1 Pendahuluan
Indonesia terletak pada kawasan dengan aktivitas tektonik yang relatif tinggi
dan kompleks. Hal tersebut disebabkan oleh lokasi Indonesia yang berada pada
pertemuan tiga lempeng tektonik besar dunia, yaitu Lempeng Eurasia di bagian
barat dengan pergerakan relatif ke selatan, Lempeng Indo-Australia di bagian
selatan dengan pergerakan relatif ke utara, dan Lempeng Pasifik di bagian
Timur dengan pergerakan relatif ke barat (Bock et al., 2003). Pertemuan dari
batas-batas lempeng tersebut di Indonesia kebanyakan berupa zona subduksi
yang mempunyai arah dan jenis penunjaman yang berbeda (Bock et al., 2003).
Sesar Baribis merupakan salah satu sesar naik utama yang berkembang di Jawa
Barat, pertama kali diperkenalkan oleh Van Bemmelen (1949), dengan
mengambil nama Perbukitan Baribis di Kadipaten, Majalengka, Jawa Barat.
Struktur sesar tersebut dapat diamati jejak-jejaknya sepanjang kurang lebih 70
kilometer, mulai dari Subang hingga ke daerah perbukitan Baribis, sebelah barat
Gunung Ciremai (Bemmelen, 1949). Berdasarkan batuan yang disesarkannya,
sesar ini terbentuk paling akhir setelah dua sesar besar yang lain, yaitu Sesar
Cimandiri dan Sesar Lembang (Haryanto, 1999). Sesar Baribis mulai terbentuk
pada kala Plistosen, pada saat itu terjadi gaya kompresi berarah timur laut-barat
daya, dengan posisi gaya utama relatif horizontal (Haryanto, 1999). Adanya
gaya ini menyebabkan batuan yang berada di bagian selatan bergerak secara
lateral ke utara, pada saat yang bersamaan di bagian utara terbentuk sesar naik,
sebagai Sesar Baribis (Haryanto, 1999). Sesar Baribis berarah barat laut-
tenggara, ke arah barat jalur sesarnya menerus hingga ke Subang sedangkan ke
arah timur jejak pensesaran masih dapat diikuti hingga di sekitar Desa Baribis,
Majalengka (Haryanto, 1999). Menurut Martodjojo (1984), diduga
kemungkingkan besar jalur Sesar Baribis kemudian berlanjut ke arah tenggara.
Pendapat Martodjojo (1984) tersebut telah dikuatkan oleh penelitian yang
dilakukan oleh Haryanto (1999) yang menyatakan hal yang serupa.
BINTANG RAHMAT WANANDA 3
Penelitian ini akan membahas dan menguraikan tentang studi dan analisis
deformasi di Sesar Baribis dengan menggunakan data pengamatan survei GPS
terhadap titik-titik pengamatan secara episodik dengan panjang data
pengamatan dari tahun 2007 hingga 2016. Persoalan utama yang timbul adalah
menentukan bagaimana deformasi terjadi di Sesar Baribis secara geometrik.
Studi deformasi secara geometrik diperoleh dari tiga analisis, yakni analisis
pergeseran (displacement), analisis regangan (strain), serta estimasi laju geser.
Analisis pergeseran diperoleh dari data pengamatan GPS yang dilakukan secara
episodik dalam selang waktu tertentu. Analisis regangan diperoleh melalui
model matematis/model deformasi dengan menggunakan fungsi parameter-
parameter pergeseran sehingga diperoleh regangan secara kuantitatif. Dari
analisis regangan juga dapat digunakan untuk membuktikan pendapat
Bemmelen (1949), Martowardojo (1984), Simandjuntak (1994), dan Haryanto
(1999) bahwa apakah Sesar Baribis benar-benar sesar naik ataukah sesar dengan
mekanisme lain, seperti sesar geser. Sedangkan analisis laju geser bertujuan
untuk menentukan tingkat aktivitas dari Sesar Baribis. Hasil analisis deformasi
ini dapat digunakan selanjutnya sebagai salah satu usaha dalam mitigasi
bencana gempa bumi khususnya untuk wilayah Jawa Barat.
Menurut Turcotte dan Gerald (2002) dan Welsch (2003), dan analisis deformasi
geometrik dibagi ke dalam dua jenis, yaitu analisis pergeseran dan analisis
regangan.
