Anda di halaman 1dari 14

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

GANGGUAN PANIK
(F41.0)

Dibawakan Oleh :
dr. Dini Pratiwi Nasruddin
C065221006

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


TERPADU BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023
1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Gangguan panik adalah gangguan ansietas yang ditandai oleh serangan panik
tak terduga yang berulang.1 Gangguan panik ditandai oleh serangan panik
(ansietas), rasa takut, atau terror, oleh perasaan yang tidak nyata, atau oleh
kecemasan akan kematian, atau kehilangan kendali, disertai dengan tanda pusing,
vertigo, kemerahan atau pucat, dan berkeringat.2
Gangguan panik adalah salah satu gangguan jiwa yang paling sering
ditemukan pada populasi umum. Lebih dari 30 juta orang di Amerika Serikat
menderita kondisi ini. Data epidemiologi menunjukkan prevalensinya pada wanita
lebih besar dua sampai tiga kali daripada pria. Gangguan cemas panik diawali
serangan panik yang terjadi beberapa kali dalam satu hari. Kondisi lebih lanjut
gangguan ini dapat mengarah ke agorafobia, suatu kondisi kecemasan berada di
tempat terbuka karena ketakutan akan ditinggalkan, tidak berdaya atau merasa
tidak ada yang menolong bila serangan panik datang.4
Kondisi gangguan cemas panik sering disalahartikan sebagai suatu kondisi
sakit fisik karena gejala-gejalanya adalah gejala fisik terutama yang melibatkan
sistem saraf autonom, baik simpatis dan parasimpatis. Tidak heran biasanya
pasien dengan gangguan ini akan terlebih dahulu datang ke dokter non-spesialis
psikiatri. Pada makalah ini, akan dibahas secara menyeluruh mengenai gangguan
panik.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi

Gangguan panik adalah gangguan ansietas yang ditandai oleh serangan


panik tak terduga yang berulang.1 Gangguan panik ditandai oleh serangan panik
(ansietas), rasa takut, atau terror, oleh perasaan yang tidak nyata, atau oleh
kecemasan akan kematian, atau kehilangan kendali, disertai dengan tanda pusing,
vertigo, kemerahan atau pucat, dan berkeringat.2 Gangguan panik disebut juga
anxietas paroksismal episodik.3 Gangguan panik dapat muncul sendiri atau terkait
dengan agoraphobia (rasa takut saat berada di ruang terbuka, berada di luar rumah
sendirian, atau berada di keramaian).4

2.2 Epidemiologi
Menurut sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, prevalensi
kejadian gangguan panik dalam jangka waktu 12-bulan di populasi usia 15 sampai
54 tahun di Amerika Serikat adalah sebesar 2,7%. 5 Sebuah penelitian sistematis di
yang dilakukan terhadap 13 penelitian di Eropa menunjukkan prevalensi
gangguan panik dalam rentang waktu 12 bulan adalah sebesar 1,8%. 6
Serangan panik (yang dapat terjadi pada gangguan selain gangguan
panik) jauh lebih umum daripada gangguan panik, terjadi pada hingga sepertiga
individu pada suatu titik dalam masa hidup mereka. Serangan ini memiliki median
usia onset 24 tahun dan kira-kira dua kali lebih sering pada wanita dibandingkan
pria, dengan prevalensi 5 persen seumur hidup di antara wanita dibandingkan 2
persen di antara pria. Prevalensi kejadian serangan panik menurun secara
signifikan setelah usia 60 tahun.7

2.3 Etiologi dan Patofisiologi


Penyebab pasti dari gangguan panik masih tidak jelas, namun ada
beberapa faktor yang dianggap berperan dalam terjadinya gangguan panik, antara
lain:
1. Faktor Biologik: pada beberapa penelitian mengenai gangguan panik

