Anda di halaman 1dari 10

BILAL IDUL ADHA

TUNJUNG SEMI, DS. BEDORO, KEC. SAMBUNGMACAN, KAB. SRAGEN

1. DIBACA KETIKA SHOLAT 'ID AKAN DIMULAI

SHOLLU SUNNATA 'IIDIL ADHA ROK'ATAINI JAAMI'ATA ROKHIMAKUMULLOOH

2. Seusai selesai shalat, Bilal berdiri menghadap para jama’ah sambil membawa
tongkat dan mengucapkan:

YAA MA'AA SYIROL MUSLIMINN WAZUMROTAL MUKMINIINA ROKHIMAKUMULLOH

I'LAMUU ANNA YAUMAKUM HAADZAA YAUMU 'IIDIL ADHA

WA YAUMUSSURUURI WA YAUMUL MAGHFUURI

YAUMU AKHALLALLOOHU LAKUM FIIHI THO'AAM, WA KHARROMA 'ALAIKUMUS SHIYAAM

IDZAA SHO'IDAL KHOTIIBU 'ALAL MIMBAR, ANSHITU WASMA'U WA ATHII'UU ROKHIMA KUMULLOOH

ANSHITHUU WASMA'UU WA ATHII'U AJARO KUMULLOH

ANSHITHUU WASMA'UU WA ATHII'U LA'ALLAKUM TURKHAMUUN

3. KHOTIB NAIK KE MIMBAR, LALU BILAL MEMBACA SHOLAWAT

ALLOHUMMA SHOLLI 'ALAA SAYYIDINAA MUHAMMAD. ALLOHUMMA SHOLLI WA SALLIM 'ALAA


SAYYIDINAA MUHAMMAD. ALLOHUMMA SHOLLI WA SALLIM 'ALAA SAYYIDINAA MUHAMMAD WA
'ALAA AALIHI WA SHOHBIHII AJMA'IIN
4. LALU BILAL MENGHADAP KIBLAT DAN BERDOA

ALLOHUMMA KOWWIL ISLAM MINAL MUSLIMIIN WAL MUSLIMAAT, WAL MUKMINIINA WAL
MUKMINAAT, AL AHYAA-I MINHUM WAL AMWAAT, WA YASIRHUM 'ALAA MA'AANIDDIIN, WAHTIM
LANAA MINKA BIL KHOIR, WA YAA KHOIRIINNASHIIRIIN, BI ROHMATIKA YAA ARHAMAR ROOHIMIIN

5. LALU KHOTIB SALAM DAN BERKHUTBAH

6. KETIKA KHOTIB DUDUK DI ANTARA DUA KHUTBAH, MAKA BILAL MEMBACA SHOLAWAT

ALLOHUMMA SHOLLI 'ALAA SAYYIDINAA MUHAMMAD. ALLOHUMMA SHOLLI WA SALLIM 'ALAA


SAYYIDINAA MUHAMMAD. ALLOHUMMA SHOLLI WA SALLIM 'ALAA SAYYIDINAA MUHAMMAD WA
'ALAA AALIHI WA SHOHBIHII AJMA'IIN
SHOLAT 'ID

IDUL ADHA 1439 HIJRIYAH


DUKUH TUNJUNG SEMI, DS. BEDORO, KEC. SAMBUNG MACAN, KAB. SRAGEN

BILAL :

KHOTIB :

IMAM :

TTD

PANITIA
KHUTBAH IDUL ADHA 1439 H / 2018

"Tiga Pelajaran Utama Hari Raya Kurban"


Oleh : Fudholi Ariyadi, S.Pd.I

KHUTBAH I

Hari raya kurban atau biasa kita sebut Idul Adha yang kita peringati tiap tahun tak bisa terlepas
dari kisah Nabi Ibrahim sebagaimana terekam dalam Surat ash-Shaffat ayat 99-111. Meskipun,
praktik kurban sebenarnya sudah dilaksanakan putra Nabi Adam yakni Qabil dan Habil.
Diceritakan bahwa kurban yang diterima adalah kurban Habil bukan Qabil. Itu pun bukan daging
atau darah yang Allah terima namun ketulusan hati dan ketakwaan dari si pemberi kurban.

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi
ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. (Al-Hajj: 37)

Kendati sejarah kurban sudah berlangsung sejak generasi pertama umat manusia, namun
syariat ibadah kurban dimulai dari cerita perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih
anak kesayangannya, Ismail (‘alaihissalâm). Seorang anak yang ia idam-idamkan bertahun-
tahun karena istrinya sekian lama mandul. Dalam Surat ash-Shaffat dijelaskan bahwa semula
Nabi Ibrahim berdoa:

“Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang
shalih.”

