491 - Pdfsam - Surat Kepada Kanjeng Nabi
491 - Pdfsam - Surat Kepada Kanjeng Nabi
dan di mana pun, serta dengan cara yang bagaimanapun. Hak Tuhan
itu gugur apabila ada seseorang yang mampu menciptakan dirinya
sendiri.
Dalam pemahaman seperti itu, maka yang dilakukan oleh Ibrahim
dan Isma‘il “hanyalah” mengembalikan hak Allah kepada Allah, tak
ada apa pun yang hilang dari keduanya dengan penyembelihan itu,
karena memang aslinya mereka tidak pernah ada dan tidak memiliki
apa pun, juga “diri”-nya sendiri.
***
Yang menjadi pangkal persoalan dalam sejarah umat manusia adalah
bahwa sesudah melahirkan dan ada, setiap manusia memahami “ba
rang pinjaman” itu sebagai “barang milik”-nya. Seorang Ibrahim bisa
merasa posesif terhadap Isma‘il karena dia anaknya dan sangat dicin
tainya. Isma‘il juga dihinggapi “rasa memiliki” atas dirinya sendiri,
atas nyawanya, atas seluruh kehidupannya, bahkan atas segala sesuatu
yang bisa dinikmatinya.
Maka, ketika kemudian mereka mengikhlaskan “milik” itu diminta
kembali oleh Yang Maha Empunya, Ibrahim dan Isma‘il mencapai
tingkat fithri dan sukses menghayati makna qurban, sambil sama sekali
tidak merasa sedang “mengorbankan diri”.
Dari titik pemahaman ini, kita bisa menghimpun pertanyaan-perta
nyaan. Berdasarkan hal historis apa kumpulan manusia menganggap
diri dan bumi ini milik mereka sehingga lantas mereka lahirkan sistem-
sistem yang “mengatur hak milik”. Tidak cukup kita hanya membeda
kan bahwa idiom “pemilikan” itu adalah “bahasa negara” atau “bahasa
hukum formal”, sementara “pinjaman” adalah “bahasa agama”.
Ada bahaya besar apabila agama terlalu diletakkan hanya dalam
pemahaman sosiologis seperti itu. Ketika pertengkaran tentang “pemi
likan” itu berkepanjangan merusakkan dunia dan meledakkan perang
demi perang, umat manusia kehilangan cakrawala untuk mengadukan
penderitaannya. Apalagi mereka sesungguhnya diam-diam—melalui
modernitas ilmu di kampus-kampus, bahkan pun melalui tradisi-tradisi
490
Surat kepada Kanjeng Nabi
***
Kehidupan umat manusia dewasa ini terletak di tempat yang sudah
berjarak amat jauh dari keseyogiaan yang bisa kita pahami melalui
agama tentang kehidupan ini.
Misalnya, semangat Idul Fitri maupun Idul Adha bertolak belakang
dengan “egosentrisisme” kekuasaan atau monopoli ekonomi. Bahkan,
juga segala bentuk primordialitas, eksklusivisme, dan kesepihakan
yang lain dalam berbagai dimensi kehidupan. Ibrahim diperintah oleh
Allah—secara substantif—bukan untuk menyembelih Isma‘il, melain
kan untuk menaklukkan dan memusnahkan kesepihakan dan egosen
trisisme rasa memiliki diri sendiri dan rasa memiliki anaknya. Diri
Ibrahim dan diri anaknya adalah milik Allah dan harus disampaikan
kembali kepada-Nya.
Allah itu, pengejawantahan atau perwujudan atau penjelmaannya
dalam kehidupan (tak hanya penjelmaan-Nya di bumi) adalah berupa
kesatuan dan kebersamaan seluruh makhluk, atau dalam perspektif
yang lebih sempit; kebersamaan antarmanusia—yang dari pemikiran
seperti demokrasi atau egalitarianisme dilahirkan.
Seluruh alam dan penghuninya adalah penjelmaan Allah. Juga
kita. Tatkala Allah meminta kembali Isma‘il dari Ibrahim, Allah bukan
sedang melakukan monopoli. Sebab dengan kesetiaan bapak-anak itu
kepada-Nya, berlangsung proses penyatuan antara kehendak manusia
491
Emha Ainun Nadjib
492
Surat kepada Kanjeng Nabi
dasan, dan kesengsaraan. Lebih celaka lagi, mereka yakin bahwa haji
mereka insya Allah mabrur. Allah begitu digampangkan.[]
493
Antara Kambing dan “Kambing”
B anyak orang tak merasa lagi kagum terhadap kisah agung Nabi
Ibrahim yang diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih
Isma‘il, putra terkasihnya. Banyak orang tak lagi merasa tersentuh.
Mungkin karena ilmu dan pengetahuan kita tentang kehidupan tidak
semakin berkembang—kalau tidak boleh kita bilang semakin menyem
pit—tentang kehidupan dan kehidupan, sehingga kita tak memiliki
kesadaran intelektual dan imajinasi untuk memasuki dimensi keagung
an itu.
Atau, mungkin karena Ibrahim dan Isma‘il itu nabi.
“Mereka itu Nabi, utusan Allah yang berkomunikasi langsung de
ngan-Nya,” mungkin demikian kita berkata. “Kalau mereka memper
oleh perintah, segalanya gamblang bagi mereka. Dan mereka tinggal
menjalankan perintah itu, karena sesudah itu segala jaminan dan
harapan dari Allah tak perlu diragukan. Sementara kita semua ini
manusia biasa. Tidak istimewa dan tidak diistimewakan oleh-Nya.
Kita jauh dari-Nya. Tuhan tidak memberikan perintah langsung kepada
kita sebagaimana kepada Nabi ....”
Atau, bermacam-macam lagi.
Padahal kepada kita pun, Allah memberi perintah langsung. Pada
hal, segala jaminan dan harapan-Nya pun gamblang bagi kita. Padahal,
494