3
ditemukan adanya peningkatan aktifitas saraf simpatis. Penelitian

4
neuroendokrin menunjukkan adanya abnormalitas hormone, terutama
kortisol. Neurotransmitter yang berpengaruh pada Gangguan Panik adalah
Epinefrin, Serotonin, dan Gama Amino Butyric Acid (GABA).
2. Faktor Genetik : Keluarga generasi pertama pasiien Gangguan Panik 4 – 8
kali lebih berisiko untuk menderita gangguan ini. Risiko pada kembar
monozigot lebih besar daripada kembar dizigot.
3. Faktor Psikososial :
 Teori Kognitif Perilaku: kecemasan bisa sebagai satu respon yang
dipelajari dari perilaku orangtua atau melalui proses pengondisian klasik
yang terjadi sesudah adanya stimulus luar yang menyebabkan individu
menghindari stimulus tersebut.
 Teori Psikososial: serangan panik muncul karena gagalnya pertahanan
mental menghadapi impuls / dorongan yang menyebabkan anxietas. Pasien
dengan riwayat pelecehan fisik dan seksual pada masa kanak-kanak juga
beresiko lebih tinggi untuk menderita Ganggaun Panik.8
Dalam sebuah model psikologis, gangguan dan serangan panik
dinyatakan sebagai “ketakutan akan rasa takut”. Gambar 1 menunjukkan
sensasi fisik yang terkait dengan kecemasan, yaitu pusing atau pingsan,
atau jantung berdebar, sesak nafas, atau nyeri dada diinterpretasikan
penderita sebagai keadaan yang mengindikasikan penderita akan pingsan,
mengalami gangguan jantung atau tidak dapat bernafas. Hal ini
menyebabkan hipervigilansi dari sensasi tubuh, meningkatnya rangsangan
system saraf simpatis, meningkat atau bertambahnya sensasi fisik, dan
meningkatnya ansietas, yang secara spiral menjadi serangan panik. 9

5
Gambar 1

2.4 Gejala Klinis


Serangan panik yang berulang dan tidak terduga (rasa takut fokal yang
berlangsung selama beberapa menit), dan selama serangan ada empat (atau lebih)
dari gejala seperti:

1. Palpitasi atau takikardi.


2. Diaforesis.
3. Gemetar.
4. Sensasi sesak napas.
5. Merasa tercekik.
6. Nyeri dada.
7. Mual dan rasa tidak nyaman di perut.
8. Merasa pusing atau vertigo.
9. Sensasi kepanasan atau kedinginan.
10. Rasa kebas atau kesemutan.
11. Derealisasi (perasaan tidak nyata) atau depersonalisasi (terlepas dari diri
sendiri).

6
12. Takut kehilangan kontrol atau “menjadi gila”/
13. Takut akan mati.
Serangan-serangan ini harus menyebabkan kekhawatiran yang terus-
menerus tentang serangan di masa depan atau perubahan perilaku
maladaptif untuk menghindari serangan di masa depan. Serangan panik
dapat terjadi pada anxietas dan gangguan lainnya. Pada gangguan panik,
serangan muncul tanpa adanya provokasi.4

2.5 Kriteria Diagnosis


Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia edisi ke III (PPDGJ-III):
Pedoman Diagnostik
 Gangguan panik baru ditegakkan sebagai diagnosis utama bila tidak
ditemukan adanya gangguan anxietas fobik (F40.-)
 Untuk diagnosis pasti, harus ditemukan adanya beberapa kali serangan
anxietas berat (severe attacks of autonomic anxiety) dalam masa kira-kira satu
bulan:

(a) pada keadaan-keadaan di mana sebenarnya secara objektif tidak ada


bahaya;
(b) tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat diduga
sebelumnya (unpredictable situations);
(c) dengan keadaan yang relative bebas dari gejala-gejala anxietas pada
periode di antara serangan-serangan panik (meskipun demikian,
umumnya dapat terjadi juga “anxietas antisipatorik”, yaitu anxietas yang
terjadi setelah membayangkan sesuatu yang mengkhawatirkan akan
terjadi).3

2.6 Diagnosis Banding


1. Gangguan Medis
Gangguan panik, dengan atau tanpa agoraphobia, harus dibedakan dari
sejumlah kondisi medis yang menghasilkan gejala serupa. Serangan panik sering
dikaitkan dengan berbagai gangguan endokrin, termasuk keadaan hipo dan

