SKRIPSI
Oleh :
Nurwulan
142015033
Judul Skripsi:
PENGARUH EQUIVALENCE RATIO PADA GASIFIKASI ARANG
BATOK KELAPA MENGGUNAKAN DOWNDRAFT GASIFIER
DENGAN AGEN UDARA
Sepenuhnya adalah merupakan karya sendiri, tidak ada bagian di dalamnya yang
merupakan plagiat dari karya orang lain dan saya tidak melakukan penjiplakan
atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang
berlaku dalam masyarakat keilmuan.
Apabila kemudian hari ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan
dalam karya saya ini, atau klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya ini, saya
siap menerima sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku.
ii
HALAMAN PENGESAHAN
SKRIPSI
Mengetahui / Menyutujui
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Puji syukur Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan laporan penelitian ini. Penulisan laporan ini
dilaksanakan sebagai salah satu syarat guna menempuh Tugas Akhir di Jurusan
Teknik Kimia Institut Teknologi Nasional Bandung.
Dalam penyusunan laporan akhir ini, penyusun ingin mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya atas do’a, bimbingan dan bantuan yang telah
diberikan.Ucapan terimaksih penyusun sampaikan kepada:
Kami menyadari bahwa laporan penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan
dengan segala keterbatasan dan kekurangan yang terdapat di dalamnya. Semoga
laporan ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membacanya
Penulis
iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
SKRIPSI UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademis Institut Teknologi Nasional, saya yang bertanda tangan
dibawah ini:
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Institut Teknologi Nasional berhak menyimpan, mengalih
media/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat,
dan mempublikasikan skripsi saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Biomassa merupakan bahan bakar yang unik, berbeda dengan bahan bakar lainnya.
Biomassa dengan alami tersedia dalam bentuk bahan bakar padat, tetapi dapat
dikonversi menjadi bahan bakar cair maupun gas. Gasifikasi biomassa merupakan
penerapan konversi energi terbarukan. Pada penelitian gasifikasi ini, biomassa yang
digunakan sebagai bahan bakar adalah arang batok kelapa. Penelitian dilakukan
untuk mengidentifikasi pengaruh ER (Equivalence Ratio) terhadap komposisi
producer gas. Penelitian ini dilakukan di Itenas Bandung menggunakan gasifier
tipe downdraft, dimulai dengan melakukan pengujian terhadap properti arang batok
kelapa dengan analisis proksimat dan ultimat, kemudian dilanjutkan dengan proses
gasifikasi arang batok kelapa yang dilakukan dalam keadaan tunak. Gasifikasi
dilakukan dengan ER 0,09 ; 0,14 ; 0,18 ; 0,23 dan 0,27. Data yang diambil adalah
suhu tiap zona dalam gasifier dan sampel producer gas. Sampel producer gas
dianalisis menggunakan Gas Chromatography di Laboratorium Kimia ITB. Hasil
dari proses gasifikasi merupakan gas mampu bakar, di mana dengan meningkatnya
ER dapat mengurangi kandungan dari gas mampu bakar. Berdasarkan hasil
percobaan dengan ER 0,09 ; 0,14 ; 0,18 ; 0,23 dan 0,27 yang telah dilakukan
diperoleh ER optimum pada 0,18 karena memiliki LHV paling tinggi sebesar 2,16
MJ/Nm3, komposisi H2 dan CO masing-masing sebesar 6,24% dan 11,74% dan
rasio H2/CO sebesar 0,53.
vi
ABSTRACT
vii
DAFTAR ISI
Halaman
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
x
DAFTAR TABEL
Halaman
xi
DAFTAR SINGKATAN
xii
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu negara yang kaya akan ketersediaan biomassa yaitu Indonesia. Biomassa
tersebut dapat berasal dari sektor pertanian, sektor perkebunan, sektor perhutanan
1
2
dan limbah perkotaan. Menurut Basu (2010) diperkirakan tersedia 146,7 juta ton
biomassa per tahun atau setara dengan 470 GJ/tahun yang tersebar di berbagai
daerah di Indonesia. Potensi tersebut dapat diolah menjadi suatu produk inovatif
yang meningkatkan nilai tambah. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah
gasifikasi.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biomassa
Biomassa, yang dikenal juga sebagai sumber energi terbarukan, merupakan bahan
organik yang berasal dari bahan biologis. Biomassa dapat berupa hasil panen,
perhutanan, perkebunan, limbah dan lain lain. Energi untuk membentuk ikatan
kimia pada bahan organik tersebut berasal dari matahari. Energi matahari yang
diserap oleh biomassa dikonversi menjadi energi ikatan kimia untuk memproduksi
protein, minyak, dan karbohidrat. Energi yang tersimpan inilah yang dapat
digunakan sebagai sumber energi untuk menghasilkan panas, energi lain, bahan
bakar, dan serat. (Brown, 2003)
Sebagaimana telah diketahui secara luas, biomassa berupa limbah dan bahan
lignoselulosa memberikan kemungkinan yang jauh lebih baik dari hasil panen,
karena tidak mengurangi kebutuhan pangan dan seringkali tidak membutuhkan
lahan dan pupuk untuk tumbuh. Tetapi, pada kenyataannya, hanya 3% dari 170 juta
ton biomassa yang diproduksi per tahun melalui fotosintesis yang dibudidayakan,
dipanen, dan digunakan. (Sanders et al., 2005)
4
5
(Ramadani, 2012)
Jumlah biomassa yang banyak dan bentuknya yang tidak fleksibel merupakan
keterbatasan dari bahan bakar biomassa jika dibandingkan dengan bahan bakar
fosil. Tidak seperti gas atau liquid, biomassa tidak dapat ditangani, disimpan,
ataupun dipindahkan dengan mudah, khususnya untuk penggunaannya pada
kendaraan. Hal tersebut mendorong untuk mengkonversi biomassa menjadi bahan
bakar bentuk cair dan gas melalui dua cara yaitu konversi biokimia dan konversi
termokimia (Gambar 2.1).
Konversi
Biomassa
Biokimia Termokimia
Anaerobik Fast
Aerobik
Slow
(Basu, 2010)
Konversi biokimia mungkin merupakan cara yang paling kuno untuk konversi
biomassa. India dan Cina memproduksi gas metana untuk kebutuhan lokalnya
dengan penguraian sisa-sisa hewan oleh mikroba secara anaerobik. Di zaman
modern ini, ethanol untuk bahan bakar otomotif diproduksi dari fermentasi jagung.
Konversi termokimia biomassa menjadi gas baru muncul setelahnya. Penggunaan
skala besar gasifier biomassa berukuran kecil dimulai saat Perang Dunia II, dimana
lebih dari satu juta unit digunakan.
Pada konversi biokimia, molekul biomassa dipecah menjadi molekul yang lebih
kecil oleh enzim atau bakteri. Proses ini jauh lebih lambat daripada proses konversi
termokimia, tetapi tidak membutuhkan energi eksternal. Tiga jenis cara konversi
biokimia antara lain :
a. Penguraian (aerobik dan anaerobik)
Produk utama dari penguraian anaerobik adalah metana, karbon
dioksida dan tambahan residu solid. Bakteri menggunakan oksigen yang
terkandung dalam biomassa itu sendiri, bukan oksigen dari udara.
