Anda di halaman 1dari 15

RESPON FISIOLOGI TANAMAN CABAI RAWIT TERHADAP STRESS GARAM

RESPON FISIOLOGI TANAMAN CABAI RAWIT (Capsicun frutestescens L.) TERHADAP STRESS GARAM

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini produktivitas lahan terutama di daerah pesisir terus mengalami penurunan akibat
meningkatnya salinitas. Peningkatan salinitas tersebut diduga berkaitan dengan tingginya intrusi air
laut, sebagai konsekuensi dari penggunaan air tanah yang berlebihan untuk memenuhi kebutuhan
manusia akan air yang semakin meningkat. Kurang lebih sepertiga dari seluruh luasan tanah
pertanian yang teririgasi telah mengalami peningkatan salinitas, terutama didaerah – daerah kering
dimana stres garam biasanya dibarengi dengan stres akibat suhu tinggi (Lu dan Zhang, 1998)
sehingga semakin banyak lahan pertanian yang hilang akibat salinitas.

Kadar garam yang tinggi pada tanah menyebabkan tergganggunya pertumbuhan, produktivitas
tanaman dan fungsi-fungsi fisiologis tanaman secara normal, terutama pada jenis-jenis tanaman
pertanian. Salinitas tanah menekan proses pertumbuhan tanaman dengan efek yang menghambat
pembesaran dan pembelahan sel, produksi protein, serta penambahan biomassa tanaman. Tanaman
yang mengalami stres garam umumnya tidak menunjukkan respon dalam bentuk kerusakan
langsung tetapi dalam bentuk pertumbuhan tanaman yang tertekan dan perubahan secara perlahan
(Sipayung, 2003). Dalam FAO (2005) dijelaskan bahwa garam-garaman mempengaruhi pertumbuhan
tanaman umumnya melalui: (a) keracunan yang disebabkan penyerapan unsur penyusun garam yang
berlebihan, (b) penurunan penyerapan air dan (c) penurunan dalam penyerapan unsur-unsur hara
yang penting bagi tanaman.

Menurut Petani Wahid (2006), kemasaman tanah merupakan kendala paling inherence dalam
pengembangan pertanian di lahan sulfat masam. Tanaman tumbuh normal (sehat) umumnya pada
ph 5,5 untuk tanah gambut dan pH 6,5 untuk tanah mineral. Pada kebanyakan spesies, pengaruh
jenis-jenis garam umumnya tidak khas terhadap pertumbuhan tanaman tetapi lebih tergantung pada
konsentrasi total garamyang dikandung media tanam.

Cabai rawit, (Capsicum frutescens L.) adalah tumbuhan dari anggotagenusCapsicum. Selain
di Indonesia, tanaman ini juga tumbuh dan populer sebagai bumbu masakan di negara-negara Asia
Tenggara lainnya (Wikipedia, 2010). Buahnya digunakan sebagai sayuran, bumbu masak, acar, dan
asinan. Di dalam buah cabe rawit terkandung kapsaisin, kapsantin, karotenoid, alkaloid atsiri, resin,
minyak atsiri, vitamin A, dan Vitamin C. Kapsaisin memberikan rasa pedas, berkhasiat untuk
melancarkan aliran darah serta pemati rasa kulit. Bijinya mengandung solanin, solamidin,
solamargin, solasodin, solasomin, dan steroid saponin (kapsisidin). Kapsisidin berkhasiat sebagai
antibiotik (Iptek, 2010).

Bertanam cabai rawit dapat memberikan nilai ekonomi yang cukup tinggi apabila diusahakan dengan
sungguh–sungguh. Satu hektar tanaman cabai rawit dapat menghasilkan 8 ton buah cabai rawit
(Nungardani, 2010). Cabai rawit akan bertumbuh dan berproduksi dengan baik apabila ditanam pada
lingkungan yang optimum, baik iklim maupun tanah tempat tumbuhnya. Menurut Hanafi (2010)
tanah yang baik untuk cabe rawit adalah gembur, subur, porous, dan banyak mengandung humus
atau bahan organik serta memiliki kandungan garam yang tidak terlalu tinggi. Akan tetapi,
tanahyang dimaksud sudah sulit didapat akibat meningkatnya salinitas tanah.

Cabai rawit (Capsicum frutescens L.)merupakan salah satu jenis tanaman yang tidak tahan salinitas
tinggi (glycophyta). Ketahanan terhadap salinitas adalah kemampuan untuk mempertahankan
pertumbuhan dan metabolisme pada lingkungan yang kaya akan NaCl (Munns et al., 1995).
Ketahanan tersebut ditentukan oleh beberapa faktor struktural dan fisiologis yang berbeda namun
sangat berkaitan membentuk sebuah pengaruh yang sangat kompleks (Robinson et al., 1997),
sementara tumbuhan tingkat tinggi tidak memiliki metabolisme yang tahan garam, meskipun
tumbuhan tersebut terbenam dalam air laut (Yeo, 1998).

Setiap makhluk hidup memerlukan kondisi lingkungan sesuai untuk pertumbuhan dan
perkembangannya dalam kehidupan. Pada kenyataanya, kondisi lingkungan di mana makhluk hidup
berada selalu mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi mungkin saja masih berada dalam area
toleransi makhluk hidup, namun seringkali perubahan lingkungan menyebabkan menurunnya
produktivitas bahkan kematian pada makhluk hidup. Hal ini menguatkan bahwa setiap makhluk
hidup memiliki faktor pembatas dan daya toleransi terhadap lingkungan. Bila kondisi lingkungan
sedemikian rupa sehingga makhluk hidup tanggap secara maksimal terhadap suatu faktor lingkungan
maka makhluk hidup itu tidak tercekam oleh faktor tersebut. Oleh karena itu, hal tersebut yang akan
dipelajari dalam praktikum ini.

B. Tujuan

Tujuan dari mini project ini adalah :

1 Memahami bahwa pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal
(lingkungan)
2 Memahami bahwa kondisi lingkungan yang ekstrim (cekaman) merupakan kondisi yang kurang
menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman.
3 Menentukan besarnya kandungan garam dalam media tanam dimana tanaman masih toleran
untuk tumbuh.
4 Menjelaskan dampak cekaman garam tinggi terhadap perubahan – perubahan fisiologi tanaman
cabai rawit (Capsicum frutescens L).

