Anda di halaman 1dari 122

SINTESIS DAN KARAKTERISASI KARBON NANOPORI AMPAS TEBU

(Saccharum officianarum) DENGAN AKTIVATOR NaOH MELALUI


IRADIASI ULTRASONIK SEBAGAI BAHAN PENYIMPAN
ENERGI ELEKTROKIMIA

ALFIAH ALIF

H31110001

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
SINTESIS DAN KARAKTERISASI KARBON NANOPORI AMPAS TEBU
(Saccharum officianarum) DENGAN AKTIVATOR NaOH MELALUI
IRADIASI ULTRASONIK SEBAGAI BAHAN PENYIMPAN
ENERGI ELEKTROKIMIA

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat


untuk memperoleh gelar sarjana sains

Oleh :

ALFIAH ALIF

H 311 10 001

MAKASSAR

2014
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan

rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul Sintesis dan Karakterisasi Karbon Nanopori Ampas Tebu

(Saccharum Officianarum) dengan Aktivator NaOH Melalui Iradiasi

Ultrasonik Sebagai Bahan Penyimpan Energi Elektrokimia. Penulisan ini

sebagai syarat guna memperoleh gelar Sarjana Sains Jurusan Kimia Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin.

Penulis menyadari bahwa betapa banyaknya permasalahan dan beratnya

menyelesaikan skripsi ini dan skripsi ini tidak akan selesai tanpa dukungan dan

bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan penghargaan

dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada:

1. Ayahanda dan Ibunda, H. Open Alif, SE dan Hj. Sitti Nurjannah atas segala

perhatian, kasih sayang, dan selalu menjadi motivator dalam kehidupan ini.

Untuk kedua adikku, Afdaliah Alif dan Muhammad Arafah Alif yang selalu

membantu ketika di rumah.

2. Bapak Dr. Muhammad Zakir, M.Si selaku pembimbing utama serta Bapak

Dr. Maming, M.Si selaku pembimbing pertama, yang telah meluangkan

waktu, tenaga, dan pikiran dalam mengarahkan penulis dari awal.

3. Ketua Jurusan Kimia, Ibu Dr. Indah Raya, M.Si, dan seluruh dosen yang

telah membagi ilmunya kepada penulis selama 4 tahun lebih menempuh

pendidikan serta staf Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas Hasanuddin

terima kasih atas bantuan dan kerja samanya.

i
4. Bapak Dr. Syarifuddin Liong, M.Si, Ibu Dr. Seniwati, M.Si dan Bapak Dr.

Firdaus, MS sebagai tim penguji yang telah banyak memberikan arahan dan

masukan bagi penulis.

5. Ibu Prof. Dr. Nunuk Hariani S., MS dan Ibu Rugaiyah, M.Si, selaku dosen

metodologi penelitian yang telah memberikan ilmu dan nasihatnya selama

proses perkuliahan berlangsung.

6. Seluruh analis di Jurusan Kimia FMIPA UNHAS yang telah banyak

membantu penulis selama melakukan penelitian.

7. Syamsurijal Dirham yang selama ini telah mau mengerti, menerima,

berkorban tanpa pamrih, dan selalu memberikan semangat.

8. Kawan-kawan se-MIPA 2010 terkhususnya Kimia 2010 atas persahabatan dan

dukungan kalian yang selalu diberikan kepada penulis.

9. Rekan satu pembimbing yaitu Nia Labanni, Tuti, Umi, Ririn, Shinta, Nia Azis,

Veby, Fhera, Amel, Imi, Pute, Kak Nasir, Kak Ninda, dan Kak Mery atas

bantuan dan kerjasamanya selama ini.

10. Kakak-kakak Kimia Angkatan, 2008, 2009 dan adik-adik 2011, 2012, 2013

atas kerja sama dan semangat selama ini.

11. Semua pihak yang tidak sempat tersurat namanya yang telah memberikan

dukungan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan ini masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritikan dan saran yang

bersifat membangun dari semua pihak.

Penulis

2014

ii
ABSTRAK

Sintesis karbon nanopori ampas tebu (Saccharum officianarum) dilakukan dengan


penambahan aktivator NaOH, untuk meminimalisir masalah penyimpanan pada
pabrik gula. Sintesis karbon nanopori dilakukan dengan dan tanpa metode iradiasi
gelombang ultrasonik untuk mendapatkan karbon nanopori yang baik dan unggul.
Karbon aktif ampas tebu dengan proses iradiasi gelombang ultrasonik
menunjukkan hasil karakterisasi melalui berbagai instrument. Hasil analisis FTIR
(Fourier Transform Infra Red) terjadi peningkatan intensitas yang tajam berupa
rentangan OH pada bilangan gelombang 3419,79 cm-1, vibrasi rentangan C=C
dari gugus aromatik pada bilangan gelombang 1606,70 cm-1, dan vibrasi
rentangan C=O pada bilangan gelombang 1714,702cm-1. Hasil analisis XRF (X-
Ray flourecence) dan XRD (X-Ray diffraction) menunjukkan kandungan oksida
terbesar adalah CaO 90,16% dengan ukuran partikel sebesar 43,3 nm dan
memiliki fasa kristalinitas lebih besar dari karbon aktif tanpa iradiasi. Morfologi
karbon aktif diamati pada Scanning Electron Microscope - Energy Dispersive
Spectroscopy (SEM - EDS) memiliki distribusi pori yang banyak, diameter pori
yang besar dan tidak teratur. Banyaknya distribusi pori memberikan luas
permukaan yang besar. Hasil analisis luas permukaan melalui metode metilen biru
dalam kondisi optimum iradiasi gelombang ultrasonik pada suhu 30 oC selama 15
menit yaitu 171,8336 m2/g dan nilai kapasitas penyimpanan energi yaitu
1,349x10-5 F/g.

Kata Kunci : ampas tebu, karbon aktif, aktivator NaOH, karakterisasi,


penyimpanan energi

iii
ABSTRACT

Synthesis of sugarcane (Saccharum officianarum) bagasse based nanoporous


carbon by using the addition NaOH activator to minimize problems of storage in
the sugar mills. Synthesis of nanoporous carbon performed with ultrasonic wave
irradiation and without ultrasonic wave irradiation method to obtain good and
superior nanoporous carbon. Activated carbon sugarcane bagasse with ultrasonic
wave irradiation process shows by variety of instrumens. The results analysis of
FTIR (Fourier Transform Infra Red) show that raising in the intensity of the sharp
form -OH stretch at wave number 3419.79 cm-1, C = C stretch vibration of
aromatic group at wave number 1606.70 cm-1, and C = O stretch vibration at wave
number 1714,70 cm-1. The results of XRF analysis (X - Ray Flourecence) and
XRD (X -Rray Diffraction) show the largest oxide content of CaO 90,16 % with a
particle size of 43.3 nm and has a greater crystallinity phase. The morphology of
activated carbon were observed in the SEM EDS (Scanning Electron
Microscope - Energy Dispersive Spectroscopy) has a lot of pore distribution, pore
diameters are large and irregular. The amount of pore distribution provides a large
surface area. The results of the analysis of surface area through methylene blue
method under optimum condition ultrasonic wave irradiation at temperature 30 C
for 15 minutes is 171,8336 m2/g and specific of capacity energy storage is
1,349x10-5 F/g.

Keywords: sugarcane bagasse, activated carbon, NaOH activator, characterization,


enery storage

iv
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

ABSTRAK ...................................................................................................... iii

ABSTRACT .................................................................................................... iv

DAFTAR ISI ................................................................................................... v

DAFTAR TABEL ........................................................................................... ix

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... x

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xii

DAFTAR SIMBOL DAN SINGKATAN ....................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 5

1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................... 5

1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................ 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 7

2.1 Penyimpanan Energi (Energi Storage)........................................... 7

2.1.1 Kapasitor Elektrokimia .............................................................. 8

2.2 Tanaman Tebu ............................................................................... 10

2.2.1 Ampas Tebu ............................................................................... 12

2.3 Karbon Aktif ................................................................................. 15

2.3.1 Jenis-jenis Karbon Aktif ............................................................. 17

2.3.2 Struktur Fisik Karbon Aktif ....................................................... 17

2.3.3 Struktur Kimia Karbon Aktif ..................................................... 19

v
2.3.4 Proses Pembuatan Karbon Aktif ................................................ 19

2.4 Silika .............................................................................................. 26

2.4.1 Sifat Kimia dan Sifat Fisika Silika ............................................. 27

2.4.2 Ekstraksi Silika ........................................................................... 28

2.5 Sonokimia ...................................................................................... 29

2.5.1 Efek Gelombang Ultrasonik pada Permukaan Karbon .............. 30

2.6 Analisis dan Karakterisasi Karbon ................................................ 31

2.6.1 SEM (Scanning Electron Microscopy) ...................................... 31

2.6.2 XRD (X-ray Difractometer) ...................................................... 32

2.6.3 XRF (X-ray Flourecence) ......................................................... 33

2.6.4 FTIR (Fourier Transform Infrared) .......................................... 33

2.6.5 Metode Metilen Biru ................................................................. 34

BAB III METODE PENELITIAN................................................................... 36

3.1 Bahan dan Alat Penelitian .............................................................. 36

3.1.1 Bahan Penelitian .......................................................................... 36

3.1.2 Alat Penelitian ............................................................................. 36

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................... 36

3.3 Prosedur Penelitian ........................................................................ 36

3.3.1 Preparasi Alat dan Bahan Baku .................................................. 37

3.3.2 Karbonisasi ................................................................................. 37

3.3.3 Ekstraksi Silika ........................................................................... 37

3.3.4 Aktivasi Karbon ......................................................................... 38

3.3.5 Pendinginan, Pencucian, dan Pengerigan ................................... 38

3.3.6 Karakterisasi dan Analisis Karbon Aktif Ampas Tebu .............. 39

3.3.6.1 Penentuan Luas Permukaan dengan Metode Metilen Biru ..... 39

3.3.6.2 Pembuatan Kapasitor Elektrokimia ......................................... 40

vi
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 41

4.1 Pembuatan karbon Ampas Tebu .................................................... 41

4.1.1 Preparasi Ampas Tebu ............................................................... 41

4.1.2 Karbonisasi ................................................................................. 42

4.2 Ekstraksi Karbon Ampas Tebu ..................................................... 44

4.2.1 Proses Ekstraksi Karbon Ampas Tebu ....................................... 45

4.2.2 Anaalisis Karbon Ampas Tebu Ekstraksi Silika ........................ 46

a. Analisis Komposisi Karbon Ampas Tebu Sebelum dan

Setelah Ekstraksi Silika .............................................................. 46

b. Analisis Gugus Fungsi Karbon Ampas Tebu Sebelum dan

Setelah Ekstraksi Silika .............................................................. 48

c. Analisis Luas Permukaan Karbon Ampas Tebu Sebelum

dan Setelah Ekstraksi Silika ....................................................... 51

4.3 Aktivasi Karbon Ampas Tebu ....................................................... 55

4.3.1 Proses Aktivasi Karbon Ampas Tebu ........................................ 56

4.4. Karakterisasi Karbon Aktif Ampas Tebu dengan dan tanpa

Iradiasi Gelombang ultrasonik ..................................................... 58

4.4.1 Analisis Luas Permukaan Karbon Aktif Ampas Tebu

dengan dan tanpa Iradiasi Gelombang Ultrasonik ....................... 60

4.4.2 Analisis Gugus Fungsi Karbon Aktif Ampas Tebu

dengan dan tanpa Iradiasi Gelombang Ultrasonik ...................... 63

4.4.3 Analisis Komposisi Karbon Aktif Ampas Tebu dengan

dan tanpa Iradiasi Gelombang Ultrasonik .................................... 65

4.4.4 Analisis Fasa Kristal Karbon Aktif Ampas Tebu dengan dan

tanpa Iradiasi Gelombang Ultrasonik ........................................... 66

4.4.5 Analisis Morfologi Permukaan Karbon Aktif Ampas Tebu

vii
dengan dan tanpa Iradiasi Gelombang Ultrasonik ....................... 70

4.4.6 Analisis Kapasitansi Penyimpanan Karbon Aktif Ampas

Tebu dengan dan tanpa Iradiasi Gelombang Ultrasonik .............. 75

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 78

5.1 Kesimpulan .................................................................................... 77

5.2 Saran .............................................................................................. 78

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 79

LAMPIRAN ................................................................................................... 84

viii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Produksi dan produktivitas tebu dan gula .................................................. 11

2.2 Perkiraan produksi gula dan lilmbah perkebunan tebu dan industri

gula di indonesia ...................................................................................... 12

2.3 Kandungan ampas tebu ............................................................................. 13

2.4 Senyawa kimia dalam ampas tebu ............................................................ 14

2.5 Karakteristik ampas tebu ............................................................................ 14

2.6 Syarat mutu arang aktif teknis ................................................................... 16

2.7 Sifat fisika dan kimia arang ....................................................................... 22

2.8 Beberapa penelitian karbon aktif .............................................................. 25

4.1 Kandungan karbon dalam ampas tebu ...................................................... 43

4.2 Kandungan unsur dan oksida dalam karbon ampas tebu ekstraksi

silika ......................................................................................................... 46

4.3 Nilai absorbansi deret standar metilen biru maks 658 nm .......................... 52

4.4 Komposisi unsur dan oksida yang terkandung dalam karbon aktif

ampas tebu dengan dan tanpa iradiasi gelombang ultrasonik .................. 66

4.5 Ukuran peak yang terkuat pada karbon aktif ampas tebu yang

tanpa iradiasi gelombang ultrasonik ......................................................... 67

4.6 Ukuran peak yang terkuat pada karbon aktif ampas tebu yang

dengan iradiasi gelombang ultrasonik ....................................................... 69

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Baterai, sel bahan bakar, dan kapasitor elektrokimia ............................... 8

2.2 Skema kapasitor elektrokimia .................................................................. 9

2.3 Batang tebu dan tanaman tebu ................................................................. 11

2.4 Ampas tebu ............................................................................................... 13

2.5 Karbon aktif ............................................................................................ 15

2.6 Lapisan atom heksagon ............................................................................ 18

2.7 Skema struktur pori karbon akrif .............................................................. 18

2.8 Ilustrasi struktur kimia karbon aktif ......................................................... 19

2.9 Arang hasil karbonisasi ampas tebu .......................................................... 21

2.10 Ilustrasi pembentukan pori karbon aktif dengan aktivasi

menggunakan KOH ................................................................................. . 24

2.11 Fenomena kavitasi akustik ...................................................................... 30

2.12 Morfologi permukaan nanopartikel MoS2 ............................................... 31

2.13 Alat instrumen FTIR ............................................................................... 34

4.1 Ampas tebu .................................................................................. 41

4.2 Ampas tebu bersih dan kering .................................................................. 42

4.3 Karbon hasil karbonisasi ampas tebu ...................................................... 43

4.4 Karbon ampas tebu yang dihaluskan ....................................................... 44

4.5 Grafik kadar SiO2 terhadap variasi konsentrasi NaOH ................... 48

4.6 Spektrum FTIR karbon ampas tebu sebelum ekstraksi silika ................ 49

x
4.7 Kurva penentuan panjang gelombang maksimum ................... 51

4.8 Kurva kalibrasi deret standar metilen biru ............................................... 53

4.9 Grafik pengaruh konsentrasi NaOH terhadap luas permukaan ............ 54

4.10 Karbon aktif hasil aktivasi kimia dan fisika ............................................ 57

4.11 Grafik pengaruh waktu kontak terhadap luas permukaan ......... 60

4.12 Grafik pengaruh suhu kontak terhadap luas permukaan .. 61

4.13 Spektrum karbon aktif ampas tebu tanpa iradiasi gelombang

ultrasonik dan dengan iradiasi gelombang ultrasonik 63

4.14 Pola difraksi karbon aktif ampas tebu tanpa iradiasi gelombang

ultrasonik 67

4.15 Pola difraksi karbon aktif ampas tebu dengan iradiasi gelombang

ultrasonik 69

4.16 Morfologi karbon aktif ampas tebu tanpa iradiasi gelombang

ultrasonik 71

4.17 Morfologi karbon aktif ampas tebu dengan iradiasi gelombang

ultrasonik 72

4.18 Grafik EDS karbon aktif ampas tebu tanpa iradiasi gelombang

ultrasonik 73

4.19 Grafik EDS karbon aktif ampas tebu dengan iradiasi gelombang

ultrasonik .. .. 74

4.20 Kapasitor elektrokimia ..... 75

xi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

Lampiran 1. Diagram Alir Penelitian .............................................................. 84

Lampiran 2. Bagan Kerja Penelitian .............................................................. 85

Lampiran 3. Perhitungan Luas Permukaan Karbon Ampas Tebu .................. 89

Lampiran 4. Perhitungan Ukuran Partikel Karbon Ampas Tebu ................... 93

Lampiran 5. Data Hasil Karakterisasi FTIR .................................................. 95

Lampiran 6. Data Hasil Karakterisasi XRF ................................................... 97

Lampiran 7. Data Hasil Karakterisasi XRD ................................................... 99

Lampiran 8. Data Hasil Karakterisasi SEM ................................................... 102

Lampiran 9. Dokumentasi Kegiatan Penelitian ............................................. 104

xii
DAFTAR SIMBOL DAN SINGKATAN

FTIR = Fourier Transform Infra Red

FWHM = Full Width at Half Maximum

m = Mikrometer

nm = Nanometer

pH = Derajat Keasaman

ppm = Part per Million

PVA = Poli Vinil Alkohol

SEM-EDS = Scanning Electron Microscope-Energy Dispersive


Spectroscopy

UV VIS = Ultraviolet Visible

WD = Working Distance

XRD = X-ray Diffraction

XRF = X-ray Flourecence

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Aktivitas manusia di era modern semakin didukung dengan berbagai

kemudahan oleh perkembangan teknologi yang begitu pesat, seperti bidang

transportasi. Akibatnya dunia saat ini sangat bergantung pada energi yang

bersumber dari bahan bakar minyak (BBM). Ketergantungan ini menyebabkan

kurangnya produksi sumber energi lainnya. Energi elektrokimia menjadi salah

satu sumber energi alternatif yang perlu dipertimbangkan dalam menangani krisis

energi dunia (Dell dan Rand, 2001). Sistem penyimpanan energi elektrokimia

adalah baterai, sel bahan bakar, dan kapasitor elektrokimia (Winter dan Brodd,

2004). Kapasitor elektrokimia merupakan sistem penyimpanan energi yang

berbahan karbon nanopori (Frackowiak dan Beguin, 2001).

Karbon nanopori atau karbon aktif telah luas digunakan sebagai material

penyimpanan energi disebabkan luas permukaannya yang besar, stabil, mudah

terpolarisasi, dan murah. Karbon berpori secara fisik terdiri dari bahan padat yang

birisi karbon (matriks) dan rongga kosong (pori) (Yang dkk,. 2008). Peningkatan

jumlah dan ukuran pori dilakukan melalui proses aktivasi fisika maupun kimia

untuk menjadi sebuah karbon aktif (Sembiring dan Meilita, 2003).

Karbon aktif merupakan material berpori dengan kandungan karbon

87-97% dan sisanya berupa material lain. Umumnya karbon aktif memiliki luas

permukaan 300-3000 m2/g (Prabowo, 2009). Karbon aktif ini dapat dihasilkan

dari dekomposisi senyawa organik seperti sekam padi, kulit durian, tongkol

jagung, batang jagung, serabut kelapa, tempurung kelapa, cangkang kelapa sawit,

1
ampas tebu dan lain-lain melalui pemanasan pada temperatur yang sesuai

(Balitbang, 2006).

Ampas tebu dapat digunakan sebagai material awal untuk pembuatan

karbon nanopori dalam aplikasi kapasitor elektrokimia. Ampas tebu diproduksi

dari industri penggilingan lebih dari 100 juta ton per tahun. Selain itu, ampas tebu

merupakan biomassa yang murah dan mudah didapatkan (Wei, X., dkk., 2011).

Berdasarkan siaran pers No:S. 563/II/PIK-1/2005 yang dikeluarkan oleh

Departemen Kehutanan Indonesia pada tahun 2007, menyatakan bahwa potensi

ampas tebu di Indonesia cukup besar. Hal ini dikarenakan luas tanaman tebu di

Indonesia adalah 395.399,44 ha, yang tersebar di pulau Sumatera seluas 99.383,42

ha, pulau Jawa seluas 265.671,82 ha, pulau Kalimantan seluas 13.970 ha, dan

pulau Sulawesi seluas 16.373,4 ha. Diperkirakan setiap hektar tanaman tebu

mampu menghasilkan 100 ton ampas tebu.

Elaine, Y., dkk. (2010) telah melakukan penelitian dalam penyimpanan

litium dari bahan dasar karbon ampas tebu, dan menghasilkan kapasitansi spesifik

sebesar 310 mAh/g. Kalderis, dkk. (2008) telah melakukan penelitian pembuatan

karbon aktif dari ampas tebu dengan aktivator ZnCl 2 dan menghasilkan luas

permukaan sebesar yaitu 864 m2/g.

