Anda di halaman 1dari 72

Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi

7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta


WAYANG SEBAGAI REALITA DUNIA MAYA
Oleh : Agus Sulistyo

A. Pendahuluan
Pengalaman yang terkuat dan sangat membekas dalam diri
saya tentang wayang, adalah saat tinggal serumah dengan
kakek. Waktu itu saya masih kelas 5 SD, tinggal di rumah kakak
sulung saya bersama Kakek di Blabak- Magelang.
Kakek saya ini, dalam keluarga dikenal sebagai seorang
pengelana yang selalu berpindah-pindah, yang datang dan pergi
sesuka hatinya. Jadi jarang sekali Kakek mau tinggal di rumah
dalam waktu lama. Paling dua tiga hari sudah pergi lagi entah
kemana. Tapi bila sudah lama tidak muncul, uniknya, bila
malam hari kita `ngrasani` (membicarakan) Beliau, -entah dari
mana- tiba-tiba esok harinya kakek sudah ada di depan rumah.
Hal itu sering kali terjadi. Sehingga dari kecil saya sudah hapal
dengan kebiasaannya itu.
Bila Beliau berkenan tinggal cukup lama di
rumah salah satu anggota keluarga, biasanya karena
keluarga itu sedang membutuhkan pendampingan khusus
karena sedang menghadapi masalah yang cukup rumit atau ada
hal yang penting lainnya. Dalam sebuah kesempatan saya
pernah bertanya mengapa Kakek mau tinggal lama disuatu
tempat, dengan singkat Beliau menjawab `ndereke Gusti` .
Untuk anak usia SD, pada saat itu tentu sulit bagi saya
memahami maksud jawabannya., Kakek memang sering
melontarkan kepada saya pernyataan-pernyataan yang tidak
bisa saya mengerti. Tapi anehnya saya tetep saja tertarik untuk
banyak bertanya kepada Kakek bila Beliau sedang dirumah.
1 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
Melihat penampilan Kakek, saya seperti masuk ke masa
silam, dia tampil bersahaja. Kalo dirumah selalu memakai
sarung, kaos oblong putih, badan tinggi kurus, kulit kuning
bersih, rambutnya yang panjang tidak pernah dipotong, sering
disanggul diatas kepala (gelung keling) seperti sosok para Resi
jaman majapahit, atau kadang mengenakan `udeng` ikat kepala
seperti kebanyakan petani jawa jaman dulu.
Dari Kakek inilah, waktu SD saya seperti menerima banyak
`tabungan ilmu ` dengan caranya yang unik yang tidak bisa
segera saya mengerti pada saat itu. Salah satunya yang masih
sangat berkesan adalah, ketika habis isya pulang mengaji di
musholla, saya melihat simbah -demikian kami biasa menyebut
Beliau- seperti biasa duduk dengan santai diruang tamu sambil
mengisap rokok kreteknya. Simbah biasanya tidak pernah
memulai suatu pembicaraan, kalaulah menanggapi hanya
sekedar dengan kata “ oo “…atau “ee”…begitu saja seperti
hanya melegakan saya yang suka cerita macam-macam kepada
Beliau.
Malam itu saya bercerita kalo saya habis mengaji kitab. Dan
Simbah dengan tidak terduga mengatakan `Simbah yo duwe
kitab le, jenenge kitab jagad… gedhene sak tampah`( Kakek
juga punya kitab, namanya kitab jagad…besarnya setampah).
Penasaran saya minta simbah menunjukkan..tapi dengan
terkekeh simbah bilang `yo ra ketok..yen ketok ndak dijupuk
uwong` ( ya ndak kelihatan…kalo kelihatan nanti diambil orang).
Dalam benak saya yang masih kecil ketika itu, ungkapan kakek
yang sekenanya itu saya anggap sebagai candaan saja. Tapi
begitu berkesan karena kakek jarang bicara panjang dan
terkekeh.
2 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
Dilain kesempatan, kakek kembali menyinggung masalah
Jagad ini. Yaitu ketika beliau membuatkan wayang pesanan
saya. Kakek memiliki ketrampilan membuat wayang dengan
standar pakem pewayangan kulit. Hal itu saya ketahui ketika
saya dapat tugas prakarya dari sekolah, saya membuat topeng
buto/raksasa dari kertas karton tebal dan saya warnai dengan
cat air. Dari sisa karton dan cat air yang ada, kakek bertanya
kepada saya mau tidak dibuatkan wayang. Karena penasaran,
saya berikan semua peralatan dan media yang dibutuhkan.
Dengan sisa kertas karton itu, cat air, pensil, pastel warna, dan
pisau cutter seadanya kakek membuatkan saya wayang.
Sebelummnya kakek bertanya mau dibuatkan wayang apa.
Saya jawab saya minta dibuatkan wayang Werkudara/ Bima
yang besar dan gagah. Lalu mulailah kakek membuatkan saya
wayang itu. Beberapa hari kemudian selesai dan hasilnya luar
biasa sempurna persis seperti wayang pakeliran.
Hari-hari berikutnya asyiklah saya bersama kakek membuat
beberapa tokoh wayang lainnya. Kebetulan dari kecil saya suka
wayang. Kakak sulung saya seorang guru tari tradisonal jawa,
dan saya pernah dibelikan satu set komik wayang mahabarata,
selain itu kalo malam tidak bisa tidur karena takut sendiri di
kamar, saya ikut bergabung dengan kakek yang mendengarkan
wayang dari radio. Sehingga tokoh-tokoh utama wayang dalam
cerita mahabarata dan Ramayana sudah banyak saya kenal
waktu itu.
Dan yang menarik baru sekarang saya sadari bahwa setiap
mau membikin wayang, kakek selalu bertanya dulu kepada saya
mau dibuatkan wayang apa. Maka dari tokoh-tokoh yang

3 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
berkesan dalam benak saya itulah selanjutnya berturut-turut
kakek membuatkan saya beberapa wayang.
Pernah suatu kali kakek menolak waktu saya meminta
dibuatkan wayang raksasa Dasamuka. Saya tidak tahu
alasannya, Setelah beberapa kali kakek menawarkan tokoh yang
lainnya saja, tapi saya tetap `nggeyel` mendesak pokoknya
minta dibuatkan wayang yang berbentuk raksasa. Maka kakek
pun akhirnya menyetujui, saya dibuatkan wayang Kumbakarno
adiknya Dasamuka, tokoh ksatri yang berwujud raksasa. Dan
setelah selesai membuat wayang Kumbokarno, saya bertanya,
“Kenapa simbah membuat wayang Kumbokarno ?”. Seperti
biasa kakek hanya menjawab dengan singkat yang tidak saya
mengerti. Katanya Kumbokarno itu ahli pengobatan.
Memang kakek terkesan pelit bicara, kalo tidak ditanya tidak
bicara dengan sendirinya untuk memberi keterangan kepada
saya, baik sewaktu proses pembuatan wayang mapupun dalam
keseharian. Tapi ketika proses pembuatan wayang dilakukan -
yang biasanya pada siang hari sepulang saya sekolah sampai
dengan sore hari -, saya merasa asyik seperti diajak masuk ke
dalam karakter tiap tokoh yang sedang dibuat. Dalam beberapa
kesempatan pun saya ikut-ikutan meniru membuat wayang.
Sehingga bila ada beberapa hal atau bentuk gambar yang
berbeda mengundang pertanyaan dalam diri saya. Baru pada
saat itu muncul jawaban kakek yang dijawab singkat tapi selalu
dengan nada lembut. Sehingga meskipun jawabannya pendek
saya merasakan sesungguhnya kakek tidak terganggu dengan
pertanyaan saya, tapi sepertinya beliau sedang menyeleksi dan
mengarahkan saya supaya saya bertanya pada hal yang perlu-
perlu saja. Kalau pertanyaan itu mengena dan dianggap perlu
4 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
maka kakek menjawabnya sedikit panjang, dan itu membuat
saya senang. Oleh karena itu sampai sekarang beberapa
pertanyaan dan jawaban tersebut masih sangat berkesan.
Diantaranya adalah ketika Kakek membuatkan wayang
Werkudara. Waktu itu saya bertanya, karena kakek tidak
membuatkan saya Werkudara seperti yang saya maksudkan,
“Mbah, mengapa yang dibikin Werkudara yang rambutnya
masih diurai. “Beliau menjawab, “ Ya ini bentuk Werkudara
yang masih muda disebut Bratasena, rambutnya terurai karena
belum gulung jagad. “ Karena masih kecil saya belum mengerti
apa itu gulung jagad, Dan kakek pun menjawab “ Ya kalau sudah
bertemu dewanya baru bisa gulung jagad makanya rambutnya
digulung.” Saya makin tidak mengerti, tapi saya berlanjut
kepertanyaan berikutnya, “ Lalu siapa Dewanya Werkudara ,
mbah ?” Beliau menjawab, “ Ya..sabar habis ini selesai, kita
buat wayang dewanya Werkudara.”
Beberapa hari kemudian setelah wayang Bima selesai kakek
membuatkan lagi wayang yang lebih kecil tapi berbentuk
hampir sama dengan Bratasena. Beliau menjawab ini yang
disebut Dewa Ruci dewanya Bratasena. Saya penasaran
bertanya “ Tapi mengapa bentuknya Dewa Ruci hampir sama
dengan Bratasena, mbah ?” Sejenak kakek terdiam lalu
tersenyum menjawab “ Ya ngono kuwi, jagad gede lan jagad
cilik ki podo “ (Ya.. begitulah, jagad kecil dan jagad besar itu
sama). Sampai disini saat itu saya tidak mengerti, tapi kata-kata
itu walaupun disampaikan dengan lembut masih jelas
membekas dalam batin saya sampai sekarang.
Dari sekilas perjalanan berproses wayang bersama Simbah
ini, saya seperti menemukan suatu garis imaginer yang
5 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
menghubungkan antara wayang sebagai media seni dengan
konsep kehidupan dan berketuhanan orang jawa yang disajikan
dengan cara yang demikian unik, cantik dan artistik.
Simbah dengan konsepnya tentang kehidupan yang `tidak
tertulis` yang berikut saya pahami sebagai `kitab jagadnya yang
tidak kelihatan`, menggunakan metoda yang unik dalam
mentransformasikan pengetahuannya kepada saya diusia yang
terbilang masih anak-anak. Sehingga sempat terlintas dalam
benak saya bahwa simbah seperti sudah mengetahui dengan
pasti apa yang ditanamnya jauh-jauh hari ini kelak akan tumbuh
dan berbuah dimasa depan.
Pola pengenalan wayang oleh Simbah ini, saya rasakan
sebagai sebuah metode yang unik. Mengingat Simbah tidak
banyak menggunakan literatur akademis atau pemaparan
panjang lebar yang sistematis. Dalam penyampaiannya
berangkat dari batin simbah sendiri yang sudah meresapkan
hal-hal yang berhubungan dengan dunia wayang. Dan disajikan
secara kontekstual sesuai situasi kondisi yang ada. Memang
terkesan tidak teratur dan tidak terpola secara jelas. Tapi apa
yang disampaikan Simbah tersebut, dalam perjalanannya saya
rasakan seperti benih hidup yang ditanamkan dengan
sedemikian lembut sampai meresap di dasar kesadaran batin
saya yang masih belia. Sehingga benih itu seperti tersimpan
rapi dan tidak turut hilang tersapu oleh berbagai pengetahuan
dan wawasan-wawasan baru yang hadir selama perjalanan
hidup saya ketika menginjak dewasa. Bahkan ketika tiba
masanya, saat saya sudah dewasa, benih itu tumbuh dan
berkembang dalam diri saya pada saat yang tepat. Ketika saya
mulai membutuhkan konsep untuk memahami suatu kenyataan
6 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
hidup yang abstrak dan rumit, wawasan Simbah hadir,
memudahkan saya menyadari banyak hal, yang dulunya sulit
saya mengerti.
Setahu saya Simbah bukan seorang dalang, atau seniman
profesional di dunia pewayangan. Tapi di tangan Simbah,
wayang menjadi sedemikian hidup, bukan hanya sebagai media
hiburan yang menonjolkan unsur sensasional, tapi sudah
meresap sedemikian rupa menjadi bagian realita kehidupan.
Dalam beberapa kesempatan Simbah bercerita tentang
tokoh-tokoh pewayangan, disampaikan seolah-olah tokoh
wayang itu nyata ada dan hidup di antara kita. Dalam
penyebutannya pun beliau kadang mengatakan, “Iku Eyangmu
Janaka saiki lenggahe ana Dieng, suk mben yen ana perang
gede ana njawa ya bakal mudun maneh bareng kabeh Eyangmu
Pendawa liyane.” ( Itu Kakekmu Janaka sekarang berada di
Dieng, nanti kalau ada perang besar di tanah jawa ya akan turun
lagi bersama semua Eyangmu Pendawa liyane).
Bagi saya yang masih kecil saat itu, cerita Simbah ini menjadi
fantasi yang menarik tentang masa depan. Tapi ketika saya
menginjak dewasa, nalar saya sulit menerima pola pemikiran
Simbah tersebut. Apalagi setelah saya mendapatkan sumber-
sumber referensi tentang sejarah wayang dan kisah para
leluhur tanah Jawa. Tapi dengan keseriusan Simbah
membuatkan saya banyak wayang, dalam hari-hari bersamanya,
membuat saya yakin tentu ada maksud yang penting dibalik
pernyataannya yang absurd itu.
Pemahaman tentang Wayang bagi Simbah ini semakin jelas
bagi saya ketika saya sudah dewasa. Saya teringat dalam suatu
kesempatan Simbah pernah menyatakan bahwa , “manungsa
7 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
iku bisa dadi kaya wayang sak kothak. Lan Wayang sak Kothak
iku bisa dadi manungsa kabeh.”( manusia itu bisa menjadi
wayang sak Kothak. Dan Wayang sak kothak itu bisa menjadi
manusia semua). Ungkapan ini tentu tidak bisa dipahami secara
wantah (mentah) dalam bentuk lahirnya saja.
Sampai disini akhirnya saya mulai bisa memahami konsep
wayang dan kehidupan bagi Simbah. Bagi Beliau Wayang adalah
kenyataan hidup yang menjadi bagian dan selalu menyertai
setiap kehidupan yang dijalaninya. Dari sekian banyak yang
disampaikan Simbah tentang Wayang, akhirnya saya mulai
menemukan subtansi dasar hubungan wayang dan kehidupan
nyata.
Secara substansinya, Wayang adalah kenyataan batin dalam
kehidupan manusia. Segala hal yang tergelar di alam wadag,
tidak terlepas dari proses yang terjadi di alam batinnya. Dan
kehidupan dalam bentuk batin ini sering kali terasa sedemikian
abstrak dan sulit ditangkap dengan pemikiran yang masih
berpijak pada hal-hal yang bersifat material, dan masih
tergantung pada pencerapan inderawi fisik semata. Oleh
karenanya alam Batin ini sering dipahami sebagai Dunia
Bayangan atau Dunia Maya bagi manusia yang masih berpijak
pada pola pikir kuwadagan.
Pada kesempatan ini saya akan memaparkan materi yang
berkaitan dengan Dunia Maya Pewayangan, berangkat dari
wawasan yang saya pahami dari berproses wayang bersama
Simbah, dikaitkan dengan berbagai terminologi dan literatur
dunia wayang yang banyak dikenal di masyarakat.

