Anda di halaman 1dari 43

Laporan Kasus

F 41.0
GANGGUAN PANIK

Oleh:

Muhammad Riza Maulidan NIM. 1830912310041

Hikmah Ika Darmayanta NIM. 1830912320097

Larasati Gilang Puji Astuti NIM. 1830912320024

Anisa Oktaviani NIM. 1820912320089

Pembimbing

dr. H. Achyar Nawi Husin, Sp.KJ

BAGIAN/KSM ILMU KEDOKTERAN JIWA

FK UNLAM-RSUD DR. H. MOH. ANSARI SALEH

BANJARMASIN

Februari 2020
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................... ii

BAB I. PENDAHULUAN......................................................................... 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 3

BAB III. DATA PASIEN............................................................................. 18

BAB IV. PEMBAHASAN...................................................................... ..... 31

BAB V. PENUTUP...................................................................... ............... 37

DAFTAR PUSTAKA......................................................................... ............. 38

ii Universitas Lambung Mangkurat


BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan panik merupakan salah satu di antara beberapa gangguan cemas

yang dikenal dan cukup sering terjadi. Gangguan panik merupakan jenis gangguan

cemas kronik yang ditandai oleh serangan panik parah yang berulang dan tak

terduga dan spontan. Frekuensi serangannya bervariasi mulai dari beberapa kali

serangan dalam setahun hingga beberapa serangan dalam sehari. Serangan panik

dapat pula terjadi pada gangguan cemas yang lain, namun hanya pada gangguan

panik, serangan terjadi meskipun tidak terdapat faktor presipitasi yang jelas.

Gangguan panik sering disertai dengan agorafobia, yaitu rasa takut sendirian di

tempat umum seperti pasar, atau terutama tempat yang sulit keluar dengan cepat

saat terjadi gangguan panik. Serangan panik terjadi mendadak tanpa disebabkan

oleh obat (seperti kafein), pengobatan, atau kondisi medis (seperti tekanan darah

tinggi), dan selama serangan penderita mungkin mengalami sensasi seperti detak

jantung meningkat atau tidak teratur, sesak napas, pusing, atau takut kehilangan

kontrol atau “gila.1

Studi epidemiologis di negara barat melaporkan angka prevalensi seumur

hidup gangguan panik adalah 1,5-5%, sedangkan serangan serangan panik

sebanyak 3-5,6%. Di Indonesia belum dilakukan studi epidemiologi yang dapat

menggambarkan jumlah pasien dengan serangan panik, namunpara ahli merasakan

adanya peningkatan jumlah kasus yang berdatangan. Pasien gangguan panik sering

ditemukan pada mereka yang berada pada usia produktif yakni antara 18-45 tahun.1

1 Universitas Lambung Mangkurat


Gangguan panik lebih umum ditemukan pada wanita sebesar 2/3 lebih b

anyak dari laki-laki, terutama mereka yang belum menikah serta wanita post-

partum. Serangan panik jarang ditemukan pada wanita hamil. Sembilan puluh satu

persen pasien dengan gangguan panik dan 84% dengan agorafobia berpotensi

mengalami setidaknya satu gangguan psikiatrik lainnya. Salah satu faktor yang

diduga turut berperan dalam timbulnya gangguan panik adalah riwayat perceraian

atau perpisahan yang baru terjadi, 15-30% mengalami fobia sosial, 2-20%

mengalami fobia spesifik, dan 15-30% mengalami kecemasan, hingga 30%

mengalami gangguan obsesif kompulsif. Gangguan panik bisa di diagnosis dengan

atau tanpa agoraphobia.2

2 Universitas Lambung Mangkurat


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Panik berasal dari kata Pan yaitu nama Dewa Yunani yang tinggal

dipergunungan dan hutan serta mempunyai tingkahlaku yang sulit diramalkan.

Riwayat Gangguan Panik ini berasal dari konsep yang dikemukakan oleh Jacob

Mendes DaCosta (1833-1900) gejala-gejala seperti serangan jantung yang

ditemukan pada tentara-prajurit Perang Saudara Amerika. Gejala DaCosta

meliputi gejala psikologik dan somatik.1

Gangguan Panik (Panic Disorder) adalah satu perasaan serangan cemas

mendadak dan terus menerus disertai perasaan perasaan akan datangnya bahaya

/ bencana, ditandai dengan ketakutan yang hebat secara tiba-tiba. Gangguan

Panik disebut juga Anxietas Paroksismal Episodik.1,2,3,4

B. Epidemiologi

Studi epidemiologis di negara barat melaporkan angka prevalensi seumur

hidup gangguan panik adalah 1.5 – 5 %, sedangkan serangan panik sebanyak 3-

5.6 %. Di Indonesia belum dilakukan studi epidemiologi yang dapat

menggambarkan jumlah pasien dengan serangan panik, namun para ahli

merasakan adanya peningkatan jumlah kasus yang berdatangan.1,5

Gangguan panik pada perempuan 2/3 lebih banyak daripada laki-laki. Pada

umumnya terjadi pada usia dewasa muda, sekitar 25 tahun, tetapi tidak menutup

kemungkinan untuk terjadi pada usia berapapun. Sembilan puluh satu persen

pasien dengan gangguan panik dan 84 % dengan agorafobia berpontensi

3
mengalami setidaknya satu gangguan psikiatrik lainnya. Salah satu faktor yang

diduga turut berperan dalam timbulnya gangguan panik adalah riwayat

perceraian atau perpisahan yang baru terjadi. Lima belas sampai 30 %

mengalami fobia sosial, 2-20 % mengalami fobia spesifik, dan 15-30 %

mengalami kecemasan, hingga 30 % mengalami gangguan obsesif kompulsif.

Gangguan panik dapat timbul bersama gangguan mood, dengan gejala mood

secara potensial meningkatkan onset serangan panik. Gangguan panik juga bisa

didiagnosis dengan atau tanpa agoraphobia.. Seringkali komorbiditas yang

terjadi juga adalah hipokondriasis, gangguan kepribadian dan gangguan terkait

zat, serta penyakit somatik seperti PPOK, IBS, migraine, dan meningkatkan

frekuensi serangan jantung.1,2,5

C. Etiologi

Etiologi dari gangguan panik, yaitu; 1,2,3,6

1. Faktor Biologis

Riset mengenai dasar biologis gangguan panik adalah ditemukannya suatu

interpretasi bahwa gejala gangguan panik terkait dengan abnormalitas struktur

dan fungsi otak. Diperoleh data bahwa pada otak pasien dengan gangguan

panik, beberapa neurotransmiter mengalami gangguan fungsi, yaitu serotonin,

GABA (Gama Amino Butyric Acid), dan norepinefrin.

Berdasarkan hipotesis patofisiologi, terjadi disregulasi baik pada sistem

perifer maupun sistem saraf pusat (SSP). Pada beberapa kasus ditemukan

peningkatan tonus simpatetik dalam sistem otonom. Serangan panik

merupakan respon terhadap rasa takut yang ditampilkan oleh fear network yang

terlalu sensitif, yaitu amigdala, korteks prefrontal, dan hipokampus. Terdapat

4 Universitas Lambung Mangkurat


bukti praklinis bahwa melemahnya tranmisi inhibisi lokal GABA di amigdala

basolateral, otak tengah, dan hipotalamus dapat mencetuskan respon fisiologis

mirip ansietas.

Faktor biologik lain yang berhubungan adalah zat panikogen yang

digunakan terbatas pada penelitian, misalnya karbon dioksida, natrium laktat,

dan bikarbonat. Zat penginduksi panik neurokimia terutama memengaruhi

reseptor adrenergik, serotonergik, GABA di SSP secara langsung.

2. Faktor Genetik : Keluarga generasi pertama pasigotien Gangguan Panik 4

– 8 kali beresiko untuk menderita gangguan ini. Kembar monozigot resiko

lebih besar daripada dizigot.

