Anda di halaman 1dari 45

Bab I

Mahkamah Agung dan Politik Hukum Waris Adat

Sistem hukum di Indonesia secara structural mempunyai banyak kesamaan dengan


system hukum ketika kolonialisme Belanda masih bercokol di kepulauan Nusantara.
System hukum dan peradilan di Indonesia sebelum perang bersifat majemuk, dengan
hukum sipil (perdata) dan pengadilan yang terpisah bagi berbagai golongan ras di tanah
jajahan, yakni: golongn-golongan kaula Negara keturunan Eropa, Indonesia asli,
keturunan Cina dan Timur Asing lainnya.
System pengadilan yang majemuk tidak ada lagi semasa pendudukan Jepang (1942-
1945), dan hanya satu hukum acara yang masih dipertahankan sesudah revolusi pada
tahun 1945.

Sejak empat dasawarsa pertama abad ini, para pakar hukum Belanda di negeri Belanda
dan di Hindia Belanda menempatkan hukum adat sebagai bagian kehidupan hukum
kolonial yang terpisah, dengan prosedur, yurisprudensi, dan himpunan komentarnya
sendiri. Dua orang ahli terutama Cornellis van Vollenhoven di Belanda dan ter Haar di
Hindia Belanda, mempertahankan hukum adat dari usaha-usaha untuk menggantikan nya
dengan kitab undang-undang yang seragam dan bercorak Eropa.
Sejak belahan kedua abad XIX para pakar Belanda itu telah menaruh perhatian yang
mendalam terhadap hukum adat, walaupun tiga orang Inggris telah mencurahkan
perhatian terhadapnya jauh lebih dulu.
Organisasi peradiln dimasa sebelum perang untuk subjek-subjek hukum Indonesia terdiri
dari distrik, pengadilan kabupaten, dan Landraad, pengadilan sehari-hari yang tertinggi
bagi orng Indonesia.
Banding terakhir terhdap keputusan landraad yang menyangkut hukum adat untuk
perkara-perkara tertentu dapat diajukan ke pengadilan banding eropa, tetapi tidak
hoogerechtshof. Hoogerechtshof khusus memeriksa kembali perkara-perkara yang
bertumpu pada “ketentuan-ketentuan hukum tertulis”, dan tidk mencakup hukum adat
yang tidak tertulis.
Para hakim pengadilan untuk golongan keturunan Eropa hamper selalu terdiri dari orang-
orang Belnda, demikian juga halnya dengan sebagian besar pengadilan untuk orang-
orang Indonesia.
Para hakim yang memeriksa perkara-perkara hukum adat memikul tugas yang sangat
sulit. Berbeda halnya dengan para hakim pengadilan untuk kasus-kasus golongan
keturunan Eropa, yang fungsi dan kekuasaannya ditetapkan dalam kitab undang-undang
dan yang pada kenyataannya dapat bersandar dengan aman, adil atau tidak adil, pada
hukum tertulis yang ada di depan mereka, hakim landraad selalu harus menghadapi
yurisdiksinya dengan antene yang peka yang terarah ke isyarat-isyarat system social yang
mungkin saja sangat asing dibandingkan system sosialnya sendiri.
Hakim menurut Ter Haar adalah bagian fungsional dari masyarakat, tetapi secara
psikologis ia bisa jadi seorang yang berasal dari luar, sejauh konsepsi hukumnya sendiri
berbeda dengan konsepsi hukum masyarakat.
Ia mengakui dan mendorong ditumbuhkannya peranan pendekatan kritis hakim dalam
keputusan-keputusan yang menyangkut hukum adat. Sekalipun terikat oleh system dan
nilai-nilai yang berlaku di wilayah yurisdiksinya, hakim tetap bebas menerapkan
wawasan kritisnya terhadap setiap aturan, mengujinya menurut sistemnya sendiri yang
selalu tumbuh dan berubah, sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang terdapat dalam
masyarakat.
Dalam pikiran Ter Haar, kebutuhan untuk menekankan tanggung jawab hakim terhadap
norma-norma masyarakat menjadi lebih jelas jika fungsi yudisial itu dipahami dan bisa
diterapkan dalam masyarakat melalui suatu medium spesifik yang disebut hukum.
Pemekaran system hukum dan peradilan secara penuh yang diinginkan oleh Ter Haar
tidak terjadi sebelum kekuasaan Belanda berakhir. Akan tetapi banyak gagasan Ter Haar
dan Van Vollenhoven dimasukkan ke dalam hukum, praktek peradilan, dan pendidikan
hukum di Indonesia.

II
System hukum adat Van Vollenhoven dan Ter Haar tidak dapat bertahan melewati
revolusi (1945-1950). Untuk sebagian hal itu merupakan akibat terjadinya unifikasi
peradilan dan kurangnya hakim yang berpendidikan di Indonesia.
Hasil terpenting revolusi adalah dibiarkannya interaksi normal antara elite pribumi dan
masyarakat selebihnya tersebut tidak terganggu. Masyarakat Indonesia (dan juga hukum
Indonesia) pastilah kini merasakan dampak dari cita-cita, gambaran dan metode kaum
elitenya, yang masa depannya tidak bisa lain dari masa depan bangsa Indonesia.
Kebanyakan kaum elite nasionalis, sejak masa sebelum perang, mengartikan masa depan
Indonesia sebagai masa depan yang diwarnai dengan kemajuan ekonomi yang pesat.
Banyak diantara mereka berpendapat bahwa hukum adat merupakan lawan kemajuan.
Akan tetapi hukum adat juga menggambarkan sesuatu yang benar-benar tidak
disangsikan lagi, bersifat Indonesia.
Kebanyakan ahli hukum dan cendekiawan sesudah revolusi memandang hukum adat
dengan mengingat keinginan mereka akan Negara industri modern. Kemajuan ekonomi
memerlukan hukum perdata baru, dan revolusi social yang tidak terelakan memrlukan
hukum baru untuk memenuhi tuntutan para buruh dan petani akan kehidupan yang lebih
baik. Rakyat Indonesia perlu didorong kearah hukum yang baru dan modern.
Perangsang utama bagi tumbuhnya hukum baru adalah modernisasi social dan ekonomi.
Akan tetapi masih ada pengaruh lain yang lebih halus terhadap sifat hukum Indonesia
yang baru yang diinginkan oleh kelompok elite yakni ukuran dapat diterimanya hukum
itu secara internasional.
Penitikberatan pada perubahan dan modernisasi tidak berarti bahwa hukum adat tidak
lagi penting sesudah revolusi. Pada tahun 1955, Professor V.E.Korn mengemukakan
bahwa “Kami mendapati bahwa sebagian besar cendekiawan Indonesia, walaupun
merindukan modernisasi hukum, tetap berada dibawah pesona hukum adat.
Sering dikemukakan bahwa usaha pengkodifikasian atau unifikasi dapat dimulai dengan
hukum dagang dan sejenisnya, sedang hukum kekeluargaan masih harus tunggu dulu.
Karena dalam masalah perkawinan, perceraian, pengangkatan anak, dan pewarisan,
perbedaan diantara hukum adat di berbagai daerah paling tampak mencolok, belum lagi
perbedaan antara hukum adat dan hukum Eropa.
Untuk memahami keputusan-keputuan yang kemudian diambil oleh Mahkamah Agung
mengenai hukum waris, kiranya kita perlu meninjau beberapa faktor yang mempengaruhi
pandangan hakim pada umumnya terhadap hukum adat. Dua buah faktor yang terkait
adalah masalah-masalah social sejak revolusi dan kurangnya studi baru mengenai hukum
adat yang deskriptif. Kurangnya jumlah hakim sejak revolusi dan meningkatnya jumlah
perkara mengakibatkan banyak tertimbunnya perkara. Barangkali faktor yang lebih
penting lagi, bgagaimana pun adalah, bahwa para hakim itu termasuk dalam golongan
elite nasional atau lokal. Mereka tunduk pada pengaruh ideology yang sama dengan
ideology yang mempengaruhi kaum elite lainnya, dan biasanya juga mempunyai keadaan
jiwa yang sama. Kesemua faktor tersebut mengambil bagian dalam mengubah konsepsi
para hakim sudah barang tentu juga konsepsi para Hakim Agung tentang peranan mereka
dalam perubahan hukum adat, dan juga dalam pemberian corak yurisprudensi baru
hukum kekeluargaan adat.

III

Pengembangan yurisprudensi (case law) baru hukum waris adat didasarkan atas wilayah
yang mewakili dua atau tiga jenis system kekerabatan yang berlainan yang terdapat di
Indonesia. Pada umumnya, harta yang dapat diwaris terdiri dari dua jenis; (1) harta
bawaan masing-masing suami isteri yang dimiliki selama berlangsungnya perkawinan,
pemilikannya terpisah (harta pusaka; barang asal)., dan (2) harta yang mereka peroleh
selama berlangsungnya perkawinan dan menjadi milik bersama (harta pencarian, gono-
gini). Perkembangan yurisprudensi Mahkamah Agung baik diwilyah yang patrilineal
maupun bilateral ditujukan ke arah penegakan (1) hak janda untuk memperoleh tunjangan
yang cukup dari hrta suaminya yang pemilikannya terpisah maupun dari harta yang
menjadi bagian dari mendiang suaminya dalam harta pencarian bersama. (2) haknya atas
kedua jenis harta, tidak perduli akan persoalan batas cukupnya jaminan hidup, dan (3)
hak penuhnya untuk mewris bagian dari kedua jenis harta bersama bagian untuk anak-
anaknya.
Karena putusan-putusan Mahkamah Agung Indonesia diambil dengan suara bulat dan
singkat, sulit untuk menyingkap bagaimana sejumlah hakim itu memandang persoalan
yang dihadapi. Kadang-kadang saja dapat diperoleh petunjuk, itupun hanya sekilas,
kecuali kalau salah seorang dari para hakim itu membuat ulasan dalam Majalah Hukum.
Sejak tahun 1959, Mahkamah Agung telah memastikan kesamaan para janda jawa dengan
anak-anak mereka dalam pembagian harta pencarian.
Mahkamah Agung telah mengayunkan langkah panjang ke arah terbentuknya hukum
waris bagi seluruh Indonesia. Masih ada satu ketentuan mengenai hak janda untuk
mewaris, dan ketentuan ini berdasar atas konsep hukum adat. Haknya untuk mewaris
sudah pasti, tetapi pernikahan kembali dapat menyebabkan hilangnya hak atas barang
asal milik mendiang suaminya.
IV

Beberapa, tetapi tidak semua, hakim pengadilan yang lebih rendah merasa bahwa
Mahkamah Agung telah melangkah mengakah terlalu jauh menyimpang dari hukum adat,
sehingga Mahkamah tidak memperdulikan kenyataan sosial di beberapa daerah. Mungkin
sekali benar bahwa Mahkamah Agung tidak banya sentuhan dengan desa terutama di
beberapa daerah setidak-tidaknya dengan langkahnya memperkenalkan cita perkotaan ke
dalam keputusan-keputusannya.
Perubahan watak para hakim, yakni hakim Mahkamah Agung dan sebagian juga hkim
pengadilan yang lebih rendah penting artinya bagi system peradilan Indonesia. Pada
mulanya sesudah revolusi, para hakim bekerja untuk sebagian besar menangani perkara-
perkara atas dasar hukum adat seperti yang dilakukannya di masa sebelum perang, karena
pendidikan dan kebiasaannya membuatnya cenderung demikian. Akan tetapi secara
bertahap pandangan-pandangannya mulai berubah. Semakin lama ia semakin melibatkan
perhatian yang emosional dalam hukum, karena hukum adalah hukumnya juga. Tidak
dibatasi oleh hukum tertulis dan didorong oleh kepentingan perubahan sosial, ekonomi,
dan politik. Ia mulai memandang dirinya sendiri sebagai pemegang peranan pencipta
hukum yang terdepan, di samping juga sebagai pelaksana hukum.
Sebagian besar hakim Mahkamah Agung dewasa ini setuju dengan yurisprudensi hukum
waris baru, walaupun sebelumnya beberapa orang diantaranya memeprtanyakannya.
Dalam pikiran mereka langkah meninggalkan teknik peradilan yang lama adalah langkah
yang perlu dilakukan, demi kepentingan keadilan dan modernisasi.
Sampai datangnya saat para pembentuk undang-undang memberi batas bagi pengadilan
dengan menciptakan hukum tertulis baru, mungkin Mahkamah Agung sekali-kali
memperkenalkan pandangannya sendiri yang bercorak kota besar ke dalam hukum tidak
tertulis. Akan tetapi tidak ada kepastian bahwa badan pembentuk undang-undang atau
badan eksekutif akan berbuat sebaliknya. Lebih-lebih bila menyangkut aturan yang
secara ideologis diragukan. Sejauh yang berkait dengan hakim, banyak yang bergantung
kepada teknik peradilan ciptaan mereka yang memungkinkan mereka membimbing
negeri ini menuju ke arah terbentuknya hukum baru tanpa menempatkan hukum di luar
jangkauan masyarakat.
Bab II
Politik Pengembangan Kekuasaan Kehakiman

Pendekatan hukum terhadap pengembangan kekukasaan kehakiman di negara-negara


baru Asia dan Afrika tampaknya tidak cukup memadai karena dua sebab. Pertama, kita
tidak dapat memperoleh pengetahuan sebelumnya mengenai faktor-faktor politik dan
sosial yang berkenaan dengan proses perubahan di negeri-negeri itu. Yang kedua adalah
bahwa menitikberatkan pada segi-segi legislatif perkembangan tersebut, sorotannya
beralih keluar dari lembaga-lembaga itu sendiri.
Kebanyakan negara yang baru saja merdeka terus-menerus dilanda pergolakan politik
sebagai akibat terjadinya saling sikut diantara orang-orang yang memperebutkan
kedudukan yang berkekuasaan, terhormat, dan menguntungkan yang ditinggalkan oleh
kaum elite kolonial.
Pertentangan di bidang organisasi kehakiman terdiri dari dua macam. Yang pertama,
antara hakim dan jaksa menyangkut masalah prestise; apakah jaksa harus diberi
kedudukan dan gaji yang sama dengan hakim ataukah tidak. Dalam pertentangan yang
kedua, persoalannya pada dasarnya adalah pertentangang mengenai prestise dan status,
tetapi yang diperselisihkan adalah pembagian kekuasaan substansif antara pihak
kepolisian dan badan penuntut umum.

Organisasi Kehakiman Kolonial dan Pendudukan Jepang


Bagi orang Eropa dan orang Indonesia, masing-masing berlaku kitab undang-undang
hukum acara yang berbeda. Pengadilan Indonesia bekerja sesuai dengan aturan-aturan
yang termaktub dalam Indlandschreglement. Pada tahun 1941 pemerintah kolonial
meninjau kembali kitab undang-undang hukum acara bagi golongan Indonesia, etapi
revisinya baru berlaku setelah gubernur jenderal mengangkat officieren van justice yang
berpendidikan pada landraad.
Proses unifikasi itu secara mendadak dirampungkan pada awal tahun 1942, segera setelah
Jepang menyerbu kepulauan Indonesia. Pemerintah kolonial Jepang dengan cepat
menghapus organisasi kehakiman kolonial dan menggantinya dengan system yang
disatukan dan disederhanakan.
Walaupun dilakukan perubahan-perubahan penting, pemerintah pendudukan Jepang tetap
mempertahankan diberlakukannya sebagian besar undang-undang kolonial sebagai
hukum acara, digunakanlah HIR, bukan kitab undang-undang hukum acara yang berlaku
bagi golongan Eropa atau peraturan bagi golongan pribumi (IR).dengan ditawannya para
pejabat yang berbangsa Belanda, orang Indonesia ditunjuk untuk mengambil-alih pos-pos
yang kosong di pengadilan dan badan penuntut.

