Resume Daniel S Lev
Resume Daniel S Lev
Sejak empat dasawarsa pertama abad ini, para pakar hukum Belanda di negeri Belanda
dan di Hindia Belanda menempatkan hukum adat sebagai bagian kehidupan hukum
kolonial yang terpisah, dengan prosedur, yurisprudensi, dan himpunan komentarnya
sendiri. Dua orang ahli terutama Cornellis van Vollenhoven di Belanda dan ter Haar di
Hindia Belanda, mempertahankan hukum adat dari usaha-usaha untuk menggantikan nya
dengan kitab undang-undang yang seragam dan bercorak Eropa.
Sejak belahan kedua abad XIX para pakar Belanda itu telah menaruh perhatian yang
mendalam terhadap hukum adat, walaupun tiga orang Inggris telah mencurahkan
perhatian terhadapnya jauh lebih dulu.
Organisasi peradiln dimasa sebelum perang untuk subjek-subjek hukum Indonesia terdiri
dari distrik, pengadilan kabupaten, dan Landraad, pengadilan sehari-hari yang tertinggi
bagi orng Indonesia.
Banding terakhir terhdap keputusan landraad yang menyangkut hukum adat untuk
perkara-perkara tertentu dapat diajukan ke pengadilan banding eropa, tetapi tidak
hoogerechtshof. Hoogerechtshof khusus memeriksa kembali perkara-perkara yang
bertumpu pada “ketentuan-ketentuan hukum tertulis”, dan tidk mencakup hukum adat
yang tidak tertulis.
Para hakim pengadilan untuk golongan keturunan Eropa hamper selalu terdiri dari orang-
orang Belnda, demikian juga halnya dengan sebagian besar pengadilan untuk orang-
orang Indonesia.
Para hakim yang memeriksa perkara-perkara hukum adat memikul tugas yang sangat
sulit. Berbeda halnya dengan para hakim pengadilan untuk kasus-kasus golongan
keturunan Eropa, yang fungsi dan kekuasaannya ditetapkan dalam kitab undang-undang
dan yang pada kenyataannya dapat bersandar dengan aman, adil atau tidak adil, pada
hukum tertulis yang ada di depan mereka, hakim landraad selalu harus menghadapi
yurisdiksinya dengan antene yang peka yang terarah ke isyarat-isyarat system social yang
mungkin saja sangat asing dibandingkan system sosialnya sendiri.
Hakim menurut Ter Haar adalah bagian fungsional dari masyarakat, tetapi secara
psikologis ia bisa jadi seorang yang berasal dari luar, sejauh konsepsi hukumnya sendiri
berbeda dengan konsepsi hukum masyarakat.
Ia mengakui dan mendorong ditumbuhkannya peranan pendekatan kritis hakim dalam
keputusan-keputusan yang menyangkut hukum adat. Sekalipun terikat oleh system dan
nilai-nilai yang berlaku di wilayah yurisdiksinya, hakim tetap bebas menerapkan
wawasan kritisnya terhadap setiap aturan, mengujinya menurut sistemnya sendiri yang
selalu tumbuh dan berubah, sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang terdapat dalam
masyarakat.
Dalam pikiran Ter Haar, kebutuhan untuk menekankan tanggung jawab hakim terhadap
norma-norma masyarakat menjadi lebih jelas jika fungsi yudisial itu dipahami dan bisa
diterapkan dalam masyarakat melalui suatu medium spesifik yang disebut hukum.
Pemekaran system hukum dan peradilan secara penuh yang diinginkan oleh Ter Haar
tidak terjadi sebelum kekuasaan Belanda berakhir. Akan tetapi banyak gagasan Ter Haar
dan Van Vollenhoven dimasukkan ke dalam hukum, praktek peradilan, dan pendidikan
hukum di Indonesia.
II
System hukum adat Van Vollenhoven dan Ter Haar tidak dapat bertahan melewati
revolusi (1945-1950). Untuk sebagian hal itu merupakan akibat terjadinya unifikasi
peradilan dan kurangnya hakim yang berpendidikan di Indonesia.
Hasil terpenting revolusi adalah dibiarkannya interaksi normal antara elite pribumi dan
masyarakat selebihnya tersebut tidak terganggu. Masyarakat Indonesia (dan juga hukum
Indonesia) pastilah kini merasakan dampak dari cita-cita, gambaran dan metode kaum
elitenya, yang masa depannya tidak bisa lain dari masa depan bangsa Indonesia.
Kebanyakan kaum elite nasionalis, sejak masa sebelum perang, mengartikan masa depan
Indonesia sebagai masa depan yang diwarnai dengan kemajuan ekonomi yang pesat.
Banyak diantara mereka berpendapat bahwa hukum adat merupakan lawan kemajuan.
Akan tetapi hukum adat juga menggambarkan sesuatu yang benar-benar tidak
disangsikan lagi, bersifat Indonesia.
Kebanyakan ahli hukum dan cendekiawan sesudah revolusi memandang hukum adat
dengan mengingat keinginan mereka akan Negara industri modern. Kemajuan ekonomi
memerlukan hukum perdata baru, dan revolusi social yang tidak terelakan memrlukan
hukum baru untuk memenuhi tuntutan para buruh dan petani akan kehidupan yang lebih
baik. Rakyat Indonesia perlu didorong kearah hukum yang baru dan modern.
Perangsang utama bagi tumbuhnya hukum baru adalah modernisasi social dan ekonomi.
Akan tetapi masih ada pengaruh lain yang lebih halus terhadap sifat hukum Indonesia
yang baru yang diinginkan oleh kelompok elite yakni ukuran dapat diterimanya hukum
itu secara internasional.
Penitikberatan pada perubahan dan modernisasi tidak berarti bahwa hukum adat tidak
lagi penting sesudah revolusi. Pada tahun 1955, Professor V.E.Korn mengemukakan
bahwa “Kami mendapati bahwa sebagian besar cendekiawan Indonesia, walaupun
merindukan modernisasi hukum, tetap berada dibawah pesona hukum adat.
Sering dikemukakan bahwa usaha pengkodifikasian atau unifikasi dapat dimulai dengan
hukum dagang dan sejenisnya, sedang hukum kekeluargaan masih harus tunggu dulu.
Karena dalam masalah perkawinan, perceraian, pengangkatan anak, dan pewarisan,
perbedaan diantara hukum adat di berbagai daerah paling tampak mencolok, belum lagi
perbedaan antara hukum adat dan hukum Eropa.
Untuk memahami keputusan-keputuan yang kemudian diambil oleh Mahkamah Agung
mengenai hukum waris, kiranya kita perlu meninjau beberapa faktor yang mempengaruhi
pandangan hakim pada umumnya terhadap hukum adat. Dua buah faktor yang terkait
adalah masalah-masalah social sejak revolusi dan kurangnya studi baru mengenai hukum
adat yang deskriptif. Kurangnya jumlah hakim sejak revolusi dan meningkatnya jumlah
perkara mengakibatkan banyak tertimbunnya perkara. Barangkali faktor yang lebih
penting lagi, bgagaimana pun adalah, bahwa para hakim itu termasuk dalam golongan
elite nasional atau lokal. Mereka tunduk pada pengaruh ideology yang sama dengan
ideology yang mempengaruhi kaum elite lainnya, dan biasanya juga mempunyai keadaan
jiwa yang sama. Kesemua faktor tersebut mengambil bagian dalam mengubah konsepsi
para hakim sudah barang tentu juga konsepsi para Hakim Agung tentang peranan mereka
dalam perubahan hukum adat, dan juga dalam pemberian corak yurisprudensi baru
hukum kekeluargaan adat.