Penguraian aerobik atau pengomposan juga merupakan pemecahan
biomassa secara biokimia. Pengomposan menggunakan jenis
mikroorganisme yang berbeda dengan penguraian anaerobik, dimana
mikroorganisme ini menggunakan oksigen dari udara kemudian
memproduksi karbon dioksida, panas, dan residu solid.
b. Fermentasi
Pada fermentasi, sebagian dari biomassa dikonversi menjadi gula
menggunakan asam atau enzim. Gula tersebut kemudian dikonversi
menjadi ethanol atau bahan kimia lainnya dengan bantuan ragi. Tidak
seperti penguraian anaerobik, produk dari proses fermentasi berupa
cairan. (Basu, 2010)
Liquefaction
Pembakaran
Perbedaan utama dari ketiga proses diatas adalah jumlah oksigen yang digunakan
pada saat berlangsungnya proses konversi. Pemilihan proses konversi termokimia
biomassa bergantung pada bentuk energi yang dibutuhkan, jenis dan jumlah umpan
biomassa, dan aspek ekonomi dan lingkungan. Sebagai contoh, biomassa seringkali
memiliki kandungan air yang tinggi dimana pada beberapa kasus, perlu dihilangkan
terlebih dahulu sebelum memasuki proses konversi termokimia yng bertujuan untuk
meningkatkan hasil konversi dari proses tersebut.
a. Gasifikasi
Pada proses gasifikasi, karbon dari biomassa dikonversi menjadi gas
mampu bakar dengan tenperatur di atas 800 ᵒC. Hasil gas dari proses
gasifikasi disebut producer gas.
b. Pirolisis
Pirolisis merupakan proses pemanasan biomassa-tanpa melibatkan
oksigen- yang menghasilkan produk gas, cair dan arang. Proses pirolisis
umumnya dimulai pada temperatur 300 oC dan terus berlanjut sampai
temperatur 600-700 oC. Pirolisis biomassa dibagi menjadi dua, yaitu slow
pyrolysis dan fast pyrolysis. Slow pyrolysis membutuhkan temperatur yang
rendah dan waktu tinggal yang sangat lama. Laju pemanasan pada slow
pyrolysis berkisar antara 5-7 ᵒC/menit (Ozbay et al., 2001). Laju
pemanasan yang lambat ini menyebabkan perolehan produk arang yang
lebih tinggi dari pada produk cair dan gasnya. Fast pyrolysis memberikan
proses yang lebih baik dari pada slow pyrolysis. Pada fast pyrolysis, laju
pemanasan berkisar antara 300-500 ᵒC/menit dan perolehan produk cair
lebih tinggi dengan waktu tinggal yang cukup singkat (Pandey, 2009).
Tetapi pada fast pyrolysis, biomassa harus dikeringkan terlebih dahulu
sampai kandungan airnya hanya sekitar 10% (Yaman, 2004).
c. Liquefaction
Liquefaction merupakan proses konversi termokimia bertekanan tinggi
(12-20 Mpa) dan temperatur rendah (300ᵒC-350ᵒC) yang menggunakan
katalis dan dengan penambahan hidrogen dimana menghasilkan produk
berupa bahan bakar cair. Ketertarikan pada proses ini lebih rendah
dibandingkan proses pirolisis dan gasifikasi, karena reaktor dan
pengumpanan umpannya lebih kompleks. (Pandey, 2009)
d. Pembakaran
Secara kimia, pembakaran merupakan reaksi eksotermik antara oksigen
dan hidrokarbon (dalam hal ini yang terkandung dalam biomassa) (Basu,
2010). Pembakaran menghasilkan gas panas dengan temperatur yang
berkisar antara 800ᵒC -1000ᵒC atau lebih (Deswarte, 2008).
2.3 Gasifikasi
sangat luas. Jenis biomassa yang dapat digunakan pada gasifikasi tidak terbatas
pada hasil panen ataupun material lignoselulosa saja, tetapi juga limbah-limbahnya.
(Pierre, 2009)
Campuran gas hasil proses gasifikasi atau producer gas tidak hanya dapat
digunakan sebagai sumber panas dan energi, tetapi juga sebagai bahan baku
pembuatan bahan bakar cair dan bahan kimia (Brown, 2003). Produk turunan gas
hasil gasifikasi dijelaskan pada Gambar 2.2.
(Susanto, 2014)
Komposisi producer gas yang dihasilkan dari proses gasifikasi bergantung pada
agen pengoksidasi yang digunakan. Agen pengoksidasi yang sering digunakan pada
proses gasifikasi yaitu udara, steam dan oksigen murni (Pierre, 2009). Pilihan agen
pengoksidasi berpengaruh terhadap heating value producer gas. Dari tabel 2.2,
dapat dilihat bahwa gasifikasi dengan agen pengoksidasi oksigen murni memiliki
heating value tertinggi, kemudian diikuti dengan steam dan udara. (Basu, 2010)
Tabel 2.2 Heating value dari producer gas berdasarkan agen pengoksidasinya
Agen Pengoksidasi Heating value (MJ/Nm3)
Oksigen murni 12-28
Steam 10-18
Udara 4-7
(Basu, 2010)
Pilihan agen pengoksidasi yang paling murah dan paling sederhana yaitu udara.
Tetapi, jika udara digunakan sebagai agen pengoksidasi, nitrogen di dalamnya
mengencerkan producer gas yang dihasilkan (Basu, 2010). Selain itu, komposisi
producer gas didominasi oleh nitrogen. Walaupun begitu, producer gas yang
dihasilkan dari gasifikasi dengan udara telah sukses digunakan untuk furnaces,
boiler, dan mesin pembakaran internal. Kandungan nitrogen akan menjadi
permasalahan jika producer gas digunakan untuk bahan kimia atau sintesis bahan
bakar, karena bejana proses dan volume purge gas harus besar untuk memuat
volume gas nitrogen yang tidak bereaksi. Dalam sintesis Fisher Tropsch, nitrogen
memberikan pengaruh negatif pada produksi hidrokarbon rantai panjang untuk
bahan bakar cair. (Brown, 2011)
Tabel 2.3 Contoh komposisi producer gas dengan agen pengoksidasi udara dihembus
Jenis Gas (% dry basis)
Organisasi Tipe Gasifier
N2 CO2 CO H2 CH4 CxHy
Babcock &
Updraft 40,7 11,9 22,8 19 5,3 -
Wilcox
Tech.
University Of Downdraft 33,3 15,4 19,6 30,5 1,2 -
Denmark
(Brown, 2011)
Pengaruh pengenceran terhadap producer gas oleh nitrogen dalam udara, dapat
dihindari dengan menggunakan steam atau oksigen sebagai agen pengoksidasi
(Brown, 2011). Jika steam digunakan sebagai agen pengoksidasi, producer gas
yang dihasilkan akan mengandung lebih banyak hidrogen. Sedangkan, agen
pengoksidasi oksigen mengurangi kandungan hidrogen dan meningkatkan
kandungan gas basis karbon pada producer gas (Basu, 2010).