8 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
B. Dunia Maya Modern
Belakangan ini, setiap hari kita disuguhi pertunjukan
kehidupan dalam beragam bentuknya yang vulgar hampir tanpa
takaran. Kebebasan menyatakan pendapat, dan berekspresi
mendapat kancah seluas-luasnya didukung teknologi informasi
yang semakin canggih.
Komputer, gadget, internet, media audiovisual maupun
media sosial yang berkembang saat ini, telah menjadi fasilitas
baru yang mampu memindahkan beragam aktivitas sosial dari
dunia nyata ke dunia maya. Dengan “hukum” yang berlaku di
dunia maya, sejumlah kemampuan yang tadinya tidak dimiliki di
dunia nyata, bisa didapatkan dalam sekejab di dunia maya.
Sebuah dunia yang mampu menembus batas ruang sosial, usia,
gender, pangkat, jabatan, tempat dan keadaan. Tidak banyak
hambatan untuk terbentuknya koneksi, komunikasi, dan
interaksi antar individu secara langsung. Baik dalam lingkup
privat maupun publik.
Melalui jejaring sosial, hal-hal bersifat pribadi, dalam waktu
singkat bisa tersebar luas menjadi viral di wilayah publik. Kata,
kalimat sikap atau tindakan seseorang yang mungkin pada
awalnya sesuatu yang sederhana dan dipandang lumrah di
dunia nyata, menjadi sebuah kehebohan tersendiri ketika
diunggah di dunia maya. Dan berikutnya berlanjut turun
kembali ke dunia nyata menimbulkan “goro-goro” berupa
masalah etika, estetika, sosial, HAM, ekonomi, agama, budaya,
politik, hukum, atau masalah lainnya.
Kondisi ini bila diungkapkan dengan bahasa pewayangan,
sepertinya saat ini “Lawang Selo Matangkep Khayangan” sudah
mampu ditembus oleh manusia yang ada di marcapada. Sebuah
9 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
lompatan peradaban yang luar biasa. Sehingga berbagai akses,
fasilitas, sarana kadewatan dari gedong pusaka, gedong
pustaka dan gedong busana yang dulunya tersimpan rapi
dengan sakral di Puri Khayangan, seolah sudah terburai
kemana-mana, bisa diakes oleh siapa saja.
Hari ini, seorang ABG labil, di sebuah gang sempit
pemukiman warga, hanya bermodalkan hp dan quota internet
harian, dengan fasilitas broadcast massage-nya, seperti
memiliki senjata pusaka Panah Arda Dedali yang bisa menjadi
ribuan anak panah ketika dilepaskan. Dia bisa dengan leluasa
melepas banyak pesan sekaligus ke berbagai tempat untuk
mengolok-olok, menghujat, dan memaki-maki menggunakan
“status”,“meme”, atau komentar-komentar pedasnya via
medsos langsung kepada seorang Presiden di Istana yang
memegang wenang menyatakan perang bagi sebuah negara.
Hari ini, banyak orang seolah mampu melepas senjata
Cakra Bethara Wisnu dan berlagak sebagai pengamat, dan
penasehat dadakan, merasa seperti Manungsa Pengawak
Dewa. Hanya dirinya yang paling bijak paling pandai, paling
benar, paling bisa, dan paling mengerti segala urusan bangsa
dan negara. Tapi ironisnya dirinya sendiri masih kesulitan
mengatur sumbu emosinya, ketika seseorang mempertanyakan
apa yang sudah dilakukan untuk negara.
Hari ini, orang mampu menggunakan Aji kawrastawan
dengan akun samaran di medsos hanya untuk menyembunyikan
identitas aslinya, supaya lebih leluasa melaksanakan aksi
dengan berbagai alasan dan tujuan. Dari perselingkuhan,
penipuan, pembunuhan karakter, provokasi, adu domba,
sampai fitnah yang keji atau pembodohan publik
10 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
Sekarang, melalui beragam metode survei dan berita opini
yang disebar di dunia maya, seolah orang bisa membuat Busana
Kadewatan. Sehingga banyak orang merasa bisa menjadi ratu
di Marcapada. Hal ini mendorong terlahirnya sosok-sosok
seperti Petruk “yang pingin” jadi ratu. Namun akhirnya mereka
kecewa karena daya Kemayan Busana Kadewatan yang
dikenakannya tidak mampu merubah kenyataan.
Ruang keluarga menjadi hutan belantara sunyi senyap
seperti tempat orang bertapa. Dikala ayah, ibu, dan anak-
anaknya berkumpul bersama, semua dengan takzim menunduk
terserap dalam munajat bersama perangkat Gadgetnya. Mereka
seperti penderita Autis yang sibuk dengan dunianya sendiri.
Senyum-senyum sendiri, ngomel-ngomel sendiri, marah-marah
sendiri, tidak ada interaksi yang berarti antar mereka meski
saling berdekatan. Semua seperti terserap oleh Aji Jala Sutra,
melalui daya kesaktian Gadgetnya. Tanpa sadar jaringan raksasa
dunia maya telah melahap kebersamaan keluarga dan
menghirup ruh kehangatan mereka. Sehingga yang jauh terasa
dekat dan yang dekat terasa jauh. Sebuah ironi kehidupan.
Keterasingan di dalam keramaian.
Hari ini mungkin Para Dewa perlu berpikir ulang tentang
kondisi perubahan dunia maya. Dahulu manusia harus mau
berusah payah dalam waktu lama untuk mendapatkan berbagai
anugerah, berupa informasi,petunjuk, wawasan, ilmu
pengetahuan, benda-benda pusaka, busana, mantram, atau aji
jaya kawijayan (sejenis program softaware aplikasi ?) dari Para
Dewa. Beragam “anugerah dewata” dari dunia maya tersebut,
menjadi luar biasa ketika di gunakan manusia di marcapada.

11 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
Sehingga hanya manusia piniji pinilih yang bisa
mendapatkannya.
Dengan “kurikulum pendidikan” macam itu, menjadikan
kedudukan para Para Dewa sangat dihormati, diluhurkan
bahkan disembah-sembah oleh manusia. Dan manusia harus
mau banyak berkorban supaya menerima beragam bentuk
anugerah dewata terebut
Tapi saat ini sepertinya semua mulai berubah. Segala
keistimewaan “anugerah Dewata” itu seolah dengan mudah
dan dalam waktu singkat mampu didapatkan manusia. Sekarang
banyak manusia seolah mampu “rogoh sukma” masuk dunia
maya. Tidak perlu dengan mesu raga berlapar-lapar dan
menahan dahaga menunggu lama dalam puja samadhi di
tengah hutan. Cukup dengan fasilitas pusaka kyai PC, Laptop,
hp atau gadget, dan pulsa Quata internet, didukung sinyal bagus
dari satelit, di kamar tidur yang nyaman, ditemani makanan
kecil, prosesi “rogoh sukma” itu pun sudah bisa dilakukan. Lalu
manusia bisa “nganglang jagad” berselancar di dunia maya,
mendownload beragam ilmu pengetahuan, atau beragam ajian
(software aplikasi) dari dunia maya yang bisa menambah
kesaktian perangkatnya.
Sepertinya saat ini istilah “wong lempoh ngideri jagad”
sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Dengan mudahnya
manusia modern menjelajah dunia dalam sekejab. Dengan
masuk dunia maya mereka bisa mendapatkan kabar berita,
bertegur sapa, berkomunikasi, menggali sumber-sumber ilmu
pengetahuan, ketrampilan, hiburan, dan mendonwload
beragam kemampuan baru dari berbagai belahan dunia.

12 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
Bahkan manusia sudah mampu membangun situs-situs
mayanya sendiri yang seolah menyamai situs khayangan milik
Dewata. Dan lagi, dari situsnya sendiri itu, berbagai “anugerah
kadewatan” bisa di-share kepada siapa saja secara gratis dalam
waktu singkat. Sehingga Para Dewa sebagai penguasa awal
dunia maya seperti kehilangan hak eksklusif sebagai sosok
penguasa dunia maya. Apalagi tentang hak Royalty, Para Dewa
sepertinya sudah lebih dahulu dipaksa menyerah oleh ulah para
pembajak.
Demikian gambaran umum fenomena dunia maya yang
sedang menjadi trend saat ini. Sebuah hasil kemajuan ilmu
pengeteahuan dan teknologi modern yang banyak memberi
pengaruh dalam kehidupan manusia. Selain mendatangkan
banyak hal positif, tentu juga banyak menghasilkan dampak
negatifnya.

C. Dunia Maya Pewayangan


Istilah dunia maya saat ini dipahami sebagai dunia yang
berhubungan dengan beragam aktivitas yang menggunakan
jaringan internet, komputer, laptop, Hp atau perangkat gadget
lainnya. Disini orang bisa bicara, mendengar, atau melihat dan
berinteraksi melalui perangkat audio visual dan jaringan
internet, beragam aktivitas dari tempat yang saling berjauhan
dalam waktu singkat, seperti sungguh-sungguh terjadi didepan
mata. Jarak dan waktu seperti tidak menjadi masalah.
Namun aktivitas melalui jaringan internet tersebut dalam
interaksinya belum mampu melibatkan seluruh perangkat tubuh
fisik manusia. Teknologi saat ini lebih banyak berkembang di
bidang audio dan visual. Oleh karenanya hanya indera
13 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
Pendengaran dan Pengelihatan saja yang bekerja lebih optimal.
Sedang indera penciuman, pengecapan dan indera perasa,
belum banyak dilibatkan. Sehingga meski sudah mampu
terbentuk interaksi secara audiovisual melalui tulisan, suara,
foto maupun video, semua itu dirasa masih belum lengkap.
Beragam aktivitas tersebut dirasakan masih sebagai bayangan.
Sesuatu yang antara ada dan tiada. Oleh karenanya disebut
dunia maya atau dunia bayangan.
Munculnya pengertian tentang “dunia maya” dalam
teknologi modern ini, tidak terlepas dari konsep tentang
“kenyataan” bagi manusia modern. Dimana konsep “
kenyataan”, dipahami berangkat dari hal yang bersifat material
yang berada dalam lingkup hukum-hukum fisika. Sedang bagi
persepsi manusia, kenyataan fisikal tersebut dipahami sebagai
kenyataan tubuh fisiknya. Dimana ketika tubuh fisik dan
perangkat inderanya mampu menangkap, merasakan, dan
mengalami sesuatu, maka sesuatu tersebut disebut kenyataan.
Dan ketika tubuh fisik manusia dengan segala perangkat
inderanya tidak mampu menangkap, merasakan atau
mengalami sesuatu, maka sesuatu tersebut bukan kenyataan.
Ketika tubuh fisik manusia hanya mampu menangkap
sebagian dari sesuatu, maka sesuatu tersebut dipahami masih
sebagai bayangan. Dimana bayangan ini berarti sesuatu yang
terikat, terhubung dan menjadi bagian dari kenyataan dirinya.
Seperti bayangan hitam yang dibentuk dari sebuah benda
terkena cahaya. Bayangan tersebut terjadi karena konsekwensi
berlakunya hukum fisika materi dari sebuah benda berkaitan
dengan cahaya. Bayangan bergerak dan diam, membesar atau
mengecil, jelas atau samar mengikuti benda atau sumber
14 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
cahayanya sebagai obyek nyata. Bayangan terbentuk ketika
obyek nyata ada. Dan bayangan akan hilang sejalan obyek nyata
juga hilang.
Dengan kata lain dunia nyata bagi manusia modern adalah
dunia fisik dengan segala fenomenanya yang mampu ditangkap,
dirasakan dan dialami sepenuhnya oleh tubuh fisiknya. Sedang
dunia maya adalah dunia fisik dengan segala fenomenanya yang
mampu ditangkap , dirasakan dan dialami serta terhubung
dengannya secara sebagian saja oleh tubuh fisiknya.
Berbicara tentang dunia maya atau dunia bayangan, hal ini
mengingatkan kita dengan istilah wayang. Sebuah kesenian
tradisional Jawa dengan filosofi dasar berasal dari kata
wewayangan (term. Bhs. Jawa) atau bayangan.
Wayang sebagai kesenian di tanah Jawa,sudah melewati
sejarah panjang. Dari waktu ke waktu mengalami
perkembangan dan perubahan mengikuti dinamika jaman.
Beragam media digunakan untuk penyajian seni pertunjukkan
wayang. Dari Kulit, kayu, kain, bahkan suket/ jerami, dsb.
Mengangkat beragam kisah yang menggambarkan kehidupan
manusia dengan segala kompleksitasnya secara simbolis.
Dari fungsi simbolis pewayangan, seringkali menempatkan
bukan hanya muatan ceritanya saja sebagai obyek bernilai
filosofis simbolis. Tapi juga media wayangnya, seperti bentuk
tubuh, warna muka, pakaian dan aksesoris yang dikenakan
tokoh wayang (sumping, Anting, kalung, kelat bahu, kain,dsb).
Termasuk beragam perlengkapan penyelenggaraan
pertunjungan wayang (spt blencong, gemelan, layar, debog),
pelaku seninya (dalang, waranggana, niyaga), dan tata tata
cara penyajian (tancep kayon, sigeg, ontowecanan,
15 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
sabetan,dsb) sebagai obyek bermakna simbolis yang menjadi
gambaran bayangan dari dunia nyata.
Sehingga secara keseluruhan bisa dikatakan dunia
pewayangan adalah sebentuk konsep “dunia maya” yang sudah
lebih dahulu diciptakan oleh nenek moyang kita, sebelum dunia
maya di internet ini ada. Sebuah dunia yang diciptakan untuk
memudahkan memahami fenomena kehidupan manusia di
dunia nyata yang multikompleks dan multidimensional dengan
menggunakan nilai-nilai hidup yang disajikan secara simbolis.
Simbolisasi dunia wayang ini, penggunaannya diantara
seperti digambarkan dalam uraian berikut ini :
.... Wong ngendang kang tukang gawe irama mau,
umpomo tabuhan jeglere manungsa, kendang mau
mampane ana napas. Dadi jejeg lan bubrahe irama
gumantung ana wasesane si kendang. Mangkono uga
manungsa rubuh lan jejege manungsa mau
gumantung lakuning swa ya iku lakune napas. ....
Terjemahan :
...orang menabuh kendang yang bertugas membuat
irama tadi. Umpama tabuhan adalah gambaran
wujud manungsa, kendang tadi adalah gambaran
nafas. Jadi baik dan rusaknya irama tergantung
kemampuan si Kendang. Demikian pula manusia,
rusak dan baiknya manusia itu tergantung jalannya
nafas...
( Tuturan Ki Narto Sabdo dalam lakon Dewa Ruci.)
“..... Yen wruh pamore kawula Gusti, sarta Suksma kang
sinedya putra, iya aneng sira nggone, lir wayang
16 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
sriranipun, saking dhalang solahing reki, minangka
panggung jagad, kelir badanipun, amolah lamun
pinolah, sesolahe kumedhap lawan ningali, tumindak
saking dalang.Wasesa winisesa sami, datan antara
pamore karsa, jer iku rupa-rupane, wis ana ing sireku,
pamirsane suksma sejati, ingkang ngilo Yang Suksma,
wayangan puniku, kang ana sak jroning kaca.iya sira
jenenge kawula Gusti, rupa sakjroning kaca....”
Terjemahan :
.....Apabila mengetahui manunggal hamba dengan
Tuhannya,bersama Suksma segala yang dimaksud
akan datang. Tempatnya ada padamu. Bagaikan
wayang badanmu (dirimu pen.) itu, dari Dalang
segala gerak-gerikmu. Sebagai jagad raya adalah
bentangan kelir, bergerak bila digerakkan. Segala
gerak, berkedip dan melihat, bertindak dari dalang.
Yang menguasai dan yang dikuasai sama. Tekadnya
telah menjadi satu, Bentuk rupanya sudah ada
padamu. Pengelihatan Suksma sejati, yang bercermin
Yang Suksma. Bayangan itu ada didalam kaca.
Kamulah yang disebut hamba Allah, rupa di dalam
cermin. .......
(Suluk Syekh Melaya, dari buku Serat Pustoko Rojo Purwa, Drs. Djoko
Dwiyanto, M hum hal- 66 & 125)

Namun pengertian “dunia maya” dalam pewayangan,


memiliki akar yang berbeda dengan dunia maya modern. Kalau
dunia maya modern berakar dari hal yang bersifat material
dalam kaitannya dengan jangkauan inderawi fisikal/ lahiriah.