III
Pengembangan yurisprudensi (case law) baru hukum waris adat didasarkan atas wilayah
yang mewakili dua atau tiga jenis system kekerabatan yang berlainan yang terdapat di
Indonesia. Pada umumnya, harta yang dapat diwaris terdiri dari dua jenis; (1) harta
bawaan masing-masing suami isteri yang dimiliki selama berlangsungnya perkawinan,
pemilikannya terpisah (harta pusaka; barang asal)., dan (2) harta yang mereka peroleh
selama berlangsungnya perkawinan dan menjadi milik bersama (harta pencarian, gono-
gini). Perkembangan yurisprudensi Mahkamah Agung baik diwilyah yang patrilineal
maupun bilateral ditujukan ke arah penegakan (1) hak janda untuk memperoleh tunjangan
yang cukup dari hrta suaminya yang pemilikannya terpisah maupun dari harta yang
menjadi bagian dari mendiang suaminya dalam harta pencarian bersama. (2) haknya atas
kedua jenis harta, tidak perduli akan persoalan batas cukupnya jaminan hidup, dan (3)
hak penuhnya untuk mewris bagian dari kedua jenis harta bersama bagian untuk anak-
anaknya.
Karena putusan-putusan Mahkamah Agung Indonesia diambil dengan suara bulat dan
singkat, sulit untuk menyingkap bagaimana sejumlah hakim itu memandang persoalan
yang dihadapi. Kadang-kadang saja dapat diperoleh petunjuk, itupun hanya sekilas,
kecuali kalau salah seorang dari para hakim itu membuat ulasan dalam Majalah Hukum.
Sejak tahun 1959, Mahkamah Agung telah memastikan kesamaan para janda jawa dengan
anak-anak mereka dalam pembagian harta pencarian.
Mahkamah Agung telah mengayunkan langkah panjang ke arah terbentuknya hukum
waris bagi seluruh Indonesia. Masih ada satu ketentuan mengenai hak janda untuk
mewaris, dan ketentuan ini berdasar atas konsep hukum adat. Haknya untuk mewaris
sudah pasti, tetapi pernikahan kembali dapat menyebabkan hilangnya hak atas barang
asal milik mendiang suaminya.
IV
Beberapa, tetapi tidak semua, hakim pengadilan yang lebih rendah merasa bahwa
Mahkamah Agung telah melangkah mengakah terlalu jauh menyimpang dari hukum adat,
sehingga Mahkamah tidak memperdulikan kenyataan sosial di beberapa daerah. Mungkin
sekali benar bahwa Mahkamah Agung tidak banya sentuhan dengan desa terutama di
beberapa daerah setidak-tidaknya dengan langkahnya memperkenalkan cita perkotaan ke
dalam keputusan-keputusannya.
Perubahan watak para hakim, yakni hakim Mahkamah Agung dan sebagian juga hkim
pengadilan yang lebih rendah penting artinya bagi system peradilan Indonesia. Pada
mulanya sesudah revolusi, para hakim bekerja untuk sebagian besar menangani perkara-
perkara atas dasar hukum adat seperti yang dilakukannya di masa sebelum perang, karena
pendidikan dan kebiasaannya membuatnya cenderung demikian. Akan tetapi secara
bertahap pandangan-pandangannya mulai berubah. Semakin lama ia semakin melibatkan
perhatian yang emosional dalam hukum, karena hukum adalah hukumnya juga. Tidak
dibatasi oleh hukum tertulis dan didorong oleh kepentingan perubahan sosial, ekonomi,
dan politik. Ia mulai memandang dirinya sendiri sebagai pemegang peranan pencipta
hukum yang terdepan, di samping juga sebagai pelaksana hukum.
Sebagian besar hakim Mahkamah Agung dewasa ini setuju dengan yurisprudensi hukum
waris baru, walaupun sebelumnya beberapa orang diantaranya memeprtanyakannya.
Dalam pikiran mereka langkah meninggalkan teknik peradilan yang lama adalah langkah
yang perlu dilakukan, demi kepentingan keadilan dan modernisasi.
Sampai datangnya saat para pembentuk undang-undang memberi batas bagi pengadilan
dengan menciptakan hukum tertulis baru, mungkin Mahkamah Agung sekali-kali
memperkenalkan pandangannya sendiri yang bercorak kota besar ke dalam hukum tidak
tertulis. Akan tetapi tidak ada kepastian bahwa badan pembentuk undang-undang atau
badan eksekutif akan berbuat sebaliknya. Lebih-lebih bila menyangkut aturan yang
secara ideologis diragukan. Sejauh yang berkait dengan hakim, banyak yang bergantung
kepada teknik peradilan ciptaan mereka yang memungkinkan mereka membimbing
negeri ini menuju ke arah terbentuknya hukum baru tanpa menempatkan hukum di luar
jangkauan masyarakat.
Bab II
Politik Pengembangan Kekuasaan Kehakiman
Pada tahun 1960 sang dewi dengan kain penutup mata dan neraca sebagai lambang
keadilan di Indonesia diganti dengan pohon beringin yang distilir, dibubuhi perkataan
yang berasal dari bahasa jawa Pengayoman – perlindungan dan pertolongan. Secara
umum disepakati bahwa lambang baru tersebut memang kena, walaupun ada komentar
yang sinis terhadap kemerosotan keadilan sejak berakhirnya revolusi (1945-1950).
Kebijaksanaan pemerintah kolonial di Hindia Belanda mengenai adanya empat golongan
rakyat yang berlainan; Eropa, Indonesia asli, Cina, dan “timur asing” lainnya, terutama
Arab. Ada dua struktur peradilan sekuler yang terpisah, satu untuk orang Indonesia asli
dan satu lagi untuk Eropa. Semua golongan penduduk tunduk kepada kitab undang-
undang hukum pidana yang sama.
Dalam hukum pidana, orang Cina dan orang Arab dianggap melebur dengan orang
Indonesia asli, dalam hukum dagang dianggap melebur dengan orang Eropa, dan dalam
hukum perdata selebihnya untuk sebagian dianggap melebur dengan orang Eropa dengan
kekecualian bagi hukum keluarga yang penting.
Suatu system hukum terdiri dari berbagai proses formal, yang melahirkan lembaga-
lembaga formal, bersama-sama dengan proses informal disekelilingnya. Dalam negara
modern lembaga sentrl system hukum adalah birokrasi, termasuk pula di dalamnya
pengadilan. Sumber kekuasaan suatu system hukum yang pertama-tama adalah system
politik yang keabsahannya (atau ketiadaan keabsahannya) meluas ke aturan-aturan
substansif yang diterapkan oleh system hukum, dan yang organisasi, tradisi, dan gayanya
menentukan seberapa jauh proses hukum tertentu digunakan (atau dapat digunakan)
untuk menyelenggarakan pengelolaan sosial untuk mencapai berbagai tujuan bersama.
Budaya hukum mempunyai kelebihan mampu menarik perhatian orang terhadap nilai-
nilai yang terkait dengan hukum dan proses hukum tetapi secara analitis dapat dibedakan
dengan hukum maupun proses hukum, dan sering dinyatakan berdiri sendiri.
Unsure budaya hukum yang substansif terdiri dari anggapan dasar mengenai distribusi
dan penggunaan sumber daya dalam masyarakat, benar dan salah di segi sosial, dan
sebagainya. Karena anggapan-anggapan ini berubah-ubah dari waktu ke waktu, karena
masyarakat itu sendiri pun berubah-ubah, konsep budaya hukum substansif memerlukan
unsur yang dinamis.
