informasi eksteroseptif, yang berasal dari luar tubuh, seperti rasa nyeri, suhu, dan
raba, dan (2) informasi proprioseptif, yang berasal dari dalam tubuh, misalnya otot
dan sendi (Akhyar, 2009)
Menurut Mahadewa & Maliawan (2009) medula spinalis diperdarahi oleh
2 susunan arteria yang mempunyai hubungan istimewa. Arteri - arteri spinal
terdiri dari arteri spinalis anterior dan posterior serta arteri radikularis.
a. Arteri spinalis anterior dibentuk oleh cabang kanan dan dari segmen
intrakranial kedua arteri vertebralis.

8
b. Arteri spinalis posterior kanan dan kiri juga berasal dari kedua arteri
vertebralis.
c. Arteria radikularis dibedakan menjadi arteria radikularis posterior dan
anterior.

Beberapa fungsi dari masing-masing sistem saraf adalah sebagai berikut:

Fungsi Otot Saraf


I. Pleksus servikalis C1 – C4
Fleksi, ekstensi, rotasi, Mm. koli profundi (M. Saraf servikalis
dan eksorotasi leher sternokleidomastoideus, M. C1-C4
trapezius)
Pengangkatan dada atas, Mm. Skaleni C3-C5
inspirasi
Inspirasi Diafragma Saraf frenikus
C3–C5
II. Pleksus brakhialis C5-T1
Aduksi dan endorotasi M. pektoralis mayor dan Saraf torakalis
lengan, minor anterior
Menurunkan bahu ke C5-T1
dorsoventral
Fiksasi skapula selama M. seratus anterior Saraf torakalis longus
mengangkat lengan C5-C7
Elevasi dan aduksi M. levator skapula, Saraf skapularis
skapula ke arah Mm. Rhomboidei dorsal
kolumna spinalis C4-C5
Mengangkat dan M. supraspinatus Saraf supraskapularis
eksorotasi lengan C4-C6

Eksorotasi lengan pada M. infraspinatus C4-C6


sendi bahu
Endorotasi sendi bahu; M. latissimus dorsi, Saraf torakalis dorsal
aduksi dari ventral ke M. teres major, C5-C8
dorsal; M. subskapularis (dari daerah dorsal
menurunkan lengan pleksus)

9
yang terangkat
Abduksi lengan ke garis M. deltoideus Saraf aksilaris
horizontal C5-C6

Eksorotasi lengan M. teres minor C4-C5


Fleksi lengan atas dan M. biseps brakhii Saraf
bawah dan supinasi muskulokutaneus
lengan bawah C5-C6
M. korakobrakhialis
Elevasi dan aduksi C5-C7
lengan M. brakhialis
C5-C6
Fleksi lengan bawah
Fleksi dan deviasi radial M. fleksor karpi radialis Saraf medianus
tangan C5-C6

Pronasi lengan bawah M. pronator teres C5-C6

Fleksi tangan M. palmaris longus C7-T1

Fleksi jari II-V pada M. fleksor digitorum C7-T1


falangs tengah superfisialis

Fleksi falangs distal ibu M. fleksor polisis longus C6-C8


jari tangan

Fleksi falangs distal jari M. fleksor digitorum C7-T1


II dan III tangan profundus (radial)
Abduksi metakarpal I M. abduktor polisis brevis C7-T1

Fleksi falangs proksimal M. fleksor polisis brevis C7-T1


ibu jari tangan

10
Oposisi metakarpal I M. oponens polisis brevis C6-C7
Fleksi falangs proksimal Mm. lumbrikalis Saraf medianus
dan ekstensi sendi lain Jari II dan III tangan C8-T1

Fleksi falangs proksimal Jari IV dan V tangan Saraf ulnaris


dan ekstensi sendi lain C8-T1
Fleksi dan M. fleksor karpi ulnaris Saraf ulnaris
pembengkokan ke arah C7-T1
ulnar jari tangan
M. fleksor digitorum C7-T1
Fleksi falangs proksimal profundus (ulnar)
jari tangan IV dan V
M. aduktor polisis C8-T1
Aduksi metakarpal I
M. abduktus digiti V C8-T1
Abduksi jari tangan V
M. oponens digiti V C7-T1
Oposisi jari tangan V
M. fleksor digiti brevis V Saraf ulnaris
Fleksi jari V pada sendi C7-T1
metakarpofalangeal
Mm. interosei palmaris dan C8-T1
Pembengkokan falangs dorsalis
proksimal, meregangkan Mm. lumbrikalis III dan IV
jari tangan III, IV, dan V
pada sendi tangan dan
distal seperti juga
gerakan membuka dan
menutup jari-jari

11
Ekstensi siku M. biseps brakhii dan M. Saraf radialis
ankoneus C6-C8

Fleksi siku M. brakhioradialis C5-C6

Ekstensi siku dan M. ekstensor karpi radialis C6-C8


abduksi radial tangan

Ekstensi falangs M. ekstensor digitorum C6-C8


proksimal jari II-IV

Ekstensi falangs M. ekstensor digiti V C6-C8


proksimal jari V

Ekstensi dan deviasi ke M. ekstensor karpi ulnaris C6-C8


arah ulnar dari tangan

Supinasi lengan bawah M. supinator C5-C7

Abduksi metakarpal I: M. abduktor polisis longus C6-C7


ekstensi radial dari
tangan
M. ekstensor polisis brevis C7-C8
Ekstensi ibu jari tangan
pada falangs proksimal
M. ekstensor polisis longus C7-C8
Ekstensi falangs distal
ibu jari M. ekstensor indisis proprius C6-C8

Ekstensi falangs
proksimal jari II
Elevasi iga; ekspirasi; Mm. toracis dan abdominalis N. toracis
kompresi abdomen; T1-L1

12
anterofleksi dan
laterofleksi tubuh.
III.Pleksus lumbalis T12-L4
Fleksi dan endorotasi M. iliopsoas Saraf femoralis
pinggul L1-L3