17 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
Dalam dunia maya pewayangan, berangkat dari nilai-nilai
filosofi hidup yang bersifat kejiwaan/ batiniah.
Hal ini berangkat dari kenyataan bahwa kehidupan manusia
selain memiliki tubuh fisik juga memiliki tubuh halus berupa
jiwa. Selain kenyataan lahiriah juga ada kenyataan batiniah. Hal-
hal yang berkaitan dengan jiwa yang bersifat batiniah ini, sering
kali sedemikian kabur, abstrak dan sulit dipahami oleh manusia
sendiri. Sehingga kondisi kejiwaan ini dipahami seperti
bayangan, yang selalu mengikuti/ menyertai segala gerak hidup
manusia. Oleh karenanya kondisi batin manusia dengan
beragam fenomenanya ini dipahami sebagai dunia maya.
Untuk itu dibutuhkan media yang mampu menggambarkan
kenyataan kejiwaan / batin manusia. Supaya manusia lebih
mudah dalam memahami hidupnya secara lahir batin
seutuhnya. Dari kenyataan itulah terlahir Wayang, sebuah seni
dunia maya yang sarat dengan muatan nilai-nilai batiniah
kehidupan manusia.
Dalam perjalanannya, dari konsep dunia maya pewayangan
ini, mampu memberi inspirasi sehingga terlahirnya beragam
ilmu lahir batin, dalam rentang cakupan yang sedemikan luas
dan multidimensional. Dari ilmu filsafat, etika, estetika, sejarah,
sosial, budaya, politik, militer, tata negara, bahasa sampai ilmu-
ilmu ketuhanan, kasuksman, kebatinan dan kanuragan yang
biasa dikenal dalam keilmuan mistis dunia spiritual.
Menilik dari sejarahnya, bisa jadi istilah “dunia maya” di era
modern saat ini, terisnpirasi dari konsep dunia maya
pewayangan. Karena keduanya memiliki kesamaan karakteristik
dalam beberapa bagiannya. Untuk itu kita akan mengkaji lebih

18 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
dalam lagi tentang dunia maya ini dengan beragam karakteristik
dan fenomenanya bertitik tolak dari dunia pewayangan.

D. Triloka Bawana, Konsep Dunia Pewayangan


Konsep dunia maya dalam pewayangan tidak terlepas dari
konsep dunia dalam wayang secara keseluruhan yang
dipandang secara multidimensi. Dari dimensi spiritual yang
bersifat Immaterial sampai dimensi kuwadagan (fisik) yang
bersifat material. Dari dunia kecil yang ada pada pribadi
manusia, sampai dunia besar yang ada di alam semesta. Dari
dunia yang mewakili tata nilai kebaikan sampai tata nilai
keburukan.
Secara umum konsep dunia/ alam dalam pewayangan,
dibagi menjadi tiga alam yang disebut dengan Triloka Bawana.
Sebuah tata kehidupan yang tersusun dalam bentuk tiga alam
yaitu :
1. Alam Atas,
2. Alam Tengah,
3. Alam Bawah.
Sebuah konsep yang menggambarkan tentang kehidupan
manusia, alam semesta seisinya, dan Tuhan Yang Maha Esa.
Setiap tingkatan alam berjalan dalam sebuah hukum alam yang
bersifat saling berhubungan (sasab sinasaban) dan saling
mempengaruhi (wasesan winasesan). Sekilas konsep ini nampak
sederhana. Namun di dalamnya terdapat beragam dimensi Tata
Kehidupan yang menarik untuk diselami.
a. Triloka Bawana sebagai Tata Nilai Etika.
Dalam Triloka Bawana sebagai Tata Nilai Etika ini, Alam
dipahami sebagai tempat tata nilai hidup yang memiliki gradasi,
19 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
perubahan dan perwatakan dikaitkan dengan kualitas sifat
kebaikan (sura) dan keburukan (asura). Sebuah konsep
berangkat dari pesan moral yang biasa menjadi muatan etik
dalam sajian dunia pewayangan.
Dalam Triloka bawana sebagai tata nilai ini, Alam dan
penghuninya dibagi menjadi tiga :
1. Alam Atas (luhur)
2. Alam Tengah (madya)
3. Alam Bawah. (asor)
Alam Atas adalah alam tempat kehidupan makhluk-makhluk
yang penuh kebaikan, kekuatan, kemudahan dan serba enak
dan mulia. Tanpa disertai keburukan, kelemahan, penderitaan
dan kehinaan. (suka tanpa wali dukha)
Di Alam Atas inilah tempat bersemayam para Dewa-Dewi.
Bethara Bethari, Widadara-Widadari, Hapsara-Hapsari dan
makhluk-makhluk mulia lainnya. Alam Atas ini sering disebut
juga dengan Swargaloka.
Sekedar ilustrasi tentang keadaan Alam Atas, berikut kutipan
dari tuturan Ki Narto Sabdo dalam lakon Bima Suci yang
menggambarkan kondisi khayangan :
“ Lah punika ingkang wonten kahewangan Jung Giri
Saloka, tapalnyo warno Argo Dumilah Ngondar Andir
Bawana, yo ing Swargoloka. Sayekti piteraning
madyapada pro narendra, namung ginunggung
wiyaring jajahan miwah luhuring kaprabon, nanging
kayangan ta mboya, denya wis winenang hangratoni
sak isining triloka,

20 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
Wenang murba tan bisa kapurba, wenang masesa tan
bangkit kawasesa, wenang gawe tan bisa ginawe ,
wenang yogya tan wenang ingayogyaake.
Kayangan sayekti mboten nate mambet gandane
suker sakit,mboten nate nyumerepi geganthan
ingkang kuciwa, tan wonten penandang ingkang ona
namung nikmat mupangat tanpa karana kang
mekaten awit saka purbaning kawasa.
Sinten ta ingkang anggelaring ing khayangan tuhu
punika ingkang baguse Sang Hyang Jagad Girinata yo
Sang Hyang Jagad Giripati Sang Hyang Bethara Guru,
Sang Hyang Jagad Pratingkah, Sang Hyang Lata
Halubya yo Sang Hyang Trilocana, Caltutana Sewah
Boja Catur Boja.
Wawasane jawata tanpa winates,wenang angucap
tanpa lesan, ngambet tanpa grana, tumingal tan
netra, midanget tanpa talingan, apa kang cinipta teka
kang sinedya dadi .....”
Terjemahan :
Lah inilah yang ada di khayangan Jung Giri Saloka,
batasnya berupa Argo Dumilah Ngondar-Andir
Bawana, ya Swargoloka. Sesungguhnya kebesaran
para raja di dunia, hanya dihitung dari luasnya tanah
jajahan dan tingginya kedudukan, tapi khayangan
tidak. Sebab sudah berwenang menguasai seluruh
isinya Tiga alam.
Berwenang mencipta tak bisa dicipta, berwenang
menguasai tak bisa dikuasai, berwenang membuat
tak bisa dibuat, berwenang menata, tak bisa ditata.
21 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
Kayangan sesungguhnya tidak pernah tercium aroma
susah sakit, tidak pernah menyaksikan gambaran
yang mengecewakan, tidak ada penderitaan, yang
ada hanya nikmat manfaat tanpa syarat. Yang begitu
karena kehendak Yang Maha Kuasa.
Siapakah yang bertahta di khayangan. Inilah dia yang
cakap Sang Hyang Jagad Girinata yo Sang Hyang
Jagad Giripati, Sang Hyang Bethara Guru, Sang Hyang
Jagad Pratingkah, Sang Hyang Lata Halubya yo Sang
Hyang Trilocana, Caltutana, Sewah Boja, Catur Boja.
Wawasannya Dewata tidak terbatas, wenang berujar
tanpa lesan, mencium tanpa hidung, melihat tanpa
mata, mendengar tanpa telinga. Apa yang dicipta
datang yang dikehendaki jadi....
Alam Bawah adalah tempat segala yang bersifat rendah/
asor dalam arti secara kualitas bersifat buruk. Di Alam Bawah
inilah segala sifat keburukan kejahatan, kebencian, kekotoran,
kesusahan, penderitaan dan hal-hal yang tidak baik lainnya
berada. Alam Bawah ini disebut juga neraka. Tempat tinggalnya
makhluk-makhluk jahat dan tempat manusia yang sudah
meninggal yang semasa hidupnya di dunia banyak berbuat
jahat. Di Alam Bawah ini, mereka harus menjalani hukumannya
setimpal dengan kesalahan dan dosa yang diperbuatnya. Alam
Bawah ini juga tempat para Bethara- Bethari yang terkena
kutukan karena melakukan kesalahan.
Seperti Pasetran Gandamayit tempat Bethari Durga jelmaan
Bethari Uma yang telah dikutuk menjadi Raseksi dan diusir dari
Khayangan Jonggring Saloka oleh suaminya Bethara Guru
karena berbuat kesalahan (Lakon Sudamala). Bethari Durga
22 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
menjadi Ratu membawahi seluruh makhluk-makhluk halus yang
bersifat jahat dari golongan para Asura Drubiksa, ilu-ilu
banaspati,engklek-engklek balung atandak jrangkong waru
doyong wewe jejanggitan,kendo dan keblak.dsb
Atau Kawah Candradimuka, sebagai neraka tempat Pandu
menjalani siksaannya setelah meninggal dunia. Dikarenakan
sewaktu hidupnya dia memanah sepasang kijang yang sedang
bercumbu. Ternyata kijang tersebut jelmaan seorang Pertapa
sakti dan Istrinya yang sedang berkasih-kasihan. Sebelum
meninggal, Pertapa sakti itu mengeluarkan kutukan bahwa
Pandu akan meninggal disaat bercumbu dengan istrinya. Versi
lain penyebab Pandu masuk neraka adalah karena Dewi Madrim
pernah meminta kepada Pandu untuk meminjam lembu Andini
kendaraan Bethara Guru, dengan tebusan nanti meninggalnya
harus masuk neraka terlebih dahulu. Dan setelah meninggal
Pandu masuk neraka untuk menebus dosanya yang kemudian
dibebaskan oleh Bima dalam lakon Pandu Swargo.
Alam Tengah adalah dunia tempat kehidupan manusia dan
seluruh makhluk yang berbadan wadag. Disebut Alam Tengah
karena segala hal yang terjadi di Alam Tengah dipengaruhi sifat-
sifat dari Alam Atas dan Alam Bawah secara berlawanan.
Bersama kesulitan di dalamnya terdapat kemudahan. Bersama
keburukan terdapat Kebaikan. Semua bersifat sementara dan
selalu berubah dari waktu ke waktu. Di Alam Tengah ini, terus
menerus terjadi perebutan pengaruh antara Alam Atas dan
Alam Bawah. Alam Tengah sering disebut juga dengan istilah
Madyapada (Madya =tengah; Pada = tempat).
Dalam pewayangan banyak digambarkan adanya interaksi
antara ketiga dunia tersebut. Manusia yang berada di Alam
23 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
Tengah, sering memohon kepada para Dewa yang ada di Alam
Atas, untuk mengatasi masalah kehidupannya di madyapada.
Biasanya ritual permohonan dilakukan dengan cara tapa brata
di tengah hutan, atau puja samadhi di Sanggar Pamelengan.
Berikutnya bila permohonan dikabulkan Sang Dewa akan turun
ke Alam Tengah untuk memberi anugerahnya.
Kadang para Raksasa/ Asura jahat dari Alam Bawah naik ke
Alam Atas. Biasanya mereka hendak merebut tahta Bethara
Guru penguasa Triloka Bawana. Atau mendapatkan salah satu
bidadari yang paling cantik di khayangan. Dalam kondisi
tertentu, para Dewa tidak mampu menandingi kesaktian para
Raksasa. Mereka membutuhkan bantuan manusia yang dari
madyapada untuk melawan usaha kudeta para Raksasa. Dalam
keadaan ini, biasanya atas ijin para Dewa, manusia bisa masuk
ke Alam Atas untuk mengalahkan para Raksasa yang
mengobrak-obrik khayangan. Bahkan sebagai ganjaran manusia
diperkenankan tinggal beberapa saat di khayangan bila tugasnya
berhasil. Seperti dalam kisah Arjuna Wiwaha.
Golongan Dewa dari Alam Atas kadang ada yang menyamar
menjadi golongan bangsa Asura dan memasuki Alam Bawah
untuk mengambil keuntungan dari kemampuan yang dimiliki
bangsa Asura. Seperti Resi Wrehaspati guru para dewa yang
menyamar sebagai Resi Sukracarya guru para raksasa yang
menguasai Ilmu Mertasanjiwani. Sebuah ilmu yang mampu
menghidupkan orang mati, anugerah dari Bethara Sangkara/
Syiwa yang diberikan kepada Resi Sukracarya setelah
pertapannya selama seribu tahun.
Tak jarang Alam Tengah menjadi ajang pertempuran antara
golongan Dewata dan asura, dengan menjadikan manusia yang
24 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
berwatak baik dan berwatak jahat sebagai perantara dan sekutu
mereka. Sehingga Alam Tengah terbelah dan terjadi
pertempuran antara yang baik dan yang jahat.
Demikian garis besar gambaran tata dunia dan interaksinya
dalam konsep Triloka bawana sebagai tata nilai etika
kehidupan.

b. Triloka Bawana sebagai Tata Geocentris


Konsep Triloka Bawana ini, dalam pewayangan juga
dipahami sebagai tata letak geocentris dikaitkan dengan bumi
sebagai pusat kehidupan manusia di alam semesta.
Dalam konsep Geocentris ini, Triloka Bawana mengambil
pengertian dasar bahwa apa yang ada di langit dan di dasar
bumi, adalah bagian yang turut menyusun kehidupan manusia
yang ada dipermukaan bumi.
Beragam benda-benda angkasa seperti planet, bulan,
bintang, matahari, bahkan meteor, komet, dan sebagainya
digambarkan memberi pengaruh pada kehidupan manusia yang
ada di permukaan bumi. Kenyataan adanya tata sistem yang
mengatur seluruh benda-benda angkasa digambarkan berupa
Khayangan dengan para dewa-dewinya.
Demikian pula dengan apa yang ada didasar Bumi. Setiap
lapisan demi lapisan bumi memiliki nilai, manfaat dan
berpengaruh bagi kehidupan dipermukaan Bumi. Dan setiap
lapisan bumi memiliki tata sistem, dan karakteristik sendiri-
sendiri. Digambarkan sebagai khayangan dasar bumi.
Dalam konteks Triloka Bawana sebagai tata geocentris ini
terdapat pembagian :

25 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
Alam Atas adalah alam yang berkedudukan di langit,
angkasa atau tempat yang tinggi dipermukaan bumi. Khayangan
para dewa kebanyakan digambarkan mengambang berada di
langit, atau puncak-puncak gunung. Maka nama khayangan
sering mengandung istilah gunung (Giri, Argo, dsb)
Sebagai penguasa Triloka Bawana adalah Bethara Guru yang
bertahta di Khayangan Jongring Saloka. Atau Jung Giri Kaelasa,
suatu tempat bernama Kailasa di puncak Gunung Himalaya/
Mahameru/ Tenguru. Dalam menjalankan tugasnya, Bethara
Guru dibantu para Dewa dan Dewi serta makhluk-makhluk
khayangan lainnya, mengatur alam semesta dan seisinya. Setiap
unsur alam memiliki Dewa dan Kerajaannya sendiri. Seluruh
makhluk hidup dan semua urusannya juga ada dewanya sendiri-
sendiri.
1. Bethara Surya yang bertugas dan berkuasa mengatur
Matahari, bertahta di Khayangan Ekacakra.
2. Bethara Candra yang bertugas dan berkuasa mengatur
Bulan.
3. Bethara Indra yang bertugas dan berkuasa mengatur
Awan, hujan dan petir, bertahta di Khayangan Indraloka,
di jawa disebut dewanya keindahan.
4. Betara Bayu yang bertugas dan berkuasa mengatur Udara,
bertahta di Khayangan Arga Maruta.
5. Bethara Brama yang bertugas dan berkuasa mengatur Api,
bertahta di Khayangan Argo Dahana.
6. Bethara Baruna yang bertugas dan berkuasa mengatur
samudera.
7. Betara Wisnu dewanya kesuburan tanah bertahta di
Khayangan uttarasegara/Ariloka.
26 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
8. Bethara Yamadipati yang bertugas mencabut nyawa
makhluk hidup, bertahta di khayangan Arga Dumilah/
Yomaniloka.
Alam Tengah adalah permukaan bumi, tempat manusia dan
seluruh bentuk kehidupan lainnya.
Alam Bawah berada di dalam bumi, yang keadaannya
berlapis-lapis. Di pewayangan kita mengenal nama-nama
khayangan dasar bumi diantaranya sebagai berikut :
1. Kayangan Ekapratala, atau Bumi lapis pertama dikuasai
Bethari Pretiwi istri Bethara Wisnu.
2. Khayangan Dwipratala, bumi lapis kedua dikuasai Bethari
Kusika.
3. Khayangan Tripratala/ Bantala, bumi lapis ketiga dikuasai
Bethari Ganggang
4. Khayangan Caturpratala, bumi lapis keempat, penguasai
Bethari Sindula
5. Khayangan Pancapatala, bumi lapis kelima, penguasa
Bethari Darampalan
6. Khayangan Sadpratala, bumi lapis keenam, penguasa
Bethari Manikem.
7. Khayangan Saptapratala, bumi ketujuh, penguasa Bethara
Anantaboga.

