Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

“IDUL ADHA”

Muhamad Frizar Akbar


(201910210311057)

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN-PETERNAKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb, Puji syukur kehadirat Allah SWT. Limpahan rahmat, karunia
dan hidayah-Nya yang berlimpah dan tiada akan pernah habis terhitung. Sungguh, maha besar
Allah karena telah meridhai penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah tentang “Idul
Adha”. Makalah ini dipergunakan untuk memenuhi tugas mata kuliah Al Islam dan
Kemuhammadiyahan. Rasa terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapakan kepada dosen
dan rekan penulis serta banyak pihak yang terkait dalam penyelesaian makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari masih banyak kekurangan dan
kelemahannya. Oleh karena itu kami sangat memerlukan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini menjadi lebih bermanfaat
untuk para mahasiwa/mahasiswi pada umumnya.
Akhir kata, penulis barharap semoga makalah ini bemanfaat khususnya bagi penulis dan
umumnya bagi seluruh mahasiwa/mahasiswi Universitas Muhammadiyah Malang. Penulis
menyadari bahwa kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, untuk itu penulis menerima kritik
dan saran yang membangun, Wassalamualaikum Wr. Wb.
1. Hikmah Idul Adha
Pada bulan Dzulhijjah, terdapat banyak ragam ibadah yang dianjurkan untuk dikerjakan
oleh seluruh kaum muslim, mulai dari puasa yang dimulai dari tanggal 1 hingga 9, melakukan
shalat Idul Adha, melakukan ibadah kurban dan lainnya. Khusus mengenai ibadah kurban,
seluruh kaum muslimin dianjurkan untuk berkurban di hari Idul Adha atau hari-hari Tasyriq jika
mereka mampu. Terdapat beberapa hikmah terkait anjuran berkurban di hari Idul Adha atau hari
Tasyriq ini (Jayusman, 2012). Disebutkan dalam Darul Ifta’ Al-Mishriyah, setidaknya ada tiga
hikmah mengapa dianjurkan untuk berkurban di hari Idul Adha, yaitu :

 Pertama, untuk bersyukur kepada Allah atas berbagai nikmat yang telah Dia berikan
kepada kita. Di antara bentuk bersyukur kepada Allah adalah mengikuti perintah-Nya
dengan cara berkurban di hari Idul Adha. Ini karena berkurban di hari Idul Adha termasuk
bagian dari perintah-Nya. Perintah untuk berkurban ini sebagaimana difirmankan oleh
Allah dalam surah Al-Kautsar berikut: Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad)
nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah
(sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah). Sungguh, orang-orang yang
membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah).
 Kedua, untuk menghidupkan ajaran atau sunnah Nabi Ibrahim. Sebagaimana kita ketahui
bahwa Nabi Ibrahim pernah diperintahkan untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail.
Menerima perintah tersebut, Nabi Ibrahim dengan sabar hendak melaksanakan perintah
tersebut. Namun perintah tersebut akhirnya dibatalkan oleh Allah dan sebagai gantinya
Nabi Ibrahim diperintah untuk menyembelih kambing di hari Idul Adha.
 Ketiga, menyembelih hewan kurban termasuk bagian dari perantara untuk melapangkan
rizki kepada diri sendiri, keluarga, tetangga, teman dan orang fakir miskin di hari Idul
Adha. Dan melapangkan rizki, baik kepada diri sendiri, keluarga, tetangga dan
bersedekah kepada fakir miskin merupakan ajaran dan sunnah yang telah dilakukan oleh
Nabi SAW.

