Anda di halaman 1dari 55

KOLOKIUM

EFEK SIFAT REDOKS KATALIS PEROVSKIT LaCoO3 PADA


PRODUKSI ASAM LAKTAT DARI BIOMASSA SELULOSA

STANZA FARID ZAKARIA


NRP. 01211440000082

Dosen Pembimbing
Drs. Agus Wahyudi, MS.

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS ILMU ALAM
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2017

i
COLLOQUIUM

EFFECT OF REDOX PROPERTIES OF LaCoO3


PEROVSKITE CATALYST ON PRODUCTION OF LACTIC
ACID FROM CELLULOSIC BIOMASS

STANZA FARID ZAKARIA


NRP. 01211440000082

Supervisor
Drs. Agus Wahyudi, MS.

DEPARTMENT OF CHEMISTRY
FACULTY OF SCIENCE
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2017

ii
EFEK SIFAT REDOKS KATALIS PEROVSKIT LaCoO3 PADA
PRODUKSI ASAM LAKTAT DARI BIOMASSA SELULOSA

KOLOKIUM

Disusun sebagai syarat untuk menyelesaikan mata kuliah kolokium


program S-1
Di Departemen Kimia, Fakultas Ilmu Alam
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya

STANZA FARID ZAKARIA


NRP. 01211440000082

Dosen Pembimbing
Drs. Agus Wahyudi, MS.

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS ILMU ALAM
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2017

iii
EFEK SIFAT REDOKS KATALIS PEROVSKIT LaCoO3
PADA PRODUKSI ASAM LAKTAT DARI BIOMASSA
SELULOSA

KOLOKIUM

Disusun sebagai syarat untuk menyelesaikan mata kuliah


kolokium program S-1
Di Departemen Kimia, Fakultas Ilmu Alam
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya

STANZA FARID ZAKARIA


NRP. 01211440000082

Surabaya, 28 Desember 2017


Dosen Pembimbing

Drs. Agus Wahyudi, MS.


NIP. 19600815 198803 1 004

Mengetahui,
Kepala Departemen Kimia,

Prof. Didik Prasetyoko, S.Si, M.Sc


NIP. 19710616 199703 1 002

iv
SURAT PENGESAHAN
Dosen yang bertanda tangan dibawah ini, adalah dosen penguji
pada ujian kolokium mahasiswa :
Nama : STANZA FARID ZAKARIA
NRP : 01211440000082
Judul Tulisan : EFEK SIFAT REDOKS KATALIS
PEROVSKIT LaCoO3 PADA
PRODUKSI ASAM LAKTAT DARI
BIOMASSA SELULOSA
Dengan ini menyatakan bahwa naskah kolokium tersebut telah
diperbaiki sesuai hasil seminar kolokium tanggal 28 Desember
2017
DOSEN PENGUJI
No NAMA JABATAN TANDA TANGAN
Zjahra Vianita
1 Nugraheni, S.Si., Ketua Sidang
M.Si.
Drs. Agus Wahyudi, Penguji /
2
MS. Pembimbing
Dr. Ir. Endah Mutiara
3 Penguji
MP., M.Si.

v
ABSTRAK

Konversi biomassa selulosa menjadi asam laktat yang


memiliki banyak manfaat dengan katalis heterogen telah
menarik perhatian akhir-akhir ini. Meskipun padatan yang
bersifat asam dan basa lewis telah banyak dipelajari, namun
penggunaan katalis dengan sifat redoks pada produksi asam
laktat masih sedikit dipelajari. Contohnya yaitu oksida logam
yang terdapat pada perovskit LaCoO3 dengan sifat redoks yang
kuat dan stabilitas yang baik dalam media hidrotermal,
digunakan sebagai katalis untuk mengkonversi berbagai
biomassa selulosa menjadi asam laktat. Efek kondisi reaksi
seperti suhu reaksi, loading katalis, dan atmosfer gas telah
dipelajari, dimana didapatkan kondisi hasil optimum sekitar
40%, 38% dan 24% asam laktat yang masing-masing diperoleh
dari glukosa, xilosa, dan selulosa. Kunci intermediet seperti
asam piruvat digunakan sebagai pereaksi probe untuk
mengetahui mekanisme reaksi. Tidak seperti reaksi konversi
gula dengan menggunakan katalis asam atau basa lewis, jalur
redoks mungkin bermula dari dekarboksilasi osksidatif gula
aldosa dan kisi atom oksigen dalam struktur perovskit LaCoO 3
yang masuk dalam siklus redoks dalam konversi gula menjadi
asam laktat. Terakhir, stabilitas katalis LaCoO3 dalam media
reaksi hidrotermal juga dibahas dalam penelitian ini.

Kata Kunci : Glukosa, Xilosa, Selulosa, Asam laktat,


Perovskit, Katalisis Redoks

vi
ABSTRACT

Cost-effective conversion of cellulosic biomass to


value-added lactic acid with heterogeneous catalysts has
attracted much attention recent years. While both solid Lewis
acids and bases have been extensively studied, the role of redox
catalysts for the production of lactic acid is barely understood.
Herein, the LaCoO3 perovskite metal oxides with strong redox
properties and a good stability in hydrothermal media were used
as the catalysts for the conversion of a variety of cellulosic
biomass to lactic acid. The effects of reaction conditions such
as reaction temperature, catalyst loading, and gas atmosphere
were investigated. At the optimum conditions, the yields of
approximately 40%, 38%, and 24% lactic acid were obtained
from glucose, xylose and cellulose, respectively. The key
intermediates such as pyruvic acid were used as the probe
reactants to explore the reaction mechanism. Unlike Lewis acid
or base catalysed sugar conversion reactions, the redox pathway
might start from the oxidative decarboxylation of aldose sugars
and the lattice oxygen atoms in the LaCoO3 perovskite structure
participate the redox cycles in the conversion of sugars to lactic
acid. Lastly, the stability of the LaCoO 3 catalyst in
hydrothermal reaction media was discussed.

Key Words : Glucose, Xylose, Cellulose, Lactic acid,


Perovskite, Redox catalysis

vii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin. Puji syukur penulis


panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karuniaNya sehingga naskah kolokium yang berjudul
“EFEK SIFAT REDOKS KATALIS PEROVSKIT LaCoO3
PADA PRODUKSI ASAM LAKTAT DARI BIOMASSA
SELULOSA” dapat diselesaikan dengan baik. Tulisan ini tidak
akan terwujud dengan baik tanpa bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Prof. Didik Prasetyoko, S.Si., M.Sc., selaku Kepala
Departemen Kimia atas fasilitas yang telah diberikan
hingga naskah kolokium ini dapat terselesaikan.
2. Drs. Agus Wahyudi, MS., selaku dosen pembimbing
yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan
selama proses penyusunan naskah kolokium ini.
3. Wahyu Prasetyo Utomo, S.Si., M.Si., selaku dosen wali
saya yang telah memberikan semangat dan masukan
selama ini.
4. Orang tua yang selalu memberikan semangat,
dukungan, doa , dan kasih sayang yang tulus untuk
saya.
5. Teman-teman mahasiswa Kimia FIA ITS, GALAXY
dan pihak lain yang selalu membantu, memberikan
semangat, doa, dan dukungannya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan naskah
Kolokium ini tidak lepas dari kekurangan. Oleh karena itu,
penulis terbuka terhadap kritik dan saran yang membangun.
Surabaya, 28 Desember 2017

Penulis

viii
DAFTAR ISI

SURAT PENGESAHAN ........................................................ v


ABSTRAK ............................................................................ vi
ABSTRACT .......................................................................... vii
KATA PENGANTAR.......................................................... viii
DAFTAR ISI .......................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................. xi
DAFTAR TABEL ................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ............................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................. 5
2.1 Selulosa ................................................................... 5
2.2 Asam Laktat............................................................. 6
2.3 Perovskit .................................................................. 7
2.3.1 LaCoO3 ................................................................. 8
2.4 Reaksi Redoks ......................................................... 9
2.5 Reaksi Dehidrasi .................................................... 11
2.7 Reaksi Dekarboksilasi Oksidatif ............................ 12
2.8 HPLC ................................................................... 13
2.9 Spektrofotometer Ultraviolet - Visibel ................... 14
2.10 GC-MS ................................................................ 17
BAB III METODOLOGI ...................................................... 19
ix
3.1 Alat dan Bahan .................................................... 19
3.1.1 Alat ............................................................ 19
3.1.2 Bahan ......................................................... 19
3.2 Prosedur............................................................... 19
3.2.1 Prosedur Reaksi Katalitik........................... 19
3.2.2 Prosedur Analisis Kimia/Karakterisasi
Produk........................................................ 20
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................... 21
4.1 Efek Katalitik LaCoO3 pada Konversi Glukosa ..... 21
4.2 Efek Suhu Reaksi pada Hasil Asam Laktat ............ 22
4.3 Efek Katalitik LaCoO3 terhadap Konversi Biomassa
Selulosa ............................................................... 25
4.4 Mekanisme Reaksi Redoks .................................... 28
BAB V KESIMPULAN ........................................................ 37
DAFTAR PUSTAKA ........................................................... 39

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Struktur Selulosa (Nishiyama dkk, 2002) .......... 6