Lembaga-Lembaga
Kemerdekaan : Merasuknya Politik dan Melemahnya Hukum.
System hukum kolonial mulai berantakan semasa pendudukan Jepang. Terjadilah
perubahan semangat hukum tatkala hukum diterapkan oleh pemerintahan militer, dan
langkah pertama yang sangat berarti ke arah penyatuan terjadi pada saat itu, antara tahun
1942 dan 1945..
System hukum kolonial mulai berantakan semasa pendudukan Jepang. Terjadilah
perubahan semangat hukum tatkala hukum diterapkan oleh pemerintahan militer, dan
langkah pertama yang sangat berarti ke arah penyatuan terjadi pada saat itu, antara tahun
1942 dan 1945.
Bagi kaum birokrat, Revolusi menjanjikan perbaikan posisi sosial dan ekonomi.
Karenanya pegawai negeri, seperti halnya anggota masyarakat yang lain, diorganisasi
oleh kementrian untuk mendesakkan tuntutan-tuntutan perbaikan nasib atau untuk
mempertahankan diri terhadap tuntutan-tuntutan dari para pesaing yang mungkin timbul.
Di antara perselisihan-perselisihan yang lain, hakim, jaksa, dan polisi mulai bertngkar
sebelum revolusi berakhir.
Dampak kekacaubalauan persengketaan mengenai system hukum formal tersebut bersifat
mematikan. Semua sumber daya yang tersedia dimobilisasi oleh kubu yang saling
bermusuhan itu. Dengan meluasnya pertentangan politik, alas an logis ekonomi yang
terdapat di balik system hukum yang diwaris dari kekuasaan kolonial mulai berantakan,
dan fungsi ekonomi para pejabat hukum formal terhapus perlahan-lahan atau berubah.
Sifat pertikaian politik dan ideology di masa pasca perang di Indonesia membuat orang
jadi jauh lebih sulit untuk melepaskan ikatannya dengan satuan sosial yang lebih kecil
dan lebih aman itu. Sebagai akibatnya, bukan hanya alas an logis ekonomi melainkan
juga alas an logis sosial dan budaya untuk menopang tertib hukum mulai lenyap.
Posisi para ahli hukum, seperti halnya juga posisi sebagian besar kelompok yang
berketerampilan di sembarang masyarakat, tergantung kepada seberapa luas nilai-nilai
keahlian mereka diterima secara umum oleh subsistem kelembagaan.
Gambaran umum permainan politik adalah bahwa politik tidak berjalan sesuai dengan
aturan hukum, tetapi berlangsung sesuai dengan aturan pengaruh, uang, keluarga, status
sosial, dan kekuasaan militer. Pegawan negeri professional maupun masyarakat hukum
formal, keduanya memiliki hubungan yang erat dengan masa kolonial yang silam.
Orientasi para pemimpin politik dan ahli hukum, dilihatdari tipe-tipe sikapnya, sama
sekali bertentangan. Pihak yang akan menang adalah pihak yang dapat merebut hati
pendukung lebih besar, tidak ada pertanyaan sama sekali tentang hasilnya.
Pilihan Yurisdiksi
Keikutsertaan pihak luar yang resmi dalam menyelesaikan perselisihan mungkin
dikehendaki – dan dampaknya semakin sering karena berbagai alasan. Akan tetapi
pengadilan negeri, bukan satu-satunya pihak, dan bahkan mungkin juga bukan pihak
yang paling penting untuk menyelesaikan perselisihan.
Para pejabat pemerintah karenanya memainkan peranan penting dalam penyelesaian
perselisihan, bantuan yang seringkali memang sangat berguna apabila konsepsi birokrasi
negara sangat kuat. Di bidang peradilan sendiri, adanya pengadilan sekuler dan
pengadilan agama secara berdampingan melahirkan masalah wewenang untuk mengadili
yang lain. Pihak-pihak yang dirugikan dapat saja menghadap ke pengadilan dalam upaya
mereka untuk memperoleh kemungkinan yang lebih baik. Akan tetapi pengertian umum
dari kekuatan kekuasaan, status, pengaruh, dan karenanya juga “kewenangan” terpusat
diberbagai tempat.
Sekulerisasi
Sekulerisasi adalah sebuah tema yang sangat kentara dalam evolusi politik Indonesia
yang dapat memperkokoh pengaruh hukum formal. Kerangka hukum negara Indonesia
adalah sekuler, walaupun konsepsi-konsepsi politik dan hukum adatnya tidaklah
demikian. Meskipun demikian konsepsi hukum sekuler dan peranan-peranan resmi yang
merupakan penjabarannya sama cocoknya dengan sifat politik dan sosial kehidupan
nasional sebagaimana yang berlaku pada masa kolonial.
Penitik beratan pada “negara hukum” sejak akhir tahun 1965, betapapun lemahnya
kontrol hukum, dapat mencerminkan perhatian untuk menyempurnakan suatu medium
hubungan politik dan sosial nasional yang lebih bersifat sekuler.
Integrasi
Dorongan kuat untuk mewujudkan kesatuan merupakan kebijaksanaan yang terus-
menerus dianut oleh pemerintah Indonesia dimasa sesudah revolusi. Lembaga-lembaga
warisan masa penjajahan lainnya lebih sulit ditangani karena lembaga-lembaga itu
melayani golongn minorotas; catatan sipil dan balai harta peninggalan (wekamer),
misalnya, tidak disukai karena pelayanan khususnya, satu hal yang mengingatkan kepada
hak-hak istimewa bagi golongan Eropa, Cina, dan Kristen.
Pada tahun-tahun terakhir ini pengadilan juga melangkah lebih jauh dari hukum adat
dengan menguji sah tidaknya aturan-aturan hukum perkawinan yang termaktub dalam
BW. Perkembangan ini dirangsang oleh adanya pernyataan Mahkamah Agung tahun 1963
bahwa BW untuk selanjutnya hanya dianggap sebgai pedoman “hukum adat” bagi orang-
orang sebelumnya yang tunduk kepada BW.
Sekalipun demikian, pengadilan yang lebih rendah, seperti halnya satuan-satuan
administrasi, dapat dikesampingkan dari kepentingan lokal mungkin akan protes, seperti
yang dilakukan oleh para pemimpin. Yang lebih penting adalah bahwa lembaga-lembaga
nasional dan pandangan yng didesakkannya sudah tersedia, dan sewaktu-waktu terjadi
perubahan sosial besar-besaran, dapat diduga kedua-duanya akan dimanfaatkan dengan
kegairahan yang lebih besar. Begitu ia digunakan, lembaga-lembag tersebut mau tidak
mau dipengaruhi oleh permintaan yang tertuju kepadanya untuk melayani kepentingan
dan nilai-nilai lokal.
Batas-Batas Hukum
Ada tidaknya system hukum dan tekanan budaya yang kuat pada proses hukum saja
kurang menjelaskan mutu kehidupan sosial politik. Hal ini tidak menyebabkan hukum
jadi kurang menarik sebagai ajang penelitian atau kurang penting artinya sebagai sumber
daya sosial yang terpendam, tetapi hal demikian lebih menempatkan hukum pada tempat
yang rendah, tidak mandiri dalam kehidupan masyarakat yang menjadi wadahnya.
Sumbangan utama ilmuwan sosial terhadap pemahaman mengenai lembaga-lembaga
hukum pertama-tama bertolak dari persepektif yang lebih luas yang ia terapkan pada
hukumnya karena hal ini dikaitkan dengan landasan penting kekuasaan politik, perilaku
ekonomi, struktur sosial, dan kebudayaan. Hubungan-hubungan ini tidak dapat lebih jelas
diamati selain di negara-negara baru, yang lembaga-lembaga hukum warisan masa
silamnya dipaksa menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial yang bgerubah secara
mendasar.