Didalam konteks Tata Geocentris Triloka Bawana ini,


Manusia yang masih hidup di dunia tengah/ Madyapada, bisa
mengadakan interaksi bahkan menikah dengan makhluk dari
dunia atas, maupun dunia bawah.
Seperti Werkudara yang menikah dengan Dewi Nagagini
putri Bethara Antaboga dari Khayangan Saptapratala. Juga
27 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
Arjuna yang menikah dengan Bethari Dresanala putri Bethara
Brama dari Khayangan Argadahana.
Dalam konteks ini, kedudukan alam atas dan alam bawah,
tidak mesti dikaitan dengan tata nilai hidup yang berkonotasi
posisit dan negatif atau sebagai tempat kebaikan dan
keburukan. Putra-putra hasil perkawinan para ksatria dari
Madyapada dengan makhluk dari alam bawah, melahirkan
sosok yang berjiwa ksatria seperti Ontorejo putra Werkudara
dari Dewi Nagagini putri Bethara Antaboga. Sedang Bethara
Anantaboga atau Antaboga sebagai Raja Khayangan
Saptapratala yang ada didasar bumi terbawah, dikenal sebagai
Naga penjaga bumi, yang memiliki Tirta Amerta yang mampu
memberi kehidupan. Di dalam Lakon Bale Sigala-gala, Bethara
Antaboga menjelma menjadi garangan putih untuk
menyelamatkan para Pendawa yang mau dibakar oleh Kurawa.
Atau Bethari Pratiwi penguasa Khayangan Ekapratala dikenal
juga sebagai Dewi Sri atau Dewi Kesuburan. Yang membantu
banyak manusia terutama para petani dengan memberikan
kesuburan tanah dan hasil panen yang berlimpah.

c. Triloka Bawana sebagai Tata Lahir dan Batin


Dalam konsep Triloka bawana ini, kenyataan alam dipahami
dalam kaitannya dengan kehidupan lahiriah dan Batiniah.
Pemilahan ini bertitik tolak dari kenyataan hidup manusia yang
memiliki keadaan lahir batin. Kenyataan lahir diwujudkan
berupa Raga Wadag, sedang kenyataan batin diwujudkan
berupa Jiwa/ Atma.
Alam Atas adalah alam yang bersifat batiniah (Purusha),
sebagai tempat asal Atma manusia, sebuah kenyataan
28 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
Kesadarian hidup sejati manusia. Alam Bawah adalah alam yang
bersifat lahiriah (Prakriti), sebagai tempat asal unsur penyusun
raga wadag manusia. Alam tengah adalah alam Dunya,tempat
bersatunya jiwa dan Raga, sehingga terwujud manusia lahir
batin seutuhnya.
Digambarkan setiap manusia sebelum dititahkan ke alam
wadag, jiwanya masih berada di alam atas/ Swargaloka. Melalui
bapaknya, Jiwa/ Atma/ Jiwatman yang ada di alam atas ini,
turun atau menitis menjadi manusia dan menggunakan raga
wadag yang dibentuk di dalam kandungan ibunya. Dari
persatuan Bapa Akasa (alam atas) dan Ibu Bumi (alam bawah)
inilah terbentuk kehidupan lahir batin manusia di alam Wadag
(alam Tengah).
Alam Tengah tempat bersatunya jiwa dan raga atau lahir dan
batinnya manusia ini berikutnya disebut dengan istilah
Marcapada.
Kelak ketika manusia meninggal, jiwanya akan kembali ke
Alam Atas atau terjebak di Alam Bawah, tergantung tindak
perbuatannya semasa hidupnya di marcapada. Bagi manusia
yang banyak kebaikan akan bisa kembali ke Alam Atas dan
hidup bersama para Dewata. Bagi manusia yang banyak
melakukan kejahatan akan mendapat tempat di Alam Bawah
(naraka asura) dan hidup bersama bangsa Asura.
Dalam kaitannya dengan kenyataan lahir dan batin ini, Alam
Atas dan Alam Bawah dipahami sebagai alam batin, karena baik
alam atas maupun bawah hanya bisa dimasuki oleh manusia,
ketika jiwanya meninggalkan raga wadagnya. Baik itu kerena
telah meninggal atau menggunakan ilmu rogoh sukma ketika

29 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
masih hidup. Olah karenanya Alam Atas dan Alam Bawah
berikutnya disebut Mayapada
Bedanya Mayapada Alam Atas, dan Mayapada Alam Bawah
adalah pada tingkat kualitas pengaruh dari ikatan duniawi
kewadagan terhadap jiwa. Mayapada Alam Atas bertingkat-
tingkat. Dalam bentuk batinnya, semakin ke atas semakin terang
dan semakin terbebas dari pengaruh kuwadagan. Sedang
Mayapada Alam bawah, juga bertingkat-tingkat, semakin
kebawah semakin gelap dan semakin kuat pengaruh kuwadagan
dalam bentuk batinnya.
Namun di Alam Tengah sendiri juga ada dunia mayapada.
Dimana di Mayapada Alam tengah inilah tempat pertemuan
manusia yang masih hidup dengan makhluk-makhluk yang lain
secara batiniah yang sering digambarkan berupa pertemuan
dengan Dewa dari alam atas atau Siluman dari alam bawah yang
menghuni berbagai tempat di alam wadag. Seperti Hutan,
Gunung, Samudera dan sebagainya.

Jadi Mayapada ini meliputi ketiga alam dari tata Triloka


Bawana yaitu :
✔ Mayapada Alam Atas,
✔ Mayapada Alam Tengah,
✔ Mayapada Alam Bawah.
Sedang Marcapada hanya meliputi Alam Tengah tempat
pertemuan Lahir dan Batin. Atau lebih sering dipahami sebagai
alam Wadag saja. Sehingga bisa dikatakan Mayapada melingkupi
Marcapada.
Kenyataan Batiniah melingkupi kenyataan lahiriah ini, dalam
masyarakat jawa diungkapkan dengan istilah Kodok ngemuli
30 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
lenge, katak menyelimuti rumahnya. Katak disini diartikan
sebagai kasunyatan Batin yang menjadi isi dari segala bentuk
lehidupan. Sedang (lenge) rumah adalah kasunyatan lahir yang
menjadi wadah dari segelah yang berbentuk batin.
Sebagai ilustrasi antara mayapada dan marcapada ini, dalam
pewayangan digambarkan ketika Arjuna bertapa di tengah
hutan, biasanya diiringi oleh para Abdi Dalem Punakawan
Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Ketika Arjuna sedang
mendapat gangguan dari bangsa raksasa dalam tapanya, Arjuna
bisa melihat dengan jelas bentuk rupa warna, dan gerak para
Raksasa ketika mereka hendak memangsanya. Tapi Gareng,
Petruk dan Bagong tidak mampu melihat mereka sama sekali.
Baru setelah mendapat “lenga tala “ dari Arjuna dikelopak
matanya, ketiga punakawan anak Semar itu baru bisa melihat
kehadiran para raksasa tersebut disekitar mereka.
Realita Mayapada dari Alam Atas dan Alam Bawah, secara
batiniah ikut mempengaruhi jalannya sejarah manusia yang
hidup di Marcapada. Dari awal-tengah, dan akhir (purwa,
madya,wasana) kehidupan manusia. Di awal adalah pada saat
proses penitisan, di tengah pada saat berinteraksi dengan
makhluk-makhluk dari alam atas dan alam bawah yang saling
berebut pengaruh dalam keburukan dan kebaikan. Di akhir
adalah tempat jiwa setelah berpisah dari raga, yang menempati
alam atas atau Alam bawah sesuai watak yang dibentuk waktu
hidupnya.
d. Triloka Bawana sebagai Tata Jagad Besar dan Jagad Kecil
Triloka Bawana, tata jagad besar-kecil ini, berhubungan
dengan kedudukan manusia dan alam semesta. Dimana
kedudukan manusia dipahami sebagai jagad kecil, sedang alam
31 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
Semesta dipahami sebagai jagad besar. Sehingga terdapat
Marcapada Jagad kecil dan marcapada Jagad besar. Mayapada
jagad kecil dan Mayapada jagad besar.
Marcapada jagad kecil adalah tubuh fisik manusia, dan
Marcapada Jagad besar adalah seluruh gelaran alam semesta
kuwadagan (material). Sedang Mayapada Jagad Kecil adalah jiwa
atau keadaan batin manusia sebagai pribadi/individual. Sedang
Mayapada Jagad besar adalah Jiwa atau keadaan batin seluruh
makhluk yang ada di alam semesta.
Berkait dengan adanya Mayapada Jagad Kecil, digambarkan
dalam pewayangan ketika Yitma “Saudara Kembar” Gunawan
Wibisana hendak ikut Gunawan Wibisana yang akan meninggal
dan naik ke khayangan/ Alam Atas. Digambarkan Saudara
kembar goib ini adalah daya hidup kuwadagan dari Gunawan
Wibisana. Dalam spiritualisme jawa dikenal sebagai “ Kakang
Kawah , Adi Ari-Ari, Getih Dan Pusar. Sedulur papat kang lahir
metu saka marga ina.” Di dalam pewayangan biasanya
digambarkan seperti Raksasa berwarna Hitam, Kuning, Merah,
dan Putih. Sebuah gambaran tentang nafsu-nafsu manusia.
Selama kehidupannya di marcapada, Sedulur papat ini
banyak membantu Sang Ksatria dalam menjalankan darmanya.
Mereka membantu mewujudkan beragam bentuk kebutuhan
ragawi. Mereka juga menjadi aji kesaktian jaya kawijayan
kanuragan, yang membantu Gunawan Wibisana ketika
berperang atau menghadapi marabahaya.
Maka ketika sudah masanya Gunawan Wibisana akan
meninggal dunia,dan suksmanya hendak kembali ke swargaloka
(mayapada alam atas), Saudara Kembarnya ini hendak ikut naik
ke Surga. Tapi Gunawan Wibisana tidak mengijinkannya. Karena
32 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
kodrat mereka berada di marcapada (mayapada Alam tengah).
Kalau mereka ikut ke Swargaloka itu akan menghambat
perjalanannya terlepas dari segala hal yang bersifat kuwadagan.
Kehadiran mereka di Swargaloka menyalahi kodrat yang sudah
digariskan oleh Hyang Maha Kuasa.
Lalu Gunawan Wibisana memberi solusi untuk mereka
supaya bisa meneruskan darmanya di marcapada dengan
manjing ke tubuh Arjuna. Dengan daya sakti yang sudah
terbentuk selama kehidupan Gunawan Wibisana, mereka bisa
membantu darma Arjuna yang masih hidup di Marcapada.
Maka ketika Gunawan Wibisana meninggal dan Sukmanya
menuju Swargaloka, Yitma keempat saudara kembarnya
tersebut meninggalkan tubuhnya dan manjing ke dalam tubuh
Arjuna.
Adanya kenyataan jagad besar dan jagad kecil mayapada ini,
semakin diperjelas gambarannya dalam lakon Dewa Ruci, ketika
Werkudara berkehendak mencari hakekat Hidup Sejati atau
Ilmu Sampurnaning Dumadi.
Dalam lakon ini, Werkudara meminta petunjuk kepada guru
wadagnya di jagad besar yaitu Pandhita Dorna. Kedudukan
Pandhita Dorna sebagai gurunya para Pendawa dan para
Kurawa, menjadikan posisinya dilematis. Disatu sisi Pandhita
Dorna berkewajiban memberi petunjuk yang benar kepada
semua muridnya baik dari Pendawa maupun Kurawa. Disisi lain
Pandhita Dorna harus bisa mengakomodasi kehendak Kurawa
yang berkuasa di Hastina tempatnya mengabdi. Disini para
Kurawa berkehendak mengurangi kekuatan Pandawa, supaya
nantinya bisa memenangkan perang Bharatayudha. Para Kurawa
menuntut Pandhita Dorna menunjukkan kesetiaannya kepada
33 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
Hastina. Pandhita Dorna diminta memanfaatkan kedudukannya
sebagai Guru untuk membinasakan Werkudara.
Dihadapkan hal yang demikian, dalam pertemuan bersama
Patih Sengkuni dan Prabu Duryudana, Pandhita Dorna
memberikan petunjuk-petunjuk yang diplomatis kepada
Werkudara, tentang Ilmu Sampurnaning Dumadi. Yaitu disusruh
mencari Tirta Pawitro Mahening Suci di Alas Tebrasara dekat
Gunung Reksamuka di dalam Goa Sigranggo, sebagai syarat
untuk pembabaran Ilmu yang dimintanya.
Di satu sisi secara lahiriah, dengan prasyarat ini terbaca oleh
Kurawa bahwa petunjuknya tersebut mengarah pada matinya
Werkudara. Di sisi lain Pandhita Dorna mengarahkan Werkudara
bahwa untuk mendapatkan Ilmu Hidup Sejati, harus disertai laku
dan pengorbanan yang harus dijalani dengan kesungguhan lahir
batin.
Kurawa yang lebih berambisi terhadap keduniawian,
digambarkan sebagai kelompok yang lebih memandang segala
sesuatu dari lahirnya saja. Sehingga petunjuk Pandhita Dorna
kepada Werkudara yang bersifat spiritual batiniah, lebih
dipahami sebagai hal-hal yang bersifat kasat mata keduniawian.
Maka kepergian Werkudara yang diperintahkan menuju Alas
Tebrasara, dekat Gunung Reksamuka di Goa Sigronggo untuk
mencari Tirta Pawitra Mahening Suci dipahami sebagai
kenyataan fisikal kuwadagan semata.
Dengan pemahaman ini menjadikan kedudukan Pandhita
Dorna aman dihadapan Kurawa yang menuntut tewasnya
Werkudara. Menurut gambaran mereka Alas Tebrasara adalah
hutan yang gawat keliwat-liwat jalma mara jalma mati, sato

