Dosen Pembimbing
Drs. Agus Wahyudi, MS.
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS ILMU ALAM
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2017
i
COLLOQUIUM
Supervisor
Drs. Agus Wahyudi, MS.
DEPARTMENT OF CHEMISTRY
FACULTY OF SCIENCE
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2017
ii
EFEK SIFAT REDOKS KATALIS PEROVSKIT LaCoO3 PADA
PRODUKSI ASAM LAKTAT DARI BIOMASSA SELULOSA
KOLOKIUM
Dosen Pembimbing
Drs. Agus Wahyudi, MS.
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS ILMU ALAM
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2017
iii
EFEK SIFAT REDOKS KATALIS PEROVSKIT LaCoO3
PADA PRODUKSI ASAM LAKTAT DARI BIOMASSA
SELULOSA
KOLOKIUM
Mengetahui,
Kepala Departemen Kimia,
iv
SURAT PENGESAHAN
Dosen yang bertanda tangan dibawah ini, adalah dosen penguji
pada ujian kolokium mahasiswa :
Nama : STANZA FARID ZAKARIA
NRP : 01211440000082
Judul Tulisan : EFEK SIFAT REDOKS KATALIS
PEROVSKIT LaCoO3 PADA
PRODUKSI ASAM LAKTAT DARI
BIOMASSA SELULOSA
Dengan ini menyatakan bahwa naskah kolokium tersebut telah
diperbaiki sesuai hasil seminar kolokium tanggal 28 Desember
2017
DOSEN PENGUJI
No NAMA JABATAN TANDA TANGAN
Zjahra Vianita
1 Nugraheni, S.Si., Ketua Sidang
M.Si.
Drs. Agus Wahyudi, Penguji /
2
MS. Pembimbing
Dr. Ir. Endah Mutiara
3 Penguji
MP., M.Si.
v
ABSTRAK
vi
ABSTRACT
vii
KATA PENGANTAR
Penulis
viii
DAFTAR ISI
x
DAFTAR GAMBAR
xi
Gambar 4. 7 Efek jumlah loading katalis pada yield produk
konversi glukosa dengan katalis LaCoO3 .............................. 32
Gambar 4. 8 Jalur reaksi redoks yang diusulkan untuk
pembentukan asam laktat dari glukosa dengan katalis LaCoO 3
.............................................................................................. 35
DAFTAR TABEL
xii
BAB I
PENDAHULUAN
3
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Selulosa
Selulosa merupakan polimer linier glukan yang memiliki struktur
rantai yang seragam dengan ikatan β – 1,4 glikosidik. Dua unit glukosa
yang saling berdekatan bersatu dengan mengeliminasi satu molekul
air diantara gugus hidroksil pada C1 dan C4 (Fengel dan Wegener,
1984). Selulosa mempunyai bobot molekul yang sangat bervariasi
yaitu berkisar antara 50.000 hingga 2,5 juta bergantung pada
sumbernya. Ukuran panjang rantai molekul selulosa dinyatakan
sebagai derajat polimerasi (DP). Derajat polimerasi dihitung dengan
cara membagi bobot selulosa dengan bobot molekul glukosa (Fengel
dan Wegener, 1984). Menurut Sjostrom (1981), perlakuan fisik dan
kimia yang intensif dapat menurunkan derajat polimerasi selulosa.
Sifat polimer ditentukan oleh panjang rantai molekul dari polimer itu
sendiri. Selulosa merupakan polisakarida yang terdiri atas satuan
monosakarida dan mempunyai massa molekul relatif yang sangat
tinggi, tersusun dari 2.000-3.000 glukosa. Rumus molekul selulosa
adalah (C6H10O5)n.
Polimer selulosa dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian dengan
susunan rantai yang teratur (kristalin) dan bagian dengan susunan
rantai yang tidak teratur (amorf). Derajat kristalinitas suatu polimer
berpengaruh besar terhadap sifat polimer yang terkait dengan
penggunaannya. Pada umumnya selulosa bersifat relatif kristalin
(Sjostrom, 1981). Morfologi selulosa berpengaruh besar terhadap
reaktivitasnya. Reaktivitas selulosa juga dipengaruhi oleh keteraturan
struktur selulosa.