II. MATERI DAN METODE

A. Materi

Alat yang di gunakan polybag ukuran kecil, penggaris, timbangan analitis, kamera, kertas HVS 70
gr, mortar dan pastle, tabung reaksi, oven, kertas label.

Bahan yang digunakan tanaman cabai rawit (Capsicum frutescens L), tanah, akuades, larutan
NaCl, larutan aseton.
B. Metode

1. Cara Kerja

1.1 Prosedur umum

Benih yang digunakan dipilih, disemai dan kemudian ditanam dalam polybag ukuran 5 kg,
sebanyak 3 tanaman/polybag. Pemupukan dan pemeliharaan tanaman dilakukan sesuai standar.

1.2 Pemaparan NaCl

1. Pembuatan larutan garam. Untuk mini project ini digunakan garam dapur. Garam dapur (NaCl)
yang dibutuhkan ditimbang dengan menggunakan rumus :

M = G/Mr x 1000/V

Dimana :

M = molaritas garam yang diinginkan

G = berat garam yang harus ditimbang

Mr = berat molekul NaCl

V = volume larutan garam yang diinginkan

2. Ditimbang NaCl kemudian dilarutkan dengan air sampai volume tertentu dan diaduk hingga
homogen.
3. Perlakuan NaCl diberikan ketika tanaman berumur 14 hari sampai dengan tanaman
berumur 8 minggu, dan dengan dosis 1 liter/polybag. Pemberian NaCl dilakukan setiap satu
minggu sekali, sementara penyiraman dilakukan setiap dua hari sekali.

1.3 Pengukuran Tinggi Tanaman

1. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan setiap satu minggu sekali.


2. Tinggi tanaman diukur menggunakan penggaris mulai dari pangkal batang sampai titik
tumbuh apikal tanaman kemudian hasilnya dicatat.

1.4 Pengukuran Luas Daun

1. Pengukuran luas daun dilakukan setiap dua minggu sekali.


2. Daun yang diukur luasnya adalah daun ke dua dari ujung pada tanaman cabai rawit.
3. Pengukuran luas daun dilakukanmenggunakan metode gravimetri.
4. Kertas HVS 70 gr dipotong dengan ukuran 4cm x 4cm sehingga berbentuk bujursangkar
dengan luas 16cm².
5. Kertas yang telah berbentuk bujursangkar ditimbang sehingga diperoleh berat kertas yaitu
0,71 gr.
6. Daun kedua dari tanaman cabai diambil dan dibuat polanya pada kertas bujursangkar tadi
kemudian dipotong menurut polanya.
7. Pola daun kedua tersebut ditimbang menggunakan timbangan analitis sehingga diperoleh
berat pola sampel daun.
8. Luas daun kedua dihitung dengan rumus :

Luas daun = cm²

A = Luas kertas bujursangkar (cm²)

B = Berat kertas bujursangkar (gram)

C = Berat pola sampel daun (gram)

1.5 Pengukuran Kandungan Khlorofil

1. 1.Daun yang segar dengan ukuran 1cm x 1cm pada masing – masing konsentrasi diambil.
2. Daun ditumbuk menggunakan mortar dan pastle dan dicampurkan dengan larutan aseton
80% sehingga khlorofil larut.
3. Absorbansi filtrat diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 470nm,
646nm, dan 663nm.
4. Kandungan klorofil tanaman cabai dihitung menggunakan rumus :
 Chlorophyll a(µg/ml) = 12,21 (A663) – 2,81 (A646)
 Chlorophyll b(µg/ml) = 20,13 (A646) – 5,03 (A663)
 Total chlorophyll (µg/ml) = 17,3 (A646) – 7,18 (A663)

2. Metode Penelitian

2.1 Lokasi dan Waktu

Mini project ini dilakukan di Fakultas Biologi Universitas Jendral Soedirman selama 8 minggu.

2.2 Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan dasar Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan perlakuan berupa konsentrasi garam NaCl (K) yang diberikan yaitu : K0 (control), K1 (10 mM
NaCl), K2 (20 mM NaCl), K3 (30 mM NaCl), K4 (40 mM NaCl), K5 (50 mM NaCl). Masing – masing
perlakuan diulang minimal 3 kali.

2.3 Variabel dan Parameter

Variabel yang diamati adalah pertumbuhan cabai rawit (Capsicum frutescens L.), dengan parameter
yang diukur : tinggi tanaman, berat basah dan berat kering tanaman, luas daun, kandungan klorofil
daun dan titik eklusi garam.
B. Pembahasan

Berdasarkan hasil praktikum yang dilakukan selama 8 minggu pengamatan, didapatkan hasil bahwa
tanaman cabai rawit yang tidak mendapatkan stres garam atau konsentrasi kadar garamnya 0% mati
sedangkan yang terpapar stres garam pada konsentrasi yang tinggi yaitu 50% tetap hidup. Hal ini
tidak sesuai pustaka yang menyebutkan bahwa dalam konteks ini tanaman mengalami stres garam(
cekaman)bila terpapar garam dengan konsentrasi cukup tinggi sehingga menurunkan potensial air
sebesar 0,05 – 0,1 Mpa. Stres garam ini berbeda dengan stres ion yang tidak begitu menekan
potensial air (Lewit, dalam Sipayung, 2006).Ketidaksesuaian hasil dengan pustaka ini dapat
diidentifikasi karena adanya faktor lain yang turut menjadi penentu pertumbuhan tanaman yaitu
faktor lingkungan. Faktor kondisi lingkungan yang dimaksud disini adalah curah hujan yang terjadi
hampir setiap hari yang menyebabkan tanaman terlalu banyak mengonsumsi air dan akhirnya
mengalami stres tambahan yaitu stres air.