Bab V
Tentang Pokrol Bambu :
Pelapisan, Perwakilan dan Perantaraan
Pokrol bambu adalah jenis orang setengah ahli yang memperoleh pengetahuannya dengan
upaya yang keras, dan mudah dipakai sebagai prototype, atau mungkin bentuk ideal, dari
jenis pekerjaan setengah ahli pada umumnya.
Sementara para pokrol bambu mungkin ada di sebagian besarmasyarakat, bentuk mereka
bermacam-ragam mulai dari pokrol bambu yang sangat maju di Indonesia, vakeel dan
pemberi informasi.
Asal Usul
Pokrol bambu terbentuk di masa kolonial, semasa Indonesia masih disebut Hindia
Belanda, dan bentuk demikian tampaknya biasa dijumpai di negeri-negeri jajahan
lainnya. Profesi hukum di tanah jajahan ini dikuasai oleh para advokat Belanda,yang erat
terjalin dengan masyarakat Belanda dan perdagangan golongan Eropa.
Munculnya advokat di Indonesia asli mendorong sedikit lebih banyak lagi orang
Indonesia yang memanfaatkan jasa penasehat hukum yang berpendidikan. Pekerjaan
pokrol bambu tumbuh dengan sepenuhnya, pada tahun 1920-an tatkala beberapa diantara
mereka memandang diri mereka sendiri dalam perspektif keahlian. Pada suatu waktu, di
tahun 1927 sejumlah pokrol bambu membentuk organisasi yang kini dikenal dengan
PERPI (Persatuan Pengacara Indonesia), yang masih tetap berdiri dengan lingkup yang
lebih sempit, dan berkantor pusat di Surabaya, Jawa Timur. Satatus pokrol bambu tidak
pernah bertambah baik, dan para advokat ahli dapat mencegah mereka untuk memperoleh
pengakuan resmi sampai sekarang.
Dari sudut pandang pokrol bambu, secara politis penting artinya bahwa advokat
professional, yang dewasa ini hampir 400 orang atau lebih sedikit lagi di seluruh
Indonesia, masih belumdapat menghimpun kekuatan yang dapat digunakan untuk
memaksakan pengaruh mereka terhadap pembentukan undang-undng yang penting
mengenai keacaraan.
Bentuk
Siapakah pokrol bambu itu ? seperti para advokat, titik berat operasi mereka yang utama
(tetapi bukan satu-satunya) sebagian besar adalah pengadilan. Mereka secara kasar dapat
dikelompokan asal-usul keahlian, dan gayanya sebagai berikut :
1). Mantan panitera atau penata usaha pengadilan.
2). Mahasiswa hukum yng tidak lulus.
3). Generalis amatir (tetapi sering sangat ahli juga).
4). Spesialis amatir. Pokrol bambu jenis ini lazim dijumpai sesudah revolusi, walaupun
prototipenya mungkin sudah ada di masa kolonial. Sepesialis amatir bekerja dengan
hanya satu jenis persoalan.
Ada satu lagi ciri yang melekat pada sebagian besar pokrol bambu. Mereka berasal dari
lapisan bawah masyarakat dank lien merekapun dari lapisan bawah pula.
Pandangan Para Ahli :
Jumlah pokrol bambu jauh lebih banyak dari advokat, jumlah mereka mungkin beribu-
ribu. Kecuali PERPI, dengan anggota kira-kira sebanyak 90 orang, mereka tidak
terorganisasi. Beberapa diantaranya jujur, beberapa lagi sama sekali tidak jujur, seperti
juga halnya dengan advokat, beberapa diantaranya paham hukum, beberapa yang lain
tidak.
Salah satu masalah terbesar di bidang peradilan dewasa ini adalah prokol bambu. Di
samping tidak memahami hukum acara secara persis sehingga kerja hakim menjadi lebih
sulit, pokrol sering juga korup dan tidak dapat dipercaya. Pokrol adalah biang keladi
terpenting naiknya jumlah perkara sejak revolusi (11 November 1959).
Pamong praja setempat bersikap lebih mencurigai pokrol bambu, yang dianggapnya
sebagai sumber utama pertikaian dan gugat menggugat di pedesaan. Pokrol bambu yang
berkeliaran di desa-desa untuk mencari-cari pertikaian yang dapat dibawanya ke
pengadilan karenanya dianggap sebagai penyakit sampar.
Para advokat adalah orang yang paling sengit menyerang pokrol bambu. Dari sudut
pandang advokat pokrol bambu tidak hanya pesaing. Mereka tidak dapat dikendalikan
dan diawasi, tidak terikat oleh kode etik, merendahkan hukum dan profesi hukum.
Peraturan
Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) selalu mendesak agar pemerintah membuat
peraturan mengenai kepengacaraan, tetapi sejauh ini masih belum berhasil. Para ahli
hukum dalam birokrasi, termasuk banyak hakim, cenderung bersikap agak bertentangan
terhadap advokat karena berbagai alasan, dan diantara mereka terdapat pikiran bahwa
advokat hendaknya jangan memperoleh keuntungan berupa monopoli untuk melakukan
praktek hukum.
Pada awal tahun 1960-an menteri kehakiman Astrawinata mengeluarkan peraturan yang
menentukan bahwa prokol bambu harus mendaftar di pengadilan negeri. Selanjutnya
mereka harus diuji oleh para hakim terutama mengenai pengetahuan keacaraan agar dapat
diperoleh kepastian bahwa pokrol bambu layak untuk melakukan prakteknya.
Pada tahun 1969 pengadilan tinggi mengeluarkn peraturannya sendiri untuk pokrol
bambu, yang juga berlaku bagi para advokat, dan peraturan itu masih tetap berlaku.
Pokrol bambu hnya dapat disirnakan, andaikata dapat, dengan menggantikan tempatnya
dalam pelayanan sosial dan hukum sekarang ini. Bagaimanapun, sebegitu jauh khalayak
yang dilayani oleh pokrol bambu jarang berhubungan dengan berbagai program bantuan
hukum yang ada, apapun yang dijanjikan di masa depan. Selain itu, masih ada beberapa
persoalan lainnya apakah advokat dan para mahasiswa hukum, yang ikut serta juga dalam
berbagai jenis pelayanan bantuan hukum, dapat memberi pelayanan semacam pelayanan
yang ditawarkan oleh pokrol bambu.
Paling sedikit ada tiga proses yang dapat ditempuh dalam unifikasi kelembagaan.
Pertama, proses bertahap setapak demi setapak. Dalam proses ini secara spasial lembaga-
lembaga itu menyebar, tetapi secara fungsional di bawah tekanan ekonomi dan politik
atau dimana karma pengaruh lembaga tersebut lembaga itu berkembang, maka mereka
akan menyerap atau menghapus semua lembaga lainnya yang menjalankan fungsi yang
sama.
Pada tahap perubahan ini elite lokal harus mengikuti arah tujuan nasional, dengan diam-
diam menyingkir atau disapu bersih, tetapi bagaiamanapun perlengkapan kelembagaan
lama mereka cenderung lenyap.
Pada tahap yang lebih kemudian, tatkala revolusi sudah terkonsolidasi, dan lembaga-
lembaga baru harus secara konsisten menjalankan fungsinya sebagaimana yang
diharapkan.