Gambar 2. 2 Struktur isomer (a) L(+) asam laktat dan (b) D(-)
asam laktat (Castillo Martinez dkk., 2013) .............................. 7
Gambar 2. 3 Skema komposisi perovskit (Levy, 2005) ........... 8
Gambar 2. 4 Struktur rombohedral LaCoO3 (Levy, 2005) ....... 9
Gambar 2. 5 Reaksi dehidrasi glukosa menjadi maltosa3
(Fessenden, 1989) ................................................................. 11
Gambar 2. 6 Mekanisme reaksi dehidrasi alkohol menjadi eter
adalah sebagai berikut (Fessenden, 1989) ............................. 12
Gambar 2. 7 Skema Kerja HPLC (Töppner, 2014)................ 14
Gambar 2. 8 Ilustrasi instrumen UV-Vis single beam (Shah,
2015) ..................................................................................... 16
Gambar 2. 9 Ilustrasi instrumen UV-Vis double beam (Shah,
2015) ..................................................................................... 16
Gambar 2. 10 Ilustrasi instrumen UV-Vis simultan (Shah, 2015)
.............................................................................................. 17
Gambar 2. 11 Instrumen GC-MS (Chauhan, 2014) ............... 18
Gambar 4. 1 Efek suhu reaksi pada konversi glukosa dengan
katalis LaCoO3 di media hidrotermal .................................... 25
Gambar 4. 2 Spektra GC-MS konversi selulosa dalam media
hidrotermal (a) tanpa katalis dan (b) dengan katalis LaCoO3 26
Gambar 4. 3 Spektra GC-MS konversi glukosa dalam media
hidrotermal (a) tanpa katalis dan (b) dengan katalis LaCoO 3 26
Gambar 4. 4 Spektra GC-MS konversi xilosa dalam media
hidrotermal (a) tanpa katalis dan (b) dengan katalis LaCoO 3 27
Gambar 4. 5 (a) H2 temperature programmed reduction (TPR)
dan (b) O2 temperature programmed oxidation (TPO) dari
LaCoO3 (garis tebal) dan Co2O3 (garis putus-putus) ............. 29
Gambar 4. 6 Efek tekanan parsial pada konversi (a) glukosa dan
(b) xilosa dengan menggunakan katalis LaCoO3 ................... 30

xi
Gambar 4. 7 Efek jumlah loading katalis pada yield produk
konversi glukosa dengan katalis LaCoO3 .............................. 32
Gambar 4. 8 Jalur reaksi redoks yang diusulkan untuk
pembentukan asam laktat dari glukosa dengan katalis LaCoO 3
.............................................................................................. 35

DAFTAR TABEL

Tabel 4. 1 Konversi dari biomassa selulosa yang berbeda


dengan dan tanpa katalis yang berbeda ................................. 23
Tabel 4. 2 Konversi asam laktat dan asam glukonat dibawah
kondisi reaksi yang berbeda dengan dan tanpa katalis LaCoO 3
.............................................................................................. 24
Tabel 4. 3 Konversi asam piruvat dengan dan tanpa katalis
LaCoO3 atmosfer inert atau reduktif ...................................... 36

xii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dengan menurunnya jumlah bahan bakar fosil dan peningkatan
emisi gas rumah kaca yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim,
penggunaan sumber daya biomassa sebagai alternatif minyak bumi
dalam produksi komoditas kimia meningkat akhir-akhir ini.
Karbohidrat merupakan senyawa biomassa yang melimpah dan
digunakan sebagai bahan baku jangka panjang dalam produksi
platform kimia berbasis bahan alam. Asam laktat merupakan salah
satu gula dari platform kimia yang dapat dikonversi menjadi senyawa
yang memiliki banyak kegunaan. Produksi asam laktat terus
meningkat dan menghasilkan lebih dari 500.000 ton per tahun dengan
proses fermentasi, namun proses tersebut masih memiliki kekurangan
yaitu kinetika yang lambat, skalabilitas yang buruk, dan jumlah
limbah yang besar.
Berbagai proses katalisis kimia dari industri fermentasi yang
menghasilkan asam laktat telah banyak dipelajari. Jin dkk (2010),
mensintesis asam laktat sebanyak 27% dari glukosa dalam larutan
hidrotermal NaOH 2,5M. Epane dkk (2010), mensintesis asam laktat
sebesar 75% menggunakan KOH dengan metode microwave. Katalis
homogen yang bersifat basa kuat penggunaannya sangat dibatasi
karena dapat menyebabkan korosi, sedangkan katalis heterogen
dengan efektivitas yang tinggi sangat dibutuhkan untuk konversi
karbohidrat menjadi asam laktat. Chambon dkk (2011), menghasilkan
27% mol dan 18% mol asam laktat dari selulosa menggunakan katalis
ZrW dan AlW masing-masing dalam air subkritis. Taarning dkk
(2010), menggunakan katalis Sn-beta sebagai katalis yang bersifat
asam lewis dan menghasilkan 26% asam laktat dari larutan glukosa.
Yang dkk (2015), menghasilkan 42% mol dan 20% mol dari asam
laktat yang dikonversi dari xilosa dan xilan menggunakan katalis
1
ZrO2. Wang dkk (2013), menggunakan CuO sebagai oksidan untuk
mengkonversi glukosa menjadi asam laktat dengan yield 59% mol
dalam larutan alkalin, setelah reaksi CuO direduksi menjadi Cu. Dong
dkk (2015), menghasilkan 67,6% asam laktat dari selulosa dengan
katalis K10 montmorillonite erbium. Beberapa kelompok penelitian
melaporkan konversi biomassa karbohidrat menjadi turunan asam
laktat dalam pelarut organik, dimana terjadi pengurangan pada
leaching katalis metal oksida. Liu dkk (2011), menemukan bahwa
dengan katalis basa padat MgO pada konversi glukosa menghasilkan
29,5% mol metil laktat dalam pelarut metanol. Katalis heterogen
untuk konversi katalitik biomassa menjadi asam laktat berdasarkan
pada sifat asam atau basa telah banyak dilaporkan dalam literatur.
Stabilitas jangka panjang dari katalis ini masih belum dapat dipastikan
dikarenakan masih terjadi leaching atau deaktivasi dalam media
hidrotermal.
Isu stabilitas oksida logam transisi pada proses katalisis
dalam fasa larutan dalam media hidrotermal masih menjadi perhatian
dikalangan peneliti. Beberapa oksida logam seperti ZrO2, TiO2 dan
Al2O3 menunjukkan stabilitas yang baik pada reaksi konversi
biomassa tertentu menggunakan air subkiritis (Gloyna, 1995).
Pengembangan katalis oksida logam campuran dapat memperbaiki
kualitas stabilitas katalis heterogen. Misalnya perovskit yang terdiri
dari ion logam transisi campuran dengan lantanida menunjukkan
stabilitas yang lebih baik dibandingkan oksida logam tunggal dalam
reaksi katalitik tertentu (Environ, 2001). Sifat redoks yang dimiliki
oksida logam perovskit mampu mengkatalisis berbagai reaksi
termasuk reaksi oksidasi CO (Singh dkk, 2007), reforming CO2
(Valderrama, 2010), oksidasi NO (Chen, 2013), dan oksidasi
hidrokarbon (Chang, 1993). Baru-baru ini Deng dkk (2008),
melaporkan bahwa oksida logam perovskit seperti LaMnO 3, LaCoO3,
LaFe1-xCuxO3, dan lain-lain, merupakan katalis yang efisien untuk
oksidasi aerob basah dari lignin menjadi aldehid aromatik. Escalona
dkk (2014), menggunakan La1-xCexNiO3 untuk mengubah guaiakol
2
menjadi sikloheksanol dengan yield sebesar 60%. Li dkk (2013),
menemukan bahwa Cr dapat memodifikasi LaCo0.8Cu0.2O3 sehingga
mampu mengkatalisis furfural dari xilan pada suhu 160°C. Sejauh ini,
penerapan katalis oksida perovskit dalam produksi asam laktat jarang
dilaporkan.
Pada penelitian ini, dilaporkan bahwa oksida perovskit
LaCoO3 merupakan katalis heterogen yang efisien untuk konversi
biomassa selulosa menjadi asam laktat. Untuk pertama kalinya, pada
penelitian ini ditemukan bahwa sifat redoks dari katalis LaCoO x
sangat berbeda dengan sifat katalis asam atau basa pada produksi asam
laktat, dimana sifat redoks tersebut memiliki peran penting dalam
konversi berbagai gula aldosa C3-C6 dan polisakaridanya menjadi
asam laktat dalam air subkritis.

1.2 Perumusan Masalah


Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana efektivitas katalis perovskit LaCoO3 terhadap
konversi biomassa selulosa menjadi asam laktat?
2. Bagaimana efek redoks katalis perovskit LaCoO 3 pada
konversi biomassa selulosa menjadi asam organik yang lain?
3. Bagaimana mekanisme reaksi redoks katalis LaCoO3 terhadap
konversi selulosa menjadi asam laktat?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui efektivitas katalis perovskit LaCoO3
terhadap konversi biomassa selulosa menjadi asam laktat
2. Untuk mengetahui efek redoks katalis perovskit LaCoO3 pada
konversi biomassa selulosa menjadi asam organik yang lain
3. Untuk mengetahui mekanisme reaksi redoks katalis LaCoO3
terhadap konversi selulosa menjadi asam laktat

3
“Halaman ini sengaja dikosongkan”

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Selulosa
Selulosa merupakan polimer linier glukan yang memiliki struktur
rantai yang seragam dengan ikatan β – 1,4 glikosidik. Dua unit glukosa
yang saling berdekatan bersatu dengan mengeliminasi satu molekul
air diantara gugus hidroksil pada C1 dan C4 (Fengel dan Wegener,
1984). Selulosa mempunyai bobot molekul yang sangat bervariasi
yaitu berkisar antara 50.000 hingga 2,5 juta bergantung pada
sumbernya. Ukuran panjang rantai molekul selulosa dinyatakan
sebagai derajat polimerasi (DP). Derajat polimerasi dihitung dengan
cara membagi bobot selulosa dengan bobot molekul glukosa (Fengel
dan Wegener, 1984). Menurut Sjostrom (1981), perlakuan fisik dan
kimia yang intensif dapat menurunkan derajat polimerasi selulosa.
Sifat polimer ditentukan oleh panjang rantai molekul dari polimer itu
sendiri. Selulosa merupakan polisakarida yang terdiri atas satuan
monosakarida dan mempunyai massa molekul relatif yang sangat
tinggi, tersusun dari 2.000-3.000 glukosa. Rumus molekul selulosa
adalah (C6H10O5)n.
Polimer selulosa dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian dengan
susunan rantai yang teratur (kristalin) dan bagian dengan susunan
rantai yang tidak teratur (amorf). Derajat kristalinitas suatu polimer
berpengaruh besar terhadap sifat polimer yang terkait dengan
penggunaannya. Pada umumnya selulosa bersifat relatif kristalin
(Sjostrom, 1981). Morfologi selulosa berpengaruh besar terhadap
reaktivitasnya. Reaktivitas selulosa juga dipengaruhi oleh keteraturan
struktur selulosa.