3. Faktor Psikososial :

 Teori Kognitif Perilaku : kecemasan bisa sebagai satu respon yang

dipelajari dari perilaku orangtua atau melalui proses kondisioning

klasik yang terjadi sesudah adanya stimulus luar yang menyebabkan

individu menghindari stimulus tersebut.1,5,6

 Teori Psikososial: serangan panik muncul karena gagalnya pertahanan

mental menghadapi impuls/ dorongan yang menyebabkan cemas.

D. Tanda dan Gejala

Gangguan panik terutama ditandai dengan serangan panik yang berulang.

Serangan panik terjadi secara spontan dan tidak terduga, disertai dengan gejala

otonomik, terutama sistem kardiovaskular dan pernapasan. Serangan sering

dimulai selama 10 menit, kemudian gejala meningkat dengan cepat. Serangan

cemasnya disertai dengan gejala-gejala yang mirip dengan gangguan jantung,

5 Universitas Lambung Mangkurat


yaitu rasa nyeri di dada, berdebar-debar, keringat dingin, hingga merasa seperti

tercekik.1,5

Kondisi ini dapat berulang hingga membuat individu yang

mengalaminya menjadi sangat khawatir bahwa ia akan mengalami hal tersebut

lagi (anticipatory anxiety). Hal in sering membuat pasien mencari pertolongan

ke RS terdekat.1,5

Pernapasan yang cepat dan pendek merupakan salah satu gejala yang sangat

jelas diraskan pasien. Seringkali gejala sistem pernapasan yang tidak stabil

adalah spesifik pada gangguan panik, termasuk sindrom hiperventilasi dan

peningkatan variasi pernapasan. Peningkatan denyut nadi dan pernapasan yang

tidak stabil bisa timbul tanpa terjadi serangan panik. Sebaliknya serangan panik

tidak selalu disertai pengukuran objektif dari hiperventilasi atau disfungsi

kardiovaskuler.1,5

Gejala mental yang dirasakan adalah rasa takut yang hebat, ancaman

kematian atau bencana. Pasien bisa merasa bingung dan sulit berkonsentrasi.

Tanda fisik yang menyertai adalah takikardia, palpitasi, dispnoe, dan

berkeringat. Serangan dapat berlangsung 20-30 menit, jarang lebih dari 1 jam.1,5

Pada pemeriksaan status mental saat serangan dijumpai ruminasi, kesulitan

bicara (gagap), dan gangguan memori. Depresi, derealisasi, dan depersonalisasi

dapat dialami saat serangan. Fokus perhatian somatik pasien adalah perasaan

takut mati karena masalah jantung atau pernapasan. Pasien sering merasa

hampir-hampir menjadi gila.1,5

Apabila disertai dengan agorafobia, maka pasien akan menolak untuk

meninggalkan rumah ke tempat ramai yang sulit untuk keluar. Pemeriksa harus

6 Universitas Lambung Mangkurat


waspada terhadap tendensi bunuh diri. Gejala penyerta lainnya adalah depresi,

obsesi kompulsif, dan pemeriksa harus waspada terhadap tendensi bunuh diri.1,5

E. Kriteria Diagnosis Gangguan Panik

PPDGJ III F41.0 Gangguan Panik (Anxietas Paroksismal Episodik)6

Terjadinya beberapa serangan berat ansietas otonomik, yang terjadi dalam

periode kira-kira satu bulan.

a. Pada keadaan-keadaan yang sebenarnya secara objektif tidak ada bahaya;

b. Tidak terbatas hanya pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat

diduga sebelumnya;

c. Adanya keadaan relatif bebas gejala ansietas dalam periode antara

serangan-serangan panik (meskipun lazim terjadi ansietas antipatorik).

DSM-IV-TR Gangguan Panik Tanpa Agorafobia6

a. Mengalami (1) dan (2)

(1) Serangan panik berulang yang tidak diduga;

(2) Sedikitnya satu serangan telah diikuti selama 1 bulan (atau lebih) oleh

salah satu atau lebih hal berikut:

i. Kekhawatiran menetap akan mengalami serangan tambahan;

ii. Khawatir akan akibat atau konsekuensi serangan (cth., hilang

kendali, serangan jantung, menjadi gila);

iii. Perubahan perilaku bermakna terkait serangan.

b. Tidak ada agorafobia;

7 Universitas Lambung Mangkurat


c. Serangan panik tidak disebabkan langsung oleh efek fisiologis zat (cth.,

penyalahgunaan obat, pengobatan) atau keadaan medis umum (cth.,

hipertiroidisme);

d. Serangan panik tidak dapat dimasukkan ke dalam gangguan jiwa lain,

seperti fobia sosial, fobia spesifik, gangguan obsesif kompulsif, gangguan

stress pasca trauma, atau gangguan cemas perpisahan.

DSM-IV-TR Gangguan Panik dengan Agorafobia3

a. Mengalami (1) dan (2)

(1) Serangan panik berulang yang tidak diduga;

(2) Sedikitnya satu serangan telah diikuti selama 1 bulan (atau lebih)

oleh salah satu atau lebih hal berikut:

i. Kekhawatiran menetap akan mengalami serangan tambahan;

ii. Khawatir akan akibat atau konsekuensi serangan (cth.,

hilang kendali, serangan jantung, menjadi gila);

iii. Perubahan perilaku bermakna terkait serangan.

b. Adanya agorafobia;

c. Serangan panik tidak disebabkan langsung oleh efek fisiologis zat (cth.,

penyalahgunaan obat, pengobatan) atau keadaan medis umum (cth.,

hipertiroidisme);

d. Serangan panik tidak dapat dimasukkan ke dalam gangguan jiwa lain,

seperti fobia sosial, fobia spesifik, gangguan obsesif kompulsif, gangguan

stress pasca trauma, atau gangguan cemas perpisahan.

8 Universitas Lambung Mangkurat


PPDGJ III – F40.0 Agorafobia6

a. Gejala psikologis, perilaku, atau otonomik yang timbul harus merupakan

manifestasi primer dari ansietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala

lain seperti waham atau pikiran obsesif;

b. Ansietas yang timbul harus terbatas pada setidaknya dua dari situasi berikut:

banyak orang/keramaian, bepergian keluar rumah, bepergian sendiri;

c. Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang

menonjol (penderita menjadi “house-bound”)

DSM-IV-TR Agorafobia3

a. Ansietas saat berada di tempat atau situasi yang jalan keluarnya sulit (atau

memalukan) atau tidak ada pertolongan. Rasa takut agorafobik secara khas

melibatkan situasi yang mencakup berada jauh dari rumah sendirian, berada

di keramaian atau mengantri, berada di bawah jembatan, berjalan-jalan

dengan bus, kereta atau mobil;

b. Situasi tersebut dihindari, atau dijalani dengan penderitaan yang jelas

dengan ansietas akan mengalami serangan panik atau gejala mirip panik,

atau membutuhkan adanya teman;

c. Ansietas atau penghindaran fobik tidak disebabkan gangguan jiwa lain,

seperti fobia sosial, fobia spesifik, gangguan obsesif kompulsif, gangguan

stress pasca trauma, atau gangguan cemas perpisahan.

F. Diagnosis Banding

Diagnosis banding gangguan panik mencakup gangguan medis dan beberapa

gangguan jiwa lain.Gangguan medis. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa

9 Universitas Lambung Mangkurat


sekitar 91 % pasien dengan gangguan panik melaporkan adanya nyeri dada pada
6,7
psikiater. Bahkan seringkali datang ke unit gawat darurat dengan gejala mirip

keadaan berpotensi fatal, misalnya dokter berpikir tentang infark miokard.