(Brown, 2011)
Proses gasifikasi terdiri dari beberapa zona, antara lain zona pembakaran,
pengeringan, pyrolysis dan gasifikasi. Pada proses gasifikasi, biomassa terlebih
dahulu dikeringkan pada zona pengeringan, kemudian biomassa yang telah kering
melalui proses dekomposisi termal pada zona pyrolysis. Produk dari zona pyrolysis
yang berupa gas, solid dan cairan masing-masing saling bereaksi diantara mereka
sendiri, serta bereaksi pula dengan agen pengoksidasi pada zona gasifikasi. Adapun
zona pembakaran berfungsi sebagai penyuplai panas untuk seluruh proses pada
ketiga zona lainnya, yang mana proses-proses tersebut merupakan proses
endotermik. (Basu, 2010)
Biomassa
C (arang)
Pembakaran (Oksidasi)
C+O2CO2 + Panas (Temperatur s/d 1200oC)
Gasifikasi
CO2,N2,H2,H2O, dll C+CO2 ⇌ 2CO ∆H = 172 kJ/mol
C+H2O ⇌ CO+H2 ∆H = 131 kJ/mol
CO+H2O ⇌ CO2+H2 ∆H = -41kJ/mol
CO +3H2 ⇌ CH4 +H2O ∆H =-75kJ/mol
Panas Suhu: 800-1000oC
Gas Produscer
(H2,CO,CO2,CH4,N2,H2O) dan tar
(Susanto, 2014)
a. Zona Pengeringan
Biomassa memasuki zona pengeringan begitu biomassa tersebut memasuki
gasifier. Pada temperatur di atas 100 ᵒC, kandungan air dalam biomassa
telah secara irreversibel diuapkan. Kemudian dengan naiknya temperatur,
kandungan-kandungan dengan berat molekul rendah dalam biomassa mulai
menguap. Proses tersebut berlanjut sampai temperatur sekitar 200 ᵒC
tercapai. Pada umumnya, biomassa memiliki kandungan air sebesar 30-60%
bahkan hingga 90% untuk beberapa biomassa. Setiap kilogram air dalam
biomassa mengurangi minimal sekitar 2200 kJ energi untuk menguapkan
air tersebut, dan energi ini tidak dapat diperoleh kembali. Karena itu,
terkadang, sejumlah predrying dilakukan untuk mengurangi sebanyak
gasifier. Adapun reaksi yang dapat terjadi pada zona pembakaran antara
lain:
1
C + 2 O2 ⇌ CO ΔHR,298 = -111 kJ/kmol karbon .......................... (2.5)
(Basu, 2010)
Moving bed gasifier merupakan jenis gasifier tertua. Moving bed gasifier dibagi
menjadi 3 jenis, yaitu updraft, downdraft, dan crossdraft (Basu, 2010). Berikut
merupakan karakteristik dari moving bed gasifier untuk biomassa kayu :
(Basu, 2010)
Pada updraft gasifier, biomassa memasuki gasifier dari bagian atas, sedangkan
agen pengoksidasinya mengalir secara berlawanan arah terhadap biomassanya.
Agen pengoksidasi yang memasuki gasifier dari bagian bawah mula-mula bereaksi
dengan arang dalam zona pembakaran untuk menghasilkan gas CO, CO2 dan H2O
pada temperatur tertinggi dalam gasifier ( sekitar 1200ᵒC) . Energi panas yang
dihasilkan dari proses tersebut digunakan untuk melangsungkan proses
pengeringan, pyrolysis, gasifikasi dari biomassa (Brown, 2011). Kemudian gas
hasil pembakaran berpindah ke bagian yang lebih atas yaitu zona gasifikasi dimana
arang dari bagian atas gasifier mengalami gasifikasi (Basu, 2010). Dalam zona
pyrolysis, gas-gas hasil pembakaran kontak dengan biomassa kering pada
temperatur sekitar 400-800ᵒC dan mendekomposisi biomassa untuk menghasilkan
produk pyrolysis dan arang. Kemudian, di atas zona pyrolysis, gas-gas dan uap hasil
pyrolysis mengeringkan biomass yang memasuki gasifier. (Brown, 2011)
(Basu, 2010)
Zona reaksi pada downdraft gasifier berbeda dengan updraft gasifier. Pada
downdraft gasifier agen pengoksidasi mengalir dengan arah yang sama dengan
biomassa dan diumpankan dibawah pengumpanan biomassa (Basu, 2010).
(Basu, 2010)
Keuntungan dari aliran agen pengoksidasi dan biomassa yang searah ini yaitu
volatil yang terlepas pada zona pyrolysis harus melalui zona pembakaran dengan
temperatur tinggi (800-1200ᵒC) dimana tar dipecah. Arang yang dihasilkan dari
zona pyrolysis juga bereaksi dengan CO2 dan H2O yang terlepas selama
pembakaran sehingga menghasilkan CO dan H2. Temperatur gas keluaran
(producer gas) umumnya tinggi (sekitar 700 ᵒC). Variasi dari downdraft gasifier
yaitu crossflow atau crossdraft gasifier yang mana agen pengoksidasinya mengalir
secara tangensial memasuki throat yang bertempat di dekat bagian bawah gasifier
(zona pembakaran). (Brown, 2011)
Proses gasifikasi dapat menghasilkan producer gas juga tar. Producer gas terdiri
dari gas-gas mampu bakar yaitu CO, H2 dan CH4 dan gas-gas yang tidak mampu
bakar CO2, dan N2. Komposisi producer gas sangat tergantung pada komposisi
biomassa, bentuk dan partikel biomassa, serta kondisi-kondisi proses gasifikasi.
Selain itu terdapat juga produk samping yang terbentuk dari gasifikasi berupa
senyawa yang biasa disebut tar. Tar merupakan produk samping yang tidak
diinginkan dalam proses gasifikasi karena dapat merusak alat akibat penyumbatan
yang dapat mengganggu jalannya proses gasifikasi. Namun terbentuknya tar
merupakan hal yang tidak dapat dihindari.
Secara keseluruhan, hasil gasifikasi adalah berupa gas yang biasa disebut producer
gas yang mengandung syngas dan CH4 sebagai senyawa mampu bakar, serta CO2
dan N2 sebagai gas tak mampu bakar. Hasil utama yang diinginkan dari proses
gasifikasi adalah syngas, yang terdiri dari CO dan H2.
Komposisi dari producer gas sangat dipengaruhi oleh kondisi dari gasifikasi yang
dilakukan, mulai dari jenis reaktor yang digunakan, gasifying agent yang digunakan
serta jenis biomassa yang digunakan.
(Brown, 2003)
Tabel 2.8 Tabel komposisi gas hasil pada berbagai gasifikasi biomassa
Persen Volume (%) Nilai
Jenis Ukuran kalor
Bentuk
Biomassa (cm) CO H2 CH4 CO2 N2 (KJ/m3)
Batok 4900
Pipih 2x2 25,0 12,0 1,5 10,0 51,5
Kelapa
Sekam 4350
Jarum 1 20,1 11,3 1,8 11,4 55,4
Padi
Kayu 2x2x 4600
Balok 18,0 16,0 1,8 10,3 54,0
Karet 5
Batok 4100
Pipih 2x1 20,4 11,1 0,8 9,8 57,9
Sawit
(Susanto, 2014)
Dari Tabel 2.7 tersaji data komposisi dari producer gas beberapa tipe gasifier. Pada
hasil komposisi dengan beberapa tipe gasifier terlihat bahwa setiap tie gasifier
menghasilkan komposisi yang berbeda. Selain itu, terdapat hasil komposisi dari
producer gas untuk berbagai gasifikasi biomasssa. Tabel 2.4 dapat menunjukkan
perkiraan komposisi producer gas dengan digunakan jenis biomassa yang berbeda
dengan variabel percobaan yang berbeda.
2.3.4.2 Syngas
Syngas merupakan produk utama yang diinginkan dari proses gasifikasi . Syngas
terdiri dari campuran senyawa hidrogen (H2) dan karbon monoksida (CO). Syngas
dapat dihasilkan dari berbagai macam hidrokarbon, misalnya gas alam, minyak
bumi, batu bara serta biomassa. Syngas yang diproduksi dari biomassa biasa disebut
biosyngas.