5
Gambar 2. 1 Struktur Selulosa (Nishiyama dkk, 2002)

2.2 Asam Laktat


Asam laktat adalah asam organik dengan rumus kimia
CH3CH(OH)CO2H. Nama IUPAC asam laktat yaitu asam 2-
hidroksipropanoat. Asam organik ini dapat diproduksi secara alami
(Martinez dkk, 2013). Asam laktat murni merupakan cairan tak
berwarna dan bersifat higroskopis. Asam laktat merupakan asam
lemah karena dapat terdisosiasi parsial dalam air.
H3C−CH(OH)−COOH ⇌ H+ + H3C−CH(OH)−COO-
Asam laktat adalah senyawa kiral dengan rantai karbon yang
tersusun dari atom pusat (kiral) dan dua atom karbon terminal . Gugus
hidroksil terikat pada atom karbon kiral sedangkan salah satu atom
karbon terminal menjadi bagian dari gugus karboksilat dan atom
lainnya merupakan bagian dari gugus metil (Narayanan dkk, 2004).
Asam laktat memiliki dua bentuk isomerik optik aktif yaitu bentuk
L(+) yang juga disebut (S)-asam laktat dan bentuk D(-) atau (R)-asam
laktat. Campuran rasemat murni dan anhidrat dari asam laktat berupa
padatan kristal putih dengan titik leleh yang rendah. L(+)-asam laktat
merupakan isomer biologis karena secara alami berada dalam tubuh
manusia. Oleh karena itu, bentuk asam laktat sangat bergantung pada
sintesis biokimia yang telah dipelajari (Narayanan dkk, 2004). Asam
laktat adalah asam organik yang terdistribusi secara luas di alam. Sifat
kimia asam laktat ditentukan oleh sifat fisik-kimia, antara lain karakter
keasaman dalam media air, reaktivitas bifungsional yang terkait
6
dengan adanya gugus karboksil dan gugus hidroksil dimana dapat
memberikan fleksibilitas reaksi yang besar dan aktivitas optik
asimetris C2.
Pada sintesis asam laktat, asetaldehida bereaksi dalam fasa cair
dan di bawah tekanan tinggi dengan hidrogen dalam suasana basa
untuk menghasilkan laktonitril. Setelah pemurnian dengan destilasi,
asam klorida atau asam sulfat ditambahkan untuk menghidrolisis
laktonitril menjadi asam laktat, yang kemudian diesterifikasi dengan
metanol untuk menghasilkan metil laktat. Setelah itu dimurnikan
dengan destilasi kembali. Metil laktat yang dimurnikan kemudian
dihidrolisis dalam larutan asam sehingga menjadi asam laktat dan
metanol. Terakhir, didaur ulang dalam proses yang sama (Dey & Pal,
2012).

Gambar 2. 2 Struktur isomer (a) L(+) asam laktat dan (b) D(-) asam laktat
(Castillo Martinez dkk., 2013)

2.3 Perovskit
Perovskit adalah material dengan struktur kristal yang sama
seperti kalsium titanium oksida (CaTiO 3), yang dikenal sebagai
struktur perovskit atau XIIA2+ VIB4+ X2-3 dengan oksigen di pusat muka.
Mineral perovskit ditemukan oleh ahli mineral Rusia, Count Lev
Aleksevich von Perovski dan dinamai oleh Gustav Rose pada tahun
1839 dari sampel di Pegunungan Ural. Perovskit merupakan bahan
7
keramik sejati yang memiliki banyak aplikasi, yang mencakup
produksi energi (teknologi SOFC), penahanan lingkungan
(enkapsulasi limbah radioaktif) dan bidang komunikasi (bahan
resonator dielektrik). Struktur perovskit memiliki stokiometri ABX 3,
dimana "A" dan "B" adalah kation dan "X" adalah anion. Kation "A"
dan "B" dapat memiliki berbagai muatan dimana pada mineral
perovskit asli (CaTiO3), kation A bersifat divalen dan kation B bersifat
tetravalen.

La3+,Ce3+,Nd3+,Sm3+,Eu3+,Gd3+ Al3+,Cr3+,Fe3+
Tb3+,Dy3+,Ho3+,Yb3+,Lu3+ Ga3+,In3+,Sc3+

Gambar 2. 3 Skema komposisi perovskit (Levy, 2005)

Material keramik dengan struktur perovskit merupakan material


yang sangat penting karena sifat kimia kristalnya. Aplikasi perovskit
meliputi transduser piezoelektrik, kapasitor multilayer, termistor PTC,
modulator elektrooptik, saklar optik, resonator dielektrik, sensor
elektronik, aktuator elektrorestriktif, bahan feromagnetik, elektroda
tahan api, baterai, elektroda keramik, perangkat termoelektrik, dan
superkonduktor suhu tinggi.

2.3.1 LaCoO3
LaCoO3 merupakan senyawa yang diklasifikasikan sebagai
isolasi Mott. Sifat magnetik LaCoO3 memiliki ketergantungan pada
suhu karena perilaku induksinya bergantung pada termal dalam
susunan elektronik ion Co3 (Raccah & Goodenough, 1967). Stabilitas
suhu tinggi dan struktur kristal isotropik LaCoO3 juga menguntungkan
dalam perancangan perangkat termoelektrik bersuhu tinggi.
8
Zhang dkk (2000), telah berhasil mensintesis fasa perovskit
tunggal ABO3 (A = La, Nd, Pr, Sm; B = Mn, Co, Fe, Ni) dengan
menggiling campuran oksida penyusun menggunakan bola
penggelinding di ruangan bersuhu. Dalam metode sintesis bahan
nanopartikel secara langsung, telah ditemukan bahwa reaktivitas
oksida mulai memainkan peran penting dalam penyelesaian reaksi
padat mekanokimia. Menurut Supachai (2012), LaCoO3 memiliki
struktur kristal rombohedral.

Gambar 2. 4 Struktur rombohedral LaCoO3 (Levy, 2005)

2.4 Reaksi Redoks


Reaksi oksidasi adalah reaksi konversi gugus fungsi dalam suatu
molekul menjadi gugus yang lebih tinggi dan reaksi reduksi adalah
konversi ke gugus yang lebih rendah. Konversi senyawa apapun ke
senyawa lain dalam gugus yang sama bukanlah termasuk oksidasi atau
reduksi. Sebagian besar oksidasi dalam kimia organik melibatkan
penambahan oksigen dan/atau hilangnya hidrogen (definisi oksidasi
Lavoisier). Sebaliknya, reduksi dalam kimia organik melibatkan
pengurangan oksigen dan penambahan hidrogen. Tentu saja, tidak ada
oksidasi tanpa reduksi yang terjadi secara bersamaan. Namun,
klasifikasi reaksi sebagai oksidasi atau reduksi bergantung pada

9
apakah senyawa organik dapat dioksidasi atau direduksi. Berikut ini
merupakan skema reaksi redoks dari Wiberg (1984).
1. Transfer elektron langsung
a. Oksidasi atau reduksi dari radikal bebas (oksidasi
menjadi ion positif atau reduksi menjadi ion negatif)
b. Oksidasi menjadi ion negatif
c. Oksidasi atau reduksi elektrolitik
2. Transfer hidrida
Reaksi dimana karbokation abstrak ion hidrida termasuk
dalam kategori ini:
R+ + R’H ⟶ RH + R’+
3. Transfer atom hidrogen
RH + Cl∙ ⟶ R∙ + HCl
4. Pembentukan intermediet ester
Sejumlah oksidasi melibatkan pembentukan intermidiet ester
(biasanya asam anorganik), dan kemudian terjadi pembelahan
intermediet ini:

Z biasanya CrO3H, MnO3 atau bagian asam anorganik yang


serupa
5. Mekanisme perpindahan
Contoh pada bromin menjadi alkena:

10
6. Mekanisme adisi dan eliminasi
Dalam reaksi antara keton a,b-tak jenuh dan peroksida, zat
pengoksidasi menambah substrat dan kemudian terdapat
bagian yang hilang:

2.5 Reaksi Dehidrasi


Reaksi dehidrasi merupakan reaksi pelepasan molekul air (H2O)
dari suatu senyawa dan membentuk polimer dari suatu monomer. Pada
prosesnya, suatu monomer akan membentuk ikatan kovalen dengan
monomer lain. Reaksi dehidrasi yang terjadi antara dua molekul
glukosa akan membentuk maltosa dan melepaskan molekul air.

Gambar 2. 5 Reaksi dehidrasi glukosa menjadi maltosa3 (Fessenden, 1989)

Dalam reaksi dehidrasi di atas, dua molekul glukosa bergabung


dan membentuk molekul tunggal maltosa. Salah satu glukosa akan
kehilangan H dan yang lainnya kehilangan gugus OH. Molekul air
dilepaskan untuk kemudian membentuk ikatan kovalen baru. Reaksi
dehidrasi alkohol primer menjadi eter dan air terjadi jika alkohol
primer dipanaskan pada suhu 140°C dengan katalis berupa asam sulfat
(H2SO4).

11
Gambar 2. 6 Mekanisme reaksi dehidrasi alkohol menjadi eter (Fessenden,
1989)

Jika uap etanol dilewatkan di atas bubuk aluminium oksida yang


dipanaskan, maka etanol akan terpecah menghasilkan etena dan uap
air (Jim Clark, 2007). Alkohol juga dapat mengalami reaksi dehidrasi
menjadi alkena dengan katalis asam sulfat (H2SO4) (Fessenden, 1989).

2.7 Reaksi Dekarboksilasi Oksidatif


Menurut Serguchev (1972), asam karboksilat dapat
didekarboksilasi dengan timbal tetraasetat untuk menghasilkan
berbagai produk, diantaranya ROAc ester yang dibentuk dengan
penggantian COOH oleh gugus asetoksi, RH alkana. Bila R tersier,
maka produk utamanya alkena yang sering diperoleh dengan hasil
yang baik. Hasil yang tinggi dari alkena juga dapat diperoleh bila R
primer atau sekunder, dalam hal ini dengan penggunaan Cu(OAc) 2
bersama dengan Pb(OAc)4 (Bacha dkk, 1968; Ogibin dkk, 1974).
Dengan tidak adanya Cu(OAc)2, asam utama memberikan sebagian
besar alkana (meskipun hasilnya rendah) dan asam sekunder dapat
memberi ester karboksilat atau alkena. Mekanisme dengan timbal
tetraasetat umumnya diterima sebagai radikal bebas). Pertama, terjadi
pertukaran gugus ester:
Pb(OAc)4 + RCOOH ⟶ Rb(OAc)3OCOR atau Pb(OAc)2(OCOR)2
Inisiasi
R∙ + Pb(OAc)3OCOR ⟶ R+ + ∙(OAc)2OCOR + OAc-
∙Pb(OAc)2OCOR ⟶ Pb(OAc)2 + R∙ + CO2
Produk bisa terbentuk baik dari R∙ atau R +. R∙ abstrak utama H
dari molekul pelarut untuk memberikan RH. R + dapat kehilangan H+
untuk memberikan alkena, bereaksi dengan HOAc untuk memberikan
ester karboksilat, bereaksi dengan molekul pelarut atau dengan gugus
12
fungsi lain dalam molekul yang sama, sehingga dapat menghitung
produk yang mungkin terbentuk. Gugus R∙ juga dapat dimerize untuk
memberi RR. Efek dari ion Cu2+ yaitu dapat mengoksidasi radikal
menjadi alkena, sehingga menghasilkan hasil yang lebih baik dari
alkena dari substrat primer dan sekunder (Bacha dkk, 1968). Ion Cu2+
tidak berpengaruh pada radikal tersier, karena secara efisien
teroksidasi menjadi alkena oleh timbal tetraasetat.