5
Gambar 2. 1 Struktur Selulosa (Nishiyama dkk, 2002)
Gambar 2. 2 Struktur isomer (a) L(+) asam laktat dan (b) D(-) asam laktat
(Castillo Martinez dkk., 2013)
2.3 Perovskit
Perovskit adalah material dengan struktur kristal yang sama
seperti kalsium titanium oksida (CaTiO 3), yang dikenal sebagai
struktur perovskit atau XIIA2+ VIB4+ X2-3 dengan oksigen di pusat muka.
Mineral perovskit ditemukan oleh ahli mineral Rusia, Count Lev
Aleksevich von Perovski dan dinamai oleh Gustav Rose pada tahun
1839 dari sampel di Pegunungan Ural. Perovskit merupakan bahan
7
keramik sejati yang memiliki banyak aplikasi, yang mencakup
produksi energi (teknologi SOFC), penahanan lingkungan
(enkapsulasi limbah radioaktif) dan bidang komunikasi (bahan
resonator dielektrik). Struktur perovskit memiliki stokiometri ABX 3,
dimana "A" dan "B" adalah kation dan "X" adalah anion. Kation "A"
dan "B" dapat memiliki berbagai muatan dimana pada mineral
perovskit asli (CaTiO3), kation A bersifat divalen dan kation B bersifat
tetravalen.
La3+,Ce3+,Nd3+,Sm3+,Eu3+,Gd3+ Al3+,Cr3+,Fe3+
Tb3+,Dy3+,Ho3+,Yb3+,Lu3+ Ga3+,In3+,Sc3+
2.3.1 LaCoO3
LaCoO3 merupakan senyawa yang diklasifikasikan sebagai
isolasi Mott. Sifat magnetik LaCoO3 memiliki ketergantungan pada
suhu karena perilaku induksinya bergantung pada termal dalam
susunan elektronik ion Co3 (Raccah & Goodenough, 1967). Stabilitas
suhu tinggi dan struktur kristal isotropik LaCoO3 juga menguntungkan
dalam perancangan perangkat termoelektrik bersuhu tinggi.
8
Zhang dkk (2000), telah berhasil mensintesis fasa perovskit
tunggal ABO3 (A = La, Nd, Pr, Sm; B = Mn, Co, Fe, Ni) dengan
menggiling campuran oksida penyusun menggunakan bola
penggelinding di ruangan bersuhu. Dalam metode sintesis bahan
nanopartikel secara langsung, telah ditemukan bahwa reaktivitas
oksida mulai memainkan peran penting dalam penyelesaian reaksi
padat mekanokimia. Menurut Supachai (2012), LaCoO3 memiliki
struktur kristal rombohedral.
9
apakah senyawa organik dapat dioksidasi atau direduksi. Berikut ini
merupakan skema reaksi redoks dari Wiberg (1984).
1. Transfer elektron langsung
a. Oksidasi atau reduksi dari radikal bebas (oksidasi
menjadi ion positif atau reduksi menjadi ion negatif)
b. Oksidasi menjadi ion negatif
c. Oksidasi atau reduksi elektrolitik
2. Transfer hidrida
Reaksi dimana karbokation abstrak ion hidrida termasuk
dalam kategori ini:
R+ + R’H ⟶ RH + R’+
3. Transfer atom hidrogen
RH + Cl∙ ⟶ R∙ + HCl
4. Pembentukan intermediet ester
Sejumlah oksidasi melibatkan pembentukan intermidiet ester
(biasanya asam anorganik), dan kemudian terjadi pembelahan
intermediet ini:
10
6. Mekanisme adisi dan eliminasi
Dalam reaksi antara keton a,b-tak jenuh dan peroksida, zat
pengoksidasi menambah substrat dan kemudian terdapat
bagian yang hilang:
11
Gambar 2. 6 Mekanisme reaksi dehidrasi alkohol menjadi eter (Fessenden,
1989)
16
Gambar 2. 10 Skema kerja instrumen UV-Vis simultan (Shah, 2015)
18
BAB III
METODOLOGI
3.2 Prosedur
3.2.1 Prosedur Reaksi Katalitik
Reaksi dilakukan dengan mencampurkan katalis dengan larutan
substrat biomassa dalam aqua DM 100 mL dan diaduk menggunakan
stirrer microreactor Parr. Dinding reaktor dilapisi dengan glass liner
agar tidak terjadi kontak secara langsung antara campuran dengan
reaktor. Glass liner diberi muatan 400psi N2. Setelah itu reaktor
dipanaskan dengan kelajuan suhu 10°C/menit hingga mencapai suhu
yang diinginkan. Selama reaksi, hasil campuran diputar menggunakan
propeller internal dengan kecepatan perputaran 700rpm. Setelah suhu
yang diinginkan tercapai, suhu dijaga konstan hingga 1 jam.
