Anda di halaman 1dari 91

IMPREGNASI KALIUM HIDROKSIDA (KOH) TERHADAP

KARBON AKTIF TEMPURUNG KELAPA UNTUK ADSORPSI


GAS H2S PADA AREA EKSPLORASI PANAS BUMI

SKRIPSI

QOTRUNNADA AINAYYA

PROGRAM STUDI KIMIA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2023 M / 1445 H
PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH HASIL

KARYA SAYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI

SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU

LEMBAGA APAPUN.

Jakarta, Agustus 2023

Qotrunnada Ainayya
11180960000093
ABSTRAK

QOTRUNNADA AINAYYA. Impregnasi Kalium Hidroksida (KOH) Terhadap


Karbon Aktif Tempurung Kelapa Untuk Adsorpsi Gas H2S Pada Area Eksplorasi
Panas Bumi. Pembimbing LA ODE SUMARLIN dan AGNESYA PUTRI
GUSTIANTHY

Energi panas bumi (geothermal) salah satu energi terbarukan yang


dimanfaatkan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), sumbernya
dapat diketahui dengan keberadaan gas H2S. Deteksi gas H2S ini dilakukan dengan
adsorpsi karbon aktif modifikasi permukaan sehingga dapat meningkatkan
kapasitas sebagai adsorben. Penelitian ini bertujuan mengimpregnasi karbon aktif
tempurung kelapa dengan logam alkali yaitu KOH, mengkarakterisasi karbon aktif
dan menguji kinerja dalam deteksi gas H2S. Impregnasi dengan larutan KOH
konsentrasi 15% dilakukan selama 2 jam dengan suhu 100º C dan dikeringkan
dalam oven selama 24 jam pada suhu 110º C. Karbon aktif sebelum dan sesudah
impregnasi diuji kestabilan termal kemudian dilakukan karakterisasi sifat
permukaan, ukuran partikel, kristalinitas, dan morfologi serta komponen kimia
dilanjutkan dengan pengujian kinerja adsorben dengan metode reaktor dan metode
tanam. Hasil impregnasi KOH 15% pada karbon menurunkan luas permukaan dan
merubah sifat pori, menurunkan ukuran partikel, sifat thermal stabil dibawah suhu
580 ⁰C, merubah morfologi permukaan dan porositas serta kandungan unsur K juga
terdapat fraksi kristal muncul pada sudut 2θ: 21,85⁰ dan 24,28⁰. Efisiensi adsorpsi
karbon aktif impregnasi KOH 15% (KAI) 3 kali lebih besar dari karbon aktif tanpa
impregnasi (KA) sehingga dapat digunakan dalam deteksi panas bumi.

Kata Kunci: Karbon aktif, tempurung kelapa, impregnasi, KOH, H2S, panas bumi

iv
ABSTRACT

QOTRUNNADA AINAYYA. Impregnation of Potassium Hidroxide (KOH) on


Coconut Shell Activated Carbon for of H2S Gas Adsorption in Geothermal
Exploration Areas. Advisors LA ODE SUMARLIN and AGNESYA PUTRI
GUSTIANTHY
Geothermal energy can be known by the presence of H2S gas is one of the
renewable energy that is utilized as a Geothermal Power Plant. The detection of
H2S gas is done by adsorption of surface modified activated carbon . This study
aims to impregnate coconut shell activated carbon with alkali metal, namely KOH,
characterize activated carbon and test performance in H2S gas detection.
Impregnation with 15% concentration KOH solution was carried out for 2 hours at
100º C and dried in an oven for 24 hours at 110º C. Activated carbon before and
after impregnation was tested for thermal stability then characterization of surface
properties, particle size, crystallinity, and morphology and chemical components
followed by testing the performance of adsorbents with the reactor method and the
planting method. The results of 15% KOH impregnation on carbon decreased
surface area and changed pore properties, decreased particle size, thermal properties
were stable below 580 ⁰C, changed morphology and elemental content by showing
impregnant species, and there were crystal fractions appearing at angles 2θ: 21.85⁰
and 24.28⁰. The adsorption efficiency of 15% KOH carbon is 3 times greater than
activated carbon without impregnation so that it can be used in geothermal
detection.
Keywords: Activated carbon, coconut shell, impregnation, KOH, H2S, geothermal

v
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh,

Puji dan Syukur Kehadirat Allah SWT, karena berkah rahmat dan karunia-

Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini. Shalawat serta salam

senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW beserta para

sahabatnya. Skripsi yang telah dibuat ini berjudul “Impregnasi Kalium

Hidroksida (KOH) Terhadap Karbon Aktif Tempurung Kelapa Untuk

Adsorpsi Gas H2S Pada Area Eksplorasi Panas Bumi” yang dilaksanakan di PT.

Pertamina (PERSERO), Direktorat Pengolahan Research and Technology

Innovation pada bulan November 2022 sampai Mei 2022

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi tidak dapat terselesaikan tanpa

dukungan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan

ucapan terima kasih kepada:

1. Dr. La Ode Sumarlin, M.Si. selaku Pembimbing I yang telah memberikan

arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

2. Agnesya Putri Gustianthy, ST, M.Si selaku Pembimbing II yang telah

memberikan bimbingan, arahan, kritik saran serta telah meluangkan waktunya

kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

3. Aji Satria Nugraha, S.Si., M.T selaku pembimbing lapangan yang memberikan

arahan, bimbingan dan banyak meluangkan waktunya selama penelitian.

4. Isalmi Aziz, M.Si selaku Penguji I yang telah memberikan masukan dan saran

terhadap penelitian tugas akhir ini.

vi
5. Nanda Saridewi, M.Si selaku Penguji II yang telah memberikan masukan dan

saran terhadap penelitian tugas akhir ini.

6. Dr. Hendrawati, M.Si selaku Ketua Program Studi Kimia Fakultas Sains dan

Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan selaku

Pembimbing Akademik.

7. Husni Teja Sukmana, S.T., M.Sc., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Sains dan

Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Segenap dosen Program Studi Kimia atas ilnu pengetahuan dan pengalaman

hidup yang dengan ikhlas diajarkan dan diberikan kepada penulis.

9. Udin Zainuddin dan Innaka Rachmawaty selaku kedua orang tua juga seluruh

anggota keluarga yang telah mendoakan serta memberikan dukungan baik

secara moral maupun materil untuk kesuksesan dan kemudahan penulis dalam

melaksanakan dan membuat skripsi.

10. Seluruh pegawai di PT. Pertamina (PERSERO), Direktorat Pengolahan

Research and Technology Innovation terutama Mba Nita, Ka Zuma, Mba Eva,

Mba Vivi, Mas Reka, Mas Yahya, Bang Ucup, Mas Andika, Ka Nanda, Ka

Fuad, Bang Ariawan dan Pak Wawan yang telah membantu dan membimbing

penulis dalam melaksanakan penelitian di laboratorium.

11. Teman-teman terutama tiara, dhea, sherin, sheryna, fio, mustika, desti, pandu

dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi

yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini jauh dari kata sempurna.

Oleh karena itu, penulis berharap mendapatkan saran dan kritik yang membangun

vii
dari berbagai pihak sehingga kesalahan dalam pembuatan skripsi dapat

diminimalisir. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan semua pihak.

Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

Jakarta, Mei 2023

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................. vi
DAFTAR ISI ................................................................................................ iv
DAFTAR TABEL ....................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. vii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 5
1.3 Hipotesis................................................................................................... 5
1.4 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 5
1.5 Manfaat Penelitian ................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 7
2.1 Karbon Aktif ............................................................................................ 7
2.2 Impregnasi Karbon Aktif ......................................................................... 8
2.2.1 Impregnasi Kering (Dry Impregnation) ....................................... 10
2.2.2 Impregnasi Basah (Wet Impregnation)........................................ 10
2.3 Adsorpsi pada Karbon Aktif .................................................................. 11
2.3.1 Adsorpsi Secara Fisik .................................................................. 12
2.3.2 Adsorpsi Secara Kimia ................................................................ 13
2.4 Karakterisasi Karbon Aktif .................................................................... 14
2.4.1 Thermal Gravimetry Analyzer (TGA) ......................................... 14
2.4.2 Surface Area Analyzer (SAA) ..................................................... 15
2.4.3 Particle Size Distribution Analyzer (PSA) .................................. 17
2.4.4 X-Ray Diffraction (XRD) ............................................................ 18
2.4.5 Scanning Electron Microscopy-EDS (SEM-EDS) ...................... 19
2.5 Pengujian Kadar S (SO42-) Karbon Aktif ............................................... 21
2.5.1 Metode Turbidimetri.................................................................... 21
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ................................................ 23
3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................. 23

iv
3.2 Alat dan Bahan ....................................................................................... 23
3.2.1 Alat .............................................................................................. 23
3.2.2 Bahan ........................................................................................... 23
3.3 Skema Penelitian .................................................................................... 24
3.4 Prosedur Penelitian................................................................................. 25
3.4.1 Pembuatan Larutan Impregnan .................................................... 25
3.4.2 Preparasi Ukuran Granul Karbon Aktif ....................................... 25
3.4.3 Proses Impregnasi ........................................................................ 25
3.4.4 Karakterisasi Karbon Aktif Sebelum dan Sesudah Impregnasi... 26
3.4.5 Uji Kinerja Adsorben Metode Pertagastech ................................ 29
3.4.6 Uji Kinerja Adsorben Metode Tanam ........................................ 30
3.4.7 Analisa Kadar S (SO42) (Turbidimetri) ....................................... 31
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................... 34
4.1 Impregnasi Karbon Aktif Tempurung Kelapa ....................................... 34
4.2 Karakterisasi Karbon Aktif Tempurung Kelapa .................................... 35
4.2.1 Pengujian Kestabilan Thermal dengan TGA ............................... 35
4.2.2 Karakterisasi Sifat Permukaan dengan SAA ............................... 38
4.2.3 Karakterisasi Ukuran Partikel dengan PSA ................................. 40
4.2.4 Karakterisasi Morfologi dan Elemen Unsur dengan SEM-EDS . 41
4.2.5 Karakterisasi dengan XRD .......................................................... 44
4.3 Analisa Penentuan Kadar Sulfat (SO42-) ................................................ 46
4.3.1 Hasil Analisis Kadar Sulfat (SO42-) Metode Pertagastech........... 48
4.3.2 Hasil Analisis Kadar Sulfat (SO42-) Metode Tanam .................... 53
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 55
5.1 Simpulan ................................................................................................ 55
5.2 Saran ....................................................................................................... 55
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 57
LAMPIRAN ................................................................................................ 66

v
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Sifat permukaan KA dan KAI ................................................................ 38
Tabel 2. Ukuran partikel KA dan KAI ................................................................. 41
Tabel 3. Komposisi elemen unsur KA dan KAI................................................... 44
Tabel 4. Sudut 2θ KAI.......................................................................................... 45
Tabel 5. Kadar sulfat dan efisiensi adsorben metode reaktor ............................... 49
Tabel 6. Kapasitas dan Efisiensi Adsorpsi KA & KAI ........................................ 51
Tabel 7. Kadar sulfat adsorben metode tanam ..................................................... 53

vi
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Struktur porositas karbon aktif ............................................................ 7
Gambar 2. Proses impregnasi karbon aktif ............................................................ 9
Gambar 3. Proses adsorpsi gas pada material berpori ......................................... 11
Gambar 4. Proses adsorpsi fisik pada karbon aktif ............................................ 13
Gambar 5. Alur kerja alat TGA ........................................................................... 15
Gambar 6. Proses adsorpsi gas N2 pada permukaan padatan.............................. 16
Gambar 7. Pengukuran partikel berdasarkan prinsip DLS .................................. 18
Gambar 8. Prinsip kerja XRD.............................................................................. 19
Gambar 9. Prinsip kerja instrumen SEM ............................................................. 20
Gambar 10. Proses pengukuran kekeruhan oleh Turbidimeter ........................... 22
Gambar 11. Skema impregnasi karbon aktif ....................................................... 24
Gambar 12. Skema uji kinerja adsorben karbon aktif ......................................... 24
Gambar 13. Skema Reaktor Pertagastech............................................................ 29
Gambar 14. Ilustrasi keadaan uji tanam .............................................................. 31
Gambar 15. Hasil Pengujian TGA KA dan KAI ................................................. 36
Gambar 16. Pola distribusi ukuran partikel KA(a) dan KAI(b) .......................... 40
Gambar 17. Morfologi KA (a) dan KAI (b) perbesaran 1000x ........................... 42
Gambar 18. Spektrum energi KA (a) KAI (b) ..................................................... 43
Gambar 19. Difaktogram KA dan KAI ............................................................... 45
Gambar 20. Kurva adsorpsi KA (a) Langmuir (b) Freundlich ............................ 51
Gambar 21. Kurva adorpsi KAI (a) Langmuir (b) Freundlich ............................ 52

vii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Pembuatan larutan impregnan KOH 15% ...................................... 66
Lampiran 2. Pembuatan larutan kerja sulfat (SO42-) ........................................... 66
Lampiran 3. Pembuatan kurva kalibrasi untuk metode reaktor........................... 67
Lampiran 4. Kadar Sulfat pada sampel KA dan KAI Metode Reaktor ............... 67
Lampiran 5. Pembuatan kurva kalibrasi untuk metode tanam ............................ 68
Lampiran 6. Kadar Sulfat pada sampel KAI Metode Tanam .............................. 69
Lampiran 7. Perhitungan Kapasitas dan Efisiensi Adsorpsi ............................... 70
Lampiran 8. Data Isoterm Adsorpsi .................................................................... 71
Lampiran 9. Hasil karakterisasi dengan SAA ..................................................... 74
Lampiran 10. Hasil karakterisasi dengan PSA .................................................... 76
Lampiran 11. Dokumentasi penelitian ................................................................ 77

viii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Energi panas bumi (geothermal) merupakan salah satu sumber energi

alternatif yang pemanfaatannya dikembangkan untuk Pembangkit Listrik Tenaga

Panas Bumi (PLTP) dimana pengembangannya diketahui dapat menanggulangi

krisis kelistrikan di Indonesia. Indonesia memiliki keunggulan karena terletak pada

jalur cincin api atau Ring of Fire yang terbentang di seputar pasifik (Pambudi,

2018). Kondisi ini membuktikan terdapat titik – titik gunung berapi terutama pada

daerah Indonesia bagian barat. Dalam ayat Al-Qur’an dijelaskan pada surah Ath -

Thalaq ayat 12 dimana Allah berfirman:

‫ّللٓا ع ََل ُك ِ ِّل ش َْىءٍ َق ِد يُ ُر‬


َ ‫ض مِ ثْلَ ُهنه َيتَنَ هز ُل ا َْْلَ ْم ُر َب ْينَ ُحنه ِلت َ ْعلَ ُم َو ْا أَنه َ ه‬
ِ ‫ت َو مِ نَ ا َْْلَ ْر‬ ٍ ‫س َم َو‬
َ ‫س ْب َع‬َ ‫ق‬َ َ‫ّللٓاُ اَله ِذ ى َخل‬
‫َ ه‬
َ َ َ
‫ّللٓا ق ْد أ حَاط بِ ُك ِ ِّل شَئءٍ ِع ْل َما‬ َ
َ ‫َوأنه َ ه‬
Artinya: “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan begitu pula bumi, Perintah
Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar
meliputi segala sesuatu” (QS.Ath-Thalaq:12).

Menurut Sani (2014) ayat ini merangkan dimana Allah menciptakan tujuh

lapis langit begitu pun juga dengan penciptaan bumi yang memiliki tujuh lapisan.

Pada tiap lapisan bumi memiliki sifat dan kemaslahatan bagi kehidupan di muka

bumi dimana salah satu lapisannya terdapat sumber energi panas bumi yang dapat

digunakan sebagai sumber energi pembangkit listrik. Sumber energi panas bumi ini

diindikasikan terdapat hamparan gunung - gunung pada permukaan bumi dimana

fungsinya untuk menjaga atau menahan kelebihan energi panas bumi yang

dihasilkan sehingga tidak terjadi keterguncangan (Sada, 2016).

1
Keberadaan panas bumi dapat diketahui dari keberadaan fluida berupa gas

kimia merkuri (Hg) dimana untuk menunjukan daerah anomali (Meifano & Aji, 2019)

dan gas H2S digunakan sebagai geoindikator penentu zona uplow atau zona potensi

sumber panas bumi (Omar et al., 2022). Deteksi kedua kimia gas bumi tersebut

sebelumnya dilakukan dengan menggunakan metode jarum emas yang terbukti

dapat mendeteksi keberadaan gas Hg dalam tanah. Tetapi pada praktiknya metode

jarum emas belum dapat mendeteksi keberadaan gas H2S dalam area panas bumi,

selain itu metode jarum emas juga diketahui memiliki kelemahan dalam

pemanfaatannya karena dinilai lebih mahal dari segi harga dan rawan dicuri

(Energia, 2018). Pada penelitian ini memanfaatkan karbon aktif dalam metode

adsorpsi karena karbon aktif juga terbilang lebih murah dibandingkan dengan agen

pengadsorpsi lain seperti zeolit, alumina atau silika (Choo et al., 2013).