Dalam tipe dekarboksilasi oksidatif lainnya, asam arilasetat dapat


dioksidasi menjadi aldehid dengan satu karbon kurang (ArCH 2COOH
⟶ ArCHO) oleh periode tetrabutilamonium. Asam karboksilat
alifatik sederhana diubah menjadi nitril dengan satu karbon kurang
(RCH2COOH ⟶ RC≡N) dengan pengobatan dengan trifluoroasetat
anhidrida dan NaNO2 dalam F3CCOOH (Smushkevich dkk, 1975).

2.8 HPLC (High Performance Liquid Chromatography)


High Performance Liquid Chromatography (HPLC) atau
kromatografi cair berperforma tinggi merupakan teknik analisis yang
digunakan untuk pemisahan, identifikasi dan kuantifikasi setiap
penyusun campuran. HPLC adalah teknik lanjutan dari kromatografi
cair. Pelarut mengalir melalui kolom dengan bantuan gravitasi namun
dengan menggunakan teknik HPLC pelarut akan dipaksa berada di
bawah tekanan tinggi hingga 400atm sehingga sampel dapat
dipisahkan menjadi unsur yang berbeda dengan bantuan perbedaan
afinitas relatif (Thammana, 2016).
Pada HPLC, pompa akan digunakan untuk melewatkan pelarut
cair bertekanan termasuk campuran sampel yang masuk ke dalam
kolom yang diisi dengan bahan adsorben padat. Interaksi setiap
komponen sampel akan bervariasi dimana dapat menyebabkan
perbedaan laju alir dari masing-masing komponen dan akhirnya
mengarah pada pemisahan komponen kolom. Instrumentasi pada
13
HPLC meliputi pompa, injektor, kolom, detektor dan monitor, dimana
terjadi pemisahan saat di kolom.
Prinsip kerja instrumen HPLC yaitu dengan menggabungkan
sample holder dan pompa. Sample holder membawa sampel ke dalam
aliran fase gerak yang mengarahkan ke dalam kolom. Pompa
mengarahkan fase gerak melalui kolom. Detektor menghasilkan sinyal
terhadap ukuran komponen sampel yang naik dari segmen, sehingga
didapatkan data kuantitatif dari sampel. Alat microchip dan perangkat
lunak terkomputerisasi mengendalikan instrumen HPLC dan
memberikan data informasi. Beberapa model pompa mekanis dalam
instrumen HPLC dapat menggabungkan banyak pelarut dalam
proporsi yang berubah setiap waktunya. Sebagian besar instrumen
HPLC juga memiliki kolom broiler yang mempertimbangkan
perubahan suhu dimana partisi dilakukan (Reinhardt, 1983).

Gambar 2. 7 Skema Kerja HPLC (Töppner, 2014)

2.9 Spektrofotometer Ultraviolet - Visibel


Spektroskopi ultraviolet (UV) merupakan teknik fisik
spektroskopi optik yang menggunakan cahaya pada rentang
inframerah dekat, ultraviolet, dan visibel. Hukum Lambert-Beer
menyatakan bahwa absorbansi larutan berbanding lurus dengan
14
konsentrasi zat yang mengabsorb di dalam larutan dan panjang
lintasan. Spektroskopi UV-Vis dapat digunakan untuk menentukan
konsentrasi absorber dalam larutan pada panjang lintasan tetap. Perlu
diketahui seberapa cepat absorbansi berubah dengan faktor
konsentrasi (Shah, 2015).
Sebuah molekul atau ion akan menunjukkan penyerapan di daerah
ultraviolet atau visibel dimana radiasi dapat menyebabkan transisi
elektronik tergantung strukturnya. Dengan demikian, penyerapan
cahaya pada sampel di daerah ultraviolet atau visibel dapat disertai
dengan adanya perubahan keadaan elektronik molekul dalam sampel.
Energi yang disuplai oleh cahaya akan mempromosikan elektron dari
orbital di keadaan dasar ke energi yang lebih tinggi, orbital keadaan
tereksitasi atau orbital anti-ikatan. Transisi dimana elektron ikatan
tertarik ke orbital anti-ikatan disebut sebagai transisi dari σ ke σ*.
Dengan cara yang sama transisi dari π untuk π* mewakili transisi satu
elektron dari pasangan elektron tunggal ke orbital anti ikatan.
Menurut Donald (1997), hukum Lambert-Beer adalah prinsip dari
spektroskopi absorbansi. Untuk satu panjang gelombang, A
merupakan absorbansi, ε adalah absorptivitas molar senyawa atau
molekul dalam larutan (M-1cm-1), b adalah panjang lintasan kuvet
(biasanya 1 cm), dan c adalah konsentrasi larutan (M). Berikut
merupakan rumus persamaan hukum Lambert-Beer:
𝐴 = ε. b. c (2.1)
dimana,
A= absorbansi,
ε = absorptivitas
b = panjang lintasan
c = konsentrasi
Semua instrumen ini memiliki sumber cahaya (biasanya lampu
deuterium atau tungsten), sample holder dan detektor. Instrumen
single beam memiliki filter atau monokromator antara sumber dan
sampel untuk menganalisis satu panjang gelombang pada suatu waktu.
Instrumen double beam memiliki sumber tunggal dan monokromator
15
dan ada pembagi dari serangkaian cermin untuk mendapatkan berkas
ke blanko dan sampel yang akan dianalisis, ini memungkinkan
monokromator yang lebih akurat antara sampel dan sumbernya.
Sebagai gantinya, monokromator memiliki detektor array dioda yang
memungkinkan instrumen secara simultan mendeteksi absorbansi
pada semua panjang gelombang. Instrumen simultan biasanya jauh
lebih cepat dan lebih efisien, namun semua jenis spektrometer ini
bekerja dapat dengan baik.

Gambar 2. 8 Skema kerja instrumen UV-Vis single beam (Shah, 2015)

Gambar 2. 9 Skema kerja instrumen UV-Vis double beam (Shah, 2015)

16
Gambar 2. 10 Skema kerja instrumen UV-Vis simultan (Shah, 2015)

Instrumen untuk mengukur penyerapan UV-Vis terdiri dari


komponen berikut:
1. Sumber (UV dan visibel)
2. Monokromator
3. Wadah sampel
4. Detektor
5. Sinyal prosesor dan pembacaan

2.10 GC-MS (Gas Chromatography-Mass Spectrometry)


Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS) atau
kromatografi gas-spektrometri massa merupakan teknik analitik yang
ditulis dengan tanda penghubung yang menggabungkan sifat
pemisahan kromatografi gas-cair dengan fitur pendeteksi spektrometri
massa untuk mengidentifikasi zat yang berbeda dalam sampel uji
(Chauhan dkk, 2014). GC digunakan untuk memisahkan senyawa
yang volatil dan senyawa yang stabil secara termal dalam sampel
sedangkan fragmen GC-MS dianalisis untuk diidentifikasi
berdasarkan massanya. Performa superior dicapai dengan mode single
dan triple quadrupole (Sahil dkk, 2011).
GC mensyaratkan analit untuk memiliki tekanan uap yang
signifikan antara 30 dan 300°C. GC memiliki data yang tidak akurat
mengenai sifat senyawa yang terdeteksi, identifikasinya hanya
didasarkan pada pencocokan waktu retensi. GC-MS
merepresentasikan massa partikel tertentu (Da) dengan jumlah (z)
muatan elektrostatik (e) yang dibawa partikel. Istilah m/z diukur
dalam DA/e. GC-MS umumnya menggunakan teknik electron impact
17
(EI) dan chemical ionization (CI). Fitur utama dari ion molekuler yang
ditingkatkan, meningkatkan konfidensi pada identifikasi sampel,
secara signifikan juga meningkatkan jarak pada sampel yang labil
secara termal dan memiliki volatilitas rendah sehingga dapat dianalisis
lebih cepat dan lebih sensitif terutama untuk senyawa yang sulit
dianalisis. GC-MS banyak diaplikasikan untuk analisis kondisi
lingkungan, analisis makanan dan minuman, kasus forensik, aplikasi
kedokteran dan farmasi, analisis petrokimia dan hidrokarbon, dan
aplikasi industri lainnya (Chauhan dkk, 2014).