Kemudian didinginkan menggunakan penangas es. Setelah reaksi
berakhir, reaktor dibongkar dan didapatkan residu yang digunakan
19
untuk menghitung konversi massa. Setelah itu dilakukan pemisahan
dengan metode sentrifugasi. Filtrat hasil sentrifugasi digunakan untuk
analisis. Residu dikeringkan semalam pada suhu 110°C. Massa yang
dihasilkan antara 98% dan 102%.
Persamaan yang digunakan untuk menghitung konversi (X),
yield residu padat (R.P.) dan yield C-% (Y) yaitu:
massa karbon dalam biomassa yang tidak bereaksi
X = (1 − ) x 100% (3.1)
massa karbon dalam biomassa total
berat total residu padat kering − berat katalis padat
R.P. = ( ) x 100% (3.2)
berat awal biomassa
massa karbon dalam produk
Y=( ) x 100% (3.3)
massa karbon dalam total biomassa total
22
Tabel 4. 1 Konversi dari biomassa selulosa yang berbeda dengan dan tanpa katalis yang berbeda
No Substrat Katalis R.P. (%) Yield karbon dari produk aquos (%)
Glukonat Piruvat Glikolat Laktat Format Asetat HMF Furfural
1 Glukosa / 22.2 0.9 0.4 1.8 0.9 1.9 0 29.1 1.1
2 Glukosa La2O3 25 0.1 0.2 4.2 18.8 1.1 2.8 1.2 0.3
3 Glukosa Co2O3 12.8 0.5 0.3 3.2 31.3 1.5 1.4 1.4 0.5
4 Glukosa LaCaO3 6.3 0 2.7 5.7 39.5 1.1 3.9 0.1 0.4
5 Glukosa Co(NO3)2 17 0 0.1 2.3 14.3 2.7 0.2 2.4 0.5
6 Fruktosa / 16.6 0.3 0.2 1.7 9.8 2.4 3.4 23.1 1.1
7 Fruktosa LaCaO3 10.4 0 1.4 2.3 19.8 0.6 2.6 1.4 0.6
8 Gliseraldehid / 39 – 0.6 3.2 28.9 2.3 3.2 – –
9 Gliseraldehid LaCaO3 26.4 – 2.1 4.1 52.6 3 5.9 – –
10 DHA / 34.1 – 0.6 0 31.9 1.4 0.8 – –
11 DHA LaCaO3 29.3 – 0.4 1.6 29.8 0.8 4.5 – –
12 Xilosa / 21.2 – 0 2.3 6.7 1.6 0.6 – 32.4
13 Xilosa LaCaO3 5.3 – 0.4 5.1 37.9 1.2 3.4 – 0.5
14 Selulosa / 9.8 0.2 0 0.8 4.6 3.6 3.6 24.7 3
15 Selulosa LaCaO3 13.6 1.6 0.5 3.3 24.9 2.4 0.8 0.3 0.1
*Kondisi reaksi: 1mmol substrat biomassa, 4mmol katalis, 20g aqua DM, 200°C, tekanan awal 400psi dengan gas N2, selama 1 jam
* R.P. = residu padat
*DHA = 1,3 dihidroksiaseton 23
*khusus selulosa menggunakan suhu 240°C
Tabel 4. 2 Konversi asam laktat dan asam glukonat dibawah kondisi reaksi yang berbeda dengan dan tanpa
katalis LaCoO3
No Substrat Katalis Atmosfer Suhu Konv.(%) Yield karbon dari produk aquos (C-%)
(°C) Piruvat Glikolat Laktat Format Asetat Akrilat HMF
1 AL / N2 160 1.6 0.3 0 – 0.1 0.1 0 –
2 AL LaCoO3 N2 160 12.1 0 0 – 0.4 2.5 0 –
