Anda di halaman 1dari 22

A.

Pengertian Ontologi
Ontologi merupakan salah satu kajian filsafat yang paling kuno
dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu
yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang
bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada
masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan
dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada
kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal
mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa
mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka
(sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).
Banyak pengertian mengenai ontologi itu sendiri. Menurut bahasa,
ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu : On atau Ontos = ada, dan
Logos = ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Menurut
istilah, ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada,
yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani/konkret
maupun rohani/abstrak (Bakhtiar, 2004).
Menurut Suriasumantri (1985), ontologi membahas tentang apa
yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau, dengan kata
lain suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Telaah ontologis akan
menjawab pertanyaan-pertanyaan :
a) Apakah obyek ilmu yang akan ditelaah,
b) Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut, dan
c) Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap
manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang
membuahkan pengetahuan.

Menurut Soetriono dan Hanafie (2007), ontologi yaitu merupakan


azas dalam menerapkan batas atau ruang lingkup wujud yang menjadi
obyek penelaahan (obyek ontologis atau obyek formal dari pengetahuan)
serta penafsiran tentang hakikat realita (metafisika) dari obyek ontologi
atau obyek formal tersebut dan dapat merupakan landasan ilmu yang
menanyakan apa yang dikaji oleh pengetahuan dan biasanya berkaitan
dengan alam kenyataan dan keberadaan.
Menurut pandangan The Liang Gie, ontologi adalah bagian dari
filsafat dasar yang mengungkap makna dari sebuah eksistensi yang
pembahasannya meliputi persoalan-persoalan :
a) Apakah artinya ada, hal ada?
b) Apakah golongan-golongan dari hal yang ada?
c) Apakah sifat dasar kenyataan dan hal ada?

1
d) Apakah cara-cara yang berbeda dalam mana entitas dari kategori-
kategori logis yang berlainan (misalnya objek-objek fisis,
pengertian universal, abstraksi dan bilangan) dapat dikatakan ada?

Ontologi adalah usaha dasar untuk mengenal tentang hakikat yang


berada. Menurut Susanto (2010), ontologi merupakan cabang teori hakikat
yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada. Pembahasan tentang
ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab ‘apa’ yang menurut
Aristoteles merupakan the first filosophy dan merupakan ilmu mengenai
esensi benda.
Menurut Ensiklopedi Britannica yang juga diangkat dari Konsepsi
Aristoteles, ontologi yaitu teori atau studi tentang wujud seperti
karakteristik dasar dari seluruh realitas. Ontologi sinonim dengan
metafisika yaitu, studi filosofis untuk menentukan sifat nyata yang asli
(real nature) dari suatu benda untuk menentukan arti , struktur dan prinsip
benda tersebut. (Filosofi ini didefinisikan oleh Aristoteles abad ke-4 SM).
Pengertian paling umum pada ontologi adalah bagian dari bidang
filsafat yang mencoba mencari hakikat dari sesuatu. Pengertian ini menjadi
melebar dan dikaji secara tersendiri menurut lingkup cabang-cabang
keilmuan tersendiri. Pengertian ontologi ini menjadi sangat beragam dan
berubah sesuai dengan berjalannya waktu.
Sebuah ontologi memberikan pengertian untuk penjelasan secara
eksplisit dari konsep terhadap representasi pengetahuan pada sebuah
knowledge base. Sebuah ontologi juga dapat diartikan sebuah struktur
hirarki dari istilah untuk menjelaskan sebuah domain yang dapat
digunakan sebagai landasan untuk sebuah knowledge base”. Dengan
demikian, ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek,
property dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi
pada suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat,
ontologi adalah studi tentang sesuatu yang ada.
Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi
dengan dua macam sudut pandang:
a) Kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu
tunggal atau jamak.
b) Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan
(realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun
yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum.

2
Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang
mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis. Ontologi ini
pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh
tentang dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya
antropologi, sosiologi, ilmu kedokteran, ilmu budaya, fisika, ilmu teknik
dan sebagainya).
Objek telaahan ontology adalah yang ada, yaitu ada individu, ada
umum, ada terbatas, ada tidak terbatas, ada universal, ada mutlak,
termasuk kosmologi dan metafisika, serta ada sesudah kematian maupun
sumber segala yang ada, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Objek formal ontology adalah hakikat seluruh realitas. Bagi
pendekatan kualitatif, realitas tampil dalam kuantitas jumlah, telaahannya
akan menjadi telaah monoisme, paralelisme, atau prulalisme. Bagi
pendekatan kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran materialisme,
idealisme, naturalisme, dan hilomorphisme.
Atas dasar pengertian ontology, pandangan ontology dari Pancasila
adalah Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil (Darmajati dalam Susanto,
2010).
Tuhan adalah sebab pertama dari segala sesuatu, yang esa dan
segala sesuatu tergantung kepada-Nya. Manusia memiliki susunan hakikat
pribadi yang monopluralis, yakni bertubuh/berjiwa, bersifat
individu/makhluk social, berkedudukan sebagai pribadi berdiri sendri atau
makhluk Tuhan yang menimbulkan kebutuhan kejiwaan dan religius, yang
seharusnya bersama-sama dipelihara dengan baik dalam kesatuan yang
seimbang,, harmonis, dan dinamis.
Satu secara mutlak tidak dapat terbagi, rakyat adalah keseluruhan
jumlah semua orang, warga dalam lingkungan daerah atau Negara tertentu.
Hakikat rakyat adalah pilar Negara dan yang berdaulat. Adil ialah
dipenuhinya sebagai kewajiban segala sesuatu yang merupakan hak dalam
hubungan hidup kemansiaan yang mencakup hubungan antara Negara
dengan warga Negara, hubungan Negara dengan Negara, dan hubungan
antarsesama warga Negara.