Gambar 2. 11 Instrumen GC-MS (Chauhan, 2014)

18
BAB III
METODOLOGI

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
microreactor parr, glass liner, sentrifugasi, penangas es, jarum filter,
HPLC (shimadzu HPLC LC-10A) yang dilengkapi dengan detektor
UV-Vis (shimadzu SPD 10-AV) dan detektor indeks bias (Shimadzu
RID-10A), Kolom aminex HPx-87H ion exclusion (Bio-Rad), GC-MS
(agilent 6890 series) yang dilengkapi dengan kolom DBS-MS (ID
30mmx0,25mm, tebal film 0,25mm), detektor selektif massa, TPR,
TPO.
3.1.2 Bahan
Pereaksi dan produk yang digunakan dalam penelitian ini
adalah D-(+)-xilosa (99%), D-(+)-glukosa (Reagent ACS Grade),
selulosa mikrokristalin yang dibeli dari Acros Organics, L-(+)-asam
laktat (98%), fruktosa (99%), sukrosa (99%), lantanum(III) oksida
(99%), kobalt(II, III) oksida (99,5%)

3.2 Prosedur
3.2.1 Prosedur Reaksi Katalitik
Reaksi dilakukan dengan mencampurkan katalis dengan larutan
substrat biomassa dalam aqua DM 100 mL dan diaduk menggunakan
stirrer microreactor Parr. Dinding reaktor dilapisi dengan glass liner
agar tidak terjadi kontak secara langsung antara campuran dengan
reaktor. Glass liner diberi muatan 400psi N2. Setelah itu reaktor
dipanaskan dengan kelajuan suhu 10°C/menit hingga mencapai suhu
yang diinginkan. Selama reaksi, hasil campuran diputar menggunakan
propeller internal dengan kecepatan perputaran 700rpm. Setelah suhu
yang diinginkan tercapai, suhu dijaga konstan hingga 1 jam.
Kemudian didinginkan menggunakan penangas es. Setelah reaksi
berakhir, reaktor dibongkar dan didapatkan residu yang digunakan
19
untuk menghitung konversi massa. Setelah itu dilakukan pemisahan
dengan metode sentrifugasi. Filtrat hasil sentrifugasi digunakan untuk
analisis. Residu dikeringkan semalam pada suhu 110°C. Massa yang
dihasilkan antara 98% dan 102%.
Persamaan yang digunakan untuk menghitung konversi (X),
yield residu padat (R.P.) dan yield C-% (Y) yaitu:
massa karbon dalam biomassa yang tidak bereaksi
X = (1 − ) x 100% (3.1)
massa karbon dalam biomassa total
berat total residu padat kering − berat katalis padat
R.P. = ( ) x 100% (3.2)
berat awal biomassa
massa karbon dalam produk
Y=( ) x 100% (3.3)
massa karbon dalam total biomassa total

3.2.2 Prosedur Analisis Kimia/Karakterisasi Produk


Setelah reaksi, larutan sampel disaring dengan syringe 0,45
mikron, kemudian diencerkan 10 kali dengan larutan standar internal
(larutan asam benzoat 200 ppm). Analisis secara kuantitatif dilakukan
dengan menggunakan High Performance Liquid Chromatography
(HPLC) (Shimidzu HPLC LC-10A) yang dilengkapi detektor UV-Vis
(Shimidzu SPD 10-AV) dan detektor indeks bias (Shimidzu RID-
10A). Untuk analisis sampel organik dan reaksi intermediet, sampel
dipisahkan dalam kolom Aminex HPX-87H Ion Exclusion (Bio-rad),
menggunakan H2SO4 5 mM sebagai fase gerak dengan kelajuan aliran
0,7 mL/menit dengan suhu kolom 55°C, panjang gelombang detektor
UV-VIS diatur pada 208nm dan 290nm. Analisis secara kualitatif
dilakukan dengan menggunakan Gas chromatography coupled with
mass spectrometer (GC-MS) untuk mengidentifikasi produk yang
belum diketahui. Derivatisasi dengan metode sililasi telah dilaporkan
sebelumnya. Produk yang telah terbentuk kemudian dianalisis
menggunakan GC-MS (Agilent 6890 series) yang dilengkapi dengan
kolom DB5-MS (ID 30 m × 0,25 mm, tebal film 0,25 mm) dan
detektor selektif massa (Agilent 5973). Suhu kolom dijaga konstan
pada 80°C selama 2 menit kemudian dinaikkan dengan kelajuan suhu
10°C/menit hingga 260°C dan dijaga konstan kembali selama 2 menit.
20
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Efek Katalitik LaCoO3 pada Konversi Glukosa


Struktur kristal katalis perovskit LaCoO3 yang digunakan untuk
reaksi katalisis pada penelitian ini yaitu kristal rombohedral. Pada
penelitian ini dibandingkan hasil konversi glukosa dengan dan tanpa
katalis LaCoO3 pada suhu 200°C dalam larutan pH netral yang
terdapat pada tabel 4.1 nomor 1 dan 4. Efek katalitik dari katalis
terlihat sangat jelas, hal tersebut dibuktikan dengan hasil produk asam
laktat tanpa katalis hanya 0,9%, sedangkan hasil ekstraksi 5-
hidroksimetilfurfural (HMF) sebesar 29,1%. Kedua hasil tersebut
dapat dihubungkan dengan kandungan asam dari air hidrotermal. Pada
asam karboksilat lain dengan rantai karbon pendek seperti asam
glikolat dan asam asetat diproduksi dengan total produk kurang dari
5%. Sebaliknya, dengan katalis LaCoO3 dan dalam kondisi reaksi yang
khas hasil produk asam laktat mencapai 39,5%. Dsitribusi karbon dari
asam lain dapat dipertimbangkan perubahannya, dimana asam asetat
lebih banyak 4% jika dibandingkan reaksi tanpa katalis, khususnya
pada produk asam piruvat yaitu sebesar 2,7%. Sementara itu, hasil
ekstraksi HMF menurun secara signifikan menjadi 0,1% dengan
penambahan katalis LaCoO3. Begitupun juga jumlah residu padat yang
turun menjadi 6,3% (persen berat), yang dimungkinkan berasal dari
hasil produksi HMF yang lebih rendah dalam media hidrotermal.
Oksida logam La2O3 dan Co2O3 dengan mol ion La dan Co yang
sama seperti katalis LaCoO3 digunakan sebagai perbandingan. Hasil
produk asam laktat dengan Co2O3 mencapai 31,3%, sedikit lebih
rendah dari hasil produk dengan katalis LaCoO3. Namun, setelah
penggunaan yang pertama, terjadi penurunan berat dari Co2O3 yang
disebabkan leaching dari Co, sementara pada katalis LaCoO3 hampir
tidak terjadi penurunan berat setelah penggunaan yang pertama.
Katalis basa lemah La2O3 hanya menghasilkan produk asam laktat
sebesar 18,8%. Setelah satu kali penggunaan, sekitar 20% La2O3
21
dilarutkan dalam media hidrotermal yang terdapat pada tabel 4.1
nomor 2 dan 3. Dibandingkan reaksi oksidasi glukosa yang serupa,
dengan CuO, terdapat perbedaan yang signifikan antara LaCoO 3 dan
CuO, dimana produk asam laktat tidak dapat dihasilkan melalui CuO
dalam larutan pH netral, bahkan pada suhu tinggi.

4.2 Efek Suhu Reaksi pada Hasil Asam Laktat


Pengaruh suhu pada konversi glukosa ditunjukkan pada gambar
4.1. Konversi glukosa meningkat dari 85% menjadi 98% seiring
dengan peningkatan suhu reaksi dari 160°C hingga 200°C, sehingga
hasil produk asam laktat meningkat dari 16% menjadi 34,1% dan hasil
asam glikolat meningkat dari 3,1% menjadi 6,4%. Peningkatan suhu
lebih lanjut hingga 240°C dapat menyebabkan menurunnya hasil asam
laktat menjadi 27,4%. Hal tersebut dimungkinkan terjadi degradasi
asam laktat pada suhu yang lebih tinggi dalam media hidrotermal.
Pada penelitian ini, serangkaian uji stabilitas asam laktat dilakukan
pada suhu yang berbeda, seperti yang ditunjukkan tabel 4.2. Namun,
terdapat hasil yang mengejutkan dengan adanya katalis LaCoO 3,
dimana 12% asam laktat terkonversi pada suhu 200°C sementara
konversi asam laktat sedikit meningkat menjadi 17% pada suhu
240°C. Hal ini menunjukkan bahwa asam laktat relatif stabil di air
subkritis dengan katalis LaCoO3 pada suhu kurang dari 240°C. Oleh
karena itu, reaksi produk samping lainnya dapat menurunkan hasil
asam laktat dari glukosa karena adanya peningkatan suhu dari 200°C
hingga 240°C.

22
Tabel 4. 1 Konversi dari biomassa selulosa yang berbeda dengan dan tanpa katalis yang berbeda

No Substrat Katalis R.P. (%) Yield karbon dari produk aquos (%)
Glukonat Piruvat Glikolat Laktat Format Asetat HMF Furfural
1 Glukosa / 22.2 0.9 0.4 1.8 0.9 1.9 0 29.1 1.1
2 Glukosa La2O3 25 0.1 0.2 4.2 18.8 1.1 2.8 1.2 0.3
3 Glukosa Co2O3 12.8 0.5 0.3 3.2 31.3 1.5 1.4 1.4 0.5
4 Glukosa LaCaO3 6.3 0 2.7 5.7 39.5 1.1 3.9 0.1 0.4
5 Glukosa Co(NO3)2 17 0 0.1 2.3 14.3 2.7 0.2 2.4 0.5
6 Fruktosa / 16.6 0.3 0.2 1.7 9.8 2.4 3.4 23.1 1.1
7 Fruktosa LaCaO3 10.4 0 1.4 2.3 19.8 0.6 2.6 1.4 0.6
8 Gliseraldehid / 39 – 0.6 3.2 28.9 2.3 3.2 – –
9 Gliseraldehid LaCaO3 26.4 – 2.1 4.1 52.6 3 5.9 – –
10 DHA / 34.1 – 0.6 0 31.9 1.4 0.8 – –
11 DHA LaCaO3 29.3 – 0.4 1.6 29.8 0.8 4.5 – –
12 Xilosa / 21.2 – 0 2.3 6.7 1.6 0.6 – 32.4
13 Xilosa LaCaO3 5.3 – 0.4 5.1 37.9 1.2 3.4 – 0.5
14 Selulosa / 9.8 0.2 0 0.8 4.6 3.6 3.6 24.7 3
15 Selulosa LaCaO3 13.6 1.6 0.5 3.3 24.9 2.4 0.8 0.3 0.1
*Kondisi reaksi: 1mmol substrat biomassa, 4mmol katalis, 20g aqua DM, 200°C, tekanan awal 400psi dengan gas N2, selama 1 jam
* R.P. = residu padat
*DHA = 1,3 dihidroksiaseton 23
*khusus selulosa menggunakan suhu 240°C
Tabel 4. 2 Konversi asam laktat dan asam glukonat dibawah kondisi reaksi yang berbeda dengan dan tanpa
katalis LaCoO3
No Substrat Katalis Atmosfer Suhu Konv.(%) Yield karbon dari produk aquos (C-%)
(°C) Piruvat Glikolat Laktat Format Asetat Akrilat HMF
1 AL / N2 160 1.6 0.3 0 – 0.1 0.1 0 –
2 AL LaCoO3 N2 160 12.1 0 0 – 0.4 2.5 0 –
3 AL / N2 200 3.3 0.4 0 – 0.5 0.2 0.1 –
4 AL LaCoO3 N2 200 12.3 0 0 – 0.2 2.8 0 –
5 AL / N2 240 2 0.6 0 – 0.5 0 0.4 –
6 AL LaCoO3 N2 240 16.7 1.2 0 – 0 2.8 0 –
7 AL / 10% O2 160 2.2 1.1 0 – 0.2 0.8 0 –
8 AL LaCoO3 10% O2 160 16.6 0.8 0 – 0.2 4.6 0 –
9 AL / 100% O2 240 100 0 0 – 0 0 0 –
10 AL LaCoO3 100% O2 240 100 0 0 – 0 45.3 0 –