3 AL / N2 200 3.3 0.4 0 – 0.5 0.2 0.1 –
4 AL LaCoO3 N2 200 12.3 0 0 – 0.2 2.8 0 –
5 AL / N2 240 2 0.6 0 – 0.5 0 0.4 –
6 AL LaCoO3 N2 240 16.7 1.2 0 – 0 2.8 0 –
7 AL / 10% O2 160 2.2 1.1 0 – 0.2 0.8 0 –
8 AL LaCoO3 10% O2 160 16.6 0.8 0 – 0.2 4.6 0 –
9 AL / 100% O2 240 100 0 0 – 0 0 0 –
10 AL LaCoO3 100% O2 240 100 0 0 – 0 45.3 0 –
*Kondisi reaksi: 1mmol substrat biomassa, 0,5mmol katalis, 20g aqua DM, tekanan awal 400psi dengan gas N2, selama 1 jam
*AL = asam laktat
*AG = asam glukonat
24
Yield produk (%)
Suhu (°C)
Gambar 4. 1 Efek suhu reaksi pada konversi glukosa dengan katalis
LaCoO3 di media hidrotermal
25
penelitian ini ditemukan bahwa hasil asam laktat dari xilosa C5 sangat
dekat dengan glukosa C6 dalam kondisi kondisi reaksi yang sama.
Sebagian besar literatur sebelumnya menunjukkan bahwa jalur reaksi
kondensasi retro-aldol pada konversi glukosa menggunakan katalis
asam atau basa lewis, dimana satu molekul glukosa C6 dibelah untuk
membentuk dua senyawa C3, dan secara teoritis hasil asam laktat dari
glukosa C6 bisa dua kali lebih tinggi dari xilosa C5. Hasil asam laktat
yang sama dari glukosa dan xilosa pada penelitian ini menunjukkan
kemungkinan adanya jalan reaksi baru dimana kondensasi retro-aldol
pada gula bukanlah langkah awal pembentukan asam laktat.
Intensitas (cps.)
Intensitas (cps.)
Intensitas (cps.)
26
Intensitas (cps.)
Intensitas (cps.)
27
dihidroksiaseton menjadi asam laktat yang ditunjukkan pada tabel 4.1
nomor 10 dan 11. Perlu diperhatikan bahwa dengan katalis asam atau
basa Lewis, ketosa, yang rentan terhadap kondensasi retro-aldol,
merupakan zat intermidiet utama dalam produksi asam laktat dari
glukosa atau xilosa (Holm, 2010). Namun, dalam penelitian ini, katalis
LaCoO3 sangat lemah dalam mengkatalisis konversi ketosa menjadi
asam laktat.
28
Analisis TPO menunjukkan tiga puncak utama dengan maksimum
pada 390°C, 510°C dan 550°C yang menunjukkan transisi Co0 ke
Co2+, ion Co2+ dan Co3+ yang berdampingan, dan oksidasi Co 2+
menjadi Co3+. Hasilnya menunjukkan bahwa kapasitas serapan H 2 dari
Co2O3 masih kurang pada LaCoO3 berdasarkan mol ion Co yang sama
di kedua bahan, yang mungkin menjelaskan mengapa jumlah asam
laktat lebih rendah dari glukosa yang diproduksi dengan Co 2O3
dibandingkan dengan LaCoO3 pada saat loading Co yang sama.
Sinyal TCD (cps.)