2. Pengertian Idul Adha


Indonesia memiliki beragam cara maupun tradisi dalam menyabut dan merayakan hari
besar keagamaan salah satunya adalah perayaan hari Raya Idul Adha atau yang biasa disebut
dengan hari Raya Qurban. Ritual keagamaan ini merupakan salah satu realitas keberagamaan
masyarakat, dalam konteks ini adalah masyarakat muslim. Hari raya Qurban merupakan salah
satu perayaan umat Muslim di seluruh dunia yang diselenggarakan setiap satu tahun sekali
tepatnya pada tanggal 10 Dzulhijjah dan hari Tasyrik yakni tanggal 11-13 Dzulhijjah dalam
penanggalan Hijriyah
Perayaan Idul Adha yang juga disebut sebagai ibadah Qurban memiliki kedudukan yang
penting dalam Islam. Melalui pelaksanaan ibadah qurban maka kita telah berusaha mendekatkan
diri dengan sang pencipta dengan penyembelihan hewan sebagai lambang. Qurban juga
dipandang sebagai bentuk ibadah yang memiliki nilai sosial kemasyarakatan yang tinggi. Hal ini
dikarenakan dalam berqurban dapat menumbuhkan rasa ikhlas dan melapangkan hati manusia
seperti yang telah di syari’at kan oleh Allah SWT.
Dengan adanya penyembelihan hewan qurban tersebut dalam Islam diajarkan bahwa
yang akan sampai kepada Allah sebagai sang pencipta bukanlah daging hewan ataupun darah
hewan yang disembelih, melainkan keikhlasan dan ketakwaan, serta keimanan dari manusia
tersebut yang akan sampai. Dalam Islam, hukum untuk melaksanakan ibadah Qurban adalah
sunnah bagi umat muslim. Meskipun hukumnya sunnah, namun Nabi dan para sahabatnya
senantiasa melaksanakan ibadah Qurban (Azizah & Fauzi, 2021).
3. Pembagian Hasil Qurban Secara Adil
Dalam Hadis Riwayat Ahmad, Nabi Muhammad SAW bersabda “Jika di antara kalian
berqurban, maka makanlah sebagian qurbannya” (HR Ahmad). Dari hadis ini, dapat
disimpulkan bahwa orang yang berqurban dianjurkan untuk memakan sebagian daging qurban,
sementara bagian lainnya ditujukan untuk orang lain yang lebih membutuhkan. Namun, jika
mengacu pada mazhab Hanafi dan Syafi’i, orang yang berqurban karena nadzar tidak
diperbolehkan mengambil daging qurban sedikitpun dan tidak boleh memanfaatkannya. Selain
itu, orang yang berqurban tidak boleh memilih bagian untuknya sendiri. Misalnya, dengan
sengaja memilih bagian daging yang bagus, sementara sisanya dibagikan kepada orang lain.
Menurut pendapat sebagian besar ulama yang didasarkan pada hadis, pembagian daging qurban
adalah sebagai berikut:

 1/3 untuk orang yang berqurban


 Bagian 1/3 untuk sedekah
 1/3 untuk dihadiahkan

Ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa qurban yang diterima orang miskin berstatus tamlik (hak
kepemilikan secara penuh). Maksudnya adalah bisa dikonsumsi sendiri, dijual, disedekahkan,
dan lain sebagainya.
Kurban biasanya diserahkan pada panitia masjid yang bertugas untuk memotong dan
membagikan daging kepada yang berhak atau mustahik. Ada hal yang cukup penting untuk
diperhatikan panitia kurban yakni menghitung dan membagikan daging kurban agar sesuai
dengan jumlah penerima atau mustahik. Jika satu ekor sapi dengan berat hidup 350 kg, maka
akan didapat berat karkasnya 50 persen dari berat hidupnya atau sebanyak 125 kg.
Adapun berat dagingnya adalah 70 persen dari berat karkas alias 122, 5 kg. Jadi untuk
hewan kurban jenis sapi dengan berat hidup 350 kg hanya akan didapatkan daging sebanyak
122,5 kg. Selain daging, ada juga jeroan yaitu 10 persen dari berat karkas atau 17,5
kg. Sedangkan untuk kaki sebanyak 4 rata-rata  memiliki daging 4,5 kg. Khusus kepala memiliki
berat 4 persen dari berat hidup atau sekitar 14,5 kg. Terakhir adalah ekor, sebanyak
0,7 persen dari berat hidup atau 2,45 kg. Jika dijumlahkan dari satu ekor sapi seberat 350 kg,
akan didapat total daging plus jeroan sebanyak 161, 45 kg. Jumlah inilah yang bisa dibagikan
kepada mustahik.
Perhitungan ini bisa dipergunakan panitia kurban untuk menyesuaikan antara jumlah
hewan kurban yang disiapkan dengan jumlah mustahik yang akan mendapatkan daging kurban.
Biasanya penerima akan diberikan dalam bentuk kupon untuk mengambilnya. Namun
perhitungan ini juga hanya bersifat guna memudahkan panitia kurban. Meski tetap ada
kemungkinan daging yang tercecer maupun yang masih melekat pada tulang.
4. Sejarah Idul Adha
Historis dari perayaan Idul Adha ini yaitu Ibnu Katsir dalam tafsir Al-Qur’anul ‘adzim
mengemukakan bahwa, pernyataan Nabi Ibrahim yang akan mengorbankan anaknya jika
dikehendaki oleh Allah itulah yang kemudian dijadikan bahan ujian, yaitu Allah menguji iman
dan taqwa Nabi Ibrahim melalui mimpinya yang haq, agar ia mengorbankan putranya yang kala
itu masih berusia 7 tahun. Anak yang elok rupawan, sehat lagi cekatan ini, supaya dikorbankan
dan disembelih dengan menggunakan tangannya sendiri. Sungguh sangat mengerikan! Peristiwa
spektakuler itu dinyatakan dalam Al-Qur’an:

