Anda di halaman 1dari 5

Emha Ainun Nadjib

dan di mana pun, serta dengan cara yang bagaimanapun. Hak Tuhan
itu gugur apabila ada seseorang yang mampu menciptakan dirinya
sendiri.
Dalam pemahaman seperti itu, maka yang dilakukan oleh Ibrahim
dan Isma‘il “hanyalah” mengembalikan hak Allah kepada Allah, tak
ada apa pun yang hilang dari keduanya dengan penyembelihan itu,
karena memang aslinya mereka tidak pernah ada dan tidak memiliki
apa pun, juga “diri”-nya sendiri.

***
Yang menjadi pangkal persoalan dalam sejarah umat manusia adalah
bahwa sesudah melahirkan dan ada, setiap manusia memahami “ba­
rang pinjaman” itu sebagai “barang milik”-nya. Seorang Ibrahim bisa
merasa posesif terhadap Isma‘il karena dia anaknya dan sangat dicin­
tainya. Isma‘il juga dihinggapi “rasa memiliki” atas dirinya sendiri,
atas nyawanya, atas seluruh kehidupannya, bahkan atas segala sesuatu
yang bisa dinikmatinya.
Maka, ketika kemudian mereka mengikhlaskan “milik” itu diminta
kembali oleh Yang Maha Empunya, Ibrahim dan Isma‘il mencapai
tingkat fithri dan sukses menghayati makna qurban, sambil sama sekali
tidak merasa sedang “mengorbankan diri”.
Dari titik pemahaman ini, kita bisa menghimpun pertanyaan-perta­
nyaan. Berdasarkan hal historis apa kumpulan manusia menganggap
diri dan bumi ini milik mereka sehingga lantas mereka lahirkan sistem-
sistem yang “mengatur hak milik”. Tidak cukup kita hanya membeda­
kan bahwa idiom “pemilikan” itu adalah “bahasa negara” atau “bahasa
hukum formal”, sementara “pinjaman” adalah “bahasa agama”.
Ada bahaya besar apabila agama terlalu diletakkan hanya dalam
pemahaman sosiologis seperti itu. Ketika pertengkaran tentang “pemi­
likan” itu berkepanjangan merusakkan dunia dan meledakkan perang
demi perang, umat manusia kehilangan cakrawala untuk mengadukan
penderitaannya. Apalagi mereka sesungguhnya diam-diam—melalui
modernitas ilmu di kampus-kampus, bahkan pun melalui tradisi-tradisi

490
Surat kepada Kanjeng Nabi

sehari-hari—mereka makin lama makin kehilangan kepercayaan terha­


dap Idul Fitri dan Idul Adha. Orang menyelenggarakan penyembuhan
kepada Allah sekadar merupakan usaha menempelkan katup mental
yang melindungi mereka dari kecemasan-kecemasan asing dalam diri
mereka di ujung petualangan dosa, kekeliruan ilmu, dan kerakusan
budaya. Mereka tidak memahami Tuhan dan agama sebagai huwal
awâlu wal âkhiru, sebagai pangkal dan ujung pengembaraan setiap
dan semua manusia; dari mana dan kepada apa segala pemikiran,
rekayasa, ideologi, keputusan-keputusan pergaulan kecil maupun per­
gaulan besar bersumber.

***
Kehidupan umat manusia dewasa ini terletak di tempat yang sudah
berjarak amat jauh dari keseyogiaan yang bisa kita pahami melalui
agama tentang kehidupan ini.
Misalnya, semangat Idul Fitri maupun Idul Adha bertolak belakang
dengan “egosentrisisme” kekuasaan atau monopoli ekonomi. Bahkan,
juga segala bentuk primordialitas, eksklusivisme, dan kesepihakan
yang lain dalam berbagai dimensi kehidupan. Ibrahim diperintah oleh
Allah—secara substantif—bukan untuk menyembelih Isma‘il, melain­
kan untuk menaklukkan dan memusnahkan kesepihakan dan egosen­
trisisme rasa memiliki diri sendiri dan rasa memiliki anaknya. Diri
Ibrahim dan diri anaknya adalah milik Allah dan harus disampaikan
kembali kepada-Nya.
Allah itu, pengejawantahan atau perwujudan atau penjelmaannya
dalam kehidupan (tak hanya penjelmaan-Nya di bumi) adalah berupa
kesatuan dan kebersamaan seluruh makhluk, atau dalam perspektif
yang lebih sempit; kebersamaan antarmanusia—yang dari pemikiran
seperti demokrasi atau egalitarianisme dilahirkan.
Seluruh alam dan penghuninya adalah penjelmaan Allah. Juga
kita. Tatkala Allah meminta kembali Isma‘il dari Ibrahim, Allah bukan
sedang melakukan monopoli. Sebab dengan kesetiaan bapak-anak itu
kepada-Nya, berlangsung proses penyatuan antara kehendak manusia