Suhu (°C)
Suhu (°C)
Gambar 4. 5 (a) H2 temperature programmed reduction (TPR) dan (b) O2
temperature programmed oxidation (TPO) dari LaCoO3 (garis tebal) dan
Co2O3 (garis putus-putus)
30
Dengan demikian, dapat diprediksikan mekanisme reaksi redoks
(Gambar 4.8) dengan hipotesis bahwa oksigen digunakan untuk reaksi
oksidasi pada konversi glukosa manjadi asam laktat yang mungkin
berasal dari kisi atom oksigen dalam struktur perovskit LaCoO 3, mirip
dengan mekanisme klasik Mars dan Van Krevelen (MvK) dimana kisi
oksida logam dapat berpartisipasi dalam reaksi oksidasi, yang diterima
secara luas dalam proses oksidasi fase gas namun jarang dilaporkan
dalam proses oksidasi fase aquos. Atom oksigen dalam kisi LaCoOx
dapat berperan penting dalam siklus redoks transformasi glukosa dan
turunan intermediet. Sebagai contoh, pertama LaCoO 3 mengoksidasi
aldehid dalam glukosa membentuk asam glukonat, yang berbeda
secara isomerisasi dan kondensasi retro-aldol sebagai langkah awal
untuk mereaksikan konversi glukosa dengan katalisis asam atau basa.
Katalis tersebut direduksi dari LaCoO 3 menjadi LaCoO2.5 dan adanya
perubahan valensi Co dari Co3+ menjadi Co2+. Setelah itu, asam
glukonat mengalami dekarboksilasi oksidatif dan mengubahnya
menjadi xilosa, dan terdeteksi oleh GC-MS. Pada xilosa juga
dilakukan oksidasi untuk membentuk asam xilonat dan mengalami
dekarboksilasi oksidatif untuk menghasilkan aldosa C4, yang
kemudian dioksidasi menjadi asam hidroksibutirat. Pada akhirnya
asam hidroksipropionat terbentuk dengan reaksi oksidasi dan
dekarboksilasi oksidatif secara bergantian. Asam hidroksipropinoat
dapat terus bereaksi dengan cara yang sama untuk menghasilkan asam
glikolat dan kemudian menghasilkan asam format, terutama dengan
oksidan kuat seperti O2, seperti saat di bawah tekanan O2 parsial yang
lebih tinggi, asam glikolat dan asam format yang dihasilkan lebih
banyak dibandingkan hasil asam laktat yang diproduksi dari glukosa.
Di sisi lain, asam hidroksipropinoat juga dapat mengalami reaksi
dehidrasi pada suhu tinggi untuk menghasilkan asam piruvat yang
terdeteksi oleh GC-MS. Ada kemungkinan bahwa selama struktur
perovskit yang tereduksi menjadi LaCoO 2.5, asam piruvat direduksi
menjadi asam laktat. Sementara itu, Co 2+ dioksidasi kembali menjadi
31
Co3+ untuk melengkapi siklus katalitik Co3+ → Co2+ → Co3+,
sedangkan struktur perovskit tidak berubah.
Untuk menguji hipotesis bahwa LaCoO 3 berfungsi sebagai
oksidan lemah, kami menguji pengaruh jumlah loading katalis yang
berbeda pada hasil asam laktat. Seperti ditunjukkan pada Gambar 4.7,
dengan meningkatkan rasio molar LaCoO3 terhadap glukosa dari 0,5:1
hingga 4:1, hasil asam laktat meningkat dari 33% menjadi 40%.
Namun, karena rasio molar katalis terhadap biomassa meningkat
menjadi 10:1, hasil asam laktat menurun secara signifikan menjadi
32%. Hasil ini cukup mendukung hipotesis bahwa secara stoikiometri,
satu mol LaCoO3 hanya menyediakan 0,5mol oksigen, namun ada
banyak langkah oksidasi selama reaksi konversi glukosa menjadi asam
laktat, dan dengan demikian diperlukan penambahan katalis berlebih
untuk mencapai hasil asam laktat yang tinggi. Namun, karena rasio
molar katalis terhadap glukosa terlalu tinggi, kelebihan LaCoO 3 dapat
mencegah LaCoO2.5 mereduksi asam piruvat.