M. sartorius L2-L3
Fleksi dan endorotasi
tungkai bawah
M. quadriseps femoris L2-L4
Ekstensi tungkai bawah
pada tungkai lutut
Aduksi paha M. pektineus Saraf obturatorius
M. aduktor longus L2-L3
M. aduktor brevis L2-L3
M. aduktor magnus L2-L4
M. grasilis L3-L4
L2-L4
Aduksi dan eksorotasi M. obturator eksternus L3-L4
paha
IV. Pleksus sakralis L5-S1
Abduksi dan endorotasi M. gluteus medius dan Saraf glutealis
paha minimus superior
L4-S1
M. tensor fasia lata
Fleksi tungkai atas pada L4-L5
pinggul; abduksi dan
endorotasi
M. piriformis
Eksorotasi paha dan L5-S1
abduksi

13
Ekstensi paha pada M. gluteus maksimus Saraf glutealis
pinggul, M. obturator internus inferior
Eksorotasi paha Mm. gemeli L4-S2
M. quadratus L5-S1

L4-S1
Fleksi tungkai bawah M. biseps femoris Saraf skiatikus
M. semitendinosus L4-S2
M. semimembranosus L4-S1
L4-S1
Dorsifleksi dan supinasi M. tibialis anterior Saraf peronealis
kaki profunda
M. ekstensor digitorum L4-L5
Ekstensi kaki dan jari-jari longus L4-S1
kaki
M. ekstensor digitorum L4-S1
Ekstensi jari kaki II-V brevis
L4-S1
Ekstensi ibu jari kaki M. ekstensor halusis
longus L4-S1
Ekstensi ibu jari kaki
M. ekstensor halusis brevis
Pengangkatan dan pronasi Mm. Peronei Saraf peronealis
bagian luar kaki superfisialis
L5-S1
Fleksi plantar dan kaki M. gastroknemius Saraf tibialis
dalam supinasi, M. triseps surae L5-S2
Supinasi dan fleksi plantar M. soleus
dari kaki M. tibialis posterior
L4-L5
Fleksi falangs distal jari M. fleksor digitorum L5-S2
kaki II-V (plantar fleksi longus
kaki dalam supinasi)

14
Fleksi falangs distal ibu L5-S2
jari kaki M. fleksor halusis longus

Fleksi jari kaki II-V pada S1-S3


falangs tengah M. fleksor digitorum
brevis
Melebarkan, menutup, dan S1-S3
fleksi falangs proksimal
jari-jari kaki Mm. plantaris pedis
Menutup sfingter kandung Otot-otot perinealis dan Saraf pudendalis
kemih dan rectum sfingter S2-S4

2.2 Trauma Medulla Spinalis


2.2.1 Definisi Trauma Medulla Spinalis

Trauma medula spinalis merupakan keadaan patologi akut pada medula


spinalis yang di akibatkan terputusnya komunikasi sensori dan motorik
dengan susunan saraf pusat dan saraf parifer. Tingkat kerusakan pada medula
spinalis tergantung dari keadaan atau inkomplet (Tarwato, 2007).
Trauma medulla spinalis merupakan kerusakan pada medulla spinalis yang
disebabkan oleh trauma langsung atau tidak langsung pada medulla spinalis.
Gangguan-gangguan yang terjadi akibat trauma medulla spinalis berupa
gangguan fungsi-fungsi utama dari medulla spinalis, yaitu fungsi motorik,
sensorik, autonom, dan reflek. Gangguan fungsi-fungsi utama medulla
spinalis dapat terjadi komplet atau parsial (Jasajurnal, 2017).
Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan oleh benturan pada daerah medula spinalis (Brunner &
Suddaerth, 2008). Trauma medula spinalis dapat bervariasi dari trauma
ekstensi fiksasi ringan yang terjadi akibat benturan secara mendadak sampai
yang menyebabkan transeksi lengkap dari medula spinalis dengan
quadriplegia (Fransiska B. Batticaca, 2008).
Pada trauma medula spinalis timbul perlukaan pada sumsum tulang
belakang yang mengakibatkan perubahan, baik sementara atau permanen,
perubahan fungsi motorik, sensorik, atau otonom. Pasien dengan cedera

15
tulang belakang biasanya memiliki defisit neurologis permanen dan sering
mengalami kecacatan (Lawrence, 2014).
Trauma medula spinalis bisa meliputi fraktur, kontusio, dan kompresi
kolumna vertebra yang biasa terjadi karena trauma pada kepala atau leher.
Kerusakan dapat mengenai seluruh medula spinalis atau terbatas pada salah
satu belahan dan bisa terjadi pada setiap level (Kowalak, 2011).

Jadi, trauma medulla spinalis adalah kerusakan fungsi neurologis akibat


trauma langsung atau tidak langsung pada medulla spinalis sehingga
mengakibatkan gangguan fungsi sensorik, motorik, autonomi dan reflek.

2.2.2 Klasifikasi Trauma Medulla Spinalis


Menurut Batticaca (2008) trauma medula spinalis dapat diklasifikasi
menjadi 2 macam, yaitu:

1. Cedera tulang
a. Stabil, bila kemapuan fragmen tulang tidak mempengaruhi kemapuan
tulang untuk bergeser lebih jauh selain yang terjadi saat cedera.
Komponen arkus neural intak serta ligamen yang menghubungkan ruas
tulang belakang, terutama ligamen longitudinal posterior tidak robek.
b. Tidak Stabil, kondisi trauma menyebabkan adanya pergeseran tulang
yang terlalu jauh sehingga cukup mapu untuk merobek ligamen
longitudinal posterior serta merusak keutuhan arkus neural.
2. Cedera neurologis
a. Tanpa defisit neurologis
b. Disertai defisit neurologis