34 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
mara sato mati, sehingga bisa dipastikan Werkudara akan mati
disana.
Disisi lain bagi Werkudara perjalanan beragam kesulitan dan
mara bahaya ini adalah kesempatan untuk mencurahkan
segenap kemampuan lahir batinnya, untuk meraih kemulyaan
hidup dan memahami hakekat Hidup Sejati. Sedang syarat yang
diajukan oleh Pandhita Durna berupa mencari Tirta Pawitro
Mahening Suci adalah sebentuk tuntunan memantabkan hati
sejauh mana kepatuhannya kepada perintah guru.
Dalam sajian pertunjukan Wayang, sering kali tidak
diperjelas proses perpindahan dari alam Marcapada ke alam
Mayapada ini. Semua dituturkan sedemikian rupa sehingga
semua seperti terjadi pada dimensi alam yang sama. Terutama
bila berkaitan dengan kejadian yang tempatnya masih berada di
Alam Tengah atau Marcapada. Sehingga adanya kenyataan
hubungan antara alam mayapada dengan alam Marcapada ini
menjadi kabur.
Sedang dalam berapa keadaan, manusia yang masih hidup di
marcapada kadang diceritakan berinteraksi dengan makhluk-
makhluk dari alam bawah, yang berbadan halus seperti para
Drubiksa, Raseksa, Raseksi, Atau Dewa-Dewi yang sedang
menjalani hukuman kutukan dari Bethara Guru. Atau para
ksatria yang menerima anugerah Dewata yang turun ke
Marcapada. Ini artinya telah terjadi interaksi di dimensi
Mayapada jagad Besar.
Seperti kisah selanjutnya dalam lakon Dewa Ruci ini,
digambarkan Werkudara di Alas Tebrasara, berjumpa dengan
dua raksasa Kembar Dityakala Rukmuka dan Dityakala
Rukmakala. Secara lahiriah Alas Tebrasara adalah sebuah
35 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
tempat di marcapada berupa hutan angker, gung liwang liwung,
gawat keliwat liwat jalma mara jalmo mati sato mara sato mati.
Sebuah gambaran umum tentang tempat angker yang misterius
sarat dengan hal-hal yang bersifat mistis.
Di Alas Tebrasara ini, konon keberadaan hewan-hewan
penghuni hutan semakin langka, karena sudah habis dilahap
kedua Raksasa untuk memuaskan nafsu laparnya. Semakin hari
keduanya semakin kesulitan mencari hewan santapan mereka.
Maka ketika datang Werkudara di hutan itu, kedua raksasa
kembar pun segera hendak menyantapnya.
Maka terjadilah pertempuran dahsyat di Alas Tebrasara itu.
Digambarkan, sering kali ketika Rukmuka berhasil dibunuh
Werkudara, dia bisa hidup lagi ketika kembarannya Rukmakala
melompati jasadnya. Demikian pula sebaliknya ketika
Rukmakala mati, dia bisa hidup lagi ketika Rumuka
melompatinya. Begitu seterusnya. Sampai Werkudara perlu
berfikir ulang supaya bisa mengalahkan mereka. Ternyata untuk
mengalahkan keduanya, tidak cukup dengan kekuatan saja tapi
butuh kecerdikan. Dan akhirnya keduanya binasa setelah
Werkudara berhasil mengadu kepala keduanya dibenturkan
bersamaan. Dan Kedua raksasa tersebut menjelma menjadi
wujud asli mereka yaitu Bethara Indra dan Betahra Bayu.
Adanya Sosok Raksasa penghuni hutan angker Alas
Tebrasara, ini lebih banyak dikaitkan dengan hal-hal yang
bersifat mistis/ goib. Ditandai dengan adanya kemampuan luar
biasa yang dimiliki mereka yang bisa hidup kembali setelah mati.
Namun disisi lain digambarkan mereka memangsa hewan-
hewan di Alas Tebrasara. Ini berarti berkaitan dengan alam
wadag. Bagaimana sosok goib bisa memangsa hewan yang di
36 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
alam wadag, sering kali tidak dijelaskan lebih lanjut. Namun dari
keadaan ini sepertinya lebih menggambarkan bahwa terdapat
alam Mayapada di Alam Tengah/ Marcapada ini. Dan
keberadaan alam Mayapada sebenarnya tidak memakan
tempat, tapi bisa berada secara bersamaan di suatu tempat.
Seperti sebuah bayangan tubuh seseorang yang tidak memakan
tempat meski berada di dalam satu ruangan.
Adapun bentuk Raksasa yang digambarkan tinggi besar,
kokoh seperti gunung anakan, selain penggambaran
keperkasaan dan kekuatan, dibalik itu terdapat gambaran
konsekwensinya berupa kebutuhan besar untuk memenuhi
kebutuhan ragawinya. Secara batiniah kebutuhan besar itu
digambarkan berupa Nafsu yang besar, serakah, tamak, dan
tidak mengenal batas. Nafsu inilah yang mendorong sehingga
semua yang ada disekitarnya dilahap habis demi kepuasan
pemenuhan ragawinya.
Jadi di Alas Tebrasara ini, Werkudara sedang berhadapan
dua kekuatan besar perwujudan nafsu liar dari lingkungan
hutan tersebut. Supaya bisa mengalahkan kekuatan nafsu
lingkungannya, Werkudara harus memiliki kekuatan yang lebih
besar dari mereka. Dengan bekal olah kanuragan (mengolah
nafsu ragawi) yang dimilikinya, ternyata Werkudara mampu
mengalahkan mereka satu per satu.
Tapi diluar dugaannya, ikatan antar nafsu dari lingkungan ini
bisa saling menghidupi. Bila yang satu mati, satunya bisa
menghidupkan kembali. Maka jalan satu-satunya untuk
mengalahkan Nafsu besar yang bersekutu dalam sebuah
lingkungan adalah dengan mengadu keduanya, sehingga mereka
menemukan kesadaran diri kembali ke asal mula terbaiknya.
37 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
Digambarkan dengan Dityakala Rukmuka dan Dityakala
Rukmakala yang menjelma kembali menjadi Bethara Indra dan
Bethara Bayu.
Adanya sosok Dewa dari Alam Atas yang mangejowantah di
Marcapada, ini menandakan peristiwa yang terjadi adalah
sebentuk peristiwa batiniah. Sehingga pertempuran antara
Werkudara dengan kedua Raksasa jelmaan Dewa tersebut
adalah gambaran dari pertempuran batin yang terjadi di
mayapada jagad besar.
Sedang gambaran adanya mayapada Jagad kecil adalah
ketika Werkudara terjun ke Samudra dan bertemu dengan Dewa
Ruci. Keadaannya digambarkan sbb :

“ Sak jung pesagi abrit toyaning samudra kelunturuan


dening getihing naga. Sang Nabatnawa kang nalika
semana sirna saking pandulu. Kumambang sawang
kunarpo Sang Werkudara nanging kaya ngapa ta gawok
ing penggalih. Nganti mboten saged kawuningan sang
werkudara tetangisan ing pulo alit ingkang sarwo
nengsemake ing pandulu rerengganing pulo. akeh wit
witan kang pada thukul ing kono pating bendoyot
wowohane. Nanging eloke dene kabeh mau dumadi sarana
cahyo. Keklempakane pepadang parandene masih kawon
padang kalawan urub kang angiringi lakune bocah bajang.
Anyaketi unggyaning sang Werkudara dadya kaget
nggenyo mulat.

Werkudara :
Aku gumun tanpa upomo, rumangsaku kaya wis ngancik
jaman pati. babar pisan aku ora ngarasa urip. Jebul ndak
38 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
tlisik sarandunge badanku nganti tekan dlamakan sikil
isih krasa yen ta ngambah bumi. Sirna pepalange
samudra wujudke naga ingkang anyaut pupuku, ora
kanti ndak nyono nyono aku ketangsang ing pulo cilik
kang rerengganing sarwa endah akeh tethukulan ing
kene kang wohe pating bendayoyot kabeh dumadi
sarana cahya, parendene pepadang mau isih kalah
kekuwungane kalawan pepadang kang angiringi lakune
bocah bajang.....”
Terjemahan bebas :
Satu Jung persegi merah air samudra terkena darah
naga. Sang Nabatnawa yang ketika itu sirna dari
pengelihatan. Terheran-heran Sang Werkudara
menyaksikan kejadian itu. Sampai tidak sadar, Sang
Werkudara terharu berada di sebuah pulau kecil,yang
serba memikat dilihat keindahan pemandangan pulau
itu. Banyak pohon yang tumbuh disitu, berbuah lebat.
Tapi anehnya, semua itu terbuat dari cahaya.
Sekumpulan cahaya terang tersebut masih kalah terang
oleh Cahaya yang mengiri jalannya seorang bocah
bajang. Yang menghampiri Sang Werkudara.
Mejadikannya kaget dan waspada.
Werkudara :
Aku heran tak terkira, perasaanku seperti sudah di alam
kematian, sama sekali tidak merasa masih hidup.
Ternyata aku amati seluruh badanku sampai telapak kaki
masih berasa menapak bumi. Sirna halangan samudra
wujudnya naga yang menerkam pahaku. Tidak kusangka-
39 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
sangka, aku terdampar di pulau kecil yang
pemandangannya serba indah oleh pepohanan yang
rimbun buahnya, semua terbuat dari cahaya. Tapi semua
cahaya tadi masih kalah terang dengan cahaya yang
mengiringi langkah Bocah Bajang ....”
Dalam Mayapada Jagat Kecil ini, segala yang ditemui
Werkudara adalah gambaran-gambaran kenyataan yang ada di
dalam batinnya sendiri. Termasuk sebuah pulau yang semuanya
tersusun dari cahaya. Juga hadirnya sosok Bocah Bajang yang
bercahaya terang yang terangnya melebihi segala cahaya yang
ada disekitarnya. Ini adalah gambaran dari kemurnian batinnya
setelah mampu melewati berbagai hambatan dan rintangan
segala bentuk kuwadagan yang menggelapkan jiwa.
Bocah Bajang sebagai kenyataan Batin yang murni ini, pada
awalnya dipahami seperti sosok yang kecil. Ini menandakan
kenyataan murni ini tersembunyi, dan tampak sedemikian
lemah di dalam kelembutan segala bentuk pergerakan dan
gelaran batin manusia. Tapi meskipun tampak kecil dan lemah,
bila berhasil menemui, dari keadaannya memancarkan cahaya
terang yang melebihi terang dari cayaha sekelilingnya. Ini
menandakan kemurnian batin digambarkan berupa sosok bocah
bajang ini adalah Sumber cahaya dari segala terang yang ada di
dalam batin sang Werkudara.
Sering dipahami bahwa Jagad Kecil, sama dengan Jagad
Besar. Sehingga antara jagad kecil dan jagad besar memiliki
kenyataan kembar. Ini tentu tidak bisa dimaknai secara lahiriah,
tapi lebih pada keadaan yang bersifat batiniah. Hal ini
digambarkan lebih lanjut ketika Sang Bocah Bajang sebagai

40 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
perwujudan awal dari Sang Dewa Ruci, meminta Werkudara
untuk masuk ke “tubuhnya”.
Seperti digambarkan pada tuturan Ki Nartosabdo lakon
Dewa Ruci berikut ini :
Dewa Ruci :
“.... lha mungguh gamblange yen sira kepingin bakal
nyumerepi urip langgeng kang tentrem sarta kalis
saliring rubeda iku, yen wis sira bisa angungak kang
ingaran alam jati
“ .....Lha untuk jelasnya, kalau engkau berkehendak
akan mengetahui Hidup Abadi yang tentram dan
terhindar segala macam masalah itu, kalau kamu
sudah bisa menyaksikan yang disebut Alam sejati)
Werkudara :
Wonten pundi papan dunungipun anggen kula bade
anggungak dununge alam jati ?
( Dimana tempat kebaradaannya supaya saya bisa
menyaksikan adanya Alam Sejati ?)

Dewa Ruci :
ora bisa tok sawang sarana netra nanging amung bisa
kadulu sarana cipta , bisane tumuli nyumuripi sira
manjinga ana guwa garba Ulun
(tidak bisa kau lihat dengan mata kepala tapi hanya
bisa disaksikan dengan cipta, untuk bisa segera
mengetahui, masuklah ke dalam “tubuh”ku).
Werkudara :
aduh pukulun menapa bade saged kasembadan, kulo
pangawak pragata paduka namung asipat bajang,
41 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
sampun malih ta ingkang kula sak wetahipun nadyan
jenthik mangsa cekapo..
(Aduh pukulun, apa bisa terjadi ? Saya yang berbadan
besar seperti gunung, sedang Anda bersifat
bajang/tubuh kecil. Jangankan badanku seutuhnya,
hanya kelingking saja apa cukup ?)
Dewa Ruci :
eh dara..dara gede ndi sira lawan jagad. samudra lan
gunungipun sayekti wis bisa kawengku ing jeneng
ulun. Dalan kang prayoga bisane tumuli sira
gamblang,kalawan apa ingkang sira upadi, manjinga
ana gowa garba ulun metua talingan ulun ingkang
sisih kiring.
(eh..dara...dara, besar mana antara kamu dan jagad.
Samudra dan gunung pun pasti bisa termuat olehku. Jalan
yang baik supaya kamu bisa jelas dengan apa yang kau cari,
masuklah dalam tubuhku melalui telinga kiriku.)
Dalam lakon ini Dewa Ruci adalah gambaran dari Kasunyatan
Jagad Kecil yang ada dalam diri Werkudara. Sebuah kenyataan
Hidup yang mampu menampung dan menjadi segala hal
(mancala putra-mancala putri) bentuk kehidupan seperti apa
yang tergelar jagad besar, yang berada di dalam jagad kecil
manusia. Sebuah kenyataan batiniah yang murni dan tersilam
dalam tubuh wadag manusia.
Dalam konsep Triloka Bawana sebagai Tata Lahir Batin,
seperti tersebut di point sebelumnya, dikataan Jagad Besar
Alam batin yang terdiri dari Mayapada Atas, Mayapada Tengah,
Mayapada Bawah melingkupi Alam Lahir/ Marcapada. Kondisi

42 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
ini disitilahkan dengan “kodok ngemuli lenge” (katak
menyelimuti rumahnya) .
Dalam jagad kecil yang terjadi sebaliknya. Kebanyakan pada
diri manusia, Kasunyatan Marcapada/ raga wadag melingkupi
Mayapada/ Jiwa. Dalam Jiwa manusia terkandung kasunyatan
Mayapada Atas, Alam Mayapada Tengah, dan Mayapada
Bawah. Kondisi yang demikian disebut “Lenge ngemuli kodoke”
(Rumah menyelimuti Kataknya).
Maka ketika manusia mampu memasuki alam batin seperti
yang digambarkan seperti Werkudara dalam lakon Dewa Ruci
tersebut diatas, dikatakan seseorang sudah bisa sampai
kesadaran Semesta. Atau Kodok ngemuli lenge. Disana
seseorang bisa menyaksikan segala pagelaran kehidupan dari
seluruh isi jagad raya dari batinnya.
Berhubungan dengan Triloka Bawana Jagad Kecil-Jagad Besar
ini, lebih jauh lagi terdapat pembagian alam sebagai berikut :
1. Alam Atas disebut Indraloka,
dalam diri manusia letaknya di Kepala, pusatnya di pikiran.
2. Alam Tengah disebut Janaloka,
dalam diri manusia letaknya di dada, pusatnya di hati.
3. Alam Bawah disebut Giri Dasar Marcapada,
dalam diri manusia letaknya di organ kelamin, pusatnya di
testis (laki-laki) dan Ovarium ( perempuan).
Add.1 Alam Indraloka
Secara Istilah, Indraloka adalah nama khayangan Bethara
Indra. Dewanya petir, hujan, perang. Di dalam pewayangan jawa
Bethara Indra digambarkan juga sebagai Dewanya keindahan.
Ini berkaitan dengan keadaan dan fungsi pikiran dalam diri
manusia. Dimana pikiran adalah pusat kesadaran yang berfungsi
43 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
memberi gambaran (gegantahan) dengan kemampuan daya
ciptanya maupun daya ingatnya. Pikiran juga menjadi pusat
keramaian dengan beragam alur lalu lintas logika dalam fungsi
analitik maupun sintetik, sehingga menghasilkan sebuah
pengertian.
Di Alam Indraloka inilah antara pikiran kolektif semesta dan
pikiran individual berinteraksi membentuk dinamika saling
mempengaruhi, sehingga segala sesuatunya menjadi jelas dalam
bentuk dan batas-batasnya berupa image/ gambar (gantha) dan
perwujudannya (gatra)nya.
Dalam alam Indraloka ini para Dewa sesuai bidang tugasnya
masing-masing , berperan sebagai sumber cahaya yang
melahirkan inspirasi dalam diri manusia. Cahaya itu bisa berupa
ilham, petunjuk, gambaran tentang kehidupan yang telah,
sedang , dan akan dijalani manusia. Oleh karenanya pikiran yang
sudah tercerahkan juga disebut akal budi. Dimana budi berarti
terang. Berikutnya manusia dengan akal budinya mengolah,
memahami dan menyajikan dengan beragam bentuk gantha
(gambaran) dan gatra(wujud) nya, sesuai daya cipta dan daya
tangkap pikirannya. Hal ini menjadikannya sebagai sumber
gagasan/penggagas/creator ketika disajikan bagi
lingkungannya.
Dari pancaran pikirannya tersebut, akan berinteraksi dengan
pikiran sekelilingnya baik yang pro maupun kontra, melahirkan
kesadaran baru, berjalan secara wasesan winasesan membentuk
dinamika dan tata kehidupan dalam pemikiran.
Add.2 Alam Janaloka
Adalah Alam Rasa-Pangrasa. Ini berkaitan dengan keadaan
dan fungsi hati dalam diri manusia, yang mewadahi rasa bukan
44 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
rasa ragawi seperti panas dingin manis pait, tapi rasa yang
bersifat batiniah. Dalam pewayangan, digambarkan sebagai
sosok Janaka titis bethara Indra. Seorang Ksatria yang memilik
ketajaman hati dan kecerdasan spiritual dan emosional sehingga
mempesona, tangkas, trengginas bersikap dan bertindak dalam
menghadapi berbagai masalah.
Dalam jagad kecil yang berpusat di hati manusia ini, terdapat
dua jalan. Pertama adalah jalan yang mengarah kepada
kerohanian yang memberi kejelasan hakekat segala sesutau
tanpa batas. Kedua adalah jalan yang mengarah kepada
kuwadagan yang memberi kejelasan bentuk dan batas atas
segala sesuatu.
Rasa adalah keadaan dan fungsi hati ketika berhubungan
dengan hal-hal yang bersifat spiritual atau kerohanian. Keadaan
hati yang lembut, jernih, dan murni menjadi cahaya keyakinan
yang mampu menuntun manusia untuk melangkah di jalan
kenyataan, terhindar dari segala semunya beragam bentuk
gantha-gatra yang dicipta dalam pikiran. Dengan rasa ini
manusia mampu menemukan kenyataan mendasar hakekat dari
segala sesuatu. Yang menuntun dirinya pada kenyataan hidup
sejati yang berasal dari Tuhan Yang Maha Hidup. Oleh
karenanya rasa ini disebut juga dengan Rahsa jati.
Pangrasa adalah keadaan dan fungsi hati ketika
berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kuwadagan atau
keduniawian. Berakar dari nafsu yang melahirkan beragam
warna emosi, yang memberi daya gerak dan suasana bagi jiwa
membentuk perasaan.
Di Alam Janaloka ini, manusia berhubungan dengan rasa dan
pangrasa seluruh makhluk di alam semesta. Para Dewa
45 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
berkedudukan sebagai pembimbing hati, pemberi cahaya yang
menuntun kepada kenyataan bersifat rohaniah berupa
keyakinan atas sebuah keadaan.
Para Kajiman dan Makhluk hewaniah, tumbuhan dan segala
bentuk gelaran alam semesta, memberi pengaruh kepada hati
dengan menarik kepada bentuk-bentuk bersifat kuwadagan
duniawi sehingga terjadi pergolakan emosional dalam beragam
bentuknya dalam hati manusia.
Di Alam Janaloka ini, setiap saat Hati manusia bergerak dan
berubah dalam dua arah antara Rohaniah dan Duniawiah, sesuai
kenyataan dan kewajiban dalam kehidupannya.
Add.3 Alam Giridasar Marcapada
Di Jagad Besar,Giridasar Marcapada adalah alam tempat
bersatunya kenyataan batiniah dari Bapa Angkasa dan
Kenyataan lahiriah dari Ibu Bumi, membentuk kehidupan lahir
batin di permukaan bumi, berupa beragam makhluk, seperti
manusia, hewan dan tumbuhan, batu, tanah, air, api udara dan
beragam bentuk gelaran ekosistem kuwadagan, seperti
samudera, gunung, lembah, bukit, hutan, sungai, dsb.
Dalam jagad kecil manusia, pusat pembentukan kehidupan
wadag berada di organ kelaminnya yaitu berupa testis penghasil
sperma pada laki-laki, dan overium penghasil sel telur (ovum)
pada perempuan. Perpaduan dua dzat kehidupan inilah yang
menjadi cikal bakal kehidupan manusia sehingga bisa mawujud
di alam wadag.