Unifikasi pengadilan di Indonesia meliputi ketiga unsur tersebut di atas. Mulai pergantian
abad kedua puluh sampai saat penyerbuan Jepang pada tahun 1942, unifikasi hukum dan
pengadilan merupakan bahan pembicaraan tetap di tanah jajahan ini. Dorongan pertama
ke arah unifikasi yang menerobos batas ras dan kesukuan datang dari liberalisme kolonial
dan gerakan Etis, yang kedua-duanya tidak bertahan lama di abad kedua puluh.
Selama kurun waktu itu, yakni di tahun-tahun terakhir masa penjajahan, unificatiedrang
(dorongan ke arah unifikasi) bagaimanapun tumbuh lebih kuat dikalangan elite Indonesia.
Tatkala bala tentara Jepang menyerbu pada tahun 1942, para pemimpin Indonesia masih
tetap menyimpan gagasan unifikasi dalam pikiran mereka. Dan unifikasi itu terlaksana
secara sempurna pada masa pendudukan.
Revolusi
Tanpa revolusi, konsep-konsep yang dijunjung oleh hukum kolonial tidak diragukan lagi
akan memperlamban proses unifikasi kelembagaan, karena konsep-konsep
tersebutmenguntungkan elite lokal dalam pertarungannya yang tidak terelakkan melawan
kekuasaan nasional. Sebagaimana yang terjadi, peristiwa-peristiwa revolusioner
menuntun ke arah kehancuran kekuasaan lokal yang lama dibeberapa daerah,
mengakibatkan dukungan simbolis system hukum tidak bermakna.
Selain itu, awal revolusi melawan kembalinya Belanda membawa serta arus baru faham
kesamarataan, tetapi pada akhirnya merosot kecuali pada satu waktu dahulu pernah
mempunyai pengaruh yang besar.
Langkah penting berikutnya ke arah unifikasi pengadilan di masa revolusi adalah
pengundangan undang-undang baru tentang organisasi pengadilan pada bulan juni 1984.
undang-undang ini belum sempat dilaksanakan karena Belanda menduduki Yogyakarta,
dan beberapa undang-undang baru belakangan dirancang sesudah pengakuan kedaulatan.
Minat para ahli hukum Kementrian Kehakiman yang terus bertambah besar untuk
menuntaskan unifikasi sistem pengadilan dapat dilihat melalui beberapa pasal. Undang-
undang tahun 1948 yang perlu disebut secara ringkas. Para pejabat kehakiman nasional
mengembangkan sejenis strategi bertahap, berdampingan dengan pendekatan yang lebih
keras, untuk menghadapi kekuasaan lokal di Luar Jawa.
Berbeda dengan keadvokatan Eropa, keadvokatan Indonesia tidak tumbuh sejak masa
silam yang lama dalam sejarah Indonesia. Model advokat Indonesia dengan sendirinya
adalah seperti advokat Belanda. Pekerjaan keadvokatan lebih merupakan kekaryaan yang
tidak banyak diatur oleh negara, dan jumlah advokat biasanya tidak ditentukan oleh
negara, walaupun organisasi advokat lokal dapat mengemukakan pendapatnya mengenai
jumlah itu. Banyak sedikitnya permintaan akan jas advokat, untuk sebagian tergantung
kepada berapa besar manfaat dan kebiasaan orng berperkara.
Di Hinia Belanda, sampai pertengahan tahun 1920-an, semua advokat dan notaries adalah
orang Belanda.kecil jumlah pengaruh advokat Inonesia segera sesudah kemerdekaan,
setidak-tidaknya untuk sebagian, adalah karena keterlambatan kesertaan mereka dalam
profesi ini.
Pemerintah kolonial tidak pernah mendorong orang-orang Indonesia untuk melakukan
pekerjaan pengacara. Anggapan dasar kemajemukan kolonial di Hindia Belanda mengikis
minat serupa itu dari bayangan mereka. Tingkat tertinggi perdagangan ada di orang-orang
Eropa, dan para pengusaha wajar bila mengendalikan advokat dan notaries Belanda.
Masyarakat Indonesia tidak lebih represif terhadap kemungkinan hadirnya advokat
Indonesia daripada masyarakat Belanda. Atau setidak-tidaknya masyarakat Jawa lah yang
berpandangan demikian, dan pada mulanya hanya orang-orang Jawa lah yng belajar
hukum.
Pendidikan hukum, seperti berbagai jenis pendidikan lainnya, berkembang lamban di
Hindia Belanda. Tatkala pemerintah di Batavia mengumumkan akan mendirikan sekolah
hukum bagi orang Indonesia, para ahli hukum Belanda menentang gagasan itu dengan
alasan bahwa “orang pribumi” tidak siap untuk memenuhi tuntutan pendidikan dan
pekerjaan hukum yang berat.
Rechtschool ini sebenarnya adalah sekolah hukum menengah, yang siswanya masuk
dalam usia pertengahan belasan tahun mengikuti pendidikan selama enam tahun. Sesudah
kemerdekaan dibentuklah himpunan ahli hukum, salah satu diantaranya, PAHI, menerima
rechtskundigen sebagai anggota, sedang yang lain ISHI, membatasi keanggotaannya pada
mereka yang bergelar penuh.
Dengan tersedianya pendidikan hukum, faktor perubahan yang perlu untuk menghasilkan
advokat dari kalangan orang Indonesia adalah sikap orang terhadap jabatan pegawai
negeri.
Advokat pertama di Indonesia adalah Mr. Besar Martokusumo (sebuah model yang bagi
sementara orang bersifat sama), yang juga membantu advokat Indonesia lainnya untuk
memulai karier sebagai advokat.
Hampir semua advokat, pada mulanya terdiri dari orng Jawa, serta satu sama lain
mengenal dengan baik serta bekerja sama di bidang pekerjaan maupun politik. Advokat
keturunan Cina mulai muncul pada tahun 1920-an akhir. Hampir semua berasal dari
keluarga peranakan – yakni lahir di Indonesia. Sementara sebagian kecil dari mereka
memegang jabatan di pengadilan dan pemerintahan pusat, kebanyakan menjadi advokat
karena mereka mempunyai landasan ekonomi yang alamiah di dunia dagang golongan
Cina, yang memberi mereka hubungan, dukungan dank lien yang boleh dibilang tetap.
Bagi advokat asli maupun keturunan Cina, memulai praktek adalah langkah sulit. Banyak
advokat Belanda menganggap mereka sebagai ancaman dalam persaingan. Hampir
mustahil bagi pendatang baru memperoleh tempat dalam kantor advokat Belanda yang
sudah mapan. Pengalaman demikian lumrah terjadi. Hal itu, berarti bahwa para advokat
baru, kecuali kalau mereka dapat bergabung dengan kantor advokat Indonesia, harus
memulainya dari awal tanpa pengalaman maupun klien.
Kelas advokat Indonesia semula adalah kecil, sebagian karena struktur perekonomian
kolonial tidak banyak mendukung dan juga karena sedikit saja jumlah orang muda bangsa
Indonesia yang mempunyai biaya untuk belajar hukum siap melakukan lompatan dari
kerja dari lapangan pemerintah ke lapangan kerja swasta.
Jumlah penduduk Indonesia yang berpendidikan hukum (termasuk keturunan Cina)
sangat kecil. Pada tahun 1940, tatkala Indonesia berpenduduk kira-kira tujuh puluh juta
orang, terdapat kira-kira 350 orang (non Belanda) sarjana Hukum, terdiri dari sekurang-
kurangnya 274 orang Indonesia asli dan (hanya kira-kira) 50 sampai 75 orang keturunan
Cina.
