Anda di halaman 1dari 5

Nama : Jufiyati

Kelas :9F

No :15

TUGAS PAI

Pelajaran Penting Dibalik


Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi
Ismail
Sebagian orang telah melaksanakan salat Idul Adha pada hari ini
Selasa (21/8/2018), namun bagi mereka yang mengikui instruksi
penetapan dari pemerintah maka besoklah dilaksanakannya Idul
Adha.

Nah, mengesampingkan perbedaan tersebut Idul Adha dinamakan hari raya


haji, juga dinamakan “Idul Qurban”, karena pada hari itu Allah memberi
kesempatan untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Bagi umat muslim
yang belum mampu mengerjakan perjalanan haji, maka ia diberi
kesempatan untuk berkurban, yaitu dengan menyembelih hewan qurban
sebagai simbol ketakwaan dan kecintaan pada Allah.

Menengok sisi historis dari perayaan Idul Adha ini, maka pikiran kita akan
teringat kisah teladan Nabi Ibrahim. Dari berbagai sumber disebutkan bahwa
Idul Adha dinamai juga “Idul Nahr” artinya hari raya penyembelihan. Hal ini
untuk memperingati ujian paling berat yang menimpa Nabi Ibrahim. Karena
kesabaran dan ketabahan Ibrahim dalam menghadapi berbagai ujian dan
cobaan, Allah memberinya sebuah anugerah, sebuah kehormatan
“Khalilullah” (kekasih Allah).

Dalam kitab “Misykatul Anwar” disebutkan bahwa konon, Nabi Ibrahim


memiliki kekayaan 1000 ekor domba, 300 lembu, dan 100 ekor unta.
Riwayat lain mengatakan, kekayaan Nabi Ibrahim mencapai 12.000 ekor
ternak. Suatu jumlah yang menurut orang di zamannya adalah tergolong
milliuner. Ketika pada suatu hari, Ibrahim ditanya oleh seseorang.

“Milik siapa ternak sebanyak ini?”

Maka dijawabnya: “Kepunyaan Allah, tapi kini masih milikku. Sewaktu-waktu


bila Allah menghendaki, aku serahkan semuanya. Jangankan cuma ternak,
bila Allah meminta anak kesayanganku Ismail, niscaya akan aku serahkan
juga.”

Ibnu Katsir dalam tafsir Al-Qur’anul ‘adzim mengemukakan bahwa,


pernyataan Nabi Ibrahim yang akan mengorbankan anaknya jika dikehendaki
oleh Allah itulah yang kemudian dijadikan bahan ujian, yaitu Allah menguji
iman dan taqwa Nabi Ibrahim melalui mimpinya yang haq, agar ia
mengorbankan putranya yang elok rupawan, sehat lagi cekatan ini, supaya
dikorbankan dan disembelih dengan menggunakan tangannya sendiri.
Sungguh sangat mengerikan! Peristiwa spektakuler itu dinyatakan dalam Al-
Qur’an yang artinya:

Ibrahim berkata : “Hai anakkku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi


bahwa aku menyembelihmu “maka pikirkanlah apa pendapatmu? Ismail
menjawab: Wahai bapakku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.
InsyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS Aa-
saffat: 102)

Ketika keduanya siap untuk melaksanakan perintah Allah, datanglah setan


sambil berkata, “Ibrahim, kamu orang tua macam apa kata orang nanti,
anak saja disembelih?”
“Apa kata orang nanti?” Apa tidak malu? Tega sekali, anak satu-satunya
disembeli! Coba lihat, anaknya lincah seperti itu! Anaknya pintar lagi, enak
dipandang, anaknya patuh seperti itu kok dipotong! Tidak punya lagi nanti
setelah itu, tidak punya lagi yang seperti itu! Belum tentu nanti ada lagi
seperti dia.”

Nabi Ibrahim sudah memiliki tekat. Ia mengambil batu lalu mengucapkan,


“Bismillahi Allahu akbar.” Batu itu dilempar.

Ketika sang ayah belum juga mengayunkan pisau di leher putranya. Ismail
mengira ayahnya ragu, seraya ia melepaskan tali pengikat tali dan
tangannya, agar tidak muncul suatu kesan atau image dalam sejarah bahwa
sang anak menurut untuk dibaringkan karena dipaksa ia meminta ayahnya
mengayunkan pisau sambil berpaling, supaya tidak melihat wajahnya.