3
B. Metafisika
Dalam bahasa Inggris berakar dari bahasa Yunani ‘on’ berarti ada
dan ontos berarti keberadaan, logos berarti pemikiran (Lorens Bagus:
2000). Ontologi menurut A.R. Lacey, ontologi berarti “a central part of
metaphisics” (bagian sentral dari metafisika) sedangkan metafisika
diartikan sebagai that which comes after physics, … the study of nature in
general (hal yang hadir setelah fisika, … studi umum mengenai alam).
Berdasarkan asal katanya metafisika dapat diartikan (Bahasa
Yunani: μετά (meta) = “setelah atau di balik”, φύσικα (phúsika) = “hal-hal
di alam”) adalah cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau
hakekat objek (fisik) di dunia. Metafisika adalah studi keberadaan atau
realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti:
Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apa tempat
manusia di dalam semesta?
Pembahasan ontologi terkait dengan pembahasan mengenai
metafisika. Mengapa ontologi terkait dengan metafisika? Ontologi
membahas hakikat yang “ada”, metafisika menjawab pertanyaan apakah
hakikat kenyataan ini sebenar-benarnya? Pada suatu pembahasan,
metafisika merupakan bagian dari ontologi, tetapi pada pembahasan lain,
ontologi merupakan salah satu dimensi saja dari metafisika. Karena itu,
metafisika dan ontologi merupakan dua hal yang saling terkait. Bidang
metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati,
termasuk pemikiran ilmiah. Metafisika berusaha menggagas jawaban
tentang apakah alam ini. Terdapat Beberapa penafsiran yang diberikan
manusia mengenai alam ini (Jujun, 2005).
a) Supernaturalisme
Di alam terdapat wujud-wujud gaib (supernatural) dan ujud ini
bersifat lebih tinggi atau lebih berkuasa dibandingkan dengan alam
yang nyata. Dari paham Supernatural ini lahirla tafsiran-tafsiran
cabang seperti Animisme, dimana manusia percaya bahwa terdapat
roh yang sifatnya gaib terdapat dalam benda-benda.
b) Naturalisme
Paham ini amat bertentangan dengan paham supernaturalisme.
Paham naturalisme menganggap bahwa gejala-gejala alam tidak
disebabkan oleh hal-hal yang bersifat gaib, melainkan karena
kekuatan yang terdapat dalam itu sendiri,yang dapat dipelajari dan
dapat diketahui. Orang-orang yang menganut paham naturalisme
ini beranggapan seperti itu karena standar kebenaran yang mereka
gunakan hanyalah logika akal semata, sehingga mereka mereka
menolak keberadaan hal-hal yang bersifat gaib itu.

4
Dari paham naturalisme ini juga muncul paham materialisme yang
menganggap bahwa alam semesta dan manusia berasal dari materi. Salah
satu pencetusnya ialah Democritus (460-370 S.M). Adapun bagi mereka
yang mencoba mempelajari mengenai makhluk hidup. Timbul dua tafsiran
yang masing saling bertentangan yakni paham mekanistik dan paham
vitalistik. Kaum mekanistik melihat gejala alam (termasuk makhluk hidup)
hanya merupakan gejala kimia-fisika semata. Sedangkan bagi kaum
vitalistik hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substansif
dengan hanya sekedar gejala kimia-fisika semata.
Berbeda halnya dengan telaah mengenai akal dan pikiran, dalam
hal ini ada dua tafsiran yang juga saling berbeda satu sama lain, yakni
paham monoistik dan dualistik. Sudah merupakan aksioma bahwa proses
berpikir manusia menghasilkan pengetahuan tentang zat (objek) yang
ditelaahnya. Dari sini aliran monoistik mempunyai pendapat yang tidak
membedakan antara pikiran dan zat. Keduanya (pikiran dan zat) hanya
berbeda dalam gejala disebabkan proses yang berlainan namun
mempunyai subtansi yang sama. Pendapat ini ditolak oleh kaum yang
menganut paham dualistik. Dalam metafisika, penafsiran dualistik
membedakan antara zat dan kesadaran (pikiran) yang bagi mereka berbeda
secara substansif. Aliran ini berpendapat bahwa yang ditangkap oleh
pikiran adalah bersifat mental. Maka yang bersifat nyata adalah pikiran,
sebab dengan berpikirlah maka sesuatu itu lantas ada.
Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius
pada tahun1636 M untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang
bersifat metafisis. Dalam perkembangan selanjutnya Christian Wolf (1679
– 1754 M) membagi Metafisika menjadi 2 yaitu :
a) Metafisika Umum,-Ontologi Metafisika umum dimaksudkan
sebagai istilah lain dari ontologi. Jadi metafisika umum atau
ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip yang
paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada.
b) Metafisika Khusus,-Kosmologi, Psikologi, Teologi (Bakker,
1992). Paham–paham dalam Ontologi. Dalam pemahaman
ontologi dapat diketemukan pandangan-pandangan pokok/aliran-
aliran pemikiran antara lain: Monoisme, Dualisme, Pluralisme,
Nihilisme, dan Agnotisisme.

 Monoisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal
dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak

5
mungkin dua, baik yang asal berupa materi ataupun
rohani. Paham ini kemudian terbagi kedalam 2 aliran :
 Materialisme
Aliran materialisme ini menganggap bahwa
sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani.
Aliran pemikiran ini dipelopori oleh Bapak Filsafat
yaitu Thales (624-546 SM). Dia berpendapat
bahwa sumber asal adalah air karena pentingnya
bagi kehidupan. Aliran ini sering juga disebut
naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati
merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta.
Yang ada hanyalah materi/alam, sedangkan jiwa
/ruh tidak berdiri sendiri. Tokoh aliran ini adalah
Anaximander (585-525 SM). Dia berpendapat
bahwa unsur asal itu adalah udara dengan alasan
bahwa udara merupakan sumber dari segala
kehidupan. Dari segi dimensinya paham ini sering
dikaitkan dengan teori Atomisme. Menurutnya
semua materi tersusun dari sejumlah bahan yang
disebut unsur. Unsur-unsur itu bersifat tetap tak
dapat dirusakkan. Bagian-bagian yang terkecil dari
itulah yang dinamakan atom-atom. Tokoh aliran
ini adalah Demokritos (460-370 SM). Ia
berpendapat bahwa hakikat alam ini merupakan
atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat di
hitung dan amat halus. Atom-atom inilah yang
merupkan asal kejadian alam.
 Idealisme
Idealisme diambil dari kata idea, yaitu
sesuatu yang hadir dalam jiwa. Idealisme sebagai
lawan materialisme, dinamakan juga spiritualisme.
Idealisme berarti serbacita, spiritualisme berarti
serba ruh. Aliran idealisme beranggapan bahwa
hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua
berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya,
yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati
ruang. Tokoh aliran ini diantaranya : Plato (428 -
348 SM), Aristoteles (384-322 SM), George
Barkeley (1685-1753 M), Immanuel Kant (1724-

6
1804 M), Fichte (1762-1814 M), Hegel (1770-
1831 M), dan Schelling (1775-1854 M).
 Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari 2
macam hakikat sebagai asal sumbernya yaitu hakikat
materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit.
Tokoh paham ini adalah Rene Descartes (1596-1650 M)
yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia
menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia
kesadaran (ruhani) dan dunia ruang (kebendaan).Tokoh
yang lain : Benedictus De spinoza (1632-1677 M), dan
Gitifried Wilhelm Von Leibniz (1646-1716 M).