Allah lalu memberi kabar gembira dengan anugerah kelahiran seorang anak yang amat cerdas
dan sabar (ghulâm halîm). Hanya saja, ketika anak itu menginjak dewasa, Nabi Ibrahim diuji
dengan sebuah mimpi. Ia berkata, "Wahai anakku, dalam tidur aku bermimpi berupa wahyu dari
Allah yang meminta aku untuk menyembelihmu. Bagaimana pendapat kamu?" Anak yang saleh
itu menjawab, "Wahai bapakku, laksanakanlah perintah Tuhanmu. Insya Allah kamu akan dapati
aku termasuk orang-orang yang sabar."

Tatkala sang bapak dan anak pasrah kepada ketentuan Allah, Ibrâhîm pun membawa anaknya
ke suatu tumpukan pasir. Lalu Ibrâhîm membaringkan Ismail dengan posisi pelipis di atas tanah
dan siap disembelih.
Jamaah shalat Idul Adha hadâkumullâh,

Atas kehendak Allah, drama penyembelihan anak manusia itu batal dilaksanakan. Allah
berfirman dalam ayat berikutnya:

“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor
sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-
orang yang datang kemudian, (yaitu) ‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim’. Demikianlah
Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk
hamba-hamba Kami yang beriman.”

Hadirin,

Ibadah kurban tahunan yang umat Islam laksanakan adalah bentuk i’tibar atau pengambilan
pelajaran dari kisah tersebut. Setidaknya ada tiga pesan yang bisa kita tarik dari kisah tentang
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail serta ritual penyembelihan hewan kurban secara umum.

Pertama, tentang totalitas kepatuhan kepada Allah subhânau wata’âla. Nabi Ibrahim yang
mendapat julukan “khalilullah” (kekasih Allah) mendapat ujian berat pada saat rasa bahagianya
meluap-luap dengan kehadiran sang buah hati di dalam rumah tangganya. Lewat perintah
menyembelih Ismail, Allah seolah hendak mengingatkan Nabi Ibrahim bahwa anak hanyalah
titipan. Anak—betapapun mahalnya kita menilai—tak boleh melengahkan kita bahwa hanya
Allahlah tujuan akhir dari rasa cinta dan ketaatan.

Nabi Ibrahim lolos dari ujian ini. Ia membuktikan bahwa dirinya sanggup mengalahkan egonya
untuk tujuan mempertahankan nilai-nilai Ilahi. Dengan penuh ketulusan, Nabi Ibrahim menapaki
jalan pendekatan diri kepada Allah sebagaimana makna qurban, yakni pendekatan diri.

Sementara Nabi Ismail, meski usianya masih belia, mampu membuktikan diri sebagai anak
berbakti dan patuh kepada perintah Tuhannya. Yang menarik, ayahnya menyampaikan perintah
tersebut dengan memohon pendapatnya terlebih dahulu, dengan tutur kata yang halus, tanpa
unsur paksaan. Atas dasar kesalehan dan kesabaran yang ia miliki, ia pun memenuhi panggilan
Tuhannya.

Jamaah shalat Idul Adha hadâkumullâh,

Pelajaran kedua adalah tentang kemuliaan manusia. Dalam kisah itu di satu sisi kita diingatkan
untuk jangan menganggap mahal sesuatu bila itu untuk mempertahankan nilai-nilai ketuhanan,
namun di sisi lain kita juga diimbau untuk tidak meremehkan nyawa dan darah manusia.
Penggantian Nabi Ismail dengan domba besar adalah pesan nyata bahwa pengorbanan dalam
bentuk tubuh manusia—sebagaimana yang berlangsung dalam tradisi sejumlah kelompok pada
zaman dulu—adalah hal yang diharamkan.

Manusia dengan manusia lain sesungguhnya adalah saudara. Mereka dilahirkan dari satu
bapak, yakni Nabi Adam ‘alaihissalâm. Seluruh manusia ibarat satu tubuh yang diciptakan Allah
dalam kemuliaan. Karena itu membunuh atau menyakiti satu manusia ibarat membunuh
manusia atau menyakiti manusia secara keseluruhan. Larangan mengorbankan manusia
sebetulnya penegasan kembali tentang luhurnya kemanusiaan di mata Islam dan karenanya
mesti dijamin hak-haknya.

Pelajaran yang ketiga yang bisa kita ambil adalah tentang hakikat pengorbanan. Sedekah daging
hewan kurban hanyalah simbol dari makna korban yang sejatinya sangat luas, meliputi
pengorbanan dalam wujud harta benda, tenaga, pikiran, waktu, dan lain sebagainya.