Karbon aktif sering digunakan dalam adsorpsi gas berbahaya, karena

diketahui memiliki sifat keselektifan yang tinggi serta luas permukaan dan pori

yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan aplikasi (Xie et al., 2014). Karbon aktif

umumnya berbahan baku biomassa hasil pertanian karena ketersediaanya melimpah

untuk pemanfaatan jangka panjang. Tempurung kelapa merupakan salah satu hasil

pertanian yang dapat dijadikan sebagai karbon aktif karena diketahui memiliki

keberadaan unsur karbon yang tinggi sehingga karbon aktif memiliki luas

permukaan yang besar. Diketahui tempurung kelapa memiliki kandungan karbon

sebesar 74,3% (Tamado et al., 2013). Tempurung kelapa juga diketahui memiliki

dominan struktur mikropori yang baik dijadikan sebagai bahan baku karbon aktif

(Pambayun et al., 2013).

2
Aplikasi karbon aktif dihadapkan dengan keadaan adsorpsi yang berbeda –

beda sehingga akan mempengaruhi kinerja karbon aktif sebagai adsorben yang akan

menghasilkan karbon aktif dengan kapasitas adsorpsi yang rendah dan selektivitas

kurang baik sehingga perlu ditingkatkan dengan memodifikasi permukaan karbon

melalui teknik impregnasi (Yogaswara, 2017). Impregnasi karbon aktif telah

banyak dilakukan dengan berbagai perlakuan seperti, menggunakan larutan basa

logam. Penggunaan kalium hidroksida (KOH) dan natrium hidroksida (NaOH)

telah terverifikasi dan paling umum digunakan untuk adsorpsi H2S dimana terbukti

meningkatkan keefektifan adsorpsi (Ghorbel et al., 2018). Menurut Abdullah et al.

(2017) penggunaan KOH lebih menguntungkan karena KOH memiliki kemampuan

reaksi katalitik yang tinggi dan dalam impregnasi prosesnya lebih singkat atau 1,4

kali lebih cepat serta penerapan dan kondisi impregnasi lebih mudah bila

dibandingkan dari penggunaan impregnan NaOH. Impregnasi dengan KOH akan

membuat ion OH- membuka ruang – ruang pada karbon sehingga membuka pori –

pori karbon dan ion K+ (kalium) akan terdifusi pada permukaan dan pori karbon

(Saputri, 2019).

Pengaruh impregnasi KOH ini akan meningkatkan konsentrasi gugus basa

pada permukaan karbon sehingga dapat disediakan untuk berinteraksi kuat dengan

gas H2S yang bersifat asam (Ghorbel et al., 2018). Impregnasi juga dapat merubah

mekanisme adsorpsi yang terjadi secara fisika atau yang disebut Physisorption

dimana berlandaskan mekanisme Weak Van der Waals (ikatan lemah) dengan

membentuk banyak lapisan (multilayer) menjadi mekanisme adsorpsi secara kimia

atau Chemisorption dengan menghasilkan ikatan kuat dan hanya melibatkan satu

lapisan (monolayer) berupa sisi aktif kimia sehingga penjerapan H2S ini dapat

3
berjalan dengan efektif dan meningkatkan kapasitas adsorpsi (Schnelle Jr et al.,

2015). Penelitian yang dilakukan Choo et al. (2013) juga telah membuktikan

impregnasi karbon aktif dari tempurung kelapa menggunakan larutan KOH dan

dibandingkan dengan yang tidak dilakukan impregnasi. Hasilnya kapasitas adsorpsi

impregnasi karbon aktif sepuluh kali lebih tinggi dari yang tidak diimpregnasi.

Sitthikhankaew et al., (2011a) melakukan impregnasi karbon aktif dengan

konsentrasi KOH sebesar 10% dalam adsorpsi gas H2S untuk pemurnian bahan

bakar gas. Impregnasi dilakukan pemanasan pada suhu 100° C dan dilakukan

pengeringan dengan oven selama 24 jam pada suhu 110° C. Pada adsorpsi suhu

rendah impregnasi KOH 10% terhadap karbon aktif menghasilkan kapasitas

adsorpsi sebesar 1,58 mg/g angka ini sedikit lebih kecil dari karbon aktif tanpa

impregnasi yaitu 1,67 mg/g. Penelitian ini akan melakukan penambahan

konsentrasi larutan impregnan sebesar 15% menggunakan basa KOH bertujuan

untuk meningkatkan kapasitas adsorpsi dari karbon aktif komersial atau tanpa

impregnasi dan dapat digunakan juga pada area eksplorasi panas bumi.

Karbon aktif impregnasi KOH 15% ini akan melewati proses karakterisasi

untuk melihat pengaruh impregnan terhadap karbon aktif dengan mengkarakterisasi

sifat permukaan berupa luas permukaan dan sifat pori dengan surface area analyzer

(SAA) juga untuk melihat distribusi ukuran partikel yang terbentuk menggunakan

particle size analyzer (PSA) dilanjutkan dengan karakterisasi kestabilan termal

dengan TGA, komponen senyawa kimia serta morfologi karbon aktif dengan SEM-

EDS dan melihat kristalinitas menggunakan XRD. Karbon aktif hasil impregnasi

dan karbon aktif yang tidak melewati proses impregnasi akan dibandingkan kinerja

kedua karbon dalam adsorpsi H2S pada lapangan eksplorasi panas bumi.

4
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh impregnasi KOH 15% terhadap karakteristik karbon

aktif meliputi luas permukaan serta porositas, ukuran partikel, kestabilan

termal, morfologi serta komponen kimia, dan kristalinitas?

2. Bagaimana kemampuan impregnasi KOH 15% terhadap karbon aktif dalam

adsorpsi gas H2S bila dibandingkan dengan karbon aktif tanpa impregnasi?

1.3 Hipotesis

1. Impregnasi KOH 15% mampu mempengaruhi karakteristik luas permukaan

serta porositas, ukuran partikel kestabilan termal, morfologi serta

perubahan kandungan unsur dan keberadaan kristalinitas.

2. Impregnasi KOH 15% terhadap karbon aktif menghasilkan kemampuan

adsorpsi lebih baik dibandingkan karbon aktif tanpa impregnasi dalam

adsorpsi gas H2S sehingga dapat digunakan dalam deteksi keberadaan panas

bumi.

1.4 Tujuan Penelitian

1. Menentukan karakteristik karbon aktif hasil impregnasi KOH 15% meliputi

parameter sifat permukaan (SAA), ukuran partikel (PSA), kestabilan termal

(TGA), morfologi (SEM-EDS), dan kristalinitas (XRD).

2. Menentukan kinerja karbon aktif impregnasi KOH 15% bila dibandingkan

dengan karbon aktif tanpa impregnasi dalam pengujian adsorpsi gas H2S.

5
1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi tentang karbon aktif

yang diimpregnasi KOH 15% untuk adsorpsi gas H2S dimana dapat menjadi salah

satu alternatif metode untuk mendeteksi senyawa H2S pada area eksplorasi panas

bumi.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karbon Aktif

Karbon aktif merupakan senyawa karbon yang diperoleh dari proses

pembuatan yang meliputi persiapan bahan baku, karbonisasi, dan aktivasi. Karbon

aktif sebagai adsorben memiliki tingkat porositas dan luas permukaan yang tinggi.

Permukaan yang luas dimiliki karbon aktif dipengaruhi oleh keberadaan permukaan

dalam atau internal surface dengan struktur berongga (Gambar 1.) maka memiliki

daya untuk menjerap gas atau uap (Yogaswara, 2017).

Gambar 1. Struktur porositas karbon aktif (Vargas et al., 2012)

Bentuk karbon aktif pada umumnya terbagi menjadi dua golongan yaitu

bentuk serbuk dan granul. Aplikasi pada bentuk serbuk digunakan dalam adsorpsi

pada larutan, seperti metode penghilangan warna atau decolorisation dan bentuk

granul biasa digunakan dalam adsorpsi gas dan uap (Vargas et al., 2012).

Keunggulan karbon aktif dibandingkan adsorben lain ialah pembuatannya

sederhana, eksploitasnya mudah dan murah, tahan terhadap korosif (asam maupun

basa) dan racun lingkungan, kemampuan adsorpsi yang tinggi untuk gas maupun

7
cairan (Belala et al., 2011; Bhatnagar et al., 2013; Rambabu et al., 2015). Karbon

aktif umumnya digunakan untuk purifikasi polusi udara, penghilang limbah cair

seperti logam berat dan perwarna organik (Abdullah et al., 2017).

Tempurung kelapa memiliki sifat kekerasan dan kekuatan yang didapatkan

dari kandungan lignin yang besar, bila dibandingkan dengan sekam padi (19,3%

Lignin) atau jerami jagung (11% Lignin), tempurung kelapa memiliki kandungan

lignin yang besar yaitu 27%. Kandungan lignin yang besar ini juga akan

membentuk struktur pori sehingga tempurung kelapa cocok dijadikan sebagai

karbon aktif (Zaya et al., 2018). Tempurung kelapa juga mengandung unsur karbon

sebesar 74,3% yang mempengaruhi besarnya luas permukaan (Tamado et al.,

2013). Karbon aktif yang dibuat dari tempurung kelapa memiliki pori besar antara

10 – 10000 Å sehingga dapat dilewati oleh partikel gas terkecil dan menyebabkan

gas terperangkap secara fisik maupun kimiawi pada pori (Sudding, 2013).

Karbon aktif juga memiliki sifat luas permukaan yang besar, dominan

struktur mikropori, distribusi ukuran pori merata, permukaan memiliki reaktivitas

yang tinggi, keunggulan mekanik dan kapasitas adsorpsi yang besar (Mashhadi et

al., 2016). Karbon aktif dengan ketahanan abrasi yang tinggi, kekuatan termal yang

tinggi dan memiliki diameter pori yang kecil sehingga mempengaruhi sifat

permukaan yang akan meningkatkan kapasitas adsorpsi (Cui et al., 2011; Prauchner

et al., 2016).

2.2 Impregnasi Karbon Aktif

Impregnasi adalah metode untuk mendistribusikan logam ke dalam pori –

pori padatan melalui larutan logam dengan teknik adsorpsi sampai kondisi jenuh.

8
Tujuan dilakukannya impregnasi untuk memodifikasi permukaan dan

meningkatkan kapasitas adsorpsi karbon aktif. Karbon aktif tanpa modifikasi

memiliki kapasitas adsorpsi yang lebih kecil sehingga perlu dilakukan modifikasi

permukaan dengan impregnasi untuk memperbesar sifat dari karbon (Deng et al.,

2017; Jin et al., 2016). Karbon aktif dengan impregnasi akan menghasilkan adsorpsi

lebih tinggi karena menghasilkan mekanisme adsorpsi secara kimia atau

chemisorption antara permukan adsorben dan adsorbat (Wang et al., 2016). Fraksi

kimia permukaan karbon akan berubah karena pengaruh impregnasi (Behnamfard

et al., 2014; R. Xie et al., 2013).

Proses impregnasi pada karbon aktif melibatkan pencampuran secara fisik

bahan kimia melalui larutan yang mudah menguap untuk selanjutnya terjadi

penyerapan oleh karbon aktif. Larutan akan membantu mendistribusikan bagian

bahan kimia ke permukaan dan juga pori dari karbon aktif. Kelebihan larutan yang

tidak bereaksi akan dihilangkan dengan cara menguapkan larutan yang mudah

menguap (Builes & Vega, 2013). Gambar 2. diilustrasikan proses impregnasi.

Gambar 2. Proses impregnasi karbon aktif (Konwar et al., 2014)

9
Impregnasi dilakukan dengan bantuan pemanasan dibawah titik didih

larutan logam dan dengan pengadukan hingga campuran menjadi pekat (slurry)

dilakukan dalam waktu tertentu sehingga diharapkan logam akan banyak mengisi

pori – pori karbon aktif. Metode impregnasi dalam dua tahap bagian dimana

dilakukan secara langsung (co-impregnation) dimana larutan logam dimasukkan

secara langsung ke dalam pori padatan dan dapat dilakukan secara bertahap

(sequential) dimana pemasukan larutan logam secara terpisah. Impregnasi dapat

dilakukan secara impregnasi kering (Lira et al., 2016) atau dengan impregnasi basah

(Ahluwalia et al., 2016; Ahmed et al., 2017) bergantung pada bagaimana cara

larutan ditambahkan pada permukaan karbon aktif.

2.2.1 Impregnasi Kering (Dry Impregnation)

Dalam impregnasi kering dilakukan penambahan pelarut yang sudah

ditetapkan jumlahnya sebanding dengan pori – pori adsorben. Larutan logam

ditambahkan tidak lebih dari 1,2 jumlah volume pori adsorben. Volume pori

adsorben harus diketahui terlebih dahulu sehingga dapat menentukan volume

larutan yang akan ditambahkan. Hasil akhirnya jumlah larutan yang akan

dimasukkan dengan volume pori yang tersedia adalah sama (Richardson, 1989).

2.2.2 Impregnasi Basah (Wet Impregnation)

Impregnasi basah menambahkan larutan impregnan jumlahnya lebih dari

volume pori yang ditambahkan. Larutan logam ditambahkan lebih dari 1,5 kali

volume pori adsorben. Larutan yang lebih banyak memudahkan garam logam

terdistribusi dalam pori adsorben. Impregnasi basah akan menghasilkan distribusi

sisi aktif logam pada daerah luar adsorben. Kelebihan larutan impregnan yang

10
ditambahkan akan dilakukan proses pengeringan sehingga distribusi komponen

kimia dapat di ketahui (Singh et al., 2016).

2.3 Adsorpsi pada Karbon Aktif

Adsorpsi adalah proses dimana fluida berupa gas, uap maupun cairan

berkontak secara fisik dengan permukaan suatu padatan. Adsorpsi terjadi ketika

molekul - molekul fluida (adsorbat) dengan permukaan berupa padatan (adsorben)

melekat satu sama lain (Mu’in et al., 2017). Dalam proses adsorpsi gas ketika

ketebalan fasa teradsorp sama dengan diameter yang dimiliki molekul adsorbat

maka akan membentuk satu lapisan atau yang disebut monolayer (Gambar 3)

Selanjutnya bila adsorpsi masih dapat berlangsung akan terbentuk lapisan

berikutnya atau yang disebut multilayer.

Gambar 3. Proses adsorpsi gas pada material berpori (Perwitasari, 2007)

Proses adsorpsi sangat dipengaruhi oleh strukur pori suatu adsorben.

Adsorben karbon aktif memiliki dominan pori kecil (micropore), dimana tempat

utama terjadinya proses adsorpsi sedangkan untuk pori lebih besar (macropore)

berperan sebagai pintu masuk adsorbat dari permukaan untuk menuju micropore.

Daya adsorpsi karbon aktif ditentukan salah satunya oleh karakteristiknya seperti

sifat permukaan karbon yang meliputi luas permukaan, diameter pori dan jumlah

pori. Adsorpsi gas dengan karbon aktif terjadi ketika molekul dari gas akan

11
melakukan kontak dengan permukaan karbon dan dapat terjadi berdasarkan gaya

fisik maupun secara kimia yang dapat disesuaikan dalam kebutuhan adsorpsi gas

(Ding & Bhatia, 2003).

2.3.1 Adsorpsi Secara Fisik

Adsorpsi fisik atau Physisorption antara gas atau uap dengan adsorben tidak

terjadi ikatan secara kimia. Adsorpsi fisik pada karbon aktif akan terjadi secara

selektif dimana hanya antara adsorbat (gas atau uap) dengan adsorben (permukaan

karbon aktif) dan terjadi dipengaruhi antara adsorbat dengan kepolarannya (Le-

Minh et al., 2018). Fenomena ini menghasilkan kesetimbangan dimana terjadi

secara reversible dan prosesnya cepat. Adsorbat berupa molekul gas maupun uap

akan berdifusi kedalam pori yang dimiliki karbon aktif dari pori yang besar ke pori

terkecil. Hal ini dapat terjadi karena terdapat energi potensial yang berasal dari gaya

tarik menarik antara permukaan adsorben maupun permukaan adsorbat atau biasa

dikenal dengan gaya Van der Waals (Ramalingam, 2012).