Advokat juga secara politis menaruh perhatian dan ikut berkiprah di dalamnya. Dalam
masyarakat hukum sesudah kemerdekaan, sejarah politik advokat dan sarjana hukum
pegawai pemerintah yang berbeda ini untuk jangka waktu tertentu menimbulkan
ketegangan secara terselubung dan, seringkali merugikan pihak advokat.
Sebagian dari sebab mengemukanya para advokt dalam dunia politik, seperti
dikemukakan Weber tentang advokat pada umumnya adalah, bahwa mereka itu dapat
membagi waktu mereka secara lebih leluasa dan lebih luwes daripada para sarjana hukum
pegawai pemerintah.
Politik nasionlis para advokat di masa sebelum perang berbentuk beraneka ragam.
Kiranya dpat dikemukakan, walaupun sekedar sebagai dugaan, bahwa 75 persen dari
advokat Indonesia sedikit banyak yang secara organisasional terlibat dalam gerakan
nasional sebelum perang. Organisasi utama yang dimasukinya adalah PNI, partai yang
dipimpin terutama oleh nasionalis – keturunan priyayi yang dientuk pada tahun 1927.
Karena kebanyakan advokat adalah nasionalis dari jenis yang satu atau jenis lainnya,
mereka juga berorientasi nasional. Para advokat juga hilir-mudik ke seluruh negeri, untuk
menjalankan urusan bisnis ataupun untuk pesiar, dan jaringan kota-kota dagang di
seluruh kepulauan ini mereka kenal dengan baik. Kehidupan pribadi mereka dalam
banyak hal bersifat khas kehidupan orang kota lapisan menengah atas.
Berorientasi pada bangsa sebagai kesatuan, pada nasionalisme, dan pada kehidupan dan
pandangan yang bersifat perkotaan, para advokat pada umumnya juga berorientasi pada
perubahan politik, ekonomi dan sosial yng bersifat nasional. Perubahan-perubahan
tersebut memerlukan perntaraan advokat, dan kesemuanya tidak dapat dipenuhi dengan
dilestarikannya lembaga dan kekuasaan lokal.
Pandangan advokat terhadap lembaga hukum sangatlah jelas. Advokat adalah kelompok
yang mula pertama tidak menginginkan dilestarikannya pengadilan adat, karena
pengadilan ini merupakan simbol kekuasaan lokal tradisional, yang tidak dapat mereka
masuki dan yang bertentangan tajam dengan pengadilan formal di daerah perkotaan yang
menjadi arena pemupukan karier para advokat.
Kemerosotan professional para advokat sesudah tahun 1950 dalam beberapa hal lebih
rumit. Para advokat sendiri sering memulangkan sebab-sebabnya pada sebab-sebab
politik dan hukum yang berlangsung atau, lebih kabur, terhadap para pemimpin politik
terhadap proses hukum, dan tidak adanya khalayak yang sadar akan hak-haknya.
Kedua, para advokat tidak mengembangkan tempat berpijak yang kokoh dalam
perekonomin golongan pribumi atau masyarakat Indonesia di masa kolonial, tidak pula
terlihat kecenderungan bahwa mereka dapat melakukannya.
Ketiga, advokat Indonesia secara kelembagaan terikat kepada struktur administrtif
kolonial golongan Eropa. Peranan mereka yang khas dalam sejarah hukum Indonesia
sangat berkaitan dengan masalah adaptasi professional mereka di masa sesudah
kemerdekaan.
Pada umumnya advokat menanggapi perubahn disekitar diri mereka secara konservatif,
kadang-kadang secara kaku, dan sering kali dengan berani mempertahankan prinsip asli
peranan professional mereka.
Para hakim, jaksa, notaries, birokrat dan para pejabat hukum lainnya, yang juga
mengalami hambatan fungsi, bagaimanapun menyesuaikan diri lebih mudah daripada
advokat dalam kondisi-kondisi baru itu. Diantaranya, mereka masih tetap bekerja, sedang
para advokat banyak yang tidak lagi melakukan pekerjaan yang penting selama beberapa
tahun berlangsungnya revolusi.
Profei keadvokatan tetap bertahan dengan diwarnai ketulusan, sebagaimana ditempat-
tempat lain mana pun sebagian besar advokat menjalankan pekerjaan mereka untuk
mencari nafkah, dn bila peran mereka sebagai perantara menuntut ditempuhnya prosedur
yang korup, banyak juga diantara mereka yang melakukan itu. Akan tetapi profesi ini
dengan mantap tetap bertahan hidup, tetap memelihara beberapa cita-cita yang khusus
melekat pada profesi keadvokatan. Cita-cita ini bersangkut-paut dengan hak-hak pribadi,
keadilan keacaraan, dan perlindungan terhadap kekuasaan pemerintah.
Bab VIII
Kekuasaan Kehakiman dan Penegakan Negara Hukum :
Sebuah Sketsa Politik
Van Vollenhoven mempelajari adat Indonesia dari laporan penelitian para pejabat, yang ia
bantu dengan melatih mereka cara-cara menghimpun data, dan dari laporan penelitian
para mahasiswanya dan mahasiswa mereka.
Van Vollenhoven tidak dapat ditentang agar berubah dalam prinsip, sedang dalam materi
adat ia jelas tidak terlalu terbuka untuk menerima perubahan. Selain itu, rasa keadilannya
menyebabkan Van Vollenhoven cenderung melindungi masyarakat Indonesia terhadap
serangan gencar kekuasaan kolonial. Singkatnya, apa hak orang Eropa untuk
memaksakan perubahan terhadap orang Indonesia ?
Persoalan Islam memperuwet pandangan Van Vollenhoven ini. Islam bukan hanya
sekedar unsur dari luar, seperti unsur-unsur lainnya, yang pengaruhnya terhadap adat
selalu dibesar-besarkan oleh para pengamat sebelumnya. Akan tetapi, di samping
persoalan ini, ia juga khawatir bahwa tiap perubahan tertib sosial yang menguntungkan
Islam, selalu merupakan tantangan besar bagi para penguasa adat tradisional, untuk tidak
menyebut tantangan besar bagi kesetabilan pemerintah kolonial dan ketenangan orang
Belanda.
Adatrechtpolitiek tidak bertahan dalam alam kemerdekaan, kesatuan, bukan keseragaman,
menjadi semboyan kegandrungan negara baru itu. Selama revolusi kelompok-kelompok
lokal di beberapa daerah menghapus pengadilan adat mereka sendiri dan
menggantikannya dengan lembaga-lembaga nasional, yang dalam satu-dua kasus
belakangan mereka sesali, meskipun sudah terlambat.
Van Vollenhoven mungkin mempunyai pikiran yang sama tentang masa depan adat yang
perlu dipertimbangkan.
Orang Indonesia yang mengenalnya atau membaca tulisannya mengakui sifat paradoksal
pakar terkenal itu, yang masih melakat tetapi dengan cepat memudar, dalam pengetahuan
hukum adat di Indonesia. Tidaklah sulit untuk menggolongkan Van Vollenhoven ke dalam
kelompok dalang kebijaksanaan kolonial devide et impera dalam jenisnya yang cerdik,
tetapi yang hanya dilakukan oleh sedikit orang.
Bila adatrechtpolitiek dimusnahkan, dengan tujuan baik atu buruk, masih juga ada
sesuatu yang tetap tersisa, yang boleh jadi merupakan wrisan karya Van Vollenhoven
yang paling menarik. Warisan itu adalah penghormatannya yang asasi terhadap hukum
dan nilai-nilai lokal, penghargaan yang benar-benar penuh dengan perasaan kasih-sayang
terhadap perbedaan-perbedaan diantara umat manusia, yang berlawanan dengan pola
organisasi negara modern manapun.