Nabi Ibrahim memantapkan niatnya. Nabi Ismail pasrah bulat-bulat, seperti


ayahnya yang telah tawakkal. Sedetik setelah pisau nyaris digerakkan, tiba-
tiba Allah berseru dengan firmannya, menyuruh menghentikan perbuatannya
tidak usah diteruskan pengorbanan terhadap anaknya. Allah telah meridhoi
kedua ayah dan anak memasrahkan tawakkal mereka. Sebagai imbalan
keikhlasan mereka, Allah mencukupkan dengan penyembelihan seekor
domba sebagai korban, sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an surat As-
Saffat ayat 107-110.

Peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim bersama Nabi Ismail diatas harus
dimaknai sebagai pesan simbolik agama, yang mengandung beberapa
pelajaran penting yakni:

1. Ketakwaan

Pengertian takwa terkait dengan ketaatan seorang hamba pada Sang Khalik
dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Nya. Koridor agama
(Islam) mengemas kehidupan secara harmoni seperti halnya kehidupan
dunia-akhirat. Bahwa meraih kehidupan baik (hasanah) di akhirat kelak perlu
melalui kehidupan di dunia yang merupakan ladang untuk memperbanyak
kebajikan dan memohon ridho Nya agar tercapai kehidupan dunia dan
akhirat yang hasanah. Sehingga kehidupan di dunia tidak terpisah dari upaya
meraih kehidupan hasanah di akhirat nanti.

Kesiapsediaan Ibrahim untuk menyembelih anak kesayangannya atas


perintah Allah menandakan tingginya tingkat ketakwaan Nabi Ibrahim,
sehingga tidak terjerumus dalam kehidupan hedonis sesaat yang sesat. Lalu
dengan kuasa Allah ternyata yang disembelih bukan Ismail melainkan
domba. Peristiwa ini pun mencerminkan Islam sangat menghargai nyawa dan
kehidupan manusia, Islam menjunjung tinggi peradaban manusia.

2. Hubungan antar manusia

Ibadah-ibadah umat Islam yang diperintahkan Tuhan senantiasa


mengandung dua aspek tak terpisahkan yakni kaitannya dengan hubungan
kepada Allah (hablumminnalah) dan hubungan dengan sesama manusia atau
hablumminannas.

Saat kita berpuasa tentu merasakan bagaimana susahnya hidup seorang


dhua’afa yang memenuhi kebutuhan poangannya sehari-hari saja sulit. Lalu
dengan menyembelih hewan kurban dan membagikannya kepada kaum tak
berpunya itu merupakan salah satu bentuk kepedulian sosial seorang muslim
kepada sesamanya yang tidak mampu. Kehidupan saling tolong menolong
dan gotong royong dalam kebaikan merupakan ciri khas ajaran Islam.

Hikmah yang dapat dipetik dalam konteks ini adalah seorang Muslim
diingatkan untuk siap sedia berkurban demi kebahagiaan orang lain
khususnya mereka yang kurang beruntung, waspada atas godaan dunia agar
tidak terjerembab perilaku tidak terpuji seperti keserakahan, mementingkan
diri sendiri, dan kelalaian dalam beribadah kepada sang Pencipta.

3. Peningkatan kualitas diri

Hikmah ketiga adalah memperkukuh empati, kesadaran diri, pengendalian


dan pengelolaan diri yang merupakan cikal bakal akhlak terpuji seorang
Muslim. Akhlak terpuji dicontohkan Nabi seperti membantu sesama manusia
dalam kebaikan, kebajikan, memuliakan tamu, mementingkan orang lain dan
senantiasa sigap dalam menjalankan segala perintah agama dan menjauhi
hal-hal yang dilarang.

Kemudian, hikmah yang dapat diambil dari pelaksanaan shalat Idul Adha
adalah bahwa hakikat manusia adalah sama. Yang membedakan hanyalah
taqwanya. Dan bagi yang menunaikan ibadah haji, pada waktu wukuf di
Arafah memberi gambaran bahwa kelak manusia akan dikumpulkan
dipadang mahsyar untuk dimintai pertanggungjawaban. [Eva De]

Anda mungkin juga menyukai