Anda di halaman 1dari 4

Hikmah Republika Kamis, 26 November 2009.

Drama Qurban: Ismail atau


Ishaq?
Oleh Prof Dr Nasaruddin Umar

Alquran tidak tegas menyebutkan siapa putra Nabi Ibrahim yang


disembelih, apakah Ismail atau Ishaq? Sementara dalam hadis dan
pendapat sahabat dan tabiin ada yang menyebutkan Ismail ada pula
menyebut Ishaq.

Dalam kitab-kitab tafsir juga ada yang menyebut Ismail dan lainnya
menyebut Ishaq. Dalam dunia Islam yang masyhur disembelih ialah
Ismail sedangkan di dunia Yahudi dan dalam Kitab Perjanjian Lama
tegas-tegas disebutkan yang disembelih ialah Ishaq.

Ayat yang berbicara khusus tentang kasus penyembelihan putra nabi


Ibrahim ialah QS Al-Shaffat [37]:102-105. Ayat ini mengisahkan bahwa
ketika putranya telah mencapai umur baligh, Ibrahim AS bermimpi
mendapat perintah untuk menyembelihnya. Ketika itu, anaknya
belumlah menjadi seorang nabi. An-Nasafi dan Ibnu Katsir mencatat
bahwa putranya kala itu berumur 13 tahun.

Setidaknya, ada beberapa nama sahabat yang meriwayatkan bahwa


yang disembelih adalah Ismail. Sahabat-sahabat tersebut adalah
Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Ali bin Abi Thalib, Abu
Hurairah, dan Abu at-Thufail 'Amir bin Watsilah.

Adapun pendapat kedua yang menyebut Ishaq yang disembelih juga


diriwayatkan oleh beberapa sahabat, yaitu: 'Umar bin Khathab, Jabir,
al-'Abbas, dan Ka'ab al-Akhbar. Dalam hal ini, sederet mufassir seperti
Wahbah az-Zuhaili, ar-Razi, at-Thabrisi, Thabathabai, al-Qurthubi, Ibnu
Katsir, Thabathabai, an-Nasafi, Sa'id Hawa', Thahir ibnu 'Asyur dan
selainnya menguatkan pendapat pertama.

Ada beberapa argumentasi yang dipaparkan untuk mendukung


pendapat pertama itu, yaitu:

Pertama, anak yang menggembirakan Ibrahim untuk pertama kali atas


kelahirannya adalah Ismail. Adapun Ishaq lahir setelah Ismail. Dengan
demikian, Ismail adalah anak tertua dan yang disembelih. Dalam
sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika Ismail dilahirkan, Ibrahim
berumur 86 tahun, sedangkan sewaktu Ishaq lahir, Ibrahim berumur 99
tahun.

1
Kedua, riwayat dari al-Hakim dalam al-Manaqib yang menyebutkan
bahwa Nabi SAW bersabda: saya adalah keturunan orang yang
disembelih yaitu Ismail yang kemudian lahir Nabi Muhammad melalui
jalur Abdullah.

Ketiga, riwayat dari al-Ashma'i bahwa Ismail yang berada di Makkah


dan Ishaq tidak pernah di sana. Ismail membangun Ka'bah bersama
ayahnya, Ibrahim.

Keempat, Allah menyifati Ismail dengan as-shabr (sabar), sedangkan


Ishaq tidak demikian, sebagaimana tertera dalam QS Al-Anbiya'
[21]:85, ''Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris, dan Zulkifli, semua mereka
termasuk orang-orang sabar.''

Adapun pendukung pendapat kedua bahwa Ishaq yang disembelih


mengajukan beberapa alasan, yaitu:

Pertama, pada ayat QS As-Shaffat [37]:99 disebutkan, ''Sesungguhnya


aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi
petunjuk kepadaku.'' Maksudnya ialah Ibrahim berhijrah dari negeri
kaum yang telah menyakitinya lantaran fanatik terhadap sesembahan-
sesembahan yang berupa patung dan atas kekufuran kepada Allah dan
kedustaan pada rasul-rasul-Nya.