Yield produk (%)
32
Untuk ilustrasi langkah reaksi redoks lebih jauh, asam piruvat
digunakan sebagai pereaksi probe untuk mengetahui apakah asam
piruvat akan tereduksi dengan katalis LaCoO 3 yang belum direduksi
dengan aliran gas H2. Pada penelitian ini ditemukan bahwa pada
atmosfer N2 murni, hasil 16,5% asam laktat diperoleh dari asam
piruvat tanpa menambahkan katalis apapun pada 200°C, sementara
asam glikolat 21,3% merupakan produk dominan. Sebaliknya, asam
laktat diproduksi sebanyak 36,8% sebagai produk dominan dari
katalis LaCoO3 yang telah direduksi sebelumnya. Dalam
penambahannya, ketika H2 ditambahkan ke dalam atmosfir N2,
diperoleh hasil asam laktat sebanyak 56,9% seperti yang ditunjukkan
pada tabel 4.3. Hal ini berbeda dengan konversi asam piruvat menjadi
asam laktat dengan LaCoO3 yang teroksidasi penuh dimana hanya
menghasilkan 3,6 % asam laktat.
Penelitian ini juga menggunakan asam glukonat sebagai reaktan
probe untuk memvalidasi mekanisme reaksi yang diusulkan. Pada
200°C, asam glukonat 14% berhasil dikonversi, dengan asam laktat
dan asam asetat sebagai produk dominan yang ditunjukkan pada tabel
4.2 nomor 12. Hasil dari reaksi probe menunjukkan bahwa garis reaksi
yang diusulkan cukup masuk akal meskipun kinetika kimianya
mungkin jauh lebih kompleks dalam sistem reaksi ini. Demikian pula,
aldosa lain seperti xilosa mengalami siklus redoks yang sama
menghasilkan asam laktat. Dekarboksilasi oksidatif aldosa terjadi
secara bertahap, jumlah karbon yang berbeda berkisar antara enam
sampai empat, melepaskan karbon pada gugus aldehid akhir untuk
membentuk CO2. Menurut mekanisme reaksi redoks yang diusulkan,
idealnya 1 mmol glukosa akan menghasilkan 1 mmol asam laktat dan
3 mmol CO2. Pada percobaan konversi glukosa yang khas, 3,12 mmol
CO2 dihasilkan dari 1 mmol glukosa. Keseimbangan karbon reaksi ini
mendekati 100%. Seperti reaksi ini, CO 2 akan menjadi satu-satunya
produk akhir. Memang tidak jelas mengapa asam laktat lebih stabil
dibandingkan dengan asam C1 dan C2 lainnya. Namun, mekanisme
reaksi redoks yang diusulkan menjelaskan mengapa produksi hasil
33
asam laktat dari xilosa hampir sama dengan glukosa. Di sisi lain,
ketosa seperti fruktosa yang memiliki gugus keton yang bukan gugus
aldehid sulit dilakukan dekarboksilasi oksidatif dan oleh karena itu
hampir tidak dapat menghasilkan asam laktat yang tinggi seperti
konversi glukosa menggunakan katalis LaCoO3.
34
HMF
HO HO
OH Dehidrasi OH OH OH
LaCoO3
Oksidasi Dekarboksilasi
HO O HO O Oksidatif HO O
OH OH OH OH OH OH
D-Glukosa Asam D-Glukonat CO2 D-Xylosa
Oksidasi LaCoO3
OH O
OH OH OH
O
LaCoO3 LaCoO3 O HO
HO O LaCoO3
OH
HO HO
Dekarboksilasi
Gliseraldehid Oksidatif Oksidasi Dekarboksilasi
Oksidatif OH
OH OH OH
Asam Hidroksibutirat HO Asam Xylonat
Hidrasi
CO2 CO2
Dehidrasi CO2
O O
O O LaCoO3
LaCoO3
LaCoO3 HO Oksidasi OH
LaCoO2,5 Dekarboksilasi
O OH OH Oksidatif
Asetaldehid Asam Asetat
Oksidasi Reduksi
O O O
35
Tabel 4. 3 Konversi asam piruvat dengan dan tanpa katalis LaCoO3 atmosfer inert atau reduktif
No. Katalis B/C Atmosfer Yield dari produk fasa aquos (C-%)
Glikolat Laktat Format Asetat
1 – – N2 21.3 16.5 0.8 2.5
2 R. LaCoO3 1/2 N2 3.8 36.8 0.1 3.2
3 O. LaCoO3 1/2 N2 24.5 3.6 0 1.6
4 – – H2 dan N2 19.7 17.2 0.7 3.3
5 R. LaCoO3 1/2 H2 dan N2 0 56.9 0 4.8
*Kondisi reaksi: 1mmol asam piruvat, 2mmol katalis LaCoO3 sebelum tereduksi (R.) atau yang teroksidasi total (O.), suhu 200°C,
selama 1 jam
*B/C = rasio mol substrat biomassa terhadap katalis
*Campuran atmosfer H2 dan N2 dengan 2mmol H2
36
BAB V
KESIMPULAN
37
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
38
DAFTAR PUSTAKA
Bacha, J.D., dan J.K., Kochi. (1968), “Tetrahedron”, 24, 2215.