Anamnesis medik lengkap dan pemeriksaan fisik harus dilakukan. Prosedur

laboratorium yang dilakukan mencakup hitung darah lengkap, urinalisis, uji tapis

obat, dan EKG. Ketika adanya keadaan yang mengancam jiwa telah disingkirkan,

kecurigaan klinisnya adalah gangguan panik.1

Seringkali pasien dengan gangguan panik tidak mempercayai hasil

pemeriksaan jantung yang adalah normal. Ada suatu kecenderungan untuk ‘doctor

shopping’ atau yang dikenal dengan sebutan gangguan somatoform, seringkali

pasien mulai melakukan pemeriksaan berulang sampai merasa yakin bahwa tidak

terjadi apa-apa pada jantungnya. Seringkali hal ini tidak dapat teratasi jika

gangguan panik yang mendasari belum teratasi. 1,4

G. Penatalaksanaan

 Tatalaksana Serangan Panik

Serangan panik merupakan salah satu jenis kegawatdaruratan psikiatri. Adapun

beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi pasien serangan panik

yang datang dengan keluhan nyeri dada, sesak napas, palpitasi, atau nyaris pingsan

antara lain: 2

1. Terapi oksigen

2. Membaringkan pasien dalam posisi Fowler

3. Memonitor tanda-tanda vital, saturasi oksigen, dan EKG

10 Universitas Lambung Mangkurat


4. Memeriksa ada tidaknya kelainan lain yang dialami pasien seperti kelainan

kardiopulmoner dan memastikan kalau pasien memang sedang mengalami

serangan panik.

5. Memberikan penjelasan dan motivasi pada pasien kalau semua keluhan yang

dialaminya dapat berkurang jika dia menenangkan diri. Komponen utama dari

terapi pasien serangan panik adalah menjelaskan pada pasien kalau kondisi

yang dialaminya bukanlah disebabkan oleh kondisi medis yang serius dan

bukan pula dikarenakan oleh gangguan mental yang parah, tapi lebih

diakibatkan oleh ketidakseimbangan kimiawi dalam tubuh karena respon sistem

simpatik atau fight or flight response. Memberi keyakinan seperti ini terbukti

menjadi plasebo yang signifikan dalam memperbaiki kondisi pasien.

Dokter dan staf IRD harus mendengarkan keluhan pasien secara efektif namun

tetap menunjukkan empati terhadap kondisi pasien. Harus hati-hati dalam

menggunakan frasa seperti “Penyakit Anda tidak serius” atau “Anda akan baik-

baik saja” karena itu dapat di-misinterpretasi oleh pasien sebagai ketiadaan

empati.

6. Memberikan injeksi lorazepam 0.5 mg IV untuk menenangkan dan mengurangi

impuls tak terkontrol pasien.

Bila keadaan pasien membaik, lorazepam injeksi dapat diganti dengan

lorazepam oral atau golongan benzodiazepin lain. Terapi ini tidak boleh lebih dari

1 minggu untuk mencegah ketergantungan. Benzodiazepin digunakan hanya untuk

meningkatkan kepercayaan diri pasien. Setelah serangan panik berlalu, pasien harus

11 Universitas Lambung Mangkurat


dijelaskan mengenai pentingnya terapi jangka panjang seperti CBT dan

penggunaan obat jenis SSRI.2

 Tatalaksana Gangguan Panik

Tatalaksana gangguan panik terdiri atas pemberian farmakoterapi dan psikoterapi.

Dari penelitian didapatkan bahwa bila hanya farmakoterapi saja atau psikoterapi

saja, maka angka kekambuhan akan lebih tinggi dibandingkan dengan bila

mendapat gabungan antara farmakoterapi dan psikoterapi.1,2

Farmakoterapi 1,2,5,7

Terdapat 3 golongan besar obat yang dianjurkan untuk mengatasi gangguan

panik, yakni golongan SSRI (Serotonin Selective Reuptake Inhibitor), trisiklik, dan

MAOI (Monoamine oxidase inhibitor). Sedangkan golongan benzodiazepin hingga

saat ini masih dianggap kontoversial dalam terapi gangguan panik.

1. SSRI

Penggunaan SSRI dan follow up keberhasilannya sebaiknya dimulai dalam rentang

2 minggu sejak serangan panik terjadi karena SSRI dapat memicu serangan panik

pada pemberian awal. Oleh karena itu dosis SSRI dimulai dari yang terkecil lalu

ditingkatkan secara perlahan di setiap kesempatan follow up berikutnya.

Mekanisme Kerja SSRI

SSRI dipercaya dapat meningkatkan kadar serotonin di ekstraselular

dengan cara menghambat pengambilan kembali serotonin ke dalam sel presinaptik

sehingga ada lebih banyak serotonin di celah sinaptik yang dapat berikatan dengan

reseptor sel post-sinaptik. SSRI memiliki tingkat selektivitas yang cukup baik

terhadap transporter monoamin yang lain, seperti pada transporter noradrenaline

12 Universitas Lambung Mangkurat


dan dopamine, SSRI memiliki afinitas yang lemah terhadap kedua reseptor tersebut

sehingga efek sampingnya lebih sedikit.

SSRI merupakan obat psikotropik pertama yang dianggap memiliki desain

obat rasional, karena cara kerjanya benar-benar spesifik pada suatu target biologi

tertentu dan memberikan efek berdasarkan target tersebut. Oleh karena itu SSRI

digunakan secara luas di hampir semua negara sebagai lini pertama pengobatan

antipanik.

SSRI dapat diberikan selama 2-4 minggu, dan dosisnya dapat ditingkatkan

secara bertahap tergantung pada kebutuhan. Semua jenis SSRI yang dikenal saat ini

memiliki efektifitas yang baik dalam menangani gangguan panik. Salah satunya,

fluoksetin dalam salut memiliki masa paruh waktu yang panjang sehingga cocok

digunakan untuk pasien yang kurang patuh minum obat. Selain itu waktu paruh

yang panjang dapat meminimalisir efek withdrawal yang dapat terjadi ketika pasien

lelah atau tiba-tiba menghentikan penggunaan SSRI.

Contoh Obat Golongan SSRI

Fluoksetin. Fluoksetin secara selektif menghambat reuptake seotonin presinaptik,

dengan efek minimal atau tanpa efek sama sekali terhadap reuptake norepinefrin

atau dopamine.

Paroksetin. Ini merupakan SSRI alternatif yang bersifat sedasi karena cara

kerjanya berupakan inhibitor selektif yang poten terhadap serotonin neuronal dan

memiliki efek yang lemah terhadap reuptake norepinephrine dan dopamine.

Sertralin. Cara kerjanya mirip fluoxetine namun memiliki efek inhibisi

yang lemah pada reuptake norephinephrine dan dopamine neuronal.

13 Universitas Lambung Mangkurat


Fluvoksamin. Fluvoksamin merupakan inhibitor selektif yang juga poten

pada reuptake serotonin neuronal serta secara signifikan tidak berikatan pada alfa-

adrenergik, histamine atau reseptor kolinergik sehingga efek sampingnya lebih

sedikit dibanding obat-obatan jenis trisiklik.

Citalopram. Citalopram meningkatkan aktivitas serotonin melalui inhibisi

selektif reuptake serotonin pada membran neuronal. Efek samping antikolinergik

obat ini lebih sedikit.

Escitalopram. Escitalopram merupakan enantiomer citalopram.

Mekanisme kerjanya mirip dengan citalopram.

Efek Samping SSRI

Efek samping SSRI biasanya timbul selama 1-4 minggu pertama ketika tubuh

mulai mencoba beradaptasi dengan obat (kecuali efek samping seksual yang timbul

pada fase akhir pengobatan). Biasanya penggunaan SSRI mencapai 6-8 minggu

ketika obat mulai mendekat potensi terapi yang menyeluruh. Adapun beberapa efek

samping SSRI antara lain: anhedonia, insomnia, nyeri kepala, tinitus, apati, retensi

urin, perubahan pada perilaku seksual, penurunan berat badan, mual, muntah dan

yang ditakutkan adalah efek sampinng keinginan bunuh diri dan meningkatkan

perasaan depresi pada awal pengobatan.