Dampak genangan air adalah menurunkan pertukaran gas antara tanah dan udara yang
mengakibatkan menurunnya ketersediaan O2 bagi akar, menghambat pasokan O2 bagi akar dan
mikroorganisme (mendorong udara keluar dari pori tanah maupun menghambat laju difusi).
Genangan berpengaruh terhadap proses fisiologis dan biokimiawi antara lain respirasi, permeabilitas
akar, penyerapan air dan hara, penyematan N. Genangan menyebabkan kematian akar di kedalaman
tertentu dan hal ini akan memacu pembentukan akar adventif pada bagian di dekat permukaan
tanah pada tanaman yang tahan genangan. Kematian akar menjadi penyebab kekahatan N dan
cekaman kekeringan fisiologis (Staff Lab Ilmu Tanaman, 2008).

Pada tanaman yang tidak mengalami stress garam (konsentrasi NaCl 0%)akan mengalami stres air
yang sangat besar sehingga kemungkinan pasokan oksigen yang didapat tidak mencukupi untuk
pertumbuhannya dan menyebabkan tanaman mati. Pada tanaman yang terpapar NaCl, stres air
dapat teratasi karena air yang ada akan melarutkan NaCl sehingga konsentrasi NaCl akan menurun
dan tidak menimbulkan stres, baik stres garam maupun stres air pada tanaman cabai.

Pada prinsipnya, setiap tumbuhan memiliki kisaran tertentu terhadap faktor lingkungannya. Prinsip
tersebut dinyatakan sebagai Hukum Toleransi Shelford, yang berbunyi “Setiap organisme
mempunyai suatu kondisi minimum dan maksimum ekologis, yang merupakan batas bawah dan
batas atas dari kisaran toleransi organisme itu terhadap kondisi faktor lingkungannya(Dharmawan,
2005). Setiap makhluk hidup memiliki range of optimum atau kisaran optimum terhadap faktor
lingkungan untuk pertumbuhannya. Kondisi di atas ataupun di bawah batas kisaran toleransi itu akan
menyebabkan makhluk hidup mengalami stres fisiologis. Pada kondisi stres fisiologis ini, populasi
akan menurun. Apabila kondisi stres ini terus berlangsung dalam waktu yang lama dan telah
mencapai batas toleransi kelulushidupan, maka organismetersebut akan mati.

Stres (cekaman) biasanya didefinisikan sebagai faktor luar yang tidak menguntungkan yang
berpengaruh buruk terhadap tanaman (Fallah, 2006). Campbell (2003), mendefinisikan cekaman
sebagai kondisi lingkungan yang dapat memberi pengaruh buruk pada pertumbuhan, reproduksi dan
kelangsungan hidup tumbuhan. Menurut Hidayat (2002), pada umumnya cekaman lingkungan pada
tumbuhan dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) cekaman biotik, terdiri dari: (a) kompetisi intra
spesies dan antar spesies, (b) infeksi oleh hama dan penyakit, dan (2) cekaman abiotik berupa: (a)
suhu (tinggi dan rendah), (b) air (kelebihan dan kekurangan), (c) radiasi (ultraviolet, infra merah, dan
radiasi mengionisasi), (d) kimiawi (garam, gas, dan pestisida), (e) angin, dan (f) suara.
Stres garam terjadi dengan terdapatnya salinitas atau konsentrasi garam-garam terlarut yang
berlebihan dalam tanaman. Stres garam ini umumnya terjadi dalam tanaman pada tanah salin. Stres
garam meningkat dengan meningkatnya konsentrasi garam hingga tingkat konsentrasi tertentu yang
dapat mengakibatkan kematian tanaman. Garam-garam yang menimbulkan stres tanaman antara
lain ialah NaCl, NaSO4, CaCl2, MgSO4, MgCl2 yang terlarut dalam air (Sipayung, 2006). Stres akibat
kelebihan Na+ dapat mempengaruhi beberapa proses fisiologi dari mulai perkecambahan sampai
pertumbuhan tanaman (Fallah, 2006).

Toleransi terhadap salinitas diantara spesies tanaman adalah beragam dengan spektrum yang luas
mulai dari yang peka hingga yang cukup toleran. Follet etal,(1981 dalam Sipayung, 2006)
mengajukan lima tingkat pengaruh salinitas tanah terhadap tanaman, mulai dari tingkat non-salin
hingga tingkat salinitas yang sangat tinggi, seperti diberikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh Tingkat Salinitas terhadap Tanaman

Tingkat Salinitas Konduktivitas (mmhos) Pengaruh Terhadap


Tanaman

Non Salin 0–2 Dapat diabaikan

Rendah 2–4 Tanaman yang peka


terganggu

Sedang 4–8 Kebanyakan tanaman


terganggu

Tinggi 8 – 16 Tanaman yang toleran


belum terganggu

Sangat Tinggi > 16 Hanya beberapa jenis


tanaman toleran yang

dapat tumbuh

Untuk mempertahankan kehidupannya, jenis-jenis tanaman tertentu memiliki mekanisme toleransi


tanaman sebagai respon terhadap salinitas tanah. Jenis-jenis tanaman memiliki toleransi yang
berbeda-beda terhadap salinitas. Beberapa tanaman budidaya misalnya tomat, bit gula, beras
belanda lebih toleran terhadap garam dibandingkan tanaman lainnya (Salisbury and Ross, 1995).
Secara garis besar respon tanaman terhadap salinitas dapat dilihat dalam dua bentuk adaptasi yaitu
dengan mekanisme morfologi dan mekanisme fisiologi (Sipayung, 2003).

1. Mekanisme morfologi

Bentuk adaptasi morfologi dan anatomi yang dapat diturunkan dan bersifat unik dapat ditemukan
pada jenis halofita yang mengalami evolusi melalui seleksi alam pada kawasan hutan pantai dan
rawa-rawa asin. Salinitas menyebabkan perubahan struktur yang memperbaiki keseimbangan air
tanaman sehingga potensial air dalam tanaman dapat mempertahankan turgor dan seluruh proses
bikimia untuk pertumbuhan dan aktivitas yang normal. Perubahan struktur meliputi ukuran daun
yang lebih kecil, stomata yang lebih kecil per satuan luas daun, peningkatan sukulensi, penebalan
kutikula dan lapisan lilin pada permukaan daun, serta lignifikasi akar yang lebih awal (Haryadi dan
Yahya, 1988 dalam Sipayung, 2003).