Castillo Martinez, F.A., Balciunas, E.M., Salgado, J.M., Domínguez
González, J.M., Converti, A., dan Oliveira, R.P. de S. (2013),
“Lactic Acid Properties, Applications and Production: A
Review.” Trends in Food Science & Technology, Vol. 30, No.
1, Hal. 70–83.
Chauhan A., K.G. Manish, dan P. Chauhan. (2014), “GC-MS
Technique and its Analytical Applications in Science and
Technology”. J Anal Bioanal Tech, 5:6.
Chen J. dkk. (2013), “The influence of non stoichiometry on LaMnO3
perovskite for catalytic NO oxidation”. Appl.Catal. (2013)
251–257.
Chang C.C., dan H.S. Weng. (1993), “Deep oxidation of toluene on
perovskite catalyst”, Ind.Eng. Chem. Res. 32 2930–2933.
Chambon F, dkk. (2011), “Cellulose hydrothermal conversion
promoted by heterogeneous Brønsted and Lewisa cids:
Remarkable efficiency of solid Lewis acids to produce lactic
acid”. Appl.Catal. B Environ. 105 171–181.
Clark, Jim. (2007), Pengantar Ester (http://www.chem-is-
try.org/materi_kimia/sifat_senyawa_organik/ester1/penganta
r_ester/).
Deng H., L. Lin, Y. Sun, C. Pang, J. Zhuang, P. Ouyang, dkk. (2008),
“Perovskite-typeoxide LaMnO3: an efficient and recyclable
heterogeneous catalyst for the wet aerobic oxidation of lignin
to aromatic aldehydes”. Catal. Lett. 126 106–111.
Donald L.P., dkk. (1997), “Spectroscopy. Third Edition”. CBS
Publishers and Distributors.
Environ l. B., (2001), “Deep oxidation of toluene on perovskite
catalyst”, Ind.Eng. Chem. Res. 32 2930–2933.
Epane G., J.C. Laguerre, A. Wadouachi, D. Marek. (2010),
“Microwave-assisted conversion of d-glucose into lactic acid
under solvent-free conditions”. Green Chem. 12 502.
39
Escalona N., W. Aranzaez, K. Leiva, N. Martínez, G. Pecchi. (2014),
“Ni nanoparticles prepared from Ce substituted LaNiO 3 for
the guaiacol conversion”. Appl. Catal.A Gen. 481 1–10.
Eyley, S., dan Thielemans, W. (2014), “Surface Modification of
Cellulose Nanocrystals.” Nanoscale, Vol. 6, No. 14, Hal.
7764–79.
Fengel, D., dan G. Wegener. (1984), (Terjemahan) Kayu (Kimia,
Ultrastruktur, dan Reaksi-reaksi). Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Fessenden. (1986), “Kimia Organik Jilid 2”. Erlangga. Jakarta.
Gloyna E.F., dan L. Li. (1995), “Supercritical water oxidation research
and development update”. Environ. Prog. 14 182–192.
Holm M.S., S. Saravanamurugan, dan E. Taarning, (2010),
“Conversion of sugars to lactic acid derivatives using
heterogeneous zeotype catalysts”. Science 328 602–605.
Levy M.R. (2005), “Crystal Structure and Defect Property Predictions
in Ceramic Materials”. Department of Materials Imperial
College of Science, Technology and Medicine.
Li H., S. Wang, W. Wang, J. Ren, F. Peng, R. Sun, dkk. (2013), “One-
step heterogeneous catalytic process for the dehydration of
xylan into furfural”. Bioresources 8 3200–3211.
Narayanan, N., Roychoudhury, P.K., dan Srivastava, A. (2004).