491
Emha Ainun Nadjib

dan kehendak Allah. Hasil dari setiap penyatuan adalah menjelmanya


“dua” menjadi “satu”. Itulah tauhid. Dan tentulah, sesudah penyatuan
itu, di “satu” bukanlah manusia, melainkan Allah. Maka, di dalam
“Kesa­tuan” atau “Satu” itu tak ada monopoli: Isma‘il kembali menjadi
milik­nya sendiri di dalam Allah.
Sesungguhnya betapa relevan dan “historis” seluruh sumber nilai
yang kita kenali melalui agama itu terhadap segala yang kita perlukan
dalam kehidupan sehari-hari, dalam berbangsa dan bernegara. Di
sekitar kita, juga pada diri kita sendiri, betapa terdapat amat banyak
Ibrahim yang tak bersedia menyembelih kesepihakan, egoisme, mono­
poli, olipologi, eksklusivisme, subjektivisme beserta saudara-saudari
sekandungnya. Betapa banyak juga Isma‘il-Isma‘il yang menipu diri
sendiri dengan tak bersedia disembelih “rasa memiliki secara sepihak”-
nya, sehingga mereka atau kita akan pada akhirnya menjadi “kambing
yang tersembelih” oleh kekuatan kebenaran dalam sejarah atau oleh
keterjebakan hidup kita sendiri yang baru kita sadari beberapa hari
menjelang ajal.
Mereka-mereka yang naik haji di setiap bulan haji, juga tak bisa
dijamin bahwa mereka akan membawa pentas egalitarianisme di sepu­
tar Ka‘bah itu ke kampungnya. Tak bisa diharapkan bahwa mereka
akan mencopot pakaian-pakaian semu, pangkat-derajat-kekayaan ke­
du­niawian sebagaimana mereka diajari berdemokrasi selama berih­
ram. Tak bisa didambakan juga sepulang naik haji mereka akan setiap
saat membawa batu untuk melempari potensi dosa dan keserakahan
mereka sebagai dicontohkan tatkala melakukan Jumrah.
Orang-orang yang naik haji tidak otomatis “membawa madu” ke
kampung halamannya sebagaimana jenis makanan-minuman itu me­
lambangkan makna haji. Mereka tak bisa dijamin akan berperilaku
madu, berkata-kata madu dan ber-SK-SK madu. Bahkan, di antara
mereka sibuk mengulang-ulang naik haji, sementara tetangga-tetang­
ganya (pada era informasi ini, tetangga bukan lagi sekadar kawan
sebelah rumah) membutuhkan santunan dari kemelaratan, ketertin­

492
Surat kepada Kanjeng Nabi

das­an, dan kesengsaraan. Lebih celaka lagi, mereka yakin bahwa haji
mereka insya Allah mabrur. Allah begitu digampangkan.[]

493
Antara Kambing dan “Kambing”

B anyak orang tak merasa lagi kagum terhadap kisah agung Nabi
Ibrahim yang diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih
Isma‘il, putra terkasihnya. Banyak orang tak lagi merasa tersentuh.
Mungkin karena ilmu dan pengetahuan kita tentang kehidupan tidak
semakin berkembang—kalau tidak boleh kita bilang semakin me­nyem­
pit—tentang kehidupan dan kehidupan, sehingga kita tak memiliki
kesadaran intelektual dan imajinasi untuk memasuki dimensi keagung­
an itu.
Atau, mungkin karena Ibrahim dan Isma‘il itu nabi.
“Mereka itu Nabi, utusan Allah yang berkomunikasi langsung de­
ngan-Nya,” mungkin demikian kita berkata. “Kalau mereka memper­
oleh perintah, segalanya gamblang bagi mereka. Dan mereka tinggal
menjalankan perintah itu, karena sesudah itu segala jaminan dan
harapan dari Allah tak perlu diragukan. Sementara kita semua ini
manusia biasa. Tidak istimewa dan tidak diistimewakan oleh-Nya.
Kita jauh dari-Nya. Tuhan tidak memberikan perintah langsung kepada
kita sebagaimana kepada Nabi ....”
Atau, bermacam-macam lagi.
Padahal kepada kita pun, Allah memberi perintah langsung. Pada­
hal, segala jaminan dan harapan-Nya pun gamblang bagi kita. Padahal,

494

Anda mungkin juga menyukai