Ukuran daun yang lebih kecil sangat penting untuk mempertahankan turgor, sedangkan lignifikasi
akar diperlukan untuk penyesuaian osmosis yang sangat penting untuk untuk memelihara turgor
yang diperlukan tanaman untuk pertumbuhan dan fungsi metabolisme yang normal. Dengan
adaptasi struktural ini kondisi air akan berkurang dan mungkin akan menurunkan kehilangan air
pada transpirasi. Namun pertumbuhan akar pada lingkungan salin umumnya kurang terpengaruh
dibandingkan dengan pertumbuhan daun (pucuk) atau buah. Hal ini diduga
karena dilakukanperbaikan keseimbangan dengan cara mempertahankan kemampuan menyerap air.
Pertumbuhan tanman yang cepat juga merupakan mekanisme untuk mengencerkan garam. Dalam
hal ini bila garam dikeluarkan oleh akar, maka bahan organik yang tidak mempunyai efek racun akan
tertimbun dalam jaringan, dan ini berguna untuk mempertahankan keseimbangan osmotik dengan
larutan tanah (Salisbury dan Ross, 1995).

2. Mekanisme Fisiologi

Bentuk adaptasi dengan mekanisme fisiologi terdapat dalam beberapa bentuk sebagai berikut :

1. Osmoregulasi (pengaturan potensial osmosis)

Tanaman yang toleran terhadap salinitas dapat melakukan penyesuaian dengan menurunkan
potensial osmosis tanpa kehilangan turgor. Untuk memperoleh air dari tanah sekitarnya, potensial
air dalam cairan xilem harus sangat diturunkan oleh tegangan. Beberapa halofita mampu menjaga
potensial osmotik agar tetap bahkan menjadi lebih negatif selama musim pertumbuhan sejalan
dengan penyerapan garam. Pada halofita lainnya memiliki kemampuan mengatur penimbunan
garam (Na+ dan Cl-) pada kondisi cekaman salinitas, misalnya tanaman bakau yang mampu
mengeluarkan 100% garam (Ball, 1988 dalam Salisbury and Ross, 1995).

Osmoregulasi pada kebanyakan tanaman melibatkan sintesis dan akumulasi solut organik yang
cukup untuk menurunkan potensial osmotik sel dan meningkatkan tekanan turgor yang diperlukan
untuk pertumbuhan tanaman. Senyawa-senyawa organik berbobot molekul rendah yang setara
dengan aktifitas metabolik dalam sitoplasma seperti asam-asam organik, asam amino dan senyawa
gula disintesis sebagai respon langsung terhahadap menurunnya potensial air eksternal yang redah.
Senyawa organik yang berperan mengatur osmotik pada tanaman glikopita tingkat tinggi adalah
asam-asam organik dan senyawa-senyawa gula. Asam malat paling sering menyeimbangkan
pengambilan kation yang berlebihan. Dalam tanaman halofita, oksalat adalah asam organik yang
menyeimbangkan osmotik akibat kelebihan kation. Demikian juga pada beberapa tanaman lainnya,
akumulasi sukrosa yang berkontribusi pada penyesuaian osmotik dan merupakan respon terhadap
salinitas (Harjadi dan Yahya, 1988 dalam Sipayung, 2003).

2. Kompartementasi dan sekresi garam

Tanaman halofita biasanya dapat toleran terhadap garam karena mempunyai kemampuan mengatur
konsentrasi garam dalam sitoplasma melalui transpor membran dan kompartementasi. Garam
disimpan dalam vakuola, diakumulasi dalam organel-organel atau dieksresi ke luar tanaman.
Pengeluaran garam pada permukaan daun akan membantu mempertahankan konsentrasi garam
yang konstan dalam jaringan tanaman (Salisbury and Ross, 1995). Ada pula tanaman halofita yang
mampu mengeluarkan garam dari kelenjar garam pada permukaan daun dan menyerap air secara
higroskopis dari atmosfir (Mooney at al, 1980 dalam Salisbury and Ross, 1995).

Banyak halofita dan beberapa glikofita telah mengambangkan struktur yang disebut glandula garam
(salt glands) dari daun dan batang. Pada jenis-jenis mangrove biasanya tanaman menyerap air
dengan kadar salinitas tinggi kemudian mengeluarkan atau mensekresikan garam tersebut keluar
dari pohon. Secara khusus pohon mangrove yang dapat mensekresikan garam memiliki kelenjar
garam di daun yang memungkinkan untuk mensekresi cairan Na+ dan Cl-. Beberapa contoh
mangrove yang dapat mensekresikan garam adalah Aegiceras, Aegialitis, Avicennia, Sonneratia,
Acanthus, dan Laguncularia.

3. Integritas membran

Sistem membran semi permeabel yang membungkus sel, organel dan kompartemen-kompartemen
adalah struktur yang paling penting untuk mengatur kadar ion dalam sel. Lapisan terluar membran
sel ataau plasmolemma memisahkan sitoplasma dan komponen metaboliknya dari larutan tanah
salin yang secara kimiawi tidak cocok. Membran semi permeabel ini berfungsi menghalangi difusi
bebas garam ke dalam sel tanaman, dan memberi kesempatan untuk berlangsungnya penyerapan
aktif atas unsur-unsur hara essensial. Membran lainnya mengatur transpor ion dan solute lainnya
dari sitoplasma dan vakuola atau organel-organel sel lainnya termasuk mitokondria dan kloroplas.
Plasmolemma yang berhadapan langsung dengan tanah merupakan membran yang pertama kali
menderita akibat pengaruh salinitas. Dengan demikian maka ketahanan relatif membran ini menjadi
unsur penting lainnya dalam toleransi terhadap garam (Harjadi dan Yahya, 1988 dalam Sipayung,
2003).