American Spinal Injury Association (ASIA) bekerjasama dengan


Internasional Medical Society Of Paraplegia (IMSOP) telah
mengembangkan dan mempublikasikan standart Internasional untuk
klasifikasi fungsional dan neurologis cedera medula spinalis. Klasifikasi
berdasarkan pada Frankel pada tahun 1969. Klasifikasi ASIA/IMSOP dipakai
dibanyak negara karena sistem tersebut dipandang akurat dan komperhensif.
Skala kerusakan menurut ASIA/IMSOP adalah sebagai berikut:

16
1. FRANKEL SCORE A: kehilangan fungsi motorik dan sensorik lengkap
(complete loss).
2. FRANKEL SCORE B: fungsi motorik hilang, fungsi sensorik utuh.
3. FRANKEL SCORE C: fungsi motorik ada tetapi secara praktis tidak
berguna (dapat menggerakkan tungkai tetapi tidak dapat berjalan).
4. FRANKEL SCORE D: fungsi motorik terganggu (dapat berjalan tetapi
tidak dengan nomal "gait").
5. FRANKEL SCORE E: tidak terdapat gangguan neurologik.

Cedera umum medula spinalis dapat dibagi menjadi komplit dan Inkomplit
berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan dibawah lesi. Terdapat 5
sindrom utama cedera medula spinalis inkomplit menurut American Spinal
Cord Injury Association yaitu:
Nama Pola dari Lesi saraf Kerusakan
Sindroma

Central Cord Cedera pada posisi central dan Menyebar ke daerah sacral.
syndrome sebagian daerah lateral.
Kelemahan otot ekstremitas
Sering terjadi pada trauma atas lebih berat dari
daerah servikal ekstermitas bawah.

Anterior Cord Cedera pada sisi anterior dan Kehilangan perioperatif dan
Syndrome posterior dari medula spinalis. kehilangan fungsi motorik
secara ipsilateral
Cedera akan menghasilkan
gangguan medula spinalis
unilateral

Brown Sequard Kerusakan pada anterior dari Kehilangan fungsi motorik dan
Syndrome daerah putih dan abu-abu sensorik secara komplit.
medula spinalis.

Cauda Equina Kerusakan pada posterior dari Kerusakan proprioseptif


Syndrome daerah putih dan abu-abu diskriminasi dan getaran.
medula spinalis
Fungsi motorik juga terganggu

17
Posterior Cord Kerusakan pada saraf lumbal Kerusakan sensori dan lumpuh
Syndrome atau sacral sampai ujung flaccid pada ekstremitas bawah
medulla spinalis dan kontrol berkemih dan
defekasi

Cedera medulla spinalis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:


1. Complete injury
Complete injury atau cedera penuh mengakibatkan hilangnya fungsi
sensorik dan motorik secara total dibawah level cedera. Terlepas dari
mekanisme cedera, jenis cedera secara penuh ini bisa berupa diseksi atau
robekan lengkap pada sumsum tulang belakang yang menghasilkan dua
kondisi:
a. Tetraplegia
Cedera terjadi pada level C1 sampai dengan T1. Fungsi otot residual
tergantung pada segmen servikal yang terpengaruh.
b. Paraplegia
Dikatakan paraplegia apabila terdapat kerusakan ataupun hilangnya
fungsi sensorik dan motoric pada segmen thorakal, lumbar ataupun
sacral (Kirshblum dkk, 2011).

Gambar. Klasifikasi Trauma Medula Spinalis

18
2. Incomplete injury
Apabila masih terdapat fungsi sensorik dan motorik yang masih dalam
keadaan baik dibawah tingkat neurologis, termasuk pada segmen sacral
S4-S5 (Kirshblum dkk, 2011).

Pola karakteristik cedera neurologis tertentu sering ditemukan pada


pasien dengan cedera medulla spinalis. Pola-pola ini harus dikenali
sehingga tidak membingungkan pemeriksa. Berdasarkan sindrom medulla
spinalis, trauma medulla spinalis dikelompokkan sebagai berikut:

a. Complete transaction
Kondisi ini menyebabkan semua traktus di medulla spinalis terputus
menyebabkan semua fungsi yang melibatkan medulla spinalis di
bawah level terjadinya transection semua terganggu dan terjadi
kerusakan permanen.
Secara klinis menyebabkan kehilangan kemampuan motorik berupa
tetraplegia pada transeksi cervical dan paraplegia jika terjadi pada
level thorakal. Terjadi flaksid otot, hilangnya refleks dan fungsi
sensoris dibawah level trabsseksi. Kandung kemih dan susu atoni
sehingga menyebabkan ileus paralitik. Kehilangan tonus vasomotor
area tubuh dibawah lesi menyebabkan tekanan darah rendah dan tidak
stabil. Kehilangan kemampuan perspirasi menyebabkan kulit kering
dan pucat, juga terjadi gangguan pernapasan.

19
Gambar Complete Transection

Gambar. Paraplegia pada thoracal spinal transection; tetraplegia pada cervical


spinaltranscetio

20
b. Incomplete transaction : Central cord syndrome

Sindrom ini ditandai dengan hilangnya kekuatan motorik lebih banyak pada
ekstremitas atas dibandingkan dengan ekstremitas bawah, dengan kehilangan
sensorik yang bervariasi. Biasanya sindrom ini terjadi setelah adanya trauma
hiperekstensi pada pasien yang telah mengalami kanalis stenosis servikal
sebelumnya. Dari anamnesis didapatkanadanya riwayat jatuh kedepan dengan
dampak pada daerah wajah. Dapat terjadi dengan atau tanpa fraktur tulang
servikal atau dislokasi.

Gambar. Central cord syndrome.