2. Trisiklik/Tricyclic 1,5

Golongan trisiklikzat kimia heterosiklik yang awalnya digunakan untuk

mengatasi depersi. Pada awal penemuannya, golongan trisiklik merupakan pilihan

pertama untuk terapi depresi. Meskipun masih dianggap memiliki efektifitas yang

tinggi, namun saat ini penggunaannya mulai digantikan oleh golongan SSRI dan

antidepresan lain yang terbaru. Golongan trisiklik beberapa memiliki kelebihan di

14 Universitas Lambung Mangkurat


antaranya, dosisnya cukup 1x/hari, rendah resiko ketergantungan, dan tidak perlu

ada pantangan makanan. Namun 35% penggunanya langsung menghentikan

pengobatan karena efek samping yang tidak menyenangkan. Golongan trisiklik

harus dimulai dengan dosis kecil untuk menghindari amphetamine like stimulation.

Biasanya pengobatan dengan menggunakan trisiklik membtuhkan waktu sekitar 8-

12 minggu untuk mencapai respon terapi.

Trisiklik masih tetap digunakan dalam terapi terutama untuk depresi atau

panik yang resisten terhadap obat antipanik terbaru. Selain itu golongan trisiklik

tidak menyebabkan ketergantungan sehingga dapat digunakan dalam jangka waktu

yang lama. Hanya saja kelemahan golongan ini adalah, efek sampingnya biasanya

mendahului efek terapi sehingga banyak pasien yang justru segera menghentikan

pengobatan meskipun efek terapinya belum tercapai.

Mekanisme Kerja Trisiklik

Mekanisme kerja kebanyakan trisiklik menyerupai cara kerja SNRI

(serotonin-norepinephrine reuptake inhibitor) dengan cara memblok transporter

serotonin dan norepinephrine, sehingga terjadi peningkatan neurotransmiter

ekstraseluler yang dapat bereaksi dalam proses neurotransmisi. TCA sama sekali

tidak bereaksi terhadap transporter dopamin sehingga efek samping akibat

peningkatan dopamin seperti halusinasi dapat berkurang.1,3

Selain bereaksi pada reseptor norepinephrine dan serotonin, trisiklik juga

bereaksi sebagai antagonis pada neurotransmiter 5-HT2 (5-HT2A and 5-HT2C), 5-

HT6, 5-HT7, α1-adrenergic, and NMDAreceptors, dan sebagai agonists pada sigma

receptors (σ1 and σ2), yang memberikan kontribusi pada efek terapi dan efek

15 Universitas Lambung Mangkurat


sampingnya. Trisiklik juga dikenal sebagai antihistamin dan antikolinergik kuat

karena dapat bereaksi dengan reseptor histamine dan asetilkolin muskarinik.

Kebanyak trisiklik juga dapat menghambat kanal natrium dan kalsium,

sehingga dapat bekerja seperti obat-obatan sodium channel blocker dan calcium

channel blocker. Karena itu penggunanaan berlebih trisiklik dapat menyebabkan

kardiotoksik.

Contoh Obat Trisiklik

Imipramin (tofranil, tofranil-PM). Imipramine menghambat reuptake

norepinefrin dan serotonin pada neuron presinaptik.

Desipramin (Norpramin). Desipramin dapat meningkatkan konsentrasi

norepinefrin pada celah sinaptik SSP dengan cara menghambat reuptake-nya di

membran presinaptik. Hal ini dapat menyebabkan efek desensitasi pada adenyl

cyclase, menurunkan regulasi reseptor beta adrenergik, dan regulasi reseptor

serotonin.

Clomipramine (Anafranil). Obat ini berefek langsung pada uptake

serotonin sedangakan pada efeknya uptake norepinephrine terjadi ketika obat ini

diubah menjadi metabolitnya, desmethylclomipramine.

Efek Samping Trisiklik

Ada banyak efek samping yang dapat disebabkan oleh trisiklik yang

berkaitan dengan antimuskarinik-nya. Beberapa di antaranya adalah mulut kering,

hidung kering, pandangan kabur, konstipasi, retensi urin, gangguan memori dan

peningkatan temperatur tubuh.

16 Universitas Lambung Mangkurat


Efek samping lainnya adalah pusing, cemas, anhedonia, bingung, sulit

tidur, akathisia, hipersensitivitas, hipotensi, aritmia serta kadang-kadang

rhabdomiolisis.

3. MAO Inhibitor

Monoamine oxidase inhibitors (MAOIs) merupakan salah satu jenis

antidepresi yang dapat digunakan untuk mengatasi gangguan panik. Pada masa lalu

golongan ini digunakan untuk mengatasi gangguan panik dan depresi yang sudah

resisten terhadap golongan trisiklik.

MAO paling efektif digunakan pada gangguan panik yang disertai

agoraphobia. Selain itu MAO juga dapat digunakan untuk mengatasi migraine dan

penyakit parkinson karena target dari obat ini adalah MAO-B yang berperan dalam

timbulnya nyeri kepala dan gejala parkinson. Kelebihan MAO adalah tingkat

ketergantungan terhadap obat ini rendah dan efek antikolinergiknya lebih sedikit

dibanding obat golongan trisiklik.

Cara Kerja MAOI

MAOI bekerja dengan cara menghambat aktivitas monoamine oxidase,

sehingga ini dapat mencegah pemecahan monoamine neurotransmitter dan

meningkatkan avaibilitasnya. Terdapat 2 jenis monoamine oxidase, MAO-A dan

MAO-B. MAO-A berkaitan dengan deaminasi serotonin, melatonin, epinephrine

and norepinephrine. Sedangkan MAO-B mendeaminasi phenylethylamine dan sisa

amina. Dopamine dideaminasi oleh keduanya.

Contoh Obat MAOI

17 Universitas Lambung Mangkurat


Phenelzine (Nardil). Nardil merupakan obat golongan MAOI yang paling

sering digunakan dalam mengatasi gangguan panik. Hal ini telah dibuktikan

melalui superioritas yang jelas terhadap placebo dalam percobaan double-blind

untuk mengatasi gangguan panik. Obat ini biasanya digunakan untuk pasien yang

tidak respon terhadap obat golongan trisklik atau obat antidepresi golongan kedua.

Tranylcypromine (Parnate). Obat ini juga efektif terhadap gangguan

panik karena berikatan secara ireversibel pada MAO sehingga dapat mengurangi

pemecahan monoamin dan meningkatkan avaibilitas sinaptik.

Efek Samping MAOI

Ketika dikonsumsi peroral, MAOI menghambat katabolisme amine.

Sehingga ketika makanan yang mengandung tiramin dikonsumsi, seseorang dapat

menderita krisis hipertensi. Jika makanan yang mengandung tiptofan dimakan juga,

maka hal ini dapat menyebabkan hiperserotonemia. Jumlah makanan yang

dibutuhkan hingga menimbulkan reaksi berbeda-beda pada tiap individu.

Mekanisme pasti mengapa konsumsi tiramin dapat menyebabkan krisis

hipertensi pada pengguna obat MAOI belum diketahui, tapi diperkirakan tiramin

menggantikan norepinefrin pada penyimpanannya di vesikel, dalam hal ini

norepinefrin terdepak oleh tiramin. Hal ini dapat memicu aliran pengeluaran

norepinefrin sehingga dapat menyebabkan krisis hipertensi. Teori lain menyatakan

bahwa proliferasi dan akumulasi katekolamin yang menyebabkan krisis hipertensi.

18 Universitas Lambung Mangkurat


Beberapa makanan yang mengandung tiramin antara lain hati, makanan

yang difermentasi dan zat-zat lain yang mengandung levodopa seperti kacang-

kacangan. Makanan-makanan itu harus dihindarkan dari pengguna MAOI.

4. Golongan Benzodiazepin

Golongan benzodiazepin merupakan salah satu obat pilihan yang digunakan

untuk mengatasi serangan panik akut. Benzodiazepin digunakan hanya pada 4-6

minggu pertama.