e. Triloka Bawana sebagai Tata Spiritualisme


Dalam Triloka Bawana tata Spiritualisme ini didasari dari
adanya kenyataan hubungan antara Kehidupan Manusia, Alam
46 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
semesta dan Tuhan. Disini Kehidupan dipahami, Tuhan sebagai
Sangkan Paraning Dumadi. Tuhan adalah asal (sangkan) dan
tujuan (paran) kembali dari manusia dan semua makhluk di
alam semseta.
Dalam proses dari Tuhan dan kembali ke Tuhan ini, manusia
melewati sebuah proses siklus kehidupan yang meliputi
beberapa tingkatan alam. Secara garis besar, alam dalam siklus
kehidupan manusia ini dibagi menjadi tiga tingkatan alam atau
Triloka Bawana
1. Alam Sonya Ruri
2. Alam Mayapada
3. Alam Marcapada

Add. 1. Alam Sonya Ruri


Adalah Alam Kasunyatan yang bersifat kekal abadi, tidak
terbatas oleh apapun, dan tidak bisa dimisalkan dengan apapun
juga. (tan Keno Kinaya ngapa). Alam yang menjadi asal dan akhir
dari segala bentuk kehidupan.
Kenyataan tanpa bentuk dan terbebas dari segala ikatan dan
batasan bentuk ini, sering diistilahkan dengan Sonya/ Suwung.
Bagi kehidupan manusia yang terikat dengan banyak bentuk dan
batasan, alam tempat terbebasnya diri (pamudaran) dari
berbagai bentuk ikatan kehidupan yang membatasi
keberadaannya ini disebut alam Sonyaruri.
Berbagai bentuk kehidupan yang terbatas ruang dan waktu
dan selalu berubah-ubah bentuknya (owah gingsir), dilihat dari
persepektif keberadaan dikatakan sebagai kenyataan Maya/
bayangan fatamorgana atau kepalsuan. Sehingga alam Sonyaruri
sebagai tempat kenyataan yang sudah tidak ada perubahan lagi
ini disebut juga alam Sejati atau Alam Kelanggengan.
47 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
Kasunyatan tanpa rupa, warna, bau , rasa, bentuk, yang
Hidup mandiri kekal abadi tidak terbatas oleh apapun dan tidak
bisa dimisalkan dengan apapun juga, ini sering diungkapkan
manusia sebagai Kasunyatan Jati ya kenyataan Pribadi Tuhan
sendiri. Sehingga Alam Sonyaruri disebut juga Alam Ketuhanan.
Selanjutnya Tuhan dengan kehendakNya menciptakan segala
sesuatu dari Kasunyatan Hidup-Nya berbagai makhluk hidup dan
Gelaran Alam semasta.” Sang Maha Hidup” yang tanpa bentuk,
rupa, warna, lestari kekal abadi tidak terkena rusak, tidak sakit,
tidak payah tidak mengantuk, tidak tidur, dan tidak terbatas
oleh apapun juga ini, berikutnya dengan Kuasa dan Kehendak-
Nya, membentuk beragam kenyataan bentuk yang disebut
“Kehidupan”. Sebuah kenyataan pangejowantah dari Sang
Hidup yang sudah mulai berbusana, terpilah, terbagi dan
memiliki batas, bisa rusak dan bisa berubah, ada awalan dan
akhiran. Tidak kekal abadi. Inilah kenyataan Makhluk (yang
dicipta) dan alam semesta
Dalam penciptaan Jagad Raya dan Makhluk-makhuk yang
menghuni didalamnya, terdapat tingkatan-tingkatan kenyataan
dari yang halus sampai kasar. Sehingga terdapat Alam sebagai
tempat dan makhluk-makhluk sebagai penghuni, yang juga
bertingkat-tingkat keadaannya dari halus sampai kasar.
Halus dan kasar dari berbagai tingkat bentuk kehidupan ini,
berkaitaan dengan kasunyatan batasan dan ikatan yang menjadi
pembentuk perwujudan makhluk tersebut. Semakin kasar
bentuknya, semakin terbatas dan semakin kuat ikatannya.
Semakin halus bentuknya, semakin luas batasannya, semakin
lemah ikatannya. Selanjutnya terbentuklah kenyataan Alam
halus yang menjadi isi dari alam Kasar.
48 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta

Add. 2. Alam Mayapada


Adalah alam batiniah sebagai bayangan halus dari kenyataan
Alam Sejati. Disinilah beragam bentuk kehidupan halus yang
menjadi seluruh isi/ batin alam semesta berada. Dari yang masih
berupa cikal bakal, yang dalam proses, maupun yang sudah jadi
dalam bentuk halusnya.
Diantara makhluk bersifat batiniah tersebut, terdapat
makhluk-makhluk yang terbentuk dari Cahaya Jati/ Nurjati-Nya.
Yang menjadi sumber penerang sejati bagi seluruh jagad raya.
Dengan CahayaJati-Nya, makhluk tersebut memiliki kuasa,
wewenang, peran, fungsi dan kedudukan untuk mengatur segala
urusan “Kehidupan” di Jagad Raya mewakili Sang Maha Hidup.
Dari yang terbesar sampai yang terkecil, dari yang sendiri-sendiri
sampai yang berkelompok. Makhluk Cahaya tersebut dikenal
dengan istilah Dewa yang dalam bentuk jamak disebut Dewata.
Di Alam Mayapada, Para Dewa bertahta di Kerajaan Cahaya
yang disebut Khayangan dalam sebuah tata sistem kodrati
semesta di berbagai tingkatan alam yang berlapis-lapis sesuai
tingkatan terang Cahaya yang ada padanya. Masing-masing
Dewa memiliki beragam bentuk keunikan tugas, peran, fungsi ,
kedudukan dan kuasa yang dimilikinya yang menggambarkan
fungsinya di alam semesta.
Selain Alam Cahaya, di alam Mayapada ini juga meliputi alam
halus yang berisi unsur-unsur halus pembentuk alam Wadag/
Fisik. Dari tingkat ikatan kerapatan unsur penyusunannya juga
berlapis-lapis, dari yang renggang sampai yang rapat. Semakin
rapat semakin Padat dan semakin kasar sifatnya.

49 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
Unsur halus penyusun alam wadag/materi tersebut adalah
udara, api, air dan tanah. Di alam Mayapada, masing-masing
unsur halus kuwadagan ini, membentuk lapisan alam halusnya
sendiri-sendiri. Dan ditiap lapisan alam dihuni oleh makhluk-
makhluk yang terbentuk dari unsur dasar materi tersebut.
Makhluk yang berasal dari unsur halus kuwadagan tersebut,
juga memiliki cahaya yang berasal dari pancaran daya kuasa
unsur halus tersebut. Namun cahaya yang berasal dari unsur
alam kuwadagan ini berbeda dengan cahaya jati para Dewa.
Cahaya para dewa bersifat ruhaniah, yang memiliki kuasa
menunjukkan Kesejatian, sehingga disebut Cahyajati. Sedang
Cahaya unsur alam wadag ini, lebih bersifat jasadiah/ material
yang memiliki daya maya atau bayangan dari yang sejati,
sehingga disebut Cahyamaya. Dari sana terlahirlah beragam
makhluk halus jenis Kajiman, dengan segala kesaktiannya yang
bisa menipu dan merubah bentuk kenyataan. Sehingga cahaya
para Kajiman ini disebut Cahyamaya.
Namun di alam Mayapada ini, keberadaan makhluk kajiman
yang berasal dari Cahyamaya sering kali dipahami sama seperti
halnya para Dewa yang berasal dari Cahyajati. Oleh karenanya di
Alam Mayapada ini, tempat kedudukan makhluk Cahaya
dibedakan dengan istilah Alam Panengen dan Alam Pangiwa.
Alam Panengen adalah alam yang dihuni para Dewa yang
berasal dari Cahyajati pancaran daya Ruhaniah ( Sifat Sejati
Tuhan). Sedang Alam Pangiwa adalah alam yang dihuni oleh
para makhluk halus bangsa kajiman yang berasal dari
Cahyamaya yaitu pancaran daya kuwadagan (sifat Maya Tuhan).
Dari sifatnya Alam Panengen, penuh cahaya terang sejati,
bersifat kerohanian yang bisa memberi terang sejati sehingga
50 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
bisa menyadari kasunyatan, asal dari Tuhan, hidup sesuai
dengan kehendak Tuhan, dan meninggal bisa kembali kepada
Tuhan.
Sedang Sifat Alam pangiwa, penuh cahaya maya, bersifat
material, menghadirkan segala bentuk maya/ bayangan semu/
fatamorgana kehidupan. Secara spiritual menyebabkan lupa
kenyataan asal mula tujuan hidup yang sejati, dan tersesat
dalam pengaruh daya maya materi.
Keempat anasir halus materi tersebut, selain membentuk
kehidupan para kajiman, dalam tingkatan yang lebih padat lagi,
membentuk kehidupan manusia, binatang, tumbuhan, dan
seluruh benda-benda alam materi seperti bulan, bintang,
matahari, samudera dsb.
Di Alam Mayapada ini, kenyataan hidup meski sudah
mengambil bentuk tapi masih halus, sehingga segala bentuk
makhluk dan alamnya bersifat sasab sinasaban ( menembus
batas), Wasesan winasesan ( Saling mempengaruhi) dalam
batas-batas yang masih lentur, lembut dan kabur. Sulit
dipilahkan tanpa ketajaman indera batin yang memadai.
Sehingga perubahan bentuk pun dengan lebih mudah terjadi di
alam Mayapada ini. Setiap bentuk menggambarkan sifat/watak
dari keadaannya. Disini memungkinkan terjadinya bentuk
campuran yang tidak ada di alam wadag. Seperti yang
digambarkan berupa manusia berkepala hewan, atau raksasa,
siluman-siluman yang menakutkan, atau binatang-binatang,
bunga, tumbuhan dan makhluk-makhluk surgawi lainnya yang
indah dan mempesona.

Add. 3. Marcapada
51 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
Adalah alam kuwadagan sebagai bayangan kasar dari Alam
Sejati, tempat tergelarnya alam semesta dalam bentuk
materialnya. Di alam wadag ini, seluruh unsur anasir halus
kuwadagan udara, api air, dan tanah yang ada di alam
Mayapada, sudah berproses, tersusun, terikat dan terpadatkan
membentuk kenyataan fisik dengan sempurna. Di Alam
Marcapada ini kenyataan Alam Sonyaruri yang Tunggal, tidak
terbatas dan tanpa bentuk, telah mangejowantah menjadi
terbagi, terbatas dengan jelas oleh bentuk-bentuk materi, yang
berujud beragam makhluk dan gelaran alam semesta. Alam
marcapada ini adalah alam yang paling kuat ikatan oleh bentuk
materi. Sehingga perubahan bentuk kuwadagan relatif lebih sulit
dan lama dibandingkan di Alam Mayapada.
Dari sifat materi yang bisa rusak, terbatas, dan selalu
berubah melahirkan kehidupan yang fana/ tidak abadi dan maya
fatamorgana/bayangan semu. Dalam bahasa jawa disebut
Donya. Don itu papan atau tempat, Nyo itu honya atau musnah.
Atau tempat sementara, yang masih bisa sirna. Rusak dan tidak
abadi.
Dan apa yang tergambar didalam bentuk lahirnya, belum
tentu sesuai dengan gambaran yang ada di batinnya. Bisa saja
terbentuk manusia yang cantik jelita, tapi jiwanya berisi raksasa.
Atau sebaliknya, bentuk penampilan yang buruk rupa, tapi
memiliki jiwa yang cantik mempesona.
Perubahan bentuk yang lebih lamban di Marcapada ini, bisa
dipahami sebagai kesempatan berproses yang lebih leluasa
untuk memperbaiki segala keadaan dibandingkan di alam
Mayapada. Oleh karenanya alam Marcapada secara spiritual

52 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
adalah alam untuk mendapatkan kesadaran hidup yang lebih
sempurna.
Di Marcapada ini Kesadaran Hidup Sejati manusia yang
berasal dari Alam Sonyaruri, tersilam dan terbungkus oleh
Busana halus berupa keadaan batiniah, dan Busana kasar
berupa keadaan lahiriah. Busana kasar dan halus tersebut
adalah sekat penghalang dari kesadaran sejatiannya yang
berasal dari Tuhan. Maka untuk mendapatkan kesadaran
sejatinya kembali, manusia perlu melatih untuk mengurangi
pengaruh bentuk lahiriah dan bentuk batiniahnya, dan
memperkuat pembentukan watak kesejatian.
Bila saatnya meninggal, ketika raga wadag kembali ke unsur-
unsur penyusun alam wadag, jiwa manusia akan memasuki alam
Mayapada kembali sesuai dengan tingkat kesadaran diri yang
mampu dihayatinya sehingga membentuk perwatakan selama
hidup di dunia. Bila perwatakan dengan pengaruh unsur alam
materi masih kuat (kadonyan), maka jiwa manusia akan
menempati alam Mayapada Pangiwa hidup bersama para
kajiman, hewan, tumbuhan, atau bebatuan. Bila perwatakan
yang terbentuk lebih banyak dipengaruhi kenyataan sejati, maka
jiwa manusia akan menempati alam Mayapada Panengen
bersama para Dewata sampai mampu menyadari kenyataan
Ketuhanannya naik menuju Kasampurnan kembali ke Alam
Sonyaruri.
Jadi dalam konteks Tata Spiritual ini, konsep tentang
Kenyataan dan Bayangan menjadi terbalik. Alam nyata itu
adalah Alam Sejati yaitu alam Ketuhanan. Karena Tuhan
adalah Sumber dari semua kenyataan. Sedang Alam
Kemahlukan baik mayapada dan marcapada adalah alam
53 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
Bayangan karena keberadaannya berasal dari pancaran Tuhan.
Adanya Makhluk karena adanya Khalik.