Selain itu, Shofa (2012) telah melakukan penelitian dalam pembuatan

karbon aktif berbahan baku ampas tebu dengan aktivasi senyawa KOH. Penelitian

tersebut menghasilkan luas permukaan yang tinggi sebesar 1135 m2/g. Penelitian

pembuatan karbon aktif dengan aktivator NaOH telah dilakukan oleh Rosi, M.,

dkk, (2013), dimana bahan baku yang digunakan berasal dari tempurung kelapa

2
dan menghasilkan luas permukaan maksimal sebesar 400 m 2/g dan kapasitansi

sebesar 26 F/g.

Dari hasil penelitian terdahulu tersebut, maka pada penelitian ini akan

dilakukan pembuatan karbon aktif dari bahan baku yang mengandung

lignoselulosa berupa ampas tebu dengan penambahan aktivator NaOH. Aktivator

ini jarang digunakan, dan belum ada studi yang mempelajari mekanisme

pembentukan dari suatu karbon berpori. Pembuatan karbon aktif dengan bahan

baku ampas tebu dengan menggunakan aktivator NaOH diharapkan dapat

menghasilkan luas permukaan karbon aktif lebih dari 400 m 2/g dan nilai

kapasitansi spesifik lebih dari 26 F/g.

Salah satu cara dalam meningkatkan nilai kapasitansi spesifik adalah

dengan memanfaatkan efek gelombang ultrasonik. Efek gelombang ultrasonik

berasal dari proses kavitasi akustik, yaitu pembentukan gelembung, pertumbuhan

gelembung, dan pemecahan gelembung. Selama kondisi pemecahan gelelmbung,

umumnya menggunakan temperatur panas. Titik panas yang terjadi pada

temperature 5000 K dengan tekanan 1800 atm (Suslick, dkk., 1996). Gelombang

ulrasonik ini menyebabkan efek mekanik pada reaksi, seperti memperbesar luas

permukaan melalui pembentukan celah mikro pada permukaan, mempercepat

pelarut atau meningkatkan laju transfer massa (Suslick dkk., 1999).

Selama proses produksi gula suatu pabrik, menghasilkan 5% yang

dimanfaatkan sebagai gula, 90% dibuang sebagai ampas tebu dan sisanya berupa

tetes tebu dan air (Witono, 2003). Ampas tebu mengandung air 48 52%, gula

rata-rata 3,3% dan serat rata-rata 47,7%. Pemanfaatan tersebut masih sangat

terbatas. Komposisi serat yang terkandung pada ampas tebu terdiri dari selusosa

3
37,65%, pentosa 27,97%, lignin 22,09%, abu 3,82%, silika 3,01%, dan sari 1,81%

(Husin, 2007). Hasil analisa Tim Afiliansi dan Konsultasi Industri ITS Surabaya

juga menyebutkan bahwa kandungan senyawa dalam ampas tebu yaitu SiO2

70,97%, C5H10O5 22,27% dan sisanya berupa logam-logam.

Komponen utama dalam ampas tebu adalah karbon dan silika. Silika

amorf yang berada dalam ampas tebu dapat diekstraksi dengan HF, yang akan

memberikan struktur awal untuk aktivasi kimia lebih lanjut (Wei, X., dkk., 2011).

Agustin Retnosari (2013) juga telah melakukan penelitian mengenai ekstraksi dan

penentuan kadar silika dari abu terbang batubara dengan menggunakan pelarut

NaOH. Maka dari itu perlu suatu metode ekstraksi silika yang merupakan

modifikasi dari metode yang telah digunakan oleh penelitian sebelumnya. Guna

menghasilkan karbon aktif bebas silika dan berbasis penyimpan energi

elektrokimia yang bisa dikembangkan untuk menyelesaikan masalah

keterbatasann energi terbarukan.

Pada penelitian ini, karbon aktif telah dibuat dari bahan ampas tebu

melalui karbonisasi, selanjutnya mengekstraksi silika yang terkandung dalam

ampas tebu, kemudian diaktivasi dengan NaOH, lalu dibandingkan dengan dan

tanpa adanya pengaruh gelombang ultrasonik. Metode SEM-EDS (Scanning

Electron Microscope-Energy Dispersive Spectroscopy), XRD (X-ray Diffraction),

XRF (X-ray Flourecence), FTIR (Fourier Transform Infrared), LCR-745meter

dan metode metilen biru digunakan untuk pengujian karakteristik ampas tebu

setelah aktivasi.

4
1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana gugus fungsi permukaan karbon ampas tebu setelah ekstraksi

silika ?

2. Bagaiamana pengaruh iradiasi ultrasonik terhadap perubahan gugus fungsi

permukaan karbon nanopori ampas tebu dengan aktivator NaOH ?

3. Bagaimana pengaruh iradiasi ultrasonik terhadap karakteristik permukaan,

analisis fasa kristal, dan kandungan karbon nanopori ampas tebu dengan

aktivator NaOH ?

4. Bagaimana pengaruh iradiasi ultrasonik terhadap luas permukaan karbon

nanopori ampas tebu dengan aktivator NaOH ?

5. Bagaimana pengaruh iradiasi ultrasonik terhadap kapasitansi penyimpanan

karbon nanopori ampas tebu dengan aktivator NaOH ?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menentukan gugus fungsi permukaan karbon ampas tebu setelah ekstraksi

silika melalui Fourier Transform Infrared (FTIR)

2. Menentukan perubahan gugus fungsi permukaan karbon nanopori ampas

tebu dengan aktivator NaOH dengan dan tanpa iradiasi ultrasonik melalui

Fourier Transform Infrared (FTIR)

3. Menentukan karakteristik permukaan, analisis fasa kristal dan kandungan

karbon nanopori ampas tebu dengan aktivator NaOH dengan dan tanpa

iradiasi ultrasonik melalui analisi X-ray Flourecence (XRF), X-ray

5
Difraction (XRD), dan Scanning Electron Microscope Energi Dispersive

Spectroscopy (SEM-EDS)

4. Menentukan luas permukaan karbon nanopori ampas tebu dengan

aktivator NaOH dengan dan tanpa iradiasi ultrasonik melalui metode

metilen biru

5. Menentukan kapasitansi penyimpanan karbon nanopori ampas tebu

dengan aktivator NaOH dengan dan tanpa iradiasi ultrasonik melalui

analisis LCR-745meter

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat adalah:

1. Sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap

pembuatan material karbon dari karbon aktif ampas tebu yang berkualitas

baik.

2. Memberikan data karakteristik material pada karbon aktif ampas tebu yang

diiradiasi dengan gelombang ultrasonik.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyimpanan Energi

Penyimpanan energi adalah suatu metode untuk menyimpan beberapa

bentuk energi. Alat yang digunakan untuk menyimpan energi kadang-kadang

disebut dengan akumulator. Bentuk-bentuk energi yang termasuk di dalamnya

seperti energi potensial (air, udara), energi kimia (hidrogen, metanol, reaksi

kimia), energi kinetik (turbin), energi termal (uap air). Energi tersebut adalah

bentuk-bentuk energi yang bisa diakumulasi. Jika energi tersebut disimpan atas

dasar prinsip elektrokimia maka disebut sistem penyimpanan energi secara

elektrokimia (electrochemical energi storage) (Zakir, 2013).

Sistem penyimpanan energi secara elektrokimia terdiri atas 3 macam yaitu

baterai, sel bahan bakar (fuel cell), dan kapasitor elektrokimia (Winter dan Brodd,

2004).Ketiga sistem penyimpanan ini memiliki mekanisme penyimpanan dan

konversi energi yang berbeda. Namun, terdapat kemiripan dari ketiga sistem

penyimpanan energi tersebut (Gambar 2.1). Didalam baterai dan sel bahan bakar,

energi listrik dibangkitkan melalui konversi energi pada reaksi redoks seperti

anoda dan katoda, atau elektroda negatif dan positif.

a) Baterai (b) Sel bahan bakar (fuel cell)

7
(c) Kapasitor elektrokimia

Gambar 2.1. Kapasitor Elektrokimia (a) Representasi baterai (sel Daniell: Zn/Zn2+
Cu2+/Cu), (b) Sel bahan bakar dengan suplai reaktan yang kontinyu
(hidrogen pada anoda dan oksigen pada katoda) dan reaksi redoks di
dalam sel, (c) Kapasitor elektrokimia yang menggambarkan
penyimpanan energi dalam EDL (Electric Double Layer) pada antar
muka elektroda-elektrolit (Winter dan Brodd, 2004).

2.1.1 Kapasitor Elektrokimia

Kapasitor elektrokimia terkadang disebut sebagai superkapasitor,

ultrakapasitor atau kapasitor bastar. Istilah superkapasitor biasanya dugunakan

untuk mendeskripsikan sebuah sistem penyimpanan energi yang didasarkan pada

penyimpanan muatan di lapisan ganda listrik atau dalam EDL (Electric Double

Layer) pada area permukaan karbon (Winter dan Brodd, 2004).

Dalam kapasitor elektrokimia, energi tidak dibangkitkan melalui reaksi

redoks. Oleh karena itu, penggunaan istilah anoda dan katoda tidak terlalu cocok.

Lapisan ganda listrik (EDL: electrical double layer) akan terbentuk dan terlepas

sesuai orientasi ion-ion elektrolit dalam larutan elektrolit atau antar muka

elektrolit. Pembentukan dan pelepasan EDL akan menyebabkan pergerakan

elektron yang parallel dalam kabel eksternal, yaitu pada proses pembangkitan

energi (Winter dan Brodd, 2004).

8
Jika suatu elektroda (konduktor elektron) dibenamkan kedalam larutan

elektrolit (konduktor ion) akan terjadi pengorganisasian muatan secara spontan

pada permukaan elektroda dan larutan elektrolit yang berhadapan dengan

elektroda. Pengorganisasian ini akan menghasilkan EDL yang terbentuk pada

antar muka elektroda-elektrolit dimana satu lapisan berada pada elektroda dan

lapisan lain pada elektrolit seperti pada Gambar 2.2 (b).

(a) (b)

Gambar 2.2. (a) Skema umum kapasitor elektrokimia, dan (b) skema EDL
(Electric Double Layer). IHP: Inner Helmholtz Plane, OHP: Outer
Helmholtz Plane (Winter dan Brodd, 2004).

Muatan listrik dalam kapasitor elektrokimia diakumulasi dalam EDL oleh

karena pengaruh gaya elektrostatik tanpa mengalami transformasi fase dalam

bahan elektroda. Energi listrik yang disimpan berdasarkan pemisahan spesis

bermuatan dalam EDL sepanjang antarmuka elektroda-elektrolit. Densitas muatan

maksimum akan diakumulasi pada jarak OHP yaitu pada pusat ion tersolvasi.

OHP menunjukkan jarak terdekat pada penyerapan ion non-spesifik (kation)

sedangkan IHP menunjukkan jarak terdekat penyerapan ion spesifik (anion) dan

cairan molekul ke permukaan elektroda (Gambar 2.2 (b) (Winter dan Brodd,

2004).

9
Kapasitor elektrokimia mengandung satu elektroda positif yang

kekurangan elektron dan elektroda negatif yang kelebihan elektron (Gambar 2a),

kedua elektroda dibuat dari bahan yang sama. Jumlah energi listrik yang

diakumulasi dalam sebuah kapasitor elektrokimia berbanding lurus dengan

kapasitansi C dan tegangan listrik U sesuai persamaan berikut (Winter dan Brodd,

2004) :

W = CU2

Karakteristik EDL tergantung pada struktur permukaan elektroda,

komposisi elektrolit, dan medan potensial antara muatan pada antarmuka (Winter

dan Brodd, 2004).

2.2 Tanaman Tebu

Tebu (Saccharum officinarum) adalah tanaman perkebunan dan tumbuh di

daerah tropis. Hal ini menjadikan pertumbuhan dan perkembangan tebu di

Indonesia tergolong baik karena curah hujan dan intensitas matahari yang cukup

tinggi (Murti, 2008).

Secara morfologi, tanaman tebu dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu

batang, daun, akar, dan bunga. Batang tebu memiliki sosok tinggi kurus, tidak

bercabang, dan tegak. Tinggi batang umumnya 5 meter atau lebih. Kulit batang

tebu memiliki variasi warna, hijau, kuning, ungu, merah, atau kombinai warna

tersebut. Bentuk tanaman tebu berwujud helaian dengan pelepah. Panjang daun

dapat mencapai 1 - 2 meter dan lebar mencapai 4 - 8 sentimeter dengan

permukaan kasar dan berbulu. Bunga tebu berupa bunga majemuk yang terurai,

sedangkan akarnya berbentuk serabut (Anonim, 2007).

10
Gambar 2.3. (a) Batang tebu, (b) Tanaman tebu

Indonesia merupakan negara agraris yang hasil pertaniannya cukup

melimpah, salah satu hasil dari bumi Indonesia adalah tanaman tebu. Berdasarkan

siaran pers No: S. 563/II/PIK-1/2005 yang dikeluarkan oleh Departemen

Kehutanan, menyatakan bahwa potensi ampas tebu di Indonesia cukup besar. Hal

ini dikarenakan luas tanaman tebu di Indonesia adalah 395.399,44 ha, yang

tersebar di pulau Sumatera seluas 99.383,42 ha, pulau Jawa seluas 265.671,82 ha,

pulau Kalimantan seluas 13.970 ha, dan pulau Sulawesi seluas 16.373,4 ha.

Diperkirakan setiap hektar tanaman tebu mampu menghasilkan 100 ton ampas

tebu.

Tabel 2.1. Produksi dan produktivitas tebu dan gula

Tahun Luas Panen Produksi Produktivitas Rendamen


Tebu (ha) Gula (ton) (ton/ha) Gula (%)
2001 393,9 1824,6 4,63 7,02
2002 375,2 1901,3 5,07 6,88
2003 340,3 1991,6 5,85 7,21
2004 344,8 2051,6 5,95 7,12
2005 381,8 2241,7 5,87 7,12
2006 384,0 2288,8 5,90 7,12
2007 395,0 2400,0 6,08 7,20

11
Tebu digunakan sebagai bahan baku produksi gula. Proses produksi gula

akan menghasilkan limbah atau residu. Limbah merupakan hasil dari suatu proses

yang belum termanfaatkan (Murti, 2008). Dalam proses produksi gula dari setiap

tebu yang diproses, dihasilkan ampas tebu sebesar 90%, gula yang dimanfaatkan

5%, dan sisanya berupa tetes tebu (molases) dan air (Witono, 2003)

2.2.1 Ampas Tebu

Ampas tebu atau biasa disebut bagas adalah hasil samping dari proses

ekstraksi (pemerahan) cairan tebu. Berdasarkan data dari Pusat Penelitian

Perkebunan Gula Indonesia ampas tebu dihasilkan rata sebanyak 32% dari berat

tebu giling (Husin, 2007).

Tabel 2.2. Produksi gula dan lilmbah perkebunan tebu di Indonesia menurut BPS
tahun 2006

Tahun
Uraian
2001 2002 2003 2004 2005
Tebu 18.8003,2 19.593,6 18.746,5 30.968,4 30.114,9
Pucuk Tebu 2.838,0 2.957,2 2.829,4 3.164,7 3.075,9
Batang 15.965,3 16.636,4 15.917,1 17.803,6 17.304,0
Pith 12.544,1 13.071,4 12.506,3 13.988,6 14.182,7
Kulit 3.421,1 3.564,9 3.410,8 3.815,1 3.708,0
Bagas (ampas Tebu) 4.105,4 4.277,9 4.093,0 4.578,1 4.449,6
Gula 1.824,6 1.901,3 1.991,6 2.216,6 2.154,4
Tetes 709,5 739,3 707,4 791,2 709,02

Pada umumnya, pabrik gula di Indonesia memanfaatkan ampas tebu

sebagai bahan bakar pabrik bersangkutan, setelah ampas tebu tersebut kering.

Disamping untuk bahan bakar, ampas tebu juga banyak digunakan sebagai bahan

baku pada industri kertas, particleboard, fibreboard, dan lain-lain (Husin, 2007).

12
Gambar 2.4. Ampas tebu

Ampas tebu memiliki sifat fisik berwarna kekuning-kuningan, berserat

(berserabut), dan lunak. Panjang serat ampas tebu antara 1,7 2 mm dengan

diameter sekitar 20 mikro (Husin, 2007). Ampas tebu yang dihasilkan dari

tanaman tebu tersusun atas kadar air 44,5%, serat 52%, gula 3,5% (Witono, 2003).

Ampas Tebu dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan karbon aktif.

Hal ini disebabkan pada ampas tebu mengandung material yang mengandung

sebagian besar lignoselulosa. Lignoselulosa terdiri dari lignin, selulosa, dan

hemiselulosa. Material yang mengandung lignin memiliki kandungan karbon

sekitar 35 40% dan kandungan abu yang sedikit (Monocha 2003). Zat yang

terkandung dalam ampas tebu yang jumlahnya besar yaitu selulosa sekitar 37%,

lignin 21%, dan hemiselulosa 28% (Bon, 2009). Menurut Husin (2007) kadar

kandungan ampas dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.3. Kandungan ampas tebu (Husin, 2007)

Kandungan Kadar (%)

Abu 3,82
Lignin 22,09
Selulosa 37,65
Sari 1,81
Pentosan 27,97
SiO2 3,01

13
Hasil analisa Tim Afiliansi dan Konsultasi Industri ITS Surabaya (1999)

menyebutkan bahwa kandungan senyawa dalam ampas tebu terdiri dari SiO2

70,97%, C5H10O5 22,27% dan sisanya berupa logam-logam dapat dilihat pada

Tabel 2.4 berikut.

Tabel 2.4. Senyawa kimia dalam ampas tebu

Senyawa Jumlah (%)

SiO2 70,97
Al2O3 0,33
Fe2O3 0,36
K2O 4,82
Na2O 0,43
MgO 0,82
C5H10O5 22,27

Ampas tebu juga dapat mengandung jejak logam seperti Na, K, Mg, Ca,

dan Si. Komposisi senyawa tersebut tergantung dari berbagai tebu dan tanah.

Elaine, Y. M., dkk (2010) melakukan penelitian dan mendapatkan komposisi

kandungan unsur hidrogen (H) 6,9%, karbon (C) 48,9%, dan oksigen (O) 44,2%

sebelum pirolisis. Dan setelah pirolisis pada suhu 900 oC setelah karbonisasi

didapatkan kandungan unsur C 80,2%, O 19,1%, H 0,36%, dan N 19,1%.

Tabel 2.5. Karakteristik ampas tebu (Kalderis, dkk., 2008)

Parameter Presentase (%)

Kadar air (moisture) 6,1


Kadar abu (ash content) 3,3
Kadar material volatil (vollatile matter) 65,9
Kadar karbon (fixed carbon) 24,7

14
Tabel diatas menunjukkan bahwa fixed carbon atau kadar karbon yang

dimaksud ialah kadar arang yang tidak hanya mengandung karbon, masih terdapat

hidrogen, oksigen, nitrogen, dan sulfur yang tidak terbawa gas. Kadar karbon

ampas tebu sebesar 47% yang terdiri dari oksigen 44%, hidrogen 6,5% nitorgen

0,9%, dan sulfur 0,1% (Winaya, 2010). Kandungan karbon cukup potensial

didalam ampas tebu, sehingga dapat diproses dalam pembuatan bahan baku

karbon aktif.

2.3 Karbon Aktif

Karbon aktif merupakan karbon amorph yang dapat dihasilkan dari

bahan-bahan yang mengandung karbon atau dari arang yang diperlakukan dengan

cara khusus untuk mendapatkan permukaan yang lebih luas. (Sembiring,

2003).

Gambar 2.5. Karbon aktif

Karbon aktif adalah suatu bahan yang berupa karbon amorf yang sebagian

besar terdiri dari karbon bebas serta mempunyai kemampuan daya jerap (adsorbsi)

yang baik (Prabowo, 2009). Karbon aktif juga merupakan material berpori dengan

kandungan karbon 87 97% dan sisanya berupa hidrogen, oksigen, sulfur, dan

material lain. Luas permukaan arang aktif berkisar antara 300 - 3500 m2/g dan ini

15
berhubungan dengan struktur pori internal yang menyebabkan arang aktif

mempunyai sifat sebagai adsorben. Daya serap arang aktif yaitu 25 - 100%

terhadap berat arang aktif (Sembiring, 2003)

Karbon aktif juga merupakan karbon yang telah diaktivasi sehingga terjadi

pengembangan struktur pori yang bergantung pada metode aktivasi yang

digunakan. Struktur pori menyebabkan ukuran molekul teradsorbsi terbatas,

sedangkan bila ukuran partikel tidak masalah, kuantitas bahan yang diserap

dibatasi oleh luas permukaan karbon aktif (Austin, 1996). Menurut Standar

Nasional Indonesia (SNI) No. 06-3730-1995 persyaratan karbon aktif adalah

sebagai berikut :

Tabel 2.6. Syarat mutu arang aktif teknis (SNI) No. 06-3730-1995

Persyaratan
No. Uraian Satuan
Butiran Serbuk
1 Bagian yang hilang pada % Maks. 15 Maks. 25
pemanasan 950 oC
2 Air % Maks. 4,4 Maks. 15
3 Abu % Maks. 2,5 Maks. 10
4 Bagian yang tidak - Tidak nyata Tidak nyata
terarang
5 Daya serap I2 mg/g Min. 750 Min. 750
6 Karbon aktif murni % Min. 80 Min. 65
7 Daya serap benzena % Min. 25 -
8 Daya serap biru metilena ml/g Min. 60 Min. 120
9 Kerapatan jenis curah g/ml 0,45-0,55 0,30-0,35
10 Lolos Ukuran mesh 325 % - Min. 90
11 Jarak mesh % 90 -
12 Kekerasan % 80 -

Karbon aktif memiliki banyak fungsi. Misalnya pada proses pengelolahan

air, karbon aktif berfungsi untuk menghilangkan polutan seperti seng, timbal,

kuprum, krom, besi, dan uap amonia (Murti, dkk., 2008, Junior, dkk., 2009,

16
Prabowo, 2009, Lienden, dkk., 2010). Karbon aktif juga digunakan sebagai bahan

pemucat (penghilang zat warna), penyerap gas, penyerap logam, dan sebagainya.