Penuntut Versus hakim


Menyusul proklamasi kemerdekaan pada bulan Agustus 1945, kementrian kehakiman
mencabut sebagian besar perubahan yang dibuat oleh pemerintah pendudukan Jepang
terhadap berbagai kitab undang-undang sebelum perang. Badan penuntut umum Republik
meneruskan organisasi dan status hukum berkas parguet Eropa dulu, tetapi Republik
tidak menerima hukum acara pidana untuk golongan Eropa. Para pejabat kementrian
kehakiman yakin bahwa HIR yang agak informal dan luwes itu lebih cocok dengan
kebutuhan orng Indonesia daripada kitab-kitab hukum perdata untuk golongan Eropa
yang njelimet dan rumit itu.
Mereka yakin, dengan alas an yang rasional, bahwa para penuntut umum tidak akan
mampu bertindak sesuai dengan aturan acara yang berlaku bagi golongan Eropa yang
banyak persyaratannya itu, karena pemerintah Republik tidak dapat mendapatkan lebih
banyak orang yang berpendidikan hukum daripada pemerintah kolonial dulu tatkala
Inlandsch Reglement ditinjau kembali.
Akan tetapi, dalam praktek, tanggung jawab tersebut meluas dengan cepat selama
revolusi, dan sejak tahun 1950 badan penuntut umum tampak sangat lain dari
pendahulunya yang manapun dimasa sebelum perang. Selama pendudukan Jepang dan
revolusi, mayoritas jaksa dan beberapa pejabat pamong praja sebelum perang memegang
jabatan dalam badan penuntut. Jaksa yang pada masa lalu berkedudukan rendah, sering
juga berpendidikan rendah dan tidak biasa untuk menjalankan kekuasaan, mengidap
ketidakpuasan psikologis akan kedudukan mereka dimasa sebelumnya dengan pamong
praja, dan status kolonial mereka yang rendah sebagai “penentu pribumi”, mengganggu
harga diri mereka.
Revolusi membuka kesempatan yang amat luas bagi kaum elite Indonesia yang semula
kemampuannya terhambat. Revolusi menciptakan suasana politik dan sosial yang
memberi ruang gerak untuk meraih tempat yang lebih terhormat.
Sementara itu, tampak pada penilaian hakim terhadap situasi mereka dimasa sesudah
perang bahwa pada mulanya mereka merasa tidak perlu mengorganisasi diri mereka
sendiri. Pada tahun 1948 Pemerintah Republik menciptakan peraturan gaji pegawai
negeri yang susunan peringkat dan perbedaan gajinya sesuai dengan peraturan Hindia
Belanda. Ketua Mahkamah Agung dan Jaksa Agung memperoleh pangkat dan gaji yang
sama, tetapi hampir untuk setiap tingkat di bawahnya para hakim memperoleh suatu atau
lebih di atas jaksa disetiap tingkat pengadilan yang sama. Para Pejabat kementrian
kehakiman pada waktu itu masih jelas menganggap para penuntut sebagai jaksa, bukan
officier van justice. Para hakim merasa wajar bila memperoleh pangkat dan gaji yang
lebih tinggi, dan tidak pernah berpendapat sebaliknya.
Para jaksa tidak sependapat. Pada tahun 1951, segera setelah berorganisasi, mereka
memberi informasi kepada kementrian kehakiman dan badan kepegawaian negeri bahwa
mereka tidak hanya menginginkan gaji yang lebih tinggi, tetapi juga kesamaan gaji dan
peringkat dengan hakim dan peraturan mengenai kepegawaian negeri yang baru yang
segera akan dirancang.
Dengan menunjukan sikap hakim sebelumnya, maka datangnya tuntutan keras dari para
jaksa tak terelakan lagi membuat terkejut para hakim, dan untuk sekejap mereka tidak
menanggapinya. Dari tahun 1953 sampai tahun 1956 hakim dan jaksa memberikan alasan
mereka di depan parlemen menteri kehakiman, badan kepegawaian negeri, dan dalam
batas yang tidak luas di depan khalayak ramai. Perdebatan dibagi dalam tiga pokok;
beban kerja, tanggung jawab kehakiman, dan asas konstitusional. Masing-masing
mencerminkan beberapa masalah hukum dan perkembangan kehakiman Indonesia.
Perdebatan mengenai beban kerja menyangkut perbandingan beban kerja yang semakin
berat yang harus dilaksanakan oleh pengadilan dan badan kejaksaan sejak tahun 1950.
baik hakim maupun jaksa dengan tepat mengeluh bahwa mereka memikul tugas terlalu
berat, tetapi alas an demikian lebih ditekankan oleh hakim, karena tiap orang dalam
pemerintahan (termasuk kejaksaan) mempunyai pekerjaan lebih banyak sesudah revolusi.
Persoalan tanggung jawab tergantung kepada kekurangan yang mencolok dalam acara
pidana. Kekurangan ini terdapat didalam HIR yang menyatakan bahwa para hakim
sendiri harus menulis tuduhan formal dari bahan-bahan yang dihimpun oleh penuntut
dalam pemeriksaan pendahuluan. Para hakim, para penuntut yang berpangkat tinggi, dan
para advokat telah sejak lama mengetahui kekurangan ini maupun kekurangan-
kekurangan lainnya di dalam HIR. Para hakim berpikiran mendua terhadap acara
penyusunan tuduhan sebagaimana yang diatur menurut HIR.
Andaikata tidak timbul perselisihan antara penuntut dan hakim, kitab undang-undang
hukum acara boleh jadi tidak akan dikutik-kutik sampai lama kemudian. Barulah pada
tahun 1961 undang-undang baru menetapkan penuntut bertanggung jawab menyusun
dakwaannya sendiri, tetapi undang-undang itu membatasi dan menetapkan bahwa dalam
hal adanya kekurang-sempurnaan prosedural dalam dakwaan, penuntut harus
memperhatikan saran-saran yang diberikan oleh hakim.
Jika para hakim merasa harus bicara tentang beban kerja dan tanggung jawab, mereka
yakin persoalan perselisihannya adalah kedudukan konstitusional badan kehakiman
dalam negara Indonesia yang merdeka. Sejak semula mereka membedakan sasaran
jangka jauh dan jangka pendek.
Sasaran pertama mencakup tuntutan yang paling penting berupa aturan gaji yang terpisah
untuk para hakim. Sasaran jangka pendek Ikatan Hakim adalah mencegah penyamaan
pangkat dan gaji antara hakim dan penuntut. Hakim mengemukakan bahwa persoalannya
bukan sekedar uang, dan memang bukan.
Menurut mereka, pertama-tama perselisihan itu adalah masalah asas konstitusi dan
bagaimana pemerintah memandang badan kehakimannya. Sepanjang perdebatan
mengenai tempat badan kehakiman menurut konstitusi, contoh-contoh dari praktek di
luar negeri disebut-sebut oleh kedua belah pihak. Sementara para hakim menoleh ke
Amerika dan Inggris, yang kekuasaan badan kehakimannya begitu menarik, para
penuntut mengutip praktek di Eropa Daratan terutama di Belanda.
Argument-argumen hukum dalam perdebatan itu mempunyai beberapa pengaruh
terhadap pemikiran tentang organisasi kehakiman di Indonesia. Maka terjdilah
pemogokan para hakim, suatu peristiwa yang oleh kebanyakan pengamat dipandang luar
biasa. Pemogokan itu untuk sebagian merupakan ungkapan kemarahan, sebagai akibat
rasa kecewa yang timbul dari kemerosotan kondisi yang tidak dapat diatasi oleh para
hakim.
Tindakan tersebut disambut dengan perasaan heran yang sangat besar dalam pers.
tindakan serupa itu adalah kejadian belum pernah terdengar, karena hakim dimanapun
juga dianggap – walaupun masih merupakan harapan kebal terhadap kerapuhan yang
menghinggapi orang-orang lain. Tidak ada tolak ukur yang konsisten yang dapat
digunakan untuk menilai perselisihan antara hakim dan penuntut (jaksa), kedudukan
pengadilan, atau terhadap terjadinya pemogokan hakim tersebut.
Pada tahun 1956 sejumlah hakim, termasuk diantaranya dua orang hakim agung,
menyusun seperangkat usulan untuk pasal-pasal konstitusi yang berkenaan dengan
organisasi dan kekuasaan kehakiman. Dua orang hakim yang menjadi anggota majelis
konstituante memperkenalkan usulan tersebut,dengan beberapa perubahan, komisi yang
menangani bidang kehakiman menerimanya.
Kemerosotan kekuasaan hakim mengikuti kemerosotan citra negara dalam masyarakat
yang secara politis tidak stabil. Mungkin pula dipihak lain, itu terjadi karena
ketidaksenangan yang terpendam terhadap “hukum yang impersonal”, diperkuat oleh
ketidakcakapan para hakim dimasa sesudah revolusi. Lebih parah lagi pemerintah tidak
dapat memaksakan berlakunya hukum yang ada. Sejauh para penuntut (jaksa) sebagai
bagian eksekutif, kelompok-kelompok yang pendidikannya berhubungan dengan hukum
tidak dapat bertahan dengan mudah dalam kondidi ini.
Keterampilan para hakim perlahan-lahan kehilangan arti pentingnya dalam system politik
Indonesia sesudah merdeka. Selanjutnya tidak ada landasan yang masuk akal untuk
memberi kedudukan istimewa dan terhormat kepada hakim. Mereka mundur sendiri ke
posisi yang mereka anggap sangat kecil peranannya dalam pemerintahan dan masyarakat.

Polisi Versus Penuntut


Perselisihan antara polisi dan penuntut adalah perselisihan memperebutkan kekuasaan
dan wewenang hukum. Di Hindia Belanda dulu badan kepolisian secara keorganisasian
merupakan bagian dari kementrian dalam negeri dan tunduk di bawah pamong praja.
Selama pendudukan Jepang polisi dan penuntut dimasukkan ke kementrian yang berbeda-
beda, tetapi hubungan antara kedua badan ini dikembalikan menurut undang-undang
yang diambil alih oleh Republik di masa revolusi.
Pada tahun 1946 Perdana Menteri RI yang pertama, Sjahrir mengalihkan angkatan
kepolisian dari kementrian dalam negeri ke kantor perdana menteri. Pengaruh yang lebih
besar terhadap sejarah kepolisian menyangkut pengalihan badan ini ke kantor perdana
menteri adalah kesertaan kepolisian secara langsung dalam revolusi. Dari tahun 1945
sampai tahun 1950 mereka memegang kekuasaan yang lebih besar daripada sebelumnya,
menumbuhkan perasaan yang kuat akan betapa pentingnya arti kepolisian bagi revolusi.
Sesudah pengakuan kedaulatan timbul dua persoalan yang saling berkait tentang posisi
kepolisian nasional. Yang pertama adalah tentang kementrian manakah yang seharusnya
berwenang atas angkatan kepolisian. Akan tetapi, ambisi pihak kepolisian tidak membuka
peluang untuk dikuasai oleh pihak manapun diantara berbagai kementrian. Dalam sebuah
program yang dirancang pada tahun 1948 atau 1949 P3RI menuntut dibentuknya
kementrian kepolisian. Fungsi kepolisian menurut program tersebut tidak lagi seperti
fungsinya dimasa penjajahan, tatkala kepolisian sekedar sebagai pembantu
pamong/pangreh praja dan badan penuntut.
Dalam tantangannya terhadap upaya P3RI untuk memisahkan diri, kementrian
kehakiman, kementrian dalam negeri, dan terutama persatuan jaksa menyerang konsep
empat-kekuasaan dan menuduh kepolisian menganut pendapat yang bertentangan dengan
system konstitusional Indonesia. Dalam kaitannya dengan persoalan ini, perdebatan yang
kedua timbul tatkala pihak kepolisian menentang kekuasaan pihak penuntut atas badan
kepolisian.
Pihak kepolisian duduk dalam panitia dengan tuntutan-tuntutan yang pasti. Selain sebuah
kementrian yang berdiri sendiri, pihak kepolisian juga menginginkan diadakannya dua
perubahan drastis dalam undang-undang. Salah satu diantaranya adalah diberikannya
kekuasaan penuh kepada pihak kepolisian untuk melaksanakan tugas preventif, dengan
bekerjasama atau berkoordinasi dengan para pejabat pamong praja tetapi tidak dibawah
pengarahan mereka. Dalam perbincangan-perbincangan yang dilakukan oleh panitia,
pihak kepolisian mengemukakan bahwa peraturan perundangan kolonial mengenai
kekuasaan kepolisian sangat ketinggalan zaman dan tidak dapat dilaksanakan.
Andaikata usulan ini keseluruhannya dijadikan undang-undang, maka itu berarti
kepolisian akan memperoleh kementrian sendiri disertaikekuasaan prosedural yang
terpisah yang telah dituntutnya sejak tahun 1948. seperti diketahui usulan tersebut tidak
menjadi undang-undang, tetapi kabinet memang membentuk kementrian kepolisian pada
pertengahan tahun 1959.
Langkah ini adalah awal kurun yang paling tegang dalam hubungan antara badan
kepolisian dengan badan penuntut. Kedua-duanya terperangkap dalam arus besar
perubahan politik dan konstitusi yang bergejolak yang terjadi di Indonesia sesudah tahun
1957. pengawasan terhadap kepolisian oleh badan penuntut umum tidak terlihat dalam
undang-undang yang baru. Menteri kepolisian diberi kekuasaan atas tugas polisi, baik
yang preventif maupun yang represif. Kekuasaan polisi untuk memeriksa disebut satu
persatu dan tersimpul di dalamnya bukan termasuk kekuasaan badan penuntut.
Baik para penuntut umum maupun pihak kepolisian dapat meraih keinginanya berkat
kesertaanya dalam eksekutif yang di sebuah negeri yang secara politis kurang stabil,
dengan cepat cenderung memperoleh porsi besar diantara kekuasaan lainnya.kepolisian
memiliki keuntungan berupa jumlah, organisasi dan potensi politis, dan hal itu mungkin
pada akhirnya memberinya kemenangan dalam perselisihannya dengan badan penuntut.
Akan tetapi seperti yang telah dipaparka di atas, badan penuntut kalah karena melangkahi
batas-batas yang di izinkan. Hasilnya adalah merubah hubungan antara kepolisian dan
badan penuntut umum.
Dalam kedua kasus perseteruan tersebut pihak-pihak yang berselisih lebih menitik
beratkan perjuangannya pada persoalan status. Pada kurun permulaan transisi politik dan
sosial yang cepat, di sebagian negara baru di Asia dan Afrika, isyu keadilan jarang
menjadi sasaran perhatian yang utama sampai lama kemudian, tatkala stabilitas
kelembagaan dan pengawasan politis telah terwujud, dan rakyat telah sadar akan hak-
haknya. Sampai datangnya saat itu, hubungan kelembagaan yang terus berubah di bidang
peradilan (dan hubungannya dengan pihak-pihak lain) akan berpengaruh besar terhadap
berubah-ubahnya sifat keadilan.
Bab III
Perubahan Hukum Sipil
Dari Dewi Keadilan ke Pohon Beringin

Pada tahun 1960 sang dewi dengan kain penutup mata dan neraca sebagai lambang
keadilan di Indonesia diganti dengan pohon beringin yang distilir, dibubuhi perkataan
yang berasal dari bahasa jawa Pengayoman – perlindungan dan pertolongan. Secara
umum disepakati bahwa lambang baru tersebut memang kena, walaupun ada komentar
yang sinis terhadap kemerosotan keadilan sejak berakhirnya revolusi (1945-1950).
Kebijaksanaan pemerintah kolonial di Hindia Belanda mengenai adanya empat golongan
rakyat yang berlainan; Eropa, Indonesia asli, Cina, dan “timur asing” lainnya, terutama
Arab. Ada dua struktur peradilan sekuler yang terpisah, satu untuk orang Indonesia asli
dan satu lagi untuk Eropa. Semua golongan penduduk tunduk kepada kitab undang-
undang hukum pidana yang sama.
Dalam hukum pidana, orang Cina dan orang Arab dianggap melebur dengan orang
Indonesia asli, dalam hukum dagang dianggap melebur dengan orang Eropa, dan dalam
hukum perdata selebihnya untuk sebagian dianggap melebur dengan orang Eropa dengan
kekecualian bagi hukum keluarga yang penting.

Unifikasi dan Runtuhnya Hukum Perdata


Pada permulaan abad ini para ahli hukum terkemuka yang akrab dengan masalah Hindia
Belanda ambil bagian dalam perdebatan unifikasi hukum. Pada tahun 1920-an suatu
rancangan kitab undang-undang hukum perdata bagi semua golongan rakyat ditolak, dan
pemerintah kolonial mulai menyelenggarakan program penelitian hukum adat yang
bercakupan luas.
Berbeda dengan orang Prancis, yang tidak meragukan keunggulan peradaban mereka bila
dibanding dengan peradaban tanah jajahan mereka, para sarjana hukum Belanda bersifat
realistis. Setidak-tidaknya dalam teori, mereka berpendapat bahwa semua system hukum
adalah sama derajat. Kollewijn adalah orang yang paling fasih mempertahankan
pandangan tersebut, dan ia pula lah yang paling banyak mengembangkan system hukum
perselisihan kolonial yang menakjubkan.
Kesulitan besar yang melekat pada pendirian yang mendalilkan kesamaan hukum ialah
bahwa pendirian ini sedikit sekali berhubungan dengan realitas sosial. Tidak
mengherankan bila para pemimpin Indonesia merdeka mewarisi rasa suka kepada hukum
tertulis, yang melambangkan sekaligus status sosial yang unggul dan “kemodernan”.
Bertentangan dengan hal-hal yang dianggap penting oleh pihak penjajah, yakni
ketertiban, stabilitas, dan kemajemukan yang dirasakan oleh orang Indonesia sebagai
didasarkan pada kebijaksanaan pecah-belah dan kuasai (a devide and rule policy) tema
politik terpokok di masa kemerdekaan adalah bersatu-padunya semua golongan dan
pulau-pulau yang berbeda-beda di Nusantara ke dalam satu negara kesatuan.
Tidak ada kemajuan yang mencolok pada tahun-tahun awal kemerdekaan, baik yang
berkenaan dengan kodifikasi maupun yang berkenaan dengan unifikasi. Kitab undang-
undang hukum perdata dan hukum dagang khususnya tetap diberlakukan walaupun
keduanya melayani kepentingan hukum terutama golongan Cina dan golongan minoritas
lainnya.
Terlepas dari ketentuan undang-undang dasar yang masih tetap mempertahankan
peraturan hukum yang ada, kebnyakan hakim, advokat, dan abdi hukum lainnya
cenderung memberlakukan system hukum itu bahkan juga tatkala system tersebut mulai
hancur. Mempersatukan semua system hukum adalah masalah yang lain, masalah yang
sangat dipengaruhi oleh konsep kolonial bahwa untuk satu golongan rakyat diperlukan
satu hukum tersendiri. BW tidak hanya tetap dipertahankan, tetapi pengadilan pun tetap
melestarikan aturan hukum perselisihan kolonial.
Di luar pengadilan, hukum kolonial terus menerus mendapat serangan ideologis, tetapi
serangan itu tidak menghasilkan kesepakatan mengenai hukum Indonesia yang baru.
Banyak ketidak-setujuan mengenai perlunya unifikasi (penyatuan) hukum, terutama
dikalangan golongan Cina.
Dalam hal berkenaan dengan hak atas tanah dan hubungan kekeluargaan, kebanyakan
orang dari golongan Cina berterus terang tidak setuju dengan pandangan para pakar
hukum Indonesia asli yang mendukung unifikasi seperti almarhum Prof.Supomo.
walaupun terdapat rasa khawatir di kalangan golongan Cina sehingga mengambil sikap
menentang, rasa wajib dikalangan golongan Indonesia asli untuk menciptakan kodifikasi
dan unifikasi bersumber dari dua alasan ideologis: kitab undang-undang hukum perdata
barat yang sekarang ada didasarkan pada diskriminasi ras yang merendahkan golongan
Indonesia asli, dan hukum yang berlaku untuk semua golongan penduduk mempunyai arti
yang sangat penting bagi kesatuan nasional.
Dari tahun 1950 sampai tahun 1958 berbagai kabinet Indonesia baru menghasilkan
sedikit perombakan hukum materiil, dan tekanan pertikaian politik hampir tidak memberi
waktu kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk menangani persoalan itu dengan
sungguh-sungguh. Pada bulan juli 1959 undang-undang dasar parlementer 1950
digantikan oleh undang-undang dasar 1945, dan pada waktu yang sama, di bawah
pimpinan Soekarno, suatu kurun kegiatan ideology yang hebat mulai berlangsung dan
berlanjut untuk beberapa tahun lamanya.
Sekalipun demikian, muncullah pandangan-pandangan baru yang mulai mencabik-cabik
system hukum kolonial dan tradisi-tradisinya. Serangan yang paling kuat terhadap
perbedaan ras dalam hukum datang bersama-sama dengan diundangkannya Undang-
Undang Agraria dan Land Reform 1966. dari sudut pandang perubahan hukum, undang-
undang agrarian ditujukan untuk menerobos gagasan persuasive, peninggalan kolonial,
bahwa tiap golongan rakyat memerlukan hukum yang berlainan. Salah satu motif yang
bersifat memaksa di balik undang-undang agraria adalah untuk menghapus hak-hak
istimewa yang diciptakan oleh hukum kolonial bagi golongan Eropa dan Cina. Beban
hukum tersebut nampak akan disingkirkan demi kepentingan golongan orang Indonesia
asli yang merupakan mayoritas.
Mengalihkan titik berat hukum baru yang berlaku untuk semua golongan rakyat
Indonesia juga memang menjadi perhatian Rencana Pembangunan Semesta Delapan
Tahun. Selain menggariskan dibuatnya hukum dagang dengan segera, rencana itu juga
mendorong usaha-usaha untuk mencapai keterpaduan hukum yang lebih luas dan
mengusulkan dihapuskannya antara lain (1) golongan hukum yang majemuk, (2) wilayah
hukum adat (rechtssferen) yang majemuk, (3) dwi kewarganegaraan, dan (4) dualisme
hak tanah. Rencana tersebut menekankan perlunya penghapusan hukum kolonial dan
mengembalikan hukum nasional, sehingga “kebudayaan nasional tidak tertindih oleh
kebudayaan asing”.
Rasa takut golongan keturunan Cina bahwa mereka akan kehilangan status hukum yang
lebih unggul dan bahwa mereka mungkin akan menghadapi ketidak-pastian hukum yang
sangat besar dirasakan dengan adanya kampanye ke arah penyatuan hukum.
Pencopotan symbol formal hukum perdata barat, seperti penggantian sang dewi dengan
neracanya, melambangkan perpisahan dengan masa silam hukum. Penyatuan hukum
tampak sebagai arah tujuan yang jelas di tiap bidang selain bidang hukum kekeluargaan.
Sebagai akibat perkembangan-perkembangan dalam hukum perdata yang terakhir itu,
hukum perselisihan (antar golongan) Indonesia mulai kehilangan arti pentingnya. Aturan-
aturan hukum perselisihan mungkin akan terus berasal dari daerah hukum adat yang
berbeda, atau antarorang, dari golongan keturunan cina dan orang Indonesia asli. Akan
tetapi yurisprudensi Mahkamah Agung telah mulai mempertepis perbedaan-perbedaan
itu, dan kecenderungan umum ke arah penyatuan hukum pada akhirnya akan menghilang
sama sekali.
Dalam system hukum yang disatukan, kalau saja itu terwujud, tidak diperlukan lagi
adanya hukum perselisihan (antar golongan). Dan dengan nada sendu yang mengiringi
komentarnya terhadap kemungkinan tersebut, Professor Gouw mencatat bahwa
pandangan Nederburgh mengenai penyatuan hukum tampak pada akhirnya akan
memenangkan pergulatan melawan pandangan Vollenhoven.