Cara Kerja Benzodiazepin

Benzodiazepin bekerja dengan cara meningkatkan efek neurotransmiter

GABA (gamma-butyric acid), yang berakibat pada inhibisi fungsi eksitasi sehingga

dapat menimbulkan kantuk, menekan kecemasan, anti-kejang, melemaskan otot

dan dapat mengakibatkan amnesia. Ada 3 jenis benzodiazepin yakni yang short

acting, intermediate acting dan long acting. Benzodiazepin short- dan intermediate

acting digunakan untuk mengatasi insomnia sedangkan yang golongan long-acting

digunakan untuk mengatasi gangguan panik.1,3

Contoh Obat Benzodiazepin

Lorazepam (Ativan). Lorazepam merupakan suatu hipnotik-sedatif yang

memiliki efek onset singkat dan paruh waktunya tergolong intermediate. Dengan

meningkatkan aksi GABA, yang merupakan inhibitor utama di otak, lorazepam

dapat menekan semua kerja SSP, termasuk sistem limbik dan formasi retikuler.

19 Universitas Lambung Mangkurat


Clonazepam (Klonopin). Clonazepam menfasilitasi inhibisi GABA dan

transmiter inhibitorik lainnya. Selain itu, obat ini memiliki waktu paru yang relatif

panjang sekitar 36 jam.

Alprazolam (Xanax, Xanax XR). Alprazolam merupakan terapi pilihan

untuk manajemen serangan panik. Obat ini dapat terikat pada reseptor-reseptor

pada beberapa bagian otak, termauk sistem limbik dan RES. Meskipun begitu

banyak ahli yang tidak menyarankan penggunaan alprazolam dalam waktu lama

karena tingkat ketergantungannya sangat tinggi.

Diazepam (Valium, Diastat, Diazepam Intensol). Diazepam meruapakan

salah satu jenis benzodiazepin yang potensinya rendah. Namun dapat digunakan

untuk mengatasi serangan panik.

Efek Samping Benzodiazepin

Efek samping yang paling sering ditemukan pada benzodiazepin biasanya

berkaitan dengan efek sedasi dan relaksan ototnya. Beberapa di antaranya adalah

mengantuk, pusing, dan penurunan konsentrasi dan kewaspadaan. Kurangnya

koordinasi bisa mengakibatkan jatuh dan kecelakaan, terutama pada orang tua.

Akibat lain dari benzodiazepin adalah penurunan kemampuan menyetir sehingga

dapat berakibat pada tingginya angka kecelakaan.

Efek samping lainnya adalah hipotensi dan penekanan pusat pernapasan

terutama pada penggunaan intravena. Beberapa efek samping lain yang dapat

timbul pada penggunaan benzodiazepin adalah mual, muntah, perubahan selera

makan, pandangan kabur, bingung, euforia, depersonalisasi dan mimpi buruk.

Beberapa kasus juga menunjukkan bahwa benzodiazepin bersifat liver toksik.1,2, 5

20 Universitas Lambung Mangkurat


5. Serotonine-Norepinephrine Reuptake Inhibitors 1,2,5

Ini merupakan salah golongan antipanik terbaru. Cara kerja obat ini adalah

mencegah reuptake inhibitor serotonin-norepinefrin sehingga dapat mengatasi

kepanikan.

Venlafaxine (Effexor, Effexor XR). Venlafaxine merupakan salah satu

contoh obat inhibitor reuptake serotonin/norepinephrine selain itu cara kerja obat

ini adalah menurunkan regulasi reseptor beta.

Interaksi Obat

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan mengenai interaksi obat yang

dapat terjadi. Obat anti-panik trisiklik (Imipramine/Clomipramine) bila diberikan

bersamaan dengan haloperidol (phenothiazine) dapat mengurangi kecepatan

ekskresi dari trisiklik sehingga kadar dalam plasma meningkat, sebagai akibatnya

dapat terjadi potensiasi efek samping antikolinergik seperti ileus paralitik, disuria,

gangguan absorbsi dan lain-lain.

Obat trisiklik/SSRI bila diberikan bersamaan dengan CNS depressant

(alkohol, opioid, benzodiazepine, dll) menyebabkan potensiasi efek sedasi dan

penelanan terhadap pusat pernapasan bahkan dapat terjadi gagal napas.

Obat trisklik/SSRI dan obat simpatomimetik (derivat amfetamin) bila

diberikan bersamaan dapat membahayakan kondisi jantung.

Obat trisiklik/SSRI dan MAOI tidak boleh diberikan bersamaan karena

dapat terjadi Serotonin Malignant Syndrome. Perubahan penggunaan trisiklik/SSRI

menjadi MAOI atau sebaliknya harus menunggu waktu sekitar 2-4 minggu untuk

wash out period.

21 Universitas Lambung Mangkurat


Obat trisiklik bila diberikan bersama SSRI, dapat meningkatkan toksisitas

obat trisiklik.1, 2, 3, 8

Respons dan Durasi Farmakoterapi

Jika pasien gagal memberikan respons terhadap salah satu golongan obat, golongan

obat lain harus dicoba. Data terkini menyokong efektivitas venfalaxine. Kombinasi

SSRI atau obat trisiklik dan benzodiazepin atau SSRI dan litium atau obat trisiklik

dapat dicoba. Beberapa laporan kasus menunjukkan efektivitas karbamazepin,

valproat, dan calcium channel blocker yang mengesankan. Buspiron dapat memiliki

peran dalam memperkuat obat lain tetapi efektivitasnya kecil.

Ketika efektif, terapi farmakologis umumnya harus diteruskan selama 8-12

bulan. Data menunjukkan bahwa gangguan panik adalah gangguan kronis yang

mungkin dapat terjadi seumur hidup dan akan kambuh jika terapi dihentikan

mendadak. Studi melaporkan bahwa 30-90 % yang mengalami keberhasilan terapi

mengalami kekambuhan ketika obatnya dihentikan.1, 2

Psikoterapi

 Terapi Relaksasi 1

Diberikan terhadap hampir semua individu yang mengalami gangguan panik,

kecuali yang bersangkutan menolak. Terapi ini bermanfaat meredakan secara relatif

cepat serangan panik dan menenangkan individu, namun itu dapat dicapai bagi yang

telah berlatih setiap hari. Prinsipnya adalah melatih pernapasan; dengan cara

menarik napas dalam dan lambat, lalu mengeluarkannya dengan lambat;

mengendurkan seluruh otot tubuh dan mensugesti pikiran ke arah konstruktif yang

diinginkan akan dicapai. Dalam proses terapi, dokter akan membimbing individu

22 Universitas Lambung Mangkurat


melakukan ini secara perlahan-lahan, biasanya berlangsung selama 20-30 menit

atau lebih lama lagi. Setelah itu individu diminta untuk melakukannya sendiri di

rumah setiap hari, sehingga apabila serangan panik muncul kembali, tubuh sudah

siap relaksasi.

Selain itu diberikan pula salah satu terapi kognitif perilaku atau psikoterapi

dinamik. Pemilihan jenis ini berdasarkan kondisi pasien saat itu, motivasi individu,

kepribadiannya, serta pertimbangan dokter yang melakukan. Keberhasilan kedua

jenis terapi ini bergantung atas motivasi pasien dan kesediaan bekerja sama dengan

terapis.1

 Terapi Kognitif Perilaku/Cognitive-Behavioral Therapy (CBT)

Pasien diajak untuk merekstrukturisasi kognitif, yaitu membentuk kembali pola

perilaku dan pikiran yang lebih rasional. Terapi biasanya berlangsung 30-45 menit.