Terdapat dua cara untuk memproduksi syngas dengan metode gasifikasi, yaitu
gasifikasi dengan suhu rendah (T<1000oC) serta gasifikasi dengan suhu tinggi
(T>1200oC). Gasifikasi dengan suhu rendah biasanya memproduksi sejumlah
hidrokarbon rantai panjang sebagai produk samping selain dari karbon monoksida
dan hidrogen. Hidrokarbon rantai panjang yang dihasilkan kemudian diproses agar
dapat digunakan untuk berbagai proses lainnya. Pada gasifikasi dengan suhu tinggi,
sebagian besar biomassa akan terkonversi menjadi hidrogen dan karbon monoksida,
dimana pada umumnya akan dilanjutkan dengan shift reaction untuk menyesuaikan
rasio antara H2 dan CO agar sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan (Basu,2010).
2.3.4.3 Tar
Tar merupakan istilah umum yang digunakan untuk seluruh senyawa organik selain
gas hidrokarbon dalam producer gas. Tar merupakan bagian dari biomassa yang
tidak terdekomposisi sempurna menjadi memiliki berat molekul rendah. (Kumar,
2009). Tar berbentuk cairan dengan viskositas tinggi, pekat, berwarna hitam yang
terkondensasi pada temperatur rendah pada alat gasifikasi, tar dapat menyebabkan
penyumbatan pada saluran gas dan menyebabkan gangguan sistem. Tar sangat tidak
diharapkan pada proses gasifikasi, karena dapat berakibat pada :
a. Pembentukan tar aerosol
b. Polimerisasi ke dalam struktur yang lebih kompleks
Equivalent Ratio termasuk salah satu parameter penting untuk merancang gasifier.
Equivalent Ratio merupakan perbandingan antara AFR (Air to Fuel Ratio) aktual
dan AFR stoikiometri.
𝐴𝐹𝑅 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙
𝐸𝑅 (< 1,0)𝑔𝑎𝑠𝑖𝑓𝑖𝑘𝑎𝑠𝑖 = .......................................(2.7)
𝐴𝐹𝑅 𝑠𝑡𝑜𝑖𝑘𝑖𝑜𝑚𝑒𝑡𝑟𝑖
Dalam proses pembakaran, jumlah udara yang disuplai ditentukan sesuai dengan
kebutuhan stoikiometrinya. Dalam proses gasifikasi, suplai udara kurang dari
kebutuhan stoikiometrinya. Kebutuhan udara sesuai stoikiometrinya dapat dihitung
berdasarkan hasil analisis ultimat biomassa. (Basu, 2010)
Equivalence Ratio untuk proses gasifikasi berada di rentang nilai 0,2 sampai 0,3.
Kualitas dari producer gas sangat bergantung pada nilai ER yang mana harus
dipastikan kurang dari 1, sehingga biomasa mengalami proses gasifikasi bukan
pembakaran. Tetapi, nilai ER yang terlalu rendah (<0,2) menyebabkan beberapa
masalah, diantaranya gasifikasi tidak sempurna, produksi arang berlebihan dan
producer gas dengan heating value yang rendah. Sebaliknya, jika nilai ER terlalu
tinggi (<0,4) menghasilkan producer gas dengan kandungan produk hasil
pembakaran yang berlebihan seperti CO2 dan H2O. Hal tersebut akan menurunkan
heating value dari producer gas.(Basu, 2010)
(Basu,2010)
Dalam praktiknya, proses gasifikasi biasanya diatur dengan nilai ER antara 0,2
sampai 0,3. Sebagai contoh, gambar 2.6 menunjukkan pengaruh nilai ER terhadap
konversi karbon pada fluidized-bed gasifier dengan biomassa berupa debu kayu,
dimana konversi meningkat seiring dengan meningkatnya nilai ER, kemudian
mulai menurun. (Basu, 2010)
Analisis ultimat adalah penentuan secara kimiawi kadar karbon, hidrogen, belerang,
nitrogen dan abu yang dihasilkan melalui pembakaran sempurna
biomassa.(Bachrun, 1996). Dalam analisis ultimat, komposisi bahan bakar
hidrokarbon dinyatakan dalam komponen dasar kecuali kelembaban M (Moisture),
dan konstituen anorganik. Analisis ultimat dasar dapat dinyatakan sebagai :
Biomassa umumnya memiliki kandungan oksigen dan hidrogen yang relatif tinggi.
Hal ini menyebabkan nilai heating value biomassa relatif rendah. Analisis ultimat
dapat digunakan untuk memperkirakan Heating Value dari biomassa dengan aturan
Dulong dan Petit sebagai berikut :
HHV =14600C+62000(H-O2/8) + 4050 S...................................(2.10)
Dimana C,H,O dan S melambangkan fraksi berat dalam 1 pound komponen utama
biomassa dan HHV dinyatakan dalam Btu/lb. Bila Heating Value dinyatakan dalam
kJoule/kg, maka persamaan yang digunakan menjadi:
Persamaan (2.12) menunjukkan komponen apa saja yang dapat dianalisis dengan
analisis proksimat. Analisis proksimat dapat digunakan untuk penentuan jalur
konversi termal biomassa.
a. Fixed Carbon
Fixed carbon adalah bahan bakar padat yang tertinggal dalam tungku setelah
bahan yang mudah menguap didistilasi. Kandungan utamanya adalah karbon.
Selain mengandung karbon, fixed carbon juga mengandung hidrogen, oksigen,
sulfur dan nitrogen yang tidak terbawa gas. Fixed carbon memberikan perkiraan
kasar terhadap nilai panas biomassa.
b. Bahan yang mudah menguap (volatile matter)
Bahan yang mudah menguap adalah hidrokarbon, hidrogen, karbonmonoksida
dan gas-gas yang tidak mudah terbakar, seperti karbondioksida dan nitrogen. Bahan
yang mudah menguap merupakan indeks dari kandungan bahan bakar bentuk gas.
c. Kadar abu (ash)
Abu merupakan kotoran yang tidak terbakar. Abu dapat mengurangi kapasitas
handling dan pembakaran, meningkatkan biaya handling, mempengaruhi efisiensi
pembakaran dan efisiensi boiler dan menyebabkan penggumpalan dan
penyumbatan.
d. Kadar air
Kandungan air dalam biiomassa harus dihilangkan. Kadar air ini dapat
meningkatkan kehilangan panas, karena penguapan dan pemanasan berlebih dari
uap, membantu pengikatan partikel halus pada tingkatan tertentu dan membantu
radiasi transfer panas.
Fixed carbon yang ditentukan pada analisis proksimat berbeda dengan karbon yang
ditentukan pada analisis ultimat. Pada analisis proksimat, karbon yang dimaksud
tidak termasuk karbon dalam volatile matter tetapi merupakan arang hasil proses
devolatilisasi. (Basu, 2010)
Kelapa merupakan hasil dari sektor perkebunan yang melimpah, salah satu negara
yang menghasilkan kelapa adalah indonesia.Kelapa dapat menghasilkan daging
buah kelapa, serabut dan batok. Menurut Ramadani 2012 jumlah limbah yang
dihasilkan kelapa berupa tempurung kelapa (batok) sebanyak 3 juta ton/tahun. Hal
ini menunjukkan potensi dari batok kelapa untuk dimanfaatkan sebagai umpan dari
berbagai macam proses konversi biomassa menjadi produk yang memiliki nilai
guna yang lebih tinggi.