Kodifikasi dan Peranan Pengadilan.


Ada dua pandangan mengenai kaitan antara pengendalian dan kerja penyusunan
kodifikasi. Salah satu diantaranya ialah bahwa undang-undng yang sama sekali baru itu
harus ringkas dan terbuka, untuk memungkinkan pengadilan mengisi kekeurangan-
kekurangannya yang bisa jadi timbul bersamaan dengan terjadinya perkembangan situasi.
Pandangan yang kedua menyatakan bahwa semua hukum tidak hanya harus ditulis, tetapi
kitab undang-undang dan peraturan perundangan yang bru juga harus disusun selengkap
mungkin. Mereka yang memilih kitab undang-undang yang lengkap juga mengatakan
bahwa undang-undang yang bersifat umum dat tidak terinci akan menimbulkan
ketidakpastian hukum, karena akan ada ketidak seragaman keputusan pengadilan.
Gagasan baru bahwa pengadilan harus memberi sumbangan pada pertumbuhan hukum
bukanlah gagasan baru di Indonesia. Mahkamah Agung mengartikan perubahan hukum
adat “atas dasar pendapat hakim”, rumus ini mulai digunkan oleh hakim pengadilan
negeri sehingga para hakim harus menopang “pendapat mereka sendiri” itu dengan lebih
banyak fakta (bukti).
Kenyataannya, sejak kemerdekaan kebanyakan hakim cenderung mengacu kepada
ketentuan-ketentuan hukum termuat dalam buku-buku, dan pandangan Eropa kontinental
mengenai fungsi pengadilan memberi dukungan kepada mereka. Sikap demikian
memperbesar kesenjangan antara hukum yang diwarisi dari masa penjajahan dan kondisi
yang berubah dengan cepat itu di masa Indonesia merdeka.
Dalam membahas peranan apa yang dimainkan oleh pengadilan dalam pengembangan
hukum perdata, dua butir yang lain perlu diperhatikan. Pertama, kondisi politik terlalu
tidak menentu bagi pemerintah untuk memberi keleluasaan kepada pengadilan – dan
melakukan pengawasan terhadap kebijaksanaan pemerintah, betapapun terbatasnya yang
perlu untuk melakukan peranan yang benar-benar kreatif.
Kedua, bersangkut-paut dengan sikap para hkim terhadap hukum dagang. Ada beberapa
orang hakim yang mempunyai perhatian dan pengetahuan yang luas di bidang ini,
walaupun tidak seorang pun diantaranya yang mempunyai pengalaman dimasa pra-
perang di radern van justiceyang terutama menggunakan kitab undang-undang untuk
golongan Eropa. Hasil akhir sikap tersebut lebih tampak dalam bentuk tidak adanya
minat terhdap perkara-perkara di bidang perdagangan daripada melakukan permusuhan
aktif.
Faktor-faktor tersebut, bersama-sama dengan ketidak-cakapan di bidang keacaraan,
kelambanan, dan ketidakpastian dalam pengambilan keputusan pengadilan, dapat
membantu menjelaskan mengapa perusahaan pemerintah maupun swasta cenderung
semkin menjaun dari pengadilan. Apapun yang terjadi, persoalannya adalah pengadilan
tidak digubris lagi sebagai pemberi keadilan dalam sengketa dagang. Berdasar atas alasan
ini dan alasan-alasan yang disebutkan di atas, peranan pengadilan sekarang tidak dapat
kreatif.
Akan tetapi kesan yang kita tangkap adalah bahwa kegunaan pengadilan di masa yang
akan datang kurang tergantung kepada hukum materiil daripada kepada hukum adjektif
(adjective law). Karena hanya prosedur dan administrasi pengadilan yang lebih baik
dapat menjadi jembatan antara hukum yang termuat dalam buku dan hukum riil yng
terdapat dalam praktek yang sesungguhnya, yang terus berkembang sejak revolusi.

Sumber-Sumber Hukum Perdata Baru


Berlawanan dengan Prancis, yang dalam beberapa tahun semasa revolusi tetap siap
mengkodifikasikan asas-asas hukum baru dengan mengadakan peninjauan kembali secara
besar-besaran system hukumnya, Indonesia hanya mampu landasan hukum secara ad hoc
belaka. Apakah Indonesia pada akhirnya tetap mempertahankan pendekatan kitab
undang-undang ataukah tidak, dalam waktu yang dekat bidang-bidang tersebut tidak akan
dengan segera dihimpun dalam satu kitab undang-undang baru yang sejenis dengan yang
berlaku di Eropa kontinental.
Wirjono Prodjodikoro membatsi perhatiannya terhadap kitab undang-undang hukum
perdata pada Rancangan Undang-Undang Hukum Perjanjian. Paling tidak ada tiga
sumber hukum yang secara tegas terdapat dalam pendekatan Wirjono terhadap perjanjian,
Pertama adalah hukum adat, Kedua adalah rasa keadilan nasional atau lokal, dan Ketiga
adalah “sifat internasionalnya”.
Ada dua jenis pendekatan yang berbeda terhadap adat sebagai sumber hukum. Malikul
Adil almrhum, seorng hakim Mahkamah Agung, berpendapat bahwa kebutuhan
masyarakat modern Indonesia akan hukum perdata dapat dipenuhi dengan meminjam
berbagai kitab undang-undang hukum perdata Eropa sepanjang hal itu tidak mengganggu
kepekaan adat (atau kepekaan bangsa Indonesia) tertentu.
Walaupun pandangan mengenai hukum adat sebagai landasan hukum yang baru memuat
lubang-lubang untuk meloloskan diri, namun dalam kenyataan ia sesungguhnya bersifat
sangat membatasi. Acuan kepada hukum adat sebgai sumber positif untuk sebagian
didorong oleh pertimbangan-pertimbangan ideologis. Istilah “adat” itu sendiri dipakai
untuk mengbsahkan hukum baru. Timbul kecenderungan berfikir untuk mengikuti
kerangka hukum adat saja atau BW saja, tetapi tidak kerangka perpaduan antara
keduanya atau mengadakan penjelalajahan yang berguna ke kitb undang-undang Swiss
atau negeri modern lainnya.
Pengalaman di masa penjajahan itu sampai ke batas tertentu juga merupakan asal-usul
pendekatan “rasa keadilan” terhadap hukum, yang sering diacu oleh Wirjono dalm
rancangan undang-undang hukum perjanjiannya. Paham demikian mengandung arti
bahwa pembentuk hukum bagaimanapun harus menemukan rasa keadilan seluruh rakyat
sebelum merumuskan peraturan. Akan tetapi di negara yang merdeka, para pemimpin
nasaional bagaimana pun akan menciptakan hukum baru
Bab IV
Lembaga-Lembaga Peradilan dan Budaya Hukum di Indonesia

Suatu system hukum terdiri dari berbagai proses formal, yang melahirkan lembaga-
lembaga formal, bersama-sama dengan proses informal disekelilingnya. Dalam negara
modern lembaga sentrl system hukum adalah birokrasi, termasuk pula di dalamnya
pengadilan. Sumber kekuasaan suatu system hukum yang pertama-tama adalah system
politik yang keabsahannya (atau ketiadaan keabsahannya) meluas ke aturan-aturan
substansif yang diterapkan oleh system hukum, dan yang organisasi, tradisi, dan gayanya
menentukan seberapa jauh proses hukum tertentu digunakan (atau dapat digunakan)
untuk menyelenggarakan pengelolaan sosial untuk mencapai berbagai tujuan bersama.
Budaya hukum mempunyai kelebihan mampu menarik perhatian orang terhadap nilai-
nilai yang terkait dengan hukum dan proses hukum tetapi secara analitis dapat dibedakan
dengan hukum maupun proses hukum, dan sering dinyatakan berdiri sendiri.
Unsure budaya hukum yang substansif terdiri dari anggapan dasar mengenai distribusi
dan penggunaan sumber daya dalam masyarakat, benar dan salah di segi sosial, dan
sebagainya. Karena anggapan-anggapan ini berubah-ubah dari waktu ke waktu, karena
masyarakat itu sendiri pun berubah-ubah, konsep budaya hukum substansif memerlukan
unsur yang dinamis.

Evolusi Tertib Hukum Nasional


System hukum nasional tidak terdapat di Indonesia sampai pada saat kekuasaan kolonial
Belanda mendirikan negara yang mencakup segenap pulau di Nusantara. Hukum tertulis
secara histories lebih merupakan ciri jenis masyarakat yang belakangan daripada
masyarakat yang sebelumnya, dan boleh jadi juga lebih perlu, karena organisasi keluarga
mengadakan kontrol sosial yang kurang ketat.
Dimanapun di Indonesia tradisional hukum tertulis tidak memainkan peranan penting
bagi terciptanya keterpaduan sosial. Kohesi (keterpaduan) sosial, pertama-tama
tergantung kepada organisasi kekerabatan atau kepada konsep-konsep status yang sangat
maju yang mendukung elite aristokrasi.
Islam memperkenalkan tradisi hukum baru ke Nusantara. Hukum Islam tidak pernah
diterima dengan bulat dimanapun di dunia, suatu kenyataan yang mengecewakan yang
menimbulkan ketegangan dalam pemikiran politik Islam. Dalam tiap kasus hukum,
pertama hukum Islam dan kemudian hukum Eropa kontinental, ia menjalankan fungsi
sebagai pemberi kepastian dan sebagai simbol, pemberi jenis baru hak yang abash yang
dijamin oleh masyarakat melalui mana hak-hak tersebut berguna untuk mengenali jati
diri.
Pada pertamanya tertib hukum kolonial, seperti halnya tertib sosial, adalah tertib yang
majemuk, yang secara diam-diam didasarkan atas anggapan ketidaksamaan rasial. Sifat
demikian, dengan sejumlah perbedaannya, melekat di semua tanah jajahan di jaman
penjajahan. Sifat system hukum Hindia Belanda yang mencolok adalah keterkaitannya
yang sangat kuat dengan logika internal masyarakat kolonial dan tujuan-tujuannya.
Tolak ukur rasial hukum kolonial juga digambarkan oleh fungsi khusus golongan-
golongan tertentu. Hubungan antara berbagai golongan hukum diatur oleh himpunan
aturan perselisihan (antar golongan) yang sangat pelik. Untuk sebagian besar dari abad
ke-sembilan belas orang Belanda yakin bahwa hukum adat Indonesia banyak didasarkan
pada hukum Islam, dan wewenang pengadilan agama Islam juga dianggap meliputi
masalah-masalah hukum keluarga yang sangat bermacam ragam.
Pengembangan “masyarakat hukum” Indonesia yang bertingkat nasional – yang disini
berarti semua fungsi hukum yang terkait dalam system hukum lebih erat dikaitkan
dengan droit ecrit daripada dengan droit countumier. Pemerintah kolonial pada
keyataannya mendasarkan diri pada rule of law – suatu istilah yang digunakan menurut
makna yang dikemukakan oleh Weber sebagai organisasi negara yang “rasional sesuai
dengan hukum”. Dalam negara yang merdeka, kesemuanya itu lenyap. Struktur
pemerintahan yang diwaris oleh negara baru itu secara tegas didasarkan pada konsep-
konsep kontrak (perjanjian) dan gagasan yang berkait dengan rule of law, tetapi politik
jauh lebih merupakan masalah status.

Lembaga-Lembaga
Kemerdekaan : Merasuknya Politik dan Melemahnya Hukum.
System hukum kolonial mulai berantakan semasa pendudukan Jepang. Terjadilah
perubahan semangat hukum tatkala hukum diterapkan oleh pemerintahan militer, dan
langkah pertama yang sangat berarti ke arah penyatuan terjadi pada saat itu, antara tahun
1942 dan 1945..
System hukum kolonial mulai berantakan semasa pendudukan Jepang. Terjadilah
perubahan semangat hukum tatkala hukum diterapkan oleh pemerintahan militer, dan
langkah pertama yang sangat berarti ke arah penyatuan terjadi pada saat itu, antara tahun
1942 dan 1945.
Bagi kaum birokrat, Revolusi menjanjikan perbaikan posisi sosial dan ekonomi.
Karenanya pegawai negeri, seperti halnya anggota masyarakat yang lain, diorganisasi
oleh kementrian untuk mendesakkan tuntutan-tuntutan perbaikan nasib atau untuk
mempertahankan diri terhadap tuntutan-tuntutan dari para pesaing yang mungkin timbul.
Di antara perselisihan-perselisihan yang lain, hakim, jaksa, dan polisi mulai bertngkar
sebelum revolusi berakhir.
Dampak kekacaubalauan persengketaan mengenai system hukum formal tersebut bersifat
mematikan. Semua sumber daya yang tersedia dimobilisasi oleh kubu yang saling
bermusuhan itu. Dengan meluasnya pertentangan politik, alas an logis ekonomi yang
terdapat di balik system hukum yang diwaris dari kekuasaan kolonial mulai berantakan,
dan fungsi ekonomi para pejabat hukum formal terhapus perlahan-lahan atau berubah.
Sifat pertikaian politik dan ideology di masa pasca perang di Indonesia membuat orang
jadi jauh lebih sulit untuk melepaskan ikatannya dengan satuan sosial yang lebih kecil
dan lebih aman itu. Sebagai akibatnya, bukan hanya alas an logis ekonomi melainkan
juga alas an logis sosial dan budaya untuk menopang tertib hukum mulai lenyap.
Posisi para ahli hukum, seperti halnya juga posisi sebagian besar kelompok yang
berketerampilan di sembarang masyarakat, tergantung kepada seberapa luas nilai-nilai
keahlian mereka diterima secara umum oleh subsistem kelembagaan.
Gambaran umum permainan politik adalah bahwa politik tidak berjalan sesuai dengan
aturan hukum, tetapi berlangsung sesuai dengan aturan pengaruh, uang, keluarga, status
sosial, dan kekuasaan militer. Pegawan negeri professional maupun masyarakat hukum
formal, keduanya memiliki hubungan yang erat dengan masa kolonial yang silam.
Orientasi para pemimpin politik dan ahli hukum, dilihatdari tipe-tipe sikapnya, sama
sekali bertentangan. Pihak yang akan menang adalah pihak yang dapat merebut hati
pendukung lebih besar, tidak ada pertanyaan sama sekali tentang hasilnya.

Sistem Peradilan Formal : Upaya Mencari Status dari Hubungan Internal.