Dari bahan tersebut yang paling sering dipergunakan sebagai bahan adsorben

adalah activated carbon (Rahayu, 2004).

2.3.1 Jenis-jenis Karbon Aktif

Berdasarkan penggunaanya karbon aktif dibagi menjadi 2 jenis, yaitu

(Sembiring, 2003) :

1. Karbon Aktif untuk fasa cair. Karbon ini berbentuk serbuk dan dibuat dari

bahan yang memiliki berat jenis rendah, seperti kayu, batu bara, dan bahan-

bahan yang mengandung lignin seperti limbah pertanian. Karbon aktif ini

banyak digunakan untuk pemurnian larutan dan penghilangan rasa dan bau

pada zat cair. Misalnya untuk penghilangan polutan berbahaya seperti gas

amonia dan logam berbahaya pada proses pengelolahan air.

2. Karbon aktif untuk fasa uap. Karbon ini berbentuk butiran/granular dan dibuat

dari bahan yang memiliki berat jenis yang besar, seperti tempurung kelapa,

batubara, dan residu minyak bumi. Karbon aktif jenis ini digunakan dalam

adsorbsi gas dan uap. Misalnya, adsorbsi emisi gas hasil pembakaran bahan

bakar pada kendaraan seperti CO dan NOx

2.3.2 Struktur Fisik Karbon Aktif

Struktur dasar karbon aktif berupa kristalin yang sangat kecil

(mikrokristalin). Karbon aktif memiliki bentuk amorf yang tersusun atas lapisan

bidang datar dimana atom-atom karbon tersusun dan terikat secara kovalen dalam

tatanan atom-atom heksagonal. Gambar 2.7 menunjukkan skema struktur karbon

17
aktif. Setiap garis menunjukkan lapisan atom karbon yang berbentuk heksagonal

dan adanya mikrokristalin dengan struktur grafit pada karbon aktif (Sudibandriyo,

2003).

Gambar 2.6. Lapisan atom heksagonal (a) dan struktur mikrokristalin karbon aktif
(b) (Sudibandriyo, 2003 dan Pujiyanto, 2010)

Umumnya karbon aktif berbentuk granular (butiran) dan serbuk. Karbon

aktif berbentuk serbuk halus memiliki distribusi ukuran partikel 5 - 10 um.

Sedangkan karbon aktif berbentuk granuar memiliki ukuran 0,8 - 1,2 mm.

Pororitas karbon aktif berbentuk pada saat proses karbonisasi (Marsh, 2006).

Pada karbon aktif terdapat 3 ukuran pori, yaitu mikropori (< 2 nm),

mesopori (2 50 nm), dan makropori (> 50 nm) (Marsh, 2006). Selain itu, lebih

jauh ukuran supermikropori (0,7 2 nm) dan ultramikropori (0,7 nm) (Manocha,

2003). Gambar 2.7 menunjukkan skema struktur pori karbon aktif.

Gambar 2.7. Skema struktur pori karbon aktif (Manocha, 2003)

18
2.3.3 Struktur Kimia Karbon Aktif

Selain terdiri dari atom karbon, karbon aktif mengandung sejumlah

hidrogen dan oksigen yang terikat pada gugus fungsi seperti karboksil, fenol, dan

eter. Gugus fungsi tersebut berasal dari bahan baku karbon aktif. Selain itu gugus

fungsi pada karbon aktif terbentuk selama proses aktivasi oleh karena adanya

interaksi radikal bebas permukaan karbon dengan oksigen atau nitrogen yang

berasal dari atmosfer. Dengan adanya gugus fungsi tersebut, menjadikan

permukaan karbon relatif secara kimia dan dapat mempengaruhi sifat adsorbsinya

(Murti, 2008)

Gambar 2.8 Ilustrasi struktur kimia karbon aktif (Sudibandriyo, 2003).

2.3.4 Proses Pembuatan Karbon Aktif

Secara umum, pembuatan karbon aktif berlangsung tiga tahap yaitu proses

dehidrasi, proses karbonisasi dan proses aktivasi (Aisah, 2010) :

1. Dehidrasi

Dehidrasi dalah proses penghilangan kandungan air yang terdapat dalam

bahan baku karbon aktif dengan tujuan untuk menyempurnakan proses

karbonisasi dan dilakukan dengan cara menjemur bahan baku dibawah sinar

matahari atau memanaskannya dalam oven (Aisah, 2010).

19
2. Karbonisasi

Karbonisasi adalah proses pembakaran material organik pada bahan baku.

Karbonisasi akan menyebabkan terjadinya dekomposisi material organik bahan

baku dan pengeluaran pengotor. Sebagian besar unsur non-karbon akan hilang

pada tahap ini. Pelepasan unsur-unsur volatil akan membuat struktur pori mulai

terbentuk dan mulai terbuka. Seiring karbonisasi, struktur pori awal akan berubah

(Aisah, 2010).

Karbonisasi dihentingkan bila tidak mengeluarkan asap lagi. Penambahan

suhu dapat mempercepat reaksi pembentukan pori, namun pembatasan suhu pun
o
harus dilakukan. Suhu yang terlalu tinggi seperti diatas 1000 C akan

mengakibatkan banyaknya abu yang terbentuk, sehingga dapat menutup pori-pori

dan membuat luas permukaan berkurang serta daya adsorbsi menurun (Aisah,

2010).

Proses pengarangan atau karbonisasi terbagi menjadi empat tahap yaitu

(Aisah, 2010) :

1. Tahap penguapan air terjadi pada suhu 100 - 105 oC

2. Tahap penguraian hemiselulosa dan selulosa pada suhu 200 - 240 oC menjadi

larutan piroglinat

3. Tahap proses depolimerasi dan pemutusan ikatan C - O dan C - C pada suhu

240 - 400 oC. Selain itu lignin mulai terurai menghasilkan ter.

4. Tahap pembentukan lapisan aromatik terjadi pada suhu lebih dari 400 oC dan

lignin masih terus terurai sampai suhu 500 oC, sedangkan pada suhu lebih dari

600 oC terjadi proses pembesaran luas permukaan arang. Selanjutnya arang dapat

dimurnikan atau dijadikan arang aktif pada suhu 500 - 1000 oC.

20
Kalderis (2008) mengatakan pembakaran ampas tebu menjadi karbon

terjadi secara bertahap. Pada sampai 210 oC kandungan air hilang, kemudian dari

210 sampai 370 oC terjadi dekomposisi lignoselulosa yang terdiri dari lignin,

selulosa dan hemiselulosa, dan mulai pada 370 oC terjadi perengkahan atau

pemecahan ikatan C-C.

Proses karbonisasi mengeluarkan banyak asap sebagai indikasi bahwa

senyawa-senyawa volatil yang terkandung pada ampas tebu menguap. Proses

karbonisasi selesai ketika ampas tebu sudah sepenuhnya berubah menjadi warna

hitam dan hanya sedikit asap yang keluar. Hal ini menandakan bahwa arang sudah

terbentuk dan senyawa volatil sudah menguap (Shofa, 2012). Arang hasil ampas

tebu dapat dilihat pada Gambar 2.9.

Gambar 2.9 Arang hasil karbonisasi ampas tebu (Shofa, 2012)

Arang adalah suatu bahan padat berpori yang dihasilkan dari pembakaran

pada suhu tinggi dengan proses karbonisasi, yaitu proses pembakaran tidak

sempurna, sehingga bahan hanya terkarbonisasi dan tidak teroksidasi. Sebagian

besar pori-pori pada arang masih tertutup dengan hidrokarbon, ter, dan senyawa

organik lainnya (Kinoshita, K., 1988). Arang merupakan bahan yang memiliki

sifat fisika dan kimia tersendiri pada Tabel 2.7

21
Tabel 2.7 Sifat fisika dan kimia arang (Ensiklopedia Nasiona Indonesia, 1995).

Kerapatan 0,45 g/cm3


Kerapatan Total 1,38 1,46 g/cm
Pororitas 70 %
Permukaan Dalam 50 m
Kekuatan Pemampatan 26 N/mm2
Berat Bagian Terbesar 80 220 kg.m2
Kandungan Air 58%
Kandungan Karbon 80 90 %
Kandungan Abu 12%
Nilai Kalori 29 33 MJ/kg
Zat-zat Mudah Menguap 10 -18 %

Arang bermanfaat sebagai sumber energi terutama jika dikembangkan

menjadi briket dengan teknologi pengepresan (Haji, A. G., 2007). Matsuzawa,

dkk (2007) arang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi bahan bakar. Arang

juga dapat dimanfaatkan sebagai pembangun kesuburan tanah (Gusmailina, dan

Pari, G., 2006). Disamping itu, dapat ditingkatkan mutunya menjadi karbon aktif.

3. Aktivasi

Pada proses karbonisasi, daya adsorbsi karbon tergolong masih rendah

karena terdapat residu yang menutupi permukaan pori dan pembentukan pori-pori

belum sempurna. Maka dari itu, perlu dilakukan proses aktivasi untuk mengetahui

luas permukaan dan daya adsorbsi karbon aktif. Pada proses ini terjadi

pelesapasan hidrokarbon, tar , dan senyawa organik yang melekat pada karbon

tersebut. Terdapat 2 jenis proses aktivasi yaitu aktifasi fisika dan aktifasi kimia.

Aktivasi Fisika

Pada aktivasi secara fisika, karbon dipanaskan pada suhu sekitar 800oC

1000 oC dan dialiri gas pengoksidasi seperti uap air, oksigen, dan CO2. Gas

pengoksidasi akan bereaksi dengan karbon dan melepaskan karbon monoksida

22
dan hidrogen untuk gas pengoksidasi berupa uap air. Senyawa-senyawa produk

samping juga akan terlepas sehingga akan memperluas pori dan meningkatkan

daya adsorbsi. Gasifikasi karbon dengan uap air dan CO2 terjadi melalui reaksi

yang bersifat endotermis (Manocha, 2003) :

C + H2O CO + H2 (29 kkal) (2.1)

C + CO2 2CO (39 kkal) (2.2)

CO + H2O CO2 + H2 (10 kkal) (2.3)

Sedangkan aktivasi fisika dengan oksigen melalui reaksi bersifat eksotermis

berikut (Manocha, 2003)

C + O2 CO2 (92,4 kkal) (2.4)

2C + O2 2CO (53,96 kkal) (2.5)

Pada aktivasi ini terjadi pengurangan massa karbon dalam jumlah yang

besar karena adanya pembentukan struktur karbon. Namun pada aktivasi fisika

seringkali terjadi kelebihan oksidasi eksternal sewaktu gas pengoksidasi berdifusi

pada karbon sehingga terjadi pengurangan ukuran adsorben (Manocha, 2003).

Aktivasi Kimia

Aktivasi kimiawi biasanya digunakan untuk bahan baku yang mengandung

lignoselulosa. Pada aktivasi ini karbon dicampur dengan larutan kimia yang

berperan sebagai activating agent atau aktivator. Larutan kimia yang dipakai

biasanya garam dari logam alkali dan alkali tanah seperti zat asam seperti KOH,

NaOH, ZnCL2, H3PO4, dan H2SO4. Aktivator akan mengoksidasi karbon dan

merusak permukaan bagian dalam karbon sehingga akan terbentuk pori. Aktivator

ini akan mempengaruhi dekompisisi pirolisis, menghambat pembentukan tar, dan

mengurangi pembentukan asam asetat, metanol, dan lainnya (Manocha, 2003).

23
Salah satu jenis larutan kimia yang banyak dipakai sebagai aktivator dari

logam alkali tanah adalah KOH (Kalium Hidroksida). KOH akan bereaksi dengan

karbon sehingga akan membentuk pori-pori baru dan menghasilkan karbon

dioksida yang berdifusi kepermukaan karbon (Pujianto, 2010).

Gambar 2.10 Ilustrasi pembentukan pori karbon aktif dengan aktivasi


menggunakan KOH (Shofa, 2012).

Pori yang terbentuk akan menghasilkan karbon aktif. KOH juga mencegah

pembentukan tar, asam asetat, metanol, dan lainnya (Atmayudha, 2006). Reaksi

kimia yang terjadi adalah sebagai berikut (Sudibandriyo, 2003) :

4KOH + C 4K + CO2 + 2H2O (2.5)

6KOH + C 3H2 + 2K2CO3 (2.6)

4KOH + 2CO2 2K2CO3 + 2H2O (2.7)

Aktivasi kimiawi memiliki beberapa keunggulan daripada aktivasi fisika.

Pada aktivasi kimiawi suhu yang digunakan lebih rendah dari pada aktivasi fisika.

Selain itu, aktivasi kimiawi menghasilkan pembentukan struktur pori yang lebih

baik, luas permukaan yang lebih tinggi, dan yield karbon yang lebih besar (Shofa,

2012)

24
Tabel 2.8 Beberapa penelitian tentang karbon aktif

NO. NAMA JURNAL TOPIK HASIL


PENELITI PENELITIAN
1. Understanding Chemical Pencampuran Karbon aktif hasil
Reaction between Carbon and bahan baku terbaik dengan
NaOH and KOH (Lillo, 2003) dengan NaOH atmosfer N2
(NaOH/C=3:1) dengan 500
diaktivasi dengan ml/menit, surface
suhu 730 oC area 2193 m2/g.
dengan variasi gas Hasil terendah
N2 dan CO2 dengan CO2
surface area 36
m2/g
2. Adsorption of Polluting Pembuatan Karbon aktif aktif
Substance on Activated Carbons Karbon aktif dari dari ampas tebu
Prepared from Surcane Bagasse ampas tebu luas permukaan
(Kalderis, 2008) sebagai adsorben tertinggi 674 m2/g
polutan dengan dari rasio NaOH :
aktivasi NaOH ampas tebu
dan H3PO4 (0,75:1)
diaktivasi pada
suhu 700 oC
selama 30 menit
3. Lithium Storage into Penyimpanan Karbon yang
Carbonaceous Materials lithium menjadi dihasilkan
Obtained from Surcane Bagasse bahan karbon memberikan nilai
(Elaine, Y., 2010) yang diperoleh kapasitansi
dari ampas tebu spesifik sebesar
310 mAh/g
4. Pembuatan Karbon Aktif Pembuatan karbon Karbon aktif dari
Berbahan Baku Ampas Tebu aktif ampas tebu ampas tebu
dengan Aktivasi Kalium dengan aktivator menghasilkan luas
Hidroksida (Shofa, 2012) KOH diaktivasi permukaan yang
suhu 800 oC tertinggi sebesar
selama jam 1135 m2/g
5. Sintesis nanopori Karbon Pembuatan karbon Karbon aktif
dengan Variasi NaOH dan nanopori dari diperoleh luas
aplikasinya sebagai tempurung kelapa permukaan
superkapasitor (Rosi, M., dkk., diaktivasi dengan maksimal sebesar
2013) NaOH dengan 400 m2/g dan
variasi kapasitansi
perbandingan maksimal
massa tanpa sebesar26 F/g
bantuan gas dan pada sampel
diaktivasi 800 oC dengan
selama 2 jam perbandingan
C:NaOH = 1:3.

25
2.4 Silika

Silika merupakan salah satu zat hara yang dibutuhkan oleh tanaman.

Unsur Si (silikon) dapat mendukung pertumbuhan tanaman yang sehat dan

menghindari dari penyakit, radiasi matahari, serta keracunan unsur hara. Silika

merupakan unsur terbesar kedua di kerak bumi setelah oksigen, dan sebagian

besar terdapat pada tanaman (Husnain, 2010).

Silika merupakan material yang tersedia di alam dan secara kuantitatif

memiliki jumlah yang melimpah. Silika berada di dalam tanah berbentuk silika

larut air (H4SiO4). Tanaman menyerap silika, dipolimerisasi dan dipresipitasi

menjadi bentuk silika amorf. Beberapa karbohidrat dan protein tanaman diketahui

memiliki peran dalam polimerisasi biosilika menjadi bentuk silika amorf

(Husnain, 2010).

Silikon dioksida atau silika adalah salah satu senyawaan kimia yang paling

umum. Silika murni terdapat dalam dua bentuk yaitu kuarsa dan kristobalit.

Silikon selalu terikat secara tetrahedral kepada empat atom oksigen, namun

ikatan-ikatannya mempunyai sifat yang cukup ionik. Dalam kristobalit, atom-

atom silikon ditempatkan seperti halnya atom-atom karbon dalam intan dengan

atom-atom oksigen berada di tengah dari setiap pasangan. Dalam kuarsa terdapat

heliks sehingga terbentuk kristal enansiomorf. Kuarsa dan kristobalit dapat saling

dipertukarkan apabila dipanaskan. Proses ini lambat karena dibutuhkan

pemutusan dan pembentukan kembali ikatan ikatan dan energi pengaktifannya

tinggi. Silika relatif tidak reaktif terhadap Cl, asam-asam dan sebagian besar

logam pada suhu 25 oC atau pada suhu yang lebih tinggi, tetapi dapat diserang

oleh F2, HF aqua, hidroksida alkali dan leburan karbonat (Cotton, 1989).

26
Bentuk-bentuk silika merupakan struktur kristal yang penting . Hal ini

bukan hanya karena silika merupakan zat yang melimpah dan berguna, tetapi

karena strukturnya (SiO4) adalah unit yang mendasar dalam kebanyakan mineral.

Kristal silika memiliki dua ciri utama yaitu (Keenan,1992) :

1. Setiap atom silikon berada pada pusat suatu tetrahedron yang terdiri dari empat

atom oksigen.

2. Setiap atom oksigen berada ditengah-ditengah antara dua atom silikon.

2.4.1 Sifat Fisika dan Sifat Kimia Silika

Silika yang memiliki nama IUPAC silikon dioksida memiliki rumus

molekul SiO2. Nama lain dari silika yaitu kuarsa, silika, silika oksida, dan silikon

(IV) oksida. Dengan penampilan kristal yang transparan memberikan jumlah

massa molar 60,08 g mol, titik lebur 1600-1725 C, titik didih 2230 C, dan

kerapatan 2,648 g cm3 (Masramdhani, 2011).

Adapaun sifat kimia silika sebagai berikut (R. Bakri, dkk., 2008) :

a. Reaksi Asam

Silika relatif tidak reaktif terhadap asam kecuali terhadap asam

hidroflourida da asam phospat.

SiO2(s) + 4HF(aq) SiF4(g) + 2H2O(l) (Svehla, G., 1985)

Dalam asam berlebih reaksinya adalah

SiO2 + 6HF H2[SiF6(aq)] + 2H2O(l) (Svehla, G., 1985)

b. Reaksi Basa

Silika dapat bereaksi dengan basa, terutama dengan basa kuat seperti

dengan hidroksida alkali

SiO2(s) + 2NaOH(aq) Na2SiO3+ H2O (Svehla, G., 1985)

27
2.4.2 Ekstraksi Silika

Ekstraksi merupakan proses pemisahan campuran dengan menggunakan

bantuan pelarut (Svehla, G., 1985). Pelarut yang digunakan harus dapat

mengekstrak substansi yang diinginkan tanpa melarutkan material lainnya.

Metode ekstraksi didasarkan atas distribusi senyawa di antara dua fase pada dua

lapisan cair yang berkesetimbangan. Kesetimbangan distribusi ini (atau partisi)

tergantung pada kelarutan senyawa dalam tiap-tiap pelarut (Firdaus, 2011).

Secara garis besar, proses pemisahan secara ekstraksi terdiri dari tiga

langkah dasar yaitu (Wilson, dkk., 2000) :

1. Penambahan sejumlah massa pelarut untuk dikontakkan dengan sampel,

biasanya melalui proses difusi.

2. Zat terlarut akan terpisah dari sampel dan larut oleh pelarut membentuk fase

ekstrak.

3. Pemisahan fase ekstrak dengan sampel

Pemisahan zat-zat terlarut antara dua cairan yang tidak saling mencampur

antara lain menggunakan alat corong pisah. Ada suatu jenis pemisahan lainnya

dimana pada satu fase dapat berulang-ulang dikontakkan dengan fase yang lain,

misalnya ekstraksi berulang-ulang suatu larutan dalam pelarut air dan pelarut

organik, dalam hal ini digunakan suatu alat yaitu ekstraktor sokhlet. Metode

sokhlet merupakan metode ekstraksi dari padatan dengan pelarut cair secara

kontinue. Alat yang digunakan dinamakan sokhlet (ekstraktor sokhlet), yang

digunakan untuk ekstraksi kontinue dari sejumlah kecil bahan (Indra Wibawa,

2012).