Dari data yang didapat dari Direktorat Jendral Perkebunan Indonesia pada tahun
2105 hingga 2017 produksi kelapa yang ada di Jawa Barat sebagai berikut :
Pada Tabel 2.9 terlihat produksi kelapa di Jawa Barat pada tahun 2015 hingga 2017,
artinya bahwa dari produksi kelapa ini juga akan menghasilkan batok kelapa yang
melimpah pula. Namun dalam hal ini yang akan digunakan sebagai umpan
gasifikasi adalah arang batok kelapa. Dimana arang betok kelapa ini didapatkan dari
pembakaran tidak sempurna, pembakaran tersebut mengkonversi batok kelapa
menjadi arang menghasilkan karbon sisadan meningkatkan kandungan abu.
Perubahan batok kelapa menjadi arang meningkatkan kandungan energi termal
bahan akibat peningkatan kandungan karbon. Arang batok kelapa berkualitas
memiliki kadar air yang rendah dan daya ikat karbon yang tinggi sehingga
berpotensi menghasilkan syngas yang baik. (Iqbaldin, 2012)
(Phyllis, 2019)
(Phyllis, 2019)
METODOLOGI PERCOBAAN
Persiapan Alat
Gasifikasi
Analisis Ultimat dan
Analisis Proksimat
Proses Gasifikasi
(ER 0,09 ; 0,14 ; 0,18 ;
0,23 dan 0,27)
Analisis Gas
Chromatography
Tahap Akhir
Persiapan alat gasifikasi merupakan tahapan setting alat. Tahap ini terdiri dari
pengecekan kebocoran pada gasifier, kalibrasi dan kalibrasi anemometer.
30
31
Pada tahapan ini, arang batok kelapa yang telah kering dianalisis kandungannya
dengan analisis ultimat dan analisis proksimat. Hasil analisis tersebut berfungsi
untuk perhitungan laju udara teoritis yang dibutuhkan.
Proses gasifikasi dilakukan dalam keadaan tunak dengan kecepatan udara hisap ±
3,1 meter/sekon. Gasifikasi dilakukan dengan variasi ER 0,09 ; 0,14 ; 0,18 ; 0,23
dan 0,27. Data yang diambil adalah temperatur tiap zona pada gasifier dan sampel
producer gas. Pengambilan sampel producer gas dilakukan ketika mencapai menit
ke-7.
Pada tahapan ini, sampel producer gas yang dihasilkan dianalisis menggunakan
metode Gas Chromatography untuk mengetahui kandungan di dalam producer gas
tersebut.
Tahapan ini merupakan tahapan akhir dari penelitian yang dilakukan. Pada tahapan
ini, kesimpulan dibuat berdasarkan hasil yang didapatkan.
3.2.1 Alat
Data alat yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 3.1.
Biomass
T5
T4
Pengambilan
sampel
T3
Air Pendingin
T2 Masuk ID Fan
Air
Gasifier Pendingin
Grate Penampung Tar Keluar Pemantik Api
Producer Gas
T1 Air Pendingin
Penampung Abu
T
Thermoreader
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2 Data bahan yang digunakan pada penelitian
Bahan Kuantitas (kg)
Arang batok kelapa 5,5
Pada tahap ini, dilakukan persiapan peralatan dan komponen pendukungnya yang
terdiri dari gasifier downdraft, saluran udara masuk, hopper, pipa sambungan, alat
penukar panas (pendingin), ID fan, grate, penampung abu dan tar, dan pemantik
api. Kemudian dilanjutkan dengan mempersiapkan sensor temperatur dengan
disambungkan pada thermoreader untuk mengukur temperatur setiap zona dalam
gasifier. Setelah itu, dilanjutkan dengan melakukan kalibrasi termokopel dengan
cara membandingkan termokopel yang sudah ada dengan termokopel yang lebih
sensitif pada saat running.
Selain itu, pada tahap persiapan pula dilakukan penimbangan massa dimulai dari
menimbang massa penampung abu, penampung tar, penampung abu dengan air,
penampung tar dengan air. Pada tahap ini juga dilakukan pengarangan untuk
biomasa batok kelapa, sehingga akan menghasilkan arang batok kelapa yang
nantinya akan dimasukkan kedalam gasifier.
3.3.2Tahap Penelitian
Percobaan dilakukan dengan variasi ER 0,09 ; 0,14 ; 0,18 ; 0,23 dan 0,27. Nilai
tersebut dipilih untuk mengetahui pengaruh nilai ER terhadap kualitas producer gas
yang dihasilkan, karena berdasarkan literatur, nilai optimum ER untuk proses
gasifikasi berada pada rentang 0,2-0,4. Maka dari itu, rentang nilai tersebut dipilih.
Pada Tabel 4.1, disajikan data variasi percobaan yang mana dengan laju udara
yang dibuat tetap, laju biomassa yang diumpankan semakin kecil seiring dengan
kenaikan nilai ER. Maka dari itu, semakin besar nilai ER, udara yang diumpankan
semakin berlebih sehingga kecenderungan reaksi yang terjadi adalah reaksi
pembakaran. Sebaliknya, semakin kecil nilai ER, udara yang diumpankan semakin
terbatas sehingga kecenderungan reaksi yang terjadi adalah reaksi gasifikasi.
Pada proses gasifikasi yang telah dilakukan, laju udara dibuat tetap dengan
pengaturan valve pada saluran udara sampai mendapatkan laju udara sebesar 3,1
m/s pada anemometer. Selanjutnya, start up dilakukan dengan membuat bara
sampai temperatur pada termokopel T3 mencapai 550ᵒC
37
38
1200
1000
800
Temperatur (ᵒC)
T3
600
T2
T4
400
T5
200
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
menit ke
Berdasarkan data temperatur setiap zona yang disajikan pada Gambar 4.1, grafik
temperatur setiap zona pada menit ke-7 terlihat landai. Sementara itu, temperatur
setiap zona sebelum menit ke-7 cenderung mengalami kenaikan yang cukup
signifikan. Maka dari itu, diasumsikan bahwa pada menit ke-7, proses gasifikasi
telah berada dalam keadaan tunak sehingga pengambilan sampel producer gas
dilakukan pada menit ke-7 untuk setiap variasi ER.
Tabel 4.2 Hasil analisis proksimat dan ultimat arang batok kelapa
Parameter Analisis Persentase
Moisture 5,68 %
Ash 2,22 %
Proksimat
Volatile matter 19,24 %
Fixed Carbon 72,86 %
Sulfur 0,08 %
Karbon 77,62 %
Hidrogen 3,32 %
Ultimat
Nitrogen 0,39 %
Oksigen 16,37 %
Ash 2,22 %
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa kandungan moisture arang batok kelapa sebesar
5,68%. Kandungan moisture sebanding dengan konsumsi energi dalam proses
gasifikasi. Kandungan moisture yang besar akan menguras energi yang cukup besar
dalam zona pengeringan, yang mana konsumsi energi tersebut tidak dapat diperoleh
kembali (Basu,2010). Pada Tabel 4.2, hasil analisis proksimat dan ultimat disajikan
dalam air-dried basis yang berarti kandungan moisture yang tertera merupakan
kandungan moisture dalam dinding sel biomassa atau biasa disebut kandungan air
terikat.
Kandungan ash dari biomassa merupakan sisa padatan anorganik yang tertinggal
ketika biomassa habis terbakar. Ash dapat berperan sebagai katalis pada proses
gasifikasi. Menurut Herman dkk (2016), kandungan mineral dalam ash membantu
Institut Teknologi Nasional
40
menekan produksi CO2 dan meningkatkan produksi CH4 dalam producer gas.
Umumnya, pada temperatur tinggi, partikel ash meleleh, menggumpal kemudian
membentuk kerak dan dapat menghambat proses gasifikasi (Wang, 2014). Tetapi,
pembentukan kerak tidak akan terjadi pada biomassa dengan kandungan ash kurang
dari 5 % (Turare, 2019).