11 AG / N2 160 3.3 0 0 0.4 0.4 1.6 0 0.3


12 AG LaCoO3 N2 160 13.9 0 0.8 5.2 1 4.2 0 0.1

*Kondisi reaksi: 1mmol substrat biomassa, 0,5mmol katalis, 20g aqua DM, tekanan awal 400psi dengan gas N2, selama 1 jam
*AL = asam laktat
*AG = asam glukonat

24
Yield produk (%)

Suhu (°C)
Gambar 4. 1 Efek suhu reaksi pada konversi glukosa dengan katalis
LaCoO3 di media hidrotermal

4.3 Efek Katalitik LaCoO3 terhadap Konversi Biomassa Selulosa


Lainnya
Konversi katalitik terhadap biomassa karbohidrat lainnya,
termasuk aldosa C3 (gliseraldehid), aldosa C5 (xilosa) dan
polisakarida (selulosa), juga dilakukan menggunakan katalis LaCoO 3,
seperti yang ditunjukkan pada table 4.1 nomor 8, 9, 12-15. Pada
spektra GC-MS konversi selulosa dengan dan tanpa katalis terdapat
spektra asam laktat namun pada spektra GC-MS dengan katalis
LaCoO3 memiliki spectra yang lebih tinggi, hal tersebut dapat dilihat
pada gambar 4.2. Baik gula C3 dan C5 dapat dikonversi menjadi asam
laktat sebagai produk utama dengan hasil masing-masing 52,6% dan
37,9%, bersamaan dengan jumlah produk sampingan yang cukup
banyak termasuk asam piruvat, asam glikolat, asam asetat dan asam
format, yang dikonfirmasi oleh karakterisasi GC-MS yang dapat
dilihat pada gambar 4.4. Jumlah asam glukonat dan xilonat yang
merupakan zat intermediet khas dihasilkan dari oksidasi parsial
glukosa dan xilosa dapat diamati pada spektra GC-MS yang dapat
dilihat pada gambar 4.3 dan 4.4. Asam C3 dan C4 lainnya, seperti
asam hidroksipropionik dan hidroksibutirat, juga dapat diamati. Pada

25
penelitian ini ditemukan bahwa hasil asam laktat dari xilosa C5 sangat
dekat dengan glukosa C6 dalam kondisi kondisi reaksi yang sama.
Sebagian besar literatur sebelumnya menunjukkan bahwa jalur reaksi
kondensasi retro-aldol pada konversi glukosa menggunakan katalis
asam atau basa lewis, dimana satu molekul glukosa C6 dibelah untuk
membentuk dua senyawa C3, dan secara teoritis hasil asam laktat dari
glukosa C6 bisa dua kali lebih tinggi dari xilosa C5. Hasil asam laktat
yang sama dari glukosa dan xilosa pada penelitian ini menunjukkan
kemungkinan adanya jalan reaksi baru dimana kondensasi retro-aldol
pada gula bukanlah langkah awal pembentukan asam laktat.
Intensitas (cps.)

Intensitas (cps.)

Waktu retensi (menit) Waktu retensi (menit)


Gambar 4. 2 Spektra GC-MS konversi selulosa dalam media hidrotermal
(a) tanpa katalis dan (b) dengan katalis LaCoO3
Intensitas (cps.)

Intensitas (cps.)

Waktu retensi (menit) Waktu retensi (menit)


Gambar 4. 3 Spektra GC-MS konversi glukosa dalam media hidrotermal
(a) tanpa katalis dan (b) dengan katalis LaCoO3

26
Intensitas (cps.)
Intensitas (cps.)

Waktu retensi (menit) Waktu retensi (menit)


Gambar 4. 4 Spektra GC-MS konversi xilosa dalam media hidrotermal (a)
tanpa katalis dan (b) dengan katalis LaCoO3

Telah diketahui sebelumnya bahwa konversi katalitik selulosa jauh


lebih sulit dibandingkan konversi gula water-solutable dengan katalis
heterogen karena depolarisasi selulosa yang lama. Namun, hasil asam
laktat relatif tinggi diperoleh dari selulosa pada suhu 240°C dengan
menggunakan katalis LaCoO3. Faktanya, hasil yang lebih baik
didapatkan dari asam laktat yaitu 24,9%, dalam penelitian ini lebih
tinggi dibandingkan menggunakan katalis asam Lewis seperti ZrW
dan AlW (Chambon, 2011). Fungsi promosi LaCoO 3 dalam konversi
selulosa dapat diasumsikan berasal dari ion lantanida yang memiliki
afinitas tinggi terhadap oksigen yang mengandung gugus fungsi dalam
selulosa. Dengan demikian kompleks lantanida-sakarida dapat
terbentuk antara ion lantanida terhidrasi dan unit gula yang dapat
memfasilitasi depolimerisasi selulosa (Seri, 2001).
Fakta menunjukkan bahwa fruktosa C6, isomer glukosa,
menghasilkan jumlah asam laktat yang jauh lebih rendah daripada
glukosa dari katalis LaCoO3 yang ditunjukkan pada tabel 4.1 nomor 6
dan 7. Demikian pula, ketosa C3 (1,3-dihidroksiaseton), isomer
gliseraldehid, menghasilkan jumlah asam laktat yang sama dengan
katalis LaCoO3 dibandingkan dengan tanpa katalis, yang
menunjukkan bahwa LaCoO3 tidak mengkatalisis konversi

27
dihidroksiaseton menjadi asam laktat yang ditunjukkan pada tabel 4.1
nomor 10 dan 11. Perlu diperhatikan bahwa dengan katalis asam atau
basa Lewis, ketosa, yang rentan terhadap kondensasi retro-aldol,
merupakan zat intermidiet utama dalam produksi asam laktat dari
glukosa atau xilosa (Holm, 2010). Namun, dalam penelitian ini, katalis
LaCoO3 sangat lemah dalam mengkatalisis konversi ketosa menjadi
asam laktat.

4.4 Mekanisme Reaksi Redoks


Sejauh ini, banyak peneliti yang telah mempelajari jalur reaksi
pembentukan asam laktat dari gula dalam kondisi hidrotermal. Telah
diketahui secara luas bahwa katalis asam atau basa Lewis dapat
mengkatalisis isomerisasi aldosa menjadi ketosa dan reaksi
kondensasi retro-aldol menjadi senyawa yang memiliki berat molekul
rendah. Sebagai contoh, penelitian sebelumnya menemukan bahwa
katalis ZrO2 yang mengandung asam atau basa Lewis dapat
mempromosikan kondensasi retro-aldol xilosa, serta reaksi
Cannizzaro intramolekul dari piruvaldehid, yang menyebabkan
pembentukan asam laktat (Yang, 2015).
Sifat redoks LaCoO3 dikonfirmasi dengan analisis TPR, profil
hidrogen yang dimasukkan LaCoO3 (Gambar 4.5) menunjukkan dua
puncak antara 300°C-500°C dan 500°C-700°C sehingga proses
reduksi dilakukan dua langkah yaitu reduksi Co 3+ menjadi Co2+ pada
300°C-500°C dan reduksi lebih lanjut dari Co 2+ menjadi Co0 pada
600°C. Transformasi balik ion Co diamati dengan analisis TPO
(Gambar 4.6), dimana puncak pada 200°C-400°C menunjukkan
transisi dari Co0 menjadi Co2+ dan puncak pada 700°C-800°C
menunjukkan oksidasi dari Co2+ menjadi Co3+. Hasilnya sama dengan
literatur mengenai karakterisasi LaCoO3 dalam reaksi fasa aquos.
Profil TPR Co2O3 menunjukkan tiga puncak utama dengan titik
maksimum pada 360°C, 420°C dan 480°C yang menunjukkan reduksi
Co3+ menjadi Co2+, ion Co2+ dan Co3+ yang berdampingan seperti pada
Co3O4, dan reduksi Co2+ menjadi Co0 lebih lanjut pada 500°C.

28
Analisis TPO menunjukkan tiga puncak utama dengan maksimum
pada 390°C, 510°C dan 550°C yang menunjukkan transisi Co0 ke
Co2+, ion Co2+ dan Co3+ yang berdampingan, dan oksidasi Co 2+
menjadi Co3+. Hasilnya menunjukkan bahwa kapasitas serapan H 2 dari
Co2O3 masih kurang pada LaCoO3 berdasarkan mol ion Co yang sama
di kedua bahan, yang mungkin menjelaskan mengapa jumlah asam
laktat lebih rendah dari glukosa yang diproduksi dengan Co 2O3
dibandingkan dengan LaCoO3 pada saat loading Co yang sama.
Sinyal TCD (cps.)

Sinyal TCD (cps.)