 Pluralisme
Paham ini berpandangan bahwa segenap macam
bentuk merupakan kenyataan. Lebih jauh lagi paham ini
menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari
banyak unsur. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno
adalah Anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan
bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari 4
unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara.
Dalam metafisika membicarakan tentang “ada
umum” segala sesuatunya itu ada dalam realitas, sehingga
terdapat bermacam-macam hal, tetapi yang bermacam-
macam itu semuanya ditangkap dalam adanya, dan dengan
demikian pula terdapat “ada yang bermacam-macam” dan
“ada yang umum’. Mungkinkah dalam ada itu terdapat
suatu dasar yang menjadi dasar dari segala “yang ada”.
Karena “yang ada” itu luas, maka The Liang Gie dalam
bernadien (2011: 55) ‘yang ada” itu dapat digolongkan
menjadi dua hal yaitu,
1. Secara ontologis, yaitu membicarakan teori
mengenai sifat dasar dan ragam kenyataan,
misalnya; usaha para filsuf dalam mengungkapkan
makna eksistensi dengan pertanyaan-pertanyaan:
apakah hakikat ada itu? Apakah klasifikasi dari
yang ada? Apakah sifat dasar kenyataan dan ada
terakhir? Apakah objek fisis, pengertian universal,
abstraksi, bilangan dapat dikatakan ada? Dan
pertanyaan lain sebagainya.

7
2. Secara kosmologis, yaitu membicarakan tentang
teori umum mengenai proses kenyataan.
Kosmologi menyelidiki jenis tata tertib yang paling
fundamental dalam kenyataan, yaitu apakah untuk
segala sesuatu yang menjadi ada, selalu ada
sesuatu sebab yang menentukannya menjadi
seperti apa adanya dan bukan sebaliknya (tata-
tertib sebab) atau apakah hanya ada kebetulan yang
murni ataukah tata-tertib teleologis yang
mengandung penyesuaian sarana-sarana kepada
tujuan-tujuan.

Tokoh modern aliran ini adalah William James


(1842-1910 M) yang terkenal sebagai seorang psikolog
dan filosof Amerika. Dalam bukunya The Meaning of
Truth, James mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang
mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang
berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal. Apa yang
kita anggap benar sebelumnya dapat dikoreksi/diubah oleh
pengalaman berikutnya.

 Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti
nothing atau tidak ada. Doktrin tentang nihilisme sudah
ada semenjak zaman Yunani Kuno, tokohnya yaitu
Gorgias (483-360 SM) yang memberikan 3 proposisi
tentang realitas yaitu: Pertama, tidak ada sesuatupun yang
eksis, Kedua, bila sesuatu itu ada ia tidak dapat diketahui,
Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui ia tidak
akan dapat kita beritahukan kepada orang lain. Tokoh
modern aliran ini diantaranya: Ivan Turgeniev (1862 M)
dari Rusia dan Friedrich Nietzsche (1844-1900 M), ia
dilahirkan di Rocken di Prusia dari keluarga pendeta.

 Agnotisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk
mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun
ruhani. Kata Agnoticisme berasal dari bahasa Greek yaitu
Agnostos yang berarti unknown A artinya not Gno artinya
know. Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi

8
dengan tokoh-tokohnya seperti: Soren Kierkegaar (1813-
1855 M), yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak
Filsafat Eksistensialisme dan Martin Heidegger (1889-
1976 M) seorang filosof Jerman, serta Jean Paul Sartre
(1905-1980 M), seorang filosof dan sastrawan Prancis
yang atheis (Bagus, 1996).

Metafisika merupakan bagian dari filsafat spekulatif. Yang menjadi


pusat persoalannya adalah hakikat realitas akhir. Metafisika mencoba
mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Apakah alam semesta memiliki bentuk rasional? Apakah alam
semesta memiliki makna?
2. Apakan yang dinamakan jiwa itu merupakan kenyataan dalam
dirinya atau hanyalah suatu bentuk materi dalam gerak.
3. Apakah semua perilaku organisme, termasuk manusia telah
ditentukan, atau memiliki kebebasan?
4. Siapakah manusia? Dari mana asalnya? Apa yang diharapkan dalam
hidup ini? Apa yang akan dituju manusia?
5. Apakah alam semesta ini terjadi dengan sendirinya atau ada yang
menciptakan?
Mempelajari metafisika bagi filsafat pendidikan diperlukan untuk
mengontrol secara implisit tujuan pendidikan, untuk mengetahui dunia
anak, apakah ia merupakan makhluk rohani atau jasmani saja atau
keduanya. Seorang filosof pendidikan, tidak hanya tahu tentang hakikat
dunia di mana ia tinggal, melainkan juga ia harus tahu hakikat manusia,
khususnya hakikat anak. Dalam hal ini Brubacher dalam Sadulloh (2011:
76) mengemukakan bahwa “The educator and especially the education
philosophers not only know the nature of the world in which we life and
learn, but must also know the generic traits of the human leaner”
Metafisika memiliki implikasi-implikasi penting untuk pendidikan karena
kurikulum sekolah berdasarkan pada apa yang kita ketahui mengenai
realitas. Dan apa yang kita ketahui mengenai realitas itu
dikedalikan/didorong oleh jenis-jenis pertanyaan yang diajukan mengenai
dunia. Pada kenyataannya, setiap posisi yang berkenaan dengan apa yang
harus diajarkan disekolah di belakangnya memiliki suatu pandangan
realitas tertentu, sejumlaj respons tertentu pada pertanyaan-pertanyaan
metafisika.

9
C. Asumsi
Asumsi adalah suatu pernyataan yang tidak terlihat kebenarannya,
atau kemungkinan benarnya tidak tinggi. Asumsi diperlukan untuk
menyuratkan segala hal yang tersirat. Mc Mullin (2002) menyatakan hal
yang mendasar yang harus ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan
adalah menentukan asumsi pokok (the standard presumption)
keberadaan suatu obyek sebelum hendak melakukan penelitian. Dalam
mengembangkan asumsi harus diperhatikan dua hal :
1. Asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian displin
keilmuan. Asumsi yang seperti ini harusoprasional, dan merupakan
dasar dari pengkajian teoritis.
2. Asumsi harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya
„bukan‟ bagaimana keadaan yang seharusnya.”