Proses adsorpsi pada struktur pori adsorben dimana terjadi pada tiga tahap

yaitu ; terjadi perpindahan adsorbat melalui struktur makropori adsorben, terjadi

perpindahan adsorbat dari makropori ke mesopori adsorben, adsorbat terikat

dengan permukaan adsorben melalui dinding struktur mesopori dan mikropori atau

disebut fenomena sorption. Persebaran difusi dipengaruhi oleh ukuran molekul dan

keberadaan struktur pori karbon (Ramalingam, 2012). Proses difusi masih dapat

berlanjut sampai molekul adsorbat tidak lagi mampu untuk berikatan secara Van

der Waals dengan dinding pori. Adsorpsi fisik pada pori karbon aktif digambarkan

pada Gambar 4.

12
Gambar 4. Proses adsorpsi fisik pada karbon aktif (Le-Minh et al., 2018)

2.3.2 Adsorpsi Secara Kimia

Adsorpsi kimia atau chemisorption terjadi karena terbentuknya ikatan kimia

antara adsorbat (gas maupun larutan) dengan adsorben (berupa padatan). Jika

dibandingkan dengan physisorption yang mekanismenya akan melibatkan banyak

lapisan (multilayer), berbeda dengan chemisorption memiliki ikatan yang kuat

dengan hanya melibatkan satu lapisan (monolayer) (Schnelle et al., 2015). Adsorpsi

ini terjadi pada suhu tinggi dan panas hasil adsorpsi dihasilkan lebih tinggi dari

adsorpsi fisika yaitu sebesar 10 – 100 kkal/gmol gas dan sifatnya irreversible.

Fenomena desorpsi hanya dapat terjadi jika terdapat energi lebih tinggi sehingga

menyebabkan terjadinya pemutusan ikatan antara adsorbat dan adsorben

(Ramalingam, 2012).

Chemisorp pada adsorben dapat terjadi pada karbon aktif yang di aktivasi

secara kimia atau telah melewati proses modifikasi permukaan salah satunya

dengan impregnasi dengan zat kimia. Hal ini memberikan perubahan yang

signifikan dari komponen kimia maupun sifat permukaan yang dimiliki karbon aktif

13
(Le-Minh et al., 2018). Adsorpsi secara kimia ini sangat bersifat spesifik karena

terjadi berdasarkan afinitas kimia yang ada antara karbon aktif dan adsorbat.

Karbon aktif akan menyediakan sisi aktif secara kimia pada permukaan yang dapat

bereaksi dan atau berikatan dengan adsorbat yang dihadapi juga memiliki

ketersediaan energi aktivasi (Schnelle Jr et al., 2015).

2.4 Karakterisasi Karbon Aktif

2.4.1 Thermal Gravimetry Analyzer (TGA)

Thermal Gravimetry Analyzer (TGA) digunakan dalam menentukan

stabilitas termal dari suatu material padatan organik atau anorganik. Hasil

karakterisasi dapat berupa hasil akhir produk sehingga dapat terlihat perbandingan

komposisi awal dan akhir material. Stabilitas termal diketahui dari proses

pemanasan hingga 1000⁰ C. Kehilangan maupun bertambahnya berat material dapat

terjadi ketika pengaruh adanya dekomposisi, evaporasi, reduksi, desorpsi maupun

dehidrasi. Sedangkan fenomena kenaikan massa terjadi ketika material teroksidasi

yaitu terjadi interaksi bahan dalam suasana pengoksidasi dan absorpsi (Polini &

Yang, 2017). TGA analisa kuantitatif dalam bahan atau material mudah menguap

akan menghasilkan pengukuran berupa termogram massa terhadap fungsi suhu.

Prinsip TGA adalah pemanasan sampel dalam suhu tinggi tetapi menggunakan gas

inert seperti helium, nitrogen maupun argon. Seiring dengan terjadinya peningkatan

suhu maka akan terukur berat sampel yang mengalami dekomposisi (Smallman &

Bishop, 1999). Alur kerja TGA diperlihatkan pada Gambar 5.

14
Gambar 5. Alur kerja alat TGA (Arianti, 2011)

Proses analisa dalam sebuah sample pan dengan bantuan precision balance

yang kemudian diletakan dalam sebuah furnace dalam keadaan panas atau dingin

dan pengujian dilakukan pemanatuan massa sampel hingga mencapai suhu yang

ditetapkan. Kondisi suhu lingkungan sampel dibuat stabil dengan mengalirkan gas

agar lingkungan sampel dapat di kontrol. Digunakan gas inert yang bersifat stabil

yang kemudian akan dibuang melalui saluran pembuangan (exhaust) (Beri &

Sanjaya, 2012). Hasil selisih antara berat sampel dan berat blanko (kondisi nol)

direkam dan menghasilkan plot grafik berupa thermogram fungsi massa terhadap

suhu. Massa sampel akan mengalami perubahan karena terjadi dekomposisi,

evaporasi, adsorpsi hingga terjadi reaksi terhadap atmosfer (gas) ketika digunakan

dalam analisa pengurangan massa (Smallman & Bishop, 1999).

2.4.2 Surface Area Analyzer (SAA)

Surface area analyzer (SAA) merupakan salah satu intrumen yang umum

digunakan dalam karakterisasi suatu material dengan hanya memerlukan sampel

dalam jumlah sedikit hanya sekitar 0,01 hingga 0,1 gram dalam proses analisanya.

Intrumen ini digunakan dalam menentukan sifat permukaan berupa luas permukaan

15
suatu material beserta distribusi pori berdasarkan hasil isotherm adsorpsi gas pada

permukaan padatan. SAA bekerja berdasarkan prinsip Bruneur-Emmet-Teller

(BET). Prinsip kerjanya dilakukan dengan proses adsorpsi gas dimana ditentukan

jumlah suatu molekul dapat menutupi permukaan padatan secara monolayer (satu

lapisan adsorbat), adsorbat akan menempati permukaan dan pori dimana akan

jumlah jumlahnya akan dihitung sebagai luas permukaan dari suatu padatan (Gregg

& Sing, 1982).

Gambar 6. Proses adsorpsi gas N2 pada permukaan padatan (Matshitse, 2010)

Pada adsorpsi gas N2 pada permukaan padatan yang diilustrasikan pada

Gambar 6 dimana analisa luas permukaan dilakukan ketika gas nitrogen telah

mencapai kesetimbangan dan terjadi proses adsorpsi manghasilkan tekanan yang

berbeda dan bersamaan dengan tekanan yang terjadi setiap bertambahnya gas N2

maka dapat terbaca volume gas N2 pada keadaan teradsorpsi. Pada proses adsorpsi

terbentuk lapisan monolayer dimana menunjukan keadaan awal teradsorpnya gas

16
N2 pada permukaan padat dan digunakan untuk menghitung volume permukaan,

kemudian ketika gas N2 ditambahkan akan menghasilkan lapisan multilayer yang

akan menunjukan jumlah distribusi pori dari yang terkecil hingga pori terbesar

(Matshitse, 2010).

2.4.3 Particle Size Distribution Analyzer (PSA)

Particle size distribution (PSA) salah satu instrumen untuk menghitung

ukuran partikel beserta distribusinya dengan menggunakan prinsip Dynamic Light

Scattering (DLS). Menggunakan prinsip DLS dalam mengukur ukuran partikel

bertujuan agar menghasilkan pengukuran populasi partikel dengan jumlah besar

dan hanya dalam waktu yang singkat, prosesnya tidak terpengaruh oleh medium.

Intrumen ini dapat mengukur ukuran partikel dari ukuran terkecil yaitu 0.6 nm

hingga 6 µm (Bumiller et al., 2006).

Dynamic Light Scattering (DLS) yang digunakan dalam analisa ukuran

partikel dengan PSA prinsipnya memakai sebaran sinar inframerah dimana sebaran

dihasilkan oleh alat yang akan ditembakkan ke sampel dan akan menghasilkan

reaksi gerak Brown (Brownian Motion). Gerak brown merupakan hasil dari gerak

termal acak partikel kecil dalam suspensi yang diakibatkan terjadi benturan antara

molekul-molekul dalam zat cair (Horiba, 2014). Brownian Motion hasil dari

pemboman pertikel yang terdapat pada molekul-molekul dalam media pendispersi.

Gerakan acak brown yang dihasilkan digunakan untuk menghitung ukuran partikel

yang diilustrasikan pada Gambar 7. Kecepatan gerak partikel akan terbaca dan

hasilnya berbanding dengan hasil nilai ukuran partikel. Ukuran partikel yang

17
semakin kecil akan bergerak lebih cepat dalam medium dan bila ukuran paritkel

semakin besar maka terjadi pergerakan lebih lambat (Adhikari, 2021).

Gambar 7. Pengukuran partikel berdasarkan prinsip DLS (Adhikari, 2021)

Pengukuran partikel dan distibusinya dilakukan dengan PSA:

1. Pengukuran partikel dari ukuran submikron hingga milimeter digunakan


difraksi sinar laser
2. Menghitung partikel ukuran mikron hingga milimeter digunakan counter
principle
3. Partikel berukuran mikron hingga nanometer diukur melalui hamburan sinar

2.4.4 X-Ray Diffraction (XRD)

X-Ray Diffraction (XRD) adalah instrumen yang digunakan dalam

pembaacaan kristal yang terbentuk dari suatu padatan organik maupun polimer,

materi geologi, logam, keramik dan materi elektronik. Ukuran kristal dapat juga

diukur dengan menggunakan XRD (Smallman & Bishop, 1999). Menurut Leofanti

et al., 1997 XRD sebagai alat analisis digunakan untuk menganalisa banyak jenis

atom pada kristal, struktur kristal beserta cacat kristal dari suatu padatan dilihat

berdasarkan nilai jarak d (bidang kristal) beserta intensitas puncak difraksi

dibandingkan dengan data standar.

18
Prinsip instrumentasi XRD diperlihatkan pada Gambar 8. dapat diuraikan

ketika sinar-X dipancarkan oleh sumber yaitu berasal dari tabung berfilamen dan

berkatoda sehingga menghasilkan berkas elektron. Kecepatan elektron dalam

menembaki objek dipengaruhi oleh perbedaan tegangan yang dihasilkan. Pancaran

sinar-X dihasilkan ketika elektron berenergi tinggi menembaki suatu objek. Ketika

refleksi dari sinar-X dihasilkan, objek dan detektor menghasilkan putaran dalam

pembacaan intensitas sinar-X. Detektor membaca dan mengolah pancaran sinar-X

kedalam bentuk grafik dan dihasilkannya sebuah spektrum difraksi (Gunawarman,

2013).

Gambar 8. Prinsip kerja XRD (Gunawarman, 2013)

2.4.5 Scanning Electron Microscopy-Energi Dispersive Spectroscopy (SEM-

EDS)

Scanning Electron Microscopy (SEM) digunakan dalam melihat morfologi

hasil senyawa sintesis, distribusi persebaran kristal dan tranformasi fisika suatu

material. Analisa menggunakan SEM akan mendapatkan gambar dalam resolusi

tinggi terhadap sampel yang dianalisa. Kemampuan perbesaraan mencapai 40.000

hingga 100.000x sehingga struktur mikro berbagai jenis material sains dapat

teranalisa. Prinsip alat instrumen SEM ialah ketika suatu sampel ditembaki oleh

19
electron gun dengan bantuan lensa magnetik yang berfungsi untuk memfokuskan

elektron menembak sampel. Ketika seberkas elektron ditembakan, elektron akan

bertumbukan dengan sampel maka permukaan sampel akan dipindai dengan cara

fokus scan pada seluruh bagian sampel secara merata. Sampel yang telah terkena

hamburan elektron menghasilkan elektron baru atau elektron teremisikan dan akan

dibaca oleh detektor. Sinyal dari elektron tersebut yang akan diterjemahkan menjadi

gambaran morfologi sampel. Gambaran prinsip kerja alat ini diperlihatkan pada

Gambar 9.

Gambar 9. Prinsip kerja instrumen SEM (Gunawarman, 2013)

Analisa akan terjadi reaksi refleksi dari elektron dan akan terbaca atau

ditangkap oleh kedua jenis detektor yaitu detektor untuk elektron sekunder

(Secondary Electron) atau detektor SE dan detektor Back Scatter Electron atau

BSE. Elektron yang terbaca oleh detektor SE dan BSE ini akan menghasilkan

gambar morfologi berupa struktur mikro dari permukaan sampel. Selanjutnya

dalam penentuan komponen kimia dilakukan menggunakan detektor sinar-X yaitu

detektor EDS (Gunawarman, 2013).

20
Energy Dispersive Spectroscopy (EDS) digunakan dalam menganalisa

keberadaan unsur-unsur yang terkandung suatu material dengan melihat dari

gambar mikrostruktur yang dihasilkan. Prinsip detektor ini akan membaca suatu

sinyal sinar-X yaitu fluoresensi hasil berkas elektron ketika menumbuk suatu

material, kemudian sinar-X akan terbaca oleh detektor dan dihasilkan sebuah

intensitas yang sama dengan panjang gelombang sinar-X. Karakterisasi komponen

dilakukan dengan mengarahkan sinar-X pada posisi atau struktur mikro yang ingin

diketahui kandungan unsurnya, maka akan menghasilkan sebuah puncak-puncak

yang menindikasikan keberadaan suatu unsur (Friel, 2003).

2.5 Pengujian Kadar S (SO42-) Karbon Aktif

2.5.1 Metode Turbidimetri

Metode turbidimetri dilakukan untuk mengukur suatu kosentrasi dari

partikulat sebuah suspensi. Pengukuran didasari dari hamburan elastis cahaya oleh

partikel. Satuan yang digunakan dalam pengukuran yaitu NTU dan FAU. Dalam

penggunaan instrumen turbidimeter menghasilkan dispersi sinar dari suatu sifat

optik dan hasilnya merupakan perbandingan antara cahaya yang dipantulkan

dengan cahaya datang yang diukur sebagai fungsi turbiditas. Jika suspensi

memantulkan intensitas cahaya maka itu merupakan fungsi dari konsentrasi bila

semua kondisi dalam keadaan konstan (Khopkar, 1990). Pengukuran turbidimetri

dapat terjadi ketika zat yang akan dilakukan analisa bereaksi sempurna dengan

pereaksi dalam kelarutan yang kecil. Prinsip pada spektroskopi juga diterapkan

dalam turbidimeter dimana akan mengukur absorpsi partikel tersuspensi. Metode

turbidimetri ini dapat digunakan dalam penentuan konsentrasi SO4 dalam sampel

21
larutan dengan bantuan BaCl2 dalam prosesnya sehingga terjadi reaksi yang

menghasilkan BaSO4 (Skoog et al., 2013).

Turbidimeter digunakan dalam analisa kuantitatif sampel berupa larutan

didasari pada pengukuran turbidan atau kekeruhan dari keberadaan partikel padat

larutan dengan dilewatkannya sinar yang akan menghambur ke segala arah. Jenis

larutan yang dapat dianalisis dengan turbidimeter ialah larutan berupa koloid

maupun suspensi. Instrumen akan mengukur hamburan cahaya dimana hamburan

yang terbentuk pada sudut 180⁰ yang akan terbaca (Widjajanti, 2004). Selain itu,

pengukuran juga dapat terjadi pada sudut yang terbentuk pada 90⁰. Gambar 10.

mengilustrasikan macam konfigurasi dalam proses pengukuran turbidan dalam

sistem optik.

Gambar 10. Proses pengukuran kekeruhan oleh Turbidimeter (Bin Omar & Bin
Mat Jafri, 2009)

22
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan November 2021 sampai dengan Mei

2022 di Laboratorium Material & Chemical Research, Research and Technology

Innovation (RTI) Pulogadung, PT. Pertamina (Persero). Uji kinerja adsorben

dengan perlakuan uji tanam dilakukan di Pertamina Geothermal Energy (PGE),

Karaha Bodas, Tasikmalaya.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu seperangkat gelas kimia,

magnetic stirrer, siever 600 – 350 µm¸ oven, cawan porselin, dan seperangkat alat

uji tanam yaitu alat Pertagastech dari PT. Pertamina. Instrumen yang digunakan

dalam penelitian ini adalah Thermogravimetric Analyzer (TGA) Q50, Surface Area

Analyzer (SAA) Quantachrome Autosorb-6Isa beserta alat degasser Flovac

degasser, Particle Size Analyzer (PSA) Horiba LA-960V2, X-Ray Difraction

(XRD) Empyrean PANalytical, Scanning Electron Microscopy (SEM) FEI ESEM

Quanta 450 FEG, Turbidity Meter Lovibond TB 300 IR.

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah karbon aktif tempurung

kelapa komersial Goldcarb ECO80, KOH (Merck), Na2SO4 (Merck), HNO3

(Merck), BaCl2 (Merck), gliserol, ethanol dan aquades.