Pasien kemudian diberi pekerjaan rumah yang harus dibuat setiap hari, antara lain

membuat daftar pengalaman harian dalam menyikapi berbagai peristiwa yang

dialami baik mengecewakan, menyedihkan, atau menyenangkan. Pekerjaan rumah

ini akan dibahas pada kunjungan berikutnya. Biasanya terapi ini memerlukan 10-

15 kali pertemuan, bisa kurang namun dapat pula lebih, bergantung pada kondisi

pasien yang mengalaminya.1, 2

 Psikoterapi Dinamik

Pasien diajak untuk lebih memahami diri dan kepribadiannya, bukan hanya dengan

tujuan penghilangan gejala. Pada psikoterapi dinamik, biasanya pasien akan lebih

banyak berbicara dan dokter lebih banyak mendengarkan, kecuali pada individu

yang pendiam maka dokter yang lebih aktif. Terapi ini memerlukan waktu panjang

23 Universitas Lambung Mangkurat


dapat berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Diperlukan kesabaran keduabelah

pihak dan kerja sama yang baik.2

 Aplikasi Relaksasi

Tujuan aplikasi relaksasi (misalnya Herbert Benson) adalah memberikan pasien

rasa kendali mengenai tingkat ansietas dan relaksasi. Melalui penggunaan teknik

standar relaksasi otot dan membayangkan situasi yang membuat santai, pasien

memperlajari teknik yang dapat membantu mereka melewati serangan panik.1, 5,7

 Terapi Keluarga

Keluarga pasien dengan gangguan panik dan agorafobia juga mungkin telah

dipengaruhi oleh gangguan anggota keluarga. Terapi keluarga yang ditujukan pada

edukasi dan dukungan sering bermanfaat.1, 5

 Psikoterapi Berorientasi Tilikan

Terapi berfokus membantu pasien mengerti arti ansietas, situasi yang dihindari,

serta kebutuhan untuk menekan impuls, dan keuntungan apabila berhasil.1,5

 Psikoterapi Kombinasi dan Farmakologi

Ketika farmakoterapi efektif menghilangkan gejala primer gangguan panik,

psikoterapi dibutuhkan untuk mengurangi gejala sekunder. Intervensi

psikoterapeutik membantu pasien menghadapi rasa takut keluar rumah. Di samping

itu, intervensi terapeutik dibutuhkan untuk beberapa pasien yang menolak obat

dikarenakan stigma ‘sakit jiwa’, sehingga pasien dapat mengerti dan

menghilangkan resistensi terhadap farmakoterapi.1, 5

24 Universitas Lambung Mangkurat


H. Prognosis

Walaupun gangguan panik merupakan penyakit kronis, namun penderita

dengan fungsi premorbid yang baik serta durasi serangan yang singkat bertendensi

untuk prognosis yang lebih baik.

Untuk agorafobia, dimana sebagian besar kasusnya dianggap diakibatkan

oleh gangguan panik, sering membaik seiring waktu ketika gangguan paniknya

diobati. Untuk perbaikan agorafobia yang cepat dan sempurna, kadang-kadang

diindikasikan terapi perilaku. Gangguan depresif dan ketergantungan alkohol

mempersulit perjalanan gangguan.1, 5

25 Universitas Lambung Mangkurat


BAB III

DATA PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. I

Tempat, tanggal lahir : 12 Oktober 1959

Usia : 58 tahun

Jenis Kelamin : Laki - Laki

Alamat : JL. Paku Alam no 6, Banjarmasin

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Swasta

Agama : Islam

Suku : Banjar

Bangsa : Indonesia

Status Perkawinan : Menikah

Tanggal Berobat : 10 Februari 2020

II. RIWAYAT PSIKIATRI

Diperoleh dari autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 10 Februari 2020

pukul 11.45 WITA di Poliklinik Jiwa RS Moch. Ansari Saleh Banjarmasin.

A. Keluhan Utama

Keluhan utama pasien nyeri perut kiri atas.

26
B. Riwayat gangguan sekarang

Autoanamnesa

Pasien dibawa oleh istrinya menggunakan motor ke poliklinik jiwa RS Moch.

Ansari Saleh Banjarmasin. Saat datang, pasien nampak mengenakan baju kaos

berwarna hitam lengan pendek, celana jeans berwarna hitam, pasien menggunakan

alas kaki berupa sandal, secara keseluruhan pasien nampak terawat dan sesuai

dengan usia pasien .Saat dilakukan anamnesis, pasien tampak kooperatif kepada

pemeriksa. Saat ditanyakan alasan datang ke RS Moch. Ansari Saleh, pasien

menjawab bahwa pasien merasa perut bagian kiri atasnya terasa perih saat pasien

menutup mata untuk berusaha tidur. Keluhan akan hilang ketika pasien membuka

matanya. Pasien juga mengeluhkan sulit tidur dikarenakan nyeri perutnya. Keluhan

ini sudah dirasakan sejak kurang lebih lima tahun terakhir. Keluhan nyeri perut

disertai dengan rasa mual dan keringat dingin. Keluhannya muncul tiba tiba,

semakin lama semakin bertambah berat. Saat malam hari, pasien merasa gelisah

dan membuat pasien tidak bisa tidur. Saat ditanyakan apa yang membuatnya

gelisah, pasien mengatakan kalau perutnya perih. Pasien juga mengaku kalau

dirinya sering menyendiri dan melamun. Pasien merasa dirinya sedang mengalami

stes. Saat ditanyakan Mengapa dirinya stress pasien menjawab ada masalah

ekonomi dan masalah keluarga yang sangat menjadi pikiran pasien. Pasien pernah

memeriksakan dirinya kedokter umum karena pasien mengira dirinya terkena

penyakit maag. Dokter memberi pasien obat Lansoprazol, namun setelah

mengkonsumsi obat keluhan tak kunjung membaik. Pasien lalu memutuskan untuk

memeriksakan dirinya kepoli jiwa, dari dokter Sp.KJ pasien diberikan 3 jenis obat

yaitu Clobazam, Lansoprazol, dan Alprazolam. Setelah mengkonsumsi obat

27 Universitas Lambung Mangkurat


tersebut baru pasien merasakan keluhannya membaik. Pasien makan rutin tanpa

disuruh 3 kali sehari. Pasien rajin menjaga kebersihan lingkungan tempat

tinggalnya. Pasien mengaku tidak memiliki hambatan atau gangguan dalam

melakukan kegiatan sehari hari terkecuali pada saat nyeri perutnya kumat. Pasien

rajin beribadah shalat, shalat jumat juga tidak pernah dilupakan pasien. Pasien tidak

pernah tersesat saat keluar dari rumahnya, selalu bisa kembali ke rumah

setelahkeluar rumah. Pasien tidak mengalami gangguan kesadaran dan daya

konsentrrasi. Pasien mengaku tidak ada mendengar bisikan-bisikan yang tidak

didengar orang lain, melihat sosok manusia yang tidak dilihat orang lain. Pasien

tidak pernah memiliki pikiran unruk melukai diri ataupun mencoba bunuh diri.

Pasien tidak pernah mengkonsumsi alkohol atau obat-obat terlarang. Pasien

memiliki riwayat mengalami keluhan serupa pada saat remaja namun sembuh

dengan sendirinya.

C. Riwayat Gangguan Sebelumnya

1. Riwayat Gangguan Psikiatri

Pasien pernah menderita keluhan serupa sebelumnya pada saat remaja namun

sembuh dengan sendirinya. Pasien tidak pernah menderita gangguan jiwa yang

lainnya.

2. Riwayat Penggunaan Zat Psikoaktif

Keluarga pasien mengaku pasien tidak pernah menggunakan obat narkotika

atau psikotropika serta tidak pernah meminum alkohol.

3. Riwayat penyakit dahulu (medis)

Pasien memiliki riwayat tekanan darah tinggi sejak kurang lebih lima tahun

terakhir, pasien biasanya mengkonsumsi amlodipin namun tidak teratur.

28 Universitas Lambung Mangkurat


D. Riwayat Kehidupan Pribadi

1. Riwayat pranatal

Pasien dilahirkan dengan persalinan normal dan tidak terdapat kelainan saat

kehamilan maupun proses kelahiran.

2. Masa kanak-kanak awal

Pasien tumbuh dan berkembang sesuai usianya dan mempunyai banyak

teman. Tidak ada gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangan dan dapat

berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman-temannya.