Asumsi yang pertama adalah asumsi yang mendasari telaah ilmiah,


sedangkan asumsi kedua adalah asumsi yangmendasari telaah moral.
Seorang ilmuwan harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan
dalamanalisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda
akan berbeda pula konsep pemikiran yangdigunakan. Sering kita jumpai
bahwa asumsi yang melandasi suatu kajian keilmuan tidak bersifat tersurat
melainkan tersirat. Asumsi yang tersirat ini kadang-kadang menyesatkan,
sebab selalu terdapat kemungkinan bahwa kita berbedapenafsiran tentang
sesuatu yang tidak dinyatakan, oleh karena itu maka untuk pengkajian
ilmiah yang lugas lebih baik dipergunakan asumsi yang tegas. Sesuatu
yang belum tersurat dianggap belum diketahui atau belum mendapat
kesamaan pendapat. Pernyataan semacam ini jelas tidak akan ada ruginya,
sebab sekiranya kemudian ternyata asumsinya adalah cocok maka kita
tinggal memberikan informasi, sedangkan jika ternyata mempunyaiasumsi
yang berbeda maka dapat diusahakan pemecahannya. Selain Asumsi,
istilah lainnya yang biasa dipakai dalam komunikasi ilmu pengetahuan
adalah Presumsi. Presumsi adalah suatu pernyataan yang disokong oleh
bukti atau percobaan-percobaan, meskipun tidak konklusif dianggap
sebagai benar atau walaupun kemungkinannya tinggi bahwa pernyataan
itu benar.
Setiap ilmu selalu memerlukan asumsi. Asumsi diperlukan untuk
mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar. Semakin
terfokus obyek telaah suatu bidang kajian, semakin memerlukan asumsi
yang lebih banyak.
Asumsi dapat dikatakan merupakan latar belakang intelektal suatu
jalur pemikiran. Asumsi dapat diartikan pula sebagai merupakan gagasan
primitif, atau gagasan tanpa penumpu yang diperlukan untuk menumpu
gagasan lain yang akan muncul kemudian. Asumsi diperlukan untuk

10
menyuratkan segala hal yang tersirat. McMullin (2002) menyatakan hal
yang mendasar yang harus ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan
adalah menentukan asumsi pokok (the standard presumption) keberadaan
suatu obyek sebelum melakukan penelitian. Sebuah contoh asumsi yang
baik adalah pada Pembukaan UUD 1945: “ …kemerdekaan itu ialah hak
segala bangsa..” “…penjajahan diatas bumi…tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan”. Tanpa asumsi-asumsi ini, semua pasal
UUD 1945 menjadi tidak bermakna.
Apakah suatu hipotesis merupakan asumsi? Ya, jika diperiksa ke
belakang (backward) maka hipotesis merupakan asumsi. Jika diperiksa ke
depan (forward) maka hipotesis merupakan kesimpulan. Untuk memahami
hal ini dapat dibuat suatu pernyataan: “Bawalah payung agar pakaianmu
tidak basah waktu sampai ke sekolah”. Asumsi yang digunakan adalah
hujan akan jatuh di tengah perjalanan ke sekolah. Implikasinya, memakai
payung akan menghindarkan pakaian dari kebasahan karena hujan.
Dengan demikian, asumsi menjadi masalah yang penting dalam setiap
bidang ilmu pengetahuan. Kesalahan menggunakan asumsi akan berakibat
kesalahan dalam pengambilan kesimpulan. Asumsi yang benar akan
menjembatani tujuan penelitian sampai penarikan kesimpulan dari hasil
pengujian hipotesis. Bahkan asumsi berguna sebagai jembatan untuk
melompati suatu bagian jalur penalaran yang sedikit atau bahkan hampa
fakta atau data. Terdapat beberapa jenis asumsi yang dikenal, antara lain:
a) Aksioma
Pernyataan yang disetujui umum tanpa memerlukan pembuktian
karena kebenaran sudah membuktikan sendiri.
b) Postulat
Pernyataan yang dimintakan persetujuan umum tanpa pembuktian,
atau suatu fakta yang hendaknya diterima saja sebagaimana adanya
Premise. Pangkal pendapat dalam suatu entimen . Pertanyaan
penting yang terkait dengan asumsi adalah bagaimana penggunaan
asumsi secara tepat? Untuk menjawab permasalahan ini, perlu
tinjauan dari awal bahwa gejala alam tunduk pada tiga karakteristik
(Junjung, 2005):
1) Deterministik.
Paham determinisme dikembangkan oleh William
Hamilton (1788-1856) dari doktrin Thomas Hobbes (1588-
1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah
bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak
universal. Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham

11
fatalisme yang berpendapat bahwa segala kejadian
ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dahulu.

2) Pilihan Bebas
Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan
pilihannya, tidak terikat pada hukum alam yang tidak
memberikan alternatif. Karakteristik ini banyak ditemukan
pada bidang ilmu sosial. Sebagai misal, tidak ada tolak ukur
yang tepat dalam melambangkan arti kebahagiaan.
Masyarakat materialistik menunjukkan semakin banyak
harta semakin bahagia, tetapi di belahan dunia lain,
kebahagiaan suatu suku primitif bisa jadi diartikan jika
mampu melestarikan budaya animismenya. Sebagai mana
pula masyarakat brahmana di India mengartikan bahagia
jika mampu membendung hasrat keduniawiannya. Tidak
ada ukuran yang pasti dalam pilihan bebas, semua
tergantung ruang dan waktu.

3) Probabilistik
Pada sifat probabilstik, kecenderungan keumuman dikenal
memang ada namun sifatnya berupa peluang. Sesuatu akan
berlaku deterministik dengan peluang tertentu. Probabilistik
menunjukkan sesuatu memiliki kesempatan untuk memiliki
sifat deterministik dengan menolerir sifat pilihan bebas.
Pada ilmu pengetahuan modern, karakteristik probabilitas
ini lebih banyak dipergunakan. Dalam ilmu ekonomi
misalnya, kebenaran suatu hubungan variabel diukur
dengan metode statistik dengan derajat kesalahan ukur
sebesar 5%. Pernyataan ini berarti suatu variabel dicoba
diukur kondisi deterministiknya hanya sebesar 95%, sisanya
adalah kesalahan yang bisa ditoleransi. Jika kebenaran
statistiknya kurang dari 95% berarti hubungan variabel
tesebut tidak mencapai sifat-sifat deterministik menurut
kriteria ilmu ekonomi.
Dalam menentukan suatu asumsi dalam perspektif filsafat,
permasalahan utamanya adalah mempertanyakan pada pada diri sendiri
(peneliti) apakah sebenarnya yang ingin dipelajari dari ilmu. Terdapat
kecenderungan, sekiranya menyangkut hukum kejadian yang berlaku bagi
seluruh manusia, maka harus bertitik tolak pada paham deterministik.
Sekiranya yang dipilih adalah hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap

12
individu manusia maka akan digunakan asumsi pilihan bebas. Di antara
kutub deterministik dan pilihan bebas, penafsiran probabilistik merupakan
jalan tengahnya.
Ilmuwan melakukan kompromi sebagai landasan ilmu. Sebab ilmu
sebagai pengetahuan yang berfungsi membantu manusia dalam
memecahkan masalah praktis sehari-hari, tidak perlu memiliki kemutlakan
seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman terhadap hal-hal
hakiki dalam kehidupan. Karena itu; Harus disadari bahwa ilmu tidak
pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan
yang bersifat mutlak.
Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil
keputusan, dimana keputusan itu harus didasarkan pada penafsiran
kesimpulan ilmiah yang bersifat relative. Jadi, berdasarkan teori-teori
keilmuan, tidak akan pernah didapatkan hal pasti mengenai suatu kejadian,
yang didapatkan adalah kesimpulan yang probabilistik, atau bersifat
peluang.
Seberapa banyak asumsi diperlukan dalam suatu analisis
keilmuan? Semakin banyak asumsi berarti semakin sempit ruang gerak
penelaahan suatu obyek observasi. Dengan demikian, untuk mendapatkan
pengetahuan yang bersifat analistis, yang mampu menjelaskan berbagai
kaitan dalam gejala yang ada, maka pembatasan dalam bentuk asumsi
yang kian sempit menjadi diperlukan.
Bagaimana cara mengembangkan asumsi ini? Asumsi harus
relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin ilmu. Asumsi ini
harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis Asumsi ini
harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya” bukan “bagaimana
keadaan yang seharusnya”. Jadi asumsi harus bersifat das sein bukan das
sollen. Asumsi harus bercirikan positif, bukan normatif. Lebih lanjut
mengenai asumsi dan ontologi, ontologi adalah esensi dari fenomena,
apakah fenomena merupakan hal yang bersifat objektif dan terlepas dari
persepsi individu atau fenomena itu dipandang sebagai hasil dari persepsi
individu. Mengenai hal ini, ada dua asumsi yang berbeda:
a) Nominalime: kehidupan sosial dalam persepsi individu tak lain
adalah kumpulan konsep–kosep baku, nama dan label yang akan
mengkarakteristikkan realitas yang ada. Intinya, realita dijelaskan
melalui konsep yang telah ada.
b) Realisme: kehidupan sosial adalah merupakan kenyataan yang
tersusun atas struktur yang tetap, tidak ada konsep yang
mengartikulasikan setiap realita tersebut dan realita tidak
tergantung pada persepsi individu.

13
Sebagai misal secara khusus dalam metodologi ilmu sosial,
terdapat dua asumsi berbeda dalam membicarakan tentang sifat
masyarakat sosial. Asumsi ini sangat penting dalam menentukan
pendekatan terhadap masalah–masalah yang berhubungan dengan konflik,
perubahan dan pemaksaan dalam masyarakat. Asumsi yang berbeda ini
tercermin dalam dua teori:
a) Order
Asumsi ini lebih diterima secara umum oleh para ahli ilmu sosial.
Dalam pendekatan yang menggunakan asumsi ini, masyarakat
memiliki sifat:
 Relatif stabil.
 Terintegrasi dengan baik.
 Elemen dari masyarakat itu memiliki fungsi masing–
masing dan saling berkoordinasi.
 Struktur sosial tercipta berdasarkan konsensus, bukan
pemaksaan (coercion).
b) Konflik
Dalam pendekatan yang menggunakan asumsi ini, masyarakat
memiliki sifat :
 Mengalami perubahan di banyak aspek.
 Mengalami konflik di banyak aspek.
 Setiap elemen dari masyarakat memiliki kontribusi ke arah
disintegrasi.

Perbedaan order versus konflik ini cenderung ditinggalkan dan


digantikan oleh regulation (regulasi) versus radical change (perubahan
radikal). Pandangan yang bersifat regulasi lebih terkait pada bagaimana
masyarakat cenderung menjadi sebuah kesatuan dan adanya kebutuhan
akan regulasi. Pandangan perubahan radikal berfokus kepada bagaimana
terciptanya perubahan radikal, konflk, dominasi dan kontradiksi.
Penelaahan suatu ilmu pengetahuan sosial yang mengkaji
permasalahan dalam masyarakat, terlebih entitas lokal, perlu
menggunakan pilihan asumsi yang tepat. Bidang kajian ilmu ekonomi
pembangunan perlu melihat kondisi aspek kemasyarakatan secara detil.
Kesalahan penggunaan asumsi akan memberikan dampak negatif bagi
obyek penelitian, yaitu masyarakat dari obyek pengetahuan tersebut.
Dengan demikian, kebijakan sebagai langkah akhir dari penelitian
mengenai proses pembangunan masyarakat tersebut menjadi bias dan tidak
tepat.

14
D. Peluang
Dalam menentukan suatu asumsi dalam perspektif filsafat,
permasalahan utamanya adalah mempertanyakan pada pada diri sendiri
(peneliti) apakah sebenarnya yang ingin dipelajari dari ilmu. Terdapat
kecenderungan, sekiranya menyangkut hukum kejadian yang berlaku bagi
seluruh manusia, maka harus bertitik tolak pada paham deterministik.
Sekiranya yang dipilih adalah hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap
individu manusia maka akan digunakan asumsi pilihan bebas. Di antara
kutub deterministik dan pilihan bebas, penafsiran probabilistik merupakan
jalan tengahnya.
Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar pengambilan
keputusan di mana didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang
bersifat relatif. Dasar teori keilmuan di dunia ini tidak akan pernah
terdapat hal yang pasti mengenai satu kejadian, hanya kesimpulan yang
probabilistik.
Salah satu referensi dalam mencari kebenaran, manusia berpaling
kepada ilmu. Hal ini dikarenakan ciri-ciri dari ilmu tersebut yang dalam
proses pembentukannya sangat ketat dengan alatnya berupa metode
ilmiah. Hanya saja terkadang kepercayaan manusia akan sesuatu itu terlalu
tinggi sehingga seolah-olah apa yang telah dinyatakan oleh ilmu akan
bersih dari kekeliruan atau kesalahan. Satu hal yang perlu disadari bahwa
“…ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk
mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak” (Suriasumantri, 1990).
Oleh karena itu manusia yang mempercayai ilmu tidak akan sepenuhnya
menumpukan kepercayaannya terhadap apa yang dinyatakan oleh ilmu
tersebut. Seseorang yang mengenal dengan baik hakikat ilmu akan lebih
mempercayai pernyataan “ 80% anda akan sembuh jika meminum obat
ini” daripada pernyataan “yakinlah bahwa anda pasti sembuh setelah
meminum obat ini”.
Hal ini menyadarkan kita bahwa suatu ilmu menawarkan kepada
kita suatu jawaban yang berupa peluang. Yang didalamnya selain terdapat
kemungkin bernilai benar juga mengandung kemungkinan yang bernilai
salah. Nilai kebenarannya pun tergantung dari prosentase kebenaran yang
dikandung ilmu tersebut. Sehingga ini akan menuntun kita kepada
seberapa besar kepercayaan kita akan kita tumpukan pada jawaban yang
diberikan oleh ilmu tersebut.
Sebagaimana telah disampaikan terdahulu, bahwa Determinisme
dalam pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang
(probabilistik). Statistika merupakan metode yang menyatakan hubungan
probabilistik antara gejala-gejala dalam penelaahan keilmuan. Sesuai
dengan peranannya dalam kegiatan ilmu, maka dasar statistika adalah teori
peluang. Statistika mempunyai peranan yang menentukan dalam
persyaratan-persyaratan keilmuan sesuai dengan asumsi ilmu tentang
alam. Tanpa statistika hakikat ilmu akan sangat berlainan.