Gambaran khas Central Cord Syndrome adalah kelemahan yang lebih


prominen pada ekstremitas atas dibanding ektremitas bawah. Pemulihan
fungsi ekstremitas bawah biasanya lebih cepat, sementara pada ekstremitas

21
atas (terutama tangan dan jari) sangat sering dijumpai disabilitas neurologic
permanen. Hal ini terutama disebabkan karena pusat cedera paling sering
adalah setinggi VC4-VC5 dengan kerusakan paling hebat di medulla spinalis
C6 dengan lesi LMN.

c. Incomplete transection : Anterior Cord Syndrome


Sindrom ini ditandai dengan paraplegi dan kehilangan sensorik disosiasi dengan
hilangnya sensasi nyeri dan suhu. Fungsi kolumna posterior (posisi, vibrasi, dan
tekanan dalam) tetap bertahan. Biasanya anterior cord syndrome disebabkan infark
pada daerah medulla spinalis yang diperdarahi oleh arteri spinalis anterior.
Prognosis sindrom ini paling buruk dibandingkan cedera inklomplit lainnya.
Kehilangan sensasi nyeri dan suhu pada level dibawah lesi tetapi sensoris terhadap
raba, tekanan, posisi, dan getaran tetap baik

Gambar. Central cord syndrome.

22
d. Brown Sequard Syndrome
Sindrome ini terjadi akibat hemiseksi medulla spinalis, biasanya akibat luka tembus.
Namun variasi gambaran klasik tidak jarang terjadi. Pada kasus murni, sindrom ini
terdiri dari kehilangan sistem motorik ipsilateral (traktus kortikospinalis) dan hilangnya
sensasi posisi (kolumna posterior), disertai dengan hilangnya sensasi suhu serta nyeri
kontralateral mulai satu atau dua level di bawah level trauma (traktus spinothalamikus).
Walaupun sindrom ini disebabkan trauma tembus langsung ke medulla spinalis,
biasanya masih mungkin untuk terjadi perbaikan.
Kondisi ini terjadi parese ipsilateral di bawah level lesi disertai kehilangan fungsi
sensoris sentuhan, tekanan, getaran dan posisi. Terjadi gangguan kehilangan sensoris
nyeri dan suhu kontralatetal.

Gambar. Brown sequard syndrome.

23
2.2.3 Etiologi Trauma Medulla Spinalis
Trauma Medula Spinalis bisa disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya
adalah akibat trauma langsung yang mengenai tulang belakang dan melampaui
batas kemampuan tulang belakang dala melindungi saraf-saraf yang ada di
dalamnya. Trauma tersebut meliputi kecelakaan lalu lintas, kecelakaan industri,
jatuh dari bangunan, pohon, luka tusuk, luka tembak dan terbentur benda keras
(Muttaqin, 2008).
Trauma Medula Spinalis dibedakan menjadi 2 macam:
1. Cedera medula spinalis traumatik
Terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti yang diakibatkan oleh
kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak medula
spinalis. Cedera medula spinalis traumatic ditandai sebagai lesi traumatik
pada medula spinalis dengan beragam defisit motorik dan sensorik atau
paralisis.
2. Cedera medula spinalis non traumatik
Terjadi ketika kondisi kesehatan seperti penyakit, infeksi atau tumor
mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau kerusakan yang terjadi
pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal.
Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup penyakit
motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan inflamatori,
penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan metabolik dan
gangguan kongenital dan perkembangan.

Sedangkan menurut Baticaca, 2008 penyebab terjadinya trauma medula


spinalis adalah sebagai berikut:
1. Kecelakaan di jalan raya (penyebab paling sering)
2. Olahraga
3. Menyelam pada air dangkal
4. Luka tembak atau luka tikam

24
Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medula spinalis seperti
spondiliosis servikal dengan mielopati, yang menghasilkan saluran sempit yang
mengakibatkan cedera progresif terhadap medula spinalis dan akar; mielitis
akibat inflamasi infeksi maupun non-infeksi; osteoporosis yang disebabkan oleh
fraktur kompresi pada vertebra; siringmielia; tumor infiltrasi maupun kompresi;
dan penyakit vaskuler.

Faktor Resiko Trauma Medula Spinalis


Menurut Aryani (2008) dan Tarwoto (2007) faktor resiko yang menyebabkan
terjadinya trauma medula spinalis adalah sebagai berikut:
1. Faktor Usia
Usia yang sudah memasuki masa lansia atau di atas 60 tahun akan cenderung
mengalami proses penuaan, sehingga fungsi tulangnya juga menurun, hal ini
dapat mengakibatkan trauma patologis pada medula spinalis.
2. Jenis Kelamin
Laki-laki lebih cenderung banyak yang terkena trauma medula spinalis
karena faktor pekerjaan dan gaya hidup.
3. Alkohol
Alkohol dapat mengurangi kepadatan tulang dan mengakibatkan peningkatan
fraktur, atau gangguan tulang lainnya yang akhirnya menyebabkan tulang
belakang rentang terhadap trauma pada medula spinalis.
4. Merokok
Pada orang yang merokok proses pengeropoasan tulang tulang lebih cepat,
dan tingkat fraktur vertebra pinggul dan lebih tinggi, di antara orang-orang
yang merokok. Tembakau, nikotin, dan bahan kimia lain yang ditemukan
dalam rokok mungkin langsung beracun ke tulang, atau mereka menghalangi
penyerapan kalsium dan lain gizi yang diperlukan untuk kesehatan tulang.
Sehingga tulang belakang juga sangat rentan terkena penyakit dan mudah
terjadi trauma ketika mendapat benturan atau kecelakaan.

25
5. Minum Obat saat Berkendara
Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama cedera tulang
belakang untuk orang dewasa, sementara jatuh adalah penyebab paling tinggi
cedera pada orang dewasa yang sudah tua. Dengan meminum obat obatan
dengan efek samping mengantuk, maka kesadaran seseorang akan menurun
dan akan mengganggu konsentrasi dalam berkendara.
6. Penyakit Osteomyelitis dan Spondilitis TB
Pada penyakit osteomielitis dan spondilitis TB bisa terjadi komplikasi fraktur
patologis. Hal ini terjadi pada keadaan osteomielitis vertebra yang akan
menyebabkan kolaps vertebra dan kompresi medula spinalis. Keadaan ini
dapat menyebabkan terjadinya cedera pada tulang belakang.