Pengaruh salinitas tanah tergantung pada tingkatan pertumbuhan tanaman, biasanya pada
tingkatan bibit sangat peka terhadap salinitas. Waskom (2003) menjelaskan bahwa salinitas tanah
dapat menghambat pertumbuhan benih, pertumbuhan yang tidak teratur pada tanaman pertanian
seperti kacang-kacangan, cabai rawit dan bawang. Viegas et a l,. (2003) dalam Da Silva et al, (2008)
melaporkan bahwa pertumbuhan tunas pada semai Leucaena leucocephala mengalami penurunan
sebesar 60% dengan adanya penambahan salinitas pada media sekitar 100 mM NaCl. Adanya kadar
garam yang tinggi pada tanah juga menyebabkan penurunan jumlah daun, pertumbuhan tinggi
tanaman dan rasio pertumbuhan panjang sel. Demikian pula dengan proses fotosintesis akan
terganggu karena terjadi akumulasi garam pada jaringan mesofil dan meningkatnya konsentrasi
CO2 antar sel (interseluler) yang dapat mengurangi pembukaan stomata (Robinson, 1999 dalam Da
Silva et al, 2008). Pada tanaman semusim antara lain meningkatnya tanaman mati dan produksi hasil
panen rendah serta banyaknya polong kacang tanah dan gabah yang hampa (Anonim, 2007).

Proses pengangkutan unsur-unsur hara tanaman dari dalam tanah akan terganggu dengan
naiknya salinitas tanah. Manurut Salisbury and Ross (1995) bahwa masalah potensial lainnya bagi
tanaman pada daerah tersebut adalah dalam memperoleh K+ yang cukup. Masalah ini terjadi karena
ion natrium bersaing dalam pengambilan ion K+. Tingginya penyerapan Na+ akan menghambat
penyerapan K+. Menurut Grattan and Grieve (1999) dalam Yildirim et al (2006), salinitas yang tinggi
akan mengurangi ketersedian K+ dan Ca++ dalam larutan tanah dan menghambat proses transportasi
dan mobilitas kedua unsur hara tersebut ke daerah pertumbuhan tanaman (growth region) sehingga
akan mengurangi kualitas pertumbuhan baik organ vegetatif maupun reproduktif. Salinitas tanah
yang tinggi ditunjukkan dengan kandungan ion Na+ dan Cl- tinggi akan meracuni tanaman dan
meningkatkan pH tanah yang mengakibatkan berkurangnya ketersediaan unsur-unsur hara mikro
(FAO, 2005). Demikian pula dengan hasil penelitian Yousfi et al (2007) bahwa salinitas menyebabkan
penurunan secara drastis terhadap konsentrasi ion Fe di daun maupun akar pada tanaman gandum
(barley). Penurunan tersebut disebabkan karena berkurangnya penyerapan Fe pada kondisi salinitas
tinggi.

Kelebihan NaCl atau garam lain dapat mengancam tumbuhan karena dua alasan. Pertama, dengan
cara menurunkan potensial air larutan tanah, garam dapat menyebabkan kekurangan air pada
tumbuhan meskipun tanah tersebut mengandung banyak sekali air. Hal ini karena potensial air
lingkungan yang lebih negatif dibandingkan dengan potensial air jaringan akar, sehingga air akan
kehilangan air, bukan menyerapnya. Kedua, pada tanah bergaram, natrium dan ion-ion tertentu
lainnya dapat menjadi racun bagi tumbuhan jika konsentrasinya relative tinggi. Membran sel akar
yang selektif permeabel akan menghambat pengambilan sebagian besar ion yang berbahaya, akan
tetapi hal ini akan memperburuk permasalahan pengambilan air dari tanah yang kaya akan zat
terlarut (Campbell, 2003).

Salinitas menekan proses pertumbuhan tanaman dengan efek yang menghambat pembesaran dan
pembelahan sel, produksi protein serta penambahan biomass tanaman. Tanaman yang mengalami
stres garam umumnya tidak menunjukkan respon dalam bentuk kerusakan langsung tetapi
pertumbuhan yang tertekan dan perubahan secara perlahan. Gejala pertumbuhan tanaman pada
tanah dengan tingkat salinitas yang cukup tinggi adalah pertumbuhan yang tidak normal seperti
daun mengering di bagian ujung dan gejala khlorosis. Gejala ini timbul karena konsentrasi garam
terlarut yang tinggi menyebabkan menurunnya potensial larutan tanah sehingga tanaman
kekurangan air. Sifat fisik tanah juga terpengaruh antara lain bentuk struktur, daya pegang air dan
permeabilitas tanah.

Pertumbuhan sel tanaman pada tanah salin memperlihatkan struktur yang tidak normal.
Penyimpangan yang terjadi meliputi kehilangan integritas membran, kerusakan lamella, kekacauan
organel sel, dan akumulasi Kalsium Oksalat dalam sitoplasma, vakuola, dinding sel dan ruang antar
sel. Kerusakan struktur ini akan mengganggu transportasi air dan mineral hara dalam jaringan
tanaman (Maas dan Nieman, dalam Sipayung, 2006). Banyak tumbuhan dapat berespon terhadap
salinitas tanah yang memadai dengan cara menghasilkan zat terlarut kompatibel, yaitu senyawa
organik yang menjaga potensial air larutan tanah, tanpa menerima garam dalam jumlah yang dapat
menjadi racun. Namun demikian, sebagian besar tanaman tidak dapat bertahan hidup menghadapi
cekaman garam dalam jangka waktu yang lama kecuali pada tanaman halofit, yaitu tumbuhan yang
toleran terhadap garam dengan adaptasi khusus seperti kelenjar garam, yang memompa garam
keluar dari tubuh melewati epidermis daun (Campbell, 2003).

Ketika terjadi cekaman lingkungan seperti kekeringan, logam berat atau salinitas, tanaman bereaksi
dalam beragam cara untuk menghadapi perubahan yang berpotensi merusak. Salah satu hasil dari
tekanan tersebut adalah adanya akumulasi reactive oxygen species (ROS) dalam tanaman, dimana
hal tersebut dapat menghancurkan tanaman dan berakibat pada berkurangnya produktivitas
tanaman. ROS berdampak pada fungsi seluler, seperti kerusakan pada asam nukleat atau oksidasi
protein tanaman yang penting.

Klorofil merupakan pigmen hijau tumbuhan dan merupakan pigmen yang paling penting
dalam proses fotosintesis. Klorofil dapat dibedakan dalam 9 tipe : klorofil a, b, c, d, dan e. Bakteri
klorofil a dan b, klorofil chlorobium 650 dan 660. klorofil a biasanya untuk sinar hijau biru.
Sementara klorofil b untuk sinar kuning dan hijau.Klorofil lain (c, d, e) ditemukan hanya pada alga
dan dikombinasikan dengan klorofil a. bakteri klorofil a dan b dan klorofil chlorobium ditemukan
pada bakteri fotosintesin.(Devlin, 1975).