23
3.3 Skema Penelitian

Karbon Aktif Tempurung Kelapa


Komersial

Dilakukan pengayakan dengan shiever ukuran


30-45 mesh

KA Karakterisasi dengan TGA,


BET, PSA, SEM, XRD

Larutan Impregnasi basah


impregnan KOH dengan larutan KOH
15% 15%
1. Dipanaskan (T = 100⁰ C, t = 2 jam)
2. Diuapkan air pada (T = 120º C)
3. Dikeringkan karbon aktif dalam oven (T =
110º C, t = 24 jam)

KAI Karakterisasi dengan TGA,


BET, PSA, SEM, XRD

Gambar 11. Skema impregnasi karbon aktif

Alat
KA & KAI hasil
Pertagastech
karakterisasi
PT. Pertamina

Uji Kinerja dengan


Metode Reaktor dan
Metode Tanam

KA(R) &
KAI(R) juga
Uji Turbiditas
K(G) & KAI(G)

Analisa Kadar S (SO42-)

Gambar 12. Skema uji kinerja adsorben karbon aktif

24
3.4 Prosedur Penelitian

3.4.1 Pembuatan Larutan Impregnan

Larutan potassium hidroksida (KOH) dibuat untuk mengimpregnasi karbon

aktif dengan konsentrasi KOH yang digunakan sebesar 15%. Larutan dibuat dalam

labu ukur volume 500 mL dengan melarutkan sebanyak 75 gram kristal KOH

dengan aquades kemudian labu di tera hingga tanda batas. larutan digunakan dalam

impregnasi basah untuk merendam karbon aktif. Perhitungan kristal KOH yang

digunakan disajikan pada Lampiran 1.

3.4.2 Preparasi Ukuran Granul Karbon Aktif (Khuluk, 2016)

Karbon aktif tempurung kelapa komersial yang sudah teraktifasi dilakukan

optimasi ukuran granul dengan melewati proses pengayakan. Karbon aktif

dilakukan pengayakan dengan bantuan alat shiever ukuran mesh antara 30 dan 45

sehingga dihasilkan ukuran partikel sekitar 600-350µm dan ditandai sebagai KA.

3.4.3 Proses Impregnasi (Sitthikhankaew et al., 2011a)

Impregnasi KOH pada karbon aktif dilakukan dengan menggunakan metode

imprgenasi basah. Karbon aktif komersial dengan ukuran granul 600-350 μm

diimpregnasi menggunakan larutan KOH 15% untuk merendam karbon aktif

dengan perbandingan karbon aktif dan volume larutan 1 : 2 yaitu karbon aktif

sebanyak 50 gr dan larutan impregnan 100 mL. Campuran tersebut diaduk dengan

magnetic stirrer 300 – 500 rpm diatas hot plate dalam keadaan suhu 100º C selama

2 jam dan suhu dinaikan menjadi 120⁰ C untuk menguapkan kandungan air. Karbon

25
aktif yang telah diimpregnasi dilakukan pencucian sebanyak 3 kali menggunakan

aquades.

Karbon aktif yang masih mengandung air dikeringkan kembali pada suhu

110o C dalam oven selama 24 jam sehingga kandungan air menguap dan kering

sepenuhnya. Selanjutnya karbon aktif yang telah telah diimpregnasi dengan sebutan

KAI dibandingkan dengan KA dalam pengujian dengan TGA kemudian

karakterisasi dengan SAA, PSA, SEM dan XRD.

3.4.4 Karakterisasi Karbon Aktif Sebelum dan Sesudah Impregnasi

3.4.4.1 Thermal Gravimetry Analyzer (TGA) (ASTM, 2019)

KA dan KAI diuji stabilitas termal dengan TGA berdasarkan perkiraan

kehilangan berat massa sehubungan dengan suhu. Sebelum melakukan analisa

sampel dilakukan kalibrasi timbangan mikro terlebih dahulu dengan melakukan

tare pada baki kosong. Kemudian meletakan sekitar 30 mg sampel pada spesimen

autosampler secara otomatis dan pengujian dilakukan melalui pirolisis dengan 35

ml/menit aliran N2 dan peningkatan suhu pemanasan 10⁰ C/menit hingga suhu

mencapai 900⁰ C pengujian ini mengacu pada ASTM E 2404.

3.4.4.2 Surface Area Analyzer (SAA) (ASTM, 2020)

KA dan KAI di karakterisasi sifat permukaannya yang meliputi luas

permukaan, volume pori dan diameter pori. Karakterisasi dilakukan dengan

menimbang sampel sekitar ± 0,1 gram dalam sample cell yang sebelumnya sudah

diketahui beratnya. Dicatat berat sampel dalam sample cell. Sampel dalam sample

cell dilakukan proses degassing dengan alat degasser yang dimasukkan ke dalam

port degassing station. Proses degassing dilakukan dalam keadaan vakum (107

26
Torr) dengan bantuan alat vacuum pump. Sample cell dipasang pada sekrup

connecting pada alat degasser yang ditutup heating mantel. Analisa dilakukan

dengan bantuan software pada computer dengan mengatur program degass yang

ada sesuai SOP. Proses degassing untuk karbon aktif dilakukan selama ± 3 jam,

kemudian dilakukan penimbangan pada sample cell dan dicatat massa sebelum

proses degassing dikurangi massa sesudah proses degassing.

Memulai karakterisasi dengan menambahkan filter road ke dalam sample

cell. Instrumen SAA disiapkan beserta software pendukung. Sample cell beserta

filter road diletakan pada station yang terdapat pada instrumen. Disiapkan gas N2

dengan mengisi tabung deware dengan nitrogen cair hingga terisi sampai leher

tabung dan dipasang pada instrumen. Valve gas untuk mengalirkan gas N2 dan

Helium dibuka dan software diatur sesuai dengan SOP. Karakterisasi dilakukan

secara otomatis dengan instrumen SAA dimana prinsipnya berdasarkan adsorpsi

gas N2 dan dikalkulasi sesuai dengan persamaan Bruneur-Emmet-Teller (BET)

mengacu pada ASTM D 3663. Hasil karakterisasi akan berupa luas permukaan

(surface area) dalam satuan m2/g, ukuran pori (pore size) satuan cc/g dan volume

pori (pore volume) satuan Å.

3.4.4.3 Particle Size Analyzer (PSA) (ASTM, 2017)

KA dan KAI di karakterisasi ukuran partikel dengan instrumen PSA.

Sampel dalam jumlah ± 0,1 gram dimasukkan dalam 5 mL aquabidest dam

ditambahkan 1 – 2 tetes surfaktan (Tween 20) dan diaduk hingga homogen dan

sampel tidak mengapung pada permukaan larutan. Disiapkan software pendukung

pada computer, kemudian campuran tersebut dimasukkan dalam tabung analisa dan

27
dimulai analisa dengan instrumen PSA untuk menentukan distribusi ukuran

partikel. Karakerisasi dilakukan mengacu pada ASTM D2862.

3.4.4.4 XRD (Metode Internal Pertamina)

KA dan KAI di karakterisasi fasa kristal yang terbentuk. Sebelum dilakukan

karakterisasi dengan instrumen XRD, sampel terlebih dahulu di preparasi dengan

dihaluskan dan diletakan pada plat sampel. Pengujian dilakukan dengan bantuan

radiasi copper (Cu) kemudian dalam kondisi tekanan 40 kV, arus 25 mA dan dalam

rentang sudut 5 – 90⁰. Hasil karakterisasi menghasilkan bentuk difraktogram

dengan puncak – puncak (sudut 2θ) yang dapat dibandingkan dengan standar Joint

Committee of Powder Diffraction Standar (JCPDS) sehingga dapat diketahui fasa

kristal yang dimiliki komponen dari karbon aktif maupun komponen impregnan.

3.4.4.5 SEM-EDS (Metode Internal Pertamina)

KA dan KAI dilakukan karakterisasi morfologi permukaan dan untuk

mengetahui elemen kimia dengan instrumen SEM-EDS. Sampel diletakkan pada

sampler holder dengan bantuan carbon tape kemudian dimasukkan dalam specimen

chamber untuk dilakukan observasi sebelum dilakukan pengambilan gambar.

pengambilan gambar dilakukan dengan pemotretan sesuai dengan perbesaran yang

diinginkan untuk dapat mendeteksi butiran, batasan, batas butir, keretakan dan

dislokasi. Keadaan karakterisasi dilakukan dalam tegangan 10-20 kV dan

perbesaran 1000-5000x. Hasil gambar dari SEM akan digunakan selanjutnya untuk

deteksi komponen kimia dengan menembakan titik yang akan di analisa dengan

detektor EDS. EDS akan merepresentasikan komponen kimia dalam bentuk grafik

persentase (% massa) dan (% atom) dari elemen unsur dalam sampel.

28
3. Uji Kinerja Adsorben Metode Pertagastech (Metode Internal Pertamina)

Adsorben KA dan KAI keduanya dibandingkan dengan menguji kapasitas

adsropsi H2S menggunakan bantuan reaktor. Kedua adsorben dipersiapkan untuk

uji kinerja menggunakan bantuan reaktor Pertagastech. Ilsutrasi skema kerja reaktor

H2S pada Gambar 13.

Gambar 13. Skema Reaktor Pertagastech

Skema dimulai dari gas dialiri menuju reaktor dengan keadaan vakum menyala dan

gas masuk kedalam reaktor yang sudah berisi kedua sampel adsorben KA dan KAI.

Kedua sampel dialiri gas H2S dan gas dibuang melalui saluran menuju kedalam

tempat penyimpangan (trap). Pengujian adsorpi dengan reaktor dilakukan sampai

adsorben karbon aktif jenuh dan gas habis selama 1 jam.

Hasil uji kinerja kedua adsorben ditandai dengan KA (R) dan KAI (R) untuk

karbon aktif dan karbon aktif dengan impregnasi yang telah jenuh kemudian

dianalisa perbandingan kandungan H2S yang berhasil teradsorp dengan

menentukan kadar sulfat dalam karbon aktif. Adsorben dengan kapasitas adsorpsi

29
lebih baik akan dilanjutkan dalam deteksi gas H2S pada area eksplorasi panas bumi

menggunakan metode tanam.

3.4.6 Uji Kinerja Adsorben Metode Tanam (Metode Internal Pertamina)

Adsorben KAI sebelumnya dimasukkan dalam alat uji tanam yaitu berupa

packaging Pertagastech dari PT. Pertamina dimana disediakan 3 sachet packaging

dengan masing-masing sachet berisikan 3 kolom adsorben karbon aktif. Uji tanam

dilakukan pada beberapa lokasi yaitu pada Depan Gedung Kantor, Talaga, dan

Kawah lapangan eksplorasi panas bumi Karaha Bodas, Tasikmalaya, dilakukan uji

tanam adsorben karbon aktif beserta dengan alat pendukung Pertagastech dari PT.

Pertamina.

Tanah di bor pada kedalaman 1 - 1.5 meter dengan diameter lubang ± 3 inch

dan dipasang pipa paralon. 3 sachet adsorben diletakan ke dalam pipa dengan

dikaitkan pada penutup pipa. Sebelum pipa ditutup, di setting alat vakum untuk

dilakukan sterilisasi pada lubang pengeboran. Pipa ditutup selama 2 minggu untuk

dilakukan pengujian kinerja adsorben dalam adsorpsi gas H2S. Setelah proses uji

tanam selama 2 minggu, pipa dibuka dan diambil sachet adsorben kemudian

disimpan dalam tabung vakum. Karbon aktif impregnasi hasil uji tanam yang telah

melewati proses adsorpsi ditandai dengan KAI(G) selanjutnya dilakukan analisa

penentuan kadar H2S dalam laboratorium disajikan ilustrasi gambaran uji tanam

pada lapangan panas bumi pada Gambar 14.

30
c

Gambar 14. Ilustrasi keadaan uji tanam

3.4.7 Analisa Kadar S (SO42) (Turbidimetri) (Metode Internal Pertamina)

Hasil uji kinerja sampel KAI(R) dibandingkan kapasitas adsorpsinya

dengan KA (R) melihat dari analisa kadar sulfat dalam kedua sampel. Analisa kadar

sulfat ini juga digunakan dalam penentuan hasil adsorpsi H2S pada sampel uji tanam

area eksplorasi panas bumi yaitu pada KAI(G). Analisa dilakukan dalam beberapa

langkah:

3.4.7.1 Destruksi Sampel

Sampel hasil uji kinerja metode reaktor dan metode tanam dilakukan proses

destruksi kering. Sampel dioksidasi dengan pemanasan dimana sampel di oven pada

suhu 200-250⁰ C selama 15 menit untuk proses pengeringan kandungan air sampel

dan dilanjutkan proses oksidasi pada suhu 600⁰ C selama 60 menit.

3.4.7.2 Pembuatan Larutan Standar S (SO42-) 100 mg/L

Natrium sulfat dekahidrat (Na2SO4) sebanyak 0,1006 gram dilarutkan

kedalam labu ukur 100 mL dengan penambahan aquades hingga batas tera dan

dihomogenkan kemudian disimpan dalam suhu 4⁰ C.

31
3.4.7.3 Pembuatan Larutan Kerja S (SO42-)

Larutan standar S (SO42-) 100 mg/L dibuat dalam beberapa konsentrasi

menjadi 0,0; 1.0; 4,0; 7,0; 10,0; 15,0 dan 20,0 mg/L dimana dipipet larutan standar

sebanyak 0,0; 0,5; 2,0; 3,5; 5,0; 7,5; 10 mL dan dimasukkan kedalam labu ukur 50

mL. Tiap masing-masing labu ditambahkan 3 mL HNO3 3% di tera hingga tanda

batas dengan aquades dan dihomogenkan.

3.4.7.4 Pembuatan Larutan Sampel

Hasil destruksi sampel dan blanko dilarutkan dalam suasana asam dengan

penambahan 3 mL HNO3 3% dan dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL kemudian

sampel di tera hingga tanda batas dengan aquades dan dihomogenkan.

3.4.7.5 Pembuatan Kurva Kalibrasi

Alat turbidimeter disiapkan dan dibaca turbiditas standar alat sebelum

melakukan analisa. Masing-masing larutan standar S (SO42-) dipindahkan kedalam

erlenmeyer 250 mL, ditambahkan larutan gliserol-etanol (1 volume gliserol + 2

volume etanol) sebanyak 10 mL dan dikocok hingga homogen. Dilakukan

pengukuran turbiditas untuk masing-masing standar dengan pembacaan sebelum

dan sesudah ditambahkan 0,3 gram BaCl2 dan dimulai pembacaan konsentrasi 0,0

mg/L sebagai blanko hingga yang kosentrasi terbesar. Kemudian hasil pengujian

larutan standar dibuat kurva kalibrasi dengan memasukkan konsentrasi kompleks

sulfat sebagai sumbu x dan hasil turbiditas sebagai sumbu y. Hasil persamaan

regresi linear digunakan untuk menentukan konsentrasi sulfat dalam sampel.

32
3.4.7.6 Analisis Penentuan Kadar S (SO42-) pada Sampel

Larutan sampel dan blanko dilakukan analisa dengan memindahkan larutan

sampel kedalam erlenmeyer 250 mL, ditambahkan larutan gliserol-etanol (1

volume gliserol + 2 volume etanol) sebanyak 10 mL dan dikocok hingga homogen.

Dilakukan pengukuran turbiditas untuk masing-masing sampel dengan pembacaan

sebelum dan sesudah ditambahkan 0,3 gram BaCl2 dan dimulai dari pembacaan

blanko sampai pembacaan sampel.

33
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Impregnasi Karbon Aktif Tempurung Kelapa

Impregnasi pada karbon aktif tempurung kelapa dilakukan melalui metode

impregnasi basah dengan tujuan KOH dapat mengisi pori-pori karbon aktif melalui

mekanisme adsorpsi ion. Metode impregnasi basah memiliki keuntungan dimana

dapat disesuaikan logam yang ingin ditambahkan dengan kebutuhan karena dapat

dilakukan pengontrolan lewat penambahan pada saat impregnasi. Prekursor dapat

langsung dilakukan pengeringan tanpa melewati proses penyaringan (Munnik et al.,

2015). Menurut (Kaban, 2018) penggunaan basa kuat sering digunakan dalam

impregnasi basah untuk karbon aktif. Penggunaan KOH diklaim lebih

menguntungkan karena proses impregnasi dapat dilakukan pada suhu 60-100° C

dan dalam tekanan atmosferik penerapan dan kondisi impregnasi yang mudah dan

dan KOH terbilang lebih murah dan ketersediaannya melimpah (Abdullah et al.,

2017).

Penggunaan impregnan KOH akan menghasilkan lingkungan basa bagi

karbon aktif sehingga H2S sebagai asam dapat berikatan kuat (Ghorbel et al., 2018).