2.2.4 Patofisiologi Trauma Medulla Spinalis


Kerusakan yang dialami medula spinalis dapat bersifat sementara atau
menetap akibat trauma terhadap tulang belakang. Medula spinalis dapat tidak
berfungsi untuk sementara (komosio medula spinalis), tetapi dapat sembuh
kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa edema,
perdarahan perivaskuler dan infark di sekitar pembuluh darah. Pada kerusakan
medula spinalis yang menetap, secara makroskopis, kelainannya dapat terlihat
dan terjadi lesi, kontusio, laserasi dan pembengkakan daerah tertentu di medula
spinalis.
Segera setelah terjadi kontusio atau robekan akibat cedera, serabut-serabut
saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke substansi grisea medulla
spinalis menjadi terganggu. Tidak hanya hal ini saja yang terjadi pada cedera
pembuluh darah medula spinalis, tetapi proses patogenik dianggap menyebabkan
kerusakan yang terjadi pada cedera medula spinalis akut. Suatu rantai sekunder
kejadian-kejadian yang menimbulkan iskemia, hipoksia, edema, dan lesi-lesi
hemoragi, yang pada gilirannya mengakibatkan kerusakan mielin dan akson.
Reaksi sekunder ini, diyakini menjadi penyebab prinsip degenerasi medula
spinalis pada tingkat cedera, sekarang dianggap reversibel 4 sampai 6 jam

26
setelah cedera. Untuk itu jika kerusakan medula tidak dapat diperbaiki, maka
beberapa metode mengawali pengobatan dengan menggunakan kortikosteroid
dan obat-obat anti-inflamasi lainnya yang dibutuhkan untuk mencegah kerusakan
sebagian dari perkembangannya,masuk kedalam kerusakan total dan menetap.

2.2.5 Manifestasi Klinis Trauma Medulla Spinalis


Menurut Towarto (2007) tanda dan gejala dari cedera medulla spinalis, yaitu:
1. Tergantung tingkat dan lokasi kerusakan
Hilangnya gerakan volunter, hilangnya sensasi nyeri, temperature, tekanan dan
prospriosepsi, hilangnya fungsi bowel dan bladder dan hilangnya fungsi spinal dan
reflex autonom. Batas cedera medulla spinalis, tanda dan gejala :
Tabel Manifestasi klinis sesaui radiks yang mengalami gangguan
Level Fungsi Refleks Fungsi Fungsi Pernapasan Fungsi Usus
Cedera Motorik Tendon Sensorik dan Kandung
Spinal Profunda Kemih
Volunter
C1-C4 Kuadriplegia: Semuanya Hilangnya Hilangnya fungsi Tidak ada
Hilangnya hilang semua fungsi pernapasan kendali usus
semua fungsi sensorik pada volunter atau kandung
motorik dari leher ke bawah (interkostal) dan kemih
leher ke bawah (C4 involunter (frenik);
mempersarafi dukungan ventilasi
klavikula) dan trakeostomi
dibutuhkan
C5 Kuadriplegia: C5, C6 Hilangnya Saraf frenik utuh, Tidak ada
Hilangnya sensasi di tetapi otot kontrol usus
semua fungsi bawah interkostal tidak atau kandung
di bawah bahu klavikula dan utuh kemih
atas sebagaan besar
bagian lengan,

27
tangan, dada,
abdomen dan
ekstrimitas
bawah.

C6 Kuadriplegia: C5, C6 Hilangnya Saraf frenik utuh, Tidak ada


Hilangnya brakioradi semua aspek tetapi otot kontrol usus
semua fungsi alis pada lesi C5 interkostal tidak atau kandung
di bawah bahu tetapi sensasi utuh kemih
dan lengan lengan dan ibu
atas; jari lebih terasa
penurunan
kontrol siku,
lengan bawah,
dan tangan
C7 Kuadriplegia: C7, C8 Hilangnya Saraf frenik utuh, Tidak ada
hilangnya trisep sensasi di tetapi otot fungsi usus
kontrol bawah interkostal tidak atau kandung
motorik pada klavikula dan utuh kemih
bagian lengan bagian lengan
dan tangan serta tangan

C8 Kuadriplegia: Hilangnya Saraf frenik utuh, Tidak ada


hilangnya sensasi di tetapi otot fungsi usus
kontrol bawah dada interkostal tidak atau kandung
motorik pada dan bagain utuh kemih
lengan dan tangan
tangan
T1-T6 Paraplegia: Hilangnya Saraf frenik Defekasi atau
hilangnya sensasi di berfungsi mandiri. berkemih tidak
setiap sensasi bawah area beberapa berfungsi

28
di bawah area dada tengah gangguan otot
dada, termasuk intercostal
otot di batang
tubuh
T6- Paraplegia: Hilangnya Fungsi pernapasan Kontrol
T12 kehilangan setiap sensasi tidak terganggu defekasi atau
kontrol di bawah berkemih tidak
motorik di pinggang berfungsi
bawah
pinggang
L1-L3 Paraplegia: L2-L4 Hilangnya Fungsi pernapasan Kontrol
hilangnya (sentakan sensasi tidak terganggu defekasi atau
sebagian besar lutut) abdomen baah berkemih tidak
kontrol tungkai dan tungkai ada
dan pelvis
L3-S5 Paraplegia: S1-S2 Saraf sensori Fungsi pernapasan Kontrol
inkomplet (sentakan lumbal tidak terganggu defekasi atau
Kontrol pergelanga menginervasi berkemih
motorik n kaki) tungkai atas mungkin
segmental dan bawah terganggu
L4-S1: abduksi L5: aspek Segmen S2-S4
dan rotasi medial kaki mengendalikan
internal S1: aspek kontinensia
pinggul, lateral kaki urin
dorsifleksi S2: aspek Segmen S3-S5
pergelangan posterior mengendalikan
kaki dan betis/paha kontinensia
inversi kaki Saraf sensori feses (otot
L5-S1: eversi sakral perianal)
kaki menginervasi
L4-S2: fleksi tungkai bawah,