7
hipertiroid, hiperparatiroid, dan feokromositoma. Hipoglikemia episodic yang

8
terkait dengan insulinoma juga dapat menghasilkan keadaan panik, begitu pula
proses neopatologis primer seperti gangguan kejang, disfungsi vestibular,
neoplasma, atau efek dari penggunaan obat-obatan terhadap system saraf pusat.
Gangguan pada jantung dan paru, termasuk aritmia, penyakit paru-paru obstruktif
kronik, dan asma, dapat menghasilkan gejala-gejala otonom dan disertai
kecemasan crescendo yang sulit dibedakan dari gangguan panik. Petunjuk dari
etiologi medis yang mendasari gejala panik antara lain adanya fitur atipikal selama
serangan panik, seperti ataksia, perubahan kesadaran, atau diskontrol kandung
kemih; timbulnya gangguan panik denagan onset yang relatif lambat; dan tanda
atau gejala fisik yang menunjukkan adanya gangguan medis.
2. Gangguan Mental
Gangguan panik juga harus dibedakan dari sejumlah gangguan psikiatri,
terutama gangguan kecemasan lainnya. Serangan panik terjadi di banyak
gangguan kecemasan, termasuk fobia sosial dan spesifik, PTSD, dan bahkan
OCD. Kunci untuk mendiagnosis gangguan panik dengan benar dan untuk
membedakan kondisi dari gangguan kecemasan lainnya melibatkan dokumentasi
serangan panik spontan berulang pada beberapa titik di penyakitnya.
Membedakan gangguan panik dari gangguan kecemasan umum juga bisa menjadi
sulit. Secara klasik, serangan panik dicirikan oleh onset yang cepat (dalam
beberapa menit) dan durasi pendek (biasanya kurang dari 10 hingga 15 menit),
berbeda dengan kecemasan yang terkait dengan gangguan kecemasan umum yang
muncul dan menghilang dengan perlahan. Anxietas juga sering merupakan gejala
dari banyak gangguan psikiatri, termasuk psikosis dan gangguan afektif, sehingga
untuk membedakan gangguan panik dengan gangguan lainnya dapat menjadi sulit.
 Fobia Spesifik dan Fobia Sosial
Beberapa pasien yang mengalami serangan panik tunggal dalam kondisi
tertentu (misalnya, saat berada di dalam lift) dapat terus menghindar dari kondisi
tersebut, terlepas dari apakah mereka pernah mengalami serangan panik lainnya.
Pasien-pasien ini juga memenuhi kriteria diagnostik untuk fobia spesifik.
Dalam contoh lain, seseorang yang mengalami satu atau lebih serangan panik
mungkin kemudian takut untuk berbicara di depan umum. Meski secara klinis

9
gambarannya hampir identik dengan gambaran klinis dalam fobia sosial,
diagnosis fobia sosial dapat disingkirkan karena penghindaran dari situasi publik
didasarkan pada rasa takut memiliki serangan panik, bukan karena takut berbicara
di depan umum.4

2.7 Penatalaksanaan
Penggolongan obat anti-panik:
a. Obat anti-panik trisiklik, misalnya imipramine, clomipramine
b. Obat anti-panik benzodiazepine, misalnya alprazolam
c. Obat anti-panik RIMA (Reversible Inhibitors of Monoamine Oxydase-A),
misalnya moclobemide.
d. Obat anti-panik SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors), misalnya
sertraline, fluoxetine, paroxetine, fluvoxamine, citalopram.
Mekanisme kerja obat anti-panik adalah menghambat “reuptake” serotonin
pada celah sinaptik antar neuron, sehingga pada awalnya terjadi peningkatan
serotonin dan sensitivitas reseptor (timbul gejala efek samping anxietas, agitasi,
insomnia), sekitar 2 sampai 4 minggu, kemudian seiring dengan peningkatan
serotonin terjadi penurunan sensitivitas reseptor (down regulation). Penurunan
sensitivitas reseptor tersebut berkaitan dengan penurunan serangan panik
(adrenergic overactivity) dan juga gejala depresi yang menyertai akan berkurang
pula, Penurunan hipersensitivitas melalui dua fase tersebut disebut juga “efek
bifasik”.
Efek samping obat anti-panik golongan trisiklik dapat berupa:
 Efek anti-histaminergik (sedasi, rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang,
kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun, dll)
 Efek anti-kolinergik (mulut kering, retensi urin, penglihatan kabur,
konstipasi, sinus takikardia, dll)
 Efek anti-adrenergik alfa (perubahan EKG, hipotensi ortostatik)
 Efek neurotoksis (tremor halus, kejang, agitasi, insomnia).