Lingkungan basa pada karbon aktif ini dibuktikan dari hasil pengujian

memperlihatkan pH sebesar 14 (Lampiran. 11). Lingkungan basa pada karbon aktif

saat berinteraksi dengan H2S akan mengarahkan kepada pembentukan unsur

belerang sedangkan bila lingkungan karbon aktif bersifat asam akan membentuk

sulfur oksida dan asam sulfat (Coppola & Papurello, 2019).

34
Awal impregnasi dilakukan dengan merendam karbon aktif tempurung

kelapa pada larutan KOH. Kemudian campuran tersebut dilakukan impregnasi

dengan pemanasan dan penguapan kelebihan larutan yang tidak bereaksi. Dalam

metode impregnasi basah dimana karbon aktif sebagai fasa terdispersi (padatan)

dan fasa pendispersi (cairan) adalah larutan KOH 15%. Pada proses impregnasi

berlangsung KOH akan dipecah diperlihatkan pada persamaan (1) berikut: (Alabadi

et al., 2015)

KOH(s) → K+(aq) + OH-(aq)…….(1)

Saat proses impregnasi ion KOH akan teradsorp kedalam karbon aktif, ion

K+ akan masuk dan terserap dalam pori-pori karbon dan untuk ion OH- akan

berikatan dengan H2O. Pengaruh impregnasi menyebabkan ion kalium dalam

karbon aktif ini akan berpengaruh pada berubahnya struktur permukaan maupun

pori dari karbon aktif (Zamhari et al., 2021). Hasil karbon aktif yang telah

diimpregnasi selanjutnya dilanjutkan dengan proses penguapan untuk sisa bahan

volatil selain itu juga untuk menguatkan ion yang telah melekat pada karbon

melalui pemanasan dengan bantuan oven.

4.2 Karakterisasi Karbon Aktif Tempurung Kelapa

4.2.1 Pengujian Kestabilan Thermal dengan TGA

Pengujian kestabilan termal menggunakan Thermal Gravimetry Analyzer

(TGA) dimana menentukan perubahan berat sampel sebagai fungsi dari suhu dalam

atmosfer yang terkendali. Pengujian ini dilakukan untuk melihat pengaruh

impregnasi larutan KOH 15% terhadap stabilitas termal karbon aktif tempurung

35
kelapa menggunakan analisis TG. Hasil uji TGA untuk KA tanpa proses impregnasi

dibandingkan dengan KAI yang melalui proses impregnasi.

Hasil TGA untuk karbon aktif (KA) (Gambar 15a) dan karbon aktif

impregnasi KOH 15% (KAI) (Gambar 16b) pada rentang suhu 29 – 900⁰ C dimana

pengurangan massa diidentifikasi kedalam tiga fase. Fase (i) pada temperature 29 –

200 ⁰C, (ii) 200 – 600 ⁰C dan fase (iii) pada 600 – 900 ⁰C. Pada termogram kedua

adsorben dapat terlihat penurunan massa pada suhu dibawah 100 ⁰C dikaitkan

karena terjadi adanya penguapan atau penghilangan air yang terkandung pada KA

dan KAI sedangkan hilangnya massa pada suhu diatas 600 ⁰C dikaitkan dengan

terjadinya dekomposisi (González-García, 2018).

Gambar 15. Hasil Pengujian TGA KA dan KAI

36
Fase (i) untuk KAI dari suhu 29 – 100 ⁰C mengalami pengurangan massa

hingga suhu mecapai 200 ⁰C sebesar 6,702% dan untuk KA hingga suhu mencapai

400 ⁰C massa yang berkurang sebesar 3,592%. Pada fase ini terjadi fenomena

pengurangan kadar air dari adsorben karena terjadi penguapan (Zulkefli,et al.,

2022). Menurut (Vinodhini & Das, 2010) kehilangan kelembaban berada dalam

kisaran normal dikarenakan jumlah kehilangan massanya masih dibawah 20%.

Terlihat bahwa kandungan air karbon aktif tanpa impregnasi lebih sedikit bila

dibandingkan dengan karbon aktif yang diimpregnasi KOH dilihat dari seberapa

banyak massa yang hilang.

Stabilitas termal adsorben mulai dapat terlihat pada fase (ii) menuju fase

(iii). KAI terjadi penurunan massa dimulai dari suhu 200 – 600 ⁰C sebesar 4,092%.

Penurunan massa KAI berlanjut yaitu pada fase (iii) hingga suhu mencapai 900⁰ C

sebesar 6,387% dan untuk KA sebesar 2,782%. Kehilangan massa dari kedua

adsorben ini disebabkan karena terjadinya dekomposisi senyawa volatil yang

terdapat dalam karbon aktif maupun karbon aktif yang telah diimpregnasi (Anyika

et al., 2017). Beberapa senyawa volatil yang mengalami dekomposisi yaitu selulosa

dan hemiselulosa pada suhu 200 – 400 ⁰C dan dilanjutkan dekomposisi untuk lignin

pada suhu diatas 400 ⁰C. Terlihat juga terjadi degradasi dan penurunan massa yang

berbeda pada KAI yaitu ketika mencapai suhu 400 – 580 ⁰C dikaitkan dengan

penguapan komponen impregnan yaitu KOH (Kristianto, 2017). Dekomposisi

terjadi pada suhu diatas 700⁰ C pada kedua karbon aktif. Dekomposisi pada suhu

tinggi mengakibatkan terjadinya penyumbatan pada pori adsorben sehingga dapat

menghancurkan juga menutupi sisi aktif dari adsorben (Zulkefli, et al., 2022).

37
4.2.2 Karakterisasi Sifat Permukaan dengan SAA

Karakterisasi menggunakan surface area analyzer (SAA) untuk mengetahui

sifat permukaan karbon aktif berupa luas permukaan, diameter pori dan volume pori

dari karbon aktif sebelum dan sesudah impregnasi. Karakterisasi dilakukan melalui

proses adsorpsi menggunakan bantuan gas nitrogen yang dialirkan pada padatan

dimana hasil luas permukaan berbanding lurus dengan banyaknya gas nitrogen

yang teradsorpsi. Semakin besar volume gas nitrogen yang teradsorpsi maka luas

permukaan semakin besar. Hasil luas permukaan, volume pori dan diameter pori

karbon aktif (KA) dan karbon aktif impregnasi KOH 15% (KAI) disajikan pada

Tabel 3.

Tabel 1. Sifat permukaan KA dan KAI

Adsorben
Parameter
KA KAI
2
Luas Permukaan (m /g) 556,679 440,819
Volume Pori (cc/g) 0,3130 0,2576
Diameter Pori (Å) 11,2467 11,6896

Pada Tabel 3. hasil karakterisasi menunjukan luas permukaan KA sebesar

556,679 m2/g. Luas permukaan yang diperoleh KAI ini secara signifikan tinggi.

Menurut Hidayu & Muda (2016) kisaran luas permukaan yang tinggi dan dapat

diterima untuk suatu karbon aktif komersial adalah sebesar 500-1500 m2/g.

Besarnya luas permukaan ini dapat menyediakan kapasitas adsorpsi yang tinggi

untuk suatu gas. Setelah melewati proses impregnasi dengan larutan KOH 15%,

karbon aktif mengalami penurunan luas permukaan menjadi 440,819 m2/g.

38
Penurunan luas permukaan pada KAI ini disebabkan oleh tertutupnya beberapa pori

karbon aktif oleh senyawa impregnan (Sidek et al., 2018).

Penurunan luas permukaan akibat impregnasi larutan KOH 15% ini juga

berhubungan dengan penurunan volume pori karbon aktif. Volume pori untuk KA

sebesar 0,3130 cc/g dan untuk KAI hasil impregnasi menjadi 0,2576 cc/g. Pada

proses impregnasi dengan larutan KOH, partikel dari logam kalium dimungkinkan

mengisi bagian paling dalam pori-pori karbon aktif sehingga dapat menghalangi

porositas dari karbon aktif. Akibatnya, volume pori karbon aktif hasil impregnasi

lebih rendah bila dibandingkan dengan yang tidak diimpregnasi.

Hasil analisa dengan metode BET selain menghasilkan luas permukaan dan

volume pori juga memperlihatkan diameter pori KA dan KAI. Melihat dari

klasifikasi IUPAC untuk ukuran pori-pori adsorben dibagi menjadi tiga bagian

yaitu: mikropori (d < 2nm), mesopori (d = 2 nm – 50 nm), dan pori makro (d >

50nm) maka dapat disimpulkan pada Tabel 4. untuk diameter pori KA dan KAI

masuk kedalam kategori pori mikro karena berdasarkan ukuran diameter porinya

dibawah 2 nm yang dimana karbon aktif ini cocok digunakan untuk adsorpsi suatu

gas (Sidek et al., 2018). Pori mikro yang dimiliki karbon aktif ini juga akan dengan

mudah tersdistribusi oleh ion logam KOH yang memiliki ukuran atom logam K

sebesar 154 pm (154 x 10-6 µm) dan 138 pm ukuran ionik (Zamhari et al., 2021)

Pengaruh impregnasi larutan KOH 15% terhadap KA tidak memberikan

perubahan pada ukuran pori. Menurut (Bai et al., 2016) telah melakukan

pengamatan terhadap penurun ukuran pori berakibat menurunnya luas permukaan

karena senyawa kimia yang menutupi permukaan adsorben merupakan bentuk

39
terjadinya aglomerasi yang berlebihan pada adsorben. Dibuktikan bahwa diameter

pori KA sebesar 11,2467 dan KAI sebesar 11,6896 tidak menunjukan terjadinya

penurunan ukuran pori.

4.2.3 Karakterisasi Ukuran Partikel dengan PSA

Karakterisasi ukuran partikel dari karbon aktif dilakukan dengan Particle

Size Analyzer menggunakan prinsip Dynamic Light Scattering (DLS) dengan

bantuan surfaktan berupa Tween 80. Menentukan perubahan ukuran partikel karbon

aktif setelah diimpregnasi KOH 15% (KAI) dibandingkan dengan karbon aktif

tanpa impregnasi (KA). Dapat dilihat pada Gambar 16 dan lebih jelas pada

Lampiran 10. dimana hasil pola distribusi ukuran partikel yang dimiliki KAI lebih

luas bila dibandingkan dengan KA. Hasil rata-rata (mean) diameter ukuran partikel

disajikan dalam Tabel 2.

Gambar 16. Pola distribusi ukuran partikel KA(a) dan KAI(b)

40
Tabel 2. Ukuran partikel KA dan KAI

Adsorben
Parameter
KA KAI
Rata-rata (Mean) diameter
669,77 604,40
Ukuran Partikel (µm)

Hasil pengukuran mean untuk diameter partikel KA sebesar 669,77 µm dan

karbon aktif setelah impregnasi yaitu sebesar 604,40 µm untuk KAI. Ukuran

partikel yang dihasilkan dari kedua karbon aktif ini masih masuk kedalam rata-rata

(mean) ukuran partikel yang cocok digunakan dalam aplikasi pada gas yaitu antara

600 – 4000 µm. Terlihat bahwa tidak terjadinya pertumbuhan partikel yang lebih

besar yang ditandai dengan kenaikan pada ukuran partikel (Hai et al., 2011).

Terjadinya perubahan pada ukuran partikel untuk KAI ini telah dikonfirmasi

bahwa ukuran partikel dapat berubah karena pengaruh penambahan senyawa

impregnan (KOH) (Yahya et al., 2015). Penurunan ukuran partikel pada KAI ini

disebabkan karena pengaruh impregnan yang mengisi sebagian besar ruang

permukaan maupun porositas karbon aktif dimana senyawa KOH yang memiliki

ion yang berukuran kecil sehingga ukuran partikel dari karbon aktif akan mengikuti

ukuran dari impregnan tersebut (Nethaji et al., 2013)

4.2.4 Karakterisasi Morfologi dan Elemen Unsur dengan SEM-EDS

Karakterisasi menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) untuk

mengamati morfologi maupun struktur permukaan juga dilengkapi dengan detektor

Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy (EDS) yang melekat pada instrumen

dimana digunakan untuk memperkirakan kandungan elemen unsur pada karbon

aktif. Hasil karakterisitik KA sebelum diimpregnasi dibandingkan dengan hasil

morfologi juga kandungan unsur pada KAI.

41
Gambar 17. Morfologi KA (a) dan KAI (b) perbesaran 1000x

Mikrograf yang diperoleh dari analisis KA (Gambar.17a) menunjukan

morfologi permukaan yang memperlihatkan porositas karbon aktif tanpa

impregnasi. Dapat terlihat permukaan KA relatif heterogen dengan pori-pori kecil

pada bagian dalam maupun luar karbon yang dimana terbentuk dari penguapan

bahan volatil organik. Permukaan luar KA dengan pori berlimpah, terdistribusi

secara acak dan merata dengan berbagi diameter dan lebar. Terdapat beberapa

partikel putih kecil tersebar pada permukaan maupun pori karbon aktif yang

merupakan residu abu pengotor hasil karbonisasi (Anyika et al., 2017). Pori karbon

aktif ini terbentuk secara bertahap dari hasil proses aktivasi. Pori eksternal pada

karbon aktif berfungsi sebagai pintu masuk penghubung pori mikro pada proses

adsorpsi (Xu et al., 2014).

Pada Gambar 17(b). dapat terlihat untuk hasil morfologi karbon aktif setelah

impregnasi dengan larutan KOH 15% mengalami perubahan struktur permukaan

maupun pori bila dibandingkan dengan KA. Morfologi KAI memperlihatkan

komposisi putih pada permukaan maupun pori karbon. Komposisi putih ini

merupakan ion kalium yang terdistribusi kedalam karbon aktif selama proses

42
impregnasi (Zamhari et al., 2021). KOH pada karbon aktif tersebar mengisi pori

karbon dan juga menempati rongga permukaan (Zulkefli et al., 2019).

Gambar 16b. memperlihatkan impregnan KOH 15% ini memenuhi sebagian

besar pori-pori maupun permukaan karbon dan terlihat masih menyisakan beberapa

lubang pori yang tidak terisi impregnan dengan ini KAI dapat menyediakan

mekanisme adsorpsi secara fisik maupun kimia (Gourani et al., 2014). Untuk

membuktikan berapa persen komposisi impregnan KOH 15% yang terdistibusi,

selanjutnya dilakukan analisis menggunakan bantuan detektor EDS yang dapat

mempelajari keberadaan unsur-unsur pada kedua adsorben.

Prinsip analisis EDS yaitu menembakkan sinar-X pada daerah yang ingin

diketahui komposisnya. Karbon aktif yang telah ditembakkan sinar pada daerah

yang ingin diketahui dan akan menghasilkan puncak-puncak dimana tiap puncak

merepresentasikan nilai suatu unsur disajikan pada Gambar 18.

Gambar 18. Spektrum energi KA (a) KAI (b)

Data spektrum energi analisis EDS pada Gambar 18. menghasilkan perubahan

komposisi untuk sampel KA dan KAI. Hasil analisa menunjukan puncak tertinggi

untuk unsur C dan O serta beberapa residu hasil proses karbonisasi dan aktifasi

karbon aktif menghasilkan unsur Si, Ca, P, S, Mg, Na, Mn, Fe, Al, Cl. Keberadaan

43
unsur Kalium pada karbon aktif sebelum (KA) dan sesudah impregnasi (KAI)

dengan larutan KOH 15% diperlihatkan dalam presentase berat (%wt) pada Tabel

3.

Tabel 3. Komposisi elemen unsur KA dan KAI


% b/b
Unsur
KA_TK KA_KOH
C 79,73 69,62
O 12,13 19,28
Na 0,24 0,12
Mg 0,34 0,30
Al 0,04 0,08
Si 2,04 0,09
P 1,39 0,08
S - 0,04
K 2,08 10,23
Ca 1,70 -
Cl - 0,08
Mn 0,23 -
Fe 0,07 0,08
Total 100.00 100,00

Keberadaan elemen K membuktikan keberhasilan distribusi logam kalium

pada karbon aktif setelah proses impregnasi. Diketahui, komposisi kalium pada KA

sebesar 2,08 dan untuk KAI sebesar 10,23. Hasil EDS untuk unsur K ini juga dapat

didukung dengan hasil pengamatan SAA untuk luas permukaan dan distribusi pori

KAI.

4.2.5 Karakterisasi dengan XRD

Hasil karakterisasi dengan instrumen XRD bertujuan untuk mengetahui

keberhasilan impregnasi dari KAI dengan membandingkan dari hasil karakterisasi

KA dilihat berdasarkan keberadaan kristalinitas impregnan. Difaktogram hasil

kedua karbon disajikan pada Gambar 19.

44
Gambar 19. Difaktogram KA dan KAI

Perbandingan hasil difaktogram kedua karbon dengan JCPDS (Joint

Committee of Powder Diffraction Standar) Melihat pengaruh impregnasi KOH

15% pada karbon aktif dapat dilihat dari sudut pola difraksi KAI pada Tabel 4.