Hakim dan advokat secara bersama-sama merupakan inti masyarakat hukum Indonesia
yang berpendidikan. Badan Kejaksaan (prosecution) menampilkan gambaran yang lain
dengan kehakiman dan pembelaan (advocacy). Polisi adalah persoalan lain. Angkatan
kepolisian yang terorganisasi dan terlatih dengan baik terdapat di tanah jajahan itu, dan
dengan datangnya masa pendudukan banyak orang Jawa yang naik ke posisi yang tinggi
dalam kepolisian.
Pada masa kemerdekaan, regenerasi hakim, jaksa, dan polisi ke dalam posisi yang
ditinggalkan oleh pejabat-pejabat Belanda menjadi lebih mudah oleh adanya berbagai
macam perubahan hukum: penyatuan system pengadilan selama masa pendudukan,
penggantian kitab undang-undang hukum acara Eropa (rechts vordering dan
strafvordering) dengan HIR yang kini berlaku umum, dan timbulnya tertib yang lain,
serta yang terpenting tidak terelakannya penurunan kriteria penerimaan orang ke dalam
profesi hukum.

Badan Advokasi dan Sistem Peradilan


Di Indonesia, di masa kolonial, seperti halnya di Eropa kontinental dan di berbagai
masyarakat lainnya yang aktif di bidang perniagaan, advokat menjadi mata rantai
penghubung yang penting antara kegiatan masyarakat swasta dengan system peradilan,
sementara dengan datangnya kemerdekaan peranan penghubung ini makin dianggap
kurng penting.
Pada hakekatnya, advokat terus menerus ditolak sebagai peserta yang absah dalam proses
pengadilan. Mereka merupakan ancaman tidak hanya terhadap para hakim dan jaksa yang
korup, melainkan juga terhadap para hakim yang tidak memahami hukum dengan baik.
Sejauh pelaksanaan dalam hal tugas peradilan untuk membentuk system yang dapat
dikenal dan teratur, maka system ini cenderung menekankan pentingnya hubungan antara
hakim dan jaksa dengan tidak menyertakan para advokat.
Sama pentingnya, pertentangan antara hkim dan advokat memperlebar jarak yang
memisahkan mereka satu sama lain di mana sesungguhnya masing-masing merupakan
sekutu dan unsur yang penting dari masyarakat hukum.

Perubahan Politik dan Masyarakat Hukum Formal


Kiranya akan dapat diperoleh gambaran terbaik tentang itu dengan memusatkan perhatian
kembali kepada pengadilan dan pembelaan dimuka pengadilan, inti formal system
pengadilan.
Pertama, pemerintahan sipil di negeri itu kurang tertib, pihak pengadilan kurang
mendapat dukungan dri “negara hukum” birokratis. Lebih daripada itu, walaupun kurang
penting daripada butir yang terakhir di atas, pengadilan sendiri tergantung pelayanan
birokrasi untuk melaksanakan keputusan sepenuhnya dan secara benar, dan disini
kadang-kadang martabat pengadilan direndahkan.
Kedua, system politik tidak mendukung terciptanya pengadilan yang kuat. Tindak politik
seringkali keras karena aturan politik belum mntap, dan belum tersedia kekuatan yang
cukup di mana pun untuk menegakannya.
Ketiga, peranan formal hakim dan pembela, terutama lebih dipahami dalam konteks
perekonomian swasta yang kuat, tidak cukup menggambarkan dukungan dari
perekonomian.
Akhirnya, bersama dengan dukungan politik dan ekonominya yang lemah, struktur
peradilan formal Indonesia memperoleh penopang minimum dari sumber-sumber sosial
dan budaya. Titik berat budaya dalam penyelesaian perselisihan sebaliknya cenderung
menjauhkan orang dari pengadilan pemerintah.
Penghindaran dari peradilan formal menimbulkan pertanyaan yng sangat penting tentang
bagaimana berbagai perselisihan lazimnya ditangani.

Proses dan Semangat Hukum


Disemua masyarakat yang kompleks terdapat jarak pemisah antara struktur formal dan
prosedur kelembagaan. Di Indonesia seperti halnya di berbagai negara bekas jajahan,
ketiadaan keterpaduan seperti itu sangat mencolok.

Pengeyelsaian Perselisihan secara Kekeluargaan


Sebagian besar Indonesia berada di sisi lain dri kontinum penyelesaian melalui keputusan
formal dan penyelesaian secara kekeluargaan. Walaupun hanya sedikit data yang dapat
dijumpai untuk mendukung pendapat tersebut, ciri-ciri demikian itu tampaknya lebih
banyak terdapat di Jawa dan Bali daripada di sebagian besar Indonesia selebihnya.
Gaya penyelesaian perselisihan yang dianjurkan oleh nilai-nilai tersebut adalah gaya yang
dalam istilah hukum lebih memperlihatkan prosedur dripada substansinya. Tidak banyak
yang perlu dituturkan mengenai proses konsiliasi yang sebenarnya di desa-desa dan
kampong-kampung perkotaan Indonesia. Karena pengaruh penting hubungan pribadi dan
adanya kepentingan bersama, kadang-kadang lebih menerapkan sesuatu yang dipaksakan
daripada sebagai kenyataan-campur tangan pihak luar dalam penyelesaian perselisihan
desa akan menimbulkan luka yang dalam.
Pengaruh politik dari luar dapat lebih besar lagi, karena hal itu memperlemah
kemampuan desa untuk mengatasi perselisihannya sendiri. Desa dapat dibagi pertama-
tama menurut garis agama, sosial, dan ekonomi yang akan jadi sulit penyelesaiannya bila
perselisihan dipengaruhi oleh unsur-unsur di luar pembagian seperti itu.
Konsiliasi dapat menjadi sarana yang efektif untuk menyelesaikan perselisihan hanya jika
pemerintah tidak berkepentingan atas pokok perselisihan, atau tidak mampu berbuat
sesuatu untuk menyelesaikannya.

Pilihan Yurisdiksi
Keikutsertaan pihak luar yang resmi dalam menyelesaikan perselisihan mungkin
dikehendaki – dan dampaknya semakin sering karena berbagai alasan. Akan tetapi
pengadilan negeri, bukan satu-satunya pihak, dan bahkan mungkin juga bukan pihak
yang paling penting untuk menyelesaikan perselisihan.
Para pejabat pemerintah karenanya memainkan peranan penting dalam penyelesaian
perselisihan, bantuan yang seringkali memang sangat berguna apabila konsepsi birokrasi
negara sangat kuat. Di bidang peradilan sendiri, adanya pengadilan sekuler dan
pengadilan agama secara berdampingan melahirkan masalah wewenang untuk mengadili
yang lain. Pihak-pihak yang dirugikan dapat saja menghadap ke pengadilan dalam upaya
mereka untuk memperoleh kemungkinan yang lebih baik. Akan tetapi pengertian umum
dari kekuatan kekuasaan, status, pengaruh, dan karenanya juga “kewenangan” terpusat
diberbagai tempat.

Petani dan Pengadilan : Prokol Bambu sebagai Pialang Hukum


Seorang petani yang menghadap ke pengadilan bukannya berhubungan dengan unsur
yang sama sekali tidak dikenalnya atau masuk ke dunia yang baru dan asing,
sebagaimana sementara orang menyangkanya demikian.
Seperti halnya panitera pengadilan, prokol bambu mempermudah dunia peradilan dapat
dipahami oleh para pihak yang berperkara yang belum memperoleh penjelasan dan
tidaklah heran bila banyak diantar prokol bambu yang berhasil adalah mantan panitera di
pengadilan.
Dalam bentuknya kini, prokol bambu mungkin dapat dilacak kembali asal mulanya ke
abad kesmbilan belas, yang tumbuh sebagai tanggapan atas kebutuhan akan seorang yang
dapat menangani prosedur asing yang diterapkan dalam lembaga-lembaga yang
didominasi oleh pihak asing.
Prokol bambu berkembang biak jumlahnya sejak kemerdekaan, sebagian karena semakin
banyaknya jumlah perkara dan sebagian karena, seperti para pemintas jalur birokrasi,
keahlian mereka banyak diperlukan. Akan tetapi selama terdapat kesenjangan yang dalam
antar prosedur formal dengan pengertian orang awam terhadap prosedur itu, pelayanan
prokol bambu rasanya tidak kan berakhir sama sekali.

Substansi : Kedudukan Undang-Undang dan Perubahan Hukum


Hukum Indonesia terus menerus mengalami perubahan sejak tahun 1942. akan tetapi
system hukum dimasuki makna dan tujuan baru. Perbedaan pentingnya adalah semangat
hukum sudah berubah, walaupun bunyinya kadang-kadang masih pro forma.
Yang termasuk ke dalam semangat hukum yakni, hal-hal yang merupakan nilai penting,
pengertian umum peranan hukum, berbagai proses, struktur, dan hubungan-hubungan
dalam negara baru sulit untuk disebutkan.
Sejak hukum telah secara formal menjadi kekuatan sosial di Indonesia, kekuatannya
sangat diperlemah oleh datangnya revolusi, dan oleh terjadinya pergolakan politik yang
menyusul. Lagi pula, isi hukum formal tetap menanggapi perubahan sosial dan politik,
dan hukum tetap digunakan secara terbatas untuk mendorong perubahan.

Keadilan dan Legalitas


Konsepsi keadilan lazimnya dinyatakan dengan tegas manakala orang dihadapkan pada
situasi ketidak-adilan. Konsepsi-konsepsi ini dapat dibagi secara analitis kedalam unsur-
unsurnya yang bersifat prosedural dan substansif. Unsur yang pertama berkait dengan
gaya system hukum; “the rule of law” dan “negara hukum” (rechtstaat) adalah konsep-
konsep prosedural.
Masyarakat yang adil sekurang-kurangnya mempunyai ciri tidak ada perselisihan yang
tidak dapat diselesaikan, yang pertama-tama diselenggarakan orang-orang yang
menjalankan fungsi politik dan sosial yang selayaknya dari kelas-kelas darimana mereka
dilahirkan. Dimasa sesudah merdeka tindakan politik mempunyai makna penting dalam
pembentukan konsepsi hukum dan keadilan. Pengerahan perasaan keagamaan, kesukuan,
dan juga kesadaran kelas tidak memungkinkan keabsahan politik dianggap sebagai
sesuatu yang benar, dengan akibat bahwa pencapaian keadilan memperoleh ciri pencarian
Ratu Adil.
Konsep-konsep keadilan yang bersifat politik tersebut selalu mempersempit konsep
keadilan lain yang bersifat prosedural. Namun gagasan hukum nasional dianggap benar
sebagai perlengkapan negara yang tidak dapat diganggu gugat.

Sekulerisasi
Sekulerisasi adalah sebuah tema yang sangat kentara dalam evolusi politik Indonesia
yang dapat memperkokoh pengaruh hukum formal. Kerangka hukum negara Indonesia
adalah sekuler, walaupun konsepsi-konsepsi politik dan hukum adatnya tidaklah
demikian. Meskipun demikian konsepsi hukum sekuler dan peranan-peranan resmi yang
merupakan penjabarannya sama cocoknya dengan sifat politik dan sosial kehidupan
nasional sebagaimana yang berlaku pada masa kolonial.
Penitik beratan pada “negara hukum” sejak akhir tahun 1965, betapapun lemahnya
kontrol hukum, dapat mencerminkan perhatian untuk menyempurnakan suatu medium
hubungan politik dan sosial nasional yang lebih bersifat sekuler.

Integrasi
Dorongan kuat untuk mewujudkan kesatuan merupakan kebijaksanaan yang terus-
menerus dianut oleh pemerintah Indonesia dimasa sesudah revolusi. Lembaga-lembaga
warisan masa penjajahan lainnya lebih sulit ditangani karena lembaga-lembaga itu
melayani golongn minorotas; catatan sipil dan balai harta peninggalan (wekamer),
misalnya, tidak disukai karena pelayanan khususnya, satu hal yang mengingatkan kepada
hak-hak istimewa bagi golongan Eropa, Cina, dan Kristen.
Pada tahun-tahun terakhir ini pengadilan juga melangkah lebih jauh dari hukum adat
dengan menguji sah tidaknya aturan-aturan hukum perkawinan yang termaktub dalam
BW. Perkembangan ini dirangsang oleh adanya pernyataan Mahkamah Agung tahun 1963
bahwa BW untuk selanjutnya hanya dianggap sebgai pedoman “hukum adat” bagi orang-
orang sebelumnya yang tunduk kepada BW.
Sekalipun demikian, pengadilan yang lebih rendah, seperti halnya satuan-satuan
administrasi, dapat dikesampingkan dari kepentingan lokal mungkin akan protes, seperti
yang dilakukan oleh para pemimpin. Yang lebih penting adalah bahwa lembaga-lembaga
nasional dan pandangan yng didesakkannya sudah tersedia, dan sewaktu-waktu terjadi
perubahan sosial besar-besaran, dapat diduga kedua-duanya akan dimanfaatkan dengan
kegairahan yang lebih besar. Begitu ia digunakan, lembaga-lembag tersebut mau tidak
mau dipengaruhi oleh permintaan yang tertuju kepadanya untuk melayani kepentingan
dan nilai-nilai lokal.

Batas-Batas Hukum
Ada tidaknya system hukum dan tekanan budaya yang kuat pada proses hukum saja
kurang menjelaskan mutu kehidupan sosial politik. Hal ini tidak menyebabkan hukum
jadi kurang menarik sebagai ajang penelitian atau kurang penting artinya sebagai sumber
daya sosial yang terpendam, tetapi hal demikian lebih menempatkan hukum pada tempat
yang rendah, tidak mandiri dalam kehidupan masyarakat yang menjadi wadahnya.
Sumbangan utama ilmuwan sosial terhadap pemahaman mengenai lembaga-lembaga
hukum pertama-tama bertolak dari persepektif yang lebih luas yang ia terapkan pada
hukumnya karena hal ini dikaitkan dengan landasan penting kekuasaan politik, perilaku
ekonomi, struktur sosial, dan kebudayaan. Hubungan-hubungan ini tidak dapat lebih jelas
diamati selain di negara-negara baru, yang lembaga-lembaga hukum warisan masa
silamnya dipaksa menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial yang bgerubah secara
mendasar.
Bab V
Tentang Pokrol Bambu :
Pelapisan, Perwakilan dan Perantaraan

Pokrol bambu adalah jenis orang setengah ahli yang memperoleh pengetahuannya dengan
upaya yang keras, dan mudah dipakai sebagai prototype, atau mungkin bentuk ideal, dari
jenis pekerjaan setengah ahli pada umumnya.
Sementara para pokrol bambu mungkin ada di sebagian besarmasyarakat, bentuk mereka
bermacam-ragam mulai dari pokrol bambu yang sangat maju di Indonesia, vakeel dan
pemberi informasi.

Asal Usul
Pokrol bambu terbentuk di masa kolonial, semasa Indonesia masih disebut Hindia
Belanda, dan bentuk demikian tampaknya biasa dijumpai di negeri-negeri jajahan
lainnya. Profesi hukum di tanah jajahan ini dikuasai oleh para advokat Belanda,yang erat
terjalin dengan masyarakat Belanda dan perdagangan golongan Eropa.
Munculnya advokat di Indonesia asli mendorong sedikit lebih banyak lagi orang
Indonesia yang memanfaatkan jasa penasehat hukum yang berpendidikan. Pekerjaan
pokrol bambu tumbuh dengan sepenuhnya, pada tahun 1920-an tatkala beberapa diantara
mereka memandang diri mereka sendiri dalam perspektif keahlian. Pada suatu waktu, di
tahun 1927 sejumlah pokrol bambu membentuk organisasi yang kini dikenal dengan
PERPI (Persatuan Pengacara Indonesia), yang masih tetap berdiri dengan lingkup yang
lebih sempit, dan berkantor pusat di Surabaya, Jawa Timur. Satatus pokrol bambu tidak
pernah bertambah baik, dan para advokat ahli dapat mencegah mereka untuk memperoleh
pengakuan resmi sampai sekarang.
Dari sudut pandang pokrol bambu, secara politis penting artinya bahwa advokat
professional, yang dewasa ini hampir 400 orang atau lebih sedikit lagi di seluruh
Indonesia, masih belumdapat menghimpun kekuatan yang dapat digunakan untuk
memaksakan pengaruh mereka terhadap pembentukan undang-undng yang penting
mengenai keacaraan.

Bentuk
Siapakah pokrol bambu itu ? seperti para advokat, titik berat operasi mereka yang utama
(tetapi bukan satu-satunya) sebagian besar adalah pengadilan. Mereka secara kasar dapat
dikelompokan asal-usul keahlian, dan gayanya sebagai berikut :
1). Mantan panitera atau penata usaha pengadilan.
2). Mahasiswa hukum yng tidak lulus.
3). Generalis amatir (tetapi sering sangat ahli juga).
4). Spesialis amatir. Pokrol bambu jenis ini lazim dijumpai sesudah revolusi, walaupun
prototipenya mungkin sudah ada di masa kolonial. Sepesialis amatir bekerja dengan
hanya satu jenis persoalan.
Ada satu lagi ciri yang melekat pada sebagian besar pokrol bambu. Mereka berasal dari
lapisan bawah masyarakat dank lien merekapun dari lapisan bawah pula.
Pandangan Para Ahli :
Jumlah pokrol bambu jauh lebih banyak dari advokat, jumlah mereka mungkin beribu-
ribu. Kecuali PERPI, dengan anggota kira-kira sebanyak 90 orang, mereka tidak
terorganisasi. Beberapa diantaranya jujur, beberapa lagi sama sekali tidak jujur, seperti
juga halnya dengan advokat, beberapa diantaranya paham hukum, beberapa yang lain
tidak.
Salah satu masalah terbesar di bidang peradilan dewasa ini adalah prokol bambu. Di
samping tidak memahami hukum acara secara persis sehingga kerja hakim menjadi lebih
sulit, pokrol sering juga korup dan tidak dapat dipercaya. Pokrol adalah biang keladi
terpenting naiknya jumlah perkara sejak revolusi (11 November 1959).
Pamong praja setempat bersikap lebih mencurigai pokrol bambu, yang dianggapnya
sebagai sumber utama pertikaian dan gugat menggugat di pedesaan. Pokrol bambu yang
berkeliaran di desa-desa untuk mencari-cari pertikaian yang dapat dibawanya ke
pengadilan karenanya dianggap sebagai penyakit sampar.
Para advokat adalah orang yang paling sengit menyerang pokrol bambu. Dari sudut
pandang advokat pokrol bambu tidak hanya pesaing. Mereka tidak dapat dikendalikan
dan diawasi, tidak terikat oleh kode etik, merendahkan hukum dan profesi hukum.