28
Istilah-istilah berikut ini umumnya digunakan dalam teknik ekstraksi

(Wibawa, I., 2012) :

1. Bahan ekstraksi : Campuran bahan yang akan diekstraksi

2. Ekstraktan (cairan penarik) : Pelarut yang digunakan untuk mengekstraksi

3. Pelarut (media ekstraksi) : Cairan yang untuk melangsungkan ekstraksi

4. Ekstrak : Bahan yang dipisahkan dari bahan ekstraksi

5. Larutan ekstrak : Pelarut setelah proses pengambilan ekstrak

6. Rafinat (residu ekstraksi) : Bahan ekstraksi setelah diambil ekstraknya

7. Ekstraktor : Alat ekstraksi

Agustin Retnosari (2013) telah melakukan penelitian mengenai ekstraksi

dan penentuan kadar silika dari abu terbang batubara dengan menggunakan

pelarut NaOH. Hasil dari penelitian tersebut menyimpulkan bahwa semakin tinggi

konsentrasi NaOH dan semakin lama waktu ekstraksi maka endapan silika yang

dikeluarkan akan semakin banyak. Pelarut NaOH dipilih dengan alasan bahwa

silika dapat bereaksi dengan basa, terutama dengan basa kuat, seperti hidroksida

alkali. Secara komersial, silika dibuat dengan mencampur larutan natrium silikat

dengan suatu asam mineral (Svehla, G., 1985).

2.5 Sonokimia

Sonokimia berawal dari proses kavitasi akustik yang bisa digambarkan

seperti pada Gambar 2.15 di bawah (Suslick, 1990). Jika suatu larutan

diperlakukan dengan gelombang ultrasonik, maka fenomena berikut akan terjadi:

pembentukan gelembung, pertumbuhan gelembung, dan pemecahan gelembung.

Selama pemecahan gelembung (cavitational collapse), pemanasan intens dari

29
gelembung terjadi. Titik panas yang terlokalisasi ini memiliki temperatur 5000 K,

tekanan 1800 atm, dan waktu hidup beberapa mikrodetik (Susulick, dkk.,1996).

Pembentukan gelembung

Pembesaran gelembung hingga mencapai


ukuran maksimum

Gelembung mengecil hingga pecah

Gambar 2.11. Fenomena kavitasi akustik (acoustic cavitation) terdiri dari tiga
tahap, (1) pembentukan gelembung (formation of bubbles), (2)
pembesaran gelembung (growth of bubbles) hingga mencapai
ukuran maksimum, dan (3) gelembung mengecil hingga pecah
(implosive collapse of bubbles)

2.5.1 Efek Gelombang Ultrasonik pada Permukaan Karbon Aktif

Untuk menjelaskan efek ultrasonik pada permukaan, dapat melihat model

reaksi dibawah ini (Suslick, dkk. 1999) :

(a) A (aq) + M(surface) AM(surface)

(b) A (aq) + M(surface) ))) AM(surface)

Pada gambar (a) penjerapan pada kondisi tanpa gelombang ultrasonik. (b)

penjerapan dengan iradiasi gelombang ultrasonik. Tanda ))) menyatakan adanya

iradiasi ultrasonik. Simbol A menyatakan zat polutan yang akan diadsorpsi, M

adalah permukaan absorben, dan AM adalah keadaan setelah zat A teradsorpsi

pada permukaan M. Efek ultrasonik juga dapat dilihat pada Gambar 2.12.

30
Gambar 2.12. Morfologi permukaan nanopartikel MoS2. Morfologi permukaan
partikel yang dibuat secara konvensional (a), dan (b) permukaan
partikel yang dibuat dengan bantuan gelombang ultrasonik. Luas
permukaan (a) jauh lebih kecil dari (b), (Suslick et al. 1999).

2.6 Analisis dan Karakterisasi Karbon Aktif

Suatu karbon aktif dapat dianalisis dengan berbagai instrument dan metode

yang digunakan. Adapun alat yang dapat digunakan antara lain Scanning Electron

Microscopy (SEM), X-ray Difractometer (XRD), X-ray Flourecence (XRF)

digunakan dalam menentukan karakteristik struktur dan permukaan karbon.

Fourier Transform Infra Red Spectroscopy (FTIR) digunakan untuk menentukan

perubahan gugus fungsi, dan LCR-745 meter untuk menentukan kapasitansi

spesifik karbon. Adapun metode metilen biru digunakan untuk mengukur luas

permukaan.

2.6.1 SEM (Scanning Electron Microscopy)

SEM adalah salah satu jenis mikrosop elektron yang menggunakan berkas

elektron untuk menggambarkan profil permukaan benda. Prinsip kerja SEM

adalah menembakkan permukaan benda dengan berkas elektron yang lebih tinggi

(Abdullah, M dan Khairurrijal, 2009).

31
Permukaan benda yang dikenai berkas akan memantulkan kembali berkas

tersebut atau menghasilkan elektron sekunder kesegalah arah. Tetapi ada satu arah

dimana berkas dipantulkan dengan intensitas tertinggi. Detektror dalam SEM

mendeteksi elektron yang dipantulkan dan menentukan lokasi berkas yang

dipantulkan dengan intensitas tertinggi. Arah tersebut memberikan informasi

profil permukaan benda sepertii seberapa landa dan kemana arah kemiringan

(Abdullah, M dan Khairurrijal, 2009).

SEM sangat cocok digunakan dalam situasi yang membutuhkan

pengamatan permukaan kasar dengan pembesaran berkisar antara 20 kali sampai

500.000 kali. Sebelum melalui lensa elektromagnetik terakhir scanning raster

mendeflesikan berkas elektron untuk men-scan permukaan sampel. Hasil scan ini

tersinkronisasi dengan tabung sinar katoda dan gambar sampel akan tampak pada

area yang di-scan. Tingkat kontras yang tampak pada tabung sinar katoda timbul

karena hasil refleksi yang berbeda-beda dari sampel (Anggraeni, N. D., 2008).

2.6.2 Difraksi Sinar X (X-ray Difractometer)

Spektroskopi difraksi sinar-X (X-ray difraction/XRD) merupakan salah

satu metoda karakterisasi material yang paling tua dan paling sering digunakan

hingga sekarang. Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi fasa kristalin

dalam material dengan cara menentukan parameter struktur kisi serta untuk

mendapatkan ukuran partikel. Difraksi sinar-X terjadi pada hamburan elastis

foton-foton sinar-X oleh atom dalam sebuah kisi periodik. Hamburan

monokromatis sinar-X dalam fasa tersebut memberikan interferensi yang

konstruktif (Chorkendroff, I dan Niemantsverdiet, J. W., 2003)

32
Metode difraksi sinar X digunakan untuk mengetahui struktur dari lapisan

tipis yang terbentuk. Sampel diletakkan pada sampel holder difraktometer sinar X.

Proses difraksi sinar X dimulai dengan menyalakan difraktometer sehingga

diperoleh hasil difraksi berupa difraktogram yang menyatakan hubungan antara

sudut difraksi 2 dengan intensitas sinar X yang dipantulkan (Chorkendroff, I dan

Niemantsverdiet, J. W., 2003).

2.6.3 Flourecence Sinar X (X-ray Flourecence)

X-ray Flourecence (XRF) adalah suatu metode analisis berdasarkan

pengukuran tenaga dan intensitas sinar X suatu unsure didalam cuplikan hasil

eksitasi sumber radioisotope. Spektrofometer XRF didasarkan pada lepasnya

electron bagian dalam dari atom akibat dikenai sumber radiasi dan pengukuran

intensitas pendar sinar-X karakteristik yang dipancarkan oleh atom unsure dalam

sampel. Metode ini tidak merusak bahan yang dianalisis lebih dari segi fisik

maupun kimiawi sehingga sampel dapat digunakan untuk analisis berikutnya

(Iswani, 1883)

2.6.4 FTIR (Fourier Transform Infrared)

Spektroskopi FTIR (fourier transform infrared) merupakan salah satu

teknik analitik yang sangat baik dalam proses identifikasi struktur molekul suatu

senyawa. Komponen utama spektroskopi FTIR adalah interferometer Michelson

yang mempunyai fungsi menguraikan (mendispersi) radiasi inframerah menjadi

komponen-komponen frekuensi. Penggunaan interferometer Michelson tersebut

memberikan keunggulan metode FTIR dibandingkan metode spektroskopi

inframerah konvensional maupun metode spektroskopi yang lain. Diantaranya

adalah informasi struktur molekul dapat diperoleh secara tepat dan akurat

33
(memiliki resolusi yang tinggi). Keuntungan yang lain dari metode ini adalah

dapat digunakan untuk mengidentifikasi sampel dalam berbagai fase (gas, padat

atau cair) (Sastrohadimidjojo, 2001).

Adapun prinsip dari FTIR adalah Penyerapan sinar IR oleh

molekul/ikatanyang bervibrasi, Penyerapan sinar IR menyebabkan berubahnya

frekuensi vibrasi, dan Sinar yang diserap karakteristik untuk setiap ikatan (Hayati,

2007)

Gambar 2.13. Instrumen FTIR

2.6.5 Metode Metilen Biru

Luas permukaan merupakan suatu karakter fisik yang penting dalam

proses penyimpanan energi. Semakin besar luas permukaan maka akan semakin

banyak energi yang mampu disimpan. Penentuan luas permukaan dilakukan

dengan metode adsorbsi metilen biru. Banyaknya molekul metilen biru yang

diadsorbsi sebanding dengan luas permukaan biosorben (Widihati, I. A. G., 2010).

Diantariani, N. P. (2010) telah melaukukan penelitian dalam menentukan

luas permukaan batu padas. Untuk memntukan luas permukaan suatu suatu

senyawa organik terlebih dahulu dilakukan penentuan panjang gelombang

maksimum. Untuk menentukan panjang gelombang maksimum dibuat larutan

metilen biru 2 ppm, dan diukur adsorbansinya dengan menggunakan UV-Vis pada

34
panjang gelombang 500 700 nm. Kurva standar metilen biru dibuat berdasarkan

pengukuran absorbansi dari berbagai konsentrasi.

Batu padas diujikan untuk mengadsorbsi larutan metilen biru.

menggunakan pengaduk magnet. Larutan hasil pengadukan disaring dan filtratnya

dianalisis dengan UV-Vis pada panjang gelombang maksimum diukur

adsorbansinya, untuk mendapatkan berat teradsorbsi maksimum (mg/g) lalu

dimasukkan kedalam persamaan :

Dimana,

s : Luas permukaan adsorben (m2/g)


N : Bilangan Avogadro (6,022 .1023 mol-1)
Xm : Beerat adsorbat terasorbsi (mg/g)
a : luas penutupan oleh satu molekul metilen biru (197 .10-20 m2)
Mr : Massa molekul relatif metilen biru (320,5 g/mol)

35
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Bahan dan Alat Penelitian

3.1.1 Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu limbah ampas

tebu, kertas saring whatman 42, larutan NaOH 2,5, 5, dan 10 M, HCl 1 N, metilen

biru, Polivinil Alkohol (PVA), natrasol, H2SO4 1 M dan akuades.

3.1.2 Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tanur (Muffle furnace

tipe 6000), Oven (tipe SPNISOSFD), penangas air (Hot plate), pengaduk

magnetik (fisher tipe 115), neraca analitik (Shimadzu AW220), FTIR (Shimadzu,

IR Prestige21), XRD (Shimadzu, XRD6000), XRF, SEM (JEOL, JSM6510), labu

semprot plastik, Ultrasonik cleaner (Elmasonic S40H), LCR-745 meter, ayakan

ukuran 100 mesh, pompa vakum, statif, lumpang, desikator, cawan porselin, alat

gelas laboratorium, dan termometer.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian akan dilakukan di Laboratorium Kimia Fisika, Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin Makassar dan

dilakukan selama enam bulan yakni Mei sampai Oktober 2014.

36
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Preparasi Alat dan Bahan Baku

Semua alat dan bahan untuk tahap dalam pembuatan karbon aktif

disediakan. Melakukan pemeriksaan pengukuran timbangan, memastikan tanur

dapat menyala, dan alat yang lainya. Bahan seperti ampas tebu, NaOH, HCl, dan

akuades memiliki kuantitas yang cukup untuk membuat karbon aktif, larutan

aktivator dan larutan pencuci.

3.3.2 Karbonisasi (Shofa, 2012)

Ampas tebu diambil dari Pabrik Gula PT. Perkebunan Nusantara XIV,

Desa Parappunganta Kec. Polongbangkeng Utara Kab. Takalar, kemudian

dibawa ke Laboratorium Kimia Fisika Fakultas MIPA Universitas Hasanuddin.

Ampas tebu dicuci dengan akuades hingga bersih lalu dikeringkan dibawah sinar

matahari dan oven. Ampas tebu yang sudah bersih dan kering dibakar diatas

kompor listrik hingga mengarang. Kemudian karbon hasil pembakaran

dimasukkan ke dalam cawan porselin lalu dibakar kembali dalam tanur pada

temperatur 350 C selama 1 jam. Proses ini akan menghasilkan karbon dari ampas

tebu. Setelah karbonisasi, karbon yang dihasilkan didinginkan dan disaring

sampai berukuran 100 mesh.

3.3.3 Ekstraksi Silika (Wei, X., Xiao, Li., Jin Zhou, dan Ping, Z. S., 2011)

Hasil karbon yang telah dikarbonisasi kemudian dilakukan ekstraksi silika

untuk mendapatkan karbon yang bebas silika. Sampel karbon ditambahkan

natrium hidroksida (NaOH) dengan konsentrasi yang bervariasi 2,5, 5, dan 10 M.

Sampel kemudian dipanaskan hingga mendidih yang disertai pengadukan dengan

kecepatan yang sama dan dibiarkan selama 60 menit. Selanjutnya disaring dengan

37
kertas saring whatman 42. Filtrat dibuang sedangkan residu yang dihasilkan

kemudian dicuci masing-masing dengan akuades, lalu dikeringkan dalam oven

pada suhu 110 oC sampai kering. Ketiga karbon hasil ekstraksi tersebut di uji

dengan FTIR dan XRF untuk mendapatkan konsentrasi terbaik NaOH yang

mampu membuat karbon menjadi bebas silika. Sebagai pembanding, disiapkan

karbon tanpa penambahan NaOH atau tanpa ekstraksi dimana karbon masih

mengandung silika.

3.3.4 Aktivasi (Shofa, 2012) (Yupeng Guo, dkk., 2003)

Penelitian ini menggunakan aktivator NaOH 5 M. Serbuk karbon bebas

silika yang diperoleh kemudian dicampur dengan larutan aktivator NaOH. Ditutup

dengan aluminium foil dan dibiarkan selama 24 jam. Selanjutnya diberi perlakuan

dengan dan tanpa iradiasi gelombang ultrasonik.

3.3.5. Pencucian, Pengeringan, dan Pendinginan (Shofa, 2012) (Rosi, dkk.,

2013)

Setelah proses aktivasi dilakukan, campuran hasil proses aktivasi

diinteraksikan dengan gelombang ultrasonik dengan variasi waktu 10, 15, 30, 45,

90, 120, 150, 180 menit, dan variasi suhu 30, 40, 50, dan 60 oC. Sebagai

pembanding, dilakukan pula tanpa interaksi gelombang ultrasonik.

Selanjutnya, filtrat dan endapan dipisahkan dengan penyaringan. Sampel

waktu dan suhu optimum karbon aktif dengan iradiasi ultrasonik dan sampel

karbon aktif tanpa iradiasi ultrasonik yang diperoleh dicuci dengan HCl 1 N dan

akuades secara berulang-ulang untuk menghilangkan sisa kotoran dan

menetralkan karbon aktif. Setelah dicuci, sampel dikeringkan didalam oven

dengan temperatur 110 oC. Karbon aktif kemudian dimasukkan dalam tanur

38
dengan suhu 350 oC selama jam. Selanjutnya, sampel karbon aktif yang

diperoleh disimpan dalam desikator agar karbon tetap kering.

3.3.6 Karakterisasi dan Analisis Karbon Aktif Nanopori Ampas Tebu

Kedua sampel karbon aktif hasil interkasi dengan dan tanpa iradiasi

gelombang ultrasonik selanjutnya dikarakterisasi dengan analisis elemental, gugus

fungsi, komposisi senyawa dan karakteristik permukaan, dan kapasitansi spesifik

dengan menggunakan instrumen XRF, XRD, FTIR, SEM, LCR-745 meter , dan

metode metilen biru untuk memperoleh karakteristik karbon nanopori ampas tebu.

3.3.6.1 Penentuan Luas Permukaan dengan Metode Metilen Biru

50 ml larutan metilen biru 300 ppm ditambahkan pada karbon aktif 0,3

gram kedalam Erlenmeyer dan ditutup aluminium foil. Kemudian diaduk dengan

magnetic stirrer selama 30 menit pada kecepatan 100 rpm. Setelau itu, disaring

dan filtratnya diukur dengan spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang

658 nm. Data absorbansi digunakan untuk menentukan konsentrasi setelah

adsorbsi dari kurva kalibrasi, yang selanjutnya dimasukkan kedalam rumus :

(Co-Ce) x V larutan (L)


Xm = , dimana Co = konsentrasi awal
Massa karbon aktif (g) Ce = konsentrasi akhir

Xm. N. a
S=
Mr

Keterangan :

S = luas permukaan adsorben (m2/g)


N = bilangan Avogadro (6,022.1023 mol-1)
Xm = berat adsorbat teradsorbsi (mg/g)
a = luas permukaan oleh satu molekul metilen biru (197.10-20 m2)
Mr = massa molekul relative metilen biru (320 g/mol)

39
3.3.6.2 Pembuatan Kapasitor Elektrokimia

Hidrogel disintesis dengan melarutkan 5 gram polimer Polivinil Alkohol

(PVA) kedalam akuades 100 mL sehingga diperoleh PVA 5%. Campuran tersebut

diaduk selama 3 jam dengan temperatur 50 oC. Pengadukan dan pemanasan

dilakukan agar diperoleh larutan yang homogen. Campuran kemudian didiamkan

mencapai suhu 25 oC. PVA 5% kemudian ditambahkan H2SO4 1 M sebagai

sumber elektrolit dengan perbandingan (1:1). Setelah itu, ditambahkan natrasol

0,5 gram. Penambahan natrasol yang sedikit, disebabkan sampel dengan mudah

terbentuk gel. Campuran yang terbentuk secepat mungkin dituangkan kedalam

cetakan. Selanjutnya diletakkan diatas cawan petri dan dibiarkan kering secara

alami selama tiga hari. Pengeringan dilakukan untuk menguapkan pelarut air.

Pembuatan elektroda karbon sama hanya dengan hidrogel, hanya saja

sebelum penambahan natrosol campuran PVA dan H2SO4 ditambahkan karbon 0,5

gram. Selanjutnya, kapasitor elektrokimia dibuat dengan struktur seperti

sandwich, dimana dua buah elektroda karbon dengan hidrogel yang diletakkan

ditengah.

40
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pembuatan Karbon Ampas Tebu

Pembuatan karbon dimulai dengan tahapan pengumpulan ampas tebu,

preparasi bahan, dan karbonisasi. Ampas tebu diambil dari batang tebu hasil

gilingan PT. Perkebunan Nusantara XIV (Gambar 4.1) kemudian diproses

menjadi karbon melalui proses karbonisasi.

Gambar 4.1 Ampas tebu

4.1.1 Preparasi Bahan Ampas Tebu

Preparasi bahan baku pembuatan karbon meliputi pencucian dan

pengeringan. Ampas tebu dicuci dengan akuades secara berulang dan dilakukan

pengeringan dibawah sinar matahari selama 5 jam dalam 2 hari berturut-turut.

Untuk memaksimalkan pengeringan ampas tebu dilakukan pemanasan didalam

oven selama 15 menit. Perlakuan tersebut bertujuan untuk menghilangkan kotoran

dan uap air yang masih terdapat dalam ampas tebu. Selanjutnya, ampas tebu

dipotong kecil-kecil untuk mereduksi ukurannya. Ampas tebu dari proses tersebut

dapat dilihat pada Gambar 4.2

41
Gambar 4.2 Ampas tebu yang telah bersih dan kering

Disamping untuk mengeringkan bahan ampas tebu, pemanasan didalam

oven juga bertujuan untuk mengetahui kadar air. Hasil percobaan tersebut

memberikan nilai kandungan air ampas tebu yang telah dipreparasi sebesar 1,5%.