Klorofil pada tumbuhan ada dua macam, yaitu klorofil a dan klorofil b. perbedaan kecil antara
struktur kedua klorofil pada sel keduanya terikat pada protein.Sedangkan perbedaan utama antar
klorofil dan heme ialah karena adanya atom magnesium (sebagai pengganti besi) di tengah cincin
profirin, serta samping hidrokarbon yang panjang, yaitu rantai fitol.(Santoso, 2004).

Tanaman hijau mengandung klorofil a dan krolofil b. Krolofil a terdapat sekitar 75 % dari total
klorofil.Kandungan klorofil pada tanaman adalah sekitar 1% basis kering. Dalam daun klorofil banyak
terdapat bersama-sama dengan protein dan lemak yang bergabung satu dengan yang lain. Dengan
lipid, klorofil berikatan melalui gugus fitol-nya sedangkan dengan protein melalui gugus hidrofobik
dari cincin porifin-nya.Rumus empiris klorofil adalah C55H72O5N4Mg (klorofil a) dan
C55H70O6N4Mg (klorofil b).(Subandi, 2008).

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan klorofil antara lain gen, bila gen untuk
klorofil tidak ada maka tanaman tidak akan memiliki klorofil. Cahaya, beberapa tanaman dalam
pembentukan klorofil memerlukan cahaya, tanaman lain tidak memerlukan cahaya. Unsur N, Mg, Fe
merupakan unsur-unsur pembentuk dan katalis dalam sintesis klorofil. Air, bila kekurangan air akan
terjadi desintegrasi klorofil. (Subandi, 2008).

Menurut Cevahair (2008) jumlah klorofil a dan b pada tumbuhan dapat dipengaruhi oleh
intensitas cahaya. Tingkat dari anthocyanin klorofil a dan b dan karotenoid pada jagung dan kacang
kedelai klorofil a komposisinya ada dibawah klorofil b yang ditumbuhkan pada keadaan gelap.
Penggunaan panjang gelombang 645 – 660 nm pada uji klorofil dengan spektrofotometri
dikarenakan dapat menimbulkan fotofisiologi dan klorofil dapat mnangkap panjang gelombang
tersebut untuk proses fotosintesis.

Berdasarkan hasil pengamatan selama 8 minggu, kita bisa mendapatkan analisis pada
berbagai parameter yang meliputi tinggi tanaman, luas daun, berat basah, berat kering, kandungan
klorofil.

Hasil dari mini projek yang dilakukan kelompok kami menunjukan hasil dari masing-masing
parameter pada cabai rawit (Capsicum frutescens L.)yaitu :

1. Tinggi Tanaman

Konsentrasi NaCl yang tinggi sangat mengurangi pertumbuhan, baik tunas maupun akar (Yuniati, R.
2004), hasil yang didapatkan sesuai dengan tabel anova yaitu “signifikan” hal ini di
karenakan konsentrasi 0 – 50 secara nyata mempengaruhi tinggi tanaman.

2. Luas Daun

Pemberian garam dengan ukuran yang tinggi cenderung akan memperkecil luas permukaan daun
(Kurniasih et.al., 2002). namun yang didapat adalah “non signifikan” hal ini dikarenakan
kosenterasi garam yang menurun akibat adanya stres air.
3. Kandungan Klorofil

Dari data dapat disimpulkan bahwa kandungan klorofil tiap konsentrasi berbeda- beda, hal ini
disebabkan oleh adanya stres pada tumbuhan yang kadarnya berbeda – beda pada masing – masing
tanaman sehingga berpengaruh terhadap produktivitas tanaman.

4. Berat Basah dan Berat Kering

Menurut Yuniati, R. (2004)Perubahan rasio berat basah atau berat keringdihambat oleh keadaan
stres pada tanaman. Akumulasi NaCl pada jaringan menyebabkan berat basah pada tanaman cabai
manjadi lebih besar.

5. Titik eklusi garam

Garam yang terakumulasi dalam jaringan terutama daun tidak terlihat jelas sehingga
mengindikasikan bahwa tanaman mengalami stres garam pada tingkat yang tidak terlalu tinggi.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Stres (cekaman) biasanya didefinisikan sebagai faktor luar yang tidak menguntungkan yang
berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan tanaman.
2. cekaman lingkungan pada tumbuhan dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) cekaman biotik,
terdiri dari: (a) kompetisi intra spesies dan antar spesies, (b) infeksi oleh hama dan penyakit,
dan (2) cekaman abiotik berupa: (a) suhu (tinggi dan rendah), (b) air (kelebihan dan
kekurangan), (c) radiasi (ultraviolet, infra merah, dan radiasi mengionisasi), (d) kimiawi
(garam, gas, dan pestisida), (e) angin, dan (f) suara.
3. Stres garam terjadi dengan terdapatnya salinitas atau konsentrasi garam-garam terlarut
yang berlebihan dalam tanaman.
4. Salinitas menekan proses pertumbuhan tanaman dengan efek yang menghambat
pembesaran dan pembelahan sel, produksi protein serta penambahan biomass
tanamanyang dapat diamati dengan perubahan – perubahan secara nyata terhadap tinggi
tanaman, luas daun, berat kering, berat basah, kandungan klorofil, dan titik eklusi garam
pada tanaman

B. Saran

Mini project ini seharusnya bukan merupakan satuan acara praktikum melainkan tugas penelitian
mahasiswa sehingga acara praktikum diisi dengan materi – materi praktikum yang lebih jelas
kaitanya dengan satuan acara kuliah yang berlangsung.
Respon dan Mekanisme Ketahanan Tanaman terhadap Cekaman
Kekeringan
Kondisi pada tubuh tanaman terdapat hubungan yang erat antara absorbsi dengan perkembangan
akar. Untuk tanaman yang akarnya berkembang kuat terjadi peningkatan absorbsi air dan relatif lebih
toleran terhadap kekeringan. Banyak sifat-sifat tanaman baik morfologi maupun fisiologi yang dapat
digunakan sebagai dasar penilaian sifat ketahanan terhadap kekeringan seperti pola kedalaman
perakaran, jumlah stomata, lebar stomata, penyesuaian osmosis, peningkatan elastisitas dinding sel
(Sammons et. al., 1980; Kramer, 1980).