15
Dasar teori keilmuan di dunia ini tidak akan pernah terdapat hal
yang pasti mengenai satu kejadian, hanya kesimpulan yang probabilistik.
Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar pengambilan keputusan di
mana didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif.
Probabilitas merupakan salah satu konsep yang sering kita gunakan untuk
mendeskripsikan realitas di dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan,
aplikasinya tidaklah terbatas hanya pada percakapan keseharian tersebut,
namun juga mencakup wilayah konversasi yang lebih serius dan refleksif,
yaitu sains. Dengan kata lain, probabilitas acapkali digunakan sebagai
perangkat eksplanasi ilmiah. Hal ini seolah-olah dijustifikasi oleh Carl
Hempel, salah satu filsuf sains utama pada abad 20, ketika dalam karya
monumentalnya, Philosophy of Natural Science, mengakui adanya dua
jenis wujud hukum yang berperan di dalam eksplanasi ilmiah, yaitu
hukum yang universal (laws of universal form) dan hukum yang
probabilistik (laws of probabilistic form).
Mari kita perhatikan keterangan dari Hempel berikut ini,
“Scientific hypotheses in the form of statistical probability statements can
be, and are, tested by examining the long-run relative frequencies of the
outcomes concerned, and the confirmation of such hypotheses is then
judged, broadly speaking, in terms of the closeness of the agreement
between hypothetical probabilities and observed frequencies.” Konsepsi
probabilitas sebagai ekspresi kontingensi tidaklah memberikan implikasi
semacam itu. Tidaklah bertentangan dengan klaim kontingensi jika objek
yang dianggap kontingen itu amat jarang muncul atau bahkan tidak
muncul sama sekali dalam aktualitas kehidupan. Seorang theis bisa
mengatakan, “Mujikzat itu mungkin akan dialami oleh saya,” dan
meyakininya secara valid walaupun hingga ajalnya ia tidak pernah
menikmati mujikzat tersebut. Dengan kata lain, benar-salahnya suatu
klaim kontingensi itu tidak ditentukan oleh jumlah aktualisasi dari
posibilitas yang ada. Konsepsi ini tentang probabilitas bukannya tidak
memiliki kemampuan prediksi sama sekali, hanya saja yang ia bisa
berikan adalah prediksi negatif belaka (tentang apa yang tidak akan
terjadi), bukan prediksi positif (tentang apa yang akan terjadi).
Probabilitas yang dipahami oleh Hempel di atas merupakan
pemahaman probabilitas yang umum dipakai di dalam eksplanasi ilmiah.
Akan tetapi, sebagaimana telah diuraikan tadi, pada pemahaman semacam
itu probabilitas memiliki muatan ontologis yang berbeda daripada yang
dimiliki oleh konsep probabilitas yang umum digunakan di dalam
matematika, yaitu kontingensi. Perbedaan itu sendiri tidak harus menjadi
masalah apabila muatan ontologis yang berbeda itu – yang memungkinkan

16
dilakukannya prediksi positif – dapat dipertanggungjawabkan di hadapan
akal sehat.
Apa kiranya isi muatan itu? Yang pasti ia berada di luar struktur
necessity-contingency. Konsep probabilitas di sini tidak dapat dikatakan
sebagai ekspresi kontingensi belaka. Yang ditegaskan lebih “kuat”
daripada kontingensi, karena ada kriteria actuality yang menjadi syarat.
Akan tetapi, ia juga bukanlah ekspresi necessity, mengingat deviasi secara
acak selalu dimungkinkan. Jadi, ketika dikatakan di sini bahwa
probabilitas a terhadap b adalah 7/10 atau 70 %, yang dimaksud bukanlah
bahwa relasi kontingen antara a dan b adalah 70 persen daripada totalitas
relasi kontingen yang dimiliki antara a dan b. Lalu apa? Tampaknya yang
paling masuk akal untuk dimaksud oleh klaim itu adalah bahwa antara a
dan b terdapat tendensi untuk berelasi sebesar 70 persen.
Framework “tendensi” ini hanya dapat sungguh-sungguh menjadi
intelligible ketika setiap objek dipandang sebagai person, yaitu entitas
yang memiliki karakter dan kapasitas reflektif (tak peduli seberapa
minimnya). Karakter menerangkan stabilitas dari pola-pola relasi pada
entitas itu; stabilitas yang diekpresikan oleh term “tendensi,” dan
refleksivitas menjelaskan terjadinya sejumlah penyimpangan dari pola-
pola tersebut. Singkatnya, framework “tendensi” merupakan turunan dari
apa yang Wilfred Sellar namakan the framework of persons. Kalau analisis
ini memang tepat, maka tidak bisa dipungkiri bahwa konsep probabilitas
yang ada di benak Hempel itu mengimplikasikan komitmen ontologis
terhadap ontologi person tersebut.
Sesuatu yang krusial untuk diperhatikan adalah bahwa komitmen
ontologis terhadap the framework of persons itu tidak dapat disandingkan
secara koheren dengan komitmen terhadap struktur necessity-contingency.
Ironi dari proposal Hempel di awal tulisan ini akan dua jenis hukum ilmiah
(hukum universal dan hukum probabilistik) ialah bahwa, sebagaimana kita
bisa lihat sekarang, yang sesungguhnya diajukan adalah tuntutan terhadap
kita untuk memilih satu di antara dua skema ontologi yang masing-masing
terbuka untuk diambil. Ontologi persons juga punya nilai survivalitas.
Sellar bahkan melihat skema ontologis inilah yang diakrabi pertama kali
oleh manusia dalam menghadapi dunia, sehingga ontologi itu ia namakan
the original image. Soal akuntabilitas klaim-klaim yang diturunkannya,
usaha limitasi empiris ala Hempel dan Popper dapat dilihat sebagai wujud
upaya refinery atas ontologi itu.
Meskipun demikian, refinery empiris semacam itu sesungguhnya
tidaklah cukup, bahkan tidak relevan, bagi setiap eksplanasi, termasuk
eksplanasi probabilistik, yang mengandalkan the framework of persons itu.