Kadar air tersebut tidak mengurangi daya jerap karbon aktif pada gas atau cairan

karena masih dibawah 6,1% (Kalderis, 2008)

4.1.2 Karbonisasi

Karbonisasi merupakan proses pembakaran material organik bahan baku

(ampas tebu) yang menyebabkan terjadinya dekomposisi material dan

pengeluaran pengotor. Proses karbonisasi ampas tebu dilakukan dengan cara

pembakaran bertahap. Pada tahap awal pembakaran dilakukan diatas kompor

listrik selama 30 menit hingga mengarang. Pembakaran ini mengurai

hemiselulosa dan selulosa menjadi larutan piroglinat dan mengeluarkan banyak

asap yang mengindikasikan bahwa senyawa volatil yang terkandung telah

menguap. Tahap selanjutnya, pembakaran dilakukan didalam tanur dengan suhu

350 oC yang terjadi pemutusan ikatan C-O dan C-C. Proses karbonisasi selesai

apabila ampas tebu telah sepenuhnya menjadi warna hitam dan sedikit asap yang

keluar. Karbon hasil proses karbonisasi dapat dilihat pada Gambar 4.3

42
Gambar 4.3 Karbon hasil karbonisasi ampas tebu

Data jumlah karbon dalam ampas tebu yang diperoleh dapat dilihat pada

Tabel 4.1

Tabel 4.1 Kandungan karbon hasil karbonisasi ampas tebu

Massa Ampas Massa Massa yang % yang %


Tebu Karbon Hilang Hilang Karbon
10 gram 4 gram 6 gram 60 % 40 %
8 gram 2 gram 6 gram 75 % 25 %
10 gram 5 gram 5 gram 50 % 50 %
9 gram 4 gram 5 gram 55 % 45 %
8 gram 1 gram 7 gram 88 % 13 %
10 gram 3 gram 7 gram 70 % 30 %

Data pengukuran diatas menunjukkan bahwa persentase rata-rata

perolehan karbon dari ampas tebu sebesar 33,75% dari massa awal ampas tebu

yang dikarbonisasi. Perolehan nilai ini lebih tinggi dari penelitian yang telah

dilakukan oleh Kalderis (2008) yang menyebutkan bahwa kandungan karbon yang

terdapat pada ampas tebu 24,7%. Proses karbonisasi ampas tebu ini berlangsung

maksimal sehingga menghasilkan karbon dengan sedikit material volatil dan abu.

43
Setelah proses karbonisasi selesai, karbon dari ampas tebu yang dihasilkan

digerus dalam lumpang. Selanjutnya, diayak dengan pengayak berukuran 100

mesh (150 m). Penghalusan ini bertujuan agar karbon berukuran homogen dan

ukuran partikel menjadi lebih kecill sehingga luas permukaan karbon aktif lebih

besar. Karbon ampas tebu yang hasil ayakan 100 mesh dapat dilihat pada

Gambar 4.4

Gambar 4.4 Karbon ampas tebu hasil ayakan 100 mesh

4.2 Ekstraksi Silika Karbon dari Ampas Tebu

Ekstraksi merupakan proses pemisahan campuran dengan menggunakan

bantuan pelarut (Svehla G, 1985). Jenis ekstraksi yang digunakan dalam

penelitian ini adalah ekstraksi padat-cair. Ekstraksi padat cair merupakan suatu

proses yang melibatkan perpindahan massa antar fasa, dalam hal ini yang

bertindak sebagai fasa padat adalah karbon ampas tebu dan NaOH sebagai

ekstraktan. Pada ekstraksi ini, ketika bahan ekstraksi dicampur dengan ekstraktan

maka ekstraktan akan bereaksi dengan bahan padat membentuk ekstrak. Proses ini

memerlukan kontak yang lama antara ekstraktan dan padatan. Berdasarkan data

analisa Tim Afiliansi dan Konsultasi Industri ITS Surabaya (1999) menyebutkan

bahwa kandungan senyawa SiO2 dalam ampas tebu adalah 70,9%.

44
Karbon ampas tebu yang dihasilkan diberi perlakuan ekstraksi silika sebab

kandungan silika yang terdapat dalam ampas tebu memiliki komposisi yang

banyak. Menurut Agustin (2013), semakin tinggi konsentrasi pelarut yang

digunakan semakin banyak silika yang terekstraksi. Oleh karena itu, dilakukan

ekstraksi silika dengan menggunakan variasi konsentrasi NaOH 2,5, 5, dan 10 M

sebanyak 100 ml dalam 5 gram karbon yang diaduk selama 60 menit pada suhu

95 oC. Variasi konsentrasi ini digunakan agar memperoleh hasil konsentrasi yang

optimal dalam mengekstraksi silika yang terdapat dalam karbon ampas tebu.

4.2.1 Proses Ekstraksi Silika Karbon Ampas Tebu

Pada proses ekstraksi silika 5 gram karbon ampas tebu dicampur dalam

100 ml larutan NaOH 2,5, 5, dan 10 M kemudian dipanaskan pada suhu 95 oC dan

disertai pengadukan selama 60 menit. Pemanasan bertujuan mempercepat laju

ekstraksi silika dari material karbon ampas tebu. Reaksi yang terjadi adalah

sebagai berikut:

SiO2(s) + 2 NaOH(aq) Na2SiO3(s) + H2O(aq)

Pada molekul silika (SiO2), elektronegativitas atom O yang tinggi

menyebabkan Si lebih elektropositif dan terbentuk intermediet [SiO2OH]- yang

tidak stabil, sehingga akan terjadi dehidrogenasi dan ion hidroksil yang kedua

akan berikatan dengan hidrogen membentuk molekul air. Dua ion Na+ akan

menyeimbangkan muatan negatif yang terbentuk dan berinteraksi dengan ion

SiO32- sehingga terbentuk natrium silikat (Mujiyanti, dkk., 2010).

Proses selanjutnya adalah ketiga larutan disaring untuk memisahkan filtrat

dan residunya. Residu yang diperoleh kemudian dicuci dengan akuades hingga pH

netral lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 110 oC selama 3 jam. Karbon hasil

45
ekstraksi yang telah bersih dan kering selanjutnya dianalisis dengan FTIR dan

XRF, serta dihitung luas permukaanya melalui metode metilen biru.

4.2.2 Analisis Karbon Ampas Tebu Ekstraksi Silika

Karbon ampas tebu selanjutnya dianalisis sebelum dan setelah ekstraksi

silika. Ini bertujuan untuk membandingkan karakterisasi sebelum dan setelah

ekstraksi silika dilakukan. Analisis dilakukan melalui instrumen XRF, FTIR, dan

metode metilen biru. Analisis XRF bertujuan untuk mengetahui komposisi karbon

ampas tebu, FTIR untuk mengidentifikasi gugus fungsi yang terkandung, serta

metode metilen biru untuk menentuan luas permukaan.

a. Analisis Komposisi Karbon Ampas Tebu Sebelum dan Setelah Ekstraksi


Silika

Karbon yang diperoleh sebelum dan setelah ekstraksi silika dianalisis

melalui instrumen XRF untuk mengetahui komposisi unsur atau oksida yang

terkandung dalam karbon ampas tebu. Data hasil analisis instrumen XRF dapat

dilihat pada Tabel 4.2

Tabel 4.2 Kandungan unsur dan oksida dalam karbon ampas tebu sebelum dan
setelah ekstraksi silika

Sebelum Ekstraksi Ekstraksi Ekstraksi


No. Unsur Oksida
Ekstraksi (%) 2,5 M (%) 5 M (%) 10 M (%)
1 Si SiO2 53,15 10,93 0 0
2 Fe Fe2O3 29,16 64,08 72,53 72,98
3 K K2O 5,01 3,58 3,59 3,42
4 Ca CaO 4,90 9,74 10,81 12,24
5 P P2O5 3,11 0,94 0,83 1,33
6 Mn MnO 2,52 6,17 6,94 4,99
7 Ti TiO2 1,45 3,75 4,33 4,18

46
Data Tabel 4.2 menunujukkan bahwa terjadi kenaikan nilai komposisi

unsur Fe atau oksida Fe2O3 pada karbon ampas tebu sebelum ekstraksi hingga

setelah ekstraksi 2,5, 5, dan 10 M, sisanya terjadinya penurunan komposisi seperti

unsur Si, disusul K, Ca, P, Mn, dan Ti atau oksida SiO2, disusul K2O, CaO, P2O5,

MnO, dan TiO2.

Kandungan unsur terbesar pada karbon ampas tebu sebelum ekstraksi

adalah Si, disusul Fe, K, Ca, dan P, atau kandungan oksida terbesar adalah SiO2

disusul Fe2O3, K2O, CaO, dan P2O. Unsur dan oksida tersebut mempengaruhi

proses selanjutnya dari pemanfaatan karbon aktif ampas tebu. Seperti pada

keberadaan unsur Si atau oksida SiO2 dengan jumlah terbesar 53,15% akan

menurunkan luas permukaan dan kapasitas energi elektrokimia, olehnya itu

diperlukan proses ekstraksi silika untuk mengeluarkan oksida tersebut sehingga

memperbesar luas permukaan karbon aktif yang dihasilkan.

Proses ekstraksi silika pada karbon ampas tebu mampu menurunkan

jumlah kandungan silika yang terkandung didalamnya. Hasil ekstraksi silika

dengan konsentrasi NaOH 2,5 M mampu menurunkan kadar silika menjadi

10,93%, dan hasil ekstraksi 5 dan 10 M mampu menghilangkan kadar silika yang

terkandung didalam karbon ampas tebu. Namun ekstraksi silika dengan NaOH 10

M terjadi kejenuhan dalam mengekstraksi silika. Sehingga konsentrasi NaOH 5 M

yang lebih baik digunakan dalam melakukan proses ektraksi silika. Grafik

pengaruh konsentrasi NaOH 2,5, 5, dan 10 M terhadap kadar SiO2 dapat dilihat

pada Gambar 4.5

47
60

50

40

Kadar Silika (%) 30

20

10

0
0 2 4 6 8 10
Konsentrasi NaOH (M)

Gambar 4.5 Grafik pengaruh konsentrasi NaOH 0, 2,5, 5, dan 10 M terhadap


kadar SiO2 terekstraksi

Berdasarkan grafik karbon ampas tebu baik sebelum dan setelah ekstraksi

silika, dapat disimpulkan bahwa semakin besar konsentrasi NaOH yang

digunakan pada proses ekstraksi maka silika yang dihasilkan semakin banyak,

sehingga menurunkan kadar silika yang terkandung dalam karbon ampas tebu dan

mampu menghasilkan karbon bebas silika. Konsentrasi silika 2,5 M dapat

menurunkan silika hingga 10,93%, dan konsentrasi 5 dan 10 M dapat

menghilangkan silika secara sempurna.

b. Analisis Gugus Fungsi Karbon Ampas Tebu Sebelum dan Setelah


Ekstraksi Silika

Karbon yang diperoleh sebelum maupun setelah ekstraksi silika dianalisis

dengan FTIR untuk mengetahui gugus fungsi yang terdapat pada karbon ampas

tebu. Spektrum FTIR sebelum dan setelah ekstraksi silika dapat dilihat pada

Gambar 4.6

48
Gambar 4.6 Spektrum karbon ampas tebu sebelum dan setelah ekstraksi silika

Spektrum diatas terdiri atas beberapa puncak yang menunjukkan adanya

beberapa gugus fungsi dalam sampel baik yang dimiliki oleh silika atau gugus

fungsi yang lain. Pada spektrum sebelum ekstraksi silika, adanya gugus fungsi

silika ditunjukkan oleh serapan pada bilangan gelombang 1037 cm-1.. Puncak

serapan ini menunjukkan vibrasi regangan asimetris Si-O dari siloksan Si-O-Si

dengan intensitas kuat (Adam, dkk., 2006). Terdapat pula vibrasi ulur sedang pada

bilangan gelombang 466,7 cm-1 yang menunjukkan rentangan Si-O. Kedua pita

serapan ini memperkuat adanya kandungan silika yang terdapat dalam karbon

ampas tebu sebelum ekstraksi dilakukan.

Selain pita serapan dari gugus fungsi silika, terdapat pula beberapa gugus

fungsi lain seperti pada bilangan gelombang 3419,79 cm-1 dan 1616,35 cm-1 yang

masing-masing menunjukkan adanya rentangan OH yang berikatan hidrogen,

dan vibrasi rentangan C=C dari gugus aromatik dengan intensitas sedang.

49
Terdapat pula pita serapan pada bilangan gelombang 1390 cm-1 dan 1465 cm-1

yang menunjukkan gugus fungsi C-H alifatik (dari CH3 dan CH2).

Adapun pengaruh perubahan gugus fungsi setelah proses ekstraksi NaOH

5 dan 10 M dapat dilihat dari intensitas, lebar, dan pergeseran pita serapan. Makin

besar konsentrasi yang digunakan pada proses ekstraksi silika membuat bentuk

profil serapan gugus fungsi OH semakin melebar, hal ini disebabkan adanya

ikatan hidrogen antar molekul. Terdapat pula, intensitas pita serapan meningkat

pada bilangan gelombang berturut-turut 1616,35 cm-1 dan 1593,20 cm-1 yang

menunjukkan vibrasi rentangan C=C dari gugus aromatik, dan pada bilangan

gelombang 1392,61 cm-1 dan 1379,10 cm-1 menunjukkan adanya intensitas yang

sedang berupa gugus fungsi C-H alifatik dari CH3.

Disisi lain, penurunan pita serapan terjadi berturut-turut pada bilangan

gelombang 1028,06 cm-1 dan 1026,13 cm-1 yang menunjukkan vibrasi regangan

asimetris Si-O dari siloksan Si-O-Si dan pada bilangan gelombang 462,92 cm-1

yang menujukkan vibrasi ulur sedang rentangan Si-O. Kedua gugus fungsi ini

menunjukkan terjadinya penurunan peak dari sebelum ekstraksi dilakukan. Hasil

ini sesuai dengan analisis XRF yang menunjukkan kandungan silika semakin

rendah dengan semakin besarnya konsentrasi NaOH pada proses ekstraksi.

Berdasarkan analisis spektrum diatas, dapat disimpulkan bahwa besarnya

konsentrasi yang digunakan pada proses ekstraksi sangat berpengaruh terhadap

kandungan karbon dan silika dalam karbon ampas tebu. Semakin besar

konsentrasi NaOH yang digunakan pada proses ekstraksi maka semakin rendah

jumlah silika dan semakin meningkat jumlah karbon pada karbon ampas tebu

hasil ekstraksi.

50
c. Analisis Luas Permukaan Karbon Ampas Tebu Sebelum dan Setelah
Ekstraksi Silika

Penentuan luas permukaan karbon ampas tebu sebelum dan sesudah

ekstraksi silika menggunakan metode adsorbsi metilen biru. Adsorbsi metilen biru

merupakan salah satu metode dalam penentuan luas permukaan berdasarkan daya

serap metilen biru. Banyaknya metilen biru yang diadsorbsi sebanding dengan

luas permukaan biosorben (Widihati, I. A. G., dkk., 2010).

Langkah awal yang dilakukan adalah penentuan panjang gelombang

maksimum. Dimana, dibuat larutan standar metilen biru 2 ppm sebanyak 10 mL,

kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang antara 650-670 nm

menggunakan spektrofotometer uv-vis. Kurva penentuan panjang gelombang

maksimum dapat dilihat pada Gambar 4.7

Kurva maks
0.42
0.418
0.416
Absorbansi

0.414
0.412
0.41
0.408
0.406
0.404
653 654 655 656 657 658 659 660 661
Panjang Gelombang

Gambar 4.7 Kurva penentuan panjang gelombang maksimum

Grafik diatas menunjukkan semakin besar panjang gelombang yang

diberikan maka semakin besar pula absorbansinya, namun pada keadaan tertentu

51
nilai absorbansi kembali menurun dengan bertambahnya panjang gelombang.

Sehingga diperoleh panjang gelombang maksium adalah 658 nm. Pada panjang

gelombang 658 nm molekul-molekul dalam larutan standar hanya mampu

memperoleh absorbansi sebesar 0,418 atau 41,8% cahaya yang diserap. Panjang

gelombang maksimum ini selanjutnya digunakan dalam perhitungan nilai

absorbansi deret standar dan sampel.

Pembuatan deret standar metilen biru dibuat berdasarkan absorbansi dari

berbagai konsentrasi larutan standar metilen biru 1, 2, 4, 8, dan 16 ppm pada

panjang gelombang maksimum. Nilai absorbansi deret standar larutan metilen

biru dapat dilihat pada Tabel 4.3

Tabel 4.3 Nilai absorbansi deret standar Metilen Biru pada maks 658 nm

Konsentrasi (ppm) Absorbansi


1 0.183
2 0.344
4 0.833
8 1.727
16 3.043

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa nilai absorbansi meningkat seiring

meningkatnya konsentrasi larutan deret standar. Hal ini sesuai dengan hukum

Lamber Beer yaitu A = b c , dimana absorbansi sebanding dengan konsentrasi

larutan. Dari data absorbansi deret standar diatas, kemudian dibuat kurva kalibrasi

pada Gambar 4.8

52
1.6
1.4 y = 0.1731x + 0.0817
R = 0.9722
1.2
1
Absorbansi

0.8
0.6
0.4
0.2
0
0 2 4 6 8
Konsentrasi Metilen Biru (ppm)

Gambar 4.8 Kurva kalibrasi deret standar Metilen Biru

Dari kurva kalibrasi diatas diperoleh nilai persamaan garis y= 0,1929x +

0,031 dan R2 = 0,9934. Persamaan garis ini digunakan untuk menghitung

konsentrasi metilen biru dalam sampel setelah adsorbsi, dan selanjutnya

menghitung luas permukan karbon dengan menggunakan persamaan berikut.

Xm. N. a
S=
Mr

dimana : S = luas permukaan adsorben (m2/g)

N = bilangan Avogadro (6,022.1023 mol-1)

Xm = berat adsorbat teradsorbsi (mg/g)

a = luas permukaan oleh satu molekul metilen biru (197.10 -20 m2)

M r = massa molekul relative metilen biru (320 g/mol)

Sebelum menentukan luas permukaan karbon ampas tebu terlebih dahulu

dilakukan penentukan konsentrasi metilen biru setelah adsorbsi. Dimana, 0,3 gram

sampel karbon ampas tebu sebelum ekstraksi, setelah ekstraksi 2,5, 5, dan 10 M

53
ditambahkan kedalam 50 ml larutan metilen biru 300 ppm kedalam erlenmeyer,

selanjutnya diaduk dengan menggunakan magnetik stirrer selama 30 menit

(Diantariani, N. O., 2010). Keempat hasil pengadukan disaring dan filtratnya

dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang

maksimum. Absorbansi yang diperoleh berturut-turut yaitu 4,414; 0,280; 0,122;

dan 0,245. Kemudian dimasukkan dalam persamaan regresi linier metilen biru,

sehingga didapatkan konsentrasi metilen biru dalam filtrate berturut-turut yaitu

22,7262; 1,2954; 0,4739; dan 1,1145 ppm. Konsentrasi ini selanjutnya digunakan

untuk menghitung berat metilen biru yang teradsorbsi dan luas permukaan karbon

ampas tebu. Berat adsorbat teradsorbsi diperoleh berturut-turut yaitu 46,2122;

49,784; 49,9210; dan 49,8142 mg/g. Sehingga, luas permukaan yang dihasilkan

berurut-turut yaitu 171,2627; 184,4998; 185,0073; dan 184,6116 m2/g. Grafik

pengaruh konsentrasi NaOH pada proses ekstraksi terhadap luas permukaan dapat

dilihat pada Gambar 4.9

190

185
Luas Permukaan (m2/g)

180

175

170

165

160
ekstraksi 0 M ekstraksi 2,5 M ekstraksi 5 M ekstraksi 10 M

Konsentrasi NaOH (M)

Gambar 4.9 Grafik pengaruh konsentrasi NaOH terhadap luas permukaan

54
Grafik diatas menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi NaOH yang

digunakan dalam mengekstraksi silika, maka semakin besar luas permukaan yang

dihasilkan. Akan tetapi terjadi penurunan luas permukaan pada hasil ekstraksi

silika dengan NaOH 10 M. Hal ini disebabkan konsentrasi NaOH 10 M telah

jenuh dalam mengekstraksi silika yang ada pada karbon ampas tebu, sehingga

konsentrasi optimum yang memberikan luas permukaan yang besar adalah hasil

ekstraksi silika dengan konsentrasi NaOH 5 M. Oleh sebab itu, hasil ekstraksi

dengan NaOH 5 M digunakan untuk perlakuan selanjutnya.

4.3 Aktivasi Karbon Ampas Tebu

Aktivasi adalah metode yang dilakukan untuk memperoleh luas adsorben

yang lebih luas. Metode aktivasi dibagi menjadi dua, yaitu aktivasi kimia dan

aktivasi fisika. Aktivasi kimia yaitu dengan panambahan bahan kimia atau

aktivator sedangkan aktivasi fisika dengan tambahan pembakaran karbon pada

suhu yang lebih tinggi. Kedua metode ini digunakan pada proses aktivasi karbon

ampas tebu.

Aktivator yang digunakan pada penelitian ini adalah NaOH. Beberapa

penelitian sebelumnya telah melakukan penelitian mengenai pembuatan karbon

aktif tempurung kelapa dengan aktivator NaOH yang dilakukan oleh Rosi, M.,

dkk. (2013), menghasilkan luas permukaan maksimal sebesar 400 m 2/g dan

kapasitansi sebesar 26 F/g. Dari penelitian tersebut, maka pada penelitian ini

menggunakan aktivator NaOH.

Selain itu, material lignoselulosa yang terkandung dalam ampas tebu lebih

dapat bereaksi dengan basa dibandingkan dengan asam, hal ini karena material

lignoselulosa mengandung banyak oksigen dan asam yang akan bereaksi baik

55
dengan gugus fungsi yang mengandung oksigen. Aktivator NaOH juga murah dan

tidak korosif. Aktivator ini jarang digunakan, dan belum ada studi yang

mempelajari mekanisme pembentukan dari suatu karbon berpori yang berasal dari

ampas tebu.

NaOH yang digunakan berupa padatan sehingga sebelum dilakukan

pencampuran dengan karbon ampas tebu, padatan dibuat menjadi larutan.