Peraturan
Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) selalu mendesak agar pemerintah membuat
peraturan mengenai kepengacaraan, tetapi sejauh ini masih belum berhasil. Para ahli
hukum dalam birokrasi, termasuk banyak hakim, cenderung bersikap agak bertentangan
terhadap advokat karena berbagai alasan, dan diantara mereka terdapat pikiran bahwa
advokat hendaknya jangan memperoleh keuntungan berupa monopoli untuk melakukan
praktek hukum.
Pada awal tahun 1960-an menteri kehakiman Astrawinata mengeluarkan peraturan yang
menentukan bahwa prokol bambu harus mendaftar di pengadilan negeri. Selanjutnya
mereka harus diuji oleh para hakim terutama mengenai pengetahuan keacaraan agar dapat
diperoleh kepastian bahwa pokrol bambu layak untuk melakukan prakteknya.
Pada tahun 1969 pengadilan tinggi mengeluarkn peraturannya sendiri untuk pokrol
bambu, yang juga berlaku bagi para advokat, dan peraturan itu masih tetap berlaku.
Pokrol bambu hnya dapat disirnakan, andaikata dapat, dengan menggantikan tempatnya
dalam pelayanan sosial dan hukum sekarang ini. Bagaimanapun, sebegitu jauh khalayak
yang dilayani oleh pokrol bambu jarang berhubungan dengan berbagai program bantuan
hukum yang ada, apapun yang dijanjikan di masa depan. Selain itu, masih ada beberapa
persoalan lainnya apakah advokat dan para mahasiswa hukum, yang ikut serta juga dalam
berbagai jenis pelayanan bantuan hukum, dapat memberi pelayanan semacam pelayanan
yang ditawarkan oleh pokrol bambu.

Pokrol Bambu dalam Perspektif Sosial


Yang ditawarkan oleh pokrol bambu bukan sekedar perwakilan bargain-shop – dengan
beberapa kerugian pada bargain-shop itu – tetapi juga gambaran bagaimana kerja hukum
menurut term-term yang dapat dipahami terutama oleh orang Indonesia lapisan bawah,
yang pemahaman budayanya tentang proses hukum berbeda dengan anggapan yang
menjadi tumpuan system hukum formal.
Pokrol bambu, sebaliknya cenderung mendatangi klien mereka tidak hanya dalam makna
harfiahnya, yang sering benar demikian karena mereka mencri-cari perkara, tetapi juga
dengan cara yang lebih halus. Seperti panitera pengadilan, pokrol bambu memperjelas
bagaimana acara pengadilan itu bekerja sehingga dapat dipahami oleh pihak-pihak yang
berperkara, dan, sekali lagi, tidak mengherankan bila banyak pokrol bambu adalah
mantan panitera pengadilan.
Selanjutnya, setelah perkara ada di tangan, pokrol bambu bertindak sesuai dengan
keterampilan dan cara yang disukai. Ia mungkin menggunakan pengaruh atau menyuap,
atu ia mungkin akan adu alasan di pengadilan seperti advokat – walaupun tanpa
pengetahuan yang cukup ia dapat menimbulkan kegusaran hakim – atau ia mungkin akan
menggunakan segala cara untuk mengulur-ulur waktu berperkara sampai uang kliennya
ludes.
Masalahnya rupanya adalah system hukum formal, termasuk advokat yang
berpendidikan, mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk memperoleh dukungan
normative pada tingkat sosial dan politik masyarakat yang lebih tinggi daripada tingkat
yang lebih rendah yang menjadi medan beroperasinya para pokrol, dan hal yang
demikian mempunyai implikasi besar berkaitan dengan masalah-masalah perwakilan
hukum professional.

Pokrol Bambu, Lembaga Hukum dan Kaum Miskin


Pokrol bambu, yang sudah sangat berkembang maju itu , menimbulkan pertanyaan
mengenai pengacara yang kurang berkeahlian pada umumnya. Pokrol bambu mempunyai
peluang penuh membentuk diri dan paling dapat bertahan keperiadaannya apabila,
sebagiamana di tanah jajahan dulu, system hukum formal berkembang dari budaya
hukum yang sama sekali asing dan dikendalikan oleh kekuasaan politik asing.
Pengacara kampung (pokrol bambu) cenderung kurang ada dan kurang berkembang bila
keterpaduan sosial dan budaya makin tinggi dan lembaga-lembaga politik dan hukum
lebih mudah terjangkau.
Dalam masyarakat yang lembaga-lembaga birokrasi dan system hukum formalnya telah
menerobos cukup dalam, tetapi yang golongan miskin, kaum paria, atau masyarakat
ghetto nya mempunyai pengaruh yang terbatas terhadap lembaga-lembaga itu (hampir
menurut definisi) pengacara kampung dapat cenderung mengambil bentuk yang hampir
tidak terlihat; polisi, komndan seksi, orang asuransi, pekerja sosial, kepala kelompok
penjahat, dan sebagainya, yang kadangkala melakukan pelayanan bagi kliennya.
Pada pengacara setengah ahli, karenanya, harus dipahami (dengan mengindahkan
kebutuhan dan kekuasaan yang berbeda pada lapisan dan kelompok sosial yang berlainan
dan cenderungterdiri dari orang-orng miskin, tidak berpunya, atau kadang-kala juga
kelompok-kelompok baru) adanya sarana yang lazim digunakan untuk menghadapi
tatakerja formal kekuasaan politik yang ada.
Para pengacara kampung, dalam salah satu bentuknya yang manapun, mungkin dapat
diatur sampai batas tertentu, tetapi mereka tidak dengan mudah atau dengan tepat
disingkirkan tanpa melenyapkan lebih dahulu perbedaan-perbedaan yang menyebabkan
kemunculan mereka.
Bab V
Unifikasi Pengadilan Pada Masa Pasca-Kolonial

Paling sedikit ada tiga proses yang dapat ditempuh dalam unifikasi kelembagaan.
Pertama, proses bertahap setapak demi setapak. Dalam proses ini secara spasial lembaga-
lembaga itu menyebar, tetapi secara fungsional di bawah tekanan ekonomi dan politik
atau dimana karma pengaruh lembaga tersebut lembaga itu berkembang, maka mereka
akan menyerap atau menghapus semua lembaga lainnya yang menjalankan fungsi yang
sama.
Pada tahap perubahan ini elite lokal harus mengikuti arah tujuan nasional, dengan diam-
diam menyingkir atau disapu bersih, tetapi bagaiamanapun perlengkapan kelembagaan
lama mereka cenderung lenyap.
Pada tahap yang lebih kemudian, tatkala revolusi sudah terkonsolidasi, dan lembaga-
lembaga baru harus secara konsisten menjalankan fungsinya sebagaimana yang
diharapkan.
Unifikasi pengadilan di Indonesia meliputi ketiga unsur tersebut di atas. Mulai pergantian
abad kedua puluh sampai saat penyerbuan Jepang pada tahun 1942, unifikasi hukum dan
pengadilan merupakan bahan pembicaraan tetap di tanah jajahan ini. Dorongan pertama
ke arah unifikasi yang menerobos batas ras dan kesukuan datang dari liberalisme kolonial
dan gerakan Etis, yang kedua-duanya tidak bertahan lama di abad kedua puluh.
Selama kurun waktu itu, yakni di tahun-tahun terakhir masa penjajahan, unificatiedrang
(dorongan ke arah unifikasi) bagaimanapun tumbuh lebih kuat dikalangan elite Indonesia.
Tatkala bala tentara Jepang menyerbu pada tahun 1942, para pemimpin Indonesia masih
tetap menyimpan gagasan unifikasi dalam pikiran mereka. Dan unifikasi itu terlaksana
secara sempurna pada masa pendudukan.

Masa Pendudukan Jepang


Sejak jaman pendudukan, pengadilan dan lembaga-lembaga yang bertalian dengan
pengadilan seluruhnya diawali oleh bangsa Indonesia. Akan tetapi, dengan diganinya
pejabat Belanda, tidak tersedia cukup banyak tenaga Indonesia yang terlatih untuk
mengisi jabatan dalam pngadilan dan kejaksaan.
Tenaga pemerintahan yang berpengalaman dan berkuasa tidak dapat diperoleh dari
kalangan Islam, penentang terpenting terhadap golongan yang memerintah yang lebih tua
yang lazimnya terdiri dari orang Islam nominal yang terdapat hampir dimana saja di
Nusantara. Pihak Jepang tidak tertarik kepada revolusi sosial yang merupakan syarat
untuk mengalihkan kekuasaan kepada para pemimpin Islam. Sebaliknya, sasaran mereka
di masa perang di Indonesia adalah diperlukannya stabilitas, yang tanda-tandanya, tetap
berlanjutnya pola-pola pokok pemerintahan kolonial.
Jalan tengah mengenai hal yang terpenting itu disertai dengan jalan tengah lain yang
sama pentingnya. Betapa berungguh-sungguhnya Jepang dalam mempertimbangkan
pemisahan fungsi eksekutif dan fungsi pengadilan terlihat pada surat edaran residen pada
bulan Oktober 1944 yang melarang para hakim tanpa izin yang tegas dari residen Jepang,
untuk mengambil wewenang jabatan yang lain.
Unifikasi pengadilan selama masa pendudukan pada umumnya terbatas pada kepentingan
akan tidak adanya pembedaan kewenangan mengadili berdasar ras. Unifikasi dalam
artian system pengadilan nasional yang lebih luas, tidak dipikirkan sama sekali, karena
alasan bahwa Indonesia di masa perang dibagi dalam tiga bagian.
Pendudukan Jepang membantu unifikasi horizontal dengan memperlemah ikatan antara
kekuasaan tradisional lokal dan lembaga-lembaga pengadilan dibeberapa daerah di
Nusantara. Akan tetapi agar sempurna proses tersebut, orientasi lokal harus diubah
melalui beberapa langkah menjadi orientasi nasional.

Revolusi
Tanpa revolusi, konsep-konsep yang dijunjung oleh hukum kolonial tidak diragukan lagi
akan memperlamban proses unifikasi kelembagaan, karena konsep-konsep
tersebutmenguntungkan elite lokal dalam pertarungannya yang tidak terelakkan melawan
kekuasaan nasional. Sebagaimana yang terjadi, peristiwa-peristiwa revolusioner
menuntun ke arah kehancuran kekuasaan lokal yang lama dibeberapa daerah,
mengakibatkan dukungan simbolis system hukum tidak bermakna.
Selain itu, awal revolusi melawan kembalinya Belanda membawa serta arus baru faham
kesamarataan, tetapi pada akhirnya merosot kecuali pada satu waktu dahulu pernah
mempunyai pengaruh yang besar.
Langkah penting berikutnya ke arah unifikasi pengadilan di masa revolusi adalah
pengundangan undang-undang baru tentang organisasi pengadilan pada bulan juni 1984.
undang-undang ini belum sempat dilaksanakan karena Belanda menduduki Yogyakarta,
dan beberapa undang-undang baru belakangan dirancang sesudah pengakuan kedaulatan.
Minat para ahli hukum Kementrian Kehakiman yang terus bertambah besar untuk
menuntaskan unifikasi sistem pengadilan dapat dilihat melalui beberapa pasal. Undang-
undang tahun 1948 yang perlu disebut secara ringkas. Para pejabat kehakiman nasional
mengembangkan sejenis strategi bertahap, berdampingan dengan pendekatan yang lebih
keras, untuk menghadapi kekuasaan lokal di Luar Jawa.

Unifikasi Pengadilan di Negara Merdeka


Tahap akhir unifikasi pengadilan terjadi setelah pengakuan kedaulatan, berdasar tema
yang sudah dimulai pada masa revolusi. Unifikasi kini berarti sentralisasi,perluasan
lembaga-lembaga nasional, yang telah melibatkan banyak ahli hukum professional
melalui satu atau lain cara.
Dengan beberapa kekecualian, para ahli hukum kini merasaberkewajiban untuk
menciptakan negara kesatuan yang “modern”, yang sedikit saja memberi kelonggaran
bagi prakarsa hukum lokal.
Pada tahun 1950 dan tahun 1961 dua undang-undang pokok diundangkan, dan tetap
berlaku sampai pertengahan tahun 1960-an: pertama undang-undang tentang Mahkamah
Agung dan yang lain undang-undang tentang susunan, kekuasaan dan acara pengadilan
sipil.
Sejak pertengahan tahun 1950-an persoalan politik lainnya di Indonesia mulai muncul
mengenai masalah unifikasi kelembagaan. Ketegangan kedaerahan mulai muncul yang
pada akhirnya menjurus ke arah pemberontakan terbuka pada tahun 1958.
Para ahli hukum, hakim, dan pelaksanan pemerintahan yang sangat memikirkan unifikasi,
kadang-kadang juga risau bahawa pengadilan pemerintah tidak memiliki kemampuan
yang semula dimiliki oleh pengadilan adat, apapun kekurangannya. Ketua Mahkamah
Agung kala itu Wirjono Prodjodikoro, mengakui adanya kesulitan seperti itu dalam
pertanyaannya di depan para hakim Pengadilan Negeri yang baru, yang ia peringatkan
agar luwes dan informal dalam pendekatannya dengan hukum setempat.

Tapanuli Utara : Suatu Upaua untuk Memulihkan Pengadilan Adat.


Hakim pengadilan negeri berpendapat bahwa logika pembentukan pengadilan nasional
yang disatukan adalah menghapus pengadilan lokal, itulah yang dimaksud dengan
unifikasi. Pada tahun 1930-an birokrasi pemerintah tidak mau melepaskan
pengawasannya terhadap pengadilan adat di Tapanuli dan derah-daerah yang diperintah
langsung lainnya; melepaskan pengawasan berarti memperkecil kekuasaan birokrasi
terhadap urusan desa.
Meski sudah diberi fatwa oleh Hakim Pengadilan Negeri, panitia pengadilan adat itu
tetap mengusulkan system pengadilan lokal, di samping perbaikan staff dan acara
pegadilan negeri. Usul itu tidak jelas hasilnya. Kementrian Kehakiman tidak menanggapi
dan tidak pula menolak, dan segera persoalan itu padam.
Para pemimpin Toba tidak akan membentuk pengadilan desa ats kuasanya sendiri,
mereka harus menerima lambang keabsahan politik nasional. Tambahan lagi, undang-
undang nasional akan memberi wewenang hukum kepada pengadilan baru di tempat-
tempat yang tidak terdapat kekuasaan trdisional.
Rasa khawatir bahwa unifikasi nasional pasti menjurus ke arah dilakukannya tekanan
kuat bagi berlangsungnya perubahan ternyata memang berdasar kenyataan. Dulu maupun
kini persoalan perubahan yang dipaksakan oleh kekuatan luar bukanlah persoalan yang
sederhana, seperti yang dikemukakan dalam beberapa penafsiran.
Pada akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an – sekali lagi, di masa Demokrasi
Terpimpin, tatkala titik berat ideologi dilatakan pada kesatuan nasional – yurisprudensi
hukum kekeluargaan Mahkamah Agung jelas mengarah keterpaduan dan kesatuan,
aturan-aturan hukum kekeluargaan Batak mendapat tentangan yang sangat berat,
sementara putusan-putusan baru didasarkan pada anggapan bilateral tentang pewarisan,
yang mengancam, sekurang-kurangnya secara simbolis, inti struktur kekerabatan
patrilineal.
Pada saat itu, kelompok lokal hanya mempunyai sedikit (walaupun sering kali efektif)
sarana alternatif untuk pertahanan trhadap tantangan lembaga-lembaga nasional dan
kebijaksanaan pemerintah pusat.
Dalam proses unifikasi, persoalan fungsional, walaupun timbul juga, lajimnya jatuh
nomor dua. Orang berselisih mengenai keuntungan pengadilan adat dan pengadilan
pemerintah, tetapi perdebatan itu, sebagaimana yang terjadi, tampaknya hanya punya
kaitan yang kebetulan saja.
Distribusi kekuasaan kelembagaan sudah dirombak, dan dorongan yang diberikan oleh
revolusi bagi pembentukan organisasi nasional menimbulkan akibat yang sangat berat
bagi otonomi lokal dan adat setempat.
Bab VII
Asal-Usul Keadvokatan di Indonesia