Pengorbanan merupakan manifestasi dari kesadaran kita sebagai makhluk sosial. Bayangkan,
bila masing-masing manusia sekadar memenuhi ego dan kebutuhan sendiri tanpa peduli dengan
kebutuhan orang lain, alangkah kacaunya kehidupan ini. Orang mesti mengorbankan sedikit
waktunya, misalnya, untuk mengantre dalam sebuah loket pejualan tiket, bersedia menghentikan
sejenak kendaraannya saat lampu merah lalu lintas menyala, dan lain-lain. Sebab, keserakahan
hanya layak dimiliki para binatang. Di sinilah perlunya kita “menyembelih” ego kebinatangan kita,
untuk menggapai kedekatan (qurb) kepada Allah, karena esensi kurban adalah solidaritas
sesama dan ketulusan murni untuk mengharap keridhaan Allah. Wallahu a’lam.

KHUTBAH II
KHUTBAH IDUL ADHA 1439 H / 2018
" Belajar dari Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail"
Oleh : Fudholi Ariyadi, S.Pd.I

KHUTBAH I

Ma’asyiral Muslimin rahimakummullah,

Pada hari ini kaum Muslimin merayakan Hari Idul Adha dengan melaksanakan shalat id karena
telah sampai pada hari ke-10 bulan Dzulhijjah. Shalat Idul Adha adalah peristiwa besar yang
setiap tahun umat Islam sedunia melaksanakannya dan setelah itu menyembelih hewan-hewan
kurban sebagai sunnah muakkadah. Setiap kali merayakan Idul Adha, kita tidak bisa lepas dari
membicarakan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS. Bapak - anak ini menjadi suri tauladan bagi
kita semua dalam banyak hal, seperti dalam ketaatan dan kepasrahan diri kepada Allah SWT,
kesabaran dan keikhlasan beribadah, serta dalam menjalani hidup dan kehidupan ini.

Ma’asyiral Muslimin rahimakummullah,

Nabi Ibrahim AS adalah seorang ayah sekaligus seorang hamba Allah yang lurus, berhati
lembut, lagi penyantun. Beliau seorang Nabi dengan teladan kepemimpinan yang mencerahkan.
Sedangkan sang anak, Nabi Ismail AS, adalah seorang anak yang sabar dan berbakti kepada
kedua orang tua; dan tentunya juga taat kepada Allah SWT.

Ma’asyiral Muslimin rahimakummullah,

Nabi Ibrahim AS menikah dengan Siti Sarah sudah cukup lama–bertahun-tahun—namun belum
dikaruinai seorang anak pun. Beliau telah lama mengidamkan hadirnya seorang anak. Kemudian
oleh Siti Sarah, Nabi Ibrahim dipersilakan untuk menikah lagi dengan Siti Hajar yang tak lain
adalah seorang pembatu bagi keluarga Ibrahim. Dan akhirnya beliau mendapatkan seorang
anak hasil pernikahannya dengan Siti Hajar dan diberinya nama Ismail. Beliau merasa senang
dan tenang bersama sang buah hati. Beliau melihat Ismail menikmati masa kanak-kanaknya dan
menemani kehidupannya dengan tentram dan damai. Tetapi kemudian, Ibrahim bermimpi dalam
tidurnya. Beliau menyembelih anak satu-satunya itu. Ibrahim pun menyadari bahwa itu adalah
perintah dari Allah SWT.

Ma’asyiral Muslimin rahimakummullah,


Kita bisa membayangkan betapa Nabi Ibrahim tengah diuji Allah SWT. Anak satu-satunya yang
telah lama beliau nantikan kehadirannya hingga usia beliau hampir 100 tahun, pada akhirnya
harus dikorbankan atas perintah Allah dengan cara disembelihnya sendiri. Bagaimanakah sikap
Nabi Ibrahim menghadapi perintah tersebut? Nabi Ibrahim adalah seorang rasul. Maka beliau
tidak ragu-ragu dalam memahami dan menerima perintrah tersebut. Tidak ada kekacauan dalam
pikiran beliau sehingga beliau tidak melakukan protes atau mencoba bertanya kepada Allah
untuk meminta klarifikasi. Misalnya dengan bertanya, ”Kenapa ya Allah, harus saya sembelih
anak tunggal saya ini?”

Tidak ada pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Yang ada pada Nabi Ibrahim AS adalah
penerimaan total, keridhaan yang mendalam, ketenangan dan kedamaian yang luar biasa. Itulah
sebabnya Nabi Ibahim AS mendapat berbagai macam gelar seperti: ulul azmi (orang yang
sangat sabar), khalilullah (kekasih Allah), hanifan muslima (orang yang lurus yang berserah diri
kepada Allah SWT), abul anbiya (bapak para nabi), dan sebagainya.

Ma’asyiral Muslimin rahimakummullah,

Kisah bagaimana Nabi Ibrahim AS melaksanakan perintah Allah SWT bisa kita simak
sebagaimana termaktub dalam Al-Quran Surat Ash-Shaffat, ayat 102:

Artinya: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu”.