(2.1)
(2.2)
(2.3)
√ (2.4)
(2.5)
√ ( ) ( ) (2.6)
√ ( ) ( ) (2.7)
(2.8)
(2.9)
Nilai besaran yang akan digunakan dalam analisis regangan adalah besaran
principal strain ε1 (ekstensi) dan ε2 (kompresi) yang didapatkan dari nilai
parameter regangan yang telah dicari sebelumnya. ε1 merupakan besaran yang
menunjukkan nilai ekstensi, sedangkan ε2 merupakan besaran yang
menunjukkan nilai kompresi. Kedua besaran principal strain tersebut dapat
diperoleh melalui Persamaan 2.10, 2.11, dan 2.12 berikut ini (Turcotte dan
Gerald, 2002).
(2.10)
(2.11)
(2.12)
Nilai principal strain (ε1 dan ε2) ini menyatakan perubahan elemen panjang
terhadap panjang awal (mm/mm) dan dinyatakan dengan satuan strain.
Sesar Baribis terbentuk karena adanya peningkatan aktivitas tektonik pada kala
Pliosen hingga Plistosen (Martodjojo, 1984 dan Simandjuntak, 1994). Pada saat
itu jalur subduksi di selatan Pulau Jawa bergeser ke arah utara sehingga jalur
gunung api ikut bergeser pula ke arah utara. Pada bagian terakhir jalur gunung
api inilah terbentuk sesar baru yaitu Sesar Baribis (Martodjojo, 1984).
Berdasarkan informasi dari Haryanto (1999), Peta Geologi Lembar
Arjawinangun (1995), dan Peta Geologi Lembar Tasikmalaya (1995),
diperkirakan sesar-sesar yang termasuk zona Sesar Baribis adalah sebagaimana
ditunjukkan pada Gambar 2.1 di bawah ini.
BINTANG RAHMAT WANANDA 7
Data pengamatan kampanye GPS yang digunakan berupa data hasil observasi
GPS tahun 2007 s. d. 2016 di titik-titik pengamatan di sekitar sesar Baribis.
Persebaran titik pengamatan GPS di daerah Sesar Baribis dapat dilihat pada
Gambar 2.2 di bawah ini.
8 BINTANG RAHMAT WANANDA
Seluruh titik pengamatan, diikatkan pada stasiun pengamatan GPS milik IGS
yang relatif dekat dari Indonesia. Terdapat sembilan stasiun IGS yang
digunakan dalam penelitian ini. Gambar 2.3 di bawah ini menunjukkan sebaran
lokasi titik-titik IGS (ditandai dengan kotak berwarna kuning).
Gambar 2.4 Diagram Alir Pengolahan Data GPS dengan Bernese 5.2
10 BINTANG RAHMAT WANANDA
Setelah terbentuk jaring segitiga seperti pada Gambar 3.2 di atas, maka
nilai parameter deformasi untuk masing-masing segitiga dapat dihitung
dengan cara yang sama seperti telah jelaskan sebelumnya. Tabel 3.3
berikut menyajikan hasil perhitungan nilai regangan setiap segmen
segitiga yang dibentuk pada jaring segitiga di atas.
Gambar 3.3 di bawah ini memuat hasil plotting informasi nilai regangan
pada Tabel 3.3.
14 BINTANG RAHMAT WANANDA
Berdasarkan hasil plotting nilai regangan pada Gambar 3.3, maka dapat
dijelaskan beberapa hal, yaitu:
• Dapat dipastikan terdapat peristiwa deformasi pada wilayah sekitar
Sesar Baribis, ditandai dengan adanya peristiwa regangan berupa
kompresi dan ekstensi.
• Nilai ekstensi maksimum 0,9440 μstrain terdapat pada segmen segitiga
BDK2, CRBN, MJLK. Sedangkan nilai ekstensi minimum 0,0012
μstrain berada pada segmen segitiga 0410, 0411, CRBN.
• Terdapat kemungkinan bahwa kondisi ekstensi maksimum yang terjadi
pada segmen segitiga BDK2, CRBN, MJLK dipengaruhi oleh efek
lokal pada titik pengamatan GPS kampanye CRBN. Berdasarkan time-
series posisi vertikal titik pengamatan CRBN pada penelitian
Ramadhana (2016), dicurigai bahwa titik pengamatan ini mengalami
peristiwa subsidence. Peristiwa ini dapat berpengaruh kepada
displacement yang terjadi, sehingga menimbulkan kondisi ekstensi yang
maksimum.
• Nilai kompresi maksimum -1,1919 μstrain berada pada segmen segitiga
0369, DRMA, SRLY. Sedangkan nilai kompresi minimum -0,0061
μstrain terdapat pada segmen segitiga BDK2, MJLK, 0355.
• Arah regangan umumnya berarah utara-selatan dan timurlaut-baratdaya
dengan didominasi oleh tipe regangan kompresi.