29
lutut kaki dan
S1-S2: fleksi perineum
plantar S1-S2:
(sentakan
pergelangan
kaki)
S2-S5: kontrol
usus/kandung
kemih
Sumber: Patricia G. Morton. Keperawatan Kritis Vol. 2 Hal 1089-1093
Lokasi Fungsi Motorik dan Sensorik
Funsi Motorik Funsi Sensorik
Lokasi Fungsi Lokasi Area Sensasi
C1-C6 Fleksor Leher C5 Deltoid
C1-T1 Ekstensor Leher C6 Ibu jari
C3-C5 Diafragma C7 Jari tengah
C5 Fleksor Siku C8 Jari-jari
C6 Ekstensor pergelangan tangan T4 Batas putting susu
C7 Ekstensor siku T10 Umbilikus
C8 Fleksi pergelangan tangan L5 Empu kaki
T1-T6 Interkosta otot dada S1 Little toe
T7-L1 Otot abdomen S2-S5 Perineum
L1-L4 Fleksi pinggul
L2-L4 Adduksi pinggul ekstensi lutu
L4-S1 Abduksi pinggul
Dorsofleksi kaki
L5-S2 Ekstensi pinggul
Plantar Fleksi kaki
L4-S2 Fleksi Lutut

a. Perubahan reflex
Setelah cedera medulla spinalis terjadi edema medulla spinalis sehingga stimulus
reflex juga terganggu misalnya reflex pada bladder, aktivitas visceral, reflex
ejakulasi.
b. Spasme otot

30
Gangguan spasme otot terutama terjadi pada trauma komplit transversal, dimana
pasien terjadi ketidakmampuan melakukan pergerakan.
c. Spinal shock
Tanda dan gejala spinal shock meliputi flaccid paralisis dibawah garis kerusakan,
hilangnya sensasi, hilangnya refleks-refleks spinal, hilangnya tonus vasomotor
yang mengakibatkan tidak stabilnya tekanan darah, tidak adanya keringat
dibawah garis kerusakan dan inkontinensia urin dan retensi feses.
d. Autonomic dysreflexia
Autonomic dysreflexia terjadi pada cidera thorakal enam ke atas, dimana pasien
mengalami gangguan refleks autonom seperti terjadinya bradikardi, hipertensi
paroksimal, distensi bladder.
e. Gangguan fungsi seksual
Banyak kasus memperlihatkan pada laki-laki adanya impotensi, menurunnya
sensasi dan kesulitan ejakulasi. Pasien dapat ereksi tetapi tidak dapat ejakulasi.

2.2.6 Pemeriksaan Diagnostik Trauma Medulla Spinalis


1. Pemeriksaan neurologis lengkap secara teliti segera setelah pasien tiba di
rumah sakit
2. Pemeriksaan tulang belakang: deformasi, pembengkakan, nyeri tekan,
gangguan gerakan(terutama leher)
3. Pemerikaan radiologis: foto polos vertebra AP dan lateral. Pada servikal
diperlukan proyeksi khusus mulut terbuka (odontoid).
a. Sinar X spinal
Menentukan lokasi dan jenis Trauma tulan (fraktur, dislokasi), untuk
kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi.
b. Foto rontgen thorak, memperlihatkan keadan paru (contoh: perubahan
pada diafragma, atelektasis)
4. Bila hasil meragukan lakukan CT-Scan,bila terdapat defisit neurologi harus
dilakukan MRI atau mielografi.
a. CT-Scan
Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktural
c. MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi
d. Mielografi

31
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor
putologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub
anakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah
mengalami luka penetrasi).
5. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vital, volume tidal): mengukur volume
inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikat bagian
bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan pada saraf frenikus /otot
interkostal).
6. GDA: Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi
7. Serum kimia, adanya hiperglikemia atau hipoglikemia, ketidakseimbangan
elektrolit, kemungkinan menurunnya Hb dan Hmt.
8. Urodinamik, proses pengosongan bladder.

2.2.7 Penatalaksanaan Trauma Medulla Spinalis


Prinsip penatalaksanaan medik trauma medula spinalis adalah sebagai berikut:
1. Segera dilakukan imobilisasi.
2. Stabilisasi daerah tulang yang mengalami cedera seperti dilakukan pemasangan
collar servical, atau dengan menggunakan bantalan pasir.
3. Mencegah progresivitas gangguan medula spinalis misalnya dengan pemberian
oksigen, cairan intravena, pemasangan NGT.
4. Terapi pengobatan:
a. Kortikosteroid seperti dexametason untuk mengontrol edema.
b. Antihipertensi seperti diazolxide untuk mengontrol tekanan darah akibat
autonomic hiperrefleksia akut.
c. Kolinergik seperti bethanechol chloride untuk menurunkan aktifitas
bladder.
d. Anti depresan seperti imipramine hyidro chklorida untuk meningkatkan
tonus leher bradder.
e. Antihistamin untuk menstimulus beta – reseptor dari bladder dan uretra.
f. Agen antiulcer seperti ranitidine
g. Pelunak fases seperti docusate sodium.