Ayat tersebut merupakan perintah dari Allah SWT agar Nabi Ibrahim menyembelih Ismail yang
belum cukup dewasa atau masih anak-anak karena baru berusia kurang dari 14 tahun. Maka
Nabi Ibrahim sebagai orang tua bertanya kepada Ismail bagaimana pendapatnya tentang
perintah tersebut sebagaimana dikisahkan dalam bagian ayat berikutnya:

Artinya: “Maka pikirkan, apa pendapatmu tentang perintah itu”.

Pertanyaan Nabi Ibrahim kepada Ismail ini sebenarnya mengandung pelajaran berharga bahwa
seorang ayah atau orang tua tidak ada jeleknya, bahkan sangat bagus, memberikan hak
bertanya atau mengemukakan pendapat bagi anak-anaknya berkaitan dengan masa depan
mereka. Apalagi menyangkut soal hidup dan mati. Dengan kata lain, ini sesungguhnya pelajaran
tentang demokrasi atau musyawarah dimana dialog untuk mencapai persepsi yang sama
diperlukan untuk meraih tujuan baik yang akan dicapai bersama. Dengan cara seperti ini tentu
keikhlasan untuk menerima sebuah keputusan bisa dicapai dengan baik secara bersama pula.
Maka tidak mengherankan ketika memberikan jawaban kepada Ibrahim , Ismail menjawab
dengan jawaban yang sangat bagus, penuh kesabaran dan keikhlasan sebagai berikut:

Artinya: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan
mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".

Ma’asyiral Muslimin rahimakummullah,

Dengan ketaatan kepada Allah SWT yang luar biasa sebagaimana ditunjukkan Nabi Ibrahim dan
Ismail, maka Allah berfirman kepada Nabi Ibrahim sebagaimana termaktub dalam Surat As-
Shaffat, ayat 104 -105 sebagai berikut:
Artinya: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu; sesungguhnya
demikianlah Kami memberi balasan kepada orang- orang yang berbuat baik”.

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah hanya menghendaki ketundukan dan penyerahan diri Nabi
Ibrahim AS, sehingga tiada lagi tersisa dalam diri beliau kecuali ketaatan kepada Allah. Nabi
Ibrahim meyakini tidak ada perintah yang lebih berharga dan lebih tinggi daripada perintah Allah
SWT. Nabi Ibrahim rela mengorbankan segalanya, termasuk yang paling berharga, yakni Ismail
dengan pengorbanan yang penuh keridhaan, ketenangan, kedamaian, dan keyakinan akan
kebenaran. Maka, Allah kemudian menebus putra itu, Ismail–dengan seekor hewan sembelihan
yang besar.

Ma’asyiral Muslimin rahimakummullah,

Dengan peristiwa inilah, kemudian dimulailah sunnah berkurban pada shalat Idul Adha hingga
sekarang. Disembelihnya hewan-hewan kurban menjadi pengingat kita atas kejadian besar
tersebut. Peristiwa itu akan terus menyibak tabiat keimanan yang kita genggam supaya kita lebih
paham mengenai bagaimana kita berserah diri seutuhnya kepada Allah SWT; bagaimana kita
taat kepada Allah dengan ketaatan yang penuh keridhaan. Semua itu agar kita makin mengerti,
bahwa Allah tidak hendak menghinakan manusia dengan cobaan. Pun tidak ingin menganiaya
dengan ujian. Melainkan, Allah menghendaki agar kita bersegera memenuhi panggilan tugas
dan kewajiban secara total. Namun demikian, Allah mengingatkan kita dalam Surat Al Hajj ayat
37:

Artinya:”Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah,
tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah
menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada
kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Ma’asyiral Muslimin rahimakummullah,

Shalat Idul Adha berlangsung pada bulan Dzulhijjah karena dalam bulan ini dilaksanakan ibadah
haji di Tanah Suci Makkah Al-Mukarramah. Mungkin, sayup-sayup terdengar oleh kita kalimat
talbiyah yang dikumandangkan mereka yang sedang menunaikan ibadah haji melauli berbagai
media. Mereka berseru:

Artinya: “Ya Allah, kami penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya setiap getaran pujian adalah bagi-
Mu. Sejatinya, setiap tetes kenikmatan berasal dari-Mu. Sebenar-benarnya, Engkaulah Raja dan
Penguasa kami, tiada sekutu bagi-Mu.”

Ma’asyiral Muslimin rahimakummullah,

Semoga saudara-saudara kita umat Islam sedunia yang saat ini tengah menunaikan ibadah haji
di Tanah Suci akan menjadi haji yang mabrur. Dan bagi kita yang belum menunaikan ibadah
haji, semoga Allah mudahkan kita melaksanakan ibadah ini ketika saatnya telah tiba. Amin ya
rabbal 'alamin...
KHUTBAH II

Anda mungkin juga menyukai