E. Klasifikasi Makhluk dalam Pewayangan


Tidak bisa dipungkiri, sebagai karya seni budaya, dalam
perkembangannya di tanah air, konsep-konsep dunia
pewayangan mengalami dinamika dan perubahan yang
dipengaruhi dan mempengaruhi peradaban jamannya. Baik yang
bersifat tampilan luar, maupun substansi di dalamnya berupa
filosofis dan konsep rancang bangun tata kehidupan.
Demikian pula dalam konsep Triloka Bawana dalam
pewayangan ini. Dalam perjalanannya mengalami perubahan,
penambahan, pengurangan dan pengembangan disana-sini dari
pengaruh ilmu-limu filsafat modern maupun agama-agama yang
masuk ke tanah jawa, seperti Hindu, Budha, Islam, Kristen, dan
katholik . Sehingga wajar bila hasilnya berupa sinkritisme
beragam pemahaman tentang konsep kehidupan.
Namun keaneragaman pengaruh tersebut, ditangan para
leluhur kita menjadi nilai tambah sendiri, yang mampu
memperkaya khasanah ilmu Pengetahuan dalam memaknai
kehidupannya. Apalagi bagi wayang, sebagai karya seni “Dunia
Maya” yang erat kaitannya dengan pembentukan karekter
manusia, tentu sangat dinamis dan responsif terhadap berbagai
perubahan jaman dan dilingkungannya.
Adanya konsep Alam semesta, tentu berkaitan dengan
konsep beragam jenis makhluk yang menghuninya. Dunia
wayang memiliki pandangan sendiri yang berbeda dengan
konsep Kemakhlukan menurut teori ilmu pengetahuan modern.
Ini menarik untuk dikaji lebih lanjut.
54 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
Dalam ilmu pengetahuan Modern, kita mengenal adanya
teori evolusi yang dicetuskan Darwin yang menjadi dasar
pembagian klasifikasi makhluk hidup dimuka bumi. Dalam teori
Evolusi ini, dipahami makhluk hidup mengalami proses evolusi
dalam rentang waktu berjuta tahun sejak bumi memungkinkan
untuk dihuni.
Bermula dari makhluk hidup bersel satu, kemudian terus-
menerus mengalami perubahan dan adaptasi karena pengaruh
lingkungan, dalam pola seleksi alam, sehingga terbentuk
klasifikasi makhluk jenis tumbuhan, hewan dan manusia.
Konsep klasifikasi makhluk hidup dalam Ilmu Pengetahuan
modern terbatas pada jenis-jenis makhluk yang hidup yang ada
di alam fisik/ materi. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari konsep
alam semesta dan kemakhlukan yang dipahami, secara pada
tingkat eksistensi material dan hukum hukum fisikanya.
Berbeda dengan Ilmu modern, menurut konsep Triloka
Bawana pewayangan, alam semesta dipahami tidak sebatas
hanya berwujud eksistensi material lahiriahnya saja, tapi juga
menyentuh kenyataan yang bersifat esensi Immaterial
Batiniahnya. Oleh karenanya dalam dunia pewayangan juga
terdapat klasifikasi makhluk hidup yang berdasarkan pada
konsep Triloka Bawana yang berbeda dengan konsep dunia
modern.
Sehubungan dengan klasifikasi makhluk dalam konsep
Triloka bawana ini, di dalam Wayang sering kita temukan
penggambaran makhluk atau sosok-sosok dan keadaanya yang
tidak ditemukan di dunia nyata. Seperti Hewan yang bisa tata
jalma, dan memiliki kesaktian. (Garuda Jetayu, Nagaraja,
Antaboga, Lembu Andini, Hanoman, Gajah Erawana,dsb); sosok
55 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
manusia setengah hewan ( Sugriwa, Subali, Anjani,
Ganesha,Nara Singha); Para Raksasa dan siluman dalam
beragam bentuknya (cakil, buto terong, Rahwana, Kumbakarna,
banaspati, wewe, engklek-engklek, genderuwo,dsb); Tumbuhan
yang berkhasiat (bunga wijaya kusuma, pohon latta muasadi);
batu-batu berkhasiat ( Mustika Manik banyu, mustika ampal,
mustika merah delima).
Semua benda dan makhluk-makhluk tersebut, digambarkan
sedemikan rupa turut mempengaruhi kehidupan manusia.
Dalam dunia wayang, hal itu seolah hendak menyampaikan
bahwa seluruh makhluk memiliki peran, fungsi, kedudukan di
alam semesta yang digambarkan sesuai dengan karakter dan
wujud ekspresinya.
Disini dunia/alam disusun dalam lapisan-lapisan yang
karakter kehidupan, yang ber mula dari Sang Maha Hidup
sebagai sumber segala sumber eksistensi Kehidupan. Berikutnya
berturut-turut terbentuk lapisan-lapisan alam kemakhlukan
dibawah Alam Sejati/ Alam Ketuhanan yang ditandai dengan
karakter tingkat kesadaran Hidup yang semakin
rendah/meredup, terselimuti oleh pengaruh daya Maya unsur
material sebagai wujud terbatas wadah dari realita hidup
sebagai Makhluk.
Di setiap lapisan alam terdapat makhluk-makhluk penghuni
yang memiliki karekter-karakter sesuai dengan karakter
alamnya. Tingkatan ini tersusun sedemikian rupa dari halus
sampai kasar berdasarkan besar kecilnya pengaruh daya materi.
Dari kesadaran hidup tinggi sampai kesadaran rendah
berdasarkan kesadaran batinnya kepada Sang Maha Hidup yang
menjadi asal mula dan kembalinya.
56 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
Disini setiap makhluk bisa mengalami perubahan (evolusi)
berupa peningkatan kualitas maupun penurunan kualitas
kesadaran hidup. Ketika menurun maka makhluk tersebut akan
mengambil bentuk perwujudan dengan karekter kehidupan
yang lebih rendah dan hidup di alam yang lebih rendah. Ketika
naik, dia akan mengambil bentuk perwujudan pada tingkat
karekter kehidupan yang lebih tinggi dan hidup di lapisan alam
yang lebih tinggi. Dan manusia sebagai makhluk sentral yang
menjadi bidang garapan dalam konsep wayang ini, hendaknya
mengetahui dampak dan akibat perbuatannya yang
menyebabkan peningkatan kualitas atau penurunan kualitas.
Karena itu akan mengambil bentuk perwujudan sesuai tingkat
karakter kehidupannya.
Betititk tolak dari manusia sebagai sosok sentralnya, maka
dalam dunia pewayangan, secara garis besar membagi tingkat
karakter kehidupan dan perwujudan makhluk menjadi sebagai
berikut :
1. Dewa Pengawak Manungsa
2. Manungsa Pengawak Dewa
3. Manungsa
4. Kajiman
5. Khewan
6. Kayu
7. Watu

Pembagian tingkat karakter kehidupan dan perwujudan


makhluk ini berdasarkan pada tingkat kesadaran akan Hidup dan
perwujudan material yang menjadi wadah ekspresinya dalam
kehidupan. Semakin tinggi tingkat kesadaran hidupnya, semakin
57 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
komplek perwujudan kehidupan yang mampu
diekspresikannya. Sehingga kedudukannya sebagai makhluk
dalam kehidupan di alam semseta semakin tinggi dibandingkan
dengan makhluk yang lainnya. Semakin rendah tingkat
kesadaran hidupnya, semakin sederhana wujud kehidupan yang
mampu diekspresikannya. Sehingga kedudukannya semakin
rendah dibanding makhluk yang lainnya.

Add. 7. Watu/ batu


adalah simbol makhluk berupa benda-benda elementer
penyusun alam materi. Seperti Air, udara, api, tanah, matahari,
bulan, bintang, dan beragam kombinasi perubahannya, seperti
awan, kabut, embun, sungai, gunung, bukit, lembah, padang
pasir, dsb.
Makhluk dalam tataran kharakteristik Watu ini, adalah jenis
makhluk yang paling rendah tingkat kesadaran hidupnya dan
paling sederhana dalam kemampuan ekspresi kehidupannya.
Dengan tingkat kesadaran hidup yang rendah bahkan nyaris
tidak tampak, ini menjadikan Watu dalam keberadaannya
sampai ketiadaannya di alam semesta ini, berjalan murni
mengikuti hukum alam . Tidak ada kesengajaan, tidak ada
kehendak, tidak diperintah dan tidak memerintah, berjalan
tanpa paksaan dalam interaksi dengan seluruh makhluk yang
lainnya. Oleh karenanya, makhluk dengan karakteristik Watu ini
adalah jenis makhluk berupa benda-benda alami.
Dalam ilmu modern Watu dikategorikan sebagai benda mati.
Bukan makhluk hidup. Yang dimaksud makhluk hidup adalah,
manusia, hewan dan tumbuhan. Tapi konsep nenek moyang
kita,dalam memahami Hidup dan mati memiliki pandangan yang
58 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
berbeda dengan keilmuan modern dalam kategorinya. Sehingga
dalam wayang berlatar belakang kepercayaan Jawa kuno, juga
memiliki penggambaran yang berbeda dalam pemahaman ini.
Disini dipahami bahwa semua wujud kenyataan/ makhluk
apapun bentuknya berasal dari Sang Hidup Yang Maha Tunggal,
artinya semua memiliki kenyataan Hidup pada dirinya, meskipun
itu berupa Batu, gunung, laut, bulan dan bintang. Hanya saja
setiap wujud makhluk itu memiliki tingkat kesadaran hidup yang
berbeda-beda.
Dan Watu adalah jenis karakteristik makhluk dengan tingkat
kesadaaran hidup paling rendah, dan ekspresi kehidupan yang
paling sederhana. Kesadaran hidup Watu bersifat statis, pasif
dan belum memiliki kesadaran atas eksistensi diri. Memiliki daya
hidup yang bersifat impresif. Dalam kehidupannya Watu hanya
berjalan mengikuti hukum sebab akibat dalam interaksi alami
bersama makhluk lain. Aktualisasi dirinya baru bisa menjadi
lebih jelas bila bersinergis, digunakan atau mendapat sentuhan
dari makhluk yang memiliki tingkat kesadaran hidup dan
ekspresi yang lebih tinggi.
Seperti batu oleh sentuhan manusia bisa menjadi
perhiasan. Disini daya hidup batu bisa jelas dirasakan
pengaruhnya. Seperti batu intan atau berlian yang mampu
menarik hasrat manusia, sehingga manusia merasakan secara
impresif adanya daya hidup berupa keindahan dan kecantikan
darinya.
Adanya daya hidup dalam Watu ini melatarbelakangi
lahirnya kepercayaan pada jenis Batu Aji yang sering digunakan
sebagai ajimat, (akik, manik, mustika,dsb) di dalamnya sudah
bersinergis dengan karekter Hewan atau kajiman tertentu,
59 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
sehingga memiliki daya impresif yang lebih kuat dibandingkan
batu-batu lainnya.

Add.6. Kayu adalah simbolisasi dari semua makhluk dengan


karakteristik seperti tumbuhan. Ini adalah jenis makhluk yang
setingkat lebih tinggi daripada makhluk jenis Watu. Dalam
karekter makhluk jenis Kayu ini, meskipun tingkat kesadaran
hidup masih pasif, tapi sudah mulai bisa adaptif dan membentuk
ekspresi yang lebih dinamis dalam keberadaan dan
ketiadaannnya di alam semesta.
Kesadaran hidup yang pasif adaptif dari makhluk jenis Kayu
ini, ditandai dengan adanya kemampuan untuk menerima dan
merespon atas perubahan yang terjadi di lingkungannya. Tidak
ada kehendak untuk merubah lingkungan, tapi mampu
beradaptasi merubah diri supaya sesuai dengan keadaan
lingkungannya, sehingga bisa bertahan hidup dalam
eksistensinya. Seperti, meranggasnya daun disaat musim
kemarau, merimbunnya daun disaat musim penghujan dari
pohon jati. Atau menjalarnya sulur akar tumbuhan disela
bebatuan yang memungkinkan untuk mendapatkan air dan
saripati makanan dari tanah. Atau arah pertumbuhan dahan
yang mengarah ke sinar matahari diantara rerimbunan
lingkungannya, dsb.
Ekspresi hidup yang dinamis ditandai dengan adanya proses
kehidupan yang bermula dari bibit, trubus, tumbuh,
berkembang, bercabang, bersemi, berbunga, berkawin secara
pasif, berbuah dan adanya biji di dalam buah utk regenerasi.

60 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
Add.5. Khewan adalah simbolisasi dari semua makhluk
dengan karekteristik seperti hewan. Ini adalah jenis makhluk
yang memiliki seluruh karakteristik Watu dan Kayu, tetapi sudah
berevolusi dalam tingkat kesadaran hidup dan ekspresinya yang
lebih tinggi dan lebih komplek lagi.
Tingkat kesadaran Hidup yang dimiliki oleh Khewan, selain
pasif adaptif, juga mampu aktif reaktif. Disini sudah mulai ada
kehendak, ambisi dan ingatan, sehingga memungkinkan untuk
merubah dan menguasai lingkungan, juga belajar dari
pengalaman dalam mempertahankan eksistensi hidupnya seara
naluriah. Dengan adanya ingatan memungkinkan dirinya
menandai makhluk-makhluk lain yang menjadi lawan atau
kawannya. Hal ini memungkinkan hidup kelompok dan
berorganisasi sederhana dalam sesama jenisnya.Seperti pada
semut dan Singa.
Ekspresi hidupnya selain dinamis, seperti halnya Kayu, yang
bisa kawin beranak pinak, tumbuh dan berkembang, makhluk
karakteristik khewan ini memiliki mobilitas yang tinggi. Selain
secara pasif merubah diri untuk beradaptasi dengan lingkungan
seperti halnya karakeristik hidup kayu, Makhluk Jenis khewan ini
bisa aktif berpindah tempat dan berburu mangsa, maupun
menghindar dari mara bahaya dan mencari dan membuat
lingkungan baru yang lebih baik bagi kehidupannya. Namun
makhluk jenis karakter Khewan ini belum memiliki kesadaran
batin atas eksistensi dirinya.