32
5. Tindakan operasi, di lakukan dengan indikasi tertentu seperti adanya fraktur
dengan fragmen yang menekan lengkung saraf.
6. Rehabilisasi di lakukan untuk mencegah komplikasi, mengurangi cacat dan
mempersiapkan pasien untuk hidup di masyarakat.
2.2.8 Komplikasi Medulla Spinalis
Komplikasi yang dapat terjadi pasca cedera medula spinalis antara lain yaitu
instabilitas dan deformitas tulang vertebra, fraktur patologis, syringomyelia pasca
trauma, nyeri dan gangguan fungsi seksual. Komplikasi lain yang bisa terjadi yaitu:
1. Neurogenik shock
2. Hipoksia
3. Instabilitas spinal
4. Ileus paralitik
5. Infeksi saluran kemih
6. Kontraktur
7. Dekubitus
8. Konstipasi

2.2.9 Prognosis Trauma Medulla Spinalis


Sebuah penelitian Gaus, Syafruddin, dkk membuktikan bahwa kurang dari 5%
pasien dengan cedera medulla spinalis yang komplit dapat sembuh. Jika paralisis
komplit bertahan sampai 72 jam setelah cedera, kemungkinan pulih adalah 0%.
Prognosis lebih baik pada cedera medulla spinalis yang tidak komplit. Jika masih
terdapat beberapa fungsi sensorik, peluang untuk bisa berjalan kembali adalah lebih
dari 50%. Sembilan puluh persen pasien cedera medulla spinalis dapat kembali ke
rumah dan mandiri.
Perbaikan fungsi motorik, sensorik dan otonom dapat kembali dalam 1 minggu
sampai 6 bulan pasca cedera. Kemungkinan pemulihan spontan menurun setelah 6
bulan. Bila terjadi pergerakan penderita pada cedera yang tidak stabil maka akan
mempengaruhi medulla spinalis sehingga memperberat kerusakan.1,5,16 Ditinjau dari
cedera medulla spinalisnya, prognosis pasien ini adalah baik, karena terjadi cedera
yang inkomplit.

2.2.10 Pencegahan Trauma Medulla Spinalis

33
Faktor –faktor resiko dominan untuk cedara medulla spinalis meliputi usia, jenis
kelamin, dan penyalahgunaan obat. Frekuensi factor resiko ini dikaitkan dengan cedera
medulla spinalis bertindak untuk menekankan pentingnya pencegahan primeruntuk
mencegah kerusakan dan bencana cedera ini, langkah – langkah berikut perlu dilakukan:

1. Menurunkan kecepatan berkendara.


2. Menggunakan sabuk pengaman.
3. Menggunakan helm untuk pengendara motor dan sepeda.
4. Mencegah jatuh.
5. Menggunakan alat – alat pelindung dan teknik latihan.
2.2.11 Askep Teoritis

Pengkajian Keperawatan

Adapun beberapa hal penting yang perlu dikaji dalan Spinal Cord Injury dapat
meliputi, sbb:

 Riwayat trauma (KLL, olahraga, dll)

 Riwayat penyakit degeneratif (osteoporosis, osteoartritis, dll)

 Mekanisme trauma

 Stabilisasi dan monitoring

 Pemeriksaan fisik; KU, TTV, defisit neurologis, status kesadaran awal


kejadian, refleks, motorik, lokalis (look, feel, move).

 Fokus; deformitas leher, memar pada leher dan bahu, memarpada


muka atau abrasi dangakal pada dahi.

 Pemeriksaan neurologi penuh.

Diagnosa dan Rencana Keperawatan

34
1.Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot
diafragma

Tujuan perawatan : pola nafas efektif setelah diberikan oksigen


Kriteria hasil : ventilasi adekuat, PaO2 > 80, PaCo2 < rr =" 16-20">

Intervensi keperawatan :

1. Pertahankan jalan nafas; posisi kepala tanpa gerak. Rasional: pasien


dengan cedera cervicalis akan membutuhkan bantuan untuk mencegah
aspirasi/ mempertahankan jalan nafas.

2. Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat jumlah, jenis dan


karakteristik sekret. Rasional : jika batuk tidak efektif, penghisapan
dibutuhkan untuk mengeluarkan sekret, dan mengurangi resiko infeksi
pernapasan.

3. Kaji fungsi pernapasan. Rasional : trauma pada C5-6 menyebabkan


hilangnya fungsi pernapasan secara partial, karena otot pernapasan
mengalami kelumpuhan.

4. Auskultasi suara napas. Rasional : hipoventilasi biasanya terjadi atau


menyebabkan akumulasi sekret yang berakibat pnemonia.

5. Observasi warna kulit. Rasional : menggambarkan adanya kegagalan


pernapasan yang memerlukan tindakan segera

6. Kaji distensi perut dan spasme otot. Rasional : kelainan penuh pada
perut disebabkan karena kelumpuhan diafragm

7. Anjurkan pasien untuk minum minimal 2000 cc/hari. Rasional :


membantu mengencerkan sekret, meningkatkan mobilisasi sekret
sebagai ekspektoran.

35
8. Lakukan pengukuran kapasitas vital, volume tidal dan kekuatan
pernapasan. Rasional : menentukan fungsi otot-otot pernapasan.
Pengkajian terus menerus untuk mendeteksi adanya kegagalan
pernapasan.

9. Pantau analisa gas darah. Rasional : untuk mengetahui adanya


kelainan fungsi pertukaran gas sebagai contoh : hiperventilasi PaO2
rendah dan PaCO2 meningkat.

10. Berikan oksigen dengan cara yang tepat : metode dipilih sesuai dengan
keadaan isufisiensi pernapasan.

11. Lakukan fisioterapi nafas. Rasional : mencegah sekret tertahan

2. Diagnosa keperawatan : kerusakan mobilitas fisik berhubungan dng


kelumpuhan

Tujuan perawatan : selama perawatan gangguan mobilisasi bisa diminimalisasi sampai


cedera diatasi dengan pembedahan.
Kriteria hasil : tidak ada kontrakstur, kekuatan otot meningkat, pasien mampu
beraktifitas kembali secara bertahap.