Umumnya pengaruh fisiologi stres air pada tanaman yang paling menonjol dalam jaringan yang
sedang tumbuh dengan cepat, yakni pada fase perkecambahan dan pertumbuhan awal vegetatif.
Kemampuan benih berkecambah pada kandungan air tanah yang rendah tergantung kepada spesies.
Setiap spesies memerlukan penyerapan air yang minimum untuk bisa berkecambah dan tampaknya
mempunyai batas tegangan tersendiri. Nilai batas tersebut -1,25 MPa untuk jagung, -0,79 Mpa, untuk
padi -0,66 MPa untuk kedelai -0,35 MPa untuk bit gula.

Tanaman jagung mengalami kekeringan

(Sumber : http://www.swatt-online.com/kekeringan-berkepanjangan-bank-dunia-
ingatkan-bahaya-kelaparan/)

Kondisi cekaman air, tanaman akan memperlihatkan berbagai respon sebagai mekanisme tanaman
dalam usaha mengurangi cekaman yaitu:

 Respon morfologi
1 Mengurangi luas permukaan daun sehingga transpirasi menurun.
2 Mempercepat perkembangan perakaran terutama kearah bawah menyebabkan nisbah
akar/pucuk meningkat sehingga tanaman lebih mampu mengabsorbsi air dari lapisan tanah
yang lebih dalam sementara transpirasi dari bagian atas tanaman menurun (Herawati, 2000).
3 Mengubah sudut daun pada posisi hampir sejajar dengan datangnya cahaya, agar suhu daun
tidak segera meningkat sehingga transpirasi dapat ditekan.
4 Pembentukan lapisan kutikula pada permukaan daun dapat mengurangi penguapan. Selain
itu lapisan lilin dapat meningkatkan pantulan cahaya, sehingga mengurangi suhu permukaan
daun. Beberapa tanaman yang diketahui toleran terhadap kekeringan mampu membuat
lapisan kutikula pada permukaan daunnya bila mendapat cekaman kekeringan.
5 Membuka dan menutup stomata. Perilaku stomata, berhubungan dengan potensial air daun
yang tergantung pada faktor umur, kondisi tumbuh. Menurut Ackerson dan Krieg (1977)
bahwa tanaman jagung pada fase pertumbuhan vegetatif dan potensial air rendah akan
menyebabkan penutupan stomata di bawah cahaya matahari. Jumlah dan ukuran stomata
dipengaruhi oleh genotype dan lingkungan. Oleh kerena itu sel penjaga kekurangan air dapat
mengurangi pembukaan stomata.
6 Mengurangi luas daun, yang berkaitan dengan laju transpirasi. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Bayer (Cristiansen and Lewis, 1982) menyatakan bahwa perpanjangan daun
jagung maksimal pada potensial air -0,15 MPa sampai -0,25 MPa dan menurun 25% jika
potensial air turun sampai -0,4 Mpa.
7 Pengulungan atau pelipatan daun. Tanaman kedelai berdaun lebar kecendurungan untuk
mengulung daun keatas sehingga bulu-bulu (rambut) diatas permukaan bawah daun yang
terbuka dapat merefleksikan lebih banyak cahaya.
 Respon fisiologi
Respon fisiologi di dalam tanaman untuk beradaptasi pada kondisi kekeringan telah lama
diketahui. Suatu hal yang cukup penting diantaranya adalah kemampuan tanaman
mempertahankan tekanan turgor dengan menurunkan potensial osmotiknya (Jones et.al., 1981).
Menurut Hale dan Orchutt (1987), beberapa faktor yang dapat membantu mempertahankan turgor
adalah :
1. Penurunan potensial osmotik
2. Kemampuan mengakumulasi zat-zat terlarut
3. Elastisitas sel atau jaringan yang tinggi dan
4. Ukuran sel yang kecil.
Respon tanaman untuk mengatasi cekaman kekeringan adalah dengan pengaturan osmotik sel.
Pada mekanisme ini terjadi sintesis dan akumulasi senyawa organik yang dapat menurunkan
potensial osmotik sehingga menurunkan potensial air dalam sel tanpa membatasi fungsi enzim
serta menjaga turgor sel. Beberapa senyawa yang berperan dalam penyesuaian osmotikal sel
antara lain gula osmotik (Wang et al., 1995; Yakhushiji et al., 1998), prolin dan betain (Maestri et
al., 1995), protein dehidrin (Close, 1997) dan asam absisik (ABA) yang berperan dalam memacu
akumulasi senyawa tersebut (Dingkhun et al., 1991). Menurut Ober dan Sharp (1994) bahwa
akumulasi hormon asam absisik (ABA) diperlukan untuk peningkatan proline pada kondisi
potensial air rendah.

Hasil penelitian Sharp dan Davies (1979); Westgate dan Boyer (1985) menyatakan bahwa
senyawa prolin berkontribusi lebih dari 50% terhadap osmotic adjustment pada akar jagung.
Pembentukan senyawa osmoregulasi ini sebagai penanda biokimia untuk indikasi toleransi
cekaman kekeringan. Banyak peneliti menyatakan bahwa prolin bebas banyak diakumulasi
sebagai respon terhadap stress air yang dapat diamati pada daun-daun yang masih melekat
maupun yang telah gugur pada banyak tanaman budidaya pada kondisi laboratorium (Barnett dan
Nailor, 1966, Routley, 1966 dan Singh, Aspinal dan Paleg, 1972).