Pikiran dan pandangan Cornellius Van Vollenhoven cukup mengesankan sehingga
menyebabkan kegagalan-kegagalannya pun patut direnungkan dengan sungguh-sungguh.
Buku baru itu membuka kemungkinan baginya untuk dapat dijangkau oleh khalayak yang
lebih luas yang memang pantas untuk bobot karyanya.
Bab X
Hukum Kolonial dan Asal-Usul Pembentukan Negara Indonesia
Hukum adalah lapisan yang kaya untuk digli, karena hukum mencatat (secara harfiah)
struktur negara dan memberi gambaran (tanpa tedeng aling-aling) pembagian keuntungan
politik, sosial dan ekonomi.
Di negara-negara modern hukum dan proses hukum pada umumnya merupakan unsur
penting hegemoni (Gramscian Hegemony) yang menetapkan dan mengabsahkan
hubungan-hubungan penguasa dan warga negara.
Hukum yang majemuk, yang dikelola secara majemuk, ditujukan untuk melancarkan
tugas berbagai fungsi yang sangat berlainan dan khusus untuk masyarakat Belanda dan
Indonesia. Lembaga-lembaga yang dibentuk untuk menata masyarakat Indonesia di masa
kolonial diteruskan di masa kemerdekaan, dengan segala sifat lamanya.
Kemajemukan
Di semua tanah jajahan pengerukan kekayaan yang efisien memanfaatkan spesialisasi dan
kemajemukan etnis, tetapi hanya beberapa yang lain, jika ada menciptakan kemajemukan
hukum dan kelembagaan yang begitu tepat sama dengan Hindia Belanda.
Belanda dan kadang-kadang memperlakukan bangsa Indonesia secara lain (misalnya,
vervreemdingsverbod tahun 1970, yang melarang pemindahan hak milik atas lahan orang
Indonesia kepada pihak asing) tetapi tidak pernah selain sebagai pemantas saja
menentang adanya perbedaan-perbedaan unsur, kemajemukan ekonomi, sosial dan politik
kolonial. Biasanya, mereka justru memperkokoh perbedaan-perbedaan tersebut dengan
cara yang lebih canggih dan halus.
Logika kemajemukan dan pemerintahan tidak langsung Hindia Belanda menuntut
diperlengkapinya dengan baik masyarakat Belanda dan Indonesia dan lembaga-lembaga
yang mereka perlakukan untuk memainkan peranan mereka yang sudah ditentukan, tetapi
pihak Indonesia harus disiapkan agar menempti derajat yang lebih rendah daripada pihak
Belanda. Hal ini berarti adanya dua birokrasi, yang satu merupakan bawahan yang lain,
termasuk juga adanya dua system peradilan yang hubungannya serupa.
Ada tiga pengadilan pemerintah untuk orang Indonesia: pengadilan distrik (kawedanan)
untuk perkara ringan; pengadilan kabupten untuk perkara-perkara yang lebih besar; dan
akhirnya landraad di setiap ibu kota kabupaten. Ke landraad-lah semua perkara pidana
atau perdata yang penting-penting diantara orng Indonesia dan orang-orang yang
dimasukan ke dalam status orang Indonesia diajukan.
Berlawanan dengan Belanda, landraad adalah badan yang relatif informal, yang
mencerminkan sebagian pandangan Belanda terhadap kebiasaan hukum dan kebutuhan
sosial orang Indonesia.
Oposisi terhadap system peradilan yang majemuk tidak pernah lenyap, tetapi oposisi itu
tidak juga mencapai jumlah yang cukup berarti. Karena kelambanan saja tidak dapat
mempertahankan tata susunan yang rumit itu, gagasan dan kepentingan yang
menghendaki kemajemukan mulai dilengkapi dengan perlindungan yang cukup.
Walaupun sering ditentang, oleh sementara orang karena alasan-alasan liberal yang baku,
dan oleh sementara orang yang lain karena suatu negara kesatuan tampak sebagai sarana
yang lebih baik untuk melestarikan pnguasaan atas tanah jajahan yang secara politis
semakin mudah berubah, system hukum yang majemuk itu tetap tegak sampai datangnya
masa pendudukan Jepang.
***
Gagasan LBH benar-benar baru, lebih banyak diilhami oleh ideologi sosial dan politik
yang di dalamnya konsep legalitas merupakan tema intinya daripada premis-premis
hukum.
Sebelum tahun 1965 satu-satunya bentuk bantuan hukum yang dikenal oleh sebagian
besar advokat adalah pembela perkara yang ditunjuk oleh pengadilan. Sejak zaman
penjajahan para advokat professional memandang tanggung jawab membela secara gratis
sebagai beban yang harus dipikul sewaktu-waktu, namun dapat, jika perlu, dihindarkan..
Para advokat Indonesia selalu bangga akan kemandirian mereka, menolak jaminan dan
status jabatan birokrasi yang disukai oleh kebanyakan lulusan hukum. Kini kemandirian
mereka (dan rasa bangga mereka) dijungkirkan oleh para pejabat pemerintah yang
menjadi penentu keabsahan profesi mereka.
Pada tahun 1966 PERADIN bekerjasama dengan himpunan-himpunan hakim, jaksa, dan
polisi membentuk organisasi Pengabdi Hukum yang tujuannya meluruskan
penyelewengan proses hukum dan memulai mengadakan perombakan dari dalam system
hukum sendiri.
Pengabdi Hukum adalah cermin dipertahankannya otonomi system hukum, suatu upaya
yang menarik namun tidak bakal lestari yang dilakukan oleh para sarjana hukum yang
berpraktek swasta maupun yang bekerja pada pemerintah untuk memperbaharui proses
hukum.
Memasuki tahun 1969 Pengabdi Hukum mulai memudar pamornya, karena para sarjana
hukum pegawai pemerintah secara tahap mundur. Ironisnya, ketua terakhir organisasi itu,
sebelum lenyap keperiadaannya, adalah seorang advokat.
Melenyapnya pengabdi hukum bersamaan waktunya dengan semakin besarnya perasaan
kecewa dikalangan kelompok luar golongan sipil di awal Orde Baru. Sejak akhir 1960-
an, para advokat, seperti kebanyakan cendekiawan dan mahasiswa, di antara yang lain-
lain, agak berselisih pandangan dengan pemerintah.
Dikeluarkannya para advokat dari system hukum yang resmi, disamping adanya
pandangan aktivis atau profesi itu, menumbuhkan pandangan baru tentang bantuan
hukum. Pelayanan prodeo lazim dipahamkan sebagai kewajiban yang harus dipenuhi
terhadap system hukum. Maka, selama kurun waktu Demokrasi Terpimpin beberapa
advokat sebagai pembalasan terhadap pihak pengadilan, melangkah sedemikian jauh
dengan menolak bertugas sebagai pembela prodeo.
Mengorganisasi LBH pada mulanya terutama adalah persoalan perekrutan sarjana-sarjana
hukum muda usia yang cocok untuk menangani beban perkara. Semula diperkirakan
orang-orang muda tersebut hanya akan bertugas selama beberapa tahun sebelum mereka
membuka praktek sendiri, menggantikan dunia keadvokatan dengan darah yang segar dan
di segi sosial memiliki kesadaran yang tinggi. Ternyata kejadiannya tidaklah seperti yang
diharapkan itu, walaupun selama bertahun-tahun staff LBH secara bertahap
meninggalkan lembaga itu untuk membuka kantor keadvokatan mereka sendiri.