Intervensi keperawatan :

Kaji secara teratur fungsi motorik. Rasional : mengevaluasi keadaan secara umum

1. Instruksikan pasien untuk memanggil bila minta pertolongan. Rasional


memberikan rasa aman

2. Lakukan log rolling. Rasional : membantu ROM secara pasif

3. Pertahankan sendi 90 derajad terhadap papan kaki. Rasional mencegah


footdrop

36
4. Ukur tekanan darah sebelum dan sesudah log rolling. Rasional :
mengetahui adanya hipotensi ortostatik

5. Inspeksi kulit setiap hari. Rasional : gangguan sirkulasi dan hilangnya


sensai resiko tinggi kerusakan integritas kulit.

6. Berikan relaksan otot sesuai pesanan seperti diazepam. Rasional :


berguna untuk membatasi dan mengurangi nyeri yang berhubungan
dengan spastisitas.

3. Diagnosa keperawatan : gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan


dengan adanya cedera

Tujuan keperawatan : rasa nyaman terpenuhi setelah diberikan perawatan dan


pengobatan
Kriteria hasil : melaporkan rasa nyerinya berkurang

Intervensi keperawatan :

1. Kaji terhadap nyeri dengan skala 0-5. Rasional : pasien melaporkan


nyeri biasanya diatas tingkat cedera.

2. Bantu pasien dalam identifikasi faktor pencetus. Rasional : nyeri

3. dipengaruhi oleh; kecemasan, ketegangan, suhu, distensi kandung


kemih dan berbaring lama.

4. Berikan tindakan kenyamanan. Rasional : memberikan rasa nayaman


dengan cara membantu mengontrol nyeri.

5. Dorong pasien menggunakan tehnik relaksasi. Rasional :


memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol.

37
6. Berikan obat antinyeri sesuai pesanan. Rasional : untuk
menghilangkan nyeri otot atau untuk menghilangkan kecemasan dan
meningkatkan istirahat.

4. Diagnosa keperawatan : gangguan eliminasi alvi /konstipasi


berhubungan dengan gangguan persarafan pada usus dan rektum.

Tujuan perawatan : pasien tidak menunjukkan adanya gangguan eliminasi


alvi/konstipasi
Kriteria hasil : pasien bisa b.a.b secara teratur sehari 1 kali

Intervensi keperawatan :

1. Auskultasi bising usus, catat lokasi dan karakteristiknya.Rasional :


bising usus mungkin tidak ada selama syok spinal.

2. Observasi adanya distensi perut.

3. Catat adanya keluhan mual dan ingin muntah, pasang NGT. Rasional :
pendarahan gantrointentinal dan lambung mungkin terjadi akibat
trauma dan stress.

4. Berikan diet seimbang TKTP cair : meningkatkan konsistensi feces

5. Berikan obat pencahar sesuai pesanan. Rasional: merangsang kerja


usus

5. Diagnosa keperawatan : perubahan pola eliminasi urine berhubungan


dengan kelumpuhan syarat perkemihan.

Tujuan perawatan : pola eliminasi kembali normal selama perawatan


Kriteria hasil : produksi urine 50 cc/jam, keluhan eliminasi uirine tidak ada

Intervensi keperawatan:

38
1. Kaji pola berkemih, dan catat produksi urine tiap jam. Rasional :
mengetahui fungsi ginjal

2. Palpasi kemungkinan adanya distensi kandung kemih.

3. Anjurkan pasien untuk minum 2000 cc/hari. Rasional : membantu


mempertahankan fungsi ginjal.

4. Pasang dower kateter. Rasional membantu proses pengeluaran urine

6. Diagnosa keperawatan : gangguan integritas kulit berhubungan dengan


tirah baring lama

Tujuan keperawatan : tidak terjadi gangguan integritas kulit selama perawatan


Kriteria hasil : tidak ada dekibitus, kulit kering

Intervensi keperawatan :

1. Inspeksi seluruh lapisan kulit. Rasional : kulit cenderung rusak karena


perubahan sirkulasi perifer.

2. Lakukan perubahan posisi sesuai pesanan: untuk mengurangi


penekanan kulit

3. Bersihkan dan keringkan kulit. Rasional: meningkatkan integritas kulit

4. Jagalah tenun tetap kering. Rasional: mengurangi resiko kelembaban


kulit

5. Berikan terapi kinetik sesuai kebutuhan : Rasional : meningkatkan


sirkulasi sistemik& perifer, menurunkan tekanan pada kulit serta
mengurangi kerusakan kulit.

39
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Trauma Medulla Spinalis adalah kerusakan fungsi neurologis akibat trauma
langsung atau tidak langsung pada medulla spinalis sehingga mengakibatkan
gangguan fungsi sensorik, motorik, autonomi dan reflek. Sedangkan syok spinal
adalah kerusakan medulla spinalis sekunder yang menyebabkan kehilangan aktifitas
otonom, reflex, motoric, dan sensorik pada daerah di bawah tingkat terjadinya
medulla spinalis.
Baik trauma medulla spinal dan syok spinal keduanya membutuhkan penanganan
yang tepat. Perawat mempunyai peran penting dalam tindakan promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif dalam kasus trauma medulla spinalis dan syok spinal.

3.2 Saran
Bagi petugas pelayanan kesehatan lebih memperhatikan klien dengan kasus
trauma medulla spinalis dan syok spinal untuk mencegah komplikasi dari kedua kasus
tersebut serta menurunkan angka kematian disebabkan oleh trauma medulla spinalis
ataupun syok spinal.

40
DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, M. E. 1999.Rencana Asuham Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan


dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC

Baughman, Diane C. 2000. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku Saku Untuk Brunner


dan Suddarth. Jakarta: EGC.

Tambayong, J. 2000. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC.

Tarwoto, dkk. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan.


Jakarta : Sagung Seto.

Batticaca, B Fransisca. 2008. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan Sistem


Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.Brunner &


Suddath. 2001. Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 volume 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran.

Akhyar, Yayan. 2009. Traktus Spinotalamikus: Files of DrsMed FK UNRI, (Online)


http://www.yayanakhyar.co.nr diakses tanggal 24 Februari 2018

Kowalak, Jennifer P. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC.

41
42

Anda mungkin juga menyukai