Tabel 4. Sudut 2θ KAI

Sudut KAI
2θ 18,9⁰; 19,50⁰; 21,85⁰; 24,28⁰; 26,99⁰

Pada sudut 2θ pada Tabel 6. yang dihasilkan oleh KAI terlihat terdapat

puncak tajam berdasarkan standar JCPDS (Joint Committee of Powder Diffraction

Standar), kristal KOH muncul pada sudut 2θ: 18,9⁰; 19,50⁰; 21,85⁰; 24,28⁰; dan

26,99⁰ sudut ini dikaitkan dengan keberadaan Pottasium Hydroxide Hydrate yang

merupakan kristal hasil impregnasi KOH dimana salah satu sudutnya dibuktikan

oleh penelitian Zulkefli et al., (2019) yang mengimpregnasi karbon aktif dengan

KOH sudut 2θ muncul pada 23,86⁰ (pottasium hydoxide hydrate), hasil sudut 2θ ini

mendekati hasil KAI yaitu pada 21,85⁰ dan 24,28⁰. Munculnya sudut-sudut untuk

kristal KOH ini membuktikan bahwa KA yang merupakan fasa amorf telah berhasil

diimpregnasi dengan kalium hidroksida.

45
4.3 Analisa Penentuan Kadar Sulfat (SO42-)

Hasil adsorpsi uji kinerja metode reaktor dan metode tanam dilakukan

pemanasan bertujuan untuk mengoksidasi hasil adsorpsi H2S berupa sulfida

menjadi bentuk sulfat melewati proses destruksi kering. Kedua sampel dilakukan

proses pemanasan untuk menghilangkan kandungan air, kemudian sampel

dilanjutkan proses oksidasi pada suhu 600 ⁰C. Setelah KA dan KA melewati proses

adsorpsi dengan H2S secara fisik (Persamaan. 2) maupun kimia (Persamaan 5 -10)

dilanjutkan dengan proses oksidasi. Adapun hasil reaksi karbon aktif tanpa

impregnasi yang terjadi setelah proses oksidasi disajikan pada Persamaan 13:

(Frilund et al., 2021)

H2S (g) → H2S (ads)…………………..(2)

H2S (ads) → H2S (ads-liq)……………….(3)

H2S(gas) + 3/2O2(gas) → SO2 (gas) + H2O(gas)…..(4)


Reaksi oksidasi untuk karbon aktif impregnasi KOH 15 % terjadi setelah proses

oksidasi disajikan pada Persamaan 16 – 19: (Sitthikhankaew et al., 2011b)

H2S(gas) + KOH(aq) → KHS(gas) + H2O(L)….(5)


H2S(gas) + 2KOH(gas) → K2S(gas) + 2H2O(L)…..(6)
H2S(gas) + ½ O2(gas) → S(gas) + H2O(gas)……..(7)
KHS(gas) + ½ O2(gas) → S(gas) + KOH(s)………(8)
K2S(gas) + 2O2(gas) → K2SO4(s) ……………..(9)
2KOH + H2S(gas) +2O2(gas) → K2SO4(s) + 2H2O(gas)…(10)
Hasil destruksi kering kemudian dilarutkan dengan bantuan asam dan selanjutnya

dilakukan proses pembacaan menggunakan turbidimeter dan ditentukan kadar

sulfat dalam sampel menggunakan hasil kurva kalibrasi.

46
Metode turbidimetri digunakan dalam penentuan kadar sulfat dimana

analisa sampel dilakukan dengan prinsip turbiditas atau kekeruhan. Analisa secara

kuantitatif dihasilkan berdasarkan elastisitas cahaya yang dihamburkan partikel

suspensi. Pengukuran dilakukan dari hasil perbandingan intensitas cahaya pantulan

dan intensitas awal mula datangnya cahaya dimana intensitas cahaya pantulan

dinyatakan sebagai fungsi konsentrasi dari suatu suspensi. Instrumen turbidimeter

mengukur intensitas menggunakan prinsip nefelometri dimana menggunakan

larutan standar dalam mengukur intensitas cahaya. Ketika sampel dipancarkan sinar

dari sumber cahaya kemudian dihamburkan dan dibaca dengan arah tegak lurus

(90⁰) menggunakan detektor nephelometer. Detektor ini menangkap sinar terusan

dari sumber cahaya yang membentuk garis lurus (Khopkar, 1990).

Percobaan dilakukan dengan prinsip melarutkan ion sulfat (SO42-) dalam

suasana asam dan akan bereaksi dengan barium (Ba2+) dari penambahan senyawa

BaCl2. Senyawa sulfat dengan penambahan asam berupa HNO3 akan menjaga pH

larutan standar maupun larutan sampel tetap konstan dan juga digunakan untuk

membantu menstabilkan suspensi koloid yang akan terbentuk yaitu berupa BaSO4.

Kemudian larutan ditambahkan campuran gliserol-etanol untuk kondisioning yang

bertujuan agar menstabilkan kekeruhan yang terbentuk. Hasilnya berupa larutan

kental yang akan menjaga kekeruhan suspensi koloid tetap stabil juga merata (Chen

& Chiang, 2011). Penambahan BaCl2 dilakukan untuk mereaksikan atau

mengendapkan sulfat sehingga terbentuk endapan kritsal putih BaSO4 (Vogel,

1994). Adapun reaksi yang terjadi antara sulfat dan barium klorida (BaCl2): (SNI,

2004)

SO42- + BaCl2 → BaSO4 + 2Cl-………(11)

47
Garam BaSO4 yang dihasilkan memiliki kelarutan yang sangat kecil atau

bersifat tyndall akan menghasilkan larutan dengan endapan putih, kemudian larutan

dilakukan pengocokan sehingga akan menghasilkan kekeruhan atau membentuk

koloid tersuspensi sehingga ketika disinari akan memantulkan cahaya ke berbagai

arah. Dari kekeruhan tersebut selanjutnya diukur menggunakan turbidimeter

sebagai fungsi konsentrasi (Kortazar et al., 2014). Dalam pengukuran, dimana bila

larutan semakin keruh maka semakin tinggi konsentrasi sulfat (Mulyono, 2007).

Hal ini sejalan karena berbanding lurusnya kekeruhan atau turbiditas dengan

konsentrasi. Keberadaan banyaknya partikel kecil penyusun koloid BaSO4 akan

meningkatkan kekeruhan. Banyaknya partikel-partikel ini akan saling rapat

sehingga memungkinkan terjadinya lebih banyak pembiasan cahaya dan terbaca

sebagai tingginya konsentrasi (Khopkar, 1990). Penentuan kadar sulfat dalam

sampel karbon aktif dilakukan dengan menentukan kurva kalibrasi. Kadar ion sulfat

dalam sampel ditetapkan secara kuantitatif dari hasil perbandingan kurva.

4.3.1 Hasil Analisis Kadar Sulfat (SO42-) pada Sampel Uji Kinerja Metode

Pertagastech

Analisis kadar sulfat dalam sampel karbon aktif tanpa impregnasi KA (R)

dan karbon aktif impregnasi KAI(R) metode pertagastech dilakukan dalam

membandingkan kapasitas adsorpsi gas H2S pada kedua sampel menggunakan

bantuan reaktor. Penentuan kadar sulfat ini dilakukan dengan bantuan larutan

standar Natrium Sulfat (Na2SO4) untuk membuat kurva kalibrasi, sehingga nantinya

sampel karbon dapat dihitung secara kuantitatif. Hasil kurva kalibrasi didapatkan

persamaan regresi linear kurva standar, yaitu y = 12.283x + 6.013, dan nilai

koefisien korelasi (R2) yang diperoleh sebesar 0,9948 (Lampiran. 3)

48
Pengujian pada sampel KA(R) dan KAI(R) hasil destruksi dilanjutkan

menggunakan prinsip Ion sulfat (SO4) dalam suasana asam bereaksi dengan barium

klorida (BaCl2) membentuk koloid barium sulfat (BaSO4) yang homogen. Sinar

yang diserap oleh koloid barium sulfat di ukur menggunakan alat turbidimeter. Data

pembacaan turbiditi yang diperoleh selanjutnya diolah secara statistik dengan hasil

kurva kalibrasi. Hasil pengujian kadar sulfat dari uji kinerja menggunakan bantuan

reaktor untuk sampel karbon aktif (KA) dan karbon aktif impregnasi (KAI) (Tabel.

5)

Tabel 5. Kadar sulfat dan efisiensi adsorben metode reaktor

Konsentrasi H2S (ppm)


Adsorben Ulangan Ulangan Ulangan Rata- Standar
Ke-1 Ke-2 Ke-3 rata Deviasi
KA 427,93 431,94 495,19 451.69 37,79
KAI 1148,72 1351,97 1452,30 1317.66 154,67

Perbandingan kedua sampel dari hasil adsorpsi gas H2S memperlihatkan

kadar sulfat yang diperoleh pada karbon aktif tanpa impregnasi untuk sampel KA

(R) nomor 1, 2, dan 3 adalah sebesar 427,93; 431,94; dan 495,19 ppm dengan nilai

efisiensi adsorpsinya sebesar 4,51%. Kenaikan kadar sulfat yang terkandung pada

ketiga sampel KAI(R) nomor 1, 2, dan 3 yaitu sebesar 1351,97; 1452,30; dan

1148,72 ppm. Perhitungan kadar sulfat disajikan pada Lampiran 4.

Proses adsorpsi yang terjadi pada karbon aktif tanpa impregnasi (KA)

dipengaruhi oleh sifat kepolarannya, dalam hal ini akan terjadi tiga interaksi tarik

menarik dengan adsorbat diantaranya ; efek orientasi molekul polar dengan

permukaan polar (tarik menarik dipol permanen), efek dispersi molekul non polar

dan permukaan non polar (tarik menarik dengan perubaan sesaat dalam distribusi

49
elektron di sekitar inti atom) dan efek induksi molekul polar dengan permukaan non

polar (tarik menarik dipol terinduksi karena molekul dengan dipol permanen akan

mampu menginduksi molekul non polar) (Le-Minh et al., 2018).

Adsorpsi yang terjadi pada KA dimana sebagian besar terjadi juga

karena ketersediaan luas permukaan dan volume pori sehingga senyawa H2S hanya

berikatan secara fisik atau molekul H2S akan teradsorpsi secara weak Van der

Waal’s: (Sitthikhankaew et al., 2011a)

H2S (g) → H2S (ads)……………..(12)

Kapasitas adsorpsi untuk karbon aktif impregnasi KOH 15% (KAI)

dibandingkan dengan karbon aktif tanpa impregnasi (KA). Peningkatan kapasitas

adsorpsi ini dikaitkan karena adanya reaksi katalitik antara adsorbat dan adosrben.

Karbon aktif impregnasi KOH 15% menyediakan sisi aktif berupa K yang akan

berinteraksi dengan H2S. Molekul H2S akan bereaksi dengan situs alkalin dari

impregnan KOH pada permukaan karbon berdasarkan reaksi asam-basa dan

membentuk kalium hidrogen (KHS) atau kalium sulfida (K2S) diperlihatkan pada

reaksi berikut: (Sitthikhankaew et al., 2011a)

H2S (g) + KOH (q) → KHS (q) + H2O……(13)


H2S (g) + 2KOH (q) → K2S (q) +2H2O…….(14)

Melihat dari pengaruh impregnasi KOH 15% (KAI) ini lebih meningkatkan

kapasitas adsorpsi H2S untuk karbon aktif bila dibandingkan dengan karbon aktif

tanpa impregnasi (KA). Hal ini dibuktikan dari penentuan kapasitas adsorpsi dan

efisiensinya dalam menjerap gas H2S. Hasil perhitungan kapasitas dan efisiensi

50
adsorpsi untuk karbon aktif (KA) dan karbon aktif impregnasi (KAI) ditampilkan

pada Tabel 6.

Tabel 6. Kapasitas dan Efisiensi Adsorpsi KA & KAI

Kapasitas Adsorpsi
Adsorben Efisiensi Adsorpsi (%)
(ppm/g)

KA 4516,867 4,52%

KAI 13176,63 13,18%

Pada Tabel 6. kemampuan adsorpsi karbon aktif impregnasi (KAI) lebih tinggi bila

dibandingkan dengan karbon aktif tanpa impregnasi (KA) dengan efisiensi yg

dimiliki KAI sebesar 13,18% dan 4,52% untuk KA dibuktikan dari perhitungan

kapasitas dan efisiensi adsorpsi dapat dilihat pada Lampiran 7. Bagaimana adsorben

dan adsorbat berinteraksi selama proses adsorpi digambarkan dengan isoterm

adsorpsi untuk KA dan KAI pada Gambar 20 dan 21.

2.3
y = 0.0047x - 42.752
3.7
2.25 R² = 0.9999
2.2 3.68
Log qe

2.15
Ce/qe

2.1 3.66
2.05
2
3.64 y = -20.659x + 85.875
1.95 R² = 1
3.62
1.9
9500 9520 9540 9560 9580 3.977 3.978 3.979 3.98 3.981 3.982
Ce
Log Ce
(a) (b)

Gambar 20. Kurva adsorpsi karbon aktif (KA) (a) Langmuir (b) Freundlich

51
1 4.18
4.16
0.8 y = -6.7609x + 30.746
4.14 R² = 0.999
0.6

Log qe
Ce/qe 4.12
y = 0.0006x - 4.5944
0.4 R² = 0.997 4.1
4.08
0.2
4.06
0 4.04
8500 8600 8700 8800 8900 3.93 3.935 3.94 3.945 3.95
Ce Log Ce

(a) (b)
Gambar 21. Kurva adorpsi karbon aktif impregnasi (KAI) (a) Langmuir (b)
Freundlich
Pada gambar 20(a) dan 21(a) untuk isoterm langmuir diperoleh persamaan garis

liearitasnya y = 0.0047x - 42.752 untuk karbon aktif (KA) dan y = 0.0006x - 4.5944

untuk KAI dari Ce/qe versus Ce (konsentrasi kesetimbangan) dengan nilai koefisien

determinasi R² = 0.9999 dan R² = 0.997. Sedangkan isoterm Freundlich ditunjukkan

pada Gambar 20(b) dan 21(b) diperoleh nilai Log qe versus log Ce persamaan garis

linearitasnnya y = -20.659x + 85.875 untuk karbon aktif (KA) dan y = -6.7609x +

30.746 untuk karbon aktif impregnasi (KAI) dengan nilai koefisien determinasi R²

= 1 dan R² = 0.999. Data penentuan model isoterm adsorpsi dapat dilihat pada

Lampiran 8.

Berdasarkan hasil kedua model isoterm tersebut, mekanisme adsorpsi untuk

KA da KAI lebih merujuk kepada model isoterm Freundlich. Isoterm Freundlich

ini mengarahkan kepada adsorpsi secara fisika dimana pembentukan permukaan

berlapis (multilayer). Interaksi Van der Waals atau gaya tarik menarik yang

dihasilkan dari interaksi dipol-dipol yang diakibatkan perpindah molekul antar

molekul. Mekanisme secara fisika ini terjadi karena suhu yang digunakan pada saat

52
adsorpsi rendah. Penelitian yang dilakukan Sitthikhankaew et al., (2014) telah

membuktikan interaksi adsorbat H2S dengan karbon aktif pada suhu tinggi yang

akan mengarahkan pada adsorpsi secara kimia. Reaksi H2S pada karbon aktif (KA)

dan karbon aktif impregnasi mengarah kepada adsorpsi fisik.

4.3.2 Hasil Analisis Kadar Sulfat (SO42-) pada Sampel Uji Kinerja Metode

Tanam

Analisis kadar sulfat dilakukan untuk karbon aktif impregnasi KOH 15%

yang terbukti lebih unggul dalam analisa pembanding dengan karbon aktif tanpa

impregnasi sehingga selanjutnya digunakan untuk mendeteksi keberadaan panas

bumi. Sampel KAI(G) ditentukan kadar sulfat dengan bantuan larutan standar

Na2SO4 untuk pembuatan kurva kalibrasi dan dilanjutkan untuk penentuan kadar

sampel. Hasil kurva kalibrasi didapatkan persamaan regresi linear kurva standar,

yaitu y = y = 10.15x + 117.79, dengan nilai R2 0.9918 dan y = 9.8767x + 120.53,

dengan nilai R2 0.9962 (Lampiran. 5). Data pembacaan turbiditi yang diperoleh

selanjutnya diolah secara statistik. Hasil pengujian kadar sulfat dari uji kinerja hasil

uji tanam karbon aktif impregnasi KOH 15% pada area eksplorasi panas bumi untuk

sampel KAI(G) (Tabel. 7)

Tabel 7. Kadar sulfat adsorben metode tanam

Rata-rata Kadar Sampel


Nomor Sampel Lokasi Uji Tanam
KAI (G) (ppm)
1 116,18 Depan Gedung Kantor
2 293,957 Talaga
3 764,172 Kawah

Pengujian kinerja karbon aktif impregnasi (KAI) ini dilakukan pada tiga

lokasi, yaitu di Depan Gedung Kantor, Kawah, dan Talaga lapangan eksplorasi

53
panas bumi Karaha Bodas, Tasikmalaya. Dapat telihat kadar sulfat tertinggi

dihasilkan dari hasil uji tanam sampel KAI(G) nomor 3 yaitu sebesar 764,172 ppm

dimana letak pengujian di area kawah dan kadar sulfat terkecil dimiliki sampel

KAI(G) nomor 1 yaitu sampel pada area depan gedung kantor hanya sebesar

116,18ppm.