Add.4. Kajiman, adalah simbolisasi dari semua makhluk


dengan karakteristik jin/siluman. Dalam diri makhluk siluman
ini, sudah memiliki tingkat kesadaran hidup dan semua ekspresi
61 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
seperti halnya Watu, Kayu Dan Khewan, tetapi sudah berevolusi
ditambah dengan menyadari eksistensi dirinya secara batiniah.
Kesadaran batin ini terjadi karena jenis Makhluk kajiman ini
hidup di alam halus material.
Makhluk Kajiman bisa lahir, tumbuh, berkembang, kawin
dan beranak pinak , bisa membentuk kelompok dan
bermasyarakat dengan organisasi menjadi sebuah kerajaan.
Memiliki ekspresi kehidupan yang lengkap seperti Watu Kayu,
dan Hewan, namun eksistensi dan ekspresikan diri hanya bisa di
alam halus material. Sedang untuk ekspresi di alam wadag,
butuh media ekspresi dengan manjing/ merasuki makhluk-
makhluk yang ada di alam wadag.
Makhluk ini dalam ekspresinya bisa merubah bentuk
halusnya menjadi apa saja, bisa menyerupai makhluk yang lain
seperti batu, tumbuhan, dan hewan, bahkan makhluk yang
berada pada tingkat evolusi di atasnya, seperti manusia dan
dewa.
Penyerupaan diri dalam berbagai bentuknya ini,
dimungkinkan karena materi pembentuk dirinya dan kedudukan
dirinya ada di alam halus yang memiliki batasan yang lebih
longgar dalam perubahan bentuk daripada makhluk di alam
wadag. Ini sekaligus menunjukkan bahwa kesadaran Hidup
berupa eksitensi diri secara batiniah ini, memiliki ikatan yang
kuat terhadap materi. Ikatan kuat pada bentuk materi halus ini
adalah selubung maya dari kesejatian. Makhluk ini kurang
memiliki kesadaran sejati. Sehingga ada sebagian makhluk jenis
ini yang memiliki kesadaran semu menyamai dan menganggap
diri sebagai Tuhan. Dan butuh umat untuk menyembah dan

62 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
mengabdi kepadanya, dengan imbalan berupa beragam bentuk
kehidupan material.

Add. 3. Manungsa adalah simbolisasi dari semua makhluk


yang memiliki karakter hidup seperti manusia. Ini adalah jenis
makhluk yang memiliki semua karakter Makhluk yang paling
lengkap gabungan dari watu, kayu, khewan dan kajiman. Selain
itu juga memiliki Karakter Makhluk dengan tingkat evolusi
kesadaran yang lebih tinggi, yaitu Dewa. Untuk karakter
makhluk yang tingkat evolusi hidupnya masih dibawahnya,
(Watu, Kayu, Khewan, Kajiman) dalam diri manusia seluruh
karakter itu sudah bisa diaktualisasikannya. Namun untuk
karakter makhluk pada tingkat evolusi diatasnya (menjadi
Dewa), karakter itu masih berupa potensi yang belum tergali,
masih butuh proses lebih lanjut untuk mengaktualisasikannya.
Kesadaran hidup berupa eksistensi diri secara batin yang ada
pada makhluk Kajiman, pada diri manusia sudah mulai bisa
diaktualisasikan dan diekspresikan tidak hanya di alam halus,
tapi sudah bisa diekspresikan di alam wadag dengan kendaraan
fisiknya. Sehingga tingkah laku manusia pun bisa menyerupai
karakter, Watu, Kayu, Khewan, Kajiman, atau Dewa. Namun
dalam perubahan bentuk wadagnya, manusia masih sebatas
pada bentuk yang berlaku di dalam hukum-hukum kuwadagan.
Dalam kesadaran batin manusia tidak hanya berkaitan
dengan unsur material yang terbatas pada bentuk, ruang dan
waktu rupa warna swara ganda, seperti pada Kajiman yang
menghasilkan kenyataan semu, tapi sudah mampu mulai
terbangun kesadaran hidup sejati yang bersifat esensial-
immaterial. Hal ini memungkinkan manusia untuk berinteraksi
63 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
dan mampu menangkap pesan-pesan kesejatian yang
disampaikan oleh Makhluk esensial yang menjadi perantara
sang Hidup dari alam sejati. Namun kesadaran sejati ini masih
bersifat potensial dalam diri kebanyakan manusia.
Dalam pewayangan digambarkan seperti Sosok Arjuna,
sebagai manusia jagonya dewa. Seorang ksatria yang rajin
bertapa,selalu berusaha berproses melepas diri dari berbagai
ikatan material. Mengurangi makan, minum tidur sahwat.
Sehingga sering bisa menerima pesan, petunjuk dan pusaka dari
para Dewa.

Add.6. Manungsa Pengawak Dewa adalah simbolisasi


makhluk dengan karakteristik seperti Dewa.Ini adalah jenis
makhluk yang memiliki semua tingkat kesadaran hidup dan
ekspresi semua makhluk yang dibawahnya, yaitu Watu, Kayu,
Khewan, Kajiman dan Manusia. Pada tingkatan ini , Kesadaran
batin sudah sampai pada kesadaran Hidup Sejati, dan mulai bisa
melepaskan diri dari pengaruh maya unsur-unsur materi
meskipun memiliki raga wadag yang hidup di alam materi.
Kebebasan diri dari pengaruh unsur materi, menyebabkan
dirinya “tan kengguh sak kehing semu” (tidak terpengaruh oleh
beragam bentuk semunya dunia materi), bahkan bisa
mengekspresikan diri dengan beragam kelebihan penggunaan
daya-daya materi untuk menyampaikan pesan esensi dari Sang
Hidup Sejati. Berbeda dengan jenis Kajiman yang juga memiliki
kelebihan mampu menguasai daya material,namun hanya
sebagai alat untuk memperkuat eksistensi diri yang masih
bersifat semu bahkan menjauhkan dari esensi hidup sejati.

64 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
Dalam eksistensinya, Manungsa Pangawak Dewa ini bisa
turun berulang kali ke alam wadag, dengan beragam bentuk
perubahan raga wadagnya, yang mampu menembus alam
triloka bawana untuk berinteraksi dengan makhluk esensi,
menerima cahaya sejati sebagai penuntun seluruh makhluk
untuk menemukan kesadaran sejati. Sehingga dirinya mendapat
kedudukan yang terpuji, tinggi dan dihormati sebagai Avatara
duta Sejati yang Berbudi Luhur dan Bijaksana. Sang duta ini
secara aktif dan dinamis berinteraksi dengan seluruh makhluk
pada suatu jaman, untuk memberi pelajaran, membimbing, dan
menata serta membangun peradaban.
Sosok Manungsa Pengawak dewa ini didalam pewayangan
digambarkan dalam wujud Sri Kresna, manusia titisan Dewa
Wisnu, yang sudah berkali-kali turun ke dunia sebagai avatara
dalam beragam bentuk makhluk.

Add.1 Dewa Pengawak Manungsa adalah simbolisasi


makhluk dengan karakter Dewa yang sudah mewujud wadag
menjadi manusia. Dewa sebagai makhluk cahaya yang bersifat
esensial terbebas dari unsur material, hidup di alam cahaya,
sebagai manifestasi segala sifat kesejatian Tuhan. Manusia yang
hidup di alam wadag, memiliki bentuk dan ikatan materi berupa
tubuh fisiknya dan segala bentuk kehidupan duniawinya. Namun
manusia memiliki potensi bisa terbebas dari pengaruh maya
unsur materi, sehingga bangkit kesadaran Sejati dalam dirinya.
Bila manusia sudah mampu mencapai kesadaran sejati, maka
manusia bisa berinteraksi dengan para Dewa untuk
menjadikannya perantara pembawa pesan dari Sang Hidup di
alam Sejati kepada seluruh makhluk dari alam mayapada sampai
65 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
alam marcapada. Selanjutnya manusia tersebut menjadi
manusia pengawak dewa yang Berbudi Luhur dan bijaksan aktif
dinamis sebagai utusan dari Sang Hidup Sejati dalam memimpin,
membimbing, mengarahkan dan menata kehidupan seluruh
makhluk di Triloka Bawana dalam Kesejatian.
Ketika Dewa mewujud wadag menjadi manusia, ini adalah
tingkat evolusi makhluk tertinggi yang meliputi seluruh
karakteristik makhluk yang ada. Bisa menerima apa saja, bisa
menjadi apa saja, bisa mewujudkan apa saja, bisa menyirnakan
apa saja. Dalam dirinya sudah terkumpul kesadaran Aktif
sekaligus Pasif. Dalam dirinya teraktualisasi ekspresi sekaligus
impresi hidup yang dinamis sekaligus statis. Kedudukannya
tertinggi sekaligus terendah. Berbudi luhur tapi andap asor.
Didepan tapi tidak mendahului. Dibelakang tapi tidak tertinggal.
Menjadi Pemimpin dalam bentuk Abdi Dalem. Dalam candanya
terdapat kewaspadaannya. Nasehatnya tajam tapi tidak
melukai. Keabadian yang mewujud dalam kefanaan, Kesejatian
yang mengambil bentuk Bayangan. Sebuah manifestasi hidup
dalam harmoni dan keseimbangan yang sempurna.
Dalam pewayangan Dewa Pengawak Manungsa ini
digambarkan sebagai Pangejowantah Bethara Ismaya berupa
sosok Semar Badranaya, Abdi Dalem punakawan yang menjadi
pamomong para ksatria, pembimbing para raja, Penasehat Para
Dewa, Pengayom seluruh makhluk dari karakter Watu, Kayu,
Khewan kajiman dan manusia.

F. Penutup
Berbagai sisi kehidupan manusia terkadang bersifat absurd,
sulit dipahami dan sulit di jelaskan dengan cara-cara dan alur
66 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
logika dalam komunikasi verbal yang biasa digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Kemiskinan artikulasi “bahasa jiwa”
dalam ranah dialektika masyarakat, sering kali menjadikan
sesuatu menjadi simpang siur, kabur dan munculnya banyak
kesalahpahaman dan konflik horizontal yang tidak berujung
pangkal. Berlarut-larutnya suatu permasalahan menguras daya
hidup dan terlepasnya berbagai peluang untuk meningkatkan
kualitas kehidupan.
Ditengah-tengah kemiskinan artikulasi komunikasi verbal
inilah dibutuhkan suatu karya cipta manusia yang bisa menjadi
media ilustrasi dan komunikasi efektif dari berbagai
problematika kehidupan.
Dalam menghadapi tantangan jamannya nenek moyang kita
telah melahirkan sebuah karya seni yang mampu menjembatani
komunikasi untuk berbagai lapisan masyarakat. Melalui proses
perenungan yang dalam tentang problematika hidup dari proses
penciptaan manusia dan alam raya sampai berlakunya hukum
kehidupan dan akhir dari sebuah kehidupan. Nenek moyang kita
telah mampu menggali saripati nilai-nilai dari berlakunya realita
kehidupan tersebut.
Selain mampu menemukan dan menggali intisari kehidupan,
selanjutnya dalam pengungkapannya pun ditata dan disajikan
sedemikian rupa dalam suatu karya cipta bercitarasa tinggi,yang
mampu menyentuh hati, emosi, akal budi, dan rasa dalam jiwa
manusia secara menyeluruh. Sehingga karya tersebut bisa
ditangkap dan diterima oleh masyarakat sebagai bayangan yang
bisa menggambarkan dengan tepat realita hidup yang dijalani
manusia dengan segala kompleksitas problematikanya. Karya
seni itulah yang selanjutnya saat ini kita mengenalnya dengan
67 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
istilah wayang. Dengan demikian layak kiranya bila dikatakan
wayang adalah salah satu karya seni yang bernilai tinggi.
Adanya nama tokoh dan tempat dalam pewayangan yang
banyak digunakan sebagai nama tempat atau tokoh leluhur di
pulau jawa, menandakan bahwa konsep dunia wayang ini, pada
suatu masa sudah pernah sedemikian merasuk dan membumi
ke dalam kesadaran masyarakat jawa. Wayang pernah
menduduki posisinya yang strategis bukan sekedar tontonan
publik tapi juga bisa menjadi media tuntunan dalam menjalani
kehidupan dan membangun peradaban. Hal ini tentu tidak
terlepas dari perjuangan para penggiat seni wayang dalam
sosialisasinya ke masyarakat. Baik dalam bentuk sosialisasi
secara praktis berupa aksi pertunjukan wayang, maupun secara
strategis dengan mengadaptasi pola fikir dari konsep batin
wayang untuk memecahkan beragam permasalah dalam
masyarakat.
Saat Ini, mungkin sebagai seni pertunjukan, eksistensi
wayang di tanah air mendapat tantangan hebat dari beragam
seni pertunjukan lain hasil produk teknologi modern yang serba
instan. Sebuah penghargaan tinggi patut diberikan kepada
segenap pelaku seni dunia wayang, sehingga sampai saat ini
wayang sebagai seni pertunjukan masih bisa eksis ditengah
masyarakat.
Namun sebagai konsep batin, Dunia wayang masih memiliki
relevansi kuat dan masih sangat dibutuhkan untuk membantu
memecahkan berbagai permasalahan saat ini. Mengingat
kompleksitas masalah sering kali butuh ilustrasi yang tepat
untuk memudahkan kita memahami akar masalahnya dan

68 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
menemukan solusinya. Dan beragam masalah manusia,
kebanyakan berakar dalam kondisi batinnya.
Wayang memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam hal aturan
penafsiran dan pemaknaan atas beragam karakter yang ada. Ini
memungkinkan menjadi media yang luwes dan tepat untuk
membangun ilustrasi dari sebuah kompleksitas permasalahan.
Adanya pola sinkritisme dalam wayang sebagai konsekwensi
logis pengaruh perjalanan sejarah dan perubahan jaman,
menjadikan Wayang memiliki kekayaan dalam jalur ilustrasi
dan artikulasinya untuk disajikan melalui berbagai aliran
pemikiran maupun kepercayaan, sehingga bisa diterima oleh
berbagai kalangan yang beragam latar belakangnya di
masyarakat.
Dalam “Konsep Batin Wayang”, sebuah ide, gagasan, visi,
misi, keinginan, kehendak, keputusan, sikap dan tindakan
biasanya disajikan dalam bentuk ilustrasi atau tuturan yang
dibungkus dengan metafora. Bukan sajian vulgar tanpa
kemasan. Ini bisa membantu untuk menghindari atau paling
tidak mengurangi dampak konfrontasi frontal dari berbagai
pemikiran yang berbeda yang sering terjadi di masyarakat kita
akhir-akhir ini. Sehingga konflik horizontal yang menguras
banyak waktu dan tenaga dari berbagai kelompok masyarakat
bisa dihindari. Sekaligus disini terdapat pola pembalajaran cara
berfikir kristis yang masih dalam koridor kesantunan.
Dan dalam sosialisasinya, “Konsep Batin Wayang” tidak
sebatas berupa melalui media seni pertunjukan wayang. Konsep
Batin Wayang ini bisa disajikan dalam banyak media seperti
melalui forum-forum diskusi, pengajian, pengkajian, retret,
penelitian ilmiah, tulisan-tulisan berupa buku, media masa,
69 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta
media sosial dan sebagainya, dengan memanfaatkan beragam
kecanggihan media teknologi saat ini.
Dan pelaku sosialisasi “Konsep Batin Wayang” tidak terbatas
pada pelaku seni dunia wayang. Bisa dilakukan oleh berbagai
kalangan dalam beragam latar belakang dan disiplin ilmu yang
memiliki ikatan batin dengan dunia wayang.
Untuk itu semua, selain memperjuangkan eksistensi wayang
sebagai seni pertunjukan, perlu kiranya sosialisasi “Konsep Batin
Wayang” juga dikembangkan. Seperti halnya jiwa dan raga.
“Konsep Batin Wayang” adalah jiwanya, sedang Seni
Pertunjukan Wayang adalah raganya. Maka untuk
menghidupkan Wayang di tengah-tengah masyarakat,
dibutuhkan sosialisasi dan inovasi dalam pola sinergis bukan
hanya dalam seni pertunjukan wayang, tapi juga “Konsep Batin
Wayang”.
Demikian kiranya sajian kami tentang Wayang sebagai
Realita Dunia Maya, yang menjabarkan tentang konsep dasar
dunia dari sudut pandang wayang. Dari sajian ini semoga ke
depan bisa melahirkan “Konsep Batin Wayang”, sebagai bagian
dari upaya pemanfaatan wayang dalam memberi kontribusi dan
solusi dalam beragam masalah kehidupan di masyarakat.
Sekaligus sebagai mempertahankan dan melestarikan Wayang
baik sebagai karya seni pertunjukan maupun Karya Dunia Batin
yang adiluhung warisan dari para leluhur.

Pekalongan, 7 November 2016


===== oooOooo =====

70 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta

71 | Page
Makalah Seminar Hari Wayang Nasional- Sena Wangi
7 November 2016, Balai Sudjatmoko- Surakarta

72 | Page

Anda mungkin juga menyukai