Dimana, 20 gram padatan NaOH ditimbang kemudian diencerkan dalam 100 mL

air sehingga diperoleh konsentrasi NaOH 5 M atau setara dengan 20%. Menurut

Suhendrawati, dkk., konsentrasi ini merupakan konsentrasi yang baik digunakan

sebagai aktivator dalam proses aktivasi kimia.

4.3.1 Proses Aktivasi Karbon Ampas Tebu

Langkah awal dalam pembuatan karbon aktif yaitu larutan aktivator NaOH

5 M dicampurkan pada 5 gram karbon dan selanjutnya direndam selama 24 jam.

Perendaman dilakukan agar menjamin keberlangsungan proses difusi ke bagian

pori karbon. NaOH meresap kedalam karbon dan membuka permukaan yang

semula tertutup oleh komponen kimia sehingga volume dan pori bertambah besar.

Langkah selanjutnya, karbon aktif hasil aktivasi NaOH masuk kedalam tahap

pencucian. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan sisa aktivator NaOH dan

zat-zat hasil reaksi sewaktu aktivasi yang mungkin menutupi permukaan pori-pori

karbon aktif. Bila tidak dilakukan pencucian, tertutupnya pori-pori karbon aktif

oleh zat-zat hasil rekasi akan memberikan luas permukaan menjadi rendah. Tahap

pencucian diawali dengan mencuci karbon aktif dengan HCl 1 N. Tujuan

pencucian dengan HCl untuk menghilangkan pengotor hasil reaksi yang tersimpan

dalam karbon aktif, sisa-sisa aktivator yang kemungkinan masih ada, serta

56
mengurangi kadar abu. Saat HCl dicampurkan ke dalam karbon aktif timbul

gelembung-gelembung. Hal ini merupakan gas hasil reaksi yang menempati pori-

pori pada saat proses aktivasi sehingga pada saat proses pencucian, gas tersebut

keluar dari pori-pori karbon aktif. Karbon aktif hasil aktivasi dicuci sebanyak tiga

kali. Saat proses pencucian ketiga, gelembung sudah tidak terbentuk sehingga

menandakan bahwa hasil reaksi maupun sisa aktivator sudah tidak ada lagi.

Kemudian karbon aktif dicuci dengan akuades hingga pH netral untuk

menghilangkan HCl yang terdapat dalam karbon aktif. Selanjutnya dikeringkan

di dalam oven selama 3 jam dengan suhu 110 oC sehingga diperoleh berat

4,25 gram.

Karbon aktif yang telah kering selanjutnya dilakukan aktivasi fisika

dengan pembakaran dalam tanur dengan suhu 350 oC selama setengah jam

sehingga diperoleh berat 3,38 gram. Perlakuan ini agar karbon aktif yang didapat

murni hanya mengandung karbon tanpa zat pengotor lainnya. Karbon aktif

setelah proses aktivasi kimia dan fisika dapat dilihat pada Gambar 4.10

(a) (b)

Gambar 4.10 Karbon aktif (a) Hasil aktivasi kimia (b) Hasil aktivasi fisika

57
Dari hasil perhitungan berat diatas baik setelah aktivasi kimia maupun

fisika, terlihat bahwa perolehan karbon aktif yang dihasilkan semakin rendah.

Semakin rendah perolehan massa karbon aktif yang dihasilkan menandakan

bahwa hasil reaksi yang terdapat dalam karbon aktif yang keluar dari tanur

semakin banyak. Setelah kedua metode aktivasi dilakukan maka telah diperoleh

karbon aktif yang murni yang selanjutnya dikarakterisasi dengan diberi perlakuan

dengan dan tanpa iradiasi gelombang ultrasonik.

4.4 Karakterisasi Karbon Aktif Ampas Tebu dengan dan tanpa Iradiasi
Gelombang Ultrasonik

Proses selanjutnya yang dilakukan adalah analisis gugus fungsi,

komposisi, fasa kristal, karakteristik permukaan karbon, luas permukaan dan

kapasitansi penyimpanan energi elektrokimia tanpa iradiasi gelombang ultrasonik

dan dengan iradiasi gelombang ultrasonik. Kedua perlakuan ini dilakukan untuk

membandingkan hasil analisis tanpa dan dengan bantuan iradiasi gelombang

ultrasonik.

Iradiasi gelombang ultrasonik digunakan untuk meningkatkan nilai

kapasitansi spesifik melalui pembentukan celah, sehingga mampu memperbesar

luas permukaan karbon aktif hasil aktivasi. Proses yang terjadi dalam iradisi

gelombang ultrasonik ini adalah pembentukan gelembung, pertumbuhan

gelembung dan pemecahan gelembung. Selama pemecahan gelembung

(cavitational collapse), pemanasan intens dari gelembung terjadi. Titik panas

yang terlokalisasi ini memiliki temperatur 5000 oC, tekanan 500 atm dan waktu

hidup beberapa mikrodetik.

58
Instrument terdiri dari sebuah Ultrasonik Cleaner (merk Elmasonic,

Germany) dioperasikan pada frekuensi 40 kHz. Ultrasonik Cleaner diisi dengan

air destilasi hingga 1/3 volumenya terisi (kira-kira 3,5 L). Labu Erlenmeyer 100

ml yang digunakan sebagai wadah diletakkan di atas tatakan dalam air pada jarak

tertentu dari dasar Ultrasonik cleaner.

Dalam mengkarakterisasi karbon aktif ampas tebu dengan perlakuan

iradiasi gelombang ultrasonik, terlebih dahulu dilakukan penentuan waktu dan

suhu optimum pada karbon aktif ampas tebu terhadap nilai luas permukaan.

Dimana, setelah proses aktivasi, karbon yang terendam dengan aktivator

dipindahkan kedalam erlemeyer 100 ml lalu diinteraksikan dengan bantuan

gelombang ultrasonik dengan variasi waktu 10, 15, 30, 45, 90, 120, 150, 180

menit dan variasi suhu 25, 30, 35, 40, 45, dan 50 oC. Setelah proses iradiasi

gelombang ultrasonik selesai, filtrat dan residu dipisahkan melalui penyaringan.

Residu karbon aktif yang diperoleh, diberikan perlakukan yang sama

terhadap karbon aktif tanpa iradiasi gelombang ultrasonik. Dimana, karbon aktif

dicuci dengan HCl 1 N dan aquades secara berulang-ulang untuk menghilangkan

sisa kotoran dan menetralkan karbon aktif, selanjutnya dikeringkan didalam oven

dengan temperatur 110 oC. Kemudian sampel karbon aktif yang diperoleh

disimpan dalam desikator agar karbon tetap kering. Karbon aktif kemudian

dibakar dalam tanur dengan suhu 350 oC selama jam. Karbon aktif hasil iradisi

yang telah diperoleh selanjutnya dianalisis waktu dan suhu optimumnya terhadap

luas permukaan dengan menggunakan metode metilen biru.

59
4.4.1 Analisis Luas Permukaan Karbon Aktif Ampas Tebu dengan dan
tanpa Iradiasi Gelombang Ultrasonik

Sebelum analisis luas permukaan karbon aktif ampas tebu dengan iradiasi

gelombang ultrasonik, terlebih dahulu dilakukan analisis waktu dan suhu

optimumnya terhadap luas permukaan dengan menggunakan metode metilen biru.

Dimana, masing-masing 0,3 gram sampel karbon ampas tebu hasil iradiasi

ditambahkan kedalam 50 ml larutan metilen biru 300 ppm. Selanjutnya diaduk

dengan menggunakan magnetik stirrer selama 30 menit. Larutan hasil pengadukan

disaring dan filtratnya dianalisis pada panjang gelombang maksimum 658 nm.

Absorbansi yang diperoleh kemudian dimasukkan dalam persamaan regresi linier

yang telah didapatkan sebelumnya dari penentuan luas permukaan dalam proses

ekstraksi silika sehingga didapatkan variasi konsentrasi metilen biru teradsorbsi,

selanjutnya dimasukkan dalam rumus sehingga diperoleh nilai variasi luas

permukaan karbon hasil iradiasi ultrasonik. Grafik pengaruh waktu kontak

terhadap luas permukaan dapat dilihat pada Gambar 4.11

171.9
171.8
171.7
Luas Permukaan (m2/g)

171.6
171.5
171.4
171.3
171.2
171.1
171
170.9
10 15 30 45 90 120 150 180

Waktu Iradiasi (menit)

Gambar 4.11. Grafik pengaruh waktu kontak terhadap luas permukaan

60
Grafik diatas menunjukkan nilai luas permukaan menurun seiring dengan

meningkatnya waktu iradiasi gelombang ultrasonik. Ini disebabkan sebagian pori

pada permukaan karbon telah tertutupi oleh aktivator NaOH sehingga jumlah

tumbukan berkurang dan akibatnya pembentukan celah dalam karbon semakin

lambat. Waktu iradiasi yang tinggi belum tentu menghasilkan efisiensi yang lebih

baik. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Aqbar (2013) mengenai

kondisi optimum adsorspi ion logam Cu(II) menggunakan karbon aktif dari sekam

padi dengan iradiasi gelombang ultrasonik, bahwa waktu iradiasi yang lebih lama

dapat menyebabkan penurunan efisiensi dibandingkan waktu iradiasi yang lebih

singkat. Hal tersebut dapat menyebabkan rusaknya pori karbon yang tertutupi oleh

Cu(II) sehingga jumlah tumbukan berkurang dan akibatnya difusi ion Cu(II) ke

dalam karbon semakin lambat.

Luas permukaan karbon aktif yang diiradiasi dengan gelombang ultrasonik

mencapai kondisi optimum pada waktu 15 menit yang memberikan luas

permukaan yang paling besar yaitu 171,8336 m2/g. Grafik pengaruh suhu kontak

terhadap luas permukaan dapat dilihat pada Gambar 4.12

171.8
171.7
Luas Permukaan (m2/g)

171.6
171.5
171.4
171.3
171.2
171.1
25 C 30 C 35 C 40 C 45 C 50 C

Temperatur (C)

Gambar 4.12 Grafik pengaruh suhu kontak terhadap luas permukaan

61
Gambar diatas menunjukkan bahwa luas permukaan meningkat pada suhu

30 oC sebesar 171,8336 m2/g jika dibandingkan dengan luas permukaan pada

suhu 25 oC sebesar 171,4668 m2/g. Ini disebabkan pergerakan partikel NaOH

dalam iradiasi sangat cepat saat kondisi rata-rata suhu kamar sehingga

pembentukan celah dalam karbon menjadi cepat dan mampu memberikan luas

permukaan yann tinggi. Luas permukaan karbon aktif yang diiradiasi dengan
o
gelombang ultrasonik mencapai kondisi optimum pada suhu 30 C yang

memberikan luas permukaan yang paling besar yaitu 171,8336 m2/g. Oleh karena

itu, suhu dan waktu yang digunakan selanjutnya dalam mengkarakterisasi karbon

aktif ampas tebu hasil iradiasi gelombang ultrasonik yaitu dengan suhu 30 oC

selama selang waktu 15 menit. Sehingga luas permukaan karbon aktif ampas tebu

dengan iradiasi gelombang ultrasonik yaitu 171,8336 m 2/g.

Sedangkan untuk luas permukaan karbon aktif tanpa iradiasi gelombang

ultrasonik, perlakuan sama dilakukan seperti karbon hasil iradiasi. Dimana, 0,3

gram sampel karbon ampas tebu ditambahkan kedalam 50 ml larutan metilen biru

300 ppm. Selanjutnya diaduk dengan menggunakan magnetik stirrer selama 30

menit. Larutan hasil pengadukan disaring dan filtratnya dianalisis pada panjang

gelombang maksimum. Absorbansi yang diperoleh yaitu 4,366 kemudian

dimasukkan dalam persamaan regresi linier metilen biru, sehingga didapatkan

konsentrasi metilen biru dalam filtrat 22,5833 ppm, serta metilen biru teradsorbsi

46,2361 mg/g sehingga luas permukaan yang dihasilkan yaitu 171,3542 m2/g.

Dari hasil analisis dua perlakuan diatas, diperoleh nilai luas permukaan

dengan iradiasi 171,8336 m2/g dan nilai luas permukaan tanpa iradiasi

171,3542 m2/g. Hasil perlakuan iradiasi ultrasonik memberikan luas permukaan

62
yang besar dari tanpa perlakukan iradiasi gelombang ultrasonik. Nilai luas

permukaan tanpa iradiasi juga meningkat dari luas permukaan yang diperoleh

sebelum aktivasi yaitu 171,2627 m2/g. Ini menunjukkan adanya aktivator akan

mengoksidasi atau mengikis permukaan karbon ampas tebu, sehingga membentuk

pori-pori semakin banyak pada karbon yang akan mempengaruhi luas permukaan

yang diperoleh. Sehingga semakin banyak pori yang terbentuk akan memberilkan

luas permukaan dan kapasitansi penyimpanan energi elektrokimia yang besar.

4.4.2 Analisis Gugus Fungsi Karbon Aktif Ampas Tebu dengan dan tanpa
Iradiasi Gelombang Ultrasonik

Karbon aktif ampas tebu selanjutnya dianalisis dengan FTIR untuk

mengetahui adanya gugus fungsi pada sampel karbon aktif ampas tebu. Dimana

sumbu x merupakan bilangan gelombang dan sumbu y merupakan persentase

transmitan (T). Analisis gugus fungsi karbon aktif ampas tebu dengan

menggunakan instrumen FTIR dapat dilihat pada Gambar 4.13

Gambar. 4.13 Spektrum karbon aktif ampas tebu dengan iradiasi gelombang
ultrasonik dan tanpa iradiasi gelombang ultrasonik

63
Spektrum gambar diatas menghasilkan beberapa puncak yang

menunjukkan adanya beberapa gugus fungsi dalam sampel karbon aktif ampas

tebu dengan iradiasi gelombang ultrasonik dan tanpa iradiasi gelombang

ultrasonik. Selama proses iradiasi terjadi, penguraian struktur kimia pada karbon

aktif ampas tebu diperlihatkan oleh adanya perubahan spektrum serapan.

Perubahan tersebut dalam bentuk penurunan intensitas serapan, serapan hiilang,

serapan bergeser, dan terbentuknya serapan baru didaerah bilangan gelombang

tertentu. Gugus fungsi yang teridentifikasi pada karbon aktif ampas tebu adalah

OH, C-H alifatik (dari CH3 dan CH2 ), ikatan C=O (karbonil), ikatan C-C dan

C=C, serta ikatan fenol (C-O).

Pada spektrum tanpa iradiasi ultrasonik, pita serapan menurun pada

bilangan gelombang 3388,93 cm-1 yang menunjukkan rentangan OH yang

berikatan hidrogen. Disisi lain, Terdapat intensitas kuat pada bilangan gelombang

1598,99 cm-1 yang merupakan vibrasi rentangan C=C dari gugus aromatik dan

pita serapan yang banyak menunjukkan gugus fungsi C-H alifatik (dari CH3 dan

CH2) pada bilangan gelombang 1390 cm-1 dan 1465 cm-1. Adapun puncak yang

berkaitan dengan silika pada gugus fungsi Si-O dan Si-C yang terdapat pada

spektrum diatas dengan intensitas yang lemah pada bilangan gelombang 1033,85

cm-1.

Sedangkan untuk karbon aktif ampas tebu dengan dengan iradiasi

gelombang ultrasonik, puncak pada bilangan gelombang 1033,85 cm-1 yang

menunjukkan gugus fungsi silika tidak tampak lagi. Tingginya suhu dalam proses

iradiasi menyebabkan gugus fungsi silika teroksidasi menjadi hilang.. Disisi lain,

intensitas meningkat tajam pada bilangan gelombang 3419,79 cm-1 dan 1606,70

64
cm-1 menunjukkan adanya rentangan OH yang berikatan hidrogen dan vibrasi

rentangan C=C dari gugus aromatik. Besarnya gugus hidroksil merupakan

cerminan dari banyaknya senyawa kimia pada karbon aktif ampas tebu yang

mengandung gugus OH seperti senyawa alkohol dan fenol.

Selain itu, intensitas meningkat tajam namun memberikan serapan yang

lemah terdapat pada panjang gelombang 1714,72 cm-1 yang merupakan vibrasi

rentangan C=O dan pada panjang gelombang 2360,87 cm-1 yang merupakan

vibrasi rentangan O=C=O dari udara. Terdapat pula bentuk profil serapan baru

yang melebar dengan intensitas sedang pada bilangan gelombang 1238,30 cm-1

yang merupakan vibrasi rentangan C-O dari fenol. Sehingga dapat disimpulkan

bahwa gugus fungsi pada karbon aktif ampas tebu dengan iradiasi gelombang

ultrasonik memberikan perubahan spectrum serapan dalam bentuk peningkatan

intensitas serapan, dan terbentuknya serapan baru didaerah bilangan gelombang

tertentu.

4.4.3 Analisis Komposisi Karbon Aktif Ampas Tebu dengan dan tanpa
Iradiasi Gelombang Ultrasonik

Analisis komposisi unsur dan oksida karbon aktif ampas tebu dilakukan

melalui instrumen XRF. Komposisi ini digunakan untuk melihat kandungan yang

dominan pada karbon aktif ampas tebu dengan dan tanpa iradiasi gelombang

ultrasonik.

65
Tabel 4.4 Komposisi unsur dan oksida yang terkandung dalam karbon aktif ampas
tebu dengan dan tanpa iradiasi gelombang ultrasonik

Konsentrasi Konsentrasi
No. Unsur Oksida Tanpa Iradiasi dengan Iradiasi
(%) (%)
1 Fe Fe2O3 76,53 -
2 Ca CaO 8,31 90,16
3 Mn MnO 4,55 -
4 Ti TiO2 3,98 -
5 K K2O 3,85 4,36
6 P P2O5 1,20 -
7 Zn ZnO 1,01 -
8 Sr SrO 0,34 -

Tabel 4.4 menunjukkan kandungan unsur yang terbesar karbon aktif tanpa

iradiasi adalah Fe dengan unsur oksida Fe2O3 sebesar 76,53%, selanjutnya diikuti

Ca, Mn, Ti, dan lain-lain. Sedangkan unsur terbesar karbon aktif hasil iradiasi

gelombang ultrasonik adalah Ca dengan unsur oksida CaO 90,16%, selanjutnya

diikuti K, Nb, dan Mo. Banyaknya unsur CaO pada karbon ini disebabkan karbon

bereaksi dengan oksigen menghasilkan oksida karbon dalam suatu reaksi yang

mereduksi oksida logam menjadi logam. Disisi lain, karbon hasil iradiasi

kehilangan banyak unsur seperti Fe, Mn, Ti, dan lain-lain. Ini menunjukkan

bahwa proses pencucian setelah iradiasi mampu menghilangkan logam-logam

transisi yang bereaksi dengan karbon.

4.4.4 Analisis Fasa Kristal Karbon Aktif Ampas Tebu dengan dan tanpa
Iradiasi Gelombang Ultrasonik

Analisis fasa kristal unsur karbon aktif ampas tebu dengan dan tanpa

iradiasi gelombang ultrasonik dilakukan melalui instrumen XRD. Analisis

dilakukan dengan jenis X-Ray Tube Cu, panjang gelombang 1,54060 , voltase

66
40,0 kV, Arus 30,0 mA, dan sudut pengamatan 2 10-80. Hasil analisis berupa

kumpulan peak yang diperhalus dengan smoothing point sebesar 15 point.

Analisis kristal karbon aktif ampas tebu tanpa iradiasi dapat dilihat pada Gambar

4.14 dan Tabel 4.8

Gambar. 4.14 Pola difraksi karbon aktif ampas tebu tanpa iradiasi
gelombang ultrasonik

Tabel 4.5. Ukuran Peak yang terkuat pada karbon ampas tebu tanpa iradiasi
gelombang ultrasonik

No. 2 (deg) FWHM (deg) Jaran antar kisi ()


1 44,1163 0,19820 2,05114
2 77,6043 0,23360 1,22927
3 64,4880 0,20950 1,44379

Pada gambar diatas, tampak puncak-puncak tertinggi pada pola difraksi

karbon aktif ampas tebu tanpa iradiasi gelombang ultrasonik. Tiga puncak terkuat

yang tajam dan sempit, menunjukkan kristalinitas sampel yang tinggi. Puncak

67
yang memiliki intensitas tertinggi terdapat pada sudut 2 44,1163 dengan nilai

FWHM 0,19820 sehingga dapat dijadikan acuan perhitungan ukuran partikel

intensitas tertinggi pada karbon aktif ampas tebu tanpa iradiasi gelombang

ultrasonik denngan menggunakan persamaan Schereer (1918) :

K.
D=
cos

Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan persamaan diatas,

didapatkan ukuran partikel intensitas tertinggi karbon aktif ampas tebu tanpa

iradiasi gelombang ultrasonik sebesar 43,2 nm. Selain itu, terdapat pola difraksi

karbon 2 berada pada rentang 14-23 yang memiliki intensitas lemah dan

melengkung yang menunjukkan sifat karbon adalah amorf. Sehingga karbon aktif

ampas tebu tanpa iradiasi gelombang ultrasonik hadir dalam bentuk kristal dan

amorf. Berdasarkan hukum Bragg, daftar data puncak (Lampiran 6) karbon aktif

ampas tebu tanpa iradiasi gelombang ultrasonik menunjukkan nilai rata-rata

keseluruhan jarak antar bidang karbon aktif ampas tebu tanpa iradiasi gelombang

ultrasonik yaitu 4,0412 .