Berbeda dengan keadvokatan Eropa, keadvokatan Indonesia tidak tumbuh sejak masa
silam yang lama dalam sejarah Indonesia. Model advokat Indonesia dengan sendirinya
adalah seperti advokat Belanda. Pekerjaan keadvokatan lebih merupakan kekaryaan yang
tidak banyak diatur oleh negara, dan jumlah advokat biasanya tidak ditentukan oleh
negara, walaupun organisasi advokat lokal dapat mengemukakan pendapatnya mengenai
jumlah itu. Banyak sedikitnya permintaan akan jas advokat, untuk sebagian tergantung
kepada berapa besar manfaat dan kebiasaan orng berperkara.
Di Hinia Belanda, sampai pertengahan tahun 1920-an, semua advokat dan notaries adalah
orang Belanda.kecil jumlah pengaruh advokat Inonesia segera sesudah kemerdekaan,
setidak-tidaknya untuk sebagian, adalah karena keterlambatan kesertaan mereka dalam
profesi ini.
Pemerintah kolonial tidak pernah mendorong orang-orang Indonesia untuk melakukan
pekerjaan pengacara. Anggapan dasar kemajemukan kolonial di Hindia Belanda mengikis
minat serupa itu dari bayangan mereka. Tingkat tertinggi perdagangan ada di orang-orang
Eropa, dan para pengusaha wajar bila mengendalikan advokat dan notaries Belanda.
Masyarakat Indonesia tidak lebih represif terhadap kemungkinan hadirnya advokat
Indonesia daripada masyarakat Belanda. Atau setidak-tidaknya masyarakat Jawa lah yang
berpandangan demikian, dan pada mulanya hanya orang-orang Jawa lah yng belajar
hukum.
Pendidikan hukum, seperti berbagai jenis pendidikan lainnya, berkembang lamban di
Hindia Belanda. Tatkala pemerintah di Batavia mengumumkan akan mendirikan sekolah
hukum bagi orang Indonesia, para ahli hukum Belanda menentang gagasan itu dengan
alasan bahwa “orang pribumi” tidak siap untuk memenuhi tuntutan pendidikan dan
pekerjaan hukum yang berat.
Rechtschool ini sebenarnya adalah sekolah hukum menengah, yang siswanya masuk
dalam usia pertengahan belasan tahun mengikuti pendidikan selama enam tahun. Sesudah
kemerdekaan dibentuklah himpunan ahli hukum, salah satu diantaranya, PAHI, menerima
rechtskundigen sebagai anggota, sedang yang lain ISHI, membatasi keanggotaannya pada
mereka yang bergelar penuh.
Dengan tersedianya pendidikan hukum, faktor perubahan yang perlu untuk menghasilkan
advokat dari kalangan orang Indonesia adalah sikap orang terhadap jabatan pegawai
negeri.
Advokat pertama di Indonesia adalah Mr. Besar Martokusumo (sebuah model yang bagi
sementara orang bersifat sama), yang juga membantu advokat Indonesia lainnya untuk
memulai karier sebagai advokat.
Hampir semua advokat, pada mulanya terdiri dari orng Jawa, serta satu sama lain
mengenal dengan baik serta bekerja sama di bidang pekerjaan maupun politik. Advokat
keturunan Cina mulai muncul pada tahun 1920-an akhir. Hampir semua berasal dari
keluarga peranakan – yakni lahir di Indonesia. Sementara sebagian kecil dari mereka
memegang jabatan di pengadilan dan pemerintahan pusat, kebanyakan menjadi advokat
karena mereka mempunyai landasan ekonomi yang alamiah di dunia dagang golongan
Cina, yang memberi mereka hubungan, dukungan dank lien yang boleh dibilang tetap.
Bagi advokat asli maupun keturunan Cina, memulai praktek adalah langkah sulit. Banyak
advokat Belanda menganggap mereka sebagai ancaman dalam persaingan. Hampir
mustahil bagi pendatang baru memperoleh tempat dalam kantor advokat Belanda yang
sudah mapan. Pengalaman demikian lumrah terjadi. Hal itu, berarti bahwa para advokat
baru, kecuali kalau mereka dapat bergabung dengan kantor advokat Indonesia, harus
memulainya dari awal tanpa pengalaman maupun klien.
Kelas advokat Indonesia semula adalah kecil, sebagian karena struktur perekonomian
kolonial tidak banyak mendukung dan juga karena sedikit saja jumlah orang muda bangsa
Indonesia yang mempunyai biaya untuk belajar hukum siap melakukan lompatan dari
kerja dari lapangan pemerintah ke lapangan kerja swasta.
Jumlah penduduk Indonesia yang berpendidikan hukum (termasuk keturunan Cina)
sangat kecil. Pada tahun 1940, tatkala Indonesia berpenduduk kira-kira tujuh puluh juta
orang, terdapat kira-kira 350 orang (non Belanda) sarjana Hukum, terdiri dari sekurang-
kurangnya 274 orang Indonesia asli dan (hanya kira-kira) 50 sampai 75 orang keturunan
Cina.
Advokat juga secara politis menaruh perhatian dan ikut berkiprah di dalamnya. Dalam
masyarakat hukum sesudah kemerdekaan, sejarah politik advokat dan sarjana hukum
pegawai pemerintah yang berbeda ini untuk jangka waktu tertentu menimbulkan
ketegangan secara terselubung dan, seringkali merugikan pihak advokat.
Sebagian dari sebab mengemukanya para advokt dalam dunia politik, seperti
dikemukakan Weber tentang advokat pada umumnya adalah, bahwa mereka itu dapat
membagi waktu mereka secara lebih leluasa dan lebih luwes daripada para sarjana hukum
pegawai pemerintah.
Politik nasionlis para advokat di masa sebelum perang berbentuk beraneka ragam.
Kiranya dpat dikemukakan, walaupun sekedar sebagai dugaan, bahwa 75 persen dari
advokat Indonesia sedikit banyak yang secara organisasional terlibat dalam gerakan
nasional sebelum perang. Organisasi utama yang dimasukinya adalah PNI, partai yang
dipimpin terutama oleh nasionalis – keturunan priyayi yang dientuk pada tahun 1927.
Karena kebanyakan advokat adalah nasionalis dari jenis yang satu atau jenis lainnya,
mereka juga berorientasi nasional. Para advokat juga hilir-mudik ke seluruh negeri, untuk
menjalankan urusan bisnis ataupun untuk pesiar, dan jaringan kota-kota dagang di
seluruh kepulauan ini mereka kenal dengan baik. Kehidupan pribadi mereka dalam
banyak hal bersifat khas kehidupan orang kota lapisan menengah atas.
Berorientasi pada bangsa sebagai kesatuan, pada nasionalisme, dan pada kehidupan dan
pandangan yang bersifat perkotaan, para advokat pada umumnya juga berorientasi pada
perubahan politik, ekonomi dan sosial yng bersifat nasional. Perubahan-perubahan
tersebut memerlukan perntaraan advokat, dan kesemuanya tidak dapat dipenuhi dengan
dilestarikannya lembaga dan kekuasaan lokal.
Pandangan advokat terhadap lembaga hukum sangatlah jelas. Advokat adalah kelompok
yang mula pertama tidak menginginkan dilestarikannya pengadilan adat, karena
pengadilan ini merupakan simbol kekuasaan lokal tradisional, yang tidak dapat mereka
masuki dan yang bertentangan tajam dengan pengadilan formal di daerah perkotaan yang
menjadi arena pemupukan karier para advokat.
Kemerosotan professional para advokat sesudah tahun 1950 dalam beberapa hal lebih
rumit. Para advokat sendiri sering memulangkan sebab-sebabnya pada sebab-sebab
politik dan hukum yang berlangsung atau, lebih kabur, terhadap para pemimpin politik
terhadap proses hukum, dan tidak adanya khalayak yang sadar akan hak-haknya.
Kedua, para advokat tidak mengembangkan tempat berpijak yang kokoh dalam
perekonomin golongan pribumi atau masyarakat Indonesia di masa kolonial, tidak pula
terlihat kecenderungan bahwa mereka dapat melakukannya.
Ketiga, advokat Indonesia secara kelembagaan terikat kepada struktur administrtif
kolonial golongan Eropa. Peranan mereka yang khas dalam sejarah hukum Indonesia
sangat berkaitan dengan masalah adaptasi professional mereka di masa sesudah
kemerdekaan.
Pada umumnya advokat menanggapi perubahn disekitar diri mereka secara konservatif,
kadang-kadang secara kaku, dan sering kali dengan berani mempertahankan prinsip asli
peranan professional mereka.
Para hakim, jaksa, notaries, birokrat dan para pejabat hukum lainnya, yang juga
mengalami hambatan fungsi, bagaimanapun menyesuaikan diri lebih mudah daripada
advokat dalam kondisi-kondisi baru itu. Diantaranya, mereka masih tetap bekerja, sedang
para advokat banyak yang tidak lagi melakukan pekerjaan yang penting selama beberapa
tahun berlangsungnya revolusi.
Profei keadvokatan tetap bertahan dengan diwarnai ketulusan, sebagaimana ditempat-
tempat lain mana pun sebagian besar advokat menjalankan pekerjaan mereka untuk
mencari nafkah, dn bila peran mereka sebagai perantara menuntut ditempuhnya prosedur
yang korup, banyak juga diantara mereka yang melakukan itu. Akan tetapi profesi ini
dengan mantap tetap bertahan hidup, tetap memelihara beberapa cita-cita yang khusus
melekat pada profesi keadvokatan. Cita-cita ini bersangkut-paut dengan hak-hak pribadi,
keadilan keacaraan, dan perlindungan terhadap kekuasaan pemerintah.
Bab VIII
Kekuasaan Kehakiman dan Penegakan Negara Hukum :
Sebuah Sketsa Politik

Pada tahun 1970 pemerintah Indonesia mengumandangkan undang-undang baru tentang


pokok-pokok organisasi kehakiman. Perdebatan mengenai undang-undang ini
menimbulkan pertentangan yang berarti dan berkepanjangan diantara berbagai kekuatan
mengenai konstitusi di Indonesia – bukan konstitusi formal, tetapi konstitusi “riil”
menurut makna lama istilah itu.

Kebudayaan, Kelas dan Hukum di Indonesia


Tiap pendekatan, baik yang liberal maupun yang berhaluan Marxis, yang tidak
memperhatikan perbedaan-perbedaan budaya atau menganggap perbedaan budaya itu
tidak bersangkut paut dengan pokok persoalan, tidak dapat bicara banyak mengenai sifat-
sifat yang membedakan pola-pola organisasi dan ideologi lokal. Akan tetapi pandangan
terhadap budaya sebagai induk sebab akibat juga sangat membatasi. Lebih dari itu
pandangan ini menolak pemahaman perubhan yang secara langsung menentang
kebenaran anggapan budaya dasar itu sendiri.
Di banyak negara tuntutan akan tersedianya undang-undang terutama juga berasal dari
kelompok-kelompok lapisan menengah. Kendti demikian kelompok-kelompok ini tidak
dipandang sepenuhnya sebgai lapisan menengah, tetapi sebagai sempalannya, yakni
sebagai kelompok-kelompok cendekiawan, mahasiswa, professional dan sebagainya.
Kantong-kantong, atau kadang-kadang kelompok garis depan yang menandakan ketidak-
cocokan pikiran yang tercermin sebgai tuntutan akan ditegakkannya hukum itu
hendaknya jangan ditolak sebagai penyimpangan budaya, sisa-sisa kolonialisme, atau
tiruan mentah gaya Barat, melainkan seyogyanya dipandang sebagai arus masa depan.
Legalitas, apapun bentuknya, sama sekali bukanlah yang termudah untuk dipilih;
harapan-harapan yang terkanung di dalamnya tidak dengan sendirinya realistis berdasar
pengalaman sejarah dan tidak pula dengan tegas cocok dengan anggapan-anggapan etika
tradisional mengenai tindakan sosial dan keadilan sosial.
Karenanya mengembangkan dasr pikiran bukanlah suatu tugas yang sederhana.
Kadangkala orang yang cenderung menegakkan asas hukum di negara-negara baru
mencoba memperoleh dukungan budaya lokal, tetapi jarang diperoleh hasil yang
meyakinkan. Akan tetapi upaya demikian tidak akan berarti, dan mungkin tidak akan
berhasil baik, andaikata upaya tersebut terus-menerus mengenai persoalan politik dan
sosial yang mendasar.

Topangan bagi Negara Hukum Indonesia


Keberagaman etnis dan agama yng luar biasa di Indonesia mendorong timbulnya
berbagai definisi negara dan masyarakat (Lev, 1972).
Dalam kaitan ini negara hukum secara diam-diam mengandung tujuan revolusioner yang
lunak yang sama dengan tujuan yang hendak diraih oleh golongan Islam perkotaan yang
bergerak dibidang perdagangan di Indonesia.
Bagi minoritas agama dan etnis, karenanya, negara hukum mempunyai implikasi
perubahan yang diinginkan dan sekligus pertahanan yang konservatif. Di satu sisi negara
hukum menjanjikan pengaruh politik yang lebih besar daripada yang dapat mereka
peroleh dari landasan kekuasaan yang ada. Di sisi lain, negara hukum memberi harapan
kepada setiap golongan bahwa maksud-maksud agresif semua golongan, dan juga dari
pemerintah sendiri, dapat dicegah. Dimensi ideologi negara hukum yang berkembang
mengandung gagasan bahwa kepentingan-kepentingan agama dan etnis disekat oleh asas-
asas kenetralan politik dalam menghadapi persoalan-persoalan budaya yang menonjol.
Masalah struktur kelas yang berubah lebih pelik daripada masalah kemajemukan agama
dan etnis. Berkembangnya golongan sosial menengah di Indonesia, seperti di tempat lain
yang mana pun, menimbulkan semakin besarnya dukungan, walaupun bersifat mendua,
terhadap konsep kesamaderajatan dan legalitas. Akan tetapi istilah “golongan menengah”
di sini digunakan untuk menghindari adanya kesan bahwa mereka itu telah bersatu dalam
suatu kelas menengah yang sadar.
Tanpa landasan ekonomi yang cukup kuat di pihak swasta yang snggup mandiri, yang
relatif tidak tergntung kepada birokrasi, kekuatan tawar-menawar golongan menengah
akan jatuh bangun secara sporadis sejalan dengan perubahan-perubahan politik yang
tidak dapat mereka kendalikan.

Undang-Undang 14/1970 tentang Kekuasaan Kehakiman


Pengadilan secara tiba-tiba mendapat perhtian yang lebih besar daripada masa
sebelumnya dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, terutama sebagai simbol adanya
perubahan pandangan terhadap Negara Hukum, pandangan yang sangat menekankan
pentingnya pemberian jaminan atas hak-hak perseorangan dan pembatasan atas
kekuasaan politik, serta pandangan yang menganggap pengadilan tidak dapat dikaitkan
dengan lembaga lain manapun.
Pada tahun 1967 awal, kabinet membentuk komite dengan anggota dari Mahkamah
Agung dan Kementrian Kehakiman, untuk merancang undang-undang baru tentang bdan
kehakiman. Komite segera ditimpa konflik perihal rancangan pertama yang disusun oleh
para hakim dan ditolak oleh para pejabat Kementrian Kehakiman.
Kemandirian badan kehakiman adalah suatu persoalan yang sulit diatasi. Pertama,
undang-undang 19/1964 membelenggunya dengan makna simbolis sebagai gangguan
terhadap pra-anggapan Demokrasi Terpimpin ke Orde Baru. Kedua, hal itu berubah
menjadi perselisihan pandangan yang tajam dalam birokrasi sendiri antara IKAHI dan
Kementrian Kehakiman, yang dikaitkan dengan, tetapi bebas dari, persoalan
konstitusional.
Pandangan Kementrian Kehakiman antara lain: jika para hakim dipisahkan dari
kementrian ini, seperti halnya para Jaksa pada tahun 1960, Kementrian ini akan turun
derajat jadi sekedar kumpulan fungsi rutin yang tidak berarti.
Kemandirian badan kehakiman mengandung harapan meningginya prestise dan
keampuhan forum kelembagaan mereka dan bahkan akan menyebabkan para hakim lebih
tanggap terhadap kepentingan professional para advokat.
Pada akhirnya para hakim dan para pendukungnya memang kalah. Undang-undang
14/1970 hanya menghapus Pasal 19 Undang-Undang 19/1964 dan mengatur kembali
(dalam Pasal 4, paragraph 3) ketentuan konstitusional mengenai kemandirian badan
peradilan. IKAHI dan PERADIN masih terus menghidupkan persoalan itu tetapi tanpa
tanda-tanda sedikitpun mereka akan berhasil.
Dalam kurun 1966-67 para pakar, hakim, advokat dan cedekiawan sudah menyarankan
diadakannya reformasi seperti pembentukan pengadilan konstitusional, atau pengadilan
tata usaha negara, dan peninjauan kembali peraturan-perundangan oleh badan kehakiman
sebagai sarana untuk membatasi penggunaan kekuasaan pemerintah.
Perdebatan mengenai hak uji oleh badan kehakiman tersebut terus berlanjut, sampai pada
akhirnya Undang-Undang 14/1970 diundangkan, walaupun diantara para hakim dan
advokat persoalan itu masih tetap dibahas sampai tahun 1978.
Keberatan pokok diberikannya hak uji kepada badan kehakiman adalah bahwa pemberian
serupa itu akan menempatkan Mahkamah Agung di atas Parlemen dan MPR, yang peri
adanya adalah sebagai wakil demokrasi rakyat.
Dari perspektif civil law, Mahkamah Agung sudah sangat cukup dengan memimpin
pengadilan di bawahnya, yang kerjanya sangat memrlukan perbaikan. Para pendukung
perubahan karenanya terdorong untuk menolak asas pokok ajaran civil law itu sendiri
yang menjadi cagar pemerintah.