Kandungan volatile matter dari biomassa merupakan uap yang terkondensasi dan
tak terkondensasi yang dilepaskan ketika biomassa dipanaskan. Banyaknya
kandungan volatile matter bergantung pada laju pemanasan dan temperatur ketika
biomassa dipanaskan. Banyaknya kandungan volatile matter juga mempengaruhi
kandungan fixed carbon karena penentuan kandungan fixed carbon didasarkan pada
kandungan volatile matter (Basu, 2010). Menurut Wang (2014), kandungan volatile
matter yang tinggi dalam biomassa akan meningkatkan reaktifitas biomassa dan
menghasilkan efisiensi konversi yang tinggi pula. Sebaliknya, kandungan volatile
matter biomassa yang rendah menyebabkan reaktifitas biomassa yang rendah dan
produksi arang yang tinggi.
Kandungan fixed carbon pada hasil analisis proksimat berbeda dengan karbon pada
hasil analisis ultimat. Pada hasil analisis proksimat, kandungan karbon ini tidak
termasuk karbon di dalam volatile matter tetapi dimaksudkan sebagai perolehan
arang setelah devolatilisasi. Menurut Wang (2014), biomassa dengan kandungan
fixed carbon yang tinggi memiliki energy density yang tinggi sehingga
menyebabkan kebutuhan energi yang tinggi pada gasifier. Gasifikasi biomassa
dengan kandungan fixed carbon yang tinggi juga menghasilkan syngas dengan
kandungan tar yang sedikit, tetapi menghasilkan lebih banyak arang.
Pada hasil analisis ultimat, kandungan karbon dan komponen lainnya digunakan
untuk menentukan kebutuhan udara pembakaran. Pada Tabel 4.2, arang batok
kelapa memiliki kandungan karbon yang cukup tinggi. Biomassa dengan
kandungan karbon dan hidrogen yang tinggi lebih disukai untuk penerapan energi,
karena sebagian besar energi biomassa dihasilkan dari ikatan kimia antara karbon
Institut Teknologi Nasional
41
dan hidrogen (Wang, 2014). Adapun hidrogen dan oksigen pada hasil analisis
ultimat tidak termasuk hidrogen dan oksigen pada kandungan moisture, tetapi
hanya hidrogen dan oksigen yang terkandung dalam biomassa (Basu, 2010).
Pada proses gasifikasi yang dilakukan dengan gasifier tipe downdraft ini, arang
batok kelapa sebagai biomassa memasuki gasifier melalui bagian atas, sementara
producer gas dihisap dengan induced draft fan sehingga mengalir ke bagian bawah
gasifier, kemudian melalui selongsong gasifier keluar di bagian atas gasifier
menuju kondensor. Ketika tahap start up, udara masuk ke dalam gasifier di antara
T4 dan T3, kemudian udara bertemu bara sehingga temperatur sekitar T3 akan
mengalami kenaikan akibat adanya reaksi pembakaran bara yang berifat eksoterm.
Panas yang dihasilkan dari reaksi pembakaran ini terdistribusi ke zona pirolisis
yang berada di sekitar T4 dan zona pengeringan di sekitar T5 dengan merambat
melalui biomassa. Selanjutnya, gas panas hasil pembakaran dihisap dengan induced
draft fan melalui zona gasifikasi yang berada di sekitar T2. Temperatur di sekitar
T2 lebih rendah dibandingkan temperatur T3 karena reaksi gasifikasi merupakan
Pada Gambar 4.2 (b), disajikan temperatur pada daerah T5 sampai T1 dalam
sebuah grafik pada setiap variasi ER, dengan T0 sebagai temperatur producer gas
ketika producer gas ke luar ke lingkungan. Dibandingkan dengan grafik literatur,
temperatur ketika percobaan pada setiap variasi ER masuk dalam rentang
temperatur setiap zonanya. Jika dibandingkan dengan gasifikasi updraft, temperatur
pada gasifikasi downdraft lebih tinggi. Gambar 4.2 (a) menunjukkan bahwa zona
pembakaran pada gasifikasi downdraft dapat mencapai 1400ᵒC, sedangkan zona
pembakaran pada gasifikasi updraft hanya mencapai 1200ᵒC. Hal tersebut
disebabkan aliran biomassa searah dengan aliran gas panas, sehingga tar yang
dihasilkan dari zona pirolisis turun dan terbakar pada zona pembakaran,
menyebabkan kenaikan temperatur gas (Basu, 2010).
(a) (b)
Gambar 4.2 Grafik temperatur tiap zona pada gasifier tipe downdraft menurut literatur (Basu, 2010) (a) dan percobaan (b)
Tabel 4.3 dan Gambar 4.3 menunjukkan bahwa komposisi flammable gas yang
dihasilkan pada gasifikasi downdraft meningkat kemudian menurun seiring
meningkatnya nilai ER. Komposisi flammable gas tertinggi yang dihasilkan yaitu
pada variasi ER 0,18, di mana total komposisi flammable gas dalam producer gas
mencapai 17,99%. Adapun komposisi flammable gas terendah yang dihasilkan
yaitu pada nilai ER 0,09, di mana total komposisi flammable gas dalam producer
gas hanya mencapai 7,52%. Hal tersebut disebabkan, dengan pengoperasian pada
nilai ER yang rendah, arang tidak sepenuhnya terkonversi menjadi gas. Nilai ER
yang rendah juga menyebabkan proses gasifikasi tidak sempurna (Basu, 2010).
Selain itu, reaksi dalam sistem reaksi gasifikasi adalah reaksi reversibel. Sedikit
perubahan pada kondisi operasi dapat berpengaruh terhadap komposisi producer
gas.
100.00%
90.00%
80.00%
70.00%
Konsentrasi
60.00%
50.00%
FLAMMABLE
40.00%
NON FLAMMABLE
30.00%
20.00%
10.00%
0.00%
0.09 0.14 0.19 0.24 0.29
ER
Gambar 4.3 Perolehan flammable gas dan non-flammable gas pada gasifikasi
downdraft untuk setiap variasi ER
Pada sistem reaksi gasifikasi, terdapat reaksi yang bersifat endoterm serta eksoterm
yang mana resultan dari keseluruhan reaksi dapat bersifat eksoterm ataupun
endoterm sehingga mempengaruhi komposisi producer gas yang dihasilkan.
Dengan kata lain, komposisi producer gas bergantung pada temperatur reaksi
(Kumar dkk, 2009). Reaksi (4.1) sampai (4.3) menunjukkan beberapa reaksi yang
dapat terjadi pada zona gasifikasi (Basu, 2010).
Reaksi (4.1) sampi (4.3) menunjukkan bahwa, jika resultan dari keseluruhan reaksi
bersifat eksoterm, maka producer gas yang dihasilkan cenderung lebih banyak
mengandung CO2 yang merupakan non-flammable gas. Sebaliknya, jika resultan
dari keseluruhan reaksi bersifat endoterm, maka producer gas yang dihasilkan
cenderung lebih banyak mengandung CO dan H2 yang merupakan flammable gas.
Pada gasifikasi downdraft yang telah dilakukan, untuk setiap variasi ER, tidak ada
CH4 yang dihasilkan. Hal ini dapat disebabkan karena terkonsumsinya CH4 yang
terbentuk menjadi gas H2 melalui reaksi steam reforming (reaksi (4.4) ).