ِ َ‫ي ِإنِّي َأ َرى فِي ْال َمن َِام َأنِّي َأ ْذبَحُكَ فَانظُرْ َما َذا تَ َرى قَا َل يَا َأب‬
َ‫ت ا ْف َعلْ َما تُْؤ َم ُر َست َِج ُدنِي ِإن َشاء هَّللا ُ ِمنَ الصَّابِ ِرين‬ َّ َ‫قَا َل يَا بُن‬
Ibrahim berkata: “Hai anakkku sesungguhnay aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu “maka fikirkanlah apa pendapatmu? Ismail menjawab: Wahai bapakku
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. InsyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk
orang yang sabar.” (QS Aa-saffat: 102).
Ketika keduanya siap untuk melaksanakan perintah Allah, datanglah setan sambil
berkata, “Ibrahim, kamu orang tua macam apa kata orang nanti, anak saja disembelih?” “Apa
kata orang nanti?” “Apa tidak malu? Tega sekali, anak satu-satunya disembeli!” “Coba lihat,
anaknya lincah seperti itu!” “Anaknya pintar lagi, enak dipandang, anaknya patuh seperti itu kok
dipotong!” “Tidak punya lagi nanti setelah itu, tidak punya lagi yang seperti itu! Belum tentu
nanti ada lagi seperti dia.” Nabi Ibrahim sudah mempunya tekat. Ia mengambil batu lalu
mengucapkan, “Bismillahi Allahu akbar.” Batu itu dilempar. Akhirnya seluruh jamaah haji
sekarang mengikuti apa yang dulu dilakukan oleh Nabi Ibrahim ini di dalam mengusir setan
dengan melempar batu sambil mengatakan, “Bismillahi Allahu akbar”. Dan hal ini kemudian
menjadi salah satu rangkaian ibadah haji yakni melempar jumrah.
Ketika sang ayah belum juga mengayunkan pisau di leher putranya. Ismail mengira
ayahnya ragu, seraya ia melepaskan tali pengikat tali dan tangannya, agar tidak muncul suatu
kesan atau image dalam sejarah bahwa sang anak menurut untuk dibaringkan karena dipaksa ia
meminta ayahnya mengayunkan pisau sambil berpaling, supaya tidak melihat wajahnya.
Nabi Ibrahim memantapkan niatnya. Nabi Ismail pasrah bulat-bulat, seperti ayahnya yang
telah tawakkal. Sedetik setelah pisau nyaris digerakkan, tiba-tiba Allah berseru dengan
firmannya, menyuruh menghentikan perbuatannya tidak usah diteruskan pengorbanan terhadap
anaknya. Allah telah meridloi kedua ayah dan anak memasrahkan tawakkal mereka. Sebagai
imbalan keikhlasan mereka, Allah mencukupkan dengan penyembelihan seekor kambing sebagai
korban, sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an surat As-Saffat ayat 107-110:
‫َظ ٍيم‬ ٍ ‫َوفَ َد ْينَاهُ بِ ِذب‬
ِ ‫ْح ع‬
“Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”
َ‫َوت ََر ْكنَا َعلَ ْي ِه فِي اآْل ِخ ِرين‬
“Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian yang baik) dikalangan orang-orang yang datang
kemudian.”
‫َساَل ٌم َعلَى ِإب َْرا ِهي َم‬
“Yaitu kesejahteraan semoga dilimpahkan kepada Nabi Ibrahim.”
َ‫َك َذلِكَ نَجْ ِزي ْال ُمحْ ِسنِين‬
“Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Menyaksikan tragedi penyembelihan yang tidak ada bandingannya dalam sejarah umat
manusia itu, Malaikat Jibril kagum, seraya terlontar darinya suatu ungkapan “Allahu Akbar,
Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Nabi Ibrahim menjawab “Laailaha illahu Allahu Akbar.” Yang
kemudian disambung oleh Nabi Ismail “Allahu Akbar Walillahil Hamdu”.
DAFTAR PUSTAKA

Azizah, N., & Fauzi, A. M. (2021). Pembentukan Identitas Sosial Dalam Perayaan Idul Adha Di
Desa Ngampungan Kabupaten Jombang. Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan Dan
Kemasyarakatan, 15(1), 72. https://doi.org/10.35931/aq.v15i1.555
Jayusman. (2012). Tinjauan Hukum Islam Terhadap Ibadah Kurban Kolektif. Al-’Adalah, x, 435.

Anda mungkin juga menyukai