Akumulasi asam absisik (ABA) berkaitan juga dengan respon tantaman yang toleran cekaman
kekeringan. Akar yang mengalami cekaman kekeringan, menurut Salisbury dan Ross (1992) akan
membentuk asam absisik lebih banyak dan diangkut melalui xylem menuju daun untuk menutup
stomata. Menurut Zeevaart dan Creelman (1988) bahwa ABA yang diproduksi dalam akar
tanaman mengalami cekaman kekeringan berperan sebagai sinyal kimia pada tajuk sehingga
mendorong penutupan stomata sebelum perubahan status air dalam daun terjadi, sehingga
tanaman dapat mengoptimalkan penggunaan air dengan cara mengurangi kehilangan air melalui
transpirasi. Selain itu kadar ABA endogen yang tinggi juga dapat diketahui dapat menginduksi
peningkatan rasio pertumbuhan akar/tajuk (Biddington dan Dearman, 1982). Kenyataan ini
menunjukkan respon yang berbeda dari akar dan tajuk terhadap ABA (Creelman et.al.,1990).
Pada tajuk, ABA menginduksi penghambatan sedangkan pada akar ABA mendorong
pertumbuhan (Dallaire, et.al., 1994).

Berdasarkan kemampuan genetik tanaman, terdapat empat mekanisme adapatasi pada kondisi
cekaman kekeringan yaitu drought escape, dehydration avoidance, dehydration Tolerance dan
drought Recovery (Fukai dan Cooper , 1995 dalam Sopandie, 2006). Namun demikian tanaman
seringkali menggunakan lebih dari satu mekanisme untuk beradaptasi pada kondisi cekaman
kekeringan (Mitra, 2001 dalam Sopandie, 2006), mekanisme tersebut adalah:

1 Melepaskan diri dari cekaman kekeringan (draught escape), yaitu kemampuan tanaman
menyelesaikan siklus hidupnya sebelum mengalami defisit air yang parah. Mekanisme ini
ditunjukkan dengan perkembangan sistem pembungaan yang cepat dan perkembangan
plastisitas jaringannya. Akan tetapi mekanisme adaptasi tersebut memiliki kelemahan.
Genotipe genjah dengan umur pendek umumnya berdaya hasil rendah dibandingkan dengan
yang berumur panjang.
2 Toleransi dengan potensial air jaringan yang tinggi (dehydration avoidance), yaitu
kemampuan tanaman yang tetap menjaga potensial jaringan dengan meningkatkan
penyerapan air atau menekan kehilangan air. Pada mekanisme ini biasanya tanaman
mempunyai kemampuan untuk meningkatkan sistem perakaran dan konduktivitas hidrolitik
atau kemampuan untuk menurunkan hantaran epidermis dengan regulasi stomata,
pengurangan absorbsi radiasi dengan pembentukan lapisan lilin, bulu yang tebal dan
penurunan permukaan evapotranspirasi melalui penyempitan daun serta pengguguran daun
tua.
3 Toleransi dengan potensial air jaringan yang rendah (Dehydration Tolerance), yaitu
kemampuan tanaman untuk menjaga tekanan turgor sel dengan menurunkan potensial airnya
melalui akumulasi solut seperti gula, asam amino dan sebagainya atau dengan meningkatkan
elastisitas sel. Akumulasi prolin. Prolin bebas yang terkumpul pada tanaman berasal dari
karbohidrat melalui pembentukan alfa-ketoglutarate dan glutamate. Oksidasi proline, setelah
keadaan normal terjadi dengan cepat untuk menjaga kandungan proline yang rendah dalam
tanaman. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tanaman yang toleran terhadap cekaman
air memperlihatkan kemampuan mengakumulasi prolin.
4 Mekanisme penyembuhan (drought Recovery), dimana proses metabolisme berjalan normal
kembali setelah mengalami stres kekeringan. Mekanisme ini penting manakala stres
kekeringan terjadi pada awal perkembangan tanaman.
Mekanisme yang menyebabkan ketahanan terhadap kekeringan melalui pengurangan kehilangan
air (misalnya dengan cara menutupnya stomata dan mengurangi luas daun) umumnya
berimplikasi pada menurunnya fiksasi karbondioksida (CO2). Osmotic adjusment (OA)
meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan dengan pemeliharaan turgor tanaman, tetapi
peningkatan konsentrasi solut dalam sel tanaman membutuhkan energi yang cukup banyak
dikeluarkan tanaman. Konsekuensinya, adaptasi tanaman harus menunjukkan keseimbangan
antara escape, avoidance dan toleran dengan menjaga produktivitas yang memadai.***

Pustaka :

Creellman, R.A., H.S. Mason, R.J. Bensen, J.S. Boyer and J.E. Mullet.1990. Water deficit and absisic
acid causes differential inhibition of shoot versus root growth in soybean seedling; analysisi of growth,
sugar accumulation and gene expression. Plant Cell 92:205-214.

Dallaire, S., M. Houde, Y. Gagne, H.S. Saini. S. Boileau, N. Chevrier and f. Sarhan. 1994. ABA and
Low Temperature Induce Freezing Tolerance via Distinct Regulatory Patways in Wheat. Plant Cell
Physiol. 35 (1) : 1-9.

Hale, M.G. and D.M. Orchutt., 1987. The Physiolory of Plant Under Stress. John and Sons, Inc. New
York. 206p.
Herawati T dan Setiamihardja R., 2000. Pemuliaan Tanaman. Departemen Pertanian RI dengan
Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran, Jatinangor, Bandung.

Jones, MM., N.C. Tumer and C.B. Osmond. 1981. Mechanism of Drought Resistance PP 15-53 in
Paleg LG, and Aspinall (eds). The Physiology and Biochemistry of Drought Resistance in Plants.
Academic Press. New York.

Kramer, J.P. 1980. Draught Stess and The Origin of Adaptation. In Turner, Kramer (eds) Adaptation
of Plants to Water and High Temperature Stress. John Willey and Sons. Canada.

Salisbury, F.B. dan Ross, C.W. 1992. Fisiologi Tumbuhan II. Ed. 4. Terjemahan: D.R. Lukman dan
Sumaryono. Penerbit ITB. Bandung. 173 hal.

Sammons DJ, Peters DB and Hymowitz T. 1980. Screening Soybeans for Tolerance to Moisture
Stress : a Field Crops Res 3:321-335.

Soepandi, D. 2006. Perspektif Fisiologi Dalam Pengembangan Tanaman Pangan di Lahan Marjinal.
Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Fisiologi Tanaman. Fakutas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 16
September 2006.

Zeevart, J.A.D and R.A. Crellman. 1988. Metabolism and Physiology of Absisic Acid. Annu Rev Plant
Physiology 39: 43-50

Anda mungkin juga menyukai