Selain itu, menurut Basu (2010), reaksi pembentukan CH4 memiliki laju reaksi
paling lambat dibandingkan reaksi gasifikasi lainnya. CH4 juga lebih banyak
dihasilkan dari reaksi pada zona pirolisis, sedangkan pada gasifikasi downdraft,
setelah zona pirolisis terdapat zona pembakaran sehingga CH4 yang dihasilkan pada
zona pirolisis dapat terbakar pada zona pembakaran. Adapun pada gasifikasi
downdraft, H2 yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan H2 yang dihasilkan
pada gasifikasi updraft. Hal tersebut disebabkan, pada gasifikasi downdraft, uap air
yang dilepaskan biomassa di zona pengeringan turun ke bawah searah dengan aliran
gas panas, sehingga menambah perolehan H2. Sementara itu, pada gasifikasi
updraft, uap air yang dilepaskan biomassa di zona pengeringan tidak turun ke
bawah, sehingga perolehan H2 pada gasifikasi updraft hanya didapatkan dari hasil
reaksi air yang terkandung dalam biomassa (air terikat).
Campuran H2 dan CO merupakan yang paling diinginkan dari producer gas yang
dihasilkan karena sifatnya yang mempan bakar. Campuran H2 dan CO atau syngas
juga merupakan bahan baku yang penting bagi keperluan industri dan energi.
Walaupun kegunaannya yang sangat luas, syngas yang akan digunakan sebagai
bahan baku harus memiliki rasio H2/CO yang sesuai untuk mendapatkan produk
yang diinginkan (Basu, 2010). Oleh karena itu, kualitas producer gas yang
dihasilkan dapat dinilai dari rasio H2/CO yang dimilikinya. Selain itu, kualitas
producer gas dapat dinilai dari heating value yang dimilikinya.
LHV atau Lower Heating Value didefinisikan sebagai jumlah panas yang
dilepaskan saat pembakaran dikurangi panas pengembunan air dalam produk
pembakaran (Basu, 2010). Semakin besar nilai heating value dari producer gas,
maka kualitas producer gas semakin baik. Menurut Wang (2014), heating value
dari producer gas ditentukan oleh gasifying agent yang digunakan.
Tabel 4.4 Nilai lower heating value (LHV) producer gas pada setiap variasi ER
Downdraft Updraft (Bahsin dan Tirani, 2019)
Run LHV producer gas LHV producer gas
ER ER
(MJ/Nm3) (MJ/Nm3)
1 0,09 0,92 0,09 5,20
2 0,14 2,00 0,14 3,19
3 0,18 2,16 0,18 3,66
4 0,23 1,82 0,23 3,19
5 0,27 1,62 0,28 3,51
Tabel 4.4 menunjukkan bahwa nilai LHV producer gas pada gasifikasi downdraft
rendah. Nilai LHV yang rendah ini disebabkan penggunaan gasifying agent berupa
udara, yang mana menurut Basu (2010), penggunaan gasifying agent berupa udara
menghasilkan nilai LHV terendah jika dibandingkan dengan penggunaan gasifying
agent yang lain. Selain itu, gasifier tipe downdraft dirancang untuk menghasilkan
producer gas dengan perolehan H2 yang tinggi tetapi kandungan nilai kalornya
rendah jika dibandingkan dengan gasifier tipe updraft. Keberadaan nitrogen dalam
udara sebagai gasifying agent juga menurunkan nilai heating value dari producer
gas yang dihasilkan (Basu, 2010). Tabel 4.4 menunjukkan nilai LHV terbaik
dihasilkan pada variasi ER 0,18 yaitu sebesar 2,16 MJ/Nm3
Sebagai bahan baku untuk berbagai macam kegunaan, syngas dalam producer gas
perlu memenuhi kriteria rasio H2/CO yang dibutuhkan sesuai dengan produk yang
diinginkan. Sebagai contoh, syngas yang memiliki rasio H2/CO sebesar 0,5-1 dapat
diperuntukkan bagi gasoline melalui Fischer-Tropsch synthesis dan syngas yang
memiliki rasio H2/CO sebesar 2 dapat diperuntukkan bagi industri metanol (Basu,
2010).
Tabel 4.5 Rasio H2/CO dari producer gas pada setiap variasi ER
Downdraft Updraft (Bahsin dan Tirani, 2019)
Run Rasio
ER ER Rasio H2/CO
H2/CO
1 0,09 0,28 0,09 0,023
2 0,14 0,53 0,14 0,023
3 0,18 0,53 0,18 0,021
4 0,23 0,43 0,23 0,024
5 0,27 0,14 0,28 0,026
Tabel 4.5 menunjukkan bahwa rasio H2/CO dari syngas yang terkandung dalam
producer gas pada gasifikasi downdraft mengalami kenaikan kemudian penurunan
seiring meningkatnya nilai ER. Hal ini disebabkan kandungan flammable gas yang
juga mengalami kenaikan kemudian penurunan seiring meningkatnya nilai ER.
Adapun syngas yang terkandung dalam producer gas pada nilai ER 0,14 dan 0,18
memiliki rasio H2/CO yang dapat dimanfaatkan menjadi gasoline melalui Fischer-
Tropsch synthesis. Selain itu, producer gas yang dihasilkan dapat dimanfaatkan
menjadi bahan bakar ditinjau dari kandungan flammable gas. Jika dibandingkan
dengan gasifikasi updraft, rasio H2/CO dari gasifikasi downdraft memiliki nilai
yang lebih besar. Hal tersebut disebabkan, pada gasifikasi downdraft, perolehan H2
lebih banyak sehingga nilai rasio H2/CO akan lebih besar.
Neraca massa merupakan aplikasi dari hukum kekekalan massa yang menyatakan
bahwa suatu zat tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan. Pada dasarnya, neraca
massa melibatkan perhitungan material dalam suatu sistem di mana massa yang
masuk harus sama dengan massa yang keluar (Himmelblau, 2012). Pada percobaan
gasifikasi yang telah dilakukan, perumusan massa yang masuk meliputi massa
udara, massa biomassa yang diumpankan selama 10 menit serta massa abu yang
berasal dari arang start up. Sementara itu, perumusan massa yang keluar meliputi
massa abu dan residu, massa sampel serta massa producer gas. Perbedaan massa
yang masuk ke sistem dengan massa keluar sistem didefinisikan sebagai akumulasi
massa (Himmelblau, 2012).
Tabel 4.6 menunjukkan bahwa untuk setiap variasi ER, terdapat persen akumulasi
massa yang artinya terdapat massa yang tidak terukur di dalam sistem. Akumulasi
massa ini diindikasikan sebagai tar yang tertinggal di bagian dalam gasifier dan
kondensor. Berdasarkan hasil yang didapatkan, semakin besar variasi ER, maka
akumulasi massa semakin kecil, karena variasi ER yang semakin besar
menyebabkan kecenderungan terjadinya reaksi pembakaran sehingga tar akan
terbakar. Selain itu, dengan variasi ER yang besar, residu yang dihasilkan akan
semakin kecil karena biomassa akan banyak terbakar diakibatkan kecenderungan
reaksi pembakaran.
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
51
52
DAFTAR PUSTAKA
Susanto, Herri. 2014. Neraca Massa dan Energi. Bandung : Institut Teknologi
Bandung.
Yaman. 2004.
Wang, Lijun. 2014. Sustainable Bioenergy Production. New York : CRC Press.