Hal ini dibuktikan dimana kawah merupakan titik lokasi panas bumi

penghasil uap panas yang didalamnya banyak terkandung gas H2S (Omar et al.,

2022). Dari data keberhasilan adsorpsi H2S dapat diketahui karbon aktif impregnasi

KOH 15% dapat digunakan sebagai geoindikator atau penentu keberadaan panas

bumi. Potensi banyaknya keberadaan panas bumi selanjutnya dapat ditentukan

menggunakan data kadar sulfat

54
BAB V

PENUTUP
5.1 Simpulan

1. Pengaruh impregnasi KOH 15% memberikan perubahan karakteristik

terahadap karbon aktif tempurung kelapa meliputi hasil karakterisasi sifat

permukaan dimana terjadi penurunan luas permukaan dan sifat pori karena

pengaruh pengisian spesi impregnan pada permukaan maupun pori karbon,

terjadi penurunan ukuran partikel untuk KAI karena pengaruh penambahan

impregnan, sifat thermal karbon aktif hasil impregnasi stabil pada suhu

dibawah 580 ⁰C, morfologi permukaan maupun pori karbon diisi oleh spesi

KOH dan dibuktikan dengan keberadaan unsur K lebih dominan dari karbon

tanpa impregnasi, dan terdapat fasa kristal yang muncul diantara struktur

amorf pada sudut tertentu (2θ) yang menandakan keberhasilan impregnasi

dengan impregnan KOH.

2. Karbon aktif impregnasi KOH 15% memperlihatkan keberhasilan dalam

adsorpsi gas H2S melalui metode petagastech dimana efisiensi adsorpsi pada

KAI 3x lebih besar bila dibandingkan dengan kadar sulfur dalam KA. KAI

dapat digunakan dalam adsorpsi H2S untuk mendeteksi keberadaan panas

bumi melalui metode tanam.

5.2 Saran

Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melakukan impregnasi

perbandingan konsentrasi persen impregnan untuk karbon aktif dengan range

55
konsentrasi 10-20% KOH sehingga dapat dijadikan pembanding impregnan yang

optimal untuk efektifitas adsorpsi gas H2S.

56
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, S. H. Y. S., Hanapi, N. H. M., Azid, A., Umar, R., Juahir, H., Khatoon,
H., & Endut, A. (2017). A review of biomass-derived heterogeneous catalyst
for a sustainable biodiesel production. Renewable and Sustainable Energy
Reviews, 70, 1040–1051.

Adhikari, T. (2021). Nanotechnology in environmental soil science. Soil Science:


Fundamentals to Recent Advances, 297–309.

Ahluwalia, S., Prakash, N. T., Prakash, R., & Pal, B. (2016). Improved degradation
of methyl orange dye using bio-co-catalyst Se nanoparticles impregnated ZnS
photocatalyst under UV irradiation. Chemical Engineering Journal, 306,
1041–1048.

Ahmed, S., Ramli, A., & Yusup, S. (2017). Development of polyethylenimine-


functionalized mesoporous Si-MCM-41 for CO2 adsorption. Fuel Processing
Technology, 167, 622–630.

Alabadi, A., Razzaque, S., Yang, Y., Chen, S., & Tan, B. (2015). Highly porous
activated carbon materials from carbonized biomass with high CO2 capturing
capacity. Chemical Engineering Journal, 281, 606–612.

American Standards Testing and Material (ASTM). (2017). Standard Test Method
for Particle Size Distribution of Granular Activated Carbon. Annual Book of
ASTM Standards D2862-16. Philadelphia.

American Standards Testing and Material (ASTM). (2019). Standard Test Method
for Mass Loss, Residue, and Temperature Measurement Validation of
Thermogravimetric Analyzers. Annual Book of ASTM Standards E2402.
Philadelphia.

American Standards Testing and Material (ASTM). (2020). Standard Test Method
for Surface Area of Catalyst and Catalyst Carriers. Annual Book of ASTM
Standards D3663. Philadelphia.

Anyika, C., Asri, N. A. M., Majid, Z. A., Yahya, A., & Jaafar, J. (2017). Synthesis
and characterization of magnetic activated carbon developed from palm kernel
shells. Nanotechnology for Environmental Engineering, 2(1).
https://doi.org/10.1007/s41204-017-0027-6

Arianti, M. (2011). Slide Thermal Analysis, Karakterisasi Material 2. Depok (ID):


Departemen Metalurgi UI.

57
Bai, B. C., Lee, C. W., Lee, Y.-S., & Im, J. S. (2016). Metal impregnated on
activated carbon fiber for SO2 gas removal: Assessment of pore structure, Cu
supporter, breakthrough, and bed utilization. Colloids and Surfaces A:
Physicochemical and Engineering Aspects, 509, 73–79.

Behnamfard, A., Salarirad, M. M., & Vegliò, F. (2014). Removal of Zn (II) ions
from aqueous solutions by ethyl xanthate impregnated activated carbons.
Hydrometallurgy, 144, 39–53.

Belala, Z., Jeguirim, M., Belhachemi, M., Addoun, F., & Trouvé, G. (2011).
Biosorption of copper from aqueous solutions by date stones and palm-trees
waste. Environmental Chemistry Letters, 9(1), 65–69.

Beri, D., & Sanjaya, H. (2012). Analisis Instrumen 2: XRD, XRF, SEM, DTA, TGA,
dan DSC. FMIPA UNP.

Bhatnagar, A., Hogland, W., Marques, M., & Sillanpää, M. (2013). An overview of
the modification methods of activated carbon for its water treatment
applications. Chemical Engineering Journal, 219, 499–511.

Bin Omar, A. F., & Bin MatJafri, M. Z. (2009). Turbidimeter design and analysis:
a review on optical fiber sensors for the measurement of water turbidity.
Sensors, 9(10), 8311–8335.

Builes, S., & Vega, L. F. (2013). Effect of immobilized amines on the sorption
properties of solid materials: impregnation versus grafting. Langmuir, 29(1),
199–206.

Bumiller, M., DeLuca, T., Mattison, K., & Rawle, A. (2006). Particle
Characterization of Nanoscale Materials using Dynamic and Static Light
Scattering. Technical Proceedings of the 2006 NSTI Nanotechnology
Conference and Trade ShowÀ Nanotech 2006, 381–384.

Chen, Y.-W., & Chiang, P.-J. (2011). Automatic cell counting for hemocytometers
through image processing. World Academy of Science Engineering and
Technology, 5.

Choo, H. S., Lau, L. C., Mohamed, A. R., & Lee, K. T. (2013). Hydrogen sulfide
adsorption by alkaline impregnated coconut shell activated carbon. Journal of
Engineering Science and Technology, 8(6), 741–753.

Coppola, G., & Papurello, D. (2019). Biogas Cleaning: Activated Carbon


Regeneration for H2S Removal. Clean Technologies, 1(1), 40–57.
https://doi.org/10.3390/cleantechnol1010004

58
Cui, X. Y., Jia, F., Chen, Y. X., & Gan, J. (2011). Influence of single-walled carbon
nanotubes on microbial availability of phenanthrene in sediment.
Ecotoxicology, 20(6), 1277–1285.

Deng, J., Liu, Y., Liu, S., Zeng, G., Tan, X., Huang, B., Tang, X., Wang, S., Hua,
Q., & Yan, Z. (2017). Competitive adsorption of Pb (II), Cd (II) and Cu (II)
onto chitosan-pyromellitic dianhydride modified biochar. Journal of Colloid
and Interface Science, 506, 355–364.

Ding, L. P., & Bhatia, S. K. (2003). Analysis of multicomponent adsorption kinetics


on activated carbon. AIChE Journal, 49(4), 883–895.

Energia. (2018). Narasi Inovasi Kunci Ketahanan Energi. Jakarta (ID): PT.
Pertamina

Friel, J. J. (2003). X-ray and image analysis in electron microscopy, Princeton


Gamma-Tech. Inc., Princeton, New Jersey.

Frilund, C., Hiltunen, I., & Simell, P. (2021). Activated carbons for syngas
desulfurization: evaluating approaches for enhancing low-temperature H2S
oxidation rate. ChemEngineering, 5(2), 23.

Ghorbel, A., Takfaoui, A., Chekir, H., Trabelsi, N., & Khemakhem, S. (2018).
Alkaline activated carbon as adsorbents of hydrogen sulfide gases from
chimney of phosphoric units. 2508(9), 2686–2691.

González-García, P. (2018). Activated carbon from lignocellulosics precursors: A


review of the synthesis methods, characterization techniques and applications.
In Renewable and Sustainable Energy Reviews (Vol. 82, pp. 1393–1414).
Elsevier Ltd. https://doi.org/10.1016/j.rser.2017.04.117

Gourani, M., Sadighzadeh, A., & Mizani, F. (2014). Effect of impregnating


materials in activated carbon on Iodine-131 (131 I) removal efficiency.
Radiation Protection and Environment, 37(3), 179.

Gregg, S. J., & Sing, K. S. W. (1982). Adsorption, surface area and porosity, Acad.
Press, London, 3.

Gunawarman. (2013). Konsep dan Teori Metalurgi Fisik. Yogyakarta (ID): Andi
Offset.

Hai, F. I., Yamamoto, K., Nakajima, F., & Fukushi, K. (2011). Bioaugmented
membrane bioreactor (MBR) with a GAC-packed zone for high rate textile
wastewater treatment. Water Research, 45(6), 2199–2206.
https://doi.org/10.1016/j.watres.2011.01.013

59
Hidayu, A. R., & Muda, N. (2016). Preparation and characterization of impregnated
activated carbon from palm kernel shell and coconut shell for CO2 capture.
Procedia Engineering, 148, 106–113

Horiba. (2014). A Guidebook To Particle Size Analysis. USA : Horiba Intruments


Inc.

Jin, G., Eom, Y., & Lee, T. G. (2016). Removal of Hg (II) from aquatic
environments using activated carbon impregnated with humic acid. Journal of
Industrial and Engineering Chemistry, 42, 46–52.

Kaban, G. S. (2018). Pembuatan Katalis Berbasis Karbon Aktif Dari Cangkang


Kemiri Yang Diimpregnasi Koh : Pengaruh Konsentrasi Koh Dan Waktu
Impregnasi [skripsi]. Sumatera Utara (ID): Universitas Sumatera Utara.

Khopkar, S. M. (1990). Konsep Dasar Kimia Analitik (Terjemahan). Universitas


Indonesia, 201–218.

Khuluk, R. H. (2016). Pembuatan dan karakterisasi karbon aktif dari tempurung


kelapa (Cocous nucifera L.) sebagai adsorben zat warna metilen biru [skripsi].
Lampung (ID): Universitas Lampung.

Konwar, L. J., Boro, J., & Deka, D. (2014). Review on latest developments in
biodiesel production using carbon-based catalysts. Renewable and Sustainable
Energy Reviews, 29, 546–564.

Kortazar, L., Sáez, J., Agirre, J., Izaguirre, J. K., & Fernández, L. A. (2014).
Application of multivariate analysis to the turbidimetric determination of
sulphate in seawater. Analytical Methods, 6(10), 3510–3514.

Kristianto, H. (2017). Review: Sintesis Karbon Aktif Dengan Menggunakan


Aktivasi Kimia Zncl2. In Jurnal Integrasi Proses (Vol. 6, Issue 3).
http://jurnal.untirta.ac.id/index.php/jip

Le-Minh, N., Sivret, E. C., Shammay, A., & Stuetz, R. M. (2018). Factors affecting
the adsorption of gaseous environmental odors by activated carbon: A critical
review. Critical Reviews in Environmental Science and Technology, 48(4),
341–375.

Leofanti, G., Tozzola, G., Padovan, M., Petrini, G., Bordiga, S., & Zecchina, A.
(1997). Catalyst characterization: characterization techniques. Catalysis
Today, 34(3–4), 307–327.

Lira, M. A., Navarro, R., Saucedo, I., Martinez, M., & Guibal, E. (2016). Influence
of the textural characteristics of the support on Au (III) sorption from HCl

60
solutions using Cyphos IL101-impregnated Amberlite resins. Chemical
Engineering Journal, 302, 426–436.

Mashhadi, S., Sohrabi, R., Javadian, H., Ghasemi, M., Tyagi, I., Agarwal, S., &
Gupta, V. K. (2016). Rapid removal of Hg (II) from aqueous solution by rice
straw activated carbon prepared by microwave-assisted H2SO4 activation:
Kinetic, isotherm and thermodynamic studies. Journal of Molecular Liquids,
215, 144–153.

Matshitse, R. (2010). Brunauer-Emmett-Teller (BET) surface area analysis. Rhodes


Univ. Natl. Res. Found, 384.

Meifano, A., & Aji, B. N. P. (2019). Determination Of Mercury Anomaly Zone


Using Ordinary Kriging Method In Pamancalan Geothermal Field. Jurnal
Geosaintek, 5(3), 101–108.

Mu’in, R., Wulandari, S., & Pertiwi, N. P. (2017). Pengaruh kecepatan pengadukan
dan massa adsorben terhadap penurunan kadar phospat pada pengolahan
limbah laundry. In Jurnal Teknik Kimia (Vol. 23, Issue 1).

Mulyono. (2007). Kamus Kimia. Jakarta (ID): Bumi Aksara.

Munnik, P., de Jongh, P. E., & de Jong, K. P. (2015). Recent developments in the
synthesis of supported catalysts. Chemical Reviews, 115(14), 6687–6718.

Nethaji, S., Sivasamy, A., & Mandal, A. B. (2013). Preparation and characterization
of corn cob activated carbon coated with nano-sized magnetite particles for the
removal of Cr (VI). Bioresource Technology, 134, 94–100.

Omar, M. A., Hendrasto, F., & Utama, G. R. (2022). Model Konseptual Sistem
Panas Bumi Daerah “Ubl” Provinsi Lampung Dengan Menggunakan Data Log
Bor Dan Geokimia Manifestasi Permukaan: Conceptual Model Of The “Ubl”
Region Geothermal System Of Lampung Province Using Drill Log Data And
Surface Manifestation Geochemicals. Journal of Geoscience Engineering &
Energy (JOGEE), 62–79.

Pambayun, G. S., Yulianto, R. Y. E., Rachimoellah, M., & Putri, E. M. M. (2013).


Pembuatan karbon aktif dari arang tempurung kelapa dengan aktivator ZnCl2
dan Na2CO3 sebagai adsorben untuk mengurangi kadar fenol dalam air limbah.
Jurnal Teknik ITS, 2(1), F116–F120.

Pambudi, N. A. (2018). Geothermal power generation in Indonesia, a country


within the ring of fire: Current status, future development and policy.
Renewable and Sustainable Energy Reviews, 81, 2893–2901.

61
Perwitasari, A. A. (2007). Penentuan Luas Permukaan Zeolit Menggunakan Metode
Adsorpsi Isotermis Superkritis CO2 Dengan Model Ono-Kondo [skripsi].
Depok (ID): Universitas Indonesia.

Polini, A., & Yang, F. (2017). Physicochemical characterization of nanofiber


composites. In Nanofiber composites for biomedical applications (pp. 97–
115). Elsevier.

Prauchner, M. J., Sapag, K., & Rodríguez-Reinoso, F. (2016). Tailoring biomass-


based activated carbon for CH4 storage by combining chemical activation with
H3PO4 or ZnCl2 and physical activation with CO2. Carbon, 110, 138–147.

Ramalingam, S. G. (2012). Adsorption of volatile organic compounds and


regeneration of activated carbons–Development of a simulation tool. Ecole
des Mines de Nantes.

Rambabu, N., Rao, B., Surisetty, V. R., Das, U., & Dalai, A. K. (2015). Production,
characterization, and evaluation of activated carbons from de-oiled canola
meal for environmental applications. Industrial Crops and Products, 65, 572–
581.

Richardson, J. T. (1989). Catalyst development. In Principles of Catalyst


Development (pp. 41–48). Springer.