“Isolation of adh mutant of Lactobacillusrhamnosus for
production of L(+) Lactic acid. Electronic Journal of
Biotechnology [online]., vol. 7, no. 1]”. Available from
Internet:http://www.ejbiotechnology.info/content/vol7/issue1
/full/7/index.html. ISSN 0717 3458.
Nishiyama, Y., dkk. (2002), "Crystal Structure and Hydrogen-
Bonding System in Cellulose Iβ from Synchrotron X-ray and
Neutron Fiber Diffraction". J. Am. Chem. Soc. 124 (31):
9074–82.
Ogibin, Yu.N., M.I., Katzin, dan G.I., Nikishin. (1974), Synthesis,
889.
40
Raccah, P.M., dan J.B. Goodenough. (1967), Phys. Rev. 155 932.
Reinhardt T.A., dkk. (1983), “A Microassay for 1,25-
Dihydroxyvitamin D not requiring high performance liquid
chromatography: application to clinical studies”. JCEM.;58.
Sahil K., B. Prashant, M. Akanksha, S. Premjeet, dan R. Devashish.
(2011), “GC-MS: Applications. International Journal Pharma
& Biological Archives”. 2: 1544-1560.
Serguchev. Yu.A. Beletskaya, (1980), I.P. Russ. Chem. Rev, 49, 1119.
Seri K., Y. Inoue, dan H. Ishida. (2001), “Catalytic activity of
lanthanide(III) ions for the dehydration of hexose to 5-
hydroxymethyl-2-furaldehyde in water”. Bull.Chem. Soc.
Jpn. 74 1145–1150.
Singh U., J. Li, J. Bennett, A. Rappe, R. Seshadri, dan S. Scott. (2007),
“A Pd-doped perovskite catalyst, BaCe1–xPdxO3–1 BaCe1–
xPdxO3–1, for CO oxidation”. J. Catal 249 349–358.
Sjostrom, E. (1981), “Kimia Kayu , Dasar-Dasar dan Penggunaan”.
Diterjemah oleh. Hardjonosastro Hamidjojo. Gajah Mada
University Press. Yogyakarta. 390.
Smushkevich, Yu.I., M.I., Usorov. dan N.N.J., Suvorov. (1975), Org.
Chem. USSR, 11, 653.
Supachai S., S. Autcharaporn., N. Apinon. (2012), “Synthesis of
perovskite-type lanthanum cobalt oxide powders by
mechanochemical activation method”. Thailand, ScienceAsia
38: 102–107.
Thammana M. (2016), “A Review on High Performance Liquid
Chromatography (HPLC)”. Research & Reviews: Journal of
Pharmaceutical Analysis Department of Pharmacy, Vignan
Institute of Pharmaceutical Technology, Duvvada,
Visakhapatanam, Andhra Pradesh, India.
Valderrama G., A. Kiennemann, dan M.R. Goldwasser. (2010). “La–
Sr–Ni–Co–O based perovskite-type solid solutions as catalyst
precursors in the CO2 reforming of methane” J. Power
Sources 195 1765–1771.
41
Wang F.F., J. Liu, H. Li, C.L. Liu, R.Z. Yang, W.S. Dong. (2015),
“Conversion of cellulose to lactic acid catalyzed by erbium-
exchanged montmorillonite K10”. Green Chem. 17 2455–
2463.
Wenk, H., dan Bulakh, A. (2004), “Minerals: Their Constitution and
Origin”. New York, NY: Cambridge University Press. p. 413.
Wiberg, N. J. (1984), “Organomet”. Chem, 273, 141.
Yan, X., F. Jin, K. Tohji, A. Kishita, H. Enomoto. (2010),
“Hydrothermal conversion of carbohydrate biomass to lactic
acid”. AIChE J. 56 2727–2733.
Yang L., J. Su, S. Carl, J.G. Lynam, X. Yang, dan H. Lin. (2015),
“Catalytic conversion of hemicellulosic biomass to lactic acid
in pH neutral aqueous phase media”.Appl. Catal. B Environ.
162 149–157.
Zhang Q., dan F. Saito. (2000), “Mechanochemical synthesis of
LaMnO3 from La2O3 and Mn2O3 powders”. J Alloy Comp
297, 99–103.
42
1