Para sarjana hukum yang masih muda usia, para wartawan, cendekiawan, penulis, sarjana
yang sehaluan dengan LBH berhimpun di dalamnya, mengembangkan gagasan-gagasan
dan hubungan yang jauh melampaui dunia hukum formal yang terbatas.
***
Kerja pokok sehari-hari LBH adalah memberi konsultasi hukum kepada orang-orang
miskin – konsultasi di kantor LBH dan dalam berperkara di pengadilan. Berbeda dengan
bantuan hukum gratis dari sejenisnya yang umumnya sering terbatas pada perkara pidana
saja, posisi LBH adalah sebagai pemberi bantuan hukum bagi masalah hukum orang
miskin baik yang bersifat perdata maupun yang bersifat pidana.
Sekalipun demikian, sama pula pentingnya jenis perkara yang LBH bersedia
membelanya. Andaikata LBH hanya berperan melayani fungsi korektif, lembaga ini
barangkali dapat menghindari kasus-kasus yang merepotkan karena kerapuhan politisnya
terhadap gangguan dari luar (political vulnerability).
LBH juga hampir selalu menjadi pembela dalam perkara-perkara politik. Hal yang
demikian memang wajar mengingat tradisi yang melekat pada karya keadvokatan
professional. Perkara-perkara politik juga biasa bagi LBH, dalam artian bahwa perkara-
perkara itu sesuai dengan perspektifnya mengenai perubahan yang pada dasarnya bersifat
politik. Kasus-kasus demikian membuka peluang penting bagi kritik hukum dan kritik
politik.
Walaupun fungsinya sebagai penasehat professional, baik dalam perkara sehari-hari
maupun dalam perkara-perkara politik yang dramatis mempunyai arti yang penting,
fungsi tersebut bukan satu-satunya lagi bagi LBH.
Jika ketidakberdayaan golongan miskin tidak hanya sekedar di bidang hukum, tetapi juga
dalam hal-hal yang bersifat ekonomi, sosial, dan politik, maka bantuan hukum, agar dapat
benar-benar efektif, harus ditujukan ke arah dirombaknya batu alas tempat bertumpunya
kesengsaraan masyarakat. Inilah yang menjadi makna bantuan hukum structural, istilah
yang dipinjam dengan antusias karena istilah ini dapat memperlihatkan dengan tepat
tujuan LBH.
Walaupun dana dan tenaga LBH terbatas, lembaga ini dikenal dengan cepat dan meluas,
yang untuk sebagian dengan mengaitkannya dengan kelompok-kelompok utama yang
sama-sama menaruh perhatian terhadap terselenggaranya perubahan.
Dengan memanfaatkan pers, LBH secara tetap melancarkan kritik dalam hal menyangkut
kebijaksanaan proses hukum dan proses-proses yang terjadi di belakangnya. Ini menjadi
sumber paling terkemuka untuk kritik sosial dan politik. Diperlukan sedikit lagi waktu
untuk menyebarkan reputasinya secara internasional di bidang bantuan hukum dan
jaringan hak asasi manusia. Pada tahun 1970-an akhir secara umum diakui bahwa
LBHadalah organisasi bantuan hukum di Asia Tenggara yang paling aktif dan inovatif.
***
Keberhasilan LBH dalam bertahan, setidak-tidaknya, dan dalam melaksanakan program
yang tulus yang berkenaan dengan persoalan yang nyata – menarik perhatian advokat di
seluruh Indonesia. Pada tahun 1971 – 1972 pun para advokat di kota-kota besar di Jawa
dan luar Jawa minta agar LBH membantu mendirikan cabang-cabang di daerah.
Pada tahun 1978, LBH, yang pada tahun 1973 dilarang (oleh Kopkamtib) untuk
beroperasi di luar Jakarta, diizinkan (oleh Departemen Dalam Negeri) untuk membuka
cabang di daerah-daerah.
Pada tahun 1979 organisasi yang memerintah, Golkar, ikut serta dalam kegaiatan bantuan
hukum, seolah-olah menurut pendapat banyak orang, didirikan untuk menyaingi LBH,
yang sudah sangat populer untuk dikesampingkan.
Seperti halnya kebanyakan orgnisasi bantuan hukum, walaupun lebih baik pendanaannya
dan dengan jaringan cabang yang lebih teratur, LPPH membatasi kegiatannya terutama
dalam pemberian nasehat. LBH tetap dengan ciri khasnya yang berupa ideologi
perubahan sosial dan hukum yang disertai dengan program yang luas untuk menangani
persoalan perubahan.
***
Satu hal yang penting bagi gerakan bantuan hukum adalah cukup besarnya jumlah
pengacara yang tidak puas. Secara langsung sebagai tanggapan terhadap kebijaksanaan
ekonomi yang cenderung mendorong penanaman modal swasta, karya keadvokatan
berkembang pesat.
Tidak juga semua advokat baru merasa tidak puas. Kebanyakan yang dapat mengambil
keuntungan dari kesempatan memperoleh pendapatan yang tidak pernah diimpikan
sebelumnya, menjaga jarak, dalam kesenangan hidup yang belum pernah dinikmati
sebelumnya, dari persoalan politik, sosial, dan kesulitan-kesulitan kerja di sidang
pengadilan yang menggunung.
LBH dan organisasi bantuan hukum lainnya mempunyai persediaan sarjana hukum yang
masih muda-muda (dan kadang kala juga bukan sarjana hukum) yang ingin menyalurkan
ketertarikan terhadap politik dan sekaligus juga memperoleh pekerjaan.
Penghargaan terhadap LBH tidak hanya berasal dari kliennya yang miskin dan tidak
berpengaruh, tetapi yang penting adalah dari unsur-unsur pengusaha dan kaum
professional kelas menengah yang berpengaruh yang dukungannya semakin besar.
Adapula jalinan intelektual yang akrab antara tenaga pengacara LBH dan staff redaksi
Prisma, jurnal populer ilmu-ilmu sosial yang terkemuka di Indonesia.
Yang lain adalah gerakan hak asasi manusia internasional. LBH telah menjalin hubungan
penting dengan organisasi bantuan hukum dan hak asasi manusia di Eropa, Amerika
Utara, Australia, dan Asia Tenggara. Reputasi internasional LBH tidak diragukan lagi
memberi kekebalan politik di Jakarta.
Dalam tinjauan jangka panjang arti penting bantuan hukum yang lebih pelik dan rumit
boleh jadi sebagian besar bersifat ideologis. Daya tarik LBH dan gerakan bantuan hukum
bagi banyak pengacara, cendekiawan, dan lain-lainnya tidak hanya sebagai saluran
pelepas energi politik, akan tetapi sebagai tempat pemahaman alternatif organisasi dan
tujuan politik dan sosial.
Bantuan hukum membantu mengisi ruang yang tersedia bagi perdebatan. Implikasi
ideologinya terutama negara hukum, dengan makna-makna yng meluas dari jaminan
kepastian hukum yang sempit keharapan kesamaderajatan yang optimis – menarik
perhatian orang banyak yang meskipun tidak berbeda pendapat secara aktif, tapi tidak
tertarik kepada perilaku pemerintah atau bahkan, lebih mendalam lagi, kepada nilai-nilai
politik dan sosial yang tidak lagi tampak mempunyai daya desak.
Gagasan proyek bantuan hukum yang secara ideologis dipertahankan tidak bisa tidak
akan menimbulkan desakan terus-menerus akan terjadinya perubahan.
Bab XII
Gerakan Sosial, Konstitusionalisme dan Hak Asasi