Sada, H. J. (2016). Alam Semesta Dlalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits. Al-
Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, 7(2), 259–276.

Sani, R. A. (2014). Sains Berbasis Alquran. Bumi Aksara.

SAPUTRI, N. S. (2019). Pembuatan Katalis Berbasis Karbon Aktif Dari Serbuk


Gergaji Kayu Akasia Diimpregnasi Koh (Variasi Konsentrasi Dan Waktu
Impregnasi) [Skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia

Schnelle Jr, K. B., Dunn, R. F., & Ternes, M. E. (2015). Air pollution control
technology handbook. CRC press.

Sidek, M. Z., Cheah, Y. J., Zulkefli, N. N., Yusuf, N. Y. M., Isahak, W., Sitanggang,
R., & Masdar, M. S. (2018). Effect of impregnated activated carbon on carbon
dioxide adsorption performance for biohydrogen purification. Materials
Research Express, 6(1), 15510.

Singh, L., Rekha, P., & Chand, S. (2016). Cu-impregnated zeolite Y as highly active
and stable heterogeneous Fenton-like catalyst for degradation of Congo red
dye. Separation and Purification Technology, 170, 321–336.

62
Sitthikhankaew, R., Chadwick, D., Assabumrungrat, S., & Laosiripojana, N.
(2014). Effect of KI and KOH impregnations over activated carbon on H2S
adsorption performance at low and high temperatures. Separation Science and
Technology, 49(3), 354–366.

Sitthikhankaew, R., Predapitakkun, S., Kiattikomol, R., Pumhiran, S.,


Assabumrungrat, S., & Laosiripojana, N. (2011a). Comparative study of
hydrogen sulfide adsorption by using alkaline impregnated activated carbons
for hot fuel gas purification. Energy Procedia, 9, 15–24.
https://doi.org/10.1016/j.egypro.2011.09.003

Sitthikhankaew, R., Predapitakkun, S., Kiattikomol, R., Pumhiran, S.,


Assabumrungrat, S., & Laosiripojana, N. (2011b). Performance of commercial
and modified activated carbons for hydrogen sulfide removal from simulated
biogas. 2011 IEEE Conference on Clean Energy and Technology (CET), 135–
139.

Skoog, D. A., West, D. M., Holler, F. J., & Crouch, S. R. (2013). Fundamentals of
analytical chemistry. Cengage learning.

Smallman, R. E., & Bishop, R. J. (1999). Modern physical metallurgy and materials
engineering. Butterworth-Heinemann.

Standar Nasional Indonesia (SNI). (2004). SNI-06-6989.20-2004 Air dan Air


Limbah Bagian 20: Cara Uji Sulfat, SO42- Secara Turbidimetri. Jakarta:
Badan Standarisasi Nasional.

Sudding, M. (2013). Pembuatan dan Analisis Mutu Briket Arang Tempurung


Kelapa Ditinjau dari Kadar Kanji. Jurnal Chemica, 14(1), 74–83.

Tamado, D., Budi, E., Wirawan, R., Dwi, H., Tyaswuri, A., Sulistiani, E., Asma,
E., Fisika, J., Mesin, J. T., Matematika, F., Ilmu, D., & Alam, P. (2013). Sifat
Termal Karbon Aktif Berbahan Arang Tempurung Kelapa. In Seminar
Nasional Fisika Universitas Negeri Jakarta.

Vargas, D. P., Giraldo, L., & Moreno-Piraján, J. C. (2012). CO2 adsorption on


activated carbon honeycomb-monoliths: a comparison of Langmuir and Toth
models. International Journal of Molecular Sciences, 13(7), 8388–8397.

Vinodhini, V., & Das, N. (2010). Packed bed column studies on Cr (VI) removal
from tannery wastewater by neem sawdust. Desalination, 264(1–2), 9–14.

Vogel. (1994). Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. In Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC. Hal. 86-88.

63
Wang, K., Zhao, J., Li, H., Zhang, X., & Shi, H. (2016). Removal of cadmium (Ⅱ)
from aqueous solution by granular activated carbon supported magnesium
hydroxide. Journal of the Taiwan Institute of Chemical Engineers, 61, 287–
291.

Widjajanti. (2004). Penentuan Konsentrasi Misel Kritis Lesitin Secara


Turbidimetri. Jurnal Kimia, 2.3, 105–115.

Xie, J., Yan, N., Liu, F., Qu, Z., Yang, S., & Liu, P. (2014). CO2 adsorption
performance of ZIF-7 and its endurance in flue gas components. Frontiers of
Environmental Science & Engineering, 8(2), 162–168.

Xie, R., Jiang, W., Wang, L., Peng, J., & Chen, Y. (2013). Effect of pyrolusite
loading on sewage sludge‐based activated carbon in Cu (II), Pb (II), and Cd
(II) adsorption. Environmental Progress & Sustainable Energy, 32(4), 1066–
1073.

Xu, J., Chen, L., Qu, H., Jiao, Y., Xie, J., & Xing, G. (2014). Preparation and
characterization of activated carbon from reedy grass leaves by chemical
activation with H3PO4. Applied Surface Science, 320, 674–680.
https://doi.org/10.1016/j.apsusc.2014.08.178

Yahya, M. A., C. W. Ngah, C. W. Z., Hashim, M. A., & Al-Qodah, Z. (2015).


Preparation of Activated Carbon from Desiccated Coconut Residue by
Chemical Activation with NaOH. Journal of Materials Science Research,
5(1), 24. https://doi.org/10.5539/jmsr.v5n1p24

Yogaswara, D. (2017). Adsorpsi Senyawa Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH)


Oleh Karbon Aktif. OSEANA, 42(1), 1–8.

Zamhari, M., Junaidi, R., Rachmatika, N., & Oktarina, A. (2021). Pembuatan
Katalis Berbasis Karbon Aktif Dari Tempurung Kelapa (Cocos Nucifera)
Diimpregnasi KOH Pada Reaksi Transesterifikasi Sintesis Biodiesel.
KINETIKA, 12(1), 23–31.

Zaya Aisyahlika, S., Lutfi Firdaus, M., & Studi Pendidikan Kimia Jurusan PMIPA
FKIP Universitas Bengkulu, P. (2018). Kapasitas Adsorpsi Arang Aktif
Cangkang Bintaro (Cerbera Odollam) Terhadap Zat Warna Sintetis Reactive
Red-120 Dan Reactive Blue-198. 2, 148–155.

Zulkefli, N. N., Masdar, M. S., Wan Isahak, W. N. R., Md Jahim, J., Md Rejab, S.
A., & Chien Lye, C. (2019). Removal of hydrogen sulfide from a biogas mimic
by using impregnated activated carbon adsorbent. PloS One, 14(2), e0211713.

Zulkefli, N. N., Mathuray Veeran, L. S., Noor Azam, A. M. I., Masdar, M. S., &
Wan Isahak, W. N. R. (2022). Effect of bimetallic-activated carbon

64
impregnation on adsorption–desorption performance for hydrogen sulfide
(H2S) capture. Materials, 15(15), 5409.

65
LAMPIRAN

Lampiran 1. Pembuatan larutan impregnan KOH 15%

Membuat larutan KOH 15 dalam 500 mL aquadest dengan persen berat/volume


(w/v):

a
W= xV
100

15
W= x 500mL = 75 gram
100

Keterangan:
w = berat kristal KOH
a = konsentrasi larutan (%)
v = volume larutan (m)

Lampiran 2. Pembuatan larutan kerja sulfat (SO42-)

Konsentrasi std Sulfat Volume labu Volume std Induk


(ppm) (mL) (mL)
0 50 0
1 50 0.5
4 50 2
7 50 3.5
10 50 5
15 50 7.5
20 50 10

Contoh perhitungan Larutan standar sulfat 0 mg/L

C1 × V1 = C2 × V2
100 mg/L × V1 = 0 mg/L × 50 mL
V1 = 0 mL

66
Lampiran 3. Pembuatan kurva kalibrasi larutan standar Na2SO4 untuk metode
reaktor

Konsentrasi Standar (ppm) NET NTU


0,0 0,022
1,0 19,63
7,0 99,17
10,0 131,938
15,0 185,11

Net NTU
200
y = 12.283x + 6.013
150 R² = 0.9948
Net NTU

100
Net NTU
50 Linear (Net NTU)
0
0.0 5.0 10.0 15.0 20.0
Standar

Lampiran 4. Kadar Sulfat pada sampel KA dan KAI Metode Reaktor

Sampel Berat NET Sulfur (mg/l) Minus Blank Sulfat dalam


Sampel NTU (mg/l) sampel
(ppm)
KA1 0,1009 10,64 0,376705327 0,863560325 427,9288035
KA2 0,1203 12,798 0,552397151 1,03925215 431,9418744
KA3 0,1317 16,054 0,817481758 1304336756 495,1923904
KAI1 0,1306 43,408 3,044485542 3,531340541 1351968048
KAI2 0,1402 50,052 3,585401428 4,072256427 1452,302577
KAI3 0,1410 39,822 2,752534253 3,239389251 1148,719593

Contoh perhitungan kadar sulfat dalam sampel KA dan KAI metode reaktor:

Volume x Konsentrasi x 1000


Kadar Sulfat = Berat Sampel

0,05 𝐿 𝑥 0,863560325 mg/L x 1000


Kadar Sulfat = = 427,9288035 ppm
0,1009 g

67
Lampiran 5. Pembuatan kurva kalibrasi larutan standar Na2SO4 untuk metode
tanam

Konsentrasi Standar (ppm) NET NTU


0,0 115
0,5 126
1,0 124
1,5 138
2,0 137
10,0 219
6,0 155

Konsentrasi Standar (ppm) NET NTU


0,0 120
0,5 129
1,0 131.96
1,5 133.83
2,0 137
10,0 179
6,0 220.32

NET NTU
250
y = 10.15x + 117.79
R² = 0.9918
200
Axis Title

150

100 NET NTU


Linear (NET NTU)
50

0
0 5 10 15
Axis Title

68
NET NTU
250

200
Axis Title

150
y = 9.8767x + 120.53
R² = 0.9962 NET NTU
100
Linear (NET NTU)
50

0
0 5 10 15
Axis Title

Lampiran 6. Kadar Sulfat pada sampel KAI Metode Tanam

Sampel Berat NET Sulfur (mg/l) Sulfat dalam


Sampel NTU sampel
(ppm)
KAI1 0,1007 121,83 0,131780021 65,43
KAI2 0,1026 121,15 006293117 30,67
KAI3 0,1003 125,53 0,506398767 252,44
KAI4 0,1016 120 0,217569787 107,07
KAI5 0,1002 128,16 0,772681822 385,57
KAI6 0,1016 128,34 0,790906518 389,23
KAI7 0,1014 132 1,399835796 680,25
KAI8 0,1019 136 1,793924466 880,24
KAI9 0,1008 129 1,104269294 547,75
KAI10 0,1006 138,2 1,789214854 889,27
KAI 11 0,1006 136,89 1,656579568 823,35

Contoh perhitungan kadar sulfat dalam sampel KA dan KAI metode reaktor:
Volume x Konsentrasi Sulfur x 1000
Kadar Sulfat =
Berat Sampel

0,05 𝐿 𝑥 0.131780021 mg/L x 1000


Kadar Sulfat = = 65,4319861 ppm
0,1007 g

69
Lampiran 7. Perhitungan Kapasitas dan Efisiensi Adsorpsi
Perhitungan Efisiensi Adsorpsi

𝐶𝑜 − 𝐶𝑡
%𝐸 =( ) 𝑥 100%
𝐶𝑜
Perhitungan Kapasitas Adsorpsi

𝐶𝑜 − 𝐶𝑡
𝑄 =( )
𝑀
Keterangan:

%E = persen efisiensi adsorpsi


Q =kapasitas adsorpsi (mg/g)
Co = kosentrasi awal adsorbat (mg/g)
Ct = kosentrasi akhir adsorbat (mg/g)
M = massa adsorben (g)

- Efisisensi adsorpsi karbon aktif (KA)

𝐶𝑜 − 𝐶𝑡
%𝐸 =( ) 𝑥 100%
𝐶𝑜

10000 − 9548,31
=( ) 𝑥 100%
10000

= 4,52%

- Kapasitas adsorpsi karbon aktif (KAI)

𝐶𝑜 − 𝐶𝑡
𝑄 =( )
𝑀

10000 − 9548,31
=( )
0,1

= 4516,86 𝑚𝑔/𝑔

- Efisisensi adsorpsi karbon aktif impregnasi (KAI)

𝐶𝑜 − 𝐶𝑡
%𝐸 =( ) 𝑥 100%
𝐶𝑜

10000 − 8682,33
=( ) 𝑥 100%
10000

= 13,18%

70
- Kapasitas adsorpsi karbon aktif (KAI)

𝐶𝑜 − 𝐶𝑡
𝑄 =( )
𝑀

10000 − 8682,33
=( )
0,1

= 13176,63 𝑚𝑔/𝑔

Lampiran.8.Data
Lampiran Dataisoterm adsorpsi
Isoterm Adsorpsi

1. Karbon aktif (KA)


m
C0 Ce qe Ce/qe Log Ce Log qe
(gram)
10000 9572,07 4279,3 2,236831 3,981006 3,631373
0,1 10000 9568,06 4319,4 2,215136 3,980824 3,635423
10000 9504,81 4951,9 1,919427 3,977943 3,694772
Keterangan:
m = bobot adsorben (gram)
C0 = kosentrasi awal (mg/g)
Ce = kosentrasi akhir (mg/g)
qe = kapasitas adsorpsi (mg/g)

Persamaan garis isoterm Langmuir yang didapat adalah y = 0.0047x - 42.752

dan R² = 0.9999. kemudian dapat diperoleh nilai qmax dan KL berdasarkan

persamaan:

𝐶𝑒 1 𝐶𝑒
= +
𝑞𝑒 𝑞𝑚. 𝐾𝐿 𝑞𝑚

1
Slop = 𝑞𝑚𝑎𝑥

1
0,0047 = 𝑞𝑚𝑎𝑥

qmax = 212,7659

1
intercept = 𝑞𝑚𝑎𝑥.𝐾𝐿

71
1
-42,752 = 212,7659.𝐾𝐿

KL = 1,09 x 10-4

Persamaan garis isoterm Freundlich yang didapat adalah y = -20.659x + 85.875

dan R² = 1. Kemudian dapat diperoleh nilai 1/n dan KF berdasarkan persamaan

Log qe = log KF + 1/n log Ce

1/n = -20,659

n = - 3,0281

log KF = 85,875

KF = 1,93

2. Karbon aktif impregnasi (KAI)

m
C0 Ce qe Ce/qe Log Ce Log qe
(gram)
10000 8851,28 11487,2 0,770534 3,947006 4,060214
0,1 10000 8648,03 13519,7 0,639661 3,936917 4,130967
10000 8547,7 14523 0,588563 3,931849 4,162056

Persamaan garis isoterm Langmuir yang didapat adalah y = 0.0006x - 4.5944

dan R² = 0.997. kemudian dapat diperoleh nilai qmax dan KL berdasarkan

persamaan:

𝐶𝑒 1 𝐶𝑒
= +
𝑞𝑒 𝑞𝑚. 𝐾𝐿 𝑞𝑚

1
Slop = 𝑞𝑚𝑎𝑥

1
0,0006 = 𝑞𝑚𝑎𝑥

72
qmax = 1,666

1
intercept = 𝑞𝑚𝑎𝑥.𝐾𝐿

1
-4,5944 = 1,666.𝐾𝐿

KL = 1,3 x 10-1

Persamaan garis isoterm Freundlich yang didapat adalah y = -6.7609x + 30.746

dan R² = 0.999. Kemudian dapat diperoleh nilai 1/n dan KF berdasarkan

persamaan:

Log qe = log KF + 1/n log Ce

1/n = -6,7609

n = - 1,9111

log KF = 30,746

KF = 1,48

73
Lampiran 9. Hasil karakterisasi dengan SAA
a. Karbon aktif (KA)

74
b. Karbon aktif impregnasi (KAI)

75
Lampiran 10. Hasil karakterisasi dengan PSA

a. Karbon aktif (KA)

b. Karbon Aktif Impregnasi (KAI)

76
Lampiran 11. Dokumentasi penelitian
1. Proses impregnasi karbon aktif dengan larutan KOH 15%

Proses impregnasi
Hasil karbon aktif impregnasi

Hasil pengukuran pH
1. Karakterisasi karbon aktif sebelum dan sesudah impregnasi

Karakterisasi PSA Karakterisasi SAA

77
Karakterisasi SEM-EDS Karakterisasi XRD

2. Analisa kadar sulfat

Proses Destruksi Pembacaan Turbidity

78

Anda mungkin juga menyukai