Selain itu, menurut Bock et al. (2003), sebuah sesar dikatakan aktif
apabila nilai komponen ekstensional regangannya melebihi 0,5 μstrain
atau komponen kompresional regangannya melebihi -0,5 μstrain.
Berdasarkan nilai perhitungan regangan yang diperoleh, terdapat dua
segmen segitiga yang memiliki nilai ekstensi melebihi 0,5 μstrain dan
tujuh segmen segitiga yang memiliki nilai kompresi melebihi -0,5 μstrain.
Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat bagian pada zona Sesar Baribis
yang lebih aktif ketimbang beberapa bagian yang lain. Bagian zona Sesar
BINTANG RAHMAT WANANDA 15
Baribis yang lebih aktif tersebar hampir pada seluruh bagian zona
pengamatan, kecuali pada bagian zona Sesar Baribis yang termasuk
dalam segmen segitiga MJLK, 0369, 0355 dan DRMA, SBNG, 0425.
Zona Sesar Baribis yang termasuk pada dua segmen tersebut memiliki
nilai parameter regangan yang tidak memenuhi persyaratan sesar aktif
setelah dihitung dengan metode jaring segitiga.
Menurut Turcotte dan Gerald (2002), salah satu penciri sebuah sesar naik
adalah apabila pada sesar tersebut banyak dijumpai regangan yang
sifatnya kompresional. Dengan memperhatikan nilai perhitungan, dapat
dinyatakan bahwa regangan kompresional lebih dominan ketimbang
regangan ekstensional pada Sesar Baribis. Dengan demikian, pendapat
Van Bemmelen (1949), Martodjojo (1984), dan Haryanto (1999) yang
menyatakan bahwa Sesar Baribis adalah sesar naik adalah dapat dikatakan
tepat.
4.1 Simpulan
1. Secara umum titik-titik pengamatan GPS kampanye yang berada di
sekitar Sesar Baribis cenderung bergerak ke arah barat dengan
kecepatan pergeseran rata-rata 18,9 mm/tahun ±1,1 mm/tahun.
2. Sesar Baribis dapat dikatakan sebagai sesar yang masih aktif,
dibuktikan dengan adanya pola regangan ekstensi yang melebihi 0,5
μstrain dan pola regangan kompresi yang melebihi -0,5 μstrain. Hal
tersebut menunjukkan terdapat bagian pada zona Sesar Baribis yang
lebih aktif ketimbang beberapa bagian yang lain. Bagian zona Sesar
Baribis yang lebih aktif tersebar hampir pada seluruh bagian zona
pengamatan, kecuali pada bagian zona Sesar Baribis yang termasuk
dalam segmen segitiga MJLK, 0369, 0355 dan DRMA, SBNG, 0425.
3. Sesar Baribis terbukti sebagai sebuah sesar naik, ditinjau dari kondisi
regangan di sekitar sesar yang didominasi regangan kompresional.
4.2 Saran
1. Dilakukan pengamatan GPS kampanye secara rutin (setidaknya
setahun sekali) pada titik-titik yang sudah ada agar nilai pergeseran
titik pengamatan tercatat setiap tahun. Dengan demikian, nilai
kecepatan pergeseran titik pengamatan yang dihasilkan akan lebih
akurat karena data yang lebih rapat.
2. Stasiun pengamatan GPS kontinyu di sekitar Sesar Baribis sedapat
mungkin diperbanyak dan stasiun pengamatan GPS kontinyu yang
sudah ada harus tetap dijaga operasionalnya. Hal ini dikarenakan
umumnya data GPS kontinyu memiliki kualitas yang lebih baik
ketimbang data GPS kampanye.
3. Dilakukan penambahan titik pengamatan GPS di sekitar Sesar
Baribis, baik titik pengamatan GPS kampanye, maupun titik
pengamatan GPS kontinyu. Penambahan titik pengamatan GPS akan
sangat memberikan manfaat bagi pembentukan konfigurasi jaring
segitiga yang lebih optimum dalam analisis regangan sehingga dapat
dihasilkan analisis regangan yang lebih tepat.
16 BINTANG RAHMAT WANANDA
Referensi
Bock, Y., et al. 2006. “Crustal motion in Indonesia from Global Positioning
System measurements”. Journal of Geophysical Research. Hal 108.
Kuang, S. 1996. Geodetic Network Analysis and Optimal Design: Concepts and
Applications. Michigan: Ann Arbor Press, Inc.
Twiss, R. J., dan E. M. Moores. 1992. Structural Geology. New York: Freeman
and Co.
Van Bemmelen, R. W. 1949. The Geology of Indonesia Vol. IA. Den Haag:
Government Printing Office.