17
Yang menjadi tuntutan esensial dari muatan ontologis yang terkandung
pada eksplanasi semacam itu adalah keterangan akan tujuan apa yang
dilayani oleh si objek eksplanasi melalui “aksi”-nya. Eksplanasi
berdasarkan ontologi persons dengan sendirinya adalah eksplanasi melalui
struktur belief-desire. Konsekuensi ini, ketika disadari, akan menimbulkan
problem yang amat besar bagi penggunaan klaim-klaim probabilitas yang
berbasis ontologi persons itu, karena pembicaraan tentang “tujuan” yang
hendak dicapai oleh suatu objek seperti dadu melalui gerak dan kondisi
akhirnya merupakan objek spekulasi yang hanya pantas untuk dilakukan
oleh para occultist; para penganut keyakinan akan hantu dan alam gaib.
Tak heran jika di antara anggota komunitas ilmiah, pembicaraan itu
sudah lama ditetapkan sebagai tidak relevan, tidak pantas, bahkan
memalukan, untuk dilakukan. Tetapi, dengan menggunakan eksplanasi
probabilistik, yang memiliki muatan ontologis yang berbeda dari
posibilitas, komunitas ilmiah tanpa disadari justru sedang menjerumuskan
dirinya ke dalam konversasi yang selevel dengan konversasi akan
“makhluk-makhluk gaib” itu. Untungnya, keterjerumusan itu bukanlah
suatu hal yang tidak dapat dihindari oleh ilmu pengetahuan. Ia hanya perlu
meninggalkan konsep probabilitas yang selama ini populer dipakai; yang
berbasiskan ontologi persons.

E. Batas-Batas Penjelajahan Ilmu


Dalam hal penjelajahan ilmu, muncullah beberapa pertanyaan :
Apakah nilai kebenaran dari ilmu bersifat mutlak? Apakah seluruh
permasalahan manusia di dunia dapat dijawab dengan tuntas oleh
pengetahuan yang disebut ilmu pengetahuan? Inilah pertanyaan pokok
yang timbul bagi setiap yang mengejar ilmu pengetahuan kapan saja dan
dimana saja. Untuk memperoleh jawaban dari pertanyaan- pertanyaan itu,
baiklah kia akan menoleh sejenak kepada apa yang telah diungkapkan oleh
beberapa ahli di dunia dalam hubungan eksistensi ilmu pengetahuan itu.
Jean Paul Sartre, seorang filsuf eksistensialis yang atheist bangsa
Perancis pernah mengemukakan, “Apakah pengetahuan? Ilmu
pengetahuan bukanlah suatu hal yang sudah selesai terfikirkan, sesuatu hal
yang tidak pernah mutlak, sebab akan selalu disisihkan oleh hasil- hasil
penelitian dan percobaan- percobaan baru yang dilakukan dengan metode-
metode baru atau karena adanya perlengkapan- perlengkapan yang lebih
sempurna. Dan penemuan- penemuan baru ini akan disisihkan pula oleh
ahli- ahli lainnya, kadang- kadang kembali mundur, tetapi seringnya lebih
maju. Begitulah selalu akan terjadi.

18
Menurut Prof. Ir. Podjawijatna, pengetahuan merupakan hasil dari
sebuah putusan. Sedangkan Ilmu merupakan sesuatu yang membedakan
dari pengetahuan biasa, karena ilmu sangat menghiraukan kegunaan dari
sebuah pengetahuan (Prof. Ir. Podjawijatna). Sebagai contoh, tidak puas
hanya dengan sifat air, tapi diselidiki lebih lanjut tentang bagaimanakah
air? Unsur seperti apakah air? Berapa suhu untuk mendidihkannya? Untuk
apa kegunaannya? Tujuan ilmu yang utama adalah untuk mencapai
kebenaran, sehingga ilmu memiliki objektivitas. Itulah sifat ilmiah yang
pertama. Selain itu, ilmu juga harus bersifat universal. Jika pengetahuan
hendak disebut ilmu maka haruslah memiliki objektivitas, bermetode,
universal dan bersistem.
Dr. Mr. D.C Mulder menulis dalam karyanya yang berjudul Iman
dan Ilmu Pengetahuan: “Tiap- tiap ahli ilmu menghadapi soal- soal yang
tak dapat dipecahkan dengan memakai pengetahuan itu sendiri. Ada soal-
soal pokok atau soal- soal dasar yang melalui kompetensi dari ilmu itu
sendiri. Misalnya, dimanakah batas- batas lapangan yang saya selidiki ini?
Dimanakah tempatnya di dalam kenyataan seluruhnya ini? Metode yang
saya gunakan ini sampai dimanakah? Umpamanya soal yang sangat sulit
sekali apakah causalitas kealaman (nature causaliteit) berlaku juga atas
lapangan hayat, psychs, historis, sosial, dan yuridis? Dan tentu ada lain-
lain lagi. Jelaslah untuk menjawab soal- soal semacam itu ilmu-ilmu
membutuhkan suatu instansi yang sedemikian itu yaitu ilmu filsafat.”
Apakah batas yang merupakan lingkup penjelajahan ilmu? Di manakah
ilmu berhenti dan meyerahkan pengkajian selanjutnya kepada pengetahuan
lain? Apakah yang menjadi karakteristik obyek ontologi ilmu yang
membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya? Jawab dari
semua pertanyaan itu adalah sangat sederhana: ilmu memulai
penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti pada batas
pengalaman manusia. Jadi ilmu tidak mempelajari masalah surga dan
neraka dan juga tidak mempelajari sebab musabab kejadian terjadinya
manusia, sebab kejadian itu berada di luar jangkauan pengalaman
manusia. (Jujun, 1990:91)
Mengapa ilmu hanya membatasi daripada hal-hal yang berbeda
dalam pengalaman kita? Jawabnya terletak pada fungsi ilmu itu sendiri
dalam kehidupan manusia; yakni sebagai alat pembantu manusia dalam
menanggulangi masalah yang dihadapi sehari-hari. Ilmu membatasi
lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan
metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji
kebenarannya secara empiris. Memang demikian, jawab filsuf ilmu,
bahkan dalam batas pengalaman manusiapun, ilmu hanya berwenang

19
dalam menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan. Tentang baik
dan buruk, semua berpaling kepada sumber-sumber moral; tentang indah
dan jelek semua berpaling kepada pengkajian estetik. (Jujun
S.Suriasumantri, 1984) Dapat disimpulkan bahwa batas dari penjelajahan
ilmu hanyalah ”Pengalaman” manusia, yaitu mulai dari pengalaman
manusia dan berhenti pada pengalaman manusia juga. Ilmu diperoleh
melalui panca indera, oleh karena itu jika pengalaman diperoleh dengan
melihat maka ”ilmu adalah penglihatanmu”, jika pengalaman diperoleh
dengan mendengarkan, maka ”Ilmu adalah pendengaranmu” begitu juga
untuk indera yang lainnya. Ini mengindikasikan Ontologi (Metafisika,
Asumsi, dan Peluang).