Suhu (°C)
Suhu (°C)
Gambar 4. 5 (a) H2 temperature programmed reduction (TPR) dan (b) O2
temperature programmed oxidation (TPO) dari LaCoO3 (garis tebal) dan
Co2O3 (garis putus-putus)

Untuk memperjelas peran redoks dari LaCoO 3 dalam konversi


glukosa menjadi asam laktat, pengaruh berbagai jenis kondisi reaksi
pada hasil asam laktat diamati lebih lanjut. Pada penelitian ini,
ditemukan bahwa hasil asam laktat menurun secara signifikan dari
16% menjadi 4,1% dengan meningkatkan tekanan parsial O 2 dari 0%
menjadi 5%. Sedangkan pada saat yang bersamaan hasil asam glikolat
dan asam format meningkat secara signifikan, seperti ditunjukkan
pada gambar 4.6(a). Peningkatkan lebih lanjut tekanan parsial O 2
secara terus menerus dapat menurunkan hasil asam laktat. Di bawah
atmosfir O2, 100% asam laktat dapat disintesis, sedangkan asam
glikolat, asam formal, asam asetat masing-masing sekitar 22,7%, 8,7%
29
dan 6,9%. Di sisi lain, tanpa katalis LaCoO 3, terlepas dari tekanan
parsial O2, asam laktat yang terbentuk hanya sedikit. Dengan
menggunakan xilosa sebagai bahan baku, dapat diamati pada
kecenderungan yang sama, seperti yang ditunjukkan pada gambar
4.6(b). Asam laktat kemudian digunakan sebagai probe untuk menguji
kestabilannya di bawah tekanan parsial O2 yang beragam, seperti yang
terlihat pada tabel 4.2. Pada suhu 240°C dan di bawah atmosfir N 2
asam laktat lebih stabil dan sekitar 17% asam laktat dikonversi
menggunakan katalis LaCoO3. Sebaliknya, di bawah atmosfir O2,
100% asam laktat sepenuhnya dapat dikonversi dan asam asetat 45%
dapat diproduksi menggunakan katalis LaCoO3. Yang menarik,
penambahan atmosfer H2 dalam jumlah kecil ke gas N2 memiliki efek
promosi yang kecil, atau setidaknya tidak ada efek penghambatan
seperti O2, pada konversi glukosa menjadi asam laktat dengan adanya
loading katalis LaCoO3. Dibandingkan dengan atmosfer N 2 murni,
hasil asam laktat sedikit meningkat dari 39,5% menjadi 40,1% dengan
menambahkan 5,5% H2 ke dalam N2. Konversi glukosa manjadi asam
laktat melalui katalis LaCoO3 dilakukan melalui reaksi oksidasi
parsial pada glukosa yang lebih baik di atmosfer N 2 dibandingkan
pada atmosfer O2. Di bawah atmosfer N2 murni, LaCoO3 menjadi
oksidan lemah dimana glukosa dapat teroksidasi secara selektif.
Yield produk (%)

Yield produk (%)

Tekanan parsial O2 Tekanan parsial O2


(%) (%)glukosa dan (b) xilosa
Gambar 4. 6 Efek tekanan parsial pada konversi (a)
dengan menggunakan katalis LaCoO3

30
Dengan demikian, dapat diprediksikan mekanisme reaksi redoks
(Gambar 4.8) dengan hipotesis bahwa oksigen digunakan untuk reaksi
oksidasi pada konversi glukosa manjadi asam laktat yang mungkin
berasal dari kisi atom oksigen dalam struktur perovskit LaCoO 3, mirip
dengan mekanisme klasik Mars dan Van Krevelen (MvK) dimana kisi
oksida logam dapat berpartisipasi dalam reaksi oksidasi, yang diterima
secara luas dalam proses oksidasi fase gas namun jarang dilaporkan
dalam proses oksidasi fase aquos. Atom oksigen dalam kisi LaCoOx
dapat berperan penting dalam siklus redoks transformasi glukosa dan
turunan intermediet. Sebagai contoh, pertama LaCoO 3 mengoksidasi
aldehid dalam glukosa membentuk asam glukonat, yang berbeda
secara isomerisasi dan kondensasi retro-aldol sebagai langkah awal
untuk mereaksikan konversi glukosa dengan katalisis asam atau basa.
Katalis tersebut direduksi dari LaCoO 3 menjadi LaCoO2.5 dan adanya
perubahan valensi Co dari Co3+ menjadi Co2+. Setelah itu, asam
glukonat mengalami dekarboksilasi oksidatif dan mengubahnya
menjadi xilosa, dan terdeteksi oleh GC-MS. Pada xilosa juga
dilakukan oksidasi untuk membentuk asam xilonat dan mengalami
dekarboksilasi oksidatif untuk menghasilkan aldosa C4, yang
kemudian dioksidasi menjadi asam hidroksibutirat. Pada akhirnya
asam hidroksipropionat terbentuk dengan reaksi oksidasi dan
dekarboksilasi oksidatif secara bergantian. Asam hidroksipropinoat
dapat terus bereaksi dengan cara yang sama untuk menghasilkan asam
glikolat dan kemudian menghasilkan asam format, terutama dengan
oksidan kuat seperti O2, seperti saat di bawah tekanan O2 parsial yang
lebih tinggi, asam glikolat dan asam format yang dihasilkan lebih
banyak dibandingkan hasil asam laktat yang diproduksi dari glukosa.
Di sisi lain, asam hidroksipropinoat juga dapat mengalami reaksi
dehidrasi pada suhu tinggi untuk menghasilkan asam piruvat yang
terdeteksi oleh GC-MS. Ada kemungkinan bahwa selama struktur
perovskit yang tereduksi menjadi LaCoO 2.5, asam piruvat direduksi
menjadi asam laktat. Sementara itu, Co 2+ dioksidasi kembali menjadi

31
Co3+ untuk melengkapi siklus katalitik Co3+ → Co2+ → Co3+,
sedangkan struktur perovskit tidak berubah.
Untuk menguji hipotesis bahwa LaCoO 3 berfungsi sebagai
oksidan lemah, kami menguji pengaruh jumlah loading katalis yang
berbeda pada hasil asam laktat. Seperti ditunjukkan pada Gambar 4.7,
dengan meningkatkan rasio molar LaCoO3 terhadap glukosa dari 0,5:1
hingga 4:1, hasil asam laktat meningkat dari 33% menjadi 40%.
Namun, karena rasio molar katalis terhadap biomassa meningkat
menjadi 10:1, hasil asam laktat menurun secara signifikan menjadi
32%. Hasil ini cukup mendukung hipotesis bahwa secara stoikiometri,
satu mol LaCoO3 hanya menyediakan 0,5mol oksigen, namun ada
banyak langkah oksidasi selama reaksi konversi glukosa menjadi asam
laktat, dan dengan demikian diperlukan penambahan katalis berlebih
untuk mencapai hasil asam laktat yang tinggi. Namun, karena rasio
molar katalis terhadap glukosa terlalu tinggi, kelebihan LaCoO 3 dapat
mencegah LaCoO2.5 mereduksi asam piruvat.
Yield produk (%)

Loading katalis (biomassa terhadap rasio mol katalis)


Gambar 4. 7 Efek jumlah loading katalis pada yield produk konversi glukosa
dengan katalis LaCoO3

32
Untuk ilustrasi langkah reaksi redoks lebih jauh, asam piruvat
digunakan sebagai pereaksi probe untuk mengetahui apakah asam
piruvat akan tereduksi dengan katalis LaCoO 3 yang belum direduksi
dengan aliran gas H2. Pada penelitian ini ditemukan bahwa pada
atmosfer N2 murni, hasil 16,5% asam laktat diperoleh dari asam
piruvat tanpa menambahkan katalis apapun pada 200°C, sementara
asam glikolat 21,3% merupakan produk dominan. Sebaliknya, asam
laktat diproduksi sebanyak 36,8% sebagai produk dominan dari
katalis LaCoO3 yang telah direduksi sebelumnya. Dalam
penambahannya, ketika H2 ditambahkan ke dalam atmosfir N2,
diperoleh hasil asam laktat sebanyak 56,9% seperti yang ditunjukkan
pada tabel 4.3. Hal ini berbeda dengan konversi asam piruvat menjadi
asam laktat dengan LaCoO3 yang teroksidasi penuh dimana hanya
menghasilkan 3,6 % asam laktat.
Penelitian ini juga menggunakan asam glukonat sebagai reaktan
probe untuk memvalidasi mekanisme reaksi yang diusulkan. Pada
200°C, asam glukonat 14% berhasil dikonversi, dengan asam laktat
dan asam asetat sebagai produk dominan yang ditunjukkan pada tabel
4.2 nomor 12. Hasil dari reaksi probe menunjukkan bahwa garis reaksi
yang diusulkan cukup masuk akal meskipun kinetika kimianya
mungkin jauh lebih kompleks dalam sistem reaksi ini. Demikian pula,
aldosa lain seperti xilosa mengalami siklus redoks yang sama
menghasilkan asam laktat. Dekarboksilasi oksidatif aldosa terjadi
secara bertahap, jumlah karbon yang berbeda berkisar antara enam
sampai empat, melepaskan karbon pada gugus aldehid akhir untuk
membentuk CO2. Menurut mekanisme reaksi redoks yang diusulkan,
idealnya 1 mmol glukosa akan menghasilkan 1 mmol asam laktat dan
3 mmol CO2. Pada percobaan konversi glukosa yang khas, 3,12 mmol
CO2 dihasilkan dari 1 mmol glukosa. Keseimbangan karbon reaksi ini
mendekati 100%. Seperti reaksi ini, CO 2 akan menjadi satu-satunya
produk akhir. Memang tidak jelas mengapa asam laktat lebih stabil
dibandingkan dengan asam C1 dan C2 lainnya. Namun, mekanisme
reaksi redoks yang diusulkan menjelaskan mengapa produksi hasil

33
asam laktat dari xilosa hampir sama dengan glukosa. Di sisi lain,
ketosa seperti fruktosa yang memiliki gugus keton yang bukan gugus
aldehid sulit dilakukan dekarboksilasi oksidatif dan oleh karena itu
hampir tidak dapat menghasilkan asam laktat yang tinggi seperti
konversi glukosa menggunakan katalis LaCoO3.