Pertentangan Kelas dan Negara Hukum


Kelompok-kelompok kelas menengah tidak mempunyai banyak pengaruh. Kelompok-
kelompok itu oleh karenanya melakukan tawar-menawar secara menguntungkan denga
mereka yang berkuasa, dan kadang-kadang diantara kelompok itu sendiri, tetapi tanpa
jaminan apapun terhadap kelangsungan kekuatan tawar menawar mereka.
Pola hubungan di antara berbagai lapisan masyarakat yang ada, tidak mempercepat
pemusatan kekuasaan denga lahirnya kelompok-kelompok menengah, juga kalau pun
kelompok-kelompok itu bergabung dalam puak-puak menurut garis keagamaan dan etnis
yang memecah belahnya.
Tidak dapat diabaikan kemiripan antara Indonesia dan beberapa negara lainnya yang titik
berat perubahan sosial dan politiknya ditekankan, walaupun hanya sebentar, pada system
hukum. Analogi antara tuntutan agar diberikan kedudukan mandiri dan hak “judicial
review” dan tuntutan yang terdapat di Jerman agar diberikan hak “judicial review” dan
ditegakkannya “hukum bebas” (free law) di masa pemerintahan Republik Weinar, sangat
menarik perhatian dan hendaknya jangan dikesampingkan hanya karena sedikit hal-hal
lainnya yang dapat dibandingkan antara kedua negeri ini.
Dengan gagalnya lembaga-lembaga perwakilan, badan kehakiman tanpa bantuan badan
badan lain dapat memenuhi tujuan tersebut, walaupun tidak dengan amat baik, karena
para hakim tampak secara fungsional dapat dibedakan dari birokrasi pada umumnya, dan
bekerja di bawah sampul mitos transenden – hukum – yang isinya secara relatif dapat
dikendalikan.
Di Indonesia hukum bagi berbagai kelompok terlihat sebagai jalan untuk melepaskan diri
dari keadaan politik dan ekonomi yang merugikan atau sebagai sarana untuk menata
kembali berbagi hubungan antar negara dan masyarakat berdasarkan landasan-landasn
moral baru.
Negara hukum menjadi bahan pembicaraan mengenai perselisihan politik dan
pembatasan ideologis yang baku. Karena gagasan negara hukum memperoleh dukungan
yang besar, gagasan demikian cenderung membawa pengaruh dalam evolusi politik di
Indonesia.
Bab IX
Van Vollenhoven dan Hukum Adat

Van Vollenhoven mempelajari adat Indonesia dari laporan penelitian para pejabat, yang ia
bantu dengan melatih mereka cara-cara menghimpun data, dan dari laporan penelitian
para mahasiswanya dan mahasiswa mereka.
Van Vollenhoven tidak dapat ditentang agar berubah dalam prinsip, sedang dalam materi
adat ia jelas tidak terlalu terbuka untuk menerima perubahan. Selain itu, rasa keadilannya
menyebabkan Van Vollenhoven cenderung melindungi masyarakat Indonesia terhadap
serangan gencar kekuasaan kolonial. Singkatnya, apa hak orang Eropa untuk
memaksakan perubahan terhadap orang Indonesia ?
Persoalan Islam memperuwet pandangan Van Vollenhoven ini. Islam bukan hanya
sekedar unsur dari luar, seperti unsur-unsur lainnya, yang pengaruhnya terhadap adat
selalu dibesar-besarkan oleh para pengamat sebelumnya. Akan tetapi, di samping
persoalan ini, ia juga khawatir bahwa tiap perubahan tertib sosial yang menguntungkan
Islam, selalu merupakan tantangan besar bagi para penguasa adat tradisional, untuk tidak
menyebut tantangan besar bagi kesetabilan pemerintah kolonial dan ketenangan orang
Belanda.
Adatrechtpolitiek tidak bertahan dalam alam kemerdekaan, kesatuan, bukan keseragaman,
menjadi semboyan kegandrungan negara baru itu. Selama revolusi kelompok-kelompok
lokal di beberapa daerah menghapus pengadilan adat mereka sendiri dan
menggantikannya dengan lembaga-lembaga nasional, yang dalam satu-dua kasus
belakangan mereka sesali, meskipun sudah terlambat.
Van Vollenhoven mungkin mempunyai pikiran yang sama tentang masa depan adat yang
perlu dipertimbangkan.
Orang Indonesia yang mengenalnya atau membaca tulisannya mengakui sifat paradoksal
pakar terkenal itu, yang masih melakat tetapi dengan cepat memudar, dalam pengetahuan
hukum adat di Indonesia. Tidaklah sulit untuk menggolongkan Van Vollenhoven ke dalam
kelompok dalang kebijaksanaan kolonial devide et impera dalam jenisnya yang cerdik,
tetapi yang hanya dilakukan oleh sedikit orang.
Bila adatrechtpolitiek dimusnahkan, dengan tujuan baik atu buruk, masih juga ada
sesuatu yang tetap tersisa, yang boleh jadi merupakan wrisan karya Van Vollenhoven
yang paling menarik. Warisan itu adalah penghormatannya yang asasi terhadap hukum
dan nilai-nilai lokal, penghargaan yang benar-benar penuh dengan perasaan kasih-sayang
terhadap perbedaan-perbedaan diantara umat manusia, yang berlawanan dengan pola
organisasi negara modern manapun.
Pikiran dan pandangan Cornellius Van Vollenhoven cukup mengesankan sehingga
menyebabkan kegagalan-kegagalannya pun patut direnungkan dengan sungguh-sungguh.
Buku baru itu membuka kemungkinan baginya untuk dapat dijangkau oleh khalayak yang
lebih luas yang memang pantas untuk bobot karyanya.
Bab X
Hukum Kolonial dan Asal-Usul Pembentukan Negara Indonesia

Hukum adalah lapisan yang kaya untuk digli, karena hukum mencatat (secara harfiah)
struktur negara dan memberi gambaran (tanpa tedeng aling-aling) pembagian keuntungan
politik, sosial dan ekonomi.
Di negara-negara modern hukum dan proses hukum pada umumnya merupakan unsur
penting hegemoni (Gramscian Hegemony) yang menetapkan dan mengabsahkan
hubungan-hubungan penguasa dan warga negara.
Hukum yang majemuk, yang dikelola secara majemuk, ditujukan untuk melancarkan
tugas berbagai fungsi yang sangat berlainan dan khusus untuk masyarakat Belanda dan
Indonesia. Lembaga-lembaga yang dibentuk untuk menata masyarakat Indonesia di masa
kolonial diteruskan di masa kemerdekaan, dengan segala sifat lamanya.

Kemajemukan
Di semua tanah jajahan pengerukan kekayaan yang efisien memanfaatkan spesialisasi dan
kemajemukan etnis, tetapi hanya beberapa yang lain, jika ada menciptakan kemajemukan
hukum dan kelembagaan yang begitu tepat sama dengan Hindia Belanda.
Belanda dan kadang-kadang memperlakukan bangsa Indonesia secara lain (misalnya,
vervreemdingsverbod tahun 1970, yang melarang pemindahan hak milik atas lahan orang
Indonesia kepada pihak asing) tetapi tidak pernah selain sebagai pemantas saja
menentang adanya perbedaan-perbedaan unsur, kemajemukan ekonomi, sosial dan politik
kolonial. Biasanya, mereka justru memperkokoh perbedaan-perbedaan tersebut dengan
cara yang lebih canggih dan halus.
Logika kemajemukan dan pemerintahan tidak langsung Hindia Belanda menuntut
diperlengkapinya dengan baik masyarakat Belanda dan Indonesia dan lembaga-lembaga
yang mereka perlakukan untuk memainkan peranan mereka yang sudah ditentukan, tetapi
pihak Indonesia harus disiapkan agar menempti derajat yang lebih rendah daripada pihak
Belanda. Hal ini berarti adanya dua birokrasi, yang satu merupakan bawahan yang lain,
termasuk juga adanya dua system peradilan yang hubungannya serupa.
Ada tiga pengadilan pemerintah untuk orang Indonesia: pengadilan distrik (kawedanan)
untuk perkara ringan; pengadilan kabupten untuk perkara-perkara yang lebih besar; dan
akhirnya landraad di setiap ibu kota kabupaten. Ke landraad-lah semua perkara pidana
atau perdata yang penting-penting diantara orng Indonesia dan orang-orang yang
dimasukan ke dalam status orang Indonesia diajukan.
Berlawanan dengan Belanda, landraad adalah badan yang relatif informal, yang
mencerminkan sebagian pandangan Belanda terhadap kebiasaan hukum dan kebutuhan
sosial orang Indonesia.
Oposisi terhadap system peradilan yang majemuk tidak pernah lenyap, tetapi oposisi itu
tidak juga mencapai jumlah yang cukup berarti. Karena kelambanan saja tidak dapat
mempertahankan tata susunan yang rumit itu, gagasan dan kepentingan yang
menghendaki kemajemukan mulai dilengkapi dengan perlindungan yang cukup.
Walaupun sering ditentang, oleh sementara orang karena alasan-alasan liberal yang baku,
dan oleh sementara orang yang lain karena suatu negara kesatuan tampak sebagai sarana
yang lebih baik untuk melestarikan pnguasaan atas tanah jajahan yang secara politis
semakin mudah berubah, system hukum yang majemuk itu tetap tegak sampai datangnya
masa pendudukan Jepang.

Kebijaksanaan Hukum Adat


Perlakuan terhadap hukum adat setempat adalah salah satu tema yang paling
membingungkan dan bermakna ganda dalam sejarah kolonial Indonesia, dan memerlukan
pertimbangan kembali dengan sungguh-sungguh. Di kebanyakan tanah jajahan hukum
adat merupakan masalah dalam satu dn lain hal, tetapi dimana pun tidak ada yang
melebihi peliknya masalah yang terdapat di Hindia Belanda.seberapa jauh hukum adat
disingkirkan dari tangan orang Indonesia tampak jelas dalam drama yang bersumber dari
kebijaksanaan hukum adat ciptaan sarjana Leiden yang terkenal, Cornellis Van
Vollenhoven.
Cemerlang, kompleks, idealistis, bahkan romantis. Vollenhoven memasukan ke dalam
kayanya pengertian-pengertian hukum yang paling berlawanan asas yang terdapat dalam
masyarakat majemuk.
Secara politis, implikasi kritis adatrechtpolitiek Vollenhoven adalah bahwa kebijaksanaan
ini tidak menghasilkan implikasi kritis bagi pemerintahan kolonial dan struktur politik.
Yang dimaksud ialah bahwa pandangannya itu diterima pada umumnya, karena birokrasi
kolonial dan kepentingan-kepentingan yang terkit dengannya menyokong pendapatnya,
yang mereka kenali tidak mengandung perubahan yang mendasar.
Para aktivis adat, yang mengagumkan sebagai ahli etnografi tetapi sangat buruk sebagai
pengambil kebijaksanaan, mulai memperlihatkan penilaian betapa konservatif, bahkan
betapa reaksioner, adatrechtpolitiek itu sebenarnya.
Selain itu, adatrechtpolitiek mempunyai ujung politik yang jelas, seklipun selalu
dibantah, yang terbukti dalam perlakuannya terhadap Islam. Vollenhoven sendiri
mengemukakan bahwa “Penghancuran hukum adat tidak akan meratakan jalan bagi
hukum kita yang termaktub dalam kitab undang-undang, sebaliknya hal itu membuka
jalan bagi kekacaubalauan dan Islam”.
Orang Indonesia yang berkedudukan tinggi semakin banyak yang beranggapan bahwa
diri mereka bebas dari adat, walaupun penggolongan hukumnya adalah sebaliknya.
Sering kali dalam pandangan mereka adat adalah hukum bagi desa-desa yang
terbelakang, bukan hukum pusat-pusat perkotaan tempat mereka tinggal. Sedang bagi
rakyat-rakyat di desa, yang hukum adatnya dianggap berlaku, tatkala pecah revolusi, d
beberapa tempat mereka berprakarsa menghapus pengadilan adat, dan kadang-kadang
juga para penguasa yang melaksanakan, dan menuntut, yang kadang-kadang dikemudian
hari mereka sesali, disediakannya lembaga-lembaga “nasional” negara baru.

Advokat Indonesia dan Hukum Kolonial


Para advokat Indonesia adalah persoalan yang lain lagi. Pemerintah kolonial menghalangi
para ahli hukum Indonesia agar tidak berpraktek swasta, dan para advokat Belanda,
karena alasan yang jelas, menganggap gagasan untuk berpraktek swasta itu buruk sekali.
Kebanyakan ahli hukum Indonesia bekerja sebagai pegawai pemerintah, tetapi tidak
seorang pun dapat membendung naiknya mereka yang memilih memasuki profesi swasta
sesudah orang yang pertama membuka kantor advokat pada tahun 1923.
Advokat Inonesia adalah orang-orang diantara ahli hukum yang sedikit jumlahnya itu
yang benar-benar mengetahui kedua sisi system hukum kolonial, dan dengan itu menilai
system hukum itu beserta dasar-dasar sosial dan politiknya secara kritis.
Di pihak lain terdapat kekuasaan istimewa para pegawai, yang keleluasaannya untuk
mengambil kebijaksanaan melebihi ketentuan-ketentuan hukum, sementara pengaruh
para penjaja jauh lebih besar daripada advokat. Pandangan para advokat itu, tanpa malu-
malu dipinjam oleh Eropa dan sangat teguh dipegang sebagai pedoman, merupakan
pandangan di negeri Indonesia merdeka yang menetapkan hukum sebagai pengganti
kebijaksanaan, kemampuan pribadi sebagai pengganti hak istimewa, meskipun
masyarakat tetap tidak tergantikan oleh negara.

Kemerdekaan Negara Indonesia


Dengan datangnya kemerdekaan, Indonesia mempunyai dua tradisi hukum untuk dipilih.
Para advokat Indonesia dan sejumlah besar cendekiawan lainnya menginginkan negara
yang terutama bersistem hukum corak Eropa yang berlaku di masa kolonial. Tetapi, yang
menang adalah system hukum yang semasa kolonial diperuntukkan bagi golongan
Indonesia (asli), yang dimuati dengan alat hukum dan, secara lebih halus, dimuati dengan
anggapan-anggapan politik, dengan mana bangsa Indonesia diatur di masa Hindia
Belanda.
Kegagalan revolusi untuk mengikis warisan kolonial yang dianggap mengagumkan itu
dapat dilihat dengan baik untuk sebagian besar pada kenyataan betapa mudahnya bentuk-
bentuk yang lama itu diambil alih.
Pelestarian hukum yang lama bukanlah karena kekhilafan. Hal itu dinyatakan dengan
tegad dalam Undang-Undang Dasar 1945 maupun kedua undang-undang dasar lainnya
tahun 1949 dan 1950, dengan akibat yang ganjil yakni hukum yang berlaku sering
bertentangan dengan ketentuan undang-undang dasar, misalnya, dalam hal-hal yang
berkenaan dengan hak-hak azasi manusia.
Hukum substansif yang majemuk, misalnya, memberi gambaran yang paling jelas tentang
acuan pokok gagasan kemajemukan kolonial. Salah satu diantaranya ialah bahwa tanpa
adanya alternatif yang jelas, penyatuan hukum rasanya seperti keharusan membuat
pilihan yang pahit antara kitab undang-undang dan adat sebagai landasan konseptual.
Sementara hukum substansif tetap sama, hukum acara yang secara politis lebih penting
tidak demikian halnya, tetapi bagi kebanyakan rakyat tetap saja tidak ada perubahan.
Pamong praja adalah warisan kelembagaan yang bersiteguh mempertahankan norma-
norma kekuasaan kolonial. Pamong praja adalah suatu lembaga yang tanpa norma-norma
tersebut akan sangat sulit untuk dipertahankan.
Ketegangan di antara asas-asas yang saling bertentangan yang ditampilkan oleh pamong
praja di satu pihak dan system parlementer pasca-revolusi dipihak lain boleh jadi berarti
bahwa salah satu di antaranya harus menyingkir. Dengan dukungan tentara pamong praja
selamat dari ketentuan undang-undang 1/1957 yang menmpatkannya di bawah
pemerintahan lokal yang dipilih, sementara system parlementer sendiri tidak jalan.
Lembaga-lembaga peradilan secara politik kurang mengemuka, seperti halnya di masa
kolonial dulu pada system yang berlaku bagi golongan Indonesia, tetapi lembaga ini
memberi gambaran serupa dengan corak yang lebih berwarna.
Pihak-pihak yang tidak menghendaki berlakunya system hukum bagi golongn Indonesia
masih sama dengan lima puluh atau enam puluh tahun silam. Para advokat (walaupun
sama sekali bukan seluruhnya) adalah pihak yang paling santer mengkritik. Ketidak-
setujuan terhadap hukum yang majemuk dan keinginan untuk lebih dibatasinya
kekuasaan masih merupakan warna gagasan para advokat yang sedikit banyak menganut
nilai-nilai yang terkandung dalam system yang berlaku bagi golongan Eropa dulu.
Janji pembaharuan, bagaimanapun juga, terpulang kepada pihak tentara untuk
menetapkan (berdasar dwi fungsinya) seberapa jauh kadar perubahannya, tetapi juga
kepada tradisi pemerintahan dan hukum yang tetap hidup dalam lembaga-lembaga dan
corak gagasan yang mewarnai negara setelah merdeka.
Bab XI
Bantuan Hukum di Indonesia :
Biografi LBH

Tatkala Lembaga Bantuan Hukum (selanjutnya disingkat : LBH) Jakarta membukakan


pintunya, pada tahun 1971, bagi klien-klien miskin yang berjubel, kecil alasan untuk
berharap banyak kepadanya.
LBH bertahan selama enam belas tahun, dan, selain melayani beribu-ribu klien,
mempunyai pengaruh yang luar biasa dalam percaturan politik di Indonesia untuk sebuah
organisasi yang begitu kecil.
Jenis umum bantuan hukum – pro bono publico atau (di Indonesia, beritibar pada gaya
belanda) pro deo, yakniperwakilan professional secara gratis yang dilakukan oleh
pengacara tunjukan pengadilan – dianggap sebagai koreksi terhadap distribusi sumber
daya hukum yang timpang antara orang yang berada dan orang yang tidak berpunya.
Bantun hukum Indonesia yang modern adalah satu diantara proyek jenis itu yang paling
menarik di dunia. Lebih dari peranannya yang bebas, bantuan hukum Indonesia memberi
kesan sebagai gerakan resmi, yang dipelopori oleh LBH, dengan perspektif ideologi yang
sehat, memperoleh dukungan masyarakat, mempunyai sumber tenaga pembela yang
berpengabdian dan tidak ada habis-habisnya, serta selalu terdapat perdebatan internal
mengenai metode dan sasarannya.