Dari pola difraksi diatas, diketahui sampel dalam keadaan kristal berupa

Mg dalam bentuk senyawa FeO 4MgO 6O atau magnesiowuestite. Hal ini

diperkuat dengan hasil analisis komposisi senyawa oleh XRF, bahwa karbon aktif

ampas tebu tanpa iradiasi gelombang ultrasonik mengandung unsur Fe 76,53%.

Hasil analisis fasa kristal karbon aktif ampas tebu dengan iradiasi gelombang

ultrasonik dengan menggunakan instrumen XRD dapat dilihat pada Gambar 4.15

dan Tabel 4.6

68
Gambar 4.15 Pola difraksi karbon aktif ampas tebu dengan iradiasi
gelombang ultrasonik

Tabel 4.6. Ukuran Peak yang terkuat pada karbon ampas tebu dengan iradiasi
gelombang ultrasonik

No. 2 (deg) FWHM (deg) Jarak antar kisi ()


1 44,1193 0,19780 2,05101
2 64,4936 0,21070 1,44368
3 77,6091 0,23070 1,22920

Gambar 4.15 menunjukkan puncak-puncak tertinggi pada pola difraksi

karbon aktif ampas tebu dengan iradiasi gelombang ultrasonik. Terdapat tiga

puncak yang meningkat lebih tajam dan sempit, ini disebabkan suhu yang

terlokalisasi hingga 5000 K dalam proses iradiasi memberikan pengaruh terhadap

kristalinitas karbon aktif, sehingga karbon aktif ampas tebu memiliki fasa

kristalinitas yang lebih besar daripada karbon aktif tanpa iradiasi. Puncak yang

memiliki intensitas tertinggi adalah pada sudut 2 44,1163 dengan nilai FWHM

69
0,19820 menghasilkan ukuran partikel sebesar 43,3 nm. Sifat karbon ini juga

amorf yang ditunjukkan adanya pola difraksi dengan intensitas lemah dan

melengkung. Sehingga karbon aktif ampas tebu dengan iradiasi gelombang

ultrasonik hadir pula dalam bentuk kristal dan amorf. Berdasarkan hukum Bragg,

daftar data puncak karbon aktif ampas tebu dengan iradiasi gelombang ultrasonik

menunjukkan nilai rata-rata keseluruhan jarak antar bidang yaitu 3,1811 .

Dari pola difraksi diatas, diketahui sampel dalam keadaan kristal berupa

Mg dalam bentuk senyawa MgO atau periclase. Hal ini diperkuat dengan hasil

analisis komposisi senyawa oleh XRF, bahwa karbon aktif ampas tebu dengan

iradiasi gelombang ultrasonik mampu menghilangkan unsur Fe yang ada.

Intensitas puncak tertinggi katakteristik Mg terindikasi lebih tinggi dari intensitas

puncak utama karakteristik karbon, hal ini disebabkan Mg berperan dalam

meningkatkan derajat kristalinitas, sementara karbon hanya merubah bentuk

struktur dari sampel.

4.4.5 Analisis Permukaan Karbon Aktif Ampas Tebu dengan dan tanpa
Iradiasi Gelombang Ultrasonik

Karakterisasi SEM bertujuan untuk mengetahui morfologi suatu partikel

karbon aktif ampas tebu. Pembesaran gambar karbon aktif ampas tebu dilakukan

pada skala 5 m dan 10 m dengan HV 20 kV dan Working Distance (WD) 7,06

mm. Analisis morfologi karbon aktif ampas tebu tanpa iradiasi gelombang

ultrasonik dapat dilihat pada Gambar 4.16

70
(a) (b)

Gambar. 4.16 Morfologi karbon aktif ampas tebu tanpa iradiasi gelombang
ultrasonik (a) Perbesaran skala 5 m, dan (b) Perbesaran skala 10 m

Gambar diatas memperlihatkan bahwa karbon aktif tanpa iradiasi

gelombang ultrasonik memiliki distribusi pori yang banyak dan teratur.

Pembentukan pori ini disebabkan oleh penguapan komponen yang terdegradasi,

lepasnya senyawa volatil, dan berkurangnya senyawa hidrokarbon sehingga pori

pada permukaan karbon aktif ampas tebu semakin jelas. Struktur mikropori

terbentuk dengan diameter pori 0,2-3 m. Semakin besar distribusi pori dan

semakin kecil ukuran pori pada karbon aktif memberikan luas permukaan

semakin besar, sehingga kapasitas penyimpanan energi menjadi lebih banyak.

Berdasarkan hasil analisis XRD, diketahui bahwa karbon aktif tanpa

iradiasi gelombang ultrasonik memiliki fasa kristalinitas dan nilai jarak antar

bidang yang tinggi yaitu 4,0412 , hal ini diperkuat dengan hasil SEM yang

menunjukkan tampak partikel yang tajam-tajam, kasar, dan tidak pipih.

Munculnya partikel yang tajam-tajam ini menandakan sampel mengalami

71
kristalisasi. Hasil analisis morfologi karbon aktif ampas tebu dengan iradiasi

gelombang ultrasonik dapat dilihat pada Gambar 4.17

(a) (b)

Gambar 4.17 Morfologi karbon aktif ampas tebu dengan iradiasi gelombang
ultrasonik (a) Perbesaran skala 5 m, dan (b) Perbesaran skala 10 m

Pada gambar diatas memperlihatkan bahwa karbon aktif dengan iradiasi

gelombang ultrasonik memiliki distribusi pori yang banyak dan diameter pori

yang cukup besar dari 1-8 m yang tergolong struktur mesopori. Pembentukan

struktur ini disebabkan selama proses iradiasi gelombang uktrasonik, terjadi

proses kavitasi akustik, dimana adanya gelombang kejut yang menghasilkan

tumbukan yang berkecepatan tinggi membuat permukaaan karbon mengalami

pergeseran sehingga terjadi ketidakteraturan pembentukan pori. Semakin besarnya

ukuran pori memberikan luas permukaan kecil sehingga kapasitansi penyimpanan

sedikit. Secara keseluruhan diameter pori permukaan karbon aktif dengan dan

tanpa iradiasi gelombang ultrasonik termasuk kedalam struktur mikropori (< 5

m) yang lebih dominan, sampai mesopori ( 5-25 m) dengan diameter 0,2-8 m.

72
Berdasarkan hasil analisis XRD, diketahui bahwa karbon aktif dengan

iradiasi gelombang ultrasonik memiliki jarak antar bidang yang rendah yaitu

3,1811 , hal ini diperkuat dengan hasil SEM yang menunjukkan bentuk partikel

memiliki permukaan yang lebih halus dan pipih. Adapun hasil EDS memberikan

informasi mengenai komposisi elemen atau unsur yang terkandung didalam

karbon aktif ampas tebu tanpa iradiasi gelombang ultrasonik dapat dilihat pada

Gambar 4.18

cps/eV

1.6

1.4

1.2

1.0

Cr Mg
0.8 ClTi Na
S Ni Al P Cl
O Si S Ti Cr Ni

0.6

0.4

0.2

0.0
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
keV

Gambar. 4.18 Grafik EDS karbon aktif ampas tebu tanpa iradiasi gelombang
ultrasonik

Berdasarkan grafik diatas karbon aktif ampas tebu tanpa iradiasi

gelombang ultrasonik menunjukkan adanya elemen Mg, ini diperkuat dengan

hasil analisis XRD, yang menunjukkan fasa kristal berupa Mg dalam bentuk FeO

4MgO 6O. Adapun komposisi elemental hasil analisa dengan EDS, elemen yang

memiliki kandungan yang banyak adalah karbon (C) 62,2%, disusul oksigen (O)

73
24,0% dan nitrogen (N) 13,8% Banyaknya kandungan karbon disebabkan karbon

yang dihasilkan adalah hasil dari proses aktivasi fisika dan kimia.

Sedangkan hasil EDS mengenai komposisi elemen atau unsur yang

terkandung didalam karbon aktif ampas tebu dengan iradiasi gelombang

ultrasonik dapat dilihat pada Gambar 4.19

cps/eV

1.4

1.2

1.0

0.8
Mg
Cl
Na
S Al P Cl
0.6 O Si S Ca
Ca

0.4

0.2

0.0
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
keV

Gambar 4.19 Grafik EDS karbon aktif ampas tebu dengan iradiasi gelombang
ultrasonik

Berdasarkan grafik diatas karbon aktif ampas tebu dengan iradiasi

gelombang ultrasonik menunjukkan adanya elemen Mg, ini diperkuat pula

dengan hasil analisis XRD, yang menunjukkan fasa kristal berupa Mg dalam

bentuk MgO. Adapun komposisi elemental hasil analisa dengan EDS, elemen

yang memiliki kandungan yang banyak adalah karbon (C) 68,8% disusul oksigen

(O) 30,6% dan kalsium (Ca) 0,6%. Meningkatnya kandungan karbon sesuai

dengan syarat mutu karbon aktif teknis (SNI) yaitu min. 65%, sedangkan

74
meningkatnya kandungan oksigen disebabkan karbon bereaksi dengan oksigen

yang bersifat eksotermik, dan adanya kandungan Ca, diperkuat dengan hasil

analisis XRF yang menunjukkan kandungan Ca yang banyak.

4.4.6 Hasil Analisis Kapasitansi Penyimpanan Karbon Aktif Ampas Tebu


dengan dan tanpa Iradiasi Gelombang Ultrasonik

Analisis kapasitansi penyimpanan karbon aktif bertujuan untuk

mengetahui nilai kapasitansi spesifik suatu kapasitor elektrokimia. Terlebih

dahulu dibuat suatu kapasitor elektrokimia dari karbon aktif ampas tebu. Dimana,

kapasitor ini dibuat dari dua buah elektroda yang terbuat dari karbon aktif dan

dipisahkan oleh sebuah membran yang tipis berupa hidrogel elektrolit.

Selanjutnya, kapasitor elektrokimia dibuat dengan struktur seperti

sandwich, dimana dua buah elektroda karbon dengan hidrogel elektrolit yang

diletakkan ditengah. Sehingga, kapasitor elektrokimia yang dibuat memiliki berat

3,5 gram, diameter 4 cm dan ketebalan 0,7 cm. Hasil kapasitor elektrokimia

terdiri dari dua elektroda karbon nanopori yang mengapit hidrogel dapat dilihat

pada Gambar 4.20.

Gambar 4.20 Kapasitor elektrokimia terdiri dari dua elektroda karbon nanopori
yang mengapit hidrogel elektrolit

75
Pengukuran kapasitas suatu kapasitor elektrokimia dari karbon aktif ampas

tebu menggunakan alat LCR-745 meter dengan frekuensi 120 Hz. Nilai

kapasitansi karbon aktif ampas tebu tanpa iradiasi gelombang ultrasonik sebesar

5,49 x 10-5 F dengan nilai kapasitansi spesifik sebesar 1,56 x10-5 F/g. Sedangkan

nilai kapasitansi karbon aktif ampas tebu dengan iradiasi gelombang ultrasonik

sebesar 4,69x10-5 F dengan nilai kapasitansi spesifik sebesar 1,34 x 10-5 F/g.

Hasil ini menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap karbon aktif

tanpa iradiasi gelombang ulrasonik. Karbon aktif tanpa iradiasi memiliki nilai

kapasitas penyimpanan energi yang lebih besar daripada karbon aktif yang

diiradisi. Ini diperkuat dengan hasil analisis SEM yang memberikan distribusi pori

yang banyak dan diameter yang kecil. Dimana, semakin banyak pori dan semakin

kecil diameter pori yang terbentuk maka akan memberikan luas permukaan yang

besar sehingga kapasitansi penyimpanan besar. Tetapi luas permukaan yang

dihasilkan oleh metode metilen biru tidak sesuai dengan nilai kapasitansi, dimana

luas permukaan yang lebih besar diperoleh pada karbon aktif hasil iradiasi

gelombang ultrasonik. Ini kemungkinan disebabkan akibat kontak yang tidak baik

antara elektroda karbon dan hidrogel, sehingga pengukuran menjadi kurang

akurat. Namun, nilai 5,49 x 10-5 F melebihi hasil yang telah dilakukan oleh Vinda,

N. F (2014) mengenai sintesis dan karakterisasi superkapasitor berbasis

nanokomposit TiO2/C sebesar 1,28 x 10-5 F.

76
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan


bahwa :
1. Ekstraksi 2,5 dan 5 M menunjukkan perubahan pergeseran gugus fungsi

Si-O dan Si-C pada panjang gelombang 1028,06 cm-1 dan 1026,13 cm-1.

2. Intensitas gugus fungsi karbon aktif dengan iradiasi gelombang ultrasonik

meningkat, seperti gugus fungsi -OH, C-H alifatik (dari CH3 dan CH2 ),

ikatan C=O (karbonil), ikatan C-C dan C=C, serta ikatan fenol (C-O).

3. Kandungan unsur terbesar pada karbon aktif dengan iradiasi gelombang

ultrasonik adalah Ca atau oksida CaO sebesar 90,16% dimana memiliki

fasa kristalinitas yang lebih besar berupa Mg dalam bentuk MgO atau

periclase, dan memiliki distribusi pori yang banyak, tidak teratur dan

tergolong mesopori.

4. Luas permukaan karbon aktif dengan iradiasi gelombang ultrasonik pada

kondisi optimum pada suhu 30 oC selama 15 menit yaitu 171,8336 m2/g,

sedangkan luas permukaan karbon aktif tanpa iradiasi gelombang

ultrasonik yaitu 171,3542 m2/g.

5. Nilai kapasitas spesifik penyimpanan energi karbon aktif ampas tebu

dengan iradiasi gelombang ultrasonik yaitu 1,34 x 10-5 F/g, sedangkan

tanpa iradisi gelombang ultrasonik yaitu 1,56 x10-5 F/g,

77
5.2 Saran

Sintesis karbon nanopori dengan iradiasi gelombang ultrasonik dilakukan

dengan menggunakan tambahan pengaruh pH optimum, dan perlu dilakukan

penelitian lebih lanjut mengenai pembuatan kapasitor elektrokimia dengan

elektrolit yang berbeda.

78
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M dan Khairurrijal, 2009, Review: Karakterisasi Nanomaterial, Jurnal


Nanosains & Nanoteknologi, Vol.2 No.1, ITB.

Adam, F., Kandasamy, K dan Batakrishnan, S. 2006, Iron Incorporated


Heterogeneous Catalyst from Rice Husk Ash, Journal of Colloid and
Interface Science, 304, 137-143

Agustin, 2013, Ektraksi dan Penentuan Kadar Silika dari Abu Terbang Batu
Bara, Skripsi, Jurusan Kimia, Universitas Jember, Depok.

Aisah, S., Yulianti, E., san Fasya, A.G., 2010, Penurunan Angka Peroksida dan
Asam Lemak Bebas(FFA) pada Proses BleachingMinyak Goreng
Bekasoleh KarbonAktif Polong Buah Kelor (Moringa oleifera. Lamk)
dengan Aktivasi NaCl, Alchemy, Vol. 1, ( 2), 53-103.

Anggraeni, N. D., 2008, Analisa SEM (Scanning Electron Microscopy) dalam


Pemantauan Proses Oksidasi Magnetite Menjadi Hematite, Skripsi,
Jurusan Teknik Lingkungan, Universitas Brawijaya, Bandung.

Anonim, 2007, Tanaman Obat Indonesia (Tebu), BPPT.

Anonim, 2012, Kajian Integrasi Sapi Potong Dengan Tanaman Tebu Rakyat Guna
Mendukung Program Peningkatan Populasi Sapi Potong Sebesar 2 Juta
Ekor Dan Produksi Gula Sebesar 45 Ribu Ton Di Provinsi Sulawesi
Selatan.

Atmayudha, A., 2007, Pembuatan Karbon Aktif Berbahan Dasar Tempurung


Kelapa dengan Perlakukan Aktivasi Terkontrol serta Uji Kinerjanya,
Skripsi, Jurusan Teknik Kimia, Universitas Indonesia, Depok.

Austin, G. T., 1996, Industri Proses Kimia, Erlangga, Jakarta.

Badan Litbang Pertanian, 2006 (XLI), Arang Aktif Meningkatkan Kualitas


Lingkungan, Agroinovasi, Edisi 6-12 April 2011 page 10-12, Penerbit
Swadaya, Jakarta.

Bakri, Ridla, 2008, Kaolin sebagai sumber SiO2 untuk pembuatan katalis Ni/SiO:
karakterisasidan uji katalis pada hidrogenasi benzena menjadi
sikloheksana, Jurnal Sains, Vol 12, 1, (37-42).

Bon, E. P. S., 2009, Etanol Production via Enzymatic Hydrolysis of Sugarcane


Bagasse and Straw, Science and Technology, Brazil.

79
Chmiola, J., Yuhsin, G., Gogotsi, Y.,Portet, C., Simon, C.,Taberna, P. L., 2006,
Anomalus Increas In Carbon Capacitanse at Pore Sizes less than 1
nanometer, Science, 313(1760-1763).

Chorkendroff, I dan Niemantsverdiet, J. W., 2003, Concepts of Modern Catalysis


an Kinetics, Wliey, New York.

Cotton dan Wilkinson, 1989, Kimia Anorganik Dasar Terjemahan Sahati Sunarto
dari Basic Inorganik Chemistry, Penerbit Universitas Indonesia Press,
Jakarta.

Diantariani, N. O., 2010, Peningkatan Potensi Batu Padas Ladgestone sebagai


Adsorben Ion Logam Berat Cr (III) dalam Air Melalui aktivasi Asan dan
Basa, Jurnal kimia, 4(1), 91-100, Bukit Jimbaran.

Dell, R.M., dan Rand, D.A.J., 2001. Energi storage a key technology for global
energi sustainability, J. Power Sources, (100), 2-7.

Djatmiko, B., S. Ketaren dan S. Setyahartini, 1985, Pengolahan Arang dan


Kegunaannya., Skripsi, Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian IPB, Bogor.

Elaine Y. M., Stella, M., Lala, dan Jose, M. R., 2010, Lithium Storage into
Carbonaceous Materials Obtained from Surcane Bagasse, J. Braz, Chem.
Soc, Vol 21, No. 10, 1877-1884.

Ensiklopedia Nasional Indonesia, 1995, Sifat Fisika dan Kimia Arang Jil.2,
Departemen pandidikan Nasional, Jakarta

Firdaus, 2011, Teknik Labolatorium Kimia Organik, Laporan Hibah Penulisan


Buku Ajar, Program Studi Kimia Jurusan KimiaFakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin, Makassar.

Frackowiak, E., dan Beguin, F., 2001. Carbon materials for the electrochemical
storage of energi in capacitors, Carbon, (39) 937-950.

Gusmailina dan Pari, G., 2002, Pengaruh Pemberian Arang Terhadap


Pertumbuhan Tanaman Cabai Merah (Capsicum annum), Buletin
Penelitian Hasil Hutan, 20(3), 217-229, Bogor.

Hayati, 2007, Dasar-dasar Analisis, Spektroskopi, Malang.

Husin, A., A., 2007, Pemanfaatan Limbah Untuk Bahan Bangunan.


http://www.kimpraswil.go.id/balitbang/puskim/Homepage%20Modul%202
003/modulc1/MAKALAH%20C1_3.pdf.

Husnain, 2010, Mengenal Silika sebagai Unsur Hara, Warta Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, 32(3), 19-20.

80
Jones, T.S, 2000, Silicon, Geological Survey Minerals Yearbook, Amerika.

Junior, O. K., Gurgel, L. V. A., 2009, Adsorption of Cu(II), Cd(II), Pb(II) from
Aqueous Single Metal Solution by Mercerized Cellulose and Mercerized
Surcane Bagasse Chemically Modified with EDTA Dianhydrine
(EDTAD), Carbohydrate Polymers, 77(3), 643-650.

Kalderis, D., 2008, Adsorption of Polluting Substance on Activated Carbons


Prepared from Risk Husk and Surcane Bagasse, Chemical Engineering
Journal, 144(1) : 42-50.

Keenan, C.W., Kleinfelter,D.C., dan Wood, J.H, 1992., Ilmu Kimia Untuk
Universitas Edisi keenam. Jilid 2, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Kinoshita, K, Carbon Electrochemical and Physicochemical Properties, 1988,


John Wiley & Sons, New York.

Kirk, R.E., and Othmer, 1984, Encyclopedia of Chemical Technology Fouth


Edition, John Wiley and Sons, Inc , Vol. 21, New York.

Kurniati, Ely. 2009. Ekstraksi Silica White Powder dari Limbah Padat
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Dieng, UPN Press, Surabaya.

Lienden, C., Shan. L., Rao, S., Ranieri, E., Young, T. M., 2010, Metals Removal
from Stormwater by Commersian and Non-Commersial Granular
Activated Carbons, Water Environment Research, 82 (6) : 351-356

Manocha, S., M., 2003, Porous Carbon, Sadhana, 28, 335-345.

Marsch, H., dan Rodriguez-Reinoso, F., 2006, Activated Carbon, Elsevier Science
& Technology Books, Netherlands.