34
HMF
HO HO
OH Dehidrasi OH OH OH
LaCoO3

Oksidasi Dekarboksilasi
HO O HO O Oksidatif HO O

OH OH OH OH OH OH
D-Glukosa Asam D-Glukonat CO2 D-Xylosa

Oksidasi LaCoO3
OH O
OH OH OH

O
LaCoO3 LaCoO3 O HO
HO O LaCoO3
OH
HO HO
Dekarboksilasi
Gliseraldehid Oksidatif Oksidasi Dekarboksilasi
Oksidatif OH
OH OH OH
Asam Hidroksibutirat HO Asam Xylonat
Hidrasi
CO2 CO2
Dehidrasi CO2

O O
O O LaCoO3
LaCoO3
LaCoO3 HO Oksidasi OH
LaCoO2,5 Dekarboksilasi
O OH OH Oksidatif
Asetaldehid Asam Asetat
Oksidasi Reduksi
O O O

Piruvaldehid Asam Piruvat Asam Laktat


OH
Dehidrasi
Asam Akrilat
Gambar 4. 8 Jalur reaksi redoks yang diusulkan untuk pembentukan asam laktat dari glukosa dengan katalis LaCoO3

35
Tabel 4. 3 Konversi asam piruvat dengan dan tanpa katalis LaCoO3 atmosfer inert atau reduktif
No. Katalis B/C Atmosfer Yield dari produk fasa aquos (C-%)
Glikolat Laktat Format Asetat
1 – – N2 21.3 16.5 0.8 2.5
2 R. LaCoO3 1/2 N2 3.8 36.8 0.1 3.2
3 O. LaCoO3 1/2 N2 24.5 3.6 0 1.6
4 – – H2 dan N2 19.7 17.2 0.7 3.3
5 R. LaCoO3 1/2 H2 dan N2 0 56.9 0 4.8
*Kondisi reaksi: 1mmol asam piruvat, 2mmol katalis LaCoO3 sebelum tereduksi (R.) atau yang teroksidasi total (O.), suhu 200°C,
selama 1 jam
*B/C = rasio mol substrat biomassa terhadap katalis
*Campuran atmosfer H2 dan N2 dengan 2mmol H2

36
BAB V
KESIMPULAN

Penelitian ini menunjukkan bahwa katalis perovskit LaCoO 3


dapat secara efektif mengkatalisis konversi biomassa selulosa menjadi
asam laktat dalam media hidrotermal. Suhu reaksi, atmosfer gas, dan
loading katalis berpengaruh besar terhadap hasil produksi asam laktat
dari glukosa. Gula aldosa C5 sampai C6 termasuk xilosa dan glukosa
menghasilkan jumlah asam laktat yang sama yaitu 40% pada 200°C
dengan tekanan awal 400psi N2, sedangkan hasil tertinggi asam laktat
dari selulosa yaitu 24% pada 240°C dalam media hidrotermal. Jumlah
HMF dan produk humin yang jauh lebih rendah diperoleh dari glukosa
dengan katalis LaCoO3. Mekanisme reaksi redoks yang mungkin,
yang melibatkan langkah-langkah penting seperti dekarboksilasi
oksidatif gula aldosa dan reduksi asam piruvat dengan siklus redoks
Co2+ dan Co3+ dalam struktur perovskit LaCoO3 diusulkan untuk
konversi gula aldosa menjadi asam laktat. Tidak seperti reaksi asam
Lewis atau reaksi yang dikatalisis di mana produksi asam laktat
diinisialisasi oleh kondensasi retro-aldol pada gula, kisi atom oksigen
dalam oksida logam perovskit LaCoO 3 bertindak sebagai oksidan
lemah dalam konversi selektif aldosa menjadi asam laktat di bawah
suasana reduktif atau inert. Leaching LaCoO3 terjadi selama reaksi
konversi glukosa dalam media hidrotermal namun katalisnya relatif
stabil dalam jangka pendek.

37
“Halaman ini sengaja dikosongkan”

38
DAFTAR PUSTAKA
Bacha, J.D., dan J.K., Kochi. (1968), “Tetrahedron”, 24, 2215.
Castillo Martinez, F.A., Balciunas, E.M., Salgado, J.M., Domínguez
González, J.M., Converti, A., dan Oliveira, R.P. de S. (2013),
“Lactic Acid Properties, Applications and Production: A
Review.” Trends in Food Science & Technology, Vol. 30, No.
1, Hal. 70–83.
Chauhan A., K.G. Manish, dan P. Chauhan. (2014), “GC-MS
Technique and its Analytical Applications in Science and
Technology”. J Anal Bioanal Tech, 5:6.
Chen J. dkk. (2013), “The influence of non stoichiometry on LaMnO3
perovskite for catalytic NO oxidation”. Appl.Catal. (2013)
251–257.
Chang C.C., dan H.S. Weng. (1993), “Deep oxidation of toluene on
perovskite catalyst”, Ind.Eng. Chem. Res. 32 2930–2933.
Chambon F, dkk. (2011), “Cellulose hydrothermal conversion
promoted by heterogeneous Brønsted and Lewisa cids:
Remarkable efficiency of solid Lewis acids to produce lactic
acid”. Appl.Catal. B Environ. 105 171–181.
Clark, Jim. (2007), Pengantar Ester (http://www.chem-is-
try.org/materi_kimia/sifat_senyawa_organik/ester1/penganta
r_ester/).
Deng H., L. Lin, Y. Sun, C. Pang, J. Zhuang, P. Ouyang, dkk. (2008),
“Perovskite-typeoxide LaMnO3: an efficient and recyclable
heterogeneous catalyst for the wet aerobic oxidation of lignin
to aromatic aldehydes”. Catal. Lett. 126 106–111.
Donald L.P., dkk. (1997), “Spectroscopy. Third Edition”. CBS
Publishers and Distributors.
Environ l. B., (2001), “Deep oxidation of toluene on perovskite
catalyst”, Ind.Eng. Chem. Res. 32 2930–2933.
Epane G., J.C. Laguerre, A. Wadouachi, D. Marek. (2010),
“Microwave-assisted conversion of d-glucose into lactic acid
under solvent-free conditions”. Green Chem. 12 502.

39
Escalona N., W. Aranzaez, K. Leiva, N. Martínez, G. Pecchi. (2014),
“Ni nanoparticles prepared from Ce substituted LaNiO 3 for
the guaiacol conversion”. Appl. Catal.A Gen. 481 1–10.
Eyley, S., dan Thielemans, W. (2014), “Surface Modification of
Cellulose Nanocrystals.” Nanoscale, Vol. 6, No. 14, Hal.
7764–79.
Fengel, D., dan G. Wegener. (1984), (Terjemahan) Kayu (Kimia,
Ultrastruktur, dan Reaksi-reaksi). Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Fessenden. (1986), “Kimia Organik Jilid 2”. Erlangga. Jakarta.
Gloyna E.F., dan L. Li. (1995), “Supercritical water oxidation research
and development update”. Environ. Prog. 14 182–192.
Holm M.S., S. Saravanamurugan, dan E. Taarning, (2010),
“Conversion of sugars to lactic acid derivatives using
heterogeneous zeotype catalysts”. Science 328 602–605.
Levy M.R. (2005), “Crystal Structure and Defect Property Predictions
in Ceramic Materials”. Department of Materials Imperial
College of Science, Technology and Medicine.
Li H., S. Wang, W. Wang, J. Ren, F. Peng, R. Sun, dkk. (2013), “One-
step heterogeneous catalytic process for the dehydration of
xylan into furfural”. Bioresources 8 3200–3211.
Narayanan, N., Roychoudhury, P.K., dan Srivastava, A. (2004).
“Isolation of adh mutant of Lactobacillusrhamnosus for
production of L(+) Lactic acid. Electronic Journal of
Biotechnology [online]., vol. 7, no. 1]”. Available from
Internet:http://www.ejbiotechnology.info/content/vol7/issue1
/full/7/index.html. ISSN 0717 3458.
Nishiyama, Y., dkk. (2002), "Crystal Structure and Hydrogen-
Bonding System in Cellulose Iβ from Synchrotron X-ray and
Neutron Fiber Diffraction". J. Am. Chem. Soc. 124 (31):
9074–82.
Ogibin, Yu.N., M.I., Katzin, dan G.I., Nikishin. (1974), Synthesis,
889.

40
Raccah, P.M., dan J.B. Goodenough. (1967), Phys. Rev. 155 932.
Reinhardt T.A., dkk. (1983), “A Microassay for 1,25-
Dihydroxyvitamin D not requiring high performance liquid
chromatography: application to clinical studies”. JCEM.;58.
Sahil K., B. Prashant, M. Akanksha, S. Premjeet, dan R. Devashish.
(2011), “GC-MS: Applications. International Journal Pharma
& Biological Archives”. 2: 1544-1560.
Serguchev. Yu.A. Beletskaya, (1980), I.P. Russ. Chem. Rev, 49, 1119.
Seri K., Y. Inoue, dan H. Ishida. (2001), “Catalytic activity of
lanthanide(III) ions for the dehydration of hexose to 5-
hydroxymethyl-2-furaldehyde in water”. Bull.Chem. Soc.
Jpn. 74 1145–1150.
Singh U., J. Li, J. Bennett, A. Rappe, R. Seshadri, dan S. Scott. (2007),
“A Pd-doped perovskite catalyst, BaCe1–xPdxO3–1 BaCe1–
xPdxO3–1, for CO oxidation”. J. Catal 249 349–358.
Sjostrom, E. (1981), “Kimia Kayu , Dasar-Dasar dan Penggunaan”.
Diterjemah oleh. Hardjonosastro Hamidjojo. Gajah Mada
University Press. Yogyakarta. 390.
Smushkevich, Yu.I., M.I., Usorov. dan N.N.J., Suvorov. (1975), Org.
Chem. USSR, 11, 653.
Supachai S., S. Autcharaporn., N. Apinon. (2012), “Synthesis of
perovskite-type lanthanum cobalt oxide powders by
mechanochemical activation method”. Thailand, ScienceAsia
38: 102–107.
Thammana M. (2016), “A Review on High Performance Liquid
Chromatography (HPLC)”. Research & Reviews: Journal of
Pharmaceutical Analysis Department of Pharmacy, Vignan
Institute of Pharmaceutical Technology, Duvvada,
Visakhapatanam, Andhra Pradesh, India.
Valderrama G., A. Kiennemann, dan M.R. Goldwasser. (2010). “La–
Sr–Ni–Co–O based perovskite-type solid solutions as catalyst
precursors in the CO2 reforming of methane” J. Power
Sources 195 1765–1771.

41
Wang F.F., J. Liu, H. Li, C.L. Liu, R.Z. Yang, W.S. Dong. (2015),
“Conversion of cellulose to lactic acid catalyzed by erbium-
exchanged montmorillonite K10”. Green Chem. 17 2455–
2463.
Wenk, H., dan Bulakh, A. (2004), “Minerals: Their Constitution and
Origin”. New York, NY: Cambridge University Press. p. 413.
Wiberg, N. J. (1984), “Organomet”. Chem, 273, 141.
Yan, X., F. Jin, K. Tohji, A. Kishita, H. Enomoto. (2010),
“Hydrothermal conversion of carbohydrate biomass to lactic
acid”. AIChE J. 56 2727–2733.
Yang L., J. Su, S. Carl, J.G. Lynam, X. Yang, dan H. Lin. (2015),
“Catalytic conversion of hemicellulosic biomass to lactic acid
in pH neutral aqueous phase media”.Appl. Catal. B Environ.
162 149–157.
Zhang Q., dan F. Saito. (2000), “Mechanochemical synthesis of
LaMnO3 from La2O3 and Mn2O3 powders”. J Alloy Comp
297, 99–103.

42
1

Anda mungkin juga menyukai