***
Gagasan LBH benar-benar baru, lebih banyak diilhami oleh ideologi sosial dan politik
yang di dalamnya konsep legalitas merupakan tema intinya daripada premis-premis
hukum.
Sebelum tahun 1965 satu-satunya bentuk bantuan hukum yang dikenal oleh sebagian
besar advokat adalah pembela perkara yang ditunjuk oleh pengadilan. Sejak zaman
penjajahan para advokat professional memandang tanggung jawab membela secara gratis
sebagai beban yang harus dipikul sewaktu-waktu, namun dapat, jika perlu, dihindarkan..
Para advokat Indonesia selalu bangga akan kemandirian mereka, menolak jaminan dan
status jabatan birokrasi yang disukai oleh kebanyakan lulusan hukum. Kini kemandirian
mereka (dan rasa bangga mereka) dijungkirkan oleh para pejabat pemerintah yang
menjadi penentu keabsahan profesi mereka.
Pada tahun 1966 PERADIN bekerjasama dengan himpunan-himpunan hakim, jaksa, dan
polisi membentuk organisasi Pengabdi Hukum yang tujuannya meluruskan
penyelewengan proses hukum dan memulai mengadakan perombakan dari dalam system
hukum sendiri.
Pengabdi Hukum adalah cermin dipertahankannya otonomi system hukum, suatu upaya
yang menarik namun tidak bakal lestari yang dilakukan oleh para sarjana hukum yang
berpraktek swasta maupun yang bekerja pada pemerintah untuk memperbaharui proses
hukum.
Memasuki tahun 1969 Pengabdi Hukum mulai memudar pamornya, karena para sarjana
hukum pegawai pemerintah secara tahap mundur. Ironisnya, ketua terakhir organisasi itu,
sebelum lenyap keperiadaannya, adalah seorang advokat.
Melenyapnya pengabdi hukum bersamaan waktunya dengan semakin besarnya perasaan
kecewa dikalangan kelompok luar golongan sipil di awal Orde Baru. Sejak akhir 1960-
an, para advokat, seperti kebanyakan cendekiawan dan mahasiswa, di antara yang lain-
lain, agak berselisih pandangan dengan pemerintah.
Dikeluarkannya para advokat dari system hukum yang resmi, disamping adanya
pandangan aktivis atau profesi itu, menumbuhkan pandangan baru tentang bantuan
hukum. Pelayanan prodeo lazim dipahamkan sebagai kewajiban yang harus dipenuhi
terhadap system hukum. Maka, selama kurun waktu Demokrasi Terpimpin beberapa
advokat sebagai pembalasan terhadap pihak pengadilan, melangkah sedemikian jauh
dengan menolak bertugas sebagai pembela prodeo.
Mengorganisasi LBH pada mulanya terutama adalah persoalan perekrutan sarjana-sarjana
hukum muda usia yang cocok untuk menangani beban perkara. Semula diperkirakan
orang-orang muda tersebut hanya akan bertugas selama beberapa tahun sebelum mereka
membuka praktek sendiri, menggantikan dunia keadvokatan dengan darah yang segar dan
di segi sosial memiliki kesadaran yang tinggi. Ternyata kejadiannya tidaklah seperti yang
diharapkan itu, walaupun selama bertahun-tahun staff LBH secara bertahap
meninggalkan lembaga itu untuk membuka kantor keadvokatan mereka sendiri.
Para sarjana hukum yang masih muda usia, para wartawan, cendekiawan, penulis, sarjana
yang sehaluan dengan LBH berhimpun di dalamnya, mengembangkan gagasan-gagasan
dan hubungan yang jauh melampaui dunia hukum formal yang terbatas.

***
Kerja pokok sehari-hari LBH adalah memberi konsultasi hukum kepada orang-orang
miskin – konsultasi di kantor LBH dan dalam berperkara di pengadilan. Berbeda dengan
bantuan hukum gratis dari sejenisnya yang umumnya sering terbatas pada perkara pidana
saja, posisi LBH adalah sebagai pemberi bantuan hukum bagi masalah hukum orang
miskin baik yang bersifat perdata maupun yang bersifat pidana.
Sekalipun demikian, sama pula pentingnya jenis perkara yang LBH bersedia
membelanya. Andaikata LBH hanya berperan melayani fungsi korektif, lembaga ini
barangkali dapat menghindari kasus-kasus yang merepotkan karena kerapuhan politisnya
terhadap gangguan dari luar (political vulnerability).
LBH juga hampir selalu menjadi pembela dalam perkara-perkara politik. Hal yang
demikian memang wajar mengingat tradisi yang melekat pada karya keadvokatan
professional. Perkara-perkara politik juga biasa bagi LBH, dalam artian bahwa perkara-
perkara itu sesuai dengan perspektifnya mengenai perubahan yang pada dasarnya bersifat
politik. Kasus-kasus demikian membuka peluang penting bagi kritik hukum dan kritik
politik.
Walaupun fungsinya sebagai penasehat professional, baik dalam perkara sehari-hari
maupun dalam perkara-perkara politik yang dramatis mempunyai arti yang penting,
fungsi tersebut bukan satu-satunya lagi bagi LBH.
Jika ketidakberdayaan golongan miskin tidak hanya sekedar di bidang hukum, tetapi juga
dalam hal-hal yang bersifat ekonomi, sosial, dan politik, maka bantuan hukum, agar dapat
benar-benar efektif, harus ditujukan ke arah dirombaknya batu alas tempat bertumpunya
kesengsaraan masyarakat. Inilah yang menjadi makna bantuan hukum structural, istilah
yang dipinjam dengan antusias karena istilah ini dapat memperlihatkan dengan tepat
tujuan LBH.
Walaupun dana dan tenaga LBH terbatas, lembaga ini dikenal dengan cepat dan meluas,
yang untuk sebagian dengan mengaitkannya dengan kelompok-kelompok utama yang
sama-sama menaruh perhatian terhadap terselenggaranya perubahan.
Dengan memanfaatkan pers, LBH secara tetap melancarkan kritik dalam hal menyangkut
kebijaksanaan proses hukum dan proses-proses yang terjadi di belakangnya. Ini menjadi
sumber paling terkemuka untuk kritik sosial dan politik. Diperlukan sedikit lagi waktu
untuk menyebarkan reputasinya secara internasional di bidang bantuan hukum dan
jaringan hak asasi manusia. Pada tahun 1970-an akhir secara umum diakui bahwa
LBHadalah organisasi bantuan hukum di Asia Tenggara yang paling aktif dan inovatif.

***
Keberhasilan LBH dalam bertahan, setidak-tidaknya, dan dalam melaksanakan program
yang tulus yang berkenaan dengan persoalan yang nyata – menarik perhatian advokat di
seluruh Indonesia. Pada tahun 1971 – 1972 pun para advokat di kota-kota besar di Jawa
dan luar Jawa minta agar LBH membantu mendirikan cabang-cabang di daerah.
Pada tahun 1978, LBH, yang pada tahun 1973 dilarang (oleh Kopkamtib) untuk
beroperasi di luar Jakarta, diizinkan (oleh Departemen Dalam Negeri) untuk membuka
cabang di daerah-daerah.
Pada tahun 1979 organisasi yang memerintah, Golkar, ikut serta dalam kegaiatan bantuan
hukum, seolah-olah menurut pendapat banyak orang, didirikan untuk menyaingi LBH,
yang sudah sangat populer untuk dikesampingkan.
Seperti halnya kebanyakan orgnisasi bantuan hukum, walaupun lebih baik pendanaannya
dan dengan jaringan cabang yang lebih teratur, LPPH membatasi kegiatannya terutama
dalam pemberian nasehat. LBH tetap dengan ciri khasnya yang berupa ideologi
perubahan sosial dan hukum yang disertai dengan program yang luas untuk menangani
persoalan perubahan.

***

Satu hal yang penting bagi gerakan bantuan hukum adalah cukup besarnya jumlah
pengacara yang tidak puas. Secara langsung sebagai tanggapan terhadap kebijaksanaan
ekonomi yang cenderung mendorong penanaman modal swasta, karya keadvokatan
berkembang pesat.
Tidak juga semua advokat baru merasa tidak puas. Kebanyakan yang dapat mengambil
keuntungan dari kesempatan memperoleh pendapatan yang tidak pernah diimpikan
sebelumnya, menjaga jarak, dalam kesenangan hidup yang belum pernah dinikmati
sebelumnya, dari persoalan politik, sosial, dan kesulitan-kesulitan kerja di sidang
pengadilan yang menggunung.
LBH dan organisasi bantuan hukum lainnya mempunyai persediaan sarjana hukum yang
masih muda-muda (dan kadang kala juga bukan sarjana hukum) yang ingin menyalurkan
ketertarikan terhadap politik dan sekaligus juga memperoleh pekerjaan.
Penghargaan terhadap LBH tidak hanya berasal dari kliennya yang miskin dan tidak
berpengaruh, tetapi yang penting adalah dari unsur-unsur pengusaha dan kaum
professional kelas menengah yang berpengaruh yang dukungannya semakin besar.
Adapula jalinan intelektual yang akrab antara tenaga pengacara LBH dan staff redaksi
Prisma, jurnal populer ilmu-ilmu sosial yang terkemuka di Indonesia.
Yang lain adalah gerakan hak asasi manusia internasional. LBH telah menjalin hubungan
penting dengan organisasi bantuan hukum dan hak asasi manusia di Eropa, Amerika
Utara, Australia, dan Asia Tenggara. Reputasi internasional LBH tidak diragukan lagi
memberi kekebalan politik di Jakarta.
Dalam tinjauan jangka panjang arti penting bantuan hukum yang lebih pelik dan rumit
boleh jadi sebagian besar bersifat ideologis. Daya tarik LBH dan gerakan bantuan hukum
bagi banyak pengacara, cendekiawan, dan lain-lainnya tidak hanya sebagai saluran
pelepas energi politik, akan tetapi sebagai tempat pemahaman alternatif organisasi dan
tujuan politik dan sosial.
Bantuan hukum membantu mengisi ruang yang tersedia bagi perdebatan. Implikasi
ideologinya terutama negara hukum, dengan makna-makna yng meluas dari jaminan
kepastian hukum yang sempit keharapan kesamaderajatan yang optimis – menarik
perhatian orang banyak yang meskipun tidak berbeda pendapat secara aktif, tapi tidak
tertarik kepada perilaku pemerintah atau bahkan, lebih mendalam lagi, kepada nilai-nilai
politik dan sosial yang tidak lagi tampak mempunyai daya desak.
Gagasan proyek bantuan hukum yang secara ideologis dipertahankan tidak bisa tidak
akan menimbulkan desakan terus-menerus akan terjadinya perubahan.
Bab XII
Gerakan Sosial, Konstitusionalisme dan Hak Asasi

Secara histories munculnya pemerintahan konstitusional, senantiasa berhubungan


denganj terbatasinya negara dan kekuasaan para pengelolanya. Karena itu,
konstitusionalisme, - abstraksi yang sedikit lebih tinggi daripada rule of law atau pun
rechtstaat – berarti paham “negara terbatas” di manakekuasaan politik resmi dikelilingi
oleh hukum yang jelas dan yang penerimaannya akan mengubah kekuasaan menjadi
wewenang yang ditentukan secara hukum.
Konstitusionalisme tidak akan punya makna tanpa adanya sumber-sumber kekuasaan,
dalam pelbagai bentuknya, baik dalam rangka memperolehnya atau pun dalam rangka
mempertahankannya.
Pandangan bahwa konstitusionalisme mencerminkan perkembangan sejarah yang almiah
dan secara moral superior, merupakan suatu kecongkakan ideologis yang seharusnya
sudah lama pudar, meskipun – seperti mitos-mitos lain semacam itu – ia mempunyai daya
tahan yang tak terbatas waktu.
Secara histories konstitusionalisme telah menjadi paying ideologis yang khas dari kelas
menengah yang tidak mampu mengklaim suatu hak yang secara inheren sah untuk
berkuasa, tapi yang dikecewakan oleh ketiadaan jangkauan dan pengaruh atas mereka
yang sedang berkuasa.
Sifat ideologis kelas menengah adalah mengupayakan perubhan-perubahan yang
menguntungkan, maka himbauan-himbuan mereka tidak bisa dibatasi sekedar sebagai
kepentingan kelas menengah saja.
Dalam banyak hal, hak-hak asasi kini bisa dianggap mempunyai tujuan-tujuan ideologis
yang sama dengan hak-hak alamiah yang dituntut di Eropa beberapa abad yang lalu,
sesuatu yang mungkin menjelaskan (secara parsial) mengapa “hak-hak” politik dari
Deklarasi Universal nampak tetap lebih diutamakan ketimbang “hak-hak” sosial dan
ekonomi.

Indonesia : Pencarian Sebuah Negara Hukum


Tak lama setelah revolusi (1945-1950) nampak seakan-akan Indonesia telah memiliki
sebuah system konstitusional yang kuat, dilengkapi dengan sebuah pemerintahan
parlementer yang secara eksplisit didasarkan kepada prinsip-prinsip rule of law.
Jalan ke arah konstitusionalisme Indonesia sebagian telah dibuka, dan meskipun
himbauan-himbauannya secara fundamental lemah, tetapi telah memperkuat audensinya
yang masih sedikit.
Demokrasi Terpimpin mendasarkan sumber legitimasinya tidak dengan
konstitusionalisme yang simbol-simbolnya diremehkan sebagai sesuatu yang tidak
relevan dan bahkan bertentangan dengan integritas sejarah Indonesia.
Sementara Demokrasi Terpimpin dirasionlisasi oleh himbauan terhadap apa yang
dibayngkan oleh elite-elitenya sebagai tradisi Indonesia pra-kolonial, khususnya Jawa
kuno, apa yang dipancarkan melalui retoriknya yang nyaring adalah gambaran nyata
mengenai segi-segi negara kolonial Indonesia.
System hukum formal, oleh karenanya, tidak bisa dugunakan untuk tujuan pembaruan,
lebih daripada yang bisa dilakukan di bawah Demokrasi Terpimpin, karena ia pada
dasarnya merupakan alat kekuasaan pemerintah ketimbang sebagai sarana untuk
melakukan akses kepada otoritas negara.
Bantuan hukum, khususnya LBH, ternyata mewakili sebuah gerakan konstitusionalis
yang sangat canggih. Ia menolak untuk membatasi gerakannya kepada bantuan hukum
formal tapi lebih menganggap upaya tersebut dalam pengertian yang lebih luas sebagai
jalan pintas pembaruan politik, sosial, dan bahkan kultural.
Secara substansial, LBH memang telah melakukan kontribusi bagi dikembangkannya
ideologi politik, pembaruan konstitusional dan legal, dan dibangunkannya perhatian
mengenai masalah-masalah hak asasi, tema-tema yang mengasalkan munculnya
dukungan besar dan terus menerus yang nampaknya masih akan berlanjut.
Elemen-elemen kunci dalam ideologi politik bantuan hukum Indonesia mencakup
gagasan-gagasan yang berkaitan dengan negara hukum, suatu peradilan yang bebas
dengan kekuasaan hak uji materiil (powers of judicial review), dan hak asasi manusia.
Tuntutan akan adanya badan peradilan yang bebas sebagian merupakan respons terhadap
kenyataan bahwa peradilan Indonesia dibatasi secara politik, hakim-hakimnya adalah
pegawai negeri sehingga sebagaimana pegawai negeri lainnya yang dibebani tanggung
jawab untuk melaksanakan kehendak pemerintah.
Kekuasaan politik, yang bertahan dengan kuat di atas aliansi militer-birokrasi, jelas
memiliki orientasi yang sangat berbeda. Tapi secara ideologis gagasan tentang
konstitusionalisme telah mengakar dengan kokoh, sebagian tertanam dalam kenangan
pada masa-masa parlementer, tapi sebagian lagi juga karena perhatian dari kelompok-
kelompok sosial yang berpengaruh untuk adanya suatu system politik yang lebih
terkendali.

Malaysia : Mempertahankan Konstitusionalisme


Elite konservatif secara alamiah menguasai perangkat konstitusional, dan sebagai
akibatnya merekalah yang mendukung konstitusionalisme. Mereka sama-sama
terpuaskan dengan system hukum, yang keberlangsungannya sejak masa penjajahan
secara signifikan mengidealkan adanya tertib konstitusional.
Aturan utama terhadap konstitusionalisme Malaysia sampai sekarang selalu berasal dari
rapuhnya kompromi politik etnis yang bahkan bisa mendasari keruntuhannya. Misalnya,
sebagai suatu indikator yang spesifik dan relevan, proporsi ahli hukum swasta etnis
Melayu tumbuh pesat dari lima persen kurang pada awal 1960-an menjadi lebih dari
enam belas persen (dan terus naik) pada pertengahan 1980-an.
Pada awal 1980-an, dalam rangka merespons menguatnya perhimpunan-perhimpunan
swasta yang sangat kritis terhadap kebijakan negara, pemerintah memaksakan berbagai
pembatasan memlalui undang-undang registrasi perhimpunan (Societies Registration Act)
yang mengklasifikasikan beberapa organisasi sebagai bersifat “politik”, dan sebagai
akibatnya, tunduk di bawah pengawasan.
Pada tahun 1987 pemerintah sendiri, diniatkan secara sengaja ataupun tidak, telah
mengipas terjadinya krisis etnis karena kebijakan pengaturan tenaga pengajar sekolah-
sekolah Cina yang hampir menjadi dalih untuk suatu kudeta dari dalam, suatu peristiwa
yang konsekuensi-konsekuensi tak terelakkannya telah menimbulkan krisis besar dalam
tradisi konflik konstitusionalis.
Krisis ini sama sekali belum berakhir, sehingga akibanya di masa depan tidak begitu
mudah diramalkan. Akan tetapi, suatu komitmen ideologis terhadap konstitusionalisme di
Malaysia juga memperoleh dukungan dari kelas menengah yang kini semakin penting
yang terus akan melanjutkan desakan untuk mengembalikan dan memperkuat kembali
keseimbangan konstitusional.

Konstitusionalisme dan Hak-Hak Asasi


Karena konstitusionalisme pada umumnya merupakan proyek kelas menengah, dengan
sasaran-sasarannya yang meskipun penting tetapi terbatas, perdebatan mengenainya
cenderung meremehkan isyu-isyu ekonomi dan sosial yang sangat besar maknanya bagi
kelas bawah sebagai mayoritas yang tak pernah terwakili.
Hak-hak asasi yang umumnya dipahami menurut pengertian-pengertian sosial, ekonomi
maupun politik, sekligus merupakan sebuah tujuan yang lebih serius dan kurang bisa
dimengerti ketimbang konstitusionalisme, meskipun keseuruhannya bisa memberikan
keseimbangan yang lebih baik dan standar yang lebih tepat. Tidak ada konstitusi yang
dengan sendirinya bisa menjamin hak-hak politik, tanpa mengabaikan keadilan sosial dan
ekonomi.
Tapi memang diperlukan sedikit ketajaman untuk melihat bahwa, selain bekehendak
untuk sederajat, kelompok-kelompok yang tanpa kekuasaan akan menjadi sedikit lebih
baik di dalam pemerintahan konstitusional dibandingkan di dalam pemerintahan non-
konstitusional.
Bagi kaum miskin, hak-hak asasi (bagaimanapun kita memahaminya) tetap akan
merupakan tuntutan yang rapu dalam semua jenis tatanan politik.
Inilah yang mengharuskan kita kembali kepada premis yang telah dikemukakan di awal
tulisan ini : bahwa revolusi atas isyu penting dari konstitusionalisme dan hak asasi
manusia tergantung pada distribusi kekuasaan politik yang dimobilisasikan secara efektif.
Meremehkan proposisi elementer ini berarti mereduksi konstitusionalisme dan hak-hak
asasi manusia sekadar sebagai impian belaka.

Anda mungkin juga menyukai