F. Ontologi dalam Kedokteran Gigi


Ontologi juga terdapat di dalam ilmu kedokteran gigi. Dan berikut
ini adalah paragraph ontology yang berkaitan dengan kedokteran gigi.
Hakikat profesi kedokteran adalah bisikan nurani dan panggilan
jiwa (calling), untuk mengabdikan diri pada kemanusiaan berlandaskan
moralitas yang kental. Prinsip-prinsip kejujuran, keadilan, empati,
keikhlasan, kepedulian kepada sesame dalam rasa kemanusiaan, rasa kasih
saying (compassion), dan ikut merasakan penderitaan orang lain yang
kurang beruntung. Dengan demikian, seorang dokter tidaklah boleh egois
melainkan harus mengutamakan kepentingan orang lain, membantu
mengobati orang sakit (altruism). Seorang dokter harus memiliki
Intellectual Quotient (IQ), Emotional Quitient (EQ), dan Spiritual
Quotient (SQ) yang tinggi dan berimbang.
Salah satu bentuk keadilan Tuhan adalah menciptakan manusia
dengan struktur tubuh yang harmonis. Secara anatomis manusia diciptakan
dengan organ-organ yang fungsinya jelas dan secara fisiologis kerap
memberi tanda jika tubuh jasmani kita misalnya dibebankan dengan tugas
yang berlebihan atau menfungsikan diluar dari fungsi pokoknya.
Demikian halnya dengan Gigi dan Mulut yang diciptkan bagi
setiap orang, selain seperti yang telah ketahui bahwa ada 3 fungsi Gigi dan
mulut yaitu: 1. Pengunyahan ( fungsi pencernaan), 2. Fonetik (
menghasilkan lafaz/ suara yang bagus) 3. Estetika( penampilan). Ternyata
pada hakikatnya susuanan gigi dan mulut kita adalah ibrah atau pelajaran
paling dekat untuk memahami dan menguatkan sisi keyakinan kita akan
keadilan Tuhan.
Gigi depan atau yang kita kenal dengan gigi seri atau gigi incisivus
jika renungkan dengan seksama membuat kita berdecak kagum, betapa
kita manusia harus bersyukur karena ternyata gigi depan yang sedemikian

20
bentuknya memberikan tampilan yang menarik ketika kita tersenyum,
coba anda bayangkan jika gigi belakang atau gigi geramham yang besar
itu yang memiliki dua akar gigi ditempatkan di susunan gigi depan
manusia, maka betapa tidak menariknya penampilan setiap manusia.
Atau, dari segi fungsi misalnya Tuhan telah menetapkan sesuatu
sesuai dengan kadarnya, tak lebih dan tak kurang. Fungsi gigi depan yang
kecil itu hanya untuk memotong makanan atau gigi taring untuk merobek,
sedangkan gigi-gigi geraham ( gigi belakang ) diciptakan dengan postur
yang besar dengan penyanggah akar gigi 2 dan 3 akar gigi karena sesua
dengan fungsinya yang berat untuk menghaluskan makanan apapun yang
kita makan, kita tak bisa membayangkan jika sebaliknya gigi depan yang
ada di tempatkan di susunan gigi belakang manusia, tentu sudah pasti
fungsinya tidak akan maksimal dan bahkan justru mungkin akan
mengakibatkan cedera akibat antomi gigi depan yang runcing.
Sangat penting tentunya kita memahami kausalitas dari setiap
ciptaan sang pencipta, tentu tujuanya agar kita bisa semakin bersyukur,
bahwa tak ada yang sia-sia. Keadilan dari sang maha adil sesungguhnya
telah memberikan pertanda lebih dekat dari urat nadi kita.
Dan karena kita adalah mahluk yang diciptakan sejatinya sebagai
pemimpin, maka setiap organ tubuh kita adalah tanggung jawab. Kita
mungkin bisa saja emosi akibat sakit gigi, tapi apakah telah ada tanggung
jawab untuk merawatnya, menyikatnya dengan benar minimal 2 kali
sehari, menambal gigi jika terkena karies, atau membersihkan karang
giginya jika ada.
Setiap gigi yang ada dalam mulut kita selalu saja memberi pertanda
buat pemiliknya, misalnya gigi yang ngilu ketika ada rangsangan dingin
dan gigi tersebut lubang artinya itu adalah tanda-tanda atau peringatan
akan adanya serangan infeksi yang lebih besar jika dibiarkan dan tidak
segera dirawat.
Sebagain orang mungkin akan apatis, toh pada akhirnya gigi
tersebut bisa dicabut. Dan pada akhirnya anda akan lupa betapa besar
resiko kehilangan 1 gigi saja. Kehilangan 1 gigi akan mengakibatkan gigi-
gigi di samping bekas pencabutan itu akan bergeser ke arah yang kosong,
dan yang akan terjadi adalah terjadi gigitan yang tidak normal, gigi yang
awalnya teratur rapi justru akan jarang-jarang.
Hakikat untuk sehat memiliki syarat yang telah kita ketahui
bersama, yaitu Bersih. Di dalam rongga mulut yang kecil itu jika
kebersihanya terjaga, maka niscya keseimbangan keasaman mulut akan
menjaga kondisi gigi geligi dan mukosa agar tetap sehat, putih dan besih
serta tetap menarik.

21
Daftar Pustaka

Suriasumantri, S. 2007. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar


Harapan, Jakarta. Cet.20.

Jusuf M, Amir A, 2017. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta. Ed. 5.

Susanto, 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta, Bumi Aksara

Anonim, 2017. https://id.wikipedia.org/wiki/Ontologi. Dicetak pada tanggal 11


Oktober 2017. Pukul 10.30 WIB.

Anonim, 2017. http://www.eurekapendidikan.com/2014/10/pengertian-ontologi-


dalam-filsafat-ilmu.html. Dicetak pada tanggal 11 Oktober 2017. Pukul
10.30 WIB.

Anonim, 2017. www.karyaku.we.id/2017/08/makalah-filsafat-ilmu-ontologi.html.


Dicetak pada tanggal 11 Oktober 2017. Pukul 10.30 WIB.

Anonim, 2017. https://www.slideshare.net/elcepurwandarie/ontologi-metafisika-


asumsi-dan-peluang. Dicetak pada tanggal 11 Oktober 2017. Pukul 10.30
WIB.

Anonim, 2014. http://purwandarielce.blogspot.co.id/2014/02/ontologi-metafisika-


asumsi-dan-peluang.html. Dicetak pada tanggal 11 Oktober 2017. Pukul
10.30 WIB.

Anonim, 2017. https://dwicitranurhariyanti.wordpress.com/filsafat-ilmu/ontologi-


metafisika-asumsi-peluang-2/. Dicetak pada tanggal 11 Oktober 2017.
Pukul 10.30 WIB.

Anonim, 2017. https://www.kompasiana.com/7naj-az/filosofi-


gigi_552e298a6ea834c50f8b4595. Dicetak pada tanggal 23 Oktober 2017.
Pukul 00.14 WIB.

Anonim, 2017. https://www.academia.edu/31719247/Ontologi.pdf. Dicetak pada


tanggal 11 Oktober 2017. Pukul 10.26 WIB.

22

Anda mungkin juga menyukai