Matsuzawa, Y., Mae, K., Hasegawa, I., Suzuki, K., Fujiyoshi, H., Ito, M dan
Ayabe, M, 2007, Characterization of Carbonized Municipal Waste as
Substitute for Coal Fuel, Jepang.

Mujiyanti, Nuryono, Kunarti. 2010. Sintesis dan karakterisasi Silika Gel dari Abu
Sekam Padi yang diimobilisasi dengan 3-(Trimetoksisilil)-1-propantiol.
Jurnal Sains, 4(2), 150-167.

Murti, S., 2008, Pembuatan Karbon Aktif Tongkol Jagung untuk Adsorbsi
Molekul Amonia dan Ion Krom, Skripsi, Universitas Indonesia, Depok.

Prabowo, A. L., 2009, Pembuatan Karbon Aktid dari Tongkol Jagung serta
Aplikasinya untuk Adsorbsi Cu, Pb, dan Amonia, Skripsi, Universitas
Indonesia, Depok.

81
Pujianto, 2010, Pembuatan Karbon Aktif Super dari Batubara dan Tempurung
Kelapa, Tesis, Universitas Indonesia, Depok.

Rahayu, T., 2004, Karakteristik Air Sumur Dangkal di Wilayah Kartasura dan
Upaya Penjernihannya, Jurnal MIPA. Vol. 14 (1), hlm. 40 51.

Rosi, M. Iskandar, F., Abdullah, M., Khairurrijal., 2013, Sintesis nanopori Karbon
dengan Variasi Jumlah NaOH dan aplikasinya sebagai Superkapasitor,
Seminar Nasional Material, ITB.

Saputra, P. P. S., 2012, Studi Pemanfaatan Biomassa Ampas Tebu (dan


Perbandingan dengan Batu Bara) Sebagai Bahan Bakar Pembangkit
Listrik Tenaga Uap 1x3mw, Skripsi, Institut Teknologi Sepuluh
November.

Sastrohadimidjojo, 2001, Spektroskopi, Liberty,Yogyakarta.

Sembiring dan Meilita R., 2003, Arang Aktif (Pengenalan dan Proses
Pembuatannya), USU Digital Library, Medan.

Shofa, 2012, Pembuatan Karbon Aktif Berbahan Baku Ampas Tebu dengan
Aktivasi Kalium Hidroksida, Skripsi, Universitas Indonesia, Depok.

Sudibandrio, M., 2003, A Generalized Ono-Kondollatice Model of High Pressure


and Carbon Adsorben, Disertasi, Oklahoma State University, Oklahoma

Suhendrawati, L., Suharto, B., dan Susanawati, L. D., 2013, Pengaruh Konsentrasi
Larutan KOH pada Abu dasar Ampas Tebu Teraktivasi, Jurnal Sumber
Daya Alam dan Lingkungan, Universitas Brawijaya

Sunardi, S.P., 2006, 116 Unsur Kimia Deskripsi dan Pemanfaatannya, Yrama
Widya.

Svehla G, 1985, Vogel Bagian II Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro
dan Semimikro Edisi ke lima, Kalman Media Pustaka, Jakarta.

Suslick, K. S, 1999, "Sonochemistry", Science, 247 (1439-1445).

Suslick, K. S., Dedinko, Y., Fang. M. M., Hyeon. T., Kolbeck, K. J., Mc Namara
III W. B., Mdleleni, M. M., dan Wong, M., 1996, Nanostructured Materials
Generated by High-Intensity Ultrasound: Sonochemical Synthesis and
Catalytic Studies, 8, 2127-2179.

Vinda, N. R., 2014, Sintesis dan Karakterisasi Superkapasitor Berbasis


Nanokomposit TiO2 /C, Skripsi, Universitas Negeri Malang, Malang.

82
Wei, X., Xiao, Li., Jin Zhou, dan Ping, Z. S., 2011, Nanoporous Carbon Derived
from Risk Husk for Electrochemical Capacitor Application, Advanced
Materials Research, 239-242, www.scientific.net

Wibawa, Indra., 2012, Ekstraksi Cair-Cair, Teknik Kimia Universitas, Lampung.

Widihati, I. A. G., Ratnayani, O., dan Angelina, Y., 2010, Karakterisasi


Keasaman dan Luas Permukaan Tempurung Kelapa Hijau dan
Pemanfaatannya Sebagai Bioadsorben Ion Cd 2+, Jurnal Kimia, 4(1), 7-14,
Universitas Udayana Bukit Jimbaran.

Wijayanti, R., 2009, Arang Aktif dari Ampas Tebu sebagai Adsorben pada
Permurnian Minyak Goreng Bekas, Skripsi, Institut Pertanian Bogor.

Wilson I D, Michael C, Colin F P, Edward R A, 2000, Encyclopedia of Separation


Science, Academic Press, 118-119.

Winaya, I. N. S., 2010, Co-Firing Sistem Fludized Bed Berbahan Bakar Batu
Bara dan Ampas Tebu, Jurnal Ilmiah Teknik Mesin, 4(2), 180-188.

Winter, M., dan Brodd, R.J., 2004., What are batteries, fuel cells, and
supercapacitors?, Chem. Rev., (104), 4245-4269.

Witono, J., A., 2003, Produksi Furfural dan Turunannya : Alternatif Peningkatan
Nilai Tambah Ampas Tebu Indonesia, Skripsi, Teknik Kimia, Universitas
Indonesia, Depok.

Yang, J. Liu, J. Chen, X. Hu, Z. Zhao, G., 2008, Carbone Electrode Material with
High Densities of Energi and Power, Acta Physica-Chimica Sinica, 24 (13-
19).

Zakir, M., 2010, Kimia Dasar Tim Dosen Kimia Universitas Hasanuddin, Unit
Pelaksanaan Teknis Mata Kuliah Umum, Universitas Hasanuddin,
Makassar.

Zakir, M., 2013, Elektrodeposisi Logam Ru dan Polianilina Pada Permukaan


Karbon Aktif Sekam padi dengan Iradiasi Ultrasonik, Indonesia Chemica
Acta, 6(2), Universitas Hasanuddin, Makassar.

83
Lampiran 1. Diagram Alir Penelitian

Preparasi Alat dan Bahan


Baku
Karbonisasi

Karbonisasi T = 400 oC

Pengayakan sampai ukuran 125 mesh

Ekstraksi Silika

Penambahan NaOH 2,5


M, 5 M, dan 10 M

Analisis unsur dan gugus


Karbon mengandung Karbon bebas silika
Silika NaOH 0 M fungsi dengan FTIR
NaOH 5 M

Aktivasi Kimia
Pencampuran aktivator NaOH
pada karbon ampas tebu

Dengan dan Tanpa Iradiasi Gelombang Ultrasonik

Karbon Aktif Karbon Aktif


bebas silika bebas silika
dengan iradiasi tanpa iradiasi

Karakterisasi Karbon Aktif

Analisis unsur, komposisi, gugus fungsi, luas


permukaan, dan kapasitansi spesifik dengan
XRD, XRF, FTIR, SEM, LCR-745 meter, dan
metode metilen biru
BAB I

84
Lampiran 2. Bagan Kerja Penelitian

1. Preparasi Sampel (Shofa, 2012)

Ampas Tebu

- Dicuci dengan akuades dengan bersih


- Dikeringkan dibawah sinar matahari langsung hingga
kering 4 - 5 jam
- Dikeringkan didalam oven 15 menit
- Dipotong-potong

Ampas Tebu Bersih

2. Karbonisasi Ampas Tebu (Shofa, 2012)

Ampas Tebu Bersih

- Dibakar diatas kompor listrik 30 menit hingga mengarang


- Dibakar dalam tanur pada suhu 350 oC selama 1 jam
- Didinginkan dan diayak dengan pengayak 100 mesh

Karbon Ampas Tebu

3. Ekstraksi Silika (Wei, X., Xiao, Li., Jin Zhou, dan Ping, Z. S., 2011)

Karbon Ampas Tebu

- Ditambahkan NaOH 2,5 M, 5 M, 10 M dan tanpa


penambahan NaOH
- Disaring dengan kertas saring biasa

Filtrat Residu

- Dicuci dengan akuades


- Dikeringkan dalam oven 100 oC
- Ditimbang
- Dianalisis gugus fungsi, komposisi, dan luas permukaan

Karbon Bebas Silika


Ekstraksi NaOH 5 M

85
4. Aktivasi Kimia (Shofa, 2012) (Yupeng Guo, dkk., 2003)

Karbon Bebas
Silika

- Ditambakan NaOH 5 M
- Direndam selama 24 jam
- Diberi perlakuan dengan dan tanpa iradiasi gelombang
ultrasonik
- Disaring dengan kertas saring

Filtrat Residu

- Dicuci dengan HCl 1 N dan aquadest secara berulang-


ulang
- Dikeringkan dalam oven 110 oC
- Disimpan dalam desikator
-Dibakar dalam tanur 350 oC jam

Karbon Aktif Karbon Aktif


bebas silika bebas silika
dengan iradiasi tanpa iradiasi

5. Karakterisasi Karbon Aktif Nanopori Ampas Tebu

Karbon Aktif Karbon Aktif


bebas silika dengan bebas silika tanpa
iradiasi iradiasi

- Dianalisis Permukaan dengan SEM, XRD, dan XRF


- Dianalisis gugus fungsi dengan FTIR
- Dianalisis luas permukaan dengan metode metilen biru
- Dianalisis kapasitansi spesifik dengan LCR-meter

Karbon Aktif Nanopori


Ampas Tebu

86
6. Prosedur Penentuan Luas Permukaan dengan Metode Metilen Biru

a. Pembuatan larutan standar

Metilen Biru 100 ppm

- Diencerkn sebagai larutan standar dengan konsentrasi 1, 2, 4, 8,


dan 16 ppm kedalam labu ukur 100 ml
- Diambil 2 ppm untuk diukur absorbansi pada maks 658 nm

Data

b. Pembuatan larutan sampel

Metilen Biru 300 ppm

- Dimasukkan kedalam Erlenmeyer sebanyak 50 ml


- Ditambahkan 0,3 gram karbon aktif dan ditutup aluminium foil
- Diaduk dengan magnetic stirrer selama 30 menit
- Diukur absorbansinya pada maks 658 nm
- Ditentukan konsentrasi setelah adsorbsi melalui kurva standar

Data

7. Prosedur Pembuatan Kapasitor Elektrokimia

a. Pembuatan Hidrogel Elektrolit

PVA 5 gram

- Dilarutkan dalam akuades 100 ml


- Diaduk selama 3 jam dengan suhu 50 C
- Didiamkan hingga mencapai suhu 25 C
- Ditambahkan H2SO4 1M (1:1)
- Ditambahkan natrasol 0,5 gram
- Diaduk dan segera dituang kedalam cetakan
- DIbiarkan kering selama tiga hari

Data

87
b. Pembuatan Elektroda Karbon

PVA 5 gram

- Dilarutkan dalam akuades 100 ml


- Diaduk selama 3 jam dengan suhu 50 C
- Didiamkan hingga mencapai suhu 25 C
- Ditambahkan H2SO4 1M (1:1)
- Ditambahkan karbon katif 0,5 gram
- Ditambahkan natrasol 0,5 gram
- Diaduk dan segera dituang kedalam cetakan
- DIbiarkan kering selama tiga hari

Elektroda Hidrogel
karbon Elektrolit

- Dibuat seperti sandwich, dimana dua buah elektroda


karbon mengapit hidrogel yang diletakkan ditengah

Kapasitor Elektrokimia

88
Lampiran 3. Perhitungan Luas Permukaan Karbon Ampas Tebu

(Co-Ce) x V larutan (L)


Xm = , dimana Co = konsentrasi awal
Massa karbon aktif (g) Ce = konsentrasi akhir

Xm. N. a
S=
Mr

Keterangan :
S = luas permukaan adsorben (m2/g)
N = bilangan Avogadro (6,022.1023 mol-1)
Xm = berat adsorbat teradsorbsi (mg/g)
a = luas permukaan oleh satu molekul metilen biru (197.10 -20 m2)
M r = massa molekul relative metilen biru (320 g/mol)

Sampel Absorb Akhir Awal Volume Massa Xm (Na.a S (m2/g)


ansi (ppm) (ppm) Larutan Karbon (mg/g) )/Mr
(L) (g)
Sebelum 4,414 22,726283 300 0,05 0,3 46,212 3,706 171,2627
ekstraksi 05 28616

Ekstraksi 1,280 1,2954898 300 0,05 0,3 49,784 3,706 184,4998


2,5 M 91 08502

Ekstraksi 0,122 0,4739583 300 0,05 0,3 49,921 3,706 185,0073


5M 33 00694

Ekstraksi 0,245 1,1145833 300 0,05 0,3 49,814 3,706 184,6116


10 M 33 23611

Setelah 4,366 22,578125 300 0,05 0,3 46,236 3,706 171,3542


Aktivasi 97917
(Tanpa
Iradiasi)
Setelah 4,217 21,80208 300 0,05 0,3 46,466 3,706 171,8336
Aktivasi 32
(Dengan
Iradiasi)

89
a. Perhitungan Luas Permukaan Sebelum Ekstraksi Silika

Nilai persamaan garis y = 0,1929x + 0,031 dan R2 = 0,9934.

4,414 = 0,1929x + 0,031

x = 22,7262 ppm

(Co-Ce) x V larutan (L)


Xm =
Massa karbon aktif (g)

(300 ppm -22,7262 ppm) x 0,05 L


Xm =
0,3 gram

Xm = 46,2122 mg/g

Xm. N. a 46,2122 mg/g x 6,022.1023/mol x 197.10-20 m2


S= =
Mr 320,5 gram/mol

S = 171, 2627 m2/g

b. Perhitungan Luas Permukaan Setelah Ekstraksi Silika NaOH 2,5 M

Nilai persamaan garis y = 0,1929x + 0,031 dan R2 = 0,9934.

0,280 = 0,1929x + 0,031

x = 1,2954 ppm

(Co-Ce) x V larutan (L)


Xm =
Massa karbon aktif (g)

(300 ppm - 1,2954 ppm) x 0,05 L


Xm =
0,3 gram

Xm = 49,7840 mg/g

90
Xm. N. a 49,7840 mg/g x 6,022.1023/mol x 197.10-20 m2
S= =
Mr 320,5 gram/mol

S = 184,4998 m2/g

c. Perhitungan Luas Permukaan Setelah Ekstraksi Silika NaOH 5 M

Nilai persamaan garis y = 0,1929x + 0,031 dan R2 = 0,9934.

0,122 = 0,1929x + 0,031

x = 0,4739 ppm

(Co-Ce) x V larutan (L)


Xm =
Massa karbon aktif (g)

(300 ppm 0,4739 ppm) x 0,05 L


Xm =
0,3 gram

Xm = 49,9210 mg/g

Xm. N. a 49,9210mg/g x 6,022.1023/mol x 197.10-20 m2


S= =
Mr 320,5 gram/mol

S = 185,0073 m2/g

d. Perhitungan Luas Permukaan Setelah Ekstraksi Silika NaOH 10 M

Nilai persamaan garis y = 0,1929x + 0,031 dan R2 = 0,9934.

0,245 = 0,1929x + 0,031

x = 1,114 ppm

91
(Co-Ce) x V larutan (L)
Xm =
Massa karbon aktif (g)

(300 ppm 1,114 ppm) x 0,05 L


Xm =
0,3 gram

Xm = 49,8142 mg/g

Xm. N. a 49,8142 mg/g x 6,022.1023/mol x 197.10-20 m2


S= =
Mr 320,5 gram/mol

S = 184,6116 m2/g

e. Perhitungan Luas Permukaan Karbon Setelah Aktivasi NaOH 5 M

Nilai persamaan garis y = 0,1929x + 0,031 dan R2 = 0,9934.

4,366 = 0,1929x + 0,031

x = 22,5781 ppm

(Co-Ce) x V larutan (L)


Xm =
Massa karbon aktif (g)

(300 ppm 22,5781 ppm) x 0,05 L


Xm =
0,3 gram

Xm = 46,2369 mg/g

Xm. N. a 46,2389 mg/g x 6,022.1023/mol x 197.10-20 m2


S= =
Mr 320,5 gram/mol

S = 171,3542 m2/g

92
Lampiran 4. Perhitungan Ukuran Partikel Karbon Aktif Ampas Tebu

Persamaan Schereer :

K.
D=
cos
dimana, D = Ukuran Partikel

K = Faktor bentuk dari Kristal (0,9-1)

= Panjang gelombang dari sinar-X (1,54056 )

= Nilai dari Full Width at Half Maximum (FWHM) (rad)

= Sudut Difraksi (derajat)

a. Perhitungan Ukuran Partikel Karbon Aktif Ampas Tebu tanpa Iradiasi

Gelombang Ultrasonik

K. 0,9 . 1,54056
D= =
cos 0,003459243 . cos 22,05815

1,386504
=
0,003459243. 0,926803185

1,386504
=
3,206037432 x10-3

= 432,46

= 43,2 nm

93
b. Perhitungan Ukuran Partikel Karbon Aktif Ampas Tebu dengan Iradiasi

Gelombang Ultrasonik

K. 0,9 . 1,54056
D= =
cos 0,003452261 . cos 22,05965

1,386504
=
0,003452261. 0,926832678

1,386504
=
3,199532549x10-3

= 433,34

= 43,3 nm

94
Lampiran 5. Data Hasil Karakterisasi FTIR

a. Karbon Aktif Ampas Tebu tanpa Iradiasi Gelombang Ultrasonik

95
b. Karbon Aktif Ampas Tebu tanpa Iradiasi Gelombang Ultrasonik

96
Lampiran 6. Data Hasil Karakterisasi XRF

a. Karbon Aktif Ampas Tebu tanpa Iradiasi Gelombang Ultrasonik

97
b. Karbon Aktif Ampas Tebu dengan Iradiasi Gelombang Ultrasonik

98
Lampiran 7. Data Hasil Karakterisasi XRD

a. Karbon Aktif Ampas Tebu tanpa Iradiasi Gelombang Ultrasonik

99
100
b. Karbon Aktif Ampas Tebu dengan Iradiasi Gelombang Ultrasonik

101
Lampiran 8. Data Hasil Karakterisasi SEM

a. Karbon Aktif Ampas Tebu tanpa Iradiasi Gelombang Ultrasonik

cps/eV

1.6

1.4

1.2

1.0

Cr Mg
0.8 ClTi Na
S Ni Al P Cl
O Si S Ti Cr Ni

0.6

0.4

0.2

0.0
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
keV

Spektrum: test

Element unn. C norm. C Atom. C Compound norm. Comp. C Error (3 Sigma)


[wt.%] [wt.%] [at.%] [wt.%] [wt.%]
------------------------------------------------------------------------
Oxygen 2.30 43.65 61.24 0.00 2.17
Silicon 0.34 6.42 5.13 SiO2 13.73 0.29
Aluminium 0.48 9.18 7.64 Al2O3 17.34 0.38
Sodium 0.20 3.83 3.74 Na2O 5.16 0.32
Nickel 0.17 3.30 1.26 NiO 4.20 0.36
Magnesium 0.35 6.58 6.08 MgO 10.91 0.35
Titanium 0.66 12.43 5.83 TiO2 20.74 0.46
Chromium 0.22 4.14 1.79 Cr2O3 6.05 0.32
Phosphorus 0.25 4.76 3.45 P2O5 10.91 0.27
Sulfur 0.19 3.51 2.45 SO3 8.75 0.23
Chlorine 0.12 2.21 1.40 2.21 0.20
------------------------------------------------------------------------
Total: 5.28 100.00 100.00

102
b. Karbon Aktif Ampas Tebu dengan Iradiasi Gelombang Ultrasonik

cps/eV

1.4

1.2

1.0

0.8
Mg
Cl
Na
S Al P Cl
0.6 O Si S Ca
Ca

0.4

0.2

0.0
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
keV

Spektrum: test

Element unn. C norm. C Atom. C Compound norm. Comp. C Error (3 Sigma)


[wt.%] [wt.%] [at.%] [wt.%] [wt.%]
------------------------------------------------------------------------
Oxygen 0.75 38.95 54.80 0.00 0.75
Silicon 0.08 4.06 3.25 SiO2 8.68 0.17
Aluminium 0.07 3.54 2.95 Al2O3 6.69 0.18
Sodium 0.21 10.64 10.42 Na2O 14.34 0.32
Magnesium 0.15 7.66 7.10 MgO 12.71 0.25
Calcium 0.41 21.13 11.87 CaO 29.56 0.35
Phosphorus 0.04 2.12 1.54 P2O5 4.85 0.15
Sulfur 0.15 7.52 5.28 SO3 18.78 0.21
Chlorine 0.08 4.38 2.78 4.38 0.18
------------------------------------------------------------------------
Total: 1.93 100.00 100.00

103
Lampiran 9. Dokumentasi Kegiatan Penelitian

1. Preparasi alat dan bahan yang digunakan dalam proses penelitian

2. Proses Karbonisasi

3. Proses Ekstraksi Silika

104
4. Proses Aktivasi Karbon

5. Proses Pencucian, Pengeringan, dan Pendinginan

105
6. Proses Iradisi Gelombang Ultrasonik

7. Penetuan Luas Permukaan dengan Metode Metilen Biru

8. Penentuan Kapasitansi Spesifik dengan LCR Meter

106

Anda mungkin juga menyukai