3. Masa kanak-kanak akhir

Pasien mengaku memiliki banyak teman. Pasien tidak pernah tinggal kelas.

Pendidikan terakhir pasien yaitu SMA dan tidak melanjutkan ke kuliah karena

masalah ekonomi.

4. Riwayat pekerjaan

Pasien bekerja serabutan sehingga untuk kebutuhan sehari hari masih tidak

menentu.

5. Riwayat agama

Pasien beragama islam. Pasien masih dapat sholat 5 waktu dan mengaji

setelah sholat subuh dan magrib. Shalat Jumat tidak pernah lewat.

6. Aktivitas sosial

Pasien adalah orang yang ramah dan senang bergaul dengan tetangga. Pasien

biasanya didalam rumah dan menonton TV jika sedang tidak bekerja.

E. Riwayat keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan sama seperti pasien.

29 Universitas Lambung Mangkurat


Genogram

Keterangan :

: Laki-laki

: Perempuan

: Sakit

: Meninggal

F. Situasi sosial sekarang

Pasien seorang lelaki berusia 58 tahun. Pasien sudah menikah. Pasien saat

ini tinggal di rumahnya sendiri Bersama istri dan ketiga anaknya. Hubungan pasien

dengan keluarga baik. Pasien bekerja dan untuk mengisi waktu luang pasien sering

menonton TV. Pasien dapat bersosialisasi dengan baik terhadap orang - orang di

lingkungan sekitar.

G. Persepsi (tanggapan) pasien tentang dirinya dan kehidupannya

tidak ada yang ingin diubah oleh pasien.

III. STATUS MENTAL

A. Deskripsi Umum

1. Penampilan

Pasien dibawa oleh istrinya menggunakan motor ke poliklinik jiwa RS Moch.

30 Universitas Lambung Mangkurat


Ansari Saleh Banjarmasin. Saat datang, pasien nampak mengenakan baju kaos

berwarna hitam lengan pendek, celana jeans berwarna hitam, pasien menggunakan

alas kaki berupa sandal, secara keseluruhan pasien nampak terawat dan sesuai

dengan usia pasien.

2. Perilaku dan aktivitas psikomotorik : normoaktif

3. Sikap terhadap pemeriksa : kooperatif

B. Keadaan Emosi

1. Mood : Euthym

2. Afek : Luas

3. Keserasian : Serasi

C. Gangguan Persepsi

 Halusinasi A/V/G/T/O : -/-/-/-/-

 Ilusi : (-)

 Depersonalisasi : (-)

 Derealisasi : (-)

D. Pembicaraan : Spontan

E. Proses pikir

 Bentuk pikir : Realistis

 Arus pikir : Koheren

 Isi pikir

o Preokupasi : (-)

o Waham : (-)

F. Sensorium dan kognitif

1. Kesadaran

31 Universitas Lambung Mangkurat


a. Kuantitatif (GCS) : E4V5M6 (compos mentis)

b. Kualitatif (Psikiatri) : Jernih

2. Orientasi

a. Waktu : baik

b. Tempat : baik

c. Orang : baik

3. Daya ingat

a. Jangka segera : baik

b. Jangka pendek : baik

c. Jangka menengah : baik

d. Jangka panjang : baik

4. Konsentrasi : baik

5. Perhatian : baik

6. Kemampuan membaca dan menulis : baik

7. Kemampuan visuospasial : baik

8. Pikiran abstrak : baik

9. Kapasitas intelegensia : baik

10. Bakat kreatif : baik

11. Kemampuan menolong diri sendiri : baik

G. Pengendalian Impuls : baik

H. Daya Nilai

 Daya norma sosial : baik

 Uji daya nilai : baik

 Penilaian realita : baik

32 Universitas Lambung Mangkurat


 Tilikan : Tilikan 6

I. Taraf Dapat Dipercaya : dapat dipercaya

IV. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK LEBIH LANJUT

1. Status Interna :

Tekanan darah : 130/80 mmHg

Nadi : 99 kali/menit, reguler dan kuat angkat

Respirasi : 20 kali/menit

Suhu : 36,7oC

SpO2 : 99% tanpa seplementasi oksigen

 Kulit: Tidak terdapat anemis, purpura, ikterik, hiperpigmentasi.

 Kepala dan leher: Normosefali, tidak terdapat perbesaran KGB, tidak ada

peningkatan JVP, bruit (-).

 Mata: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), perdarahan (-/-), mata

berair (-/-), ptosis (-/-), pandangan kabur (-/-), pupil isokor (3 mm/3 mm).

Funduskopi (tidak dilakukan).

 Telinga: Serumen minimal, sekret (-/-), nyeri mastoid (-/-)

 Hidung: Epistaksis (-/-), sekret (-/-)

 Mulut: Perdarahan gusi (-), pucat (-), sianosis (-), stomatitis (-).

 Toraks: suara napas vesikuler, wheezing (-/-), ronki (-/-)

 Jantung: S1>S2, tunggal, irama reguler, murmur (-), gallop (-)

 Abdomen: datar, BU (+), perkusi timpani, palpasi supel

 Punggung: skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-), nyeri ketok ginjal (-)

 Ekstremitas: gerak sendi normal, deformitas (-), kemerahan (-), varises(-),

panas (-), nyeri (-), massa (-), edema (-), kelemahan ekstrimitas superior dextra.

33 Universitas Lambung Mangkurat


2. Status Neurologis

 Nervus I-XII : dalam batas normal

 Rangsang meningeal : (-)

 Refleks fisiologis : dalam batas normal

 Refleks patologis : (-)

IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA

1. Pasien laki laki usia 58 tahun datang untuk berobat dengan keluhan nyeri perut

kiri atas pada saat memejamkan mata.

2. Pasien sering gelisah sebelum tidur dan menyebabkan pasien tidak bisa tidur

sampai dini hari. Jika sudah tertidur, pasien sering terbangun tiba tiba karena

merasa perutnya perih. Pasien mengaku dirinya merasa stress.

3. Pasien masih dapat mengurus diri sendiri seperti mandi, makan, BAB dan BAK

sendiri.

4. Pasien pernah berobat ke dokter umum untuk mengatasi keluhan, diberikan

obat Lansoprazol untuk menguragi keluhan pasien. Setelah meminum obat

yang diberikan oleh dokter tidak ada perbaikan kondisi.

5. Fungsi kognitif pada pasien tidak berkurang. Kemampuan pasien

mengendalikan impuls masih baik. Orientasi waktu, tempat, orang dan situasi

baik. Tidak ada riwayat trauma.

6. Di keluarga pasien, tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang

sama dengan pasien.

34 Universitas Lambung Mangkurat


7. Pasien lahir secara normal dan tidak terdapat penyulit pada proses persalinan.

Masa kanak-kanak, remaja hingga dewasa pasien memiliki kemampuan

bersosialisasi kurang baik.

8. Pasien menempuh pendidikan sampai dengan taraf SMA.

9. Kegiatan pasien saat ini sebagai pengawai serabutan.

10. Pasien sudah menikah.

V. DIAGNOSTIK DIAGNOSIS MULTIAKSIAL

1. Aksis I : F.41.0 Anxietas Paroksismal Episodik

2. Aksis II : None

3. Aksis III : Hipertensi (+)

4. Aksis IV : Masalah psikososial

5. Aksis V : GAF scale 70-61

VI. PROGNOSIS

Diagnosis penyakit : dubia ad bonam

Ciri kepribadian : dubia ad bonam

Diagnosis stressor : dubia ad bonam

Gangguan sistemik : dubia ad malam

Perjalanan penyakit : dubia ad bonam

Usia saat menderita : dubia ad malam

Pendidikan : dubia ad malam

Lingkungan sosial : dubia ad bonam

Pengobatan psikiatri : dubia ad bonam

Kesimpulan : dubia ad bonam

35 Universitas Lambung Mangkurat


VII. RENCANA TERAPI

Psikofarmaka : Alprazolam 0,5 mg 0-0-1

Psikoterapi :

a. Psikoterapi re-edukatif

b. Psikoterapi suportif

Edukasi :

Satu hal yang harus diedukasikan mengenai kepatuhan adalah penekanan

bahwa menghentikan pengobatan secara tiba tiba dapat berbahaya, karena dapat

menyebabkan gejala akan timmbul kembali.