10
Pemberian obat dimulai dengan dosis rendah, secara perlahan-lahan dosis
dinaikkan dalam beberapa minggu untuk meminimalkan efek samping dan
meccegah terjadinya toleransi obat. Dosis efektif dicapai dalam waktu 2-3 bulan.
Batas lamanya pemberian obat bersifat individual, umumnya selama 6 bulan
sampai 12 bulan, kemudian dihentikan secara bertahap selama 3 bulan bila
kondisi penderita sudah memungkinkan (bebas gejala dalam kurun waktu
tertentu). 10
Psikoterapi untuk gangguan panik adalah terapi perilaku dan kognitif (CBT).
Terapi kognitif bertujuan juga untuk membangun kembali (restructuring) kognisi
yang baru. Hal pertama yang dapat dilakukan adalah mengidentifikasi gejala
panik yang timbul dan perasaan serta pikiran yang salah berhubungan dengan
gejala tersebut serta edukasi tentang gangguan panik itu sendiri. Biasanya pasien
gangguan panik selalu mengidentikkan sensasi tubuh yang ringan sebagai awal
gangguan paniknya; menyebabkan pasien mengalami cemas antisipasi. Edukasi
bahwa serangan panik dibatasi waktu dan tidak mengancam jiwa juga sangat
dibutuhkan.11

2.8 Prognosis
Gangguan panik secara umum bersifat kronis. Penelitian jangka panjang
terhadap pasien dengan gangguan panik sulit untuk diinterpretasikan karena tidak
dilakukan kontrol terhadap efek dari terapi. Namun demikian, sekitar 30 sampai
40 persen pasien mengalami bebas gejala; sekitar 50 persen mengalami gejala
yang ringan dan tidak mempengaruhi kehidupan mereka secara signifikan; dan
sekitar 10 sampai 20 persen terus memiliki gejala yang signifikan. Pasien dengan
fungsi premorbid yang baik dan memiliki gejala dengan durasi yang singkat
cenderung memiliki prognosis yang lebih baik.4

11
BAB III
KESIMPULAN

Gangguan panik adalah gangguan ansietas yang ditandai oleh serangan panik tak
terduga yang berulang.1 Gangguan panik ditandai oleh serangan panik (ansietas),
rasa takut, atau terror, oleh perasaan yang tidak nyata, atau oleh kecemasan akan
kematian, atau kehilangan kendali, disertai dengan tanda pusing, vertigo,
kemerahan atau pucat, dan berkeringat. Gangguan panik disebabkan beberapa
faktor seperti faktor biologis, faktor genetic dan faktor psikososial. Tatalaksana
dapat berupa obat anti-panik, misalnya obat anti-panik golongan trisiklik dan
benzodiazepine, maupun tatalaksana nonfarmakologi berupa psikoterapi.
Berdarkan penelitian tindak lanjut jangka panjang, sekitar 30 sampai 40 persen
pasien mengalami bebas gejala; sekitar 50 persen mengalami gejala yang ringan
dan tidak mempengaruhi kehidupan mereka secara signifikan; dan sekitar 10
sampai 20 persen terus memiliki gejala yang signifikan.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical


Manual of Mental Disorder Edition “DSM-5”. Washington DC: American
Psychiatric Publishing. Washinton DC.; p. 246-247.
2. Dorland WA, Newman. 2010. Kamus Kedokteran Dorland edisi 31.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. p. 338
3. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa;Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III. Jakarta. 2003; p. 74
4. Sadock, B.J., Sadock, V. A. 2007. Kaplan & Sadock’s Synopsis of
Psychiatry: Behavioral Sciences / Clinical Psychiatry. Ed. 10. Lippincott
Williams & Wilkins.; p.
5. Kessler, R. C., Chiu, W. T., Demler, O., Merikangas, K. R., & Walters, E.
E. (2005). Prevalence, severity, and comorbidity of 12-month DSM-IV
disorders in the National Comorbidity Survey Replication. Archives of
general psychiatry, 62(6), 617-27.
6. Goodwin RD, Faravelli C, Rosi S, Cosci F, Truglia E, de Graaf R,
Wittchen HU. The epidemiology of panic disorder and agoraphobia in
Europe. European Neuropsychopharmacology. 2005 Aug 1;15(4):435-43.
7. Roy-Byrne PP, Craske MG, Stein MB. Panic disorder in adults:
Epidemiology, pathogenesis, clinical manifestations, course, assessment,
and diagnosis. The Lancet. 2018 Jan 25;368(9540):p. 1023-32.
8. McCarron RM, Xiong GL, Bourgeois JA. Lippincott's primary care
psychiatry. Lippincott Williams & Wilkins; 2012 Mar 28.; p. 61-79.
9. Taylor, C. Barr. Panic disorder. BMJ (Clinical research ed.), 332(7547),
2006.; p. 951-5.
10. Maslim, R., 2007. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik,
Edisi 3. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.; p.
52-56.

13
11. Ham P, Waters DB, Oliver N. Treatment of Panic Disorder. J. Am.
Fam. Physician. 2005; p. 71-74

14

Anda mungkin juga menyukai