Ibrahim hijrah ke Syam. Di sana ia berdoa agar dianugerahi seorang


anak saleh yang dapat memotivasinya untuk senantiasa taat kepada
Allah. Untuk itu, Allah menggembirakannya dengan seorang anak yang
sangat sabar. Anak tersebut, menurut mereka, adalah Ishaq.

Kedua, tulisan Ya'qub ke Yusuf, ''Dari Ya'qub Israil Nabi Allah putra
Ishaq yang disembelih Allah putra Ibrahim Khalilullah.''

Ketiga, sebuah riwayat shahih yang bersumber dari Abdullah bin


Mas'ud bahwa seseorang berkata kepadanya: ''Wahai anak orang tua
yang mulia.'' Abdullah bin Mas'ud berkata: Orang itu adalah Yusuf bin
Ya'qub bin Ishaq sembelihan Allah bin Ibrahim Khalilullah 'alaihissalam.
(Wahbah az-Zuhaili, at-Tafsir al-Munir, Juz XXIII, h. 126).

Perintah kepada Ibrahim untuk menyembelih anaknya adalah perintah


ujian, bukan tasyri' yang dimaksudkan untuk dilihat kesungguhan
orang yang diuji dan meneguhkan ketinggian martabatnya dalam
menaati Allah. Perintah tersebut diperoleh melalui mimpi.

2
Lazim diketahui bahwa mimpi para nabi merupakan wahyu. Adapun
hikmah adanya semacam 'musyawarah' yang dilakukan Ibrahim
terhadap putranya seputar mimpinya itu adalah untuk melihat sejauh
mana kesabaran dan ketabahan putranya tersebut dalam menaati
perintah Allah.

Dan hikmah terjadinya perintah ini dalam mimpi dan tidak dalam
keadaan tersadar atau terbangun bisa dijelaskan dari beberapa sudut
pandang, yaitu:

Pertama, perintah ini sangatlah sulit di sisi si penyembelih dan yang


disembelih, sehingga dihadirkan dalam mimpi selama tiga malam
sebelum dikuatkan dalam kondisi sadar. Dengan demikian, perintah itu
tidak langsung diyakini sekaligus tetapi sedikit demi sedikit.

Kedua, Allah menjadikan mimpi para nabi sebagai sebuah kebenaran,


sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat Alquran seperti mimpi
Yusuf, Ibrahim, dan Muhammad. Maksud dari mimpi tersebut adalah
untuk menegaskan akan kebenaran mereka.

Pasalnya, kondisi yang dialami oleh setiap insan--pada umumnya--


adalah tertidur atau tidak tertidur. Jika kedua kondisi tersebut
menunjukkan kebenaran, maka itu menjadi bukti nyata bahwa mereka
adalah benar dan jujur di setiap keadaannya.

Dari satu sudut pandang, referensi syariah terhadap penyembelihan


adalah mimpi. Hanya saja mimpi para nabi pada umumnya benar,
apalagi sudah dilegitimasi dalam bentuk wahyu Alquran. Yang
dipegang adalah ayatnya, bukan asal-usulnya dari mimpi.

Ketika Nabi Ibrahim berusaha untuk menyembelih anak


kesayangannya (Ismail atau Ishaq) akhirnya juga tidak bisa
dilaksanakan karena ketajaman pisau tidak sanggup melukai kulit
leher anaknya. Akhirnya, malaikat diutus untuk mengganti sembelihan
Ibrahim dari putranya ke dalam bentuk seekor kambing.

Dengan demikian, peristiwa hari raya Idul Adha atau Idul Kurban
merupakan simbol penghargaan jiwa manusia yang ditebus dengan
seekor binatang. Makna simbolik lain yang bisa kita pahami dari
peristiwa ini ialah kesediaan seseorang untuk mengurbankan sesuatu
yang paling berharga baginya.

Bagi Nabi Ibrahim, putra gantengnya yang sudah lama didoakan


keberadaannya diminta untuk dikorbankan pada jalan Allah dan dia
pun bersedia dan sudah melaksanakan perintah itu. Bagi kita, boleh

3
jadi sesuatu yang paling kita cintai adalah harta kekayaan, semisal
deposito, rumah mewah, dan kekayaan lainnya. Sudahkah kita
bersedia melepaskan itu semua ke jalan Allah?
(-)
Index Koran

Anda mungkin juga menyukai