DATA LITERATUR
54
55
Sumber : http://thermophysics.ru/pdf_doc/refer331.pdf
Tabel A.2 LHV dari gas mampu bakar (Basu, 2010, Table C.2 Appendix C)
Gas LHV (MJ/Nm3)
CO 12,63
H2 10,78
DATA PENGAMATAN
56
57
PERHITUNGAN
Cara Perhitungan
60
61
Diketahui :
Sumber :(http://thermophysics.ru/pdf_doc/refer331.pdf)
RESIDU RESIDU
= 919,56 g
= 919,56 g
Massa atom O udara = Massa atom N di O2
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑂2 . 𝐴𝑟 𝑂 . 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑎𝑡𝑜𝑚 𝑂
=( )
𝑀𝑟 𝑂2
244,44 𝑔 . 16 𝑔/𝑚𝑜𝑙. 2
=( )
32 𝑔/𝑚𝑜𝑙
= 244,44 g
Tabel C.8 Massa setiap unsur pada udara
Unsur Massa (gram)
S -
C -
H -
N 919,56
O 244,44
Abu -
Total 1164
3) Arang Start up
Diasumsikan arang start up terbakar sehingga tersisa abu, banyaknya abu pada
arang dihitung dari komposisi abu pada hasil analisis proksimat sebagai berikut :
Perhitungan :
= 0,000045 g
Dengan cara yang sama menghitung massa setiap komponen, sehingga didapat :
0,000045 𝑔
= . 100%
0,009381 𝑔
= 0,48%
Dihitung dengan cara yg sama untuk menghitung unsur lainnya, sehingga didapat
:
Tabel C.15 Masssa setiap unsur pada sampel producer gas
Unsur Massa (gram)
S -
C 0,000913
H 0,000045
N 0,006615
O 0,001808
Abu -
Total 0,009381
5) Producer Gas
Asumsi : Massa N2 in = Massa N2 out
: Komposisi Producer Gas sama dengan komposisi sampel
Massa komponen Producer Gas
Massa N Producer Gas= Massa N (biomassa + udara – sampling – residu)
= (2,652 + 919,56 – 0,006615 – 1,435) g
= 920,7699 g
Massa Total Producer Gas
100%
Massa Total Producer Gas = % 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑁2 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 . 𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑁2 𝑔𝑎𝑠 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑐𝑒𝑟
100%
= 70,52% . 920,7669 𝑔
= 1305,723 g
Sehingga didapat massa komponen lainnya di Producer Gas sebagai berikut:
% Akumulasi
Massa atom total in = massa atom total (udara + biomassa + arang start up)
= 1164 g + 680 g + 6,66 g
= 1850,66 g
Massa atom total out = massa atom total (sampling + Producer Gas + biomassa sisa)
= 0,009381g + 1305,76 g + 375 g
= 1680,769 g
Massa selisih total = Massa atom total in –Massa atom total out
= 1850,66 – 1680,769
= 169,89 g
Dengan massa tar yang terukur pada saat Run maka di dapat % akumulasi sebagai
berikut:
𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑠𝑒𝑙𝑖𝑠𝑖ℎ 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙−𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑇𝑎𝑟
% Akumulasi = . 100%
𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑎𝑡𝑜𝑚 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑖𝑛
169,89 𝑔 − 22 𝑔
= . 100%
1850,66 𝑔
= 7,99%
6) Menghitung Distribusi Massa pada Proses Gasifikasi
Massa akumulasi = %akumulasi x massa biomassa in
= 7,99 % x 680 g
= 147,89 g
Massa biomassa tidak terproses = massa residu – massa abu out
= 375 g – 15,096 g
= 359,904 g
% Biomassa tidak terproses = (m tidak terproses / m biomassa) x 100%
= (359,904 g / 680 g) x 100%
= 52,93%
% Biomassa terproses = 100% - % biomassa tidak terproses - % abu biomassa
= 100% - 52,93% - 2,22%
= 44,85%
% biomassas terproses terdiri dari producer gas yang dihasilkan dan tar ( yang
tertampung dan yang tertinggal ), sehingga dapat dihitung % producer gas yang
dihasilkan dan % tar sebagai berikut :
Tabel C.28 Data LHV gas producer (Basu, 2010, Table C.2 Appendix C)
Komponen Gas LHV (MJ/Nm3)
CO 12,63
H2 10,78
Tabel C.30 Lower Heating Value (LHV) Gas Producer pada Variasi ER
Run ER LHV gas producer (MJ/Nm3)
1 0,09 0,919
2 0,14 2,003
3 0,18 2,157
4 0,23 1,822
5 0,27 1,624
= 1,173 kg/m3
Tabel C.27 Lower heating value (LHV) producer gas pada variasi ER
LHV Densitas LHV Massa LHV
LHV producer
Run ER producer sproducer producer producer producer
gas(MJ/Nm3)
gas(MJ/m3) gas (kg/m3) gas(MJ/kg) gas (kg) gas(MJ)
1 0,09 0,919 0,842 1,305 0,646 1,492 0,963
2 0,14 2,003 1,835 1,187 1,546 1,325 2,048
3 0,18 2,157 1,976 1,173 1,685 1,306 2,199
4 0,23 1,822 1,669 1,210 1,379 1,347 1,858
5 0,27 1,624 1,488 1,246 1,194 1,359 1,623
• Tidak berbau
• Tidak Berwarna • Hindari kontak dengan mata
2 H2 • Mudah Terbakar
• Hindari agar tidak terhirup
Wujud Gas
• Wujud Gas
• Wujud padat • Hindari kontak dengan mata atau
3 CO2 - Tidak berwarna
• Tidak Mudah Terbakar pernapasan
- Berbau
Kecelakaan yang mungkin terjadi Penanggulangan
Kebakaran Gunakan tabung pemadam kebakaran pada
laboratorium
Hirup uap beracun Buka ventilasi udara sebesar-besarnya, segera cari
udara segar
Gunakan alat bantu pernapasan.
Tangan terluka karena menyentuh reaktor yang panas Hindari panas dari reaktor saat peralatan bekerja
Perlengkapan keselamatan kerja
81
82
F.2 HAZOP
HAZOP (Hazard and Operability) Alat Percobaan
Tabel F.2 HAZOP
Judul Penelitian Pengaruh AFR Pada Gasifikasi Arang Batok Kelapa dengan Gasifier Tipe
Downdraft
Nama Mahasiswa Cacha Ariesta Aprilla NRP 142015001
Nurwulan NRP 142015033
Dosen Pembimbing Dyah Setyo Pertiwi S.T.,M.T.,Ph.D
Yuono S.T.,M.T
F.3 JSA
JOB SAFETY ANALYSIS
Tabel F.3 JSA
Judul Penelitian Pengaruh AFR Pada Gasifikasi Arang Batok Kelapa dengan Gasifier Tipe
Downdraft
Nama Mahasiswa Cacha Ariesta Aprilla NRP 142015001
Nurwulan NRP 142015033
Dosen Pembimbing Dyah Setyo Pertiwi S.T.,M.T.,Ph.D
Yuono S.T.,M.T
F.4 WI
INSTRUKSI KERJA
(WORK INSTRUCTION)
Tabel F.4 WI
Judul Penelitian Pengaruh AFR Pada Gasifikasi Arang Batok Kelapa dengan Gasifier Tipe
Downdraft
Nama Mahasiswa Cacha Ariesta Aprilla NRP 142015001
Nurwulan NRP 142015033
Dosen Pembimbing Dyah Setyo Pertiwi S.T.,M.T.,Ph.D
Yuono S.T.,M.T
1. Menimbang arang batok kelapa yang sudah di cacah kecil sebanyak ±1,5 kg
menggunakan timbangan.
2. Menghubungkan saluran udara masuk dengan gasifier dan memastikan
tidak adanya kebocoran pada saluran udara masuk.