Jika psaien tidak merasa lebih baik dengan pengobatann yang diberikan

akibat munculnya efek samping obat, mka pasienn bisa meminta dokter

berdiskusi terkait dengan pengobatan pasien agar dapat diberikan obat yang dapat

mengurangi efek samping dari obat tersebut.

Pasien perlu diberitahhukan jika mulai muncul keluhann agar sefera

kembali ke dokter atau pergi ke pusat pelayanan terdekat, terutama jika ada

pikiran untuk menyakiti diri sendiri dan orang lain

Hindari alcohol karena dapat memperburuk gejala.

Usul Pemeriksaan Penunjang: tidak ada

36 Universitas Lambung Mangkurat


BAB IV

PEMBAHASAN

Gangguan Panik (Panic Disorder) adalah satu perasaan serangan cemas

mendadak dan terus menerus disertai perasaan perasaan akan datangnya bahaya /

bencana, ditandai dengan ketakutan yang hebat secara tiba-tiba. Gangguan Panik

disebut juga Anxietas Paroksismal Episodik.1,2,3,4

Faktor Biologis: Riset mengenai dasar biologis gangguan panik adalah

ditemukannya suatu interpretasi bahwa gejala gangguan panik terkait dengan

abnormalitas struktur dan fungsi otak. Diperoleh data bahwa pada otak pasien

dengan gangguan panik, beberapa neurotransmiter mengalami gangguan fungsi,

yaitu serotonin, GABA (Gama Amino Butyric Acid), dan norepinefrin.

Berdasarkan hipotesis patofisiologi, terjadi disregulasi baik pada sistem

perifer maupun sistem saraf pusat (SSP). Pada beberapa kasus ditemukan

peningkatan tonus simpatetik dalam sistem otonom. Serangan panik merupakan

respon terhadap rasa takut yang ditampilkan oleh fear network yang terlalu sensitif,

yaitu amigdala, korteks prefrontal, dan hipokampus. Terdapat bukti praklinis bahwa

melemahnya tranmisi inhibisi lokal GABA di amigdala basolateral, otak tengah,

dan hipotalamus dapat mencetuskan respon fisiologis mirip ansietas.

Faktor biologik lain yang berhubungan adalah zat panikogen yang digunakan

terbatas pada penelitian, misalnya karbon dioksida, natrium laktat, dan bikarbonat.

Zat penginduksi panik neurokimia terutama memengaruhi reseptor adrenergik,

serotonergik, GABA di SSP secara langsung.

37
Faktor Genetik : Keluarga generasi pertama pasigotien Gangguan Panik 4 – 8 kali

beresiko untuk menderita gangguan ini. Kembar monozigot resiko lebih besar

daripada dizigot.

Faktor Psikososial :

 Teori Kognitif Perilaku : kecemasan bisa sebagai satu respon yang dipelajari

dari perilaku orangtua atau melalui proses kondisioning klasik yang terjadi

sesudah adanya stimulus luar yang menyebabkan individu menghindari

stimulus tersebut.1,5,6

 Teori Psikososial: serangan panik muncul karena gagalnya pertahanan mental

menghadapi impuls/ dorongan yang menyebabkan cemas.

Pada pasien didapatkan gejala berupa nyeri perut kiri atas jika pasien

memejamkan matanya, kesulitan tidur dan merasa gelisah. Berdasarkan Pedoman

Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ III), Pedoman Diagnostik

Gangguan Panik (F41.0), yaitu:

 Gangguan panik baru ditegakkan sebagai diagnosis utama bila tidak ditemukan

adanya gangguan anxietas fobik (F.40)

 Untuk diagnosis pasti; harus ditemukan adanya beberapa kali serangan anxietas

berat (severe attacks of autonomic anxiety) dalam masa kira-kira satu bulan :

a. Pada keadaan-keadaan dimana sebenarnya secara objektif tidak ada bahaya

b. Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat diduga

sebelumnya (unpredictable situations)

c. Dengan keadaan yang relatif bebas dari gejala-gejala anxietas pada periode

diantara serangan-serangan panik (meskipun demikian, umumnya dapat

38 Universitas Lambung Mangkurat


terjadi juga :anxietas antisipatorik”, yaitu anxietas yang terjadi setelah

membayangkan sesuatu yang mengkhawatirkan akan terjadi)

Terapi farmakologi masih merupakan pilihan utama pada gangguan panik.

Tujuan pengobatan adalah untuk mencegah bahaya pada pasien, mengontrol

perilaku pasien, dan untuk mengurangi gejala psikotik.10 Rencana terapi pada

pasien adalah Alprazolam 0,5 mg 0-0-1. Benzodiazepine merupakan pilihan obat

pertama, dimana pemberian benzodiazepine dimulai dengan dosis terendah dan

ditingkatkan sampai mencapai respons terapi. Pengguanaan sediaan dengan waktu

paruh menengah dan dosis terbagi dapat mencegah terjadinya efek yang tidak

diinginkan. Lama pengobatan rata-rata 2-6 minggu, dilanjutkan dengan masa

tapering off selama 1-2 minggu.1 Spektrum klinis Benzodiazepin meliputi efek anti-

anxietas, antikonvulsan, anti-insomnia, dan premedikasi tindakan operatif.

Alprazolam (Xanax, Xanax XR). Alprazolam merupakan terapi pilihan untuk

manajemen serangan panik. Obat ini dapat terikat pada reseptor-reseptor pada

beberapa bagian otak, termasuk sistem limbik dan RES. Alprazolam efektif untuk

anxietas tipe antisipatorik, “onset of action” lebih cepat dan mempunyai komponen

efek anti-depresi. Meskipun begitu banyak ahli yang tidak menyarankan

penggunaan alprazolam dalam waktu lama karena tingkat ketergantungannya

sangat tinggi. 2

39 Universitas Lambung Mangkurat


BAB V

PENUTUP

Telah dilaporkan kasus Tn. I berusia 58 tahun dengan keluhan utama nyeri

perut bagian kiri atas pada saat pasien memejamkan mata dengan gejala tambahan

berupa keringat dingin, mual, sulit tidur serta rasa gelisah. Pasien didiagnosis

dengan Anxietas Paroksismal Episodik (F.41.0) serta mendapatkan pengobatan

berupa Alprazolam 0,5 mg 0-0-1. Setelah mengkonsumsi obat rutin kurang lebih 5

tahun pasien merasa keadaannya jauh lebih membaik.

40 Universitas Lambung Mangkurat


DAFTAR PUSTAKA

1. Yohanna, Mitzi, Mali MABM, Nasim MFBM, Hussin MHB. Tatalaksana


Pada Gangguan Panik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Kristen
Krida Wacana; 2014.

2. Pranata M. Gangguan Panik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas


Kristen Krida Wacana; 2014.

3. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorder. 4th ed. Text rev. Washington DC: APA; copyright 2000.

4. Katerndahl D. Chest Pain and Its Importance in Patients with Panic


Disorder: An Updated Literature Review. Primary Care Companion. J
Clinical Psychiatry 2008:10(5).

5. Kusumadewi I, Elvira S. Gangguan panik. Dalam: Buku ajar psikiatri. Edisi


ke-2. Jakarta: FKUI; 2013. h. 258-63.

6. Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDJ-III dan


DSM-V. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Unika
Atma Jaya; 2013.h72-75.

7. Katherndahl D. Panic & plaques: Panic disorder and coronary artery


disease in patients with chest pain. Medscape Multispeciality. J Am Board
Fam Med. 2004:17(2).

41 Universitas Lambung Mangkurat

Anda mungkin juga menyukai